Post on 20-Feb-2016
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Polip hidung adalah peradangan kronis selaput lendir dan sinus paranasal
yang ditandai dengan pembengkakan massa mukosa yang meradang dengan
tangkai dasar luas atau sempit. Kebanyakan polip berasal dari celah osteomeatal
yang menyebabkan obstruksi hidung. Polip sering tumbuh pada sinus ethmoidalis
dan maxillaris. Polip antrokoanal adalah jenis polip yang berasal dari mukosa
dinding posterior di daerah antrum maksila, yang kemudian keluar dari ostium
sinus dan meluas hingga ke belakang di daerah koana posterior. Polip ini juga
dikenal sebagai Killian’s polyps karena ia pertama kali ditemukan oleh Killian
pada tahun 1753. Polip antrochoanal (ACP) terdiri dari 2 komponen yaitu
komponen kistik dan padat.
Polip antrokoanal adalah suatu lesi polipoid jinak yang berasal dari
mukosa antrum sinus maksila yang inflamasi dan udematous dapat melua ke
koana. Terbanyak berasal dari mukosa dinding antrum bagian posterior.
Etiopatogenesis dengan gejala utama hidung tersumbat unilateral dan rinore.
Nasoendoskopi dan tomografi computer merupakan pemeriksaan baku emas
untuk menegakkan diagnosis polip antrokoanal. Penatalaksanaan polip
antrokoanal adalah polipektomi. Banyak teknik polipektomi polip antrokoanal
yang telah terkenal akan tetapi dengan efek samping dan rekusrensi yang tinggi.
Penyebab dan mekanisme yang mendasari polip masih tidak dipahami
dengan baik, namun peradangan kronis merupakan faktor utama seperti
peningkatan sel inflamasi seperti eosinofil. Polip sering dikaitkan dengan
rinosinusitis kronis dan alergi. Namun peran alergi pada polip masih
kontroversial. Sebuah studi 3000 pasien atopik menunjukkan prevalensi 0,5%,
sedangkan studi di 300 pasien alergi menunjukkan prevalensi sebesar 4,5%.
2. EPIDEMIOLOGI
Polip antrokoanal hanya mewakili sekitar 3-6% dari polip nasal. Etiologi
yang tepat tidak diketahui, tetapi diduga infeksi mungkin merupakan penyebab
umum. Namun Cook et al menemukan kejadian yang lebih tinggi 10,4%. Sinusitis
kronik ditemukan pada sekitar 25% dari pasien. Tidak seperti polip lainnya, polip
antrokoanal lebih sering terjadi pada pasien non atopic (4,7 %) daripada pasien
rinitis atopik (1,5 %). Polip ini sering pada anak-anak dan remaja tetapi dapat
bermanisfestasi pada usia lebih tua dan lebih banyak mengenai laki-laki
dibandingkan perempuan. Pada anak-anak insidensi polip ini mencapai 33%.
Dalam sejumlah studi perspektif pada tahun 2002, diketahui bahwa usia rata-rata
terjadinya polip antrokoanal ini adalah 27 dan 50 tahun.
BAB II
POLIP ANTROKOANAL
1. DEFINISI
Polip antrokoanal merupakan pertumbuhan jinak unilateral yang berasal
dari mukosa sinus maksilaris dengan pertumbuhannya kedalam ostium sinus
maksilaris hingga mencapai koana posterior dan polip terlihat di nasofaring.
Polip antrokoanal adalah suatu lesi polipoid jinak yang berasal dari
mukosa antrum sinus maksila yang inflamasi dan udematus, dapat meluas ke
koana. Terbanyak berasal dari mukosa dinding antrum bagian posterior. Polip ini
juga dikenal sebagai Killian’s polyps karena ia pertama kali ditemukan oleh
Killian pada tahun 1753. Polip antrochoanal (ACP) terdiri dari 2 komponen yaitu
komponen kistik dan padat. Etiopatogenesis polip antrokoanal sampai saat ini
masih kontroversi. Polip antrokoanal banyak ditemukan pada anak dan dewasa
muda dengan gejala utama hidung tersumbat unilateral dan rinore. Nasoendoskopi
dan tomografi komputer merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosis
polip antrokoanal.
2. ANATOMI
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke
bawah:
a) Pangkal hidung (bridge)
b) Dorsum nasi
c) Puncak hidung
d) Ala nasi
e) Kolumela
f) Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa
dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares
dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os
frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut
dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang
dibatasi oleh :
Superior : os frontal, os nasal, os maksila
Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris
mayor dan kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior
menjadi fleksibel.
Gambar 1: Anterolateral Tulang Hidung
Perdarahan :
i. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang
dari A. Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
ii. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A.
Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna)
iii. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
i. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
ii. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis
anterior)
2. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi
ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior
dan fossa kranial media. Batas – batas kavum nasi :
a) Posterior : berhubungan dengan nasofaring
b) Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus
sfenoidale dan sebagian os vomer
c) Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir
horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada
bagian atap. Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum
durum.
d) Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua
ruangan (dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum
nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor.
Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai
septum pars membranosa = kolumna = kolumela.
e) Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os
lakrima, os etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah.
Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-
etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang – kadang konka
nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
Gambar 2: Potongan Sagital Cavum Nasi
Perdarahan : Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi
adalah A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A.
Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena
tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama
– sama arteri.
Persarafan : Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N.
Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior Posterior kavum nasi dipersarafi
oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen
sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N.
Sfenopalatinus.
Gambar 3: Perdarahan kavum nasi
3. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan
terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat
sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya
lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital
skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu
basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel
goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan
didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya
untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda
asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan
menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung
tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara
yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis
semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium).
Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan
sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.
3. FISIOLOGIS
1. Sebagai Jalan Nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara
masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti
udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian
lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
dari nasofaring.
2. Pengatur Kondisi Udara (Air Conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan
cara:
a) Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
b) Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai Penyaring dan Pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi Suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
4. ETIOLOGI
Etiologi polip antrochoanal (ACP) belum diketahui pasti. Sinusitis kronis
(65%) dan alergi seperti rinitis alergi (70%) ditemukan mempunyai hubungan
dengan terjadinya ACP. Sinusitis maksila dan penyakit kompleks ostiomeatal
menghalangi fungsi mukosiliar dari mukosa sinus. Beberapa penelitiann
menunjukkan kemungkinan peran aktivator dan inhibitor urokinase plasminogen
dan peran metabolit asam arakidonat dalam patogenesis ACP. Yang dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. infeksi
5. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.
5. PATOFISIOLOGI
Polip antrokoanal termasuk penyakit inflamasi sinus maksilaris. Hal ini
masih menjadi kontroversi bagi beberapa peneliti. Yang masih menjadi
kontroversi adalah asal, patogenesisnya dan penatalaksanaannya. Terjadinya
infeksi bakteri pada sinus diikuti dengan rhinosinusitis. Selain faktor anatomi
seperti bulosa konka, deviasi septum nasal, infeksi sinus etmoidalis anterior akan
mengakibatkan sinusitis maksilaris kronik.
Ada beberapa kelenjar mukosa asinus didalam antrum maksilaris. Infeksi
pada mukosa dapat memudahkan terjadinya penutupan kelenjar asinus. Karena hal
tersebut maka formasi sebuah kista yang mana dapat berkembang kedalam sinus
sampai ke ostium membentuk polip antrokoanal pada hidung dan nasofaring.
Bagian antral telah dilaporkan sebagai polipoid atau kista.
6. GEJALA KLINIS
Gejala klinis utama adalah hidung tersumbat unilateral dan disertai nasal
discharge. Beberapa kasus yang jarang, gejala polip antrokoanal tidak khas. Polip
antrokoanal berbeda dari inflamasi kronik, polip sinus maksilaris hanya
mempunyai sedikit gejala minor yaitu proses terjadinya sedikit lama, sedikitnya
terjadi obstruksi ostium maksilaris, tingginya angka kejadian sakit kepala,
obstruksi hidung persisten, adanya kista pada stroma polip, penipisan membran
basal, rendahnya angka kejadian metaplasia sel skuamosa dan tingginya proporsi
perpindahan sel dalam cairan hidung. Pada 2 kasus penelitian, dapat didiagnosis
alergi tapi hal ini tidak sama dengan polip, yang mana tidak ditemukannya
gambaran tipe morfologi dari alergi berhubungan polip (eosinofilik).
Mohd Tahir J dkk meneliti bahwa gejala klinis yang paling sering adalah
sumbatan hidung (92,5%) diikuti dengan rinorea (45%), postnasal drip (35%) dan
mendengkur (22,5%).
Tabel 1. Gejala klinis dari 40 penderita dengan polip antrokoanal.7
Gejala klinis n (%)
Sumbatan hidung
Rinorrea
Postnasal drip
Mendengkur
Nyeri kepala
Hiposmia
Gumpalan dalam tenggorokan
Rasa tidak nyaman pada hidung
37 (92.5)
18 (45)
14 (35)
9 (22.5)
5 (12.5)
4 (10)
4 (10)
4 (10
Tabel 2. Observasi rinologis yang berhubungan dengan polip antrokoanal.
Gejala klinis n (%)
Sinusitis kronis
Deviasi septum
Polip etmoid
Konka bulosa
Bilateral inferior turbinate
hypertrophy
20 (50)
5 (12.5)
4 (10)
4 (10)
1 (2.5)
7. DIAGNOSIS
Dari anamnesis ditemukan adanya sumbatan hidung unilateral disertai
nasal discharge, kadang-kadang disertai dengan nyeri kepala, serta ditemukannya
massa polipoid pada hidung melalui rinoskopi anterior dan/atau posterior, dari
pemeriksaan fisik biasanya mengarah kepada polip antrokoanal yaitu
ditemukannya polip yang berasal dari mukosa sinus maksilaris dengan
pertumbuhannya kedalam ostium sinus maksilaris hingga mencapai koana
posterior dan polip terlihat di nasofaring.
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior dapat terlihat adanya massa yang berwarna pucat yang berasal
dari meatus medius dan mudah digerakkan.
Pembagian polip nasi menurut Mackay dan Lund:
a. Grade 0 : Tidak ada polip
b. Grade 1 : Polip terbatas pada meatus media
c. Grade 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung tapi
belum menyebabkan obstruksi total
d. Grade 3 : Polip sudah menyebabkan obstruksi total
Pemeriksaan radiologis mengunakan CT-Scan dan MRI (jarang) dapat
membantu menegakkan diagnosis polip antrokoanal. Pada CT-Scan biasanya
ditemukan gambaran massa jaringan lunak pada antrum yang sampai ke bagian
hidung dan nasofaring. Pemeriksaan CT-Scan juga diperlukan untuk
mengevaluasi perluasan penyakit serta hubungannya dengan kelainan etmoidal,
yang nantinya akan membantu untuk merencanakan terapi.
Gambar 1. Polip antrokoanal yang menggantung dari nasofaring sampai ke orofaring.
Gambar 2. Polip antrokoanal kiri yang menggantung ke dalam orofaring.
Gambar 3. Gambaran CT-Scan sinus paranasal yang memperlihatkan suatu jaringan lunak
yang menempati seluruh antrum kiri yang meluas sampai ke etmoid.
Gambar 4. CT-Scan koronal yang memperlihatkan gambaran polip antrokoanal yang
tumbuh dari antrum maksila kanan yang meluas ke dalam rongga hidung kanan melalui
pelebaran ostium sinus.
8. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis sangat mengarah kepada polip antrokoanal apabila antrum
maksilaris meluas dan terdapat massa nasofaringeal. Beberapa diagnosis yang
mungkin adalah sebagai berikut :
1. Disfungsi konka (Turbinate Dysfunction).
Semua individu dapat mengalami disfungsi konka dalam suatu waktu
dalam hidupnya. Gejalanya dapat berupa obstruksi total ataupun sumbatan ringan
dan/atau rinorea. Penyebabnya termasuk infeksi saluran nafas bagian atas, rinitis
alergi, dan rinitis vasomotor. Obat-obatan dan hormon juga dapat memicu hal ini.
Sumbatan hidung merupakan suatu gejala umum yang berhubungan dengan
disfungsi konka. Gejalanya dapat ringan, atau dapat berat hingga membutuhkan
dekongestan topikal seperti oxymetazoline atau phenylephrine. Etiologi disfungsi
konka merupakan multifaktorial. Infeksi dan peradangan merupakan penyebab
paling sering. Karena konka memiliki banyak suplai pembuluh darah dan diatur
oleh sistem saraf parasimpatis, semua hal yang mempengaruhi dua hal ini akan
mempengaruhi konka.
2. Chronic hypertropic polypoid rhinosinusitis.
Keadaan ini mempengaruhi epitel saluran nafas bagian atas. Ditandai
dengan adanya instabilitas vasomotor, hipertrofi mukosa polipoid, dan infeksi
superimposed. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya instabilitas vasomotor
pada saluran nafas bagian atas seperti obat-obatan, infeksi, ketidakseimbangan
hormonal, dan faktor psikogenik. Alergi juga sering sebagai faktor penyebab
terutama apabila perubahannya terjadi bilateral. Polip hipertrofi dapat terjadi
unilateral ataupun bilateral.
3. Tumor ganas nasofaring.
Merupakan 1% dari seluruh tumor ganas. Neoplasma ini dapat
menyebabkan terjadinya kesulitan dalam mendiferensial diagnosis. Tumor ini
cenderung menyebabkan kerusakan struktur tulang, sumbatan jalan nafas,
pelebaran jaringan adenoid atau terjadi invasi ke dalam sinus paranasal.
Diperlukan pemeriksaan CT-Scan untuk mengevaluasi perluasan tumor. Tumor
ganas nasofaring yang paling sering terjadi pada ana-anak adalah limfoma,
rabdomiosarkoma, limfoepitelioma, dan neuroblastoma olfaktori. Jenis-jenis ini
biasanya tidak dapat dibedakan dengan menggunakan pemeriksaan radiologis.
4. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
Merupakan suatu tumor jinak vaskuler yang dapat merusak jaringan sekitar,
paling sering muncul di nasofaring atau posterior rongga hidung. Gejalanya dapat
berupa epistaksis, sumbatan hidung, atau adanya massa di nasofaring.
9. PENATALAKSANAAN
Sangat disayangkan, banyak literatur mengenai pengobatan polip yang
masih tidak begitu efektif. Menurut Mackay jika suatu operasi tidak lebih efektif
dibandingkan dengan pengobatan lainnya, yang paling baik adalah melakukan
yang paling sederhana dengan resiko yang minimal bagi pasien. Hampir seluruh
ahli bedah saat ini mengobati polip secara pembedahan, tetapi banyak polip yang
sensitif terhadap kortikosteroid, dan apabila polip tidak menyebabkan sumbatan
hidung secara total, pengobatan preoperatif menggunakan kortikosteroid sangat
bermanfaat.
a. Pengobatan preoperatif
Proporsi pasien yang sensitif terhadap kortikosteroid masih belum pasti,
pemberian kortikosteroid oral harus dihindari walaupun pengobatan ini lebih baik
daripada pengobatan kosrtikosteroid topikal. Tetes hidung betametason, 2 kali
sehari pada masing-masing sisi diberikan dalam waktui 1 bulan. Posisi saat
meneteskan dalam posisi telentang dengan kepala menengadah. Posisi ini
memungkinkan penetrasi obat lebih mudah ke dalam etmoid. Pilihan lain seperti
triklormetasone atau flumisolid dapat digunakan. Polip dapat hilang secara
sempurna dan pengobatan ini harus diteruskan minimal 3 bulan.
b. Operasi
Terdapat pandangan yang berbeda pada jenis operasi yang dibutuhkan
untuk polip nasi. Polipektomi sederhana merupakan operasi pilihan, polip dapat
diangkat dengan suatu avulsi atau dengan pemotongan atau penggunaaan forceps
seperti Tilley Henckel`s, harus diperhatikan ketika menggunakan forceps jangan
terlalu ke medial ataupun ke lateral, seluruh mukosa polipoid harus diangkat dari
etmoid. Walaupun etmoidektomi intranasal disarankan oleh beberapa ahli,
polipektomi sederhana masih merupakan prosedur yang komplit dan aman.
Etmoidektomi eksternal dilakukan melalui insisi medial ke dalam kantus interna
(Howarth’s) atau melalui insisi pada kulit di bawah batas intraorbita (Patterson’s).
Seluruh sel dapat diangkat apabila orbita dan seluruh bagian-bagiannya telah
digeser ke lateral dan pembuluh darah etmoidal interior dipisahkan. Harus berhati-
hati dalam membuka ostium sinus frontal secara luas untuk mencegal mukokel
yang merupakan komplikasi lanjut dari pembedahan. Tidak ada penelitian yang
menyatakan bahwa etmoidektomi ekternal dapat mencegah kekambuhan,
walaupun ada beberapa ahli yang mengatakan demikian.
Pembedahan merupakan pilihan terapi dari polip antrokoanal.
Pengangkatan sederhana yang dilakukan pada awalnya dengan menggunakan
nasal snare atau polyp-forceps dapat menghilangkan gejala dan pasien akan
merasa kembali baik dalam beberapa tahun. Namun sering terjadi kekambuhan
yang disebabkan bagian antral dari polip masih tertinggal. Pada kasus seperti ini
dibutuhkan pengangkatan radikal melalui sublabial. Prosedur ini disebut dengan
Caldwell-Luc operation. Antrum maksila dibuka dan polip diangkat dari antrum.
Pada anak-anak prosedur ini tidak dapat dilakukan, karena dapat
menyebabkan deformitas fasio-maksilaris dan kerusakan gigi permanen yang
terletak di antrum maksila. Terapi antihistamin jangka panjang lebih dipilih untuk
mengontrol alergi.
10. PROGNOSIS
Rekurensi polip nasi merupakan suatu masalah yang masih dihadapi oleh
para ahli. Angka rata-rata terjadinya rekurensi sangat bervariasi. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Drake dkk selama 2 tahun menunjukkan bahwa 5% pasien
memiliki riwayat polipektomi lima kali atau lebih. Sangat sulit untuk mempelajari
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kekambuhan. Diperkirakan
bahwa pasien yang mengalami polip pada usia yang lebih muda dan memiliki
riwayat keluhan hidung yang lama biasanya lebih besar berkemungkinan
mengalami kekambuhan. Pasien dengan penyakit nasal yang berat sering
membutuhkan operasi yang lebih besar. Namun hal ini tidak menurunkan angka
kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pasien dengan asma akan mengalami
kekambuhan yang lebih sering pada umumnya, dan apabila juga terdapat
hipersensitivitas terhadap aspirin akan lebih bertambah lagi kemungkinannya.
Polip nasi mirip seperti gulma. Sangat sulit untuk dieradikasi secara tuntas.
Oleh sebab itu, tujuan dari manajemennya adalah mengontrol gejala. Apabila
pasien hanya memiliki gejala minimal, terapi pun dapat minimal. Apabila
gejalanya lebih berat, terapinya pun harus lebih luas. Terapi medis maupun bedah
keduanya tidak menjamin polip tidak akan kembali lagi. Namun akan sangat
meningkatkan kualitas hidup individu.
BAB III
1. KESIMPULAN
Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
Etiologi polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu pada
proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi.
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya
riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata dan
adanya sekret hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan masaa yang
lunak, bertangkai, mudah digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengecil
pada pemberian vasokonstriktor lokal. Penatalaksanaan untuk polip nasi bisa
secara konservatif maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran
polip itu sendiri dan keluhan dari pasien sendiri. Pada pasien dengan riwayat
rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren.
Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi beberapa kali dalam
hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok edisi VI cetakan 1. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2007.h
215,247.
2. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1997.h 123-125.
3. PL Dhingra. Disease of Ear, Nose & Throat. 5 th Edition. New Delhi. Elsevier.
2010. Pg 241.
4. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta
2000
5. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 – 114. Penerbit Media
Aesculapius FK-UI 2000
6. Diktat Anatomi Hidung FK Usakti hal. 1 – 12
7. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989
8. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea
& Febiger 14th edition. Philadelphia 1991