1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

20
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta pembagian-pembagian keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR Republik Indonesia. Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk reformasi yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, daerah propinsi, kota dan kabupaten. Otonomi daerah yang sedang dilaksanakan dewasa ini menjadi satu diantara bentuk fenomena yang sangat menarik untuk dikaji oleh berbagai kalangan. Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Awal Januari 2001 merupakan tekad bersama baik aparat pusat maupun aparat daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di wilayah nasional Indonesia yang desentralisasi. Rakyat menghendaki keterbukaan, kemandirian, serta pemberian wewenang ataupun tugas dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam menjalankan rumah tangganya. 1

Transcript of 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

Page 1: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

1  

  

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

dalam menyelenggarakan pemerintahan, kewenangan tersebut diberikan secara

profesional yang diwujudkan dengan peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber

daya nasional yang berkeadilan, serta pembagian-pembagian keuangan pusat dan

daerah sesuai dengan ketetapan MPR Republik Indonesia.

Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk reformasi yang diselenggarakan oleh

pemerintah pusat, daerah propinsi, kota dan kabupaten. Otonomi daerah yang sedang

dilaksanakan dewasa ini menjadi satu diantara bentuk fenomena yang sangat menarik

untuk dikaji oleh berbagai kalangan.

Daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas

daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat. Awal Januari 2001 merupakan tekad bersama baik aparat pusat maupun

aparat daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di wilayah nasional Indonesia yang

desentralisasi.

Rakyat menghendaki keterbukaan, kemandirian, serta pemberian wewenang

ataupun tugas dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam menjalankan rumah

tangganya.

1

Page 2: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

2  

  

Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah

menempatkan otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten dan kota.

Pemerintah daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah daerah dan DPRD

menurut asas otonomi. Pemerintah daerah, dalam hal tugas dan wewenang memiliki

hubungan dengan pemerintah daerah lainnya, berdasarkan asas desentralisasi. Hal

yang mendasar dalam undang-undang ini adalah untuk mendorong pemberdayaan

masyarakat, menumbuhkan prakarsa, kreativitas dan meningkatkan peran serta

masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi DPRD.

Undang-undang nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan daerah

menjelaskan pula bahwa pemerintah daerah berhak dan berkewajiban melaksanakan

rumah tangga sendiri. Perimbangan daerah harus memperlihatkan keuangan yang

adil, proporsional, transparan, serta mempertimbangkan keadaan daerah yang

terdesentralisasi.

Reformasi anggaran dalam konteks otonomi memberikan paradigma baru

terhadap anggaran daerah, yaitu bahwa anggaran daerah harus bertumpu pada

kepentingan umum. Anggaran harus mampu memberikan transparansi dan

akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.

Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah, menyatakan bahwa pendapatan daerah adalah hak pemerintah

daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun

anggaran yang bersangkutan. Namun yang menjadi masalah saat ini, kendati sudah

Page 3: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

 

 

o

h

n

(

p

a

R

s

m

k

d

s

otonomi, pe

hal penerima

Komp

nasional dap

(PAD), dan

perimbangan

atau Rp432

Rp140,302

sebesar Rp7

Pene

membiayai

kabupaten d

daerahnya. B

secara nasio

Sumb

merintah da

aan pendapa

posisi pend

pat dibagi d

na perimban

n masih me

2,697 triliun

triliun dan

9,866 triliun

erimaan mur

pemerintaha

di Jawa Ba

Berikut tabe

nal:

ber: Data APBD

aerah belum

atan asli daer

apatan daer

dalam 3 (tig

ngan dan lai

endominasi

n, sedangka

pendapatan

n.

rni daerah y

an dan pem

arat dituntut

el mengenai

D Konsolidasi

Trend APB 

mampu men

rah termasuk

rah pada A

ga) bagian u

in-lain. Pen

sumber pen

an PAD h

n lain-lain d

yang merupa

mbangunan d

t untuk ma

realisasi AP

2009 - 2013 (D

Grafik.1.1BD (dalam M

ngoptimalka

k kota dan ka

APBD Tahun

utama, yaitu

ndapatan dae

ndapatan dae

hanya sebes

daerah yang

akan modal

di daerahnya

ampu menin

PBD kota d

(Diolah)

Milyar Rp)

an kemandir

abupaten di

n Anggaran

u Pendapatan

erah terlihat

erah yaitu s

sar 21,5%

sah sebesa

utama bagi

a. Pemerinta

ngkatkan pe

dan kabupate

riannya, dala

Jawa Barat.

n 2013 seca

n Asli Daer

t bahwa da

sebesar 66,3

atau sebes

ar 12,2% at

daerah dala

ahan kota d

endapatan a

en konsolida

am

ara

rah

ana

3%

sar

tau

am

dan

asli

asi

Page 4: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

 

 

h

p

2

2

B

N

p

d

m

Grafi

hingga tahu

peningkatan

2012 sebesa

2013. (Sumb

Berikut tabe

Sumber

Namun pen

perimbangan

daerah terha

Komp

masing kota

k tersebut di

un 2013, pe

n pada tahun

ar Rp551,3 t

ber : Kement

el mengenai k

: Data APBD K

ningkatan p

n daerah. K

adap pusat.

posisi rasio

a dan kabupa

Trend Ko

i atas dapat

endapatan d

n 2013 sebes

triliun menin

terian Keuan

komposisi p

Konsolidasi 20

pendapatan

Komposisi te

pendapatan

aten di Jawa

omposisi Pe

 

kita ketahui

daerah men

sar 18,4%, d

ngkat menjad

ngan RI – D

pendapatan d

009 - 2013 (Dio

daerah tab

ersebut mem

asli daerah

a Barat masi

Grafikendapatan D

bahwa setia

ningkat rata-

dimana pend

di sebesar R

Dirjen Perimb

daerah secara

olah)

el di atas

mbuktikan k

terhadap pe

ih sangat kec

k 1.2 Daerah (tah

ap tahun, sej

-rata sebesa

dapatan daer

Rp652,9 trili

bangan Dae

a nasional:

masih did

ketergantung

endapatan d

cil. Hal ini m

un 2009 s.d

jak tahun 20

ar 15,6% d

rah pada tah

iun pada tah

erah : 2013).

dominasi da

an pemerint

daerah masin

mencermink

d 2013)

009

dan

hun

hun

.

ana

tah

ng-

kan

Page 5: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

5  

  

belum tergalinya potensi pendapatan asli daerah masing-masing kota dan kabupaten.

Pendapatan asli daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2013 rasionya rata-rata hanya

13,92% dari total pendapatan daerah kota-kabupaten di Jawa Barat.

Sumber pendapatan asli daerah adalah sebagai berikut : a) hasil pajak daerah.

b) hasil retribusi daerah. c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. d.

lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Tabel 1.1 Prosentase Pendapatan Asli Daerah dari Total Pendapatan Daerah

(Dalam %) No  Kota kabupaten Tahun PAD

1  Kab Cianjur  2013  4,21%

2  Kab Bandung  2013  12,37%

3  Kab Garut  2013  6,01%

4  Kab Tasikmalaya  2013  4,39%

5  Kab Ciamis  2013  5,16%

6  Kab Kuningan  2013  6,68%

7  Kab Cirebon  2013  10,48%

8  Kab Majalengka  2013  7,07%

9  Kab Sumedang  2013  8,71%

10  Kab Indramayu  2013  6,77%

11  Kab Subang  2013  7,68%

12  Kab Purwakarta  2013  14,02%

13  Kab Karawang  2013  17,21%

14  Kab Bekasi  2013  29,37%

15  Kab Bandung Barat  2013  12,20%

16  Kab Bogor  2013  27,36%

17  Kab Sukabumi  2013  8,68%

18  Kota Bogor  2013  19,66%

19  Kota Sukabumi  2013  16,94%

20  Kota Bandung  2013  29,33%

21  Kota Cirebon  2013  18,01%

22  Kota Bekasi  2013  28,63%

23  Kota Depok  2013  23,67%

Page 6: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

6  

  

No  Kota kabupaten Tahun PAD

24  Kota Cimahi  2013  14,96%

25  Kota Tasikmalaya  2013  12,68%

26  Kota Banjar  2013  9,63%

Rata‐Rata  13,92%

Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah

Salah satu upaya peningkatan pendapatan daerah adalah dengan cara

meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat.

Upaya ini ditempuh dengan usaha identifikasi. Usaha identifikasi adalah usaha untuk

mencari dan menggali potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah kota dan

kabupaten di Jawa Barat yang baru atau belum ada. Usaha identifikasi ini mempunyai

ciri utama yaitu usaha untuk memungut pendapatan sepenuhnya dan dalam batas-

batas ketentuan yang ada.

Pertumbuhan ekonomi daerah merupakan salah satu faktor penentu

peningkatan pendapatan asli daerah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu

indikator yang umum digunakan dalam menentukan keberhasilan pembangunan.

Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah, digunakan Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) riil ( Rizal, 2013)

Propinsi Jawa Barat yang terdiri dari 26 kabupaten dan kota memiliki tingkat

pertumbuhan ekonomi yang positif. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2013. Propinsi Jawa

Barat dengan kapasitas fiskal yang tinggi serta didukung oleh potensi-potensi sumber

daya yang dimiliki, seharusnya dapat memaksimalkan keuntungannya tersebut untuk

dapat bersaing dengan propinsi yang lain.

Page 7: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

7  

  

Kapasitas fiskal merupakan kemampuan yang dimiliki daerah dalam proses

pembangunan yang meliputi, sumber daya manusia, sumber daya alam, tingkat

industri, serta kemampuan lain yang dimiliki daerah dalam upaya meningkatkan

jumlah PAD yang akan diterima.

Jumlah kabupaten dan kota yang terbilang cukup besar yakni sejumlah 26

kabupaten dan kota, yang secara administratif masuk di dalam pemerintahan daerah

propinsi Jawa Barat. Akan tetapi kondisi riil yang dapat dicapai, belum terlalu

menampakkan hasil yang memuaskan dalam proses pencapaian tujuan. Rata-rata

penurunan pertumbuhan ekonomi daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat adalah

sebesar -3%, seperit terlihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Kota dan Kabupaten di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2012-2013

No Kota/ Kabupaten PERTUMBUHAN EKONOMI

Tahun Kenaikan/Penurunan

2012 2013

1 Prov. Jawa Barat 6.48 6.21 -4% 2 Kab. Bekasi 6.26 6.22 -1% 3 Kab. Ciamis 5.11 4.99 -2% 4 Kab. Cianjur 4.74 5.08 7% 5 Kota Bandung 8.73 8.98 3% 6 Kota Cirebon 5.93 5.57 -6% 7 Kota Depok 6.58 7.15 9% 8 Kota Tasikmalaya 5.81 5.89 1% 9 Kab. Bandung 5.94 4.61 -22%

10 Kab. Bogor 5.96 5.94 0% 11 Kab. Cirebon 5.03 4.81 -4% 12 Kab. Garut 5.48 4.61 -16% 13 Kab. Indramayu 4.89 5.03 3% 14 Kab. Karawang 8.97 5.44 -39% 15 Kab. Kuningan 5.43 4.73 -13%

Page 8: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

8  

  

No Kota/ Kabupaten

PERTUMBUHAN EKONOMI

Tahun Kenaikan/Penurunan

2012 2013

16 Kab. Majalengka 4.67 4.76 2% 17 Kab. Purwakarta 6.4 6.31 -1% 18 Kab. Subang 4.45 4.52 2% 19 Kab. Sukabumi 4.07 4.34 7% 20 Kab. Sumedang 4.82 4.69 -3% 21 Kab. Tasikmalaya 4.32 4.32 0% 22 Kota Bekasi 7.08 6.85 -1% 23 Kota Bogor 6.19 6.15 -1% 24 Kota Sukabumi 6.31 5.29 7% 25 Kota Cimahi 5.56 5.24 -6% 26 Kota Banjar 5.35 5.26 -2% 27 Kab. Bandung Barat 5.75 6.04 5%

Rata-Rata -3%

Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi di Propinsi

Jawa Barat mengalami fluktuasi selama pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2012-

2013. Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada Kota Depok dengan kenaikan

pertumbuhan 9%, diikuti dengan Kabupaten dan Kota Sukabumi, dan Kabupaten

Cianjur. Pertumbuhan ekonomi yang paling rendah terdapat di Kabupaten Karawang

dan Kabupaten Bandung.

Pertumbuhan ekonomi daerah bukan satu-satunya indikator dalam peningkatan

pendapatan asli daerah. Namun pertumbuhan ekonomi daerah yang kadang naik dan

turun ini, menunjukkan bahwa kinerja ekonomi yang kurang baik pada pemerintahan

kota dan kabupaten. Hal ini menunjukkan dalam era desentralisasi fiskal, dimana

daerah diberi kewenangan dalam mengatur keuangan daerahnya, ternyata banyak

Page 9: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

9  

  

kabupaten dan kota yang belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam

pertumbuhan ekonominya.

Kenaikan dan penurunan pertumbuhan ekonomi daerah ditentukan pula oleh

pengeluaran pemerintah. Komposisi pengeluaran pemerintah daerah menentukan

pertumbuhan ekonomi daerah. Pengeluaran pemerintah daerah yang produktif juga

menentukan kenaikan dan penurunan pertumbuhan ekonomi daerah

  Teori Rostow menjelaskan bahwa ada tahap-tahap yang dilewati suatu negara

atau daerah dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu cara untuk mempercepat

Pertumbuhan ekonomi adalah dengan memperkuat tabungan nasional. Teori ini

diperjelas lagi dengan teori Harord-Domar yang menyebutkan bahwa semakin banyak

porsi pendapatan domestik bruto daerah yang ditabung, akan menambah capital

stock, sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua teori tersebut

menjelaskan bahwa tingkat tabungan dan capital stock yang tinggi akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia – Direktur Jenderal Perimbangan

Daerah mempunyai data, bahwa belanja daerah secara nasional pada Tahun Anggaran

2013 mencapai Rp707,083 triliun. Belanja pegawai porsinya masih dominan yaitu

mencapai 41,9% atau sebesar Rp296,540 triliun. Belanja modal mencapai Rp175,578

triliun atau sebesar 24,8%. Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp148,012 triliun atau

20,9%.

Page 10: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

10  

  

Belanja pegawai semakin mendominasi beban anggaran pendapatan dan belanja

daerah kota dan kabupaten di Indonesia. Belanja pegawai menjadi momok tersendiri

dalam pengeluaran anggaran daerah tiap tahunnya.

APBD seharusnya untuk kualitas pelayanan publik dan kepentingan

masyarakat. Dominasi belanja pegawai di APBD pada setiap tahun anggaran akan

mengurangi kesempatan belanja non pegawai (belanja modal, barang dan jasa), yang

digunakan semestinya untuk kesejahteraan masyarakat dan penyediaan fasilitas

publik. (Warta Ekonomi : 2013)

Data dari kementerian dalam negeri, rata-rata belanja pegawai sebesar 42% dari

APBD propinsi, kabupaten dan kota pada tahun anggaran 2012. Sedangkan porsi

belanja barang dan jasa sebesar 20%, serta belanja modal 22%. Sehingga, APBD

setiap daerah cenderung banyak dikuasai untuk membayar gaji Pegawai Negara Sipil

(PNS) dan berbagai kegiatan PNS dibandingkan belanja infrastruktur. Apalagi, pada

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah

menargetkan porsi belanja modal dalam APBD hanya sebesar 29% pada 2013 dan

30% pada 2014. Maka, perlu adanya pengendalian belanja pemerintah daerah dalam

porsi untuk belanja pegawai, belanja modal serta belanja barang dan jasa.

Warta Ekonomi mengadakan riset tentang pemeringkatan belanja pegawai

terbesar tahun 2013 pada 491 kabupaten dan kota se-Indonesia. Metodologi

berdasarkan acuan kementerian keuangan, yakni menghitung rasio realisasi belanja

pegawai terhadap total belanja daerah selama tahun anggaran 2008 hingga 2012.

Rasio tersebut mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja

Page 11: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

11  

  

pegawai. Data belanja pegawai yang digunakan ialah belanja pegawai langsung dan

belanja pegawai tidak langsung. Setelah dihitung rasio belanja pegawai terhadap total

belanja, lalu dihitung rerata selama lima tahun tersebut. Selanjutnya diperingkat dari

tertinggi hingga terendah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, maka

semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk pegawai, begitu pula

sebaliknya. Dari hasil perhitungan, realisasi porsi APBD untuk belanja pegawai pada

50 daerah berkisar 65% hingga 75%.

Rata-rata realisasi belanja pegawai daerah masih didominasi wilayah Jawa.

disusul wilayah Sumatera. Rata-rata realisasi porsi APBD untuk belanja pegawai

tertinggi terjadi pada Kabupaten Klaten hingga mencapai 74%. Disusul Kabupaten

Pandeglang, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten

Purworejo. Rata-rata besarnya realisasi belanja pegawai daerah selama lima tahun,

didominasi Propinsi Jawa Tengah (Kab. Klaten, Kab. Wonogiri, Kab. Purworejo dan

Kab. Sragen), Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Kuningan dan Sumedang). Kemudian

Propinsi Yogyakarta (Kab. Gunung Kidul dan Kab. Kulon Progo). (Warta Ekonomi

:2013).

Jurnal ekonomi pembangunan mengutarakan hubungan antara pertumbuhan

ekonomi dan belanja daerah, atau lebih umumnya ukuran dari sektor publik menjadi

subyek yang penting untuk dianalisis dan diperdebatkan. Fakta menunjukkan bahwa

pertama, hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi

tidak ada yang konsisten, bisa positif bisa negatif. Hasil dan bukti berbeda di negara

maupun di daerah. Folster dan Henrekson (1999) berargumen bahwa hubungannya

Page 12: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

12  

  

negatif, sementara agell at. (1999) menemukan hubungan yang tidak signifikan.

Kedua, sifat dari pengeluaran publik akan tergantung dari kondisinya. Mengikuti

Barro (1990) konstribusi pengeluaran yang produktif terhadap pertumbuhan, dan

sebaliknya untuk pengeluaran yang tidak produktif. Akhirnya tidak ada pernyataan

mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan

ekonomi (folster dan henrekson dalam Jamjani Zodik:2007;27-28).

Penelitian oleh Maulana Malik Iskandar (2012) bahwa belanja modal, dana

perimbangan, kualitas pengelolaan daerah dan pertumbuhan jumlah penduduk tidak

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Penelitian lain oleh Jamzani

Sodik (2007) bahwa pengeluaran pemerintah (baik pengeluaran pembangunan

maupun pengeluaran rutin) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Hal tersebut menandakan bahwa pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap

pertumbuhan ekonomi daerah tidak selalu konsisten.

Beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas memiliki hasil yang beragam,

namun penulis memiliki data yang telah diolah sendiri oleh peneliti mengenai belanja

daerah dan pertumbuhan ekonomi yang dapat menjadi fenomena menarik untuk dapat

diteliti.

Penulis melihat bahwa kajian ini menarik untuk dianalisis, sehingga dapat

memberikan informasi mengapa kenaikan belanja daerah tidak seiring dengan

kenaikan pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus kita dapat mengetahui lebih jauh

apakah belanja daerah memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi

daerah.

Page 13: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

13  

  

Tabel 1.3 Belanja Daerah dan Pertumbuhan ekonomi

Propinsi Jawa BaratTahun 2012-2013

No Kota/

Kabupaten

BELANJA DAERAH PERTUMBUHAN

EKONOMI

Tahun Kenaikan/Penur

unan

Tahun Kenaikan/Penur

unan 2011 2012 201

1 201

2

1 Prov. Jawa 10,296,9 13,761,3 34% 6.4 6.2 -4%

2 Kab. Bekasi 2,323,24 2,600,80 12% 6.2 6.2 -1%

3 Kab. Ciamis 1,626,15 1,764,18 8% 5.1 4.9 -2%

4 Kab. Cianjur 1,777,60 1,972,49 11% 4.7 5.0 7%

5 Kota Bandung 3,080,34 3,490,04 13% 8.7 8.9 3%

6 Kota Cirebon 818,299 813,672 -1% 5.9 5.5 -6%

7 Kota Depok 1,350,08 1,371,44 2% 6.5 7.1 9%

8 Kota 917,531 1,035,03 13% 5.8 5.8 1%

9 Kab. Bandung 2,428,38 2,788,97 15% 5.9 4.6 -22%

10 Kab. Bogor 3,209,78 3,622,07 13% 5.9 5.9 0%

11 Kab. Cirebon 1,683,61 2,033,14 21% 5.0 4.8 -4%

12 Kab. Garut 2,011,15 2,131,94 6% 5.4 4.6 -16%

13 Kab. 1,569,01 1,843,45 17% 4.8 5.0 3%

14 Kab. 1,832,29 2,382,74 30% 8.9 5.4 -39%

15 Kab. Kuningan 1,247,37 1,434,01 15% 5.4 4.7 -13%

16 Kab. 1,287,19 1,525,08 18% 4.6 4.7 2%

17 Kab. 962,771 1,114,44 16% 6.4 6.3 -1%

18 Kab. Subang 1,351,79 1,481,61 10% 4.4 4.5 2%

19 Kab. 1,837,10 1,984,31 8% 4.0 4.3 7%

20 Kab. 1,241,80 1,424,52 15% 4.8 4.6 -3%

21 Kab. 1,501,36 1,820,80 21% 4.3 4.3 0%

22 Kota Bekasi 1,981,34 2,499,56 26% 7.0 6.8 -1%

23 Kota Bogor 1,074,57 1,255,35 17% 6.1 6.1 -1%

24 Kota 624,504 714,436 14% 6.3 5.2 7%

25 Kota Cimahi 738,304 833,412 13% 5.5 5.2 -6%

26 Kota Banjar 484,464 513,257 6% 5.3 5.2 -2%

27 Kab. Bandung 1,251,59 1,501,19 20% 5.7 6.0 5%

Rata-rata 15% Rata-Rata -3% Sumber Data : www.djpk.depkeu.go.id & http://jabar.bps.go.id (data yang telah diolah).

Rata-rata belanja daerah kota dan kabupaten di Jawa Barat terdapat kenaikan 15

% dari tahun 2011 sampai dengan 2012, namun sebaliknya rata rata pertumbuhan

Page 14: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

14  

  

ekonomi daerah terdapat penurunan sebesar 3 % dari tahun 2011 sampai dengan

2012.

Pada komponen belanja daerah juga nampak seberapa besar porsi belanja

daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, dalam upaya

meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya mengubah

komposisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk

belanja rutin yang relatif kurang produktif.

Rata-rata belanja operasi kota dan kabupaten di Jawa Barat adalah sebesar

78,71% dan belanja modal sebesar 20,04% dari total belanja daerah seperti yang

diterangkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.4 Persentase Belanja Operasi dan Belanja modal dari Total Belanja Daerah

(Dalam Milyar Rp.) No  Kota kabupaten Tahun B_Operasi B_Modal

1  Kab Cianjur  2013  82,76%  13,60%

2  Kab Bandung  2013  75,54%  14,89%

3  Kab Garut  2013  75,43%  23,45%

4  Kab Tasikmalaya  2013  84,81%  14,00%

5  Kab Ciamis  2013  83,54%  15,19%

6  Kab Kuningan  2013  84,24%  14,78%

7  Kab Cirebon  2013  85,38%  14,45%

8  Kab Majalengka  2013  80,48%  19,19%

9  Kab Sumedang  2013  85,30%  13,19%

10  Kab Indramayu  2013  87,17%  10,90%

11  Kab Subang  2013  82,26%  17,03%

12  Kab Purwakarta  2013  77,94%  19,45%

13  Kab Karawang  2013  74,24%  23,72%

14  Kab Bekasi  2013  62,21%  31,55%

15  Kab Bandung Barat  2013  85,47%  17,61%

16  Kab Bogor  2013  88,50%  33,35%

Page 15: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

15  

  

No  Kota kabupaten Tahun B_Operasi B_Modal

17  Kab Sukabumi  2013  86,96%  10,40%

18  Kota Bogor  2013  76,65%  18,79%

19  Kota Sukabumi  2013  83,29%  16,11%

20  Kota Bandung  2013  67,77%  31,51%

21  Kota Cirebon  2013  81,16%  15,73%

22  Kota Bekasi  2013  69,07%  29,78%

23  Kota Depok  2013  57,31%  34,32%

24  Kota Cimahi  2013  83,78%  15,15%

25  Kota Tasikmalaya  2013  79,11%  19,62%

26  Kota Banjar  2013  66,20%  33,27%

Rata‐rata  78,71%  20,04%

Sumber : data lampiran 1-3 yang diolah

Pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya

untuk melakukan aktivitas pembangunan. Dengan kata lain belanja modal dilakukan

dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang

memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah

pengeluaran untuk biaya pemeliharaan, yang sifatnya mempertahankan atau

menambah manfaat dan meningkatkan kapasitas serta kualitas asset.

Hal ini menjadi menarik untuk diteliti sehingga kita mengetahui apakah belanja

daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, dan bagaimana

implikasinya terhadap pendapatan asli daerah. Hal ini yang menjadi tema sentral

menarik untuk kami teliti.

Berdasarkan paparan data dan fakta di atas, dapat disimpulkan beberapa hal

yang mendasari penulis untuk membuat judul tesis ini, adalah :

1. Komposisi pendapatan daerah pada APBD TA 2013 secara nasional dapat

dibagi dalam 3 (tiga) bagian utama, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana

Page 16: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

16  

  

perimbangan dan pendapatan lain-lain. Pendapatan daerah terlihat bahwa dana

perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan daerah yaitu sebesar

66,3% atau Rp432,697 triliun, sedangkan PAD hanya sebesar 21,5% atau

sebesar Rp140,302 triliun dan pendapatan lain-lain daerah yang sah sebesar

12,2% atau sebesar Rp79,866 triliun.

2. Komposisi rasio pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah masing-

masing kota dan kabupaten di Jawa Barat masih sangat kecil. Hal ini

mencerminkan belum tergalinya potensi pendapatan asli daerah masing-masing

kota dan kabupaten. Pendapatan asli daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2013

rasionya rata-rata hanya 13,92% dari total pendapatan daerah kota-kabupaten di

Jawa Barat.

3. Rata-rata penurunan pertumbuhan ekonomi daerah kota dan kabupaten di Jawa

Barat adalah sebesar -3%.

4. Rata-rata belanja pegawai sebesar 42% dari APBD propinsi, kabupaten dan

kota pada tahun anggaran 2012. Dominasi belanja pegawai di APBD pada

setiap tahun anggaran akan mengurangi kesempatan belanja non pegawai

(belanja modal, barang dan jasa), yang digunakan semestinya untuk

kesejahteraan masyarakat dan penyediaan fasilitas publik. Apakah alasan

pemerintah mengenai kebijakan komposisi belanja ini dapat mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi daerah.

5. Komposisi rata-rata belanja operasi sebesar 78,71% dan Belanja modal di kota

dan kabupaten di Jawa Barat hanya 20,04% dari Total Belanja.

Page 17: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

17  

  

6. Bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi

tidak ada yang konsisten, bisa positif bisa negatif, dan tidak berpengaruh secara

signifikan, dibuktikan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. (Folster dan

Henrekson dalam Jamjani Zodik:2007:27-28).

7. Tidak ada pernyataan mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah

dengan Pertumbuhan ekonomi (Folster dan Henrekson dalam Jamjani

Zodik:2007:27-28).

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti dengan mengambil

judul “Pengaruh Belanja Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan

Implikasinya terhadap Pendapatan Asli Daerah” (Studi Empiris Pada kota dan

kabupaten di Propinsi Jawa Barat)

1.2. Rumusan Masalah

Dari pertanyaan masalah pokok tersebut, maka sub-sub pertanyaan masalah

dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Seberapa besar terdapat pengaruh belanja operasi terhadap pertumbuhan

ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.

2. Seberapa besar terdapat pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan

ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.

3. Seberapa besar belanja operasi dan belanja modal berpengaruh secara simultan

terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.

Page 18: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

18  

  

4. Seberapa besar terdapat implikasi pertumbuhan ekonomi daerah terhadap

pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui seberapa besar terdapat pengaruh belanja operasi terhadap

pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.

2. Untuk mengetahui seberapa besar terdapat pengaruh belanja modal terhadap

pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.

3. Untuk mengetahui seberapa besar belanja operasi dan belanja modal

berpengaruh secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten

di Propinsi Jawa Barat.

4. Untuk mengetahui seberapa besar terdapat implikasi pertumbuhan ekonomi

daerah terhadap pendapatan asli daerah kota dan kabupaten di Propinsi Jawa

Barat.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat,

mengenai akuntabilitas pengelolaan dana publik untuk kesejahteraan

masyarakat.

2. Memberikan pemahaman kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat

keterkaitan antara pendapatan asli daerah, pertumbuhan ekonomi daerah,

Page 19: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

19  

  

belanja operasi dan belanja modal di kota dan kabupaten di Propinsi Jawa

Barat.

3. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat,

pertumbuhan ekonomi berdampak signifikan atau tidak dalam meningkatkan

pendapatan asli daerah di kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.

4. Ingin memberikan informasi kepada publik khususnya rakyat Jawa Barat,

bahwa belanja daerah berpengaruh signifikan atau tidak dalam meningkatkan

pertumbuhan ekonomi kota dan kabupaten di Propinsi Jawa Barat.

5. Bagi penulis, penelitian ini sangat berguna untuk menambah pemahaman

mengenai akuntansi sektor publik, kaitannya dengan belanja daerah dan

pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi terhadap

pendapatan asli daerah Propinsi di Jawa Barat.

1.5. Batasan Masalah

Batasan waktu yang dipilih adalah tahun realisasi anggaran 2009 s.d 2013,

penetapan waktu dipilih karena data tersebut lebih “up-date”, sedangkan batasan

daerah yang dipilih adalah di 26 kota dan kabupaten di Jawa Barat, karena Jawa Barat

adalah salah satu propinsi yang memiliki rata-rata realisasi belanja operasi lebih besar

dari daerah lainnya. Kemudian untuk belanja daerah dibatasi klasifikasi belanja

menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi belanja operasi,

belanja modal, berdasar pada PP No. 71 Tahun 2010 dan PSAP No2.

Page 20: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi ...

20  

  

Bidang kajian penelitian ini berkaitan dengan Akuntansi Sektor Publik,

khususnya mengenai realisasi anggaran di daerah dan kaitannya dengan ekonomi

pembangunan serta pertumbuhan ekonomi di daerah.