Post on 18-Oct-2021
227
Abstrak: Tuah sebagai Sarana Pengembangan Etika Pengelola Keuang an Negara. Artikel ini berupaya untuk membangun konsep pribadi beruntung bagi pengelola keuangan negara dengan menggunakan budaya Melayu. Penelitian ini menggunakan desain penelitian spritiualis untuk membangun pribadi pengelola keuangan negara yang bertuah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pribadi bertuah berorientasi pada kesadaran tertinggi manusia, yaitu takwa (memiliki tujuan akhir kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang suci dan tenang). Selain itu, penulis juga menawarkan etika profetik sebagai solusi dalam membangun etika pengelola keuangan negara yang selama ini dibangun hanya berdasar pada aspek material. Abstract: Luck as the Ethical Foundation for State Financial Manager. This research seeks to build a personal concept of fortune for state financial managers using Malay culture. This research uses a spiritualist research design to build a person of a successful state financial manager. The results show that the person with luck is oriented towards the highest human consciousness, namely piety (having the ultimate goal of returning to God with a holy and calm soul). In addition, the authors also offer pro-phetic ethics as a solution to build state financial manager ethics which has been built based only on material aspects.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari mainmain dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orangorang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya” (QS. AlAn’am: 32).
Kutipan ayat AlQur.’an di atas merupakan suatu bentuk refleksi bagi kehidupan manusia yang tidak lain dan tidak bukan ibarat senda gurauan belaka. Manusia le bih banyak terpana dengan hingar bingar kehidupan duniawi sehingga lupa bahwa tempat kembali sesungguhnya nanti
adalah kampung akhirat. Kampung akhirat adalah sebaikbaik tempat bagi orang beriman dan bertakwa. Kampung akhirat disebutkan sebagai kehidupan yang sebenarnya dan kekal, sedangkan dunia hanya tempat bersenda gurau dan kesenangan sementara yang menipu. Hanya orangorang yang bertakwalah yang akan memperoleh keberuntungan dengan membawa bekal yang cukup untuk kembali ke kampung akhirat dengan jiwa yang suci dan tenang. Hal ini yang memicu peneliti untuk dapat menjadi hamba yang beruntung dengan suatu ikhtiar membentuk diri etis dan religius melalui
Volume 11Nomor 2Halaman 227-245Malang, Agustus 2020ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879
Mengutip ini sebagai: Briando, B., Embi, M. A., Triyuwono, Iwan., & Irianto, G. (2020). Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(2), 227245. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.2.14
TUAH SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN ETIKA PENGELOLA KEUANGAN NEGARA1Bobby Briando, 1Muhamad Ali Embi, 2Iwan Triyuwono, 2Gugus Irianto1Universiti Utara Malaysia, Sintok, 06010 Bukit Kayu Hitam, Malaysia2Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang 65145
Tanggal Masuk: 03 Desember 2019Tanggal Revisi: 27 Agustus 2020Tanggal Diterima: 31 Agustus 2020
Surel: bobby_briando@yahoo.com
Kata kunci:
akuntan,etika,profetik,takwa
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2020, 11(2), 227-245
228 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245
suatu konsep yang telah peneliti hadirkan pada artikel sebelumnya berupa prinsip SAFAATMU (Briando & Purnomo, 2019) dan program MARWAHKU (Briando et al., 2017). Penulisan artikel ini merupakan bagian dari trilogi pembahasan terkait etika profetik bagi pengelola keuangan Negara. Hasan (2017) serta Williams (2017) menyatakan bahwa kajian terkait etika profesi pada umumnya hanya membahas aspek material, tetapi tidak banyak pembahasan terkait aspek spiritualitas apalagi yang dapat menumbuhkan suatu penyadaran. Hal inilah kemudian yang menjadi pemantik penulis dalam membangun konsep etika profetik.
Etika profesi akuntan khususnya bidang sektor publik akhirakhir ini mendapat perhatian yang luas serta menjadi isu krusial saat skandal penggelapan pajak yang dilakukan oleh oknum pegawai pajak Gayus Tambunan terkuak dan menghentak publik. Banyak kalangan beragumentasi bahwa kasus tersebut terjadi karena gagalnya penerapan etika profesi akuntan khususnya dalam praktik akuntan pemerintah. Selama ini kajian terkait etika profesi hanya dikenal untuk profesi akuntan publik (Kamayanti, 2011). Padahal, sejatinya etika profesi akuntan juga mengikat profesi lain yang erat kaitannya di bidang keahlian akuntansi, termasuk pengelola keuangan negara (akuntan internal pemerintah) (Johansson & Siverbo, 2014). Hal inilah yang mengakibatkan kajian di bidang etika profesi akuntan sektor publik khususnya pengelola keuangan negara menjadi “miskin literasi”, sehingga tidak banyak ditemukan literatur ilmiah yang mengangkat isu ini (Khairi, 2013).
Pengelolaan keuangan negara harus didukung pula oleh sistem dan mekanisme yang baik agar dalam praktiknya sejalan dengan kode etik yang telah dibangun. Bagaimanpun baiknya sistem dan mekanisme yang telah dibangun tidak akan menjamin bahwa semuanya itu dapat terlaksana dengan baik jika unsur manusia nya tidak baik (Adhikari & GårsethNesbakk, 2016). Sistem yang baik akan ambruk jika manusianya tidak memiliki moralitas yang tinggi. Oleh karena itu, faktor moralitas manusia secara individu dan kolektif memegang peranan yang sangat penting dan urgent. Manusia memiliki unsur metafisik, yang terdiri dari nafsu, akal, hati, dan ruh. Unsur nafsu (dan terkadang akal) selalu menarik manusia kepada kehinaan, sehingga bila manusia banyak dikendalikan oleh nafsunya, maka
hanya kerusakan yang bisa diciptakannya (Kavas et al., 2020) sebagaimana yang terjadi pada kasus Gayus. Akan tetapi, bila manusia itu banyak dikendalikan oleh unsur hati dan ruhnya yang suci, maka perilaku yang etis dan religius akan selalu tampak pada kehidupan seharihari dan kedamaian akan selalu tercipta dalam dirinya. Inilah sejatinya “bekal” yang harus dimiliki oleh seseorang dalam menjalani profesinya termasuk pengelola keuangan negara (Schaffer, 2015).
Secara individual sejatinya seorang eksekutif atau aparatur pengelola keuangan negara dapat selalu mengasah “ruh” dan bashirahnya agar senantiasa suci dan terjaga. Unsurunsur tersebut dapat menjadi “benang” penghubung antara manusia dengan Tuhannya. Jika unsurunsur tersebut telah “terkontaminasi” (dengan perbuatan maksiat dan dosa misalnya), maka unsurunsur tersebut secara otomatis tidak akan bisa menjalankan “kontak” dengan Tuhan, apalagi untuk memperoleh “kesadaran ketuhanan” dan “kesadaran kenabian”. Manusia pada hakikatnya memiliki potensi untuk memperoleh “kesadarankesadaran” tersebut, karena sesungguhnya anasiranasir kasat mata atau metafisik manusia menggambarkan cerminan dari realitas absolut, yaitu Tuhan. Atau, manusia itu melambangkan salah satu dari pengejawantahan realitas tersebut (Kaiser & Krickel, 2017). Meskipun belum banyak peneliti yang mengungkap atau mengkaji realitas ini secara ilmiah, terdapat beberapa peneliti yang telah mengungkapkannya, seperti Salampessy et al. (2018) dan Triyuwono (2015). Aktivitas ilmiah acapkali dipisahkan dengan sisi spiritualitas, sehingga hasil penelitian tersebut bersifat sekuler. Sejatinya, penelitian yang baik adalah penelitian yang dapat menumbuhkan suatu penyadaran (consciousness) dan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan yang dimiliki sesungguhnya berasal dari Sang Pemilik Ilmu (Briando et al., 2017; Triyuwono, 2016).
Senay (2017) memafhumi hal termaksud sebagai konsep deep ecology. Konsepsi ini adalah konsepsi yang berkarakter transendental. Setidaknya hal ini senada pula dengan Bigliardi (2014) yang memandang realitas sebagai suatu wujud yang saling terkait dan menyatu. Dalam tradisi Islam realitas bersifat hierarkis (Breyer et al., 2017; Freeman, 2015; Triyuwono, 2015), yaitu terdiri dari realitas absolut (Tuhan), asma’ si-fatiyyah, realitas spiritual, realitas psikis,
Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 229
dan realitas materi, berturutturut dari tingkat yang tertinggi sampai terendah. Antara realitas tersebut tidak terpisah antara satu dengan yang lainnya, tetapi interconnected (Saniotis, 2012). Inilah yang disebut dengan unity atau tauhid, sebagai ajaran dasar Islam. Realitas hanya satu, yakni Tuhan. Tidak ada keterpisahan antara satu dengan yang lainnya. Konsep inilah yang peneliti bangun dalam membentuk etika profesi pengelola keuangan negara dan membedakannya dengan penelitian lain sebagaimana kajian yang dilakukan oleh Afou (2017), Zainuldin et al. (2018), dan Zubairu et al. (2019) yang memotret etika profesi akuntan dalam perspektif Islam semata tanpa melibatkan realitas spiritual sebagai konsep deep ecology dalam kajiannya.
Hierarki atas realitas tersebut sejatinya diciptakan Tuhan agar manusia dapat me ngenal lebih dekat Tuhannya (Kaiser & Krickel, 2017). Oleh karena itu, Tuhan menciptakan realitasrealitas lain yang lebih rendah di bawah diriNya. Hal ini mengindikasikan bahwa bukan suatu hal abnormal atau mustahil jika ilmu pengetahuan dalam kultur Islam diwujudkan dalam rangka untuk dapat lebih mengenal Tuhan sebagai realitas absolut. Hal ini sebagaimana juga yang diungkapkan oleh Raja Ali Haji dalam salah satu pasal ‘Gurindam Dua Belas’ yang berbunyi: “Barangsiapa mengenal Al-lah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah. Barang siapa mengenal diri, maka telah me-ngenal akan Tuhan yang Bahari” (Nurliana, 2019). Dalam hal ini penting untuk melihat konsep etika profesi akuntan pemerintah khususnya pe ngelola keuangan negara yang menumbuhkan penyadaran ketuhanan (God Consciousness) dan kenabian (prophet-ic Cons ciousness). Adapun kebaruan dalam penelitian ini yaitu potret etika profesi akuntan pemerintah, dalam hal ini pengelola keuangan negara, dibangun dengan melibatkan realitas spiritual. Hasil penelitian memberikan kontribusi pemahamanan bahwa dengan berspiritual pun sesungguhnya bisa dilakukan dalam penelitian, sehingga konsep etika yang dibangun dapat menumbuhkan kesadaran Ketuhanan dan kecintaan kepada Nabi sebagai manifestasi takwa. Inilah kemudian yang disebut sebagai pribadi bertuah atau beruntung. Di samping itu, kajian ini juga menambah khasanah keilmuan terkait etika profesi akuntan pemerintah. Oleh karena hal tersebut, peneliti mencoba untuk membangun pribadi berun
tung atau bertuah menggunakan prosedur spiritual. Hal tersebut peneliti lakukan untuk dapat lebih mengenal Tuhan dan agar tercipta suatu hubungan yang kuat dengan Tuhan, sehingga pada akhirnya memunculkan suatu penyadaran bahwa Tuhan adalah realitas absolut yang mengatur segala sendi kehidupan manusia termasuk etika dalam mengelola keuangan negara.
METODEPenelitian ini menggunakan desain
spiritualis. Desain ini menurut Triyuwono (2015) sebetulnya menekankan pada keutuhan sebuah konsep, yaitu keutuhan aspek kemanusiaan, budaya, spiritualitas, dan ketuhanan. Oleh karena itu, sifatsifat manusia, budaya lokal, dan keimanan pada Tuhan dalam penelitian ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara khusus, penelitian ini mengambil budaya lokal Melayu. Data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian ber asal dari data nonempiris, sebagian yang lain dari data budaya lokal Melayu, dan data inspirasi dari peneliti. Peneliti melakukan prosedur spiritual untuk membentuk pri badi bertuah. Dalam prosedur spiritual tersebut peneliti melakukan zikir, doa, tafakur, dan ikhtiar. Prosedur spiritual sesungguhnya merupakan suatu cara atau jalan agar peneliti dapat terhubung dengan Tuhan. Dimulai dengan melafazkan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang disertai dengan persaksian iman dalam dua kalimat syahadat peneliti memulai aktivitas ini, sehingga muncul suatu penyadaran dalam diri peneliti yaitu penyadaran ketuhanan dan penyadaran kenabian.
Untuk dapat menuju ke tahapan penyadaran tersebut, tentu saja, basis epistemologi yang digunakan tidak bisa hanya pendekatan mainstream sebagaimana ilmu pengetahuan modern pada umumnya. Epistemologi utama paradigma ini adalah tauhid, Nabi, dan Ilmu. Berkenaan dengan paradigma ini terdapat beberapa pandangan. Pertama, keutamaan atau perlunya pengetahuan (Triyuwono, 2015). Kedua, keutamaan atau perlunya mencari pengetahuan atau menuntut ilmu (Sahin, 2018). Ketiga, keutamaan orang berpengetahuan (Briando & Purnomo, 2019). Keempat, pandangan mengenai prophet atau nabi (Zubairu et al., 2019). Kelima, pandangan mengenai Tuhan sebagai realitas absolut (Abdullah, 2015).
230 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245
Ilmu dalam pandangan paradigma ini tidak hanya ilmu yang tampak secara fisik atau lahiriah, akan tetapi juga ilmu yang dapat dipamahami dan dipelajari dalam bentuk rohani atau batiniah. Untuk dapat memahami ilmu dalam bentuk batiniah, Carrington (2014) dan Triyuwono (2016) mengusulkan penggunaan hati nurani. Penggunaan hati nurani yang intuitif dapat mengakomodasi pengetahuan baik secara material maupun spiritual. Intuisi adalah energi spiritual (yang di dalamnya juga meliputi energi psikis) yang bisa difungsikan untuk mendapat petunjuk dari Yang Maha Mengetahui.
Petunjuk bisa diperoleh karena intuisi (energi spiritual) terkoneksi dengan Sang Pemilik Ilmu. Intuisi menurut Atkins et al. (2015) disebut juga sebagai God spot, mata hati, mata batin, atau hati nurani yang pada dasarnya ada dalam diri setiap manusia dan merupakan bawaan manusia sejak manusia itu lahir. Manusia lahir sejatinya telah memiliki naluri (instinct). Namun dalam perjalanannya “tabir” intuisi tersebut dapat saja tertutup oleh sesuatu yang menghalanginya misalnya karena dosa dan kesalahan yang telah diperbuat. Lebih lanjut Brown (2018) menyatakan bahwa intuisi memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan yaitu menyangkut kehidupan material serta spiritual. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan ilmu modern yang lebih mengedepankan rasionalitas dan objektivitas. Ilmu yang dilandasi intuisi dapat menghidupkan hati dari “kematian” jiwa (Triyuwono, 2016).
Dalam membangun etika profetik, peneliti mencoba mengangkat spirit yang dilandasi oleh penyadaran kenabian. Maka, spirit profetik sesuai dengan semangat itu. Pemikiran ini juga bukan serta merta muncul dari prosedur olah pikir, tetapi melalui prosedur spiritual atau olah batin yang peneliti lakukan secara berkesinambungan. Triyuwono (2015) menyatakan bahwa olah batin (spiritual exercise) berupa zikir (meditasi, kontemplasi, tahannuts, atau apa pun namanya) merupakan cara yang cukup efektif digunakan agar tercipta suatu koneksi antara seorang hamba dengan Sang Penciptanya. Lebih lanjut, peneliti mencoba untuk mengembangkan spirit profetik dari pemikiran Briando & Purnomo (2019). Spirit tersebut antara lain spirit kemanusiaan, spirit keilmuan, spirit kehambaan, serta spirit kesemestaan. Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa etika pro
fetik merupakan manifestasi iman, sehingga dalam konteks tersebut secara filosofis etika profetik memiliki prinsip sebagai berikut: filosofi humanis, filosofi emansipatoris, filosofi transcendental, serta filosofi teleologikal. Inilah kemudian yang menjadi alat analisis data. Spirit dan filosofis profetik merupakan logika teoritis yang diperoleh secara spiritual melalui prosedur spiritual (zikir, doa, tafakur dan ikhtiar)
Spirit dan prinsip filosofis tersebut kemudian dibingkai dalam satu kesatuan, yaitu spirit kemanusiaan dalam filosofi humanis, spirit keilmuan dalam filosofi emansipatoris, spirit kehambaan dalam filosofi transcendental, dan spirit kesemestaan dalam filosofi teleologikal. Dari hasil olah batin yang peneliti lakukan melalui prosedur spi ritual, maka didapati prinsip yang akan membentuk pribadi bertuah, yaitu SAFAATMU, yang merupakan akronim dari: shiddiq, akhlaqul karimah, fathonah, ‘adl, amanah, ta-bligh, muthmainnah, dan uswatun hasanah. Prinsipprinsip tersebut merupakan prinsip yang terbentuk dari sifatsifat mulia yang ada dalam diri Rasulullah Muhammad SAW. Walaupun kita sebagai hamba tidak memiliki kemuliaan sebagaimana mulianya Rasulullah, setidaktidaknya kita dapat mencontoh sikap yang ada dalam diri beliau, karena sesungguhnya dengan mengikuti dan meneladani apa yang telah dicontohkan oleh beliau, maka kelak di akhirat, kita dapat menuai syafaat darinya dan menjadi hamba yang beruntung untuk bertemu dengan Sang Pencipta.
Masyarakat Melayu begitu memerhatikan harga diri atau marwah dalam setiap sendi kehidupan yang dijalaninya. Bagi orang Melayu marwah ibarat “tonggak” yang selalu ingin ditegakkan dan dicapai dalam kehidupan. Marwah menjadi suatu yang sakral dalam tradisi Melayu. Ibarat aliran darah di dalam tubuh, marwah adalah nadinya. Untuk itu, kemudian peneliti berdasarkan sebuah proses perenungan panjang serta melakukan prosedur spiritual yang berkesinambungan mencoba untuk mentransformasikan konsep marwah tersebut dalam membangun infrastruktur etika profetik. Dari sinilah kemudian lahir suatu formulasi atau logika spiritual, yaitu MARWAHKU. MARWAHKU sebagai manifestasi dari metafora marwah yang peneliti konsepkan sejatinya adalah sebuah program atau cara untuk merekonstruksi infrastruktur etika yang dikembangkan oleh OECD. Da
Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 231
lam melakukan rekonstruksi tersebut, peneliti mencoba menghadirkan “sang lain” agar infrastruktur yang terbangun lebih bersifat holistik, meliputi aspek material dan nonmaterial.
MARWAHKU merupakan akronim dari moral management, amanah leadership, rule of law, workable code of conducts, account-ability mechanisms, high performance, kick-back un-ethical behavior, and under co-or-dinating ethics bodies supervision. Seluruh program dalam formulasi ini tidak terungkap dari prinsip atau values yang terkandung dalam konsep SAFAATMU yang telah peneliti terangkan sebelumnya. Inilah kemudian yang akan membedakan formulasi infrastruktur etika ini dengan infrastruktur yang dibangun oleh OECD. Formulasi MARWAHKU lebih bersifat holistic dan tidak terbatas pada tataran material, tetapi juga spiritual. Program MARWAHKU yang telah dirancang bangun sebagai suatu infrastruktur etika yang dalam hal ini peneliti sebut sebagai etika profetik bertujuan untuk mencapai tahapan pribadi atau diri yang bertuah, yaitu pribadi atau diri yang beruntung. Tuah me rupakan citacita utama orang Melayu. Orang yang bertuah dianggap telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Sesungguhnya hamba yang dapat kembali kepada Sang Khalik dengan jiwa yang suci dan tenang adalah seorang hamba yang beruntung. Melalui proses tersebut peneliti memperoleh inspirasi berupa masjid (melalui pandangan imajiner). Artinya, alat yang digunakan untuk menganalisis data dalam mencapai pribadi bertuah adalah dengan menggunakan metafora masjid. Melalui logika metafora masjid data dianalisis sedemikian rupa sehingga pada akhirnya dapat dirumuskan konsep TUAH (Tujuan Akhir adalah Allah).
HASIL DAN PEMBAHASANMempelajari etika, menurut hemat pe
neliti, merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi kerusakan yang dilakukan oleh manusia. Dengan memahami etika, seseorang dapat menentukan salah dan benar atau buruk dan baik dalam mengevaluasi perilakunya. Khan & Naguib (2019) dan Kaliszewska (2020) berargumentasi bahwa etika seharusnya diorientasikan kepada penciptaan akhlak yang menyadari derajat manusia sebagai hamba Allah (Abdullah) dan sekaligus utusan Allah (Khalifatullah). Dengan adanya kesadaran tersebut seseorang akan senantiasa melakukan segala aktivitasnya
dengan sungguhsungguh dan penuh tanggung jawab, bukan hanya kepada sesama manusia tetapi kepada Tuhan, diri pribadi, serta semesta alam. Pada akhirnya, pemahaman ini akan bermuara pada bangkitnya kesadaran akan ketundukan dan kepatuhan seorang hamba pada kuasa Ilahi.
Pembentukan watak yang menyadari manusia sebagai hamba Allah dan sekaligus utusan Allah merupakan bagian dari kajian Meta ethics. Hal ini sebagaimana yang di sampaikan So lomons (1983) bahwa meta e thics mempunyai perhatian terhadap pengujian logika wacana etika (the logics of ethical discourse), dengan pertanyaanpertanyaan seperti “bagaimanakan kita bisa mengetahui bahwa suatu tindakan adalah lebih baik dari tindakan lain?”, “dapatkan kita secara jelas mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah baik dan benar?”, dan “argumentasi apa yang mendukung klaim tersebut?”. Kajian etika pada tingkat ini sangat penting mengingat dalam aktivitas keseharian, lebihlebih dalam masyarakat yang sangat majemuk, seringkali ditemukan bahwa apa yang dianggap benar dan baik oleh suatu kelompok ternyata merupakan hal yang salah dan buruk bagi kelompok ma syarakat lain.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengertian tentang konsep baik dan benar bisa berbeda antara satu dengan lainnya dan bersifat kontradiktif. Argumentasi ini menunjukkan bahwa ada sifat relativitas yang terkandung dalam nilainilai etika. Keadaan ini dalam pemikiran West (2018) semakin jelas bila dilihat dari, pertama, sifat etika itu sendiri yang selalu berubah sesuai dengan dimensi ruang dan waktunya, dan kedua, sifat manusia sendiri yang mempunyai kebebasan memilih nilainilai etika yang telah tersedia. Masalahmasalah yang problematis dan dilematis seperti ini merupakan dae rah kajian meta ethics. Meta ethics mencoba memberikan penjelasan terhadap etika alternatif, niainilai etika, dan memberikan teknikteknik analisis etika (Narayan, 2016).
Hal ini pula yang membedakan kajian dalam ranah meta ethics dengan substantive ethics. Husein (2018) dan Lehman (2014) berargumentasi bahwa substantive ethics merupakan tingkat pertama dalam kajian etika yang mendiskusikan secara langsung pertanyaanpertanyaan praktis tentang pe rilaku manusia, misalnya pertanyaan tentang tindakan jenis apa yang dapat dikatakan baik dan benar yang seharusnya dilakukan oleh
232 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245
seseorang, atau tindakan apa yang secara etis tidak baik dan tidak benar yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Sementara itu, kajian metaethics diarahkan pada kajian tentang apa sebetulnya yang dimaksud baik dan benar itu.
Birokrasi pemerintah sebagai pelaksana administrasi negara memiliki kewenangan yang tinggi dalam aktivitas pengelolaan keuangan negara, inventarisasi barang milik negara, serta penentuan kebijakan. Kewenangan yang demikian besar memerlukan suatu alat kendali dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan petunjuk kon kret agar tercipta kualitas pemerintahan yang baik (good government governance). Salah satu kendali utama yang sekarang menjadi fokus dalam birokrasi adalah pembentukan pribadi etis dan integritas pada jajaran aparatur sipil negara. Tanpa adanya standar pembentuk pribadi etis tersebut yang biasa tertuang dalam kode etik, maka untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku korupsi, dan sejenisnya akan menjadi hal yang rumit untuk dilakukan (D’onza et al., 2017; Doig, 2014).
Etika memiliki permasalahan yang kompleks karena menyangkut nilainilai yang diyakini oleh seseorang dalam menjalani kehidupan serta aturanaturan mengenai segala tindak tanduk seseorang dalam berperilaku. Beberapa peneliti mempertajam definisi etika dalam sejumlah konteks. Pertama, Nilainilai yang menjadi acuan bagi individu atau kelompok dalam menata perangainya (Gray & Milne, 2018). Misal, jika membahas etika orang Melayu dan etika agama, maka etika dalam konteks ini bukan sebagai suatu ilmu pengetahuan melainkan sebagai sistem moral atau nilai. Kedua, kumpulan peraturan atau nilai mo ral yang acapkali dikonotasikan sebagai kode etik (Spalding & Lawrie, 2019). Hal ini tercermin pada kode etik aparatur sipil negara maupun jurnalis. Ketiga, ilmu tentang hakikat benar atau salah dan baik atau buruk yang selalu dikaitkan dengan asasasas dan kesepakatan universal (Howieson, 2018). Etika yang dimaksud dalam definisi ini menjadi bahan kajian serta refleksi bagi suatu penelitian sistematis, atau sering disebut sebagai filsafat moral.
Etika menjadi salah satu pedoman penting dalam birokrasi. Etika akan memberikan suatu kontrol atau petunjuk arah layaknya “kompas” agar proses dalam organisasi dapat berjalan sebagaimana mestinya, tera
rah dan memuaskan berbagai elemen terkait. Setidaknya terdapat dua alasan utama yang dapat dikaitkan dengan hal ini. Pertama, problematika dan isu dalam birokrasi memiliki kompleksitas yang tinggi, sehingga interaksi antar sesama dapat mengalami konflik yang disebabkan oleh nilai yang dibangun dalam tim, nilai individu dan faktor budaya, atau organisasi itu sendiri (Russell, 2019). Kedua, dinamika perkembangan pembangunan menuntut lingkungan birokrasi untuk dapat bekerja secara cepat, tepat, dan dinamis. Birokrasi secara fleksibel dituntut untuk melakukan adjustment (penyesuaian) yang berdampak pada discretionary po wer (kebijaksanaan) yang besar (Doig, 2014). Oleh karena itu, etika diharapkan dapat dijadikan pedoman atau petunjuk arah dalam pengambilan kebijakan tertentu.
Membicarakan etika dan pelayanan publik adalah bagaimana keduanya dapat saling terkait satu sama lain. Hal ini dilakukan dengan cara apa buah pikiran dalam pelayanan publik seperti gerakan anti korupsi, efisiensi, dan efektifitas dalam penganggaran serta pencapaian kinerja yang optimal memerankan etika dalam tataran praktis, dan bagaimana ide fundamental etika dalam mengonstruksi halhal baik dan menghapus yang tidak baik dapat menggambarkan pelayanan publik tersebut (D’onza et al., 2017; Russell, 2019).
Sementara itu, membincang masalah etika dalam mengelola keuangan negara bagaikan membicarakan sesuatu yang bersifat abstrak. Hal ini dikarenakan dalam setiap diri pri badi aparatur memiliki asumsi yang berbeda dalam memaknai pengelolaan keuang an negara itu sendiri. Sebagian pengelola keuangan masih memiliki anggapan bahwa uang yang dialokasikan dalam setiap mata anggaran yang disusun merupakan sesuatu yang bersifat materi saja, tanpa merasa bahwa uang tersebut sejatinya adalah amanah yang harus dikelola dengan sebaik mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan di dunia atau akhirat (Ahn & Jacobs, 2018; Mbelwa et al., 2019). Pada titik inilah sejatinya pengelola keuangan negara telah kehilangan spirit dalam memaknai kerja itu sendiri sebagai bentuk ritual ibadah seorang hamba kepada Penciptanya.
Pernah suatu ketika peneliti menanyakan pelaksanaan kegiatan kepada salah seorang oknum pejabat pengelola keuangan. Peneliti mendapat jawaban yang membuat terhentak. Beliau dengan nada yang kece
Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 233
wa mengatakan bahwa kegiatan tersebut tidak mendapat “keuntungan” sama sekali dari dana sisa anggaran. Malah dengan tegas beliau mengatakan “tekor” dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Hal ini tentu saja membuat peneliti bertanya, apakah yang bersangkutan merasa dana yang dikeluarkan layaknya dana pribadi seorang pedagang yang mengatakan bahwa dagangannya pada hari ini menderita kerugian alias tekor dikarenakan target penjualan tidak tercapai.
Fenomena tersebut tentu saja menjadi sesuatu hal yang tidak patut dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan. Pengelola keuangan negara seharusnya memiliki kewajiban dalam mempertanggungjawabkan dana yang sudah diamanahkan, alihalih merasa dana tersebut ibarat uang pribadi yang dapat dipakai dengan sesuka hati, bahkan lebih miris lagi malah dijadikan target dalam mendapatkan “keuntungan” pri badi. Di samping itu, efek dari diwajibkannya penyerapan anggaran yang tinggi membuka ruang bagi pengelola keuangan untuk dapat melakukan aksiaksi kreatif agar dana yang sudah dialokasikan dapat dihabiskan dengan maksimal di akhir tahun anggaran nantinya (Ahn & Jacobs, 2018; Mbelwa et al., 2019). Maka, tidak mengherankan jika di lemari bendahara atau laci para pengelola keuangan lazim ditemukan lembarlembar nota kosong yang sudah bercap basah ataupun capcap toko atau rumah makan pihak terkait yang “aspal” (asli tapi palsu). Jika pengelola keuangan masih melakukan halhal sebagaimana yang telah peneliti jabarkan, maka sesungguhnya dalam diri mereka masih belum terbentuk pribadi bertuah atau beruntung.
Selayang pandang potret akuntansi sektor publik di Indonesia. Tan Malaka pernah berujar: “Yang mengatakan benda adalah sesuatu yang mendahului fikiran, itulah para pengikut materialisme”. Hal ini ternyata kurang lebih merasuki pula alam pikiran mayoritas para pengelola keuangan negara. Etika pengelola keuangan negara yang sarat dengan materialisme dan hedonisme serta selalu bersandar dan berpadu padan dengan spirit induknya, yaitu kapitalisme, bisa saja dipengaruhi oleh praktik akuntansi modern yang notabene sarat manifestasi dari nilainilai kapitalistik yang melekat di dalamnya. Kapitalisme itu sendiri banyak mendayagunakan konsep etika ultilitarianisme (Sitorus, 2015; Sitorus et al., 2017). Etika ini selalu bersandar pada imbas sebuah aktivitas yang
diukur dengan utilitas (utility). Utilitas yang dimaknai oleh etika ini adalah utilitas dalam bentuk materi. Adapun materi di sini adalah uang. Dengan ukuran ini tindak tanduk etis (atau tidak etis) seseorang hanya dipandang dari seberapa banyak orang tersebut menghasilkan uang (Triyuwono, 2015).
Akuntansi sektor publik sebagai bagian dari produk akuntansi modern dalam gaung reformasi keuangan negara tidak terlepas dari spirit pembaruan yang dibawanya. Anggapan tentang superioritas sektor private sebagai satusatunya spirit pembaruan yang dianggap mampu dalam mengubah wajah sektor publik di negara ini, yang se ring dianggap lamban dan berbelitbelit te lah memberi ruang yang luas bagi new pu blic management (NPM) untuk dapat masuk ke dalam “tubuh” organisasi sektor publik (Kamayanti, 2011). Spirit yang dibawa oleh NPM sendiri pada inti nya adalah mengurangi atau bahkan menca but perbedaan antara sektor privat dengan sektor publik dan menggeser akuntabilitas yang awalnya hanya fokus terhadap proses menuju akuntabilitas yang fokus pada hasil akhir. Tidak mengherankan kemudian jika praktik pengelolaan keuangan negara selalu berfokus pada pencapaian penyerapan anggaran yang maksimal, sebagaimana terlihat dari urgensitas laporan realisasi anggaran (Tresnawati & Setiawan, 2013).
Semangat sektor privat yang dibawa oleh NPM selalu berkelindan dengan spirit kapitalisme yang berujung pada penghambaan terhadap materi dan fokus pada hasil akhir. Kamayanti (2011) melakukan map-ping terhadap semangat NPM dengan fokus pada pengendalian output dan kesederhanaan dalam pengalokasian sumber daya. Lebih lanjut Tresnawati & Setiawan (2013) menyebutkan pula bahwa doktrin yang dibawa oleh NPM lebih menekankan pentingnya informasi keuangan seperti Laporan Realisasi Anggaran, Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Di samping semangat sektor privat yang diusung oleh NPM, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) juga memutuskan untuk mengadopsi secara paripurna International Public Sector Accounting Standard (IPSAS) sebagai Standar Akuntansi Pemerintahan yang notabene mengacu pada International Finan-cial Accounting Standard (IFRS) tanpa proses filtrasi memadai (Tresnawati & Setiawan, 2013). Filosofi IFRS ini dalam pandang an kritis Mulawarman (2020) adalah alat im
234 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245
perialisme yang sepak terjangnya selalu memihak pada investor dibandingkan stake-holders lain (Tuhan, manusia, dan alam). Semangat memperkaya investor tersebut dalam bentuk akumulasi kekayaan merupakan semangat yang diwarisi oleh jiwa kapitalistis. Jika dikritisi secara fundamental, sifat akuntansi modern sendiri, termasuk di dalamnya akuntansi sektor publik pada dasarnya memiliki jiwa kapitalis dan mendukung kapitalisme.
Negaranegara yang sedang berkembang termasuk Indonesia disorot akibat birokrasi yang lamban serta ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam menjalani roda pemerintahan. Negaranegara tersebut didorong menuju pada proses yang bercirikan industrialisasi dan modernisasi terhadap pertumbuhan dan kemajuan pembangunan sosialnya. Pada saat itulah liberalisme mendapatkan momentumnya melalui In-ternational Monetary Fund (IMF) dan World Bank dengan cara memberikan bantuan moneter dalam bentuk utang (debt trap) kepada negaranegara tersebut dengan dalih mempercepat proses pembangunan. Setelah negara terjerat utang, IMF dan World Bank memainkan perannya untuk memaksa negaranegara tersebut agar membuat kebijakan (policy) yang mendukung kepentingannya serta melakukan restrukturisasi pemerintahan, termasuk salah satunya pengetatan anggaran pendapatan belanja negara atau daerah (Kamayanti, 2011).
Tatkala sebuah negara telah terje bak utang (debt trap), maka negara tersebut akan mudah untuk “disetir” sesuai dengan kehendak pengemudinya atau sang pemberi utang. Inilah fenomena yang terjadi di negeri kita tercinta ini. Negaranegara yang telah memberikan pinjaman dalam bentuk utang, dengan mudahnya mengatur negara kita sesuai dengan apa yang dikehendakinya (Kamayanti, 2011; Tresnawati & Setiawan, 2013). Hal ini akan berdampak pada sulitnya negara membuat regulasi atau kebijakan (poli-cy) yang berpihak pada kepen tingan rakyat banyak. Pada titik inilah se sungguhnya sebuah negara telah kehilang an kedaulatannya meskipun masih berada dalam “alam” kemerdekaan (Mulawarman, 2020).
Beberapa fenomena yang tampak tersebut sesungguhnya semakin menunjukkan bahwa yang membentuk etika pengelola keuangan negara “bermahzab” materialisme dan berorientasi pada hasil akhir dalam mengelola uang negara bersumber dari semang
at akuntansi sektor publik itu sendiri yang diadopsi secara paripurna dari IPSAS yang merupakan turunan dari IFRS dengan semangat kapitalisme yang melekat di dalamnya (Kamayanti, 2011). Pada konteks inilah etika profetik mencoba untuk memberikan alternatif lain sebagai langkah emansipatoris melalui spirit yang diangkat dari nilainilai ketauhidan dan kenabian serta berpijak pada kearifan lokal (local wisdom). Etika profetik mencoba untuk mengangkat “sang lain” sebagai pembebas dari keterbelengguan etika mainstream yang sarat dengan jiwa kapitalistis sehingga diri pribadi dapat menjadi pribadi yang bertuah atau beruntun termasuk pengelola keuangan negara.
Mainstream model pengembangan etika organisasi. Fenomena atas keberadaan etika dalam suatu organisasi, khususnya birokrasi pemerintahan merupakan hal yang menarik untuk didiskusikan. Etika merupakan pedoman penting dalam birokrasi. Persoalan etika acapkali diduga sebagai masalah perseorangan dan multidimensional, sempadan dalam situasi ini misalnya menyangkut beberapa aspek, seperti masalah kepercayaan dan keyakinan ataupun latar belakang diri personal tersebut. Maiga (2019) menyatakan bahwa etika sebenarnya meliputi suatu urutan pelaksanaan yang rumit dalam menentukan apa yang sebaiknya dilakukan seseorang terhadap kondisi atau situasi tertentu, yang urutan pelaksanaannya meliputi keselarasan pertimbangan bagian dalam (inner) dan luar (outer) meliputi kombinasi yang khas dan unik dari proses pembelajaran maupun pengalaman tiaptiap individu. Birokrasi senantiasa dituntut membuat kebijakan dengan kekuatan yang dimilikinya sehingga mengakibatkan penyesuaian regulasi. Hal inilah yang kemudian menjadikan etika penting untuk diaplikasikan (D’onza et al., 2017).
Birokrasi mempunyai regulasi terkait tingkah laku yang wajib diaplikasikan sebagai kode etik atau pedoman bagi setiap aparaturnya. Dalam pengaplikasian etika, kode etik melambangkan kumpulan aturan dasar etika yang terkenal di sebagian besar organisasi (Akhtyamova et al., 2015; Forster & Fenwick , 2015). Kode etik selayaknya di susun dengan melihat aspekaspek kepen tingan pihak eksternal maupun internal. Kode etik Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tertuang dalam PP Nomor 42 Tahun 2004 menerangkan tentang pedoman sikap, perbuatan, tingkah laku yang seharusnya
Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 235
dilakukan oleh PNS dalam melaksanakan tugas dan fungsi serta interaksi sosial seharihari. Kode etik tersebut meliputi aspekaspek etika dalam bernegara dan halhal fundamental lainnya.
Kebutuhan akan aplikasi etika dalam organisasi pada dasarnya terletak pada skala makro dan skala mikro. Briando & Purnomo (2019) dan Triyuwono (2016) menyebutkan bahwa dalam skala makro, hakikat organisasi tidak bisa lepas dari sistem nilai etika (misalnya sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama). Selanjutnya dalam skala mikro, adanya kemampuan manusia sebagai individu yang memiliki kapasitas untuk menciptakan dan membangun realitas, yaitu realitas dengan jaringan sistem nilai yang mampu mengikat setiap aktivitas kehidupan individuindividu yang ada dalam masyarakat secara majemuk. Dikatakan pula bahwa ketika sebuah realitas telah terbentuk, tetapi tanpa didasari oleh nilainilai etika (values ethic). Maka, realitas yang dibentuk tersebut akan menjaring kehidupan individuindividu masuk ke dalam jaringanjaringan masyarakat tanpa memiliki nilai etika. Akibatnya, tatanan kehidupan sosial menjadi hancur dan rusak sehingga masyarakat yang bersangkutan pada hakikatnya sudah dianggap tiada atau telah “mati”.
Kemajemukan yang terdapat dalam kedua skala tersebut memang sulit dihindari, karena kemajemukan itu sendiri merupakan fenomena yang bersifat natural atau “alamiah”. Hal ini memberikan indikasi bahwa kemajemukan itu merupakan sesuatu yang lumrah ada. Namun, di samping kemajemukan tersebut, harus ada sebuah nilai (value) yang dapat diterima oleh semua pihak dan bersifat universal. Kesepakatan dasar (basic agreement) dimaksud tidak lain adalah nilainilai universal yang secara mantap disetujui dan diakui bersama oleh berbagai kalangan tanpa ada sekat dimensi ruang dan waktu. Contoh dari nilai tersebut adalah kebenaran (truth) dan keadilan (justice). Kedua nilai tersebut sejatinya lumrah berada pada individu dan tidak seorang pun resisten dengan nilainilai tersebut.
Schwartz (2002) merefleksikan barometer universal dalam merumuskan kode etik meliputi beberapa aspek seperti kepercayaan, saling menghormati, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dan hak kewarganegraan. Nilainilai universal tersebut dapat diterima secara umum oleh berbagai
kalangan dikarenakan sesuai dengan prinsip kebenaran dan keadilan. Namun faktanya, pencarian nilai kebenaran dan keadilan tersebut tidak gampang diimplementasikan karena perbedaan sudut pandang (world view) antara satu individu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, sudut pandang terhadap nilai tersebut akhirnya menjadi beragam; dalam arti bahwa memang ada perbedaan persepsi dalam segi “bentuk”, tetapi hakikat kebenaran dan keadilan itu sendiri adalah sama (Triyuwono, 2015).
Berdasarkan investigasi dari penelitiannya, Schwartz (2002) menguraikan bahwa masih terdapat perbedaan persepsi atau pandangan baik secara normatif maupun empiris atas keberadaan kode etik. Dikatakan pula bahwa keberadaan kode etik pada organisasi belum berdampak signifikan terhadap tingkah laku etis dan belum bisa menjadi penuntun bagi pekerja atau organisasi untuk bersikap etis dalam kesehariannya sebagaimana harapan oleh stakeholdersnya (Zhou et al., 2018). Pada kondisi semacam ini kode etik hanyalah sekadar simbolisme etis organisasi. Hal ini pula yang peneliti rasakan selama menjabat sebagai pengelola keuangan di tempat peneliti bekerja. Kode etik yang telah diramu oleh pembuat kebijakan seolah hanya menjadi pajangan atau simbol untuk memeriahkan sudutsudut ruangan kantor.
Untuk menghindari ketidakterterapan kode etik, Schwartz (2002) menyatakan bahwa dalam merumuskan kode etik perlu memperhatikan aspekaspek fundamental yang berkaitan dengan waktu, keyakinan agama, budaya, serta situasi dan kondisi yang ada. Upaya menggunakan keyakinan agama dalam membangun etika dan kode etik bukanlah sesuatu yang utopis. Hal tersebut pernah dilakukan oleh Kawas et. al (2020) yang melakukan internalisasi nilainilai dalam ajaran Islam dalam mengembangkan etika bisnis. Dalam konteks yang berbeda, Bordeman & Westermann (2019) dan McPhail & Cordery (2019) menyatakan kode etik secara prinsip sebaiknya dibuat agar dapat mendukung dan mendorong eksistensi organisasi dan karyawan serta membe rikan inspirasi bagi mereka agar senantiasa dapat bekerja secara profesional dan berpe rilaku etis dalam menjalankan aktivitasnya.
Terlepas dari masih terdapatnya perbedaan persepsi atas keberadaan kode etik, eksistensi penerapan kode etik sejatinya tetap dibutuhkan. Alegori adab yang disiste
236 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245
matisasi dalam kode etik harus diapresiasi sebagai ikhtiar positif dalam membentuk perilaku karyawan dan organisasi agar dapat bekerja dengan lebih baik dan bermartabat sehingga menumbuhkan suatu penyadaran bahwa bekerja merupakan suatu bentuk ikhtiar dan ibadah yang akan dimintai pertanggungjawaban, tidak hanya kepada atasan tetapi juga kepada Sang Pemberi Rezeki Tuhan Semesta Alam (Kaliszewska, 2020; McPhail & Cordery, 2019).
Pada saat yang sama mesti juga dipahami bahwa keberadaan kode etik belumlah cukup membentuk tingkah laku pekerja dan organisasi menjadi lebih etis. Merujuk fakta yang ada bahwa masih terdapat perilaku yang tidak etis dalam pengelolaan keuangan negara seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Sehingga harapan dalam membentuk pribadi bertuah masih jauh dari yang dicitacitakan. Hal tersebut harus ditindaklanjuti dengan mengkreasikan suatu sistem etika baru secara lebih komprehensif dan fundamental melalui etika profetik.
Dilema etis: terjebak antara hati nurani dan perintah pimpinan. White & Lam (2000) mengemukakan bahwa kode etik yang telah dibuat atau diciptakan oleh organisasi tidak berpengaruh secara signifikan dalam menekan terjadinya dilema etis. Selain itu, diungkapkan juga bahwa organisasi kurang menerapkan programprogram yang mengarah pada pembentukan etika bagi stafnya. Pada sisi lainnya, Zhou et al. (2018)
berargumentasi bahwa organisasi yang menerapkan kode etik secara tertulis memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran kode etik lebih tinggi daripada yang lainnya. Pelanggaran tersebut tetap terjadi karena tidak optimalnya sebaran informasi. Hal ini disebabkan oleh ketidakpahaman atas implementasi kode etik dan sikap acuh tak acuh dari karyawan terhadap keberadaan kode etik.
Jika kita melihat Gambar 1, terlihat faktor means, motivation, dan opportunity. Faktorfaktor tersebut memberikan pe ngaruh langsung pada perilaku tidak etis dalam institusi. Hal ini berdasar pada pendapat bahwa orangperorangan cenderung lebih tertarik berhadapan dengan dilema etis dalam beberapa situasi. Pertama, organisasi tidak merumuskan serta mengaplikasikan “means” dalam menghalau perilaku tidak etis. Kedua, individu memiliki “motivasi” pribadi atau personal “motivation” yang diperoleh dari perilaku tidak etis. Ketiga, situasi kerja membuka ruang “opportunity” dalam membentuk perilaku dan praktik tidak etis.
Faktor pertama adalah means, regulasi yang mengatur tata cara dan kebijakan dalam suatu organisasi/institusi yang secara khusus mengacu pada etika. Kode etik yang telah dikreasikan oleh organisasi/institusi, dan menilik diskusi sebelumnya, termasuk dalam pengertian ini. Faktor berikutnya adalah motivation. Orangperorangan dalam suatu organisasi/institusi acapkali berpijak
Organizational Climate
Individual Needs Job Positions
Means
OpportunityMotivation
Gambar 1. KomponenKomponen Munculnya Dilema EtisSumber: White & Lam (2000)
Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 237
dari beragam motivasi diri yang mewarnai sistem nilai yang dianutnya. Ketika sistem nilai yang muncul dalam organisasi/institusi tidak dapat mendorong individu untuk bersikap etis, maka motivasi individual dalam meraih kebutuhan pribadi tidak dapat dihindarkan yang pada akhirnya menyebabkan perilaku curang. Oleh karena itu, aspek pemenuhan kebutuhan pribadi dalam berbagai perspektifnya harus menjadi perhatian. Sementara itu, faktor terakhir adalah opportunity. Perilaku tidak etis seringkali muncul karena posisi atau kedudukan yang dimiliki oleh seseorang di tempat ia bekerja. Seberapa tinggi kesempatan (opportunity) yang dimiliki oleh seseorang dengan memanfaatkan posisi kerja juga erat kaitannya dengan keberadaan means dan terjaganya mo-tivation.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi seringkali pengelola keuangan menghadapi dilema etis yang disebabkan oleh tekanan yang dilakukan pimpinan. Pimpinan yang kerap menyalahgunakan opportunity dalam memberikan instruksi kepada bawahan untuk mengerjakan sesuatu yang tidak etis, contoh: membuat perjalanan dinas fiktif, laporan pertanggungjawaban fiktif, dan laporan keuangan fiktif yang mengakibatkan timbulnya konflik batin dalam diri pengelola keuangan.
Studi yang dilakukan oleh Briando & Purnomo (2019) juga menyebutkan bahwa kesempatan (opportunity) merupakan faktor pendorong seseorang untuk melakukan fraud. Ketika tekanan terjadi tetapi tidak memiliki kesempatan, maka peluang terjadinya fraud relatif kecil. Sebaliknya, ketika seseorang memiliki kesempatan walaupun tanpa tekanan, maka peluang terjadinya fraud semakin besar. Walaupun dalam kajian lain mengindikasikan bahwa tekanan juga memberikan kontribusi besar terhadap terjadinya fraud. Tekanan bisa berbentuk organisasional di tempat kerja, tekanan keuangan serta tekanan di luar aspek tersebut. Lebih lanjut tekanan dapat berasal dari internal diri sendiri, contoh: karena bad habbit, style, dan tekanan eksternal yang disebabkan organisasi. Tekanan yang disebabkan oleh organisasi (tekanan oleh atasan salah satunya) memiliki kontribusi yang tinggi terhadap terjadinya korupsi (Zhou et al., 2018).
Ketika bercermin pada khazanah kearifan lokal, kita akan menemukan bahwa kondisi niretika semacam di atas sejati nya sungguhlah bertentangan. Dalam ajaran
Melayu misalkan, selalu ditekankan bahwa rezeki sudah digariskan dan diatur oleh Tuhan Semesta Alam, jadi tidak perlu mencari lebih dari apa yang didapat. Sesuai dengan ungkapan Melayu “secupak tak akan menjadi segantang”, artinya apa yang sudah ditentukan itulah rezeki kita, janganlah mengejar berlebihlebihan (Jamian et al., 2017; Ming, 2012). Jika pengelola keuangan mengamalkan khasanah tersebut tentu saja harapan dan citacita dalam membentuk pribadi bertuah atau beruntung bukan sesuatu yang utopis.
Budaya Melayu sebagai jalan membangun etika. Melayu adalah salah satu suku bangsa dari sejumlah suku bangsa di Indonesia. Orang Melayu sesuai dengan alam, lingkungan, dan kemampuan (cipta, rasa, dan karsa) telah mewariskan kebudayaan yang merupakan salah satu puncak dari kebudayaaan nasional Indonesia (Abdullah, 2017). Salah satu hasil budaya manusia adalah filsafat. Oleh karena itu filsafat adalah kebudayaan yang berbentuk kebudayaan nonmaterial. Dari berbagai pengertian filsafat, terdapat pengertian yaitu pandangan hidup dan hasil pikiran manusia yang kritis, analitis, mendalam, sistematis, serta me rupakan refleksi lebih lanjut dari ilmu pengetahuan termasuk etika di dalamnya (Solissa, 2020).
Mengkaji alam pikiran manusia berarti mengkaji caracara manusia itu menentukan kebenaran, menentukan adanya sesuatu (ontologi) mengapa dan bagaimana adanya itu (epistimologi) dan untuk apa sesuatu itu (aksiologi). Untuk mengkaji alam pikiran orang Melayu, perlu bertolak dari sudut pandang hidupnya. Dengan mengkaji pandangan hidup itu kiranya tergambar ciriciri alam pikiran mereka (Anatassia et al., 2015; Aslan, 2017). Bagi orang Melayu, Islam adalah ajaran yang menjadi panutan. Hal ini memberikan pengertian bahwa normanorma sosial serta seluruh aktivitas orang Melayu wajib merujuk pada nilainilai Islam, seperti ungkapan:
“Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullahAdat ialah syarak semataAdat semata Qur’an dan SunnahAdat sebenar adat ialah kitabullah dan sunnah nabiSyarak mengata, adat memakaiYa kata syarak, benar kata adatAdat tumbuh dari syarak, syarak
238 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245
tumbuh dari kitabullahBerdiri adat karena syarak.”
Artinya, adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang Melayu selalu bersandarkan pada hukum Islam yang terdapat dalam kitab suci yang diwahyukan Allah SWT. Bersebatinya Melayu masuk agama Islam akan disebut sebagai orang yang masuk Melayu. Sebaliknya, orang Melayu pindah ke agama lain, dikatakan orang tersebut telah keluar dari suku bangsa Melayu (Abdullah, 2017; Ming, 2012).
Dalam budaya Melayu Islam menjadi “tulang punggung” dalam mengembangkan nilainilai kehidupan (way of life), sehingga dalam jati diri orang Melayu terwujud life-style yang Islami. Menyatunya budaya dan nilai Islam inilah yang pada akhirnya membuat orang Melayu memiliki akal budi yang tinggi, perangai yang terpuji, lembut dalam bertutur, bijak dalam bertindak, serta halus dalam bahasa. Norma serta aturan dalam agama menjadi tolok ukur pertama dan utama dalam menentukan etika kehidupan (Briando & Embi, 2019; Nasilah et al., 2015)
Dalam tradisi Melayu seorang yang beruntung itu disebut sebagai orang atau pribadi bertuah. Menjadi bertuah adalah suatu harapan dan citacita tertinggi bagi orang Melayu sebagaimana ungkapan Melayu berikut ini:
“Apa tanda orang bertuahSempurna hidup dengan matinyaSempurna akal dengan budinyaSempurna adat dengan syaraknyaSempurna ilmu dengan amalnyaApa tanda orang yang takwaHidup bergantung pada Yang EsaMati berpegang pada yang satuDada dipahat dengan imanLidah diisi dengan petuah.”
Dekat dengan Tuhan merupakan suatu “tuah” atau keberuntungan yang tidak ternilai harganya, karena dekat dengan Tuhan akan membuka jalan bagi seorang hamba untuk meniti jalan yang lurus agar kembali kepada Sang Pencipta dengan kalbu yang suci dan penuh kemenangan sehingga mendapat ketenangan hidup di dunia dan akhirat. Inilah makna “tuah” sesungguhnya. Tuah dapat dicapai dengan takwa, yaitu kedudukan seorang hamba yang paling mulia di hadapan Sang Pencipta.
Tuah merupakan suatu sikap mental yang dapat menghantarkan seorang individu kepada ketundukan terhadap Penciptanya. Sikap mental ini bertalian dengan kepribadian (personality) seseorang yang terwujud dari sistem hubungan atau internalisasi konsepsi ajaran Tauhid ke dalam “diri” (self)nya. Hal ini sejalan dengan argumentasi Griffel (2015) dan MacHlis (2014), khususnya mengenai konsep trilogi ajaran Ilahi (Islam. Iman, dan Ihsan) dan konsep takwa, tawakal, dan ikhlas sebagai wujud ikatan agama. Hal ini mengindikasikan bahwa konsepsi Islam, iman, dan ihsan menggambarkan fase kedewasaan dan kematangan kepribadian menuju ketakwaan, yaitu berurutan dari tingkat tertinggi sampai terendah. Jadi, takwa dalam takrif “semangat Ketuhanan” mengasung pengertian bahwa takwa bukan hanya menuntut hamba mempunyai ilmu tinggi tentang Sunatullah, tetapi juga menataati segala perintah Allah SWT.
Triyuwono (2016) berargumentasi bahwa takwa adalah capaian spiritual seorang hamba di mana ia merasakan ketundukan kepada Sang Pencipta, atau Ia seutuhnya merasa bahwa ruhnya digerakkan oleh Tuhan Yang Maha Berkehendak. Dalam perspektif Melayu, takwa bermakna bahwa hidup bergantung pada Tuhan Yang Maha Esa, mati berpegang pada agama Allah, dada dipenuhi dengan pancaran iman, serta lidah selalu diisi dengan zikir, doa, dan mengingat kepadaNya. Lisan selalu dipenuhi dengan petuah dan teladan (Jamian et al., 2017; Thamrin, 2015). Muaranya, manusia tahu mana yang baik dan buruk atas kehendakNya, yang salah dan benar atas petunjuk Nabiyullah. Inilah pribadi bertuah yang kelak siap secara lahir dan batin untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Inilah sejatinya hakikat “tuah” yang harus dimiliki oleh pengelola keuangan negara.
Tujuan akhir adalah Allah (Tuah). Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa etika profetik adalah etika yang dibangun atas persaksian iman, yang kemudian memunculkan penyadaran ketuhanan, kenabian dan keilmuan. Kemudian melalui konsep dasar pandangan hidup dan alam pikiran orang Melayu yang mengakui bahwa realitas absolut adalah Allah, maka dapat dipahami bahwa tujuan hidup manusia adalah kembali kepada Sang Pencipta. Kembali pada Sang Pencipta adalah tujuan yang absolut dan konkret bagi seorang hamba. Salah satu
Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 239
cara agar dapat bertemu dengan Tuhan kelak di akhirat adalah dengan memperoleh syafaat dari baginda nabi dengan cara meneladani sifatsifat mulia beliau. Peneliti kemudian mencoba untuk menghadirkan suatu metafora atas temuan penelitian dengan diawali prosedur spiritual yaitu: zikir, doa, dan tafakur.
Peneliti kemudian memanjatkan doa kepada Sang Pemilik Ilmu. Doa tersebut berbunyi:
“Wahai Allah yang memiliki kerajaan, Engkau beri kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendak i dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tanganMu lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu, Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hi sab”
Di waktu akhir peneliti melakukan prosedur tersebut, tibatiba saja dalam benak peneliti dihadirkan suatu gambaran yang secara jelas tervisualisasikan dalam bentuk bangunan masjid. Pada titik inilah intuisi seorang peneliti mulai dikedepan kan. Masjid merupakan rumah ibadah umat Islam, tempat aktivitas ibadah sebagian besar dilakukan. Masjid itu sendiri merupakan simbol riil ukhuwah Islamiyah karena merupakan manifestasi dari kegiatan ibadah seperti sholat berjamaah, tadabur AlQur’an, zakat, infak, dan sedekah.
Metafora masjid tampak seperti pada Gambar 2. Masjid secara umum memiliki bagian utama dalam infrastrukturnya. Bagian tersebut antara lain terdiri dari lantai masjid, dinding masjid, menara masjid serta atap atau kubah masjid. Jika memperhatikan bangunan masjid pada umumnya, kita akan sering melihat suatu simbol di bagian ujung atap atau kubah masjid tersebut. Simbol tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Allah. Simbol tersebutlah yang menjadi tujuan akhir manusia dalam perjalanannya menuju “kampung” akhirat sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an Surah AnNajm ayat 42 yang berbunyi: “dan sesungguhnya hanya kepada Allah lah tu
Gambar 2. Metafora Masjid
PRINSIP FILOSOFIS PROFETIK
TUAH SPIRIT PROFETIK
SAFAATMU MARWAHKU
KONSEPSI HIDUP MELAYU
240 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245
juan akhir”, yaitu kembali kepada Tuhan untuk bertemu denganNya dalam keadaan jiwa yang suci dan tenang. Keberadaannya mutlak, karena Dia adalah Yang Mahamutlak di mana semua makhluk akan kembali termasuk para aparatur pengelola keuangan negara.
Semua bagian infrastruktur etika profetik yang terdapat dalam metafora masjid tersebut menuju pada titik pusat yaitu Tuhan Semesta Alam, Allah SWT. Sebelum sampai pada titik tersebut setiap bagian dari masjid harus dibangun dengan pondasi yang kuat yang terdiri dari beberapa infrastrukstur.
Infrastruktur 1: pondasi masjid. Bagian awal yang harus dibangun tentu saja pondasi atau lantai masjid. Konsepsi hidup Melayu yang terdiri dari hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, alam, dan diri pribadi peneliti metaforakan sebagai pondasi atau lantai masjid. Hal ini dimaksudkan agar etika profetik memiliki suatu penyadaran bahwa sejatinya manusia adalah hamba yang diciptakan oleh Tuhan untuk mengemban amanah sebagai seorang Khalifah yang memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada diri pribadi, tetapi kepada Tuhan, sesama manusia, dan semesta alam.
Infrastruktur 2: menara masjid. Bagian berikutnya yang harus dibangun adalah menara masjid. Menara masjid merupakan bangunan yang senantiasa mendampingi bangunan utamanya, yaitu masjid. Menara masjid pada zaman nabi memiliki peran yang sentral yaitu sebagai pengingat waktu sholat karena di menara itulah muadzin mengumandangkan adzan. Di samping itu, Cholil (2017) dan Nasser (2015) berargumentasi bahwa menara masjid berfungsi sebagai pengontrol keadaan umat di sekeliling masjid. Dari menara masjid tersebut dapat diketahui rumah mana yang dapurnya tidak pernah mengepul sehingga perlu untuk disantuni. Sebuah menara tidak dapat berdiri tegak jika tidak ada pondasi yang kuat menopangnya. Untuk itulah kemudian peneliti memetaforakan prinsip filosofis dan spirit profetik sebagai pondasi yang akan menopang menara masjid tersebut. Menara tersebut tidak akan mudah goyah jika diterpa oleh angin dan badai yang kuat. Namun, sesungguhnya tegak dan kokohnya menara selalu ada sesuatu di atasnya yang lebih tinggi dan tidak terlampaui. Dialah Sang Pemilik Segalanya, Allah SWT.
Infrastruktur 3: dinding masjid. Bagian berikutnya adalah dinding masjid. Dinding merupakan bagian utama sebuah masjid. Sama seperti lantai dan menara masjid, dinding masjid yang kuat dan kokoh juga harus memiliki pondasi utama. Dalam hal ini pondasi yang akan menopang dinding tersebut adalah program MARWAHKU dan prinsip SAFAATMU. Dengan program dan prinsip tersebut, etika profetik dapat diaplikasikan secara fisik dalam praktiknya, ibarat “fisik” sebuah dinding yang seutuh nya terdapat dalam infrastruktur masjid. Jika masjid telah memiliki “fisik” berupa dinding, kita akan dengan mudah mendekorasinya, memberikannya warna yang indah serta merawatnya. Dengan analogi yang sama, program dan prinsip yang telah memiliki “wujud” tersebut akan mudah untuk dipraktikkan, diaplikasikan, serta dipedomani.
Infrastruktur 4: kubah masjid. Bagian berikutnya adalah kubah. Secara umum kubah berbentuk seperti kerucut yang permukaannya melengkung keluar atau seperti separuh bola. Kubah biasanya diposisikan pada bagian atas masjid dan berfungsi sebagai atap. Kubah merupakan bagian masjid yang dapat menghadirkan ruang positif. Ruang positif kubah menjadikan orang merasa leluasa dan khusyuk berada di dalamnya. Selain memunculkan nuansa megah, bentuk kubah juga dapat membuat seseorang merasa kecil di hadapan Tuhan yang Mahabesar. Pada akhirnya hal tersebut akan memunculkan sikap takwa dalam diri seseorang. Takwa tersebut yang akan menjadikan sese orang menjadi bertuah atau beruntung. Tuah peneliti metaforakan sebagai kubah masjid.
Infrastruktur 5: simbol Allah. Terakhir,sampailah pada ujung atau titik pusat infrastruktur masjid yaitu simbol Allah. Simbol tersebut keberadaannya mutlak karena melambangkan Yang Mahakuasa, Tuhan Semesta Alam. Semua makhluk akan kembali kepadaNya. Ketika seseorang telah sampai pada titik pusat ini, maka kedamaian, kebahagiaan, dan keselamatan akan menyertai setiap langkahnya. Arti sampai disini bukan bermakna meninggal secara fisik, tetapi kesadaran manusia telah mencapai pada puncak kesadaran tertinggi yaitu kesadaran spiritual, kesadaran ketuhanan di mana di dalam konteks ini seseorang pasrah, patuh dan tunduk secara penuh (all out) pada kehendak Tuhan. Tidak ada lagi capaian yang lebih tinggi dari pada penyerahan total ini.
Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 241
Titik pusat masjid: Tuhan sebagai tujuan akhir. Semua infrastruktur yang membangun masjid menuju pada satu titik yaitu Allah. Allah yang keberadaannya mutlak, karena Dia adalah Yang Mahamutlak, di mana semua makhluk akan kembali. Titik pusat ini berkaitan pula dengan bait terakhir Gurindam Dua Belas gubahan Raja Ali Haji yang berbunyi:
“Ingat dirinya akan matiInilah asal berbuat baktiAkhirat itu terlalu nyataKepada hati yang tidak buta”
Ketika bait tersebut dilantunkan, seketika itu pula seorang hamba akan tersadar bahwa tempat kembali sejatinya adalah kampung akhirat, tempat seorang hamba dapat berjumpa dengan penciptanya. Jika seorang hamba termasuk pengelola keuangan ingat akan kematian, maka pada titik inilah asal ia berbuat bakti. Ketika kesadaran telah sampai pada titik asal, mereka akan menyadari jikalau akhirat itu terlalu nyata bagi hamba yang tidak buta. Buta di sini bukan dalam pengertian buta secara fisik, tetapi kesadaran manusia telah sampai pada kesadaran spiritual, yaitu kesadaran ketuhanan di mana dalam kondisi ini seseorang tunduk, patuh, dan pasrah secara total pada kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Pada posisi ini seseorang menjadi manusia yang bertakwa. Manusia bertakwa inilah sejatinya manusia yang bertuah.
Takwa adalah kedudukan manusia yang paling mulia di hadapan Tuhan. Takwa adalah kondisi atau capaian spiritual manusia di mana ia merasakan ketundukan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, atau ia merasakan melalui ruhnya yang terdalam bahwa penglihatannya, pikirannya, perkataannya, dan tindakannya digerakkan oleh Tuhan Yang Maha Berkehendak. Tentu saja capaian antara orang yang satu dengan yang lain berbedabeda. Akan tetapi, paling tidak setiap diri manusia umumnya dan pengelola keuangan khususnya dapat mengetahui sendiri posisi capaian ketakwaannya. Pribadi bertuah adalah ketundukan total, yaitu penyerahan diri kepada Tuhan secara total. Ia tidak memiliki ego lagi, yang ada hanya Tuhan. Ini adalah capaian paling tinggi dari pribadi bertuah. Tidak ada lagi capaian spiritual yang lebih tinggi dari penyerahan to
tal ini. Semuanya dilakukan untuk kembali kepada Ilahi, inilah dasar hidup yang asali, inna lillaahi wa inna ilaihi raajiuun.
SIMPULANSalah satu bentuk ikhtiar yang dilaku
kan adalah fokus pada upaya yang sistematis untuk menanamkan etika pada pengelola keuangan negara. Meskipun sangat banyak dan variatif nilainilai etika yang perlu ditanamkan, secara khusus dalam konteks ini dikemukakan empat nilai atau spirit yaitu: kemanusiaan, keilmuan, kehambaan, dan kesemestaan. Prinsip filosofis: humanis, emansipatoris, transcendental, serta teleologikal dibangun secara bersama dengan spirit tersebut. Spirit dan prinsip filosofis yang dikemukakan tersebut membuat peneliti terpacu untuk membangun alternatif etika sebagai antitesis dari etika mainstream yang telah lama menjadi kiblat dalam merancang kode etik. Inilah kemudian yang menjadi temuan utama dalam kajian ini. Dalam hal ini peneliti mencoba mengambil jalan lain (take another way). Jika selama ini etika mainstream lahir dari rahim utilitarianisme, peneliti mencoba untuk menelurkan etika dari Sang Pemilik Rahim Sejati, yaitu Tuhan Semesta Alam dan Sang Hamba Paripurna, yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Maka dari itu, secara filosofis etika ini memiliki implikasi semangat yang juga berbeda dari semangat etika mainstream. Semangat atau spirit yang melandasi etika ini adalah spirit ketuhanan dan spirit kenabian.
Etika profetik yang termanifestasi dalam program MARWAHKU serta termotivasi oleh syafaat Rasulullah dalam bentuk SAFAATMU, merupakan suatu solusi bentuk hijrah dari etika mainstream yang selama ini membawa semangat materialisme dan hedonisme. Etika profetik menjadi jawaban dan solusi atas keterpisahan etika main-stream dari Tuhan, sehingga mengakibatkan perilaku yang mengamalkan juga lepas dari Tuhan dan beranggapan bahwa Tuhan me rupakan bagian luar dari etika itu sendiri. Etika profetik yang membentuk pribadi bertuah menjadikan Tuhan sebagai bagian mutlak dan absolut dari etika yang dibentuk agar menjadi pribadi beruntung, sehingga orang yang mengamalkan etika tersebut menjadi semakin dekat dan mengenal Tuhannya. Inilah hakikat bertuah atau beruntung, yaitu seorang yang kenal dan dekat
242 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245
dengan Tuhan dapat kembali kepadaNya dengan keadaan jiwa yang suci dan tenang. Inilah salah satu bentuk kontribusi dalam menambah khasanah keilmuan terkait etika profesi akuntan pemerintah dalam hal ini pengelola keuangan negara dalam perspektif yang berbeda. Etika pengelola keuangan yang selama ini dibangun hanya berdasar pada aspek material penulis potret dari aspek spiritual, sehingga konsep etika yang dihasilkan lebih komprehensif.
“Tidak ada manusia yang sempurna karena sesungguhnya kesempurnaan itu hanyalah milik Allah semata.” Ini merupakan statement yang selalu peneliti yakini. Begitupun dengan penelitian ini. Sesungguhnya ilmu yang peneliti miliki sangat terbatas, maka tidak mengherankan pula jika penelitian ini tidak terlepas dari ketidaksempurnaan. Masih terdapat kelemahan ataupun keterbatasan dalam hal lainnya seperti bagaimana bentuk implementasi dari pelaksanaan etika ini dalam praktiknya. Hal ini yang harus menjadi perhatian peneliti berikutnya. Kita sebagai hambaNya berkewajiban untuk terus menggali dan mempelajari apa yang telah Allah turunkan ke dunia ini, berupa ayatayat kauliyah dan kauniyah yang terhampar luas di semesta alam. Inilah yang kemudian menjadi agenda lanjutan. Kemampuan manusia ibarat setitik debu di padang pasir atau setetes air di lautan samudra, yang tentunya tidak akan pernah menyamai ilmu yang Tuhan miliki. Kita sebagai manusia hanya mampu untuk terus berikhtiar dan berdoa agar senantiasa diberi petunjuk, rahmat, dan hidayah dalam mengarungi kehidupan yang fana dan tidak abadi ini. Etika profetik semakin menyadarkan manusia tentang hakikat hidup di dunia sebagai khalifah di muka bumi dan menyadarkan manusia bahwa dunia bukan satusatunya tujuan akhir. Ada tujuan akhir yang hakiki menunggu di depan, yaitu kematian dan alam akhirat, serta ada bonus yang menanti orang bertuah (beruntung) yaitu mendapat syafaat Rasulullah serta bertemu kelak dengan Tuhan Semesta Alam, Allah SWT. Inilah yang menjadi ukuran mutlak dari etika profetik yaitu kembali kepada Tuhan dengan jiwa yang suci dan tenang. Inna lillaahi wa inna laihi Raaji’uun.
DAFTAR RUJUKANAbdullah, I. (2017). Glokalisasi Identitas Me
layu:Potensi dan Tantang Budaya da
lam Reproduksi Kemelayuan. Man-haj: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 6(2), 17. https://doi.org/10.1161/mhj.v5i2.742
Abdullah, M. A. (2014). Religion, Science and Culture: An Integrated, Interconnected Paradigm of Science. Al-Ja-mi’Ah, 52(1), 175203. https://doi.org/10.14421/ajis.2014.521.175203
Adhikari, P., & GårsethNesbakk, L. (2016). Implementing Public Sector Accruals in OECD Member States: Major Issues and Challenges. Accounting Forum, 40(2), 125142. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2016.02.001
Afou, R. B. A. E. (2017). Knowledge of IslamicAccounting among Professionals: Evidence from the Tunisian Context. Jour-nal of Islamic Accounting and Business Research, 8(3), 304325. https://doi.org/10.1108/JIABR0320150008
Ahn, P. D., & Jacobs, K. (2018). Beyond the Accounting Profession: A Professionalisation Project in the South Korean Pu blic Sector Accounting Field. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 32(1), 101132. https://doi.org/10.1108/AAAJ1120162795
Akhtyamova, N., Panasyuk, M., & Azitov, R. (2015). The Distinctive Features of Teaching of Islamic Economics: Philosophy, Principles and Practice. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 191, 23342338. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.04.707
Anatassia, D. F., Milla, M. N., & Hafiz, S. E. (2015). NilaiNilai Kebajikan: Kebaikan Hati, Loyalitas, dan Kesalehan dalam Konteks Budaya Melayu. Jurnal Psi-kologi Ulayat, 2(1), 335347. https://doi.org/10.24854/jpu1201530
Aslan. (2017). NilaiNilai Kearifan Lokal dalam Budaya Pantang Larang Suku Melayu Sambas. Jurnal Ilmiah Ilmu Ush-uluddin, 16(1), 1120. https://doi.org/10.18592/jiu.v16i1.1438
Atkins, J., Atkins, B. C., Thomson, I., & Maroun,W. (2015). “Good” News from Nowhere: Imagining Utopian Sustainable Accounting. Accounting, Auditing and Ac-countability Journal, 28(5), 651670. https://doi.org/10.1108/AAAJ0920131485
Bigliardi, S. (2014). The Contemporary Debateon the Harmony between Islam and Science: Emergence and Challenges of
Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 243
a New Generation. Social Epistemology, 28(2), 167186. https://doi.org/10.1080/02691728.2013.782583
Bordeman, A., & Westermann, K. D. (2019). The Professional Ethics Exam and Acts Discreditable: An Introductory Assignment. Issues in Accounting Education, 34(4), 3953. https://doi.org/10.2308/iace52545
Breyer, C., Heinonen, S., & Ruotsalainen, J. (2017). New Consciousness: A Societal and Energetic Vision for Rebalancing Humankind within the Limits of Pla net Earth. Technological Forecasting and Social Change, 114, 715. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2016.06.029
Briando, B., & Embi, M. A. (2019). Pandang anHidup dan Alam Pikiran Orang Melayu. Oetoesan-Hindia: Telaah Pemikiran Ke-bangsaan, 1(2), 6978. https://doi.org/10.34199/oh.1.2.2019.003
Briando, B., & Purnomo, A. S. (2019). EtikaProfetik bagi Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multipara-digma. https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10020
Briando, B., Triyuwono, I., & Irianto, G. (2017). Gurindam Etika Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 8(1), 1–17. https://doi.org/10.18202/jamal.2017.04.7036
Brown, A. (2018). A Metaphorical Analysisof the Love Song of J. Alfred Prufrock by T. S. Eliot. Accounting Forum, 42(1), 153165. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2018.01.006
Carrington, A. M. (2014). Expanding the Debate: A Comparative Exploration of Physical and Spiritual Ways of Knowing, Methods and Measures. Qualita-tive Research Journal, 14(2), 179196. https://doi.org/10.1108/QRJ0820130049
Cholil, M. (2017). Complexities in Dealing with Gender Inequality: Muslim Women and MosqueBased Social Services in East Java Indonesia. Journal of Indone-sian Islam, 11(2), 459488. https://doi.org/10.15642/JIIS.2017.11.2.459488
D’onza, G., Brotini, F., & Zarone, V. (2017). Disclosure on Measures to Prevent Corruption Risks: A Study of Italian Local Governments. International Journal of Public Administration, 40(7), 612624. https://doi.org/10.1080/01900692.2016.1143000
Doig, A. (2014). Roadworks Ahead? AddressingFraud, Corruption and Conflict of Interest in English Local Government. Local Government Studies, 40(5), 670686. https://doi.org/10.1080/03003930.2013.859140
Forster, G., & Fenwick, J. (2015). The Influence of Islamic Values on Management Practice in Morocco. Eu-ropean Management Journal, 33(2), 143156. https://doi.org/10.1016/j.emj.2014.04.002
Freeman, D. R. (2015). Archetypal Identification: An Alternative for Spiritual WellBeing Assessment. Journal of Re-ligion and Spirituality in Social Work, 34(2), 158176. https://doi.org/10.1080/15426432.2014.973987
Gray, R., & Milne, M. J. (2018). Perhaps the Dodo Should Have Accounted for Human Beings? Accounts of Humanity and (Its) Extinction. Accounting, Audit-ing and Accountability Journal, 31(3), 826848. https://doi.org/10.1108/AAAJ0320162483
Griffel, F. (2015). What do We Mean by “Salafi”? Connecting Muhammad Abduh with Egypt’s Nur Party in Islam’s Contemporary Intellectual History. Welt Des Islams, 55(2), 186220. https://doi.org/10.1163/1570060700552p02
Hasan, N. F. (2017). Konsep dan ImplementasiEtika Islam dalam Dunia Bisnis. Istith-mar: Jurnal Pengembangan Ekonomi Islam, 1(1), 67–81. https://doi.org/10.30762/itr.v1i2.945
Howieson, B. (2018). What is the ‘Good’ Forensic Accountant? A Virtue Ethics Perspective. Pacific Accounting Re-view, 39(2), 155167. https://doi.org/10.1108/PAR0120170005
Husein, U. M. (2018). Islam, Communicationand Accounting. Journal of Islamic Ac-counting and Business Research, 9(2), 138154. https://doi.org/10.1108/JIABR0120160008
Jamian, M. N., Yusoff, M. Y., Hanafiah, M. G.,& Yunos, Y. (2017). Keadilan Teras Kepimpinan RajaRaja Melayu: Dari Era Tradisi ke Kontemporari. Jurnal Me-layu, 16(1), 6281.
Johansson, S., & Siverbo, S. (2014). The Appropriateness of Tight Budget Control in Public Sector Organizations Facing Budget Turbulence. Manage-ment Accounting Research, 25(4),
244 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2020, Hlm 227-245
271283. https://doi.org/10.1016/j.mar.2014.04.001
Kaiser, M. I., & Krickel, B. (2017). The Metaphysicsof Constitutive Mechanistic Phenomena. British Journal for the Philoso-phy of Science, 68(3), 745779. https://doi.org/10.1093/bjps/axv058
Kaliszewska, I. (2020). “What Good Are All These Divisions in Islam?” Everyday Islam and Normative Discourses in Daghestan. Contemporary Islam, 14(2), 157178. https://doi.org/10.1007/s11562019004369
Kamayanti, A. (2011). Akuntansiasi Atau Akuntansiana? Memaknai Reformasi Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2(3), 531–540. https://doi.org/10.18202/jamal.2011.12.7138
Kavas, M., Jarzabkowski, P., & Nigam, A. (2020). Islamic Family Business: The Constitutive Role of Religion in Business. Journal of Business Ethics, 163(4), 689700. https://doi.org/10.1007/s10551019043845
Khairi, M. S. (2013). Memahami SpiritualCapital dalam Organisasi Bisnis melalui Perspektif Islam. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 4(2), 286–307. https://doi.org/10.18202/jamal.2013.08.7198
Khan, F. R., & Naguib, R. (2019). Epistemic Healing: A Critical Ethical Response to Epistemic Violence in Business Ethics. Journal of Business Ethics, 156(1), 89104. https://doi.org/10.1007/s105510173555x
Lehman, G. (2014). Moral Will, Accounting andthe Phronemos. Critical Perspectives on Accounting, 25(3), 210216. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2013.10.004
MacHlis, E. (2014). Ali Shariati and the Notionof Tawhid: ReExploring the Question of God’s Unity. Welt Des Is-lams, 54(2), 183211. https://doi.org/10.1163/1570060700542p03
Mbelwa, L. H., Adhikari, P., & Shahadat, K. (2019). Investigation of the Institutional and DecisionUsefulness Factors in the Implementation of Accrual Accounting Reforms in the Public Sector of Tanzania. Journal of Accounting in Emerging Economies, 9(3), 335365. https://doi.org/10.1108/JAEE0120180005
Maiga, A. (2019). Public Accountants, SeniorAccounting Students, and NonAccounting Senior Business Majors: Com
paring their Perception of Corporate Ethics and Social Responsibility. Ac-counting and the Public Interest, 19(1), 3156. https://doi.org/10.2308/apin52388
McPhail, K., & Cordery, C. J. (2019). Theological Perspectives on Accounting: Worldviews Don’t Change Overnight. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 32(8), 23302352. https://doi.org/10.1108/AAAJ0320183415
Ming, D. C. (2012). Penafsiran Kuasa Raja dalam Beberapa Teks Sastera Melayu Lama. Jurnal Manuskrip Nusantara, 3(2), 5574. https://doi.org/10.37014/jumantara.v3i2.413
Mulawarman, A. (2020). Accounting, Agriculture, and War. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 11(1), 122. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.1.01
Narayan, A. K. (2016). An Ethical Perspective on Performance Measurement in the Public Sector. Pacific Accounting Re-view, 28(4), 364372. https://doi.org/10.1108/PAR0220160024
Nasilah, S., Kargenti, A., & Marettih, E. (2015).Integrasi Diri sebagai Konsep Sehat Mental Orang Melayu. Jurnal Psikologi, 11(1), 37–48. https://doi.org/10.24014/jp.v11i1.1393
Nasser. (2015). Reconceptualising the Muslim Neighbourhood: Claims for Space, Identity and Citizenship in the West. Contemporary Islam, 9, 241–246. https://doi.org/10.1007/s1156201503422
Nurliana, N. (2019). Nilai Teologi dalam Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji. El-Furqania: Jurnal Ushuluddin dan Ilmu-Ilmu Keislaman, 5(2), 181–195. https://doi.org/10.1234/elfurqan%20journal.v5i02.3508
Russell, C. (2019). Friendly Governance: Assessing Sociopolitical Factors in Allegations of Corruption. Public Integrity, 21(2), 195213. https://doi.org/10.1080/10999922.2018.1446630
Sahin, A. (2018). Critical Issues in Islamic Education Studies: Rethinking Islamic and Western Liberal Secular Values of Education. Religions, 9(11), 335363 https://doi.org/10.3390/rel9110335
Salampessy, Z., Triyuwono, I., Irianto, G., &Hariadi, B. (2018). Pancasila Paradigm: Methodology of Wawasan Nusantara for Accounting of Pancasila. Austral-
Briando, Embi, Triyuwono, Irianto,Tuah Sebagai Sarana Pengembangan Etika... 245
asian Accounting, Business and Finance Journal, 12(1), 102117. https://doi.org/10.14453/aabfj.v12i1.7
Saniotis, A. (2012). Muslims and Ecology: Fostering Islamic Environmental Ethics. Contemporary Islam, 6(2), 155171. https://doi.org/10.1007/s1156201101738
Schaffer, J. (2015). What Not to Multiply without Necessity. Australasian Journal of Philosophy, 93(4), 644664. https://doi.org/10.1080/00048402.2014.992447
Schwartz, M. . (2002). A Code of Ethics for Corporate Code of Ethics. Journal of Business Ethics, 41, 27–43. https://doi.org/10.1023/A:1021393904930
Senay, B. (2017). Textual Ecologies in Islam: Improvising the Perfect Qur’an in Calligraphy. Journal of Religious and Politic-al Practice, 3(12), 4656. https://doi.org/10.1080/20566093.2017.1292169
Sitorus, J. H. E. (2015). Membawa Pancasiladalam Suatu Definisi Akuntansi. Jur-nal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 175–340. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6021
Sitorus, J. H. E., Triyuwono, I., & Kamayanti, A. (2017). Homo Economicus vis a vis Homo Pancasilaus: A Fight Against Positive Accounting Theory. Pertanika Jour-nal of Social Sciences and Humanities, 25(S), 311–319.
Solissa, A. B. (2020). The Reactualization of the Pancasila Values in the Light of Perennial Philosophy. Esensia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 21(1), 4970. https://doi.org/10.14421/esensia.v21i1.2172
Spalding, A. D., & Lawrie, G. R. (2019). A Critical Examination of the AICPA’s New “Conceptual Framework” Ethics Protocol. Journal of Business Ethics, 155(4), 11351152. https://doi.org/10.1007/s1055101735280
Thamrin, H. (2015). Enkulturasi dalam Kebudayaan Melayu. Al-Fikra: Jurnal Ilmi-ah Keislaman, 14(1), 99–151. https://doi.org/10.24014/af.v14i1.3903
Tresnawati, E. F., & Setiawan, A. R. (2013). Ada Apa dengan SAP (AADS) Akrual?
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 4(2), 198–215. https://doi.org/10.18202/jamal.2013.08.7193
Triyuwono, I. (2015). Akuntansi Malangan:Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepak Bola. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 6(2), 290–303. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6023
Triyuwono, I. (2016). Taqwa : Deconstructing Triple Bottom Line ( TBL ) to Awake Human ’ s Divine Consciousness. Pertan-ika Journal of Social Sciences and Hu-manities, 24(S), 89–104.
West, A. (2018). Multinational Tax Avoidance: Virtue Ethics and the Role of Accountants. Journal of Business Ethics, 153, 1143–1156. https://doi.org/10.1007/s1055101634288
White, L. P., & Lam, L. W. (2000). A Proposes Infrastructural Model for the Establishment of Organizational Ethics Systems. Journal of Business Ethics, 28, 35–42. https://doi.org/10.1023/A:1006221928960
Williams, P. F. (2017). Jumping on the WrongBus: Reflections on a Long, Strange Journey. Critical Perspectives on Ac-counting, 49, 7685. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2017.10.004
Zainuldin, M. H., Lui, T. K., & Yii, K. J. (2018).PrincipalAgent Relationship Issues in Islamic Banks: a View of Islamic Ethical System. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Man-agement, 11(2), 297311. https://doi.org/10.1108/IMEFM0820170212
Zhou, F., Zhang, Z., Yang, J., Su, Y., & An, Y. (2018). Delisting Pressure, Executive Compensation, and Corporate Fraud: Evidence from China. Pacific-Basin Fi-nance Journal, 48, 1734. https://doi.org/10.1016/j.pacfin.2018.01.003
Zubairu, U., Ismail, S., & Fatima, A. H. (2019).The Quest for Morally Competent Future Muslim Accountants. Journal of Islamic Accounting and Business Re-search, 10(2), 297314. https://doi.org/10.1108/JIABR1120160138