1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...
Transcript of 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah
dalam menyelenggarakan pemerintahan, kewenangan tersebut diberikan secara
profesional yang diwujudkan dengan peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber
daya nasional yang berkeadilan, serta pembagian-pembagian keuangan pusat dan
daerah sesuai dengan ketetapan MPR Republik Indonesia.
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk reformasi yang diselenggarakan oleh
pemerintah pusat, daerah propinsi, kota dan kabupaten. Otonomi daerah yang sedang
dilaksanakan dewasa ini menjadi satu diantara bentuk fenomena yang sangat menarik
untuk dikaji oleh berbagai kalangan.
Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat. Awal Januari 2001 merupakan tekad bersama baik aparat pusat maupun
aparat daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di wilayah nasional Indonesia yang
desentralisasi.
Rakyat menghendaki keterbukaan, kemandirian, serta pemberian wewenang
ataupun tugas dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam menjalankan rumah
tangganya.
1
2
Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah
menempatkan otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten dan kota.
Pemerintah daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi. Pemerintah daerah, dalam hal tugas dan wewenang memiliki
hubungan dengan pemerintah daerah lainnya, berdasarkan asas desentralisasi. Hal
yang mendasar dalam undang-undang ini adalah untuk mendorong pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa, kreativitas dan meningkatkan peran serta
masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Undang-undang nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan daerah
menjelaskan pula bahwa pemerintah daerah berhak dan berkewajiban melaksanakan
rumah tangga sendiri. Perimbangan daerah harus memperlihatkan keuangan yang
adil, proporsional, transparan, serta mempertimbangkan keadaan daerah yang
terdesentralisasi.
Reformasi anggaran dalam konteks otonomi memberikan paradigma baru
terhadap anggaran daerah, yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada
kepentingan umum. Anggaran harus mampu memberikan transparansi dan
akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.
Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah, menyatakan bahwa pendapatan daerah adalah hak pemerintah
daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan. Namun yang menjadi masalah saat ini, kendati sudah
o
h
n
(
p
a
R
s
m
k
d
s
otonomi, pe
hal penerima
Komp
nasional dap
(PAD), dan
perimbangan
atau Rp432
Rp140,302
sebesar Rp7
Pene
membiayai
kabupaten d
daerahnya. B
secara nasio
Sumb
merintah da
aan pendapa
posisi pend
pat dibagi d
na perimban
n masih me
2,697 triliun
triliun dan
9,866 triliun
erimaan mur
pemerintaha
di Jawa Ba
Berikut tabe
nal:
ber: Data APBD
aerah belum
atan asli daer
apatan daer
dalam 3 (tig
ngan dan lai
endominasi
n, sedangka
pendapatan
n.
rni daerah y
an dan pem
arat dituntut
el mengenai
D Konsolidasi
Trend APB
mampu men
rah termasuk
rah pada A
ga) bagian u
in-lain. Pen
sumber pen
an PAD h
n lain-lain d
yang merupa
mbangunan d
t untuk ma
realisasi AP
2009 - 2013 (D
Grafik.1.1BD (dalam M
ngoptimalka
k kota dan ka
APBD Tahun
utama, yaitu
ndapatan dae
ndapatan dae
hanya sebes
daerah yang
akan modal
di daerahnya
ampu menin
PBD kota d
(Diolah)
Milyar Rp)
an kemandir
abupaten di
n Anggaran
u Pendapatan
erah terlihat
erah yaitu s
sar 21,5%
sah sebesa
utama bagi
a. Pemerinta
ngkatkan pe
dan kabupate
riannya, dala
Jawa Barat.
n 2013 seca
n Asli Daer
t bahwa da
sebesar 66,3
atau sebes
ar 12,2% at
daerah dala
ahan kota d
endapatan a
en konsolida
3
am
ara
rah
ana
3%
sar
tau
am
dan
asli
asi
h
p
2
2
B
N
p
d
m
Grafi
hingga tahu
peningkatan
2012 sebesa
2013. (Sumb
Berikut tabe
Sumber
Namun pen
perimbangan
daerah terha
Komp
masing kota
k tersebut di
un 2013, pe
n pada tahun
ar Rp551,3 t
ber : Kement
el mengenai k
: Data APBD K
ningkatan p
n daerah. K
adap pusat.
posisi rasio
a dan kabupa
Trend Ko
i atas dapat
endapatan d
n 2013 sebes
triliun menin
terian Keuan
komposisi p
Konsolidasi 20
pendapatan
Komposisi te
pendapatan
aten di Jawa
omposisi Pe
kita ketahui
daerah men
sar 18,4%, d
ngkat menjad
ngan RI – D
pendapatan d
009 - 2013 (Dio
daerah tab
ersebut mem
asli daerah
a Barat masi
Grafikendapatan D
bahwa setia
ningkat rata-
dimana pend
di sebesar R
Dirjen Perimb
daerah secara
olah)
el di atas
mbuktikan k
terhadap pe
ih sangat kec
k 1.2 Daerah (tah
ap tahun, sej
-rata sebesa
dapatan daer
Rp652,9 trili
bangan Dae
a nasional:
masih did
ketergantung
endapatan d
cil. Hal ini m
un 2009 s.d
jak tahun 20
ar 15,6% d
rah pada tah
iun pada tah
erah : 2013).
dominasi da
an pemerint
daerah masin
mencermink
d 2013)
4
009
dan
hun
hun
.
ana
tah
ng-
kan
5
belum tergalinya potensi pendapatan asli daerah masing-masing kota dan kabupaten.
Pendapatan asli daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2013 rasionya rata-rata hanya
13,92% dari total pendapatan daerah kota-kabupaten di Jawa Barat.
Sumber pendapatan asli daerah adalah sebagai berikut : a) hasil pajak daerah.
b) hasil retribusi daerah. c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. d.
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Tabel 1.1 Prosentase Pendapatan Asli Daerah dari Total Pendapatan Daerah
(Dalam %) No Kota kabupaten Tahun PAD
1 Kab Cianjur 2013 4,21%
2 Kab Bandung 2013 12,37%
3 Kab Garut 2013 6,01%
4 Kab Tasikmalaya 2013 4,39%
5 Kab Ciamis 2013 5,16%
6 Kab Kuningan 2013 6,68%
7 Kab Cirebon 2013 10,48%
8 Kab Majalengka 2013 7,07%
9 Kab Sumedang 2013 8,71%
10 Kab Indramayu 2013 6,77%
11 Kab Subang 2013 7,68%
12 Kab Purwakarta 2013 14,02%
13 Kab Karawang 2013 17,21%
14 Kab Bekasi 2013 29,37%
15 Kab Bandung Barat 2013 12,20%
16 Kab Bogor 2013 27,36%
17 Kab Sukabumi 2013 8,68%
18 Kota Bogor 2013 19,66%
19 Kota Sukabumi 2013 16,94%
20 Kota Bandung 2013 29,33%
21 Kota Cirebon 2013 18,01%
22 Kota Bekasi 2013 28,63%
23 Kota Depok 2013 23,67%
6
No Kota kabupaten Tahun PAD
24 Kota Cimahi 2013 14,96%
25 Kota Tasikmalaya 2013 12,68%
26 Kota Banjar 2013 9,63%
Rata‐Rata 13,92%
Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah
Salah satu upaya peningkatan pendapatan daerah adalah dengan cara
meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat.
Upaya ini ditempuh dengan usaha identifikasi. Usaha identifikasi adalah usaha untuk
mencari dan menggali potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah kota dan
kabupaten di Jawa Barat yang baru atau belum ada. Usaha identifikasi ini mempunyai
ciri utama yaitu usaha untuk memungut pendapatan sepenuhnya dan dalam batas-
batas ketentuan yang ada.
Pertumbuhan ekonomi daerah merupakan salah satu faktor penentu
peningkatan pendapatan asli daerah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
indikator yang umum digunakan dalam menentukan keberhasilan pembangunan.
Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah, digunakan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) riil ( Rizal, 2013)
Propinsi Jawa Barat yang terdiri dari 26 kabupaten dan kota memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi yang positif. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2013. Propinsi Jawa
Barat dengan kapasitas fiskal yang tinggi serta didukung oleh potensi-potensi sumber
daya yang dimiliki, seharusnya dapat memaksimalkan keuntungannya tersebut untuk
dapat bersaing dengan propinsi yang lain.
7
Kapasitas fiskal merupakan kemampuan yang dimiliki daerah dalam proses
pembangunan yang meliputi, sumber daya manusia, sumber daya alam, tingkat
industri, serta kemampuan lain yang dimiliki daerah dalam upaya meningkatkan
jumlah PAD yang akan diterima.
Jumlah kabupaten dan kota yang terbilang cukup besar yakni sejumlah 26
kabupaten dan kota, yang secara administratif masuk di dalam pemerintahan daerah
propinsi Jawa Barat. Akan tetapi kondisi riil yang dapat dicapai, belum terlalu
menampakkan hasil yang memuaskan dalam proses pencapaian tujuan. Rata-rata
penurunan pertumbuhan ekonomi daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat adalah
sebesar -3%, seperit terlihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat
Tahun 2012-2013
No Kota/ Kabupaten PERTUMBUHAN EKONOMI
Tahun Kenaikan/Penurunan
2012 2013
1 Prov. Jawa Barat 6.48 6.21 -4% 2 Kab. Bekasi 6.26 6.22 -1% 3 Kab. Ciamis 5.11 4.99 -2% 4 Kab. Cianjur 4.74 5.08 7% 5 Kota Bandung 8.73 8.98 3% 6 Kota Cirebon 5.93 5.57 -6% 7 Kota Depok 6.58 7.15 9% 8 Kota Tasikmalaya 5.81 5.89 1% 9 Kab. Bandung 5.94 4.61 -22%
10 Kab. Bogor 5.96 5.94 0% 11 Kab. Cirebon 5.03 4.81 -4% 12 Kab. Garut 5.48 4.61 -16% 13 Kab. Indramayu 4.89 5.03 3% 14 Kab. Karawang 8.97 5.44 -39% 15 Kab. Kuningan 5.43 4.73 -13%
8
No Kota/ Kabupaten
PERTUMBUHAN EKONOMI
Tahun Kenaikan/Penurunan
2012 2013
16 Kab. Majalengka 4.67 4.76 2% 17 Kab. Purwakarta 6.4 6.31 -1% 18 Kab. Subang 4.45 4.52 2% 19 Kab. Sukabumi 4.07 4.34 7% 20 Kab. Sumedang 4.82 4.69 -3% 21 Kab. Tasikmalaya 4.32 4.32 0% 22 Kota Bekasi 7.08 6.85 -1% 23 Kota Bogor 6.19 6.15 -1% 24 Kota Sukabumi 6.31 5.29 7% 25 Kota Cimahi 5.56 5.24 -6% 26 Kota Banjar 5.35 5.26 -2% 27 Kab. Bandung Barat 5.75 6.04 5%
Rata-Rata -3%
Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi di Propinsi
Jawa Barat mengalami fluktuasi selama pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2012-
2013. Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada Kota Depok dengan kenaikan
pertumbuhan 9%, diikuti dengan Kabupaten dan Kota Sukabumi, dan Kabupaten
Cianjur. Pertumbuhan ekonomi yang paling rendah terdapat di Kabupaten Karawang
dan Kabupaten Bandung.
Pertumbuhan ekonomi daerah bukan satu-satunya indikator dalam peningkatan
pendapatan asli daerah. Namun pertumbuhan ekonomi daerah yang kadang naik dan
turun ini, menunjukkan bahwa kinerja ekonomi yang kurang baik pada pemerintahan
kota dan kabupaten. Hal ini menunjukkan dalam era desentralisasi fiskal, dimana
daerah diberi kewenangan dalam mengatur keuangan daerahnya, ternyata banyak
9
kabupaten dan kota yang belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam
pertumbuhan ekonominya.
Kenaikan dan penurunan pertumbuhan ekonomi daerah ditentukan pula oleh
pengeluaran pemerintah. Komposisi pengeluaran pemerintah daerah menentukan
pertumbuhan ekonomi daerah. Pengeluaran pemerintah daerah yang produktif juga
menentukan kenaikan dan penurunan pertumbuhan ekonomi daerah
Teori Rostow menjelaskan bahwa ada tahap-tahap yang dilewati suatu negara
atau daerah dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu cara untuk mempercepat
Pertumbuhan ekonomi adalah dengan memperkuat tabungan nasional. Teori ini
diperjelas lagi dengan teori Harord-Domar yang menyebutkan bahwa semakin banyak
porsi pendapatan domestik bruto daerah yang ditabung, akan menambah capital
stock, sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua teori tersebut
menjelaskan bahwa tingkat tabungan dan capital stock yang tinggi akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia – Direktur Jenderal Perimbangan
Daerah mempunyai data, bahwa belanja daerah secara nasional pada Tahun Anggaran
2013 mencapai Rp707,083 triliun. Belanja pegawai porsinya masih dominan yaitu
mencapai 41,9% atau sebesar Rp296,540 triliun. Belanja modal mencapai Rp175,578
triliun atau sebesar 24,8%. Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp148,012 triliun atau
20,9%.
10
Belanja pegawai semakin mendominasi beban anggaran pendapatan dan belanja
daerah kota dan kabupaten di Indonesia. Belanja pegawai menjadi momok tersendiri
dalam pengeluaran anggaran daerah tiap tahunnya.
APBD seharusnya untuk kualitas pelayanan publik dan kepentingan
masyarakat. Dominasi belanja pegawai di APBD pada setiap tahun anggaran akan
mengurangi kesempatan belanja non pegawai (belanja modal, barang dan jasa), yang
digunakan semestinya untuk kesejahteraan masyarakat dan penyediaan fasilitas
publik. (Warta Ekonomi : 2013)
Data dari kementerian dalam negeri, rata-rata belanja pegawai sebesar 42% dari
APBD propinsi, kabupaten dan kota pada tahun anggaran 2012. Sedangkan porsi
belanja barang dan jasa sebesar 20%, serta belanja modal 22%. Sehingga, APBD
setiap daerah cenderung banyak dikuasai untuk membayar gaji Pegawai Negara Sipil
(PNS) dan berbagai kegiatan PNS dibandingkan belanja infrastruktur. Apalagi, pada
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah
menargetkan porsi belanja modal dalam APBD hanya sebesar 29% pada 2013 dan
30% pada 2014. Maka, perlu adanya pengendalian belanja pemerintah daerah dalam
porsi untuk belanja pegawai, belanja modal serta belanja barang dan jasa.
Warta Ekonomi mengadakan riset tentang pemeringkatan belanja pegawai
terbesar tahun 2013 pada 491 kabupaten dan kota se-Indonesia. Metodologi
berdasarkan acuan kementerian keuangan, yakni menghitung rasio realisasi belanja
pegawai terhadap total belanja daerah selama tahun anggaran 2008 hingga 2012.
Rasio tersebut mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja
11
pegawai. Data belanja pegawai yang digunakan ialah belanja pegawai langsung dan
belanja pegawai tidak langsung. Setelah dihitung rasio belanja pegawai terhadap total
belanja, lalu dihitung rerata selama lima tahun tersebut. Selanjutnya diperingkat dari
tertinggi hingga terendah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, maka
semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk pegawai, begitu pula
sebaliknya. Dari hasil perhitungan, realisasi porsi APBD untuk belanja pegawai pada
50 daerah berkisar 65% hingga 75%.
Rata-rata realisasi belanja pegawai daerah masih didominasi wilayah Jawa.
disusul wilayah Sumatera. Rata-rata realisasi porsi APBD untuk belanja pegawai
tertinggi terjadi pada Kabupaten Klaten hingga mencapai 74%. Disusul Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten
Purworejo. Rata-rata besarnya realisasi belanja pegawai daerah selama lima tahun,
didominasi Propinsi Jawa Tengah (Kab. Klaten, Kab. Wonogiri, Kab. Purworejo dan
Kab. Sragen), Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Kuningan dan Sumedang). Kemudian
Propinsi Yogyakarta (Kab. Gunung Kidul dan Kab. Kulon Progo). (Warta Ekonomi
:2013).
Jurnal ekonomi pembangunan mengutarakan hubungan antara pertumbuhan
ekonomi dan belanja daerah, atau lebih umumnya ukuran dari sektor publik menjadi
subyek yang penting untuk dianalisis dan diperdebatkan. Fakta menunjukkan bahwa
pertama, hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi
tidak ada yang konsisten, bisa positif bisa negatif. Hasil dan bukti berbeda di negara
maupun di daerah. Folster dan Henrekson (1999) berargumen bahwa hubungannya
12
negatif, sementara agell at. (1999) menemukan hubungan yang tidak signifikan.
Kedua, sifat dari pengeluaran publik akan tergantung dari kondisinya. Mengikuti
Barro (1990) konstribusi pengeluaran yang produktif terhadap pertumbuhan, dan
sebaliknya untuk pengeluaran yang tidak produktif. Akhirnya tidak ada pernyataan
mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan
ekonomi (folster dan henrekson dalam Jamjani Zodik:2007;27-28).
Penelitian oleh Maulana Malik Iskandar (2012) bahwa belanja modal, dana
perimbangan, kualitas pengelolaan daerah dan pertumbuhan jumlah penduduk tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Penelitian lain oleh Jamzani
Sodik (2007) bahwa pengeluaran pemerintah (baik pengeluaran pembangunan
maupun pengeluaran rutin) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
Hal tersebut menandakan bahwa pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah tidak selalu konsisten.
Beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas memiliki hasil yang beragam,
namun penulis memiliki data yang telah diolah sendiri oleh peneliti mengenai belanja
daerah dan pertumbuhan ekonomi yang dapat menjadi fenomena menarik untuk dapat
diteliti.
Penulis melihat bahwa kajian ini menarik untuk dianalisis, sehingga dapat
memberikan informasi mengapa kenaikan belanja daerah tidak seiring dengan
kenaikan pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus kita dapat mengetahui lebih jauh
apakah belanja daerah memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah.
13
Tabel 1.3 Belanja Daerah dan Pertumbuhan ekonomi
Propinsi Jawa BaratTahun 2012-2013
No Kota/
Kabupaten
BELANJA DAERAH PERTUMBUHAN
EKONOMI
Tahun Kenaikan/Penur
unan
Tahun Kenaikan/Penur
unan 2011 2012 201
1 201
2
1 Prov. Jawa 10,296,9 13,761,3 34% 6.4 6.2 -4%
2 Kab. Bekasi 2,323,24 2,600,80 12% 6.2 6.2 -1%
3 Kab. Ciamis 1,626,15 1,764,18 8% 5.1 4.9 -2%
4 Kab. Cianjur 1,777,60 1,972,49 11% 4.7 5.0 7%
5 Kota Bandung 3,080,34 3,490,04 13% 8.7 8.9 3%
6 Kota Cirebon 818,299 813,672 -1% 5.9 5.5 -6%
7 Kota Depok 1,350,08 1,371,44 2% 6.5 7.1 9%
8 Kota 917,531 1,035,03 13% 5.8 5.8 1%
9 Kab. Bandung 2,428,38 2,788,97 15% 5.9 4.6 -22%
10 Kab. Bogor 3,209,78 3,622,07 13% 5.9 5.9 0%
11 Kab. Cirebon 1,683,61 2,033,14 21% 5.0 4.8 -4%
12 Kab. Garut 2,011,15 2,131,94 6% 5.4 4.6 -16%
13 Kab. 1,569,01 1,843,45 17% 4.8 5.0 3%
14 Kab. 1,832,29 2,382,74 30% 8.9 5.4 -39%
15 Kab. Kuningan 1,247,37 1,434,01 15% 5.4 4.7 -13%
16 Kab. 1,287,19 1,525,08 18% 4.6 4.7 2%
17 Kab. 962,771 1,114,44 16% 6.4 6.3 -1%
18 Kab. Subang 1,351,79 1,481,61 10% 4.4 4.5 2%
19 Kab. 1,837,10 1,984,31 8% 4.0 4.3 7%
20 Kab. 1,241,80 1,424,52 15% 4.8 4.6 -3%
21 Kab. 1,501,36 1,820,80 21% 4.3 4.3 0%
22 Kota Bekasi 1,981,34 2,499,56 26% 7.0 6.8 -1%
23 Kota Bogor 1,074,57 1,255,35 17% 6.1 6.1 -1%
24 Kota 624,504 714,436 14% 6.3 5.2 7%
25 Kota Cimahi 738,304 833,412 13% 5.5 5.2 -6%
26 Kota Banjar 484,464 513,257 6% 5.3 5.2 -2%
27 Kab. Bandung 1,251,59 1,501,19 20% 5.7 6.0 5%
Rata-rata 15% Rata-Rata -3% Sumber Data : www.djpk.depkeu.go.id & http://jabar.bps.go.id (data yang telah diolah).
Rata-rata belanja daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat terdapat kenaikan 15
% dari tahun 2011 sampai dengan 2012, namun sebaliknya rata rata pertumbuhan
14
ekonomi daerah terdapat penurunan sebesar 3 % dari tahun 2011 sampai dengan
2012.
Pada komponen belanja daerah juga nampak seberapa besar porsi belanja
daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya mengubah
komposisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk
belanja rutin yang relatif kurang produktif.
Rata-rata belanja operasi kota dan kabupaten di Jawa Barat adalah sebesar
78,71% dan belanja modal sebesar 20,04% dari total belanja daerah seperti yang
diterangkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1.4 Persentase Belanja Operasi dan Belanja modal dari Total Belanja Daerah
(Dalam Milyar Rp.) No Kota kabupaten Tahun B_Operasi B_Modal
1 Kab Cianjur 2013 82,76% 13,60%
2 Kab Bandung 2013 75,54% 14,89%
3 Kab Garut 2013 75,43% 23,45%
4 Kab Tasikmalaya 2013 84,81% 14,00%
5 Kab Ciamis 2013 83,54% 15,19%
6 Kab Kuningan 2013 84,24% 14,78%
7 Kab Cirebon 2013 85,38% 14,45%
8 Kab Majalengka 2013 80,48% 19,19%
9 Kab Sumedang 2013 85,30% 13,19%
10 Kab Indramayu 2013 87,17% 10,90%
11 Kab Subang 2013 82,26% 17,03%
12 Kab Purwakarta 2013 77,94% 19,45%
13 Kab Karawang 2013 74,24% 23,72%
14 Kab Bekasi 2013 62,21% 31,55%
15 Kab Bandung Barat 2013 85,47% 17,61%
16 Kab Bogor 2013 88,50% 33,35%
15
No Kota kabupaten Tahun B_Operasi B_Modal
17 Kab Sukabumi 2013 86,96% 10,40%
18 Kota Bogor 2013 76,65% 18,79%
19 Kota Sukabumi 2013 83,29% 16,11%
20 Kota Bandung 2013 67,77% 31,51%
21 Kota Cirebon 2013 81,16% 15,73%
22 Kota Bekasi 2013 69,07% 29,78%
23 Kota Depok 2013 57,31% 34,32%
24 Kota Cimahi 2013 83,78% 15,15%
25 Kota Tasikmalaya 2013 79,11% 19,62%
26 Kota Banjar 2013 66,20% 33,27%
Rata‐rata 78,71% 20,04%
Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah
Pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya
untuk melakukan aktivitas pembangunan. Dengan kata lain belanja modal dilakukan
dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang
memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah
pengeluaran untuk biaya pemeliharaan, yang sifatnya mempertahankan atau
menambah manfaat dan meningkatkan kapasitas serta kualitas asset.
Hal ini menjadi menarik untuk diteliti sehingga kita mengetahui apakah belanja
daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, dan bagaimana
implikasinya terhadap pendapatan asli daerah. Hal ini yang menjadi tema sentral
menarik untuk kami teliti.
Berdasarkan paparan data dan fakta di atas, dapat disimpulkan beberapa hal
yang mendasari penulis untuk membuat judul tesis ini, adalah :
1. Komposisi pendapatan daerah pada APBD TA 2013 secara nasional dapat
dibagi dalam 3 (tiga) bagian utama, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana
16
perimbangan dan pendapatan lain-lain. Pendapatan daerah terlihat bahwa dana
perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan daerah yaitu sebesar
66,3% atau Rp432,697 triliun, sedangkan PAD hanya sebesar 21,5% atau
sebesar Rp140,302 triliun dan pendapatan lain-lain daerah yang sah sebesar
12,2% atau sebesar Rp79,866 triliun.
2. Komposisi rasio pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah masing-
masing kota dan kabupaten di Jawa Barat masih sangat kecil. Hal ini
mencerminkan belum tergalinya potensi pendapatan asli daerah masing-masing
kota dan kabupaten. Pendapatan asli daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2013
rasionya rata-rata hanya 13,92% dari total pendapatan daerah kota-kabupaten di
Jawa Barat.
3. Rata-rata penurunan pertumbuhan ekonomi daerah kota dan kabupaten di Jawa
Barat adalah sebesar -3%.
4. Rata-rata belanja pegawai sebesar 42% dari APBD propinsi, kabupaten dan
kota pada tahun anggaran 2012. Dominasi belanja pegawai di APBD pada
setiap tahun anggaran akan mengurangi kesempatan belanja non pegawai
(belanja modal, barang dan jasa), yang digunakan semestinya untuk
kesejahteraan masyarakat dan penyediaan fasilitas publik. Apakah alasan
pemerintah mengenai kebijakan komposisi belanja ini dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi daerah.
5. Komposisi rata-rata belanja operasi sebesar 78,71% dan Belanja modal di kota
dan kabupaten di Jawa Barat hanya 20,04% dari Total Belanja.
17
6. Bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi
tidak ada yang konsisten, bisa positif bisa negatif, dan tidak berpengaruh secara
signifikan, dibuktikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. (Folster dan
Henrekson dalam Jamjani Zodik:2007:27-28).
7. Tidak ada pernyataan mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah
dengan Pertumbuhan ekonomi (Folster dan Henrekson dalam Jamjani
Zodik:2007:27-28).
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti dengan mengambil
judul “Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan
Implikasinya terhadap Pendapatan Asli Daerah” (Studi Empiris Pada kota dan
kabupaten di Propinsi Jawa Barat)
1.2. Rumusan Masalah
Dari pertanyaan masalah pokok tersebut, maka sub-sub pertanyaan masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Seberapa besar terdapat pengaruh belanja operasi terhadap pertumbuhan
ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
2. Seberapa besar terdapat pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan
ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
3. Seberapa besar belanja operasi dan belanja modal berpengaruh secara simultan
terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
18
4. Seberapa besar terdapat implikasi pertumbuhan ekonomi daerah terhadap
pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui seberapa besar terdapat pengaruh belanja operasi terhadap
pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
2. Untuk mengetahui seberapa besar terdapat pengaruh belanja modal terhadap
pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
3. Untuk mengetahui seberapa besar belanja operasi dan belanja modal
berpengaruh secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten
di Propinsi Jawa Barat.
4. Untuk mengetahui seberapa besar terdapat implikasi pertumbuhan ekonomi
daerah terhadap pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Propinsi Jawa
Barat.
1.4. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat,
mengenai akuntabilitas pengelolaan dana publik untuk kesejahteraan
masyarakat.
2. Memberikan pemahaman kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat
keterkaitan antara pendapatan asli daerah, pertumbuhan ekonomi daerah,
19
belanja operasi dan belanja modal di kota dan kabupaten di Propinsi Jawa
Barat.
3. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat,
pertumbuhan ekonomi berdampak signifikan atau tidak dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah di kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
4. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat,
bahwa belanja daerah berpengaruh signifikan atau tidak dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.
5. Bagi penulis, penelitian ini sangat berguna untuk menambah pemahaman
mengenai akuntansi sektor publik, kaitannya dengan belanja daerah dan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi terhadap
pendapatan asli daerah Propinsi di Jawa Barat.
1.5. Batasan Masalah
Batasan waktu yang dipilih adalah tahun realisasi anggaran 2009 s.d 2013,
penetapan waktu dipilih karena data tersebut lebih “up-date”, sedangkan batasan
daerah yang dipilih adalah di 26 kota dan kabupaten di Jawa Barat, karena Jawa Barat
adalah salah satu propinsi yang memiliki rata-rata realisasi belanja operasi lebih besar
dari daerah lainnya. Kemudian untuk belanja daerah dibatasi klasifikasi belanja
menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi belanja operasi,
belanja modal, berdasar pada PP No. 71 Tahun 2010 dan PSAP No2.
20
Bidang kajian penelitian ini berkaitan dengan Akuntansi Sektor Publik,
khususnya mengenai realisasi anggaran di daerah dan kaitannya dengan ekonomi
pembangunan serta pertumbuhan ekonomi di daerah.