1 I. PENDAHULUAN -...
Transcript of 1 I. PENDAHULUAN -...
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai sekitar
251.160.124 juta jiwa (Ilmu Pegetahuan.com, 2013). Apabila kemampuan produksi
bahan pangan domestik tidak dapat mengikuti peningkatan kebutuhannya, maka pada
waktu yang akan datang Indonesia akan semakin tergantung pada impor, yang berarti
ketahanan pangan nasional akan menjadi rentan karena tergantung pada kebijakan
ekonomi negara lain (Suryana dalam Usman, 2004). Padahal pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang paling esensial untuk mempertahankan hidup dan
kehidupan. Tanpa pangan, manusia tidak mungkin dapat melangsungkan hidup dan
kehidupannya untuk berkembang dan bermasyarakat. Oleh sebab itu kecukupan
pangan memiliki peran yang sangat menentukan bagi keberlangsungan suatu bangsa
atau negara. Ketahanan pangan tidak semata-mata masalah ekonomi melainkan harus
dipandang dalam kerangka kenegaraan termasuk stabilitas dan ketahanan politik,
pertahanan dan keamanan nasional yang mantap.
Ketahanan pangan yang mantap suatu negara bila semua penduduknya dapat
memperoleh pangan yang cukup baik kuantitas maupun kualitas dan produktif.
Ketahanan pangan yang mantap ditandai dengan ketercukupan pangan yang tersebar
merata dan tersedia sepanjang waktu (Wiranto dan Utomo dalam Usman, 2004).
Indonesia tahun 2004 telah menjadi salah satu negara importer terbesar di
dunia, bukan hanya beras tetapi juga bahan pangan yang lain. Sebelumnya pada tahun
2
2002, Indonesia mengimpor 1 juta ton jagung, 0,9 juta ton gaplek, 3 juta ton gandum,
0,8 juta ton kedelai, 0,8 juta ton kacang tanah, 1,6 juta ton gula, 1,2 juta ton bungkil
serta berbagai macam buah dan daging. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang
digunakan di Indonesia tidak mampu mendukung ketahanan pangan nasional
(Wiranto dan Utomo dalam Usman, 2004)
Indonesia dalam kaitan dengan teknologi produksi pangan sebenarnya tidak
kalah dengan negara lain, dengan demikian masalah utama yang dihadapi dalam
produksi bahan pangan bukanlah ketersediaan teknologi, tetapi adopsi teknologi oleh
petani.
Dengan pengalaman krisis tahun 1997/1998, maka pemerintah mengubah
kebijaksanaan ketahanan pangan sebagaimana dinyatakan dalam GBHN 1999-2004
yaitu peningkatan ketahanan pangan dilaksanakan dengan berbasis sumberdaya,
kelembagaan dan budaya lokal, dengan memperhatikan pendapatan petani-nelayan
dan pelaku usaha skala kecil lainnya. Ini berarti dalam mencapai ketahanan pangan
sejauh mungkin harus dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Disamping itu,
dengan makin terbatasnya (bahkan berkurang) lahan yang dapat ditanami padi, maka
dituntut percepatan penganekaragaman bahan pangan.
Strategi untuk pengembangan produksi dan ketersediaan bahan pangan dapat
dilakukan dengan (1) peningkatan dan pemeliharaan kapasitas produksi nasional (2)
peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri (3) percepatan peningkatan
produksi bahan pangan non-konvensional (4) pengembangan teknologi untuk
peningkatan produktivitas usaha masyarakat. Untuk menjamin kecukupan bahan
3
pangan strategi pengembangan teknologi hendaknya mampu (1) meningkatkan dan
memelihara kapasitas produksi nasional (2) meningkatkan produksi pangan domestik
(3) meningkatkan produktivitas (dan pendapatan) usaha masyarakat (4) memperkecil
kehilangan (5) meningkatkan nilai tambah (6) meningkatkan efisiensi usaha (Wiranto
dan Utomo dalam Usman, 2004).
Ketahanan pangan diarahkan agar kekuatan ekonomi domestik mampu
memproduksi pangan yang cukup bagi seluruh penduduk, terutama dari produksi
dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup aman, dan terjangkau dari
waktu ke waktu. Dengan pertambahan penduduk yang besar dan terus bertambah,
maka keperluan penyediaan pangan akan terus membesar. Selain jumlah pangan yang
dibutuhkan cukup besar, permintaan akan kualitas pangan, keamanan dan
keragamannya akan meningkat pula.
Indonesia sebenarnya memiliki berbagai jenis tanaman bahan makanan, yang
mengandung karbohidrat, protein nabati dan sayuran, tetapi karena sindroma beras
telah memaksa pemerintah untuk selalu impor beras meskipun ditentang oleh
masyarakat, dengan alasan untuk cadangan nasional dan tidak akan dilempar ke
pasaran domestik (Mangoendihardjo, 2006).
Tonggak ketahanan pangan adalah ketersediaan atau kecukupan pangan dan
aksesibilitas bahan pangan oleh anggota masyarakat. Penyediaan pangan tentunya
dapat ditempuh melalui (1) produksi sendiri, dengan cara memanfaatkan dan alokasi
sumberdaya alam, manajemen dan pengembangan sumberdaya manusia, serta
aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal (2) impor dengan menjaga perolehan
4
devisa yang memadai dari sektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan
perdagangan luar negeri. Sedangkan komponen aksesibilitas setiap individu terhadap
bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta
mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien yang juga dapat disempurnakan
melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai
ketangan konsumen.
Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia (FAO) menetapkan beberapa kriteria
tentang ancaman ketahanan pangan suatu negara. Kriteria itu antara lain (1) tingginya
proporsi penduduk yang kekurangan pangan (2) tingginya proporsi kekurangan
energi/protein dari rata-rata kebutuhan energi/protein yang disyaratkan (food gap) (3)
besarnya indeks gini dari food gap konsumsi energi/protein dan (4) besarnya
koefisien variasi konsumsi/energi. Dengan kondisi ketahanan pangan nasional saat
ini, Indonesia sebenarnya tengah menghadapi ancaman yang tidak ringan (Arifin,
2004).
Indonesia adalah negara agraris. Tetapi ironisnya, ketika harga beras tinggi,
petani adalah sektor pertama yang dirugikan. Walaupun petani menghasilkan beras,
tetapi mereka menjual dalam bentuk gabah dengan harga yang murah (Wirianata,
2006). Menghadapi situasi yang demikian kiranya perlu dirumuskan strategi
ketahanan pangan sebagai alternatif, minimal sebagai komplemen untuk
meningkatkan ketahanan pangan, yakni (1)melakukan integrasi pembangunan
ketahanan pangan kedalam kebijakan ekonomi makro Indonesia (2)merumuskan
kebijakan alternatif apabila strategi kemandirian pangan atau modifikasi dari
5
swasembada pangan tersebut menemui hambatan. Salah satu bentuk strategi reserve
dalam pembangunan pertanian adalah pemberdayaan institusional dalam penggunaan
input pertanian (3) mengintegrasikan strategi diversifikasi pangan dengan
pengembangan food technology yang lebih membumi dan terjangkau masyarakat luas
(Arifin, 2004).
Seiring dengan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang
telah dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005 yang lalu di Jatiluhur,
Jawa Barat, bahwa revitalisasi dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran untuk
menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan
kontekstual. Dengan harapan agenda pokok revitalisasi Pertanian akan membalik tren
penurunan dan peningkatan produksi dan nilai tambah usaha pertanian (Apriyantono,
2006) yang dalam pelaksanaan revitalisasi Pembangunan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan perlu ditunjang oleh penyuluhan pertanian.Sementara selama ini fakta
menunjukkan bahwa penyuluhan pertanian sejak 1990-an lebih banyak istirahat
daripada bekerja, yang berakibat pada tingkat kemiskinan di kalangan petani semakin
meningkat. Revitalisasi atau menghidupkan kembali maknanya bukan sekedar
mengadakan/mengaktifkan kembali apa yang, sebelumnya pernah ada, tetapi
menyempurnakan struktur, mekanisme kerja, menyesuaikan dengan kondisi yang
baru, semangat dan komitmennya. Sementara kondisi Indonesia telah banyak berubah
dan karenanya memerlukan adanya “sistim” penyuluhan yang “baru”. Dengan
harapan dapat meningkatkan kesejahteraan, daya saing produk pertanian maupun
6
menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan dan kehutanan (Machmur,
2006).
Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang
direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004, bahwa setiap daerah di tingkat kabupaten
dan kota menerapkan asas desentralisasi dalam pembangunan, termasuk dalam
pembangunan pertanian. Konsekuensinya masing-masing daerah memiliki kebebasan
dalam menentukan kebijakan lokal dibidang pertanian, termasuk salah satu
diantaranya adalah kebijakan dalam penyuluhan. Akibatnya masing-masing daerah
memiliki kelembagaan penyuluhan yang beragam, baik dalam hal struktur
kelembagaannya maupun bidang kegiatannya. Bahkan ada daerah tertentu yang
kebijakannya tanpa memerlukan kehadiran lembaga penyuluhan secara eksplisit. Ini
menunjukkan bahwa komitmen daerah terhadap kegiatan penyuluhan pertanian masih
rendah. Padahal diera otonomi daerah penyelenggaraan penyuluhan pertanian
menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah daerah. Tanpa kegiatan penyuluhan
berakibat mubazirnya iptek hasil penelitian dan kajian. Dampak selanjutnya adalah
produktivitas dan kualitas produk pertanian dapat mengalami penurunan, sehingga
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri beberapa komoditi pertanian penting
terpaksa impor (Tim Prodi PKP, 2006).
Dengan hadirnya UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, maka konsekuensinya setiap daerah harus
mengemban amanah untuk mematuhi UU tersebut. UU ini dapat berfungsi sebagai
payung bagi keberlangsungan kegiatan penyuluhan pertanian di setiap daerah. Jiwa
7
UU No. 16 tahun 2006 diharapkan mampu mendorong setiap pemerintah daerah
untuk menggali dan mengembangkan potensi pertaniannya sebagai salah satu sumber
PAD melalui pemberdayaan masyarakat petani dan stakeholdernya (Tim Prodi PKP,
2006).
Revitalisasi pertanian nantinya akan berkaitan dengan beberapa stakeholder,
seperti (a) peran pemerintah (pusat, propinsi, kabupaten/kota) untuk membuat
kebijakan memfasilitasi, mengatur, menggerakkan serta memonitor dan
mengevaluasi, (b) peran petani: memproduksi, meningkatkan produksi, melaksanakan
agribisnis, (c) peran penyuluhan: menggerakkan petani, memfasilitasi petani dengan
berbagai informasi dan teknologi.
Depositario (Valera, et.al, 1987) menambahkan bahwa pemimpin lokal, baik
formal maupun informal dapat membantu petugas penyuluh dalam mengembangkan
pelayanan penyuluhan, khususnya dalam penyebaran informasi dan teknologi baru
dalam wilayah-wilayah terpencil atau bahkan pemimpin lokal dapat juga membantu
anggota masyarakat dan petani untuk mengungkapkan kepentingan dan persoalan
kesejahteraan mereka.
Van den Ban dan Hawkin (1999) juga menambahkan bahwa peranan
organisasi penyuluhan di Negara-negara Berkembang, seperti Indonesia, adalah
mengadakan alih teknologi yang dikembangkan dari lembaga-lembaga penelitian
kepada petani. Peranan ini dapat melibatkan petani dengan sejumlah besar
kesempatan dan membantu mereka untuk memilih kesempatan yang sesuai dengan
8
keadaan mereka. Peranan-peranan lain dari organisasi penyuluhan dapat membantu
petani:
a. mengadakan percobaan dengan teknologi baru atau system usaha tani baru;
b. menambah akses informasi yang relevan dengan aneka ragam sumbernya;
c. mengevaluasi dan menafsirkan informasi untuk keadaan mereka sendiri;
d. belajar dari pengalaman sendiri.
Pada proses perkembangan komunikasi interaksi diantara petani memiliki peranan
yang penting pula. Mc.Dermott (Van den Ban dan Hawkin, 1999) menunjukkan
perlunya penyatuan informasi dari peneliti, petani, dan agen penyuluhan untuk dapat
mengembangkan teknologi-teknologi baru yang akan dapat berjalan lancar pada
situasi tertentu.
Peneliti dan agen penyuluhan dapat bekerjasama dengan membantu petani
mengadakan percobaan-percobaan dan menarik kesimpulan yang benar. Kerjasama
ini meningkatkan kualitas informasi yang ada dan mengurangi segala kemungkinan
bahwa petani akan menolak rekomendasi. Petani dapat belajar dari pengalaman
mereka sendiri bahwa suatu gagasan tidak dapat dijalankan karena kesalahan yang
mereka buat dalam percobaan mereka. Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh
petani biasanya menghasilkan informasi mengenai kebutuhan tenaga buruh tani dan
modal pada berbagai musim untuk menerapkan teknologi baru. Ketersediaan
sumberdaya dan informasi menjadi sangat penting artinya untuk mengembangkan
teknologi yang sesuai. (Van den Ban dan Hawkin, 1999)
9
1.1.1. Permasalahan
Paradigma pembangunan pertanian di Indonesia memasuki abad 21
berorientasi pada manusia, yang meletakkan petani sebagai subjek pembangunan.
Pengembangan kapasitas masyarakat dalam upaya memberdayakan ekonomi petani
dan nelayan. Visi pembangunan pertanian adalah pertanian modern, tangguh dan
efisien dengan misi memberdayakan petani (Departemen Pertanian, 1998)
Salah satu prestasi pembangunan pertanian Indonesia adalah keberhasilan
meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan, yang telah mampu
mengubah status dari Negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi Negara
swasembada beras pada tahun 1984. Keberhasilan tersebut didukung oleh penyuluhan
pertanian dengan pendekatan Sistem Bimas (sejak 1963/1964), system LAKU (1976),
Sistem Insus (1979) dan terakhir Sistem Supra Insus (1986) dengan inovasi sosial
kelembagaan dan ekonomi. Keberhasilan tersebut berhubungan erat dengan telah
terjadinya perubahan perilaku petani. Penelitian yang dilakukan Jarmie (1994)
menemukan bahwa petani sesungguhnya telah berubah dari petani subsisten menjadi
petani komersial, petani yang inovatif, merencanakan usaha tani, berani mengambil
risiko dalam menerima dan menerapkan ide-ide baru perbaikan usaha tani dan
berorientasi kepada kebutuhan pasar, walaupun diakui ternyata masih ada pebedaan
perilaku petani pada wilayah yang tingkat kemajuannya berlainan. Slamet (1995) dan
Kasryno (1995) juga mengakui bahwa petani Indonesia telah berubah nyata, lebih
baik tingkat pendidikannya, lebih mengenal kemajuan, kebutuhan dan harapannya
makin meningkat, pengetahuan dan ketrampilannya jauh lebih baik, dan telah mampu
10
berkomunikasi secara impersonal. Prasarana fisik juga telah lebih baik kondisinya
demikian juga sarana telekomunikasi, transportasi, media komunikasi, listrik, irigasi,
dan air bersih telah dapat menjangkau tempat petani hingga pedesaan. Namun
demikian Padmanegara dan Soebiyanto (Soewardi, 1997) menyebutkan bahwa
perubahan perilaku petani belum diikuti oleh sikap rasional sebagai manajer usaha
pertanian yang mandiri dan tangguh, petani masih tetap hidup dalam ketergantungan,
kesejahteraan petani juga belum meningkat, padahal tujuan penyuluhan pertanian
disamping untuk menimbulkan perubahan perilaku adalah juga untuk perubahan
kepribadian (changing personality) yang bersifat mandiri, tangguh dan menjadikan
petani sebagai subjek, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Pertanian Indonesia sebenarnya juga tengah mengalami pukulan yang bertubi-
tubi. Penurunan laju pertumbuhan produksi tidak dapat dihindarkan karena secara
kolektif Indonesia memang kurang melakukan rekonstruksi kebijakan pangan. Perlu
diingat bahwa pukulan kepada sektor pertanian dapat diikhtisarkan sebagai
berikut:pada tahun 1992-1993 terjadi musim kemarau dan kekeringan dimana-mana.
Beberapa daerah menderita gagal panen dan bahkan mengalami rawan pangan yang
cukup merisaukan. Tahun 1995 - 1996 serangan hama wereng dan belalang di sentra
produksi juga mengganggu kelancaran pasokan produksi padi dan bahkan pangan
lain. Kejadian yang paling parah pada tahun 1997-1998 ketika empasan badai kering
El Nino bersamaan waktunya dengan krisis moneter yang menjelma menjadi krisis
ekonomi multidimensional. Gagal panen dan rawan pangan terjadi dimana - mana,
sehingga Indonesia mencatat rekor impor beras 5,8 juta ton, suatu angka tertinggi
11
yang pernah terjadi pada zaman Indonesia modern (Arifin, 2004). Kebijakan impor
yang dilakukan pemerintah menyebabkan situasi petani tidak menentu disamping
semakin lemahnya daya saing pangan ditingkat global. Impor beras memunculkan
spekulasi, tekanan pada petani meningkat yang akhirnya menyebabkan merosotnya
pendapatan petani (Suseno dan Suyatno, 2006). Apabila tidak ada kebijakan yang
tepat dalam masalah ini, maka diperkirakan pada tahun-tahun mendatang impor
beras, jagung maupun kedelai akan menjadi lebih besar lagi. Hal ini tentu saja
menunjukkan ketahanan pangan yang dimiliki Indonesia begitu rendah.Impor pangan
yang terus meningkat, juga memperlemah ketahanan ekonomi bangsa Indonesia
karena devisa yang diperoleh bukan untuk menambah infrastruktur ekonomi dan
meningkatkan kualitas SDM, tetapi dibelanjakan untuk hal-hal konsumtif yang
sebenarnya bisa diproduksi sendiri (Siswono, 2010).
Kondisi ketahanan pangan nasional amat ditentukan komitmen pemerintah
baik itu komitmen sosial, budaya, politik dan ekonomi. Karena itu analisis mendasar
tentang sistem ketahanan pangan nasional Indonesia akan sangat terkait dengan
sistem sosial, budaya, politik dan ekonomi yang akan mewarnai sistem ketahanan
pangan tersebut.
Pada tahun 2008, Indonesia kembali dapat mencapai swasembada beras,
bahkan terdapat surplus padi untuk ekspor sebesar 3 juta ton. Selama periode 2004-
2008 pertumbuhan produksi pangan secara konsisten mengalami peningkatan yang
signifikan. Produksi padi meningkat rata-rata 2,78 persen per tahun (dari 54,09 juta
ton GKG tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008, bahkan bila dibanding
12
produksi tahun 2007, produksi padi tahun 2008 meningkat 3,12 juta ton (5,46
persen)). Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang
pernah dicapai selama ini (Munif, 2009).
Kondisi swasembada beras nasional ini tidak terlepas pula dari kontribusi
peningkatan produksi dari berbagai daerah, termasuk daerah Kabupaten Gunungkidul
yang berproduksi 204.058,2 ton (Gunungkidul dalam Angka, 2008) dan Kabupaten
Sleman sebesar 250.375 ton (Sleman dalam Angka, 2007). Namun demikian dibalik
keberhasilan dalam pencapaian produksi pangan tersebut terdapat 86 desa di DIY
mengalami rawan pangan yang disebabkan oleh kemiskinan yang berdampak pada
rendahnya akses pangan bagi masyarakat (KR, 20 Juli 2010).
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 tercatat 31,02 juta
orang (13,33 persen), sedangkan jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan dan
perdesaan di Indonesia tidak banyak berubah dari Maret 2009 sampai Maret 2010.
Pada Maret 2009 tercatat sebesar 20,62 juta penduduk miskin berada di daerah
perdesaan begitu juga pada Maret 2010 tercetat sebesar 19,93 juta. Sementara jumlah
penduduk miskin propinsi DIY Maret 2010 577.300 orang (16,83 persen) (BPS,
2010), sedangkan penduduk miskin di Kabupaten Sleman sebesar 65.157 KK miskin
dan Kabupaten Gunungkidul sebesar 173.520 jiwa (KR, 5 Oktober 2010). Menurut
Task Force on Hunger lebih dari separuh mereka yang mengalami rawan pangan dan
kelaparan berasal dari keluarga petani miskin (Hadar, 2006). Petani miskin adalah
petani yang memiliki rata-rata pendapatan perkapita perbulan dibawah garis
kemiskinan.
13
Khudori (2009) menunjukkan prevalensi gizi buruk 8,3 %. Ini besar sekali, 19
juta rakyat bergizi buruk, yang kurang gizi lebih banyak lagi. Kurangnya upaya
peningkatan gizi masyarakat akan mengakibatkan kematian bayi dan anak balita, dan
akan menghadapi the lost generation. Lahirnya generasi bodoh karena kurang gizi
akan mengakibatkan bangsa Indonesia tetap berkubang dalam kemisknan (Siswono,
2010). Apalagi kalau dikaitkan dengan masih besarnya tingkat kemiskinan di
Indonesia, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang bodoh dan terpuruk karena
persoalan lemahnya ketahanan pangan dan kemiskinan.
Oleh karena itu komitmen pemerintah berikut pilihan-pilihan kebijakan
pangan yang diambil akan menentukan apakah negara memiliki piranti untuk
menangkal jebakan (food trap) atau malah justru menenggelamkan diri dalam situasi
terjebak pangan. Kebijakan untuk menjamin ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan
pangan itu bisa dicapai, baik dengan memproduksi sendiri atau mendatangkan dari
luar (impor). Salah satu komitmen penting pemerintah yang diperlukan adalah
komitmen untuk tidak dengan mudah melakukan impor pangan. Komimen tegas ini
penting khususnya dalam rangka mewaspadai dan menangkal jebakan pangan.
Komitmen untuk tidak dengan mudah melakukan impor pangan yang diikuti dengan
komitmen untuk memanfaatkan sumberdaya indigeneous. Dalam jangka panjang,
kedua komitmen besar ini merupakan prasyarat terciptanya kemandirian pangan,
ketahanan pangan dan terbebas dari food trap (Khudori, 2009).
Oleh karena itu Mosher (1971) mengungkapkan pentingnya perubahan
perilaku merupakan hal yang sangat esensial dalam pembangunan pertanian, adanya
14
perubahan perilaku petani akan meningkatkan produktivitas usahatani. Perilaku
petani perlu ditingkatkan agar petani mampu mengelola usaha tani lebih efisien
secara teknis dan ekonomis serta mampu mewujudkan ketahanan pangan bagi rumah
tangga. Untuk mewujudkan seperti yang diungkapkan oleh Mosher, maka perilaku
petani merupakan sesuatu yang esensial untuk meningkatkan produktivitas usaha tani
yang dilakukan terutama dalam menciptakan ketahanan pangan rumah tangga.
Penelitian dilakukan di lahan sawah Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman dan di
lahan kering Kecamatan Paliyan, Gunungkidul. Lahan kering yang dimaksudkan
adalah lahan pertanian yang mengandalkan sistem tadah hujan dalam periode panen
sedangkan lahan sawah adalah pola pertanian yang menggunakan sistem irigasi.
Pada umumnya di kedua lokasi, baik di Moyudan Sleman dan Paliyan,
Gunung Kidul sektor pertanian bagi petani pemilik lahan sempit kurang memberikan
implikasi positif secara signifikan pada kehidupan rumah tangga petani. Hal ini
menunjukkan bahwa untung atau rugi dari hasil produksi bukan penentu utama
perilaku petani dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Falsafah Jawa
yang sering mereka jadikan pedoman adalah “Ana Awan Ana Mangan, Ana Dina Ana
Upa” (Ada Siang Ada Makan, Ada Hari Ada Nasi), sehingga sesempit apapun lahan
pertanian yang dimilikinya akan tetap ditanami, daripada dibiarkan tanpa
penghasilan. Bahkan, lahan tersebut dianggap sebagai warisan yang patut disyukuri
dengan cara tetap bertanam. Keterbatasan lahan berbanding dengan hasil panen yang
diperoleh. Semakin sempit lahan pertanian maka semakin kecil pula hasil yang
diperoleh petani tersebut.
15
Di Moyudan, petani pemilik lahan sempit rata-rata 500 m2 - 800 m2, bahkan
ada pula yang kurang dari luas lahan di atas. Lahan ini berproduksi sepanjang tahun
dengan memanfaatkan irigasi dari bendungan Van Der Wijk. Perilaku petani yang
berlahan sempit dalam mewujudkan ketahanan pangan hanya menghasilkan sekitar 3
kuintal gabah dengan waktu kira-kira 3,5 bulan, hasil panen ini hanya dapat
mencukupi kebutuhan cadangan bahan pangan bagi rumah tangga. Bahkan, mereka
terkadang harus menambah beras dengan cara membeli sekitar 25 kilogram untuk
memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Ini disebabkan karena masyarakat sudah
tidak memiliki sumber bahan pangan lainnya, sementara selera masyarakat telah
berubah kearah “beras minded”. Sunarru (2008) menambahkan bahwa tantangan
rumah tangga petani pada umumnya telah terbiasa makan nasi untuk memenuhi
kebutuhan pangan, sementara jagung, sagu, ketela sudah tidak lagi dikonsumsi untuk
kebutuhan pokok pangan. Keadaan ini semakin membuat rumah tangga petani
senantiasa berjuang untuk memperoleh kebutuhan beras dalam memenuhi kebutuhan
pangan bagi rumah tangga yang ditempuh dengan berbagai cara. Di sisi lain, perilaku
petani harus mampu mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga, sekaligus
mencukupi kebutuhan di luar bahan pangan. Guna mewujudkan ketahanan pangan
rumah tangga, perilaku petani di Moyudan melakukan sistem menyakap (Jawa:
maro). Sistem maro ini adalah petani mengerjakan lahan orang lain dan digunakan
sistem bagi hasil, petani penyakap dan pemilik lahan masing-masing mendapat
separuh dari hasil panen, tetapi biaya produksi ditanggung oleh petani penyakap.
16
Dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan anggota keluarganya,
perilaku petani di Moyudan memiliki beberapa aktivitas alternatif di luar sektor
pertanian, seperti di sektor kerajinan, khususnya kerajinan “besek” (sejenis anyaman
bambu). Begitu pula peran ibu juga membantu membuat kerajinan ini. Pekerjaan
bapak di luar sektor pertanian sesekali adalah buruh dan tukang. Untuk pekerjaan
anak ada pula yang bekerja di restoran, buruh, bengkel dan jasa lainnya. Namun
demikian, kontribusi anak kepada keluarga tidak rutin atau hanya pada waktu tertentu
saja. Mayoritas perilaku petani berlahan sempit di Moyudan berperan sebagai
pembuat besek. Dalam satu bulan biasanya mereka dapat membuat 6 kodi besek, tiap
kodi dihargai Rp 14.000. dalam satu bulan memperoleh pendapatan tambahan Rp
84.000.
Di Paliyan Gunung Kidul, rata-rata kepemilikan lahan yang tergolong sempit
dibawah 3000 m2(survei data primer bulan Maret, 2011) Lahan pertanian ini hanya
ditanami padi satu kali dalam satu tahun, walau terkadang ada pula yang dapat
ditanami hingga dua kali dalam satu tahun dan sisanya ditanami palawija. Aktivitas
perilaku petani di sektor pertanian padi di Gunung Kidul sangat bergantung dengan
turunnya hujan. Dengan demikian, masyarakat Gunungkidul sangat mungkin
mengalami rawan pangan ketika hanya mengandalkan sektor pertanian saja.
Sementara perilaku petani dalam mewujudkan ketahanan pangan di Paliyan
Gunung Kidul dari survei yang dilakukan, ditemukan diversifikasi pekerjaan yang
variatif, ini berkaitan dengan faktor alam yang masih menyediakan alternatif
tambahan penghasilan. Peran bapak diluar sektor pertanian biasanya membantu
17
proyek padat karya seperti PNPM dan PPK. Selain itu peran bapak juga melakukan
pekerjaaan sebagai tukang atau hanya sekedar membantu tukang, buruh dan mencari
batu. Sementara ibu-ibu memiliki pekerjaan membuat tempe, jualan keliling (jajanan)
dan sesekali diminta untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci atau
menyetrika oleh tetangganya. Aktivitas anak dalam upaya berkontribusi membantu
pemenuhan kebutuhan rumah tangga dengan mencari belalang, mencari rumput gajah
dan mencari kayu bakar. Hasil pencarian belalang, rumput gajah dan kayu bakar ini
kemudian dijual. Hasil dari beberapa alternatif pekerjaan ini diperoleh pendapatan
sebesar Rp 5.000 hingga Rp 15.000 setiap hari.
Bagi petani di Moyudan Sleman maupun di Paliyan Gunung Kidul beras telah
menjadi bahan pangan utama. Hal ini mempertegas bahwa perilaku petani dalam
mengonsumsi variasi bahan pangan selain beras sudah tidak ditemukan lagi. Jikapun
ada, hanya sebagai camilan atau bahan makanan tambahan, yaitu biasanya satu bulan
sekali atau satu minggu sekali pada saat persediaan beras mulai berkurang. Akses
terhadap bahan pangan, baik beras maupun bahan pangan lain di kedua wilayah, baik
di Moyudan maupun Paliyan tidaklah sulit bagi rumah tangga petani. Bahan pangan
dapat diperoleh di pasar atau warung di sekitar tempat tinggal mereka. Begitu pula
dengan harga bahan pangan tersebut masih terjangkau oleh daya beli rumah tangga
petani. Di daerah Moyudan, bahan pangan, terutama beras yang tersedia di pasar
berasal dari sekitar wilayah Moyudan sendiri. Sementara, bahan pangan yang tersedia
di Paliyan Gunung Kidul mayoritas didatangkan dari luar wilayahnya, yaitu berasal
dari Imogiri dan Wonosari. Walaupun demikian, ketersediaan atas bahan pangan
18
selama ini menjamin untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga bagi
petani.
Demikian pula survei yang dilakukan peneliti di daerah lahan kering yang
direpresentasikan Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul dan lahan sawah
yang direpresentasikan Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman diduga bahwa
modal manusia (human capital) dari petani itu sendiri memiliki peran yang cukup
menentukan dalam berperilaku untuk mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga
petani. Secara spesifik, modal manusia (human capital) digambarkan pada variabel
motivasi, sikap dan keyakinan diri petani (self efficacy). Demikian pula lingkungan
sosial budaya, baik di lahan kering dan lahan sawah menunjukkan adanya dukungan
atas perilaku petani dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Lingkungan
sosial budaya digambarkan pada variabel tata nilai, kelembagaan sosial,
kepemimpinan informal, interaksi sosial dan penguasaan lahan. Survai di lapangan
menunjukkan pula bahwa lembaga ekonomi yang ada di masyarakat diduga berkaitan
positif dengan modal manusia maupun perilaku petani dalam mewujudkan ketahanan
pangan. Lembaga ekonomi ini seperti akses ke bank, akses ke KUD, kelompok tani
dan lumbung pangan. Survai kualitatif juga menunjukkan bahwa peran pemerintah
melalui peran penyuluhan pertanian dan pamong desa sangat mendukung perilaku
petani dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga, baik di lahan kering
maupun di lahan sawah. Survai yang dilakukan juga menunjukkan bahwa definisi
rumah tangga petani adalah rumah tangga yang melakukan aktivitas atau
19
mengerjakan di sektor pertanian, baik dengan tanah sendiri, sewa ataupun menyakap
(bagi hasil).
Secara ringkas permasalahan penelitian ini dapat dijelaskan bahwa selama
periode 2004-2008 pertumbuhan produksi pangan secara konsisten mengalami
peningkatan yang signifikan, namun demikian peningkatan tersebut tidak membuat
petani tercukupi kebututuhan akan bahan pangan. Bahkan menurut Task For Hunger,
sebagian besar petani rentan mengalami rawan pangan.Problem pangan di Indonesia
bukan pada aspek ketersediaan, melainkan lebih pada aspek kemampuan konsumen
untuk mengaksesnya. Problem kronis kekurangan pangan justru banyak terjadi di
wilayah pedesaan yang umumnya menggantungkan kehidupan mereka dari sumber
mata pencaharian pertanian. (Fatah, 2006) Oleh karena itu Mosher mengungkapkan
pentingnya perubahan perilaku petani untuk meningkatkan produktivitas agar tidak
jatuh dalam kekurangan pangan dan kemiskinan.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut.
1. Apakah ada perbedaan perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan
pangan rumah tangga di lahan sawah dan lahan kering?
2. Sejauhmana perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan
rumah tangga di lahan sawah dipengaruhi oleh faktor : modal manusia
(human capital), lingkungan sosial budaya, lembaga ekonomi dan peran
pemerintah secara langsung maupun tidak langsung?
20
3. Sejauhmana perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan
rumah tangga di lahan kering dipengaruhi oleh faktor : modal manusia
(human capital), lingkungan sosial budaya, lembaga ekonomi dan peran
pemerintah secara langsung maupun tidak langsung?
4. Apakah ada perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani
miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga di lahan sawah
dan lahan kering?
1.1.2. Keaslian Penelitian
Ketahanan pangan telah menjadi isu yang utama dalam pembangunan
pertanian dan pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan dengan dijadikannya isu
ketahanan pangan sebagai focus kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian
dalam Kabinet Persatuan Nasional (1999-2004). Juga dibentuknya lembaga khusus
yang menangani masalah ketahanan pangan yaitu Badan Urusan Ketahanan Pangan
(BUKP) yang diharapkan dapat memantapkan sistem ketahanan pangan nasional.
Beberapa penelitian tentang Ketahanan Pangan Rumah Tangga telah
dilakukan, seperti misalnya Penelitian dengan judul Analisa Kebijaksanaan
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan Rendah di Pedesaan yang
dilakukan oleh Ariani, et al (2001) menunjukkan bahwa krisis ekonomi telah
menurunkan ketahanan pangan rumah tangga berpendapatan rendah. Indikator yang
dapat dilihat adalah : (a) penurunan konsumsi pangan dan non-pangan (b) penurunan
pendapatan rumah tangga sehingga daya beli melemah. Kondisi ini dalam jangka
21
panjang akan mengakibatkan penurunan kualitas SDM dan dikhawatirkan terjadi
“lost generation”. Oleh karena itu upaya peningkatan ketahanan pangan harus
dilakukan oleh semua pihak tidak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat. Secara
spesifik dalam jangka pendek upaya yang dapat dilakukan adalah (a) kebijaksanaan
peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja. Alternatif program seperti : proyek
padat karya yang produktif, kredit usaha tani dan jaminan pemasaran hasil,
pemanfaatan lahan tidur dan pekarangan, pengembangan ternak unggul lokal dengan
bahan baku pangan lokal dan kredit usaha kecil (b) kebijakan bantuan pangan dengan
alternative program seperti : subsidi harga pangan, dan bantuan pangan pokok (beras
dan pangan sumber karbohidrat lainnya) hanya untuk masyarakat rawan pangan.
Kemudian juga penelitian Saliem (2002), yang berjudul Analisis Ketahanan
Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional mencoba menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga diukur dari besaran konsumsi
energi protein menunjukkan bahwa tingkat pendapatan, tingkat konsumsi beras, ubi
kayu, minyak goreng, gula pasir, ikan awetan, tahu, tempe sangat nyata
mempengaruhi ketahanan panggan rumah tangga. Dalam hal ini semakin tinggi
tingkat pendapatan dan tingkat konsumsi jenis-jenis pangan tersebut semakin tinggi
pula ketahanan pangan rumah tangga. Sedangkan peubah demografi yang nyata
mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga
(JART), semakin besar JART ketahanan pangan semakin rendah. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa dengan tingkat pendapatan tertentu semakin besar JART, semakin
rendah alokasi konsumsi per kapita yang diperoleh setiap anggota rumah tangga,
22
dengan demikian akan semakin rendah ketahanan pangan rumah tangga yang
bersangkutan.
Penelitian yang dilakukan oleh Rangga dan Sayekti (2004) dengan judul
“Keragaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Padi Sawah (Studi Kasus di
Desa Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah) bertujuan
mempelajari: (1) ketahanan pangan rumah tangga petani padi sawah di Desa Liman
Benawi Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah, (2) konsumsi pangan rumah tangga
petani padi sawah di Desa Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah, (3)
faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga
petani padi sawah di Desa Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah.
Hasil penelitian menunjukan bahwa : (1) ketahanan pangan rumah tangga petani padi
sawah di Desa Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah tahun 2004
berdasarkan ukuran obyektif berada pada ketahanan pangan tinggi. Jadi kemampuan
rumah tangga petani padi sawah di Desa Liman Benawi untuk mengakses pangan
cukup tinggi. Tingkat kecukupan energi rumah tangga sebagian besar berada pada
kriteria baik yaitu sebanyak 20 responden (66,67%), begitu juga tingkat kecukupan
protein rumah tangga petani sebanyak 100 persen berada pada kriteria baik. Secara
subyektif, rumah tangga petani padi sawah di Desa Liman Benawi memiliki
ketahanan pangan tinggi. (2) rata-rata konsumsi energi dan konsumsi protein rumah
tangga petani padi sawah di Desa Liman Benawi Kecamatan Trimurjo Kabupaten
Lampung Tengah sebesar 7.389 kkal dan 194,36 gram protein. Untuk tingkat
kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein rata-rata sebesar 88,08 persen untuk
23
energi dan 107 persen untuk protein, berada pada kriteria baik, (3) secara serempak
dan parsial variabel jumlah anggota rumah tangga dan pengeluaran total rumah
tangga berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat kecukupan gizi (energi dan
protein).
Penelitian berhubungan dengan ketahanan pangan dilakukan oleh Tim
penelitian Ketahanan pangan dan kemiskinan dalam konteks demografi, Puslit
Kependudukan – LIPI (2004) dengan judul “Ketahanan Pangan Rumah Tangga di
Perdesaan: Konsep dan Ukuran”. Penelitian ini bertujuan menghitung indeks
ketahanan pangan berdasar empat indikator, yaitu ketersediaan, stabilitas ketersediaan
pangan, aksesibilitas terhadap pangan, dan kualitas (keamanan) pangan. Penelitian ini
dilakukan di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi Lampung. Hasil penelitian
telah memunculkan indeks ketahanan pangan yang dibagi dalam tiga kategori.
Pertama, rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki persedian
pangan/makanan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan selama jangka
masa satu panen dengan panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih
per hari serta akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan
nabati atau protein hewani saja. Kedua, rumah tangga kurang tahan pangan adalah
rumah tangga yang memiliki: (1) kontiyuitas pangan/makanan pokok kontinyu tetapi
hanya mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja, (2) kontinuitas ketersediaan
pangan/makanan kurang kontinyu dan mempunyai pengeluaran untuk protein hewani
dan nabati. Ketiga, rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang
dicirikan oleh: (1) kontinyuitas ketersediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki
24
pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati; (2) kontinyuitas ketersediaan
pangan kontinyu kurang kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein
hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya; (3) kontinyuitas ketersediaan
pangan tidak kontinyu walaupun memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan
nabati; (4) kontinyuitas ketersediaan pangan tidak kontinyu dan hanya memiliki
pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua-duanya.
Penelitian lain dilakukan pula oleh Rachman (2002) dengan judul
“Karakteristik Rumah Tangga Rawan Pangan dan Upaya Peningkatan Ketahanan
Pangan: Kasus di Dua Desa di Provinsi D.I Yogyakarta”. Metode yang digunakan
adalah metode survei, di setiap desa diwawancara 20 rumah tangga yang dipilih
secara acak pada subpopulasi rumah tangga Pra-sejahtera dan Sejahtera I. Hasil
penelitian menunjukkan karakteristik rumah tangga rawan pangan adalah: (a) umur
kepala keluarga dan istri berusia produktif, berpendidikan rendah, terdapat anak yang
putus sekolah; (b) penguasaan lahan pertanian dan ternak terbatas; dan (c) tingkat
pendapatan di bawah garis kemiskinan. Untuk meningkatkannya disarankan: (1)
meningkatkan ketrampilan melalui pelatihan di berbagai bidang usaha dan bantuan
permodalan disertai bimbingan pemanfaatannya; (2) penanganan anak putus sekolah
melalui penyempurnaan efektifitas dan keberlanjutan pelaksanaan program JPS
bidang pendidikan; dan (3) pengembangan program yang tidak berbasis lahan:
peternakan unggas, ternak kecil, ternak besar sesuai potensi wilayah. Upaya tersebut
untuk meningkatkan ketahanan pangan melalui peningkatan pendapatan dan akses
terhadap pangan.
25
Penelitian ketahanan pangan dilakukan oleh Purwantini, et.al dengan judul
“Analisis Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi Kasus di
Propinsi Sulawesi Utara)” pada tahun 1999. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu
wilayah tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat rumah tangga/individu.
Berangkat dari hipotesis ini, penelitian ini mencoba menggambarkan secara
bersamaan ketahanan pangan di tingkat karakteristik tingkat wilayah dan rumah
tangga. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara regional status ketahanan pangan
wilayah (propinsi) tergolong tahan pangan. Namun demikian masih ditemukan rumah
tangga yang tergolong rawan pangan cukup tinggi. Proporsi rumah tangga rawan
pangan di Sulawesi Utara pada tahun 1999 sebesar 20,8 persen dan yang termasuk
tahan pangan sebesar 18,3 persen. Jumlah persentase rawan pangan di perdesaan
relatif lebih tinggi dibanding di perkotaan. Oleh karena itu, prioritas perhatian untuk
meningkatkan derajat ketahanan pangan perlu diarahkan kepada rumah tangga
perdesaan.
Penelitian tesis Program Studi Kependudukan Jurusan Antar Bidang
Pascasarjana UGM yang berjudul “Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Wilayah
Pulau Kecil (Studi Kasus di Kabupaten Maluku Tenggara Barat)” yang dilakukan
oleh Adam (2008) bertujuan mengetahui kondisi ketahanan pangan rumah tangga di
Maluku Tenggara Barat meliputi kecukupan dan ketersediaan pangan; stabilitas
ketersediaan pangan; aksesibilitas terhadap pangan; dan mekanisme rumah tangga
dalam pemenuhan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan pangan
rumah tangga sangat bergantung pada faktor demografi, sosial, ekonomi dan budaya
26
masyarakat. Keempat faktor ini secara bersama-sama berkontribusi terhadap variabel
pembentuk ketahanan pangan, akan tetapi variabel pendidikan, aset yang dimiliki
rumah tangga dan budaya memberikan pengaruh yang signifikan. Faktor sosial-
demografi meliputi pendidikan, inovasi teknologi, usia istri dan jumlah anggota
rumah tangga. Faktor ekonomi terdiri dari pendapatan, share property dan aset rumah
tangga. Dari faktor budaya meliputi keterkaitan pangan dengan alam, hubungan
upacara adat dengan pola makan, pola usaha/kerja dan pembagian peran antara laki-
laki dengan perempuan (laki-laki bekerja di luar desa, perempuan sebagai petani).
Penelitian yang dilakukan oleh Rachmat Hendayana dan Yovita Angita Dewi
(2005) di NTB yang berjudul Anatomi Ketahanan Pangan pada Rumah Tangga
Miskin dan Implikasinya terhadap Kebijakan Inovasi Pertanian, hasilnya
menunjukkan bahwa (1) ketahanan pangan pada rumah tangga miskin erat
hubungannya dengan karakteristik rumah tangga itu sendiri, yakni rendahnya
pemilikan sumberdaya lahan dan asset lainnya, kualitas sumberdaya manusia
(pendidikan formal) di rumah tangga relative rendah, akses terhadap sumber modal
tidak ada dan akses terhadap informasi terkendala (2) sebagian besar rumah tangga
(69,9%) hanya mengandalkan pendapatan dari hasil buruh (tani dan luar tani) yang
tidak dapat diprediksi besarannya sehingga mempengaruhi ketersediaan pangan, baik
dalam jumlah apalagi kualitasnya, sementara itu petani sering tidak memiliki
cadangan pangan yang cukup (3) disisi lain, ketersediaan pangan dilevel regional
(kabupaten) distribusinya sering tidak merata dan harganya tidak terjangkau sehingga
kebutuhan pangan bagi rumah tangga tidak terpenuhi yang akhirnya menurunkan
27
derajad ketahanan pangan (4) kebijakan inovasi pertanian bagi penduduk miskin
hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dari karakteristik penduduk
serta dilakukan dengan selektif, hati-hati dan gradual.
Penelitian yang dilakukan Darwanto (2005) yang berjudul Ketahanan Pangan
Berbasis Produksi dan Kesejahteraan Petani, berusaha mengemukakan kondisi
perberasan nasional dan perilaku ekonomi petani penghasil beras sebagai salah satu
komponen perberasan nasional. Hasilnya menunjukkan bahwa ketersediaan beras
secara nasional setelah krisis meningkat secara signifikan, baik dari produksi dalam
negeri maupun impor, namun peningkatan produksi domestik dengan laju
pertumbuhan yang semakin lambat akan menyebabkan meningkatnya peranan beras
impor terhadap ketersediaan beras nasional. Selain itu, terjadi pula kondisi yang
dilematis antara upaya penyediaan beras/pangan nasional dengan menurunnya tingkat
kesejahteraan rumah tangga petani umumnya. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa untuk jangka panjang tingkat produksi (39%) dan permintaan untuk konsumsi
(24%) mempunyai kontribusi yang relatif besar dalam menentukan pertumbuhan
tingkat ketersediaan beras nasional selain dari kondisi perekonomian nasional (2 0%)
dan tingkat kesejahteraan rumah tanga petani (11%).
Penelitian yang dilakukan oleh Ilham, Siregar dan Priyarsono (2006) yang
berjudul Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan, hasilnya
menunjukkan bahwa ketersediaan pangan di tingkat nasional terbukti tidak menjamin
akses pangan di tingkat rumah tangga. Untuk mengefektifkan kebijakan harga pangan
perlu didukung oleh kebijakan lain, terutama kebijakan penyediaan infrastruktur,
28
peningkatan pendapatan masyarakat, dan membenahi kebocoran-kebocoran dana
yang berkaitan dengan program pangan.
Penelitian yang dilakukan Asep, et.al (2009) yang berjudul Ketahanan Pangan
Rumah Tangga Petani Pada Program Hutan Kemasyarakatan di Kampung Barat
hasilnya menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga petani hutan
kemasyarakatan di Kampung Barat berdasarkan ukuran obyektif termasuk dalam
kriteria tahan pangan. Ketahanan pangan diukur dari pengeluaran pangan sebagian
pada kriteria tinggi yaitu sebesar 77,32 persen, tingkat ketersediaan energi dan protein
berada pada kriteria tahan sebesar 54,64 persen dan 69,07 persen, tingkat kecukupan
energi dan protein berada pada kriteria baik sebesar 44,3 dan 77,32 persen dan secara
subyektif rumah tangga petani sebesar 91,75 persen merasa memiliki ketahanan
pangan yang cukup tinggi. Berdasarkan analisis logit didapatkan hasil bahwa
pendapatan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kecukupan energi tetapi
berpengaruh nyata untuk tingkat kecukupan protein, pengetahuan ibu tidak
berpengaruh nyata terhadap tingkat kecukupan energi dan protein, jumlah keluarga
berpengaruh negatif terhadap tingkat kecukupan energi dan protein. Sumber
pemenuhan kebutuhan pangan pokok sumber protein, kacang-kacangan, sayuran dan
buah-buahan yang diperoleh secara langsung dari pengelolaan hutan kemasyarakatan
adalah sebesar 13 persen.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Darmono dan Maharani (2008) dengan
judul “Skenario Kebijakan Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Ketahanan
Pangan: Studi Pada Komoditas Jagung” bertujuan (a) Membangun model
29
ekonometrik ketahanan pangan komoditas jagung dalam era liberalisasi; (b)
Menganalisis determinan penting yang mempengaruhi upaya peningkatan ketahanan
pangan komoditas jagung dari aspek produksi, ekspor, impor, harga dan permintaan;
(c) Menganalisis dampak ekonomi diberlakukannya liberalisasi perdagangan terhadap
upaya peningkatan ketahanan pangan komoditas jagung ditinjau dari aspek produksi,
ekspor, impor, harga dan permintaan. Hasil penelitian ini menunjukkan penerapan
liberalisasi perdagangan membawa implikasi negatif pada upaya peningkatan
ketahanan pangan komoditas jagung. Penurunan harga domestik menyebabkan
penurunan produksi dan peningkatan permintaan, berdampak pada meningkatnya
impor. Hasil lainnya adalah kebijakan-kebijakan investasi, kredit dan subsidi pupuk
memberikan dampak menguntungkan bagi ketahanan pangan jagung karena mampu
meningkatkan produksi domestik sehingga ketergantungan terhadap impor semakin
berkurang serta mampu menyediakan pangan dengan harga terjangkau.
Penelitian yang dilakukan oleh Utoyo (2007) berjudul “Analisis Pola
Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Ketahanan Pangan” bertujuan (1) Untuk
mengetahui pola konversi lahan sawah; baik ke penggunaan pertanian maupun non-
pertanian; (2) Untuk mengetahui dampak terjadinya konversi lahan sawah terhadap
ketahanan pangan, khususnya produksi beras. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa
Secara agregat selama periode 1997-2004 di wilayah Propinsi Lampung tidak terjadi
proses konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah. Selain itu terdapat
keragaman laju rata-rata perubahan penggunaan lahan sawah pada masing-masing
kabupaten/ kota dibandingkan dengan wilayah propinsi. Selain itu, kondisi sistem
30
pertanian sawah hingga saat ini masih bisa diandalkan untuk menjaga ketahanan
pangan (beras), namun dalam jangka panjang jika terjadi penurunan lahan sawah
yang terus menerus maka keberlanjutan sistem pertanian tersebut akan terganggu,
khususnya dalam produksi beras.
Penelitian dilaksanakan oleh unit penelitian sosial-ekonomi dari program
Seeds of Life (SOL) di Departemen Pertanian dan Perikanan, Timor Leste. Penelitian
ini berjudul “Studi Sosial Ekonomi Pemahaman Ketahanan Pangan Dalam Menuju
Kedaulatan Pangan: Kasus Di Timor Leste” oleh Lopes, et al (2008). Tujuan
penelitian sosial ekonomi ini adalah untuk memahami sistem pertanian tradisional
dan memahami seberapa besar kemampuan petani mempunyai kemampuan
memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri seperti yang disyaratkan
dalam konsep kedaulatan pangan. Varietas baru yang dikembangkan oleh SOL
mempunyai manfaat sosial ekonomi yang tinggi hal ini karena petani yang
berpartisipasi dalam Program Seeds of Life sudah mulai menjual varietas-varietas
baru tersebut untuk melengkapi kebutuhan yang lain. Pada umumnya rumah tangga
petani di kedua kabupaten mengkonsumsi hasil panen dalam volume yang banyak
pada musim panen, sehingga mengakibatkan cadangan makanan berkurang atau cepat
habis, hal ini memaksa mereka (petani) untuk mengatasinya dengan cara membeli,
meminjam dan mencari makanan dari hutan.
Penelitian yang berhubungan dengan ketahanan pangan dilakukan oleh
Marwati (2001) dengan judul “Strategi Ketahanan Pangan, Ketersediaan dan Pola
Konsumsi Pangan Keluarga Buruh Tani dan Buruh Pabrik Di Desa Kebon Dalem,
31
Kota Cilegon”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi ketahanan pangan,
ketersediaan dan pola konsumsi pangan keluarga buruh tani dan buruh pabrik. Tujuan
khususnya adalah membandingkan keluarga petani dengan buruh pabrik dalam
beberapa hal, yaitu pola konsumsi pangan, ketersediaan pangan, strategi ketahanan
pangan. Selain tersebut di atas, penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi strategi ketahanan pangan. Hasil penelitian menunjukkan tidak
adanya perbedaan dalam strategi ketahanan pangan dalam keluarga. Pada keluarga
buruh tani, strategi ketahanan pangan dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita per
bulan, sedangkan strategi ketahanan pangan keluarga buruh pabrik dipengaruhi oleh
usia istri. Strategi ketahanan pangan secara keseluruhan dipengaruhi oleh pengeluaran
per kapita per bulan, sedangkan status pekerjaan dan usia istri tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata.
Penelitian yang berhubungan dengan pangan berjudul “Rekayasa Optimalisasi
Alokasi Air Irigasi Dalam Rangka Peningkatan Produksi Pangan dan Pendapatan
Petani” dilakukan oleh Saptana, et al (2001). Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran mengenai peningkatan produksi pangan dan pendapatan
petani melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya, yaitu dengan optimalisasi air
irigasi. Hasil penelitian adalah semakin tinggi ketersediaan air, maka semakin baik
pula sarana dan prasarana irigasi. Peluang peningkatan produksi pangan (terutama
beras) dan pendapatan petani melalui optimalisasi alokasi air irigasi di lahan-lahan
sawah yang selama ini telah dijadikan sentra produksi masih terbuka dan mempunyai
prospek baik.
32
Penelitian yang dilakukan oleh Ariani, et al (2001) berjudul “Dampak Krisis
Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan Rumah Tangga”. Penelitian ini bertujuan untuk
menyajikan informasi mengenai: (1) perubahan pola pengeluaran rumah tangga; (2)
perubahan konsumsi zat gizi (energi dan protein) dan proporsi rumah tangga defisit
zat gizi; (3) perubahan tingkat partisipasi dan konsumsi pangan. Hasil penelitian
menunjukkan secara nasional, krisis ekonomi berdampak pada: (1) peningkatan
pangsa pengeluaran pangan rumah tangga; (2) peningkatan jumlah rumah tangga
yang defisit energi dan protein; (3) penurunan tingkat partisipasi konsumsi beras,
mie, pangan hewani, minyak goreng dan gula pasir; (4) peningkatan konsumsi
jagung, ubi kayu, tahu dan tempe. Perubahan tersebut terjadi pada semua segmen
rumah tangga baik di kota/desa; kelompok pendapatan (rendah, tinggi, sedang)
maupun berdasar sumber mata pencaharian (pertanian, industri/perdagangan,
jasa/lainnya). Namun perubahan tersebut cukup menonjol pada rumah tangga di kota,
berpendapatan sedang dan tinggi serta yang bekerja di sektor non-pertanian.
Penelitian yang dilakukan oleh Saliem, et al (2005) dengan judul “Manajemen
Ketahanan Pangan Era Otonomi Daerah Dan Perum Bulog” bertujuan untuk
menganalisis kebijakan pengelolaan ketahanan pangan dikaitkan dengan era otonomi
daerah dan perubahan lembaga penyangga pangan nasional dari Bulog menjadi
Perum Bulog. Mengingat cakupan ketahanan pangan sangat luas, maka untuk
penajaman penelitian, pangan dibatasi pada gabah/beras yang mencakup tiga aspek
kajian, yaitu: (1) kebijakan stabilitas harga; (2) kebijakan pengelolaan cadangan
pangan; (3) kebijakan penanganan kondisi darurat kerawanan pangan. Keluaran
33
penelitian yang dihasilkan adalah rumusan mengenai model pengelolaan atau
manajemen ketahanan pangan (beras) pada era otonomi daerah dan Perum Bulog.
Penelitian yang dilakukan oleh Darwis (2002) yang berjudul “Peluang
Peningkatan Pendapatan dan Produksi Padi Sawah di Kabupaten Deli Serdang”
bertujuan mengidentifikasi pendaptan usahatani padi sawah setiap musim. Hasil
penelitian menunjukkan pertumbuhan produksi dan produktivitas padi sawah di
Propinsi Sumatera Utara, masing-masing sebesar 2,22 persen dan 0,85 persen per
tahun. Sedangkan di Kabupaten Deli Serdang, terjadi penurunan produksi sebesar
0,57 persen dan produktivitas 0,33 persen. Penurunan ini disebabkan oleh kurangnya
penerapan teknologi. Dalam satu tahun terakhir ini petani Desa Lubuk Bayas
mendapatkan keuntungan yang berbeda untuk setiap musim dan musim kemarau
merupakan musim yang paling besar mendapatkan keuntungan. Dari segi nilai
memang kelihatannya cukup besar, tetapi dari segi nilai tukar petani merasakan sudah
tidak banyak artinya.
Penelitian lain dilakukan oleh Tambunan (2006) yang berjudul “Kaji Ulang
Peran Koperasi Dalam Menunjang Ketahanan Pangan”. Penelitian ini bertujuan
untuk (1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peran koperasi dalam
menunjang ketahanan pangan berdasarkan perubahan kebijakan pemerintah terhadap
distribusi pupuk dan beras, (2) Menganalisis efektifitas penyaluran pupuk dan
pengadaan gabah/beras sesuai perubahan kebijakan pemerintah dimaksud, (3)
Menganalisis dampak perubahan kebijakan tersebut terhadap penyediaan gabah/beras
di dalam negeri dan daya dukung koperasi dalam menunjang ketahanan pangan, dan
34
(4) Merumuskan model alternatif yang dapat diimplementasikan oleh koperasi guna
mendukung ketahanan pangan nasional. Hasil penelitian antara lain: (1) Kebijakan
distribusi pupuk saat ini telah memberikan dampak yang positif yakni efektif pada
penyaluran pupuk level propinsi hingga ke kabupaten. (2) Hasil analisis faktor yang
mempengaruhi juga menunjukkan unit-unit koperasi yang telah menjalankan usaha
pengadaan pangan pada waktu lalu mengalami kemundurun signifikan. (3) Kebijakan
pemerintah melepaskan distribusi pupuk dan pengadaan beras ke pasar adalah secara
umum menekan penggunaan pupuk petani yang berakibat produksi gabah dan
pendapatan petani menurun, kemudian menurunkan produksi beras dan juga kapasitas
produksi beras koperasi, dan menurunkan kinerja usaha-usaha koperasi. (4)
Kebijakan distribusi pupuk dan pengadaan beras yang sedang dijalankan sekarang
tidak efektif menciptakan kemampuan produksi pangan (beras) dalam negeri.
Penelitian berhubungan dengan ketahanan pangan dilakukan pula oleh Ariani
dan Purwantini (2004) berjudul “Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca
Krisis Ekonomi Di Propinsi Jawa Barat” bertujuan untuk menganalisis konsumsi
pangan pasca krisis ekonomi di Propinsi Jawa Barat. Aspek yang dianalisis adalah
struktur pengeluaran pangan, konsumsi energi dan protein, pola dan tingkat konsumsi
pangan. Hasil penelitian antara lain: (1) Tingkat kesejahteraan masyarakat (baik di
tingkat nasional maupun di Propinsi Jawa Barat) mengalami penurunan sejak
terjadinya krisis ekonomi. Dampak krisis ekonomi lebih besar pengaruhnya pada
masyarakat kota dibandingkan dengan di pedesaan. (2) Konsumsi energi dan protein
pada krisis ekonomi juga menurun dan penurunan kedua zat gizi tersebut di propinsi
35
Jawa Barat lebih besar daripada agregat nasional. (3) Konsumsi beras rumah tangga
di Propinsi Jawa Barat menurun setelah pasca krisis, sedangkan tingkat konsumsi
mie instan meningkat.
Dari penelitian terdahulu pada umumnya faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap ketahanan pangan rumah tangga hanya diukur dari besaran konsumsi, oleh
karenanya perlu dianalisis dari variabel-variabel sosial yang lain. Pertama, penelitian
ini menganalisis perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah
tangga yang diukur dari variabel sosial yang lain seperti: peran pemerintah yang
digambarkan menjadi variabel peran penyuluhan pertanian dan peran pamong desa;
modal manusia (human capital) digambarkan menjadi variabel sikap, motivasi dan
keyakinan diri (self efficacy); lembaga ekonomi yang digambarkan menjadi variabel
akses ke bank, akses ke Koperasi Unit Desa (KUD), kelompok tani dan lumbung
pangan; dan lingkungan sosial budaya yang digambarkan menjadi variabel tata nilai,
kepemimpinan informal, lembaga sosial, interaksi sosial dan penguasaan lahan.
Kedua, metode penelitian ini akan mengembangkan metode penelitian kuantitatif
yang didukung kualitatif seperti yang dikembangkan oleh Abbas Tashakkori dan
Charles Teddlie (1998).
1.1.3.Tujuan Penelitian
1. Menganalisis perbedaan perilaku petani miskin dalam mewujudkan
ketahanan pangan rumah tangga di lahan sawah dan lahan kering.
36
2. Menganalisis perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan
rumah tangga di lahan sawah diduga dipengaruhi oleh faktor : modal manusia
(human capital), lingkungan sosial budaya, lembaga ekonomi dan peran
pemerintah secara langsung maupun tidak langsung.
3. Menganalisis perilaku petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan
rumah tangga di lahan kering diduga dipengaruhi oleh factor : modal manusia
(human capital), lingkungan sosial budaya, lembaga ekonomi dan peran
pemerintah secara langsung maupun tidak langsung.
4. Menganalisis faktor-faktor berbeda yang diduga mempengaruhi perilaku
petani miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga di lahan
sawah dan lahan kering.
1.2. Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian adalah :
1. Manfaat hasil penelitian dapat memberikan sumbangan secara akademik untuk
mengembangkan teori-teori yang dipakai dalam menganalisis perilaku petani
miskin dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga maupun
mengembangkan metode penelitian metode kuantitatif yang didukung oleh
kualitatif yang dikembangkan di program studi S3 Penyuluhan dan Komunikasi
Pembangunan.
2. Manfaat bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan ketahanan pangan rumah
tangga yang dapat mensejahterakan petani miskin.