Post on 12-Feb-2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bank memiliki fungsi utama yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai
financial intermediary. Mengingat bank memiliki fungsi sebagai financial
intermediary,maka bank di tuntut untuk menjaga kinerjanya agar bank
memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Dengan meningkatnya kepercayaan
masyarakat, maka fungsi bank sebagai agent of development dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja serta
kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Kepercayaan masyarakat terhadap bank
akan terwujud apabila bank mampu meningkatkan kinerjanya secara optimal.
Perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan yang berkembang pesat di
Indonesia, dituntut untuk memiliki kinerja yang baik. Hal ini menjadi sangat
penting karena tujuan fundamental bisnis perbankan adalah memperoleh
keuntungan optimal dengan jalan memberikan layanan jasa keuangan pada
masyarakat. Dengan kata lain selain untuk kepentingan manajemen, pemilik
saham, ataupun pemerintah (melalui Bank Indonesia) juga sebagai upaya untuk
mengetahui kondisi usaha saat ini dan sekaligus untuk memudahkan dalam
menentukan bisnisnya untuk masa yang akan datang. Sedangkan bagi pemilik
saham menanamkan modalnya pada bank bertujuan untuk memperoleh
penghasilan berupa dividen atau mendapatkan keuntungan melalui meningkatnya
harga saham yang dimilikinya.
Keberadaan bank dalam perekonomian modern merupakan kebutuhan
yang sulit dihindari, karena bank telah menyentuh pada semua kebutuhan
masyarakat. Bank sebagai lembaga kepercayaan, tidak hanya dibutuhkan atau
1
2
bermanfaat bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga berperan
dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu Negara. Selain itu, bank
juga dapat memperlancar kegiatan transaksi, produksi serta konsumsi melalui
fungsinya sebagai lembaga yang melaksanakan kebijakan moneter dan efektivitas
kebijakan moneter yang dapat berjalan dengan baik dipengaruhi oleh kesehatan
dan stabilitas bisnis perbankan.
1.2 Rumusan Masalah Dan Batasan Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah
Dalam penulisan Makalah Ilmiah ini, perumusan masalah yang di ambil
oleh penulis adalah “Apa peranan sesungguhnya Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral menurut fungsi, tugas dan kedudukannya dengan pemerintah pusat ?”
1.2.2 Batasan Masalah
Pada penulisan ini, penulis membatasi empat aspek studi Bank Indonesia
yaitu aspek tujuan Bank Indonesia, tugas Bank Indonesia, aspek jenis-jenis bank,
Bank Indonesia sebagai Lender Of The Last Resort, serta kebijakan nilai tukar.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui peranan sesungguhnya
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dilihat dari segi fungsi, tugas dan
kedudukannya dengan pemerintah pusat.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulis mengharapkan dalam diadakannya penulisan ini dapat membawa
manfaat yaitu kepada :
3
1. Bagi Penulis
Penulisan Makalah Ilmiah ini dapat digunakan sebagai sumber guna
memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan mengenai masalah Bank
Indonesia
2. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat luas
agar masyarakat mengerti tentang Bank Indonesia, sehingga ketika
masyarakat mengerti dan mengenal tentang Bank Indonesia dapat
menggunakan jasa tersebut dengan semaksimal mungkin dan
memanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya.
1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Makalah Ilmiah (MI) ini terdiri dari empat bab dimana
pada masing-masing bab saling terkait satu sama lainnya dan merupakan satu
bagian yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga pada setiap babnya akan
membentuk sebuah korelasi yang bila diambil inti dari setiap pembahasan dapat
ditarik satu kesimpulan. Adapun keempat bab tersebut antara lain :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang Latar Belakang, Rumusan dan Batasan
Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan dan Sistematika
Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan teori-teori yang bersifat umum, diantaranya
mengenai pengertian Studi Bank Indonesia, Tujuan Dilaksanakannya
Studi Bank Indonesia, dan Pengertian Bank Indonesia. Penulis juga
4
menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan judul Makalah
Ilmiah (MI), diantaranya mengenai Peranan Bank Indonesia Sebagai
Bank Sentral.
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini berisikan tentang tiga hal, yaitu yang pertama mengenai
objek penelitian. Yang kedua berisi tentang data/variable. Dan yang
ketiga yaitu mengenai metode pengumpulan data, meliputi metode
kepustakaan dan metode pengambilan data dalam internet.
BAB IV PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi tentang 7 aspek Bank Indonesia, yaitu yang
pertama mengenai Tujuan Bank Indonesia. Yang kedua berisi tentang
Tugas Pokok Bank Indonesia. Yang ketiga mengenai Bank Indonesia
Sebagai Lender Of The Last Resort. Yang keempat mengenai
Kebijakan Nilai Tukar. Yang kelima mengenai Statement Kebijakan
Moneter. Yang keenam mengenai Stabilitas Nilai Tukar. Dan yang
terakhir mengenai Peran Bank Indonesia Dalam Stabilitas Keuangan.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini berisi tentang Kesimpulan dari seluruh analisis data yang
diperoleh penulis dari pembahasan yang terdapat di dalam Bab IV. Bab
ini juga berisi tentang Saran-saran terhadap permasalahan yang muncul
dan masukan guna perbaikan di masa yang akan datang.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kerangka Teori
2.1.1 Pengertian Studi Bank Indonesia
Pengertian studi Bank Indonesia membahas aspek kehidupan
perekonomian secara makro dan mikro yang meliputi pengertian, tujuan, fungsi,
tugas dan kedudukannya dengan pemerintah pusat sebagai Bank Sentral.
2.1.2 Tujuan Dilaksanakan Studi Bank Indonesia
Studi Bank Indonesia bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan
pemahaman mengenai konsep Bank Indonesia, memahami tujuan, fungsi, tugas
dan kedudukannya dengan pemerintah pusat sebagai Bank Sentral.
2.1.3 Pengertian Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank
sentral Republik Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan
tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai
rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap
barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang
merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya
perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk
mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
BI dipimpin oleh Dewan Gubernur.
6
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis mengambil objek Bank Indonesia.
3.2 Data / Variabel
Data yang digunakan untuk mendapatkan informasi lebih akurat, maka
penulis menggunakan data ketetapan-ketetapan mengenai masalah Bank
Indonesia.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan Makalah Ilmiah (MI) ini digunakan berbagai metode
untuk memperoleh data yang akurat sebagai dasar analisa terhadap permasalahan
yang penulis dikemukakan.
Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Metode Kepustakaan
Cara ini menambah wawasan dan pengetahuan penulis terhadap materi
yang dibahas, penulis menggunakan referensi dari berbagai buku bacaan.
2. Metode Pengambilan Data Dalam Internet
Penelitian dilakukan dengan cara pengumpulan data yang didapat di
berbagai website yaitu dengan cara mengambil inti sari yang memuat
materi ini.
7
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Tujuan Bank Indonesia
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu
tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan
nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap
barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama
tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada
perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan
tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai
Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai
atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar
yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia. Ketiganya
perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
dapat dicapai secara efektif dan efisien.
4.2.1 Tugas Pokok Bank Indonesia
Tugas pokok Bank Indonesia adalah membantu pemerintah dalam :
1. Mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
2. Mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas
kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Kedua tugas Pokok Bank Indonesia dapat dirinci menjadi :
1. Pengedaran uang
a. Mengeluarkan uang kertas dan uang logam
8
b. Mencabut kembali uang yag telah dikeluarkan serta menarik
kembali dari masyarakat
2. Perbankan
a. Memperluas, memperlancar dan mengatur lalu lintas pembayaran
giral dan kliring
b. Menetapkan ketentuanketentuan umum tentang solvabilitas dan
likuiditas bank umum
c. Membimbing bank umum
d. Meminta laporan dan memeriksaaktivitas bank
3. Perkereditan
a. Menyusun rencana kredit
b. Menetapkan tingkat dan struktur bunga
c. Menetapkan batasan pemberian kredit
d. Memberi kredit likuiditas kepada bank
e. Sebagai lender of last resort
4. Berkaitan denganpemerintah/APBN
a. Sebagai pemegang kas pemeritah
b. Menyelenggarakan pemindahan uang pemerintah keseluruh
wilayah RI
c. Membantu penempatan hutang Negara, penatausahaan serta
pemayaran kupon dan pelunasannya
d. Memberikan kredit dalam bentuk rekening Koran untuk
memperkuat kas Negara
5. Bidang pengerahan dana masyarakat
Bank Indonesia mendorong pengerahan dana masyarakat oleh
perbankan umum dengan tujuan untuk usaha pembangunan yang
produktif dan berencana.
6. Bidang hubungan Internasional
a. Menyusun rencana devisa guna menjaga dan memelihara
kestabilan nilai rupiah terhadap valuta asing.
b. Melaporkan dan menjaga keseimbangan neraca pembayaran.
9
4.3 Bank Indonesia Sebagai Lender Of The Last Resort
Sejarah keberadaan lender of the last resort (LOLR) tidak terlepas dari
sejarah keberadaan bank sentral. Fungsi bank sentral sebagai LOLR telah dikenal
sejak akhir abad ke-19 dan peranan tersebut semakin menonjol sejak
perekonomian suatu negara menerapkan sistem fiat money khususnya lagi sejak
runtuhnya sistem standar emas (gold standard) pada pertemuan Bretton Woods
pada tahun 1973. Pada dasarnya LOLR adalah pemberian fasilitas pinjaman
kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan berfungsi untuk
menghindarkan krisis keuangan yang sistemik. Mengingat risiko sistemik yang
terjadi di perbankan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian,
maka terdapat konsesus bahwa perlunya menciptakan suatu mekanisme untuk
mencegah terjadinya krisis tersebut dengan intervensi langsung dari bank
sentral/pemerintah dengan menyediakan fasilitas pinjaman (LOLR) kepada bank
dalam rangka menutupi liquidity missmatch. Secara teoritis, intervensi bank
sentral/pemerintah diperlukan dalam hal terjadi mekanisme pasar tidak sempurna
khususnya dengan adanya market failure (Freixas, 1999).
Pada dasarnya terdapat 2 jenis market failure yang merupakan
karakteristik dari sektor perbankan, yaitu kemungkinan terjadinya kesulitan
likuiditas dan risiko sistemik kegagalan bayar suatu bank terhadap bank lainnya
(systemic risk). Penyediaan likuiditas bank sentral/pemerintah tersebut merupakan
pilihan terakhir bagi bank setelah pasar uang tidak dapat memenuhi kebutuhan
bank.
Kehadiran bank sentral dalam fungsinya menjalankan LOLR dapat
memberikan dampak positif bagi perekonomian karena dapat mengurangi
terjadinya krisis keuangan yang parah dan mengurangi terjadinya fluktuasi dalam
siklus ekonomi Miron (1986). Secara umum, fasilitas LOLR berfungsi untuk: (i)
mencegah terjadinya bank run baik yang terjadi secara individual maupun yang
bersifat sistemik dan (ii) mengatasi masalah kesulitan likuiditas yang terjadi
secara temporer.
10
Berdasarkan fungsinya terdapat dua jenis LOLR (Lind dan Taylor, 2003), yaitu :
1. LOLR normal
LOLR normal adalah pemberian bantuan likuiditas yang bersifat
sementara oleh bank sentral/pemerintah kepada bank. Pemberian fasilitas
LOLR ini harus didukung dengan jaminan (collateral) yang cukup dan
berfungsi menjaga kelancaran sistem pembayaran dan stabilitas moneter.
2. LOLR krisis
LOLR krisis adalah pemberian fasilitas pinjaman likuiditas kepada bank
dalam rangka menghindarkan risiko sistemik pada perbankan secara
keseluruhan. Pemberian fasilitas ini dapat dimungkinkan diberikan kepada
bank-bank yang kurang jaminan dan bank yang insolvent
tetapi dengan jaminan pemerintah.
Secara teoritis pentingnya fungsi LLR dikemukakan oleh Diamond dan
Dybvig (1983). Pada dasarnya argumen mereka dilandasi oleh kenyataan
bahwa transakasi perbankan memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Bank meminjam dana dari nasabah secara jangka pendek dalam bentuk
tabungan dan deposito, dan
2. Bank menyalurkan kredit yang bersifat jangka panjang kepada debitur.
Dari realitas tersebut ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, selama nasabah percaya bahwa dananya relatif aman serta ada
kepastian bahwa mereka dapat menarik dana sesuai dengan kebutuhan, maka
nasabah akan terus menyimpan dananya di bank. Kedua, jika nasabah tidak yakin
bahwa dananya akan dikembalikan sepenuhnya oleh bank, maka akan terjadi bank
run yaitu dimana sebagian besar atau seluruh nasabah menarik simpanannya
secara serentak dari bank.
Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Hadori
(2002) untuk kasus Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
pemberian LOLR atau BLBI oleh BI/Pemerintah dapat mencegah terjadinya
kontraksi perekonomian Indonesia yang lebih parah lagi jika dibandingkan tidak
ada pemberian BLBI. Dengan mengasumsikan terjadinya “dooms day” maka
11
tanpa adanya pemberian fasilitas LOLR/BLBI kepada bank maka fungsi
intermediasi perbankan terhambat dan sistem pembayaran dalam dan luar negeri
terganggu sehingga secara keseluruhan ekonomi akan mengalami kontraksi yang
jauh lebih buruk dibandingkan dengan perekonomian ekonomi dengan BLBI.
Untuk mencegah terjadinya bank run, Diamond dan Dybvig (1983)
mengusulkan tiga solusi yaitu: lender the last resort (LLR), suspension of
convertibility (SC), Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Dengan adanya LLR
dan LPS, nasabah menjadi yakin bahwa penarikan dana dari bank akan selalu
dapat dipenuhi oleh bank. Oleh karena itu tidak akan ada kekawatiran dari seorang
nasabah mengenai kemampuan bank untuk memenuhi semua kewajibannya.
Salah satu cara untuk mengatasi panik adalah dengan cara memberlakukan
suspension of convertibility (SC) atau penghentian pengkonversian dari simpanan
menjadi uang cash. Dalam kasus seperti ini deposan hanya bisa menguangkan
simpanan sesuai dengan kontrak simpanannya, dalam arti bahwa simpanan yang
belum jatuh tempo tidak bisa ditarik.
Alternatif yang kedua untuk mencegah terjadinya panik adalah dengan
mengadakan fasilitas LLR. Dengan adanya fasilitas ini, bank tidak harus
melakukan likuidasi aset-asetnya untuk melayani terjadinya panik. Oleh karena itu
fasilitas LLR memiliki dua fungsi yaitu :
1. memberikan kemampuan pada bank untuk melayani seluruh penarikan,
dan
2. mencegah bank melakukan likuidasi aset-aset produktivnya.
Akan tetapi fasilitas LLR memiliki tiga kelemahan sebagai berikut:
Pertama, fasilitas ini relatif terbatas scope-nya untuk mengatasi masalah
kesulitan likuiditas perbankan. Kedua, fasilitas ini biasanya juga disertai dengan
infusi jumlah uang yang beredar sehingga cenderung meningkatkan inflasi dan
ketidakpastian dalam nilai tukar. Ketiga, dalam dunia yang penuh dengan
ketidakpastian, tidak ada jaminan bahwa return on investment dari aset kredit
perbankan akan mampu menutup semua kewajibannya terhadap otoritas penyedia
LLR.
12
Panik dapat juga dicegah dengan pemberlakuan blanket guarantee, dimana
pemerintah memberikan jaminan kepada seluruh deposan dan kreditur bahwa
dananya akan sepenuhnya dikembalikan oleh pemerintah melalui bank yang
bersangkutan. Dalam kasus seperti ini, blanket guarantee hanya bisa kredibel jika
diseponsori oleh pemerintah dan bukannya dalam bentuk deposit insurance (DI)
yang dilakukan oleh swasta.
Akan tetapi blanket guarantee memiliki dua masalah pokok sebagai
berikut. Pertama, ia tidak bisa sepenuhnya kredibel dalam konteks ekonomi
terbuka tanpa adanya capital control. Kedua, pada kenyataannya pemerintah tidak
bisa secara fleksibel menetapkan kenaikan pajak, karena harus melalui proses
perundang-undangan yang memakan waktu lama. Oleh karena itu, pemerintah
sering hanya bisa meningkatkan future tax yang justru dapat mengakibatkan tidak
kondusifnya iklim investasi dimasa yang akan datang.
Penyediaan fasilitas LLR sangat berkaitan dengan proses penciptaan uang,
karena bantuan likuiditas terhadap bank merupakan bagian dari base money. Pada
intinya base money dapat didekomposisi menjadi dua komponen yaitu NFA dan
NDA. BLBI merupakan salah satu komponen dalam NDA, sehingga peningkatan
jumlah BLBI akan secara otomatis meningkatkan jumlah uang yang beredar (base
money) jika tidak disertai dengan upaya counter balance melalui penurunan NFA
ataupun komponen NDA lainnya. Kalau hal ini terjadi maka dengan adanya
BLBI, pencapaian target moneter menjadi lebih sulit untuk dipenuhi.
Sebagaimana diungkapkan dalam bagian terdahulu ternyata pembengkakan
penyaluran BLBI disertai dengan peningkatan jumlah uang yang beredar. Jadi,
pada intinya social cost dari BLBI bisa dirunut melalui peningkatan jumlah uang
yang beredar dan dampaknya terhadap ekonomi makro.
Dalam konteks ekonomi terbuka dan regim nilai tukar mengambang,
Dornbusch (1976) mengusulkan suatu model overshooting yang pada intinya
menekankan bahwa pergerakan nilai tukar dalam jangka pendek akan mengalami
overshooting terhadap keseimbangan jangka panjangnya. Artinya jika terjadi
suatu shock moneter maka fluktuasi nilai tukar menjadi sangat sulit untuk
diprediksi.
13
Peningkatan jumlah BLBI yang disertai dengan peningkatan base money
akan menyebabkan nilai tukar selain terdepresiasi secara tajam, fluktuasi jangka
pendeknya menjadi sangat volatile. Oleh karena itu peningkatan BLBI dapat
menyebabkan ketidakpastian nilai tukar atau peningkatan dalam exchange rate
risk.
Dalam monetary approach to balance of payments, jumlah uang yang
beredar dan nilai tukar pada gilirannya menyebabkan peningkatan inflasi.
Walaupun pass through effect dari depresiasi nilai tukar tidak berdampak penuh
terhadap inflasi dalam jangka pendek, inflasi bisa menjadi jauh di atas normal jika
terjadi depresiasi dalam skala besar. Dengan demikian, peningkatan BLBI akan
berasosiasi dengan:
1. peningkatan base money,
2. depresiasi nilai tukar secara berlebihan,
3. volatilitas nilai tukar, dan
4. inflasi secara berlebihan.
4.4 Kebijakan Nilai Tukar
Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam
rangka tercapainya stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi.
Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi
peningkatan kegiatan dunia usaha.
Secara garis besar, sejak tahun 1970, Indonesia telah menerapkan tiga
sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap mulai tahun 1970 sampai tahun
1978, sistem nilai tukar mengambang terkendali sejak tahun 1978, dan sistem
nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system) sejak 14
Agustus 1997.
Dengan diberlakukannya sistem yang terakhir ini, nilai tukar rupiah
sepenuhnya ditentukan oleh pasar sehingga kurs yang berlaku adalah benar-benar
pencerminan keseimbangan antara kekuatan penawaran dan permintaan.
14
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia pada waktu-waktu
tertentu melakukan sterilisasi di pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi
gejolak kurs yang berlebihan.
4.5 STATEMENT KEBIJAKAN MONETER
Prospek ekonomi dunia terus membaik, namun dibayangi oleh tekanan
inflasi yang meningkat sejalan dengan tingginya harga minyak dan komoditas
pangan dunia. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan lebih tinggi dari
perkiraan semula yang didukung oleh membaiknya ekonomi negara maju,
sementara ekonomi negara berkembang khususnya emerging markets (EM) masih
tetap tumbuh. Sejalan dengan perkembangan tersebut, harga komoditas dunia
menunjukkan kecenderungan meningkat yang diwarnai dengan harga minyak
yang melambung tinggi. Dengan perkembangan tersebut, tekanan inflasi baik di
negara berkembang maupun negara maju cenderung meningkat didorong oleh tren
peningkatan harga pangan dan energi. Sementara itu, perkembangan geopolitik di
Timur Tengah selain berpengaruh pada harga minyak juga menimbulkan tekanan
terhadap pasar keuangan global. Kebijakan Bank Sentral China untuk melakukan
pengetatan lebih lanjut juga turut menekan pasar keuangan global. Pengetatan
kebijakan moneter dalam merespons perkembangan inflasi tidak hanya terjadi di
negara-negara EM tetapi juga mulai diikuti oleh negara-negara maju.
Prospek ekonomi global yang membaik tersebut berdampak positif
terhadap perekonomian domestik, terutama melalui jalur ekspor yang akhir-akhir
ini meningkat. Perekonomian domestik pada triwulan I 2011 diperkirakan tumbuh
cukup tinggi meskipun lebih lambat dari triwulan sebelumnya. Pertumbuhan pada
triwulan I 2011 yang diperkirakan mencapai 6,4% terutama ditopang oleh
pertumbuhan ekspor yang masih tetap tinggi, sementara pertumbuhan konsumsi
rumah tangga dan investasi masih positif namun tidak sekuat triwulan
sebelumnya. Kinerja ekspor masih tetap tinggi sejalan dengan pemulihan ekonomi
global yang masih cukup kuat. Impor juga masih meningkat didorong oleh masih
kuatnya permintaan domestik dan eksternal yang masih menguat. Pertumbuhan
konsumsi rumah tangga sedikit tertahan dipengaruhi oleh penurunan pendapatan
15
riil khususnya untuk masyarakat menengah ke bawah. Perkembangan proyek-
proyek infrastruktur yang masih terbatas berdampak pada kegiatan investasi yang
cenderung tertahan. Di sisi eksternal, Neraca Pembayaran masih mencatat surplus
yang cukup besar. Transaksi modal dan finansial (TMF) diperkirakan masih
mencatat surplus, meskipun sempat terjadi outflow di awal triwulan yang dipicu
oleh kekhawatiran terhadap tekanan inflasi. Surplus TMF antara lain didukung
oleh FDI yang diperkirakan lebih tinggi dari periode yang sama tahun
sebelumnya, sementara aliran modal portofolio masih cukup kuat. Sejalan dengan
itu, transaksi berjalan juga masih mengalami surplus terutama didukung oleh
tingginya harga komoditas. Dengan perkembangan sisi eksternal yang masih solid
tersebut, posisi cadangan devisa pada 28 Februari 2011 tercatat sebesar 99,6
miliar dolar AS atau setara dengan 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar
negeri pemerintah. Sementara itu, posisi per 3 Maret 2011 tercatat sebesar 101,8
miliar dolar AS atau setara dengan 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar
negeri pemerintah.
Tren penguatan nilai tukar rupiah yang sempat tertahan pada Januari 2011
kembali berlanjut pada Februari 2011. Di samping kembali masuknya aliran
modal asing karena positifnya persepsi investor asing terhadap kuatnya
fundamental ekonomi Indonesia, penguatan rupiah juga sebagai respons positif
terhadap kenaikan BI Rate dan kebijakan Bank Indonesia untuk memberikan
ruang bagi penguatan rupiah sebagai komitmen kuat Bank Indonesia untuk
pengendalian inflasi. Pada Februari 2011 nilai tukar rupiah menguat sebesar 2,5%
(ptp) menjadi Rp8.818 per dolar AS pada akhir Februari 2011. Apresiasi rupiah
sejauh ini belum memengaruhi daya saing Indonesia dari sisi nilai tukar karena
pada periode yang sama negara-negara di kawasan juga mengalami penguatan
nilai tukar dan bahkan dengan tingkat yang lebih besar.
Inflasi IHK pada Februari 2011 sedikit menurun, namun risiko tekanan
inflasi ke depan masih cukup tinggi. Inflasi IHK pada Februari 2011 mencapai
0,13% (mtm) atau 6,84% (yoy), menurun dibandingkan bulan sebelumnya.
Koreksi harga beras dan cabai akibat membaiknya pasokan sejalan dengan
kebijakan Pemerintah, memengaruhi inflasi kelompok volatile foods yang
16
mengalami deflasi sebesar 0,48% (mtm). Sementara itu, tekanan inflasi kelompok
administered prices sejauh ini masih minimal yakni mencapai 0,32% (mtm) atau
5,34% (yoy). Namun, Bank Indonesia terus mewaspadai kenaikan inflasi
kelompok inti yang mulai meningkat yakni tercatat sebesar 0,31%(mtm) atau
4,36% (yoy), terutama yang selama ini dipengaruhi oleh tingginya inflasi volatile
foods dan kenaikan harga komoditas internasional. Indikator ekspektasi inflasi di
pasar keuangan mulai terindikasi menurun meski masih tinggi sebagai respons
dari kenaikan BI Rate, sementara ekspektasi inflasi di kalangan produsen,
pedagang, dan konsumen belum banyak terpengaruh. Karenanya, Bank Indonesia
akan terus menempuh langkah-langkah kebijakan moneter dan makroprudensial,
termasuk mengendalikan pengaruh imported inflation tersebut dengan penguatan
nilai tukar rupiah.
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga yang disertai terus membaiknya
fungsi intermediasi perbankan dan likuiditas perbankan yang terkendali. Industri
perbankan cukup stabil ditandai oleh terjaganya kondisi permodalan dan likuiditas
sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital
Adequacy Ratio) dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing
Loan) gross di bawah 5%. Intermediasi perbankan juga semakin membaik
tercermin dari pertumbuhan kredit yang terus meningkat, yakni pada Januari 2011
mencapai 24,6% (yoy), ditopang oleh pertumbuhan pada seluruh jenis kredit
termasuk kredit kepada UMKM. Tidak ada indikasi bahwa kenaikan BI Rate
pada Februari 2011 diikuti dengan kenaikan suku bunga perbankan. Sementara
itu, penerapan ketentuan GWM LDR dan GWM Valas per 1 Maret 2011 telah
dapat dipenuhi sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Kinerja pasar keuangan domestik membaik setelah sempat tertekan pada
awal tahun 2011. Perbaikan pasar keuangan antara lain dicerminkan pada kinerja
pasar saham yang mulai pulih dan relatif stabilnya nilai SUN. Di pasar uang,
likuiditas sedikit mengalami penurunan sejalan dengan rekening pemerintah yang
kontraktif dan kebijakan stabilisasi nilai tukar. Dari sisi transmisi kebijakan
moneter, suku bunga perbankan belum sepenuhnya merespons kenaikan BI rate di
bulan Februari 2011. Sejalan dengan itu, pergerakan suku bunga PUAB O/N juga
17
belum merespons sinyal kebijakan moneter. Namun, transmisi kebijakan moneter
diperkirakan masih akan terus berlanjut mengingat diperlukan waktu untuk
melakukan penyesuaian. Selain itu, upaya Bank Indonesia dalam meningkatkan
pengelolaan moneter juga akan semakin memperkuat transmisi kebijakan
moneter.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 4 Maret 2011
memutuskan untuk sementara ini mempertahankan BI Rate sebesar 6,75%.
Keputusan ini tidak mengubah arah kebijakan moneter Bank Indonesia yang
cenderung ketat sebagai upaya untuk pengendalian tekanan inflasi yang masih
tinggi. Bank Indonesia akan terus mewaspadai perkembangan inflasi ke depan dan
menyesuaikan tingkat BI Rate secara terukur pada waktunya. Upaya pengendalian
inflasi, khususnya tekanan imported inflation dari kenaikan komoditas
internasional, juga diperkuat dengan terbukanya ruang penguatan nilai tukar
Rupiah lebih lanjut sejalan dengan membaiknya fundamental ekonomi global. Di
samping itu, langkah pengendalian likuiditas melalui penerapan kebijakan
makroprudensial dan operasi moneter juga akan terus diperkuat dengan tetap
memperhatikan kebutuhan likuiditas perbankan yang sehat, termasuk dengan
mulai berlakunya ketentuan GWM LDR dan GWM Valas per 1 Maret 2011.
Melalui bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut, serta dukungan
komitmen Pemerintah yang kuat untuk mengatasi tingginya harga komoditas
pangan sebagaimana ditunjukkan oleh koordinasi pengendalian inflasi di tingkat
pusat dan daerah, Bank Indonesia meyakini inflasi IHK dapat dijaga pada
sasarannya yakni 5%±1% untuk tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012.
4.6 Stabilitas Nilai Tukar
Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Untuk menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan
pengelolaan akan kelancaran Sistem Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran
SPN ini juga perlu didukung oleh infrastruktur yang handal (robust). Jadi,
semakin lancar dan hadal SPN, maka akan semakin lancar pula transmisi
18
kebijakan moneter yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan
lancar maka muaranya adalah stabilitas nilai tukar.
BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai
otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan
SPN. Selain itu, BI juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan
perizinan serta melakukan pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari
kelancaran SPN yang bersifat penting secara sistem (systemically important),
bank sentral memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement antar bank
melalui infrastruktur BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai
penyelenggara sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu.
Bank sentral juga adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan
mengedarkan alat pembayaran tunai seperti uang rupiah. BI juga berhak
mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari
peredaran.
Berbekal kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari
komponen SPN ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di
Indonesia. BI juga menentukan standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-
pihak yang dapat menerbitkan dan/atau memproses alat-alat pembayaran tersebut.
BI juga berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan
sistem pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik suatu
sistem utuh atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki
kewenangan menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement.
Pada akhirnya BI juga mesti menetapkan kebijakan terkait pengendalian risiko,
efisiensi serta tata kelola (governance) SPN.
Di sisi alat pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya
lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah
serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari peredaran. Terkait dengan
peran BI dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang, Bank Indonesia senantiasa
berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat baik dalam
nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi
19
yang layak edar (clean money policy). Untuk mewujudkan clean money policy
tersebut, pengelolaan pengedaran uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia
dilakukan mulai dari pengeluaran uang, pengedaran uang, pencabutan dan
penarikan uang sampai dengan pemusnahan uang.
Sebelum melakukan pengeluaran uang Rupiah, terlebih dahulu dilakukan
perencanaan agar uang yang dikeluarkan memiliki kualitas yang baik sehingga
kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Perencanaan yang dilakukan Bank
Indonesia meliputi perencanaan pengeluaran emisi baru dengan
mempertimbangkan tingkat pemalsuan, nilai intrinsik serta masa edar uang. Selain
itu dilakukan pula perencanaan terhadap jumlah serta komposisi pecahan uang
yang akan dicetak selama satu tahun kedepan. Berdasarkan perencanaan tersebut
kemudian dilakukan pengadaan uang baik untuk pengeluaran uang emisi baru
maupun pencetakan rutin terhadap uang emisi lama yang telah dikeluarkan.
Uang Rupiah yang telah dikeluarkan tadi kemudian didistribusikan atau
diedarkan di seluruh wilayah melalui Kantor Bank Indonesia. Kebutuhan uang
Rupiah di setiap kantor Bank Indonesia didasarkan pada jumlah persediaan,
keperluan pembayaran, penukaran dan penggantian uang selama jangka waktu
tertentu. Kegitan distribusi dilakukan melalui sarana angkutan darat, laut dan
udara. Untuk menjamin keamanan jalur distribusi senantiasa dilakukan baik
melalui pengawalan yang memadai maupun dengan peningkatan sarana sistem
monitoring.
Kegiatan pengedaran uang juga dilakukan melalui pelayanan kas kepada
bank umum maupun masyarakat umum. Layanan kas kepada bank umum
dilakukan melalui penerimaan setoran dan pembayaran uang Rupiah. Sedangkan
kepada masyarakat dilakukan melalui penukaran secara langsung melalui loket-
loket penukaran di seluruh kantor Bank Indonesia atau melalui kerjasama dengan
perusahaan yang menyediakan jasa penukaran uang kecil.
Lebih lanjut, kegiatan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan Bank
Indonesia adalah pencabutan uang terhadap suatu pecahan dengan tahun emisi
tertentu yang tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan
uang dari peredaran dimaksudkan untuk mencegah dan meminimalisasi peredaran
20
uang palsu serta menyederhanakan komposisi dan emisi pecahan. Uang Rupiah
yang dicabut tersebut dapat ditarik dengan cara menukarkan ke Bank Indonesia
atau pihak lain yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Sementara itu untuk menjaga menjaga kualitas uang Rupiah dalam kondisi
yang layak edar di masyarakat, Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan
uang. Uang yang dimusnahkan tersebut adalah uang yang sudah dicabut dan
ditarik dari peredaran, uang hasil cetak kurang sempurna dan uang yang sudah
tidak layak edar. Kegiatan pemusnahan uang diatur melalui prosedur dan
dilaksanakan oleh jasa pihak ketiga yang dengan pengawasan oleh tim Bank
Indonesia (BI).
4.7 Peran Bank Indonesia Dalam Stabilitas Keuangan
Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama
Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem
keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia
dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan,
tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang
yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan
terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan
merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan
merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi
ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat
berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental
akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi
sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem
keuangan juga masih merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia dalam memelihara
stabilitas sistem keuangan? Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima
peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang
21
mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu
adalah:
Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter
antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank
Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan
berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak
langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui
penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan
kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan
stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut
inflation targeting framework.
Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja
lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga
perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi.
Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang
dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat
menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk
mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan
perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui
kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum
(law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-
negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang
kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan
untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong
kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor
perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur
Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.
Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle)
pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko
potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran.
22
Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion
risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia
mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam
sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan
menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama
sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan
keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem
pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk
mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia
dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas
keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat
memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential
shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank
Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk
mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut,
selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim
keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR).
Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral
dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem
keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi
normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi
masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik.
Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami
kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar
kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus
menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko
sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas
tersebut.
23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis menyajikan
kesimpulan dan sekaligus merupakan bab penutup dari penyusunan laporan
Makalah Ilmiah (MI) ini, adapun kesimpulan dari Makalah Ilmiah diantaranya :
1. Satu tujuan tunggal Bank Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.
2. Nilai tukar rupiah sepenuhnya ditentukan oleh pasar sehingga kurs yang
berlaku adalah benar-benar pencerminan keseimbangan antara kekuatan
penawaran dan permintaan.
3. Dalam menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia pada waktu-waktu
tertentu akan melakukan sterilisasi di pasar valuta asing, khususnya pada
saat terjadi gejolak kurs yang berlebihan.
4. BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai
otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan
kebijakan SPN. Selain itu, BI juga memiliki kewenangan memeberikan
persetujuan dan perizinan serta melakukan pengawasan (oversight) atas
SPN.
5. Fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LOLR) telah dikenal
sejak akhir abad ke-19. LOLR merupakan pemberian fasilitas pinjaman
kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan simaksudkan untuk
mencegah terjadinya krisis keuangan yang sistemik pada perbankan.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas dan pada bab-bab sebelumnya, adapun saran-
saran yang penulis berikan adalah agar kita harus memanfaatkan keberadaan Bank
Indonesia semaksimal mungkin. Mengingat salah satu fungsi bank adalah sebagai
24
financial intermediary, maka bank di tuntut untuk menjaga kinerjanya agar bank
memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Maka dari itu, dengan meningkatnya
kepercayaan masyarakat, maka fungsi bank sebagai agent of development dalam
rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja serta
kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Kepercayaan masyarakat terhadap bank
akan terwujud apabila bank mampu meningkatkan kinerjanya secara optimal.
25
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Indonesia
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/
Ikhtisar/Definisi+SSK/
Peni Sawitri, Eko Hartanto, (2007), Bank dan Lembaga Keuangan Lain,
Jakarta, Penerbit Gunadarma