Post on 23-Apr-2018
MAKALAH UJIAN KASUS PATOLOGI FORENSIK
Disusun Oleh:
Naela Himayati Afifah
0906508333
Rombongan I (Rotasi kedua)
Penguji:
dr. Zulhasmar S, SpF, SH
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL CIPTO MANGUNKUSUMO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA 2012
1
ILUSTRASI KASUS
No. Registrasi Forensik : 1118/SK-I/X/2012
No. Registrasi RSCM : 3665A
Pemeriksaan : Pemeriksaan Luar : 14 Oktober 2012 pukul 07.35 WIB
Pemeriksaan Dalam: 18 Oktober 2012 pukul 08.30 WIB
Identitas Jenazah
Nama : Mr. X
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/tanggal lahir : -
Usia : 60-70 tahun
Warganegara : Indonesia
Agama : -
Pekerjaan : -
Alamat : -
Riwayat Kasus
Pada hari Minggu, 14 Oktober 2012, mayat laki-laki tak dikenal dibawa ke bagian
forensic RSCM oleh Kepolisian Satlantas Jakarta Utara pukul 7.15 WIB. Jenazah tersebut
ditemukan pada hari yang sama pukul 04.55 WIB di Jalan Tol Soeyatmo Kilometer 30
Jakarta Utara. Dalam surat permintaan pemeriksaan bedah mayat disebutkan bahwa
mayat diduga sebagai pejalan kaki kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan lalu
lintas.
Pada jenazah ditemukan bercak darah dan jaringan otak pada pakaian, luka terbuka dan
luka lecet pada kepala, wajah, dada, punggung, dan keempat anggota gerak. Selain itu,
ditemukan juga patah tulang pada kaki kanan dan kiri. Jenazah dibawa ke RSCM di
dalam kantong mayat.
Kepolisian Sat Lantas Wilayah Jakarta Utara membuat surat permintaan pemeriksaan
bedah mayat yang ditujukan kepada dokter ahli Forensik RSCM dengan nomor B/117/3-
2
K/2012/LL-JU untuk melakukan pemeriksaan luar dan dalam terhadap korban dan
dibuatkan Visum et Repertum.
3
PEMBAHASAN UMUM
A. Prosedur Medikolegal1,2
Berbagai peristiwa pelanggaran hukum kerap terjadi di masyarakat, termasuk
kasus yang menyangkut nyawa manusia. Kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, perkosaan,
penganiayaan, dan korban meninggal, merupakan contoh-contoh peristiwa yang erat
kaitannya dengan tubuh manusia. Untuk itu, berfungsi dalam penyidikan dan
penyelesaian hukum sampai pemutusan perkara di pengadilan, diperlukan ahli di bidang
terkait akan berbagai tindakan dalam peristiwa tersebut. Dalam hal ini, Ilmu Kedokteran
Forensik merupakan cabang spesialistik Ilmu Kedokteran yang membantu proses
peradilan. Berbekal ilmu kedokteran yang dimiliki, dokter diharapkan dapat membantu
lingkup pengadilan dan hukum ini.
Selain itu, ilmu kedokteran tidak hanya bermanfaat dalam proses penyembuhan
penyakit, namun juga membantu penyelesaian tindak pidana. Dokter dapat menemukan
kelainan yang terjadi di tubuh korban, bagaimana kelainan tersebut dapat timbul, apa
penyebabnya, dan apa akibat timbul kesehatan korban. Jika korban meninggal, dokter
diharapkan dapat menjelaskan penyebab kematian yang bersangkutan, mekanisme
terjadinya kematian, membantu dalam perkiraan saat kematian, dan perkiraan cara
kematian.
Karena pada kasus-kasus tersebut penyidik membutuhkan bantuan ahli, yaitu
dokter maupun ahli forensik untuk mengungkap kasus dan perkara menjadi lebih terang,
maka pada kondisi demikian, penyidik berwenang untuk meminta keterangan ahli, sesuai
pasal 133 KUHAP ayat (1): “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainya.”
Pasal tersebut menjelaskan bahwa keterangan yang dibuat oleh dokter ahli kedokteran
kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan yang dibuat oleh selain ahli kedokteran
kehakiman disebut keterangan. Semua dokter yang mempunyai surat penugasan atau
surat izin dokter dapat membuat keterangan ahli.
Yang merupakan penyidik menurut KUHAP pasal 6 ayat (1) jo PP 27 tahun 1983
pasal 2 ayat (1) adalah Pejabat Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusu oleh
undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua. Bila
penyidik merupakan pegawai negeri sipil, pangkat terendah adalah golongan II/b untuk
4
penyidik. Menurut PP 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (2), jika di suatu Kepolisian Sektor
tidak ada pejabat penyidik seperti yang disebutkan, maka Kepala Kepolisian Sektor
berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua dapat dikategorikan sebagai penyidik
karena jabatannya.
Dokter berkewajiban untuk memberikan keterangan ahli bila diminta karena
penyidik berwewenang untuk meminta pada dokter, seperti tertuang pada pasal 179
KUHAP yang berbunyi “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan.”
Surat keterangan ahli yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang
berwenang ini disebut Visum et Repertum (VER). Pemeriksaan medik yang dilakukan
terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh
manusia, dilakukan berdasarkan keilmuan dokter di bawah sumpah, dan untuk
kepentingan peradilan. VER, sesuai dengan pasal 184 KUHAP ayat (1) yang
menyebutkan bahwa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa, merupakan alat bukti yang sah. VER menguraikan segala sesuatu tentang hasil
pemeriksaan medik, juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan medic.
Sesuai dengan KUHAP pasal 133 ayat (2), terutama untuk korban mati,
permintaan keterangan ahli oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis. Permintaan
VER ini ditulis dalam Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV), yang tertera kop
surat, pihak yang meminta visum, pihak yang dituju, identitas korban, dugaan penyebab
kematian, permintaan apakah pemeriksaan luar dan atau bedah mayat, jabatan peminta
visum, dan tanda tangan yang bersangkutan.
VER harus dibuat secara tertulis, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat
institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia tanpa memuat
singkatan, dan seminimal mungkin tidak menggakan istilah asing. Jika tulisan dalam
VER berakhir tidak pada tepi kanan format, maka diberi garis hingga ke tepi kanan.
Dapat diberikan gambar atau foto untuk memperjelas uraian tertlis dalam VER pada
lampiran. VER terdiri dari lima bagian yang tetap, yaitu Pro justitia, Pendahuluan,
Pemberitaan, Kesimpulan, dan Penutup. Seperti pada pasal 133 ayat (2) KUHAP yang
berbunyi, “Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan engan tegas utuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.”
5
Pada pemeriksaan dan penulisan visum et repertum jenazah, jenazah harus diberi
label yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi cap jabatan, yang diikatkan pada
ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Sesuai dalam pasal 133 KUHAP ayat (3) yang
berbunyi “Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh peghormatan terhadap mayat
tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan
yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.”
Surat permintaan VER harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah
hanya pemeriksaan luar, atau bedah mayat. Jika pemeriksaan bedah mayat (autopsi) yang
diminta, maka penyidik wajib memberitahu kepada keluarga korban dan menerangkan
maksud dan tujuan pemeriksaan. Autopsi dilakukan dengan persetujuan keluarga atau
dalam dua hari tidak ada tanggapan apa pun dari keluarga korban. Jenazah yang diperiksa
dapat juga jenazah yang didapat dari penggalian kuburan, seperti tertuang dalam pasal
135 KUHAP yang berbunyi, “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu
melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.”
Hal ini sesuai dengan pasal 134 KUHAP ayat (1), (2), dan (3). Pasal 134 KUHAP
ayat (1) berbunyi “Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlabih
dahulu kepada keluarga korban.” Sementara, jika keluarga keberatan, pasal 134 KUHAP
menerangkan dalam ayat (2) yang berbunyi, “Dalam hal keluarga keberatan, wajib
menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya
pembedahan tersebut.” Jika dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apa pun, maka,
sesuai pasal 134 KUHAP ayat (3) yang berbunyi, “Apabila dalam waktu dua hari tidak
ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak
diketemukan, peyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.”
Setelah dilakukan seluruh pemeriksaan pada jenazah dan diberi surat keterangan,
jenazah boleh dibawa keluar, dan jika jenazah dibawa pulang paksa, maka tidak ada surat
keterangan kematian. Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi pemeriksaan luar
jenazah, tanpa melakukan tindakan yang merusak keutuhan jaringan jenazah.
Pemeriksaan dilakukan dengan teliti dan tematik, dicatat secararinci, mulai dari bungkus
dan tutup jenazah, pakaian, benda-benda di sekitar jenazah, perhiasan, ciri-ciri umum
identitas, tanda-tanda tanatologik, gigi-geligi, dan luka atau cedera atau kelainan yang
6
ditemukan di seluruh bagian luar. Apabila peyidik hanya meminta pemeriksaan luar,
maka kesimpulan VER meyebutkan jenis luka atau kelainan yang ditemukan, dan jenis
kekerasa peyebabya. Pada pemeriksaan bedah jenazah menyeluruh dengan membuka
rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadang dilakuka pemeriksaan
penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologik, toksikologik, serologik,
dan lain-lain. Dari pemeriksaan ini dapat disimpulkan sebab kematian korban, selain jenis
luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan saat kematian seperti tersebut.
B. Tanda Kematian2
a). Tanda kematian tidak pasti
1. Pernapasan berhenti
Tanda ini dinilai selama lebih dari 10 menit dengan inspeksi, palpasi, dan
auskultasi.
2. Terhentinya sirkulasi
Tanda ini dinilai selama 15 menit, berupa nadi yang tidak teraba.
3. Kulit pucat
Dapat terjadi karena spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan, dan bukan
merupakan tanda yang dapat dipercaya.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi
Terdapat relaksasi primer sesaat setelah kematian yang mengakibatkan pendataran
daerah-daerah yang tertekan, seperti belikat dan bokong pada mayat terlentang. Relaksasi
otot wajah menyebabkan kulit menimbul, kadang membuat orang tampak lebih muda.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi
Beberapa menit setelah kematian, segmen-segmen pembuluh darah retina
bergerak ke arah tepi retina dan menetap.
6. Pengeringan kornea
Korena mongering dan keruh dalam waktu 10 menit, masih dapat dihilangkan
dengan meneteskan air.
b). Tanda pasti kematian
1. Lebam mayat (livor mortis)
Lebam mayat terjadi karena setelah kematian klinis, eritrosit menempati tempat
terbawah akibat gaya gravitasi, mengisi vena dan venula, dan akhirnya membentuk
bercak warna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh. Darah tetap cair karena
adanya fibrinolisin. Lebam mayat mulai tampak 20-30 menit pasca mati, dan akan
7
lengkap atau menetap pada 8-12 jam. Sebelum menetap, lebam mayat akan hilang pada
penekanan. Menetapnya lebam mayat disebabkan sel-sel darah yang tertimbun dalam
jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah, ditambah kekakuan otot dinding
pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan tersebut.
Lebam mayat sering digunakan sebagai tanda pasti kematian, memperkirakan
sebab kematian, mengetahui perubahan posisi mayat setelah terjadi lebam mayat
menetap, dan memperkirakan saat kematian.
2. Kaku mayat (rigor mortis)
Kaku mayat disebabkan karena cadangan glikogen dalam otot habis, sehingga
energi tidak terbentuk, aktin dan miosin menggumpal. Glikogen yang ada tersebut
merupakan cadangan dalam otot untuk meghasilkan energi, yang mengubah ADP dan
ATP, dan kemudian ATP inilah yang menjaga serabut aktin dan myosin tetap letur.
Pemeriksaan terhadap kaku mayat dilakukan dengan memeriksa sendi. Kaku
mayat mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh
kea rah dalam. Setelah mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan
selama 12 jam, lalu menghilang. Kaku mayat dipercepat dengan aktivitas fisik sebelum
mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot kecil, dan suhu lingkungan
tinggi.
3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda
ke benda yang lebih dingin, dapat melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi, dan
konveksi. Kecepatan penurunan suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu keliling, aliran dan
kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi tubuh, dan pakaian. Suhu saat mati juga
diperlukan utuk penghitungan perkiraan saat kematian. Cara memperkirakan suhu tubuh
dapat dilakukan dengan melakukan 4-5 kali penentuan suhu rectal dengan interval waktu
sama (minimal 15 menit).
4. Pembusukan (decomposition, putrefaction)
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan
kerja bakteri. Autolisis adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam
keadaan steril, akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel pasca mati. Jika
seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh akan masuk ke jaringan.
Sebagian besar bakteri berasal dari usus yang terutama Clostridium.
Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca mati, warna kekuningan pada
perut kanan bawah, yaitu sekitar sekum. Warna kehijauan ini disebabkan terbentuknya
8
sulf-met-hemoglobin. Warna ini akan meyebar ke perut dan dada, disertai bau busuk.
Pembuluh darah kulit akan tampak melebar dan berwarna hijau kehitaman. Ciri
pembusukan lain adalah kulit ari akan terkelupas, membentuk gelembung berisi cairan
kemerahan berbau busuk, mulai terbentukya gas di dalam tubuh dimulai dari lambung
dan usus yang teraba derik atau krepitasi dan membuat tubuh tampak membengkak
terutama pada skrotum dan payudara, tubuh berada dalam sikap seperti petinju (pugilistic
attitude) dengan kedua lengan dan tungkai dalam sikap fleksi. Selain itu, rambut menjadi
lebih mudah dicabut, kuku mudah terlepas, wajah menggembung warna ungu kehijauan,
kelopak mata membengkak, lidah membengkak dan sering terjulur. Hewan pengerat akan
merusak tubuh mayat beberapa jam setelah mati, khas berupa lubang-lubang dangkal
dengan tepi bergerigi.
Setelah 36-48 jam pasca mati, larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan gas
pembusukan nyata. Alat dalam tubuh akan mengalami pembusukan dengan kecepatan
berbeda, prostat dan uterus non gravid merupakan organ padat yang paling lama bertahan
terhadap pembusukan. Bila suhu keliling optimal, pembusukan akan timbul lebih cepat.
Perbandingan kecepatan pembusukan mayat yang berada dalam tanah: air: udara adalah
1: 2: 8.
5. Adiposera atau lilin mayat
Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak, atau
berminyak, berbau tengik, terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati. Adiposera
terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh, terbentuk oleh hidrolisis lemak, mengalami
hidrogenisasi hingga terbentuk asam lemak pasca mati, bercampur dengan sisa otot,
jaringan ikat, jaringan saraf. Adiposera terapung di air, biasanya berbentuk bercak,
terlihat di pipi, payudara, atau bokong, bagian tubuh atau ekstremitas. Adiposera
membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan hingga bertahun-tahun.
6. Mummifikasi
Mummifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup
cepat sehigga terjadi pegeringan jaringan, selanjutnya dapat menghentikan pembusukan.
Mummifikasi terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh
yang dehidrasi dan dalam waktu yang lama (12-14 minggu).
C. Traumatologi2,3
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa). Sementara luka adalah suatu
9
keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. Kekerasan dapat
dibedakan berdasarkan sifatnya, yaitu mekanik (kekerasan oleh benda tajam, kekerasan
oleh benda tumpul, dan tembakan senjata api), fisika (suhu, listrik dan petir, perubahan
tekanan udara, akustik, dan radiasi), dan kimia (asam atau basa kuat).
Luka akibat kekerasan benda tumpul
Luka jenis ini disebabkan benda yang memiliki permukaan tumpul.
a. Memar
Memar adalah suatu perdarahan pada jaringan bawah kulit karena pecahnya
kapiler dan vena. Luka memar sering kali member petujuk tentang bentuk benda
penyebab lukanya, misal jejas ban (marginal haemorrhage). Faktor yang mempegaruhi
letak, bentuk, dan luas luka memar yaitu besarnya kekerasan, jenis benda penyebab,
kondisi dan jenis jaringan, usia, jenis kelamin, corak dan warna kulit, kerapuhan
pembuluh darah, dan penyakit. Perubahan warna pada luka memar dapat secara kasar
digunakan untuk memperkirakan usianya. Saat timbul, memar berwarna merah, kemudian
berubah menjadi ugu atau hitam, setelah 4 sampai 5 hari akan berwarna hijau kemudian
berubah menjadi kuning dalam 7 sampai 10 hari, dan menghilang dalam 14 sampai 15
hari. Dalam medikolegal, interpretasi luka memar merupakan hal penting.
b. Luka lecet
Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda
yang memiliki permukaan kasar atau runcing. Sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas,
tubuh terbentul aspar, atau benda tersebut yang bergerak dan menyentuh kulit. Luka lecet
diklasifikasikan sebagai berikut:
Luka lecet gores : luka lecet inni disebabkan oleh benda runcing yang
menggeser lapisa permukaan kulit di depannya, sehingga lapisan terangkat, dan
hal ini dapat menunjukkan arah kekerasan.
Luka lecet serut : luka lecet ini merupakan variasi luka lecet gores dengan
daerah persentuhan dengan permukaan kulit lebih lebar. Letak tumpukan epitel
menunjukkan arah kekerasan.
Luka lecet tekan : luka lecet ini disebabkan penjejakan benda tumpul pada
kulit, sehingga sering digunakan utuk megidentifikasi benda penyebab luka yang
10
khas karena bentuk luka menyerupai, seperti gigitan, kisi-kisi radiator mobil, dan
lain sebagainya. Luka ini berwarna lebih gelap dari jaringan sekitar.
Luka lecet geser : luka lecet ini disebabkan tekanan linier pada kulit disertai
gerakan bergeser, seperti pada kasus gantung atau jerat.
c. Luka robek
Luka robek merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul yang
menyebabkan kulit teregang ke satu arah dan batas elastisitas kulit terlampaui. Ciri luka
ini umumnya tidak beraturan, tepi atau dinding tidak rata, tampak jembatan jaringan
antara kedua tepi luka, bentuk dasar luka tidak beraturan, sering tampak luka lecet atau
luka memar di sisi luka.
d. Cedera Kepala
Tulang tengkorak yang tidak terlindung kulit hanya mampu menahan benturan
sampai 40 pound/inch2, tetapi bila terlindung kulit dapat menahan sampai 425.900
pound/inch2. Cedera kepala juga dapat mengakibatkan perdarahan tengkorak, perdarahan
epidural, subdural, dan subarachnoid, juga kerusakan selaput otak dan jaringan otak.
e. Cedera Leher (Whiplash Injury)
Cedera leher dapat terjadi pada penumpang kendaraan yang ditabrak dari
belakang, yang mengalami percepatan mendadak sehingga terjadi hiperekstensi kepala
yang disusul hiperfleksi. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang belakang
dan medula oblongata.
f. Trauma Pada Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas didefinisikan sebagai serangkaian peristiwa dari kejadian
yang tidak diduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan kerusakan benda, luka, atau
kematian. Dapat juga diartikan sebagai peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak
disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang
mengakibatkan korban manusia dan atau kerugian harta benda.
Kasus kematian akibat kekerasan benda tumpul terbanyak ditemukan pada
kecelakaan lalu lintas. Pada kecelakaan lalu lintas, tersangkut beberapa pihak, yaitu
pejalan kaki, pengemudi kendaraan, penumpang, dan sebagainya. Pada pejalan kaki, luka-
11
luka dapat terjadi akibat benturan pertama (benturan yang pertama terjadi antara korban
dengan kendaraan), benturan kedua (benturan kedua antara korban dan kendaraan), dan
luka sekunder (akibat benturan dengan objek lain, misalnya jalan, kaki-lima). Cedera
pertama berupa patah tulang lutut atau kaki karena bumper, kemudian pejalan kaki
tersebut akan terlempar ke atas dan kepala mengenai bagian luar bingkai kaca dan dapat
terjadi cedera kepala dan patah tulang leher. Jika mengenai truk, bus, atau mini bus,
cedera dapat mengenai seluruh badan dari kepala sampai kaki, termasuk organ-organ
dalam tubuh (paru, toraks, hati, limpa, pancreas, usus, dan ginjal). Setelah tertabrak
kendaraan, korban akan terlempar dan cedera lagi karena tubuh membentur jalan, trotoar,
pohon, tiang listrik, atau terlindas mobil, bahkan terkena kendaraan lain.
Pada pejalan kaki, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya
kecelakaan, di antaranya faktor dari korban sendiri (posisi, keadaan fisik), faktor dari
kendaraan (jenis, kecepatan, jarak), dan faktor keadaan jalan (permukaan jalan).
Luka-luka pada pengendara sepeda hampir sama dengan pejalan kaki, tetapi luka-
luka sekundernya lebih parah. Pada golongan usia tua, dipikirkan kemungkinan penyakit
yang mengakibatkan kehilangan kontrol (inkapasitas).
Pada penumpang kendaraan roda tiga atau lebih, penting untuk menentukan posisi
korban dalam kendaraan saat kecelakaan. Pada pengemudi, luka karena pergelangan
tangan karena menahan kemudi sering ditemukan, juga luka pada femur dan pelvis karena
menginjak pedal dengan kuat. Sedangkan, pengendara sepeda motor bila ditabrak
pengendara lain, maka akan dijumpai luka benturan pertama, benturan kedua, dan luka
sekunder lebih parah.
12
PEMBAHASAN KHUSUS
A. Prosedur Medikolegal
Pada kasus ini, surat permintaan visum disampaikan dalam bentuk tertulis yang
sesuai dengan KUHAP pasal 133 ayat (2).
Surat ini terdiri atas:
1. Institusi pengirim : Kepolisian Sat Lantas Wilayah Jakarta Utara
2. Tujuan surat : Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman FKUI/
Lembaga Kriminologi UI RSCM
3. Identitas : Hanya tercantum nama korban dan umur (kisaran).
Mayat tidak diberi label.
4. Dugaan penyebab kematian : Kecelakaan lalu lintas (SK-I)
5. Permintaan penyidik : Pemeriksaan bedah mayat
6. Jabatan pengirim : Atas Nama Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya
Kasat Lantas Wilayah Jakut yang diwakili oleh
Kepala Unit (Kanit) Laka (Kecelakaan Korban
Luka) dengan pangkat AKP (Ajun Komisaris
Polisi), Daud Iskandar.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP pasal 133 ayat (3) yang mengatakan bahwa
jenazah harus diberi label yang memuat identitas mayat, maka pada mayat laki-laki (Mr.
X) yang berusia kisaran lima puluh tahun ini, hal tersebut tidak terpenuhi. Jenazah datang
tidak dengan label berisi identitas yang terpasang pada ibu jari, namun hanya dengan
surat permintaan visum et repertum. Sementara pada ketentuan Surat Permintaan Visum
yang dibuat oleh polisi, pangkat penyidik adalah Ajun Komisaris Polisi dengan pangkat
III yang setara dengan Kapten TNI. Hal ini sesuai dengan KUHAP pasal 6 ayat (1) jo PP
27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1) yang menyataka bahwa pangkat penyidik minimal adalah
Pembantu Letnan Dua. Ajun Komisaris Polisi (AKP) dalam kepolisian menduduki
peringkat lebih tinggi dibandingkan Pembantu Letnan Dua.
Selain itu, pada mayat ini diperlukan pemeriksaan bedah jenazah sesuai
permintaan penyidik. Jika dalam 2 x 24 jam tidak ada keluarga yang memberi tanggapan,
maka dokter dapat langsung melakukan pemeriksaan bedah jenazah. Hal ini sesuai
dengan KUHAP pasal 134 ayat (3). Pada kasus ini, mayat yang datang pada taggal 14
Oktober 2012, dilakukan pemeriksaan bedah mayat empat hari kemudian, yaitu pada
13
tanggal 18 Oktober 2012. Hal ini dapat dikarenakan tidak ada keluarga yang menanggapi,
atau keluarga korban tidak ditemukan, bahkan sampai lebih dari 2 x 24 jam.
B. Tanda Pasti Kematian
Pada pemeriksaan mayat, ditemukan kaku mayat pada jari-jari tangan, mudah
dilawan. Hal ini menunjukkan bahwa kaku mayat yang terjadi belum komplit, dan kaku
mayat. Kaku mayat terbentuk 2 jam pasca kematian, dan menjadi komplit pada 12 jam
berikutnya. Selain itu, pada mayat juga terdapat lebam mayat yang terdapat pada leher
bagian belakang dengan warna merah keunguan samar. Lebam mayat ini masih hilang
pada penekanan. Lebam mayat akan muncul pada 20 hingga 30 menit setelah kematian
klinis, dan akan menetap setelah 8 hingga 12 jam setelah kematian. Masih hilangnya
lebam mayat pada penekanan di mayat ini menunjukkan bahwa mayat meninggal kurang
dari 8 hingga 12 jam. Jadi, berdasarkan tanda kematian ini, diperkirakan bahwa mayat
telah meninggal pada 2 hingga 8 jam.
C. Traumatologi Forensik
Ditemukan luka lecet, memar, dan luka terbuka pada kepala, wajah, dahi, pipi,
dada, perut, punggung, dan kedua ekstremitas. Luka lecet dan memar disebabkan oleh
kekerasan tumpul, begitu juga dengan luka terbuka yang memiliki karakteristik tepi tidak
rata, dasar luka tidak beraturan, masih terdapat jembatan jaringan di antara kedua tepi
luka, dan dikelilingi lecet dan memar, yang merupakan karakteristik kekerasan tumpul.
Selain luka lecet, memar, dan luka terbuka, pada korban ditemukan pula patah
tulang pada daerah tulang kepala, leher, dada, iga-iga, panggul, tulang tibia, dan tulang
firbula di kedua kaki. Patah tulang iga-iga dan dada pada korban menyebabkan rupturnya
hati dan paru. Patah tulang tibia dan fibula merupakan keadaan yang khas pada trauma
akibat benturan bumper mobil setinggi fraktur. Sedangkan patah tulang tengkorak pada
korban dapat menyebabkan rusaknya jaringan otak, termasuk batang otak.
Pada kecelakaan lalu lintas, harus ditentukan manakah benturan yang menjadi
penyebab utama kematian, apakah benturan pertama, kedua, atau luka sekunder. Perlu
dipastikan juga, apakah luka-luka pada korban terjadi secara intravital atau post-mortem,
karena hal ini terkait dengan sebab dan mekanisme kematian korban.
D. Sebab dan Mekanisme Kematian
14
Pada korban terdapat beberapa kemungkinan kematian. Fraktur atau trauma pada
kepala (trauma kapitis) dan leher akibat kekerasan tumpul dapat menyebabkan rusaknya
jaringan otak dan putusnya batang otak. Trauma ini paling bersifat vital. Terdapat pula
resapan darah di rongga otak, trauma ini kemungkinan terjadi secara intravital, namun
tetap harus dipastikan secara histopatologi jaringan otak. Fraktur pada basis kranii juga
dapat menyebabkan keluarnya darah dari telinga yang disebabkan trauma pada kepala dan
leher akibat kekerasan tumpul.
Patah tulang iga dan dada serta luka-luka pada dada dan perut juga dapat
menyebabkan kematian karena dapat merusak organ dalam, seperti paru dan hati. Pada
pemeriksaan bedah mayat, ditemukan cairan merah kehitaman yang kemungkinan besar
adalah darah, dengan jumlah 10 mL masing-masing di rongga dada kanan dan kiri. Pada
kematian yang disebabkan kekerasan tumpul pada dada, seharusnya darah ditemukan
lebih banyak karena ruptur organ dapat menyebabkan kehilangan darah masif. Resapan
pada penggantung perut tidak begitu besar, sehingga sebab kematian akibat kekerasan
tumpul pada abdomen dapat disingkirkan. Namun, untuk dapat memastikan penyebab
kematian secara pasti, diperlukan pemeriksaan histopatologi dari organ-organ korban.
E. Kesimpulan
Pada mayat laki-laki yang diperkirakan berusia antara 60-70 tahun dengan
berbagai golongan darah AB, ditemukan luka lecet, memar, dan luka terbuka pada kepala,
wajah, dada, punggung, dan keempat anggota gerak. Selain itu, ditemukan juga patah
pada keempat anggota gerak, patah tulang kepala, wajah, tulang leher, dada, iga-iga,
panggul, tulang kemaluan, dan kedua anggota gerak, yang menyebabkan hancurnya
sebagian otak, putusnya batang otak, robeknya paru dan hati, yang disebabkan oleh
kekerasan tumpul. Sebab mati adalah kekerasan tumpul pada kepala dan leher yang
menyebabkan patah tulang kepala sehingga terjadi putus batang otak. Perkiraan saat
kematian adalah 2-8 jam sebelum pemeriksaan luar, yaitu tanggal 13 Oktober 2012 pukul
23.35 WIB hingga tanggal 14 Oktober 2012 pukul 05.35 WIB.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto A, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik FKUI; 1997. P 1-42.
2. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan Perundang-undangan Bidang
Kedokteran. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1994.
3. Anonim. Bab II: Tinjauan Pustaka Traumatologi [PDF]. Diunduh di
www.library.upnvj.ac.id (1 November 2012, pukul 05.00 WIB).
16