Post on 06-Feb-2018
3
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Indigofera sp.sebagaiPakan Ternak Ruminansia
Indigofera sp.adalah genus besar dari sekitar 700 jenis tanaman berbunga
milik keluarga Fabaceae (Schrire, 2005). Terdapat di seluruh daerah tropis dan
subtropis di dunia, dari beberapa jenis mencapai zona di kawasan Timur Asia.
Indigofera sp.memberikan peluang yang menjanjikan dalam hal pemenuhan
kebutuhan ternak ruminansia terhadap penyediaan hijauan pakan. Menurut Hassen et
al., 2008 produksi bahan kering (BK) total Indigofera sp. adalah 21 ton/ha/tahun dan
produksi bahan kering daun 5 ton/ha/tahun. Indigofera sp. memiliki kandungan
protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan air, dan tahan terhadap
salinitas. Tepung daun Indigofera sp.mengandung protein kasar (PK) 22,30-31,10%,
NDF 18,90-50,40%, kecernaan in vitro bahan organik berkisar 55,80-71,70%,
kandungan serat kasar sekitar 15,25%. Selain itu legum ini memiliki kandungan
mineral yang cukup untuk pertumbuhan optimal ternak. Kandungan mineral yang
terkandung, yaitu Ca 0,97-4,52%, P 0,19-0,33%, Mg 0,21-1,07%, Cu 9-15,30 ppm,
Zn 27,20-50,20 ppm, dan Mn 137,40-281,30 ppm (Hassen et al., 2007) serta
memiliki kandungan tanin sebanyak 9,35% (Ologhobo,2009).
Gambar1. Daun Indigofera sp. Sumber : Fotopenelitian, 2011
Taksonomi tanaman Indigofera sp.sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
4
Bangsa : Rosales
Suku : Leguminosae
Marga : Indigofera
Jenis : Indigofera arrecta L.
Ciri-ciri legum Indigofera sp.adalah tinggi kandungan protein dan toleran
terhadap kekeringan dan salinitas menyebabkan sifat agronominya sangat diinginkan.
Saat akar terdalamnya dapat tumbuh kemampuannya untuk merespon curah hujan
yang kurang dan ketahanan terhadap herbivora merupakan potensi yang baik
sebagaicover crop (tanaman penutup tanah) untuk daerah semi- kering dan daerah
kering (Hassen et al., 2006). Interval defoliasi tanaman ini yaitu 60 hari dengan
intensitas defoliasi 100 cm dari permukaan tanah pada batang utama dan 10 cm dari
pangkal percabangan pada cabang tanaman (Suharlina, 2010).
Tabel1. Kandungan NutrientIndigofera sp.
Kandungan Nutrient Presentase (a) Presentase (b)
Bahan Kering (%) 21,97 93,21
Abu (% BK) 6,41 12,51
Protein Kasar (% BK) 24,17 27,88
Serat Kasar (% BK) 17,83 32,73
Lemak Kasar (% BK) 6,15 1,48
Beta-N (% BK) 38,65 25,39
NDF (%) 54,24 -
ADF (%) 44,69 -
Keterangan: a) Kandungan nutrient Indigofera sp. sebagai pakan basal kambing boerka (Simanihuruk
et al., 2009), b) Kandungan nutrient Indigofera sp. ransum penelitian, Laboratorium
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, 2011, NDF = Neutral Dietergent Fiber, ADF =
Acid Detergent Fiber.
Potensi Limbah Tauge sebagai Pakan Ternak Ruminansia
Limbah tauge adalah sisa dari produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang
hijau atau angkup tauge dan pecahan-pecahan tauge yang diperoleh pada saat
pengayakan atau ketika pemisahan untuk mendapatkan tauge yang dapat dikonsumsi.
Limbah tauge biasanya dibuang begitu saja di pasar atau oleh para pengrajin tauge,
sehingga hal tersebut berpeluang untuk mencemari lingkungan. Potensi limbah tauge
dalam sehari sangat banyak dilihat dari produksi tauge yang tidak mengenal musim
5
terutama untuk pengrajin tauge di daerah Bogor. Sebagai contoh, total produksi tauge
di daerah Bogor sekitar 6,5 ton/hari (Rahayu et al., 2010). Limbah tauge dihasilkan
dari kacang hijau yang mengalami perubahan fisik secara biologi dan kimia menjadi
tauge, kemudian dilakukan pengayakan tauge di pasar sebelum dijual ke konsumen.
Kacang hijau mempunyai kandungan protein yang tinggi dan susunan asam amino
yang mirip dengan susunan asam amino kedelai. Salah satu kekurangan kacang hijau
adalah adanya kandungan anti tripsin yang dapat menghambat penyerapan protein.
Salah satu cara untuk mengurangi kandungan anti nutrisinya adalah dengan
memberikan perlakuan pada kacang tersebut seperti perendaman, perkecambahan,
dan pemanasan (Belinda, 2009).
Gambar2. Limbah taugekacang hijau Sumber : Foto Penelitian, 2011
Selama proses perkecambahan, beberapa kandungan pati diubah menjadi
bagian yang lebih kecil dalam bentuk gula maltosa. Karbohidrat sebagai bahan
persediaan makanan dirombak oleh enzim alfa amilase dan beta amilase yang bekerja
saling mengisi. Alfa amilase mengubah pati menjadi dekstrin, sedangkan beta
amilase memecah dekstrin menjadi maltosa. Molekul protein dipecah menjadi asam
amino sehingga pada kecambah terjadi kenaikan konsentrasi asam amino yaitu lisin
24%, threonin 19%, alanin 29%, dan fenilalanin 7%. Lemak dihidrolisa menjadi
asam lemak yang mudah dicerna. Beberapa mineral seperti Ca dan Fe yang biasa
terikat erat dapat dilepaskan sehingga menjadi bentuk yang lebih bebas. Dalam setiap
100 gram tauge mengandung energi 50 kkal, kalsium 32 mg, potasium 235 mg, besi
897 mg, fosfor 75 mg, seng 960 mg, asam folat 160 mg, vitamin C 20 mg, dan
vitamin B2 163 mg. Tauge mengandung nilai gizi tinggi, murah, dan mudah didapat.
6
Dalam bentuk tauge, kandungan vitaminnya lebih banyak daripada bentuk
bijinya yaitu kacang hijau. Kadar vitamin B-nya meningkat 2,5-3 kali lipat,
sedangkan vitamin C meningkat menjadi 20 mg/100gr. Berdasarkan berat kering,
kandungan protein tauge juga meningkat 119% dari kandungan awalnya. Hal ini
terutama dikarenakan terjadinya sintesa protein selama proses germinasi kecambah
(Winarno, 1981). Limbah tauge memiliki kandungan nutrisi, kandungan airnya
63,35%, abu 7,35%, lemak 1,17%, protein 13,62%, serat kasar 49,44%, dan
kandungan TDN adalah 64,65% (Rahayu et al., 2010).
Tabel 2. Kandungan Nutrient Limbah Tauge
Kandungan Nutrient Presentase (a) Presentase (b)
Bahan Kering (%) 44,62 87,94
Abu (% BK) 7,35 3,00
Protein Kasar (% BK) 13,63 16,40
Serat Kasar (% BK) 49,44 43,78
Lemak Kasar (% BK) 1,17 0,24
Beta-N (% BK) 28,42 36,58
TDN (%) 64,65 67,80
Keterangan : (a) Kandungan nutrient limbah tauge untuk ransum penggemukan domba UP3 jonggol
(Wandito, 2011), (b) Kandungan nutrient limbah tauge ransum penelitian, hasil
analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, 2011, TDN = Total
Digestibelity Nutrient.
RUSITEC (Rumen Simulation Technique)
Rusitec merupakan model yang dirancang untuk menyamakan kondisi yang
mirip di dalam rumen. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar populasi mikroba di
dalam rumen tetap normal dalam jangka waktu yang lama selama pemberian
treatmen (Koike et al., 2007).
Prinsip metode Rusitec menurut Czerkawski & Breckenridge (1977) adalah
cairan rumen harus berada dalam kondisi 39oC dengan menggunakan pemanasan
wather bath. Volume tabung yang digunakan untuk proses fermentasi 1060 ml yang
didalamnya terdapat dua kantong nylon berisi padatan dan pakan perlakuan yang
diinkubasikan selama 48 jam. Pada tabung fermentor terdapat cairan rumen sebagai
inokulum dan larutan buffer sebanyak 620 ml/hari. Menurut para ahli metode ini
dikenal sebagai sistem “Continous Flow Aparatus”atau Chemostat. Alat ini juga
7
merupakan pengukur fermentasi in vitro yang biasa dipakai untuk menentukan
derajat penggunaan makanan (Johnson,1966).
Gambar3. Alat Rusitec dengan 8 vessel Sumber : Foto Penelitian, 2011
Cairan rumen sebagai sumber inokulum merupakan bagian yang penting
untuk penyelidikan fermentasi in vitro. Menurut Johnson (1966) para ahli
menyarankan pentingnya pemberian ransum yang sama dengan substrat yang akan
diselidiki daya cerna pada hewan yang dijadikan sebagai induk semang mengingat
banyak perbedaan dalam jenis jenis bakteri rumen yang kebutuhannya berbeda-beda.
Tetapi dalam sistem RUSITEC, hal ini tidak diperlukan karena adanya masa
“prelim” beberapa hari sebelum masa pengamatan.
Keasaman (pH), menurut Hungate (1966) keasaman dalam rumen berkisar
antara 5,5-7,0, namun para peneliti berpendapat sekitar 6,9. Untuk memelihara
kehidupan mikroba perlu keasaman mendekati netral. Dalam sistem RUSITEC pH
fermentor mendekati normal karena dialirkan kedalamnya buffer McDougall sebagai
saliva buatan. Pada RUSITEC di dalam rumen buatan, mikroorganisme dapat
bertahan dengan memberi makan seperti ruminansia normal setiap hari dan
memperhatikan kondisi fisiologis yang benar meliputi suhu, pH, dan saliva. (Dong
Yet al., 1997).
Cairan Rumen
Cairan rumen dapat diambil dari limbah pemotongan ternak, dari tubuh
ternak hidup dengan menggunakan stomach tube, atau dari ternak yang memiliki
lubang fistula (Hungate, 1966). Cheng et al. (1980) menyatakan bahwa pada kondisi
anaerob, asam lemak dan cairan rumen dapat dengan cepat menghancurkan
plasmalema dan banyak struktur sitoplasma dari sel tanaman.
8
Penghuni terbesar dalam cairan rumen adalah bakteri yaitu 1010
-1012
/ml
cairan rumen dan populasi terbesar kedua diduduki oleh protozoa yang dapat
mencapai 105–10
6sel/ml cairan rumen, namun demikian karena ukuran tubuhnya
lebih besar dari bakteri maka biomassanya ternyata cukup besar yakni mengandung
lebih kurang 40% total nitrogen mikroba rumen (Hungate, 1966).
Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia
Mikroba rumen dan induk semang (ternak) hidup secara simbiosis. Secara
umum terdapat empat jenis mikroorganisme rumen, yaitu bakteri (1010
-105
zoospora/ml, mewakili 5 jenis), dan bakteriofag (108-10
9/ml). Bakteri mendegradasi
selulosa, hemiselulosa, pati, protein, dan sangat sedikit jumlah minyak untuk
menghasilkan VFA dan protein mikroba di dalam rumen. Protozoa mencerna
karbohidrat dan protein. Fungi memiliki peran dalam fermentasi rumen yaitu sebagai
pencerna pakan serat karena fungi membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan.
Rizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman sehingga pakan lebih
terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen (Kamra, 2005).
Protozoa memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri,
ukuran tubuh protozoa lebih besar sehingga total biomassanya hampir sama dengan
bakteri (McDonaldet al., 2002). Protozoa bersifat fagosit aktif (pemangsa/predator)
terhadap bakteri rumen terutama bakteri amilolitik. Bakteri amilolitik menempel
granula pati dan sifat makan protozoa yang menelan partikel-partikel pati sehingga
bakteri amilolitik ikut termakan bersama granula pati (Subrata et al., 2005).
Sebanyak 70% dari total bakteri metanogen bersimbiosis dengan protozoa (Jouany,
1991). Produksi H2 dari hasil fermentasi akan dimanfaatkan oleh bakteri metanogen
untuk diubah menjadi gas metan (CH4). Hal ini akan merugikan karena pembentukan
metan merupakan proses pemborosan yang dapat mengurangi 6-10% gross energi
(Jayanegara, 2008) yang seharusnya dapat dikonversi dalam pembentukan produk
fermentasi.
Pencernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan
dalam alat pencernaan. Proses pencernaan tersebut meliputi : (1) pencernaan
mekanik, (2) pencernaan hidrolitik dan (3) pencernaan fermentatif. Pencernaan
mekanik terjadi dimulut oleh gigi melalui proses mengunyah dengan tujuan untuk
memperkecil ukuran, yang kemudian akan masuk ke dalam perut dan usus untuk
9
melalui pencernaan hidrolitik, dimana zat makanan akan diuraikan menjadi molekul-
molekul sederhana oleh enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh hewan
(Sutardi, 1980). Hasil pencernaan fermentatif berupa Volatile Fatty Acids (VFA),
NH3, dan air diserap di sebagian rumen dan sebagian lagi di abomasum dan dicerna
secara hidrolitik oleh enzim enzim pencernaan sama seperti yang terjadi di hewan
monogastrik. Pencernaan berlangsung dari suatu saluran yang terentang dari mulut
ke anus (Fradson, 1996). Zat makanan tersebut dalam saluran pencernaan mengalami
perombakan menjadi zat-zat yang siap untuk diserap tubuh hewan (Tilman et al.,
1986).
Sistem pencernaan ruminansia sangat bergantung pada perkembangan
populasi mikroba yang mendiami retikulorumen dalam mengolah setiap bahan pakan
yang dikonsumsi. Mikroba tersebut berperan sebagai pencerna-pencerna serat dan
sumber protein. Adanya mikroba yang berperan dalam pencernaan pakan di dalam
rumen menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan berserat yang
berkualitas rendah, sehingga kebutuhan asam-asam amino untuk ternak tidak
sepenuhnya tergantung pada protein pakan yang diberikan (Sutardi, 1980).
Pencernaan Fermentatif
Proses pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanis di dalam mulut,
fermentatif oleh mikroba dalam rumen dan hidrolisis oleh enzim pencernaan ternak
inang. Proses pencernaan fermentatif zat makanan dirombak oleh mikroba menjadi
senyawa lain yang berbeda sifat kimianya sebagai zat intermediate. Produk dari hasil
pencernaan fermentatif yaitu asam lemak terbang (VFA), NH3, sel mikroba, gas
metan, CO2 dan air. Gas metan akan dikeluarkan dengan cara eruktasi dan VFA
diserap melalui dinding rumen. Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan
diserap langsung retikulo-rumen yang masuk ke darah, sekitar 20% diserap di
abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap usus halus (McDonald et al.,
2002).
Peningkatan produksi VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan
tersebut didegradasi oleh mikroba rumen (Sakinah, 2005).Ransum yang diberikan
kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Degradasi
karbohidrat di dalam rumen dilakukan dengan dua tahapan yaitu 1) karbohidrat
kompleks (polisakarida : selulosa, pati dan lain-lain) dihidrolisa menjadi gula
10
sederhana (monosakarida glukosa) oleh enzim-enzim mikroba rumen, 2)
monosakarida menjadi piruvat yang selanjutnya akan diubah menjadi produk akhir
yaitu VFA (asetat, propionat dan butirat) (McDonald et al., 2002).
Selulosa Pati
Selobiosa Maltosa
Glukosa
2 ATP
2 NAD+
2 NADH
Piruvat 2 NADH 2 NAD+
CO2 CH4
Asam Laktat Asetil Co-A
4 NADH NADH
4 NAD NAD +
Propionat Asetat Butirat
Gambar4. Sintesis VFA oleh mikroorganisme di rumen Sumber : Damron (2006)
Menurut McDonald et al. (2002) proporsi molar dari VFA terdiri dari 65%
asetat, 21% propionat, dan 14% butirat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis pakan
yang dikonsumsi. Kecepatan produksi VFA dan sel bakteri berhubungan dengan
konsumsi TDN(Arora, 1989). Karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pectin,
pati, dan gula tercerna lainnya merupakan substrat utama dalam proses fermentasi.
Karbohidrat ini didegradasi menjadi bentuk heksosa dan pentosa sebelum
difermentasi menjadi VFA oleh piruvat (France dan Dijkstra, 2005).
Banyaknya VFA yang dihasilkan di dalam rumen sangat bervariasi
tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi. Konsentrasi VFA total yang layak
bagi kelangsungan hidup ternak 70-150 mM (McDonald et al., 2002) dengan titik
optimumnya adalah 110 mN (Suryapratama, 1999).Menurut France dan Dijikstra
(2005) konsentrasi VFA total dapat turun menjadi 30 mM atau meningkat sampai
200 mM, namun pada umumnya konsentrasi VFA berkisar antara 70-130 mM.
Konsentrasi yang relatif tinggi atau rendah ini menunjukkan pola fermentasi, yang
11
terlihat jelas pada pakan hijauan tetapi kurang terlihat pada pakan konsentrat. Tinggi
rendahnya konsentrasi VFA dipengaruhi oleh pakan basal, tipe karbohidrat pakan,
bentuk fisik pakan, tingkat konsumsi, frekuensi pakan, dan penggunaan aditif kimia.
Menurut Salawu et al. (1997) faktor yang mempengaruhi konsentrasi VFA adalah
kandungan serat kasar dan unsur karbon yang terdapat dalam protein. Selain itu jenis
dan jumlah mikroorganisme juga mempengaruhi konsentrasi VFA.
Berdasarkan penelitian Fitri (2010), produksi VFA total hasil fermentasi in
vitro empat jenis daun leguminosa pohon secara berurutan dari gamal, kaliandra,
kelor, dan lamtoro, yaitu 110,17 mM; 97,67 mM; 138,04 mM; dan 110,38
mM.Perbandingan antara asamlemak terbang yang dihasilkan tidak tetap,
bergantungpada tipe makanan, pengolahan dan frekuensi pemberian makan
(Soewardi,l974).Umumnya perbandingan VFA berkisar 65% asetat, 20% propionat,
10% butirat dan5% valerat (Sutardi, 1977). Ransum dari penguat akan rnenghasilkan
perbandingan 45% asetat, 40% propionat, 5-10% butirat dan 2-8% valerat. Apabila
konsentrat dalamransum meningkat, maka proporsi asetat menurun dan asam
propionat meningkat(Ranjhan, 1980).
Ternak mengkonsumsi pakan yang cukup akan protein untuk memenuhi
kebutuhan protein dalam tubuhnya. Protein dalam rumen mengalami proteolisis
seperti halnya karbohidrat. Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba
menjadi peptida dan asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi
amonia. Amonia merupakan hasil metabolisme protein dan nitrogen bukan protein.
Amonia dalam rumen adalah sumber nitrogen yang akan digunakan oleh mikroba
rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002).
Amonia dalam cairan rumen merupakan produk akhir dari proteolisis yang
dirombak oleh populasi bakteri rumen. Amonia juga merupakan sumber nitrogen
utama untuk sintesis protein oleh populasi bakteri rumen. Pada waktu tertentu,
konsentrasi amonia dalam rumen tergantung pada laju relatif pelepasan dan
pembentukan kembali amonia. Amonia dalam cairan rumen dibentuk ketika asam
amonia berlebihan yang dimetabolisme ke dalam intraselular oleh berbagai macam
mikroorganisme. Saat amonia dalam intraselular meningkat, amonia akan
dikeluarkan sebagian dimana amonia ini tersedia dan akan dimanfaatkan oleh
beberapa mikroorganisme selulotik (France dan Dijkstra, 2005).Konsentrasi amonia
12
optimum dalam cairan rumen berkisar antara 85 hingga lebih dari 300mg/l
(McDonald., 2002).
Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan
proses sintesis protein oleh mikroba rumen. Ketika kandungan protein pakan tahan
degradasi, maka konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan
mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan
(McDonald et al., 2002). Amonia merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis
protein mikroba, oleh karena itu konsentrasinya dalam rumen merupakan suatu hal
yang perlu diperhatikan.
Konsentrasi amonia harus dalam keadaan cukup untuk menunjang sintesis
protein mikroba. Kekurangan amonia akan menyebabkan pertumbuhan bakteri yang
lambat sehingga degradasi karbohidrat melambat. Kelebihan amonia akan
menyebabkan amonia terakumulasi di rumen yang kemudian akan diserap oleh darah
dan dibawa ke hati untuk dikonversi menjadi urea. Beberapa urea akan dikembalikan
ke saliva dan ada yang langsung diekskresikan melalui urin (McDonaldet al., 2002)
(Gambar5). Menurut Sutardi (1980) kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang
pertumbuhan mikroba rumen berkisar antara 4-12 mM yang setara dengan 5,6-
16,8mg/100ml. McDonald et al. (2002) menjelaskan bahwa konsentrasi optimum
NH3 di dalam rumen berkisar 85-300 mg/l yang setara dengan 6-21 mM.
Menurut McDonald et al. (2002) kisaran konsentrasi NH3 yang optimal untuk
sintesis protein oleh mikroba rumen adalah 6 - 21 mM. Konsentrasi nitrogen amonia
sebesar 5% sudah mencukupi kebutuhan nitrogen mikroba. Faktor utama yang
mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang
berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan protein mikroba. Amonia dapat
dimanfaatkan oleh mikroba dan penggunaannya perlu disertai dengan sumber energi
yang mudah difermentasi, misalnya dedak padi. Berdasarkan penelitian Kasim
(1994), rata-rata produksi amonia hasil fermentasi in vitro empat jenis daun
leguminosa pohon secara berurutan dari angsana, kupu-kupu, sengon, dan lamtoro
dalam keadaan segar yaitu 3,7 mM, 6,7 mM, 1,8 mM, dan 5,9 mM.
13
RUMEN
Gambar 5. Pencernaan dan metabolisme komponen nitrogen dalam rumen Sumber : (McDonald et al., 2002).
Pencernaan Hidrolisis
Sistem pencernaan adalah penghancuran bahan makanan (mekanis/enzimatis,
kimia dan mikrobia) dari bentuk komplek (molekul besar) menjadi sederhana (bahan
penyusun) dalam saluran cerna. Tujuan dari pencernaan itu sendiri adalah untuk
mengubah bahan komplek menjadi sederhana. Proses utama dari pencernaan yaitu
mekanik, enzimatik ataupun mikrobial. Proses mekanik terdiri atas mastikasi ataupun
pengunyahan dalam mulut dan gerakan–gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan
oleh kontraksi-kontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara enzimatik atau
kimiawi dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel–sel dalam tubuh hewan.
Mikroorganisme hidup dalam beberapa bagian dari saluran pencernaan yang sangat
Pakan
Kelenjar
Ludah Non Protein N Protein
Protein
Terdegradasi
Protein Tak
Terdegradasi
Peptida
HATI
Urea NH3 Amonia Asam amino
GINJAL Protein Mikroba
Dicerna
diusus halus
Diekskresi
melalui Urin
14
penting dalam pencernaan ruminansia. Pencernaan oleh mikroorganisme ini juga
dilakukan secara enzimatik yang enzimnya dihasilkan oleh sel–sel mikroorganisme
(Tillman et al., 1991).
Kecernaan merupakan presentase pakan atau zat nutrisi tertentu dalam pakan
yang larut dalam saluran pencernaan sehingga dapat diserap oleh dinding sel
pencernaan. Kecernaan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya : (1) adanya
enzim yang mempengaruhi lingkungan fisiologis rumen, (2) komposisi nutrien bahan
pakan dan antinutrisi yang terkandung dalam pakan, dan (3) kapasitas saluran
pencernaan ternak (Church, 1979).
Menurut McDonald et al.(2002), kecernaan pakan dapat didefinisikan dengan
cara menghitung bagian zat makanan yang tidak dikeluarkan melaui feses dengan
asumsi zat makanan tersebut telah diserap oleh ternak. Pengukuran kecernaan dapat
dilakukan dengan memberikan sejumlah pakan tertentu kepada ternak dan
menghitung jumlah feses yang dikeluarkan oleh ternak. Pengukuran kecernaan
sebaiknya dilakukan dengan lebih dari satu ternak. Selain itu, kecernaan pakan juga
dapat dihitung cepat dilaboratorium yaitu dengan menggunakan cairan rumen.
Kecernaan dapat dibedakan menjadi kecernaan bahan kering dan bahan organik.
Faktor faktor yang mempengaruhi kecernaan yaitu komposisi bahan pakan,
perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya,
perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan level pemberian
pakan (McDonald et al., 2002). Berdasarkan penelitian Kasim (1994) kecernaan
bahan kering hasil fermentasi in vitro empat jenis daun leguminosa pohon secara
berurutan dari angsana, kupu-kupu, sengon, dan lamtoro dalam bentuk segar, yaitu
37,70%, 39,70%, 32,10%, dan 43,80%.
Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang dapat menentukan
nilai pakan (McDonald et al., 2002). Semakin tinggi bahan organik yang dikonsumsi
akan menghasilkan nilai kecernaan bahan organik yang semakin tinggi pula
(Resdiani, 2010). Sebagian besar komponen bahan kering terdiri dari bahan organik
sehingga faktor faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya Koefisien Cerna Bahan
Kering (KCBK) akan mempengaruhi juga tinggi rendahnya Koefisien Kecernaan
Bahan Organik (KCBO) ransum. Semakin tinggi KCBK maka semakin tinggi pula
peluang nutrien yang dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Kecernaan bahan
15
organik menggambarkan senyawa protein, karbohidrat, lemak yang dapat dicerna
oleh ternak (Menke et al., 1986).Berdasarkan penelitian Kasim (1994) kecernaan
bahan organik hasil fermentasi in vitro empat jenis daun leguminosa pohon secara
berurutan dari angsana, kupu-kupu, sengon, dan lamtoro dalam bentuk segar, yaitu
38,30%, 40,30%, 32,30%, dan 42,60%.