Post on 08-Mar-2019
TINJAUAN PUSTAKA
Angin sebagai Pembangkit Gelombang
Angin merupakan massa udara yang bergerak (Lakitan, 2002). Angin
dapat bergerak secara horisontal maupun secara vertikal dengan kecepatan yang
bervariasi dan berfluktuasi secara dinamis. Faktor pendorong bergeraknya massa
udara adalah adanya perbedaan tekanan udara antara satu tempat dengan tempat
yang lain. Arah tiupan angin dari tempat bertekanan tinggi ke tempat bertekanan
rendah, hal ini terjadi jika tidak ada gaya lain yang mempengaruhi. Adanya
perputaran bumi berpengaruh terhadap arah pergerakan angin ini yang dikenal
dengan pengaruh Coriolis (Coriolis Effect). Menurut Davis (1991), ada tiga faktor
penentu karakteristik gelombang yang dibangkitkan oleh angin yaitu:(1) lama
angin bertiup atau durasi angin, (2) kecepatan angin dan (3) fetch (jarak yang
ditempuh oleh angin dari arah pembangkit gelombang atau daerah pembangkitan
gelombang). Semakin lama angin bertiup, semakin besar jumlah energi yang
dihasilkan dalam pembangkitan gelombang. Demikian halnya dengan fetch,
gelombang yang bergerak keluar dari daerah pembangkitan gelombang hanya
memperoleh sedikit tambahan energi. Faktor lain yang turut mempengaruhi
karakteristik gelombang adalah lebar fetch, kedalaman perairan, kekasaran dasar,
stabilitas atmosfer dan sebagainya (Yuwono, 1994).
Gelombang
Gelombang timbul akibat adanya gaya-gaya alam yang bekerja di laut
seperti tekanan atau tegangan dari atmosfir (angin), gempa bumi, gaya gravitasi
bumi dan benda-benda angkasa (bulan dan matahari), gaya coriolis (akibat rotasi
bumi), dan tegangan permukaan (Sorensen 1991; Komar 1998). Bascom (1959)
dalam Bird (1984) menambahkan bahwa gelombang adalah gerakan berombak
dari permukaan air yang dihasilkan oleh tiupan angin yang bergerak di atasnya.
Pergerakan gelombang yang mendekati pantai akan mengalami pembiasan
(reflection) dan akan memusat (convergence) jika mendekati semenanjung dan
mengalami penyebaran (divergence ) jika mendekati cekungan. (Triatmodjo,
1999; CERC, 1984; CHL, 2002). Keadaan gelombang sangat dipengaruhi oleh
keadaan topografi dari dasar laut, yaitu keadaan dasar, kelengkungan garis pantai
dan tonjolan dasar laut.
Ippen (1966); Triatmodjo (1999); CHL (2002), mengklasifikasikan
gelombang pada kedalaman relatif berdasarkan perbandingan antara kedalaman
air (d) dan panjang gelombang L (d/L) sebagai berikut :
1. Gelombang laut dangkal, jika Ld / ≤ 1/20
2. Gelombang laut transisi, jika 1/20 < Ld / <1/2
3. Gelombang laut dalam, jika Ld / ≥1/2
Klasifikasi berdasarkan kedalaman relatif dimaksudkan untuk
menyederhanakan rumus-rumus gelombang.
Transformasi Gelombang
Gelombang akan pecah apabila tinggi gelombang telah mencapai titik
batas tertentu yang berhubungan dengan panjang gelombang dan kedalaman air
(CERC, 1984; Horikawa, 1988; Triatmodjo, 1999). Daerah dengan kedalaman air
lebih besar dari setengah panjang gelombang, gelombangnya menjalar tanpa
dipengaruhi oleh dasar laut. Pada daerah transisi dan dangkal, penjalaran
gelombang dipengaruhi oleh kedalaman perairan. Sedangkan difraksi gelombang
dapat terjadi apabila tinggi gelombang di suatu titik pada garis didekatnya yang
mengakibatkan perpindahan energi sepanjang puncak gelombang ke arah tinggi
gelombang yang lebih kecil.
Gelombang pecah berbeda bentuknya, pada prinsipnya tergantung pada
tinggi dan periode gelombang serta perubahan kemiringan laut. Bentuk
gelombang pecah diklasifikasikan menjadi empat kategori (Iversen, 1952;
Hayami, 1958; Wiegel, 1964; Galvin, 1968, 1972) dalam Horikawa (1988), yaitu
spilling, plunging, surging dan collapsing. Triatmodjo (1999) menyatakan bahwa
gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringan, yaitu perbandingan antara tinggi
dan panjang gelombang. Di laut dalam kemiringan gelombang maksimum,
sedangkan gelombang mulai tidak stabil.
7
Posisi dengan kemiringan tersebut, kecepatan partikel di puncak
gelombang sama dengan kecepatan rambat gelombang. Kemiringan yang lebih
tajam dari batas maksimum menyebabkan kecepatan partikel di puncak
gelombang lebih besar dari kecepatan rambat gelombang, sehingga terjadi
ketidakstabilan. Pergerakan gelombang menuju laut dangkal tergantung dari
kedalaman relatif d/L dan kemiringan laut m. Gelombang dari laut dalam bergerak
menuju pantai bertambah kemiringannya sampai tidak stabil dan pecah pada
kedalaman tertentu, disebut kedalaman gelombang pecah (db) Munk (1949) dalam
Triatmodjo (1999).
Pada pertumbuhan gelombang laut dikenal beberapa istilah seperti :
1. Fully developed seas, kondisi di mana tinggi gelombang mencapai harga
maksimum (terjadi jika fetch cukup panjang).
2. Fully limited-condition, pertumbuhan gelombang dibatasi oleh fetch. Dalam
hal ini panjang fetch (panjang daerah pembangkit angin) dapat dibatasi oleh
garis pantai atau dimensi ruang dari medan angin
3. Duration limited-condition, pertumbuhan gelombang dibatasi oleh lamanya
waktu dari tiupan angin
4. Sea waves, gelombang yang tumbuh di daerah medan angin. Kondisi
gelombang di sini adalah curam yaitu panjang gelombang berkisar antara 10
sampai 20 kali lebih tinggi gelombang
5. Swell waves (swell), gelombang yang tumbuh (menjalar) di luar medan angin.
Kondisi gelombang di sini adalah landai yaitu panjang gelombang berkisar
antara 30 sampai 500 kali tinggi gelombang, (Ningsih 2000).
Pada umumnya bentuk gelombang di alam adalah sangat rumit dan sulit
digambarkan secara matematis (Triatmodjo, 1999; CHL, 2002). Kerumitan
tersebut akibat perambatan yang tidak linier, tiga dimensi dan mempunyai bentuk
yang acak (suatu deret gelombang mempunyai tinggi dan periode berbeda).
Beberapa teori yang ada hanya menggambarkan bentuk gelombang yang
sederhana dan merupakan pendekatan gelombang alam. Ada beberapa teori
dengan berbagai kerumitan dan ketelitian untuk menggambarkan gelombang di
alam, diantaranya adalah teori Airy, Stokes, Gerstner, Mich, Knoidal, dan teori
gelombang tunggal (solitari wave). Teori gelombang Airy merupakan gelombang
8
amplitudo kecil, sedang teori yang lain adalah gelombang amplitudo terbatas
(finite amplitude waves).
Pengembangan pemahaman gelombang yang lebih lanjut adalah
menentukan spektrum gelombang, yang menyatakan permukaan laut nyata
sebagai superposisi dari sejumlah besar gelombang yang menjalar dengan periode,
amplitudo, dan arah yang berbeda-beda (Bowden, 1983 dalam Massel, 1994). Bila
distribusi energi gelombang hanya tergantung pada frekwensi, maka distribusi
energi tersebut dinamakan spektrum searah atau spektrum frekwensi. Spektrum
ini dikemukakan berdasarkan pada pengamatan gelombang laut. Spektrum
gelombang laut kadang-kadang memiliki pola yang sangat rumit dimana terlihat
spektrum frekwensi yang memliki puncak lebih dari satu. Bentuk spektrum ini
merupakan respon dari sejumlah mekanisme. Salah satunya adalah superposisi
beberapa sistem gelombang yang mendekati titik pengamatan. Spektrum yang
umum dikenal antara lain spektrum Pierson-Moskowitz (1964), spektrum
Bretschneider (1959), spektrum Goda (1985), dan spektrum JONSWAP (1973).
Karakteristik Sedimen
Berdasarkan sumbernya, Barnes (1969) membagi jenis sedimen, yakni
sedimen dari limpasan sungai yang jenisnya banyak mempengaruhi pembentukan
morfologi pantai di sekitar muara sungai (disebut sedimen of inlets) dan sedimen
dari darat yang terangkut ke laut oleh angin dan drainase atau penguraian sisa-sisa
organisme (disebut pyroclastic sediment).
Seibold dan Berger (1993) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis utama
sedimen, yaitu sedimen yang memasuki perairan laut dalam bentuk partikel,
tersebar dan kemudian mengendap di dasar laut atau disebut lithogenous, sedimen
yang berasal dari presipitasi langsung dari cairan atau hydrogenous dan sedimen
yang berasal dari organisme yang lazim disebut biogenous.
Parker dan Mehta (1982) dalam Kennedy (1982) menyatakan bahwa
suspensi yang bergerak (mobile), mengendap atau mengumpul menjadi lumpur
diam, kemudian sebagian dapat teraduk dan kembali ke suspensi bergerak dan
sebagian lagi mengalami konsolidasi atau pemadatan menjadi sedimen lumpur
9
selanjutnya sebagian dapat tererosi lagi menjadi suspensi yang bergerak atau
mobile suspensi.
Sedangkan menurut Wentworth (1922) dalam Dyer (1986)
mengklasifikasikan sedimen berdasarkan ukuran butir penyusun fraksi sedimen
yaitu kelompok lempung (clay), lanau (silt), pasir (sand), kerikil (cobble), koral
(pebble), dan batu (boulder).
Tabel 1 Klasifikasi ukuran butir
Kelas Ukuran Butir Diameter Butir
ø (phi) φ−2 (mm)
Boulder < -8 > 256
Cobble -6 s.d -8 64 – 256
Pebble -2 s.d -6 4 – 64
Granule -1 s.d -2 2 – 4
Very Coarse Sand 0 s.d -1 1 – 2
Coarse Sand 1 s.d 0 0.5 – 1 Medium Sand 2 s.d 1 0.25 – 1
Fine Sand 3 s.d 2 0.125 – 0.25
Very Fine Sand 4 s.d 3 0.062 – 0.125 Silt 8 s.d 4 0.0039 – 0.062
Clay > 8 < 0.0039
Sumber: Wentworth (1922) dalam Dyer (1986)
Dalam distribusinya di perairan, berbagai jenis sedimen mengalami
percampuran seiring dinamika perairan, sehingga membutuhkan metode
penamaan yang mendeskripsikan percampuran ini. Penamaan sampel sedimen
tersebut menggunakan sistem grafik trianguler seperti pada gambar di bawah.
Gambar 2 Diagram segitiga campuran lumpur, pasir, dan kerikil. (Sumber :
Buchanan, 1984 dalam Holme dan Mc Intyre, 1984)
10
Krumbein (1934) dalam Dyer (1986) mengembangkan skala Wentworth
dengan menggunakan unit phi (φ). Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah
pengklasifikasian jika suatu sampel sedimen mengandung partikel yang berukuran
kecil dalam jumlah yang besar. Skala phi didasarkan pada logaritma negatif
berbasis dua dengan bentuk konversi d2log−=φ , simbol d merupakan diameter
partikel dalam unit mm dan tanda negatif digunakan agar partikel dengan diameter
<1 mm memiliki nilai phi yang positif. Untuk mengkonversi unit phi menjadi
milimeter (mm) digunakan φ−= 2D , (CHL, 2002).
Ukuran suatu partikel mencerminkan (1) keberadaan partikel dari jenis
yang berbeda, (2) daya tahan (resistensi) partikel terhadap proses pelapukan
(weathering). erosi atau abrasi dan (3) proses pengangkutan dan pengendapan
material, misalnya kemampuan angin atau air untuk memindahkan partikel
(Friedman and Sanders 1978). Selanjutnya Gross (1993) menjelaskan bahwa
ukuran partikel sangat penting dalam menentukan tingkat pengangkutan sedimen
dari ukuran tertentu dan tempat sedimen tersebut terakumulasi di laut.
Ukuran butir median D50 adalah yang paling banyak digunakan untuk
ukuran butir pasir. Untuk mengukur derajat penyebaran ukuran butir terhadap
nilai rerata sering digunakan koefisien S0 yang merupakan hubungan antara D75
dan D25. kisaran nilai S0 akan memberikan interpretasi, bahwa ukuran butir pasir
seragam (1,0 ≤ S0 ≤ 1,5), penyebaran ukuran butir pasir sedang (1,5 ≤ S0 ≤ 2,0),
gradasi ukuran pasir sangat bervariasi (2,0 ≤ S0).
Parameter penting lain dalam mekanisme transpor sedimen adalah
kecepatan endap butir sedimen, terutama untuk sedimen suspensi. Untuk sedimen
non kohesif, seperti pasir, kecepatan endap dapat dihitung dengan rumus Stokes
yang bergantung pada rapat massa sedimen dan air, viskositas air, dimensi dan
bentuk partikel sedimen.
Untuk sedimen non kohesif, kecepatan endap dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti konsentrasi sedimen suspensi, salinitas dan diameter partikel.
Konsentrasi suspensi adalah parameter paling penting dalam proses flokulasi,
yang berarti juga pada kecepatan endap.
Interpretasi berlangsungnya proses akresi dapat menggunakan analisis
distribusi ukuran butir, dimana penyebaran ukuran butir sedimen mencerminkan
11
kondisi lingkungan pengendapan, yaitu proses yang berperan dan besarnya energi
pengendapan tersebut. Adapun parameter statistik yang sering digunakan adalah
mean grain size, skewness dan kurtosis (Folk 1974; Dyer, 1986).
1. Rata-rata (Mean)
Mean merupakan nilai statistik rata-rata dari ukuran butir. Pickard (1990)
menyatakan bahwa mean akan memperhatikan energi yang disebabkan oleh air
atau angin dalam mentranspor sedimen, disamping itu penyebaran frekwensi besar
butir akan sensitif terhadap proses lingkungan pengendapan.
2. Kepencengan (Skewness)
Kepencengan atau skewness adalah penyimpangan distribusi ukuran butir
terhadap distribusi normalnya. Distribusi normal adalah suatu distribusi ukuran
butir dimana pada bagian tengah dari populasi mempunyai jumlah butiran yang
paling banyak, dan butiran yang lebih halus tersebar di sisi kanan dan sisi kiri dari
grafik dalam jumlah yang sama. Apabila ukuran butir terdistribusi secara normal
maka kepencengannya bernilai nol. Apabila dalam suatu distribusi ukuran butir
kelebihan partikel halus, maka kepencengannya bernilai positif. Sebaliknya bila
kelebihan partikel kasar kepencengannya bernilai negatif. Dengan demikian
skewness dapat digunakan untuk mengetahui dinamika akresi.
Tabel 2 Penilaian harga kepencengan atau skewness
Harga kepencengan Tingkat kepencengan
>0,30
+0,30 - +0,10
+0,10 – -0,10
-0,10 – -0,30
< -0,30
Menceng sangat halus
Menceng halus
Menceng simetris
Menceng kasar
Menceng sangat kasar
Sumber : Folk dan Ward dalam David (1977)
3. Kurtosis
Kurtosis ini dapat dihitung melalui grafik kurtosis serta menggambarkan
hubungan antara sortasi bagian tengah kurva dengan bagian bawah kurva.
12
Tabel 3 Penilaian harga kurtosis
Tingkat kurtosis Harga kurtosis
< 0,67
0,67 – 0,90
0,90 – 1,11
1,11 – 1,50
1,50 – 3,00
> 3,00
Very platykurtic
Platykurtic
Mesokurtic
Leptokurtic
Very leptokurtic
Extremely leptokurtic
Sumber : Folk dan Ward dalam David (1977).
Keterangan :
Leptokurtic = Kurva yang bentuk puncaknya lebih runcing daripada mesokurtic. Nilai
kurtosisnya > 3.
Mesokurtic = Kurva normal. Nilai kurtosisnya sama dengan 3.
Platykurtic = Kurva yang bentuk puncaknya lebih datar daripada mesokurtic. Nilai
kurtosisnya < 3.
Debit Sungai
Fenomena yang terjadi di perairan pantai yang langsung berhubungan
dengan sungai, sangat dipengaruhi oleh debit sungai yang dapat menimbulkan
terbentuknya perbedaan (gradien) densitas. Interaksi air tawar dan air asin
menentukan sirkulasi air dan proses percampuran yang diakibatkan oleh
perbedaan densitas antara dua jenis air.
Debit Sungai merupakan volume air yang mengalir pada suatu penampang
melintang pada titik tertentu persatuan waktu, umumnya dinyatakan dalam meter
kubik per detik (Sosrodarsono dan Takeda, 1993). Debit air sungai dipengaruhi
oleh sifat curah hujan yang meliputi intensitas curah hujan, lama kejadian,
frekwensi kejadian dan tinggi hujan. Pengukuran debit sungai selama satu tahun
ditentukan berdasarkan debit limpasan dan luas DAS.
Sungai sebagai salah satu media transpor sedimen mempunyai
karakteristik dalam membawa sedimen tersebut. Volume sedimen yang terbawa
aliran sungai bergantung pada kecepatan aliran sungai, debit aliran perubahan
musim serta aktifitas manusia di daerah aliran sungai.
Arus di Dekat Pantai
Triatmodjo (1999) mengatakan bahwa daerah pantai yang menjadi lintasan
gelombang di pantai adalah offshore zone, surf zone dan swash zone. Daerah
offshore zone, gelombang menimbulkan gerak orbit partikel air. Orbit lintasan
13
partikel tidak tertutup sehingga menimbulkan transpor massa air. Daerah surf zone
(daerah antara gelombang pecah dan garis pantai) ditandai dengan gelombang
pecah dan penjalaran gelombang setelah pecah ke arah pantai. Setelah pecah
gelombang melintasi surf zone menuju pantai. Daerah swash zone, gelombang
yang sampai di garis pantai menyebabkan massa air bergerak ke atas dan
kemudian turun kembali ke permukaan pantai dan menyebabkan terjadinya arus.
Arus yang terjadi di daerah tersebut sangat tergantung pada arah datang
gelombang (CERC, 1984).
Triatmodjo (1999) menyebutkan bahwa apabila garis puncak gelombang
sejajar dengan garis pantai (sudut datang gelombang pecah tegak lurus garis
pantai) maka akan terjadi arus dominan di pantai berupa sirkulasi sel dengan rip
current, apabila gelombang pecah membentuk sudut terhadap garis pantai akan
menimbulkan arus sejajar pantai di sepanjang pantai (longshore current). Rip
current terjadi pada tempat dimana tinggi gelombang pecah adalah kecil. Arus
sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh gelombang pecah (Hb) dengan
membentuk sudut terhadap garis pantai (αb) dibangkitkan oleh momentum yang
dibawa oleh gelombang.
Sorensen (1991) menambahkan bahwa berbagai arus di perairan pantai
dapat disebabkan oleh angin, aliran dari sungai atau oleh pasang surut, tetapi
kebanyakan arus perairan pantai merupakan aliran menyusur pantai.
Menurut King (1963) dalam Schwartz (1982), refraksi gelombang
merupakan salah satu penyebab timbulnya arus di perairan pantai. Hal ini dapat
ditunjukkan bahwa zona bergelombang tinggi akan bergantian dengan zona
gelombang rendah, terutama pada relief lepas pantai yang lebih kompleks dan
garis pantai berlekuk serta gelombang datang memiliki puncak yang panjang.
Apabila garis puncak gelombang sejajar dengan garis pantai, maka akan terjadi
arus dominan di pantai berupa sirkulasi sel dengan rip current yang menuju ke
laut. Kejadian ekstrim lainnya terjadi apabila gelombang pecah dengan
membentuk sudut terhadap garis pantai (αb > 5o), dapat menimbulkan arus sejajar
pantai di sepanjang pantai. Kombinasi dari kedua kondisi tersebut biasanya terjadi
di lapangan.
14
Transpor Sedimen Pantai
Proses input sedimen merupakan akibat proses-proses baik yang dilakukan
manusia maupun alami. Sedimen yang masuk dapat berasal dari angkutan sejajar
pantai, angkutan sedimen dari sungai, erosi tebing (sea-cliff erosion), angkutan
sedimen ke pantai (on shore transport), endapan biogenus, angkutan angin (wind
transport), endapan hidrogenus (hydrogenous deposition). Sebaliknya sedimen
keluar dapat terjadi akibat angkutan sejajar pantai, angkutan ke lepas pantai
(offshore transport), angkutan angin, pelarutan dan abrasi dan penambangan pasir
(sand mining) (Dirjen P3K DKP, 2004).
Proses dinamika pantai dan sistem fisik perairan pantai adalah angkutan
sedimen litoral yang didefinisikan sebagai pergerakan sedimen pada zona perairan
pantai oleh gelombang dan arus. Transpor sedimen pada perairan pantai dapat
diklasifikasikan menjadi transpor menuju dan meninggalkan pantai (onshore-
offshore transport) dan transpor sepanjang pantai (longshore transport). Transpor
menuju dan meninggalkan pantai mempunyai arah rata-rata tegak-lurus garis
pantai, sedang transpor sepanjang pantai mempunyai arah rata-rata sejajar pantai
(CHL, 2002).
Transpor sedimen sepanjang pantai merupakan gerakan sedimen di daerah
pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkan. Transpor
sedimen ini terjadi pada gelombang pecah dan garis pantai sehingga berpengaruh
terhadap perubahan garis pantai akibat sedimen yang dibawanya (Komar, 1998;
Horikawa, 1988).
Angkutan sedimen di pantai terjadi dalam dua bentuk yaitu angkutan dasar
(bedload) yang merupakan pergerakan butiran material secara menggelinding
(sliding) melalui dasar sebagai akibat pergerakan air di atasnya, dan suspended
load transport jika pergerakan butiran dilakukan oleh arus setelah butiran tersebut
terangkat dari dasar oleh proses turbulen. Kedua bentuk angkutan sedimen di atas
biasanya terjadi pada waktu yang bersamaan tetapi sulit ditentukan tempat
berakhirnya angkutan dasar dan permulaan dari angkutan suspensi (van Rijn,
1993; Allen, 1985). Selanjutnya Heinemann (1999) menjelaskan bahwa angkutan
sedimen kohesif sering diistilahkan dengan suspended load transport karena
15
kebanyakan sifatnya yang melayang dalam kolom air, sementara angkutan
sedimen non-kohesif disebut bed load transport.
Transpor sedimen banyak menimbulkan perubahan dasar perairan seperti
pendangkalan muara sungai, erosi pantai, perubahan garis pantai dan sebagainya
(Yuwono, 1982; CERC, 1984; Triatmodjo, 1999). Perubahan dasar perairan
biasanya merupakan permasalahan, terutama pada daerah semi tertutup seperti
muara dan pelabuhan, sehingga prediksinya sangat diperlukan dalam perencanaan
ataupun penentuan metode pendangkalan. Ada beberapa cara yang biasanya
digunakan (Sorensen, 1991; Triatmodjo , 1999; CHL 2002) antara lain:
a. Melakukan pengukuran debit sedimen pada setiap titik yang ditinjau,
sehingga dapat di ketahui besar transpor sedimen.
b. Menggunakan peta atau foto udara atau pengukuran yang menunjukkan
perubahan elevasi dasar perairan tertentu.
c. Rumus empiris yang didasarkan pada kondisi gelombang dan sedimen
pada daerah yang di tinjau.
Berbagai persamaan yang menjelaskan kondisi suspensi pada kolom air
tidak lepas hubungannya dengan nilai tekanan dasar serta kecepatan shear (u*)
dari profil arus vertikal, sedangkan kecepatan geser (shear) digambarkan pada
profil arus secara vertikal dalam determinasi lapisan batas dan pengadukan massa
air. Pada daerah pantai kecepatan geser umumnya diakibatkan oleh aktifitas
gelombang dengan amplitudo tinggi dan kecepatan geser maksimum terjadi pada
daerah pecahnya gelombang (Dake, 1985). Di laut dalam, gerak partikel air oleh
gelombang jarang mencapai dasar laut. Sedangkan di laut dangkal, partikel air di
dekat dasar bergerak maju dan mundur secara periodik. Kecepatan partikel air di
dekat dasar naik dengan bertambahnya tinggi gelombang dan berkurang dengan
kedalaman, (Triatmodjo, 1999).
Menurut Wibisono (2005) transpor partikel sedimen di dalam kolom air
laut sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisika baik dari partikelnya maupun dari
kolom air-lautnya. Transpor ke arah vertikal ke bawah yang mempunyai implikasi
kecepatan endap/ laju endap sangat tergantung dari besar butir partikel yang
diendapkan.
16
Berdasarkan hukum stokes, maka diperoleh angka laju endap untuk
beberapa jenis ukuran partikel sebagai berikut:
Tabel 4 Laju endap untuk berbagai ukuran partikel sedimen
Jenis partikel Ukuran (mikron) Laju endap (cm/detik)
Pasir (sand) 100 2,5
Lanau (silt) 10 0,025
Lempung (clay) 1 0,0025
Pasang Surut
Pasang surut merupakan satu fenomena alam yang terjadi diwilayah lautan
secara periodik. Pasang surut merupakan gelombang air dangkal (shallow water
wave) yang digerakkan oleh gaya gravitasi akibat posisi bulan dan matahari yang
bervariasi terhadap lautan (Heinemann, 1999). Penurunan kedalaman selama
perambatan gelombang pasang surut akan menaikkan amplitudo gelombang
tersebut. Kekasaran dasar yang akan mereduksi energi akan berpengaruh pula
pada amplitudo gelombang. Akibatnya pada daerah dangkal gelombang pasang
surut akan berjalan lebih lambat dibanding di laut lepas dengan amplitudo yang
lebih besar. Reaksi yang diberikan oleh perairan dangkal terhadap gaya gravitasi
menyebabkan massa air bergerak secara vertikal dan horisontal dengan periode
tertentu (Ingmanson dan William, 1989; Gross, 1993).
Pasang surut menjadi komponen penting dalam dinamika pantai yang
menghasilkan arus dan perpindahan sedimen. Proses pasang surut sangat
berpengaruh pada daerah dengan energi gelombang yang relatif lemah, lagoon,
teluk dan muara (Viles dan Spencer, 1994). Komponen harmonik pasang surut
merupakan komponen yang menyebabkan terjadinya pasang surut di laut. Secara
umum komponen-komponen tersebut adalah S0, M2, S2 ,N2 ,K1 ,O1 ,M4 ,MS4 ,K2
dan P1. Dari komponen-komponen ini dapat untuk menentukan posisi muka laut.
Untuk mendapatkan tipe pasut, digunakan istilah Konstanta Pasut (Tidal
Constanta) melalui hubungan sebagai berikut :
22
11
ASAM
AOAKF
+
+=
17
dalam hal ini:
F = Bilangan Formzal
AK1 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian rata-rata yang
dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan matahari
AO1 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian tunggal yang
dipengaruhi oleh deklinasi matahari
AM2 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian ganda rata-rata
yang dipengaruhi oleh bulan
AS2 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian ganda rata-rata
yang dipengaruhi oleh matahari
Apabila harga F memiliki nilai :
0 < F < 0,25 : sifat pasut Harian Ganda Murni
0,25 < F < 1,50 : sifat pasut Campuran Condong harian Ganda
1,50 < F < 3,0 : sifat pasut Campuran Condong harian Tunggal
3,0 < F : sifat pasut Harian Tunggal Murni
Muara yang didominasi Gelombang Laut
Gelombang besar yang terjadi pada pantai berpasir dapat menyebabkan
angkutan sedimen (pasir), baik dalam arah tegak lurus maupun sepanjang pantai
(CERC, 1984; Yuwono, 1994; Triatmodjo, 1999; CHL, 2002). Dari kedua jenis
transpor tersebut, transpor sedimen sepanjang pantai adalah yang paling dominan.
Angkutan sedimen tersebut dapat bergerak ke muara sungai dan karena di daerah
tersebut kondisi gelombang sudah tenang maka sedimen akan mengendap.
Banyaknya endapan tergantung pada gelombang dan ketersediaan sedimen di
pantai. Semakin besar gelombang semakin besar angkutan sedimen dan semakin
banyak sedimen yang mengendap di muara. Apabila debit sungai kecil kecepatan
arus tidak mampu mengerosi (menggelontor) endapan tersebut sehingga muara
sungai menjadi benar-benar tertutup sedimen.
Citra Satelit Penginderaan Jauh
Citra Landsat merupakan data penginderaan jauh. Secara sederhana,
penginderaan jauh dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
melakukan observasi suatu obyek melalui suatu jarak tertentu (Barrett dan Curtis
1992). Dengan kata lain, penginderaan jauh memungkinkan penggunanya untuk
18
melalukan identifikasi dan berbagai kegiatan observasi yang lain tanpa menyentuh
obyeknya. Hal ini akan memberikan efisiensi yang besar dalam banyak hal
dibandingkan dengan kegiatan observasi terestrial yang dilakukan secara langsung
di lapangan.
Empat komponen penting dalam teknik penginderaan jauh yaitu sumber
energi, obyek, sensor dan atmosfir. Sumber energi adalah Matahari yang
memancarkan gelombang elektromagnetik ke permukaan bumi. Gelombang ini
akan dipengaruhi oleh lapisan atmosfir. Koreksi radiometri citra perlu dilakukan
untuk mengurangi pengaruh hamburan yang disebabkan oleh partikel-partikel
yang ada di atmosfer. Semakin besar panjang gelombang yang digunakan untuk
perekaman citra satelit, maka pengaruh hamburan yang mempengaruhi akan
semakin kecil (Lillesand dan Kiefer 1994). Pada hal ini panjang gelombang
inframerah memiliki kemampuan menapis pengaruh hamburan atmosfer yang
lebih baik daripada panjang gelombang tampak mata (visible).
Untuk mendapatkan hasil pengukuran dan kajian yang seakurat mungkin,
dalam studi penginderaan jauh, citra satelit Landsat sebagai data utama diseleksi
berdasarkan spesifikasi teknis kualitas data. Seleksi citra tersebut
mempertimbangkan spesifikasi teknis yang meliputi liputan awan dan kabut
(haze) saat perekaman, kelengkapan spektral, kondisi pasang surut pada saat
perekaman dan striping line pada citra.
Kondisi Umum Perairan Muara Ajkwa
Perairan muara Ajkwa merupakan hulu dari sungai Ajkwa. Kawasan
pesisir didominasi oleh hutan mangrove. Pergerakan muka laut di perairan
perairan muara Ajkwa dipengaruhi oleh perambatan pasut dari Laut Arafuru dan
perairan di sebelah selatan Samudera Pasifik. Tipe pasut diperairan tersebut
adalah tunggal (diurnal tide) (Wyrtki, 1961; PTFI 2006).
Daerah muara sungai ajkwa merupakan daerah dengan akresi tinggi. Hasil
pemantauan TSS yang dilakukan oleh PTFI dari 1994 sampai 2006 menunjukkan
adanya kandungan TSS yang cenderung meningkat yang dapat menyebabkan
terbentuknya endapan. Terbentuknya endapan dapat dilihat dari kondisi batimetri
sungai Ajkwa. Rata-rata kedalaman pada sisi sebelah kiri sekitar 2 – 2.5 meter dan
sisi sebelah kanan sungai Ajkwa sekitar 1.5 – 2 meter. Di tengah-tengah badan
19 19 19
sungai memiliki kedalaman yang dangkal sekitar 0.5 meter sepanjang 2.5
kilometer menuju muara. Daerah yang memiliki kedalaman maksimal masih
terdapat pada sisi sebelah timur hingga selatan pulau Ajkwa yakni sekitar 4.5 -5
meter (PTFI, 2006).
Kondisi gelombang di perairan muara Ajkwa dipengaruhi oleh perambatan
gelombang dari laut Arafuru. Berdasarkan perekaman data yang ada, pada musim
barat gelombang maksimum (Hmak) laut Arafuru berkisar antara 2, 74 – 3,76 meter
(EPA, 2004). Selanjutnya gelombang signifikan (Hsig) berkisar antara 1, 52 – 2, 17
meter.
20