05.2 Bab 213 Pancasila
-
Upload
ayu-rozalia-widyaningrum -
Category
Documents
-
view
52 -
download
12
description
Transcript of 05.2 Bab 213 Pancasila
1
maupu n di perguruan tinggi.
Permasala l bahka n mternasional. Pada
awalny a p
perilaku tidak juju r dalam
pendidik makin hari semakin
berkembang , sehing
cuku p luas. Menyontek van g pad a
kjujura n dalam pendidikan, sekarang
me dalam pendidikan merupaka n suatu
aktivit alam akademi s yang dipergunaka n
untuk erbuatan tersebut termasuk ,
BA B II
TELAA H PUSTAK
A
A. Intens i Menvont e k
1. Pengertian Menyonte k
Masalah menyontek buka n lagi menjad i masalah bar u dala m dunia
pendidikan, baik di sekolah ha n tersebut
sudah menjad i masalah nasiona erilaku
menyontek termasuk dalam kategori an.
Ketidakjujura n dalam pendidikan se ga
ketidakjujura n memilik i pengertian yang
awalny a merupaka n bagian perilaku ketida
ndapa t perhatian tersendiri. Ketidakjujuran
as mendapatka n keuntungan yang tidak sah d
dirinya sendiri atau beberap a pelajar lain. P
enyonte k atau tingkah laku tidakjujur yang
).
Penelitian pertam a kali terhada p perilaku menyonte k dimulai tahu n 1941,
yakni terhadap mahasisw a yang belu m menyelesaika n studinya. Penelitian
tersebut menemukan sebanvak 23 persen mahasisw a pernah menyonte k dala m mas
a studinya (Davis dalam Case, 1999). Jumla h tersebut terus meningka t menjad i 89
persen pada tahun 1996 (CNN , 1996) dan bahka n tahun 1999-2000 dari 163
pelajar , 105 diantaranya mengak u menyonte k (Stewart,2000). Menuru t Lauderdal
e (Niel, 2001 )
contekan (Biehler 1971; Sujana,1993)
. tek merupaka n aktivitas memberika n
atau (haram ) dalam beberap a urusa n
akadem
tidak menggunaka n pikiran sendiri
ata nformasi dari tema n atau dari buk
u ( lebih luas mengenai perilaku
menyonte
ujur , bohong , pengecut, dan tercela,
curan lat bant u lain yan g dilarang dala
m kont
1
perbandingannya sudah mencapai 4 : 5, maksudny a setiap lim a orang siswa yang
di survei, terdapat empat orang mengak u menyontek .
Menyontek dapat diartikan sebagai suatu tindaka n kecuranga n yan g
dilakukan dalam mengerjakan test melalui pemanfaata n informasi yang berasal dari
luar secara tidak sail (Sujana dan Wulan , 1994). Informas i dari luar tersebut bisa
berasal dari buku, catatan, buku pelajaran , lembar jawaba n oran g lain, tulisan yan
g ditulis pada kertas kecil, sapu tangan, atau telapak tangan dan bentu k conteka n lain
yang equivalen dengan lembar Pendapat
lain menjelaska n bahwa menyon memint a
bantua n informasi yang dilarang i k
termasu k ujian , bantua n tersebut dengan u
denga n kata lain dengan menggunakan i
Dufee , 2001; Dewi, 2000). Pengertian yang
k adalah sebagai tindakan negatif, tidak j
g dala m tugas akademi k atau menggunakan a
ek s mengerjaka n ujia n atau peraturan akad
Berdasarka gena i perilaku menyontek di
atas dapat diambil suatu kesimpula n bahw a menyonte k adalah suatu bentu k
perbuatan tidak jujur, tidak legal, curang, tidak sah dengan memanfaatka n informasi
yan g berasal dari luar dengan berbagai cara, baik dengan tulisan, lisan atau bekerj a
sama, berkolusi dengan mahasiswa lain atau pihak luar, serta cara-cara lain yan g
tidak sah yang dilakukan seseorang selama mas a ujian berlangsun g agar tujuanny a
bisa tercapai.
1
tnya Fishbein dan Ajze n (Sujana , 1993)
m tahuan, sikap, niat dan perilaku. Niat
sese sari oleh sikap orang tersebut terhada
p per asil keyakina n subjek terhada p
akibat dar
tif terbentu k berdasarka n keyakinan
norma akina n akan akibat perilaku dan
keyakinan ntuk berdasarka n umpa n balik
yan g diberi atis model hubunga n
antara kompone n ut:
2. Intensi Menyontek .
Menurut Fishbein dan Ajze n (1975), intensi perilaku (behavioral
intention) diartikan sebagai probability yang bersifat subjektif pada diri
seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Intensi perilaku merupaka n determina n
yang paling dekat dengan perilaku yang dimaksu d dan merupakan prediktor tunggal
terbaik bagi perilaku yang akan dilakukan oleh seseorang. Ancok (1992)
memberika n pengertian bahw a
intensi adalah
Selanju
niat untuk melakuka n suatu perilaku.
engemukaka n model hubungan
antara penge orang untuk melakukan suatu
perilaku dida ilaku itu sendiri. Sikap di sini
merupakan h i perilaku tersebut, sedangkan
norma subjek ti f subjek akan akibat perilaku
tersebut. Key normatif akan akibat perilaku
tersebut terbe kan oleh perilaku itu sendiri .
Secara skem tersebut dapat digambarkan
sebagai berik
t
Gb. 1 Kerangk a konseptual untuk meramalka n suatu niat atau perilaku tertentu
(Fishbein dan Ajzen dalam Sujan a 1993)
ngkatnya nilai ujian atau Indeks Prestasi,
nyontek mak a kemungkina n ia akan
mcnd jian tersebut (PoJ^es ) .
Pertimbangan hada p perilaku menyontek ,
apakah ia mem
nen lain yang berpengaru h terhadap
ormatif mengena i perilaku X.
Komp entang X yan g berisi pandanga n
subjek t pok orang yan g berpengaru h
dalam kehi arusan bagi dirinya untuk
1
Keyakinan akan akibat perilaku X merupaka n kompone n yang berisikan
aspek pengetahuan subje k tentang perilak u X dan tentan g akibat negatif maupu n
positif dari perilaku X. Semaki n banya k segi positif yan g diperole h subjek tentan g
akibat perilaku X akan semakin positif pula sikap subjek terhada p perilaku X, dan
demikian pula sebaliknya. Apabila mengambi l contoh dalam kontek s menyontek ,
seseorang yan g hendak menyontek ketika ujian , harus mengetahui akibat yan g
harus ia terima mungkin setelah melakuka n perbuatan tersebut. Akibat positif yan
g akan ia terima berupa, meni dan akibat
negatifnya, jik a ia ketahuan me apatka n
nilai 'F ' atau nilai '0 ' pada mata u ini
akan mempengaruh i sikap seseorang ter
utuska n untuk menyonte k atau tidak.
Kompo pembentuka n intensi
adalah keyakinan n one n ini merupaka
n aspek pengetahuan t entang harapa n dari
orang lain atau sekelom dupanny a mengenai
keharusan atau ketidakh aku X. Keyakinan
normatif ini akan membentuk norma subjektif tentan g perilaku X, yaitu kompone n
yan g berisi keputusan subjek setelah mempertimbangka n pandanga n atau harapan
dari orang lain atau sekelompok orang yan g berpengaru h tersebut. Oran g yang
berpengaru h pada perilaku subjek tersebut seperti, ayah, ibu, kakak , adik, dosen,
teman sebaya, atau siapa saja yang berpengaru h terhada p dirinya. Subjek dapat
terpengaruh oleh harapan atau pandangan orang tersebut, namu n dapat pula tidak
terpengaruh. Seseoran g yang sebelum ujian telah mendenga r tataterti b uji an yang
berisi diantaranya tentan g sanksi
ada diri seseorang termasuk sikap
dan ntuk melakuka n perilaku
menyontek.
dak jujur , tidak legal, tidak sah dengan
uar dengan berbagai cara, baik dengan
tu ngan mahasisw a lain atau pihak luar,
serta n seseorang selarna masa ujian
berlangs
1
untuk para penyontck, tatatertib tempat duduk , pakaian dan sebagainya. Kemudia
n kctika ujian dimulai bisa saja peraturan yan g sudah didcngar nya tidak dihiraukan
lagi dan menyontek tetap dilakukan, sebaliknya seseorang yan g telah memutuska n
untuk menyontek ketika ujian menjad i berkuran g keinginannya setelah membac
a atau mendengar sanksi yang akan ia terima.
Mencermati penjelasa n di atas, dapat ditarik satu kesimpula n
untuk mendefenisikan intensi menyontek . Intensi menyonte k merupaka n mat yang
bersifat subjektif p norma-norm a
subjektif yang dimilikinya u Perilaku
menyontek adalah perbuatan ti
memanfaatka n informasi yang berasal dari l
lisan, lisan atau bekerj a sama, berkolusi de
cara-cara lain yang tidak sah yang dilakuka
un g dengan maksud tujuannya bisa tercapai.
3. Kriteria
Perilaku cenderun g sulit untuk diakui
seeara langsung dengan alasan kekhawatira n mendapa t ancama n yan g tidak nyama
n bagi dirinya. Agar memperole h kenyaman , seseorang cenderun g untuk tidak
mengakui perbuatannva, dengan demikia n agak sulit mengetahui perbuatan curan g
seseorang apabila ditanyakan seear a langsung. Menuru t Edwar d (Azwar, 1997),
oran g akan mengemukakan pendapat dan jawaba n yan g sebenarny a seeara terbuka
hanya apabila situasi dan kondisi memungkinkan , artinya apabila situasi
dan kondisi memungkinkannya untuk mengataka n hal yang sebenarnya tanp a rasa
takut terhada p
tuk mengungka p kejujura n mahasisw a
ters ekan adalah dengan melihat intensi
seseor getahui persepsi seseorang terhada
p pand serta sikapnya terhada p
perilaku men empunya i intensi
menyontek atau tidak, d
embagu n perilaku menyontek.
Newstea d dkk (1996 ) perilaku
menyon menuru t Student Academic
Dishonesty (199 menerim a kopian dari
1
konsekuensi langsung maupu n tidak langsung yan g dapat terjadi. Jndividu yang
berada dalam situasi tanpa tekanan dan beba s dari rasa takut, tidak terlihat adanya
kcinginan untuk berkata lain, barulah individu memberika n jawaba n yang
sebenarnya sesuai dengan apa yang dirasakannya. Seseorang mahasisw a yang
menyontek disaat ujian, kemudian suatu saat ditanya oleh dosen apakah ia
menyontek ketika ujian, maka ada kecenderungan mahasisw a tersebut untuk
berbohong , karen a ketakutan akan konsekuensi hukuma n dari dosen tersebut,
berup a nilai F atau nol. Adapu n cara yang dilakukan un
ebut, tanpa ada rasa takut ada perasaan tert
ang terhada p menyontek, yailu dengan men
angan oran g tentan g perilaku menyontek,
yonte k tersebut. Mengetahui seseorang m
apat dilihat dari indikator atau kriteria yang
Menurut tek terdiri dari 21 kriteria.,
sementara itu 9 ) ada delapan kriteria yaitu
mengopi atau ujian atau dalam mengerjaka n
lugas, meng lain selama ujian, membuat
program di dalam kalkulator yan g berisi jawaba n ujian atau infomias i lain yan g
tidak sah untuk ujian, menggunaka n tanp a ijin alat bantu, atau menvediakan
jawaban , catatan (kepean) atau menyembunyika n informasi selama ujian,
mengijinka n orang lain mengerjakan tugas atau bagian tugas untuk dirinya sendiri
termasuk mcnggunakannya untuk diperdagangkan , menyerahka n beberap a tugas untuk
lebih dari satu mata kuliah tanpa persetujua n dari dosen, bekerjasam a dalam
mengerjaka n ujian atau tugas dengan oran g lain tanpa ijin dari dosen, mengambil
soal ujian untuk orang
iannya digunaka n untuk keuntunga n diri
s lain agar mau melangga r perturan
tes ibler (1998 ) menambahka n bahw a
menyo n menyogo k atau menerim a sogok
dala m
a-kriteria menyontek yan g telah di ke
di bagi menjad i dua kategori besar.
K
yang terdiri dari mengambi l
jawaba n merek a ataupun tidak,
menggunaka n
V
18
lain atau menerima soal dari seseorang untuk
menurut (UMC Student Conduct , 1999) ada
enan
vaitu menyalin jawaba n dari tes siswa lain baik dengar.
sepengetahuan mereka, memiliki atau memaka i alat
selama
yang memberikan tes, bekerjasam a atau melihat jawaba n siswa i,
seijin instruktur, memakai atau membeli , menjual , mencuri
seluruh
yang dilarang dalam tes, mengganti nam a siswa lain atau mint a ijin a
tugas atau uj endiri atau member h
ip a seijin
\ dosen
, isen.
\kan
ta
pada orang . Senad a dengan pet.
sebelumnya K nte k dapat berup a
mengub a nilai raport da komunita s
perguruan tinggi.
Kriteri mukaka n oleh peneliti-
peneliti tersebut dapat ategori pertama
menyontek kctika ujian dari orang lam
baik dengan sepengetahuan catatan atau
beberap a bentuk bantuan lain y
berkomunikasi dengan teman- temannya lain
informasi yan g tidak diijinkan oleh peraturan, membua t program denga n kalkulator
yan g berisi jawaba n tidak sah untuk ujian, menggunaka n alat, menyediaka n
jawaban , menuli s catatan (kecil), atau menyembunyikan informasi selam a ujian,
mengijinka n oran g lain mengerjaka n tugas atau bagian dari tugas seseorang
untuk diri sendiri termasuk membeli atau mcmperdagangkanya, menyerahka n
beberap a tugas untuk di berika n pada lebih da n satu mata kuliah tanpa
sepengetahuan dosen atau guru, mengambi l soal ujian untuk orang lain atau
menerim a dari orang lain untuk diri sendiri. Kategori kedua yaitu
1
jiannya digunakan untuk keuntunga n diri
s lain agar ma u melangga r perturan
tes ibler (1998) menambahka n bahw a
meny
n menyogo k atau menerim a sogok dala m
a-kriteria menyontek yang telah di ke
di bagi menjad i dua kategori besar.
K
yang terdiri dari mengambi l
jawaba n merek a ataupun tidak,
lain alau menerima soal dari seseorang untuk keuntunganny a sendiri. Sementara
itu menurut (UMC Student Conduct, 1999) ada enam kriteria dari perilaku
menyontek vaitu menyalin jawaba n dari tes siswa lain baik dengan sepengetahuan
maupu n tanpa sepengetahuan mereka, memiliki atau memakai alat selama ujian tanpa
ijin dari orang yang memberikan tes, bekerjasam a atau melihat jawaba n siswa lain
selama ujian tanpa seijin instruktur, memakai atau membeli , menjual , mencuri
seluruh ata u sebagian isi yang dilarang dalam tes, mengganti nam a siswa lain atau
minta ijin dari siswa lain tugas atau u
endiri atau memberika n sogok pada orang
. Senada dengan pendapat sebelumnya K
onte k dapat berup a menguba h nilai raport da
komunita s perguruan tinggi.
Kriteri mukaka n oleh peneliti-peneliti
tersebut dapat ategori pertaina menyontek
ketika ujian da n oran g la m baik
dengan sepengetahuan catatan atau beberap a
bentuk bantuan lain y berkomunikasi dengan
teman- temannya lain informasi yan g tidak
diijinkan oleh peraturan, membua t program denga n kalkulator yan g berisi jawaba n
tidak sah untuk ujian, menggunaka n alat, menyediaka n jawaban , menuli s catatan
(kecil), atau menyembunyikan informasi selam a ujian, mengijinka n oran g lain
mengerjaka n tugas atau bagian dari tugas seseorang untuk diri sendiri
termasuk membeli atau memperdagangkanya, menyerahka n beberap a tugas untuk
di berika n pada lebih dari satu mata kuliah tanpa sepengetahuan dosen atau guru,
mengambi l soal ujian untuk orang lain atau menerim a dari orang lain untuk diri
sendiri. Kategori kedua yaitu
jawaba n dari oran g lain selama ujian
tan tivitas untuk mendapatka n jawaba n
ujia n
, tanpa sepengetahua n temanny a dan t
jawaba n dari oran g lain selama ujian
u aktivitas untuk mendapatka n jawaba n
u temanny a denga n sepengetahuanny a
ata kan jawaba n kepad a temanny a yan g
mem
1
menyontek dalam tugas kuliah terdiri dari menerim a bantuan naskah tanpa seijin
dosen, bekerjasama denga n oran g lam dalam mengerjaka n tugas tanp a seijin
dosen, dan mengajukan beberap a tugas kepad a lebih dari satu mat a kuliah tanpa seijin
dosen.
Penelitian ini akan memfokuska n pada perilaku menyontek yan g di ditemuka
n di dalam ujian yang kemudia n di telah sesuaikan dengan kondisi penelitian
serta ditambah dengan kriteria yan g dikemukaka n oleh peneliti sebelumnya. Kriteria-
kriteria tersebut adalah:
a. Menyalin pa sepengetahuan mereka, yaitu
Suatu ak dengan menyal in jawaban dari
temannya anpa sepengetahuan pengawa s
ujian.
b. Menyalin dengan sepengetahuan mereka,
yaitu suat jian dengan menyalin jawaba n
ujian dari u seijinya, dan aktivitas untuk
memberi butuhka n dengan berbagai cara
yang tida
c. Metigko dengan berbagai cara, yaitu
mengkomunikasika n jawaba n yang di dapat saat ujian kepad a teman-temanny
a dengan berbaga i cara seperti melempa r kertas yang sudah ditulisi
jawaban , memberika n simbol- simbol atau dengan langsung bertany a kepad a
temanny a yang lain yan g diangga p bisa , termasuk meneocokka n jawaba n ujian.
d. Membua t progra m denga n kalkulator yang berisi jawaba n tidak sah untuk
ujian, yaitu mempersiapka n progra m di dalam kalkulato r sebelum ujia n di
mulai dan
n berup a membaw a catatan, modul , buku
gan dengan ujia n untuk dapat dilihat ketika
mbil soal ujia n untuk oran g lain atau
mener
aitu mengambi l soal ujian tanp a ijin
peng kepada teman-temanny a yan g
beium uj
a dengan merek a atau berusah a mencari
b ya yang paralel
ikan sogok kepad a pengawa s yang
ditunju peraturan yang berkaitan
1
kemudian dilihat disaat ujian berlangsung, biasanya berup a ramus atau kata-
kata asing atau berup a catatan materi yan g di ujikan.
e. Menyediakan jawaba n berup a menuli s catatan kecil (kepe 'cm), yaitu membua
t catatan kecil yan g berisi materi yang akan di ujikan , yan g sudah di tulis pada
kertas kecil, atau memfotokop i catatan yang sudah di perkecil sehingga bis a
dilihat ketika ujian berlangsun g tanp a ketahua n ole h pengawas.
f. Menyembunyikan informas i selama ujian, yaitu membaw a informasi
kedalam ruang ujia , dinding dan
sebagainya yan g berhubun ujian berlangsung.
g. Menga im a dari orang lain untuk
diri sendiri, y awas , atau member i tahu
soal- soal ujian ian dan akan mengikuti
ujian yang sam ocoran-bocora n soal pada
kelas sebelumn
h Member k atau pihak lembag a agar ma
u melanggar , yaitu berusah a
memberika n sogok ke agar mau
membocorka n soal ujian atau pengawa s ujian , membiarka n seseorang menyonte k
ketika ujian.
(Kibler, 1998; Student Academi c Dishonesty, 1999; UM C Student Conduct , 1999)
4. Faktor yang Menyebabka n Perilaku Menyonte k
Ada suatu ungkapan , tidak mungkm ada asap kalaa tidak ada apinya.
Apabila menyontek dikatakan sebagai asap tentuny a ada api yan g menyulutny a
sehingga menyebabkan munculny a perilaku menyontek tersebut. Kondisi
tersebut sesuai
2
inan untuk mendapatka n nilai yan g
baik ontek. Menuru t Sukadji (1987)
ada beb wa menyonte k yakni karen a
terlalu sulitny
ad a nilai atau kurangny a menekanka n
pad h Newstea d dkk (1996) terhada p
94 3 banyak 20 persen dari mereka
menyontek
nilai. Sementar a itu menuru t Keller
( ahw a 69 persen dari partisipannya
menyo role h nilai baik. Ligon (2000 )
dengan leori kausalilas yan g menjelaska n bahw a tidak akan mungki n ad a akibat
kalau tidak ada sebab yang menimbulka n akibat tersebut tcrjadi. Menyontek
yang dilakukan oleh seseorang adalah suatu akibat yang terjadi karen a adanya sebab
yang menimbulkannya. Hasil penelitian yang telah dilakuka n oleh beberapa
peneliti sebelumnya, menemuka n bahw a ada beberap a faktor yang
menyebabka n dan memotivasi seseorang untuk menyonte k yaitu:
a. Mendapatka n Nilai yan g Baik.
Keing merupakan alasan seseorang
untuk meny erap a hal yan g menyebabka
n seseorang sis a tugas yan g diberikan,
terlalu menekankan p a pemahaman .
Penelitian yang dilakukan ole mahasisw a
dari 19 fakultas ditemukan se karen a
alasan keinginan untuk mcmngkatkan Case,
1999) menyataka n hasil penelitianya b nte k
dilakukan dengan harapan untuk mempe ka n
dari hasil surveinya bahw a menyontek di ng
telah merek a miliki, dengan harapan nilai yan g tela h merek a miliki tidak turun
lagi serta untuk memelihar a pemberian hadia h yan g akan merek a terima.
Tuntuta n untuk memperole h nilai yang baik selalu menghantu i mereka,
salah satunya disebabka n oleh sistem pendidikan yan g menguku r keberhasila n
seseorang dari nilai akhir (IP) ata u raport, tanp a melihat bagaiman a proses studi
yang merek a lakukan. Menuru t Danark o (1999), menyonte k diangga p menjad i suatu
hal yang waja r karena merek a dituntut mendapatka n nilai yang bagu s tidak perduli
apaka h merek a
uar yang memperhatika n mereka.
Pengaku berup a hadiah baran g yang
telah dijanjik denga n kebutuha n akan
pengakua n yang ingkan dengan siswa
yang kebutuha n
u Gibso n (Sujana , 1993) menyatakan
b a prestasi akademi s buka n dipandan g
seba erikan penghargaan terhada p dirinya
sendiri kemampua n superior yan g
diarahkan p ergengsi pada kelompo k
tema n sebaya (p
2
memaliami materi atau tidak, dan jug a dosen tidak ambil pusing dengan perilaku anak
didiknya. Kenyataan yan g sering dilihat dalam dunia kerj a adalah banyakny
a lowongan pekerjaan yang mencar i sarjan a yang mempunya i IP yan g baik.
Menuru t Walker (2000), salah satu alasan untuk menyontek adalah karena persaingan
di pasar kctja lebih mementingkan nilai (GPA) , diman a tenag a kerj a yan g
memiliki IP yang baik di pakai serta akan meneapa i sukses.
Ada satu keinginan untuk memperole h nilai yang baik yakni berup a
pengakuan dari pihak l an tersebut bisa
berupa pujian ataupun bisa an. Menurut
Lobel & Levanon (1988) siswa tinggi, lebih
sering menyontek bila diband akan
pengakuanny a rendah. Sementara it ahw a
menyontek lebih sering dilakukan bil gai
alat bantu bagi siswa untuk dapat memb ,
melainka n sebagai alat untuk memamerkan ad
a usaha untuk mandapatka n posisi yang b
eer group). Kembali Lobel dan Levanon (19
janj i akan mendapatkan hadiah yang dapat diraba berup a baran g atau uang
(tangible incentives) akan lebih banyak menyontek dibandingka n dengan siswa yan g
diberi janj i akan mendapatka n pujian , kepuasan dan terhindar dari ejeka n yang
disebut jug a sebagai intangible incentives.
b. Ketakuta n pada Kegagalan
Pitt (2001) dala m bukuny a Educational Psychology Literature menjelaska
n menyontek terjad i karen a seseorang meras a ketakuta n terhada p kegagala n
terutam a dialami oleh siswa yan g kemampuanny a dibawa h teman-temannya .
Pendapa t senada
Gag e dan Berliner (Sujana , 1993),
dalam test karena adanya respons negatify
nya ejeka n atau tertawaan dan hukuma n
kan keberhasilan atau kegagalan yan g dia
Houston, 1978) menunjukka n bahw a
keg oleh tindakan menyontek pada test
berikut ada suatu tes. Hasil penelitian
Houston tara keberhasilan dengan
perilaku menyo edan g pada suatu test
paling sering men gkan dengan siswa
yang mempunya i tin
menyatakan bahw a ketakutan untuk gagal merupaka n alasan utarna bagi siswa
untuk menyontek kemudia n diikuti oleh alasan kemalasa n untuk memuaska n tuntutan
orang tua untuk memperole h nilai baik , serta anggapan bahw a menyonte k
merupaka n cara yang paling muda h dilakukan untuk menghindari kegagalan. Alasan
lain yang sering di kemukakan oleh siswa adalah sulitnya soal yang di berikan dan
adanya kebutuha n untuk dapat melanjutka n studi ke jenjan g pendidika n
yang lebih tinggi Thornburg (1982).
Menurut siswa merasa takut terhadap
kegagalan di an g akan menyertai kegagalan
seperti misal dari orang tua. Pengaru h dari
pengalaman a lami siswa sebelumnya.
Vitro dan Scoer ( agalan dalam suatu tes
lebih sering diikuti nya bila di bandingka n
dengan keberhasilan p (1978) menunjukka n
adanya hubungan an ntek. Siswa dengan
tingkat keberhasilan s yotek pada saat tes
berikutnya bila dibandin gkat keberhasilan
rendah clan tinggi. Kondisi ini di sebabkan karen a siswa dengan tingkat
keberhasilan tinggi dan rendah lebih memiliki perkiraan yang pasti terhada p hasil dari
tes yang akan di hadapi. Menyontek pada siswa dengan tingkat keberhasilan sedang di
pandan g sebagai sarana untuk menjamin atau memastika n keberhasilan yang masi h
belu m pasti.
Pada siswa dengan tingkat keberhasilan tinggi, menyonte k dilakukan
untuk memastikan bahw a merek a akan terhindar dari bahaya kegagala n yan g
dirasakan tidak menyenangkan. Bagi merek a kegagalan yan g dialami setelah
keberhasilan akan lebih
2
radaannya, kerasnya hukuman , kepastian
bijakan akademik. Variabel tema n sebaya
m pengaruhi seseorang untuk berbua t
tida dan mensugesti perilaku
ketidakjujura n
tetapi dala m mendukun g perilaku
menyo lebih cenderun g untuk menerim
a si pe
a adalah temannya , dan jug a karen a
mer n bahka n ad a yang berfiki r merek a
dapat but (Whitley & Kost dala m
memalukan dibandingkan dengan kegagala n yan g diikuti kembal i oleh kegagalan
pada pada tes berikutnya. Siswa dengan tingkat keberhasilan rendah, menyontek
dilakukan untuk menghindari terulangnya kembali kegagala n yang
dirasakanny a tidak menyenangkan (Houston dan Zif f dalam Sujana , 1993).
c. Menyontek dipandan g sebagai suatu hai yan g wajar .
Menurut Me Cab e & Trevin o (1993 ) ada lima fakto r yang mempengaruh i
pada perilaku ketidakjujuran dalam akademi k yaitu perilaku tema n sebaya, peraturan
yang diakui kebe adanya laporan dan
mengerti terhadap ke emegan g peran cuku
p penting dalam mem k jujur . Tema n
sebaya akan mendukung dalam akademik ,
tidak hanya dalam belajar ntek. Pendapat lain
menyatakan bahwa siswa nyontek, karen a
berangggapa n bahwa merek ek a telah
mengena i siswa yang menyotek, da
menemuka n tema n bar u dalam situasi terse
001). Persepsi dan penilaian seseorang t
h jug a terhada p munculnya perilaku menyontek. Seseoran g aka n menyonte k
apabila tidak merasa khawatir akan melakukan perbuatan tersebut. Delapa n puluh
lima persen siswa mengangga p bahw a menyontek merupaka n suatu hal yan g normal
(Barid dalam Harding, 2001). Kondisi yang demikian sangat mendukun g sekali bagi
merek a yan g ingin menyontek , karena teman-teman sebayanya tidak menjau h dari
mereka , denga n dalih merek a berbuat wajar. Seorang siswa yan g pada awalnya
tidak menyonte k bisa muncul keinginan untuk menyontek karena melihat siswa yang
lain menyontek , atau jik a merek a merasa
n untuk mengulangi lagi perbuatannya.
urvei terhadap mahasiswa ilmu
pendidika menjadi calon guru tersebut
ditemuka n m iasaan. Tentunya kebiasaa
n tersebut ke pendidikan sebelumnya.
Kemungkina n unt isa dikatakan cuku p
besar. Pada ta
mukan bahw a 64 persen dari siswa
menyont tinggi dan 67 persen yan g tidak
menyonte k ggi.
2
menyontek merupakan suatu hal yan g bis a diterima diantara teman-tema n
mereka (Spiller dalam Gerdeman, 1999), dan bisa juga karen a merek a ingin diakui
diantara teman-teman nva. (Harding, 2001).
d. Menyontek karena Kebiasaan
Menurut teori freud ada yan g dikenal dengan pleasure prinsiple, dimana
sesuatu yang menyenangkan itu akan cenderun g diulangi kembali. Seseorang yang
berhasil menyontek dan merasa tujuannya tercapai dengan perbuatan tersebut
mak a ada kecenderunga Menurut Abriel
(1999) ketika melakukan s n (1K1P)
menemuka n bahwa , mereka yang enyonte k
denga n alasan sudah menjadi keb biasaan
yan g pernah merek a lakukan pada uk
terulan g kembali perbuatan tersebut b
hun 1964 Bowe r (Hardin g
2001).mene e k di sekolah jug a
menyontek di perguruan disekolah tidak
menyontek di perguruan tin
e. S
Soal ujian yang ujian terlalu sukar membua t siswa terpancin g untuk menyontek
, apalagi bila waktu yang di sediakan terbatas, jumlah kredit mata kuliah yang
besar, dan bahan ujian yang terlalu banyak dapa t mempengaruh i seseorang untuk
menyontek. Newstead dkk (1996) menemuka n bahw a seseorang banyak
melakukan perilaku menyontek karena terbatasnya wakt u yang disediaka n
bagi merek a ketika mengerjakan ujian. Arlina (1999 ) menambahkan , menyontek
terjadi karena susahnya mata pelajaran atau matakuliah, bahan ujian yan g sangat
banyak, tidak sesuainya
aktunya untuk belajar.
r-fakto r yan g Mempengaruh i Perilaku
n besar masyaraka t mengaku i bahw a
me etapi tetap saja masi h banyak
ditemuka n endidikan. Seseorang yang
lelah memutu isa saja terpengaru h oleh
kondisi-kondi g terjadi di dalam dirinya.
Adapun fakto r uk menyonte k antara lain
karena :
maleri yang dipelajari dengan materi yan g keluar disaat ujian, dan soal-soal
yang diberikan oleh dosen terlalu susah Arlina (1999 ) dan (M c Cabe , Trevin o &
Butterficld dalam Harding, 2001). Faktor-fakto r tersebut muncu l karena kelemaha n
merek a dalam memanagemen waktu, sehingga waktu yan g telah disediaka n terasa
kuran g (Davis, Ludzvigson dan Baird dalam Aldriek dkk ) Munculny a perilaku
belaja r semalam suntuk atau yang dikenal sebagai " Sistem Kebut Semalam'
sebagai metod e belaja r (Bayan, 2001) merupaka n satu bukti kurangny a
kemampua n seseorang di dalam mengelola w
5. Fakto Menyonte k
Sebagia nyontek merupaka n perbuatan
tercela, akan t perbuatan tersebut, terutama
di dalam dunia p ska n pada dirinya untuk
tidak menyontek b si lingkungan atau
dinamika pikologis yan faktor yang
mempengaruh i seseorang unt
a. J
Perbedaan jeni s keiami n pad a diri seseorang dapa t mempengaruh i
pandanganny a mengenai perilaku menyontek . Menuru t Davi s (Newstea d dkk,
1996) siswa laki-laki lebih banyak menyontek dari pada siswa perempuan ,
penelitian tersebut dilakukan terhadap 6000 siswa. Besarnya presentase menyontek
pada laki-laki berjumla h 28 % dan perempuan 18 % (Newstea d dkk, 1996).
Sementar a itu penelitian Bum , Davis, lloshino & Miller (Athanasou , 2001 )
terhada p mahasisw a Jepan g yan g merupaka n negara Asia, menemuka n mahasisw a
laki-laki lebih banyak menyontek daripad a yang
2
n sukses dalam tugas akademi k daripada
tu disebabkan karena takut pada
kega arena keinginan untuk membant u
teman tead dkk, 1996). Munculny a
perbedaa n ters akuan lingkungan dan
tuntutan peran
ang tampak dalam masyarakat,
sehingga entu bagaiman a laki-laki dan
perempua n
a itulah laki-laki cenderun g menunjukka
perempuan dengan proporsi 45 persen laki-laki clan 37 persen perempuan. Anak
perempuan menyontek terutam a karena tidak cukupny a wakt u untuk belaja r
dan tekanan yang berasal dari teman-tema n mereka , sementara itu siswa
laki-laki menyontek karena alasan tidak cukupny a waktu untuk belajar, memenuh i
tuntutan syarat kelulusan dari sekolah, memuaska n harapan orang tua,
serta untuk menyenangkan hati instruktur atau dosen (Ginder dalam Sujana , 1993).
Lain halnya dengan Kalavik (Lobel & Levanon , 1988) menurutny a anak laki-
lak i lebih mengiiarapka anak perempua n
dan kalaupun menyonlek i galan. Wanita
lebih banyak menyontek k ny a
(Calabres e & Cochran , dalam News ebut
kemungkina n disebabkan adanya perl
berbeda antara laki-laki dan perempuan y
memunculka n stereotip sosial sebagai pen
bertindak (Rais dalam Dewi ,
2000). Karen identitasnva melalui kenaikan
prestasi (Hu anya perbedaan kecenderungan
menyontek a but diatas terjadi karena fakta
menunjukkan bahwa perempua n memiliki tanggun g jawa b moral yan g lebih
besar daripada laki-laki seandainya melakuka n perbuatan menyontek (Thoma s
dalam Newstead dkk, 1996).
b. Umu r
Tidak cukup hanya dengan perbedaa n jeni s keiamin yan g mamp u
mempengaruh i seseorang dalam menyontek, umurpu n jug a demikian . Beberap a
hasil penelitian menemukan bahwa siswa beruinur diatas 25 tahun lebih jaran g
menyontek daripada
enyontek daripad a siswa yang lebih muda
rientasi Religius
a besar agam a yan g dianut oleh
seseoran hidupannya, sedikit banya k
tentuny a aka eseorang yang mempunya i
orientasi keaga n sikapnya dalam bentu k
perbuatan moral
u norrma-norm a yang berlak u di
lingkunga aktivitasnya sehari-hari
didala m m
2
yang berumur 2 1 - 2 4 tahun atau 1 8 - 2 0 tahun (Newstea d dkk, 1996). Pelaja r
yang berumur diatas 25 tahun berpandangan menyonte k merupaka n perilaku tidak
bermoral sedangkan yang berumur dibawahny a berpendapa t bahw a menyonte k
dilakukan untuk menaikkan nilai. Kemudian apabila melihat perbedaan mas a studi
mak a jug a terdapat perbedaan. Pelajar pada masa-mas a awal lebih banyak
menyontek dari pada pelajar pada masa-masa akhir masa studi mereka. Menurut
Diekhof f & Newstea d (Newsea d dkk, 1996) menyatakan bahw a siswa yang lebih
senior da n sekolah non tradisional lebih jarang m
.
c.
Seberap g telah di internalisasikannya
kedalam ke n berpengaru h pad a
perilaku moralnya. S maa n yang baik
tentunya akan meneenninka yan g sesuai
dengan nilai-nilai agamanya ata nnya.
Perbuata n tersebut akan terlihat dari
engintemalisasika n nilai-nilai agamanya. A
nyata bahw a peran agam a dan moral berpe
lka n oleh seseorang, artinya seseorang yang mempunya i pemahama n agam a yan g
bai k dan sudah tercermi n dalam kehidupannya, mak a sebelum memutuska n diri
melakuka n sesuatu ia akan melihat dulu bagaimana dengan pandanga n agam a
tentang perilaku yan g akan ia lakukan, di perbolehkan atau tidak. Konsekuens i yan
g akan diterima apabila melanggar aturan agama adalah dosa, yan g merupaka n
siksa akhirat.
Menyontek merupaka n satu bentuk perbuatan tidak jujur , curang, tercela
yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yan g terdapat dalam agama. Nilai-nila i
moral
2
arga Diri dan Kepercayaa n diri
n harga diri mencaku p konse p dasar
p n dan opini mengenai diri sendiri,
kesadar perbandingan antara dirinya
dengan oran g h dikembangkanya
Fuhnnan n (1990). Pela
ering menyontek dibandingka n dengan
pela an Levanon, 1988). Harga diri yang
tingg
tidak bisa dipisahkan dari agam a Daraja t (1991), artinya apabila seseorang
sudah seeara totalitas mengamalkan nilai ajara n agamanya , kecil kemungkina n
untuk menyontek. Perlu di perhatikan dismi adalah sudah sejauh man a seseorang
tersebut mengapliksikan agamanya dalam kehidupanny a sehari-hari . Apakah agam
a hanya sekedar untuk melengkapi tanda pengenal pada dirinya dalam artian agam
a sebagai simbol, atau agama meman g sebagai kebutuha n bagi seseorang untuk
menjali n hubungan transendental dengan tuhan.
d. H
Pengertia ada individu mengenai diri
sendiri, gagasa an terhadap apa dan siapakah
dirinya, serta lain dan dengan gambaran
ideal yang tela ja r yan g memiliki harga
diri rendah lebih s ja r yang memilik i harga
diri tinggi (Lobel d i di tunjukka n oleh rasa
puas dan kepercayaa dalam Dewi , 2000).
Menurut Dewi (2000) a diri denga n
kecenderunga n menyontek (rx makin tinggi
kepercayaa n diri seseorang semakin rendah kecenderunga n merek a untuk menyontek
dan demikia n pula sebaliknya.
e. Inteligensi
Inteligensi adalah kemampua n pengalama n seseorang untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapiny a dan kemampua n untuk
mengantisipasi masalah-masalahnya tersebut (Goddard dalam Azwar, 1996).
Pengertian ini
adanya kemandirian daripada cara-
car n, konformitas , atau saluran sosial.
Menu kk (Sujana , 1993) Menunjukka n
bahw a 2 nteligensi tinggi menyontek ,
sedangkan
i sedang dan rendah masing- masin g
42 sebut memberikan gambara n bahw a
intel seorang untuk menyontek. Siswa
yan g
k akan mengambi l jalan pintas
deng ermasalahan ketika ujian, lain
2
menjelaskan bahwa orang yang memiliki inteligensi tinggi akan mamp
u mcnyclesaikan masalah-masalahnya ataupun menghadapi masalah-masalah yang
akan dihadapinya. Seseorang yang mempunya i inteligensi yang baik tentunya
mamp u menemukan solusi dan jala n keluar dari masalahnya. Monk s dan Fergusson,
(1983), menemukan bahwa orang yan g memiliki inteligensi tinggi menunjukka n
kepercayaan diri yang lebih besar, lebih mandiri, ambisius, tekun , kecemasa n yan g
rendah, serta lebih senang meraih sesuatu yang diinginkan dengan memanfaatka n
cara-cara yang mencenninkan a yang
mengandalka n pada ketergantunga rut
penelitian yang dilakukan oleh Shaffer d 1
persen dari kelompo k siswa dengan taraf i
dari kelompo k siswa dengan taraf inteligens
persen dan 82 persen. Hasil penelitian ter
igensi berpengaru h terhadap keinginan se
memiliki inteligensi tinggi tentunya tida
an cara menyontek ketika menemukan p
engan siswa yan g memiliki inteligensi sed
f. Motivasi
Menurut Gerugan , (1991 ) motivasi atau motiv adalah suatu pengertian
yang melingkupi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-doronga n dalam
diri inanusia yang menyebabka n ia berbua t sesuatu. Seseorang yang mempunya i
motivasi yang tinggi lebih menyuka i menyonte k daripada motivasi yang rendah.
(Malinowski dan Smith, 1985). Kemudia n Crow n & Spiller (1998 ) membuktikanny
a dengan hasil
3
tek terjadi karena siswa yan g
melakuka ajar yan g rendah, hal ini
terbukti dari oleh merek a seperti
perilaku malas belaj erjakan tugas,
mengatu k dalam kelas, tida
n guru atau dosen yang mengaja r
(Dewi belumnya jug a menemuka n bahw a
siswa y ntasi pada hasil dibandingka n
denga n
a siswa yan g menyonte k lebih
banya k ada hasil.
penelitian bahwa ada hubunga n negatif antara menyontek dengan Indeks Prestasi
(IP) dan begitu pula halnya denga n motivasi berprestasi. Harapa n yang besar
untuk memperoleh nilai yang baik membua t orang menjad i gelap mata dan
menghalalka n segala cara, agar tujua n yan g diinginkanny a tercapai. Anderman ,
Griesinger dan Westerfield (1998) menemuka n bahw a siswa yang menyukai
perilaku menyontek di dalam kelas mempunya i motivasi ekstrinsik seperti nilai ujian
dan jug a kondisi dalam kelas yang memandan g menyonte k merupaka n suatu hal
yan g bis a di terima. Disisi lain menyon n
perbuatan tersebut memiliki motivasi bel
perilaku malas-malasa n yang ditunjukkan
ar , malas kesekolah/ kampus , malas meng
k memiliki catatan dan tidak memperhatika ,
2000). Penelitian yang telah dilakukan se
ang menyonte k terhada p siswa yang berorie
siswa yan g berorientasi pada belajar mak
di temuka n pad a siswa yang berorientasi
g. K gkat didalamnya .
Setiap lembag a pendidika n tentunya memilik i berbagai perangka t agar
proses belajar mengajar dapat berjala n dengan baik, serta terciptanya lingkungan
belaja r yang kondusif. Perangkat-perangkat tersebut mulai dari peraturan-
peraturan berupa kebijakan fakuitas, ruang kelas, alat- alat yang diperluka n sampai
dengan pengaja r dan stafnya. Apabila memandan g dari segi instruktur atau pengaja r
(Ashworth, Annister & Thome, (1997); Kerkvie t & Sigmund , (1999) dala m
Gerdeman , 2000 ) menyataka n bahwa siswa yan g meras a guru atau dosen
memberika n perhatian pad a merek a dan
objektif selalu memberika n
lingkungan ma ujian, menerim a atau
mengirim pesan,
h pengawas yan g lebih sedikit,
kemungk tek menjad i kecil (Davis dala m
Harding , 2 tnya apabila di hubungka n
dengan p a satu penjelasa n yan g cuku
p baik untu
dangan bahw a suatu tindakan kejahata n
a iambil. Faktor-fakto r yan g di
pertimba uk berbuat kejahata n dirumuska
3
aktif dalam proses belajar, sedikit keinginan merek a untuk menyontek ketik a ujia n
dan demikian pula sebaliknya. Sementer a itu apabila dihubungka n denga n ruang
kelas siswa, menyontek lebih banya k terjad i dala m ruan g kela s yan g
instrukturnya membiarkan saja ketika melihat anak didiknya menyontek . Menuru t Mc
Cab e (Sander,
1999), menemukan bahw a dari 800 fakuita s 16 kampu s tahun 1992 dilaporkan bahw
a bnayak pengawas mengabaika n siswa yang menyontek , sikap yan g demikia n
membua t siswa mencari-cari peluang agar merek a dapat menyontek. Kela s yan g
lebih besar dan test berbentuk yang menarik
dalam menyalin jawaban sela karen a kela s
yang lebih besar dengan jumla ina n untuk
menangka p siswa yang menyon 001).
Selanju eluan g dan ancama n
untuk tertangkap, ad k di cermati. Carrol
(Ancok,
1995) berpan dalah realisasi dari keputusan
yang telah d ngka n didalam
pengambila n keputusan unt nnulas i
(F ) X L ] }
Menurut rumu s diatas, tindakan korupsi (baca menyontek ) muda h
terjadi apabila kemungkinan sukses dalam melakukanny a lebih besa r dari
kemungkina n gagal. Sistem administrasi yang kuran g baik , kesa n bahw a
petugas huku m dapat disogok dengan uan g dan adanya penyelesaia n kekeluargaa n
di dalam menyelesaika n kasus tersebut. Sam a halnya denga n menyontek , perbuata
n tersebut akan dilakukan apabila peluang berhasil lebih besa r dan kemudia n
perangkat-perangka t aturan tidak
k mengurangi perilaku tidak juju r atau m
ukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
14 siswa angkatan 95-96 yang di survey
kolah yang ada peraturan dan I dari 6
si
.
kademik terhadap peraturan yan g di
teri situasi (Harding, 2001). Ada beberap a
pe sangat penting untuk mengiki s
penvontek emeh hukuman , staf pengaja r
berjalan dengan baik akhirnya menyontek akan semakin meningkal jumlahny a
Fungsi peraturan yang dijalankan sesuai dengan ketetapannya mempunya i peran cuku
p besar untuk mengurangi perilaku tidak juju r dalam akademik , dan itu sudah di
gunakan hampir semua lembaga pendidikan. Penelitian yang dilakukan Aoron
(Gerdeman ,
2000) menemukan bahw a lebih dari 90 % siswa dalam sampel nasional
memiliki kebijakan dan hampir 98 % memiliki prosedur berkaitan dengan
tingkah laku menyimpang pada siswa. Hasil survei tersebut dapat suatu cerminan
betapa pentingnya peraturan untu enyimpan g
dalam akademis, dan ini di d Me Cab e
& Drinan (1999) bahwa 7 dari mengaku i
menyonte k dalam ujian pada se swa
menyontek pada sekolah tanpa peraturan
Iklim a ma/tidak oleh siswa penting
sebagai faktor nelitian percaya bahw a iklim
dan peraturan , diman a penvontek biasany
a menganggap r ka n perhatian yang
kurang terhadap ketid rinan, 1999).
h. Tekanan dari lingkungan
Keputusan untuk menyontek jug a dipengaruhi oleh kondisi psikologis
yang sedang dialami oleh seseorang. Seseoran g yan g merasa dirinya tertekan di saat
ujian akan lebih besar kecenderungan merek a untuk menyontek. Ada du a kategori
besar yang mencntukan munculny a perilaku menyonte k yaitu situasi dan watak ,
stress dan tekanan menempati posisi paling banyak Davis, Grover , Becker dan Mc
Gregor (Case
nak biasanya akan mendapa t pujian atau
a bila nilai rapor mengalami penurunan
s rang tuanya Nuryot o (Kedaulata n
Rakyat ada anaknya sangat mungkin
menimbulka
an mamp u hal tersebut meman g bukan
m idak mamp u memenuh i tuntutan
orang witasari (Kedaulatan Rakyat Minggu
, 1992)
lnya perilaku menyontek bisa jadi karen a
rtimbangkan hasil yang terbaik, beberapa g
1999). Tekanan yang sering ditemui biasany a berasal dari orang tua dan dari
teman sebaya mereka.
Menurut Bernadib (Kedaulatan Rakyat, 1992) tanp a di sada n hampir semu a
orang tua memang sering menuntut anak-anaknv a untuk selalu mendapatka n nilai
tinggi. Hal ini dapat menyebabkan anak meras a bahw a sekolah yang ditempu h nya
dan nilai yang diperolehnya adalah untuk orang tuanya. Seeara rutin oran g tua
akan menerim a laporan dan pihak sekolah mengena i nilai yang dicapai oleh anakny
a dalam bentuk buku rapor. A hadiah bila
nilai rapornya naik, dan sebalikny eringkali
anak menjadi sasaran kemarahan o ,
1992). Tuntutan orang tua akan nilai p n
stress pada anak. Bagi anak yang pandai d
erupaka n masalah , namu n bagi anak yang t
tua justr u akan menyebabka n frustrasi Pra
.
Muncu dalam kondisi persaingan dan
ingin mempe uru pendidikan berbuat curang
untuk memb gar terlihat baik (Ligon, 2000).
Persaingan tersebut tidak hanya merek a rasakan pada mas a studi saja, akan tetapi ini
berlanjut dan merek a rasakan setelah merek a lulus nanti. Menuru t Walke r
(2000) persaingan di pasar keij a lebih mementingka n nilai (IP) diman a kebutuha n
yan g akan dipakai adalah yan g mempunya i IP yan g baik yang akan mencapai
sukses. Melihat kondisi yang demikia n menyonte k dijadika n sebagai penyelama t
nilai mereka , dan juga menurut (Sander , 1999) biaya untuk mendapatka n keuntunga
n ini rendah, siswa yang berfikir bahw a merek a belajar tidak masalah , tetapi
siswa lebih mudah
3
mang memilik i tujua n yang baik yaitu
m simal, nainun dalam keyataanny a
terjadi
tru orang tualah yan g berambis i agar
anak eringkat atas. Sering oran g tua hany
a me etapi tidak memberika n doronga n
atau ca akyat Minggu , 1992).
rkan uraian tersebut diatas, fakto r
y apat dibagi menjad i dua bagian
yaitu aktor yan g berasal dari dalam
diri sese
menyontek daripada belaja r dan di tamba h lagi dengan peluang yan g kecil
untuk tcrtangkap.
Menurut Lindgren (Sujana , 1993) pihak sekolah sendiri sering menciptaka
n iklim yang kondusif bagi siswa untuk menyonte k dengan memberika n penekana n
yang berlebihan pada aspek kompetisi, nilai dan bukti yang dangkal (. superficial )
mengena i kompetisi akademis siswa. Sistem peringkat (rangking) merupaka n
cerminan dari kultur budaya moder n bahka n seolah-olah merupaka n konsekuens i
logis. Sistem peringkat me emac u siswa
untuk mencapai prestasi mak
penyimpangan makn a karen a kemudian jus
ny a mamp u berprcstasi tinggi atau masuk p
nuntu t anaknya untuk meraih nilai tinggi t
ra bagaiman a memperolehny a (Kedaulatan
Berdasa an g mempengaruh i
perilaku menyontek d pertam a faktor
internal yang merupakan f orang yan g
terdiri dari Jenis keiamin, umur dan
motivasi, sedangkan yang kedua yaitu fakto r eksternal merupaka n faktor yan g
mempengaruh i seseorang berperilkau menyontek karen a pengaruh dari luar dirinya
seperti kebijaka n fakuitas, pengaruh instruktur (dosen ) dan tekana n yang berasal dari
lingkungan.
membac a kembali atau membac a
berula dan (Nasution, 1985).
n agam a menyangku t dua unsur.
Pertama berkali-kali, mempertimbangka
n sesuatu tikan dalam agam a merupaka n
obje k yang
us diberi perhatian khusu s dan istimewa.
P beri indikasi tentan g sifat 'terika t
kepada' tama dan tujua n terakhir, karen a
yang pert ebih besar daripada semu a yang
lain, pant usus daripad a semu a yang lain.
3
B. Orientas i Religiu s
1. Pengertian Religi dan Religiu s
Menjelaskan pengertian religi, Bagus (1996) memberika n pengertian bahw
a agama di dalam bahas a inggris berasal dari kata religion sedangkan dalam bahas a
latin religio. Ada pendapat yang mengataka n bahw a kata ini berhubunga n
dengan kata kerja latin religare yan g berarti mengika t dengan kencan g atau kata
kerj a relegere yang berarti ng-ulan g dan
penuh perhatian (Bagus, 1996)
Pengertia , orang membalikka n diri
terus menerus dan seeara amat berhati-hati.
Objek yang diperha istimew a dan agung,
karen a itu objek itu har engertian kedu a
adalah bahw a agama mem , dalam hal ini
terikat kepada asal usul per am a dan
terakhir ini mendapa t kepentingan l as
diberikan pertimbangan dan perhatian kh 6)
Menurut Dasuk i dkk (1994 ) agam a dalam bahas a Indonesia berarti sama
dengan kata din dalam bahas a Arab dan Semit, atau religion dalam bahas a Erop a dan
Inggris. Seeara bahasa, perkataan "agama " berasal dari bahas a sanskerta berarti
'tida k pergi' tctap di tempat dan diwarisi turun temurun. Nasutio n (1985 )
menguraika n pengertian tersebut dari kata 'A' yang berarti tidak dan 'Gam' yang
berarti pergi. Lain halnya menurut pendapat Latif dkk (1998 ) agam a berasal dari
kata 'A ' yan g berarti tidak dan
'Gama' yang berarti kacau, mak a agam a di artikan 'tida k kacau ' atau teratur, yang
ritus (tata peribadatan ) manusi a kepad a
ya norma (tata kaidah ) yan g mengatur
hub hubungan manusi a dengan alam
lainnya, tata peribadatan .
Rahardjo, 1996) melanjutka n bahw a
din entuk mashdar dari kat a kerj a dana,
yadi ata tersebut mengandun g banya k
arti, a
peraturan, (3) undang- undang , (4) taat
(6) pembalasan , (7) perhitungan, (8) har
3
apabila didefenisikan, akan menjad i aturan yan g mengatu r manusi a agar
kehidupannya menjadi teratur. Ada yan g menyataka n bahw a agam a berarti teks
atau kitab suci. Agama memang mempunya i kita b suci, selanjutnya dikatakan
lagi 'gam' berarti tuntunan. Memang agam a mengandun g ajaran - ajara n yang
menjad i tuntuna n hidup bagi pengautnya (Nasution, 1985).
Menurut Anshari ( 1986) Agama , religi dan din adalah satu sislema credo
(tata keimanan atau tata keyakinan ) atas adanya sesuatu yan g mutlak di luar manusi
a dan satu sistema n g dianggapny a Yang
Mutlak, serta sislema unga n manusia
dengan sesama manusia dan sesuai dan
sejalan dengan tata keimanan dan
Chalil ( yang berasal dari bahas a
arab merupakan b nu. Menurut lughah atau
segi bahasanya, k ntara lain (1) cara atau
adat kebiasaan, (2) atau patuh, (5)
menunggalka n ketuhanan, i kiamat, (9)
nasihat, dan (10) agama. Pend mbahka n
bahw a agam a dalam bahasa Alquran dan hadist, bisa disebut dun atau millah
atau syariah. Kata diin artinya pembalasan, adat kebiasaan, peraturan atau hari
kiamat. Kata millah berarti undang- undang atau peraturan, .dan kata syariah berarti
jala n yan g harus di lalui atau hukum.
Seorang tokoh ilm u psikologi, Fromm , (1988 ) mendefenisika n agam a
sebagai suatu sistem pemikiran dan tindakan yan g dilaksanaka n seeara bersam a
oleh suatu kelompok, yang memberika n kepad a individu kerangka orientasi
dan obje k
g seharusnya.
gkat dari kenyataan itu, religi dapat di
de keyakinan dan peribadatan yan g
berisi tuk mengikat dirinya terhada p
tuhannya ata ara turun temuru n serta
mengatu r hubunga
.
rut Salim (1990), ad a pengertian yang
ber an Religiousity. Religi yan g berasal
dar eligious yang berfungs i sebagai kata
sifat uousity yang berarti pengabdian
3
pengabdian. Menurut From m (Rahardjo , 1992) dalatn memandan g tuhan,
agama tersebut terbagi dua maca m yaitu agam a otoriter dan agam a humanis. Pad
a agam a otoriter tuhan menjadi pemilik satu-satunya terhada p manusi a yan g
sesungguhnya, termasuk cinta manusi a dan penalaran manusi a sendiri, karena
itu dalam proses keagamaan otoriter ini, maki n sempurn a tuhan dan makin tidak
sempurn a manusia. Agama humanis memandan g tuhan adalah citra manusi a
dalam perkembanga n kepribadian yang lebih tinggi, sebuah simbol dari potensi
manusi a sesungguhnya atau manusia yan
Reran fenisika n sebagai suatu sistem
pemikiran, aturan-aturan yan g
dilakukan manusia un u objek istimew a
yang diangga p mutlak see nny a antar
sesam a manusia, dan alam lainnya
Menu bed a antara religion atau
religi, Religious d i kat a bend a berarti
agama, sedangkan R berarti berkenaan
dengan agam a serta Religi ar kepada
agama , diambil dari bahasa latin. Sedangkan menuru t Salim dan Salim (1991 )
religius tersebut berasal dari kata benda yang berarti taat beragam a dan Pei
(1971 ) mengartikanny a menjad i seseorang yang melakuka n pengabdia n kepada
agamany a denga n tulus ikhlas. Meneermati pengertian- pengertian tersebut dapat
di simpulkan bahw a religius adalah seseorang yang melakuka n suatu aktivitas yan
g berkenaa n atau berkaitan dengan pengabdiannya kepada agamanya .
merupaka n dienullah atau agam a
All sa w sebagai pedoma n hidu p
umat m ahter a kehidupa n di dunia dan
akhirat (
998) dari segi bahasany a berasal
dari ca m arti, sal ah satu diantaranya
As lama agam a yan g mengajarka n
penyerahan diri m Allah tanp a tawar-
menawar .
memberika n pengertianny a bahw a
Islam larangan Allah SWT , yan g
3
2. Islam Sebagai Agam a
Manusia mempunya i kemampua n yan g terbatas didala m menghadap i
persoalan kehidupan yang kompleks . Realita s ini memaks a manusi a untuk mencar i
potensi lam untuk menyelesaikan persolan-persoala n hidupnya. Potensi tersebut
adalah agam a Allah atau religie atau dienullah, karen a meman g dalam
kehidupanny a manusi a itu pada dasarnya sudah mempunya i kecenderunga n
kepad a ketaatan kepada yang pencipta Tuhan rabbul 'alamin.
Islam ah yang dibaw a oleh
Nabi Muhammad anusi a agar selamat
dalam mengarungi b Muslich, 1992). Islam
menurut Latif dkk (1 bahas a arab yan g
mempunya i berbagai ma berarti menyera h
atau masuk Islam, yakni kepad a Allah,
tunduk dan taat kepada huku
Haww a itu bermakn a menerim a
segala perintah dan lam wahy u yan g
dituntunkan kepada Nabi. h dan hatinya
dalam semua persolan hidu p kepad a Allah, mak a ia adalah seorang muslim .
Pendapat tersebut dapat di artikan bahwa , orang yan g semu a aktivitas dan
perbuatanny a ditujuka n kepada Allah berarti dia diangga p sebagai umma t Islam atau
muslim.
Agam a seeara garis besa r dapat dibagi menjad i dua bagian besa r (Muslich,
1992)., yang pertam a agam a ihabii yan g berarti agam a bumi atau agam a buday a
dan yang kedua agam a samawi yan g berarti agam a langit atau agam a wahyu. Islam
adalah agama satu- satuny a agam a samaw i yan g merupaka n agam a langit yan g
dirdhoi oleh
atau ajaran illahi yang dibaw a oleh
N doman ummatny a duni a dan
akhirat. O h dan menjauh i larangan
nya, serta me ada Allah disebut sebagai
muslim.
tian Orientasi Religius
Nuttin (Jalaluddm,1998 ) menjelaska n
alah satu dorongan yan g bekerj a dala
ongan lainnya, seperti makan , minum ,
int maka dorongan beragam a menuntut
3
Allah. Allah mengatakan dalam Alquran Surat Ali Imron ayat 19, ' Sesungguhny
a agama yang di ridhoi oleh Allah adalah Islam'' Dasuki dkk (1994 ) menegaska n
lagi bahwa Islam itu adalah agam a samaw i terakhir yan g di wahyuka n oleh Allah
SW T kepada utusanNya, Muhamma d SAW , untuk di sampaika n kepada seluruh
umma t manusia di dunia. Agam a Islam bersifa t universal dan menjad i rahma t
bagi seluruh alam ( rahmah li al- alamin).
Berdasarkan uraian-uraia n tersebut dapat dinyatakan bahw a Islam merupaka
n agama langit abi Muhamma d SAW
untuk dijadikan pe rang-oran g yang
mematuhi pcrintah Alla nghadapka n semua
persoalan hidupnya kep
3. Penger
Robert bahw a dorongan beragam
a merupakan s m diri manusi a
sebagaimana dorongan-dor elek dan
sebagainya. Sejalan dengan itu k
dipenuhi sehingga pribadi manusia itu mendapat kepuasa n dan ketenangan. Doronga
n beragam a jug a merupaka n suatu kebutuhan insaniah yang tumbuhny a dari
gabungan berbagai fakto r penyeba b yang bersumber dari rasa keagamaa n seseorang.
Menurut Fromm (Muthahari , 1989) tidak seorang pun yang tidak membutuhka
n agama dan tidak membutuhka n aturan- aturan sebagai penuntunny a dan pengatur
cinta dan kepentingan-kepentingannya. Bis a jad i ia tidak sadar akan keyakinan-
keyakina n keagamaan sebagai sesuatu yan g berbed a dari keyakinan-keyakina n
totalnya dan
4
a baik itu Islam, Kristen, Budh a , Hindu
d pohon dan patung. Permasalahany a
sek n dianut oleh seseorang sebagai
impleme ermasalahannya adalah apakah
seseorang
u belum.
i religius atau keagamaa n yang dimiliki
s nusia akan keterbatasan kemampua n yan
g sekitar. Manusi a menyadari akan segala
m ghadapi cobaa n dan musibah-musiba
berpikir bahwa ia tidak memiliki agam a dan mengangga p cinta dan
kepentingannya adalah sesuatu yan g nyata-nyata tidak bersifat religius,
seperti kekuasaan , kemakmuran dan kebahagiaan , sebagai tanda-tand a dari
ketertarikanya pad a peristiwa peristiwa praktis dan sesuai denga n kesempatan-
kesempata n yang dipunyainya. Masalahnya bukan pada seseorang menganu t agam a
atau tidak menganu t suatu agama, mclainkan agama apaka h yan g dia praktekan.
Pemikiran tersebut menjelaska n bahw a semu a oran g membutuhka n
agama, agama apa saj an masi h banyak lagi
yan g lain seperti batu, arang buka n pada
jeni s agam a apa yang aka ntas i kepercayaa
n pad a tuhan , akan tetapi p tersebut sudah
memprektekka n agamanya ata
Orientas eseorang merupakan cerminan
pada diri ma dimilikinya untuk berinteraksi
dengan alam aca m bentuk keterbatasanny
a dalam men hidup, untuk itu
manusia membutuhkan a n salah satu yang
memotivasi seseorang ntuk memelu k suatu agam a adalah karena keinginan
untuk mcngatasi frustrasi yang disebabka n oleh kesusahan jasmani . Selain
dorongan kebutuhan tersebut, ada sisi lain yan g perlu di perhatikan yakni naluri
beragam a atau naluri keagamaan yaitu merupaka n suatu doronga n didala m diri
manuis a untuk mangakui adanya suatu zat yan g adikodrati (supernaluaral)
Jalaluddin (1998). Manusi a dimanapun berada da n bagaimanapu n merek a
hidup, baik seeara kelompo k atau sendiri-sendiri terdoron g untuk berbua t
memperagaka n diri dalam bentuk pengabdian
rakar dalam dirinya untuk menemuka n diri
ipusat alam, tempat komunikasi dengan
eringkali muncu l dala m bentuk legenda-
le
ologi. (Madjid , 1997)
utkan dari penjelasa n tentan g naluri keaga
97) menyebutny a sebagai naluri
religi an. Naluri itu muncu l bersamaa n
denga tang hidu p dan alam raya yan g
menjad i
4
kepada zat Yang Mah a Tinggi itu. Naluri keagamaa n tersebut mamp u
memberikan kontribusi pada dirinya untuk tabah dan sabar menghadap i segala maca m
cobaan dan musibah dengan berdoa atau memint a pertolongan kepad a zat yan g
telah diakumy a mempunyai kekuatan Mah a Besar. Naluri keagamaa n dapat
digambarka n dengan mengatakan bahwa setiap orang sekalipun tanpa disadari,
cenderun g tnengarah ke pusat, dan menuju pusatnya sendiri, diman a ia akan
menemuka n hakikat yan g utuh yaitu rasa kesucian (Mirce a Eliad e dalam Madjid ,
1997). Keingina n yang begitu mendalam be
nya pada inti wuju d hakiki itu yang berada d
langit. Keinginan yang begitu mendalam, s
genda, dongeng-dongen g dan mitologi-mit
Melanj maa n yang dimiliki
manusia, Madjid (19 usitas atau
naluri untuk berkepercaya n hasrat untuk
memperole h kejelasan ten lingkungan
hidupny a sendiri. Oleh karena it besar yaitu
masyaraka t mesti memiliki kei hidup" .
Seeara antropologis - kultural, makna hidup itu seingkali teraktualisasikan dalam
berbagai legenda, dongeng, dan mitologi yang cenderun g semu, mak a fungsi dan
kegunaanny a pun bersifat sementara, tidak hakiki. Makn a hidup yan g hakiki
dan sejati itu adalah agama. Agama sebagai sistem keyakinan menyediaka n konse
p tentan g hakikat dan makna hidup itu, tetapi ia tidak terdapat pada segi segi
formal atau bentuk lahiriah keagamaan. Ia berada di baliknya, karen a itu formalita s
haru s " ditembus" , batas-batas lahiriah harus "diseberangi". Kemampua n melampau
i segi-segi itu (niscaya) akan
g seeara spontan dan alamiah terjadi
pada nusia sebagai inti pusat kepribadian
nya s sia atau lingkungan hidupnya.
faktor tersebut yan g pertam a adalah
sebu n dan alamiah, artinya dorongan -
doronga
timbulkan manusi a dengan sengaja.
Do bekerja otomatis. Tida k dikerjaka n
manu kedua merupaka n lanjutan dari
fakto r ya pontan 'terjadi ' pad a diri
manusi a dijad ggapi positif terhada p
4
bcrdampak pada tumbuhnya sikap-sikap religius individu maupu n mayaraka t
yang lebih sejalan dengan makn a dan maksu d hakiki ajara n agama.
Dister (1992), setiap kelakuan manusia , termasu k kelakua n
beragama , merupakan buah hasil dari hubunga n timbal balik antara tiga faktor.
Ketiga-tiganya memainkan peranan dalam melahirkan tindakan insani, meskipu n
dalam suatu perbuatan , faktor yang satu lebih besar perannya di bandingka n dengan
tindakan yang lain, atau sebaliknya. Ketig a fakto r tersebut terdiri dan , pertam a
sebuah gerak atau dorongan yan manusia.
Faktor kedu a adalah keakuan ma erta faktor
yang terakhir yaitu situasi manu
Ketiga ah gerak atau dorongan yang
seeara sponta n ini timbul dengan sendirinya
dan tidak di ronga n semaca m itu
bersifat alamiah dan si a sendiri dengan "
tahu dan mau". Faktor n g pertama , artinya
dorongan yang seeara s ika n sebagai
miliknya sendiri, jika ia mena dan begitu
sebaliknya. Situasi lingkungan hidup seseorang yan g merupaka n fakto r terakhir
yan g dikemukakannya . Faktor ini menjelaskan bahw a manusi a tidak bisa
terlepas dari lingkungan hidup seseorang yang mempengaruh i keputusan seseorang
dala m berbuat.
4. Aspek- aspek Orientasi Religius.
Orientasi keagamaa n yang di miliki oleh seseorang tidak dapat di
ukur berdasarkan keseringan seseorang tersebut melakuka n ibadah kepad a Allah,
akan
memperole h banyak kenalan sehing
dengan mudah .
i keagamaa n (orientasi religius) yan g
d ngan melihat motivasi dan visi
psiko ntuk taat menjalanka n ajara n
agamanya
agamany a karen a ada satu motivasi
un dipandan g sebagai anak yang baik-
baik, d ny a karen a semata- mat a
termotivasi untu nuru t Allport dan Ross
(1977) orientasi rel di dua kutub , yaitu
4
tetapi harus di lihat dan di ukur seeara menyeluru h dari berbagai aspek.
Menurut Allport (Rakhmat , 1994) religiusitas haru s diukur denga n Comprehensive
Comitmenl yang menyeluruh dala m seluruh ajara n agama . Seorang musli m
yan g sering melakukan sholat kemesji d belu m dapat dikatakan bahw a oran g
tersebut mempunya i orientasi keagamaa n yan g baik. Boleh jadi seseorang sering
datan g kemesji d karena ada maksud lain, buka n semata-mat a beribadah seperti
datang kemesji d untuk mendapat penghargaa n dari orang lain supaya dikatakan
oran g alim, dan mungkin dalam rangka ga
bisa memasarka n barang dagangannya
Orientas imiliki oleh seseorang dapat
diketahui de logis yan g melatarbelakangi
seseorang u . Bisa jad i seseorang taat
menjalankan tuk mencari perhatian calon
mertua, agar an ada yan g taat menjalanka
n ajaran agama k mendapatka n kecintaan
dari tuhannya. Me igius pad a diri seseoran g
dapat dibagi menja an ekstrinsik. Individu
yang termotivasi seeara intrinsik aka n 'menghidup i agamanya ' dan sebaliknya
individu yang termotivasi ekstrinsik mak a ia akan 'memanfaatka n agamanya' .
Orientasi keagamaan ekstrinsik cenderun g memanfaatka n agam a derni kepentingan
sendiri. Istilah tersebut diambil alih dari aksiologi untuk menunjukka n suatu
kepentingan yang dilakukan semata-mata demi melayani kepentingan-kepentinga n
lain, yang bagi individu itu bersifa t lebih pokok . Individu yan g menganu t
orientasi keagamaa n ekstrinsik akan memandan g agam a dalam rangka kegunaa n
untuk berbagai hal, antara
motivasi kehidupan keagamaanny a
dal ebutuhan lain., sekuat apapun juga ,
diang ngkin diintergrasikan dalam
keselarasan d ajaran-ajaran Tuhan.
Setelah memelu k su berusaha
menginternalisasikan dan men
m pengertian demikian , dapat
dikatakan agamanya.
arkan penafsiran Hunt dan King (1977
) llport Feagin (yang dikembangaka n dari
has mpinan Allport sendiri), beberap a
4
lain untuk memperoleh rasa aman, penghiburan, pembenaran diri, keyakinan yang
dipcluknya cenderung dianut atau dilambangka n seeara selektif agar cocok
dengan kebutuhan- kebutuhan yang lebih primer. Bagi merek a agam a
berguna untuk mendukung kepercayaan diri, memperbaiki satus, bertahan melawa n
kenyataan atau memberi sanksi pada suatu cara hidup. Dengan demikian , dapat
dikatakan bahwa individu tersebut diatas "memanfaatka n " agamanya.
Sementara itu individu yang memiliki orientasi keagamaa n
intrinsik menunjukkan am agam a yang
dianutnya. Kebutuhan- k ga p kuran g
begitu berarti dan sedapat mu engan
keyakinan dan ajaran agama atau atu
keyakina n individu yang bersangkutan
gikuti ajaran agam a seeara penuh. Dala
bahw a individu tersebut " menghidupi"
Berdas terhada p
Intrinsik/Ekstrinsik Seale dan A il sebuah
seminar di Harvard di bawah pi kap
berkaitan dengan masing- masing orientasi kehidupan keagamaa n adalah sebagai
benkut :
Pertama, Persona l Vs Institusional: membatinka n seeara personal nilai-
nilai ajaran agama sebagai hal yang vital dan berupava mengusahaka n tingkat
penghayatan yang lebih dalam vs penghayatan agam a yang bersifa t institusional atau
dalam kontek s kelembagaan.
menerim a keyakinan agamany a seeara
pe dihayati seeara dangkal; keyakinan
dan
Pokok dan instrumental : keyakina n
a ama sebagai sarana ( intrinsik vs
eksrinsik
, Assoslasional vs komunal ,
keterlibatan lebih dalam vs affihasi demi
sosiabilitas da
4
Kedua, Unselfish Vs Selfish berusah a mentransendensikan
kebutuhan- kebutuhan yang terpusat kepad a diri sendiri vs pemuasa n diri sendiri,
pemanfaata n protektif untuk kepentingan pribadi.
Ketiga, Relevansi terhada p kesciuruhan kcpribadian memenuh
i kehidupannya dengan memotivasi dan makna religius vs terpilahkan atau tidak
tenntegrasikan kedalam keseluruahn pendangan hidupnya.
Keempat, Kepenuha n penghayata n keyakinan: berima n dengan
sungguh- sungguh dan nuh tamp a syarat vs
iman dan kepercayaan ajaran agama tidak
dihayali seeara penuh
Kelima, gam a sebagai tujua n akhir
vs keyakinan ag seeara aksiologis).
Keenam religius demi pencarian nilai
religius yang n status.
Ketujuh, iman ; penjagaa n iman
yang konsisten dan embanga n iman atau
perhatian terhadap per
Penjelasan ketuju h aspek orientasi keagamaa n tersebut, dapat diambil
sebuah kesimpulan bahwa, individu yang memiliki orientasi keagamaa n
intrinsik akan memandang agama dengan persepekti f yang bersifa t personal,
unselfish, maknawi , penuh penghayatan, pokok assets iasional, serta mengusahaka
n imannya seeara konsisten. Individu yan g berorientasi instrinsik akan
menghayati dan merealisasikan dalam wujud tingkah lak u ajaran-ajara n agam a
yang dipahaminy a seeara sungguh-
bunga n Orientas i Religius . Jeni s Keiami
n mati penjelasa n diatas, dapat di
pah
agamany a seeara sungguh-sungguh u
ntunya tidak akan melanggar perintah
mikian, namun bis a jadi ada variabel lain
y
4
sungguh dan tidak akan terjebak untuk memanfaatka n agamany a demi
kepentingan- kepentingan pribadi.
Sementara itu individu yan g memiliki orientasi ekstirinsik akan memperseps
i dengan prespektif yan g institusionalselfish, agam a tidak terintegrasikan
dalam keseluruhan pandangan hidupnya , penghayata n yang dangkal , keyakina n
agam a sebagai sarana, komunal serta ketidakteraturan pemeliharaa n dan perkembanga
n iman. Orientasi religius yan g di maksu d di dalam penelitian ini adalah orientasi
religius intrinsik.
C . Hu da n Intens i Menyonte k
Mencer ami bahwa seseorang yang
menjalankan ntuk mendapatka n kecintaan
tuhannya, te agama , termasuk
menyontek. Idealnya de ang cuku p
berperana n seperti dalam penelit g
mempunya i orientasi religius intrinsik yang
h jenis kelaminnya , sehingga intensi meny
rientasi religiusnya yan g lebih intrinsik, akan tetapi karen a ia berjeni s keiamin laki-
laki justr u intensi menyontekny a tetap saja menjadi tinggi, itu semua baru dugaan
sementara yang harus di buktikan dalam penelitian ini.
Berdasarkan perbedaa n jeni s keiamin, Davis (Newstea d dkk, 1996) siswa
laki- laki lebih banyak menyontek dari pada siswa perempuan , penelitian
tersebut dilakukan terhadap 600 0 siswa. Sementar a itu penelitian Burn, Davis,
Hoshino dan
r dalam Sujana , 1995). Sementar a itu,
Kal bahwa anak laki-lak i lebih
mengharapka n
k perempuan dan kalaupu n menyontek
d anita lebih banya k menyonte k karen a
kei Cochran dalam Newstea d dkk,
1996).
urvei yang lain telah membuktika n bah
ntek mempunya i pandanga n bahw a
menyo tidak juju r (Newstea d dkk, 1996).
Survei yontek berhubunga n denga n
4
Miller (Athanasou, 2001 ) terhada p mahasisw a Jepan g yang merupaka n negara
asia, menemukan mahasiswa laki-laki lebih banyak menyonte k daripad a yang
perempua n dengan proporsi 45 persen laki-laki dan 37 persen perempuan . Anak
perempua n menyontek terutama karena tidak cukupny a wakt u untuk belaja r dan
tekanan yang berasal dari teman-teman mereka , sementera itu siswa laki-laki
menyontek karena alasan tidak cukupnya wakt u untuk belajar , memenuh i tuntutan
syarat kelulusan dari sekolah, memuaskan harapa n orang tua, serta untuk
menyenangka n hati instruktur atau dosen (Cinde
avik (Lobel & Levanon, 1988) menjelaskan
sukses dalam tugas akademik daripada ana i
sebabka n karena takut pada kegagalan. W
nginan untuk membant u teman (Calabrese &
Hasil s w a sebanyak 20 % siswa
yang tidak menyo nte k merupaka n perilaku
tidak bermoral dan tersebut memberika n
cerminan bahwa men ng dimiliki oleh
seseorang Selanjutnya n bahw a
perkembanga n moral pada diri seseorang berkorelas i negatif dengan menyontek.
Artinya seseorang yan g mempunyai perkembanga n moral yang baik mak a
intensi untuk menyontekny a berkurang dan demikian pula sebaliknya.
Konsep moral yan g dimiliki oleh seseorang dalam dataran formal berasal
dari lingkungan pendidikan dan lembag a agama. Lembag a tersebut mempunya i
pengaruh dalam pembentukan sikap pad a diri seseorang. Pemahama n akan baik dan
buruk , garis pemisah antara sesuatu yan g boleh dan yang tidak boleh dilakukan,
diperoleh dari
ang telah terbentuk, memberika n standar ni
an mengkajinya seeara kritis. Moral tid
ama. Moral yang terpisah denga n
aga n kehancuran bagi suatu bangsa ,
menuru t
dipisahkan dari agam a mak a akan
terjadi anusia.
(1997) memberika n penjelasan seeara
n oral berpengaruh terhada p perilaku
yan g
4
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajara n ajarannya. Sistem moral
didalam diri seseorang tebentuk karena konse p moral dan ajara n agam a tersebut,
mak a tidak mengherankan kalau pada gilirannya kemudia n konse p tersebut itu
berperana n dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu (Azwar, 1997).
Menurut Darajat (1991) kehidupan moral tidak bis a dipisahkan dari
agama. Agama memberikan seperangkat nilai tertinggi yan g mendasari moralitas
masyarakat. Agama memberikan dukungan moral, mensucika n norma-norm a
dan nilai-nilai mavarakat y lai terhadap
norma-norm a yang sudah ada d ak bisa
dilepaskan begitu saja dengan ag m a
ataupu n sebaliknya akan mendatangka
Odea (Jamaluddm , 1995) jik a moral telah
kerusakan dan kezaliman pada
kehidupan
Azwar yata tentan g bagaiman a
peran agama dan m dimunculka n oleh
seseorang. Apabila ter al, pada posisi
sikapnya atau mungkin jug emihak. Ajara n
agama sering dijadikan sebagai determinan untuk menentuka n sikapnya. Apabila
kita mengambil eontoh pada perilaku menyontek mak a mereka yan g melihat
memandan g menyontek sebagai hal yang waja r tidak berkaitan dengan masalah
moral dan agama, akan mempunyai sikap yan g bermacam-maca m tergantung
pad a latar belakan g pengalamannya yang relevan dengan masalah menyonte k
tersebut, yan g tergantung pada lingkungan akademik , peraturan akademik ,
karaktensti k individu dan lam sebagainya. Sebaliknya, bagi merek a yang
memandan g menyontek merupaka n
g bersifat intrinsik dan orientasi religius
ya yang ekstrinsik cenderun g
memanfaatka n erti untuk memperole h
rasa aman , penghi
status dan agar lebih percaya diri.
Seme orang yang mengikuti ajaran
agamany a den Nashori, 1998). Merek a
memandan g segala arti apa-apa bila tidak
di integrasikan dala ilai-nilai agam a
termternalisasi didalam iamalkan sesuai
dengan ketentuan, aturan apkan, sehingga
4
perbuatan yang tidak bermoral bertentangan dengan ajara n agam a tidak akan
ada keraguan untuk bersikap antipati dan menolak .
Memperhatikan uraian tersebut, peran agam a berperan cuku p besa r terhada
p munculnya perilaku tidak bermoral, karen a sinergisitas antara moral dan agam
a seolah-olah tidak dapat dipisahkan. Pad a penelitian ini akan melihat hubunga n
antara orientasi religius yang dimiliki oleh seseorang denga n intensi menyontek .
Allport dan Ross (1977) membagi orientasi religius tersebut menjad i dua bagian ,
yaitu orientasi religius yan n g bersifat
ekstrinsik. Orientasi keagamaan agamany a
untuk kepentingan sendiri, sep buran ,
pembenaha n diri, untuk memperbaiki ntar a
itu yan g bersifa t intrinsik adalah sese ga n
motivasi untuk menghidupi agamanya (
maca m bentu k kebutuha n tidak mempunyai
m keyakina n beragama , dengan kata lain n
kehidupannya . Ajara n agam a eenderung d
dan kewajiban-kewajiba n yang telah di tet
l dan kepribadian yan g sesuai dengan ajaran agamanya.
Intensi menyontek merupaka n niat yang bersifa t subjektif pada diri
seseorang termasuk sikap dan norma-norm a subjektif yan g dimilikiny a terhada
p perilaku menyontek. Seseorang yan g mempunya i intensi menyonte k aka n
cenderun g memandang menyontek merupaka n hal yan g biasa dan aka n bersika p
membiarka n temannya melakukan perbuata n tersebut, dan termasu k dirinya
sendiri. Menyonte k merupakan satu perbuatan yan g tidak jujur , bohong ,
menip u yan g nilai-nilai
5
orelasi negatif antara orientasi religius
denga orientasi religiusnya mak a semak
m renda
gitu sebaliknya.
erbedaan intensi terhada p menyontek
ant i lebih tinggi intensi untuk
menyontek dar
terkandung didalamnya bertentangan dengan ajaran agama. Apabila melihat penjelasan
dan Allport & Ross (1977), dapat diketahui bahw a seseorang yang mempunya
i orientasi instrinsik tidak akan menyontek karen a memandan g perbuatan tersebut
tidak sesuai dengan nilai ajaran agamanya dan begitu pula sebaliknya.
D. Hipotesi s
Berdasarkan landasan teori di atas, mak a diajuka n hipotesis penelitian
sebagai berikut:
I Ada k n intensi menyontek. Semakin
intrinsik h intensinya untuk menyontek ,
dan be
2. Ada p ara laki-laki dan
perempuan. l.aki-lak ipada perempuan.