repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika...
Transcript of repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50260...Metafisika...
METAFISIKA:NASR DAN NIETZSCHE
(Studi Komparasi)
Skripsi
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin
Oleh:
Nama: Muhammad Ghifari Misbahuddin
NIM: 11140331000004
PROGRAM STUDI AQIDAH& FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
iv
ABSTRAK
Metafisika merupakan problem primordial dalam sejarah wacana filsafat
secara global. Pertanyaan mengenai Ada, realitas, Tuhan, alam semesta dibahas
secara mendalam dalam metafisika. Karenanya, metafisika diistilahkan sebagai
filsafat pertama (proto philosophia). Pencarian akan Ada telah dimulai sejak zaman
di mana filsafat masih berupa embrio. Filsuf pra-Sokrates, melalui pengamatan
keteraturan (cosmos) alam semesta kemudian mempertanyakan asal-usul alam
semesta. Hingga pada akhirnya Plato merumuskan suatu dunia di balik dunia
senyatanya sebagai sumber dan asal muasal alam semesta. Dunia itu dinamakan dunia
Idea. Dunia Idea bersifat metafisis sebab ia melampaui dunia rill. Oleh karena itu
metafisika telah-selalu mengandaikan adanya suatu realitas yang melampaui dunia
rill.
Tetapi gagasan mengenai dualitas dari realitas itu di balik dalam Filsafat
Nietzsche. Nietzsche berusaha untuk keluar dari logika Plato dengan cara
mengandaikan suatu realitas yang non-hierarkis melalui afirmasi pada dunia rill. Bagi
Nietzsche, suatu Hinterwelt (dunia-di-seberang) adalah suatu kekosongan dan
menandakan kecacatan Kehendak seseorang sebab ia membutuhkan sesuatu di luar
dirinya agar dirinya utuh. Namun, upaya rekonstruksi Heidegger atas Filsafat
Nietzsche menunjukan, bahwa di balik wacana anti-metafisika dalam Filsafat
Nietzsche, terdapat sesuatu yang bersifat metafisis juga, yakni Kehendak. Di sisi yang
lain Nasr menganggap bahwa dekadensi moral dan lingkungan diakibatkan oleh
keabaian manusia, melalui wacana filosofis, terhadap Yang-Sakral. Yang-Sakral,
adalah Tuhan, harus dikembalikan sebagai jangkar wacana filosofis agar manusia
keluar dari kenestapaanya.
Skripsi ini disusun menggunakan metodologi riset pustaka (library research)
yang mana menggunakan dua sumber data, yakni sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer adalah buku yang ditulis langsung oleh tokoh yang diteliti,
sedang sumber sekunder merupakan sumber yang ditulis oleh orang lain yang
berkenaan dengan tokoh yang diteliti. Sumber primer dalam skripsi ini adalah buku
Knowledge and the Sacred dan Islam and the Plight of the Modern Man serta The
Gay Science dan The Will to Power. Sedang sumber sekunder dari skripsi ini adalah
buku The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr dan Gaya Filsafat Nietzsche.
Kata Kunci : Metafisika, Nasr, Nietzsche, Yang-Sakral, Kehendak, Transenden,
Imanen, realitas
v
KATA PENGANTAR
Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim
Puji suykur bagi Yang-Sakral, Allah S.W.T, yang telah menganugerahkan
kehendak bagi manusia sehingga manusia bisa terus melanjutkan pengembaraannya
di dunia fana ini. Semoga kemuliaan dan kedamaian tercurah bagi Manusia Agung,
Insan al-Kamil, Manusia Melampaui, Nabi Muhammad S.A.W. Hanya melalui Yang-
Sakral, serta Manusia Agung barangkali penulis mendapatkan inspirasi untuk
menyelesaikan Skripsi ini.
Dengan segala upaya, serta kesukacitaan, skripsi yang berjudul
“METAFISIKA : NASR DAN NIETZSCHE” sampai ke batas akhirnya. Meski
skripsi ini penuh dengan ketidaksempuran, kesederhanaan cita rasa, serta hal-hal
lainnya yang menjadi kekurangan skripsi ini, barangkali kesemuanya itu yang akan
mendorong penulis untuk terus belajar, hingga pada cita rasa tertinggi. Selesainya
skripsi ini adalah berkat dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan segala hormat
penulis haturkan terimakasih kepada:
1. Dr. Edwin Syarif, M.A, sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk menambah cita rasa dalam skripsi ini.
2. Dra, Tien Rahmatin, M.A, sebagai Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam serta Dosen Penasihat Akademik penulis. Dan juga seluruh staf di
lingkungan Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam.
vi
3. Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof. Dr. Yusuf Rahman, M.A, beserta
seluruh staff dan pengajar di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
4. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Amany
Lubis, Prof. Dede Rosyada dan Prof. Komaruddin Hidayat, sebagai rektor
dimasa kuliah penulis.
5. Kedua Orang Tua penulis, Ayahanda Asep Hisamudin dan Bunda Lela
Kautsar, yang telah bersabar menanti kelulusan anaknya, serta tanpa lelah
mendukung studi penulis dalam banyak hal. Serta Mubasyirah Sultana
saudara penulis.
6. Romo A. Setyo Wibowo, selaku penulis buku Gaya Filsafat Nietzsche,
sebab melalui buku tersebut penulis memahami Pandangan Metafisika
Nietzsche , barangkali jika tidak ada buku tersebut, skripsi ini tidak selesai
7. Bung Dwi Pratomo, teman berdiskusi penulis, sekaligus mentor dalam
memahami gagasan Nasr dan Nietzsche. Bung Sahrul Latif, teman
seperjuangan penulis hidup di Ciputat.
8. Teman-teman AF angkatan 2014 teman seperjuangan penulis dalam
menempuh studi, dan Keluarga Besar Mahasiswa Cianjur PATWA SUCI
(Patali Wargi Mahasiswa Sunda Cianjur) yang telah membantu
memotivasi penulis.
Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang tidak bisa
disebutkan satupersatu. Terimakasih atas bantuan yang diberikan baik dalam
vii
bentuk material maupun immaterial. Semoga diberi ganjaran yang setimpal
dan menjadikan hal tersebut pahala, Amin
Ciputat, 14 Oktober 2019
Muhammad Ghifari Misbahuddin
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
Indonesia
a
b
t
ts
j
ḥ
kh
d
dz
r
z
s
sy
ṣ
ḍ
Inggris
a
b
t
th
j
ḥ
kh
d
dh
r
z
s
sh
ṣ
ḍ
Arab
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ء
ي
ة
Indonesia
ṭ
ẓ
‘
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y
h
Inggris
ṭ
ẓ
‘
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y
h
Vokal Panjang
Arab
أ
إي
أو
Indonesia
ā
ī
ū
Inggris
ā
ī
ū
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................................... ……i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................ …...ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................................ …..iii
ABSTRAK .............................................................................................................................. …..iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. …...v
PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................................................. ....viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... …..ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ …...1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ …...1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................................. …..7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................... …..7
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................. …...8
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................................... …...8
F. Metode Penelitian .................................................................................................. …..9
G. Sistematika Penulisan ............................................................................................ ….11
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI METAFISIKA ................................................... ….12
A. Pengertian dan Sejarah Metafisika......................................................................... ….12
B. Wilayah Kajian Metafisika .................................................................................... ….17
B.1. Ontologi .......................................................................................................... ….18
B.2. Teologi Metafisika ......................................................................................... ….19
B.3. Antropologi .................................................................................................... .....20
B.4. Kosmologi ...................................................................................................... ….20
C. Filsuf dan Konsep Metafisika ................................................................................ ….21
C.1. Plato ................................................................................................................ ….21
C.2. Ibn Sina ......................................................................................................... ….23
BAB III PANDANGAN METAFISIKA NASR ..................................................................... ….26
A. Riwayat Hidup Seyyed Hossein Nasr .................................................................... ….26
A.1. Latar Belakang Intelektual Nasr .................................................................... ….26
A.2. Karya-Karya Nasr ......................................................................................... ….33
B. Formulasi Metafisika Nasr ..................................................................................... ….36
B.1. Nasr dan Filsafat Perennial ............................................................................ ….36
B.2. Pentingnya Yang-Sakral Menurut Nasr ......................................................... ….41
B.3. Metafisika Transenden Nasr ........................................................................... ….45
BAB IV PANDANGAN METAFISIKA NIETZSCHE ......................................................... .....49
A. Riwayat Hidup Friedrich Nietzsche ....................................................................... ….49
A.1. Latar Belakang Intelektual Nietzsche ............................................................ ….49
A.2. Karya-Karya Nietzsche .................................................................................. .…56
B. Formulasi Metafisika Nietzsche ............................................................................ ….60
B.1. Nietzsche dan Filsafat Becoming ................................................................... ….60
x
B.2. Kehendak dalam Pandangan Nietzsche .......................................................... ….67
B.3. Metafisika Imanen Nietzsche ......................................................................... ….75
BAB V PERBANDINGAN PANDANGAN METAFISIKA NASR DAN NIETZSCHE ..... ….78
A. Persamaan Pandangan Metafisika Nasr dan Nietzsche : Sikap Nasr dan Nietzsche
Terhadap Modernisme ........................................................................................... ….78
B. Perbedaan Metafisika Nasr dan Nietzsche : Epistemologi Nasr dan Nietzsche .... ….84
BAB VI PENUTUP ................................................................................................................. ….95
A. Kesimpulan ............................................................................................................ ….95
B. Saran ...................................................................................................................... ….96
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. …….
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam diskursus Filsafat Barat, sebuah diskursus mengenai anti
metafisika berkembang sejak dikumandangkanya kematian Tuhan oleh Friedrich
Nietzsche. Kematian Tuhan Yang dikumandangkan Nietzsche dalam The Gay
Science – yang kemudian Nietzsche menganggap bahwa ia terlalu awal untuk
mewartakan hal ini – berangkat dari kritik Nietzsche akan tradisi filsafat
modern1.
“Si Orang Sinting. – Tidakah kalian pernah mendengar kisah tentang
orang sinting yang menyalakan lentera di siang hari bolong, berlarian
menuju pasar dan berteriak tanpa henti : “Aku mencari Tuhan! Aku
mencari Tuhan!” – karena banyak dari mereka yang berdiri di tempat
itu tidak percaya pada Tuhan, ia pun mengundang gelak tawa yang
ramai. “Apakah kita kehilangan Tuhan?” tanya seseorang. “Apakah
ia tersesat laiknya anak kecil?” tanya yang lain. “Ataukah ia
bersembunyi?” “Apakah ia takut pada kita?”, “Apakah Ia sudah pergi
mengembara? Berimigrasi?” – demikianlah mereka berteriak dan
tertawa.
Si orang sinting melompat ketengah-tengah mereka dan melihat
mereka dengan tatapan tajam. “Dimana Tuhan?” ia berteriak; “Aku
akan mengatakannya pada kalian. Kita telah membunuhnya – kalian
dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. 2
1 A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, hlm 343
2 Friedrich Nietzsche, The Gay Science, Penerjemah : Risalatul Hukmi, Yogyakarta:
Penerbit Antinomi. Hlm 183-184
2
Filsafat modern ditandai dengan keikutsertaannya akan pencarian sistem
pengetahuan (epistemologi) yang dimulai dari pencarian akan suatu fondasi yang
jelas dan tak-terbantahkan. Fondasi-fondasi tersebut diambil dari pernyataan
metafisis. Semisal klaim Descartes bahwa Tuhan telah menjamin baginya
kebenaran akan ide-ide yang jelas dan khas, yang ia gunakan untuk
membangkitkan struktur epistemologis dari pemikiran sederhananya mengenai
“aku berfikir maka aku ada”, dan disudahi dengan keberadaan segala sesuatu di
sekelilingnya. Kepastian yang dengannya Descartes menyatakan kebenaran akan
ide-ide yang jelas dan khas ia raih dari suatu wawasan metafisis mengenai sifat
tidak-menipu Tuhan. Jika Tuhan sempurna, sebagaimana seharusnya, maka tidak
memungkinkan Tuhan menipu/penipu, sebab hal tersebut akan menyiratkan
ketidak-sempurnaan Tuhan. Karena ide-ide yang jelas dan khas yang mana
Descartes temukan pada dirinya sendiri datang dari Tuhan, maka tidak mungkin
ide-ide tersebut salah dikarenakan Tuhan tidak memiliki sifat menipu. Dari poin
ini kita bisa menilai bahwa terdapat suatu pergerakan dalam epistemologi
Descartes dari suatu konsep fondasional (kejelasan dan kekhasan yang setara
dengan kebenaran) ke perkembangan suatu gambaran mengenai dunia3.
Permasalahan yang muncul seiring dengan pencarian sistem fondasional
(foundational system) adalah kerentanannya menghadapi premis fondasional.
Para positivis-logis melihat ini sebagai suatu kelemahan dari sistem epistemologi
filsuf modern. Sebab spekulasi metafisis mengenai Tuhan tidak didukung oleh
3 Owen Blayne Chapman, Tesis: The End of Metaphysics:Logical Positivism and
Postmodernism, Ontario: Queen’s University, hlm.2
3
fakta empiris. Oleh sebab itu, para positivis perlu mencari suatu sistem
epistemologi baru yang tidak mengabaikan fakta empiris. Suatu sistem
epistemologi baru yang berdasarkan pengetahuan a priori yang mengganti
sistem epistemologi metafisis. Serangan terhadap metafisika dalam Filsafat
Barat oleh kaum positivis-logis ini menjadi pengiring dari Kematian Tuhan4.
Kemudian wacana kematian Tuhan juga diamini oleh Martin Heidegger
sebagai akhir dari metafisika. Heidegger mengambil Wacana Kematian Tuhan
Nietzsche sebagai titik puncak sekaligus perayaan akan matinya metafisika5.
Konsep Nietzsche mengenai kematian Tuhan telah membawa pada suatu
pemahaman bahwa tidak ada nilai/kebenaran yang sebenar-benarnya,
dikarenakan realitas dari kebenaran itu sendiri. Dalam kata lain yakni Nihilisme.
Nihisme sendiri adalah tesis utama yang diajukan Nietzsche bahwa tidak ada
konsep yang “benar” secara fundamental mengenai hubungan antara dunia yang
mana manusia memiliki akses yang sebagaimana telah digunakan untuk
menjustifikasi teori manusia mengenai “bagaimana dan mengapa sesuatu
bekerja sesuai dengan apa tujuan mereka”. Nihilisme mewakili skeptisisme
radikal yang mempertanyakan tiap klaim kebenaran yang dianggap sebagai suatu
kebenaran yang diwahyukan. Nietzsche menggunakan skeptisisme ini untuk
berpaling dari gagasan mengenai kebenaran absolut.
4 Owen Blayne Chapman The End of Metaphysics:Logical Positivism and
Postmodernism,hlm.3
5 Owen Blayne Chapman,hlm.39
4
Dari poin tersebut, penulis menilai bahwa posisi Nietzsche secara khusus
dan Filsafat Barat secara umum pasca Nietzsche, menentang gagasan metafisika.
Spekulasi metafisis tidak lagi diperlukan sebagai suatu sistem epistemologi,
sebab pengabaiannya atas fakta empirik membuatnya tampak goyah. Lebih
khusus lagi Stephen Houlgate menulis dalam Hegel, Nietzsche and the Criticism
of Metaphysic: penentangan Nietzsche atas metafisika didasari dari
ketidakmampuan para metafisikus menghadapi aktualitas, rasa dengki terhadap
kefanaan, serta kebencian terhadap ide kemenjadian6.
Sementara itu, kekosongan pasca kematian Tuhan membawa Filsafat
Barat ke suatu Tuhan baru. Peng-iya-an secara naif terhadap kematian Tuhan
disambut dengan suka-cita. Seperti halnya yang dilakukan oleh Jean-Paul Sartre,
kematian Tuhan menjadi syarat metodologis untuk berbicara tentang manusia
yang sesungguhnya7. Selama manusia dibicarakan dalam hubungannya dengan
Tuhan Tukang Cetak, filsafat tidak bisa berurusan secara penuh kepada manusia.
Manusia hanya bebas manakala Tuhan yang Maha Tahu dihilangkan. Selama
Tuhan semacam itu ada, maka pengetahuan manusia selalu terbatas dan
manusia tidak pernah bebas mengetahui. 8
Dalam skripsi ini, penulis ingin mempertemukan ide anti-metafisika
Nietzsche serta padangan Nasr soal dekadensi manusia modern yang disebabkan
6 Stephen Houlgate, Hegel, Nietzsche and the Criticism of Metaphysics, Cambridge
University, hlm.38
7 A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche , Yogyakarta: Kanisius, hlm.332
8 A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 332
5
oleh matinya metafisika. Nasr memandang dekadensi manusia modern
diakibatkan oleh penolakan manusia moderm terhadap metafisika9. Implikasi
dari kebobrokan tersebut adalah salah satu diantaranya kerusakan alam.
Kerusakan alam dianggap Nasr disebabkan oleh anggapan bahwa alam perlu
diatasi.10
Ide Nasr, berkisar pada revitalisasi manusia melalui kesadaran
metafisika yang menjadi satu-satunya jalan keluar atas krisis yang dialami oleh
manusia modern. Penulis berusaha untuk dapat membandingkan pandangan Nasr
dan Nietzsche mengenai metafisika. Dalam skripsi ini nantinya penulis akan
mencoba memproblematisir posisi anti metafisika Nietzsche serta jawaban
Seyyed Hossein Nasr atas wacana anti-metafisika. Dukungan Nasr terhadap
wacana metafisika ini tercermin dari gagasannya mengenai Scientia Sacra (Sains
Sakral). Sains sakral/pengetahuan sakral adalah suatu pengetahuan akan yang rill
atau terkaitkan dengan pengetahuan yang dengannya manusia dapat
membedakan antara yang ril dan yang maya, dan dapat mengetahui sesuatu
secara ilahi11
.
Keduanya, baik Nasr maupun Nietzsche memiliki kritik terhadap
metafisika. Kritik Nasr pada Metafisika Barat berkisar pada reduksi seluruh
9 Seyyed Hossein Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, Chicacgo : ABC
International Group, hlm. 5
10 Seyyed Hossein Nasr, hal.3
11 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, Albany : State University of New
York Press 1989, hlm 121.
6
kualitas terhadap kuantitas. Reduksi kualitas terhadap kuantitas dimaknai penulis
sebagai reduksi yang-esensial dalam pengertian metafisis pada hal-hal materil
dan substanisal pada pengertian fisik.12
Sedangkan kritik Nietzsche pada
metafisika utamanya pada persoalan kepercayaan akan substansi, dalam suatu
dunia-ada (in „a world of being/ eine seiende Welt) , pada identitas dan bentuk
yang tetap (fixed), berkesinambungan (contionous), dan didefiniksan secara jelas
(clearly defined).13
Dalam pandangan Nietzsche, keperrcayaan akan sesuatu
yang identik dengan diri (self-identical), Ada (being/seiend) terbentuk dari
pendasaran sejumlah konsep yang telah dikukuhkan mereka sendiri, yakni
konsep-konsep tersebut, di dalam pemikiran kita. Di antara metamorfosis akan
ada seperti itu, Nietzsche mengikut-sertakan tubuh (The Body), Tuhan (God),
idea, hukum alam, rumus-rumus, dan yang lainnya, yang kesemuanya, bagi
Nietzsche hanyalah fiksi yang mendistorsi watak pengalaman kita yang lain
daripada biasa. Nietzsche mengeanggap mereka yang meyakini dunia real yang
lainnya, sebagai hasrat kabur dari penderitaan dan kesakitan. Inilah yang
dimaksud dari distorsi pengalaman yang lain dari biasanya.
Melalui kritik terhadap metafisika Barat, baik kritik Nasr dan Nietzsche,
skripsi ini memliki alasan yang kuat untuk ditulis. Kritik terhadap metafisika
Barat modern telah memunculkan pandangan berbeda diantara keduanya.
12
Seyyed H Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, (Bandung: Mizan 1993)
hlm. 38
13 Stephen Houlgate, Hegel, Nietzsche and the Criticism of Metaphysics, Cambridge
University, hlm.39
7
Dalam skripsi ini penulis mencoba mempertemukan dua pemikir dari posisi yang
diametral dalam rangka membandingkan pendapatnya satu sama lain. Skripsi ini
tidak berpretensi menghakimi wacana anti-metafisika sebagai suatu hal keliru.
Sikap yang diambil penulis hanya membandingkan pandangan Nasr serta
Nietzsche mengenai metafisika. Eksposur dalam skripsi ini akan berfokus pada
persoalan metafisika; pendapat Nasr dan Nietzsche serta sanggahan Nasr
mengenai wacana anti-metafisika.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Nasr dan Nietzsche merupakan penulis yang berbicara mengenai banyak
hal, namun dalam penelitian ini, penulis hanya akan membatasi pada pandangan
metafisika Nasr dan Nietzsche, sehingga dalam rumusan masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimana Pandangan Nasr dan Nietzsche Mengenai
Metafisiska?
2. Apa persamaan dan perbedaan konsep metafisika Nasr dan
Nietzsche?
C. Tujuan Penelitian
Melalui batasan dan rumusan masalah diatas, skripsi ini ditulis dengan
tujuan sebagai berikut :
1. Memperkenalkan konsep metafisika baik perspektif Nasr
maupun Nietzsche
8
2. Membandingkan konsep metafiska baik perspektif Nasr
maupun Nietzsche
D. Manfaat Penelitan
Meskipun Nasr adalah tokoh yang sudah banyak dibahas oleh
sarjanawan, namun, hingga saat ini penulis belum menemukan suatu tulisan
yang meneliti konsep metafisika Nasr. Sekaligus memperkenalkan kritik Nasr
terhadap wacana anti-metafisika Nietzsche.
Dengan penelitian ini, diharapkan terdapat suatu nuansa segar bagi
pemikiran Islam khususnya Filsafat Islam. Sebab hingga saat ini tradisi Filsafat
Islam dianggap berada di ranah periferal dalam diskursus filsafat secara global.
Pengenalan akan konsep metafiska Nasr dan penyandingannya secara vis-à-vis
dengan wacana anti-metafisika merupakan suatu upaya agar di masa yang akan
datang para pemikir Islam dapat masuk pada wacana filosofis kontemporer.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai pemikiran Seyyed Hossein Nasr nampaknya sudah
bertebaran dimana-mana. Seperti, pertama, skripsi yang berjudul “Manusia
Menurut Seyyed Hossein Nasr” yang ditulis oleh Anis Lutfi Masykur di jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017. Dalam
skripsi tersebut Anis memfokuskan penelitiannya kepada pandangan Seyyed
Hossein Nasr terhadap manusia
9
Kedua, skripsi yang berjudul “Pola Hubungan Sains dan Agama : Studi
Atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr dan Lois Leahy” yang ditulis oleh Awad di
jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
Dalam penelitian ini ia hanya memfokuskan pada relasi antara sains dan agama.
Ketiga, disertasi yang berjudul “Respon Tradisionalisme Islam Terhadap
Krisis lingkungan: Telaah atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr” yang ditulis
oleh Abdul Quddus di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2012. Disertasi ini mengajukan suatu alternatif atas krisis ekologi yang
terjadi dimasa modern ini, melalui “pembangunan berdasarkan spiritualitas
agama dan tradisi” yang di gaungkan oleh Nasr.
Keempat, skripsi yang berjudul Spiritualitas Bagi Manusia Modern
Dalam Pandangan Seyyed Hossein Nasr (Analisa Filsafat Perennial Terhadap
Materi Pelajaran dalam Masyarakat Modern) yang ditulis oleh Iman Nulhakim
pada tahun 2007 di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi
ini membahas mengenai spiritualitas, yang telah hilang dari manusia modern,
sebagai jawaban atas problematika pendidikan.
Kelima, skripsi yang berjudul “Kajian Terhadap Pemikiran Seyyed
Hossein Nasr Tentang Islam dan Pertemuan Agama-Agama dalam Buku Living
Sufism” di jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga yang ditulis oleh
Nurul Huda tahun 1996. Medan problematik dari skripsi ini ialah
memperlihatkan agama sebagai sesuatu yang multidimensional. Melalui itu,
10
pembacaan terhadap agama yang paling memungkinkan ialah pembacaan
spiritual. Skripsi ini mempersoalkan, kekeliruan manusia modern yang hanya
melihat segala sesuatu hanya dari satu dimensi saja.
F. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan penulis ialah deskriptif-komparatif, yang
menjelaskan terlebih dahulu pandangan Nasr dan Nietzsche lalu
membandingkan pandangan tersebut. Pendapat kedua tokoh akan didasarkan
pada sumber primer.
Penulis menggunakan metode riset perpustakaan, yaitu dengan
mengumpulkan literatur-lieteratur yang berkaitan dengan judul tulisan ini. Tentu
saja rujukan utama ialah buku Nasr yang berjudul “Islam and The Plight of
Modern Man”. “Knowledge and The Sacred” , “Man and Nature”. Dan sumber
sekundernya seperti dalam, “The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr”.
Sedangkan untuk menyelami pemahaman Nietzsche mengenai
metafisika, penulis merujuk buku Nietzsche “The Gay Science” dan “Beyond
Good and Evil” penulis juga menggunakan sumber sekunder untuk menggali
pendapat Nietzsche mengenai metafisika seperti buku “Hegel, Nietzsche and the
Criticism of Metaphysic, “Gaya Filsafat Nietzsche.
.
11
G. Sistematika Penulisan
Bab 1 berisi pendahuluan yang menerangkan tentang latar belakang
masalah, tentang alasan mengapa judul “Nasr dan Kematian Tuhan ; Pandangan
Metafiska Nasr dan Nietzsche” perlu diteliti, dan bagaimana penelitian ini dapat
menyumbangkan solusi bagi permasalahan tersebut.
Bab 2 akan membahas mengenai tinjauan umum mengenai metafisika.
Serta dalam bab ini juga akan membahas mengenai obyek kajian metafisika,
wilayah kajian metafisika dan beberapa filsuf dan konsep metafisikanya masing-
masing
Bab 3 akan membahas mengenai riwayat hidup Seyyed H. Nasr
kemudian dilanjutkan dengan formulasi pandangan metafisikanya melalui
filsafat perenial dan posisi Yang-Sakral diakhiri dengan penjelasan mengenai
metafisika transenden Nasr
Bab 4 akan membahas mengenai riwayat hidup Friedrich Nietzsche
kemudian dilanjutkan dengan formulasi pandangan metafisikanya melalui
Filsafat Menjadi dan Kehendak, serta diakhiri dengan penjelasan metafisika
imanen Nietzsche
Bab 5 akan membahas perbandingan pandangan metafisika Nasr dan
Nietzsche melalui Kritik terhadap modernisme dan pandangan epistemologinya.
Bab 6 berisi kesimpulan dan saran
12
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI METAFISIKA
Dalam Bab ini penulis akan membahas mengenai tinjauan umum metafisika.
Pembahasan tinjauan umum mengenai mengenai metafisika meliputi pengertian
metafisika, wilayah kajian metafisika serta pendapat filsuf mengenai metafisika.
A. Pengertian Metafisika dan Sejarah Metafisika
Filsafat bermula dari metafisika, secara historis. Pertanyaan-pertanyaan
apakah alam semesta itu; bagaimanakah asal-usulnya; apa itu realitas; apa itu hakikat
jiwa; apa itu tubuh; bagaimana hubungan antara jiwa dan tubuh? Adalah pertanyaan-
pertanyaan pertama yang menggelitik manusia yang kemudian mereka sendiri
berusaha untuk menjawabnya.1Rasa ingin tahu manusia pada akhirnya membawa
manusia pada pencarian akan kebenaran. Kemudian, pada akhirnya dari pertanyaan-
pertanyaan semacam itu, manusia mendapatkan berbagai macam jawaban yang
sekaligus melengkapi dan sekaligus bertentangan. Oleh karena alasan tersebut
metafisika sering dihadapkan dengan epistemologi2
Kata metafisika sendiri berasal dari penamaan 14 buku Aristoteles oleh
pustakawan Andronicus dari Rhodes.3 Ketika pustakawan mengatur, dan menyimpan
serta mendaftar karya-karya Aristoteles, Andronicus kesulitan untuk mengidentifikasi
1 James Iverach. “Epistemology”, Encyclopedia of Religion and Ethics, ed. James Hastings,
vol.5 (New York : Charles Scriber‟s Son‟s, 1995), hlm. 337 2 Alfred Cyril Ewing, The Fundamental Question of Philosophy, (New York:ColierBooks,
1962) 3 Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”, Jurnal The Review of Metaphysics,
vol.14 no.4 (New York: Philosophy of education Society Inc), hlm. 601
13
dan juga menamai buku-buku tersebut4. Karena malu dan kurangnya pengetahuan
yang pasti ia menyimpannya di deretan setelah buku Physic Aristoteles. Oleh karena,
ia menyimpannya di deretan buku Physic Aristoteles ia menamainya dengan nama
([Ta] Meta [Ta] Phuisuka)5 –“ buku-buku yang [ada di daftar karya-karya Aristoteles]
setelah buku-buku Physic”. Aristoteles sendiri tidak pernah menulis kat “Metafisika”
dalam suatu karya apapun.6
Namun argumen mengenai kata metafisika yang lahir dari suatu tidak
kesengajaan nampaknya tidak dapat di pertahankan kembali. Pada tahun 1951
seorang sarjana yang berasal dari Prancis, P. Moraux membuktikan bahwa kata
metafisika telah digunakan jauh sebelum penamaan Andronicos. Moraux menyatakan
bahwa kata metafisika telah digunakan oleh Ariston yang menjadi filsuf Aristotelian
sekitar tahun 226 SM7
Metafisika kemudian dimaknai sebagai ilmu yang “melampaui” atau
“membelakangi” atau “jauh” atau “yang mendasari” seluruh ilmu pengetahuan,
4 Pada zaman Yunani kuno terdapat suatu aturan dimana pengarang menulis karyanya tanpa
diberi judul. Judul dari buku nantinya akan dibubuhi oleh pustakawan , ahli tata bahasa, sarjanawan,
juru tulis atau orang yang sering menggunakan peryataan-pernyataan yang menyolok , ungakapan atau
kata yang terkandung di kalimat pertama dari suatu karya. Dalam kasus Metafisika Aristoteles,
nampaknya, para sarjanawan tidak dapat memahami apa yang dianggap Aristoteles penting dalam
kalimat pembuka yang akan cocok sebagai judul yang tepat. Lih. Anton Hermann-Chroust, “The
Origin of “Metaphysics”, Jurnal The Review of Metaphysics, hlm. 601 5 Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”,Jurnal, The Review of Metaphysic,
hlm. 601 6 Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”,Jurnal, The Review of Metaphysic,
hlm. 605
7 Anton Hermann-Chroust, “The Origin of “Metaphysics”, Jurnal The Review of Metaphysic ,
hlm. 611
14
termasuk ilmu sains alam. Hal ini di amini oleh Aristoteles dalam distingsi antara
prior dan “yang mendahului” (prior) dan “lebih dikenal” (better known) :
“ Now the terms „prior‟ and „better known‟ are used in two ways : that
which is „prior‟ or „better known‟ in the order of nature is quite different from
that which is „prior‟ and „better known‟ as far as we [our intellects] are
concerned …. Objects nearer to our senses are prior and better known to man;
objects without qualifications are prior and better known, and are further from
our senses. Furthest from our sense are the most universal causes”
(Term prior dan better known digunakan dalam dua cara : yang prior
atau yang-better known di dalam pemahaman alam, sangatlah berbeda dari
yang prior dan yang-better known sejauh ini kita [akal kita] anggap …. Obyek
yang lebih dekat pada akal kita adalah prior dan better known bagi manusia;
sedangkan obyek tanpa batasan adalah prior dan better known, sekaligus
lebih jauh pada akal kita. Yang paling jauh dari akal kita adalah sebab yang
paling universal.)8
Dari kutipan di atas penulis menyimpulkan bahwa; pertama, Aristoteles
mengandaikan suatu dunia yang “melampaui” atau “jauh” atau “menyudahi” dunia
fisis. Dimana sebab yang paling universal dilandaskan pada Aristoteles pada hal yang
paling jauh serta obyek yang tak terbatas. Kedua, bahwa cerita mengenai asal-usul
penamaan metafisika, tidak masuk akal jika hanya berlandaskan pada „ketidak-
sengajaan‟. Kutipan ini membuktikan bahwa kata metafisik adalah suatu rangkaian
yang saling berhubungan dengan buku Aristoteles sebelumnya yakni Physic.
Kita bisa melihat jejak-jejak bagiamana metafisika dianggap sebagai ilmu
yang “melampaui”, atau “ jauh” atau “yang mendasari” segala ilmu pengetahuan
dalam tradisi skolastik. Dalam tradisi skolastik, metafisika, kemudian, mengalami
pergeseran makna. Metafisika dipahami oleh para filsuf skolastik sebagai ilmu
tentang “yang-ada” atau “yang-rill” karena muncul “sesudah dan melebihi” fisika.
8 Aristotle, Posterior Analytics, terj. Johnatan Barnes , (Oxford University Press), hlm. 3
15
“sesudah” disini tidak dimaknai dalam arti temporal, tetapi bahwa obyek metafisika
berada pada abstraksi yang melampaui fisika dan matematika, yakni abstraksi ketiga.
Demikian juga kata “melampaui”, ia tidak menunjukan unsur spasial, melainkan
metafisika menempati hierarki tertinggi karena menempati jenjang tertinggi dari
semua kegiatan abstraksi.9
Jika kembali ke jaman Yunani, metafisika mengkaji sebab-sebab terdalam ,
prinsip-prinsip konstitusif dan teringgi. Aristoteles menamakan disiplin ini sebagai
Proto Philosophia (Filsafat Pertama) untuk membedakannya dari disiplin filsafat
yang masih berurusan dengan persoalan-persoalan fisik. Aristoteles ingin mencari
filsafat sebagai pengetahuan tertinggi manusia, yang tidak bisa diatasi lagi.
Metafisika sebagai filsafat pertama dan sejati ini menurut Aristoteles berpusat
pada „Ada sebagai yang Ada‟ (being qua being). „Ada‟ menjadi dasar segala-galanya.
„Ada‟ menjadi sifat yang melingkupi dan mendasari segala sifat lainnga. Dari sini
bisa dipahami bahwa objek material metafisika adalah segala yang ada. Ilmu ini
menyangkut realitas dalam semua bentuk atau manifestasi, bukan bagian tertentu
realitas. Tidak dipedulikan di sini apakah bentuk atau manifestasi, bukan bagian
tertentu realitas. Tidak dipedulikan di sini apakah bentuk atau manifestasi itu pada
tingkat sensibilitas (inderawi) atau intelejibel (rasio).10
Begitupun objek formal
metafisika adalah „Ada sebagai yang Ada, metafisika berbeda dengan bentuk
pengetahuan yang lain. Dalam refleksi metafisika, meja, kursi atau manusia di
9 Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum; Filsafat Pengadaan Dasar-Dasar Kenyataan,(
Yogyakarta : Kanisius, 1992) hlm. 15 10
Loren Bagus, Metafisika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991) hlm. 24
16
tinggalkan. Metafisika hanya menyibukan diri dengan yang ada sebagai yang ada.
Metafisika tidak berurusan dengan apakah suatu itu berwarna atau tidak, berbau atau
tidak. Metafisika tidak memperkarakan sifat dari sesuatu melainkan Ada nya sesuatu.
Sebagai contoh, ketika melihat bunga, metafisika berbicara mengenai keberadaan
bunga tersebut. Apakah bunga itu „Ada‟? Atau apakah bunga „Aktual‟? maka secara
sederhana dapat dikatakan metagisika adalah suatu disiplin mengenai yang ada yang
bersifat universal karena menyangkut seluruh realitas.11
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa obyek material atau ruang lingkup
yang dicakup dalam pembahasan metafisika adalah seluruh realitas. Sedangkan
obyek formal atau fokus pembahasan adalah „ada sebagai yang ada‟ (being qua
being). Seluruh realitas yang dibahas metafisika adalah sebagaimana adanya. Karena
itulah metafisika diakui sebagai ilmu yang paling universal. Ia tidak merujuk pada
obyek material tertentu, melainkan mengenai suatu inti yang termuat pada setiap
kenyataan. Inti itu hanya tersentuh pada taraf peelitian yang paling fundamental dan
dengan menggunakan metode tersendiri. Metafisika merupakan refleksi filosofis
jenyataan secara mutlak paling menalam dan paling ultim.12
Berangkat dari hal diatas, maka obyek material metafisika adalah seluruh
realitas dipandang dari sisi adanya, tetapi justeru di titik inilah metafisika banyak
mendapatkan penolakan. Beberapa aliran filsafat menolak, minimal meragukan,
metafisika. Skeptisisme meragukan kemampuan kognitif manusia. Aliran ini tidak
11
Loren Bagus, Metafisika, hlm. 25-26 12
Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum; Filsafat Pengadaan Dasar-Dasar Kenyataan,
hlm. 15
17
mempercayai bahwa manusia mampu sampai ke abstraksi yang begitu jauh.
Empirisme dan positivisme mereduksi pengetahuan manusiapada pengetahuan
inderawi belaka. Materialisme mereduksi realitas sebatas pada tatanan materi,
sehingga kajian metafisika sebagai kajian tidak memiliki arti.
B. Wilayah Kajian Metafisika
Wilayah kajian metafisika, sebagaimana di introdusir oleh seorang filsuf
Jerman, Christian Wolff, pada abad ke-18 adalah ontologi disamping teologi
metafisik, antropologi dan kosmologi. Ontologi berkaitan dengan filsafat tentang
yang ada (being); teologi berkaitan dengan masalah keTuhanan; kosmologi denga
masalah alam dan psikologi dengan manusia. Kattsoff membagi metafisika menjadi
dua : ontologi dan kosmologi. Ontologi berusaha untuk menemukan esensi terdalam
dari yang ada, sedangkan kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertiban seta
susunannya.13
Ontologi merupakan istilah lain dari metafisika. Ontologi berasal dari
bahasa Latin ; “Ontos (being atau ada) dan Logos (knowledge atau pengetahuan).14
Jadi ontologi tak lain adalah metafisika, yaitu cabang filsafat yang bersangkutan
dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang paling ultim atau
esensi terdalam dari yang ada.15
13
Lois Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta : Tiara Wacana,
1995) 14
Samuel Enoch Stumpf, Philosophical Problems (New York: Mc Graw-Hill, Inc. 1994) hlm.
129 15
Warren E. Preece, et, al. (ed.) “Ontology”, Encyclopaedia Britanica , Vol.16 (Chicago;
Encylopaedia Britanica Inc, 1965) 97A. Bandingkan “ Istilah metafisika sebagai ilmu tentang yang ada
sering dinamakan metafisika umum, ontologi, atau metafiska saja” Lih. Loren Bagus, Metafisika,
hlm.20. Bandingkan juga “… ketiga nama “filsafat pertama” , “metafisika umum” dan “ontologi”
18
1. Ontologi
Ontologi membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-
prinsip umm kedalam bidang-bidang khusus, yaitu : teologi metafisik, antropologi,
dan kosmologi. Isitilah „ontologi‟ diperkenalkan oleh seorang cendekiawan
Skolastik-Protestan asal Jerman, Rudolphus Goclenius dalam bukunya Lexicon
Philosophicum (1613). Ontologi berurusan dengan hal yang sangat sederhana.
Sebagai contoh kita bisa mengatakan „ada‟ sepatu kuning, yang menjadi
permasalahan ontologi bukanlah atribut dari sepatu tersebut, melainkan „ada‟-nya
sepatu tersebut. Yang „ada‟ di balik sepatu tersebut adalah yang menjadi dasar
ontologi, gampangnya ada sebagaimana adanya (ens in quantum ens).
Dalam perkembangannya terdapat beberapa pendapat mengenai apa yang
mendasari segala sesuat yang ada. Menurut materialisme yang ada adalah segala
sesuat yang materil, yakni segala sesuatu yang dapat diketahui melalui pengamatan
indera. Kelompok materialisme menganggap bahwa segala peristiwa dan keadaan
mempunyai ujud sebenarnya dan selain materi tidaklah ada. Sehingga, gampangnya,
materialisme adalah paham yang menekankan materi sebagai asal-muasal realitas. 16
Kedua, idealisme, yaitu aliran wacana ontologi yang berpandangan bahwa
realitas yang ada atau hakikat kenyataan yang serba ragam dan rupa itu terjadi dari
suatu kekuatan roh, sukma budi, atau yang biasa disebut dengan Idea yang tidak
dapat dipergunakan tanpa dibedakan (indiscrimination), Lih. Anton Bakker, Ontologi, hlm. 17. Lihat
juga Tim Maudlin, The Metaphysic Within Physic (Oxford: Oxford University Press, 2007) hlm. 5-7 16
Pandangan-pandangan tentang realitas yang ada dengan segala aliran-alirannya dapat dilihat
dalam Sutan Takdir Alisyahbana , Pembimbing ke Filsafat Metafisika (Jakarta: Dian Rakyat, 1981),
hlm. 29
19
menempati ruang dan tidak berbentuk. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada,
termasuk materi hanyalah personifikasi dari roh atau ide. 17
2. Teologi Metafisik
Teologi metafisik merupakan wilayah kajian metafisika yang membicarakan
tentang Tuhan. Tuhan sebagai objek kajian metafisika memiliki kekhususan
dibanding dengan dua objek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari
semesta maupun jiwa dapat ditangkap indera, maka hal yang sama tidak berlaku bagi
realitas keTuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak dapat diketahui oleh
indera. Apabila filsafat keTuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau
kesimpulan seluruh pengkajiannyam maka teologi mengambil Tuhan sebagai titik
awal pembahasannya.
Filsafat keTuhanan berurusan denan pembuktian kebenaran akan adanya
Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Terdapat suatu varian lain dalam
filsafat keTuhanan yang tidak memproblematisir eksistensi Tuhan, yakni Teologi
Naturalis. Kelompok ini berpendapat bahwa yang di problematisir adalah penyebab
pertama yang ditak disebabkan. Hal tersebut membawa kepada kesimpulan, Jika tidak
ada penyebab yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda relatif kontingen
tidak dapat dipahami oleh akal.
17
Sutan Takdir Alisyahbana, hlm. 39
20
3. Antropologi Metafisik
Kajian metafisika tentang jiwa manusia berkisar pada persoalan Jiwa,
kesadaran, dan eksisitensi manusia (identitas). Seperti contoh, kesadaran adalah
kualitas kemampuan meneria dan mengidentifikasi keberadaan yang eksis – baik
dirinya sendiri maupun di luar dirinya. Kesadaran telah didefinisikan, di asosiasika,
dan dipahami sebagai ke-berakal-an, kesadaran, subyektifitas, kontrol pada budi dan
term lainnya. 18
4. Kosmologi Metafisik
Pada jaman Yunani kuno pembahasan kosmologi telah di mulai oleh Thales.
Thales merupakan filsuf alam pertama yang membicarkan asal mula (archae) alam.
Thales beranggapan bahwa asal mula alam adalah air, yan di ikuti oleh Anaximander
dan Anaximenes. Namun perkembangan selanjutnya muncul kelompok yan
menentang pandangan Thales. Kelompok ini dinamakan dengan nama kelompok
„mekanis‟. Mereka beranggapan bahwa keseluruhan alam raya ini merupakan mesin
mesin, atau seluruh alam semesta ini berjalan susai dengan hukum mekanis (mesin).
Gampangnya alam semesta dapat dipahami melalui prinsip-prinsip mekanika.19
18
https://Plato.stanford.edu / entries/consciousness/ dengan judul : “Cosnsciousness” , diakses
pada tanggal 9Agustus 2019 pukul 6:36 WIB 19
Lois Katsoff, Pengantar Filsafat, hlm. 263-265
21
C. Filsuf dan Konsep Metafisika
1. Plato
Plato membedakan realitas menjadi dua dalam alegori tentang gua, yaitu
dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek (dunia ide). Plato bertitik tolak
dari problem yang Satu (the One) dan yang Banyak (the Many) untuk memahami
realitas. Pemikirannya mengenai yang Satu dan yang Banyak merupakan sintesis
antara dua pemikir besar yakni Heraklitos dan Parmenides20
. Plato bertitik tolak dari
polemik antara Parmenides dan Heraklitos. Parmenides menganggap bahwa realitas
itu berasal dari yang Satu, yang tetap tidak berubah; sedangkan Heraklitos
menganggap realitas berasal dari yang Banyak, yang selalu berubah. Plato
menyatakan bahwa disamping hal-hal yang beraneka ragam dan yang dikuasai oleh
gerak serta perubahan-perubahan.
Pemikiran metafisika Plato terarah pada pembahasan mengenai Being
(Ada)dan Becoming (menjadi). Plato adalah filsuf yang pertamakali
memproblematisir being dan becoming. Plato berpendapat bahwa becoming – yakni
dunia yang berubah-ubah – tidak memuaskan atau tidak memadai sebagai obyek
pengetahuan; karena bagi Plato setiap bentuk pengetahuan berkesesuaian dengan
suatu jenis obyek. Plato memikirkan pengetahuan asli (genuine knowledge), yaitu
suatu jenis pengetahuan yang tidak berubah, sehingga obyeknya haruslah sesuatu
20
Rizal Mustansyir, “Aliran-Aliran Metafisika”, dalam Jurnal Filsafat, Juli 1997 (Yogyakarta :
Fakultas Filsafat UGM) hlm. 9. Bandingkan dengan “ … Plato derived the ideal theory from a double
source : by reaction, in the first place, from the Heraclitean teaching od Cratylus …. And in the second
place, from Socrates , through development of Socratic notion of the universal concept.” J. Murray,
“Notae : Plato‟s Theory of Ideas”, dalam jurnal Gregorianum, Vol.35 No.2 (1954) hal.247. dan lihat
juga Sir David Ross, Plato’s Theory of Ideas. (Oxford: Oxford University Press) hal. 230
22
yang tidak berubah (changeless). Plato yakin bahwa pengetahuan yang asli itu harus
diarahkan pada Being. Being, bagi Plato, dibentuk oleh dunia yang merupakan pola-
pola dari segala sesuaty yang dapat di indera, sedangkan ide-ide itu secara kodrati
bersifat kekal dan abadi.21
Alasan Plato membedakan being dan becoming adalah sebagai cara untuk
mencari dasar kebenaran pengetahuan. Sebagaimana T.E Jessop menulis dalam
Journal of Philosophical Studies;
“ The Platonic theory of form is an attempt to find, with the aid of other
influences, a metaphysical ground…, that is, to discover what reality must be
if knowledge consists in the understanding of things by means of distinctly
definded general conception.22
(Teori form Platonis adalah suatu usaha untuk mencari suatu dasar metafisis,
dengan bantuan dari pengaruh-pengaruh lainya, … , yakni, pencarian apakah
itu realitas yang seharusnya jika pengetahuan terbentuk dalam pemahaman
mengenai hal-ihwal dengan cara pendefinisian konsepsi general secara khas.)
Forma yang menentukan Being tidak sulit untuk dipahami, manakala Form
merupakan kualitas universal dari hal-hal yang dapat di indera, sifat-sifat sesuatu;
“seperti merah”, “manusia”, merupakan kualitas sesuatu yang konkret yang mudah
dipahami. Plato megarahkan pada hal-hal atau kualitas yang lebih abstrak, yakni hal-
hal yang mencerminkan sifat-sifat yang lebih umum (general conception). Sifat sifat
ini mengandung ide-ide abadi yang tidak akan pernah mati dan merupakan problem
aktual dalam pemikiran umat manusia. Yang banyak (the Many), memang bisa
terlihat dalam kenyataan konkret namun sulit dikenal, sedangkan ide lebih dikenal
21
Rizal Muntasyir, Jurnal Filsafat Hlm. 9 22
T.E Jessop , “The Metaphysic of Plato”, dalam Journal of Philosophical Studies, Vol. 5,
No.17 Royal Institute of Philosophy, hlm. 39
23
namun tidak terlihat. Idea menurut Plato tidak memiliki organ yang terpisah-pisah,
melainkan sebagai sebuah pikiran , yang melalui suatu kekuatan uang ada dalam
dirinya.
2. Ibn Sina
Konsepsi metafisis Ibn Sina terkandun dalam kitab al-Syifa’. Dalam kitab al-
Syifa’ Ibn Sina membahas mengenai struktur dasar eksisten (ada) dalam dunia
konkret serta begaimana eksisten (ada) tersusun dalam alam pikiran kita. Hal ini
sebagaiman diambil dari tradisi parepatetik Aristotelian, dimana bagi Aristoteles
kajian mengenai apa itu eksisten (yang ada sebagai yang ada) memerlukan
pemahaman mengenai bagaimana eksisten tersebut disebut dalam berbagai konteks ;
“ Keberadaan disebut dengan cara yang berbeda-beda, namun dengan merujuk pada
satu hal saja, yakni yang berada pada tabiat alamiah tersendiri dan bukan demikian
secara equivokal”. 23
Asumsi bahwa untuk mengetahui eksistensi kita harus
memahami bagaimana struktur bahasa kita mempersepsikan segala modalitas
pengalaman adalah pewarisan Ibn Sina terhadap tradisi Paripatetik Yunani.
Menurut M.F Attar, metafisika Ibn Sina beroperasi pada persoalan “Apa itu?”
yang pada akhirnya akan disimpulkan bahwa suatu benda dapat dikonsepsi oleh
pikiran. Hal ini nantinya akan menjadi dasar teoritis Ibn Sina dalam membedakan
23
Kutipan ini terdapat dalam Kitab al-Syifa Ibn Sina “Bagian V : Metafisika ”al-Syifa” ; al-
Ilahiyyat (Metafisika) di edit oleh Georges C. Anawati et. al. Vol.2 (Cairo: Al-Ammah li-Syu‟un al-
Mutabi al-Amiryyah, 1960) diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh M.F Attar dalam Jurnal
Ilmu Ushuluddin, “Fondasi Realisme Ibn Sina dalam Metafisika Ibn Sina” dalam Jurnal Ilmu
Ushuluddin, (Jakarta: Jurnal Ilmu Ushuluddin, 2015) Vol.2 no.3
24
Esensi dan Eksistensi,. Dari distingsi Esensi dan Eksistensi inilah pembuktian akan
adanya Tuhan menurut Ibn Sina dirumuskan. 24
Doktrin Ibn Sina tentang wujud, sebagaimana para filsuf Muslim sebalum Ibn
Sina, seperti misalnya Al-Farabi, bersifat emanasi. Dari Tuhanlah segala ke-maujud-
an, mengalir akal pertama, segala sesuatu dapat terwujud. Namun sifat akal pertama
tidak mesti Mutlak, sebab ia tidak „Ada‟ dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan
kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan.
Ibn Sina mengkukuhkan eksistensi dari Wajib al-Wujud (eksisten wajib) dari
pertimbangan mengenai „Ada‟ secara umum. Hal ini cukup berbeda dari bukti akan
adanya Tuhan lainnya semisal Aristoteles, yang menganggap hanya sebuah bagian
dari „Ada‟, yakni Ciptaan Tuhan, hanyalah suatu dampak dari gerakan. Ibn Sina
membalik pembuktian adanya Tuhan dari prinsip-prinsip metafisis yang ditarik dari
metafisika.
Untuk itu kiranya perlu untuk membahas mengenai konsep Wujud menurut
Ibn Sina. Bagi Ibn Sina wujud terbagi menjadi tiga, yakni ; a) Wajib al-Wujud (wujud
Niscaya) b) Mumkin al-Wujud (wujud kontingen) dan Mumtani al-Wujud (wujud
non-eksisten)25
. Wujud niscaya adalah sesuatu yang tidak mungkin tidak ada karena
dirinya sendiri dan karena alasan lainnya. Wujud niscaya merupakan suatu yang
ketika ia diasumsikan tidak ada maka akan menghasikan ketidak-mungkinan.
24
M.F Attar, “Fondasi realisme Ibn Sina dalam Metafisika Ibn Sina”, Jurnal Ilmu Ushuluddin ,
hal. 186 25
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Ibn Sina‟s Concept of Wajibul Wujud, dalam Jurnal Tsaqafah
UNIDA Gontor, Vol.7, No.2, 2011 hlm.380
25
Sementara Wujud Kontingen, adalah sesuatu yang ketika di asumsikan tidak ada
maupun ada akan menghasilkan kesimpulan „mungkin‟.
Melalui demonstrasi ini konsep metafisika Ibn Sina, sebagaimana di jelaskan
diatas membalik konsep metafisika Aristoteles, yang berangkat pada persoalan fisika.
Ibn Sina mendasarkan segala realitas pada Wujud Niscaya, sebagai wujud yang
memberi atau meminjamkan „Ada‟ pada „Ada‟ lainnya, yakni Wujud Kontingen.
26
BAB III
PANDANGAN METAFISIKA SEYYED HOSSEIN NASR
A. RIWAYAT HIDUP SEYYED HOSSEIN NASR
a. Latarbelakang Intelektual
Dalam kajian ke-Islaman, sarjana muslim, mungkin, tidak merasa asing
dengan nama Seyyed Hossein Nasr. Nasr adalah salah satu living philosopher di
dunia. Mulai aktif menulis gagasan-gagasannya sejak muda. Kepiawaiannya dalam
menelurkan gagasan-gagasannya bukan suatu anugerah yang datang dari langit
semata, melainkan melalui proses panjang sejarah hidup Seyyed Hossein Nasr.
Ada beberapa hal yang membuat penulis tertarik dengan Seyyed Hossein
Nasr. Pertama, konsistensi Nasr pada posisi yang ia ambil, seorang tradisionalis.
Konsistensi atau ke-istiqomah-an Nasr pada posisi tersebut menghasilkan roh (geist)
dalam tulisan-tulisan dan buku-buku Nasr terhubung satu sama lain. Kedua ialah
penuturan argumentasi Nasr yang acapkali di sampaikan dalam bahasa yang puitis.
Serta ketiga, kritik Nasr pada peradaban modern yang khas. Kekhasan kritik Nasr
terletak pada solusinya untuk melampaui peradaban modern, bukan merevisi
pendapat-pendapat tertentu. Bagi Nasr, peradaban modern sudah bobrok semenjak ia
berupa fondasi
Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai riwayat hidup Seyyed Hossein
Nasr. Dimulai dari “latarbelakang intelektual”, “peristiwa-peristiwa penting dalam
27
kehidupan Seyyed Hossein Nasr”, serta, “karya-karya Seyyed Hossein Nasr”.
Sehingga seyogyanya kita bisa memahami latar belakang gagasan-gagasan Seyyed
Hossein Nasr.
Seyyed Hossein Nasr lahir di Teheran, Iran pada tahun 1933 beliau lahir dari
pasangan Seyyed Valiallah dan Ashraf. Nasr mendapat gelar Seyyed dari jalur
ayahnya merupakan keturunan Sayyid (sadat) adalah keturunan dari Nabi
Muhammad S.A.W. Salah satu leluhur Nasr dari jalur ayahnya, yakni Mulla Majed
Hossein, merupakan ahli di bidang agama1.
Nasr lahir dalam lingkungan keluarga terdidik dan saleh, sebagaimana ia
nyatakan sendiri dalam otobiografinya, The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr:
“I was born into a family of well-known scholars and physicians”2
(Saya lahir dalam suatu keluarga orang-orang terdidik dan fisikawan terkenal)
.
Dalam bukunya, penulis mendapati beberapa nama besar yang berada dalam
lingkungan keluarga Nasr. Pertama ayahnya, Seyyed Valiallah, merupakan seorang
fisikawan terkenal. Karir ayahnya mencapai puncaknya ketika menjabat rektor
Sekolah Tinggi Keguruan Teheran (Teachers‟ Collage) dan dekan dari beberapa
fakultas di Universitas Teheran. Nasr juga menulis bahwa ayahnya adalah salah-satu
pendiri sistem pendidikan modern di Iran.
1 Seyyed H. Nasr, dalam Lewis Edwin Hahn (ed.), The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr,
(United States of America : Open Court Publishing ), hlm. 3 2Seyyed H. Nasr, hlm.3
28
“ My father, ….,is considered as one of the founders of the modern educational
system in what had now become known officially Iran. 3
(Ayahku, …, dianggap sebagai salah satu dari pendiri sistem pendidikan modern
di tempat yang kita ketahui saat ini Iran secara resmi.)
Selain daripada itu ayah Seyyed Hossein Nasr, Seyyed Valiallah, juga tertarik
dengan kajian falsafah, baik falsafah Islam maupun falsafah Barat. Salah satu bukti
dari ketertarikannya pada kajian falsafah, Seyyed Valiallah menulis satu buku
mengenai etika, yakni Danish wa Ahlaq (Knowledge and Ethic). Dan juga ragam
koleksi Seyyed Valiallah dalam literature berbahasa asing, seperti buku yang di tulis
oleh Michael Montaigne, Charles-Louis Montesquieu, Rene Descartes, Blaise Pascal,
Francois Voltaire, Jean-Jacques Rousseau dan bahkan Plato serta Aristoteles.
Nama besar berikutnya ialah Ashraf, ibunda dari Seyyed Hossein Nasr. Latar
belakang keluarga ibunya berbeda dengan latar belakang keluarga ayahnya. Kakek
dari Ashraf , Syekh Fadlallah Nuri, merupakan tokoh politik-relijius pada masanya.
Namun Syekh Fadlallah Nuri memiliki pandangan politik yang berlawanan dengan
gerakan Revolusi Konstitusional 1906, sehingga ia ditangkap dan dihukum mati oleh
pemerintah pada masanya.
Keluarga Ashraf, ibunda Seyyed Hossein Nasr , merupakan keluarga dari tradisi
ke-Islaman yang kuat. Salah-satu bukti diantaranya ialah pengetahuan yang kuat
dalam sastra Persia dan Arab. Pengetahuan akan sastra Persia dan Arab ini lah yang
kemudian diajarkan pada Nasr. Sebagaimana ditulis Nasr:
3 Seyyed H. Nasr, hlm. 4
29
“But she was devoted to Persian literature and, like my grandmother, knew and
in fact still knows numerous Persian and even Arabic poems by heart. It is she who
took me to the great centers of pilgrimage such as Qom and Hadrathi Abd-al-Azim
near Teheran when I was a child, making possible an experience of the sacred which
has remained indelibly etched in my memory to this day.4
(Namun ia menekuni sastra Parsi dan, seperti nenek saya, tahu dan faktanya tetap
mengetahui beragam syair Parsi dan bahkan Arab diluar kepala. Dialah juga yang
membawaku ke pusat ziarah agung seperti Qom dan makam Hadrathi Abd-al-Azim
di dekat Teheran ketika saya kanak-kanak, memungkinkan untuk suatu pengalaman
akan yang-sakral yang tetap tergores tak terhapuskan dalam ingatan saya hingga hari
ini).
Nasr juga menganggap bahwa ibunya lebih dominan mengajarkan keilmuan Islam
ketimbang ayahnya.
Penulis berkesimpulan, Nasr dilahirkan ditengah-tengah dua keluarga yang
memiliki tradisi yang berlainan satu-sama lainnya. Nasr hidup dalam tegangan antara
keluarga ayahnya yang maju dalam bidang fisika dan keilmuan bersifat positifistik,
meskipun ayahnya juga menyelami falsafah, baik falsafah islam atau timur secara
umum dan falsafah barat, serta keluarga ibunya yang memiliki sejarah yang panjang
dengan tradisi mistisisme Islam serta sastra Persia dan Arab.
Sebagai hasil dari tegangan tersebut, Nasr cakap membincangkan mengenai
sains dan ilmu pengetahuan, seperti yang ia tulis dalam The Need of Sacred Science,
Man and Nature ,juga kritis terhadap pemikiran falsafah barat, seperti yang ia tulis
dalam A Young Muslim‟s Guide to Modern World dimana dalam bukunya ia dengan
cakap menampilkan pemikiran-pemikiran dari faylasuf di Barat, serta Mistisisme
4 Seyyed H. Nasr, hlm. 6
30
Islam dan Falsafah Islam seperti yang ia tulis dalam buku The Garden of the Truth .
Penulis beranggapan bahwa kumpulan karya-karya tersebut merupakan suatu hasil
dari atmosfer intelektual dimana Nasr dibesarkan. Hal tersebut pula di amini oleh
Nasr sendiri:
“ I was brought up in an atmosphere which, while deeply Persian, was also open to
both Western ideas and religion and intellectual of other tradition.”5
(Saya tumbuh dalam suatu udara yang, adalah seorang Parsi yang berurat berakar,
sementara juga terbuka pada, baik pada ide-ide Barat maupun agama Barat, dan juga
intelektual dari tradisi lainnya)
Kemudian di beberapa kesempatan, Seyyed Valiallah, seringkali membawa
Nasr kecil ke majelis sastra yang di datangi Seyyed Valiallah. Dalam majlis tersebut
berkumpul banyak ahli-ahli di bidang sastra, khususnya sastra Parsi. Salah satu
diantaranya ialah Muhammad Ali Furughi, seorang tokoh besar dalam politik Iran,
sekaligus penerjemah buku Rene Descartes : Discourse on Methode dalam bahasa
Parsi. Nasr menganggap dalam melalui majelis tersebut, eksposur pertama di usia
muda mengenai diskursus falsafah serta sufisme tertanam.
Kemudian, nama penting berikutnya, yang turut serta mengkonstitusi
gagasan-gagasan Nasr kecil ialah, Seyyed Ali Nasr. Seyyed Ali Nasr merupakan
salah-satu paman dari Nasr. Seyyed Ali Nasr merupakan salah satu pelopor teather
modern di Iran. Seyyed Ali Nasr merupakan salah satu penerjemah produktif.
Beberapa karya asing yang diterjemahkannya kedalam bahasa Paris seperti novel-
novel karya Alexandre Dumas dan Victor Hugo.
5 Seyyed H. Nasr, hlm. 8
31
Pengaruh Seyyed Ali Nasr pada Seyyed Hossein Nasr ialah terbukanya
wawasan mengenai khazanah pemikiran dari Asia Timur seperti dari China dan
Jepang. Sebab, Seyyed Ali Nasr merupakan seorang diplomat Iran yang sempat
bertugas di China dan Jepang. Pertemuannya dengan benda-benda seni peninggalan
peradaban Asia Timur baik China maupun Jepang mendorong Nasr untuk
menghormati budaya-budaya tersebut. Sedangkan, mengenai persinggungan Nasr
dengan peradaban Indus, Nasr didorong oleh Valiallah untuk mempelajari puisi-puisi
dari Rabindranath Tagore. 6
Selain keluarga Nasr, terdapat beberapa peristiwayang menjadi latar belakang
intelektual Seyyed Hossein Nasr. Pengalaman-pengalaman semacam itu menurut
penulis memiliki pengaruh signifikan dalam evolusi pemikiran sertagagasan-gagasan
Seyyed Hossein Nasr. Beberapa kali Nasr mengalami keterputusan-keterputusan
seperti, pembunuhan kakek dari jalu ibu, invasi Iran oleh pasukan Sekutu, bersekolah
ke Amerika dan perpisahan dengan Valiallah, serta belokan saintis ke spiritualis dan
pertemuannya dengan Fritjof Schuon7. Empat peristiwa yang dialami Seyyed Hossein
diatas, bagi penulis merupakan peristiwa yang mengubah gagasan serta pemahaman
Nasr.
Di Amerika, ia mendaftar dan bergabung pada salah satu sekolah di sana,
tepatnya di New York City yaitu Peddie Scholl di New Jersey. Ia sangat cepat dalam
6 Seyyed H. Nasr, hlm. 8
7 Penulis melihat peristiwa-peristiwa tersebut memiliki pengaruh dalam kehidupan intelektual
Nasr.
32
belajar dan menguasai bahasa Inggris, dan kemudian ia lulus dalam jangkah waktu
empat tahun sebagai pemidato di hari kelulusan dengan menunjukan bakat luar biasa
pada bidang matematika dan sains. Nasr melanjutkan ke Massacheusetts Institute of
Technology (MIT) pada tahun 1950. Di institusi ini ia memperoleh pendidikan
tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand Russel
yang dikenal sebagai seorang failasuf modern. Ia juga pernah bergabung pada
kelompok kecil dalam diskusi yang secara langsung bertemu dengan Bertrand Russel,
serta sempat mempertanyakan mengenai struktur alam fisik yang kata Bertrand
Russel susunan alam fisik adalah terdiri dari sebagaimana struktur matematik8
Nasr banyak memperoleh pengetahuan tentang falsafah modern. Selain
bertemu dengan Bertrand Russel, Nasr juga bertemu dengan seorang ahli metafisika
bernama Giorgio De Santillana. Dari kedua ini Nasr banyak mendapat informasi dan
pengetahuan tentang falsafah Timur, khususnya yang berhubungan dengan
metafisika. Ia diperkenalkan dengan tradisi keberagamaan di Timurmisalnya tentang
Hinduisme. Selain itu Nasr juga diperkenalkan dengan pemikiran-pemikiran para
peneliti Timur, diantaranya yang sangat berpengaruh adalah pemikiran Frithjof
Schuon tentang perenialisme. Selain itu ia juga berkenalan dengan pemikiran Rene
Guenon, Ananda K. Coomaraswamy, Titus Burchardt, dan Martin Lings9
b. Karya-Karya Seyyed Hossein Nasr
8 Seyyed H. Nasr, hlm. 15-16
9 William Chittick (ed.) , The Essential Seyyed Hossein Nasr, hlm. xi
33
Sebagai seorang intelektual dan akademisi dalam bidang pemikiran ke-
Islaman dan ke-Timuran, Seyyed Hossein Nasr tentunya sering kali mengikuti
kegiatan-kegiatan akademis baik dalam bentuk berdiskusi, memberikan kuliah atau
seminar, dan menulis. Mengingat ia adalah salah satu pemikir Islam kekinian yang
memiliki gagasan dan ide-ide menarik, serta yang lebih utama dari gagasan tersebut
adalah kebenaran yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana telah dibahas
sebelumnya bahwa salah satu kegiatan akademis yang digemari oleh Nasr adalah
menulis. Hal ini tentu saja akan menjadikan adanya sebuah karya dari Nasr. Maka
dari itu peneliti akan memasukan beberapa karya dari Seyyed Hossein Nasr.
Sebelum peneliti membahas secara keseluruhan dari apa yang telah
ditemukan oleh peneliti mengenai karya-karya Nasr, peneliti ingin menyampaikan
terlebih dahulu bahwasannya sejauh ini peneliti baru menemukan karya-karya Nasr
yang ditulis dalam bahasa Inggris. Peneliti juga mengambil sumber utamanya yang
ditulis dalam bahasa Inggris. Beberapa sumber ini merupakan gagasan dan ide hasil
karya tulis Nasr yang dikumpulkan oleh beberapa editor. Seperti dalam buku dengan
judul “The Essential Seyyed Hossein Nasr” yang di dalamnya adalah berisikan
gagasan dan ide Nasr, namun editornya adalah William C. Chittick. Selanjutnya
adalah “The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr” yang dieditori Lewis Edwin Hahm
dkk. Di dalamnya juga terdapat tulisan dan gagasan dari Nasr yang ditulis dalam
bahasa Inggris..
34
Adapun karya-karya lain dari Nasr yang ada di tangan peneliti saat ini masih
ada sembilan (9) buku dengan judul yang berbeda. Pertama adalah buku yang
berjudul “Ideals and Realities of Islam” diterbitkan oleh George Allen dan Unwin
Ltd., London pada tahun 1966. Kedua adalah buku dengan judul “Man and Nature”
yang diterbitkan oleh Mandala Book, London pada tahun 1968. Buku yang ketiga
adalah buku yang berjudul “Science an Civilization in Islam” dan diterbitkan oleh
New American Library, New York pada tahun 1970. Buku keempat adalah buku
dengan judul “Sufi Essays” yang diterbitkan oleh George Allen dan Unwin Ltd.,
London 1972. Kelima adalah buku yang berjudul “Islam and the Plight of Modern
Man” yang diterbitkan oleh Longman Group, London pada tahun 1975. Keenam
adalah buku yang berjudul “Traditional Islam in the Modern World” yang diterbitkan
oleh Foundation for Traditional Studies, Kuala Lumpur pada tahun 1987. Buku
ketujuh adalah buku yang berjudul “Knowledge and the Sacred” yang diterbitkan
oleh State University of New York Press, New York pada tahun 1989. Kedelapan
adalah buku yang berjudul “The Need for Sacred Science” yang diterbitkan oleh
Curzon Press Ltd., United Kingdom pada tahun 1993. Buku terakhir, yaitu buku yang
kesembilan adalah buku dengan judul “A Young Muslim‟s Guide to the Modern
World” yang diterbitkan oleh KAZI Publication, Inc, Chicago pada tahun 1994.
Kesembilan buku dengan judul yang berbeda tersebut adalah buku-buku karya Nasr
yang saat ini ada di tangan peneliti.
35
Semua buku yang telah disebutkan di atas, bukanlah merupakan keseluruhan
dari pada karya Seyyed Hossein Nasr. Karena sebagaimana telah disebutkan
sebelumya bahwa buku-buku tersebut di atas hanyalah beberapa judul buku yang saat
ini ada di tangan peneliti. Apabila kita merujuk pada buku yang berjudul “A Young
Muslim‟s Guide to the Modern World” kita akan mendapati lebih banyak lagi
mengenai karya Nasr. Sebagaimana dalam lembaran di bagian awal dari buku
tersebut telah dicatatkan dari pada buku-buku karyanya Nasr, lebih tepatnya, yaitu
pada halaman iv. Adapun dari pada catatan-catatan buku karya Nasr dalam buku
tersebut yang belum disebutkan di sini diantaranya adalah: “1. Three Muslim Sages,
2. Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, 3. Al-Biruni: An Annotated
Bibliography, 4. An Annotated Bibliography of Islamic Science (3 vols.), 5. Islamic
Science: An Illustrated Study, 6. Persia: Bridge of Turquoise, 7. The Transcendent
Theosophy of Sadr al-Din Shirazi, 8. Islamic Life and Thought, 9. Muḥammad: Man
of Allah, 10. Islamic Art and Spirituality, 11. Isma‟ili Contribution to Islamic Culture
(ed.), 12. Philosophy, Literature and Fine Arts: Islamic Education Series (ed.), 13.
Shi‟ism: Doctrines, Thought, Spirituality (ed.), 14. Expectation of the Millenium
(ed.), 15. Islamic Spirituality: Volume I, Foundations (ed.), 16. Islamic Spirituality:
Volume II, Manifestation (ed.), 17. The Essential Writings of Frithjof Schuon (ed.)”.10
A. Formulasi Metafisika Nasr
1. Nasr dan Filsafat Perenial
10
Seyyed H. Nasr. A Young Muslim‟s Guide to the Modern World. (Chicago: KAZI
Publication, Inc. 1994). h. ix
36
“That perrenial wisdom which lies at the heart of every religion and
which is none other than the Sophia whose possesion the sapiental
perspective in the West as well as the Orient has considered as the
crowning achievement of human life. This eternal wisdom … which
constitutes on of the main component of the concept of tradition is none
other than the sophia perennis of the West tradition, which the Hindus cal
the sanatan dharma and the Muslims al-hikmat al-khalidah11
(Bahwa kebijaksanaan perennial yang terletak pada jantung tiap-tiap
agama yang tak lain kecuali Sophia (kebijaksanaan) yang dimiliki oleh
perspektif manusia baik di Barat maupun di Timur telah diannggap
sebagai pencapaian tertinggi dari kehidupan manusia. Kebajikan abadi …
yang terbentuk pada komponen utama dari konsep tradisi merupakan tak
lain kecuali sophia perennis (Kebijaksanaan abadi) tradisi barat, yang
orang-orang Hindu menyebutnya sanata dharma dan orang-orang Muslim
menyebutnya al-hikmat al-khalidah.)
Kutipan di atas memulai perbincangan berkenaan formulasi metafisika Nasr.
Bagi Nasr, term “philosophia perennis”, “sophia”, “sophia perennis”, “scientia
sacra”, “sacred knowledge”, dan “principial knowledge” terhubung dengan sangat
dekat satu sama lain, dan kesemuanya itu menuntun pada Kebenaran Abadi (eternal
Truth), yang menubuh pada inti tiap-tiap agama pada „Tradisi‟, dan dapat dihayati
oleh manusia12
. Term-term tersebut merupakan tak lain dari metafisika. Bagi Nasr,
metafisika adalah sesuatu yang menjadi inti dari tiap-tiap agama yang menubuh
dalam „Tradisi‟. Untuk itu barangkali kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu
tradisi.
11
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, (New York : SUNY Press), hlm. 68 12
Saille B. King, “The Philosophia Perennis and the Religion of the World, dalam The
Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, ed. Lewis Edwin Hahn, (Chicacgo : The Library of Living
Philosopher) 2001, Hlm. 204
37
“Tradition is closely related to the philosophia perennis if the term is
understood as the Sophia which has always been and always be and which is
perpetuated by means of both transmission horizontally and renewal
vertically through contact with that reality that was „at the beginning‟ and is
here and now.13
(Tradisi terhubung sangat dekat dengan filsafat perennial jika kata ini
dipahami sebagai Kebijaksanaan yang telah-selalu dan akan selalu begitu dan
yang diabadikan dalam arti baik transmisi secara horizontal maupun
pembaruan secara verikal melalui kontak dengan realitas itu yang „ada di
awal‟ dan yang ada di sini serta sekarang)
Tradisi (Tradition) bagi Nasr bukan sekadar apa yang dipahami saat ini
sebagai adat istiadat, kebiasaan, cara berfirikir yang diwariskan dan seterusnya.
Tradisi melampaui kesemuanya itu, sebagai mana dikutip diatas, merupakan suatu
transmisi pengetahuan, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Secara
horizontal berarti antar peradaban, secara vertikal berarti antara manusia dengan
Tuhan yang mana Tuhan adalah sumber dari pengetahuan Yang-Sakral.
Melalui penjelasan mengenai tradisi, terdapat beberapa hal yang dapat
disimpulkan sementara, pertama, bahwa sophia perennis, tradisionalisme dan
scientia sacra Nasr, (1) mengandaikan adanya suatu realitas asali yang melampaui
dunia positif, dan (2) realitas tersebut mendeterminasi segala sesuatu yang ada
didunia ini.
13
SeyyedcH. Nasr, Knowledge and The Sacred, hlm. 71
38
Melalui „tradisi‟, segala hal yang transenden memungkinkan untuk diraih.
Tradisi memiliki episteme, untuk dapat meraih itu. Nasr mengistilahkannya dengan
Revelation atau Pewahyuan dan intelegensi Intuitif (Irfan). Pewahyuan adalah suatu
transmisi pengetahuan mengenai Yang-Sakral (the Sacred) melalui agen-agen seperti
Nabi, Rasul, Avataras dan Logos, sedangkan intelegensi intuitif merupakan fakultas
dari manusia yang dapat menangkap pesan-pesan dari agen-agen tersebut14
.
Tradisi memiliki hubungan dengan Filsafat Perennial. Hal itu sebagaimana
ditunjukan Nasr, bahwa sanatha darma atau sophia perennis berhubungan dengan
tradisi primordial dan bahkan pada asal muasal eksistensi manusia.15
Tiap Tradisi
memiliki hubungan secara dalam dengan Filsafat Perennial, dan manusia perlu
menganggap bahwa hubungan tersebut bukan suatu hubungan yang termporer serta
bukan penyebab penolakan dart tiap-tiap pesan „Ukhrawi‟ yang membentuk tiap-tiap
agama yang secara penampakan berbeda namun secara batin memiliki hubungan
dengan Tradisi Primordial tanpa menyederhanakan pada persoalan historisitas dan
temporalitas.
Melalui eksposisi mengenai Tradisi, penulis menyimpulkan bahwa pertama,
Tradisi merupakan Filsafat Perennial sebab, didalam Tradisi kebijaksanaan yang
abadi menubuh dan berkembang. Kedua sifat Tradisi yang menyalurkan
pengetahuan-pengetahuan dari Yang-Ilahi – sebagai asal muasal manusia –
14
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 72 15
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 68
39
merupakan cara satu-satunya untuk bisa meraih pengetahuan Yang-Sakral. Juga
melalui eksposisi Tradisi ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam pandangan Nasr,
realitas Filsafat Perennial bukan hanya berurusan dengan penampakan atau
gampangnya realitas empiriko-positif, melainkan dengan Mistik-negatif. Filsafat
Perennial menjadi jalan bagi yang Mistik-Negatif memanifestasikan dirinya,
menghadirkannya pada tiap-tiap manusia.
Melalui eksposisi tradisi juga penulis menyimpulkan, bahwa tradisi
menyiratkan suatu Ada yang menjadi dasar dari segala sesuatu. Dan yang kemudian
Ada tersebut menjadi titik awal metafisika Nasr. Sebagaimana dinyatakan Huston
Smith:
His metaphyisical starting point is the infinite which he consider the one
unavoidable idea because its alternative, finitude, implies a limit, a cutoff
point, which the mind cannot accept as final because it must instinctively
wonder what lies beyond it; thought-wise, an absolute boundary would be like
a door with only one side, an imposible image. 16
( Titik awal pemikiran metafisikanya (Nasr) adalah Yang-Infinit yang ia
anggap satu-satunya idea yang tak terhindarkan karena sifat-kelainannya,
keterhinggan, menyiratkan suatu batas, suatu pemutus, yang mana pikiran
tidak dapat menerima segbagai akhir karena ia harus bertanya-tanya secara
naluriah apa yang berada melampauinya; kebijaksanaan, suatu batas absolut
seperti layaknya suatu pintu dengan satu sisi, suatu gambaran mustahil.
Sesuatu yang berada melampaui apa yang ada dengan yang ada di dunia ini
hanya bisa diraih melalui Tradisi. Sebagaimana Tradisi dalam konteks pembahasan di
16
Huston Smith, “ Nasr‟s Defence of the Perennial Philosophy”, dalam The Philosophy of
Seyyed Hossein Nasr, hlm. 144
40
atas, yakni suatu penyaluran akan pengetahuan Yang-Ilahi. Melalui Tradisi juga
memugkinkan bagi penulis untuk membongkar bagaimana konsep metafisika Nasr.
Barangkali, Nasr hendak membuat seuatu epistemologi yang bersandarkan pada
Tradisi sebagai dasar. Pembahasan mengenai Tradisi sebagai epistemologi akan di
bahas di bagian selanjutnya.
Hal terpenting yang perlu dibahas berikutnya mengenai Filsafat Perennial
dalam gagasaan filsafat Nasr, ialah apa yang menjadi alasan, reason d etre, gagasan
filsafat perennial Nasr. Pembahasan ini diperlukan agar memperlihatkan posisi Nasr
dalam wacana filosofis kontemporer.
Filsafat Perennial Nasr, mencoba untuk menggali kembali sumber-sumber
pengetahuan yang selama ini telah ditinggalkan oleh manusia, khususnya oleh
manusia modern dan modernisme. Modernisme, mencoba untuk mencari suatu dasar
fundamental yang tak terbantahkan, seperti cogito dalam Descartes. Pencarian akan
suatu fondasi yang meliputi segala sesuatu diikuti juga pada perpindahan subjek dari
sistem fondasional tersebut. Ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum dengan
serta merta memindahkan jangkar ontologis, atau subyek, dari Theos, Tuhan, pada
Antropos manusia17
. Dalam pemahaman Nasr, diktum cogito ergo sum (I think
therefore I am) mengandaikan separasi antara „berpikir‟ dan wahyu. Manusia kini
17
Quentin Meillassoux, After Finitude,(London: Continuum) 2009, hlm 30
41
menjadi sumber pengetahuan bagi dirinya sendiri. Manusia tak membutuhkan wahyu
atau sesuatu di luar dirinya untuk dijadikan sumber pengetahuan. 18
Filsafat Perennial Nasr yang terangkum dalam tradisi mencoba
mengembalikan hubungan manusia dengan sesuatu yang metafisis-transenden, yang
melampaui manusia melalui wahyu dan intuisi.19
Oleh sebab itu hubungan Nasr
dengan Filsafat Perennial membentuk asumsi metafisika Nasr yang akan dibahas di
bagian selanjutnya.
2. Pentingnya ‘Yang- Sakral’ Menurut Nasr
Nasr mengungkapkan apa itu Yang-Sakral dalam sebuah perbincangan
dengan Ramin Jahanbegloo sebagai berikut:
What is the sacred? The sacred is the Divine Reality as it is in Itself and as It
manifest Itself in beings in this world.
(Apa itu Yang-Sakral? Yang-Sakral adalah Realitas Ilahi sebagai Ia pada-
Diri-Nya dan sebagai Manifestasi dari Diri-Nya dalam hal-ihwal yang ada di
dunia ini.)20
Yang-Sakral pada filsafat perennial Nasr merupakan sumber segala sesuatu.
Ia memanifestasikan dirinya yang kemudian manifestasi tersebut menghasilkan
18
Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim‟s Guide to the Modern World, (Chicago; KAZI
Publication) 1994, hlm. 158 19
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred, hlm. 79 20
Seyyed Hossein Nasr and Ramin Jahanbegloo, In Search of the Sacred : a Conversation with
Seyyed Hossein Nasr on His Life and Thought, (California: PRAEGER), 2010, hlm 203.
42
realitas duniawi. Realitas Ilahi merupakan Yang-Sakral itu sendiri dan yang
menopang seluruh eksistensi duniawi.
Nasr berpendapat bahwa terdapat di dunia ini hal-ihwal Yang-Sakral, yang
disebabkan hubungannya dengan Tuhan, seperti Bayt al-Quddus, karena ia terhubung
dengan realitas Yang-Sakral itu sendiri, yakni Tuhan. hal itu berarti setiap hal-ihwal
di dunia memiliki potensialitas akan Yang-Sakral, dan ke-sakralan hanya terbentuk
jika sesuatu memiliki relasi dengan Yang-Sakral.21
Menurut hemat penulis, Yang-Sakral merupakan realitas asali yang
membentuk dunia dan segala macam isinya. Yang-sakral juga menjadi dasar akan
ide-ide pengetahuan dan kebudayaan. Dalam tradisi agama, seni Yang-Sakral tidak
berasal dari asal-muasal manusiawi. Ia memiliki rangsangan untuk menyampaikan
manusia kepada segala sesuatu yang belum diketahui; suatu rangsangan pada akhirya,
menurut Nasr, menyampaikan manusia pada Tuhan22
.
Begitupun pengetahuan, bagi Nasr pengetahuan perlu kembali pada sumber
asali, yakni Yang-Sakral. pengetahuan sakral (sacred knowledge) dapat diraih melalui
wahyu dan intuisi. Yang-Sakral menjadi pusat dan kemudian melingkupi seluruh
pengetahuan. Wahyu dan Intuisi terlibat pada iluminasi batin serta pikiran manusia,
yang pada akhirnya menuntun manusia pada pengetahuan abadi.23
21
Seyyed Hossein Nasr and Ramin Jahanbegloo, hlm.203 22
Seyyed Hossein Nasr and Ramin Jahanbegloo, hlm. 247 23
Seyyed H. Nasr, Knowledge and The Sacred, hlm. 130
43
Nasr menolak gagasan modernisme yang berpendapat bahwa pengetahuan
hanya dapat diraih melalui rasionalitas subyek, impresi empirik, atau hal-ihwal lain
yang non-sakral. Bagi Nasr, pengetahuan seharusnya telah selalu berurusan dengan
Yang-Sakral, sebab Yang-Sakral merupakan jangkar ontologis segala sesuatu.24
Pada titik inilah tepat merupakan titik kritik Nasr terhadap modernisme. Bagi
Nasr, modernisme telah meninggalkan Yang-Sakral melalui penolakan wahyu serta
intuisi. Filsafat telah menjadi tereduksi maknanya hanya sebagai logika25
. Di saat
yang bersamaan filsafat hanya berurusan dengan matematika dan sains fisika26
.
Kemudian bagi Nasr, metafisika di Barat telah tereduksi menjadi semacam cabang
filsafat. Nasr beranggapan bahwa reduksi tersebut menyebabkan manusia melupakan
distingsi fundametal antara Akal (the Intellect), yang mengetahui melalui
pengetahuan yang terberi (immediate knowledge) atau wahyu, dan akal (reason,
ratio), yang hanya dapat mengetahui secara tidak langsung melalui penguraian
(analysis) dan pembelahan (division)27
. Kegagalan manusia filsafat Barat28
untuk
membedakan antara Akal (the Intellect) dengan nalar (reason) menyebabkan
kekacauan berpikir, yang pada akhirnya menghindarkan manusia modern untuk
24
Seyyed H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, 40 25
To begin with, it can be said that, if we accept the meaning of the term “Philosophy” current
in the West in most European languages, then it is nearly synoymous with logic. S. H. Nasr, Islam and
The Plight of Modern Man, hlm.43 26
Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm. 44 27
Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm. 44 28
Nasr sering merujuk manusia modern dengan Barat, dalam diskursus filsafat Barat penolakan
tradisi serta sumber-sumber pengetahuan dari tradisi tidak diterima sama sekali. Sebagaimana
moderinsme yang menolak gagasan agama dan hanya berurusan dengan sains fisik. Lih. Seyyed H.
Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, hlm. 6
44
memahami realitas metafisis yang tekandung dalam tradisi. Sehingga, pada akhirnya
manusia modern gagal memahami metafisika sebagai sesuatu yang melampaui taraf
mental itu sendiri.29
Oleh sebab itu penulis berkesimpulan bahwa Yang-Sakral adalah jangkar
metafisika dalam Nasr. Sesuatu yang memiliki kemampuan untuk mentransendenkan
manusia serta ia pada-dirinya bersifat transenden. Jika metafisika didefinisikan
sebagai sesuatu asumsi yang kepadanya segala sesuatu didasarkan30
, maka metafisika
Nasr adalah metafisika-transenden. Sebagaimana eksposisi diatas menggambarkan
bahwa metafisika merupakan sesuatu yang melampaui taraf mental, serta mendorong
manusia agar dapat meraih sesuatu yang melampaui taraf mental itu sendiri.
Kesimpulan dari pembahasan Yang-Sakral ini adalah : 1) bagi Nasr, Yang-
Sakral merupakan jangkar ontologis dari segala sesuatu, 2) manusia modern atau
diskursus filsafat modern perlu kembali melibatkan Yang-Sakral sebagai jawaban
atas kenestapaannya.
3. Metafisika Transenden Nasr
Melalui penjelasan di atas penulis melihat bahwa Nasr mengandaikan adanya
dua realitas, yakni realitas manusia, dunia rill senyatanya dan fisis, dan realitas Yang-
29
Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm.46 30
Dalam Oxford Dictionary of Philosophy, “metafisika pada awalnya merupakan buku-buku
Aristoteles setelah Physics kemudian kata tersebut digunakan pada pertanyaan apapun yang
membangkitkan pertanyaan mengenai kenyataan yang terletak melampaui atau dibelakang apa-apa
yang dapat diraih oleh metode sains. Lih. Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford
: Oxford University Press), 2008, hlm.292
45
Sakral, ilahi dan metafisik. Kedua realitas ini dianggap Nasr bersifat hierarkis.
Artinya realitas Yang-Sakral berada lebih tinggi daripada realitas non-sakral.
mengutip Mehdi Aminrazavi sebagai berikut:
“Perennial Ontology according Nasr gives rise to a hierarchial universes
which provides the framework within which the spiritual foundation of so many
aspect of traditional life can be studied. The levels of reality allow for the
possibility of the spiritual journey of man from the corporeal world to the pure
being with whom man seeks unity. Religion, therefore, “has its archetype in the
Divine Intellect and possesses levels of existence like the cosmos itself…”31
“ Ontologi Perennial bagi Nasr membangkitkan suatu semesta hierarkis yang
menyediakan kerangka yang didalamya fondasi spiritual dari macam-macam
aspek kehidupan tradisional dapat dikaji. Tingkatan-tingkatan realitas membuka
kemungkinan pengembaraan spiritual manusia dari dunia korporeal kepada
Mengada sejati yang dengannya manusia mencari kesatuan. Agama, oleh
katrenanya, “memiliki arketipnya didalam Akal Ilahi daan memiliki tingkatan-
tingkatan eksistensinya seperti alam semesta itu sendiri…”
Pembedaan ontologis dari filsafat perennial Nasr adalah suatu upaya untuk
menjelaskan adanya suatu realitas yang melampaui realitas manusiawi, dan realitas
itu menjadi dasar dari segala sesuatu. Pembedaan ontologis ini juga berguna untuk
menjelaskan mengani the Problem of One and Many, Permasalaahan Yang Esa dan
yang Jamak. Persoalan ini dimulai dari teori dialektika yang abstrak. Bagi Robert
Cumming Neville, filsafat perennial Nasr memiliki beragam ekspresi simbolis, dari
personifikasi Yang-Sakral hingga teori dialektika abstrak32
. Barangkali Robert
31
Mehdi Aminrazavi, “Philosophia Perennis and Scientia Sacra in a Postmodern World”, dalam
The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 557 32
Robert Cummings Neville, “Perennial Philosophy in a Public Context”, dalam The
Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 178
46
Cumming ingin menunjukan bahwa teori dialektika abstrak telah dibawa Nasr dari
tradisi filsafat barat klasik mulai dari Plotinus dan Neo-Platonisme hingga ke masa
modern yang direpresentasikan dalam filsafat negasi Hegel.
Yang Esa, bagi Nasr, merupakan memiliki tingkatan hierarkis yang lebih
tinggi sekaligus mendasari yang jamak. Melalui pembedaan ontologis ini kita bisa
melihat bagaimana alam semesta tercipta menurut pandangan Nasr33
. Bagi Nasr
kosmologi, atau penciptaan alam semesta terjadi sebab adanya teophany34
, dari Yang
Esa35
. Segala sesuatu mengada terjadi sebab teofani (tajalli) sekaligus pada dirinya
merupakan teophany. Oleh sebab itu bisa disimpulkan bawha realitas yang jamak
merupakan maya atau semu, sedangkan yang sejati ialah realitas Yang-Esa, Yang-
Sakral, Tuhan.
Realitas Yang Esa oleh sebab itu mendeterminasi realitas maya. Sehingga
dalam kerangka ini kita bisa definisikan Yang-Esa, Yang-Sakral, Tuhan sebagai
Metafisika jika kita kembali pada definisi dalam bab sebelumnya yang
mendefinisikan metafisika sebagai sesuatu yang „melampaui‟, yang ada „di
belakang‟, „mengatasi‟ dan dan yang mendeterminasi realitas.36
33
Robert Cummings Neville, “Perennial Philosophy in a Public Context”, dalam The
Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 178 34
Lihat. Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 189 35
Robert Cummings Neville, “Perennial Philosophy in a Public Context”, dalam The
Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 178 36
Definisi metafisika ini diambil dari pencarian penulis mengenai kata metafisika. Jauh
sebelumya, sebelum buku Metafisika Aristoteles selesai, dalam buku Prior Analytics, Aristoteles telah
mengandaikan adanya suatu dunia universal yang menjadi dasar determinan pada dunia realitas ini.
Melalui kutipan tersebut penulis mendefinisikan metafisika, lihat Bab II
47
Metafisika-transenden adalah upaya rekonstruksi penulis mengenai
bagaimana metafisika Nasr. Metafisika Transenden bisa berarti 1) adanya suatu
realitas yang mendeterminasi, menyudahi, membelakangi realitas manusia, dan
realitas itu bersifat transenden atau jauh di hadapan manusia. 2) metafisika atau
realitas tersebut hanya bisa diperoleh melalui jalan transendensi. Hal ini sebagaimana
dinyatakan Robert Cummings:
The underlying sapiential principle is that if a certain kind of difference is
noted, that is because cognition stands at a higher level of unity. “Standing at a
higher level” is not a mere logical matter, however. The mind must be cultivated,
perhaps through long years of yoga or contemplation under the guidance of a
teacher, to attain that level. Some describe the cultivation as the recovery of pre-
existent higher level of mind; others describe it as the construction of human
capacities to grasp pre-existent level of reality.37
Prinsip sapiential yang mendasari adalah bahwa jika suatu bentuk dari
perbedaan dicatat, maka hal itu karena kognisi berada pada suatu tingkatan kesatuan
yang lebih tinggi. Bahkan, “berada pada suatu tingkatan yang lebih tinggi” bukan
haya suatu perkara logis. Melainkan pikiran mesti dilatih, mungkin melalui waktu
ber-Yoga yang lama atau kontemplasi dibawah petunjuk guru, untuk meraih
tingkatan tersebut. Beberapa orang menggambarkan latihan tersebut sebagai
pemulihan tingkatan pikiran yang lebih tinggi yang pra-eksisten; yang lainnya
menggambarkannya sebagai konstruksi kemampuan manusia untuk memahami
tingkatan realitas pra-eksisten
Sapiential adalah secara sederhana suatu sifat dari epistemologi perennial.
Secara sederhana sapiential merupakan kesatuan pengetahuan dengan kebijaksanaan.
Maka dari itu, Sapiental dalam perspektif Nasr adalah suatu pengetahuan yang punya
relasi dengan kebijaksanaan, yang adalah Yang-Sakral, Tuhan. Dari kutipan di atas,
37
Robert Cummings Neville, dalam The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, hlm. 179
48
prinsip sapiential, dalam perspektif Nasr, memiliki suatu dorongan untuk berada
memulihkan ingatan manusia mengenai suatu tingkatan pikiran pra-eksisten, dan
realitas pra-eksisten. Tingkatan pikrian dan realitas pra-eksisten tersebut merupakan
suatu yang metafisis atau yang menjadi dasar dari realitas.
49
BAB IV
PANDANGAN METAFISIKA FRIEDRICH NIETZSCHE
A. Riwayat Hidup Friedrich Nietzsche
1. Latarbelakang Intelektual
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, (Saxe-Prussia) pada tanggal 15
Oktober 1844, anak dari pasangan Karl Ludwig dan Franziska Oehler. Ayahnya
adalah pendeta Lutheran di kota Rocken. Kakek dan kakek buyut Nietzsche dari
pihak ibu semuanya berprofesi sebagai pendeta. Adik perempuan Nietzsche
(Elisabeth) – yang nantinya memiliki peran khusus untuk karya-karya Nietzsche yang
diterbitkan setelah kematian Nietzsche (posthumous) – Ia lahir dua tahun kemudian
pada bulan Juli 1846. Belum genap Nietzsche berusia 5 tahun, ayahnya meninggal
dunia tanggal 18 Juli 1849 pada usia 36 tahun1.
Pada tahun 1849 sampai dengan 1858, Nietzsche tinggal di Naumburg
bersama ibu dan kakak perempuannya. Pada usia 6 tahun Nietzsche masuk ke sekolah
dasar setempat. Setahun kemudian dia meninggalkannya, dan berpindah ke sekolah
swasta. Ia belajar disitu dari tahun 1851-1854. Kemudian setelah usianya menginjak
14 tahun (1858) Nietzsche mendapatkan beasiswa untuk belajar di Gymnasium
(sekolah setingkat SMU) di Pforta – beberapa kilometer dari kota Naumburg. Ia
belajar di sekolah yang terkenal dengan tradisi humanis dan Lutheran tersebut sampai
tahun 1864. Di sekolah tersebut ia mulai mengenal Holderin, Emerson, Sterne,
Goethe, dan Feuerbach. Nietzsche mulai mengenal musik, dan tak kalah pentingnya
1Bryan Magee, The Story of Philosophy, (Yogyakarta : Kanisius), hlm 172-179
50
ia berkenalan dengan Paul Deussen, seorang ahli tentang India yang akan
memperkenalkan kepadanya pemikiran-pemikiran dari India. 2
Pada usia 20 tahun, Nietzsche mendaftarkan diri ke fakultas teologi dan
filologi klasik di Universitas di Bonn. Dia hanya dapat bertahan di Bonn selama satu
tahun (1864-1865). Meskipun begitu, dia sempat kenal dengan David Strauss,
seorang ahli Kitab Suci (exeget) liberal. Mulai tahun 1865 sampai dengan 1869
Nietzsche pindah ke Universitas di Leipzig karena ia mengikuti profesor filologinya
yang bernama Friedrich Ritschl. Bersama profesornya nietzsche mendirikan sebuah
Asosiasi Filologis. Dan ia mulai menerbitkan beberapa karya filologisnya di tahun
yang sama. Dua sumber utama yang dikerjakan oleh Nietzsche adalah Diogenes
Laertios dan Theognis dari Megara. Di Leipzig pula, pada tahun 1865, Nietzsche
bertemu secara kebetulan demham karya Arthur Schopenhauer Die Welt als Wille und
Vorstellung (Dunia sebagai Kehendak dan Representasi – buku ini terbit pertama kali
tahun 1818, Schopenhauer sendiri meninggal pada tahun 1860). Penemuan kebetulan
ini terbukti sangat penting dalam membelokan arah hidup Nietzsche dari filologi ke
filsafat. Pada tahun 1865 juga ditandai dengan mulai menjangkitnya penyakit sifilis
pada tubuh Nietzsche – penyakit yang menjadi sumber keambrukan Nietzsche di
tahun 1889 di kota Torino, Italia. 3
Itulah periode pertama hidup Nietzsche (1844-1868) yang bisa kita sebut
sebagai periode formasi (periode pembentukan). Pada periode berikutnya (1869-
2 John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius) 2001
3 Ronald Hayman, “Nietzsche : A Critical Life”, (London : Oxford University Press) hlm. 42
51
1879), hidup Nietzsche akan berputar-putar terutama di Universitas, oleh karenanya
bisa disebut sebagai periode universiter.
Meski Nietzsche belum memiliki gelar doktor, pada tanggal 13 Februari 1869
saat ia baru menginjak usia 24 tahun, atas rekomendasi profesornya (Ritschl), ia
ditunjuk menjadi profesor pembantu untuk fakultas Filologi Klasik di Universitas
Basel-Swiss. Pada bulan Mei di tahun yang sama Nietzsche memulai kuliah nya
dengan kuliah pembukaannya yang berjudul Homeros dan Filologi Klasik. Di sini ia
mengajar filologi Yunani, dan Saat ini pula Nietzsche memutuskan untuk menjadi
warga negara Swiss. 4
Dua figur penting yang ditemui Nietzsche pada periode ini adalah Jacob
Bruckhardt dan Franz Overbeck. Jacob adalah ahli sejarah. Ia memberi kuliah-kuliah
tentang kebudayaan. Ia adalah satu-satunya ahli sejarah yang menganggap serius
fenomen Dionysos dalam sejarah Yunani. Dalam buku The Twilight of the Idols
(Senjakala Berhala-Berhala) Nietzsche dua kali menyampaikan pujiannya kepada
rekan kerjanya di Basel ini. Kemudian, yang kedua, Franz Overbeck, adalah seorang
ahli Kristianisme Purba (periode awal Kristianisme sampai dengan abad pertama
masehi). Kemungkinan besar, pada dialah Nietzsche banyak berutang informasi
mengenai asal-usul dan periode awal Gereja Purba. Nietzsche akan tinggal dan
berkarya di universitas di Basel sampai dengan tahun 1879. Sepuluh tahun lamanya ia
menghidupi masa universiter ini. 5
4 A. Setyo Wibowo , “Gaya Filsafat Nietzsche “, (Yogyakarta : Kanisius) hlm. 40
5 A. Setyo Wibowo , “Gaya Filsafat Nietzsche “, hlm. 41.
52
Pada tahun 1872 tepatnya bulan Januari, buku yang berjudul The Birth of
Tragedy diterbitkan. Buku ini di persembahkan untuk sahabtnya saat itu; Richard
Wagner, eorang komponis berkebangsaan Jerman, dan istrinya Cosima, putri dari
komponis terkenal Franz Liszt. Dengan segera buku ini menimbulkan pertentangan
sengit antara Nietzsche dan kolega-koleganya para filolog di universitas. Penantang
Nietzsche adalah Ulrich von Wilamowitz-Mollendorf. Meski baru berusia 23 tahun,
von Wilamowitz-Mollendorf sudah menunjukan kehebatannya dalam melawan tesis
Nietzsche dengan pamphlet berjudul Filologi Masa Depan (pamflet ini di akhiri
dengan undangan kepada Nietzsche supaya mundur saja dari kursi pengajaran di
universitas). Beberapa rekan dekat membela Nietzsche . Erwin Rohde – juga seorang
filolog Yunani – menjawab karya tersebut dengan karya berjudul Afterphilologie.
Richard Wagner secara pribadi membuat surat terbuka kepada von Wilamowitz-
Mollendorf6.
Menurut A.Setyo Wibowo pada buku The Birth of Tragedy ini menjadi
penanda dimana tulisan-tulisan Nietzsche lebih mengutamakan interpretasi filosofis
ketimbang filologis. Dari soal Dionysos kita bisa lihat benih pemikiran filosofis
Nietzsche sudah disemaikan, yang mana Nietzsche melihat bahwa Tragedi Attik
merupakan suatu bentuk ritual untuk menghormati dewa Dionysos. Tentu saja
Nietzsche menggunakan perangkat filologisdalam mengusulkan tesis tentang asal
usul tragedi : koor musik kaum satyr – mahluk bertubuh setengah manusia setengah
kambing – untuk menghormati dewa Dionysos. Bisa jadi tesis Nietzsche itu benar
6 Peter Levine, Nietzsche and the Modern Crisis of Humanities,hlm. 7-8
53
karena kata Tragodia memang secara filologis bisa diartikan sebagai nyanyian
kambing. Atau, tragedi bisa diasalkan kepada dewa Dionysos yang dilakukan dalam
festival tahunan ini dengan mempersembahkan kambing. Masalahnya secara historis
dan filologis, jenis literer tragedi lebih kompleks lagi. Secara historis susah untuk
dibuktikan bagaimana nyanyian para satyr yang kebanyakan mengenai hal-hal
sensual bisa menjadi titik kelahiran tragedi. Selain itu, persembahan yang diberikan
pada Dionysos adalah binatang buas pada umumnya (tidak spesifik kambing belaka),
sementara dari sudut literer (filologis), sulit mengaitkan kelahiran tragedi dengan
nyanyian satyr yang sensual atau hanya kultus pada Dionysos.7
Sejak tahun 1875 kondisi kesehatan Nietzsche makin memburuk. Ia segera
menghentikan kuliah-kuliahnya, dan memulai hidup mengembara. Karena alasan
kesehatan, pada tahun ajaran 1876-1877 Nietzsche meminta cuti. Dia lalu berpindah-
pindah tempat. Pada tahun 1878 Nietzsche menerbitkan bagian pertama dari karyanya
Human all too Human ( Manusiawi terlalu Manusiawi). Buku dengan subjudul “buku
untuk orang berjiwa bebas” dipersembahkan kepada Voltaire. Ini adalah sebuah karya
pembebasan, karena Nietzsche merasa diri sudah mengatasi kultur Jerman, mengatasi
idealisme, mengatasi “seni Jerman-Wagner”. Tahun ini menandakan putusnya
persahabatan Nietzsche dengan Wagner. 8
Sakit berat yang makin mendera Nietzsche sejak tahun 1875 (sakit kepala,
sakit di mata, muntah, selalu akan pingsan), membuatnya harus mengakhiri karier
7 A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche , (Yogyakarta : Kanisius) 2017,hlm. 43
8 A. Setyo Wibowo , “Gaya Filsafat Nietzsche “, hlm.45
54
universiternya pada tahun 1879. Nietzsche mengundurkan diri dari universitas, dan
terpaksa mencukupkan diri dengan pensiun yang kecil. Ia meninggalkan Universitas
Basel, dan mulai menjadi pengembara. Setelah periode pembentukan dan periode
universiter, nietzsche memasuki periode ketiga (1879-1899) yaitu periode hidup
mengembara, hidup yang berpindah-pindah dan sendirian.
Demi kesehatannya, Nietzsche harus mencari iklim yang ramah pada dirinya.
Selama musim dingin, ia pergi ke Italia atau Peracis dimana udaranya lebih hangat
dari Swiss. Pada musim semi ia suka tinggal di Venezia. Dan untuk musim panas, ia
kembali ke Utara (Swiss) dan melewatkan waktunya di Sils Maria. Disini kita
berhadapan dengan fakta penting pengalaman singular manusia Nietzsche, yaitu
penyakit. Sejak tahun 1879 Nietzsche harus bergulat dengan penyakit yang membuat
dia hidup berpindah-pindah. Bisa dibayangkan bagaimana pengalaman bertubuh sakit
ini akhirnya membentuk suatu sudut pandang pemikiran Nietzsche secara khas.
Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa pengalaman sebagai orang sakit, membuat
Nietzsche mampu melihat secara lain apa itu kesehatan dan kesakitan. Pengalaman
hidupnya yang diwarnai pasang surut kesehatan, mengahadapinya dengan seluruh
keseriusan filosofis: itulah yang membuat Nietzsche memiliki perilaku hati-hati,
selalu mengambil jarak, dan memiliki cara pikir yang khas. Selain itu secara fisik,
tulisan tulisan Nietzsche juga makin menunjukan kecenderungannya yang
fragmentaris, terpisah-pisah, dan bukan lagi traktat filosofis yang sistematik ( tentu
saja hanya kecenderungan besar, karena pada periode ini juga Nietzsche masih
menerbitkan beberapa buku yang sangat terstruktur). Kehidupan pengembara, jauh
55
dari perpustakaan universitas, sakit yang datang tanpa bisa di ramal, itu semua
membuat Nietzsche terpaksa menulis sambil berjalan.
Pada bulan Juni 1881 Nietzsche menyepi di Sils Maria di Haute Engadine. Di
sini ia menulis : “Hari-hari pertama pertama bulan Agustus 1881, di Sils Maria, 6000
kaki di atas permukaan laut dan jauh lebih tinggi lagi diatas segala hal manusiawi”.9
Di kamar kecilnya yang berjendela satu menghadap ke gunung, Nietzsche menuliskan
bukunya yang indah, The Gay Science (Sains yang Menyenangkan).
Dalam The Gay Science tema-tema besar nietzschean, misalnya, tentang
Zarathustra, kematian tuhan, manusiayang melapaui (Ubermensch), kehendak kuasa
(the Will to Power) dan Kekembalian yang Sama Secara Abadi (the Eternal
Recurrence of the Same) sudah bisa di temukan disini. Lebih dari itu semua, semua
pengalaman personal yang menjungkirbalikan Nietzsche adalah inspirasi dari konsep-
konsep filosofis tersebut.
Pada tahun-tahun berikutnya Nietzsche menulis beberapa buku diantaranya,
Thus Spoke Zarathustra ( Demikianlah Zarathustra Bersabda), Beyond Good and Evil
(Melampai Baik dan Jahat), dan The Genealogy of Morality ( Genealogi Moral).
Pada tahun 1888 Nietzsche menulis Buku Der Fall Wagner ( Kasus Wagner dengan
subjudul “problem bagi para musisi”). Di tahun 1889 Nietzsche menerbitkan
Nietzsche lawan Wagner , the Antichrist dan Ecce Homo ( Inilah Manusia).
9 Surat ini dikutip dari buku Andre Simba, Nietzsche , Paris : Bordas, 1988. Hlm.20
56
Periode berikutnya dalam hidup Nietzsche adalah periode kegilaan. Bulan
Januari 1889 di Torino Italia, Nietzsche mencegah seorang kusir untuk melecut
seekor kuda sembari memeluki kuda tersebut. Kegilaannya tidak lekas sembuh
hingga akhir hayatnya di tahun 1900. Franz Overbeck membawa kembali Nietzschhe
ke Basel. Dia lalu memasukan Nietzsche ke Rumah Sakit Jiwa di Iena. Diagnosis
dokter adalah Nietzsche mengalami serangan kelumpuhan general. Pada bulan
September kesehatan Nietzsche membaik secara fisik. Sejak bulan Mei 1890 ibu
Nietzsce mendekati anaknya. Dan sejak saat itu Nietzsche tinggal bersama ibunya.
Tahun 1897 Ibu Nietzsche meninggal dunia, dan setelah itu adik perempuannya –
Elisabeth Froster Nietzsche – yang memelihara Nietzsche di Weimar. Di kota ini,
pada usia 56 tahun, Nietzsche meninggal dunia akibat pneumonia pada tanggal 25
Agustus 1900. 10
2. Karya Karya Nietzsche
Sebagai mana telah disebutkan diatas, melalui rekonstruksi kehidupan
Nietzsche, terdapat beberapa periode dalam kehidupan Nietzsche yang
mempengaruhi gaya menulis dan berfikirnya. Jika kita kembali pada formulasi
kehidupan manusia Nietzsche maka karya-karya Nietzsche dapat di bagi menjadi tiga
kategori.
Pertama, kategori pertama adalah Nietzsche sebagai seorang filolog. Di
periode formasi atau sebelum ia hidup di lingkungan universitas, tulisan-tulisan
10
Samuel Enoch Stump (ed.), Socrates to Sartre and Beyond, (New York: Kenneth King,
2003) hlm 380
57
Nietzsche utamanya berfokus pada persoalan filologi seperti Homeros dan Filologi
Klasik yang menjadi bahan kuliahnya di Universitas di Basel pada tahun 1869.
Kemudian jika mundur ke era sebelumnya dimana Nietzsche bersekolah, terdapat
beberapa karya-karya Nietzsche yang di terbitkan dalam jurnal Rheinsches Museum
yang berkaitan erat dengan persoalan filologi. Serta jika memungkinkan salah satu
bukunya mengenai Tragedi Attik dimasa Yunani kuno, yakni The Birth of Tragedy
bisa dimasukan pada kategori dimana Nietzsche berfokus pada persoalan bagaimana
asal-usul tragedi.
Kedua, adalah dimasa universiter, menandai perubahan posisi dari filologi ke
filsafat. Sebagaimana di jelaskan diatas, terdapat suatu peristiwa yang kemudian
membuat Nietzsche menarik diri dari dunia filologi, yakni debat Nietzsche dengan
Ulrich von Wilamoitz. Nietzsche ditentang habis-habisan sebab tidak mengindahkan
kaidah filologi. Tesisnya terlampau berspekulasi menyebabkan amat sulit melaukan
pelacakan secara komprehensif. Dalam periode ini Nietzsche menulis beberapa karya,
seperti : tiga Pertimbangan-PertimbanganTtidak Aktual (Unzeitgemasse
Betrachtungen) . Yang pertama adalah serangan terhadap David Strauss : Orang
Beriman dan Penulis, terbit pada bulan Agustus 1873 yang berisi serangan terhadap
kultur Jerman. Yang kedua adalah tentang Kegunaan dan Kerugian Sejarah bagi
Kehidupan,yang terbit bulan Februari 1874. Pada buku ini Nietzsche mengungkapkan
sejauh mana kultur akademis dan ilmiah aktual saat itu di Jerman ternyata meracuni
manusia. Yang ketiga adalah pujian terhadap Schopenhauer dan diberi judul
Schopenhauer Sang Pendidik pada bulan Oktober 1874. Di tahun 1876 Nietzsche
58
menerbitkan Pertimbangan-pertimbangan Tidak Aktual yang keempat berjudul
Richard Wagner di Bayreuth. Secara kontras dalam dua judul terakhir Nietzsche
mulai menunjukan apa yang sebenarnya menjadi manusia berbudaya. Di balik pujian
kepada Schopenhauer dan Wagner, Nietzsche mulai membentuk visi filosofisnya
sendiri. Di tahun 1878 Nietzsche menerbitkan Human All-Too Human (Manusiawi
Terlalu Manusiawi). Dalam buku ini utamanya adalah penentangan Nietzsche
terhadap kultur Jerman, Idealisme, dan Seni Jerman. Tahun ini juga menandakan
akhir dari masa kehidupan universiternya.
Yang ketiga, adalah periode mengembara. Ke-khasan dari periode
mengembara tercermin dari gaya menulis Nietzsche yang tida terstruktur dan puitis.
Barangkali gaya tersebut diambil sebagai bentuk perlawanan Nietzsche terhadap
kulur akademis-universitas yang menuntut untuk menulis secara sistematis dan lugas.
Periode ini juga menandakan putusnya hubungan dengan kehidupan mengajar di
universitas.
Dalam periode ini, A. Setyo Wibowo11
menganggap sebagai periode puncak
dalam karir kepenulisan Nietzsche. Karya-karya jauh lebih subtil dan intim. Ini
tercermin dari pengantar buku The Gay Science :
“Tak diragukan lagi, sebetulnya buku ini membutuhkan lebih dari satu kata
pengantar; toh keragu-raguan tetap ada apakah lewat beberapa Kata Pengantar
seseorang yang tidak pernah mengalami sesuatu yang mirip bisa dibuat akrab
dengan pengalaman yang menjadi prasyarat terbitnya buku ini.12
”
11
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche , (Yogyakarta : Kanisius) 2017, Hlm 38 12
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, Terj. Risalatul Hukmi , Yogyakarta : Pustaka
Antinomi. Hlm. 1
59
Dalam periode ini Nietzsche menerbitkan Die Frohliche Wissenschaft ( Sains yang
Mengasyikan – The Gay Science). Sebagai mana di jelaskan di atas, buku ini memuat
tema-tema besar Nietzschean. Buku ini di terbitkan pada tahun 1882. Pada Januari
1883 Nietzsche menerbitkan Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Zarathustra
Bersabda – Thus Spoke Zarathustra). Selama pengumpulan dan penyusunan
Zarathustra , Nietzsche banyak menuliskan karya karya puitis. Namun buku ini akan
di terbitkan nanti oleh Adik Nietzsche yang berjudul Der Wille Zur Macht (Kehendak
Kuasa – the Will to Power) . pada tahun 1886 Nietzshe menerbitkan buku Jenseits
von Gut und Bose ( Melampaui Baik dan Jahat - Beyond Good and Evil ) dan
Daybreak (Fajar) . di tahun 1887 Nietzsche menerbitkan Genealogi der Moral (
Genealogi Moral, dengan sub judul “sebuah tulisan polemis”). Dalam buku ini
Nietzsche hendak menelusuri bagaimana Hidup aktif dan afirmatif akhirnya
dikalahkan oleh ressentiment ( dalam bahasa kita : sentimen) kaum lemah, sehingga
hidup kemudian berujung pada ideal asketis. Dengan demikian manusia masuk
kedalam situasi dekaden (merosot, mundur). Nietzsche menawarkan metode
genealogis untuk menelusuri bagaimana itu bisa muncul : analisis atas kehendak
mengunkapkan tipologi subjek penghendak. Tahun 1888, menandai tahun aktif
Nietzsche dalam menulis, Nietzsche menerbitkan tiga buku; Nietzche lawan Wagner,
Der Antichrist (Antikrist) dan Ecce Homo ( Inilah Manusia). Periode ini adalah akhir
dari karir kepenulisan Nietzsche, sebelum pada akhirnya masuk ke periode kegilaan
dan kematian.
60
B. Formulasi Metafisika Nietzsche
1. Nietzsche dan Filsafat Becoming
Dalam potongan ke-§4 buku The Gay Science, Nietzsche mengatakan :
Oh orang-orangYunani! Mereka tahu bagaimana hidup. Hidup membutuhkan
keberanian untuk berhenti di permukaan, di lipatan, di kulit luar; pemujaan terhadap
apa yang tampak , kepercayaan pada bentuk-bentuk, bunyi-bunyian, kata-kata,
kepercayaan terhadap seluruh penampakan Olympos. Orang-orang Yunani itu
superfisial – secara mendalam! Bukankah kita kembali lagi ke hal semacam itu, kita
yang berbeda – roh yng berani meresikokan segala sesuatu, yang sudah mendaki
puncak pemikiran kontemporer yang paling tinggi dan paling berbahaya, yang dari
ketiggian sudah memeriksa horizon-horizon, dan dari ketinggian melayangkan
pandangan ke bawah? Bukankah dalam arti seperti itu kita adalah orang-orang
Yunani? Para pemuja bentuk, suara, kata-kata? Dan dengan demikian – seniman ?13
Barangkali kutipan tersebut menjadi dasar dari filsafat imanen dalam filsafat
Nietzsche. Orang-orang Yunani dalam kutipan tersebut bisa merujuk pada dua hal,
yakni masyarakat Yunani secara umum yang mempersonifikasi dewa-dewinya pada
tubuh antrophos atau wacana filsafat Yunani yang dimulai dari masa Pre-Sokrates.
Setidaknya di masa Pra-Sokrates terdapat dua gagasan umum mengenai filsafat, yakni
filsafat Menjadi (Becoming) dan filsafat Ada (Being). Filsafat Menjadi menganggap
realitas selalu menjadi, tidak pernah identik, tidak bisa diidentifikasikan. Dengan
demikian ide, nama atau kata atas sesuatu tidak pernah mewakili halnya itu sendiri.14
Untuk memperjelas hal ini, misalkan, idea mengenai daun adalah identifikasi arbitrer
yang sama sekali tidak merepresentasikan daun; bagaimana mungkin benda yang
13
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Risalatul Hukmi, (Yogyakarta: Antinomi) 2018,
hlm.10 14
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Hlm. 136
61
memiliki ketakteraturan pada sifat-sifatnya meimiliki suatu idea yang universal pada
dirinya? Sehingga posisi filsafat ini lalu dijargonkan dengan panta rhei15
(segalanya
mengalir), tidak ada yang berubah.
Sebaliknya, filsafat Ada adalah suatu filsafat yang memiliki preferensi pada
kekekalan sebuah Ada di atas fluktuasi aliran realitas yang menjadi.16
Filsafat Ada
senantiasa beranggapan bahwa realitas yang berubah-ubah ini tidak memiliki pijakan
tanpa adanya Ada dibalik dunia ini. Pengetahuan yang dicerap dari realitas
penampakan pada akhirnya menjadi pengetahuan kedua, sebab ia tidak memiliki
kepastian untuk dipegang.
Filsafat Menjadi diwakili oleh Heraklitos, sedang Filsafat Ada diwakili oleh
Parmenides. Nietzsche mengadopsi tradisi Heraklitos. Pengadopsian ini bisa terlihat
dari penolakan Nietzsche mengenai dunia idea, dan pengandaian realitas sebagai
sesuatu yang kontradiktif. Nietzsche bahkan mendaku dirinya sebagai seorang murid
Heraklitos. Nietzsche menganggap Heraklitos menolak dunia Idea sebagaimana
dituliskannya dalam Philosophy in the Tragic Age dalam potongan §5:
“From such intuition Heraclitus derived two connected negations.
Only through comparsion with the doctrines of his predecessor can they be
illuminated. One he denied the duality of totally diverse world – a position
which Anaximander had been compelled to assume. He no longer
distinguished a physical world from a metaphysical one, a realm of definite
qualities from an undefindable “indefinite”. And after this first step, nothing
15
Pantha rhei adalah nosi Heraklitos yang berarti bahwa “segala sesuatu mengalir” hal ini di
ucapkan oleh Herarklitos sebagai berikut : “Potamoisi toisin autotoisin embainosinm hetera kai hetera
hudata epirrei” yang artinya : Air yang selalu baru mengalir pada tiap-tiap langkah yang masuk
kedalam sungai yang sama”. Lihat. https://en.wikipedia.org/wiki/Heraclitus, diakses pada 9 Oktober
2019 jam 19.06 WIB 16
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.137
62
could hold him back from a second, far bolder negation: he althogether
denied being. For this one world which he retainded -- supported by eternal
unwritten laws, flowing up ward and downward in brazen ryhtmic beat –
nowhere shows a tarrying, an indestructbility, a bulwark in the stream… “17
(Dari intuisi semacam itu Heraklitus menurunkan dua negasi yang
terhubung. Hanya melalui perbandingan dengan doktrin pendahulunya mereka
dapat menjadi tercerahkan. Sesuatu yang ia tolak adalah dualitas dari dunia
yang berbeda secara penuh – suatu posisi yang telah terpaksa Anaximander
asumsikan. Ia tak lagi membedakan suatu dunia dari suatu yang metafisis,
suatu bidang dari kualitas pasti dari suatu “ketakterhinggaan” yang tak
terbatasi. Dan setelah langkah pertama ini, tiada yang bisa menahannya dari
suatu yang berikutnya, negasi yang jauh lebih tegas: ia secara umum menolak
Ada. Untuk dunia yang satu ini yang ia pertahankan – didukung oleh hukum-
hukum tak tertulis, mengalir naik dan turun dalam irama yang tak tahu malu –
tidak menunjukan sebuah tempat, suatu benteng yan tidak dapat dihancurkan,
suatu pertahanan dalam aliran tersebut.)
Kutipan di atas adalah semacam rekonstruksi pemikiran Heraklitos yang
diambil oleh Nietzsche. Dalam kutipan diatas, terdapat semacam kesan seolah olah
Nietzsche mengafirmasi bahwa Heraklitos semacam filsuf Menjadi, seolah-olah
Nietzsche sendiri mengafirmasi pemikiran menjadi tersebut.
Namun kutipan diatas, perlu dipahami dalam konteks pemikiran lain dari
Heraklitos tentang kontradiksi. Nietzsche menemaparkan gerak menjadi dalam
pemikiran Heraklitos yang lebih luas yaitu dalam pemikiran tentang kontradiksi.
Sebagaiamana dalam kutipan diatas di paragraf berikutnya : “ Bagi Heraklitos, madu
itu sekaligus pahit dan manis, dan dunia ini adalah sebuah panci pencampur yang
senantiasa harus digoyang. Segala yang menjadi lahir dari peperangan dari unsur-
17
Friedrich Nietzsche, Philosophy in the Tragic Age of the Greeks, terj. Marianne Cowan,
(Massachusetts: Regenary Publishing), 1998, hlm. 51
63
unsur berlawanan”18
. Di mata Heraklitos, realitas itu kontradiktif, realitas ialah
kontradiksi. Namun, kontradiksi tidak berarti impasse (jalan buntu); justeru
kontadiksi itulah – adanya kesalingberlawanan – yang membuat realitas bergerak.
Terdapat dua poin utama yang diambil Nietzsche dari Heraklitos, yakni
mengenai Menjadi dan mengenai kontradiksi. Hanya bisa beroperasi pada asumsi
tentang realitas kontradiktif yang menjadi generator dari gerakan realitas. Untuk itu
kita perlu melacak asumsi Nietzsche tentang realitas sebagai yang kontradiksi.
Pertama kita bisa melihat dalam The Gay Science §62 : “Ecce Homo”: Ya! Aku
adalah asal-usulku/ Tak pernah puas bak nyala api/ Aku menghabiskan diriku
berkobar,/ Menjadi cahaya apa saja yang kuambil,/ Menjadi arang apa saja yang
kutinggalkan:/ nyala api memang itulah aku.”19
Pemikiran tentang kontradiksi yang
disimbolkan Heraklitos sebagai Api diungkapkan kembali oleh Nietzsche dalam
melihat dirinya. Dan juga realitas, sebagai sesuatu yang inheren mengandungi dua hal
bertentangan: diam dan teridentifikasi sekaligus juga senantiasa berubah. Pada teks
Ecce Homo bab “Mengapa aku begitu bijaksana” §1 Nietzsche dengan bangga
menerangkan asal-usul ganda dirinya, dirinya mengandungi unsur bapaknya (yang
„mati‟, dekaden, tangga akhir kehidupan) sekaligus unsur ibunya (yang „permulaan‟,
ascenden, awal tangga kehidupan) : “ Asal-usul ganda itulah yang menjelaskan
dengan baik netralitas, tiadanya pengambilan posisi di hadapan problem kehidupan
dalam keseluruhannya […] Aku mengenali keduanya, aku adalah kedua-duanya”20
.
18
Friedrich Nietzsche, Philosophy in the tragic Age of the Greeks, hlm. 54 19
Friedrich Nietzscche, The Gay Science, hlm. 43 20
Friedrich Nietzsche, Ecce Homo : How to Become what You Are, (Oxford University Press)
hlm. 7
64
Dari kutipan tersebut jika dikaitkan dengan kutipan mengenai tiga metamorfosa
dalam Zarathustra maka akan bermakna demikian : Nietzsche tidak ingin secara naif
mengikuti kepolosan Unta yang iya-iya begitu saja terhadap apapun yang terjadi; ia
bukan Singa yang raungan menidaknya secara pada apapun yang terjadi21
. Nietzsche
adalah Bayi, yang melampaui posisi naif iya dan naif tidak, merangkumnya dalam
sebuah iya sekaligus tidak pada apapun yang datang.
Pendefinisian realitas sebagai sesuatu yang kontradiktif, realitas adalah
kontradikisi, dengan serta merta menyiratkan respon Nietzsche pada realitas
semacam itu. Yang diperlukan untuk menghadapi realitas semacam itu dibahasakan
Nietzsche sebagai kewaspadaan22
. Kewaspadaan adalah suatu sikap yang tidak
terburu-buru mengafirmasi kenyatan secara naif, dan menegasi kenyataan secara naif.
Oleh karena itu Nietzsche mengandaikan kebenaran sebagai suatu
kekosongan, suatu yang selalu lolos dari tangkapan pemahaman. Kebenaran juga
dalam perspektif Nietzsche harus masuk ke dalam prinsip kontradiktif. Jika suatu
kebenaran tersingkap maka ia tak lagi menjadi kebenaran23
. Apa yang tersingkap tak
lagi mampu mengungkapkan sepenuh-penuhnya kebenaran apa yang hendak
disingkap. Maka idea, kata, konsep, yang merupakan upaya identifikasi dari yang tak
identik merupakan suatu penyingkapan apa yang tak tersingkap. Nietzsche
sebelumnya menulis mengenai kebenaran dalam On Truth and Lie in Extra-Moral
Sense:
21
Lihat tiga metamorfosa spirit dalam ; Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj.
Walter Kaufmann, (Penguin Books) hlm. 25 22
Lih. A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.163 23
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 196
65
“Jadi apa itu kebenaran? Kumpulan-bergerak dari metafor dan
metonimi, Antropomorfisme, singkatnya relasi-relasi manusiawi yang telah
ditinggikan, ditransposisikan, dan dihiasi dengan puisi dan retorika, yang
setelah lama digunakan lalu tampak mapan , dan bersifat mengikat bagi
sekelompok orang; kebenaran-kebenaran adalah ilusi-ilusi yang telah
dilupakan bahwa mereka itu ilusi, metafor-metafor usang yang telah
kehilangan kekuatannya, keping uang yang telah terhapus gambarnya yang
tak lagi dianggap uang melainkan logam belaka24
.
Nietzsche hendak mengungkapkan bahwa apa yang dianggap sebagai
kebenaran adalah suatu identifikasi atas apa yang non-identik. Aktifitas unifikasi
semacam itu mengandung bahaya penghilangan multiplisitas yang partikular, artinya,
pemiskinan atas realitas itu sendiri. Realitas dari dirinya sendiri adalah plural, tidak
bisa diidentifikasi. Upaya penangkapan apa yang non-identik adalah suatu upaya
peng-kata-an, peng-idea-an. Mengenai kata Nietzsche mendefinisikan sebagai
berikut : “ Apa itu sebuah kata? Transposisi sonor sebuah rangsangan syaraf”25
.
Begitu definisi diberikan, Nietzsche langsung memperingatkan bahwa bukan
maksudnya mengatakan kata muncul dari suatu sebab (rangsangan syaraf sebagai
causa, penyebab). Ia hanya hendak mengatakan bahwa peng-kata-an sesuatu muncul
sebagai respon subyektif yang ditentukan oleh sensualitas tertentu, rangsangan ini,
dalam prosesnya yang pertama ditransposisikan ke sebuah gambaran. Gambaran
inilah yang pada gilirannya menjadi suara, dalam proses terjadinya kata, menurut
Nietzsche, semua transposisi dan pembentukannya dilakukan secara sewenang-
wenangm tanpa kaitan adekuasi apapun dengan kenyataan yang hendak di-kata-kan26
24
Friedrich Nietzsche, Philosophy and the Truth, terj. Daniel Breazele, (Humanities Press) 84 25
Friedrich Nietzsche, Philosophy and the Truth, hlm.82 26
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 175
66
Karena kata, konsep ,idea, merupakan suatu hal yang bersifat subyektif maka
Nietzsche menolak itu. Kata, konsep, idea dengan sewenang-wenang menindas
pluralitas demi sebuah suatu identitas fiktif. “Penghilangan yang partikular dan yang
real memberikan kita konsep atau bentuk, padahal alam, tidak mengenal baik bentuk
maupun konsep […] alam hanyalah mengenal sebuah x yang bagi kita tak
terdefinisikan dan tak bisa dimasuki”27
. Ide abstrak yang dianggap lebih sempurna
daripada realitas sendiri, bagi Nietzsche, hanyalah kualitas tersembunyi di balik
sesuatu, yang diciptakan para filsuf atau pemikir untuk menghindari kesemrawutan
yang partikular, campur aduk membingungkan yang dia hadapi dalam realitas
senyatanya.
Namun, metafisika semacam itu yang terangkum dalam anggapan mengenai
sesuatu kualitas tersembunyi masih memiliki manfaat bagi Nietzsche, setidaknya
untuk memahami kehendak dari si pemikir. Penemuan sebuah konsep eksak, yang
kekal dan sempurna yang mendasari realitas kaotik, dilihat Nietzsche sebagai
keinginan mati-matian orang gagal yang merasa menemukan kebenarannya.28
Pada problem ini nosi Kematian Tuhan dikumandangkan. Kematian Tuhan
adalah suatu kejatuhan dari sistem metafisika tradisional yang menganggap adanya
sesuatu yang Maha Meliputi di balik realitas senyatanya. Kematian Tuhan adalah
kematian idea, kata, konsep, yang mengandung kehendak dari pemikir yang
merumuskannya, dan jalan fisio-genealogis adalah jalan yang tempuh untuk
27
Friedrich Nietzsche, Philosphy and Truth, hlm.83 28
Untuk itu perlu penelusuran mengenai kehendak. Lih. A. Setyo Wibowo, hlm.169
67
mengintipnya.29
Di balik pengandaian seorang pemikir terdapat kehendak yang
menjadi generator pengandaian tersebut. Semakin pemikir mengandaikan sesuatu
kekekalan, kepastian suatu idea, konsep, kata, semakin menunjukan kecacatan,
keterserakan kehendak pemikir tersebut, sebaliknya, semakin ia menjauh dari idea,
konsep, kata, dan menerima realitas seada-adanya semakin menunjukan vitalitas dan
kekuatan kehendak. Untuk itu maka diperlukan suatu analisis mengenai kehendak.
2. ‘Kehendak’ dalam Pandangan Nietzsche
Sebelum masuk ke dalam wacana kehendak Nietzsche, barangkali penulis
perlu menjelaskan bagaimana Nietzsche bisa masuk pada wacana metafisika. Adalah
Martin Heidegger yang pertama kali mengangkat derajat Nietzsche dari sekedar
penyair atau sastrawan ke tataran filsafat, dengan menggunakan optik khusus dalam
membahas Kehendak Kuasa (Will to Power). Heidegger dengan amat serius memberi
stuktur dan membahasakan ulang Nietzsche dengan sangat filosofis. Bahkan ia
mampu menunjukan bahwa ia adalah metafisikus terakhir
Bagi Heidegger, Kehendak Kuasa, dengan mengutip Will to Power adalah
karakter fundamental untuk Ada. Maksudnya Kehendak Kuasa serupa dengan cara
berpikir tradisi metafisis barat sejak Platon30
. Karakter intim yang membelakangi
realitas bagi Nietzsche adalah Kehendak Kuasa tersebut. Plato melahirkan Idea
sebagai karakter dasar realitas, Arisetoteles menemukan doktrin substansi, serta
agama-agama mengatakan Tuhan sebagai yang terdasar sekaligus yang tertinggi dari
29
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 181 30
Martin Heidegger, “Nietzsche Fundamental Metaphysical Position”, Nietzsche II, terj. David
Farrell Krell, (Harper San Fransisco),1991, hlm. 201
68
realitas, maka Kehendak Kuasa Nietzsche juga berada dalam logika penjelasan
realitas yang sama.31
Kehendak Kuasa tidak ditafsirkan secara sederhana sebagai hasrat
mendominasi oleh Heidegger. Sebagaimana hasrat tersebut secara niscaya terkait
dengan kata kehendak itu sendiri. Dalam pemikiran Heidegger, Kehendak Kuasa
adalah The Be of being, atau Ada dari adaan-adaan. Maksudnya Kehendak Kuasa
Nietzsche adalah esensi dari seluruh ada32
.
Heidegger menafsirkan metafisika Nietzsche lewat lima kata kunci yang
bersifat saling terkait : Kehendak Kuasa, Nihilisme, Kekembalian Abadi Yang Sama,
Manusia melampaui (Ubermensch) dan, Keadian. Setiap kata kunci memiliki artinya
secara otonom, tetapi setiap kata kunci bertautan satu sama lainnya dengan pusat kata
kuncinya Kehendak Kuasa.33
Dan menurut Heidegger model berpikir metafisis ini
(dengan sebuah Ada yang menjadi kunci semua adaan) sama dengan esensi
metafisika secara umum yang dikritik Heidegger sebagai sumber aspirasi modern
yang berukung pada penguasaan alam dan bumi. Nietzsche tidak lolos dari
kecenderungan umum metafisika yan sudah dimulai dari Platon.
31
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 299 32
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 300 33
The Five main rubrics … -- “nihilism”, “revaluation of all values hitherto, “will to power”,
“eternal recurrence” and “overman” Lihat. Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. 4 , terj. David Farrell
Krell, (San Fransisco : Harper & Row) 1968, hlm. 9-10
69
Zaman devaluasi nilai lama, ketika semua cara menilai dunia berdasarkan
sebuah Hinterwelt34
(dunia bayang-bayang dalam bentuk Idea, Tuhan) runtuh,
membuat manusia masuk ke dalam Nihilisme. Tetapi, situasi ini tidak menghabisi
kekuatan Kehendak Kuasa. Ia masih terejawantahkan dalam situasi baru, yang dalam
bahasa Nietzsche adalah proyek penilaian kembali semua nilai-nilai. Destruksi atas
nilai kuno membuat Nietzsche mesti mengusulkan sebuah konstruksi nilai baru. Dan
persis, dengan proyek transvaluasi atas nilai-nilai lama inilah esensi sebuah nilai
masih ada dalam pemikiran Nietzsche. Bagi Heidegger, Nihilisme Nietzsche tidak
pernah menjadi “pemikiran tentang yang nihil”35
. Nihilisme hanyalah fase transisi
menuju sebuah Nilai baru, Jika bersamaan dengan dekstruksi nilai lama maka
manusia lama juga perlu dilampaui, maka muncullah Manusia yang Melampaui. Ia
adalah esensi historis Nihilisme, transformasi manusa lama ke manusia yang
tertransformasi secara baru, yang berpikir secara baru atas dasar nilai baru :
Kehendak Kuasa. Jadi, manusia yang memiliki hubungan khusus dengan Kehendak
Kuasa dan Kekembalian Abadi Yang Sama, adalah dia yang menghidupi zaman baru
setelah Nihilisme. Dalam skema Heidegger tersebut, Kehendak Kuasa menjadi titik
engkel paling inti dari Filsafat Nietzsche. Pada prinsip dan nilai baru Kehendak
Kuasa inilah kunci Metafisika Nietzsche dijabarkan oleh Heidegger.
Namun uraian di atas barulah rekonstruksi Heidegger atas Kehendak Kuasa
Nietzsche. Barangkali kita memerlukan suatu deskripsi tentang kehendak dari
34
Hinterwelt berasal dari dua kata yakni hinter yang berarti di belakang dan welt berarti dunia.
Penulis memahami kata Hinterwelt ini dengan arti Dunia yang membelakangi dunia realitas, atau
gampangnya dunia yang bersifat metafisis 35
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.300
70
pandangan Nietzsche sendiri. Nietzsche mengambil argumen kehendak dari Arthur
Schopenhauer dalam The World as Will and Representation.36
Dalam buku tersebut
Schopenhauer menulis sebagai berikut :
All willing springs from need, and thus from lack, and thus from suffering.
Fullfilment brings ths to an end; but for every wish that is fullfilled, at least
ten are left denied; moreover, desire last a long time and demands go on
forever; fullfillment is brief and sparsely meted out. But even final satisfaction
itselfs is only illusory; the fullfilled wish quikly gives way to a new one. No
achieved object of willing gives lasting, unwavering satisfaction; rather, it is
only everlike the alms thrown to a beggar that spares his life today so that his
agony can be prolonged until tomorrow. – Thus, as long as our consciousness
is filled by our will, as long as we are given over to the pressure of desire with
their constant hopes and fears, as long as we are the subject of willing, we
will never have lasting happiness or peace. Whether we hunt or we flee,
whether we fear harm or chase pleasure, it is fundamentally all the same :
concern for the constant demands of the will, whatever from they take,
countinuously fills consciousness and keeps subject of willing remains on the
revolving wheel of Ixionm keeps drawing water from the sieve of the
Danaidsm, is the eternally yearning Tantalus
Semua kehendak berawal dari kebutuhan, artinya, dari sebuah kekurangan,
dari sebuah derita. Kepuasan akan mengakhirinya; tetapi untuk satu keinginan
yang terpuaskan, paling tidak ada sepuluh keinginan lainnya yang tidak
terpuaskan. Apalagi, keinginan itu berlangsung lama dan tuntutan-tuntutannya
cenderung tidak terbatas; kepuasan itu pendek dan sangat terukur intinya.
Dengan demikian, kepenuhan yang akhir pun bersifat sementara belaka;
sebuah keinginan yang terpuaskan akan digantikan oleh keinginan lainnya
lagi; yang pertama adalah kesalahan yang sudah dikenali; yang kedua adalah
kesalahan yang belum dikenali. Tak satu objek kehendak pun bisa
memberinya kepuasan yang menenangkan; itu mirip dengan sumbanga yang
dilemparkan bagi orang miskin, yang akan menyelamatkannya hari ini guna
memperpanjang penderitaannya keesokan harinya. Itulah sebabnya, sejauh
kesadaran kita dipenuhi oleh kehendak, sejauh kita mengikuti impuls
keinginan dengan harapan dan kektakutannya yang kontinyum sejauh kita
dikenai kehendak, tidak akan ada kebaghagiaan dan istirahat yang cukup lama
bagi kita. Mengikuti atau menghindari, menakuti sebuah bencana atau
mengejar kenikmatan, keduanya secara esensial adalah satu dan sama:
keresahan kehendak yang selalu penuh tuntutan, dalam bentuk apapun dia
36
Nietzsche memiliki kedekatan intelektual dengan Arthur Schopenhauer, bahkan ia pernah
menerbitkan sebuah buku untuk Arthur Schopenhauer.
71
mengujudkan dirinya, memenuhi dan selalu menggerakan kesadaran; tanpa
istirahat sehingga tidak mungkin ada ketenangan sepenuhnya. Siapa yang
dikenai kehendak nasibnya mirip dengan Ixion yang terikat pada sebuah roda
yang berputar tanpa henti, mirip dengan Danaides yang selalu berusaha
memenuhi tong-tong mereka, mirip dengan Tanatalos yang selalu senantiasa
haus”37
Schopenhauer bertitik tolak dari pengalaman berkeinginan (memiliki
keinginan, yang tak lain dan tak bukan adalah derita yang dipenuhi) dan kesia-siaan
keinginan tersebut. Ia berkutat di paradoks keinginan dan kesia-siaan: ingin, puas,
kecewa, ingin lagi dan seterusnya. Hidup ini dihayati bak upaya baru dari sesuatu.
Manusia selalu menginginkan sesuatu, tetapi ia sadar pemenuhan keinginan tersebut
tidak memuaskannya, artinya pemenuhan akan keinginan itu tidak pernah berhenti
menginginkan sesuatu. Manusia mengingkan apa yang menjadi kekurangannya,
keinginan sinonim, dengan kekurangan sesuatu. Dengan demikian, keinginan adalah
derita.
Jika demikian halnya, maka pertanyaannya adalah siapakah atau apakah yang
bertanggung jawab atas berputarnya secara abadi keinginan-keinginan yang selalu
membuat manusia terjebak dalam lingkaran derita, pemenuhana sesaat (kekecewaan),
derita baru, kekecewaan baru dan seterusnya itu? Siapakah dalang yang mendorong
kita berkeinginan secara sia-sia semacam itu? Jawaban Schopenhauer : Sang
Kehendak.
37
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, terj. Judith Norman,
(Cambridge University Pers:2010) hlm. 219-220
72
Schopenhauer menerangkan bahwa yang menyebabkan kita masuk dalam
roda keinginan adalah hidup itu sendiri. Hiduplah yang membuat kita menginginkan
secara terus menerus. Dan inti kehidupan, bahkan inti terdalam dari alam semesta,
yang membuat keinginan kita senantiasa berubah-ubah dan selalu memiliki keinginan
baru adalah Kehendak. Bagi Schopenhauer, semua yang ada merupakan emanasi dari
suatu yang selalu bergerak, pancaran dari inti terdalam manusia dan alam semesta,
yaitu Kehendak. Saat keinginan partikular berhenti ketika pemenuhannya terjadi,
maka sebenarnya Sang Kehendak sebagai asal dari keinginan-partikular itu tidak
pernah berhenti. Dan Sang Kehendak inilah yang terus memunculkan keinginan-
keinginan lainya.
Schopenhauer membelah kehendak menjadi dua; yaitu: pertama, kehendak
partikular yang dihasilkan dari pemenuhan keinginan dari suatu kekurangan (derita)
dan derita dari pemenuhan kehinginan. Kedua, Kehendak Universal-absolut, yang
menjadi dasar atau inti terdalam dari realitas. Namun bagi Schopenhauer tidak ada
hubungan antara Kehendak Universal-Absolut dan Kehendak Partikular. Sang
Kehendak bukanlah suatu prinsip kausalitas. Ia bersifat groundless (tanpa sebab, tak
bisa ditelusuri sebagai sebuah sebab). Dia bukan sebab karena tidak memiliki tujuan
apa-apa. Jadi, karena Sang Kehendak (universal-absolut) tidak menghendaki apa-apa
kecuali pengekalan menghendaki itu sendiri, maka ia berada di luar kategori
kausalitas.38
kalau kita masih hendak mengumpamakan Sang Kehendak sebagai
Dalang, maka kita bisa membayangkannya sebagai Dalang tanpa pakem, yang
38
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.264
73
mendalan tanpa maksud atau intensionalitas apapun kecuali mendalang begitu saja.
Pertanyaan yang mungkin timbul berikutnya adalah bagaimana Sang Kehendak
memiliki relasi dengan Kehendak Partikular? Sang Kehendak yang bersifat metafisis
ini menerobosi seluruh kehendak partikular yang ada di alam semesta tanpa memiliki
finalitas tertentu. Dia sendiri bersifat tak sadar, artinya manusa tidak menyadari
bahwa kehendak partikularnya sebenarnya adalah manifestasi Sang Kehendak itu
sendiri.
Nietzsche mengadopsi teori kehendak dari Schopenhauer. Namun konsep
Nietzsche tentang kehendak sangat berlainan dengan Kehendak Metafisis dalam
konsep Sang Kehendak Schopenhauer. Bagi Nietzsche, kehendak dalam konsep Sang
Kehendak Schopenhauer masih jatuh dalam upaya peng-konsep-an sebuah realitas.
Artinya, bagi Nietzsche konsep Sang Kehendak masih menampilkan upaya untuk
mereduksi sebuah realitas dalam pengekangannya pada konsep Sang Kehendak.
Nietzsche tidak membedakan antara kehendak partikular dan kehendak metafisis,
keduanya dijadikan satu. Kritik Nietzsche terhadap Schopenhauer secara eksplisit
terungkap dalam teks Beyond Good and Evil §19 sebagai berikut:
“Philosopher are accustomed to speak of the will as though it were best-
known thing in the world; indeed, Schopenhauer has given us to understand
that the will alone is really known to us, absolutely and completely
known,without deduction or addition. But it again and again seems to me that
in this case Schopenhauer also only did what philosopher are in the habit of
doing-he seems to have adopted a popular prejudice and exaggerated it.
Willing-seems to me to be above all something complicated, something that is
a unity only in name – and it is precisely in a name that popular prejudice
74
lurks, which has got the mastery over the inadequate precautions of
philosopher in all ages.39
"Filsuf terbiasa berbicara tentang kehendak meskipun itu adalah hal yang
paling terkenal di dunia; memang, Schopenhauer telah memberi kita untuk
memahami bahwa kehendak sendiri benar-benar diketahui oleh kita, benar-
benar dan sepenuhnya diketahui, tanpa pengurangan atau penambahan. Tetapi
berulang-ulang nampalnua bagi saya bahwa dalam kasus ini Schopenhauer
juga hanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh para filsuf -- ia
tampaknya telah mengadopsi prasangka populer dan membesar-besarkannya.
Kehendak -- bagi saya tampaknya merupakan sesuatu yang rumit, sesuatu itu
adalah persatuan hanya dalam nama - dan justru dalam nama itulah prasangka
populer mengintai, yang telah mendapatkan penguasaan atas tindakan
pencegahan yang tidak memadai dari filsuf di segala usia.
Paragraf pertama dari Beyond Good and Evil §19 memperlihatkan kritik
Nietzsche pada Schopenhauer sekaligus penjelasan versi Nietzsche sendiri tentang
apa itu kehendak. Definisi Nietzschean menunjukkan bahwa kehendak adalah
gerakan afeksional. Isitilah yang dipakai untuk menggambarkan hal kompleks ini
adalah affect, bukan passion yang bisa mengalihkan perhatian ke nafsu. Keinginan
Mememintah, Affect to command adalah denyutan dari dalam, yang muncul
mengemuka dari pluralitas sentimen yang sebelumnya belum tentu tersatukan. Affectt
ini muncul mengemuka dan dikatakan setelah ia mengalami keadaan teruji yang
melibatkan tubuh, pemikiran , dan seluruh ragam sentimen manusia.40
Jika digambarkan kehendak kata kehendak menurut Nietzsche adalah satu
kesatuan dari tubuh manusia yang tampil sebagai sesuatu yang mendera, merangsang,
menggerakan tubuh, kemudian, ia terdiri bukan dari satu sentimen melainkan banyak
39
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Helen Zimmern, e-Book :
thewriterdirection.net : 2004, hlm 25 40
Lihat. Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, hlm.27
75
sentimen. A. Setyo Wibowo menjelaskan mengenai kehendak Nietzsche sebagai
berikut: “Apa yang disebut kehendak – yang kesatuan katanya murni hanya kesatuan
verbal – bukan hanya amalgam macam-macam sentimen dan pemikiran. Unsur-unsur
plural itu, bila tersatukan akan muncul sebagai sebuah kehendak. Seumpama kereta
dengan dua kuda, maka yang namanya sebuah kehendak bukan hanya campuran sais,
dua kuda dan kereta, melainkan gerakan yang muncul saat sais (pemikiran legislator)
menyatukan dan memerintah dua kuda untuk menggerakan kereta menuju satu arah”.
Dengan demikian kehendak adalah suatu Affect to command yang mengatur dan
menyatukan unsur-unsur yang ada dalam dirinya sendiri tanpa penghilangan salah
satu unsur, tanpa pula membiarkan diri diserap oleh masing-masing unsur. Sebuah
tindak memberi bentuk pada apa yang kaostis menjadi sebuah kosmos (keteraturan)
itulah yang disebut kehendak. 41
3. Metafisika Imanen Nietzsche
Metafisika Imanen adalah upaya penulis merekonstruksi pemikiran Nietzsche
mengenai metafisika. Nietzsche menolak gagasan metafisika tradisional yang
mengandaikan suatu entitas pejal di balik realitas seada-adanya. Barangkali Nietzsche
bisa diartikan sebagai pemikir yang anti-metafisika. Namun dalam pemikirannya
terdapat semacam metafisika yang sangat berlainan dengan metafisika tradisional
Jika metafisika tradisional berupaya meringkus realitas pada Idea, yang
bersifat transenden, maka anti-metafisika atau metafisika Nietzschean adalah
metafisika yang bersifat imanen. Metafisika sebagai suatu fiksi yang mendorong
41
A. Setyo Wibowo, hlm. 285
76
terbentuknya realitas, harus terdapat dalam realitas itu sendiri. Sebab pengandaian
akan suatu yang bersifat non-realitas pada akhirnya mereduksi realitas.
Bagi Heidegger, metafisika Nietzsche terletak pada Kehendak Kuasa. Sebagai
pembalik Platon, karena filsafat Nietzsche adalah sebuah reversed Platonism,
Nietzsche tidak lolos dari logika platonisian. Nietzsche adalah metafisikus terakhir.
Di mata Heidegger, filsafat Nietzsche pada akhirnya jatuh dalam pengoposisian
antara Wahre Welt (dunia sejati) dengan Scheinbare Welt (dunia selubung), atau
antara Welt (dunia) dan Nicht (kekosongan).42
Oposisi a la metafisika ini, di mata
Heidegger tampak dalam pelalaian Nietzsche atas pemikiran yang nihil. Dalam hal
tersebut, masuk pula afirmasi pada kehidupan, Nietzsche cenderung menghindari
kematian. Padahal, bagi Heidegger, kekoksongan bersifat konstititutif bagi ada di
sana (Da-Sein). Dengan begitu, bagi Heidegger, Nietzsche adalah seorang Platonik
yang fanatis, yang tak lain adalah metafisikus terakhir.43
Strategi dari bacaan Heideger adalah mengesensialkan Nietzsche untuk
akhirnya mengotakannya dalam Metafisika. Sama seperti seluruh pemikiran lainnya
sebelum Heidegger, ia melihat pemikiran Nietzsche bersifat metafisis karena masih
berkutat pada sebuah prinsip dasar yakni Kehendak Kuasa. Selama ada sesuatu yang
bersifat inti murni dalam sebuah pemkiran, di situ Heidegger mendeteksi adanya
42
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol.III, terj. David Farrel Krell, hlm.4 43
Soner Soysal, Nietzsche’s Perspectivist Epistemology, thesis (Middle East Tehnical
University : Ankara:2007)hlm. 75
77
identitas pejal metafisis yang siap memaksakan kehadirannya dalam sebuah
kebenaran korespondensi.44
Namun yang bermasalah dari tesis Heidegger mengenai posisi Metafisika
Nietzsche adalah pengabaian Heidegger atas argumen Nietzsche mengenai Kehendak,
Kehendak Kuasa, atau lebih luas lagi tentang konsep atau kata yang merupakan
ungkapan yang semata-mata ungkapan terbatas untuk mengkatakan realitas yang
plural, kaotis, kompleks dan sebenarnya tak terkatakan. Kita perlu mengakui bahwa
Filsafat Nietzsche adalah Filsafat anti-metafisika. Namun tesis Heidegger ini juga
berguna untuk menjelaskan bahwa dibalik posisi anti-metafisika terdapat semacam
metafisika lain yang merupakan pembalikan dari metafisika tradisional atau yang
bersifat transenden. Metafisika itu adalah metafisika imanen, yang terangkum dalam
realitas kaotis sebagai inti dari pemikiran Nietzsche.
44
Soner Soysal, Nietzsche’ s Perspectivist Epistemology, hlm. 78
78
BAB V
ANALISIS PANDANGAN METAFISIKA NASR DAN NIETZSCHE
A. Persamaan Metafisika Nasr dan Nietszche
1. Kritik Nasr dan Nietzsche terhadap Modernisme
Pada bagian ini kita akan melihat kritik Nasr dan Nietzsche terhadap
modernitas. Tepat pada titik inilah, yakni kritik terhadap modernitas, adalah titik
persamaan metafisika Nasr dan Nietzsche. Untuk itu kita perlu menelaah argumen
dari masing-masing pemikir berkenaan dengan modernisme.
Nasr dengan panjang lebar mengkritik peradaban Filsafat Barat modern dalam
buku Knowledge and the Sacred. Untuk memulai diskusi tentangnya marilah kita
melihat catatan Nasr sebagai berikut:
“ The secularitation of the cosmos was also related to the secularitation of
reason. Although there are numerous intelectual and historical causes for the
desacralisation of the cosmos, the reduction of the knowing mind or the subject of the
Cartesian cogito to the purely rationalistic level was certainly one of the main ones.
It is not accidental that the mechanization of the cosmos and the emptiyng of the
substance of the world of its sacred quality took place at the same time as
desacralitation of knowledge and the final divorce between the reason which
“knows” scientifically the world of faith on the one hand, and the Intellect which
knows principally and essentially on the other. Some have even attributed spiritual
chaos of modern time to this mechanization of the world in seventeeth-century
science1.
( “Sekularisasi alam semesta (cosmos) juga memiliki hubungan dengan sekularisasi
nalar. Meskipun terdapat beragam penyebab intelektual dan historis untuk
sekularisasi alam semesta, reduksi pikiran yang mengetahui atau subjek dari cogito
Cartesian kepada sesuatu yang sepenuhnya berada pada tingkatan rasionalistik adalah
salah satu diantara yang utamanya. Bukanlah suatu kebetulan bahwa mekanisasi alam
semesta dan pengosongan substansi dari dunia akan kualitas sakralnya terjadi pada
waktu yang sama dengan desakralisasi pengetahuan dan perceraian akhir antara akal
1 Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 45
79
(yang merupakan faklutas manusia) yang mengetahui secara saintifik dari dunia iman
di satu sisi, dan Akal (entitas diluar manusia yang padanya akal manusia menerima
pengetahuan) yang mengetahui secara prinsip dan secara esensial di sisi yang lain.
Beberapa diantaranya bahkan telah menghubungkan kekacauan spiritual dunia
modern pada mekanisasi alam semesta ini dalam sains abad ke tujuh belas.)
Bagi Nasr, kenestapaan manusia modern terjadi diakibatkan oleh karena
sekularisasi, baik itu sekularisasi alam semesta maupun sekularisasi pengetahuan.
Sekularisasi alam semesta terjadi dikarenakan banyak faktor. Namun faktor utamanya
adalah sekularisasi pengetahuan. Sekularisasi atau desakralisasi alam semesta
berakibat pada krisis ekologi. Baginya kondisi modern saat ini adalah suatu kondisi
kerusakan yang terjadi dari sesuatu yang paling utama yakni akal.
Upaya desakralisasi ini adalah upaya manusia modern, wacana filsafat
modern pada umumnya untuk keluar dari bayang-bayang gereja dan agama. Manusia
modern yang diwakili oleh peradaban barat telah begitu membenci agama, tradisi,
dan Tuhan yang dipraktikan oleh gereja pada era pertengahan. 2
Pada persoalan desakralisasi pengetahuan Nasr melihat bahwa upaya Rene
Descartes untuk mengetengahkan cogito atau subjek yang mengetahui telah menutup
pintu-pintu dari pengetahuan lainnya. Bagi Nasr, upaya tersebut telah menutup
manusia untuk mendapatkan pengetahuan dari Wahyu dan Intuisi. Sehingga ia
mengaggap bahwa peringkusan pengetahuan pada hanya tataran rasionalistik telah
membawa manusia bercerai dengan Intelek. Ketika mencari suatu dasar bagi
pengetahuan, Descartes tidak menariknya pada Intellect, yang berfungsi pada batin
2 Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 44
80
manusia dan nalar manusia, tidak juga pada wahyu. Ucapan cogito ergo sum,
menandakan makna metafisis pada keutamaan subjek atau „Aku‟. „Aku‟ yang dirujuk
oleh Descartes bukanlah „Aku‟ yang memiliki implikasi pada yang ilahi melainkan
pada diri sendiri. Jika dikaitkan dalam pandangan tradisional3 dimana „aku‟ sebagai
diri sendiri adalah „aku‟ bayangan, ilusi, sementara „Aku‟ yang real adalah Tuhan,
maka ucapan Descartes disandarkan pada „aku‟ yang ilusi, bayangan sebagai dasar
pengetahuan dan keberadaan segala sesuatu. Sehingga meski Descartes masih
mempercayai Tuhan, kepercayaannya tidak dibuktikan melalui „Tuhan‟, melainkan
„aku‟. Dengan begitu Nasr menyimpulkan betapa rapuhnya bangunan konsep
Descartes4
Kemudian kutipan ini juga menyiratkan bahwa manusia modern atau wacana
metafisika Barat modern telah gagal untuk menangkap Realitas Ilahi. Hal ini
dikarenakan Realitas ilahi tidak bisa hanya dipahami melalui kemampuan
rasionalistik, melainkan sumber-sumber pengetahuan lainnya seperti Wahyu dan
Intuisi.
Desakralisasi merupakan poin penting untuk memahami kritik Nasr terhadap
Metafisika Barat. Metafisika Barat modern, bagi Nasr, tidak lagi memiliki hubungan
dengan Yang-Sakral, Realitas Ilahi, Tuhan. Desakralisasi diakibatkan oleh
3 Untuk membedakan pemikiran yang berdasarkan pada Tradisi dan Modern Nasr menulisnya
dengan istilah tradisional, Lih. Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 41 4 Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 41
81
modernisasi yang mengilangkan makna-makna akan yang sakral pada manusia,
sehingga Realitas Ilahi menjadi tidak dapat diraih lagi untuk dipahami.5
Barangkali untuk memperlihatkan kritik terhadap modernisme penulis awali
dengan kritik pada modernisme pada umumnya. Nietzsche melihat apa yang
dilakukan oleh pemikir Barat sebagai pelanggengan dari Idea, atau suatu entitas pejal
dalam bentuk Tuhan dalam tradisi agama, Das Ding An Sich dalam Filsafat Kant,
Roh Absolut dalam Filsafat Hegel, atau Kebenaran dalam tradisi Saintifik.6
Kesemuanya itu masih mengandaikan suatu Causa Sui (Sebab Terhakhir yang dirinya
sendiri disebabkan oleh dirinya sendiri). Penghendakan atas causa sui semacam itu
yang hanyalah simtom-simtom dari ketidakberanian para pemikir untuk memasuki
realitas yang kaotis, yang berubah, yang selalu lolos dari identifikasi.7
Dengan cara begitu, metafisika tradisional – yang lahir dari tradisi platonis –
telah memalsukan dunia dengan mengadakan sesuatu (Ada/being/sein/causa) yang
sebenarnya tidak ada. Oposisi yang dibuat metafisika tradisional antara sesuatu yang
lebih real, lebih sejati, lebih kekal daripada realitas senyatanya dilihat Nietzsche
sebagai cerita mengada-ngada. Di balik dunia ini ada causa sui,ada Being, yang
mengadakannya atau esensi yang mengadakan atau menopangnya ; dan esensi itu
bersifat kekal, sempurna, lebih berarti.
5 Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 1-2
6 Mengenai kritik Nietzsche terhadap Kant dan Hegel dapat dilihat dalam : Friedrich Nietzsche,
The Gay Science, §357 “Tentang Persoalan Lama, terj. Risalatul Hukmi, (Yogyakarta: Pustaka
Antinomi) 2017, hlm. 183
hlm .328 7 A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm.135
82
Pencaraian semacam itu, suatu Ada dalam dirinya sendiri, adalah
kecenderungan manusia untuk membuat fiksi tersebut. Manusia membutuhkan
sesuatu untuk dipercayai. Sebagaimana dinyatakan Nietzsche dalam teks Beyond
Good and Evil §4 sebagai berikut:
“[…] Manusia tidak bisa hidup tanpa mengkaitkan dirinya pada fiksi-fiksi
logika, (tidak bisa hidup) tanpa menghubungkan dengan sebuah dunia khawal yang
absolut dan identik, […] manusia cenderung cenderung menciptakan dunia khayali
Hinterwelt. […] Membuang penilaian yang salah sama dengan menolak/kehidupan.
Mengakui ketidakbenaran sebagai kondisi kehidupan, itulah cara yang penuh bahaya
utuk melawan makna nilai-nilai yang biasanya umum diterima. Dan sebuah filsafat
yang mengambil risiko seperti itu, otomatis dia sudah menempatkan dirinya
melampaui baik dan jahat.”8
Kekeliruan adalah bagian tak terpisahkan dari kebenaran. Ambisi pokok
metafisika tradisional adalah menemukan kebenaran ultim (kebenaran sebenar-
benarnya yang merupakan dasar segala sesuatu). Pengandaiannya, bila kebenaran bisa
dicapai maka kehidupan akan mencapai kesempurnaannya yang tertinggi. Di mata
Nietzsche, ambisi mati-matian akan kebenaran ini memiliki resiko besar untuk
mematikan sebagian dari kehidupan yang nyata.
Barangkali nosi Nietzsche menegani Kematian Tuhan adalah kritik Nietzsche
pada sistem metafisika tradisional. Untuk itu penulis akan mengetengahkan teks
Kematian Tuhan sebagai berikut:
“Si orang sinting. Pernahkah kalian mendengar kisah tentang orang sinting, yang
menyalakan lentera pada siang hari bolong, berlarian ke pasar dan berteriak-teriak
tanpa henti „Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!‟ – dan karena persis di
sana terkumpul banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan yang tidak percaya
pada Tuhan, orang sinting itu mengakibatkan gelak tawa yang meriah. Apakah
8 Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, terj. Helen Zimmern, e-book:
thewritedirectio.net, hlm.8-9
83
kita kehilangan Tuhan? kata yang satu. Apakah Tuhan tersesat seperti anak kecil?,
kata yang lainnya lagi. Atau mungkin dia bersembunyi entah dimana? Apa dia
takut sama kita? Apakah dia sudah pergi? Apakah dia sudah berimigrasi? –
demikianlah mereka berteriak-teriak dan tertawa sekaligus. Orang sinting itu
segera mendatangi orang-orang tersebut dan memandang tajam mereka „Dimana
Tuhan?‟ teriaknya. Aku akan mengatakannya kepada kalian. Kita telah
membunuhnya – kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuh-pembunuhnya. 9
Nosi Kematian Tuhan mengisahkan manusia yang tak lagi mempercayai
Tuhan. kumpulan orang-orang di pasar menandakan kaum cerah yang menertawakan
gagasan mengenai Tuhan. Kematian Tuhan adalah kematian yang paling agung,
sebab Tuhan merupakan suatu causa sui, sebab utama, realitas akhir yang dibawa dari
tradisi Platonis-Kristen. Bisa dikatakan, dengan begitu, Kematian Tuhan adalah
upaya Nietzsche untuk membalik tradisi Filsafat Barat yang berakar pada tradisi
Platonis.
Nosi Kematian Tuhan merupakan suatu kritik yang dilancarkan bagi Hegel
dan Kant. Hegel dan Kant telah selalu menghendaki secara mati-matian
mempertahankan karakter Platonis-Kristen dalam bangunan filsafatnya. Bagi
Nietzsche bangunan canggih monumen-monumen pemikiran Jerman yang terkandung
dalam Filsafat Kant dan Hegel hanyalah monumen dingin yang justeru
memperlambat gerak sejarah. Pendasaran filsafat pada suatu yang absolut, seperti
9 Friedrich Nietzsche, The Gay Science,terj. Risalatul Hukmi, (Yogyakarta: Pustaka Antinomi)
2017, hlm. 183
84
Das Ding an Sich Kant, Roh Absolut Hegel, berwatak pesimis dan tidak afirmatif
terhadap kehidupan. 10
B. Perbedaan Metafisika Nasr dan Nietzsche
1. Epistemologi Nasr dan Nietzsche
Penjabaran metafisika selalu mengandaikan asumsi tentang sumber-sumber
pengetahuan. Adanya perbedaan konsep metafisika menyiratkan sumber pengetahuan
atau epistemologi yang berbeda diantara para filsuf. Pelacakan epistemologi juga
berguna untuk menjelaskan pada taraf atau bentuk seperti apa sebuah pemikiran
didasarkan.
Oleh sebab itu penulis melihat pentingnya penelusuran sumber-sumber
pengetahuan dari para filsuf. Penelusuran ini berkisar pada apa-apa yang dikehendaki
oleh para filsuf sebgai teori pengetahuan. Juga pada apa yang tidak dikehendakinya
atau ditolaknya.
Pendapat Nasr yang menganggap realitas terbelah menjadi dua, yakni Realitas
Ilahiyah (Divine reality) dan realitas duniawi (reality dengan r kecil)
mengimplikasikan derajat realitas tersebut. Realitas Ilaihyah adalah suatu taraf
realitas yang padanya segala sesuatu disandarkan. Bagi Nasr pengetahuan yang benar
adalah pengetahuan yang telah selalu diraih dari Realitas Ilahiyah. Dan untuk
mencapai Realitas Ilahiyah tersebut seseorang harus men-transenden-kan dirinya
10
Lih. Friedrich Nietszche, The Gay Science, §357 dengan Judul “Tentang Persoalan Lama”,
hlm. 328
85
melalui kontemplasi. Mengenai kontemplasi Nasr memberikan sebuah catatan khusus
secara panjang dalam Islam and The Plight of Modern Man sebagai berikut:
“Contemplation in Islamic Spirituality, as in other integral tradition, is
essentially a knowledge that relate the knower to higher modes of being.”11
(Kontemplasi dalam spiritualitas Islam, sebagaimana dalam tradisi intergral
lainnya, adalah suatu hubungan yang secara esensial menghubungkan antara
yang-mengetahui dan Ada-dengan-mode-yang-lebih-tinggi)
Kontemplasi adalah suatu usaha manusia untuk mencapai Ada dengan cara
adanya yang lebih tinggi. Ia menyaratkan suatu usaha manusia untuk meraih
pengetahuan dari Ada dengan cara adanya yang lebih tinggi. Usaha tersebut bagi Nasr
menubuh dalam kehidupan para Sufi. Sufi, bukan hanya ia menerima secara pasif
pengetahuan atau ma‟rifah akan pengetahuan tentang Tuhan, melainkan juga diraih
melalui usaha yaitu Dzikr.
Dzikir bagi Nasr adalah kontemplasi. Dimana mereka yang ber-Dzikir
mengingat dengan menyebut-nyebut Nama Allah pada akhirnya menentun mereka
yang ber-Dzikir pada penyaksian Allah12
. Namun Dzkir yang menyampaikan manusia
pada Realitas Ilahi adalah Dzikir sejauh hubungannya dengan tindakan atau aksi.
Mereka yang ber-Dzikir setelah mencapai Realitas Ilahi dituntut untuk kembali ke
realitas dan memberi pencerahan pada realitas dari pengetahuannya menegai Realitas
Ilahi.13
11
Seyyed H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, hlm.103 12
Seyyed H. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, hlm. 110 13
Seyyed H. Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, hlm.111
86
Dalam Dzikir terdapat tiga macam fakultas manusia yang perlu diasah yakni:
rasionalitas, wahyu, dan kecerdasan intuisi. Rasionalitas adalah kemampuan akal
untuk menyelami Realitas Ilahi melalui demonstrasi. Wahyu merupakan suatu
penyingkapan Realitas Ilahi melalui kitab suci. Sedangkan Kecerdasan Intuisi
merupakan kemampuan manusia untuk menerima emanasi Realitas Ilahi. Bagi Nasr
ketiga fakultas tersebut merupakan suatu kesatuan. 14
Nasr menolak gagasan untuk merasionalisasi masalah-masalah filsafat. Hal ini
dikarenakan Nasr percaya bahwa jalan merasionalisasi masalah-masalah mendasar
filsafat tidak dapat hanya diselesaikan melalui proses rasionalisasi. Nasr menganggap
bahwa filsafat rasionalistik dan logis baik untuk dipelajari oleh pelajar-pelajar
Muslim. Namun filsafat rasionalistik yang dikehendaki Nasr bukan hanya suatu
analisis belaka melainkan dalam rangka menyelamatkan tradisi intelektual Islam dari
kekacauan15
sebagaimana Nasr nyatakan berikut:
“ Islam respect logic because on its own level of logic is an aspect of the truth
and the truth is name of Allah. Intelegence is likewise a divine gift which leads Man
to an affirmation of the doctrine of unity (al-Tawhid) and the essential varieties of the
islamic revelation”. The use of logic in the worldview of Islam is as a ladder which
leads man to the Divine.16
Pada persoalan pengetahuan ini Nasr mencoba mengkritik Nietzsche. Nasr
menganggap Nietzsche, melalui nosi The Death of God sebagai seorang
14
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm. 130-131 15
Mehdi Aminrazavi, “ Philosophia and Scientia Sacra”, dalam The Philosophy of Seyyed
Hossein Nasr,hlm. 560 16
Seyyed H. Nasr, “Revelation, Intellect and Reason in the Qur‟an”, dalam Journal of
Regional Culture Institiute Vol.1, no.3 (Summer: 1968), hlm.61
87
promethean17
. Promethean adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk tidak
menyampaikan pengetahuan akan Yang Sakral18
. Nosi The Death of God, bagi Nasr
merupakan suatu upaya untuk memisahkan ilmu pengetahuan dari Yang-Sakral, yang
dimulai dengan „mematikan Tuhan‟. Pada akhirnya manusia hanya menerima sesuatu
yang berupa penampakan.
Pertanyaan yang timbul dengan segera, barangkali, ialah bagaimana
pandangan Nietzsche mengenai teori pengetahuan? Nietzsche, bagi penulis,
merupakan seorang pemikir dengan gaya berfilsafat yang tidak tersistematis.
Penelusuran mengenai teori pengetahuan atau epistemologi Nietzsche memerlukan
suatu observasi mendalam tentangnya. Mengenai hal ini penulis hendak menyatakan
bahwa tidak ada suatu gagasan yang eksplisit dalam Filsafat Nietzsche mengenai teori
pengetahuan. Namun tentu penelaahan mengenai teori pengetahuan Nietzsche masih
memungkinkan melalui pemahaman realitas Nietzsche
Untuk itu kita perlu kembali pada asumsi Nietzsche soal Realitas. Bagi
Nietzsche realitas adalah campur aduk, kesatuan kaotis dan kosmis, suatu kontradiksi.
Oleh karena realitas adalah kontradiksi maka peng-konsep-an, peng-kata-an realitas
mereduksi realitas tersebut. Oleh sebab itu Nietzsche mengandaikan tidak ada yang
namanya realitas objektif. Pada The Will to Power §567 menulis sebagai berikut:
17
Seyyed H. Nasr, Knowledge and the Sacred, hlm.182 18
Seyyed H. Nasr, Science and Civilization in Islam , (New York: The American Library:
1970), hlm. 146-157
88
“The perspective, therefore, decides the character of „appearance‟! As if a
world would still remain over after one deducted the perspective! By doing that one
would deduct relativity”19
(perspektif, oleh karenanya, menentukan watak dari „penampakan‟! Seolah-
olah sebuah dunia masih akan tetap ada setelah seseorang mengurangi perspektif!
Dengan melakukannya seseorang akan mengurangi relativitas).
Barangkali Perspektifisme adalah suatu upaya Nietzsche untuk memahami
realitas yang kontradiktif. Perspektifisme adalah alternatif Nietzsche untuk tradisi
epistemologi.20
Barangkali ia mencoba mengembangkan suatu pemahaman teori
pengetahuan atau epistemologi berdasarkan pada doktrin will to power dan
interpretasi. Ia menyabut perspektivisime sebagai salah satu penemuan
fundamentalmya, dan menjelaskan inovasi ini dengan menyebut “pada tempat
epistemologi, suatu teori perspektif mengenai afeksi”21
. Kritiknya pada asumsi-
asumsi dan konsep-konsep yang paling agung dan paling dipercaya dari tradisi
epistemologi filsafat Barat nampaknya bertujuan pada menampilkan watak
perspektifal dan interpretatif.
Dalam artian lain perspektivisme dapat dilihat sebagai suatu alternatif untuk
menilai paradigma kognitif seseorang dengan menampilkan asal muasal yang
terselubungnya, yakni dengan menunjukan penolakannya atas watak keberubahan
atau kemenjadian realitas. Penyingkapan selubung dari akar-akar terselubung
19
Friedrich Nietzsche, Will to Power, terj. Walter Kaufmann dan R.J Hollingdale. (New York :
Vintage Book : 1968) hlm. 305-306 20
Soner Soysal, Nietzsche‟s Perspectivist Epistemology : Epistemological Implications of Will
to Power, Disertasi ( Departemen of Philosophy Middle East Technical University :Ankara: 2007),
hlm.102 21
Friedrich Nietzsche, Will to Power, 305.
89
paradigma kognitif seseorang sama dengan menghancurkan paradigma tersebut22
.
Dus, hal ini bisa berarti bahwa Nietzsche sedang berusaha untuk membalikam konsep
tradisional seperti subjek dan objek, dunia penampakan dan dunia real, kausalitas,
sesuatu-pada-dirinya, logika serta metafisika Barat.
Memang tidak ada suatu teks yang mendefinisikan dengan jelas definisi dari
perspektifisme Nietzsche, barangkali kita bisa merekonstruksi perspektifisme
Nietzsche berdasarkan kutipan Genealogy of Morals sebagai berikut:
“ Let us be on guard against the dangerous old conceptual fiction that posited
a “ pure, will-less, pain-less timeless knowing subject”; let us guard against
the snares of such contradictory concept as “pure reason”, “absolute
spirituality”, “knowledge in itself”; these always demand that we should
think of an eyethat is completely unthinkable, an eye turned in no particular
direction, in which the active interpretating forces, through which alone
seeing becomes seeing something, are supposed to be lacking; these always
demand of the eye an absurdity and a nonsense. There is only a perspective
seeing, only a perspective “knowing”; and the more affects we allow to speak
about one thing, the more eyes, different eyes, we can use to observe one
thing, the more complete will our “concept” of this thing, our “objectivity”,
be. But to eliminate the will together, to suspend each and every affect,
supposing we were capable of this – what would then mean but to castrate the
intellect?23
"Mari kita berjaga-jaga terhadap fiksi konseptual lama yang berbahaya yang
mengemukakan" subjek pengetahuan yang murni, tanpa keinginan, tanpa rasa
sakit yang abadi "; mari kita waspada terhadap jerat konsep kontradiktif
seperti "akal murni", "spiritualitas absolut", "pengetahuan pada-dirinya-
sendiri"; kesemua itu selalu menuntut bahwa kita harus berpikir tentang mata
yang benar-benar tidak terpikirkan, mata berputar ke arah tertentu, di mana
kekuatan penafsiran aktif, yang melaluinya melihat hanya menjadi melihat
sesuatu, dianggap kurang; semuanya selalu menuntut mata sebuah, absurditas
dan omong kosong. Hanya ada perspektif untuk melihat , hanya perspektif
perspektif "mengetahui"; dan semakin banyak pengaruh yang kita izinkan
untuk berbicara tentang satu hal, semakin banyak mata, mata yang berbeda,
22
Soner Soysal, hlm. 103 23
Friedrich Nietzsche, Genealogy of Morals, terj. Walter Kaufmann, (New York: Vintage
Book: 1967), hlm.119
90
yang dapat kita gunakan untuk mengamati satu hal, semakin lengkap "konsep"
kita tentang hal ini, "objektivitas" kita. Tetapi untuk menghilangkan keinginan
bersama, untuk menangguhkan setiap pengaruh, seandainya kita mampu
melakukan ini - apa artinya kemudian mengebiri kecerdasan?
Kutipan tersebut membuat jelas bahwa Nietzsche menuduh paradigma
epistemologi barat mengadopsi suatu perspektif Mata Tuhan24
terhadap dunia. Ia
mencoba untuk memahami dunia melalui suatu perspektif statis, yang memasukan
penolakan atas perspektif aktif dan kekuatan interpretasi, yakni Kehendak Kuasa.
Pengadopsian suatu perspektif seperti itu adalah absurd dan tidak masuk akal, karena
ia membutuhkan suatu subjek yang mengetahui, yang begitu „murni‟ sehingga tidak
ada tujuan inheren dalam usaha-usaha kognitifnya untuk mengetahui atau untuk
memahami dunia. Subjek pengetahuan, oleh karenanya, terbebas dari seluruh tujuan
kehendak, dan penderitaan, melihat dunia dingan mata seperti Mata Tuhan, yang
kepadanya dunia merupakan suatu keteraturan yang terdeterminasi.
Bagi Nietzsche, melalui interpretasi atas teks di atas, gagasan keduanya, baik
subjek dan dunia seperti itu, tidak masuk akal, karena keduanya adalah Kehendak
Kuasa, yang memiliki tujuan esensial untuk meningkatkan kekuatannya. Dalam
artian lain, subjek yang mengetahui, sebagai Kehendak Kuasa atau pusat kuasa,
secara aktif menginterpretasikan dunia dari perspektif yang bertumbuhnya itu, dan
dunia adalah suatu yang kontradiktif membentuk pusat kuasa semacam itu, bahkan
tiap-tiap pusat kuasa melihat dan mengetahui dunia melalui perspektif itu.
24
Istilah Mata Tuhan adalah suatu konsep mengenai subjek yang mengetahui segala sesuatu.
Baginya realitas adalah sesuatu yang dianggap dirinya. Lihat Soner Soysal, hlm. 104
91
Suatu pusat kuasa dunia adalah tak lain kecuali totalitas dari interpretasi yang
dibuat olehnya melalui prespektifnya yang diadopsi terhadap tiap-tiap pusat kuasa
lainnya. “Tiap pusat kuasa mengadopsi suatu perspektif terhadap seluruh
peninggalan, yakni valuasi khusus yang dimilikinya, mode tindakannya, dan mode
perlawanannya”25
. Bagi Nietzsche, sebagaimana ditunjukan sebelumnya, dunia dan
realitas bukanlah sesuatu melainkan totalitas dari perspektif-perspektif, atau valuasi-
valuasi, atau tindakan-tindakan26
. Karena hal ini, Nietzsche mengklaim bahwa kita
hanya bisa memiliki sebuah pengetahuan tentang sesuatu. Yakni, ketika kita bertanya
“apa itu?” kita hanya bertanya mengeenai “apa itu bagi saya?”27
Karena, sebagaimana
Nietzsche nyatakan, dihadapan sesuatu atau sebuah fakta yang telah menjadi objek
pertanyaan “apa itu?” “tidak ada „fakta-pada-diri-mereka-sendiri‟28
, karena suatu
makna harus selalu terproyeksikan pada mereka sebelum mereka menjadi „fakta‟”.
Hanya kemudian, sesuatu atau fakta nampak bagi kita sebagai sesuatu atau sebuah
fakta, yang menanggung suatu makna bagi kita29
.
Dalam artian lain, bagaimanapun juga, sesuatu atau sebuah fakta, harus
menjadi sesuatu untuk mempertanyakan maknanya; gampangnya, ia mesti menjadi
sesuatu yang mempengaruhi kita dalam perengkuhan kekuatan. Apa yang sebenarnya
kita pertanyakan ketika kita bertanya “apa itu?” adalah bahwa kita
menginterpretasikannya dari prespektif kekuatan yang bertambah kita; apakah ia bisa
menambah kekuatanku, atau bagaimana ia bisa mempengaruhiku. Oleh karenanya,
25
Friedrich Nietzsche, Wil to Power, hlm.305 26
Lih. Soner Soysal, hlm.104 27
Friedrich Nietzsche, Will to Power, hlm. 305 28
Friedrich Nietzsche, Will to Power,hlm. 306 29
Soner Soysal, hlm.105
92
pertanyaan dasar kita menjadi “apa itu bagiku?”; atau sebagaimana Nietzsche katakan
“pada dasarnya selalu terdapat „apa itu bagiku?‟ (bagi kita, bagi seluruh yang
hidup)30
.
Tabel 1
Perbandingan Metafiska Nasr dan Nietzsche
Aspek Nasr Nietzsche
Metafisika Transenden, terdapat pada
Realitas Ilahi, Yang-Sakral,
Tuhan yang menjadi dasar
yang mendeterminasi yang
rill.
Imanen (melalui rekonstruksi
Heidegger), dalam Kehendak
Kuasa.
Kebenaran Ada, Tuhan Kekosongan
Realitas Hierarkis Kontradiksi
Argumentasi Yang Sakral, bagi Nasr,
merupakan memiliki
tingkatan hierarkis yang lebih
tinggi sekaligus mendasari
yang jamak, pada dasarnya
merupakan esensi dari segala
keberadaan dalam semesta.
Yang-Sakral oleh karena itu
mendeterminasi dunia rill,
dunia senyatanya. Yang-
Sakral juga bersifat
transenden dan usaha untuk
menggapai yang sakral adalah
dengan cara transendensi.
Devaluasi nilai lama, ketika
semua cara menilai dunia
berdasarkan sebuah Hinterwelt
(dunia bayang-bayang dalam
bentuk Idea, Tuhan) runtuh,
membuat manusia masuk kedalam
Nihilisme. Destruksi atas nilai
kuno membuat Nietzsche mesti
mengusulkan sebuah konstruksi
nilai baru. Dan persis, dengan
proyek transvaluasi atas nilai-nilai
lama inilah esensi sebuah nilai
masih ada dalam pemikiran
Nietzsche. Desktruksi nilai-nilai
lama mengandaikan manusia yang
melampaui, dalam hal ini manusia
yang melampaui adalah manusia
yang memiliki vitalitas atas
Kehendak Kuasa
30
Friedrich Nietzsche, Will to Power, hlm.306
93
Tabel 2
Kritik Terhadap Modernisme
Aspek Nasr Nietzsche
Kritik Terhadap
Modernisme
Desakralisasi Kematian Tuhan
Argumentasi Desakralisasi merupakan poin
penting untuk memahami kritik
Nasr terhadap Metafisika Barat.
Metafisika Barat modern, bagi
Nasr, tidak lagi memiliki
hubungan dengan Yang-Sakral,
Realitas Ilahi, Tuhan.
Desakralisasi dikibatkan oleh
modernisasi yang mengilangkan
makna-makna akan yang sakral
pada manusia, sehingga Realitas
Ilahi menjadi tidak dapat diraih
lagi untuk dipahami
Nosi Kematian Tuhan mengisahkan manusia yang
tak lagi mempercayai Tuhan.
kumpulan orang-orang di
pasar menandakan kaum
cerah yang menertawakan
gagasan mengenai Tuhan.
Kematian Tuhan adalah
kematian yang paling agung,
sebab Tuhan merupakan suatu
causa sui, sebab utama,
realitas akhir yang dibawa
dari tradisi Platonis-Kristen.
Bisa dikatakan, dengan
begitu, Kematian Tuhan
adalah upaya Nietzsche untuk
membalik tradisi Filsafat
Barat yang berakar pada
tradisi Platonis.
Tawaran solusi
Bagi Modernisme
Tradisionalisme;
Mengembalikan Yang-Sakral
pada seluruh aspek kehidupan,
baik itu pada tingkatan diskursif
serta pada penghayatan diri.
Nihilisme; Radikalisasi
modernisme melalui
devaluasi nilai-nilai lama, dan
mengisi kekosongan itu
dengan nilai-nilai baru
Aspek Nasr Nietzsche
Epistemologi Kontemplasi Perspektif
Argumentasi Untuk mencapai Realitas
Ilahiyah seseorang harus men-
transenden-kan dirinya melalui
kontemplasi. Kontemplasi adalah
suatu usaha manusia untuk
Pembalikan dari
epistemologi modern yang
telah selalu menganggap
terdapat suatu subjek
murni, subjek yang maha
94
mencapai Ada dengan cara
adanya yang lebih tinggi. Ia
menyaratkan suatu usaha
manusia untuk meraih
pengetahuan dari Ada dengan
cara adanya yang lebih tinggi.
mengetahui segalanya
pada perspektif dan
interpretasi untuk menilai
paradigma kognitif
seseorang dengan
menampilkan asal muasal
yang terselubungnya,
yakni dengan menunjukan
penolakannya atas watak
keberubahan atau
kemenjadian realitas.
Penyingkapan selubung
dari akar-akar terselubung
paradigma kognitif
seseorang sama dengan
menghancurkan paradigma
tersebut
96
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertama, Metafisika Nasr, bertitik tolak dari pemahamannya mengenai
realitas, adalah suatu entitas yang adi kodrati yakni Yang-Sakral. Realitas bagi
Nasr terbelah menjadi Realitas Ilahiyah dan dunia rill. Realitas Ilahiyah
merupakan Realitas tertinggi sekaligus dasar dari dunia rill. Oleh karena itu
metafisika bagi Nasr selalu bersifat Transenden sebab ia merupakan ilmu
mengenai Realitas Ilahiyah.
Kedua, Metafisika Nietzsche, bertitik tolak dari rekonstruksi
Heidegger atas Filsafat Nietzsche, terdapat dalam Kehendak Kuasa. Realitas
bagi Nietzsche adalah suatu kontradiksi, serta bagi Nietszsche kebenaran
merupakan suatu kekosongan. Pandangan metafisis telah selalu ditolak bagi
Nietzsche sebab menandakan kecacatan Kehendak dan juga mereduksi
realitas. Namun dalam wacana anti-metafisikanya terdapat semacam
keyakinan baru yang menjadi inti dari Filsafat Nietzsche yakni Kehendak
Kuasa. Oleh sebab itu Metafisika Nietzsche adalah Metafisika imanen yang
melekat pada diri manusia.
Ketiga, pandangan metafisika keduanya berasal dari problem yang
sama yakni kritik terhadap modernisme. Bagi Nasr modernisme telah
melupakan Yang-Sakral, yang kemudian menyebabkan krisis terhadap dunia
dan manusia modern. Bagi Nietzsche modernisme hanya suatu perlambatan
97
gerak sejarah. Modernisme masih berkutat pada hal yang telah diwariskan
sejak era Yunani Kuno. Kritik Nietzsche adalah meradikalisasi moderinsme
dengan dorongan untuk keluar dari tradisi Filsafat Yunani Kuno.
Keempat, perbedaan keduanya terletak dalam epistemologi atau teori
pengetahuan. Bagi Nasr, upaya untuk keluar dari krisi modern adalah dengan
menemukan lagi Yang-Sakral. Upaya penemuan Yang-Sakral hanya bisa
ditempuh melalui kontemplasi. Bagi Nietzsche anggapan kebenaran adalah
suatu kekosongan mengandaikan teori pengetahuan adalah upaya untuk
membela keyakikan dari seseorang. Teori Perspektif Nietszche adalah suatu
pembalikan dari teori pengetahuan pemikir dan filsuf sebelumya untuk
membedah Kehendak dari seorang pemikir.
B. Saran
Upaya untuk mengetengahkan pemikiran Islam tidak selesai dengan
membandingkan pandangan antara Filsuf Muslim dan Filsuf dari tradisi Filsafat
Barat. Masih banyak dibutuhkan lagi penelitian-penelitan yang bertujuan untuk
mempertemukan dunia Filsafat Islam dan Filsafat Barat. Di sisi lain pada awal
peradaban Islam terbentuk, peradaban tersebut menerima seluruh gagasan dari
segala perspektif. Hal tersebut yang memungkinkan Islam bisa mencapai
kejayaannya dimasa lalu. Hari ini pelampauan atas wacana Filsafat Barat adalah
jalan satu-satunya untuk dapat meraih kembali kejayaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, Sutan Takdir, Pembimbing ke Filsafat Metafisika, Jakarta: Dian Rakyat,
1981
Aristotle, Posterior Analytics, terj. Johnatan Barnes , Oxford University Press
Attar, M.F dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, “Fondasi Realisme Ibn Sina dalam
Metafisika Ibn Sina”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Jakarta: Jurnal Ilmu Ushuluddin,
2015 Vol.2 no.3
Bagus, Loren, Metafisika Loren Bagus, Metafisika, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1991
Bakker, Anton, Ontologi Metafisika Umum; Filsafat Pengadaan Dasar-Dasar
Kenyataan,Yogyakarta : Kanisius, 1992
Blackburn, Simon, Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford : Oxford University
Press, 2008
Blayne Chapman, Owen, Tesis: The End of Metaphysics:Logical Positivism and
Postmodernism, Ontario: Queen’s University
Chittick, William, (ed.) , The Essential Seyyed Hossein Nasr
Ewing, Alfred Cyril, The Fundamental Question of Philosophy, New
York:ColierBooks, 1962
Hayman, Ronald, “Nietzsche : A Critical Life”, London : Oxford University Press
Heidegger, Martin, Nietzsche II, terj. David Farrell Krell, Harper San Fransisco,1991
Heidegger, Martin, Nietzsche, Vol. 4 , terj. David Farrell Krell, San Fransisco :
Harper & Row 1968
Hermann-Chroust, Anton, Jurnal The Review of Metaphysics, vol.14 no.4 New York:
Philosophy of education Society Inc
Houlgate, Stephen, Hegel, Nietzsche and the Criticism of Metaphysics, Cambridge
University
Iverach, James. “Epistemology”, Encyclopedia of Religion and Ethics, ed. James
Hastings, vol.5 New York : Charles Scriber’s Son’s, 1995
Jahanbegloo, Ramin, In Search of the Sacred : a Conversation with Seyyed Hossein
Nasr on His Life and Thought, California: PRAEGER, 2010
Jessop, T.E, “The Metaphysic of Plato”,Journal of Philosophical Studies, Vol. 5,
No.17 Royal Institute of Philosophy
Kattsoff, Lois, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono Yogyakarta : Tiara
Wacana, 1995)
Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer,Yogyakarta: Kanisius
Lewis Edwin Hahn (ed.), The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr, United States of
America : Open Court Publishing
Magee, Bryan, The Story of Philosophy, Yogyakarta : Kanisius
Meillassoux, Quentin, After Finitude, London: Continuum 2009
Murray, J., “Notae : Plato’s Theory of Ideas”, dalam jurnal Gregorianum, Vol.35
No.2, 1954
Mustansyir, Rizal, “Aliran-Aliran Metafisika”, Jurnal Filsafat, Yogyakarta : Fakultas
Filsafat UGM, Juli 1997
Nasr Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred, New York : SUNY Press
Nasr, Seyyed Hossein, A Young Muslim’s Guide to the Modern World. Chicago:
KAZI Publication, Inc. 1994
Nasr, Seyyed Hossein, Islam and The Plight of Modern Man, Chicacgo : ABC
International Group
Nasr, Seyyed Hossein, Knowledge and the Sacred, Albany : State University of New
York Press 1989
Nasr, Seyyed Hossein, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo, Bandung: Mizan
1993
Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, terj. Helen Zimmern, e-Book :
thewriterdirection.net, 2004
Nietzsche, Friedrich, Ecce Homo : How to Become what You Are, Oxford University
Press
Nietzsche, Friedrich, Genealogy of Morals, terj. Walter Kaufmann, New York:
Vintage Book: 1967
Nietzsche, Friedrich, Philosophy and the Truth, terj. Daniel Breazele, Humanities
Press
Nietzsche, Friedrich, Philosophy in the Tragic Age of the Greeks, terj. Marianne
Cowan, Massachusetts: Regenary Publishing, 1998
Nietzsche, Friedrich, The Gay Science, Penerjemah : Risalatul Hukmi, Yogyakarta:
Penerbit Antinomi
Nietzsche, Friedrich, Thus Spoke Zarathustra, terj. Walter Kaufmann, Penguin Books
Nietzsche, Friedrich, Will to Power, terj. Walter Kaufmann dan R.J Hollingdale. New
York : Vintage Book : 1968
Ross, Sir David, Plato’s Theory of Ideas. Oxford: Oxford University Press
Schopenhauer, Arthur, The World as Will and Representation, terj. Judith Norman,
Cambridge University Pers:2010
Setyo Wibowo, A. , Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius
Soysal, Soner, Nietzsche’s Perspectivist Epistemology, thesis Middle East Tehnical
University : Ankara, 2007
Stumpf, Samuel Enoch (ed.), Socrates to Sartre and Beyond, New York: Kenneth
King, 2003
Stumpf, Samuel Enoch, Philosophical Problems, New York: Mc Graw-Hill, Inc.
1994
Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Ibn Sina’s Concept of Wajibul Wujud, dalam Jurnal
Tsaqafah UNIDA Gontor, Vol.7, No.2, 2011
Sumber Daring
. https://en.wikipedia.org/wiki/Heraclitus, diakses pada 9 Oktober 2019 jam 19.06
WIB
https://Plato.stanford.edu / entries/consciousness/ dengan judul : “Cosnsciousness” ,
diakses pada tanggal 9Agustus 2019 pukul 6:36 WIB