repositori.unud.ac.id...alergen, polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca,...
Transcript of repositori.unud.ac.id...alergen, polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca,...
PATOFISIOLOGI ASMA
Dr. dr. Tiokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An, KAR
Abstrak
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas dengan gejala mengi
(wheezing), sesak napas, dada terasa berat, batuk saat malam atau dini hari. Serangan
biasanya berkaitan dengan obstruksi luas saluran napas di dalam paru, namun bervariasi.
Obstruksi ini seringkali bersifat reversibel baik secara spontan atau dengan terapi. Namun
demikian, obstruksi, saluran napas dapat menjadi gagal napas akibat peningkatan kerja
pernapasan, inefisiensi pertukaran gas, dan kelelahan otot pernapasan.
Obstruksi saluran napas yang bersifat rekuren disebabkan oleh bronkokonstriksi,
edema saluran napas, hiperresponsivitas saluran napas, dan remodeling saluran napas,
berupa: inflamasi, hipersekresi mukus, fibrosis subepitelial, hipertrofi otot polos saluran
napes, dan angiogenesis. lnflamasi memegang peran sentral dalam patofisiologi asma.
Lnflamasi saluran napas melibatkan interaksi berbagai tipe sel dan mediator. Gambaran
imunohistopatologis asma meliputi infiltrasi sel inflamasi neutrofil (khususnya pada onset
mendadak, eksaserbasi berat, asma okupasional, dan perokok), eosinofil, limfosit,
aktivasi sel mast, cedera sel epitel.
Karakteristik patologi asma mengakibatkan peningkatan resistensi saluran napas
dan hiperinflasi paru dinamis. Hal ini akan mengakibatkan konsekuensi sebagai berikut.
1) Peningkatan work of breathing. Hal ini terjadi akibat peningkatan resistensi saluran
napas dan penurunan pulmonary compliance karena volume paru yang besar. 2)
Ventilation- pelfusion mismatch. Hal ini mendasari kondisi hipoksemia dan hiperkapnia
pada penyakit paru. Penyempitan dan penutupan saluran napas akan mengganggu
pertukaran gas. 3) Interaksi kardiopulmoner. Fungsi jantung dipengaruhi oleh perubahan
volume paru dan tekanan intrapleura.
Kata Kunci : Asma, inflamasi, Obstruksi
1
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi asma sangatlah komplek, meliputi beberapa komponen: (1)
inflamasi jalan nafas, (2) obstruksi jalan nafas yang intermiten, (3) hiperresponsif
bronkus. Trigger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan eksaserbasi asma oleh
karena inflamasi saluran nafas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang
dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu
yang lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain. Beberapa hal di antaranya adalah
alergen, polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat,
atau ekspresi emosi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan
eksaserbasi ini adalah rinitis, sinusitis bilateral, poliposis, menstruasi, refluk
gastroesopageal dan kehamilan.
Secara klinis, asma diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu ekstrinsik
(alergi), dan intrinsik (idiosinkrasi). Asma alergi biasanya berkaitan dengan adanya
riwayat alergi dari keluarga atau individu, reaksi positif pada tes kulit dengan ekstrak
antigen dan meningkatnya kadar IgE dalam serum, sedangkan asma idiosinkrasi tidak
dapat dijelaskan karena proses imunologi, tetapi karena abnormalitas system saraf
parasimpatis (Yao, 2003).
Allergen yang menyebabkan respon imunologi
Pasien dengan atopik, kontak dengan antigen berulang menyebabkan sintesa dan
sekresi antibodi Imunoglobulin spesifik E (IgE). Antigen berdekatan dengan molekul
IgE, menyebabkan pelepasan vasoaktif, bronkoaktif, dan kemoaktif (histamin,
interleukin, tumor necrosis faktor, leukotrien, prostaglandin, platelet activating factor)
dari granula-granula sel mast. Mediator-mediator kimia ini berperan penting dalam
inflamasi jalan nafas, kontraksi, dan hiperreaktifitas. Eosinofil menginfiltrasi jalan nafas
selama beberapa jam setelah terkena alergen dan dapat menambah pelepasan mediator
lebih lanjut (Stoelting, 2002).
2
Regulasi Abnormal Sistem Saraf Otonom terhadap Fungsi Jalan Nafas
Penjelasan lain dari karakteristik asma adalah regulasi abnormal sistem saraf
otonom. Hipotesa ini didukung dengan adanya obstruksi aliran udara ekspirasi yang
meningkat pada pasien dengan asma yang diobati dengan non-selektif β-antagonis
(propanolol), diduga adanya ketidakseimbangan input saraf antara eksitator
(bronkokonstriktor) dan inhibitor (bronkodilator). Hal ini kemungkinan bahwa mediator-
mediator kimia yang dilepaskan dari mast sel berinteraksi dengan sistem saraf otonom.
Sebagai contoh, beberapa mediator kimia dapat merangsang reseptor yang mengiritasi
jalan nafas sehingga menyebabkan reflek bronkokontriksi, sedangkan beberapa mediator
meningkatkan kepekaan otot polos bronkus terhadap asetilkolin. Sebagai tambahan,
rangsangan reseptor muskarinik memudahkan pelepasan mediator dari sel mast,
memberikan positif feedback yang meneruskan terjadinya inflamasi dan bronkokontriksi
(Stoelting, 2002).
GEJALA KLINIS
Selama periode fungsi paru normal atau mendekati normal, pasien tidak
menunjukkan kelainan fisik. Saat obstruksi aliran udara ekspirasi terjadi, sejumlah gejala
dan tanda muncul dan menjadi petunjuk tentang beratnya serangan asma. Dalam hal ini
manifestasi klasik asma adalah wheezing, batuk dan dyspnea (Stoelting, 2002).
Wheezing, paling sering dijumpai selama serangan asma akut, adalah istilah yang
dipakai untuk menggambarkan suara yang dihasilkan karena turbulensi aliran gas melalui
jalan nafas yang sempit. Saat obstruksi lebih berat, wheezing menjadi lebih menyolok
dan dapat didengar selama fase awal ekshalasi. Ekshalasi yang dipaksa dapat
mempertunjukkan wheezing yang tidak dapat didengar selama bernafas tenang. Derajat
obstruksi jalan nafas dapat berubah dengan tiba-tiba, tidak adanya wheezing pada kasus-
kasus yang berat dapat menggambarkan tidak adanya aliran udara yang cukup untuk
membentuk suara ekspirasi. Adanya suara wheezing yang terjadi berulang dan menetap
diperkirakan karena obstruksi fokal jalan nafas, misalnya menyempitnya bronkus karena
aspirasi benda asing atau karena neoplasma (Sudoyo, 2006).
Karakteristik batuk pada asma dari nonproduktif sampai produktif karena jumlah
sputum yang banyak yang berjenis mukoid dan seringkali sangat kuat. Eosinofil dan
3
debris yang lain menyebabkan sputum menjadi berwarna kuning, menetap walaupun
tidak ada infeksi. Kadang-kadang, batuk merupakan satu-satunya manifestasi asma
(Stoelting, 2002).
Dyspnea cenderung bervariasi, tergantung pada beratnya obstruksi aliran udara
ekspirasi. Pada kasus yang berat obstruksi jalan nafas, terdapat air hunger (udara yang
terperangkap) mungkin menjadi simptom yang utama, dan pasien seringkali ingin cepat-
cepat duduk untuk memudahkan bernafas. Ketidaknyamanan di daerah dada dan sesak
(sensasi karena tidak bisa menghirup udara dengan penuh) sering menyertai dyspnea
pada pasien dengan asma dan dapat menyerupai angina pectoris (TKKA, 2004).
Volume udara yang dihembuskan dengan paksa dalam 1 detik (FEV1) dan laju
aliran udara maksimum pada mid-ekspirasi menunjukkan secara langsung beratnya
obstruksi aliran udara ekspirasi. Pemeriksaan ini memberikan data yang obyektif yang
dapat memperkirakan beratnya asma serta memonitor perjalanan eksaserbasi asma.
Khusus pasien dengan asma yang dirawat di rumah sakit karena serangan mempunyai
nilai FEV1 kurang dari 35% dari nilai normal dan MMEFR nilainya 20% dari normal atau
kurang. Selama serangan asma sedang sampai berat, FRC meningkat 1-2 liter, di mana
kapasitas total paru biasanya bertahan dalam batas normal. Kapasitas difusi paru untuk
karbonmonoksida tidak menurun. Abnormalitas residu dideteksi dengan tes fungsi paru
yang dapat bertahan selama beberapa hari setelah serangan asma walaupun tanpa gejala
(Stoelting, 2002).
Asma ringan biasanya berhubungan dengan PaO2 dan PaCO2 yang normal.
Takipnea dan hiperventilasi dapat dilihat selama serangan asma akut, oleh karena itu
tidak menunjukkan hipoksemia arteri tetapi menunjukkan reflek neural pada paru. Bila
terjadi obstruksi berat aliran udara ekspirasi, dapat dikaitkan dengan V/Q mismatch, yang
menghasilkan PaO2 kurang dari 60 mmHg saat bernafas pada udara ruangan. PaCO2
mungkin meningkat ketika FEV1 kurang dari 25% dari nilai yang diperkirakan.
Kelemahan otot rangka yang penting selama bernafas dapat memperberat hiperkarbia.
Foto dada memperlihatkan hiperinflasi paru, tetapi lebih sering digunakan untuk
menyingkirkan pneumoni atau CHF, yang dapat dibingungkan dengan asma.
4
Tabel 1. Severity of Expiratory Airflow Obstruction
Severity FEV1 FEF25-75 PaO2 PaCO2
Mild 65-80% 60-75% >60 <40
Moderate 50-64% 45-59% >60 <45
Marked 35-49% 30-44% <60 >50
Severe <35% <30% <60 >50
Terdapat dua mekanisme yang berbeda dalam hal perkembangan laju serangan
asma. Ketika yang dominan adalah proses inflamasi saluran pernafasannya, pasien
memperlihatkan perburukan gejala klinis dan fungsional klas I atau serangan asma akut
tipe lambat. Data penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80-90% pasien asma yang
berkunjung ke rumah sakit adalah pasien dengan serangan asma tipe I ini. Infeksi saluran
pernafasan atas sering juga menjadi pemicu serangan. Kemungkinan pasien ini juga
mempunyai reaksi inflamasi akibat alergi dengan diketemukannya eosinofil pada saluran
pernafasannya. Pada serangan tipe II, yang dominan adalah terjadinya bronkospasme dan
pasien memperlihatkan serangan asma yang muncul tiba-tiba atau mendadak (asfiksia
atau asma hiper akut) yang ditandai dengan obstruksi saluran nafas yang berkembang
sangat cepat (sesak muncul < 3-6 jam setelah serangan). Alergen yang terhirup, latihan
fisik dan stress psikis yang sering menjadi pemicu serangan ini. Dalam saluran
pernafasannya yang dominan adalah sel netrofil.
Tabel 2. Perbedaan Karakteristik 2 Tipe serangan pada pasien Asma Akut
Tipe 1. Perkembangan lambat Tipe 2. Perkembangan cepat
Asma akut berkembang lambat Onset cepat, asfiksia, asma hiperakut
Laju perburukan > 6 jam Laju perburukan < 6 jam
89-90% wanita 10-20% laki-laki
Dipicu oleh infeksi sal. Pernaf. Atas Dipicu oleh alergen, exercise, stress psikis
Obstruksi tidak begitu berat Obstruksi yang muncul lebih berat
Respon lambat thd pengobatan Respon cepat terhadap pengobatan
Mekanisme: inflamasi sal. Pernafasan Mekanisme: perburukan bronkhospastik
5
BENTUK-BENTUK ASMA BERDASARKAN ETIOLOGI
Asma bukan penyakit tunggal. Hal ini terdiri dari kelompok kelainan dengan
berbagai etiologi (Stoelting, 2002)
Asma Karena Alergen
Allergen penyebab asma (media IgE) adalah bentuk yang paling sering terjadi dari
obstruksi aliran udara ekspirasi. Pasien dengan asma yang disebabkan allergen sering
ditandai dengan atopik, seperti rhinitis alergi dan dermatitis alergi. Predisposisi genetik
diperkirakan sering terjadi pada pasien dengan riwayat keluarga asma. Eosinofil pada
pemeriksaan darah perifer dan meningkatnya konsentrasi IgE pada dalam plasma
mendukung diagnosis penyakit atopi. Kemungkinan, inhalasi antigen mencetuskan
pelepasan mediator kimia dari sel mast, menyebabkan brokokontriksi, edema mukosa
bronkus, sekresi mukus kental.
Asma Karena Aktivitas
Asma karena aktivitas atau gerakan badan menggambarkan pasien peningkatan
reaktifitas jalan nafas, di mana aktivitas fisik yang hebat menyebabkan menyempitnya
jalan nafas mendadak dan obstruksi aliran udara ekspirasi. Akhirnya, dapat menyebabkan
spasme bronkus. Asma karena aktivitas lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda karena aktivitas fisik mereka yang lebih tinggi.
Asma Pada Malam Hari
Serangan asma pada malam hari berkaitan dengan perubahan tonus jalan nafas
saat tidur, variasi konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi, reflux esophageal berkaitan
dengan posisi tidur telentang, atau tertahannya sekret jalan nafas karena tertekannya
reflek batuk, Meningkatnya kejadian kematian karena asma setelah tengah malam dan
sebelum pagi hari, menggambarkan fenomena ini.
Asma Karena Aspirin
Aspirin dan kebanyakan NSAID mempercepat terjadinya bronkospasme pada
kira-kira 8-20% pada pasien dengan asma. Dalam 15 menit sampai 4 jam setelah injeksi
paling sedikit 10 mg Aspirin, pada pasien yang sensitif akan terjadi obstruksi jalan nafas,
hidung tersumbat, dan rhinorrhea. Polip nasi, dapat terjadi pada pasien asma yang
sensitif terhadap aspirin, juga sering terjadi pada pasien yang tidak sensitif dengan
aspirin. Aspirin yang menyebabkan bronkokontriksi pada pasien asma berkaitan dengan
6
bloking cyclooxygenase, yang merubah arachidonic acid menjadi prostaglandin, di mana
arachidonic acid ini berkaitan dengan pembentukan bronkokonstriktor leukotrien.
Tingginya kejadian sensitifitas terhadap NSAID berkaitan dengan mekanisme yang
meliputi bahwa obat tersebut menghambat cyclooxygenase.
Kira-kira 5% pasien dengan asma sensitif terhadap bisulfat dan metabisulfat, yang
digunakan sebagai pengawet dan antioksidan pada industri – industri makanan. Bahan-
bahan ini juga terdapat dalam jumlah besar di dalam obat-obatan.
Asma Karena Pekerjaan
Asma adalah bentuk penyakit paru karena pekerjaan tersering yang terjadi di
dunia, mempengaruhi 5-10% penduduk dunia. Chlorine dan Ammonia adalah bahan yang
paling sering menjadi penyebab. Sensitif terhadap Latex dapat meningkatkan terjadinya
obstruksi aliran udara selama bekerja di kamar operasi.
Asma Karena Infeksi
Asma karena infeksi disebabkan karena meningkatnya resistensi jalan nafas,
yang berkaitan dengan penyakit inflamasi akut bronkus. Agen-agen penyebab mungkin
virus, bakteri, atau organisme Mycoplasma. Pembasmian organisme penyebab infeksi
dapat menyebabkan bronkokontriksi dengan cepat.
Table 3. Classification of asthma severity: method of Australian National Asthma
Campaign (Khajotia, 2008)
Severit
y
Wheeze,
tightnes
s,
cough,
dyspnoe
a
Nightti
me
Sympto
ms
Sympto
ms on
waking
Admissi
on
or
emergen
cy
visits
Previous
Life
threateni
ng
attack
Short
actin
g
ᵦ
agoni
st
use
FEV
1
PEF
Severe Every
day
> 1 /
week
>1 /
week
Usually May have
a history
>3 to
4 /
day
<60
%
<80
%
Modera Most <1 / < 1 / Usually Usually Most 60% 80%
to
7
te days week week not not days to
80%
90%
Mild Occasio
nal
Absent Absent Absent Absent <2 /
week
>80
%
>90
%
Table 4. GINA classification of asthma severity by clinical
features before treatment (Khajotia, 2008)
Symptoms
Symptoms
/Night
PEF or
FEV1
PEF
variability
STEP 1
Intermittent
< 1 time
a week
Asymptomatic
and normal
PEF between
attacks
<2 times
a month
< 20%
STEP 2
Mild
Persistent
> 1 time a
week but
< 1 time a day
Attacks may
affect activity
>2 times
a month
20 - 30%
STEP 3
Moderate
Persistent
Daily
Attacks affect
activity
> 1 time
a week
60% - 80%
> 30%
STEP 4
Severe
Persistent
Continuous
Limited
physical
activity
Frequent > 30%
8
DIAGNOSIS
Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera didiagnosis dan
diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksan penunjang.
Riwayat Penyakit
Tujuannya untuk menentukan waktu saat timbulnya serangan dan beratnya gejala,
terutama untuk membandingkan dengan eksaserbasi sebelumnya, semua obat yang
digunakan selama ini, riwayat di RS sebelumnya, kunjungan ke unit gawat darurat,
riwayat episode gagal nafas sebelumnya (intubasi, penggunaan ventilator) dan gangguan
psikiatrik atau psikologis. Tidak ada riwayat asma sebelumnya terutama pada pasien
dewasa, harus dipikirkan diagnosis banding lainnya seperti gagal jantung kongestif,
PPOK dan lainnya.
Diagnosis banding dari asma meliputi tracheobronkitis, penyakit paru restriktif,
rheumatoid artritis, dan bronkiolitis, neoplasma mediastinum, epiglotitis, yang
menyebabkan obstruksi jalan nafas atas. Gagal jantung kongestif dan emboli paru
mungkin menimbulkan dyspnea dan wheezing. Wheezing berkaitan dengan edema paru
yang ditandai dengan “cardiac asma”. Pemberian bronkodilator inhalasi tidak akan
menghilangkan cardiac asma yang menyebabkan timbulnya wheezing.
Pemeriksaan Fisik
Perhatian terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien. Pasien dengan kondisi
sangat berat akan duduk tegak. Penggunaan otot-otot tambahan untuk membantu bernafas
juga harus menjadi perhatian, sebagai indikator adanya obstruksi yang berat. Adanya
retraksi otot sternokleidomastoideus dan suprasternal menunjukkan adanya kelemahan
fungsi paru. Frekuensi nafas (RR) > 30 x/ menit, takikardi > 120 x/menit atau Pulsus
Paradoxus > 12 mmHg merupakan tanda vital adanya serangan asma akut berat. Lebih
dari 15 % pasien dengan asma akut berat, frekuensi jantungnya berkisar antara 90-120
x/menit. Umumnya keberhasilan pengobatan terhadap obstruksi saluran pernafasan
dihubungkan dengan penurunan frekuensi denyut jantung, meskipun beberapa pasien
tetap mengalami takikardi oleh karena efek bronkotropik dan bronkodilator.
9
Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SpO2) perlu dilakukan pada seluruh
pasien dengan asma akut untuk mengekslusi hipoksemia. Pengukuran SpO2
diindikasikan saat kemungkinan pasien jatuh ke dalam gagal nafas dan kemungkinan
memerlukan penatalaksanaan yang lebih intensif. Keputusan untuk dilakukan
pemeriksaan AGD jarang diperlukan pada awal penatalaksanaan. Dengan foto thorak
dapat menyingkirkan adanya tanda-tanda pneumothorak ( nyeri dada pleuritik, emfisema
subkutis, instabilitas kardiovaskuler atau suara nafas yang asimetris), pada pasien yang
secara klinis dicurigai adanya pneumonia atau pasien asma yang setelah 6-12 jam
dilakukan pengobatan secara intensif tetapi tidak respon terhadap terapi.
Elektrokardiografi tidak diperlukan secara rutin, tetapi monitor secara terus-menerus
sangat tepat dilakukan pada pasien lansia dan pada pasien yang selain menderita asma
juga menderita penyakit jantung. Irama jantung yang biasanya ditemukan adalah sinus
takikardi dan supra ventrikuler takikardi. Jika gangguan irama jantung ini hanya
disebabkan oleh penyakit asmanya saja, diharapkan gangguan irama tadi akan segera
kembali ke irama normal dalam hitungan jam setelah ada respon terapi terhadap penyakit
asmanya (Stoelting, 2002).
Pengukuran terhadap perubahan PEFR atau FEV1 yang dilakukan setiap saat mungkin
merupakan salah satu cara terbaik untuk menilai pasien asam akut dan untuk
memperkirakan apakah pasien perlu dirawat atau tidak. Respon terhadap terapi awal di
IGD merupakan prediktor terbaik tentang perlu tidaknya pasien dirawat, bila
dibandingkan dengan tampilan berat eksaserbasi. Respon awal terhadap pengobatan
(PEFR atau FEV1 pada 30 menit pertama), merupakan prediktor terpenting terhadap hasil
terapi. Variasi nilai PEFR di atas 50 L/menit dan PEF > 40% normal yang diukur 30
menit setelah dimulainya pengobatan, merupakan prediktor yang baik bagi hasil akhir
pengobatan yang baik pula.
Perbedaan Penyakit Paru Obstruktif dan Restriktif (Stoelting, 2002)
Obstructive Restrictive
Vital Capacity N / ↓ ↓
Total lung N / ↑ ↓
10
capacity
Residual volume ↑ ↓
FEV1/FVC ↓ N / ↑
Maximum
midexpiratory
flow rate
↓ N
Maximum
breathing
capacity
↓ N
11
Daftar Pustaka
G. Edward Morgan, Maged S. Mikhail and Michael J. Murray. 2013. Clinical
Anesthesiology, 5 th Edition. California: Lange Medical Book/ McGraw-
Hill Medical Publishing Division.p 239-53, 263-276, 937-58
Stoelting, R.K. dan Hillier, S.C. 2006. Pharmacology and Physiology In Anesthetic
Practice. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Barash, Paul G., Cullen, Bruce F.,Stoelting, Robert K.,Cahalan, Michael K., Stock
and M. Christine.2009. Clinical Anesthesia, 6th Edition.Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Reed, A.P dan Francine. 2005. Clinical cases in Anesthesia 3rd
edition. Elsevier
Churchill Livingstone. Philadelphia
Yao, F-S.F. 2003. Anesthesiology Problem Oriented Patient Management.
Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins
Lobato, E.B. 2008. Complications in Anaesthesiology. William & Wilkins.
Philadelphia
British Thoracic Society. 2008. British Guideline On The Management Of Asthma,
London