Post on 24-Oct-2015
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan
oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
ETIOLOGI
1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa
trauma tumpul dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.
ANATOMI
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari
sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang
rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum,
kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada
tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen
penting untuk dievaluasi pada luka tusuk. Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan
muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan
muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax.
Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.Dada berisi
organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada.
Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma,
yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan
bronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana
terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura
visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan
mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan
diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan
ekspansi paru – paru normal, hanya ruang potensial yang ada.
Diafragma bagian
muskular perifer berasal dari
bagian bawah iga keenam
kartilago kosta, dari vertebra
lumbalis, dan dari lengkung
lumbokostal, bagian muskuler
melengkung membentuk tendo
sentral. Nervus frenikus
mempersarafi motorik dari
interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut
berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.
PATOFISIOLOGI
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia
jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena
hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio,
hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension
pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak
adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran.
Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).
INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN.
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini
dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.
b. Resusitasi fungsi vital.
c. Secondary survey yang terinci.
d. Perawatan definitif.
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini
perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan
sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol
airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap
adanya trauma – trauma yang bersifat khusus.
KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX
A. Trauma dinding thorax dan paru.
1) Fraktur iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami
trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya
iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk
yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan
pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru.
Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma
tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling
sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 )
2) Flail chest. Flail chest biasa terjadi karena trauma tumpul misalnya pada kejadian
kecelakaan lalu lintas, dimana terjadi fraktur iga multiple pada dua tempat yang
menyebabkan suatu segmen dinding dada terlepas dari kesatuannya sehingga beberapa
iga menusuk ke dalam paru dan menyebabkan rasa nyeri saat benapas. Pada flail chest
terjadi pernapasan paradoksal artinya pada saat inspirasi dada yang sakit tidak akan
mengalami pengembangan dan pada saat ekpirasi justru mengalami pengembangan, hal
ini disebabkan oleh karena pada saat inspirasi iga yang patah akan tertarik ke dalam
menusuk paru karena tekanan negatif dalam rongga pleura, dan saat ekspirasi iga yang
patah akan terdorong keluar karena tekanan positif dalam rongga pleura. Penderita akan
menjadi sesak napas karena gerakan pernapasan paradoksal tersebut menimbulkan rasa
nyeri saat inspirasi sehingga penderita tidak dapat bernapas dalam padahal pada saat
tersebut penderita sangat membutuhkan zat asam/oksigen, lama kelamaan penderita akan
menjadi sianosis, paru dapat mengalami atelektasis karena tidak mengembang/kolaps,
hipoksia, dan hiperkapnia, laju pernapasan dapat mencapai 40x/menit atau lebih (bila
pasien tidak pingsan/sadar, sedangkan bila dalam keadaan tidak sadar, pasien tampak
berupaya bernapas dengan keras tetapi hanya sedikit udara yang dikeluarkan/mengalir;
juga dapat dilihat gerakan napas paradoksal) Penanganan pada kejadian flail chest yang
pertama kali dilakukan adalah dengan memfiksasi iga yang patah agar tidak bergerak,
dapat dipakai kasa yang ditutup plester yang kuat atau dapat juga dengan menggunakan
traksi pada tulang iga yang patah. Prinsip dari pertolongan pada flail chest adalah
mencegah gerakan iga yang tidak beraturan pada saat gerakan pernapasan berlangsung,
sehingga iga tidak menusuk ke paru dan tidak timbul rasa sakit dan akhirnya penderita
dapat bernapas dengan normal kembali, mengurangi ruang rugi (dead space) pada
pernapasan serta menangani contusio paru yang terjadi akibat trauma. Rasa sakit dapat
dihilangkan dengan pemberian analgetik
3) Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially
lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai
waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif
dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati,
juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia
bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus
dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.
Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan
gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi
mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa
intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter,
pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan
diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu
ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.
4) Pneumotoraks dikibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan
parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan
pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat
trauma tumpul.Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang
pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara
kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan
kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru
yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika
pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi
hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi
terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube lpada sela iga ke 4 atau
ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau
aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan
dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk
mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan
tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau
pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak
terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi
life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan
ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum
penderita ditransportasi/rujuk.
5) Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound ) Defek atau luka yang besar plada dinding
dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura
akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada
mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek
karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea.
Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Langkah
awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja.
Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve dimana saat
inspirasi kasa pnutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat
ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka
sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup
seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang
akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa
penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze,
sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan
penjahitan luka.
Pneumothorax terbuka. Mediastinum bergerak dari kiri kekanan dan sebaliknya (gerak bandul).
A. Inspirasi : udara masuk melalui luka dan menggeser mediastinum kesisi yang sehat krn
tekanan inspirasi tidak seimbang dikiri dan kanan
B. Ekspirasi : udara keluar dari luka, mediastinum pindah ke sisi yang luka. Pernapasan
disisi yang tidak luka tentu terganggu dan ventilasi jauh dari
6) Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil),
kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam
rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke
dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan
meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan
menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan
paru kontralateral. Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita
dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai
komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan
perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter
subklavia atau vnea jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding
dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau
luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan
mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax jug adapat terjadi pada fraktur tulang
belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak
boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax
ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi
trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosisi merupakan
manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan
tamponade jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang
hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension
pneumothorax dapat membedakan keduanya. Tension pneumothorax membutuhkan
dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang
berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami
kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi plneumothoraks
sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk
jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan
pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis
anterior dan midaxilaris.
7) Hemothorax. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma
tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat
menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak
memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat
pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada
tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya
bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan
darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya
penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun
banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita
hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada merupakan
faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada
sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai
4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus
dipertimbangkan.
8) Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam
rongga pleura. Penyebab hemothoraks biasanya adalah trauma pada dinding dada, dimana
pada pasien dengan hemothoraks biasa tidak merasa nyeri kecuali pada luka yang ada
pada dinding dada tersebut. Luka di pleura viseralis pada umumnya juga tidak
menimbulkan nyeri. Pada rongga thoraks dapat terkumpul banyak darah sehingga gejala-
gejala yang terlihat pada pasien dengan hemothoraks adalah anemia, syok hipovolemik,
sesak napas, pekak pada perkusi, suara napas berkurang, dan CVP tidak meninggi
(tetap normal). Diagnosa banding hemothoraks adalah semua kelainan yang
menyebabkan perdarahan dari sumber non-trauma di rongga dada, seperti : cedera
akibat tindakan bedah, aneurisma aorta yang pecah, hemothoraks spontan,
keganasan, infark paru, TBC paru, periarteritis nodosa. Hemothoraks sendiri dibagi
menjadi 3 derajat berdasarkan bayangan cairan yang ada tampak pada foto rontgen dan
pekak pada perkusi ketika pemeriksaan fisik, antara lain :
Tabel 1. Derajat hemothoraks dan penanganannya
Besarnya
PenangananUkuran
Bayangan foto
RontgenPemeriksaan fisik
Kecil 0-15%Pekak sampai Iga
IX.Fisioterapi
Sedang 15-35%Pekak sampai Iga
VI.
Aspirasi dan
transfusi.
Besar >35%Pekak sampai
kranial, Iga IV.WSD dan transfusi.
Pada Hemothoraks WSD dipasang serendah mungkin, biasanya antara ICS VII atau
VIII. Pada hemothoraks yang lebih dari 1.500cc maka harus segera dilakukan
torakotomi untuk menghentikan perdarahan yang ada atau bila perdarahan yang keluar
setelah pemasangan WSD adalah 100cc/jam selama 6 jam atau lebih maka juga
merupakan indikasi untuk melakukan tindakan torakotomi dengan segera. Perdarahan
tersebut diatas biasanya berasal dari pembuluh darah yang ada di sela-sela iga.
Sedangkan bila sumber perdarahan berasal dari paru bagian bawah maka biasanya akan
berhenti dengan sendirinya pada saat telah dilakukan dekompresi dari cavum pleura
dengan pemasangan WSD, hal ini menyebabkan pengembangan kembali paru-paru yang
kemudian akan menekan perdarahan yang terjadi.
Pemeriksaan foto Rontgen dapat membantu menegakkan diagnosa dan menentukan
tindakan yang harus diambil. Foto rontgen paling baik diambil pada posisi lateral
decubitus (kanan/kiri tergantung dari letak hemothoraks), karena pada posisi foto tegak
(up-right) biasanya darah baru terlihat setelah > dari 400-500 cc karena tertutup oleh
diafragma.
Penanganan dari hemothoraks akibat trauma harus memperhatikan tiga hal yaitu berapa
banyak perdarahan yang terjadi, apakah perdarahan tersebut terus berlangsung dan
bila perdarahan telah berhenti dan membentuk gumpalan, kapan bekuan darah tersebut
harus dievakuasi. Bila hemothoraks hanya kecil (tampak sudut costofrenikus sedikit
tumpul atau sedikit menonjol) maka tidak perlu dilakukan evakuasi dan cukup hanya di
follow-up dengan melakukan foto rontgen serial dengan interval waktu tertentu. Tetapi
ketika hemothoraks yang ada melebihi sulcus costofrenikus atau diserta dengan adanya
pneumothoraks maka harus dipasang WSD untuk mengeluarkan cairan yang ada di
cavum pleura. WSD lebih efektif bila ditambah dengan alat hisap untuk mengeluarkan
bekuan darah. Bila ternyata perdarahan berlangsung terus menerus dan tidak terjadi
mekanisme pembekuan maka tindakan torakotomi harus segera dilakukan.
9) Cedera trakea dan Bronkus. Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma
tumpul atau trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis,
dengan hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas.
Empisema mediastinal dan servical dalam atau pneumothorax dengan kebocoran udara
masif. Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa endotrakea ( melalui kontrol
endoskop ) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan mencegah aspirasi darah,
pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax atau pneumothorax.
B. Trauma Janung dan Aorta
1) Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma
tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh
darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur
jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah
dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan
darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis
akan segera memperbaiki hemodinamik. Diagnosis tamponade jantung tidak mudah.
Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena,
penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh
sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisi, distensi vena leher tidak
ditemukan bila keadaan penderita hipovlemia dan hipotensi sering disebabkan oleh
hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari
tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10
mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda
pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang
gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri,
maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan
tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang
sesungguhnya dan menunjukkan adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada
hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung.
Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan
pda berbagai keadaan lain. Pemerikksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non
invasif yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang
melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita trauma
tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen,
yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak
menghambat resusitasi (lihat Bab 5, Trauma abdomen, V.F, Studi diagnostik spesifik
pada trauma tumpul). Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila
penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan
mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh
diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana
untuk mengeluarkan cairan dari perikard adaah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan
yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon
terhadap usaha resusitasi, merupakan indiksi untuk melakukan tindakan
perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan
operasi jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah.
Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita
memungkinkan. Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung,
pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan
cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan
perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated
needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam
keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard.
Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan
voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau
terjadinya disritmia.
2) Kontusio Miocard . Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti
memar jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung
mungkin bervariasi dari ptekie epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural.
Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan
Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan
perubahan gelombang T – ST yang non spesifik atau disritmia. Adapun penatalaksanaan
berupa suportif.
3) Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau
ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade
jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang tanda dan gejala dari
tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium. Penderita dengan kontusio
miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa
disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis
pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma.
Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas
ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan
ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang menunjukkan
suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang multipel, sinus
takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya
kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada
gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain
merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio jantung.
Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dpat disebabkan
adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis
karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya disrtimia akut, dan
harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval tersebut resiko disritmia kaan
menurun secara bermakna.
PENATALAKSANAAN TRAUMA THORAX
Prinsip
Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary
survey - secondary survey)
Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)
Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah :
portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan
melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.
Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk
menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa.
Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah
melakukan prosedur penanganan trauma.
Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki
sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation)
merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya setiap
RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular.
PRIMARY SURVEY
Airway
Assessment :
perhatikan patensi airway
dengar suara napas
perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
Management :
inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust, hilangkan
benda yang menghalangi jalan napas
re-posisi kepala, pasang collar-neck
lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)
Breathing
Assesment
Periksa frekwensi napas
Perhatikan gerakan respirasi
Palpasi toraks
Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
Management:
Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open pneumotoraks,
hemotoraks, flail chest
Circulation
Assesment
Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
Periksa tekanan darah
Pemeriksaan pulse oxymetri
Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
Management
Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
Torakotomi emergency bila diperlukan
Operasi Eksplorasi vaskular emergency
DAFTAR PUSTAKA
1. Gopinath N, Invited Arcticle “Thoracic Trauma”, Indian Journal of Thoracic and
Cardiovascular Surgery Vol. 20, Number 3, 144-148.
2. Viano D, Lau I, Asbury C. Biomechanics of the human chest, abdomen and pelvis in
lateral impact. Accid Anal Prev 1989;21:553– 74.
3. Kleinman PK, Schlesinger AE. Mechanical factors associated with posterior rib fractures:
laboratory and case studies. Pediatr Radiol 1997;27:87– 91.
4. S. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and
blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81.
5. Zuckerman S. Experimental study of blast injuries to the lungs. Lancet 1940;2:219 – 24.
6. Hooker DR. Physiological effects of air concussion. Am J Physiol 1924;67(2):219 –74.
7. Wightman JM, Gladish SL. Explosions and blast injuries. Ann Emerg Med 2001;37:664–
78.
8. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and
blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81.
9. Mosby Inc. Elsevier Chapter 26. Thoracic Trauma. 2007
10. Dave Lloyd, MD. Thoracic Trauma.
www.doh.wa.gov/hsqa/emstrauma/OTEP/thoracictrauma.ppt
11. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support. Ikatan Ahli Bedah
Indonesia. 1997