Post on 04-Jan-2020
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Hernia
1. Definisi Hernia
Hernia dalam bahasa latin sering disebut rupture, merupakan suatu
penonjolan abnormal melewati suatu dinding rongga yang terbuka (Alex J, 2007).
Hernia pada dinding perut merupakan penyakit yang sering dijumpai dan
memerlukan suatu tindakan pembedahan. Hernia terdiri atas tiga bagian: kantong
Hernia, isi kantong dan pelapis hernia. Kantong hernia merupakan divertikulum
peritoneum dan mempunyai leher dan badan. Isi hernia dapat terdiri atas setiap
struktur yang ditemukan dan dapat merupakan sepotong kecil omentum sampai
organ padat yang besar. Pelapis hernia dibentuk dari lapisan-lapisan dinding
abdomen yang dilewati oleh kantong hernia (Lee C, 2004).
Pada hernia disebutkan rectus sheath lebih tipis dibanding normal, jumlah
proliferasi dari fibroblast menurun dibanding normal dan kolagenolisis meningkat
(Alex J, 2007).
2. Klasifikasi Menurut Lokasi
a. Hernia Inguinalis, terjadi bila kantong dan isi hernia masuk ke dalam Annulus
Internus.
b. Hernia Femoralis, terjadi bila kantong dan isi hernia masuk ke dalam Canalis
Femoralis melalui Annulus Femoralis yang berbentuk corong sejajar dengan
Vena Femoralis sepanjang kurang lebih 2 cm dan keluar pada Fosa Ovalis di
pelipatan paha.
6
7
c. Hernia hiatal, Bila benjolan terjadi pada diafragma.
d. Hernia ventral, Merupakan nama semua hernia yang terjadi pada
anterolateral, seperti hernia sikatriks.
e. Hernia incisional, terjadi bila benjolan keluar masuk melewati luka bekas
operasi.
f. Hernia umbilical, merupakan hernia congenital pada umbilicus yang hanya
ditutup dengan peritoneum dan kulit.
(Abrahamson J, 2002).
3. Gambaran Klinis
Sejarah dan pemeriksaan klinis sangat penting dalam menegakkan
diagnosa penyakit hernia. Anamnesa dari penyakit yang ada sehingga muncul
suatu hernia wajib dilakukan untuk mencari penyebabnya, seperti batuk lama,
obtruksi saluran kencing, ascites dan lain sebagainya. Keluhan penyakit ini
biasanya oleh karena pasien, orang tua ataupun dokter merasakan adanya
penonjolan pada daerah pangkal pada sampai dengan ke skrotum (Lee C, 2004).
Pada orang dewasa kadang dirasakan nyeri pada pangkal paha yang memberat
terutama setelah latihan atau batuk, juga adanya nyeri yang bersifat mendadak
seperti ditusuk, hal ini oleh karena distribusi dari nervus ilioinguinal sehingga
menyebabkan neuralgia pada daerah tersebut (Alex J, 2007). Pada kantong hernia
dapat berisi, organ-organ di dalam abdomen, seperti usus, mesenterium dan
cairan. Nyeri hebat, mual, muntah dan perut semakin membesar bila terjadi
tercekiknya usus (inkarserata) dan terjadi obstruksi usus yang pada akhirnya
menimbulkan kematian usus oleh karena terjepitnya usus beserta dengan
8
pembuluh darah disekitarnya (strangulata). Tidak jarang terjadi infeksi seluruh
abdominal (peritonitis generalisata) bila terjadi kebocoran usus (Henry S, 2005).
Pemeriksaan pada orang dewasa yang paling baik dengan posisi berdiri,
terkadang diperlukan batuk untuk melihat benjolan tersebut keluar (Alex J, 2007).
Pemeriksaan fisik dapat dengan berbagai cara, seperti thumb test dengan
menggunakan ibu jari pada annulus internus, finger test dengan jari telunjuk pada
daerah canalis inguinalis dan Zieman test dengan menggunakan jari ke dua, ketiga
dan keempat (Richard A, 2004). Bila pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan
tidak dapat keluar masuk lagi, serta ada warna kebiruan, kemungkinan telah
terjadi strangulata usus.
4. Penatalaksanaan
Semua pasien hernia inguinalis lateralis sebaiknya harus dilakukan
tindakan pembedahan, kecuali dengan faktor resiko tinggi atau terdapat kontra
indikasi, misal hernia yang sangat besar, usia yang lanjut dan keaadaan umum
yang jelek. Menunda tindakan pembedahan pada pasien hil dapat berakibat
terjadinya inkarserata, obstruksi dan strangulata (Soetamto W, 2003).
5. Patofisiologi
Berdasarkan terjadinya, dibagi atas hernia kongenital/bawaan dan hernia
yang didapat. Hernia diberi nama menurut letaknya, misalnya diafragma, inguinal,
umbilical, femoral, dan sebagainya. Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia
reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk. Isi hernia keluar jika berdiri atau
mengedan dan masuk lagi jika berbaring atau didorong masuk, tidak ada keluhan
nyeri atau gejala obstruksi usus (Alex J, 2007).
9
Bila isi kantung hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga disebut
hernia irreponibel. Hal ini biasanya disebabkan oleh perlekatan isi kantung pada
perineum kantong hernia. Bila tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun tanda
sumbatan usus akibat perlekatan tersebut disebut hernia akreta.Bila isi hernia
terjepit oleh cincin hernia, disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata.
Disebut hernia inkarserata bila isi kantung terperangkap, tidak dapat kembali ke
dalam rongga perut disertai akibat yang berupa gangguan pasase atau
vaskularisasi (Soetamto W, 2003).
6. Komplikasi
Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia.
Antara lain obstruksi usus sederhana hingga perforasi (lubangnya) usus yang
akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel atau peritonitis (Alex J, 2007).
7. Tanda dan gejala
Keluhan dan tanda klinik yang timbul bergantung pada keadaan isi hernia,
ada tidaknya perlekatan, maupun komplikasi yang telah terjadi. Pada hernia
reponibel, keluhan yang timbul hanya berupa benjolan di lipat paha yang muncul
pada waktu berdiri/batuk/bersin/mengedan, dan menghilang setelah berbaring
(Soetamto W, 2003).
Keluhan nyeri pada hernia ini jarang dijumpai, kalaupun ada dirasakan di
daerah epigastrium atau para umbilical berupa nyeri visceral akibat regangan pada
mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantung hernia.
Bila telah timbul inkarserasi atau strangulasi, dapat timbul nyeri yang hebat dan
keluhan mual muntah (Soetamto W, 2003).
10
B. Konsep Luka Dan Perawatannya
1. Pengertian Luka
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor, 2002).
Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ
tubuh lain (Kozier, 2005). Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respon stres simpatis
c. Perdarahan dan pembekuan darah
d. Kontaminasi bakteri
e. Kematian sel
2. Jenis-Jenis Luka
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka
itu dan menunjukkan derajat luka (Taylor, 2002).
a. Berdasarkan tingkat kontaminasi
1) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak
terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan,
pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya
menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase
tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar
1% - 5%.
2) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka
pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan
dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan
timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.
11
3) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh,
luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik
aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk
insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
4) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka.
b. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
1) Stadium I : Luka Superfisial “Non-Blanching Erithema” : yaitu luka yang
terjadi pada lapisan epidermis kulit.
2) Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial
dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
3) Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai
bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai
pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka
timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa
merusak jaringan sekitarnya.
4) Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon
dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas. Luka dan
Perawatannya
c. Berdasarkan waktu penyembuhan luka
1) Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep
penyembuhan yang telah disepakati.
12
2) Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
3. Mekanisme terjadinya luka
a. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam.
Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya
tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi).
b. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan
dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan
bengkak.
c. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda
lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru
atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh
kaca atau oleh kawat.
f. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh
biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian
ujung biasanya lukanya akan melebar.
g. Luka Bakar (Combustio)
4. Penyembuhan Luka
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan
memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari
proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan,
13
walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses
penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran
dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan
jaringan (Taylor, 2002).
a. Prinsip Penyembuhan Luka
Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka menurut Taylor (2002)
yaitu: (1) Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh
luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang, (2) Respon tubuh
pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga, (3) Respon tubuh secara
sistemik pada trauma, (4) Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka, (5)
Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk
mempertahankan diri dari mikroorganisme, dan (6) Penyembuhan normal
ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri.
b. Fase Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah suatu kualitas dari kehidupan jaringan hal ini
juga berhubungan dengan regenerasi jaringan. Fase penyembuhan luka
digambarkan seperti yang terjadi pada luka pembedahan (Kozier, 2005).
1) Menurut Kozier (2005):
a) Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 – 4 hari. Dua proses
utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan pagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar di daerah
luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan
pembentukan bekuan darah di daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh platelet
14
yang menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel.
Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Bekuan dan jaringan mati, scab
membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme.
Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Epitelial sel membantu
sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya
mikroorganisme.
Fase inflamatori juga memerlukan pembuluh darah dan respon seluler
digunakan untuk mengangkat benda-benda asing dan jaringan mati. Suplai darah
yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan
pada proses penyembuhan. Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit
bengkak.
Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah
interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama
lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme
dan sel debris melalui proses yang disebut pagositosis. Makrofag juga
mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung
epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat
proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses
penyembuhan.
b) Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah
pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke
daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali dengan
mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari
15
setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan
permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu
sebuah lapisan penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka.
Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang
memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast
berpindah dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring perkembangan
kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini disebut granulasi
jaringan yang lunak dan mudah pecah.
c) Fase Maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah
pembedahan. Fibroblast terus mensintesis kolagen. Kolagen menjalin dirinya,
menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan
elastisitas dan meninggalkan garis putih.
2) Menurut Taylor (2002)
a) Fase Inflamatory
Fase inflammatory dimulai setelah pembedahan dan berakhir hari ke 3 – 4
pasca operasi. Dua tahap dalam fase ini adalah Hemostasis dan Pagositosis.
Sebagai tekanan yang besar, luka menimbulkan lokal adaptasi sindrom. Sebagai
hasil adanya suatu konstriksi pembuluh darah, berakibat pembekuan darah untuk
menutupi luka. Diikuti vasodilatasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke
daerah luka yang dibatasi oleh sel darah putih untuk menyerang luka dan
menghancurkan bakteri dan debris. Lebih kurang 24 jam setelah luka sebagian
besar sel fagosit (makrofag) masuk ke daerah luka dan mengeluarkan faktor
16
angiogenesis yang merangsang pembentukan anak epitel pada akhir pembuluh
luka sehingga pembentukan kembali dapat terjadi.
b) Fase Proliferative
Dimulai pada hari ke 3 atau 4 dan berakhir pada hari ke-21. Fibroblast
secara cepat mensintesis kolagen dan substansi dasar. Dua substansi ini
membentuk lapislapis perbaikan luka. Sebuah lapisan tipis dari sel epitel
terbentuk melintasi luka dan aliran darah ada didalamnya, sekarang pembuluh
kapiler melintasi luka (kapilarisasi tumbuh). Jaringan baru ini disebut granulasi
jaringan, adanya pembuluh darah, kemerahan dan mudah berdarah.
c) Fase Maturasi
Fase akhir dari penyembuhan, dimulai hari ke-21 dan dapat berlanjut
selama 1 – 2 tahun setelah luka. Kollagen yang ditimbun dalam luka diubah,
membuat penyembuhan luka lebih kuat dan lebih mirip jaringan. Kollagen baru
menyatu, menekan pembuluh darah dalam penyembuhan luka, sehingga bekas
luka menjadi rata, tipis dan garis putih.
3) Menurut Menurut Potter (2003)
a) Devensive / Tahap Inflamatory
Dimulai ketika sejak integritas kulit rusak/terganggu dan berlanjut hingga
4-6 hari. Tahap ini terbagi atas Homeostasis, Respon inflamatori, Tibanya sel
darah putih di luka. Hemostasis adalah kondisi dimana terjadi konstriksi
pembuluh darah, membawa platelet menghentikan perdarahan. Bekuan
membentuk sebuah matriks fibrin yang mencegah masuknya organisme infeksius.
Respon inflammatory adalah saat terjadi peningkatan aliran darah pada luka dan
permeabilitas vaskuler plasma menyebabkan kemerahan dan bengkak pada lokasi
17
luka. Sampainya sel darah putih di luka melalui suatu proses, neutrophils
membunuh bakteri dan debris yang kemudian mati dalam beberapa hari dan
meninggalkan eksudat yang menyerang bakteri dan membantu perbaikan jaringan.
Monosit menjadi makrofag, selanjutnya makrofag membersihkan sel dari debris
oleh pagositosis, Meningkatkan perbaikan luka dengan mengembalikan asam
amino normal dan glukose. Epitelial sel bergerak dari dalam ke tepi luka selama
lebih kurang 48 jam.
b) Reconstruksion / Tahap Prolifrasi
Penutupan dimulai hari ke-3 atau ke-4 dari tahap defensive dan berlanjut
selama 2 – 3 minggu. Fibroblast berfungsi membantu sintesis vitamin B dan C,
dan asam amino pada jaringan kollagen. Kollagen menyiapkan struktur, kekuatan
dan integritas luka. Epitelial sel memisahkan sel-sel yang rusak.
c) Tahap Maturasi
Tahap akhir penyembuhan luka berlanjut selama 1 tahun atau lebih hingga
bekas luka merekat kuat.
5. Faktor Yang Mempengaruhi Luka
a. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang
tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu
sintesis dari faktor pembekuan darah.
b. Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien
memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral
seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status
18
nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk
meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah
jaringan adipose tidak adekuat.
c. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.
d. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya
sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit
pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat
karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk
sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang
menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus.
Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan
pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan
vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk
penyembuhan luka.
e. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara
bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat
bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh,
sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
f. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknyasuatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari
19
serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk
suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).
g. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah
pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi
akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal
yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
h. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula
darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi
penurunan protein-kalori tubuh.
i. Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas
penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
j. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti
neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama
dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.
1) Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap
cedera.
2) Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
3) Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri
penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan
tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.
20
6. Komplikasi Penyembuhan Luka
Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehiscence
dan eviscerasi.
a. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2–
7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent,
peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka,
peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.
b. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku
pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing
(seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan
(dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam
pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu.Jika perdarahan berlebihan
terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian
cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan.
c. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius.
Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah
keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan,
kurang nutrisi, ,multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan,
muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka.
Dehiscence luka dapat terjadi 4–5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di
21
daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup
dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan
untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.
7. Perkembangan Perawatan Luka
Profesional perawat percaya bahwa penyembuhan luka yang terbaik adalah
dengan membuat lingkungan luka tetap kering (Potter.P, 2003). Perkembangan
perawatan luka sejak tahun 1940 hingga tahun 1970, tiga peneliti telah memulai
tentang perawatan luka. Hasilnya menunjukkan bahwa lingkungan yang lembab
lebih baik daripada lingkungan kering. Winter (2003) mengatakan bahwa laju
epitelisasi luka yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang
dibiarkan kering. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal
pada luka superficial lebih cepat pada suasana lembab daripada kering, dan ini
merangsang perkembangan balutan luka modern ( Potter. P, 2003).
Perawatan luka lembab tidak meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya
tingkat infeksi pada semua jenis balutan le:mbab adalah 2,5 %, lebih baik
dibanding 9 % pada balutan kering (Thompson. J, 2005). Rowel (2007)
menunjukkan bahwa lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat
luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep penyembuhan
luka dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka dan memberikan
rangsangan bagi perkembangan balutan lembab ( Potter. P, 2003).
Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan tidak hanya berdasarkan
kebiasaan, melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka.
Penggunaan antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja karena efek toksinnya
terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya memakai normal saline
22
(Dewi, 2004). Citotoxic agent seperti povidine iodine, asam asetat, seharusnya
tidak secara sering digunakan untuk membersihkan luka karena dapat
menghambat penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit
debris dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan
sodium klorida dan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan. (Walker. D, 2006).
Tepi luka seharusnya bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi
luka ditandai dengan kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu
minggu. Kulit menjadi tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu.
Perawat dapat menduga tanda dari penyembuhan luka bedah insisi:
a. Tidak ada perdarahan dan munculnya tepi bekuan di tepi luka.
b. Tepi luka akan didekatkan dan dijepit oleh fibrin dalam bekuan selama satu
atau beberapa jam setelah pembedahan ditutup.
c. Inflamasi (kemerahan dan bengkak) pada tepi luka selama 1 – 3 hari.
d. Penurunan inflamasi ketika bekuan mengecil.
e. Jaringan granulasi mulai mempertemukan daerah luka. Luka bertemu dan
menutup selama 7 – 10 hari. Peningkatan inflamasi digabungkan dengan
panas dan drainase mengindikasikan infeksi luka. Tepi luka tampak meradang
dan bengkak.
f. Pembentukan bekas luka.
g. Pembentukan kollagen mulai 4 hari setelah perlukan dan berlanjut sampai 6
bulan atau lebih.
h. Pengecilan ukuran bekas luka lebih satu periode atau setahun. Peningkatan
ukuran bekas luka menunjukkan pembentukan kelloid.
23
8. Tujuan Perawatan Luka
a. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
b. Absorbsi drainase
c. Menekan dan imobilisasi luka
d. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
e. Mencegah luka dari kontaminasi bakteri
f. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
g. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
9. Bahan yang Digunakan dalam Perawatan Luka
a. Sodium Klorida 0,9 %
Sodium klorida adalah larutan fisiologis yang ada di seluruh tubuh karena
alasan ini tidak ada reaksi hipersensitivitas dari sodium klorida. Normal saline
aman digunakan untuk kondisi apapun (Lilley & Aucker, 2004). Sodium klorida
atau natrium klorida mempunyai Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini
tidak mempengaruhi sel darah merah (Handerson, 2002). Sodium klorida tersedia
dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah sodium klorida 0,9 %. Ini
adalah konsentrasi normal dari sodium klorida dan untuk alasan ini sodium
klorida disebut juga normal saline (Lilley & Aucker, 2004). Merupakan larutan
isotonis aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi
kering, menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka menjalani proses
penyembuhan serta mudah didapat dan harga relatif lebih murah (Diandra, 2003).
b. Larutan povodine-iodine.
Iodine adalah element non metalik yang tersedia dalam bentuk garam yang
dikombinasi dengan bahan lain Walaupun iodine bahan non metalik iodine
24
berwarna hitam kebiru-biruan, kilau metalik dan bau yang khas. Iodine hanya
larut sedikit di air, tetapi dapat larut secara keseluruhan dalam alkohol dan larutan
sodium iodide encer. Iodide tinture dan solution keduanya aktif melawan spora
tergantung konsentrasi dan waktu pelaksanaan (Lilley & Aucker, 2004). Larutan
ini akan melepaskan iodium anorganik bila kontak dengan kulit atau selaput lendir
sehingga cocok untuk luka kotor dan terinfeksi bakteri gram positif dan negatif,
spora, jamur, dan protozoa. Bahan ini agak iritan dan alergen serta meninggalkan
residu (Sodikin, 2002). Studi menunjukan bahwa antiseptik seperti povodine
iodine toxic terhadap sel (Thompson. J, 2005). Iodine dengan konsentrasi > 3 %
dapat memberi rasa panas pada kulit. Rasa terbakar akan nampak dengan iodine
ketika daerah yang dirawat ditutup dengan balutan oklusif kulit dapat ternoda dan
menyebabkan iritasi dan nyeri pada sisi luka. (Lilley & Aucker, 2004).
10. Merawat Luka
a. Pengertian
Merawat luka untuk mencegah trauma (injury) pada kulit, membran
mukosa atau jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma, fraktur, luka
operasi yang dapat merusak permukaan kulit.
b. Tujuan
1) Mencegah infeksi dari masuknya mikroorganisme ke dalam kulit dan
membran mukosa.
2) Mencegah bertambahnya kerusakan jaringan.
3) Mempercepat penyembuhan.
4) Membersihkan luka dari benda asing atau debris.
5) Drainase untuk memudahkan pengeluaran eksudat.
25
6) Mencegah perdarahan.
7) Mencegah excoriasi kulit sekitar drain.
c. Persiapan alat
1) Set steril yang terdiri atas :
a) Pembungkus
b) Kapas atau kasa untuk membersihkan luka
c) Tempat untuk larutan
d) Larutan anti septic
e) 2 pasang pinset
f) Gaas untuk menutup luka.
2) Alat-alat yang diperlukan lainnya seperti : extra balutan dan zalf.
3) Gunting.
4) Kantong tahan air untuk tempat balutan lama.
5) Plester atau alat pengaman balutan.
6) Selimut mandi jika perlu, untuk menutup pasien.
7) Bensin untuk mengeluarkan bekas plester.
d. Cara kerja
1) Jelaskan kepada pasien tentang apa yang akan dilakukan. Jawab pertanyaan
pasien.
2) Minta bantuan untuk mengganti balutan pada bayi dan anak kecil
3) Jaga privasi dan tutup jendela/pintu kamar
4) Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang menyenangkan. Bukan hanya
pada daerah luka, gunakan selimut mandi untuk menutup pasien jika perlu.
26
5) Tempatkan tempat sampah pada tempat yang dapat dijangkau. Bisa dipasang
pada sisi tempat tidur.
6) Angkat plester atau pembalut.
7) Jika menggunakan plester angkat dengan cara menarik dari kulit dengan hati-
hati kearah luka. Gunakan bensin untuk melepaskan jika perlu.
8) Keluarkan balutan atau surgipad dengan tangan jika balutan kering atau
menggunakan sarung tangan jika balutan lembab. Angkat balutan menjauhi
pasien.
9) Tempatkan balutan yang kotor dalam kantong plastik.
10) Buka set steril
11) Tempatkan pembungkus steril di samping luka
12) Angkat balutan paling dalam dengan pinset dan perhatikan jangan sampai
mengeluarkan drain atau mengenai luka insisi. Jika gaas dililitkan pada drain
gunakan 2 pasang pinset, satu untuk mengangkat gaas dan satu untuk
memegang drain.
13) Catat jenis drainnya bila ada, banyaknya jahitan dan keadaan luka.
14) Buang kantong plastik. Untuk menghindari dari kontaminasi ujung pinset
dimasukkan dalam kantong kertas, sesudah memasang balutan pinset
dijauhkan dari daerah steril.
15) Membersihkan luka menggunakan pinset jaringan atau arteri dan kapas
dilembabkan dengan anti septik, lalu letakkan pinset ujungnya labih rendah
daripada pegangannya. Gunakan satu kapas satu kali mengoles, bersihkan
dari insisi kearah drain :
a) Bersihkan dari atas ke bawah daripada insisi dan dari tengah keluar
27
b) Jika ada drain bersihakan sesudah insisi
c) Untuk luka yang tidak teratur seperti dekubitus ulcer, bersihkan dari tengah
luka kearah luar, gunakan pergerakan melingkar.
16) Ulangi pembersihan sampai semua drainage terangkat.
17) Olesi zalf atau powder. Ratakan powder diatas luka dan gunakan alat steril.
18) Gunakan satu balutan dengan plester atau pembalut
19) Amankan balutan dengan plester atau pembalut
20) Bantu pasien dalam pemberian posisi yang menyenangkan.
21) Angkat peralatan dan kantong plastik yang berisi balutan kotor. Bersihkan
alat dan buang sampah dengan baik.
22) Cuci tangan
23) Laporkan adanya perubahan pada luka atau drainage kepada perawat yang
bertanggung jawab. Catat penggantian balutan, kaji keadaan luka dan respon
pasien.
e. Membersihkan Daerah Drain
Daerah drain dibersihkan sesudah insisi. Prinsip membersihkan dari
daerah bersih ke daerah yang terkontaminasi karena drainnya yang basah
memudahkan pertumbuhan bakteri dan daerah daerah drain paling banyak
mengalami kontaminasi. Jika letak drain ditengah luka insisi dapat dibersihkan
dari daerah ujung ke daerah pangkal kearah drain. Gunakan kapas yang lain. Kulit
sekitar drain harus dibersihkan dengan antiseptik.
28
C. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan
maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP, diakses pada
tanggal 11/10/2011), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak
menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Menurut Potter (2005) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai
penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi
luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila
yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti
bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan melalui
menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Betz & Sowden, 2002).
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi
pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini
sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang
baik.
29
a. Usia
Menurut Potter (2005) usia adalah variabel penting yang mempengaruhi
nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang
ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak
dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan untuk memahami
nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan
nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai
kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orang
tua atau perawat.
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007).
Seorang perawat harus menggunakan teknik komunikasi yang sederhana
dan tepat untuk membantu anak dalam membantu anak dalam memahami dan
mendeskripsikan nyeri. Sebagai contoh, pertanyaan kepada anak, “ Beritahu saya
dimana sakitnya?” atau “apa yang dapat saya lakukan untuk menghilangkan sakit
kamu?”. Hal-hal diatas dapat membantu mengkaji nyeri dengan tepat.
Perawat dapat menunjukkan serangkaian gambar yang melukiskan
deskripsi wajah yang berbeda, seperti tersenyum, mengerutkan dahi atau
menangis. Anak-anak dapat menunjukkan gambar yang paling tepat untuk
menggambarkan perasaan mereka.
b. Jenis kelamin
Gill (2005) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai
perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih
30
diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam
ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis
dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Potter (2005)
mempelajari kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak
dibandingkan dengan pria.
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo,
2006).
Nyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi oleh latar
belakang budayanya (Marrie, 2002). Nyeri biasanya menghasilkan respon efektif
yang diekspresikan berdasarkan latar belakang budaya yang berbeda. Ekspresi
nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu tenang dan emosi (Marrie, 2002).
Pasien tenang umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki
sikap dapat menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan berekspresi
secara verbal dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan merintih dan
menangis (Marrie, 2002).
Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien
dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup
menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau meringis yang
berlebihan. Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa berekspresi secara
berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan nyeri klien dan
bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien lain.
31
Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami
mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu
untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai
budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai
pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam
mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam
menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare, 2003).
d. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan
nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak
memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga
tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan
nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan
nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak
berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat
menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan
nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer
& Bare, 2002).
e. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang
dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang
akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri,
akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih
32
parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan
dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat.
Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian
nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat
saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti pada nyeri berkepanjangan atau
kronis dan persisten.
Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya
menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu
pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu
mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu
mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).
f. Efek plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau
tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar benar
bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan efek positif.
Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan
keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak petunjuk
yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif intervensi
tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan
dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding
dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai
efek apapun. Hubungan pasien – perawat yang positif dapat juga menjadi peran
yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Smeltzer & Bare, 2002).
33
g. Keluarga dan Support Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri
sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi.
Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri
semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting
untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter, 2005).
h. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit
adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan
kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien
sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis.
Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber
koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat
digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan nyeri klien.
Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien mungkin
tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga atau teman.
Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan kesendirian. Kepercayaan
pada agama dapat memberi kenyamanan untuk berdo’a, memberikan banyak
kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang (Potter, 2005).
3. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut
biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cidera spesifik, jika
kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya
34
menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri
yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan (Brunner & Suddarth, 2006).
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan
dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering
didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih
(Smeltzer 2002).
4. Fisiologi Nyeri
Menurut Torrance & Serginson (2002), ada tiga jenis sel saraf dalam
proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut
konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf
ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri
dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat
khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh.
Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor.
Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat
kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi
p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan
menyampaikan impuls ke otak (Torrance & Serginson, 2002).
Menurut Smeltzer & Bare (2002) kornu dorsalis dari medula spinalis dapat
dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan
serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara
sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir
35
pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke
korteks serebri.
Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus
diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak
dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis
yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang
menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area
ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua
input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan
mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa
perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari
neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan
mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).
Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi
antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi
tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat.
Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis mengandung eukafalin
yang menghambat transmisi nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).
5. Nyeri post-operasi
Nyeri post operasi akan meningkatkan stres post operasi dan memiliki
pengaruh negatif pada penyembuhan nyeri. kontrol nyeri sangat penting sesudah
pembedahan, nyeri yang dibebaskan dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih
mudah dan dalam, dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan
36
kesesuaian analgesik harus digunakan untuk memastikan bahwa nyeri pasien post
operasi dapat dibebaskan (Torrance & Serginson, 2002).
Menurut Potter dan Perry (2003); Torrance dan Sergison (2002) secara
umum respon pasien terhadap nyeri terbagi atas: (1) respon perilaku, dan (2)
respon yang dimanifestasikan oleh otot dan kelenjar otonom.
Respon perilaku terdiri dari (1) secara vokal: merintih, menangis, menjerit,
bicara terengah-engah dan menggerutu, (2) ekspresi wajah: meringis, merapatkan
gigi, mengerutkan dahi, menutup rapat atau membuka lebar mata atau mulut,
menggigit bibir dan rahang tertutup rapat, (3) geraakan tubuh: kegelisahan,
immobilisasi, ketegangan otot, peningkatan pergerakan tangan dan jari,
melindungi bagian tubuh, (4) interaksi sosial: menghindari percakapan, hanya
berfokus pada untuk aktivitas penurunan nyeri, menghindari kontak sosial,
berkurangnya perhatian.
Respon yang dimanifestasikan oleh otot polos dan kelenjar-kelenjar
(Torrance & Serginson, 2002), terdiri atas (1) nausea, (2) muntah, (3) stasis
lambung, (4) penurunan motilitas usus, (5) peningkatan sekresi usus, (6)
gangguan aktivitas ginjal.
6. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
37
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk
dipastikan.
a. Skala intensitas nyeri deskritif
Gambar 1 : Skala intensitas nyeri deskritif
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang
lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking
dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas
nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa
paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat
38
VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan
nyeri.
b. Skala identitas nyeri numerik
Gambar 2 : Skala identitas nyeri numerik
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR,
2002).
c. Skala analog visual
Gambar 3 : Skala analog visual
39
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka (Potter, 2005).
d. Skala nyeri menurut bourbanis
Gambar 4 : Skala Nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah
dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi
40
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.
Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan
nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
D. Konsep Terapi Musik
1. Definisi Terapi Musik
Terapi musik adalah merupakan suatu intervensi non invasif yang dapat
digunakan untuk mempertahankan dan memulihkan kesehatan baik kesehatan
fisik maupun kesehatan mental. Alunan musik lembut yang menenangkan dan
stimulasi gelombang otak dengan frekuensi deep delta untuk merangsang kondisi
relaksasi yang dalam. Pada kondisi deep delta, akan terjadi pelepasan endorfin
yang merupakan zat anestesi alami (Erwin Eka, 2011).
Menurut (Potter, 2005) Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen,
seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari
tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat
pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo
merupakan upaya untuk melepaskan endorfin.
Pengaruh musik yang besar bagi pikiran dan tubuh kita. Contohnya, ketika
Anda mendengarkan suatu alunan musik (meskipun tanpa lagu), seketika Anda
41
bisa merasakan efek dari musik tersebut. Ada musik yang membuat Anda
gembira, sedih, terharu, terasa sunyi, semangat, mengingatkan masa lalu dan lain-
lain.
Salah satu figur yang paling berperan dalam terapi musik di awal abad ke-
20 adalah Eva Vescelius yang banyak mempublikasikan terapi musik lewat
tulisan-tulisannya. Ia percaya bahwa objek dari terapi musik adalah melakukan
penyelarasan atau harmonisasi terhadap seseorang melalui vibrasi. Demikian pula
dengan Margaret Anderton, seorang guru piano berkebangsaan Inggris, yang
mengemukakan tentang efek alat musik (khusus untuk pasien dengan kendala
psikologis) karena hasil penelitiannya menunjukkan bahwa timbre (warna suara)
musik dapat menimbulkan efek terapeutik.
2. Jenis Terapi Musik
Pada dasarnya hampir semua jenis musik bisa digunakan untuk terapi
musik. Namun kita harus tahu pengaruh setiap jenis musik terhadap pikiran.
Setiap nada, melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya musik akan
memberi pengaruh berbeda kepada pikiran dan tubuh kita. Dalam terapi musik,
komposisi musik disesuaikan dengan masalah atau tujuan yang ingin kita capai.
Musik sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Musik memiliki tiga
bagian penting yaitu beat, ritme, dan harmony. Beat mempengaruhi tubuh, ritme
mempengaruhi jiwa, sedangkan harmony mempengaruhi roh.
Contoh paling nyata bahwa beat sangat mempengaruhi tubuh adalah dalam
konser musik rock. Bisa dipastikan tidak ada penonton maupun pemain dalam
konser musik rock yang tubuhnya tidak bergerak. Semuanya bergoyang dengan
dahsyat, bahkan cenderung lepas kontrol. Kita masih ingat dengan "head banger",
42
suatu gerakan memutar-mutar kepala mengikuti irama music rock yang kencang.
Dan tubuh itu mengikutinya seakan tanpa rasa lelah.
Jika hati kita sedang susah, cobalah mendengarkan musik yang indah,
yang memiliki irama (ritme) yang teratur. Perasaan kita akan lebih enak dan
enteng. Bahkan di luar negeri, pihak rumah sakit banyak memperdengarkan lagu-
lagu indah untuk membantu penyembuhan para pasiennya. Itu suatu bukti, bahwa
ritme sangat mempengaruhi jiwa manusia.
Sedangkan harmony sangat mempengaruhi roh. Jika kita menonton film
horor, selalu terdengar harmony (melodi) yang menyayat hati, yang membuat bulu
kuduk kita berdiri. Dalam ritual-ritual keagamaan juga banyak digunakan
harmony yang membawa roh manusia masuk ke dalam alam penyembahan. Di
dalam meditasi, manusia mendengar harmony dari suara-suara alam di
sekelilingnya.
Terapi Musik yang efektif menggunakan musik dengan komposisi yang
tepat antara beat, ritme dan harmony yang sesuaikan dengan tujuan dilakukannya
terapi musik. Jadi memang terapi musik yang efektif tidak bisa menggunakan
sembarang musik.
3. Macam-macam Terapi musik
Dalam dunia penyembuhan dengan musik, dikenal 2 macam terapi musik,
yaitu:
a. Terapi Musik Aktif.
Dalam terapi musik aktif pasien diajak bernyanyi, belajar main
menggunakan alat musik, menirukan nada-nada, bahkan membuat lagu singkat.
Dengan kata lain pasien berinteraksi aktif dengan dunia musik. Untuk melakukan
43
Terapi Musik katif tentu saja dibutuhkan bimbingan seorang pakar terapi musik
yang kompeten.
b. Terapi Musik Pasif.
Inilah terapi musik yang murah, mudah dan efektif. Pasien tinggal
mendengarkan dan menghayati suatu alunan musik tertentu yang disesuaikan
dengan masalahnya. Hal terpenting dalam Terapi Musik Pasif adalah pemilihan
jenis musik harus tepat dengan kebutuhan pasien.
4. Manfaat Terapi Musik
Ada banyak sekali manfaat terapi musik. Jika disebutkan satu per satu
semuanya, tentu saja butuh banyak waktu. Di bawah ini kami sebutkan sepuluh
manfaat utama terapi musik menurut para pakar terapi musik.
a. Relaksasi, Mengistirahatkan Tubuh dan Pikiran
Manfaat yang pasti dirasakan setelah melakukan terapi musik adalah
perasaan rileks, tubuh lebih bertenaga dan pikiran lebih fresh. Terapi musik
memberikan kesempatan bagi tubuh dan pikiran untuk mengalami relaksasi yang
sempurna. Dalam kondisi relaksasi (istirahat) yang sempurna itu, seluruh sel
dalam tubuh akan mengalami re-produksi, penyembuhan alami berlangsung,
produksi hormon tubuh diseimbangkan dan pikiran mengalami penyegaran.
b. Meningkatkan Kecerdasan
Sebuah efek terapi musik yang bisa meningkatkan intelegensia seseorang
disebut Efek Mozart. Hal ini telah diteliti secara ilmiah oleh Frances Rauscher et
al dari Universitas California. Penelitian lain juga membuktikan bahwa masa
dalam kandungan dan bayi adalah waktu yang paling tepat untuk menstimulasi
otak anak agar menjadi cerdas. Hal ini karena otak anak sedang dalam masa
44
pembentukan, sehingga sangat baik apabila mendapatkan rangsangan yang positif.
Ketika seorang ibu yang sedang hamil sering mendengarkan terapi musik, janin di
dalam kandungannya juga ikut mendengarkan. Otak janin pun akan terstimulasi
untuk belajar sejak dalam kandungan. Hal ini dimaksudkan agar kelak si bayi
akan memiliki tingkat intelegensia yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak
yang dibesarkan tanpa diperkenalkan pada musik.
c. Meningkatkan Motivasi
Motivasi adalah hal yang hanya bisa dilahirkan dengan perasaan dan mood
tertentu. Apabila ada motivasi, semangat pun akan muncul dan segala kegiatan
bisa dilakukan. Begitu juga sebaliknya, jika motivasi terbelenggu, maka semangat
pun menjadi luruh, lemas, tak ada tenaga untuk beraktivitas. Dari hasil penelitian,
ternyata jenis musik tertentu bisa meningkatkan motivasi, semangat dan
meningkatkan level energi seseorang.
d. Pengembangan Diri
Musik ternyata sangat berpengaruh terhadap pengembangan diri
seseorang. Hati-hati, karena musik yang Anda dengarkan menentukan kualitas
pribadi Anda. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa orang yang punya
masalah perasaan, biasanya cenderung mendengarkan musik yang sesuai dengan
perasaannya. Misalnya orang yang putus cinta, mendengarkan musik atau lagu
bertema putus cinta atau sakit hati. Dan hasilnya adalah masalahnya menjadi
semakin parah. Dengan mengubah jenis musik yang didengarkan menjadi musik
yang memotivasi, dalam beberapa hari masalah perasaan bisa hilang dengan
sendirinya atau berkurang sangat banyak. Dan jika Anda mau, Anda bisa
45
mempunyai kepribadian yang Anda inginkan dengan cara mendengarkan jenis
musik yang tepat.
e. Meningkatkan Kemampuan Mengingat
Terapi musik bisa meningkatkan daya ingat dan mencegah kepikunan. Hal
ini bisa terjadi karena bagian otak yang memproses musik terletak berdekatan
dengan memori. Sehingga ketika seseorang melatih otak dengan terapi musik,
maka secara otomatis memorinya juga ikut terlatih. Atas dasar inilah terapi musik
banyak digunakan di sekolah-sekolah modern di Amerika dan Eropa untuk
meningkatkan prestasi akademik siswa. Sedangkan di pusat rehabilitasi, terapi
musik banyak digunakan untuk menangani masalah kepikunan dan kehilangan
ingatan.
f. Kesehatan Jiwa
Seorang ilmuwan Arab, Abu Nasr al-Farabi (873-950M) dalam bukunya
''Great Book About Music'', mengatakan bahwa musik membuat rasa tenang,
sebagai pendidikan moral, mengendalikan emosi, pengembangan spiritual,
menyembuhkan gangguan psikologis. Pernyataannya itu tentu saja berdasarkan
pengalamannya dalam menggunakan musik sebagai terapi. Sekarang di zaman
modern, terapi musik banyak digunakan oleh psikolog maupun psikiater untuk
mengatasi berbagai macam gangguan kejiwaan, gangguan mental atau gangguan
psikologis.
g. Mengurangi Rasa Sakit
Musik bekerja pada sistem saraf otonom yaitu bagian sistem saraf yang
bertanggung jawab mengontrol tekanan darah, denyut jantung dan fungsi otak,
yang mengontrol perasaan dan emosi. Menurut penelitian, kedua sistem tersebut
46
bereaksi sensitif terhadap musik. Ketika kita merasa sakit, kita menjadi takut,
frustasi dan marah yang membuat kita menegangkan otot-otot tubuh, hasilnya rasa
sakit menjadi semakin parah. Mendengarkan musik secara teratur membantu
tubuh relaks secara fisik dan mental, sehingga membantu menyembuhkan dan
mencegah rasa sakit. Dalam proses persalinan, terapi musik berfungsi mengatasi
kecemasan dan mengurangi rasa sakit. Sedangkan bagi para penderita nyeri kronis
akibat suatu penyakit, terapi musik terbukti membantu mengatasi rasa sakit.
h. Menyeimbangkan Tubuh
Menurut penelitian para ahli, stimulasi musik membantu menyeimbangkan
organ keseimbangan yang terdapat di telinga dan otak. Jika organ keseimbangan
sehat, maka kerja organ tubuh lainnya juga menjadi lebih seimbang dan lebih
sehat.
i. Meningkatkan Kekebalan Tubuh
Dr John Diamond dan Dr David Nobel, telah melakukan riset mengenai
efek dari musik terhadap tubuh manusia dimana mereka menyimpulkan bahwa:
Apabila jenis musik yang kita dengar sesuai dan dapat diterima oleh tubuh
manusia, maka tubuh akan bereaksi dengan mengeluarkan sejenis hormon
(serotonin ) yang dapat menimbulkan rasa Nikmat dan senang sehingga tubuh
akan menjadi lebih kuat (dengan meningkatnya sistem kekebalan tubuh) dan
membuat kita menjadi lebih sehat.
j. Meningkatkan Olahraga
Mendengarkan musik selama olahraga dapat memberikan olahraga yang
lebih baik dalam beberapa cara, di antaranya meningkatkan daya tahan,
47
meningkatkan mood dan mengalihkan Anda dari setiap pengalaman yang tidak
nyaman selama olahraga.
5. Prosedur pemberian terapi musik
a. Persiapkan alat-alat yang dibutuhkan seperti walkman, headphone, dll.
b. Memilih jenis musik yang akan diperdengarkan.
c. Ciptakan suasana tenang, bebas dari gangguan, dapat juga disertai dengan
aroma lilin maupun wangi aroma terapi guna membantu menenangkan tubuh.
d. Perdengarkan musik slow dengan irama (ritme) yang teratur.
e. Lakukan terapi musik selama ± 10 menit setiap hari selama intervensi
perawatan luka.
f. Kaji intensitas nyeri (skala nyeri).
g. Bersihkan dan rapikan alat.
48
49
E. Kerangka Konseptual
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri :UsiaJenis kelaminBudayaAnsietasPengalaman masa lalu
dengan nyeriEfek plaseboKeluarga dan support
sosialPola koping
Intensitas nyeri akibat perawatan luka pasien post operasi hernia
Terapi musik
Syaraf Auditory↓
Cerebral Korteks↓
Sinkonasi gelombang otak dengan frekuensi deep delta
Tenang (Rileks)
Persepsi +
Respon nyeri
Intensitas nyeri
Alur saraf desenden↓
Pelepasan endorfin dan dinorfin↓
Zat anastesi alami
Tidak nyeri (0) Nyeri ringan (1-3) Nyeri sedang (4-6) Nyeri berat terkontrol (7-9)
Nyeri berat tidak terkontrol (10)
Respon nyeri
PsikologisMerintih, menangis, menjerit, dll
Meringis, mengerutkan dahi, dll
Kegelisahan, ketegangan otot, dll
Menghindari kontak sosial
Fisiologis Tekanan darah ↑
Nadi ↑
Rerata pernafasan ↑
50
Keterangan : ditelitiTidak ditelitiArah hubungan
Gambar 5 : Kerangka konseptual pengaruh terapi musik terhadap intensitas nyeri akibat perawatan luka post operasi hernia di Zal-D RSUD Dr. Slamet Martodirjo Pamekasan
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian (Setiadi, 2007).
Sesuai dengan kerangka konseptual yang dikemukakan, maka hipotesis yang
diajukan adalah :
H1 : Ada pengaruh yang signifikan pada pemberian terapi musik terhadap
intensitas nyeri akibat perawatan luka pada pasien post operasi hernia di
Zal-D RSUD Dr. Slamet Martodirjo Pamekasan.
H0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan pada pemberian terapi musik terhadap
intensitas nyeri akibat perawatan luka pada pasien post operasi hernia di
Zal-D RSUD Dr. Slamet Martodirjo Pamekasan.
51