library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2014-2... · Web viewJadi,...
Transcript of library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2014-2... · Web viewJadi,...
BAB 2
LANDASAN TEORI
Untuk menelaah masalah Reverberation Time (RT) yang sebelumnya
dirumuskan, maka ada dua hal yang ditinjau, yaitu tinjauan umum dan tinjauan
khusus. Tinjauan umum membahas mengenai akustik dan gereja katolik. Sedangkan
tinjauan khusus membahas mengenai Reverberation Time (RT) dan sistem akustik
adaptif.
2.1. Tinjauan Umum
2.1.1. Akustik Gereja
Yang disebut dengan akustik ruang tertutup berarti secara fisik benar-benar
tertutup, yaitu dibatasi oleh dinding, lantai, dan atap atau plafon. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata “bunyi” memiliki beberapa definisi, yaitu sesuatu yang
terdengar (didengar) atau ditangkap oleh telinga, nada, laras (pada alat musik atau
nyanyian dan sebagainya), kesan pada pusat saraf sebagai akibat getaran gendangan
telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara, ucapan apa
yang tertulis (surat, huruf, dan sebagainya). Menurut Wikipedia, bunyi atau suara
adalah pemampatan mekanis atau gelombang longitudinal yang merambat melalui
medium. Medium atau zat perantara ini dapat berupa zat cair, padat, gas. Jadi,
gelombang bunyi dapat merambat misalnya di dalam air, batu bara, atau udara.
Prinsip kerja akustik pada ruang tertutup adalah saat terjadi bunyi, maka terdapat
gelombang bunyi yang akan menumbuk dinding-dinding suat ruang, kemudian
sebagian energinya akan dipantulkan (refleksi), diserap (absorpsi), disebarkan
(difusi), dibelokkan (difraksi) atau ditransmisikan ke ruang yang berdampingan,
tergantung pada sifat akustik dindingnya.
5
6
(1) Bunyi datang / bunyi langsung(2) Bunyi pantul(3) Bunyi yang diserap oleh bagian
permukaan(4) Bunyi difus / bunyi yang disebar(5) Buyni difraksi atau bunyi yang
hilang dalam struktur bangunan(6) Bunyi yang ditransmisi(7) Bunyi yang hilang dalam struktur
bangunan(8) Bunyi yang dirambatkan oleh
struktur bangunan
Gambar. 3 Kelakuan Bunyi Dalam Ruang TertutupSumber : Environmental Acoustics (Leslie L. Doelle, 1986)
Gambar. 4 Reflector, Absorber, dan DiffuserSumber : Akustika Bangunan (Mediastika, 2005)
Manusia mendengar bunyi saat gelombang bunyi, yaitu getaran di udara
atau medium lain, sampai ke gendang telinga manusia. Batas frekuensi bunyi yang
dapat didengar oleh telinga manusia berkisar antara 20 Hz sampai 20 kHz pada
7
amplitudo berbagai variasi dalam kurva responsnya. Suara di atas 20 kHz disebut
ultrasonik dan di bawah 20 Hz disebut infrasonik. Berdasarkan Menteri Kesehatan,
daerah dibagi sesuai dengan titik kebisingan yang diizinkan, sehingga gereja
termasuk dalam Zona A yaitu tempat sosial, dimana memiliki intensitas 35 - 45 dB.
Ukuran keseluruhan dari permukaan yang menonjol dan ukuran dari
tempelan lapisan penyerap harus cukup besar dibanding panjang gelombang bunyi
dalam seluruh jangkauan frekuensi audio. Proyeksi penonjolan permukaan yang tak
teratur harus mencapai paling sedikit sepertujuh panjang gelombang bunyi yang
harus didifusikan. Menurut Leslie L. Doelle, dalam rancangan akustik gereja, harus
diberikan perhatian pada persyaratan/kebutuhan akustik masing-masing ruangan ini.
1. Daerah mimbar harus cukup dinaikkan dan dikelilingi oleh pagar pemantul
supaya tersedia keadaan yang baik untuk memproyeksi pembicaraan ke arah
jemaat.
2. Organ dan paduan suara harus berada dalam daerah yang menyediakan
lingkungan akustik yang disukai untuk musik, dan mereka harus dikelilingi
oleh permukaan-permukaan pemantul tanpa menimbulkan gema, gaung,
atau pemusatan bunyi. Hubungan letak antara pemain organ, organ,
pemimpin paduan suara, dan paduan suara harus dipertimbangkan dengan
teliti.
3. Tiap sektor jemaat harus menikmati kondisi mendengar yang baik selama
tiap acara kebaktian. Karena ruang dalam auditorium gereja selalu lebih
banyak daripada yang dibutuhkan secara akustik, pengendalian RT akan
membutuhkan sejumlah lapisan akustik.
4. Ruang-ruang gandeng membutuhkan pengendalian dengung tersendiri
supaya kondisi dengung di dalamnya tidak bertentangan dengan kondisi
dengung yang berlaku dalam bagian utama auditorium gereja.
5. Perhatian yang luar biasa harus diberikan untuk mengeliminasi bising
sebagai kebutuhan awal untuk meditasi dan berdoa.
A. Gelombang Bunyi
Bunyi adalah gelombang longitudinal yang merambat melalui medium,
yang dihasilkan oleh getaran mekanis dan merupakan hasil perambatan energi.
Gelombang bunyi terdiri dari molekul-molekul udara yang tidak pernah merambat
melainkan bergetar maju-mundur. Tiap saat, molekul-molekul itu berdesakan di
beberapa tempat, sehingga menghasilkan wilayah tekanan tinggi, tapi di tempat lain
8
merenggang, sehingga menghasilkan wilayah tekanan rendah. Gelombang
bertekanan tinggi dan rendah secara bergantian bergerak di udara, menyebar dari
sumber bunyi. Itulah alasannya mengapa gelombang bunyi adalah gelombang
longitudinal. Gelombang bunyi tidak berhenti saat bertemu dengan batas medium
atau saat bertemu dengan sebuah penghalang, tetapi akan terjadi pemantulan bunyi.
B. Refleksi
Refleksi biasa disebut dengan pemantulan bunyi. Berdasarkan
Environmental Acoustics, permukaan yang keras, tegar, dan rata, seperti beton, bata,
batu plester, atau gelas, memantulkan hampir semua energi bunyi yang jatuh
padanya. Sinar bunyi datang dan pantul terletak dalam bidang datar yang sama dan
sudut gelombang bunyi datang sama dengan sudut gelombang bunyi pantul (hukum
pemantulan) (Leslie L. Doelle, 1986). Berdasarkan Fisika Bangunan 2 (Satwiko,
2004), ukuran dan bentuk permukaan akan mempengaruhi bunyi yang mengenainya
dalam bentuk refleksi jika panjang atau lebar permukaan lebih besar dari empat kali
panjang gelombang bunyi, x>4λ.
Pemantulan yang terjadi dapat berupa pemantulan yang tersebar (bila
mengenai bidang batas mendatar atau bidang batas cembung) dan dapat juga berupa
pemantulan terfokus (bila mengenai bidang batas cekung). Pada bidang cembung
adalah buruk dalam memantulkan suara, dan pada bidang datar miring adalah paling
efektif dan ideal dalam memantulkan suara, dan terakhir, pada bidang cekung, terjadi
pemusatan suara dan sangat buruk dalam memantulkan suara.
9
(1) Pemantulan merata(2) Penyebaran bunyi(3) Pemusatan bunyi
Gambar 5. Pemantulan Bunyi Dari Permukan Dengan Bentuk BerbedaSumber : Environmental Acoustics (Leslie L. Doelle, 1986)
Gambar 6. Pemantulan Bunyi Dari Permukan Dengan Bentuk BerbedaSumber : Environmental Acoustics (Leslie L. Doelle, 1986)
C. Absorbsi
Berdasarkan Fisika Bangunan 1 (Satwiko, 2003), absorpsi adalah
perbandingan antara energi yang tidak dipantulkan kembali dan energi bunyi
10
keseluruhan yang datang, diukur dengan Sabine. Serapan bahan akan menentukan
lama waktu dengung. Bahan lembut, berpori, dan kain serta juga manusia, menyerap
sebagian besar gelombang bunyi yang menumbuk penyerap bunyi (Leslie L. Doelle,
1986).
Berdasarkan Environmental Acoustics, definisi dari penyerapan bunyi
adalah perubahan energi bunyi menjadi suatu bentuk lain, biasanya panas, ketika
melewati suatu bahan atau ketika menumbuk suatu permukaan. Jumlah panas yang
dihasilkan perubahan energi ini sangat kecil, sedangkan kecepatan perambatan
gelombang bunyi tidak dipengaruhi oleh penyerapan. Dalam penyerapan bunyi,
terdapat unsur-unsur yang yang dapat menunjang yaitu (1) lapisan permukaan
dinding, lantai, dan atap; (2) isi ruang seperti penonton, bahan tirai, tempat duduk
dengan lapisan lunak dan karpet; dan (3) udara dalam ruang. Efisiensi penyerapan
bunyi suatu bahan pada suatu frekuensi tertentu dinyatakan oleh koefisien
penyerapan bunyi. Koefisien penyerapan bunyi suatu permukaan adalah energi bunyi
datang yang diserap, atau tidak dipantulkan oleh permukaan, dan dinyatakan dalam
huruf Greek α.
Berdasarkan Akustika Bangunan (Mediastika, 2005), penyerapan
gelombang bunyi akan mengakibatkan berkurang atau menurunnya energi bunyi
yang menimpa batas tersebut. Penyerapan oleh elemen pembatas ruangan sangat
bermanfaat untuk mengurangi tingkat kekuatan bunyi yang terjadi, sehingga dapat
mengurangi kebisingan dalam ruang dan juga dapat bermanfaat untuk mengontrol
waktu dengung (RT). Tingkat penyerapan suatu material ditentukan oleh koefisien
serap/koefisien absorpsi material tersebut. Koefisien absorpsi adalah angka yang
menunjukkan jumlah/proporsi dari keseluruhan energi bunyi yang datang yang
mampu diserap oleh material tersebut. Beberapa jenis absorber yang umumnya
dijumpai adalah material berpori, panel penyerap, dan rongga penyerap.
D. Reverbrasi
Dalam bunyi, terdapat tolak ukur yang digunakan yaitu Reverberation Time
(RT). Reverberation Time (RT) biasa disebut juga sebagai waktu dengung. James
Cowan (2000) mengatakan bahwa reverberation (gema/gaung) merupakan
penumpukan bunyi dalam ruang, yang dihasilkan oleh pemantulan gelombang bunyi
yang berulang-ulang dari seluruh permukaan sebuah ruang. Bila waktu yang
dibutuhkan panjang, maka RT ruangan tersebut panjang, dan hal tersebut cocok
untuk ruangan untuk musik. Sedangkan bila waktu yang dibutuhkan pendek, maka
11
RT ruangan tersebut pendek, sehingga cocok untuk speech (inteligibilitas perkataan
dan kejelasan bunyi).
E. Resonansi
Berdasarkan Akustika Bangunan (Mediastika, 2005), resonansi adalah
peristiwa ikut bergetarnya objek yang berada pada jarak tertentu dari sebuah objek
sumber bunyi yang bergetar, karena objek yang ikut bergetar tersebut memiliki
kesamaan atau kemiripan frekuensi dengan objek sumber bunyi yang bergetar.
Resonansi akan terjadi sangat kuat bila dua objek tersebut sama persis frekuensinya,
namun tidak terlalu kuat ketika kedua objek hanya berdekatan frekuensinya.
Resonansi juga terjadi lebih kuat ketika jarak kedua objek cukup dekat.
Selain diakibatkan oleh kesamaan atau kemiripan frekuensi, resonansi juga
dapat terjadi ketika objek sumber bunyi yang bergetar adalah objek yang memiliki
kekuatan getaran yang hebat (objek dengan panjang gelombang yang besar atau
objek dengan frekuensi rendah), sehingga mampu menggetarkan objek lain yang
tidak memiliki kedekatan frekuensi.
F. Difusi
Berdasarkan Fisika Bangunan 2 (Satwiko, 2004), ukuran dan bentuk
permukaan akan mempengaruhi bunyi yang mengenainya dalam bentuk difusi jika
kedalaman ceruk sama dengan panjang gelombang bunyi, x=λ. Berdasarkan
Environmental Acoustics (Leslie L. Doelle, 1986), difusi bunyi atau penyebaran
bunyi terjadi dalam ruang bila tekanan bunyi di setiap bagian suatu auditorium sama
dan gelombang bunyi dapat merambat dalam semua arah. Menurut buku Akustika
Bangunan (Mediatika, 2005), difusi adalah gejala terjadinya pemantulan yang
menyebar, karena gelombang bunyi menerpa permukaan yang tidak rata.
Terdapat hal penting yang harus diperhatikan dalam usaha pengadaan difusi
dalam ruang, yaitu permukaan tak teratur (permukaan elemen bangunan yang
ditonjolkan, langit-langit yang ditutup, dinding-dinding yang bergerigi, kotak-kotak
yang menonjol, dekorasi permukaan yang dipahat, bukaan jendela yang dalam, dan
lain-lain) harus banyak digunakan, dan harus cukup besar.
12
(A) Ketidakteraturan permukaan(B) Permukaan penyerap bunyi dan
pemantul bunyi yang digunakan secara bergantian
(C) Lapisan akustik dengan penyerapan bunyi yang berbeda
Gambar 7. Jenis Permukaan Untuk Menghasilkan Difusi Bunyi Yang MerataSumber : Environmental Acoustics (Leslie L. Doelle, 1986)
Difusi bunyi yang cukup adalah ciri akustik yang diperlukan pada jenis-
jenis ruang tertentu, karena ruang-ruang itu membutuhkan distribusi bunyi yang
merata, mengutamakan kualitas musik dan pembicaraan aslinya, dan menghalangi
cacat akustik yang tak diinginkan. Difusi bunyi dapat diciptakan dengan beberapa
cara:
1. Pemakaian permukaan dan elemen penyebar yang tak teratur dalam jumlah
yang banyak sekali, seperti plaster, pier, balok-balok telanjang, langit-langit
yang berkotak-kotak, pagar balkon yang dipahat dan dinding-dinding yang
bergerigi.
2. Penggunaan lapisan permukaan pemantul bunyi dan penyerap bunyi secara
bergantian.
3. Distribusi lapisan penyerap bunyi yang berbeda secara tak teratur dan acak.
G. Difraksi
13
Menurut Environmental Acoustics (Leslie L. Doelle, 1986), difraksi
memiliki definisi yaitu gejala akustik yang menyebabkan gelombang bunyi
dibelokkan atau dihamburkan sekitar pernghalang seperti sudut, kolom, dan balok.
Sehingga dapat dikatakan, difraksi adalah pembelokan dan penghamburan
gelombang bunyi sekeliling penghalang, lebih nyata pada frekuensi rendah daripada
frekuensi tinggi.
2.1.2. Tinjauan terhadap Gereja Katolik
A. Pengertian
Menurut buku “Gereja Katolik Memberi Kesaksian Tentang Makna Hidup”,
kata “gereja” berasal dari kata igreja dibawa ke Indonesia untuk kata Latin ecclesia,
yang ternyata berasal dari bahasa Yunani, ekklêsia. Kata Yunani itu sebetulnya
berarti “kumpulan” atau “pertemuan” atau “rapat”. Namun, ekklêsia bukan
sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang sangat khusus. Untuk
menonjolkan kekhususan itu dipakailah kata asing itu, kadang-kadang dipakai juga
“jemaat” atau “umat". Kata Yunani, ekklêsia, berasal dari kata yang berarti
“memanggil”. Gereja adalah umat yang dipanggil Allah untuk hidup dalam
persekutuan kasih seperti diri-Nya.
Menurut Wikipedia, definisi dari gereja memiliki beberapa arti:
1. Arti pertama ialah “umat”, atau lebih tepat, “persekutuan” orang Kristen.
Arti ini diterima sebagai arti pertama bagi orang Kristen. Jadi, gereja
pertama-tama bukanlah sebuah gedung.
2. Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau pertemuan ibadah umat Kristen.
Bisa bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di hotel, maupun
tempat rekreasi.
3. Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama Kristen.
Gereja Katolik, Gereja Protestan, dan lain-lain.
4. Arti keempat ialah lembaga (administratif) daripada sebuah mazhab Kristen.
Contoh kalimat “Gereja menentang perang Irak”.
5. Arti terakhir dan juga arti umum adalah sebuah “rumah ibadah” umat
Kristen, di mana umat bisa berdoa atau bersembahyang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “gereja” berarti gedung
(rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen, badan (organisasi)
umat Kristen yang sama kepercayaan, ajaran, dan tata cara ibadahnya. Menurut Data
Arsitek Jilid 2 (Ernest Neuefert), gereja merupakan bangunan yang sakral dengan
14
lambang salib dan paduan suaranya, serta gereja seharusnya selalu berdekatan
dengan rumah pastor.
B. Bagian-bagian Gereja
Gereja memiliki ruang-ruang tertentu yang tidak dimiliki oleh bangunan-
bangunan lainnya. Menurut yang asli dan dari tradisi, ruangan dalam gereja haruslah
diusahakan untuk mengungkapkan dan mendukung secara menyeluruh kesatuan
umat beriman sebab merekalah subyek yang merayakan liturgi. Situasi ruangan
dalam selalu harus paling diperhitungkan dalam rancangan proyek, sebagai pusat
kegiatan liturgi dan menurun dari serambi depan, melebar dalam aula, dan
“menyimpul” ke pelataran iman, sebagai ruangan yang menjadi pusat perhatian
namun tak terpisahkan dari aula/ ruang umat.
Kemudian, jarak tempat duduk, ruas jalan untuk Komuni, ukuran dan
bentuk tempat duduk, jarak umat dari imam antara satu sama lain harus
diperhitungkan dengan memungkinkan kelancaran upacara perarakan, rasa
kebersamaan, tidak seperti menonton pertunjukan karena pelataran imam terlalu
tinggi; pokoknya tak sampai nilai-nilai itu diganggu oleh hambatan-hambatan
arsitektonis. Menurut Rm. Bosco da Cunha O.Carm, Komisi Liturgi KWI, bagian-
bagian yang harus ada dalam gereja adalah : altar, mimbar, tempat duduk pemimpin,
tempat pembabtisan dan sumber, tempat dan ruang duduk sakramen tobat,
tabernakel/persemayaman ekaristi, tempat duduk umat, tempat koor dan organis,
rancangan lukisan, kapel untuk misa harian, peralatan dan bahan-bahan, ruang
sakristi, pelataran masuk dan pintu utama, menara dan lonceng, bangunan untuk
pelayanan pastoral dan rumah paroki.
Dalam pembagian ruang dalam gereja terdapat yang disebut hirarki Sacred
Space dalam ruang Gereja Katolik. Menurut Mc Namara (1998) dalam laporan tugas
akhir Irfan Balindo Sidauruk, berikut adalah arsitektur ruang gereja katolik yang
mengadopsi konsep “sacred space”. Menurut Denis McNamara dalam bukunya
Catholic Church Architecture and the Spirit of the Liturgy, konsep tatanan ruang
sacred space dalam Arsitektur Gereja Katolik “mengadopsi” dari tatanan sacred
space Perjanjian Lama (Alkitab).
15
Gambar 8. Pembagian Ruang Gereja KatolikSumber : Catholic Church Architecture and the Spirit of the Liturgy (2009)
Pada bagian selanjutnya akan dibahas hirarki ruang dalam Gereja Katolik
yang secara mendasar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : (1) Narthex (Lesssacred);
(2) Nave (sacred) dan (3) Sanctuary (most-sacred)
o Narthex : Less Sacred
Narthex adalah area yang less-sacred berupa ruang yang panjang dan
“sempit” (jika dibandingkan dengan keseluruhan luas Gereja) berupa teras
tertutup beratap; melintasi seluruh lebar gereja di pintu masuk. Narthex ini
biasanya dipisahkan dari area nave dengan kolom atau dinding.
o Nave : Sacred
Nave sacred adalah bagian dari Gereja Katolik yang menempati bagian
tengah Gereja yang membentang dari pintu masuk (narthex) ke transepts
(jika Gereja berbentuk salib, yaitu lorong melintang melintasi bagian tengah
di depan tempat kudus) atau jika tidak ada transepts, ke mimbar (daerah
sekitar altar).
o Sanctuary: Most Sacred
Sanctuary adalah bagian paling sacred dari Gereja Katolik. Kesucian ruang
ini ditandai dengan level yang lebih tinggi dibandingkan level nave. Pada
area Sanctuary ini diletakkan altar utama (jika ada altar kecil yang lain, altar
kecil diletakkan pada nave), Tabernakel dan Salib.
C. Aktivitas-aktivitas yang terjadi di Gereja
Dalam gereja, aktivitas-aktivitas yang dilakukan adalah berdoa, misa,
khotbah, paduan suara, acara-acara yang bersifat sakral seperti acara perkawinan,
16
acara pembabtisan, dan sebagainya. Kegiatan utama yang dilakukan di gereja
adalah misa. Istilah Misa berasal dari kata bahasa Latin kuno “missa” yang secara
harafiah berarti pergi berpencar atau diutus.
Menurut Lima Perintah Gereja umat Katolik diwajibkan mengikuti misa
pada hari Minggu dan hari raya lain yang disetarakan dengan hari Minggu. Di luar
hari-hari itu juga diselenggarakan misa - yang oleh umat Katolik biasa dinamakan
misa harian - namun umat Katolik tidak diwajibkan untuk ikut serta. Pelaksanaan
Misa diatur berdasar Tata Perayaan Ekaristi (TPE).
Misa disebut sebagai perayaan ekaristi. Pada umumnya, misa selalu diiringi
oleh paduan suara. Berikut adalah tata perayaan ekaristi yang terjadi di gereja
katolik, menurut Wikipedia: Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi, Komuni,
dan Penutup. Keseluruhan tata perayaan ekaristi tersebut tidak ada yang terlepas
dari peran paduan suara. Menurut Pdt. Jotje Hanri Karuh, paduan suara merupakan
salah satu bagian penting dalam ibadah jemaat. Dalam ibadah, paduan suara tidak
cuma sekedar sekelompok orang yang duduk terpisah dari warga gereja yang hadir
dalam ibadah lalu menaikkan pujian dengan lagu yang berbeda dengan lagu pujian
jemaat.
1. Pemberitaan firman. Paduan suara memberitakan firman melalui setiap
pujian yang mereka naikkan.
2. Memandu jemaat menyanyi dengan baik dan benar.
Selain misa dan paduan suara, di gereja juga sering diadakan acara-acara
seperti pernikahan, pembatisan, dan yang lainnya yang menerima sakramen secara
katolik dan bersifat sakral.
2.2. Tinjauan Khusus
2.2.1. Reverberation Time (RT)
Reverbrasi atau waktu dengung adalah perpanjangan bunyi akibat
pemantulan suara yang berulang-ulang dalam ruang tertutup setelah sumber bunyi
dimatikan, serta berpengaruh pada kejelasan suara. Selain itu, RT atau yang biasa
juga disebut waktu dengung, juga didefinisikan sebagai waktu agar tingkat tekanan
bunyi berkurang sebanyak/sebesar 60 dB sejak sumber suara dihentikan/dimatikan.
Untuk menghitung tingkat RT, menggunakan rumus Sabine:
Dengan: RT = waktu dengung / Reverberation Time, sekon (s)
17
V = volume ruang, meter kubik (m3)
A = penyerapan ruang total, sabin meter persegi
x = koefisien penyerapan udara
A = ∑Sα
Dengan: S = luas masing-masing permukaan
α = koefisien penyerapan / α antara 0 dan 1
Koefisien penyerapan udara tergantung pada temperatur, kelembapan udara,
dan frekuensi bunyi. Nilai koefisien penyerapan udara x yang diperhatikan hanya
pada dan diatas 1000 Hz. Untuk menghitung waktu dengung, diambil pada anggapan
waktu dengung yang ideal, yaitu pada jangkauan frekuensi tengah (500-1000 Hz).
Dan berdasarkan rumus Sabine, maka makin besar volume ruang dan makin kecil
penyerapan ruang total, maka RT makin panjang. Dan makin banyak penyerapan
dimasukkan ke dalam ruang, makin rendah RT. Selain itu, rumus ini juga
menyatakan bahwa RT yang sama dapat diubah dengan menambah atau mengurangi
volume ruang (misalnya dengan menurunkan atau menaikkan langit-langit yang
dapat digerakkan). Reverberation dibutuhkan dalam ruangan yang diperuntukkan
untuk musik terutama musik klasik untuk memberi dan menambah kesan elegan pada
nada yang dihasilkan. Karena itu reverberation memiliki karakter yang berbeda
tergantung dari kegunaan sebuah ruang. Dalam Architectural Acoustics Design
Guide, optimalisasi mid frekuensi RT pada gereja atau katedral adalah 3.0 atau lebih
detik. Menurut Satwiko, standar RT speech untuk gereja katolik adalah 0.5-1.4 detik,
sedangkan standar RT musik untuk gereja katolik adalah 1.4-2.6 detik. RT yang
pendek cocok ntuk speech, sedangkan RT yang panjang cocok untuk musik. Dalam
hal ini, volume mempengaruhi hasil RT yang dihasilkan, sehingga bentuk ruang juga
harus diperhatikan.
A. Volume
o Bentuk ruang
Menurut ahli akustik gereja, Joseph de Buglio, bentuk ruang untuk
bangunan gereja sebaiknya tidak berbentuk bujur sangkar, oval, lingkaran, atau segi
delapan. Menurut buku “Architectural Acoustics Design Guide”, James Cowan
menyatakan bahwa:
1. Bentuk ruang dengan dinding rata akan mengakibatkan permukaan reflektif
yang dapat menyebabkan anomali akustik. Masalah yang terjadi adalah
gema dan suara menyebar secara tidak merata.
18
2. Bentuk ruang dengan dinding datar paralel akan menyebabkan permukaan
reflektif yang dapat menyebabkan gema, gema bergetar, dan gelombang
berdiri.
3. Bentuk ruang dengan dinding cekung akan meminimalkan kubah reflektif
dan permukaan reflektif cekung lainnya yang dapat menyebabkan tempat
yang panas dan mati.
4. Bentuk ruang dengan dinding cembung dan tidak merata memungkinkan
untuk penyebaran suara (difusi) yang merata dan akan menyebabkan
dengung yang berlebihan.
Dalam Time Saver Standards for Building Types, bentuk-bentuk gereja
adalah:
1. Persegi
- Titik fokus tunggal
- Jarak pandang terlalu panjang dan jemaat di kursi belakang mengalami
kurang berpartisipasi jika kapasitas melebihi 500.
2. Salib
- Daerah altar biasanya terletak pada kepala salib.
- Tergantung pada pengaturan tempat duduk, kemungkinan dapat terjadi
kehilangan rasa kebersamaan.
3. Pusat
- Tidak semua tempat duduk memiliki sudut pandang yang baik.
4. Banyak fokus
- Tempat duduk yang permanen tidak cocok, karena akan menyebabkan
kebingungan.
Berdasarkan Fisika Bangunan 2 (Satwiko), sebagai pedoman volume
ruangan, jika gereja lebih banyak digunakan untuk musik, maka volume ruang per
orang antara 6 - 12 m3, sedangkan untuk khotbah, maka volume ruang per orang
antara 5 – 8 m3.
Dalam hampir semua auditorium, yang paling banyak menyerap adalah
penonton, yaitu sekitar 0,45 sabin meter persegi per orang. Volume per tempat
duduk penonton atau umat pada gereja katolik (Leslie L. Doelle, 1986) adalah
minimal 5,7 m3, optimum 8,5 m3, dan maksimum 12 m3.
B. Koefisien Penyerapan
19
Dalam setiap material yang digunakan pada bangunan, terdapat koefisien
berbeda pada masing-masing material. Koefisien serap tersebut juga tergantung pada
tingkat frekuensi ruangan. Hal tersebut harus diperhatikan dalam menciptakan
tingkat RT yang sesuai standar.
Gambar 9. Koefisien Penyerapan Bunyi Bahan-bahan BangunanSumber : Environmental Acoustics (Leslie L. Doelle, 1986)
C. Penyerapan Suara Oleh Manusia
20
Penyerapan suara oleh manusia merupakan bagian yang utama dalam
perencanaan suatu bangunan (disebabkan oleh pengaruh yang besar terhadap waktu
dengung). Pengaruh tersebut ditentukan oleh 2 hal yaitu jumlah pengunjung yang
bervariasi dan distribusi pengunjung. Untuk ruangan-ruangan yang datar dan bentuk
ruangan yang sederhana, Beranek (1986) cenderung menggunakan koefisien absorbsi
pengunjung sebagai berikut:
Tabel 2. Koefisien Absorpsi Pengunjung
Frekuensi
(Hz)125 250 500 1000 2000 4000
α
(m2 sabine)0,52 0,68 0,85 0,97 0,93 0,85
Sumber : Beranek (1986)
Faktor manusia berkaitan dengan luas material absorber karena distribusi
manusia berkaitan dengan dengan luas area pengunjung, yang dimana luas area
pengunjung berkaitan dengan luas material.
D. Frekuensi
Berdasarkan Akustika Bangunan (Mediastika, 2005), frekuensi adalah
jumlah atau banyaknya getaran yang terjadi dalam setiap detik. Frekuensi dihitung
dalam satuan Hz. Dalam Revebration Time, frekuensi merupakan aspek yang juga
berpengaruh pada tingkst RT yang terjadi dalam suatu ruang. Frekuensi untuk musik,
diusulkan suatu kurva yang pada frekuensi 125 Hz naik sampai ±1,5 kali nilai pada
500 Hz. Sedangkan untuk pidato atau speech, kurva harus tetap datar sampai 125 Hz.
Dan untuk auditorium yang serbaguna atau yang digunakan untuk kedua aktivitas
tersebut, musik dan speech, maka kurva waktu dengung dibawah 500 Hz boleh
berada dimana saja antara batas-batas ini. Sehingga untuk menghitung tingkat RT
musik dan speech untuk gereja menggunakan frekuensi sebesar 500 Hz.
2.2.2. Mekanisme Akustik Adaptif
Akustik adaptif menggunakan konsep arsitektur kinetik, dimana “bentuk
mengikuti fungsi”. Berdasarkan artikel dari Intelligent Kinetic System (Fox, Yeh, MIT
Kinetic Design Group), kinetik dalam konteks arsitektur didefinisikan sebagai
penerapan benda yang memiliki bagian mekanikal yang dapat diatur dalam gerak.
Tipologi kinetik dalam arsitektur terbagi menjadi 3, yaitu struktur kinetik tertanam
(embedded kinetic structure), struktur kinetik deployable (deployable kinetic
21
structure), dan struktur kinetik dinamik (dynamic kinetic structure). Embedded
Kinetic Sturture adalah system yang terdapat dalam arsitektural keseluruhan yang
lebih besar pada lokasi yang tetap. Deployable Kinetic Structure umumnya terdapat
pada lokasi sementara dan mudah diangkut. Dynamic Kinetic Structure bergerak atau
beraksi secara bebas dengan teratur pada keseluruhan arsitektur. Sebagai contoh,
pada auditorium dengan konfigurasi langit-langit yang dapat berubah tergantung
pada lokasi penonton dan pengisi acara untuk memperoleh properti akustik yang
optimal. Ruang sakral gereja juga termasuk dalam auditorium oleh karena itu
menggunakan struktur kinetik dinamik.
Gambar 10. Diagram Tipologi Kinetik dalam ArsitekturSumber : Intelligent Kinetic Systems (Fox, Yeh, MIT Kineitc Design Group
Terdapat 6 jenis sistem gerakan untuk mengendalikan sistem kinetik:
Internal Control : Seperti engsel mekanik, yang tidak memiliki kontrol
langsung atau mekanisme.
Direct Control : di mana gerakan digerakkan langsung oleh sumber energi
eksternal ke peralatan.
In-Direct Control : berdasarkan sistem umpan balik sensor
Responsive In-Direct Control : optimalisasi beberapa sensor umpan balik.
Ubiquitous Responsive In-Direct Control : jaringan kontrol menggunakan
algoritma prediksi.
Heuristic, Responsive In-Direct Control : algoritma dimediasi jaringan yang
memiliki kemampuan belajar.
2.3. Studi Bangunan Sejenis
2.3.1. Gereja Maria Bunda Karmel
Gereja Maria Bunda Karmel atau yang biasa disebut Gereja MBK,
merupakan gereja yang berlokasi di Jl. Karmel Raya 2, Jakarta Barat, Indonesia.
22
Gambar 11. Gereja Maria Bunda KarmelSumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 12. Model Gereja MBKSumber : Dokumentasi Pribadi
Plafon atau langit-langit bangunan gereja ini dibentuk tidak rata atau
terpatah-patah agar dapat menyebarkan suara dengan cara refleksi. Gereja ini
23
menggunakan sound-system berupa speaker sebagai penyebar suara ke seluruh
bagian bangunan. Speaker diletakkan menyebar di dalam gereja untuk menyebarkan
suara ke setiap sisi bangunan, terdapat 2 speaker di kanan dan kiri altar, terdapat juga
di bagian belakang tempat duduk umat, dan beberapa speaker kecil di luar bangunan
untuk umat yang duduk di luar. Letak speaker di satu titik berarti suara tidak dapat
disebarkan secara merata, umat yang duduk dekat dengan speaker mungkin akan
menerima suara dengan tingkat yang lebih keras, sedangkan yang jauh mungkin akan
menerima suara yang lebih kecil. Hal ini diperoleh saat dilakukan wawancara dengan
beberapa umat yang berada di jarak yang berbeda-beda dengan speaker tersebut.
Gambar 13. Plafon GerejaSumber : Dokumentasi Pribadi
Gereja ini berbentuk simetris dan memanjang serta juga menggunakan
sistem terpusat, yaitu desain arsitektur diarahkan menuju ke pusat. Dalam setiap
gereja, yang merupakan pusat adalah altar, dimana terdapat salib. Yang dianggap
sebagai pusat adalah salib tersebut, oleh karena itu, semua tempat duduk atau yang
lainnya diarahkan ke arah salib dan altar.
Pada gereja ini dapat terdengar gema setiap kali menggunakan sound-
system. Dengan diukur menggunakan alat sound level meter, diperoleh hasil bahwa
tingkat tertinggi suara pada saat khotbah atau speech adalah 110 dB dengan rata-rata
48 dB, sedangkan pada saat musik adalah 94 dB, dengan rata-rata 45 dB. Tingkat RT
pada saat speech adalah 3,3 detik, sedangkan pada saat musik adalah 3,2 detik.
24
Tetapi jika tidak menggunakan sound-system, suara tidak dapat terdengar dan
tersebar di dalam gereja. Gereja ini dapat menampung hingga kurang lebih 1.200
umat. Gereja ini memiliki volume 21345 m3. Material dinding adalah batu bata dan
beton, dengan banyak pintu kaca. Terdapat kursi untuk umat sebanyak kurang lebih
66 baris tersebar ke arah belakang, dengan bahan kayu. Maerial untuk lantai gereja
adalah granit, sedangkan plafonnya menggunakan material gypsum. Alat musik yang
digunakan adalah organ, dan paduan suara terdapat pada level yang lebih tinggi dari
tempat duduk umat, yaitu sejajar dengan altar.
2.3.2. Gereja Santo Andreas
Gereja Santo Andreas berlokasi di Perumahan Green Garden Blok J5 No. 1
Kelurahan Kedoya Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, kompleks gereja
ini mencapai Jalan Raya Kedoya No. 101 A, Kelurahan Kedoya Utara, Jakarta Barat.
Gambar 14. Gereja Santo AndreasSumber : Dokumentasi Pribadi
Gereja ini menggunakan sound-system yang berfungsi untuk aktivitas-
aktivisnya dalam menyebarkan suara. Dalam gereja terdapat speaker yang tersebar di
titik tertentu guna untuk agar memperoleh penyebaran suara yang merata bagi setiap
orang. Bentuk plafon atau langit-langit gereja ini juga dibentuk dengan ada tonjolan-
tonjolan sehingga menyebabkan plafon yang tidak merata, guna agar dapat
memantulkan suara.
25
Gambar 15. Langit-Langit Bangunan Yang Tidak Rata dan Speaker yang TersebarSumber : Dokumentasi Pribadi
Terdapat dua tingkat dalam gereja ini, sehingga umat yang beribadah dapat
melihat ke altar dengan jelas.
Gambar 16. Tingkat 1 Ruang GerejaSumber : Dokumentasi Pribadi
26
Gambar 17. Tingkat 2 Ruang GerejaSumber : Dokumentasi Pribadi
Bentuk bangunan gereja ini simetris dan dalam ruang Gereja Santo Andreas
ini, semua perabot, umat, dan hal-hal lainnya dipusatkan ke satu titik, yaitu letak altar
dan salib bangunan. Karena hal tersebut sudah merupakan salah satu kewajiban
desain sebuah gereja. Dengan diukur menggunakan alat sound level meter, diperoleh
hasil bahwa tingkat tertinggi suara pada saat khotbah atau speech adalah 81 dB
dengan rata-rata 42 dB, sedangkan pada saat musik adalah 87 dB, dengan rata-rata 46
dB. Tingkat RT pada saat speech adalah 1,9 detik, sedangkan pada saat musik adalah
2,8 detik. Tetapi jika tidak menggunakan sound-system, suara tidak dapat menyebar
di gereja. Material yang digunakan untuk dindingnya adalah batu bata dan beton,
sedangkan untuk lantai menggunakan granit, dengan karpet yang mengarah ke altar.
Plafon menggunakan material gypsum, dan memiliki kursi berbahan kayu sebanyak
kurang lebih 62 baris, dan dapat menampung sebanyak kurang lebih 1.000 orang.
Gereja ini memiliki volume 5255 m3. Alat musik yang digunakan adalah organ.
2.3.3. Gereja Maria Kusuma Karmel
Gereja Maria Kusuma Karmel atau yang biasa disebut sebagai Gereja MKK
ini berlokasi di Jl. Kesuma No. 01 Kav.DKI, Meruya Selatan, Jakarta.
27
Gambar 18. Gereja Maria Kusuma KarmelSumber : Dokumentasi Pribadi
Gereja ini menggunakan sound-system seperti gereja-gereja lainnya untuk
menyebarkan suara, speaker yang tersebar di titik tertentu untuk menyebarkan suara
ke semua orang di dalam gereja pada saat aktivitas gereja. Langit-langit bangunan
dibentuk rata, tetapi ada kemiringan untuk merekayasa bunyi yang datang. Bentuk
bangunan simetris dan terpusat ke altar dan salib di dalam gereja. Dengan diukur
menggunakan alat sound level meter, diperoleh hasil bahwa tingkat tertinggi suara
pada saat khotbah atau speech adalah 84 dB dengan rata-rata 44 dB, sedangkan pada
saat musik adalah 91 dB, dengan rata-rata 49 dB. Tingkat RT pada saat speech
adalah 2,0 detik, sedangkan pada saat musik adalah 3,1 detik. Tetapi jika tidak
menggunakan sound-system, suara tidak dapat terdengar dan tersebar di dalam
gereja. Gereja ini memiliki kurang lebih 60 baris tempat duduk dengan bahan kayu
dan lantai yang berbahan granit. Untuk dinding, material yang digunakan adalah batu
bata dan beton, sedangkan untuk plafon menggunakan gypsum. Gereja ini dapat
menampung kurang lebih 980 orang. Gereja ini memiliki volume 8402 m3. Alat
musik yang digunakan adalah organ. Paduan suara terdapat pada sebelah altar
dengan level yang sedikit lebih tinggi dari tempat umat duduk.
28
Gambar 19. Bentuk Gereja Yang TerpusatSumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 20. Langit-Langit GerejaSumber : Dokumentasi Pribadi
2.3.4. Gereja St.Petrus & Paulus
Gereja St.Petrus & Paulus berlokasi di Jl. Raya Mangga Besar 55, Jakarta
11170.
29
Gambar 21. Gereja St.Petrus & PaulusSumber : Dokumentasi Pribadi
Gereja ini memiliki plafon atau langit-langit yang rata dengan aluminium
dan menggunakan lantai dengan bahan ubin atau teraso, dan sebagian dengan batu
alam. Kursi berbahan kayu yang ada sebanyak kurang lebih 73 baris dan dapat
menampung kurang lebih 1.400 orang. Gereja ini memiliki volume 15208 m3.
Gereja ini menggunakan penghawaan alami yaitu non-AC, sehingga gereja ini hanya
menggunakan kipas angin.
Gambar 22. Penghawaan Alami (Terbuka)Sumber : Dokumentasi Pribadi
30
Gambar 23. Denah GerejaSumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 24. Interior GerejaSumber : Dokumentasi Pribadi
31
Gambar 25. Plafon RataSumber : Dokumentasi Pribadi
Gereja ini menggunakan sound system untuk membantu menguatkan suara,
gereja ini juga menggunakan alat musik, organ, untuk membantu paduan suaranya.
Paduan suara terletak pada level atau tingkat yang sama dengan tempat duduk umat,
sedangkan altar terletak lebih tinggi. Bentuk bangunan gereja ini adalah persegi
panjang. Pada gereja ini dapat didengar suara dengung dari sound-system setiap kali
digunakan. Tetapi jika tidak menggunakan sound-system, suara tidak dapat tersebar
di dalam gereja. Dengan diukur menggunakan alat sound level meter, diperoleh hasil
bahwa tingkat tertinggi suara pada saat khotbah atau speech adalah 106 dB dengan
rata-rata 47 dB, sedangkan pada saat musik adalah 92 dB, dengan rata-rata 49 dB.
Tingkat RT pada saat speech adalah 2,5 detik, sedangkan pada saat musik adalah 4,1
detik.
2.3.5. Kesimpulan Studi Bangunan Sejenis
Studi bangunan sejenis ang telah dilakukan pada 4 gereja yaitu Maria bunda
Karmel, St. Andreas, Maria Kusuma Karmel, dan St. Petrus Paulus, maka diperoleh
kesimpulan bahwa gereja yang memiliki tingkat Reverberation Time paling buruk
adalah Gereja St. Pertrus Paulus, dikarenakan karena memiliki volume yang besar
dengan luas penyerapan total yang kecil, sehingga menyebabkan tingkat RT yang
besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa volume dan luas penyerapan total
mempengaruhi tingkat RT yang dihasilkan, sehingga jenis material juga
32
mempengaruhi. Bentuk langit-langit tidak terlalu mempengaruhi hasil RT yang
dihasilkan.
2.4. Unsur Kebaruan
Dalam mencari unsur kebaruan dari penelitian ini, maka diteliti 5 jurnal
berikut ini.
a. Lisayana. Indrani, Hedy C. 2013. Studi Sistem Akustik pada Gereja Katolik
Santa Maria Tak Bercela Surabaya. JURNAL INTRA Vol. 1, No. 2, 1-7.
Permasalahan yang terjadi pada gereja yang digunakan untuk penelitian ini
adalah gereja ini memiliki background noise yang sangat tinggi, Reverberation Time
yang belum mencapai standar dan adanya kebocoran suara pada ruang. Akustik pada
gereja perlu diperhatikan karena gereja mempunyai akustik yang unik karena gereja
mempunyai 2 aktivitas yaitu speech dan musik. Penelitian ini dilakukan agar gereja
ini dapat mengoptimalkan waktu dengung yang terjadi dalam gereja dan mencapai
akustik yang baik, dimana perlu diperhatikan pemilihan bahan material dan
pengaplikasian dalam ruang karena keduanya berperan penting dalam menciptakan
akustik yang baik dalam ruang. Metode yang digunakan adalah metode penelitian
kuantitatif dimana proses analisis dan verifikasi data lapangan yang dilakukan untuk
mengetahui kondisi background noise, Reverberation Time (RT) dan insulasi suara
yang baik untuk gereja. Proses ini menggunakan perhitungan manual dan
komputerisasi dengan bantuan program Autodesk Ecotect Analysis 2011. Dalam RT,
terdapat standar RT speech untuk gereja katolik adalah 0.5-1.4 detik, sedangkan
standar RT musik adalah 1.4-2.6 detik. Hasil yang diperoleh adalah untuk
mengoptimalisasi RT yang dihasilkan agar sesuai dengan standar maka dilakukan
dengan menambah dinding akustik dari yumen board dengan tebal 2.5cm
diaplikasikan pada dinding di kanan kiri lantai utama gereja. Pintu kayu single yang
sudah tidak difungsikan dikanan kiri dinding, ditutup dengan gypsum board.
Kemudian mengubah material pintu gudang dengan pintu kayu biasa. Penggantian
kaca bening pada jendela yang diganti dengan kaca halus yang akan diberi sealant.
Pengurungan kursi jemaat, kursi yang ada di mimbar, kursi paduan suara, meja kanan
kiri gereja dan speaker yang sudah tidak dipakai dan tidak difungsikan lagi, serta
memberi gorden pada pintu-pintu utama gereja. Serta dilakukan juga upaya insulasi
untuk meminimalisir kebocoran suara pada gereja yaitu menambahkan material
yumen board, glasswoll, akrilik, gorden, kaca yang di sealant, rubber pada pintu dan
penutup lubang pintu tanpa mengurangi suasana kesakralan gereja katolik itu sendiri.
33
Kata kunci: Sistem Akustik, Gereja Katolik, Santa Maria Tak Bercela Surabaya
b. Rizaldy, Aziz. Dhanardono, Tutug. Asmoro, Wiratno A. 2012. Penataan
Ulang Akustik pada Ausitorium “STIKES Bina Sehat PPNI” Mojokerto.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, 1-6.
Masalah yang dipaparkan dalam penelitian ini adalah bahwa perancangan
suatu gedung pertunjukan tidak mempertimbangkan parameter-parameter akustik
yang mendukung keberhasilan ruangan untuk menjalankan fungsinya pada saat
digunakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menata ulang akustik dalam
auditorium. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif
dan simulasi. hasil pengukuran lapangan yang didapatkan, diperoleh nilai waktu
dengung sebesar 2,55 detik. Hasil pengukuran tersebut kemudian diyakinkan kembali
dengan simulasi software pertama yang menunjukkan angka waktu dengung sebesar
2,51 detik dan software kedua sebesar 2,37 detik yang semuanya mengindikasikan
cacat akustik pada auditorium tersebut. Dari simulasi software, dihasilkan bahwa
penambahan elemen karpet pada seluruh luasan lantai 215,484 m2, gorden pada
seluruh luasan jendela 19,25 m2, dan gypsum serta acoustic tile untuk plafon masing-
masing seluas 158,72 m2 dan 79,360 m2 auditorium memenuhi standar kriteria
sebagai ruang multifungsi.
Kata Kunci: auditorium, bising latar belakang, waktu dengung.
c. Bueno, Ana Maria. Leon, Angel Luis. Galindo, Miguel. 2012. Acoustic
Rehabilitation of the Church of Santa Ana in Moratalaz, Madrid. Archives
of Acoustics – Volume 37, Number 4.
Jurnal ini melakukan penelitian mengenai perilaku akustik dari Gereja Santa
Ana dan hubungannya dengan struktur, spasial, dan karaktristik material
pembungkus yang unik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh
rehabilitasi akustik pada gereja Santa Ana. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan simulasi menggunakan model 3 dimensi yang dikembangkan
menggunakan perangkat lunak CAD, yang kemudian disimulasikan dengan
perangkat lunak CATT-Acoustic v8.0k yang merupakan perangkat lunak akustik.
Analisis kondisi akustik saat ini, dengan waktu yang tinggi dengung (hingga 6 detik)
dan kejelasan yang buruk pada penonton, menjadi dasar untuk membuat proposal
rehabilitasi akustik yang memberikan kontribusi untuk meningkatkan kondisi suara
bangunan untuk penggunaan yang dimaksudkan, tanpa distorsi tata ruang, aspek
formal dan material dengan yang arsitek dikandung proyek. Hasil yang diperoleh
34
dari dilakukannya penelitian ini adalah rehabilitasi akustik yang diusulkan untuk
mencapai koreksi kekurangan-kekurangan ini dengan memperkenalkan unsur-unsur
penyerap secara sepenuhnya reversibel dan tidak mendistorsi ruang, aspek formal
dan material yang arsitek dikandung untuk proyek tersebut, sementara yang
kompatibel dengan status gereja sebagai bangunan arsitektur dilindungi. Rehabilitasi
tersebut dilakukan dengan mengubah material-material permukaan menjadi karpet
wol, panel dinding rockwool, pintu kaca, panel rockwool akustik, dan plinth.
Kata Kunci : akustik ruangan, akustik ibadah, simulasi akustik, suara-penguatan,
rehabilitasi akustik.
d. Kosala, Krzysztof, Engel, Zbigniew Witold. 2013. Assessing The Acoustic
Properties Of Roman Catholic Churches: A New Approach. Departemen
Mekanika dan Vibroacoustics, Polandia. Elsevier: Applied Acoustics vol. 74
(2013): 1144–1152.
Jurnal ini melakukan penelitian mengenai properti akustik di gereja Roman
Katolik dengan pendekatan yang baru. Tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah
untuk memperoleh pendekatan baru untuk dibandingkan dengan metode klasik
penilaian akustik. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan
berbeda untuk penilaian kualitas akustik gereja didasarkan pada perubahan pada
perubahan informasi dalam jumlah besar yang terkandung dalam data masuk yang
saling berkorelasi, dimana parameter akustik diperoleh dari respons impuls interior,
ke dalam set komponen independen. Indeks global yang diusulkan dapat digunakan
dengan cara yang sederhana dalam penyelidikan simulasi dan peramalan akustik
perubahan berkualitas di gereja-gereja, yang disebabkan oleh solusi struktural dan
materi baru selama adaptasi akustik mereka atau dengan memperhatikan variabel
pekerjaan gereja. Akustik dalam gereja dipengaruhi oleh peringkat objek,
perbandingan sifat akustik, kondisi dengung, suara musik, kejelasan berbicara dan
gangguan eksternal, dan variabel pekerjaan/kegiatan di gereja.
Kata kunci: akustik Gereja, parameter akustik, Gereja, Singular Value
Decomposition (SVD)
e. Cirillo, Ettore, Martellotta, Francesco. 2013. Acoustics Of Apulian-
Romanesque Churches: Correlations Between Architectural And Acoustic
Parameters. Building Acoustics 01/2003; 10(1): 55-76.
Jurnal ini menjelaskan tentang analisis hasil survei akustik dilakukan pada
sembilan gereja Romanesque yang dibangun di Apulia (di Italia selatan). Peneliti
35
menggunakan metode teknik pengukuran, survei ke gereja, menganalisis hasil rata-
rata ruang, menyelidiki parameter akustik rata-rata setiap ruang, meneliti parameter
akustik pada waktu dengung. Dengan melakukan itu, peneliti menyimpulkan bahwa
volume dan bahan memainkan peran penting dalam akustik suatu ruang. Selain itu,
peneliti juga menyimpulkan bahwa parameter mono dapat dinyatakan sebagai fungsi
dari jarak sumber-penerima dan satu atau dua dari parameter volume ruang atau
parameter total luas penyerapan bunyi, seperti koefisien absorpsi, panjang total dan
waktu dengung. Dan pada akhirnya, peneliti menjelaskan bahwa nilai dari setiap
parameter akustik tersebut menggambarkan kejelasan secara signifikan berkorelasi
satu dengan yang lain. Parameter arsitektural meliputi pendeskripsian dari
karakteristik akustik material. Dari hasil penelitian, juga diperoleh bahwa
Reverberation Time (RT) berhubungan erat dengan volume ruang.
f. Kesimpulan
Dari jurnal-jurnal yang sudah dibaca dan diteliti, maka dapat disimpulkan
bahwa untuk suatu tempat yang mewadahi kegiatan berkarakter speech dan kegiatan
berkarakter musik maka desainnya harus mampu dengan mudah beradaptasi terhadap
kedua karakter tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memodifikasi desain
peletakan bahan-bahan absorptif atau reflektif pada elemen interiornya. Untuk
meningkatkan kriteria untuk kualitas suara pembicaraan, maka digunakan bahan-
bahan absortif untuk permukaan, sedangkan untuk meningkatkan kualitas musik,
digunakan bahan reflektif. Sifat geometris permukaan (komposisi materi, ukuran,
bentuk) dalam sebuah ruang akan mempengaruhi tiap-tiap frekuensi bunyi secara
berbeda. Ada beberapa hal yang mempengaruhi kualitas suara atau bunyi yaitu
material untuk permukaan dan sifat geometris, permukaan lokasi tempat duduk,
jumlah ornament yang terdapat dalam gereja, gaya arsitektur yang digunakan,
permukaan interior, material, dan peringkat objek yang terletak di dalam bangunan.
Untuk speech, penambahan elemen karpet, gorden berbahan fabric molleton dapat
membantu memenuhi karakteristik yang dibutuhkan, sedangkan untuk musik,
gypsum dan acoustic tile untuk plafon. Selain itu, mengenai kualitas suara, perlu
diketahui bahwa RT (Reverberation Time) berhubungan erat dengan volume ruang,
serta kondisi dengung mempengaruhi kualitas suara yang dihasilkan. Serta perlu juga
diketahui bahwa RT untuk masing-masing speech dan musik berbeda sehingga
dibutuhkan sesuatu yang dapat beradaptasi sesuai dengan kebutuhan. Menurut salah
36
satu jurnal, standar RT Speech untuk gereja katolik adalah 0.5-1.4 detik, sedangkan
standar RT Musik untuk gereja katolik adalah 1.4-2.6 detik.
Dari jurnal-jurnal tersebut diperoleh unsur kebaruan dari penelitian ini yaitu
belum ada yang memperbaiki gereja cacat akustik dengan menggunakan akustik
adaptif dan memfokuskan pada Reverberation Time.
2.5. Kerangka Berpikir
37