1. Pengantar
-
Upload
akusudahmati -
Category
Documents
-
view
39 -
download
1
description
Transcript of 1. Pengantar
LAPORAN PENELITIAN
MINANGA SIPAKKO
Penyusun:
Fadhlan S. IntanIrfan mahmud
Truman Simanjuntak
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional 2007
i
KATA PENGANTAR
Penelitian prasejarah Minanga Sipakko, Kalumpang, Sulawesi Barat
dilaksanakan pada tanggal 18 April-17 Mei 2007. Penelitian ini merupakan
lanjutan dari penelitian-penelitian yang dilaksanakan secara intensif dalam
beberapa tahun terakhir (2004-2006) dengan tema pokok “asal-usul,
persebaran, dan perkembangan penutur dan budaya Austronesia di
Sulawesi”. Dalam penelitian tersebut, penemuan-penemuan baru berupa
artefak dan ekofak di beberapa situs Neolitik telah memunculkan
pandangan-pandangan baru yang memperkaya pemahaman kita tentang
sejarah dan budaya penutur Austronesia, namun di balik itu masih banyak
permasalahan yang belum terpecahkan.
Wilayah Kalumpang dan DAS Karama yang terletak di wilayah
Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat merupakan salah satu sasaran
terpenting dalam penelitian, mengingat keberadaan situs-situs Neolitik
dengan tinggalan-tinggalan yang bercorak Neolitik murni hingga yang
tradisi. Salah satu di antaranya yang menjadi sasaran utama penelitian
adalah Situs Minanga Sipakko. Data yang diperoleh sejauh ini menunjukkan
penutur Austronesia dengan budaya Neolitiknya sudah menghuni wilayah
ini paling tidak sejak 3.500 tahun yang lalu dan berlanjut hingga sekitar
2.500 tahun yang lalu. Mereka menghuni situs yang terletak di tepi Sungai
Karama ini dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang tersedia dan
menjalin hubungan dengan komunitas luar melalui sarana pehubungan
sungai.
ii
Data pertanggalan terakhir mengindikasikan hunian sejak sekitar
4.500 tahun yang lalu. Pertanggalan ini secara umum tergolong sangat tua
untuk kehadiran penutur Austronesia di Indonesia dan jika memang benar,
maka akan merubah “setting” teori yang selama ini lebih dikenal, yang
mengatakan penutur Austronesia memasuki Indonesia tidak lebih tua dari
4.000 BP. Keraguan akan pertanggalan ini mendorong perlunya pengujian
kembali pertanggalan tersebut di samping untuk melengkapi data
kronologi, subsistensi, teknologi, dan perubahan budaya.
Laporan ini merupakan paparan awal dari hasil-hasil yang diperoleh
selama penelitian. Untuk melengkapi bahasan yang diberikan berbagai foto
dan peta disertakan, sehingga memudahkan pembaca untuk memahami
proses kegiatan penelitian dan hasil-hasil yang diperoleh. Mengingat
beberapa kegiatan analisis masih sedang berjalan - seperti analisis artefak
dan ekofak, serta analisis radiometri - berbagai pandangan yang diberikan
dalam laporan ini masih bersifat sementara, sehingga masih memerlukan
elaborasi seiring dengan diperolehnya hasil-hasil analisis nantinya.
Secara keseluruhan laporan ini terdiri dari enam bab. Bab pertama
menjelaskan gambaran umum kondisi wilayah, latar belakang, dan state of
the art penelitian. Bab II berbicara tentang proses kegiatan penelitian dan
Bab III membahas temuan penelitian. Bab IV secara khusus membahas
geologi daerah penelitian untuk memberikan gambaran tentang latar
belakang atau kondisi lingkungan situs. Bab V merupakan sintesa yang
membahas perkembangan budaya Neolitik dalam lingkup local dan
regional. Laporan ini diakhiri dengan Bab VI berupa kesimpulan dan saran.
Tim penelitian dipimpin oleh Prof. Dr. Truman Simanjuntak dengan 18
anggota yang terdiri atas kalangan peneliti dari Puslitbang Arkeologi
Nasional, peneliti dan teknisi dari Balai Arkeologi Makassar. Keseluruhan
anggota tim penelitian adalah sebagai berikut:
1. Ir. Fadlan S. Intan Peneliti Puslitbang Arkenas
iii
2. Bagyo Prasetyo MHum Peneliti Puslitbang Arkenas
3. Drs. Jatmiko Peneliti Puslitbang Arkenas
4. Bambang Sulistiyanto MHum Peneliti Puslitbang Arkenas
5. Wahyu Saptomo Peneliti Puslitbang Arkenas
6. Dra. Nani Somba Peneliti Balar Makassar
7. Dra. Bernadetta Peneliti Balar Makassar
8. Irfan Mahmud MHum Peneliti Balar Makassar
9. Andi Mappanga Peneliti Balar Makassar
10. Sukirman Teknisi Balar Makassar
11. Supandi Fotografer
12. Ngadiran Administrator
13. Agung S Teknisi
14. Amran Teknisi
17. Wasisto Teknisi
18. Madhapi Teknisi
Penelitian berjalan lancar dan memperoleh hasil-hasil yang sangat
penting dan menarik bagi pemahaman lebih jauh tentang budaya penutur
Austronesia Kalumpang. Kelancaran penelitian tersebut tidak terlepas dari
keterlibatan pihak-pihak yang telah banyak membantu. Oleh karena itu
sudah sepantasnya kami mengucapkan banyak terimakasih kepada berbagai
pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian. Secara khusus
terima kasih kami sampaikan kepada Balai Arkeologi Makassar, Pemerintah
Daerah setempat, mulai dari tingkat provinsi hingga kelurahan. Semoga
kerjasama yang sudah terjalin dengan baik ini dapat terus berlanjut di masa
yang akan datang. Terakhir ucapan terima kasih juga kami sampaikan
kepada masyarakat setempat, dan para tenaga lokal yang telah banyak
membantu selama kegiatan lapangan. Harapan kami kiranya laporan ini
iv
dapat memperkaya pengetahuan kita tentang budaya prasejarah
Kalumpang pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Penyusun
v
ABSTRACT
Kalumpang is one of the most important areas to study the origin,
dispersal, and development of the culture of the Austronesian-speaking
people. The existence of Neolithic sites like Minanga Sipakko and Kamassi,
with their rich artifacts and ecofacts, are among the most prized data banks
in Indonesia. Minanga Sipakko is one of the most wanted sites to be
investigated, and thus far it has brought into being new insights on the life
of the Austronesian-speaking people.
The aim of the 2007 research is to achieve better understanding about
the culture of early Austronesian-speaking people within this area, and in
Sulawesi in general. This research is focused on the chronology of the
settlement/habitation. For that purpose samples of charcoal were collected
from each layer – particularly the lower, middle, and upper levels – to be
dated later. This research is also carried out to get more data to complete
those obtained from previous researches. Therefore excavations were made
at Trench III and Test Pit 1/TP1 (Minanga Sipakko), Test Pits 1 to 4/TP1–4
(Kamassi), and a test pit at Sikendeng. The team also conducted geological
research at the surrounding areas.
Results of those researches confirmed the opinions regarding the
Neolithic of Kalumpang. In micro scale, the Minanga Sipakko site is an
evidence that there was a settlement with a time span of 3,600 – 2,500 BP,
which was characterized by advanced technology of pottery, adzes, stone
axes, and the exploitation of flora and fauna sources. The lower layer bears
traces of an initial phase of a settlement/habitation place with dense
pottery. The pottery, which was dominated by fine red-slipped pottery that
were associated with small points made of bone, stone adzes and axes,
sharpening stones, anvils, grinding stones (pestles), and faunal remains.
vi
The upper layer is characterized by the absence of red-slipped pottery,
which were replaced by plain pottery and coarse ones with rich and varied
shapes and decorations. There are ornaments made of animal teeth, stone,
and wood in this layer. Adzes, axes, traces of the use of fire, and faunal
remains are found in all layers.
In macro scale, the Karama River is used as one of the trade routes
between the upstream and downstream communities, and even between the
local communities and those in the outside world. The various Neolithic
sites along the banks of the Karama River prooves that there were once a
number of communities that lived along the river. The downstream
communities sold exotic goods (obsidian, sharks, pottery, etc.) to the
upstream ones, who barter them with valued commodities (lithic tools,
crops, etc.). Similarities of certain cultural traits (pottery, adzes, arrow
heads, obsidian, etc.) with those found at other Neolithic sites in Indonesia,
Malaysia, the Philippines, Taiwan, and the Pacific region show that the
Kalumpang culture covers a vast spatial dimension in a regional–global
setting.
The bearers of the Neolithic culture in this vicinity are yet to be
determined. The human remains found during the excavation are merely
scattered, individual teeth. The search for human remains at Minanga
Sipakko – aside from intensive excavations at Kamassi to study the aspects
of chronology, subsistence, technology, etc. of the bearers of this culture –
becomes the main aim of the next investigation. Other aim is to carry out
further exploration along the Karama River to follow-up information from
the local people about the existence of other Neolithic sites that are still
untouched.
vii
RINGKASAN
Kalumpang merupakan salah satu wilayah terpenting untuk penelitian
asal-usul, persebaran, dan perkembangan budaya penutur Austronesia.
Keberadaan situs-situs Neolitik, seperti Minanga Sipakko, Kamassi, dll
dengan tinggalan artefak dan ekofak yang kaya merupakan bank data yang
sulit dicari tandingannya di Indonesia. Minanga Sipakko merupakan salah
satu situs yang menjadi sasaran prioritas penelitian dan sejauh ini telah
memberikan pandangan-pandangan baru tentang kehidupan penutur dan
budaya Austronesia.
Penelitian 2007 berupaya memahami lebih jauh tentang budaya
penutur Austronesia awal di wilayah ini, dan Sulawesi pada umumnya. Kali
ini penelitian lebih ditekankan pada kronologi hunian. Untuk itu
pengumpulan arang telah dilakukan dari seluruh lapisan, dan direncanakan
untuk mempertanggalnya, khususnya dari level paling bawah, tengah, dan
atas. Sasaran lain penelitian ini adalah melengkapi data penelitian
sebelumnya. Untuk itu dilakukan ekskavasi pada Trench III dan Test Pit
(TP1) di Situs Minanga Sipakko, Test Pit (TP1-4) di Situs Kamassi, dan Test
Pit di Situs Sikendeng, di samping penelitian geologi wilayah sekitar.
Hasil-hasil penelitian semakin memantapkan pandangan-pandangan
tentang Neolitik Kalumpang. Dalam konteks mikro, Situs Minanga Sipakko
merupakan sebuah bukti hunian rentang 3.600-2.500 BP, dicirikan oleh
pengembangan teknlogi tembikar, beliung, dan kapak batu; serta
eksploitasi sumberdaya fauna dan flora. Lapisan bawah merupakan tahap
pertama hunian yang dicirikan oleh keberadaan tembikar yang padat,
didominasi oleh tembikar halus berslip merah berasosiasi dengan alat-alat
lancipan kecil dari tulang, beliung dan kapak batu, batu asah, batu
pelandas, batu giling, dan sisa fauna. Lapisan atas dicirikan oleh hilangnya
viii
tembikar slip merah, digantikan tembikar polos dan tembikar kasar yang
kaya bentuk dan hiasan. Perhiasan dari gigi binatang, batu, dan kayu
muncul dalam lapisan ini, sementara beliung, kapak, sisa pembakaran, dan
sisa fauna hadir di seluruh lapisan.
Dalam konteks makro, Sungai Karama menjadi lalu lintas perdagangan
antar-komunitas hulu dan hilir, bahkan dengan dunia luar. Keberadaan
berbagai situs Neolitik di DAS Karama memperlihatkan keberadaan
komunitas-komunitas hunian tepi sungai. Komunitas hilir menjajakan
produk-produk eksotis ke wilayah hulu (obsidian, ikan hiu, tembikar, dll),
sementara komunitas hulu mempertukarkannya dengan produk-produk
unggulan (peralatan litik, komoditi hasil bumi, dll). Kesamaan unsur-unsur
budaya tertentu (tembikar, beliung, mata panah, obsidian, dll) dengan situs-
situs Neolitik lain di Indonesia serta situs di Malaysia, Filipina, Taiwan,
Pasifik menunjukkan budaya Kalumpang memiliki dimensi ruang yang luas
dalam lingkup regional-global.
Siapa pendukung budaya Neolitik wilayah ini, belum dapat diketahui
secara pasti. Sisa manusia yang ditemukan masih terbatas pada gigi-gigi
lepas. Pencarian data manusia di Situs Minanga Sipakko menjadi sasaran
pokok dalam penelitian mendatang, di samping ekskavasi intensif di Situs
Kamassi untuk memahami aspek kronologi, subsistensi, tekologi, dll dari
pendukung budaya ini. Sasaran lain adalah eksplorasi lanjutan di DAS
Karama seiring dengan informasi penduduk tentang keberadaan situs-situs
Neolitik lain yang belum diteliti.
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
ABSTRACT iv
RINGKASANvi
DAFTAR GAMBAR, FOTO, DAN TABELx
I. PENDAHULUAN1. Latar Belakang
12. Kalumpang dalam Penelitian Arkeologi
53. Permasalahan
84. Tujuan dan Metode Penelitian
11
II. PROSES PENELITIAN 1. Ekskavasi Trench III, Situs Minanga Sipakko
162. Test Pit 1, Situs Minanga Sipakko
223. Stratigrafi
234. Test Pit Situs Kamassi
255. Situs Sikendeng
28
III. TEMUAN EKSKAVASI1. Tembikar
30
x
2. Industri Litik32
3. Sisa Fauna38
4. Sisa Pembakaran39
IV. GEOLOGI KALUMPANG1. Geomorfologi Regional
452. Geomorfologi Lokal
473. Stratigrafi Regional
574. Stratigrafi Lokal
595. Struktur Geologi Regional
656. Struktur Geologi Lokal
677. Analisis Sedimentologi
698. Pembahasan
73
V. DISKUSI87
VI. KESIMPULAN DAN SARAN94
VII. DAFTAR PUSTAKA98
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Peta sebaran penutur Austronesia
Gambar 2: Peta asal-usul dan sebaran penutur Austronesia berdasarkan beberapa teori atau hipotesa
Gambar 3: Peta situs-situs Neolitik terpenting di DAS Karama
Gambar 4: Situs Minanga Sipakko dan Keletakan Trench I-III
Gambar 5: Stratigrafi Trench III, Situs Minanga Sipakko
Gambar 6: Peta irisan Situs Kamassi dan keletakan TP1-TP4/2007
Gambar 7: Peta keletakan Situs Sikendeng dalam Peta Rupa Bumi Lembar 2013-51 (Papalang)
Gambar 8: Geomorfologi Wilayah Kalumpang dan sekitarnya
Gambar 9: Sayatan C-D yang menggambarkan keletakan Situs Minanga Sipakko
Gambar 10: Keletakan Situs Minanga Sipakko dalam sayatan morfologi
Gambar 11: Pola Aliran Sungai wilayah Kalumpang dan sekitarnya
Gambar 12: Geologi Wilayah Kalumpang dan sekitarnya
Gambar 13: Peta Struktur Geologi wilayah Kalumpang dan sekitarnya
Gambar 14: Bentuk morfologi wilayah Kalumpang dan sekitarnya, akibat adanya pengaruh struktur geologi, berupa patahan (fault)
Gambar 15: Sketsa Perubahan Aliran Sungai Karama, kaitannya dengan keletakan Situs Minanga Sipakko
Gambar 16: Sayatan E-F yang menggambarkan Keletakan Situs Kamasi
Gambar 17: Keletakan Situs Kamasi terhadap Sungai Betoong dalam sayatan morfologi
xii
DAFTAR FOTO
Foto 1: Kegiatan ekskavasi di Situs Minanga Sipakko
Foto 2: Kegiatan pengayakan dengan air dalam ekskavasi Minanga Sipakko
Foto 3: Kegiatan survei di Situs Kamassi
Foto 4: Kegiatan analisis artefak
Foto 5: Kegiatan perekaman (pemotretan) tidak hanya di situs, tetapi juga di base camp
Foto 6: Suasana ketika sebagian anggota tim kembali ke base camp, naik perahu menyeberangi Sungai Karama
Foto 7: Kegiatan ekskavasi pada Trench III, Situs Minanga Sipakko
Foto 8: Gambaran umum lapisan tanah dinding barat Trench III
Foto 9: Kegiatan penggalian Test Pit 1/2007 di Situs Minanga Sipakko
Foto 10: Celah di antara dua bukit tempat mengalirnya Sungai Karama. Foto kiri dari arah hilir (Kota Kalumpang) dan foto kanan dari arah hulu (arah Kampung Mareda)
Foto 11: Suasana ekskavasi dalam pengumpulan arang di Situs Sikendeng
Foto 12: Dua jenis tembikar dengan teknologi kontras dari Minanga Sipakko: tembikar halus berslip merah (kiri) dan tembikar kasar (kanan)
Foto 13: Tembikar menyerupai bentuk botol dari Minanga Sipakko
Foto 14: Mangkok dari Situs Minanga Sipakko
Foto 15: Motif sulur dipadukan dengan titik-titik (kiri) dan motif geometris (kanan)
Foto 16: Beliung persegi sederhana dan pahat dari Minanga Sipakko
Foto 17: Kapak bahu dari Minanga Sipakko
Foto 18: Batu "uleg" dan batu pelandas dari Minanga Sipakko
Foto 19: Serpih-serpih obsidian dari Minanga Sipakko
xiii
Foto 20: Batu asah dengan alur cekungan memanjang akibat pemakaian intensif
Foto 21: Lancipan dari batu sekis
Foto 22: Beberapa gigi Sus celebensis dari Minanga Sipakko
Foto 23: Kenampakan satuan morfologi dataran rendah di Kalumpang (tanda panah)
Foto 24: Satuan morfologi bergelombang lemah yang dipotret dari arah Situs Minanga Sipakko
Foto 25: Satuan morfologi bergelombang kuat yang di potret dari arah Kampung Mareda
Foto 26: Bukit Sandapang dengan puncaknya yang runcing-runcing, termasuk dalam satuan morfologi bergelombang kuat, dipotret dari Kampung Sumuak
Foto 27: Sungai Karama sebagai sungai induk di wilayah Kalumpang, mengalir dari arah timur ke barat, foto kiri ke arah hilir dan foto kanan ke arah hulu
Foto 28: Sungai Karama di daerah Sikendeng, yang hampir mencapai Muara di Selat Makassar
Foto 29: Situs Minanga Sipakko yang terletak di tepi Sungai Karama, di sebelah kiri kearah hilir (lingkaran merah)
Foto 30: Sungai Polalondang ke arah hilir yang terletak di utara Sungai Karama
Foto 31: Sungai Sarirak ke arah hilir yang terletak di utara Sungai Karama
Foto 32: Sungai Betoong yang terletak di selatan Sungai Karama, foto kanan ke arah hilir, dan foto kiri kearah hulu
Foto 33: Sungai Betoong pada saat banjir, tidak adanya jembatan mengharuskan kendaraan roda dua harus dipikul melewati sungai
Foto 34: Lubang Tambang Emas di Sungai Makaliki
Foto 35: Tanah bercampur kerikir dari lubang tambang di dulang di Sungai Makaliki
xiv
Foto 36: Aluvial yang terhampar di tepi-tepi sungai dan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian
Foto 37: Batuan basal yang terdapat diantara Sungai Mariri utara dengan Sungai Polalondang (foto kanan) dan di tepi jalan raya Kalumpang (Km 7770)
Foto 38: Batuan andesit yang terdapat di sebelah barat Sungai Polalondang (foto kiri) dan di muara Sungai Mariri utara (foto kanan)
Foto 39: Batupasir yang tersingkap di tebing Bukit Kamasi di tepi Sungai Betoong (foto kiri) dan di suatu kebun di jalan raya Kalumpang
Foto 40: Boulder breksi vulkanik yang ditemukan di antara Sungai Makulak dengan Sungai Ana (kiri) dan diantara Sungai Mariri utara dengan Sungai Polalondang (kanan)
Foto 41: Tufa yang tersingkap di Bukit Taneti Tambolan
Foto 42: Batupasir Kuarsa yang tersingkap di Sungai Makalili (Foto kiri), dan Sungai Karataun (foto kanan)
Foto 43: Cermin sesar (slickenside) (foto kiri) dan badan jalan amblas(foto kanan) ke dalam Sungai Karama, salah satu ciri utama adanya patahan (fault).
Foto 44: Struktur geologi berupa antiklin terlihat pada tebing kiri jalan raya Kalumpang (km 4.7055 dan km 6010).
Foto 45: Boulder jasper sebagai bahan baku alat-alat litik, banyak ditemukan di tepi Sungai Karama
Foto 46: Kerikil-kerakal dari berbagai jenis batuan, yang merupakan bahan baku alat-alat litik banyak ditemukan di dasar Sungai Betoong
Foto 47: Beberapa contoh alat litik obsidian dari Situs Padang Bindu, Sumatera Selatan
Foto 48: Beberapa contoh alat litik obsidian dari Situs Minanga Sipakko 2004 (foto kiri) dan kerikil obsidian dari Leles-Garut Jawa Barat (foto kanan)
Foto 49: Menyeberangi Sungai Karama untuk mencapai Situs Minanga Sipakko dengan menggunakan Perahu dayung
xv
Foto 50: Menyeberangi Sungai Karama untuk mencapai Situs Minanga Sipakko dengan menggunakan Perahu dayung
Foto 5 4: Karama, sungai terbesar di Sulawesi barat merupakan urat nadi perhubungan, walaupun sekarang sudah semakin ditinggalkan karena adanya jalan darat Mamuju-Kalumpang.
Foto 55: Dua jenis tembikar di Situs Minanga Sipakko: tembikar halus ber slip merah di lapisan bawah (kiri) dan tembikar kasar di lapisan atas (kanan).
Foto 53: Pahat dengan permukaan yang halus melalui penggosokan intensif.
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Sebaran pecahan tembikar di Kotak N4, Minanga Sipakko
Tabel 2: Sebaran pecahan tembikar di Kotak O4, Minanga Sipakko
Tabel 3: Sebaran pecahan tembikar di Kotak P4, Minanga Sipakko
Tabel 4: Lokasi pengambilan sedimen
Tabel 5: Kotak Ekskavasi Dan Sampel Analisis
Tabel 6: Hasil Analisis Sedimentologi dari Situs Minanga Sipakko, Kec. Kalumpang, Kab. Mamuju, Prop. Sulawesi Barat
xvi