1. Pengantar - · PDF fileDi tengah keterbatasan kemampuan APBN serta ... Untuk selanjutnya...
Transcript of 1. Pengantar - · PDF fileDi tengah keterbatasan kemampuan APBN serta ... Untuk selanjutnya...
1
1. Pengantar
Untuk masa yang belum dapat diperkirakan kapan akan berakhirnya, Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah (Pemda) tidak akan dapat mengandalkan
pembiayaan pembangunan dari sumber anggaran belanja negara maupun dari industri
perbankan nasional. Di tengah keterbatasan kemampuan APBN serta industri
perbankan nasional seperti itu, sumber pembiayaan yang dapat diharapkan bagi
pembangunan ekonomi adalah penghasilan ekspor maupun pemasukan modal asing.
Oleh karena itu, sebagaimana halnya dengan Pemerintah Pusat, Pemda dan dunia
usaha nasional sudah sepantasnya perlu belajar bagaimana memobilisasi modal di
pasar uang regional, seperti di Singapura, Hong Kong dan Tokyo.
Mengikuti ajaran Pahlawan Nasional Dr. Sam Ratulangi, Pemerintah Pusat
maupun Pemda di KTI (Kawasan Timur Indonesia) perlu memanfaatkan Asia Timur
bagi pembangunan nasional. Asia Timur yang tumbuh sangat pesat dan memiliki
surplus cadangan luar negeri yang besar serta teknologi canggih dapat dijadikan
sebagai pasar ekspor, negara asal turis dan sekaligus sebagai sumber faktor produksi
modal, teknologi maupun impor yang kita perlukan bagi konsumsi, investasi serta
pembangunan nasional. Jika Selat Malaka di Kawasan Barat merupakan alur angkutan
minyak dan gas bumi (oil route) dari Timur Tengah ke Asia Timur, Laut Arafura
merupakan steel route bagi kawasan itu karena merupakan jalur pelayaran yang
sangat penting bagi pengangkutan besi, hasil pertanian dan pertambangan lainnya dari
Australia.
Otonomi daerah yang sangat luas dewasa ini, memberikan kesempatan kepada
KTI untuk memanfaatkan potensi negara-negara Asia Timur, Australia dan Lautan
Pasifik yang secara geografis berdekatan dengannya.
Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam lima bagian. Bagian kedua
membahas keterbatasan APBN dan industri perbankan nasional sebagai sumber
pembelanjaan pembangunan. Bagian ketiga menguraikan sistem perdagangan di
kawasan Asia-Pasifik. Bagian keempat menganalisis surplus neraca pembayaran luar
negeri negara-negara Asia Timur. Bagian kelima menjelaskan daya tarik KTI dilihat
dari pemilikan sumber daya alam dan lokasinya yang sangat strategis dalam alur
pelayaran regional. Bagian keenam mengemukakan berbagai kebijakan untuk
merangsang ekspor dan menarik pemasukan modal ke KTI.
2
2. Keterbatasan APBN dan industri perbankan nasional
2.1 Struktur APBN
Sejak perekonomian nasional dilanda krisis pada 1997-1998, sebagian besar
dari porsi pengeluaran dalam APBN adalah ditujukan untuk tiga jenis mata anggaran,
yakni membayar hutang, subsidi harga berbagai komoditi yang disediakan oleh
pemerintah (state-vended products) dan penanganan konflik bersenjata yang terjadi
secara beruntun di berbagai daerah seperti Aceh, Kalimantan, Poso, Maluku dan
Papua. Penanganan bom teroris di Jakarta, Bali dan di berbagai tempat lainnya juga
telah menelan korban, energi dan biaya yang cukup mahal pula.
Oleh karena penerimaan negara tidak dapat ditingkatkan sebesar kenaikan
pengeluaran itu, maka pilihan yang tersedia bagi pemerintah adalah menurunkan
pengeluarannya1. Karena tunduk pada tekanan-tekanan yang kelihatannya bersifat
populis, struktur pemotongan anggaran negara adalah bersifat anti pemerataan dan
anti pertumbuhan. Porsi anggaran nonhutang yang dikorbankan oleh pemerintah sejak
tahun 1998 adalah pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan dan
pendidikan. Padahal, selain bersifat propemerataan, ketiga jenis pengeluaran yang
disebut terakhir memegang peranan penting bagi pertumbuhan dan peningkatan
produktifitas perekonomian nasional.
Pengeluaran negara untuk melunasi hutang semakin bertambah berat karena
selain adanya pertambahan stok hutang yang sangat cepat, stukturnya pun semakin
berubah dengan syarat-syarat yang semakin berat. Pada masa Orde Baru, hutang
pemerintah hanya berupa hutang luar negeri yang berasal dari sumber resmi dengan
syarat-syarat yang ringan. Pada waktu terjadinya krisis ekonomi tahun 1997-1998,
pemerintah menetapkan kebijakan untuk menghidupkan kembali industri perbankan
nasional yang praktis sudah bangkrut pada masa itu.
Karena merasa bahwa pemilikan dan pengelolaan bank bukanlah merupakan
tugas pokok sektor negara, tidak ada di antara IMF, Bank Dunia, ADB maupun
negara-negara donor yang bersedia memberikan bantuan maupun pinjaman guna
menambah modal industri perbankan nasional tersebut. Oleh karenanya, untuk
keperluan rekapitalisasi industri perbankan nasional itu, pemerintah telah
mengeluarkan SUN (Surat Utang Negara) dalam negeri yang dinyatakan dalam
1 Pada tahun 2005, Ditjen Pajak dapat meningkatkan jumlah pemilik NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sebanyak empat kali lipat, dari sekitar 2,5 juta menjadi 10 juta, dalama masa satu bulan. Namun rasio penerimaan pajak terhadap PDB tetap tidak bergeming dari tingkat 13-14 persen.
3
Rupiah dan dengan tingkat suku bunga komersil. Besarnya hutang baru ini adalah
setara dengan separuh nilai PDB Indonesia tahun 1999. Nilai SUN tersebut seimbang
dengan nilai stok hutang yang ada sehingga meningkatkan stok hutang Pemerintah
menjadi dua kali stok hutang pada awal krisis. Setelah berakhirnya program IMF,
mulai tahun 2004, pemerintah menutup defisit anggaran dengan menjual obligasi di
pasar uang internasional dengan syarat-syarat komersil.
Pada awal krisis, subsidi anggaran adalah terutama ditujukan untuk membantu
kelompok masyarakat miskin. Namun, karena tekanan politik semakin besar dari
subsidi pemerintah, seperti untuk BBM dan listrik yang dinikmati oleh kelompok
masyarakat yang berada. Barang-barang yang disubsidi, seperti BBM dan pupuk juga
disalah gunakan bagi keperluan yang tidak diharapkan, termasuk yang diseludupkan
oleh orang yang tidak bertanggungjawab ke luar negeri. Pemulihan keamanan di
Provinsi NAD berdasarkan Perjanjian Helsinki 14 Agustus 2005 diharapkan akan
dapat mengurangi pengeluaran militer sehingga semakin besar porsi pengeluaran
negara bagi keperluan lain yang lebih bermanfaat.
2.2 Keterbatasan industri perbankan nasional
Secara selintas kondisi keuangan industri perbankan sudah sangat sehat
ditinjau dari rasio kecukupan modal (CAR), rasio kreditnya yang bermasalah (NPL-
nonperforming loans) yang rendah dan keuntungannya yang sudah mulai ada. Namun,
sering dilupakan bahwa NPL yang kelihatannya rendah itu adalah tidak
mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Ternyata bahwa berbagai asset yang dibeli
kembali oleh bank-bank tersebut dari BPPN itu belum direstrukturalisasui dengan
tuntas sehingga masih tetap membebani perbankan. Sementara itu, komponen modal
industri perbankan yang memungkinkan peningkatan CAR-nya adalah terutama
berupa SUN yang kurang likuid. Modal yang kurang likuid ini tidak dapat
dipergunakan untuk melakukan ekspansi kredit.
Keuntungan bank yang sudah mulai positif adalah terutama bersumber dari
pendapatan nonbunga kredit, terutama dari balas jasa kupon SUN maupun balas jasa
dari SBI, FASBI serta pinjaman antar bank. Walaupun porsinya sudah semakin
menurun, lebih dari 40% dari portepel industri perbankan nasional dewasa ini masih
dalam bentuk SUN, SBI, FASBI dan pinjaman antar bank. Selain menjanjikan balas
jasa yang menarik, keempat bentuk investasi itu juga sama sekali tidak mengandung
risiko. Ini berarti bahwa industri perbankan nasional itu kini beroperasi sebagai
4
narrow bank, jual beli surat negara maupun SBI. Pemberian kredit oleh industri
perbankan nasional baru terbatas pada sektor konsumsi untuk pembelian barang-
barang konsumsi tahan lama, seperti kendaraan bermotor dan rumah murah. Sejak
sembilan tahun terakhir, hampir tidak ada investasi baru yang dibelanjai oleh kredit
bank. Penghasilan industri perbankan dari fee-based income masih terbatas karena
masih terbatasnya pasar uang nasional maupun jenis instrumen yang digunakan
didalamnya. Pembayaran penghasilan pegawai negeri, misalnya, belum sepenuhnya
dilakukan melalui sistem perbankan.
Seperti halnya dengan Bapindo dulu, sejak dari lahirnya, BPD (Bank-Bank
Pembangunan Daerah) belum dapat mencerminkan namanya dan berperan pada
pembiayaan pembangunan nasional. Seperti halnya dengan Bapindo, BPD pun
beroperasi sebagai bank komeresil. Bank-bank itu belum dapat memobilisasi dana
jangka panjang sebagaimana layaknya bank pembangunan. Pada umumnya BPD
hanya beroperasi sebagai kasir bagi Pemda pemiliknya karena sumber dananya
terutama adalah berupa dana jangka pendek milik Pemda. Kreditnya pun adalah
terutama berupa kredit jangka pendek yang diberikan kepada rekanan maupun
karyawan Pemda. Seperti halnya dengan Bapindo dulu, berbagai BPD juga tidak luput
dari skandal di mana kreditnya terutama diberikan kepada perusahaan milik keluarga
Gubernur yang sedang berkuasa. Sebagaimana diketahui, Bapindo kini merupakan
bagian dari PT Bank Mandiri sekarang ini.
Sejalan dengan penyerahan tanggung jawab pemerintahan yang lebih besar
kepada Pemda dalam rangka otonomi daerah, semakin besar pula porsi APBN
Pemerintah Pusat yang diserahkan kepada daerah. Pemda penerima transfer dari
APBN itu menempatkan dana tersebut pada BPD setempat. Pada gilirannya, BPD
tersebut membawa kembali dana itu ke Jakarta guna diinvestasikan pada SUN, SBI,
FASBI dan pinjaman antar bank. Inilah alasan mengapa BPD dari berbagai daerah
mampu membuka kantor cabang di lokasi mahal di Jakarta. Ini juga menggambarkan
ironisnya para Pemda. Disatu pihak, Pemda ingin menarik modal ke daerahnya dan
menghimbau bank yang beroperasi di daerahnya untuk lebih banyak memberikan
kredit di daerah setempat. Di lain pihak, Pemda membiarkan BPD miliknya sendiri
membawa uangnya sendiri pula kembali ke Jakarta.
Penjualan SUN di pasar nasional dalam jumlah yang begitu besar guna
menambah modal industri perbankan telah menyebabkan terjadinya crowding out di
pasar uang nasional yang sangat sempit dan dangkal. Crowding out itu terjadi karena
5
terjadinya persaingan antara sektor negara dengan dunia usaha untuk memperebutkan
tabungan nasional yang semakin terbatas karena dilanda krisis. Gabungan antara NPL
bank yang masih tinggi dengan crowding out di pasar uang nasional meningkatkan
tingkat suku bunga di pasar nasional dan sekaligus menimbulkan tekanan pada
pelemahan nilai tukar Rupiah.
3. Sistem perdagangan di Asia Pasifik
Ronde Perundingan Perdagangan Doha, yang dimulai di Qatar bulan Nopember
2001, dan akan berakhir tahun depan, ternyata berjalan lambat dan tidak dapat
memenuhi harapan. Baik negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat belum
bersedia mengurangi subsidi pada sektor pertaniannya. Sebagian dari hambatan itu
adalah lambatnya konsesi liberalisasi pada sektor industri manufaktur dan jasa-jasa,
seperti perbankan, asuransi, industri hiburan dan jasa pengiriman surat serta barang.
Berbagai negara berkembang masih mempertahankan tingkat proteksi yang tinggi,
apakah berupa tarif maupun nontarif. Sementara itu, Amerika Serikat menuduh RRC
juga melindungi perekonomian dan merangsang ekspornya melalui kurs Yuan yang
terlalu kuat.
Kegagalan Ronde Doha telah mulai menunjukkan kecenderungan dunia
meninggalkan sistem perdagangan multilateral berdasarkan prinsip the most favored
nation (MFN) kembali pada sistem bilateral dan merkantilisme. MFN mencegah
terjadinya diskriminasi perdagangan antar negara karena perlakuan oleh suatu negara
anggota WTO pada suatu mitra dagangnya otomatis berlalu bagi negara lainnya yang
juga menjadi anggota WTO. Bilateralisme mengatur ketentuan perdagangan yang
berlaku hanya antar negara yang mendatanganinya secara timbal balik dan perjanjian
bilateral itu tidak berlaku bagi negara lain. Multilateralisme tercermin dari
didirikannya Organisasi Perdagangan Internasional atau WTO (World Trade
Organization) pada tanggal 1 Januari 1995 berkedudukan di Jenewa. WTO
merupakan forum pembuatan aturan dan perjanjian perdagangan yang berlaku secara
multilateral bagi negara-negara anggotanya. WTO sekaligus merupakan forum
penyelesaian konflik kepentingan antar negara.
Kemunduran dari multilateralisme dan peralihan menuju bilateralisme serta
merkantilisme tercermin dari semakin meluasnya dan kompleksnya perjanjian
perdagangan bilateral FTA (Free Trade Areas) dengan rules of origins yang berbeda-
beda (Grafik-1). Pada hakikatnya FTA yang juga menjamur di kawasan ini adalah
6
bertentangan dengan prinsip regionalisme terbuka APEC yang dipromosikan
sebelumnya.
Di lain pihak, FTA yang berkembang di Asia-Pasifik tidak akan memutar
balik proses deregulasi, liberalisasi serta privatisasi perekonomian yang dilakukan di
kawasan ini sejak awal dasawarsa 1980-an. Pada umumnya proses tersebut telah
meningkatkan efisiensi dan produktifitas perekonomian mereka sehingga dapat
meningkatkan kemakmuran ekonomi rakyatnya. Hanya beberapa negara, termasuk
Indonesia pada masa Orde Baru, yang menggunakan proses deregulasi itu sebagai
instrument KKN yang justru meningkatkan inefisiensi perekonomian nasional.
Grafik 1
Proses deregulasi, liberalisasi dan privatisasi telah meningkatkan integrasi
ekonomi antar negara di Asia Timur melalui peningkatan hubungan perdagangan serta
investasi swasta. Integrasi ekonomi di Asia Timur itu berlangsung secara horizontal
maupun vertikal. Contohnya, semua merk pesawat radio, TV maupun barang
elektronik kini menggunakan komponen berbagai merk yang dibuat di berbagai
negara. Thailand merupakan supplier terbesar ayam potong di Jepang. Contoh lainnya
7
adalah semakin besar porsi buah dan sayur yang dikonsumir di Manado, Ternate,
Ambon dan Jayapura yang berasal dari impor.
4. Surplus neraca pembayaran luar negeri di Asia Pasifik
Ditengah ketidakseimbangan global dewasa ini, hampir seluruh negara-negara di
Asia Timur justru mengalami surplus neraca pembayaran luar negeri (Tabel 1).
Surplus neraca berjalan pada neraca pembayaran merupakan surplus tabungan
nasional yang melebihi keperluan investasi2. Pada saat ini, bagian terbesar dari surplus
neraca berjalan negara-negara Asia Timur tersebut ditanamkan dalam bentuk obligasi
Pemerintah Amerika Serikat maupun dalam berbagai jenis surat-surat berharga yang
dinyatakan dalam satuan US Dollar. Dewasa ini, balas jasa investasi dalam bentuk US
dollar adalah lebih rendah daripada balas jasa dalam bentuk SUN, SBI maupun
obligasi serta saham perusahaan Indonesia.
Sedikit saja surplus negara-negara Asia Timur tersebut dapat ditarik oleh KTI
sudah cukup untuk membelanjai pembangunan daerahnya. Rangkaian perjanjian
regional semakin memungkinkan penarikan surplus negara-negara Asia Timur ke
Indonesia dan KTI. The New Miyazawa Plan yang merupakan kelanjutan dari CMI
(Chiang Mai Initiatives) tahun 2000. Untuk mengurangi ketergantungan pada
pinjaman jangka pendek dari perbankan, negara-negara Asia Timur ingin
mengembangkan obligasi sebagai alternatif sumber pembelanjaan pembangunan.
Tabel 1 Global Savings and Investment Trends
(as a percentage of GDP)
Average Average 2003 2004 Memo: 2 Secara formal, neraca berjalan atau CA (current account) dalam neraca pembayaran luar negeri merupakan penjumlahan surplus anggaran negara (T-G) dengan surplus tabungan masyarakat setelah dikurangi investasinya (S-I): CA = (T-G) + (S-I) di mana T adalah penerimman Negara; G merupakan pengeluaran negara; S merupakan tabungan sektor swasta dan I merupakan pengeluaran investasi oleh sektor swasta. CA itu sendiri merupakan perbedaan antara nilai ekspor dengan impor ditambah dengan balas jasa invetasi, penerimaan tenaga kerja serta transfer dari atau ke luar negeri. Perubahan cadangan luar negeri (∆R) merupakan sisa antara CA dengan CAP (pemasukan modal asing, apakah berupa investasi jangka panjang maupun aliran modal jangka pendek: ∆R = CA + CAP. Akumulasi cadangan luar negeri RRC bersumber dari surplus neraca berjalan maupun surplus neraca modalnya. Sebaliknya, pemasukan modal asing jangka pendek menutup defisit neraca berjalan dan memupuk cadangan luar negeri Indonesia. Derasnya aliran modal jangka pendek ke Indonesia dewasa ini (untuk membeli saham, SUN dan SBI) sekaligus menguatkan nilai tukar Rupiah,walaupun ekspor kita tidak banyak meningkat. Berbeda dengan penanaman modal langsung, modal jangka pendek sangat rawan untuk kembali ke luar negeri. Pelarian modal ke luar negeri itu disebut dengan capital flight.
8
1990-1999
2000-2002
1991-2004
World saving Advanced economies
United States Euro area Japan
Emerging economies Developing Asia China Latin America Central and eastern Europe
World investment Advanced economies
United States Euro area Japan
Emerging economies Developing Asia China Latin America Central and estern Europe
22.921.316.321.531.625.331.040.318.320.6
24.021.818.721.129.327.232.238.520.923.3
23.420.616.221.327.827.232.639.917.818.8
23.221.019.420.925.326.130.837.919.823.1
23.919.113.520.327.129.836.545.520.018.6
23.520.018.419.523.927.933.642.419.023.2
24.9 19.4 13.7 20.9 27.6 31.5 38.2 48.0 21.0 19.1
24.6 20.7 19.7 20.2 23.9 29.2 35.5 43.9 19.8 23.8
1.7
-2.8 -2.5 -1.1 -6.8 6.9 9.5 9.6 1.9
-7.0
0.1 -2.5 1.1
-2.9 -199.0
2.8 5.1 9.7 0.3
-2.9
Source : BIS Annual Report (2005)
EMEAP (Executives Meeting of East Asia and Pacific Central Banks), organisasi
11 bank sentral negara-negara Asia, Australia dan New Zealand mengintrodusi ABF1
(Asian Bond Funds 1) pada bulan Juni 2003. ABF1 mengumpulkan sebesar US$1
milyar dana cadangan luar negeri negara-negara anggota EMEAP dan
menanamkannya dalam obligasi jangka panjang yang dikeluarkan oleh negara-negara
tersebut. Obligasi dalam program ABF1 merupakan surat hutang yang dinyatakan
dalam satuan mata uang USD. Sukses ABF1 mendorong EMEAP untuk
mengintrodusi ABF2 yakni membeli obligasi negara-negara anggota yang dinyatakan
dalam satuan uang mata uang nasionalnya masing-masing. Surat hutang yang
dinyatakan dalam satuan mata uang nasional meniadakan risiko kurs. Risiko kurs
merupakan salah satu penyebab krisis perekonomian pada tahun 1997.
Selain dari EMEAP, Jepang juga menyediakan jaminan bagi obligasi negara-
negara miskin di Asia Timur yang ingin menjual obligasi dalam satuan Yen di Jepang.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) di Manila juga membantu negara-
9
negara anggotanya untuk menjual obligasi bagi keperluan pembelanjaan
pembangunan.
5. Daya tarik KTI
Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya alam dan lokasi strategis KTI
memiliki daya tarik yang sangat besar untuk investor. Sebagaimana disebut di atas,
lokasi KTI sangat dekat dengan Asia Timur, Australia maupun Lautan Pasifik.
Sumber daya alam KTI bukan saja berupa tanahnya yang subur untuk lahan pertanian,
lautnya yang kaya tapi juga berupa kekayaan hasil tambang, baik di darat maupun di
dasar laut. Sebagaimana telah disebut di muka, Laut Arafura merupakan alur
pelayaran penting bagi angkutan produk pertanian, hasil bumi dan pertambangan dari
Australia ke Asia Timur.
Salah satu bentuk kekayaan alam yang tersedia di KTI adalah aliran sungai
Mamberamo di Papua Timur. Menurut perkiraan, sungai tersebut dapat menghasilkan
tenaga listrik, dengan biaya murah, yang jauh lebih besar daripada seluruh kapasitas
pembangkit tenaga listrik terpasang di Indonesia saat ini. Tenaga listrik yang
dihasilkan oleh aliran sungai itu dapat digunakan sebagai tenaga untuk peleburan hasil
tambang (smelter) apakah yang berasal dari Papua sendiri ataupun dari tempat lain.
Tenaga listrik yang dihasilkan oleh Air Terjun Sigura-gura di Sungai Asahan yang
bersumber dari Danau Toba digunakan oleh perusahaan patungan dengan Jepang
untuk melebur biji bauxit asal Brasilia di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Negara
maju yang memiliki lahan yang sempit, seperti Jepang, tidak lagi mampu membangun
pabrik peleburan sendiri untuk mencegah polusi.
KTI yang secara geografis berdekatan dengan Asia Timur, Australia dan Pasifik
dapat dikembangkan menjadi daerah turis untuk menikmati keindahan alam maupun
budayanya. Keturunan tentara Jepang dan Sekutu yang gugur selama Perang Dunia
ke-2 di KTI dapat dirangsang sebagai turis untuk menjiarahi makam maupun bekas
daerah pertempuran keluarga mereka. Laut Arafura juga dapat dijadikan alur lomba
pelayaran rekreasi yang menghubungkan Asia dengan Australia dan New Zealand.
Meniru Provinsi Yunnan di RRC, Thailand, Malaysia dan Philipina, KTI dapat
dikembangkan menjadi daerah perikanan dan pertanian untuk melayani pasar
sekitarnya yang sangat besar. Karena lokasinya yang relatif jauh dari pasar dalam
negeri (Jawa) maupun pasar luar negeri, produk-produk yang secara ekonomis
menguntungkan dihasilkannya adalah komoditi yang memiliki nilai tambah yang
10
tinggi (high value added products). Karena penduduknya yang jarang, usaha pertanian
di KTI harus memiliki skala besar dan teknologi canggih.
Adalah tidak benar pemeo yang mengatakan bahwa KTI sulit dikembangkan
karena kurangnya infrastruktur dan terbatasnya SDM (sumber daya manusia). Melihat
geografisnya dalam bentuk kepulauan, KTI tidak memerlukan pembangunan jalan
raya seperti di Jawa maupun Sumatera dan Papua. Pulau-pulau di KTI hanya
memerlukan pembangunan kade pelabuhan yang tidak mahal harganya. Mengikuti
pola pembangunan prasarana di Australia, yang perlu diutamakan pembangunannya
adalah jaringan jalan raya di sepanjang garis pantai yang padat penduduknya dan aktif
kegiatan ekonominya. Untuk daerah terpencil, biarkan swasta membangun
infrastrukturnya sendiri seperti PT Freeport yang membangun prasarana jalan raya,
pipa, angkutan udara dan eskalator mulai dari Timika hingga Tembagapura dan
Puncak Jaya Wijaya.
Sebagaimana telah disebut dimuka, tentara Sekutu pada Perang Dunia ke-2, di
bawah pimpinan Jenderal McArthur dari Amerika Serikat, juga meninggalkan
prasarasana landasan kapal terbang dan pelabuhan laut di berbgai pelosok di KTI.
Pada waktu itu, fasilitas militer tersebut digunakan oleh tentara sekutu untuk merebut
kembali Philipina dan menyerbu Jepang. Prasarana militer itu merupakan warisan
berharga yang dapat digunakan untuk pembangunan ekonomi.
Keterbatasan SDM di KTI dapat ditanggulangi dengan menggunakan sebaik
mungkin dana yang diperoleh dari APBN dan perusahaan yang berperoperasi di
kawasan tersebut, apakah untuk keperluan pendidikan maupun kesehatan. Perusahaan
modern yang beroperasi di KTI sekaligus memberikan kesempatan alih teknologi bagi
tenaga kerja Indonesia yang bekerja padanya. Ahli teknologi juga dapat dirangsang
dengan meminta bantuan dari perantau asal KTI yang bermukim di berbagai pelosok
dunia maupun dengan bantuan teknis negara asing.
Berbeda dengan suku-suku lainnya di Indonesia, suku-suku asal KTI juga
banyak yang bermukim di luar negeri, seperti Manado dan Ambon yang tidak saja
melanglang buana ke Negeri Belanda tapi juga ke bagian dunia lainnya, seperti
Amerika Serikat. Para perantau itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi
pasar maupun teknologi serta modal.
6. Kebijakan untuk merangsang ekspor dan menarik modal asing
11
Peralihan sistem pemerintahan dari sistem sentralistis Orde Baru ke otonomi
daerah sangat luas, yang digalakkan sejak era reformasi dewasa ini, telah memberikan
peluang bagi Pemda untuk membangun daerahnya sendiri yang sesuai keunikan lokasi
geografis maupun sumber ekonomi yang dimilikinya. Dalam sistem yang sentralistis
masa Orde Baru itu, perencanaan pembangunan adalah terutama ditentukan dari
Pusat.
Otonomi Daerah dewasa ini memberikan kewenangan penuh kepada Pemda di
KTI untuk mengatasi berbagai masalah nonekonomi dan ekonomi yang menghambat
pembangunan ekonomi di daerahnya. Secara sederhana teori paritas daya beli atau
PPP (purchasing power parity) dalam teori ekonomi mengatakan bahwa daya saing
perekonomian suatu daerah atau negara dapat ditingkatkan jika ongkos produksi atau
tingkat harga-harga di daerah atau negara itu dapat dibuat menjadi lebih murah
daripada di daerah atau negara lain. PPP tidak lebih dari perbandingan tingkat harga
suatu jenis atau sekelompok barang tertentu di pasar suatu daerah atau di pasar dunia
dengan tingkat harga jenis ataupun kelompok barang yang sama di pasar suatu daerah
atau negara tertentu, diukur dalam satuan mata uang yang sama3. Pada gilirannya
REER juga dipengaruhi oleh trend produktifitas tenaga kerja dan perekonomian.
Tentu saja Pemda tidak punya kewenangan untuk menetapkan nilai tukar
Rupiah ataupun tingkat suku bunga karena kebijakan moneter merupakan monopoli
Bank Indonesia sebagai bank sentral. Daya saing ekonomi nasional menjadi semakin
berkurang karena adanya penguatan nilai tukar Rupiah akibat dari pemasukan modal
jangka pendek dewasa ini. Daya saing ekonomi nasional juga merosot karena pada
saat yang sama tingkat suku bunga di Indonesia lebih tinggi daripada di pasar dunia
dan kredit perbankan sangat terbatas. Pemda juga tidak dapat mempengaruhi berbagai
kebijakan Pemerintah Pusat yang mempengaruhi tingkat harga-harga. Di luar
kebijakan moneter maupun kebijakan lain yang menyangkut tingkat harga-harga itu,
ekonomi nasional juga tengah mengalami tiga jenis penyakit yang disebut oleh Ruchir
Sharma4, ekonom dari Morgan Stanley Management, sebagai “3L”, yakni local
regulations, legal uncertainty and labor rigidity.
3 REER=e.P*/P di mana REER adalah real effective exchange rate atau kurs riil efektip, merupakan nilai tukar mata uang, P* adalah indeks harga di pasar dunia dan P merupakan indeks harga dalam negeri. Formulasi sederhana ini dapat dibuat menjadi lebih kompleks dengan memperhitungkan berbagai hambatan perdagangan lainnya seperti biaya angkut dan biaya transaksi lainnya serta tarif bea masuk. 4 Ruchir Sharma, ‘Where Big Is Beautiful’, Newsweek, May 1, 2006, hal. 45.
12
Sebagian dari penyakit “3L” itu merupakan kewenangan Pemerintah Pusat,
DPR maupun serikat pekerja ditingkat nasional. Misalnya dalam penetapan Undang-
Undang Tenaga Kerja maupun dalam hal penetapan tingkat upah minimum nasional.
Namun, cukup banyak juga dari kebijakan Pemda sendiri yang menjadi faktor
penyebab penyakit “3L” itu. Berbeda dengan di RRC, Pemda di Indonesia setelah
Otoda justru telah berlomba-lomba membuat aturan ijin usaha, sistem perdagangan
maupun sistem pajak di daerahnya menjadi semakin kompleks dan distortif.
Sebaliknya, Pemda di RRC berlomba menarik investor asing dengan menawarkan
perlindungan hak milik, keamanan dan kepastian hukum di daerahnya serta berbagai
insentip ekonomi yang lebih menarik. Inilah rahasianya mengapa RRC, dewasa ini,
dapat menarik lebih dari 50% dari seluruh penanaman modal swasta yang mengalir ke
negara-negara berkembang.
Tindakan pertama yang dapat dilakukan oleh Pemda di Indonesia, termasuk
KTI, untuk merangsang ekspor dan menarik pemasukan modal adalah dengan
menurunkan biaya transaksi ekonomi di daerahnya. Pada gilirannya, biaya transaksi
ekonomi itu dapat diturunkan dengan memelihara stabilitas politik, melindungi hak
milik pribadi serta memelihara kepastian hukum di daerahnya. Sri Sultan
Hamengkubuwono X, Gubernur D I Yogyakarta, merupakan contoh Kepala Daerah
yang mampu menggunakan kekuasaan dan kharismanya untuk memelihara stabilitas
politik dan keamanan di daerahnya. Selain merusak harta benda maupun infrastruktur
yang ada dan merenggut nyawa keluarga sendiri, konflik horisontal yang disebut di
atas telah menghabiskan APBN untuk keperluan operasi militer yang tidak perlu.
Konflik horizontal di Poso, Maluku dan Maluku Utara serta pembakaran kebun pisang
modern milik keluarga Eka Cipta Widjaya di Halmahera setelah era reformasi telah
menakutkan investor masuk ke daerah ini.
Tindakan kedua yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah menyederhanakan
Peraturan Daerah (Perda), terutama aturan yang menyangkut perijinan usaha di
daerahnya. Termasuk dalam kelompok ini adalah mengurangi hambatan, bea, retribusi
dan pungli atas transportasi maupun arus barang dan jasa maupun tenaga kerja antar
kabupaten, daerah maupun dengan luar negeri. Penyederhanaan Perda yang sangat
distortif tersebut merupakan bagian lain dari upaya menurunkan biaya transaksi untuk
meningkatan efisiensi dan daya saing perekonomian.
Tindakan ketiga yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah dalam bidang
ketenagakerjaan. Betul bahwa Pemda tidak dapat berbuat apa-apa pada Undang-
13
Undang Perburuhan di Indonesia yang sangat distortif dewasa ini. Namun, Pemda
dapat menjelaskan kepada serikat pekerja setempat akan bahaya peningkatan militansi
tenaga kerja yang menakutkan dunia usaha. Juga perlu dijelaskan bahwa tingkat upah
minimum yang berlebihan di negara yang memiliki surplus tenaga kerja seperti di
Indonesia akan semakin mengurangi kemungkinan bagi pencari kerja baru untuk
memperoleh pekerjaan.
Tindakan keempat yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah dengan
meningkatkan produktifitas tenaga kerja dan ekonomi daerahnya. Di sini peranan
pendidikan dan ahli teknologi serta perbaikan kesehatan masyarakat sangat menonjol.
Selain mendirikan sekolah formal, ahli teknologi dapat dilakukan oleh dinas
pemerintahan seperti penyuluhan nelayan maupun pertanian. Ahli teknologi juga
dapat diperoleh dari lembaga asing seperti JETRO yang mengajari petani dan nelayan
Thailand tentang standar kesehatan dan kebersihan makanan di Jepang yang
merupakan negara tujuan ekspor hasil pertanian, peternakan dan perikanan Thailand.
Turis asing, terutama dari Australia, mengajari masyarakat Bali tentang pengelolaan
homestay, restoran maupun bar.
Tindakan kelima yang dapat dilakukan oleh Pemda adalah untuk
menumbuhkan kewiraswastaan masyarakat setempat. Dalam kaitan penumbuhan
kewiraswastaan itu, praktik-praktik KKN dan pemangsa rente (rent seeking activities)
di masa Orde Baru tidak dapat lagi dapat diteruskan. Di berbagai provinsi di
Indonesia, ketangguhan dalam menghadapi krisis ekonomi sejak tahun 1997 justru
bersumber dari usaha kecil dan menengah, apakah disektor perdagangan, industri
pengolahan maupun disektor pertanian. Kesempatan untuk menjadi pengusaha harus
dibuat se transparan mungkin, tanpa ada KKN termasuk diskriminasi jender. Pada
umumnya, wanita yang menjadi pengusaha di sektor ini, dapat mengembalikan
kreditnya tepat waktu.