Post on 26-Oct-2015
description
VISUM et REPERTUM
A. Definisi Visum et Repertum
Visum et Repertum yakni berasal dari kata “visual” yang berarti melihat dan
“repertum” yaitu melaporkan. Sehingga jika digabungkan dari arti harafiah ini
adalah apa yang dilihat dan diketemukan sehingga Visum et Repertum
merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan
sumpah, mengenai apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat
atau fisik ataupun barang bukti lain,kemudian dilakukan pemeriksaan menurut
pengetahuan yang sebaik-baiknya1.
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medic terhadap manusia
baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia,
berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan2.
Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan
langsung tentang visum et repertum, yaitu pada Staatsblad ( Lembaran
Negara ) tahun 1937 No. 350 yang menyatakan :
Pasal 1 :
Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang
diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran di Negeri Belanda ataupun
di Indonesia, merupakan alat bukti yang syah dalam perkara-perkara
pidana, selama visa reperta tersebut berisikan keterangan mengenai hal-hal
yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang diperiksa2.
B. Jenis dan Bentuk Visum et Repertum
Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan
(termasuk keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum
jenazah, dan visum et repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah
visum et repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus
sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai
jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi3.
Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas
sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan
pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat
mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan
bahasa Indonesia3.
1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan2.
Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum
ada surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat
catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan
jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et repertum.
Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke
penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et repertum.
Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke dokter sebelum
melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat.
Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara
institusi kesehatan dengan penyidik.
Di dalam bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban
sewaktu datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada
pemeriksaan fisik berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta
ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan,
riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat
perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat
dimasukkan, sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak
dimasukkan ke dalam visum et repertum.
2. Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila2
Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya
pada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam
hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan
wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang belum cukup
umur, serta perbuatan cabul).
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan
adanya persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk
keracunan), serta usia korban. Selain itu juga diharapkan memeriksa adanya
penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai
akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian
adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang
harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Dalam kesimpulan diharapkan
tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda
persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya,
dan ada atau tidaknya tanda kekerasan. Bila ditemukan adanya tanda-tanda
ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa darah pada kuku
korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui
pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.
3. Visum et Repertum Jenazah2
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang
memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu
jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum
harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar
(pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah
jenazah).
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :
a. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak
keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.
b. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan
membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala
dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan
histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya.
Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis
kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian
seperti tersebut di atas.
4. Visum et Repertum Psikiatrik2
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1)
KUHP yang berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam
tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain
orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga
terkena pasal ini.
Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana,
bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga
menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga
manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya
seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila
pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah
sakit jiwa atau rumah sakit umum.
Dalam Keadaan tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan
sedangkan ia diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan
pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta evaluasi kejiwaan saksi
tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.
C. Fungsi dan tujuan Visum et Repertum
Maksud pembuatan VeR adalah sebagai salah satu barang bukti (corpus delicti)
yang sah di pengadilan karena barang buktinya sendiri telah berubah pada saat
persidangan berlangsung. Jadi VeR merupakan barang bukti yang sah karena
termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 1841.
Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu1:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Keterangan terdakwa
- Surat-surat
- Petunjuk
Ada 3 tujuan pembuatan VeR, yaitu1:
- Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim
- Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat
- Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk membuat
kesimpulan VeR yang lebih baru
Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat
meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi
kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti,
apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya
terhadap suatu hasil pemeriksaan.
D. Bagian bagian dari Visum et Repertum
Sudut kanan atas:
a. alamat tujuan SPVR(Rumah sakit atau dokter), dan tgl SPVR.
b. Rumah sakit (Direktur) :
- Kepala bagian / SMF Bedah
- Kepala bagian / SMF Obgyn
- Kepala bagian / SMF Penyakit dalam
- Kepala bagian I.K.Forensik.
Sudut kiri atas:
a. alamat peminta VetR,
b. nomor surat, hal dan
c. lampiran.
Bagian tengah :
a. Disebutkan SPVR korban hidup / mati
b. Identitas korban (nama, umur, kelamin, kebangsaan, alamat,
agama dan pekerjaan).
c. Peristiwanya (modus operandi) antara lain
*Luka karena . . . . . . . . . . . . . . . .
*Keracunan (obat/racun . . . . . . . . . .).
*Kesusilaan (perkosaan/perzinahan/cabul).
*Mati karena (listrik, tenggelam, senjata api/tajam/tumpul).
1. PEMBUKAAN
Kata Projustitia dicantumkan disudut kiri atas, dan dengan demikian visum
et repertum tidak perlu bermaterai, sesuai dengan pasal 136 KUHAP.
2. PENDAHULUAN.
Bagian ini memuat antara lain :
- Identitas pemohon visum et repertum.
- Identitas dokter yang memeriksa / membuat visum et repertum.
- Tempat dilakukannya pemeriksaan (misalnya rumah sakit X Surabaya).
- Tanggal dan jam dilakukannya pemeriksaan.
- Identitas korban.
- Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, dimana korban
dirawat, waktu korban meninggal.
- Keterangan mengenai orang yang menyerahkan / mengantar korban pada
dokter dan waktu saat korban diterima dirumah sakit.
2. PEMBERITAAN.
- Identitas korban menurut pemeriksaan dokter, (umur, jenis kel,TB/BB),
serta keadaan umum.
- Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban.
- Tindakan-tindakan / operasi yang telah dilakukan.
- Hasil pemeriksaan tambahan.
Syarat-syarat :
- Memakai bahasa Indonesia yg mudah dimengerti orang awam.
- Angka harus ditulis dengan hurup, (4 cm ditulis empat sentimeter).
- Tidak dibenarkan menulis diagnose luka (luka bacok, luka tembak dll).
- Luka harus dilukiskan dengan kata-kata.
- Memuat hasil pemeriksaan yang objektif (sesuai apa yang dilihat dan
ditemukan).
3. KESIMPULAN.
- Bagian ini berupa pendapat pribadi dari dokter yang memeriksa, mengenai
hasil pemeriksaan sesuai dgn pengetahuan yang sebaik-baiknya.
- Seseorang melakukan pengamatan dengan kelima panca indera
(pengelihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan perabaan).
- Sifatnya subjektif.
4. PENUTUP
- Memuat kata “Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan
mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan”.
- Diakhiri dengan tanda tangan, nama lengkap/NIP dokter.
Struktur Visum et Repertum
Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai
berikut3 :
1. Pro Justitia
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak
perlu bermeterai.
2. Pendahuluan
Pendahuluan memuat: identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan
pukul diterimanya permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan
pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur,
bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat
dilakukan pemeriksaan.
3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati,
terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa.
Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga
tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak
anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis
tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis
permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristik serta
ukurannya. Rincian tersebut terutama penting pada pemeriksaan korban
mati yang pada
saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan
korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:
a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang
dikeluhkan dan apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang
penyakit yang diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak
pidana/didugakekerasan.
b. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban
hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang
keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
tindak pidananya (status lokalis).
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan
sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya
dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat
dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu
diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang tepat/ tidaknya
penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang diambil.
d. Keadaan akhir korban’, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan
merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus
diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur
yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik
luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang
diberikan.
4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR,
dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya VeR tersebut. Pada
bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan
dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak
didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan
dalam menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis
hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan VeR adalah
pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh
suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat
pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi,
standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR
harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya
dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah hanya
resume hasil pemeriksaan,melainkan lebih ke arah interpretasi hasil
temuan dalam kerangka ketentuan hokum-hukum yang berlaku.
5. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat
dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat
dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan
pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR.
E. Penentuan Derajat dan Kualifikasi Luka
Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah VeR perlukaan
adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum, VeR dikatakan
baik apabila substansi yang terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik
rumusan dalam KUHP. Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar
belakang individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikutsertaan
dalam pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya3.
Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak padakorban dari segi fisik, psikis,
sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun
jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting bagi
hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai
dengan rasa keadilan. Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan
yang terdiri dari tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu
penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan
(pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang menimbulkan luka
berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut
diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1)
KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang
menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal
tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter yang memeriksa cedera harus
menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam, termasuk pasal mana
kecederaan korban yang bersangkutan. Rumusan hukum tentang penganiayaan
ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa
“penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai
penganiayaan ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat
sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka
luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Selanjutnya rumusan
hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1)
KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit. Sehingga bila kita
memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut,
maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut2.
Kata penganiayaan merupakan istilah hukum dan tidak dikenal dalam istilah
kedokteran. Dan karena penganiayaan biasanya menimbulkan luka, maka dalam
kesimpulan visum et repertum kata penganiayaan diganti dengan kata “luka”.
Dengan demikian kualifikasi luka menjadi 3:
- Luka yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian
- Luka yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian
- Luka yang tergolong luka berat
Menurut KUHP pasal 90 yang tergolong luka berat adalah3 :
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
2. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencaharian
3. Kehilangan salah satu panca indera
4. Mendapat cacat berat
5. Menderita sakit lumpuh
6. Terganggu daya piker selama 4 minggu lebih
7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
F. Prosedur, permintaan, penerimaan dan penyerahan Visum et Repertum
Pihak yang berhak meminta Ver3:
- Penyidik, sesuai dengan pasal I ayat 1, yaitu pihak kepolisian yang
diangkat negara untuk menjalankan undang-undang.
- Di wilayah sendiri, kecuali ada permintaan dari Pemda Tk II.
- Tidak dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat.
- Pada mayat harus diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C.
Syarat pembuat 3:
- Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut)
- Di wilayah sendiri
- Memiliki SIP
- Kesehatan baik
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk
membuat VeR korban hidup, yaitu:
1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Langsung menyerahkannya kepada dokter, tidak boleh dititip melalui korban
atau keluarganya. Juga tidak boleh melalui jasa pos.
3. Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter.
4. Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter.
5. Ada identitas korban.
6. Ada identitas pemintanya.
7. Mencantumkan tanggal permintaan.
8. Korban diantar oleh polisi atau jaksa.
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk
membuat VeR jenazah, yaitu:
1. Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.
2. Harus sedini mungkin.
3. Tidak bisa permintaannya hanya untuk pemeriksaan luar.
4. Ada keterangan terjadinya kejahatan.
5. Memberikan label dan segel pada salah satu ibu jari kaki.
6. Ada identitas pemintanya.
7. Mencantumkan tanggal permintaan.
8. Korban diantar oleh polisi.
Saat menerima permintaan membuat VeR, dokter harus mencatat tanggal dan
jam, penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama petugas yang mengantar
korban. Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan hasil VeR kepada penyidik
selama 20 hari. Bila belum selesai, batas waktunya menjadi 40 hari dan atas
persetujuan penuntut umum.
Lampiran visum
- Fotografi forensik
- Identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut
- Penjelasan istilah kedokteran
- Hasil pemeriksaan lab forensik (toksikologi, patologi, sitologi,
mikrobiologi)
Contoh VisumPekanbaru, 24 Agustus 2010
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
No. /TUM/VER/VIII/2010
Yang bertandatangan di bawah ini, Dedi Afandi, dokter spesialis forensik pada
RSUD Arifin Achmad, atas permintaan dari kepolisian sector Teluk Belanga dengan
suratnya nomor B/37/VeR/VIII/Reskrim tertanggal 24 Agustus 2010 maka dengan
ini menerangkan bahwa pada tanggal dua puluh empat Agustus tahun dua ribu
sepuluh pukul Sembilan lewat lima menit Waktu Indonesia Bagian Barat.bertempat
di RSUD Arifin Achmad, telah melakukan pemeriksaan korban dengan nomor
registrasi 123456 yang menurut surat tersebut adalah:
Nama : xxxx
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Warga negara : Indonesia
Pekerjaan : xxxx
Agama : xxxx
Alamat : xxxx
HASIL PEMERIKSAAN:
1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang.
Korban mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah kejadian
pemukulan pada kepala ————————————————————
2. Pada korban ditemukan ————————————————————
a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang,
empat senti meter diatas batas dasar tulang, terdapat luka terbuka, tepi
tidak rata, dinding luka kotor, sudut luka tumpul, berukuran tiga senti
meter kali satu senti meter, disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran
empat sentimeter kali empat senti meter —————————————
b. Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka terbuka tepi
tidak rata, dasar jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul,
berukuran dua senti meter kali setengah sentimeter dasar otot.—————
c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada pertengahan
serta nyeri pada penekanan. ———————————----------------------
d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya
cedera kepala ringan. ——————————————--------------------
3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak
menunjukkan adanya patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan
atas kiri menunjukkan adanya patah tulang lengan atas pada pertengahan.
4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan
pengobatan. ———————————————————————----
5. Korban dipulangkan dengan anjuran kontrol seminggu lagi.——————
KESIMPULAN :
Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan
cedera kepala ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan dagu serta patah
tulang tertutup pada lengan atas kiri akibat kekerasan tumpul. Cedera tersebut telah
mengakibatkan penyakit / halangan dalam menjalankan pekerjaan
jabatan/pencaharian untuk sementara waktu. Demikianlah visum et repetum ini
dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan keilmuan yang sebaik-baiknya,
mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dokter Pemeriksa
DAFTAR PUSTAKA
1. Atmadja DS. Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup
pada Kasus Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra
Keluarga Kelapa Gading, Rabu 10 Juli 2004
2. Budiyanto, Arif; Widiatmaka, Wibisana. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik.
Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Kedokteran Universitas Indonesia
3. Hoediyanto; A. Hariadi. 2010. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Surabaya. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.