Post on 31-Jan-2016
description
BAB 1
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%)
dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. Berdasarkan data
laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring menduduki urutan ke-5 dari tumor
ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor kelenjar getah
bening dan tumor kulit.1
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena
nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak dibawah dasar tengkorak serta
berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke
posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan
ahli, sering kali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan matastasis ke leher lebih sering
ditemukan sebagai gejala pertama.1
Sangat mencolok perbedaan prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal
dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4% untuk
stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV. Untuk dapat berperan dalam pencegahan,
deteksi dini dan rehabilitasi perlu diketahui seluruh aspeknya meliputi epidemiologi, etiologi,
diagnostik, pemeriksaan serologi, histopatologi, terapi dan pencegahan, serta perawatan paliatif
pasien yang pengobatannya tidak berhasil.1
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOPHARYNX
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral.
Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus
basilaris, batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra
servikal dan batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan
orofaring.1,2,3
Batas nasofaring:
Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat
subjektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- Mukosa lanjutan dari mukosa atas
Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosenmulleri
Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka
nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba
eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya
terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak
foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang
menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga
tengah.
Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini
2
mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis,
kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan
tempat penyebaran tumor ke intrakranial.
Gambar 1 Anatomi nasofaring
Gambar 2 Fossa of Rosenmuller
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring
akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan,
muntah, mengucapkan kata-kata tertentu.1,2,3
Struktur penting yang ada di Nasopharing
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
3
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan
karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan
karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari
musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba
auditiva terutama ketika menguap atau menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi
Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada
pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing
karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei
Gambar 3 Nasofaring
Fungsi nasofaring :1,2,3
Sebagai jalan udara pada respirasi
Jalan udara ke tuba eustachii
Resonator
4
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
2.2. DEFINISI
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang
cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan
lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring.
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis
ruangan dibelakang hidung (nasofaring).1,4,5,6
2.3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di
berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang
belum berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya
disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu kuman
yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai
penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan
tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan
untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak,
merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan
karsinoma nasofaring.
Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah :1,2,7,8
1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan mediator
penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland .
Juga pada ” Quadid ” yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang
difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina.
2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan bahwa
udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia
5
dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-
rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis Hidrokarbon
dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak
tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia terbanyak adalah
bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu
Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma nasofaring.
5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.
2.4. EPIDEMIOLOGI
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun
demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan
2500 kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung) atau prevalensi
39,84/100.000 penduduk.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma Nasofaring,
sehinggga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair
dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka dan Tanah Hijau yang di duga penyebabnya
adalah karena mereka memakan makanan yang di awetkan dalam musim dingin dengan
menggunakan bahan pengawet Nitrosamin.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUDPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan
Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, palembang 25 kasus, 15
kasus setahun di Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi. Demikian pula
angka-angka yang di dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan
bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung
6
poloklinik tumor THT RSCM, pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit
lebih banyak dari suku bangsa lainnya.1,3,8,9
2.5. MANIFESTASI KLINIS
Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring
termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar
nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau
palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening
servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang).
Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena. Sekitar separuh pasien
memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar
getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Gejala
dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan infeksi saluran nafas
atas.1,2,3
Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini terjadi
karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-mula di fossa
Rosenmuller di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap
nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya rapuh
sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan pilek berulang
dengan mukus yang bercampur darah. Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis. Tumor
juga dapat menyumbat muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di
telinga, rasa berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring.
Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu
diwaspadai sebagai karsinoma nasofaring6,17.
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada
umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah
meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah
bening servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf
otak karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjarleher5,6,17. Tumor
yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen laserasum dan mengenai grup anterior
saraf otak yaitu syaraf otak III, IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf
7
otak VI ( paresis abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah
sisi yang sakit. Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa
tebal) pada pipi dan wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf
penggerak mata terkena. Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan
intrakranial. Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkan
timbulnya pembesaran kelenjar getah bening bagian samping ( limfadenopati servikal).
Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai
otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati
servikal ini merupakan gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien.
Gejala nasofaring yang pokok adalah :1,2,3
1. Gejala Telinga
Oklusi Tuba Eustachius
Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan tumor dapat
menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba. Hal ini akan
mengakibatkan gejala berupa mendengung (Tinnitus) pada pasien. Gejala ini
merupakan tanda awal pada KNF.
Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis Media.
Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan dengan
tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif
2. Gejala Hidung
Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya
rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh darah
tersebut pecah.
Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam
nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis kronis.
Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma
Nasofaring, karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain. Namun
jika gejala terus terjadi tanpa adanya respons yang baik pada pengobatan, maka perlu
dicurigai akan adanya penyebab lain yang ada pada penderita; salah satu di antaranya
adalah KNF.
8
3. Gejala Mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda)
akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan
kebutaan.
4. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign :
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf
kranialis.
Gejalanya antara lain :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X,
N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. Sternocleidomastoideus
o M. trapezeus
Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan
elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan bagian
lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini jika
ditemukan bersamaan, maka disebut Trotter’s Triad.
2.6. DIAGNOSIS
9
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor:
A. Anamnesis / pemeriksaan fisik1,3,5,10
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF)
Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan
jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma nasofaring
Tabel 1 Formula Digsby
Gejala Nilai
Massa terlihat pada Nasofaring
Gejala khas di hidung
Gejala khas pendengaran
Sakit kepala unilateral atau bilateral
Gangguan neurologik saraf kranial
Eksoftalmus
Limfadenopati leher
25
15
15
5
5
5
25
Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun
biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis
histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan
pengobatan dan prognosis
B. Pemeriksaan Fisik1,2,3,10
10
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi
posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi.
Jika ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki
permukaan halus, berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa
yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada
nasofaring sehingga harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan sitologi.
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan histopatologi dan sitologi1,2,10
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang
dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik
dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi),
atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau
dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical
dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan
diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang
dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan
melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
Klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring menjadi
Keratinizing squamous cell carcinoma, Non keratinizing squamous cell carcinoma
terdiri atas differentiated dan undifferentiated dan Basaloid Carcinoma.
2. Pemeriksaan Radiologi
11
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto polos, CT Scan ataupun
MRI. Saat ini untuk mendiagnosa secara pasti C.T Scan dan MRI merupakan suatu
modalitas utama. Melalui C.T Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya
massa dan sejauh apa penyebaran massa tersebut, hingga dapat membantu dalam
menentukan stadium dan jenis terapi yang akan dilakukan.
Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:1,3
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya
a) Foto polos1,3
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerah nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b) C.T.Scan2,3,6
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos
adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil
mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah
submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos.
Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan
terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T.
Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan
bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak
maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai
suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat
12
dapatdinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada
tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.
Fig. 1.-Example of early nasopharyngeal Fig. 2.-Tumor has spread through pharyngobasilarcarcinoma. There is blunting of left fossa of fascia to involve parapharyngeal fat space.Rosenmuller and enlargement of levator palatini Note that normal fat density of this space is partlymuscle. Although there is asymmetry of superficial obliterated and that there is obvious asymmetry of themucosal contours of nasopharynx, the changes can be fossa of Rosenmuller. quite subtle
3. Pemeriksaan neuro-oftamologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
KNF ini.1,3
4. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi
karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41
pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA
VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai
1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi
spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menetukan prognosis pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai
1280 dan terbanyak 160.
13
2.7. DIAGNOSIS BANDING2,3,10
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak
hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu
massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya
simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti
tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF.
Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos
akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat
meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi
tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah
depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenal sebagai antral sign. Karena
tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan
sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan
angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor
sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai
keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring
ke arah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.
5. Tumor kelenjar parotis
14
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam
mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada sebagian
besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada
pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun
sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk
membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama
di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar
cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada
kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.
7. Meningioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang meyerupai KNF
dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma
cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan
akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan
arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.
2.8. STADIUM
Sistem klasifikasi stadium KNF yang dipakai saat ini ada beberapa macam antara lain
menurut UICC (2002) :1,2,8
Stadium T (ukuran/luas tumor):
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terletak/terbatas di daerah nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau ke kavum nasi
T2a Tanpa perluasan ke ruang parafaring
T2b Dengan perluasan ke ruang parafaring
15
T3 Tumor menyeberangi struktur tulang dan atau sinus paranasalis
T4 Tumor meluas ke intrakranial, dan atau melibatkan syaraf kranial, hipofaring, fossa Infratemporal atau orbita
Stadium N (pembesaran kelenjar getah bening regional) :
Nx Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis ke kelenjar getah bening regional
N1 Metastasis unilateral dengan kelenjar getah bening kurang dari / sama dengan 6 cm di atas fossa supraklavikula
N2 Metastasis bilateral dengan kelenjar getah bening kurang dari / sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3 Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6cm atau terletak di fossa supraklavikula :
N3a >6cm
N3b meluas sampe fossa supraklavikula
Stadium M (Metastasis jauh) :
Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Metastasis jauh
Pembagian stadium berdasarkan klasifikasi TNMnya disusun sebagai berikut :
16
Pasien KNF umumnya (60-90%) datang berobat di klinik sudah stadium lanjut dengan gejalan penyebaran diluar nasofaring. Tumor primer di nasofaring sudah T3 atau T4 jarang dengan T1 atau T2
2.9. PENATALAKSANAAN
Dilakukan manajemen KNF berdasarkan stadiumnya, yaitu :1,3
Stadium I (T1 N1 M0) : Radioterapi
Stadium II & III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6cm : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N>6cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.
1. Radioterapi1,2,6
17
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a, T2b
N2 M0
T3 N2 M0
Stadium Iva T4 N0, N1, N2
M0
Stadium IVb Semua T
N3 M0
Stadium IVc Semua T
Semua N M1
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah
radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal
serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi
daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak
dijumpai pembesaran kelenjar.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran
sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin
berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% -
100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka
kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka
ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor,
diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.
Tujuan Radioterapi
Radiasi Kuratif
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan
metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra
klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan
fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla
spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran supraklavikular
dikeluarkan.
Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal.
Dosis radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x
per minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada
daerah kambuh.
Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang
diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis
18
mencapai 4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir
istirahat dilakukan penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan
lapangan radiasi dan penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu
radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah
6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi
efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.
Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara
bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan
KGB leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat
megavoltage dan menggunakan radioisotop Cobalt60.
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap
radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan
tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
Komplikasi radioterapi
a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang diperparah
dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksia
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis yang
terkena radiasi)
- Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
19
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter.
Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan
informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara
benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang
mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali
sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin.
Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias
mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan
sebagainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan tersebut.
2. Kemoterapi1,2,3,8
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh.
Indikasi Kemoterapi
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Kemoterapi berdasarkan waktu pemberiannya
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher
dibagi menjadi
1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi
mendahului pembedahan dan radiasi)
20
2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan
bersamaan dengan penyinaran atau operasi)
3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan
atau radiasi )
Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro
intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sumsum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual,
muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut
mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi
misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena
efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel
normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih
cepat pulih dari pada sel kanker.
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik
fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya
dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan
salah satu efek samping pemberian kemoterapi
Manfaat Kemoradioterapi
Manfaat pemberian keoterapi neoadjuvan antara lain :
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan
hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel
hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen.
Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel
hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap
radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
21
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radiasi.20,22,23
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular
bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik.
Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas
mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan
kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan
CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan
sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada
tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap
kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif
terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik
yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan
menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.
Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan
penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar
sehingga berakibat fatal.
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal
(single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan
sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering
digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-
47%.22,23
3. Operasi1,2,3,5
22
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal
dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca
radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan
bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus
yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan
cara lain.
4. Imunoterapi1,8
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan
imunoterapi, yaitu dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang
kemudian melalui suatu proses imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian
diinjeksikan kembali ke tubuh pasien di mana diharapkan melalui injeksi vaksin
tersebut, tubuh akan memberikan reaksi imunitas baru terhadap EBV. Namun teknik
ini masih dalam pen elitian sehingga belum dapat digunakan dalam terapi kanker
nasofaring.
2.10. PROGNOSIS1,2,3
Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil
pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan
hasil pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang
baik pula. Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis
diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
- Stadium yang lebih lanjut.
- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh
5-years survival rate dengan hanya diradioterapi:
23
stadium I (85-95%) stadium II (70-80%) stadium III & stadium IV (24-80%)
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin, A. dan Adham, M, Karsinoma Nasofaring. In.Soepardi, E.A.,et al. (eds.). Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan:
FK USU,2002.h. 1-11
3. Laporan Karsinoma Nasofaring. Universitas Brawijaya. Availablet at http://id.scribd
4. Arif Mansjoer, et al.. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hal. 371-396
5. Wim de Jong.. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005
6. Kenjtono, Widodo Ari. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.
Majalah Kedokteran Tropis Indonesia Volume 14, Nomor 2, Juli 2003
7. Ariwibowo, Hendrawan. Faktor Resiko Karsinoma Nasopharing. CDK-204/ vol. 40 no.
5, th. 2013
8. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi
kombinasi/kemoradioterapi.
9. Epidemiological and etiological factor associated with Nasopharyngeal Carcinoma.
ICMR Buletin Vol 3. No.9, September 2003
10. Desen, W., et al. Tumor di Kepala dan Leher. In Desen, W. (ed). Buku Ajar Onkologi
Klinis. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2011: 263-278
25