Post on 10-Mar-2019
Tinjauan Empiris Kebijakan Moneter melalui Jalur Nilai Tukar dalam Mendorong
Neraca Perdagangan dengan Pendekatan Vector Auto Regressive
Periode 2007 - 2015
SKRIPSI
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi danBisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta
Disusun Oleh :
Ricky FajarAdiputra
NIM : 1110084000011
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
1438 H/ 2017 M
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama Lengkap : Ricky Fajar Adiputra
2. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Mei 1992
3. Alamat : Kampung Pulo, Cilangkap, Depok, Jawa Barat
4. Surel : ricky_sos4@yahoo.com
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. TKIT Baitul Hikmah Jakarta (2000-2001)
2. SDIT Al-Ma’ruf Jakarta (2001-2007)
3. MTs PPMI Assalaam Surakarta (2004-2007)
4. SMAN 98 Jakarta (2007-2010)
5. Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2010-2017)
III. INFORMASI KELUARGA
1. Ayah : Sandy Setiawan
2. Ibu : Ira Setiawati
3. Alamat : Kampung Pulo, Cilangkap, Depok, Jawa Barat
4. Anak : I (pertama) dari 3(tiga) bersaudara
IV. PENGALAMAN ORGANISASI
1. OSIS MTs Assalaam Surakarta (2005-2006) - Sekretaris
2. Divisi Riset dan Pengembangan HMJ IESP (2013-2014) - Anggota
3. Program KKN GEMA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013) - Ketua
4. English Club FEB UIN Jakarta (2013) – Bendahara
V. PENGALAMAN BEKERJA
1. PT Prima Edu Internasional (2012-Sekarang) – Pengajar Bidang Ekonomi
2. PT Bintang Toedjoe (2013) – Freelance Salesman
3. Primagama Cirendeu (2015-Sekarang) – Staff Akademik
ABSTRACT
The aim of this research is to identify whether there is a strong relationship betweenvariables in monetary transmission mechanism through exchange rate channeltowards balance of trade as it was said in the theory. If there is, the important
questions need to be answered are : (1) How much is the magnitude for each variabletowards another and (2) How long is it needed for every variables in the system to
affect others. These questions are commonly found in monetary transmission topic asthe monetary transmission process itself is known familiar with time-lags to givedesirable outputs toward economy. If there is not, subjects that might need to be
answered are : (1) In what circumstances of economy should the monetary policywould affect the balance of trade performance, and (2) What is it needed from themonetary authority for its policies to provide such expected output to improve the
balance of trade.
The data used in this research are monthly data from January 2007 to December2015. Vector Auto Regressive in first difference is used to build Impulse Response
Function and Variance Decompositions analysis to see the dynamic effect frommonetary shocks, whereas Granger Causality test is used to legitimate the
relationships between variables.
In terms of magnitude, the result shows unsatisfactory connections between variablesinvolved in transmission mechanism, despite the time-lags needed are considered
quite fast. Granger Causality test shows discrepancy between the transmissionmechanism and its theory for the time period.
Keywords : Monetary Transmission, Balance of Trade, VAR, IRF, VD, GrangerCausality
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi apakah terdapat keterkaitanyang erat di antara variabel-variabel mekanisme transmisi moneter melalui jalur nilai
tukar terhadap neraca perdagangan sebagaimana yang terdapat dalam teori. Jikamemang ada, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah : (1) Berapa besaranmasing-masing variabel terhadap variabel lain dan (2) Berapa lama waktu yang
diperlukan bagi setiap variabel untuk mempengaruhi variabel lain yang terdapat didalam sistem Pertanyaan-pertanyaan tersebut umum ditemukan dalam topik transmisimoneter sebab transmisi kebijakan moneter itu sendiri dikenal tak asing dengan time-lag dalam memberikan stimulus yang diharapkan terhadap perekonomian. Jika tidak
terdapat keterkaitan, permasalahn yang perlu dijawab antara lain : (1) Asumsiperekonomian seperti apa yang harus dipenuhi agar kebijakan moneter dapat
mempengaruhi neraca perdagangan, dan (2) Apa yang diperlukan oleh otoritasmoneter agar kebijakan yang diimplementasikannya dapat mendorong neraca
perdagangan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan dari bulan Januari2007 hingga Desember 2015. Vector Autoregressive dalam first difference digunakan
untuk menghasilkan analisis Impulse Response Function dan VarianceDecompositions untuk melihat efek dinamis dari guncangan moneter, sementara
Granger Causality test digunakan untuk melegitimasi arah hubungan antar-variabel.
Dilihat dari besaran yang ditimbulkannya, terdapat keterkaitan yang lemah di antaravariabel-variabel dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter, meskipun time-lagyang diperlukan cukup cepat. Granger Causality test menunjukkan perbedaan antara
output dan teori pada periode penelitian.
Kata Kunci : Transmisi Kebijakan Moneter, Neraca Perdagangan, VAR, IRF, VD,Kausalitas Granger
KATA PENGANTAR
Assalaamu’alaikum Wr, Wb
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT, yang telah memberikan limpahan nikmat, rahmat dan kasih sayang-Nya kepada
penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sang pembawa risalah
Islam, pembawa syafaat bagi ummatnya di hari akhir kelak.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak guna penyempurnaan
skripsi ini. Di samping itu, penulisan skripsi ini tentu tidak terlepas dari banyak pihak
yang secara tulus memberikan uluran tangan dalam bentuk materiil maupun non
materiil. Apresiasi dan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Semoga menjadi
manfaat dan dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang lebih baik. Secara khusus,
apresiasi dan terima kasih tersebut disampaikan kepada :
1. Kedua orang tua – Ayah dan Ibuku. Rabbighfirlii wali waalidayya
warhamhuma kamaa rabbayaanii saghiiraa. Setiap hal yang kalian lakukan
untuk mendidik kami tidak pernah mudah, oleh karenanya hal tersebut
merupakan pengorbanan yang luar biasa. Rasa kasih dan sayang kalian tak
akan pernah tergantikan dan akan selalu ada di setiap masa. Kalianlah alasan
penulis mampu mencapai berbagai macam hal hingga saat ini.
2. Kedua adik penulis, Ade Vito dan Alanda Nicolas yang menjadi dorongan
besar bagi penulis untuk tetap berusaha melakukan yang terbaik dalam banyak
hal, semoga Allah SWT memberikan kalian kekuatan dan keteguhan untuk
mencapai yang terbaik,
3. My fellow students – Salsabi Rolansyah, Alyssa Matindas, Syah Seputra,
Yasmin Nariswari, kalianlah yang selalu kembali mengingatkan penulis
bahwa belajar seharusnya adalah sebuah proses yang menarik. Terima kasih
telah mengizinkan penulis menjadi bagian dari proses dan perjuangan kalian.
My sincere thoughts and prayers for your success in your study and career,
4. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
5. Bapak Arief Fitrijanto, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa meluangkan
waktunya untuk memberikan pengarahan, motivasi, dan tidak pernah berhenti
untuk tetap yakin pada penulis dan kawan-kawan dalam proses penyusunan
skripsi ini,
6. Ibu Najwa Khairina, MA selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pembimbing tunggal yang
senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan, motivasi
serta bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis berterima kasih
sebesar-besarnya atas perhatian dan semangatnya dalam membimbing penulis,
7. Segenap civitas akademika (pengajar & tata usaha) Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan apresiasi
terbaik dalam segala hal,
8. Teman-teman mahasiswa IESP angkatan 2010 yang telah memberikan
pengalaman yang tak ternilai bagi penulis dalam menjalani hari – hari baik di
dunia akademik maupun keseharian. Special mention for Grup Oblax –
Acong, Along, Idung, Burhan, Isnan, Adi, Manto, Amif, Ncek, Agus dan
semuanya, kelakuan – kelakuan absurd kalian tetaplah yang terbaik. semoga
tetap solid dan absurd – apapun yang terjadi,
9. Teman – teman konsentrasi Ekonomi Syariah Oon, Dika, Agang, Drajad,
Amalia, Eva, Ipak, Hasyim, Kemal, Ali, Andis, dan semuanya. Thank you so
much for everything we had back then,
10. Terima kasih untuk semua teman-teman Suicide Squad – Dody, Parjo, Garry,
Windu, Luhut, Gusti – you guys are the ones who keep remind me that there’s
always something to achieve out there. Makasih banget buat kebersamaan,
tolong – menolong, motivasi, dan petualangan-petualangan serunya yang udah
di share bareng. Semoga Allah SWT berkenan ngasih kesempatan untuk terus
cari petualangan yang lebih seru ke depannya sebagai material ber tadabbur,
aamiin yaa Rabbal Aalamiin,
11. Rekan – rekan kerja Primagama Cirendeu – Mas Adjie, Kak Herlin, Kak Ita,
Kak Erta, Ka Atto, Ka Fajar, Pak Firman, Ka Lydia, Mr MJ a.k.a Mr Vice
Prez, dan semua rekan-rekan yang tidak bisa disebutkan satu-persatu karena
memang sungguh banyak sekali – Terima Kasih banyak atas bantuan dan
motivasi yang kalian berikan pada penulis, semoga Allah SWT membalas
dengan yang jauh lebih baik.
Penulis berharap skripsi ini menjadi kontribusi serta menambah pustaka dan
referensi bagi semua pihak yang membutuhkan. Saran dan masukan dari para
pembaca untuk perbaikan ketidaksempurnaan skripsi ini sangat diharapkan.
Jakarta, 23 Mei 2017
Penulis
Ricky Fajar Adiputra
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang Penelitian..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 12
D. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 14
A. Landasan Teori ................................................................................................... 14
1. Kebijakan Moneter .......................................................................................... 14
a. Definisi Kebijakan Moneter ........................................................................ 14
b. Tujuan Kebijakan Moneter.......................................................................... 14
c. Kerangka Kebijakan Moneter...................................................................... 15
1) Instrumen Kebijakan ........................................................................... 16
a) Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) .......................... 16
b) Cadangan Minimun (Reserve Requirement) ................................... 16
c) Kebijakan Diskonto (Discount Rate Policy) ................................... 17
2) Sasaran Operasional ............................................................................ 18
3) Sasaran Antara..................................................................................... 18
4) Sasaran Akhir ...................................................................................... 19
d. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ................................................. 19
e. Jalur Transmisi Kebijakan Moneter ............................................................ 21
1) Jalur Ekspektasi (Expectation Channel) .............................................. 22
2) Jalur Kredit (Credit Channel) .............................................................. 22
3) Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel) .......................................... 24
4) Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel)........................................ 25
5) Jalur Harga Aset (Price Rate Channel) ............................................... 27
f. Teori Kebijakan Moneter ............................................................................. 27
1) Teori Kuantitas Uang .......................................................................... 27
2) Teori Cambridge (Marshall-Pigou) ..................................................... 29
3) Teori Keynes ....................................................................................... 31
a) Motif Transaksi dan Berjaga-Jaga................................................ 32
b) Motif Spekulasi ............................................................................ 32
4) Paritas Suku Bunga (Uncovered Interest Parity) ................................ 35
5) Arus Modal (Capital Flow)................................................................. 36
a) Internal atau pull factors............................................................... 37
b) External atau push factors ............................................................ 37
g. Nilai Tukar dan Ekspor ............................................................................... 38
h. Kebijakan Moneter pada Perekonomian Terbuka....................................... 38
i. Kebijakan Moneter di Indonesia .................................................................. 40
B. Keterkaitan antar Variabel .............................................................................. 42
1. Suku Bunga, Interest Rate Differential, Capital Flow dan Nilai Tukar ..... 42
2. Nilai Tukar dan Neraca Perdagangan.......................................................... 43
C. Penelitian Terdahulu ....................................................................................... 44
D. Kerangka Pemikiran........................................................................................ 51
E. Hipotesis.......................................................................................................... 53
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 55
A. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................... 55
B. Metode Penentuan Sampel.............................................................................. 56
C. Metode Pengumpulan Data ............................................................................. 57
1. Internet ........................................................................................................ 57
2. Studi Kepustakaan....................................................................................... 58
3. Sumber Data................................................................................................ 58
a. Suku Bunga BI (BI Rate) ................................................................ 58
b. Nilai Tukar (Kurs) ........................................................................... 58
c. Paritas Suku Bunga.......................................................................... 58
d. Capital Flow .................................................................................... 59
e. Ekspor Neto ..................................................................................... 59
D. Metode Analisis Data...................................................................................... 59
1. Uji Stasioneritas Data.................................................................................. 62
2. Penentuan Lag Optimal............................................................................... 63
3. Uji Stabilitas Model (VAR) ........................................................................ 65
4. Uji Kointegrasi ............................................................................................ 65
5. VAR / VECM.............................................................................................. 67
6. Uji Kausalitas .............................................................................................. 68
7. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) dan Impulse ResponseFunction (IRF)................................................................................................. 69
E. Operasional Variabel Penelitian...................................................................... 70
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN................................................... 71
A. Hasil Estimasi dan Pembahasan...................................................................... 71
1. Hasil Uji Stasioneritas Data (Augmented Dickey Fuller) ........................... 71
2. Hasil Lag Optimal ....................................................................................... 73
3. Uji Stabilitas Model (VAR) ........................................................................ 74
4. Uji Kointegrasi (Johansen’s Cointegration Test) ........................................ 75
5. Model Empiris VAR ................................................................................... 76
6. Uji Kausalitas .............................................................................................. 78
7. Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error VarianceDecomposition (FEVD) .................................................................................. 81
B. Interpretasi dan Pembahasan........................................................................... 88
1. Hubungan antara Tingkat Suku Bunga dan Kurs........................................ 88
2. Hubungan antara Paritas Suku Bunga dan Capital Flow ............................ 90
3. Hubungan antara Capital Flow dan Kurs .................................................... 91
4. Hubungan antara Kurs dan Ekspor Neto..................................................... 92
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI ................................................. 97
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 97
B. Implikasi.......................................................................................................... 97
DAFTAR TABEL
1. Neraca Nilai Perdagangan Indonesia, Jan-Jul 2013 (Miliar USD) ................ 10
2. Penelitian Terdahulu ....................................................................................... 47
3. Deskripsi Data Operasional Variabel ............................................................. 71
4. Uji Akar Unit .................................................................................................. 73
5. Uji Akar Unit (first difference) ...................................................................... 73
6. Output AIC ..................................................................................................... 74
7. Output Stabilitas Model .................................................................................. 75
8. Johansen’s Trace Statistic Test (first difference),(lag3) ................................. 76
9. Johansen’s Maximum Eigenvalue Test (first difference),(lag3) .................... 77
10. Output VAR ................................................................................................... 78
11. Granger Causality Test (lag3) ........................................................................ 80
12. Output Forecast Error Variance Decompositions ........................................... 88
DAFTAR GAMBAR
1. Kurs Rupiah terhadap USD dan Ekspor Neto Indonesia .................................. 7
2. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ..................................................... 20
3. Efek Kebijakan Moneter pada Perekonomian Terbuka ................................. 39
4. Hubungan antara Kurs dan Ekspor ................................................................. 43
5. Kerangka Pemikiran ....................................................................................... 53
6. Prosedur Penggunaan Model VAR/VECM .................................................... 61
7. Output Granger Causality Test (lag3) ............................................................. 81
8. Output Impulse Response Function ............................................................... 83
9. Output Forecast Error Variance Decompositions .......................................... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Transmisi moneter merupakan terminologi yang digunakan untuk
menjelaskan bagaimana suatu kebijakan moneter dapat mempengaruhi
perekonomian secara umum serta output dan tingkat harga secara khusus. Dalam
pengertian yang lebih spesifik, Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme
transmisi kebijakan moneter adalah “The process through which monetary policy
decisions are transmitted into changes in real GDP and inflation.” Mekanisme
transmisi moneter dimulai sejak otoritas moneter atau bank sentral bertindak
menggunakan instrumen moneter dalam implementasi kebijakan moneternya
sampai terlihat pengaruhnya terhadap aktivitas perekonomian, baik secara
langsung maupun secara bertahap. Tantangan terkait kebijakan moneter adalah
bagaimana otoritas moneter dapat memiliki kontrol yang efektif dan efisien
terhadap sasaran akhir dari suatu kebijakan. Dalam konteks tersebut, hal yang
menjadi penentu dalam menentukan kebijakan yang tepat untuk mempengaruhi
perekonomian adalah pemahaman yang jelas atas mekanisme transmisi di
perekonomian.
Agar dapat mengenai indikator makroekonomi, kebijakan moneter bekerja
melalui saluran - saluran perantara (channels), yaitu saluran uang atau langsung,
saluran suku bunga, saluran kredit, saluran nilai tukar, saluran harga aset, dan
saluran ekspektasi. Kejelian otoritas moneter dalan melihat situasi ekonomi, serta
2
pemahamannya atas fakta – fakta moneter empiris menjadi penentu dalam
mempengaruhi perekonomian riil dan tingkat harga di waktu yang akan datang.
Subjek transmisi kebijakan moneter merupakan hal yang tetap menarik
untuk diperdebatkan, baik oleh kalangan akademisi maupun praktisi di bidang
keuangan dan pemerintahan. Sebab mekanisme yang bekerja selalu dikaitkan
dengan 2 pertanyaan penting. Pertama, apakah kebijakan moneter dapat
mempengaruhi ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap harga. Kedua, jika
jawabannya ya, melalui mekanisme transmisi apa pengaruh dari kebijakan
moneter dapat mengenai sasaran akhir dalam ekonomi (Bernanke dan Blinder,
1992) dan (Taylor, 1995).
Hampir 2 dekade setelah krisis 1998 dan reformasi, perubahan banyak
ditunjukkan dalam berbagai sektor ekonomi, salah satunya peran Indonesia dalam
perdagangan internasional. Beberapa kerjasama ekonomi dan keikutsertaan dalam
organisasi pada tingkat bilateral, seperti Tiongkok, Australia, dan Rusia maupun
regional seperti AFTA, APEC dan MEA terus berjalan. Ini menjadi indikasi
bahwa Indonesia semakin terintergrasi dalam perekonomian internasional. Bukti
lebih lanjut bahwa perekonomian Indonesia merupakan bagian dari sebuah sistem
yang lebih besar adalah bagaimana perubahan dalam perekonomian di negara lain
dapat memberikan widespread atau tekanan terhadap perekonomian domestik,
baik positif maupun negatif terhadap variable makroekonomi seperti kurs, agregat
moneter dan kondisi ketenagakerjaan, sehingga tantangan yang muncul terhadap
keterbukaan ekonomi domestik terhadap luar negeri adalah bagaimana para
3
pelaku usaha dalam negeri dapat jeli melihat kesempatan dan memanfaatkannya
untuk meningkatkan kapasitas perekonomian nasional. Untuk tujuan tersebut,
penting sekali bagi para pemegang kebijakan baik fiskal maupun moneter untuk
dapat bersama – sama merumuskan tujuan kebijakan yang tidak kontraproduktif,
sehingga sasaran akhir berupa peningkatan output nasional dan stabilisasi tingkat
harga domestik dapat tercapai.
Perubahan yang terjadi dalam perekonomian di negara – negara yang
merupakan mitra dagang Indonesia jelas memiliki keterkaitan dengan stance
moneter Indonesia, sebab semakin terbuka perekonomian suatu negara yang
disertai dengan sistem nilai tukar mengambang dan sistem devisa bebas, semakin
besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran dana luar negeri terhadap perekonomian
dalam negeri (Firmansyah dkk, 2015).
Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter menggunakan sasaran
operasional suku bunga acuan dalam rangka menjalankan kebijakan moneter.
Perubahan suku bunga BI Rate dapat mempengaruhi berbagai indikator
perekonomian, salah satunya nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai
tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara
suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Hal ini disebut sebagai
interest rate differential. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut
mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-
instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan
tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal asing masuk ini pada
4
gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah
mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor di luar negeri
menjadi lebih mahal sehingga akan mendorong minat eksportir dari domestik.
Untuk menjawab pertanyaan bagaimana kebijakan moneter dapat
mempengaruhi output selain harga salah satunya dapat dianalisis melalui
pendekatan nilai tukar. Penelitian mengenai mekanisme transmisi kebijakan
moneter sudah banyak dilakukan, sebagian mencari tahu bagaimana kebijakan
bisa sampai ke sasaran pertumbuhan tingkat harga (inflasi), dan sebagian lain
ingin melihat bagaimana kebijakan bisa mepengaruhi output nasional atau GNP.
Pada tahun 2006, Ratnawati dan Mahatmi mencoba menganalisis efektivitas jalur
kredit dan jalur nilai tukar. Penelitian tersebut menggunakan alat analisis
Structural Equation Model. Dengan membandingkan output dari kedua jalur
tersebut, mereka menemukan bahwa jalur nilai tukar lebih efektif dalam
mentransmisikan kebijakan moneter untuk periode 1997 – 2004. Hal tersebut
sejalan dengan Penelitian yang dilakukan Sofyan pada tahun 2002, dimana ia
mencoba memetakan efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui jalur – jalur
yang sudah teridentifikasi sebelumnya. Penelitian tersebut menggunakan alat
analisis Vector Error Correction Model (VECM) dan memperoleh kesimpulan
bahwa jalur nilai tukar lebih dominan dalam mekanisme transmisi dibandingkan
dengan jalur – jalur yang lain.
Haryanto (2007) dalam disertasinya yang berjudul Dampak Instrumen
Kebijakan Moneter terhadap Perekonomian Indonesia, mendapati bahwa
5
mekanisme transmisi melalui jalur neraca atau Balance Channel dan jalur
ekspektasi memiliki peran penting dan paling efektif dalam mempengaruhi kinerja
perekonomian, yang diproksikan oleh nilai tukar, tingkat harga domestik dan
produk domestik bruto. Penelitian tersebut menggunakan data tahunan dari 1988
hingga 2005.
Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Restiyanto (2008) dimana ia
meneliti transmisi kebijakan moneter melalui sudut pandang aliran monetaris,
bagaimana peran jumlah uang beredar (JUB) dan kredit dalam proses transmisi
saat sebelum dan sesudah krisis moneter 1998. Dia menemukan fakta bahwa
sebelum 1998, intervensi moneter dalam mempengaruhi JUB lebih efektif dalam
mentransmisikan tujuan dari kebijakan moneter dibanding jalur – jalur yang lain.
Dari hasil penelitian - penelitian tersebut maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut : (1) Transmisi kebijakan moneter di Indonesia memiliki
efektivitas yang berubah – ubah seiring berubahnya kondisi perekonomian. Hal ini
sangat masuk akal, sebab efektivitas dari transmisi kebijakan moneter bukan
hanya ditentukan oleh faktor internal saja, tetapi faktor eksternal juga turut
berperan. Mengingat bahwa Indonesia merupakan perekonomian yang cukup
terbuka, maka shock yang terjadi pada tingkat regional maupun internasional
dapat ikut mempengaruhi proses transmisi yang sedang berlangsung, dengan
asumsi utama bahwa perekonomian tersebut terintegrasi secara erat dengan
perekonomian domestik. (2) Transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar
merupakan konsekuensi dari suatu sistem perekonomian terbuka. Dalam jalur ini
6
yang ditekankan adalah peranan nilai tukar terhadap terwujudnya tujuan akhir
kebijakan moneter, sehingga disebut jalur nilai tukar.
Pengaruh kebijakan moneter tidak saja terjadi pada perubahan nilai tukar,
tetapi juga pada aliran modal (capital flow) dalam neraca pembayaran. Dengan
tingginya suku bunga dalam negeri (dengan asumsi suku bunga luar negeri tidak
berubah), maka akan terjadi perbedaan suku bunga nominal domestik dan suku
bunga luar negeri yang disebut sebagai paritas suku bunga (interest rate
diffierential). Artinya, margin suku bunga domestik dan luar negeri akan
berpengaruh terhadap nilai tukar dan aliran modal dan selanjutnya perubahan nilai
tukar dan aliran dana akan berpengaruh terhadap output maupun inflasi di negara
yang bersangkutan., khususnya, negara yang perekonomiannya semakin terbuka
dan disertai dengan sistem devisa bebas.
Kebijakan moneter yang ditransmisikan melalui jalur nilai tukar dapat
diuraikan sebagai berikut: Pertama, transmisi di sektor moneter. Kebijakan
moneter berawal dari perubahan instrumen moneter (BI Rate) yang akan
berpengaruh terhadap paritas suku bunga domestik dan luar negeri (interest rate
differential). Selanjutnya, paritas suku bunga akan berpengaruh terhadap aliran
modal (capital flow). Semakin tinggi tingkat suku bunga akan menarik aliran
modal masuk (capital inflow) sehingga menambah persedian valas di dalam
negeri. Akibatnya nilai tukar Rupiah akan menguat. Sementara itu, jika suku
bunga turun lebih rendah dibanding luar negeri, maka akan terjadi capital outflow
dan akibatnya Rupiah akan terdepresiasi.
7
Kedua, transmisi dari sektor moneter ke sektor riil terjadi melalui
pengaruh perubahan nilai tukar terhadap inflasi baik secara langsung (direct pass-
through effect) maupun tidak langsung (indirect pass-through effect). Pengaruh
langsung terjadi karena perkembangan nilai tukar mempengaruhi pola
pembentukkan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi di masyarakat,
khususnya terhadap barang dan jasa yang diimpor. Sementara itu, pengaruh tidak
langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi komponen ekspor
dan impor dalam permintaan agregat (Natsir, 2008).
Gambar 1.
Kurs Rupiah terhadap USD dan Ekspor neto Indonesia
( sumbu x kiri=Kurs, x kanan =Ekspor neto, Ekspor neto dalam Juta USD )
Sumber : Laporan Moneter Bank Indonesia dan Statistik IFS (2017), diolah.
Secara umum, teori yang mengemukakan atas keterkaitan nilai tukar
nominal dan output berupa ekspor neto adalah negatif. Nilai tukar yang
terapresiasi dapat direfleksikan atas lebih mahalnya produk dalam negeri
ketimbang produk yang sama di luar negeri, sehingga dari perspektif para pelaku
-3,000.00
-2,000.00
-1,000.00
0.00
1,000.00
2,000.00
3,000.00
4,000.00
5,000.00
6,000.00
0.00
2000.00
4000.00
6000.00
8000.00
10000.00
12000.00
14000.00
16000.00
1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 92 99 106
113
Kurs
EksporNeto
8
eksportir akan lebih menguntungkan untuk menjual produknya di luar negeri
dibanding dalam negeri, hal ini berpotensi menyebabkan kenaikan pada volume
ekspor (Darwanto, 2007) Dengan asumsi laju pertumbuhan impor yang inelastis
dalam jangka panjang, maka laju ekspor diyakini memiliki predictive power yang
lebih kuat terhadap volatilitas ekspor neto.
Selama lebih dari 10 tahun, Gambaran aktivitas ekspor dan impor
Indonesia mengalami perubahan yang dinamis. Rupiah mengalami guncangan
pada nilai tukarnya di tahun 2008 (periode 15 dst) akibat krisis utang yang terjadi
di Amerika Serikat, tekanan tersebut merambat sampai ke postur neraca
perdagangan Indonesia. Sebagai salah satu dari 5 negara tujuan ekspor terbesar
Indonesia , Amerika Serikat mengindikasikan penurunan aktivitas perdagangan
dengan Indonesia, ditandai dengan merosotnya nilai ekspor neto dari 39 juta USD
per Desember 2007 (periode 14) hingga hanya ke kisaran 7 juta USD pada akhir
2008, atau menyusut sebesar 80 persen dari nilai tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, lesunya aktivitas perdagangan pada periode tersebut
tidak memberikan dampak yang terlalu besar bagi makroekonomi Indonesia,
khususnya jika dilihat dari sisi permintaan agregat. Sebab konsumsi masyarakat
Indonesia masih kuat terhadap produk yang berbahan baku dalam negeri, yang
mana didominasi oleh produk dari Usaha Mikro dan Kecil Menengah (UMKM).
Hal tersebut semakin diperkuat dengan data pertumbuhan ekonomi yang hanya
merosot sebesar 0,2 persen, yaitu 6,3 persen pada tahun 2007 menjadi 6,1 persen
pada akhir 2008.
9
Namun kurang lebih 5 tahun pasca krisis global 2008, Rupiah kembali
mengalami depresiasi yang cukup dalam (periode 64). Kebijakan bank sentral
Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) mengeluarkan kebijakan
pelonggaran uang / Quantitative Easing atau disingkat QE. Rencana ini
dinyatakan oleh ketua The Fed, Ben Bernanke, di depan Kongres AS pada 22 Mei
2013. Yang dimaksud dengan QE di sini adalah program the Fed untuk mencetak
uang dan membeli obligasi atau aset-aset finansial lainnya dari bank-bank di AS.
Program ini dilakukan untuk menyuntik uang ke bank-bank di AS demi
pemulihan diri pasca krisis finansial 2008 (Zaki, 2013).
Rencana pengurangan QE memberikan pesan bahwa ekonomi AS
menyehat. Karenanya, nilai tukar obligasi dan aset-aset finansial lain di AS akan
naik. Adanya ekspektasi positif karena membaiknya perekonomian Amerika
Serikat membawa perubahan pada capital inflow dan neraca perdagangan
Indonesia. Aktivitas perdagangan terus terdorong ke level negatif, ditandai dengan
merosotnya nilai nett ekspor hingga di bawah nol seperti yang terlihat pada
periode ke 60-an di Gambar 1.
Faktor lain yang menyebabkan depresiasi Rupiah adalah neraca nilai
perdagangan Indonesia yang defisit. Artinya, ekspor lebih kecil daripada impor.
Dalam Tabel 1 di bawah, terlihat defisit neraca nilai perdagangan Indonesia
selama Januari-Juli 2013 adalah -5,65 miliar Dollar AS. Sektor nonmigas
sebenarnya mengalami surplus 1,99 miliar Dollar AS. Namun, surplus di sektor
nonmigas tidak bisa mengimbangi defisit yang sangat besar di sektor migas, yakni
sebesar -7,64 miliar Dollar AS.
10
Tabel 1Neraca Nilai Perdagangan Indonesia, Januari-Juli 2013
(Miliar US$)
Ekspor Impor NeracaBulan Migas Nonmigas Total Migas Nonmigas Total Migas Nonmigas Total
Januari 2,66 12,72 15,38 3,97 11,48 15,45 -1,31 1,24 -0,07
Februari 2,57 12,45 15,02 3,64 11,67 15,31 -1,07 0,78 -0,29
Maret 2,93 12,09 15,02 3,90 10,99 14,89 -0,97 1,10 -0,13
April 2,45 12,31 14,76 3,63 12,83 16,46 -1,18 -0,52 -1,70
Mei 2,92 13,21 16,13 3,44 13,22 16,66 -0,52 -0,01 -0,53
Juni 2,80 11,96 14,76 3,53 12,11 15,64 -0,73 -0,15 -0,88
Juli 2,28 12,83 15,11 4,14 13,28 17,42 -1,86 -0,45 -2,31
Jan-Juli 18,61 87,57 106,18 26,25 85,58 111,83 -7,64 1,99 -5,65
Sumber : BPS, Berita Resmi Statistik, No.58/09/Th.XVI, 2 September 2013
Volatilitas nilai tukar 3 hingga 4 tahun belakangan ini menimbulkan
pertanyaan penting apakah kebijakan moneter yang berjalan di Indonesia dapat
menjawab bagaimana kebijakan moneter dapat mendorong perubahan pada sektor
riil, yang dalam konteks ini adalah neraca perdagangan yang diproksikan dalam
bentuk ekspor neto melalui saluran tidak langsung nilai tukar. Kebijakan nilai
tukar yang akan dirumuskan tentunya selain untuk menjaga kestabilan harga juga
dilandasi oleh pertimbangan dampak nilai tukar terhadap kinerja perdagangan
internasional Indonesia, yang selanjutnya akan berdampak pada pertumbuhan
output dan kestabilan tingkat harga domestik.
Fakta bahwa Indonesia merupakan perekonomian yang cukup terbuka
secara langsung mengimplikasikan bahwa dinamika neraca perdagangan dan
pembayaran memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan kapasitas
perekonomian nasional dalam bentuk pembangunan yang berkelanjutan, sehingga
kebijakan ekonomi yang diimplementasikan oleh pemerintah seharusnya dapat
menjadi insentif untuk mencapai tujuan tersebut.
11
Meskipun penelitian tentang kebijakan moneter sudah banyak dilakukan,
namun sebagian besar dilakukan dalam kurun waktu yang cukup pendek dan
fokus penelitian merupakan komparasi efektivitas satu jalur dengan jalur
kebijakan yang lain. Dalam penelitian ini gambaran tentang relevansi kebijakan
moneter melalui jalur tukar terhadap dinamika neraca perdagangan dan mencari
tahu pola hubungan dinamisnya menjadi fokus utama sekaligus batasan dalam
ruang lingkup penelitian.
B. Rumusan Masalah
Kendati Indonesia menggunakan ITF sebagai kerangka kebijakan
moneternya, dinamika variabel makroekonomi yang menjadi komponen sasaran
akhir kebijakan bukan berarti tidak patut mendapat perhatian. Justru karena
kebijakan moneter merupakan alat pemerintah dalam mempengaruhi output riil
perekonomian, seharusnya terdapat integrasi yang kuat antara sasaran operasional
dan target kebijakan. Dalam konteks tersebut, komponen yang menjadi fokus
dalam penelitian ini adalah neraca perdagangan. Penelitian ini bertujuan untuk
mencari tahu secara spesifik bagaimana kebijakan moneter melalui jalur nilai
tukar bekerja dan dapat mempengaruhi ekspor neto sebagai proksi neraca
perdagangan Indonesia, apakah terjadi pola dinamis dan hubungan saling
mempengaruhi antar variabel dalam penelitian dan bagaimana keseimbangan
jangka pendek maupun jangka panjangnya (jika ada).
Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
12
1. Bagaimana efektivitas kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar
terhadap ekspor neto ?
2. Apakah terjadi hubungan yang saling mempengaruhi antara variabel
dalam penelitian?
3. Apakah terjadi keseimbangan jangka pendek dan panjang antara
kebijakan moneter dan ekspor neto ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui
jalur nilai tukar dalam mempengaruhi ekspor neto,
2. Untuk mengetahui apakah terjadi hubungan yang saling mempengaruhi
antara variabel dalam penelitian,
3. Untuk mengetahui apakah terjadi keseimbangan dalam jangka pendek
maupun panjang antara kebijakan moneter dan ekspor neto.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah dan instansi terkait dapat memberikan informasi
tambahan dalam menentukan kebijakan yang bermanfaat bagi
pemerintah (BI) baik yang bersifat terapan maupun akademis. Serta
dapat juga dijadikan bahan pertimbangan bagi instansi terkait lainnya.
2. Bagi akademisi sebagai sumbangan informasi pengetahuan secara
teoritis dan praktis bagi dunia akademik dalam mendalami kembali
13
tentang peranan kebijakan moneter serta pengaruhnya terhadap
perekonomian Indonesia.
3. Bagi penulis untuk memperluas informasi dan wawasan mengenai
bagaimana berbagai hal dalam ekonomi bekerja dan saling berkaitan
satu sama lain, khususnya bidang moneter.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Kebijakan Moneter
a. Definisi Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank
sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter (Monetary Aggregates)
untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan.
Kebijakan moneter merupakan bagian integral kebijakan ekonomi makro
yang dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat
perekonomian suatu negara, serta faktor -faktor fundamental ekonomi
lainnya. (Warjiyo, 2004).
Kebijakan moneter sebagai salah satu kebijakan ekonomi berperan
penting dalam suatu perekonomian. Peran tersebut tercermin pada
kemampuannya dalam mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan
ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan keseimbangan neraca pembayaran.
Oleh karena itu, seringkali hal – hal ini menjadi sasaran akhir kebijakan
moneter.
b. Tujuan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia selaku otoritas moneter di Indonesia memiliki tujuan
untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini
sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank
15
Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain
adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada
inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia
menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran
utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut
sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).
Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas
harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga
menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar
yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk
melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter
(seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran
laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional,
pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-
instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah
maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib
minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.
c. Kerangka Kebijakan Moneter
Menurut Ascarya (2002), kerangka kebijakan moneter merupakan
kumpulan perangkat yang digunakan oleh otoritas moneter untuk dapat
16
mengimplementasikan kebijakannya. Kerangka tersebut terdiri atas instrumen
kebijakan, sasaran operasional, sasaran antara, dan sasaran akhir.
1) Instrumen Kebijakan
Dalam upaya mencapai tujuan moneter, Bank Indonesia menggunakan
beberapa instrument kebijakan yaitu operasi pasar terbuka (Open Market
Operation), cadangan minimum (Reserve Requirement), dan kebijakan
diskonto (Discount Policy).
a) Operasi Pasar Terbuka ( Open Market Operation)
Open Market Operation merupakan kebijakan yang dilakukan dengan
cara membeli ataupun menjual surat-surat berharga / aset dalam bentuk
obligasi dari dan kepada masyarakat melalui bank-bank umum. Penjualan
asset dilakukan jika terjadi kelebihan jumlah uang beredar di masyarakat,
khususnya dalam bentuk giral pada masa inflasi. Sebaliknya, pembelian aset
umum dilakukan pada saat perekonomian bergerak kearah recovery, dengan
cara membeli kembali asset yang pernah ditawarkan ke masyarakat melalui
bank-bank umum (Judisseno, 2005)
b) Cadangan Minimum ( Reserve Requirement)
Reserve Requirement merupakan kebijakan yang mengatur tinggi-
rendahnya tingkat cadangan minimal bank (legal reserve ratio), yang secara
tidak langsung juga mengatur besarnya kelebihan cadangan yang dapat
disalurkan dalam bentuk kredit ke masyarakat. Pemerintah dapat mengontrol
17
kelebihan uang beredar dengan menaikkan atau menurunkan Reserve
Requirement, karena semakin tinggi Reserve Requirement, akan
mengakibatkan cadangan yang dapat disalurkan kepada masyarakat menurun
jumlahnya, sebaliknya semakin rendah Reserve Requirement akan
menyebabkan bertambahnya jumlah cadangan yang dapat disalurkan ke
masyarakat dalam bentuk kredit. Kebijakan ini mempunyai pengaruh
langsung terhadap pelaksanaan kebijakan operasi pasar terbuka dan kebijakan
diskonto (Judisseno, 2005).
c) Kebijakan Diskonto (Discount Rate Policy)
Discount Rate Policy adalah kebijakan bank sentral dalam menentukan
suku bunga yang harus dibayar oleh perbankan jika meminjam dana dari bank
sentral. Terdapat tiga jenis fasilitas kebijakan diskonto, yaitu adjusted credit,
extended credit, dan seasonal credit (Mishkin, 2001). Di Indonesia, adjusted
credit dan extended credit dikenal dengan istilah Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI), sedangkan seasonal credit dikenal sebagai Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). BLBI adalah berbagai bentuk fasilitas
likuiditas perbankan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran perbankan
agar tidak terganggu oleh adanya ketidakseimbangan (mismatch) likuiditas
antara penarikan dan penerimaan dana pada bank umum. KLBI adalah kredit
Bank Indonesia untuk membantu kegiatan atau sektor yang diprioritaskan
oleh pemerintah atau disebut juga sebagai kredit untuk program-program
pemerintah seperti pengadaan pangan melalui Bulog, kredit untuk koperasi
18
unit desa (KKUD), kredit untuk usaha tani (KUT), dan kredit usaha rakyat
(KUR), di mana suku bunganya mengandung unsur subsidi sehingga lebih
kompetitif dibanding suku bunga pasar (Hascaryo, 2003)
2. Sasaran Operasional
Sasaran operasional merupakan sasaran yang ingin segera yang dicapai
oleh Bank Sentral dalam operasi moneternya. Variabel sasaran operasional
digunakan untuk mengarahkan tercapainya sasaran antara. Kriteria sasaran
operasional antara lain: (1). Dipilih dari variable moneter yang memiliki
hubungan yang stabil dengan sasaran antara, (2). Dapat dikendalikan oleh
Bank Sentral, (3). Akurat dan tidak sering direvisi (Mishkin, 2004).
3. Sasaran Antara
Hubungan antara sasaran operasional dan sasaran akhir kebijakan
moneter bersifat tidak langsung dan kompleks serta membutuhkan time lag
yang panjang. Untuk alasan itu, para ahli moneter dan praktisi Bank Sentral
mendesain simple rule untuk membantu pelaksanaan kebijakan moneter
dengan cara menambahkan indikator yang disebut sebagai sasaran antara.
Sasaran tersebut merupakan indikator untuk menilai kinerja
keberhasilan kebijakan moneter, sasaran ini dipilih dari varibel-variabel yang
memiliki keterkaitan stabil dengan sasaran akhir, cakupannya luas, dapat
dikendalikan oleh bank sentral, tersedia relatif cepat, akurat dan tidak sering
19
direvisi. Variabel sasaran antara meliputi:: agregat moneter (M1dan M2),
kredit perbankan dan nilai tukar (Bofinger, 2001).
4. Sasaran Akhir
Sasaran akhir kebijakan moneter yang ingin dicapai oleh Bank Sentral
tergantung pada tujuan yang dimandatkan oleh UU bank sentral suatu negara.
Tujuan akhir kebijakan moneter di Indonesia mengacu pada Pasal 7 ayat (1)
UU Nomor 3 Tahun 2004 yang secara eksplisit mencantumkan bahwa tujuan
akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah (stabilitas moneter).
d. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Secara spesifik Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transmisi
kebijakan moneter adalah “the process through which monetary policy
decision are transmitted into changes in real GDP and inflation”. Artinya,
MTKM merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan moneter untuk
dapat mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter yaitu pendapatan
nasional dan inflasi. Menurut Warjiyo (2004), MTKM merupakan proses
yang sangat kompleks dan melibatkan banyak variable dalam perekonomian.
Pada Gambar 2, telah teridentifikasi jalur – jalur yang dapat digunakan untuk
melakukan pass-through atas kebijakan moneter.
20
Gambar 2.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Sumber : Warjiyo, 2003
Secara teoritis, penjelasan tentang konsep standar mekanisme transmisi
kebijakan moneter dimulai dari ketika bank sentral mengubah instrumen-
instrumennya yang selanjutnya mempengaruhi sasaran operasional, sasaran
antara dan sasaran akhir. Misalnya Bank Sentral (BI) menaikkan tingkat
suku bunga acuan (BI Rate). Peningkatan tersebut akan mendorong naiknya
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (rSBI), Suku Bunga Pasar Uang Antar
Bank (rPUAB), suku bunga deposito, kredit perbankan, harga aset, nilai tukar
dan ekspektasi inflasi di masyarakat. Perkembangan ini mencerminkan
bekerjanya jalur-jalur transmisi moneter yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap konsumsi dan investasi, ekspor dan impor yang merupakan
komponen permintaan eksternal dan keseluruhan permintaan agregat.
21
Secara empiris, besarnya permintaan agregat tidak selalu sama dengan
penawaran agregat. Jika terjadi selisih antara permintaan dan penawaran atau
terjadi output gap maka akan memberi tekanan terhadap kenaikan harga-
harga (inflasi) dari sisi domestik. Proses ini yang disebut sebagai indirect
exchange rate passthrough. Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi luar negeri
terjadi melalui pengaruh langsung dan tidak langsung perubahan nilai tukar
terhadap perkembangan harga barang-barang yang diimpor. Karena
pengaruhnya tersebut, proses ini disebut sebagai direct exchange rate pass-
through.
Pada awalnya pelaksanaan kebijakan moneter hanya ditransmisikan
melalui Jalur Uang (money channel). Tapi, seiring dengan kemajuan di
bidang ekonomi dan keuangan serta perubahan struktural dalam
perekonomian, maka jalur-jalur MTKM berkembang menjadi enam jalur,
salah satu di antaranya adalah Jalur Suku Bunga (Mishkin, 2004) dan
Bofinger (2001).
e. Jalur Transmisi Kebijakan Moneter
Pada awalnya pelaksanaan kebijakan moneter hanya ditransmisikan
melalui Jalur Uang (money channel). Tapi, seiring dengan kemajuan di
bidang ekonomi dan keuangan serta perubahan struktural dalam
perekonomian, maka jalur-jalur MTKM berkembang menjadi enam jalur,
salah satu di antaranya adalah Jalur Suku Bunga (Mishkin, 2004) dan
Bofinger (2001).
22
Seperti yang sudah sedikit disinggung sebelumnya, pada dasarnya
terdapat 2 pendapat umum yang mengemukakan tentang jalur MTKM, yaitu
pendapat aliran monetarist dan aliran Keynesian. Dalam perspektif
monetarist yang ditekankan adalah jalur kuantitas (quantity channel),
sedangkan Keynesian menekankan jalur harga aset (price channel). Jalur
kuantitas terdiversifikasi atas jalur ekspektasi (expectation channel) dan jalur
kredit (credit channel), sementara jalur harga terdiversifikasi atas jalur suku
bunga (interest rate channel), jalur nilai tukar (exchange rate channel), dan
jalur harga aset (price rate channel) (Warjiyo dan Solikin, 2003). Berikut ini
adalah penjabaran mengenai jalur – jalur dalam MTKM tersebut.
1) Jalur Ekspektasi (Expectation Channel)
Pada jalur mekanisme transmisi ini menekankan bahwa kebijakan
moneter dapat diarahakan agar dapat mempengaruhi pembentukan ekspektasi
mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi
perilaku pelaku ekonomi dalam melakukan keputusan konsumsi dan
investasi, yang pada akhirnya akan mendorong perubahan permintaan agregat
dan inflasi (Warjiyo dan Solikin, 2003).
2) Jalur Kredit (Credit Channel)
Pada jalur kredit, mekanisme transmisi dapat dibedakan menjadi dua
jalur. Pertama, bank lending channel, yaitu jalur pinjaman bank yang
menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank,
23
khususnya sisi aset. Kedua, balance sheet channel, yaitu jalur neraca
perusahaan yang menekankan pengaruh kebijakan moneter pada kondisi
keuangan perusahaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi akses
perusahaan untuk mendapatkan kredit.
Menurut jalur pinjaman bank, selain sisi aset, sisi liabilitas bank juga
merupakan komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan
moneter. Apabila Bank Sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif,
misalnya melalui peningkatan rasio cadangan minimum di bank sentral, maka
cadangan yang ada di bank akan turun, sehingga loanable fund akan
mengalami penurunan. Apanila hal tersebut tidak segera diatasi dengan
melakukan penambahan modal atau surat-surat berharga, maka kemampuan
bank untuk memberikan pinjaman akan menurun. Kondisi ini menyebabkan
penurunan investasi, yang selanjutnya akan mendorong menurunan output.
Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan
moneter yang dilakukan oleh bank sentral akan mempengaruhi kondisi
keuangan perusahaan. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter
ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan menurun, namun akan
mendorong apresiasi nilai saham. Sejalan dengan peningkatan tersebut, nilai
bersih perusahaan juga akan meningkat, yang selanjutnya akan mengurangi
tindakan adverse selection dan moral hazard oleh perusahaan. Kondisi ini
mendorong peningkatan pemberian kredit oleh bank, yang selanjutnya akan
meningkatkan investasi, dan pada akhirnya akan meningkatkan output
(Warjiyo dan Solikin, 2003).
24
3) Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel)
MTKM melalui Jalur Suku Bunga menekankan peranan perubahan
struktur suku bunga di sektor keuangan. Pengaruh perubahan suku bunga
jangka pendek ditransmisikan kepada suku bunga menengah/panjang yang
selanjutnya mempengaruhi permintaan dan pada akhirnya berpengaruh
terhadap inflasi (Taylor, 1995) dan Bofinger (2001).
Kebijakan moneter yang ditransmisikan melalui Jalur Suku Bunga dapat
dijelaskan dalam dua tahap: Pertama, transmisi di sektor keuangan (moneter).
Perubahan kebijakan moneter berawal dari perubahan instrumen moneter (BI
Rate) akan berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (rSBI), suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Proses
transmisi ini memerlukan tenggat waktu (time lag) tertentu.
Kedua, transmisi dari sektor keuangan ke sektor riil tergantung pada
pengaruhnya terhadap konsumsi dan investasi. Pengaruh suku bunga
terhadap konsumsi terjadi karena suku bunga deposito merupakan komponen
dari pendapatan masyarakat (income effect) dan suku bunga kredit sebagai
pembiayaan konsumsi (substitution effect). Sedangkan pengaruh suku bunga
terhadap investasi terjadi karena suku bunga kredit merupakan komponen
biaya modal.
Pengaruh suku bunga terhadap konsumsi dan investasi selanjutnya
akan berdampak pada jumlah permintaan agregat. Jika peningkatan
permintaan agregat tidak dibarengi dengan peningkatan penawaran agregat,
maka akan terjadi output gap (OG). Tekanan OG akan berpengaruh terhadap
25
tingkat inflasi. Mengacu pada penjelasan di atas, maka dapat dikatakan
bahwa inflasi yang terjadi melalui jalur ini adalah inflasi akibat tekanan
permintaan (demand pull-inflation).
4) Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel)
Transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar merupakan
konsekuensi dari suatu sistem perekonomian terbuka. Dalam jalur ini yang
ditekankan adalah peranan nilai tukar terhadap terwujudnya tujuan akhir
kebijakan moneter, sehingga disebut jalur nilai tukar.
Pengaruh kebijakan moneter tidak saja terjadi pada perubahan nilai
tukar, tetapi juga pada aliran modal (capital flow) dalam neraca pembayaran.
Dengan tingginya suku bunga dalam negeri (dengan asumsi suku bunga luar
negeri tidak berubah), maka akan terjadi perbedaan suku bunga nominal
domestik dan suku bunga luar negeri atau paritas suku bunga domestik
dengan suku bunga luar negeri (interest rate diffierential). Artinya, paritas
suku bunga domestik dan luar negeri akan berpengaruh terhadap nilai tukar
dan aliran modal dan selanjutnya perubahan nilai tukar dan aliran dana akan
berpengaruh terhadap inflasi di negara yang bersangkutan., khususnya,
negara yang perekonomiannya semakin terbuka dan disertai dengan sistem
devisa bebas.
Kebijakan moneter yang ditransmisikan melalui jalur nilai tukar dapat
diuraikan sebagai berikut:
26
Pertama, transmisi di sektor moneter. Kebijakan moneter berawal dari
perubahan BI Rate yang akan berpengaruh terhadap paritas suku bunga
domestik dan luar negeri (interest rate differential). Selanjutnya, paritas suku
bunga akan berpengaruh terhadap aliran modal (capital flow). Semakin tinggi
tingkat suku bunga akan menarik aliran modal masuk (capital inflow)
sehingga menambah persediaan valas di dalam negeri, sehingga mendorong
apresiasi nilai tukar Rupiah. Sementara itu, jika suku bunga turun lebih
rendah dibanding luar negeri, maka akan terjadi capital outflow akibatnya
rupiah akan terdepresiasi.
Kedua, transmisi dari sektor moneter ke sektor riil terjadi melalui
pengaruh perubahan nilai tukar terhadap inflasi baik secara langsung (direct
pass-through effect) maupun tidak langsung (indirect pass-through effect).
Pengaruh langsung terjadi karena perkembangan nilai tukar mempengaruhi
pola pembentukkan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi di
masyarakat, khususnya terhadap barang dan jasa yang diimpor.
Sementara itu, pengaruh tidak langsung terjadi karena perubahan nilai
tukar mempengaruhi komponen ekspor dan impor dalam permintaan agregat.
Perubahan ini akan berpengaruh terhadap besarnya output riil dan pada
akhirnya akan menentukan besarnya inflasi dari sisi kesenjangan output.
Inflasi yang tercipta melalui jalur nilai tukar meliputi inflasi tekanan
permintaan dan inflasi yang berasal dari impor (Natsir, 2007).
27
5) Jalur Harga Aset (Price Rate Channel)
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur aset menekankan
bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga aset dan
kekayaan masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pengeluaran
investasi dan konsumsi. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter
kontraktif, maka hal tersebut mendorong peningkatan suku bunga, dan pada
akhirnya akan menekan harga aset perusahaan. Penurunan nilai asset tersebut
berimplikasi pada 2 hal, pertama berpotensi mengurangi kemampuan
perusahaan untuk melakukan ekspansi, dan yang kedua, menurunkan nilai
kekayaan dan pendapatan, yang pada akhirnya akan mengurangi pengeluaran
konsumsi, secara keseluruhan kedua hal tersebut berdampak pada penurunan
pengeluaran agregat (Warjiyo dan Solikin, 2003).
f. Teori Kebijakan Moneter
Dalam perkembangannya, kebijakan moneter banyak mendapat kajian dari
para ekonom dan semua kajian tersebut menghasilkan paradigma / teori baru
yang memberi gambaran bagaimana kebijakan moneter bekerja di
perekonomian. Berikut adalah uraian dari teori – teori tersebut.
1) Teori Kuantitas Uang
Teori kuantitas dikemukakan oleh Irving Fisher, dimana dalam modelnya
ia melihat uang sebagai ekuivalen terhadap barang/jasa. Menurutnya, jika
dalam perekonomian terjadi pertukaran antara uang dengan barang atau jasa,
28
maka banyaknya uang sama dengan nilai barang atau jasa, ataupun keduanya
digabungkan. Secara matematis, pendapat Fisher dapat dituliskan sebagai
berikut :
. = .Dimana :
M = Money in circulation (Jumlah uang beredar)
V = Velocity of money (Kecepatan peredaran uang)
P = Price level (Tingkat harga)
T = Transactions number (Banyaknya transaksi)
Dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang
dibayarkan oleh pembeli harus sama dengan uang yang diterima oleh penjual.
Hal ini berlaku juga untuk seluruh perekonomian: didalam suatu periode
tertentu nilai dari barang-barang atau jasa-jasa yang dibeli harus sama dengan
nilai dari barang yang dijual. Nilai dari barang yang dijual sama dengan
volume transaksi (T) dikalikan harga rata-rata dari barang tersebut (P). Dilain
pihak nilai dari barang yang ditransaksikan ini harus sama dengan volume
uang yang ada dimasyarakat (M) dikalikan berapa kali rata-rata uang bertukar
dari tangan satu ke tangan yang lain, atau rata “perputaran uang”, dalam
periode tersebut (V). Dalam kenyataannya, jika bank sentral meningkatkan
jumlah uang beredar (JUB) maka terdapat kecenderungan kuat harga barang
secara umum akan mengalami kenaikan.
29
Dalam teori ini T ditentukan oleh tingkat output equilibrium masyarakat,
yang untuk Fisher dan para ahli ekonomi Klasik, adalah selalu pada posisi full
employment sebagaimana dikemukakan oleh J.B Say. Fisher mengatakan
bahwa permintaan akan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses
transaksi. Besar-kecilnya V ditentukan oleh sifat proses transaksi yang berlaku
di masyarakat dalam suatu periode (Boediono, 2005).
2) Teori Cambridge (Marshall-Pigou)
Teori ini seperti halnya teori Fisher dan teori-teori klasik lainnya,
berpangkal pokok pada fungsi uang sebagai alat tukar umum (means of
exchange). Karena itu, teori-teori Klasik melihat kebutuhan uang atau
permintaan akan uang dari masyarakat sebagai kebutuhan akan alat tukar yang
likuid untuk tujuan transaksi.
Perbedaan utama antara teori ini dengan Fisher, terletak pada tekanan
dalam teori permintaan uang Cambridge pada perilaku individu dalam
mengalokasikan kekayaannya antara berbagai kemungkinan bentuk kekayaan,
yang salah satunya berbentuk uang. Perilaku ini dipengaruhi oleh
pertimbangan untung-rugi dari pemegang kekayaan dalam bentuk uang. Teori
Cambridge lebih menekankan faktor-faktor perilaku (pertimbangan untung-
rugi) yang menghubungkan antara permintaan akan uang seseorang dengan
volume transaksi yang direncanakannya. Cambridge mengatakan bahwa
permintaan akan uang selain dipengaruhi oleh volume transaksi dan faktor
30
kelembagaan, juga dipengaruhi oleh tingkat bunga, besar kekayaan warga
masyarakat, dan ramalan/harapan dari masyarakat mengenai masa mendatang.
Jadi dalam jangka pendek, Cambridge menganggap bahwa jumlah
kekayaan, volume transaksi dan pendapatan nasional mempunyai hubungan
yang proporsional-konstan satu sama lainnya. Teori Cambridge menganggap
bahwa, ceteris paribus permintaan akan uang adalah proporsional dengan
tingkat pendapatan nasional. Secara matematis, pemikiran Cambridge dapat
dijabarkan sebagai berikut :
= ……………………………………………………………..(1)
dimana Md adalah permintaan uang, k adalah koefisien atas tingkat harga
(P) dan Y adalah pendapatan nasional riil.
Supply akan uang (Ms) dianggap ditentukan oleh pemerintah. Dalam
posisi keseimbangan maka :
= ……………………………………….....................................(2)
sehingga :
= ……………………………………………………………..(3)
atau :
= 1/ ………………………………….....................................(4)
Jadi ceteris paribus tingkat harga umum (P) berubah secara proporsional
dengan perubahan volume uang yang beredar. Tidak banyak berbeda dengan
31
teori Fisher, kecuali tambahan ceteris paribus yang berarti tingkat harga,
pendapatan nasional riil, tingkat bunga dan harapan adalah konstan. Perbedaan
ini cukup penting, karena teori Cambridge tidak menutup kemungkinan bahwa
faktor-faktor seperti tingkat bunga dan ekspektasi berubah, walaupun dalam
jangka pendek. Dan kalau faktor-faktor berubah maka “k” juga berubah. Teori
Cambridge mengatakan kalau tingkat bunga naik, ada kecenderungan
masyarakat mengurangi uang yang ingin mereka pegang, meskipun volume
transaksi yang mereka rencanakan tetap. Demikian juga faktor ekspekstasi
mempengaruhi. Bila seandainya di masa datang tingkat bunga naik (yang
berarti penurunan surat berharga atau obligasi) maka orang akan cenderung
untuk mengurangi jumlah surat berharga yang dipegangnya dan menambah
jumlah uang tunai yang mereka pegang, dan ini pun bisa mempengaruhi
kofisien “k” dalam jangka pendek (Boediono, 2005).
3) Teori Keynes
Meskipun bisa dikatakan bahwa teori uang Keynes adalah teori yang
bersumber dari teori Cambridge, tetapi Keynes mengemukakan sesuatu yang
berbeda dengan teori moneter tradisi klasik. Pada hakekatnya perbedaan ini
terletak pada penekanan pada fungsi uang yang lain, yaitu sebagai store of
value dan bukan hanya sebagai means of exchange. Teori ini kemudian
dikenal dengan nama teori Liquidity Preference. Keynes melihat bahwa
terdapat beberapa motif yang menjadi alasan mengapa individu di dalam
perekonomian melakukan permintaan atas uang, motif tersebut antara lain
untuk bertransaksi dan berjaga-jaga.
32
a) Motif Transaksi dan Berjaga-jaga
Orang memegang uang guna memenuhi dan melancarkan transaksinya,
dan permintaan akan uang dari masyarakat untuk tujuan ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional dan tingkat bunga. Semakin
tinggi tingkat pendapatan semakin besar volume transaksi dan semakin besar
pula kebutuhan uang untuk tujuan transaksi. Permintaan uang untuk tujuan
transaksi ini pun bukan merupakan suatu proporsi yang selalu konstan, tetapi
dipengaruhi pula oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Hanya saja faktor
tingkat bunga untuk permintaan transaksi untuk uang ini tidak ditekankan oleh
Keynes, akan tetapi tingkat bunga ditekankan pada permintaan uang untuk
tujuan spekulasi.
Motif berjaga-jaga (precautionary motive), orang akan mendapat manfaat
dari memegang uang untuk menghadapi keadaan-keadaan yang tidak terduga,
karena sifat uang yang mudah ditukarkan dengan barang-barang lain. Menurut
Keynes permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga ini dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang sama dengan faktor yang mempengaruhi permintaan uang
untuk transaksi, yaitu terutama dipengaruhi pula oleh tingkat penghasilan
orang tersebut, dan mungkin dipengaruhi pula oleh tingkat bunga, meskipun
tidak kuat pengaruhnya.
b) Motif Spekulasi
Sesuai dengan namanya , motif dari memegang uang ini adalah terutama
untuk tujuan memperoleh keuntungan yang bisa diperoleh dari seandainya si
33
pemegang uang tersebut meramal apa yang akan terjadi dengan benar. Pada
teori Cambridge faktor ketidaktentuan masa depan (uncertainty) dan faktor
harapan (expectation) dari pemilik kekayaan bisa mempengaruhi permintaan
akan uang dari pemilik kekayaan tersebut. Namun sayangnya teori ini tidak
pernah membakukan faktor-faktor ini ke dalam perumusan teori moneter
mereka. Perumusan permintaan uang untuk motif spekulasi dari Keynes
merupakan langkah “formalisasi” dari faktor-faktor ini ke dalam teori
moneter.
Pada garis besarnya teori Keynes membatasi pada keadaan dimana pemilik
kekayaan bisa memilih memegang kekayaannya dalam bentuk uang tunai atau
obligasi (bond). Uang tunai dianggap tidak memberikan penghasilan
sedangkan obligasi dianggap memberikan berupa sejumlah uang tertentu
setiap periode. Dalam teori Keynes dibicarakan khusus obligasi yang
memberikan suatu penghasilan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode
selama waktu yang tak terbatas (perpetuity).
Secara umum bisa ditulis dengan persamaan sebagai berikut :
= . ……………………………………………………………...(1)
Dimana K adalah hasil per tahun yang diterima, R adalah tingkat bunga, dan P
adalah harga pasar atau nilai sekarang dalam obligasi “perpetuity” tersebut.
34
Persamaan tersebut bisa juga ditulis sebagai berikut :
= / …………………………………………………………….(2)
yang menunjukkan bahwa (karena K adalah konstan) harga pasar
obligasi (P) berbanding terbalik dengan tingkat bunga R bila tingkat bunga
turun, maka berarti harga pasar obligasi naik, dan sebaliknya bila tingkat
bunga naik maka harga pasar obligasi turun, atau dengan kata lain semakin
tinggi tingkat suku bunga semakin rendah permintaan uang tunai oleh
seseorang atau masyarakat. Karena, semakin tinggi tingkat suku bunga,
maka semakin besar ongkos memegang uang tunai sehingga seseorang
atau masyarakat lebih baik membeli obligasi. Sebaliknya apabila tingkat
suku bunga semakin rendah maka semakin rendah pula ongkos memegang
uang tunai dan semakin besar seseorang atau masyarakat untuk
menyimpan uang tunai. Bentuk yang sederhana dari fungsi permintaan
(total) akan uang dari teori Keynes adalah:
/ = [ + Ø ( , ) ]…………………………………………(1)
Md/P adalah permintaan uang total dalam arti riil, suku pertama
dalam kurung, yaitu k Y adalah permintaan uang untuk transaksi dan
berjaga-jaga, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi (k) dari pendapatan
nasional riil. Ø (r, W) adalah permintaan akan uang untuk motif spekulasi
yang dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat bunga yang berlaku (r) dan
nilai asset (kekayaan atau wealth) yang ada di masyarakat (W). Variable
W ini dimasukkan karena permintaan uang untuk motif spekulasi
35
dinyatakan sebagai bagian dari W yang dipegang dalam bentuk uang
tunai. Persamaan (1) tersebut bisa pula dinyatakan dalam bentuk
permintaan akan uang dalam satuan moneter sebagai berikut :
= [ + Ø ( , ) ] ……………………………………(2)
dalam analisa jangka pendek W biasanya dianggap konstan sehingga
fungsi (2) menjadi :
= [ + Ø ( ) ] …………………………………...…..(3)
dimana Ø (r) = Ø (r,W), dalam posisi equilibrium, supply uang (Ms),
yang dianggap juga oleh Keynes sebagai variable yang ditentukan oleh
pemerintah, sama dengan Md. Sehingga :
= [ + Ø ( ) ] ………………………………………..(4)
Teori permintaan uang Keynes mempunyai implikasi bahwa fungsi
permintaan akan uang (Liquidity Preference) adalah fungsi yang tidak
stabil, dalam arti bahwa fungsi ini bisa bergeser dari waktu ke waktu. Hal
ini karena Keynes menekankan faktor uncertainty dan expectation dalam
menentukan posisi permintaan uang untuk tujuan spekulasi (Boediono,
2005).
4). Paritas Suku Bunga (Uncovered Interest Parity)
Konsep uncovered interest parity menjelaskan hubungan antara
tingkat suku bunga domestik (i), tingkat suku bunga luar negeri (i*), dan
36
depresiasi mata uang domestik (x). konesp ini dapat menjelaskan perilaku
investor dalam mengambil keputusan apakah akan menanamkan modalnya
di dalam negeri atau di luar negeri. Secara matematis uncovered interest
parity dapat dijelaskan sebagai berikut :
= ∗ + …………………………………………………………(1)
Persamaan di atas dapat diubah menjadi :
− = ∗…………………………………..……………………..(2)
Sepanjang tingkat pengembalian/pendapatan investasi di dalam negeri
(setelah memperhitungkan tingkat depresiasi mata uang domestik) lebih besar
daripada pendapatan investasi di luar negeri, maka investor akan tertarik
untuk meningkatkan investasinya di dalam negeri, tetapi jika sebaliknya,
maka investasi domestik akan lari ke luar negeri.
5). Teori Arus Modal (Capital Flow)
Masuknya aliran dana (capital inflow) ke negara berkembang
disebabkan oleh beberapa faktor. Tingginya tingkat integrasi keuangan
seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi terutama teknologi
informasi dan komunikasi, memainkan peran yang besar dalam mempercepat
peningkatan mobilitas capital flow. Selain itu, pengembangan infrastruktur
pasar modal yang disertai dengan liberalisasi pasar modal seperti
penghapusan hambatan repatriasi, pengurangan hambatan pastisipasi dan
37
kepemilikan pihak asing, juga berkontribusi terhadap perluasan capital
flowke pasar negara berkembang.
Terdapat dua faktor penentu utama untuk capital inflow (Agenor,
2004; Calvo et al, 1994):
1. Internal atau pull factors
Faktor yang terkait dengan kebijakan dalam negeri, seperti tinggginya
tingkat produktivitas dan tingkat pertumbuhan, kuatnya fundamental
makroekonomi, stabilisasi makroekonomi, reformasi yang bersifat struktural
(contohnya liberasisasi kapital dan penurunan defisit fiskal), yang biasanya
akan terkompensasi dan terefleksi dengan peningkatan ratingsuatu negara.
2. External atau push factors
Faktor eksternal seperti tingkat suku bunga dunia yang rendah,
terutama di AS dan beberapa negara maju lainnya, yang akan menyebabkan
terjadinya penurunan premi risiko, sementara di sisi lain emerging markets
memberikan yield yang lebih tinggi. Faktor lain seperti resesi atau
perlambatan tingkat pertumbuhan di negara maju akan menghasilkan tingkat
return yang rendah dan mengurangi peluang keuntungan (profit opportunity)
sehingga akan menyebabkan terjadinya perpindahan capital dari negara maju
ke emerging markets.
38
Larrain et al. (1997) menemukan bahwa long term flows cenderung
dipengaruhi oleh fundamental ekonomi, sementara short term flows lebih
banyak dipengaruhi oleh interest rate differential.
g. Nilai Tukar dan Ekspor
Fluktuasi nilai tukar dipengaruhi oleh perdagangan internasional suatu
negara melalui permintaan dan penawaran mata uang negara tersebut (Lipsey,
Steiner dan Purvis, 1991: 379). Pada saat nilai tukar rupiah mengalami
depresiasi, maka harga barang ekspor akan lebih murah atau kompetitif
dibandingkan produk luar negeri, sehingga akan mendorong terjadinya
peningkatan ekspor. Sebaliknya pada saat nilai tukar rupiah mengalami
apresiasi, harga barang ekspor di luar negeri akan lebih mahal, sehingga
permintaan ekspor akan menurun (Darwanto, 2007).
h. Kebijakan Moneter pada Perekonomian Terbuka
Efek kebijakan moneter pada perekonomian terbuka dapat dijelaskan
dengan menggunakan model Mundell – Fleming, yang menggunakan asumsi
bahwa perekonomian yang sedang dipelajari adalah perekonomian dengan
mobilitas modal sempurna. Perekonomian bisa menjamin dan memberikan
pinjaman sebanyak yang ia inginkan di pasar keuangan dunia, namun tingkat
bunga domestik ditentukan oleh tingkat bunga dunia.
39
Gambar 3.
Efek Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Terbuka
Sumber : Mankiw (2000)
Menurut model ini, perekonomian terbuka kecil dengan mobilitas
modal sempura dapat dijelaskan oleh dua persamaan :∶ = ( − ) + ( ) + + ( )…………………………….(1)∶ / = ( , )……………………………………………………(2)
Persamaan 1 menjelaskan keseimbangan di pasar barang, dan
persamaan 2 menjelaskan keseimbangan di pasar uang (Mankiw,2000).
Melalui model Mundell-Fleming dapat diketahui bagaimana efek
dari kebijakan moneter mempengaruhi output. Jika bank sentral
meningkatkan jumlah uang beredar, maka akan menurunkan nilai tukar,
akan tetapi berpotensi meningkatkan output. Sebagaimana termodelkan
40
pada Gambar 3, peningkatan pada jumlah uang beredar akan menggeser
kurva LM ke kanan. Sehingga kenaikan dalam penawaran jumlah uang
beredar tersebut akan menurunkan nilai tukar (karena akan menurunkan
rasio mata uang asing terhadap mata uang dalam negeri), namun akan
meningkatkan pendapatan.
Kenaikan dalam penawaran uang akan menekan tingkat bunga
domestik. Di mana hal ini akan menyebabkan modal mengalir ke luar
perekonomian, sebab investor lebih memilih peluang yang lebih
menguntungkan. Aliran keluarnya modal akan meningkatkan penawaran
mata uang domestik di pasar mata uang asing, sehingga mata uang
domestik mengalami depresiasi. Hal tersebut membuat barang domestik
relatif lebih murah dibandingkan barang – barang luar negeri, sehingga
akan meningkatkan volume ekspor netto, dan pada akhirnya akan
mendorong output.
i. Kebijakan Moneter di Indonesia
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No.
3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan
kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga
barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan
tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka
kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan
41
moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai
tukar yang mengambang (free floating) setelah sebelumnya menggunakan
kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai
sasaran kebijakan moneter. Peran kestabilan nilai tukar sangat penting
dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya,
Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi
volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai
tukar pada level tertentu (Firmansyah dkk, 2015).
Penerapan ITF tidak berarti bahwa kebijakan moneter tidak
memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Paradigma dasar kebijakan
moneter untuk menjaga keseimbangan (striking the optimal balance)
antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi tetap dipertahankan, baik dalam
penetapan sasaran inflasi maupun respon kebijakan moneter, dengan
mengarahkan pada pencapaian inflasi yang rendah dan stabil dalam
jangka menengah-panjang.
Walaupun UU nomor 23 Tahun 1999 memberikan landasan yang
kuat bagi penggunaan kerangka ITF dsan Bank Indonesia seduah
mengumumkan target inflasi secara eksplisit, praktik kebijakan moneter
Bank Indonesia pasca undang-undang ini masih menggunakan campuran
kerangka kebijakan. Pendekatan Kebijakan dengan multiple anchor yang
ditempuh oleh Bank Indonesia sering membuat para pelaku pasar bingung
karena kurangnya transparansi dalam implementasi kebijakan moneter
yang ditempuh (Firmansyah dkk, 2015).
42
B. Keterkaitan antar Variabel
1. Suku Bunga, Interest Rate Differential, Capital Flow dan Nilai
Tukar
Menurut pendapat Mishkin (1996), suku bunga dan nilai tukar tidak
memiliki hubungan yang langsung dapat mempengaruhi. Hubungan antar
variabel tersebut terjadi melalui interaksi beberapa variabel lainnya.
Dalam konteks kebijakan moneter, ketika bank sentral melakukan
kebijakan kontraktif ataupun ekspansif dengan menggunakan BI Rate,
maka muncul potensi adanya interest differential yang menyebabkan suku
bunga domestik berbeda dengan suku bunga dunia, hal tersebut dapat
mendorong terjadinya capital inflow ataupun outflow. Dengan asumsi
capital inflow = apresiasi kurs domestik dan sebaliknya, maka interaksi
tersebut menghasilkan hubungan tidak langsung antara suku bunga dan
nilai kurs domestik. Jika BI Rate naik, maka kurs domestik terapresiasi.
Sebaliknya, jika BI Rate ditekan, maka kurs domestik mengalami
depresiasi atas pasar. Yang penting untuk dicatat adalah, interaksi yang
terjadi semenjak terjadi perubahan suku bunga hingga terjadinya
perubahan nilai tukar itu sendiri tidak memiliki kelambanan nol, artinya
terdapat time lag yang tidak jelas antara implementasi kebijakan dan
sasaran yang terkena impact dari kebijakan tersebut.
43
2. Nilai Tukar dan Neraca Perdagangan
Nilai tukar suatu negara dibedakan atas nilai tukar nominal dan nilai
tukar riil. Nilai tukar nominal merupakan harga relatif mata uang dua
negara (Mankiw, 2003:127), sedangkan nilai tukar riil berkaitan dengan
harga relatif dari barang-barang di antara dua negara. Dengan kata lain,
nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana pelaku ekonomi dapat
memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang
dari negara lain.
Gambar 4.
Hubungan antara Kurs dan Ekspor
Sumber : Darwanto, 2007
Pada saat nilai tukar rupiah mengalami depresiasi, maka harga barang
ekspor akan lebih murah atau kompetitif dibandingkan produk luar
44
negeri, sehingga akan mendorong terjadinya peningkatan ekspor.
Sebaliknya pada saat nilai tukar rupiah mengalami apresiasi, harga barang
ekspor di luar negeri akan lebih mahal, sehingga permintaan ekspor akan
menurun (Darwanto, 2007).
Pengaruh ini dapat dirumuskan menjadi suatu hubungan antara nilai
tukar dengan ekspor. Jika Dengan mengasumsikan bahwa impor relatif
stabil, maka nilai tukar memiliki hubungan negatif terhadap ekspor neto.
C. Penelitian Terdahulu
Dhany dkk (2012), meneliti tentang dampak perubahan nilai tukar
mata uang terhadap ekspor Indonesia. Kesimpulan dari penelitiannya
menunjukkan terdapat keterkaitan antara ekspor dan nilai mata uang pada
seluruh model yang diidentifikasikan. Dalam model agregat, nilai mata
uang memiliki hubungan kausalitas dengan indeks produksi dan harga
relatif, sedangkan model komoditas nilai mata uang memiliki hubungan
terhadap indeks produksi. Dengan menggunakan alat analisis Vector Error
Correction Model (VECM), ditemukan bahwa pada model agregat nilai
tukar tidak berpengaruh secara signifikan pada ekspor baik pada jangka
pendek maupun jangka panjang. Variabel yang berpengaruh pada model
agregat dalam jangka panjang adalah ekonomi dunia dan harga relatif
terhadap dunia. Variabel yang mempengaruhi ekspor dalam jangka pendek
pada model CPO adalah ekspor itu sendiri. Dalam jangka panjang terdapat
hubungan positif antara volume ekspor dengan depresiasi rupiah dan
hubungan negatif antara volume ekspor dengan harga relatif.
45
Analisis lanjut dengan menggunakan Impulse Response Function
(IRF) menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar akan menyebabkan
penurunan volume ekspor pada semua model, kecuali pada model CPO.
Dugaan penyebabnya adalah pada model CPO berlaku kaidah Marshall –
Lerner, dimana perubahan nilai tukar tidak berpengaruh atau bersifat
inelastis dalam jangka pendek, melainkan elastis dalam jangka panjang,
sehingga jika digambarkan dalam kurva maka akan terbentuk kurva
berbentuk huruf ‘J’ (J-Curve). Meskipun demikian. hal ini memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Ginting (2013) dalam studinya menganalisis pengaruh nilai tukar
Rupiah terhadap kinerja ekspor Indonesia. Dengan menggunakan alat
analisis Error Correction Model (ECM), hasilnya menunjukkan dalam
kurun waktu 2005:Q1 hingga 2012:Q3 ekspor Indonesia secara umum
menunjukkan perkembangan yang positif, walaupun pada tahun 2008 –
2009 dan tahun 2012 menunjukkan terjadinya penurunan ekspor
Indonesia. Berdasarkan hasil analisis regresi jangka panjang ternyata nilai
tukar memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap ekspor
Indonesia. Ini menunjukkan bahwa apresiasi atas nilai tukar domestik akan
menurunkan volume ekspor. Hasil yang senada juga ditunjukkan dalam
analisis jangka pendek. Hasil penelitian ini mendukung perspektif
pentingnya kebijakan untuk menjaga nilai tukar agar berada di kisaran
level yang tepat. Selain itu disarankan juga untuk mulai memformulasikan
pasar yang baru untuk komoditas ekspor domestik, sebab negara tujuan
46
ekspor besar seperti Eropa dan Amerika menunjukkan tren yang jenuh dan
menurun.
Pada tahun 2006, Ratnawati dan Mahatmi mencoba menganalisis
efektivitas jalur kredit dan jalur nilai tukar. Penelitian tersebut
menggunakan alat analisis Structural Equation Model. Dengan
membandingkan output dari kedua jalur tersebut, mereka menemukan
bahwa jalur nilai tukar lebih efektif dalam mentransmisikan kebijakan
moneter untuk periode 1997 – 2004. Hal tersebut sejalan dengan Penelitian
yang dilakukan Sofyan pada tahun 2002, dimana ia mencoba memetakan
efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui jalur – jalur yang sudah
teridentifikasi sebelumnya. Penelitian tersebut menggunakan alat analisis
Vector Error Correction Model (VECM) dan memperoleh kesimpulan
bahwa jalur nilai tukar lebih dominan dalam mekanisme transmisi
dibandingkan dengan jalur – jalur yang lain.
Haryanto (2007) dalam disertasinya yang berjudul Dampak
Instrumen Kebijakan Moneter terhadap Perekonomian Indonesia,
mendapati bahwa mekanisme transmisi melalui jalur neraca atau Balance
Channel dan jalur ekspektasi memiliki peran penting dan paling efektif
dalam mempengaruhi kinerja perekonomian, yang diproksikan oleh nilai
tukar, tingkat harga domestik dan produk domestik bruto. Penelitian
tersebut menggunakan data tahunan dari 1988 hingga 2005.
Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Restiyanto (2008) dimana
ia meneliti transmisi kebijakan moneter melalui sudut pandang aliran
47
monetaris, dengan menggunakan Partial Adjustment Model (PAM), ia
meneliti bagaimana peran jumlah uang beredar (JUB) dan kredit dalam
proses transmisi saat sebelum dan sesudah krisis moneter 1998. Hasil
penelitiannya menunjukkan fakta bahwa sebelum 1998, intervensi moneter
dalam mempengaruhi JUB lebih efektif dalam mentransmisikan tujuan
dari kebijakan moneter dibanding jalur – jalur yang lain.
Tabel 2.
Penelitian Terdahulu
No NamaPeneliti Judul Variabel
Y1,Y2…YnVariabel
X1,X2…XnAlat
Analisis Hasil
1
DhanySuryaRatana,Noer AzamAchsani,dan TriasAndati(2012)
DampakPerubahanNilai TukarMata UangterhadapEksporIndonesia
Volume EksporAgregat,Volume EksporCrude Palm Oil(CPO), Karetdan Batu Bara
PerubahanNilai TukarDomestik
VAR /VECM
Pada model agregatnilai tukar tidakberpengaruh secarasignifikan pada eksporbaik pada jangkapendek maupunjangka panjang.Variabel yangberpengaruh padamodel agregat dalamjangka panjang adalahekonomi dunia danharga relatif terhadapdunia. Variabel yangmempengaruhi ekspordalam jangka pendekpada model CPOadalah ekspor itusendiri.
48
2
AriMuliantaGinting(2013)
PengaruhNilai TukarTerhadapEksporIndonesia
Volume EksporIndonesia
Nilai Tukardan PDB
ECM
Nilai tukar dalamjangka panjang danjangka pendekmemiliki pengaruhyang negatif dansignifikan terhadapekspor Indonesia. Inimenunjukkanpentingnya kebijakannilai tukar untukmemicu peningkatanekspor Indonesia.
3FahmaMuttaqin(2013)
AnalisisTransmisiKebijakanMoneterJalur NilaiTukar EraInflationTargetingFrameworkdi Indonesia
Inflasi danOutput Gapterhadap Inflasi
SertifikatBankIndonesia,Paritas SukuBunga, KursRp/USD,IndeksHargaKonsumen,dan EksporNetto
VAR
Temuan penelitianadalah 5 dari 8hipotesis yangdiajukan dapatdibuktikan. Pengujianterhadap transmisipengaruh dari sukubunga SBI terhadapparitas suku bunga,suku bunga terhadapkurs Rupiah/USD,kurs terhadap indeksharga konsumen,indeks hargakonsumen terhadapekspor netto daninflasi, serta outputgap terhadap inflasimenyimpulkan bahwapengujian pada jalurtransmisi tersebutsignifikan hinggamencapai Inflasi.Sementara jalur yangtidak dapat dibuktikansignifikasinya dalamtransmisi antara lainpengaruh antaraparitas suku bungaterhadap capitalinflow, capital inflowterhadap kurs, danekspor netto terhadapoutput gap.
49
4
NirdukitaRatnawatidan SwastiMahatmiPutri(2004)
Perbandingan EfektifitasJalur Kreditdan JalurNilai TukardalamMekanismeTransmisiKebijakanMoneterMenggunakanStructuralEquationModel(SEM)1997.1 –2004.12
PDB dan IHK
JUB, TotalDeposit,Total Kredit,Investasi,Pasar UangAntar Bank(PUAB),kursRp/USD danEkspor Netto
SEM
Pada periodepenelitian, mekanismetransmisi kebijakanmoneter lebih efektifmenggunakan jalurnilai tukar.
5
Nafisah AlAli Daulay,AnthonyMayes danYusniMaulida(2013)
AnalisisJalurTransmisiBI RateterhadapNilai Tukardi Indonesia
Kurs Rp/USD
Nett ForeignAssets(NFA),Paritas SukuBungaDalam danLuar Negeri
VAR
Hasil penelitianmenunjukkan bahwaNFA dapat meresponshock dari paritas sukubunga selama 5 bulan,kemudian nilai tukarmembutuhkan timelag selama 1 bulanuntuk emrespon NFA.Jadi total time lagyang dibutuhkanvariabel moneterdalam penelitianuntuk bisa sampai kenilai tukar adalah 6bulan. Analisis denganmenggunakanVarianceDecompositionmenunjukkan bahwainovasi NFA sangatkecil dampaknyaterhadap Kurs (12%),paritas suku bungahanya mempengaruhisebesar 0.43%.Inovasi atas Kurspaling besardipengaruhi olehinovasi Kurs itusendiri, denganbesaran 87.67%.
50
6
Joseph E.Gagnondan JaneIhrig(2004)
MonetaryPolicy andExchangeRate Pass-Through
Inflasi CPI
KursUSD/(Matauang sampel20 NegaraIndustri) ,PermintaanAgregat,Ekspektasi,PremiResiko
VECM
Hasil penelitianmenunjukkan hasilyang bervariasi untuksampel 20 negaraindustri dalam halefektivitas transmisimelalui jalur nilaitukar terhadapmakroekonomi.Temuan penelitimenunjukkan padasaat otoritas monetermelakukan kebijakanyang berimplikasipada nilai tukar,pelaku pasarcenderung merespondengan tren yangsemakin menurunsepanjang waktu. Inimerupakan indikasibahwa kebijakan nilaitukar sudah memilikidampak yang inelastisterhadapmakroekonomi.Penjelasan yangpaling masuk akaladalah bergesernyaketergantungannegara-negara tersebutatas kegiatan imporyang merupakankomponen yangelastis terhadapperubahan nilai tukar.Asumsi utama yangmendasari efektivitaskebijakan melaluijalur nilai tukar adalahbahwa perekonomianyang menggunakanrezim kebijakantersebut memilikiketerkaitan yang kuatdengan aktivitasneracaperdagangannya.Kendati demikian,hasil ini masihmemerlukanpenelitian lebih lanjut.
51
7
Jon Faust,JosephGagnon,JaimeMarquez,RobertMartin,TrevorReeve, danJohnRogers(2005)
ExchangeRate Pass-Through toU.S ImportPrices:Some NewEvidence
HargaKomoditasImpor, CPI
Kurs, CPI,IndeksHargaKomoditas(dalamUSD)
VECM
Penelitian inimerupakan tindaklanjut dari hasilpenelitian Gagnonsebelumnya, yangmeninggalkanpertanyaan berupapenyebab yang tidakpasti mengapakebijakan nilai tukarmulai menunjukkanefektivitas yangmenurun terhadapkomoditas ekspor(selain minyak bumi,komputer dankomponen semikonduktor). Hasilpenelitianmenunjukkanbeberapa temuan baru,Salah satunya adalahmasuknyaperekonomianTiongkok dalam petakompetisiperdagangan A.S.Semenjak 1980an,kebijakan nilai tukarmulai menunjukkanefektivitas yangmenurun dan haltersebut terjadibersamaan dengankenaikan volumeimpor komoditas yangterus meningkat dariTiongkok.
D. Kerangka Pemikiran
Bagian ini merupakan upaya peneliti untuk mengartikulasikan ide
penelitian seperti apa yang akan dilakukan dan bagaimana variabel – variabel
dalam penelitian dijelaskan dalam satu kerangka yang terintegrasi dan dapat
52
lebih mudah dipahami oleh pembaca. Tentu saja kerangka pemikiran harus
memiliki isi yang konsisten dengan latar belakang.
Dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian
dengan hanya mengkaji bagaimana efektivitas kebijakan moneter jalur nilai
tukar terhadap dinamika neraca perdagangan yang diproksikan oleh ekspor
neto, mengestimasi model jangka pendek dan panjangnya, serta mencari tahu
time lag dari kebijakan tersebut. Berkaca pada hasil penelitian sebelumnya
(Warjiyo dan Solikin, 2003, Gagnon dkk, 2004, dan Gagnon dkk, 2005),
asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa sistem nilai
tukar yang digunakan bersifat fleksibel dengan kondisi perekonomian terbuka.
Mekanisme kebijakan melalui nilai tukar (Exchange-rate passthrough)
beroperasi dengan menekankan bahwa volatilitas nilai tukar dapat
mempengaruhi perubahan permintaan dan penawaran agregat (AD & AS),
yang selanjutnya baru dapat mempengaruhi komponen output dan tingkat
harga. Gagnon (2005) menyatakan bahwa pada kasus – kasus tertentu
exchange-rate passthrough dapat menjadi tidak efektif jika struktur neraca
perdagangan didominasi oleh komoditas yang berasal dari perekonomian yang
menggunakan rezim nilai tukar tetap.
Berdasarkan uraian tersebut, penggunaan variabel dalam penelitian ini
antara lain suku bunga domestik (BI Rate), perbedaan suku bunga dalam dan
luar negeri (RDiff), capital flow (CFlow), kurs Rp/USD (XRate), dan ekspor
neto (NettX). Jika dijabarkan secara matematis, maka model untuk menjawab
rumusan masalah pada bab sebelumnya adalah :
53
= ( , , , )Di mana :
NettX = Ekspor Netto
rBI = BI Rate
RDiff = Paritas suku bunga dalam dan luar negeri
CFlow = Capital Flow
XRate = Kurs IDR/USD
Sedangkan gambaran umum mengenai kerangka pikir dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5.
Kerangka Pemikiran
E. Hipotesis
Dengan memperhatikan teori, hasil penelitian dan temuan – temuan
terkait fenomena yang sedang diteliti, maka perumusan hipotesis untuk
penelitian ini adalah :
ExchangeRate
Passthrough
PerubahanBI Rate
SukuBunga
Domestik≠
SukuBunga Luar
Negeri
Inflowatau
Outflow
Apresiasiatau
DepresiasiKurs
Perubahanpada Ekspor
Netto
Sektor Finansial Sektor Riil
Interest Rate Differential
Kebijakan Moneter Capital Flow
54
Adanya fenomena ekonomi global yang tercermin dari perubahan suku
bunga internasional dan suku bunga domestik selama periode penelitian
memicu efektivitas yang menurun atas mekanisme transmisi kebijakan
moneter melalui jalur nilai tukar dibanding periode - periode sebelumnya.
Sehingga dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. H01 : Secara keseluruhan, indirect exchange rate passthrough tidak
efektif dalam mentransmisikan kebijakan terhadap output riil berupa
ekspor neto, yang diindikasikan dengan lamanya time lag transmisi dan
rendahnya predictive power dari variabel tersebut,
H11 : Secara keseluruhan, indirect exchange rate passthrough efektif
dalam mentransmisikan kebijakan terhadap output riil berupa ekspor neto,
yang diindikasikan dengan rendahnya time lag transmisi dan besarnya
predictive power dari variabel tersebut,
2. H02 : Tidak terdapat kausalitas 2 arah antara variabel-variabel dalam
model penelitian,
H12 : Terdapat kausalitas 2 arah antara variabel – variabel dalam model
penelitian,
3. H03 : Secara spesifik, ekspor neto merespon secara tidak signifikan atas
shock variabel yang dilalui oleh mekanisme transmisi kebijakan,
H13 : Secara spesifik, ekspor neto merespon secara signifikan atas
shock variabel yang dilalui oleh mekanisme transmisi kebijakan.
55
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian yang bersifat
kuantitatif terapan. Secara singkat, ini adalah penelitian yang bertujuan untuk
membuktikan hipotesa. Penelitian yang bersifat kuantitatif terapan pada
dasarnya berkenaan dengan kenyataan praktis serta pengembangan
pengetahuan yang didapatkan oleh penelitian sebelumnya. Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang bersifat runtut waktu atau time-series,
dengan memanfaatkan data sebagai berikut : kurs Rp/USD, paritas suku
bunga, capital flow dan ekspor neto.
Kebijakan moneter merupakan ranah yang sangat luas untuk dikaji, oleh
sebab itu peneliti membangun batasan-batasan yang jelas untuk dapat
mengemukakan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Penulis
membagi penelitian ini menjadi 5 bagian utama. Pada bagian awal, penulis
memberikan gambaran dasar mengenai apa itu kebijakan moneter, bagaimana
mekanismenya hingga dapat menyentuh sasaran akhir seperti yang
dikemukakan dalam teori, dampak dinamika perekonomian luar negeri
terhadap mekanisme transmisi dan makroekonomi, serta gambaran umum
mengenai perkembangan variabel yang penulis gunakan.
Tahap selanjutnya ialah dengan mengkaji lebih dalam mengenai teori-teori
yang relevan dengan kebijakan moneter dan keterkaitannya dengan
56
makroekonomi, lalu membandingkannya dengan hasil-hasil penelitian empiris
sebelumnya.
Pada bagian ketiga dilakukan penghimpunan data terkait variabel-variabel
penelitian berupa data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia dan
Instansi terkait lainnya. Setelah data tersebut diperoleh, langkah selanjutnya
adalah melakukan estimasi secara prosedural sesuai dengan tahap yang
terstandar pada model VAR/VECM. Pada tahap terakhir penulis akan
memberikan analisa atas output penelitian, kemudian merumuskan penjelasan
yang relevan atas hasil tersebut dan diakhiri dengan saran dan atau kritik dari
penulis.
B. Metode Penentuan Sampel
Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah judgement sampling.
Judgement sampling adalah salah satu jenis purposive sampling selain quota
sampling dimana peneliti memilih sampel berdasarkan penilaian terhadap
beberapa karakteristik anggota sampel yang disesuaikan dengan maksud
penelitian (Mudrajat Kuncoro, 2009). Dalam konteks penelitian ini,
karakteristik yang data yang diinginkan adalah yang sesuai dengan indikator
penelitian. Contohnya untuk penentuan sampel neraca perdagangan, yang
digunakan adalah data ekspor neto Indonesia ke seluruh negara yang menjadi
mitra dagang Indonesia pada periode penelitian.
57
C. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penilitian ini adalah data sekunder yang
merupakan data bulanan dari Januari 2007 hingga Desember 2015. Pilihan
penulis atas data sekunder adalah karena ruang lingkup yang luas yaitu seluruh
wilayah Indonesia, sehingga jika penulis menggunakan data primer pada kasus
ini maka akan menjadi tidak efisien.
Ada beberapa cara yang penulis lakukan untuk melakukan pengumpulan
data, diantaranya :
1. Internet
Data yang penulis peroleh melalui internet ialah data yang berhubungan
dengan sumber-sumber penelitian terdahulu dan beberapa sumber bacaan
terkait penelitian ini, sumber tersebut antara lain stastistik moneter yang
terdapat pada laporan moneter Bank Indonesia (terpublikasi di situs, bukan
metadata), Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), dan laporan
statistik perdagangan Bank Dunia seperti World Integrated Trade Solutions
(WITS) dan Statistik Keuangan Internasional (IFS).
Fase data mining pada penelitian ini juga menggunakan akses ke situs
repository jurnal terbitan institusi akademik dalam negeri maupun luar negeri
seperti repository Universitas Airlangga (Unair), Institut Pertanian Bogor
(IPB), serta publikasi beberapa working paper dari World Bank dan Board of
Governors of the Federal Reserve System.
58
2. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan adalah data yang peneliti peroleh yang berkaitan secara
relevan dengan penelitian ini, jurnal, buku, dan material tertulis lainnya adalah
contoh dari beberapa kepustakaan yang dikaji penulis.
3. Sumber Data
Data yang digunakan seluruhnya ialah data sekunder yang diperoleh dari
laporan moneter Bank Indonesia (BI), sektor moneter Statistik Ekonomi dan
Keuangan Indonesia (SEKI), laporan statistik perdagangan World Integrated
Trade Solutions – World Bank (WITS), dan International Financial Statistics
(IFS) , dimana data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Suku Bunga BI (BIRate)
Data yang digunakan adalah suku bunga acuan bulanan BI yang didapat
melalui publikasi Bank Indonesia. Data ini berupa data bulanan dengan
periode 2007 – 2015.
b. Nilai Tukar (Kurs)
Data yang menjadi proksi atas kurs merupakan kurs tengah 1 USD dalam
rupiah (Julihah dan Insukrindo, 2004) yang didapat melalui kalkulator kurs
yang didasarkan pada data nilai penutupan Rupiah per 1 USD menurut Bank
Indonesia setiap bulannya yang diperoleh melalui laporan moneter situs resmi
Bank Indonesia. Data ini berupa data sekunder dalam interval bulanan periode
2007 – 2015.
59
b. Paritas Suku Bunga (Interest Rate Differential)
Paritas suku bunga diproksikan oleh selisih suku bunga domestik, yaitu BI
Rate terhadap suku bunga internasional (Fed Rate) (Natsir, 2008), dan
(Togatorop, 2013). Variabel paritas suku bunga diukur dalam satuan persen.
Data tersebut memiliki interval 1 bulan periode tahun 2007 – 2015 dan
diperoleh dari: SEKI dan laporan moneter BI serta IFS berbagai edisi
penerbitan.
c. Capital Flow
Proksi dari capital flow adalah total aliran modal yang masuk ke Indonesia
yang terdiri atas utang luar negeri, baik pemerintah maupun swasta, ditambah
dengan investasi langsung dari pihak asing yang dinyatakan dalam Juta USD
(Natsir, 2008). Data memiliki interval 1 tahun yang diinterpolasi ke bentuk
bulanan. Data bersumber dari International Financial Statistics (IFS) berbagai
edisi, laporan tahunan BI serta SEKI.
d. Ekspor Netto
Ekspor Netto diproksikan oleh selisih atas ekspor dan impor seluruh
barang yang keluar atau masuk wilayah teritori Indonesia yang dinyatakan
dalam juta USD. Data memiliki interval 1 bulan selama periode 2007 - 2015
dan diperoleh melalui SEKI dan IFS berbagai edisi penerbitan.
D. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan alat analisis Vector Auto Regressive (VAR).
Dalam ilmu ekonomi banyak sekali ditemukan data time series yang memiliki
60
unsur akar unit. Untuk time series yang memiliki property akar unit atau unit
root disebut sebagai time series yang non stasioner. Sejatinya, jika data time
series digunakan untuk keperluan penelitian dan pengambilan kebijakan maka
time series tersebut harus stasioner supaya tidak menghasilkan output regresi
yang lancung (spurious regression). Regresi lancung adalah suatu kondisi
dimana output dari estimasi sebuah persamaan menghasilkan taraf signifikansi
yang tinggi namun tidak memiliki arti.
Engle dan Granger (1987) mengemukakan bahwa kombinasi linier dari
dua atau lebih time series yang non stasioner mungkin saja stasioner. Jika
terdapat error term stasioner yang dihasilkan oleh kombinasi linier dari 2 time
series yang non stasioner tersebut, maka time series tersebut dikatakan
terkointegrasi.
Estimasi dengan menggunakan data yang stasioner pada level (0) dapat
dilakukan dengan model VAR, namun jika data tidak stasioner pada level (0)
maka perlu dilakukan pengujian ulang pada ordo (1) atau first difference.
Langkah selanjutnya dalam penentuan model untuk keperluan analisis adalah
uji kointegrasi. Jika data yang stasioner pada first difference memiliki
persamaan kointegrasi, maka penelitian akan dilakukan dengan menggunakan
model VAR yang dikombinasikan dengan model error correction atau EC.
Jika tidak terdapat persamaan yang terkointegrasi, penelitian akan dilanjutkan
dengan VAR dengan menggunakan data yang sudah stasioner pada first
difference.
61
Gambar 6.
Prosedur Penggunaan Model VAR/ VECM
Sumber : Ascarya, (2008)
Model VEC atau Vector Error Correction Model (VECM) adalah bentuk
VAR terestriksi yang memiliki unsur kointegrasi yang tertanam pada
spesifikasi modelnya, sehingga model ini memang didesain untuk penggunaan
variabel yang non stasioner namun terkointegrasi. Pada prakteknya, VECM
dapat digunakan untuk mengetahui pergerakan jangka pendek suatu variabel
terhadap output jangka panjangnya akibat adanya shock yang permanen
(Kostov dan Lingard, 2000).
Secara umum, bentuk model VAR adalah sebagai berikut := + + + … + + ε
Dimana :
Yt : Vektor variabel tak bebas (Y1,Y2,…Yn) berukuran n x 1
62
A0 : Vektor intersep berukuran n x 1
Ai : Matriks parameter berukuran n x n, untuk setiap i = 1,2, …, p
ε : Vektor residual (ε , ε , … , ε ) berukuran n x 1
Secara spesifik, metode penelitian dengan menggunakan VAR/VECM
sebagai alat analisis dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut :
1. Uji Stasioneritas Data
Uji stasioneritas dimaksudkan untuk menganalisis dan membuktikan
apakah masing-masing variabel mempunyai pola yang stabil/normal/stasioner
atau tidak, dimana secara spesifik kestasioneritasan digambarkan sebagai
proses stokastik pada data, yang mana hal tersebut diukur dari varian dan yang
konstan sepanjang waktu. Data time series di bidang ekonomi umumnya
merupakan data yang tidak stasioner, sehingga ketika dipergunakan sebagai
suatu variabel dalam regresi akan menghasilkan estimasi yang palsu atau
spurious regression, yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua
variabel atau lebih yang tampaknya signifikan secara statistik padahal
kenyataannya tidak sebesar sebagaimana yang tampak dari regresi tersebut.
Akibatnya, memberikan arahan yang keliru (misleading) dalam kesimpulan
dan implikasi kebijakan. Oleh karena itu, tahap awal sebelum melakukan
analisis lebih lanjut perlu dilakukan pengujian stasioneritas suatu data yaitu
dengan melakukan Uji Unit Root atau Unit Root Test.
Gujarati (2013) memformulasikan pengujian stasioneritas dengan Unit
Root Test yang diuraikan dengan model Augmented Dickey – Fueller (ADF)
63
pada derajat yang sama (level) atau ordo yang berbeda (1st level different, 2nd
level different,…..dst) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data
time series yang rata-rata variannya konstan, atau dengan kata lain data yang
fluktuasinya cenderung konstan di sekitar nilai rata-ratanya (Enders, 1995).
Model ADF tersebut dijabarkan sebagai berikut :
∆ = 1 + 2 + − 1 + ∆ − 1 +Dimana adalah stochastic error term yang mempunyai rata-rata sama
dengan nol, konstan varians, dan tidak terdapat autokorelasi. Error yang
demikian disebut juga white noise error term atau error ini muncul karena
proses white noise. Proses ini muncul karena Yt disebabkan (Yt = ),
dimana adalah variabel random yang terdistribusi secara independen
dengan rata-rata sama dengan 0 atau E( ) = 0. Dengan proses ini, peramalan
untuk setiap nilai Y menjadi nol (Y = 0) untuk semua lag (l) sehingga
memberikan bentuk simetris bahwa korelasi positif sama dengan korelasi
negatif. Dengan kata lain, perilaku data ini menunjukkan adanya sifat
stasioneritas data (Gujarati, 2003)
Jika output ADF menunjukkan nilai ADF statistik yang lebih kecil
daripada McKinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data tersebut
stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADF
statistik lebih besar daripada McKinnon critical value, maka dapat
disimpulkan data tersebut tidak stasioner pada level. Dengan demikian,
differencing data diperlukan untuk memperoleh data yang stasioner di ordo
64
selanjutnya, caranya adalah dengan mengurangi data tersebut dengan data
periode sebelumnya (Sochrul R. Ajija, dkk, 2011).
2. Penentuan Lag Optimal
Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau
respons yang signifikan. Isu tentang penentuan panjang lag optimal semakin
penting seiring anggapan bahwa pemilihan lag yang tepat akan menghasilkan
residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari
permasalahan autokorelasi dan heterokedastisitas.
Dalam penentuan lag optimal perlu pula diperhatikan adanya trade-off
bahwa jika lag yang dipergunakan semakin panjang, maka akan semakin
banyak pula parameter yang harus diestimasi dan semakin sedikit derajat
kebebasannya. Maka dalam hal ini peneliti akan menghadapi trade-off antara
mempunyai lag yang memadai dan mempunyai derajat bebas yang cukup.
Karena, jika jumlah lag terlalu sedikit maka model akan mispesifikasi,
sementara jika lag terlalu banyak maka akan menyedot derajat bebas (Natsir,
2007).
Penetapan lag optimal dapat dibantu dengan menggunakan Akaike
Information Criteria (AIC). Dimana AIC ditentukan oleh :
= log ∑+ 2 ⁄
Dimana ∑ adalah residual kuadrat, sedangkan N dan k masing-masing
merupakan jumlah sampel dan jumlah variabel yang beroperasi dalam
persamaan itu. Untuk menetapkan lag yang paling optimal, model VAR harus
65
diestimasi pada lag yang berbeda-beda, kemudian dengan mengamati nilai
AIC nya, model dengan nilai AIC yang paling rendahlah yang lag nya paling
optimal (Febriansyah, 2005).
3. Uji Stabilitas Model (VAR)
Stabilitas VAR perlu diuji terlebih dahulu sebelum melakukan analisis
lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan
model EC tidak stabil, maka penggunaan Impulse Response Function dan
Variance Decomposition akan menghasilkan output yang spurious sehingga
menjadi tidak valid (Setiawan, 2007). Untuk menguji stabil atau tidaknya
estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan pengecekan kondisi VAR
stability berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR
dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari
satu (Gujarati, 2003).
4. Uji Kointegrasi
Pengujian kointegrasi dilakukan terhadap variabel-variabel untuk
mengkaji apakah residual regresi sudah mencapai stasioner atau belum.
Namun secara ekonomi, kointegrasi merupakan statistical expression dari
hubungan keseimbangan atau ekuilibrium jangka panjang. Thomas (1993)
menyebutkan bahwa bila terdapat dua variabel Yt dan Xt , maka kedua
variabel tersebut dikatakan memiliki hubungan jangka panjang apabila
terdapat error term yang stasioner dihasilkan oleh kombinasi linier dari kedua
66
variabel pada derajat integrasi yang sama. Sebaliknya bila error term tidak
stasioner maka dikatakan tidak terdapat kondisi ekuilibrium. Dengan
demikian, konsep kointegrasi berkaitan dengan adanya keseimbangan jangka
panjang dengan sistem ekonomi yang konvergen sepanjang waktu
sebagaimana disebutkan dalam teori selain juga untuk menguji keabsahan
teori tersebut. Maka, jika terjadi shock dalam suatu sistem perekonomian
dalam jangka panjang terdapat kekuatan pendorong ekonomi untuk pulih
kembali ke kondisi keseimbangannya. Atau bila terjadi ketidakseimbangan
dalam jangka pendek akan ada kekuatan pendorong perekonomian menuju
kondisi keseimbangan.
Pengujian kointegrasi dapat dilakukan dengan Engle-Granger Test atau
Johansen Cointegration Test. Pengujian kointegrasi Engle - Granger Test
mendasarkan pada keberadaan residual persamaan jangka panjang yang
stasioner, sedangkan pendekatan kointegrasi Johansen mendasarkan pada
kemungkinan maksimum (maximum likelihood) yang memberikan statistik
eigenvalue dan trace untuk menentukan jumlah vektor kointegrasi dalam suatu
persamaan. Selain itu, pengujian Johansen lebih dapat diandalkan untuk
mendeteksi multiple cointegration. Maka, pengujian kointegrasi Johansen
lebih powerful dibandingkan pengujian Engle-Granger yang berbasis residual.
Prosedur pengujian kointegrasi Johansen didasarkan atas model VAR (p) dari
sekumpulan variabel yang tidak stasioner (Gujarati, 2003).
67
5. VAR / VECM
Masalah yang diajukan dalam penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan VAR / VECM Vector Error Correction Model (VECM). VAR
merupakan model yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier
dari konstanta (α) dan nilai lag (αt-1) dari variabel itu sendiri serta nilai lag dari
variabel lain yang ada di dalam sistem. Sedangkan VECM adalah bentuk
VAR terestriksi yang memiliki unsur kointegrasi yang tertanam pada
spesifikasi modelnya, sehingga model ini memang didesain untuk penggunaan
variabel yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Pada prakteknya, VECM
dapat digunakan untuk mengetahui pergerakan jangka pendek suatu variabel
terhadap output jangka panjangnya akibat adanya shock yang permanen
(Kostov dan Lingard, 2000).
Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
persamaan sebagai berikut :
a. = + ∑ XNett + ∑ rBI + ∑ rDiff +∑ CFlow + ε
b. = + ∑ XNett + ∑ rBI + ∑ rDiff +∑ CFlow + ε
c. = + ∑ XNett + ∑ rBI + ∑ rDiff +∑ CFlow + ε
d. = + ∑ XNett + ∑ rBI + ∑ rDiff +∑ CFlow + ε
68
e. = + ∑ XNett + ∑ rBI + ∑ rDiff +∑ CFlow + ε
Dimana :
XNett = Ekspor Neto
rBI = Suku Bunga BI
rDiff = Paritas Suku Bunga
XRate = Kurs Rp/USD
CFlow = Capital Flow
Beberapa alasan penggunaan model ini untuk menjawab hipotesis
penelitian antara lain :
1) Data tidak stasioner pada level, namun stasioner pada first difference
2) Pada kasus data yang digunakan sudah stasioner pada level (0), maka
penelitian akan dilanjutkan dengan VAR. Namun jika data stasioner
pada first difference (1) dan terkointegrasi, maka penelitian dilanjutkan
dengan menggunakan model VEC. Jika data tidak terkointegrasi, maka
penelitian dilanjutkan dengan menggunakan VAR in difference.
6. Uji Kausalitas
Untuk keperluan pengujian hipotesis ke 2 dalam penelitian ini, yaitu :
H02 : Tidak terdapat kausalitas 2 arah antara variabel-variabel dalam
model penelitian,
H12 : Terdapat kausalitas 2 arah antara variabel – variabel dalam model
penelitian
Maka uji kausalitas dilakukan untuk menentukan arah hubungan antar
variabel di dalam sebuah sistem. Jika ada dua variabel x dan y, maka apakah x
menyebabkan perubahan pada y atau y menyebabkan perubahan pada x, atau
berlaku keduanya atau hubungan dua arah (Gujarati, 2003). Sebuah variabel
69
endogen dikatakan memiliki hubungan kausalitas Granger terhadap variabel
eksogen jika semua koefisien dari nilai lag variabel eksogen tersebut memiliki
nilai yang signifikan dalam persamaan parsial variabel endogen
(Kristiawardani, 2002). Dalam penelitian ini, uji kausalitas digunakan untuk
memastikan arah hubungan antara suku bunga BI, paritas suku bunga, capital
flow, kurs, dan ekspor neto.
7. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) dan Impulse
Response Function (IRF)
Analisis FEVD menjelaskan seberapa besar perubahan suatu variabel
dalam model dapat dijelaskan oleh adanya guncangan dari variabel lain yang
terdapat dalam model, sehingga secara tdak langsung dapat diketahui kekuatan
dan kelemahan masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya
dalam kurun waktu yang panjang (Antonio, 2013)
IRF digunakan untuk melihat respon suatu variabel atas shock yang terjadi
atas variabel lainnya dalam model. Respon inilah yang menunjukkan adanya
pengaruh dari suatu shock variabel independen terhadap variabel dependen,
atau digunakan untuk melihat respon variabel endogen terhadap adanya
pengaruh shock variabel endogen yang lain (Boivin dkk dalam Kuncoro,
2010)
70
Penggunaan IRF dan FEVD ditujukan untuk membuktikan hipotesis I dan
III, yaitu :
H01 : Secara keseluruhan, indirect exchange rate passthrough tidak efektif
dalam mentransmisikan kebijakan terhadap output riil berupa ekspor
neto, yang diindikasikan dengan lamanya time lag transmisi dan
rendahnya predictive power dari variabel tersebut,
H11 : Secara keseluruhan, indirect exchange rate passthrough efektif dalam
mentransmisikan kebijakan terhadap output riil berupa ekspor neto,
yang diindikasikan dengan rendahnya time lag transmisi dan besarnya
predictive power dari variabel tersebut,
Dan
H03 : Secara spesifik, ekspor neto merespon secara tidak signifikan atas
shock variabel yang dilalui oleh mekanisme transmisi kebijakan,
H13 : Secara spesifik, ekspor neto merespon secara signifikan atas shock
variabel yang dilalui oleh mekanisme transmisi kebijakan
E. Operasional Variabel Penelitian
Bagian ini merupakan penjabaran dari variabel – variabel yang
diterapkan dalam suatu penelitian dan ditujukan untuk memastikan bahwa
variabel yang akan diteliti secara jelas dapat ditentukan indikatornya. Terdapat
lima variabel yang digunakan sebagai sumber utama untuk mendeskripsikan
hasil yang nantinya akan diperoleh dalam penelitian ini.
Data yang digunakan merupakan memiliki rentang 8 tahun, dimulai
dari Januari 2007 hingga Desember 2015. Pengambilan data tersebut
disesuaikan dengan tujuan penelitian dimana pada periode tersebut terjadi
beberapa fenomena ekonomi global yang menyebabkan perubahan stance di
kebijakan moneter Indonesia.
71
Tabel 3.
Deskripsi Data Operasional Variabel
Variabel Skala Sumber Deskripsi
XNett = EksporNeto
NominalIFS dan BI-
SEKISelisih Ekspor dan Impor non-Migas bulanan dalam Juta USD
rBI = BI Rate Rasio Bank IndonesiaSuku Bunga Bank Indonesia 1bulan dalam bentuk persentase.
rDiff = ParitasSuku Bunga
RasioBank Indonesia
dan FederalReserve
Selisih antara suku bunga BIRate dan Fed Fund Rate bulanandalam bentuk persentase.
CFlow = CapitalFlow
NominalInternational
Monetary Fund(IMF)
Jumlah seluruh aliran modaltermasuk dalam negeri dalambentuk investasi langsungataupun utang yang meliputiPortfolio Equity, Foreign DirectInvestment (FDI) sebagai proksiinvestasi, dan Utang JangkaPendek dan Jangka Panjang(bonds) sebagai proksi utang.Data memiliki interval tahunanyang diinterpolasi menjadi databulanan dalam juta USD
XRate = Kurs Nominal Bank Indonesia Kurs tengah Rupiah / 1 USD
72
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Estimasi dan Pembahasan
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai analisis dan hasil yang
dicapai dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini untuk mencapai hasil tersebut adalah dengan Vector Auto
Regressive (VAR) / Vector Error Correction Model (VECM). Penentuan
model secara pasti akan diputuskan setelah melihat output dari hasil uji
akar unit. Jika data stasioner pada level, maka dilanjutkan dengan model
VAR. Jika data stasioner pada first difference dan data terkointegrasi,
maka penelitian akan dilanjutkan dengan menggunakan VECM. Namun
jika data stasioner pada first difference namun tidak terkointegrasi,
penelitian akan dilanjutkan dengan menggunakan VAR in difference.
1. Hasil Uji Stasioneritas Data (Augmented Dickey Fuller)
Untuk melihat kestasioneran data yang akan dianalisis maka perlu
dilakukan uji akar unit. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah koefisien
variabel tertentu dari model VAR yang ditaksir mempunyai akar unit atau
tidak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Augmented
Dickey Fuller (ADF). Hasil uji ADF ini untuk data time series setiap
variabel dalam tingkat level dapat dilihat pada Tabel 4.
73
Tabel 4. Uji Akar Unit (level)
Variabel t-stat ADF TandaMacKinnon5% Critical
ValueKesimpulan
BI Rate -1.839009 > -3.452674 Tidak stasionerrDiff -2.611977 > -3.452764 Tidak stasioner
CFlow -1.763809 > -3.453179 Tidak stasionerKurs -1.475646 > -3.453601 Tidak stasioner
ExNett -2.246680 > -3.453179 Tidak stasioner
Dari hasil pengujian unit root, tidak ada satupun variabel yang
mempunyai nilai ADF lebih kecil daripada nilai kritis 5% MacKinnon. Ini
berarti variabel tidak stasioner pada level. Untuk menyelesaikan
permasalahan ini, pengujian unit root akan dilakukan kembali pada derajat
satu (first difference). Pengujian stasioneritas data pada first difference
dilakukan sebagai konsekuensi atas tidak terpenuhinya asumsi
stasioneritas pada level atau derajat nol. Tabel 4.1 memperlihatkan hasil
unit root test pada first difference.
Tabel 4.1. Uji Akar Unit (first difference)
Variabel t-stat ADF TandaMacKinnon5% Critical
ValueKesimpulan
BI Rate -5.307030 < -3.452764 StasionerrDiff -5.063316 < -3.452764 Stasioner
CFlow -3.942238 < -3.453179 StasionerKurs -4.753269 < -3.453601 Stasioner
ExNett -13.62870 < -3.453179 Stasioner
Dari output uji stasioneritas pada first difference diperoleh nilai
ADF yang lebih kecil daripada nilai kritis 5% MacKinnon pada seluruh
variabel yang berarti data stasioner pada first difference.
74
2. Hasil Lag Optimal
Pada metode VAR/VECM penetapan lag yang optimal sangat
penting karena variabel lag merupakan variabel independen yang
digunakan pada persamaan VAR. Untuk menetapkan tingkat lag optimal
digunakan nilai Akaike Information Criteria (AIC) yang terkecil.
Perhitungan nilai AIC untuk setiap lag dapat dilihat pada Tabel 5. Dari
perhitungan nilai AIC tersebut diketahui bahwa nilai minimum terdapat
pada lag 3, sehingga dapat ditetapkan bahwa lag optimal adalah lag 3.
Dengan demikian maka uji kointegrasi, kausalitas, dan estimasi model
VAR/VECM akan dilakukan pada lag optimal ini.
Tabel 5. Output AIC
Lag AIC Value
0 22.37293
1 21.13827
2 20.87796
3 20.82088*
4 21.08774
5 21.32726
6 21.60122
7 21.78032
* mengindikasikan lag optimal
75
3. Uji Stabilitas Model (VAR)
Stabilitas VAR perlu diuji terlebih dahulu sebelum melakukan
analisis lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang akan
dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan tidak stabil, maka
Impulse Response Function dan Variance Decomposition menjadi tidak
valid (Setiawan, 2007). Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR
yang akan dibentuk maka dilakukan pengecekan kondisi stabilitas VAR
berupa roots of characteristic polynomial. Ringkasan uji stabilitas VAR
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Output Stabilitas Model (lag 3)
Root Modulus
0.849892 0.8498920.731315 - 0.218341i 0.7632130.731315 + 0.218341i 0.7632130.695336 0.695336
-0.479089 - 0.438990i 0.649799-0.479089 + 0.438990i 0.649799-0.076718 - 0.619495i 0.624227-0.076718 + 0.619495i 0.624227-0.328082 - 0.432089i 0.542530-0.328082 + 0.432089i 0.542530-0.197598 - 0.487426i 0.525956-0.197598 + 0.487426i 0.5259560.038171 - 0.341071i 0.3432010.038171 + 0.341071i 0.343201
-0.003955 0.003955
Tidak terdapat akar unit di luar lingkaran unitVAR memenuhi kondisi yang stabil.
76
Suatu sistem VAR dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya
memiliki modulus lebih kecil dari satu. Berdasarkan uji stabilitas VAR,
dapat disimpulkan bahwa estimasi VAR yang akan digunakan untuk
analisis IRF sudah stabil untuk digunakan dalam analisis innovation
accounting.
4. Uji Kointegrasi (Johansen’s Cointegration Test)
Uji kointegrasi secara eksplisit digunakan untuk memperoleh
gambaran mengenai ada atau tidaknya hubungan jangka panjang antara
variabel – variabel dalam model. Konsep kointegrasi menyatakan bahwa
jika salah satu atau lebih variabel yang tidak stasioner terkointegrasi maka
kombinasi linier antara variabel – variabel tersebut dalam sistem akan
bersifat stasioner sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka
panjang yang stabil (Enders, 1995). Pengujian kointegrasi menggunakan
Johansen’s Cointegration Test dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7 dan
Tabel 7.1.
Tabel 7.
Johansen’s Trace Statistic Test (first difference), (lag 3)
HypothesizedNo. of CE(s)
Eigenvalue TraceStatistic
0.05 CriticalValue
Prob.**
None 0.207071 63.22640 69.81889 0.1499At most 1 0.180652 39.09621 47.85613 0.2565At most 2 0.094566 18.37464 29.79707 0.5385At most 3 0.070367 8.043153 15.49471 0.4608At most 4 0.004363 0.454699 3.841466 0.5001
Uji trace mengindikasikan tidak ada kointegrasi pada level 0.05*menolak hipotesis nol pada derajat 5%
77
Tabel 7.1.
Johansen’s Maximum Eigenvalue Test (first difference), (lag3)
HypothesizedNo. of CE(s)
Eigenvalue Max-EigenStatistic
0.05 CriticalValue
Prob.**
None 0.207071 24.13018 33.87687 0.4461At most 1 0.180652 20.72157 27.58434 0.2934At most 2 0.094566 10.33149 21.13162 0.7130At most 3 0.070367 7.588454 14.26460 0.4221At most 4 0.004363 0.45699 3.841466 0.5001
Uji Eigenvalue maksimum mengindikasikan tidak ada kointegrasi pada level 0.05*menolak hipotesis nol pada derajat 5%
Pengujian kointegrasi dilakukan pada lag optimal yaitu lag 3. Dari
perbandingan estimasi Trace Statistic dan Maximum Eigenvalue terhadap
nilai kritisnya (critical value) diketahui bahwa tidak terdapat variable yang
terkointegrasi pada sistem. Lutkepohl (2007) mengemukakan bahwa
ketika variabel-variabel yang diajukan menerima hipotesis nol (tidak
terkointegrasi) pada derajat yang sama, maka model VAR yang dapat
digunakan adalah VAR in first difference. Dengan demikian penelitian
akan dilanjutkan dengan menggunakan VAR in first difference.
5. Model Empiris VAR
Tahap selanjutnya setelah menentukan derajat kointegrasi adalah
mengestimasi model VAR. Model VAR tidak ditujukan untuk melihat
hubungan jangka panjang antar variabel dalam sistem, melainkan untuk
menghindari terjadinya spurious regession akibat data yang tidak
stasioner. Data yang telah ditransformasi ke dalam bentuk first difference
digunakan dalam model ini dan panjang lag yang digunakan dalam
78
estimasi VECM ini adalah lag 3 sesuai dengan penentuan lag yang
optimal.
Tabel 8. Output VAR
DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF
DBIRATE0.34487(-1)0.45639(-2)
-0.76116(-1)-0.45068(-2)
-106561(-1)166282(-2)
DCFLOW 0.32084(-1)
DEXNETT -3.16066(-3) -0.01900(-3)-5.59E-07
(-3)
DKURS 0.74720(-1)0.20513(-1)-0.3418(-2)0.21989(-3)
DRDIFF -190177(-2)86018(-1)-91231(-2)
0.80758(-1)
C -0.0000121 8.882599 -45.26466 27.40902 0.000262
(-1) signifikan pada lag 1, (-2) signifikan pada lag 2, dan (-3) signifikan
pada lag 3.
Tentunya, dengen beberapa lag di variabel yang sama, setiap
koefisien yang diestimasi tidak seluruhnya signifikan, dimungkinkan
karena adanya multikolinearitas (Gujarati, 2003). Oleh sebab itu,
persamaan untuk ekspor neto yang dihasilkan oleh output VAR di atas
adalah :
= −45.26( ) − 0.76( (−1) ) − 0.45( (−2) ) +0.74( (−1) ) − 190177( (−2))
79
Persamaan simultan dalam model ekonometrik terkadang
digunakan untuk membuat perkiraan tentang respon variabel endogen atas
perubahan yang terjadi pada variabel eksogen untuk membantu
menentukan kebijakan yang tepat dalam mengantisipasi situasi
perekonomian. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam model VAR
tidak terdapat variabel eksogen. Dalam model ini efek guncangan biasanya
dipelajari dan digunakan untuk menghubungkan kesesuaian dari model
VAR dan model ekonomi. Sebagai contoh, model VAR umumnya
digunakan untuk menginvestigasi efek dari shock atas variabel kebijakan
moneter yang dalam hal ini menyebabkan perubahan tak terduga kepada
pelaku ekonomi. Karena alasan tersebut, banyak praktisi yang
menggunakan teknik VAR melakukan estimasi untuk interpreasi modelnya
dengan Innovation Accounting berupa Impulse Response Function (IRF)
dan Forecast Error Variance Decomposition (VD) ((Lutkepohl (2007) dan
Gujarati (2003)).
6. Uji Kausalitas
Uji kausalitas yang digunakan pada penelitian ini adalah uji
kausalitas Granger. Uji tersebut dilakukan untuk memastikan arah
hubungan variabel variabel-variabel yang ada dalam model. Dalam
penelitian ini uji kausalitas yang digunakan adalah Granger Causality
Test, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9.
80
Tabel 9.Granger Causality Test (Lag 3)
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.
DCFLOW does not Granger Cause DBIRATE 104 0.78502 0.5051DBIRATE does not Granger Cause DCFLOW 0.22149 0.8813
DEXNETT does not Granger Cause DBIRATE 104 3.70901 0.0142 *DBIRATE does not Granger Cause DEXNETT 0.53598 0.6587
DKURS does not Granger Cause DBIRATE 104 1.86383 0.1408DBIRATE does not Granger Cause DKURS 6.65924 0.0004 *
DRDIFF does not Granger Cause DBIRATE 104 1.11846 0.3455DBIRATE does not Granger Cause DRDIFF 0.96042 0.4147
DEXNETT does not Granger Cause DCFLOW 104 2.31724 0.0804DCFLOW does not Granger Cause DEXNETT 0.20009 0.8961
DKURS does not Granger Cause DCFLOW 104 1.63910 0.1854DCFLOW does not Granger Cause DKURS 0.08959 0.9656
DRDIFF does not Granger Cause DCFLOW 104 0.17562 0.9127DCFLOW does not Granger Cause DRDIFF 0.51019 0.6762
DKURS does not Granger Cause DEXNETT 104 1.29016 0.2822DEXNETT does not Granger Cause DKURS 0.19263 0.9012
DRDIFF does not Granger Cause DEXNETT 104 0.93574 0.4266DEXNETT does not Granger Cause DRDIFF 3.42956 0.0201 *
DRDIFF does not Granger Cause DKURS 104 3.20475 0.0266 *DKURS does not Granger Cause DRDIFF 2.06288 0.1102
*menandakan signifikan dengan menolak H0 pada derajat 0.05%
Output uji kausalitas menunjukkan terdapat beberapa pasang
variabel yang signifikan pada nilai kritis 0.05 persen Hipotesis nol dalam
uji kausalitas adalah tidak terdapat hubungan kausalitas antara variabel x
dan y, sehingga untuk menolak hipotesis nol maka perlu membandingkan
nilai probability dengan nilai kritisnya. Jika nilai probability < α, maka
hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima.
81
Dari hasil uji kausalitas di atas, ekspor neto mempengaruhi BI Rate
(0.01420 < 0.0500), namun BI Rate tidak signifikan mempengaruhi ekspor
neto, sehingga bisa dikatakan bahwa antara kedua variabel tersebut hanya
terjadi hubungan satu arah (unidirectional). Variabel yang secara
kausalitas Granger terbukti memiliki arah hubungan adalah BI rate
mempengaruhi kurs (0.0004 < 0.0500), ekspor neto mempengaruhi paritas
suku bunga (0.0201 < 0.0500), dan paritas suku bunga mempengaruhi kurs
(0.0266 < 0.0500). Ringkasan tentang arah hubungan variabel dalam
model terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Output Granger Causality (Lag 3)
Secara garis besar, dalam model periode penelitian ini tidak
terdapat variabel yang saling menyebabkan (bilateral causality) dan tidak
didapati kesesuaian arah hubungan yang diestimasi dengan yang hubungan
82
antar variabel yang dikemukakan dalam teori. Karena uji kausalitas
Granger hanya mengindikasikan arah hubungan dari suatu variabel
terhadap variabel lain dalam model, maka untuk mengetahui besaran serta
time lag dari interaksi setiap variabel dalam model dilakukan pada tahap
pengujian selanjutnya.
7. Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance
Decomposition (FEVD)
IRF digunakan untuk melihat respon suatu variabel atas shock yang
terjadi atas variabel lainnya dalam model. Respon inilah yang
menunjukkan adanya pengaruh dari suatu shock variabel independen
terhadap variabel dependen, atau digunakan untuk melihat respon variabel
endogen terhadap adanya pengaruh shock variabel endogen yang lain
(Boivin dkk dalam Kuncoro, 2010). IRF juga dapat menggambarkan
ekspektasi sebanyak k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu
variabel akibat inovasi dari variabel yang lain. Output IRF akan
membentuk pola garis yang menggambarkan besaran shock yang diterima
variabel tersebut dan sampai berapa lama variabel tersebut akan kembali
ke titik keseimbangannya. Hal ini bermanfaat untuk melihat apakah shock
suatu variabel dalam model dapat memberikan dampak yang permanen
atau tidak.
83
Gambar 8. Output Impulse Response Function
Analisis passthrough nilai tukar dengan menggunakan IRF
dilakukan untuk mengetahui efek tidak langsung dari adanya shock suku
bunga BI terhadap ekspor neto melalui variabel – variabel yang
terintegrasi dalam jalur lintas kebijakan. Karena dalam model ini
menggunakan variabel yang telah ditransformasi ke dalam bentuk first
difference , maka setiap variabel dalam model ini menggambarkan laju
pertumbuhan variabel tersebut.
Grafik pertama dari sebelah kiri atas menggambarkan respon arus
modal atas shock dari interest rate parity. Shock sebesar 1 standar deviasi
pada interest rate parity direspon secara positif pada bulan ke dua sebesar
4 persen dari paritas suku bunga itu sendiri. Angka tersebut meningkat
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of DCFLOW to CholeskyOne S.D. DRDIFF Innovation
-20
-10
0
10
20
30
40
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of DKURS to CholeskyOne S.D. DCFLOW Innovation
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of DEXNETT to CholeskyOne S.D. DKURS Innovation
-40
-20
0
20
40
60
80
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of DKURS to CholeskyOne S.D. DBIRATE Innovation
84
menjadi 5 persen pada bulan ke 4, dan selama 12 bulan selanjutnya
pengaruh shock tersebut mulai menurun dan stagnan pada daerah negatif,
lalu mulai konvergen di bulan ke 24. Ini berarti shock interest rate parity
efektif dalam mempengaruhi arus modal dalam jangka waktu 2 bulan, dan
pengaruhnya akan mempengaruhi arus modal selama 6 bulan sejak interest
rate parity terjadi.
Dalam jangka pendek hubungan antara interest rate parity dan arus
modal adalah positif. Ini sesuai dengan teori interest rate parity dan teori
portfolio adjustment yang menyebutkan bahwa tingginya return yang
direfleksikan tingkat suku bunga dari luar negeri akan mendorong
terjadinya capital inflow ke Indonesia (Halwani, 2005). Begitupun
sebaliknya, tingginya tingkat suku bunga luar negeri dibanding tingkat
suku bunga domestik akan menyebabkan capital outflow karena investor
menilai lebih menguntungkan berinvestasi di luar negeri dibandingkan
berinvestasi di dalam negeri. Namun dalam jangka panjang, pengaruh
shock paritas suku bunga dan arus modal menjadi negatif. Ini bisa jadi
indikasi bahwa komposisi investasi yang berasal dari luar negeri
didominasi oleh investasi jangka pendek.
Grafik kedua dari sebelah kiri atas menggambarkan respon kurs
atas shock arus modal dalam 1 standar deviasi. Shock yang diterima kurs
atas deviasi arus modal belum menunjukkan respon di awal periode, hal
ini berarti shock arus modal tidak secara instan menyebabkan apresiasi
85
nilai tukar. Respon kurs baru terjadi pada bulan ke 2, dimana deviasi arus
modal sebesar 1 standar menyebabkan kurs terapresiasi sebesar 16 persen
dari bulan sebelumnya. Pengaruh ini masih efektif hingga bulan ke 10,
kemudian mulai menurun pada periode – periode setelahnya dan mulai
konvergen di bulan ke 24. Secara umum respon atas arus modal terhadap
kurs adalah positif.
Grafik pertama dari sebelah kiri bawah menggambarkan respon
ekspor neto atas shock yang terjadi pada nilai tukar rupiah sebesar 1
standar deviasi. Dari grafik di atas, ekspor neto merespon secara positif
adanya shock yang muncul dari kurs pada bulan ke 2. Ini sudah sesuai
dengan teori umum yang mengemukakan bahwa untuk kurs yang
terdepresiasi, harga barang dan jasa di negara tersebut secara relatif lebih
murah di negara lain, sehingga meningkatkan daya saing komoditas
ekspor, yang selanjutnya meningkatkan kinerja neraca perdagangan.
Dalam jangka 4 bulan, pengaruh shock nilai tukar berpengaruh positif
terhadap laju ekspor neto. Pengaruh tersebut perlahan menghilang dalam 8
bulan dan akan konvergen dalam waktu 12 - 24 bulan.
Output IRF yang terakhir menjelaskan tentang respon kurs
terhadap shock suku bunga BI sebesar 1 standar deviasi. Pada bulan
pertama kurs diprediksi masih belum menunjukkan respon atas kebijakan
moneter Bank Indonesia dalam bentuk perubahan tingkat suku bunga
sebagai stance atas kebijakan moneter. Dampak dari shock tersebut baru
86
efektif pada bulan ke 3 yang sebesar 69 persen dan menyentuh titik
tertingginya pada bulan ke 4 yaitu sebesar 70 persen. Shock kebijakan
moneter BI dalam hal ini adalah positif. Dalam proyeksi selama 24 bulan
ke depan, dalam 4 bulan setelah kurs merespon perubahan dalam laju
tingkat suku bunga BI perlahan pengaruh shocknya akan mulai
menghilang di sekitar bulan ke 6. Konvergensi nilai tukar akan terjadi
pada bulan ke 12.
Dampak kebijakan moneter berupa perubahan tingkat suku bunga
terhadap nilai tukar memang tidak sama antara satu negara dan negara
lain. Hakkio (1986) mengemukakan bahwa untuk kasus AS, efektivitas
kebijakan moneter The Fed dalam mengendalikan nilai tukar melalui
tingkat suku bunga mengalami perbedaan yang sangat kontras antara
dekade 70an dan 80an. Perubahan hubungan yang negatif antara tingkat
suku bunga dan nilai tukar pada dekade 70an yang menjadi positif pada
dekade 80an disebabkan karena adanya perubahan fundamental dalam
faktor yang menjadi underlying aspect pada tingkat suku bunga dan
pergerakan nilai tukar. Pada era 70an, faktor inflasi dan ekspektasi inflasi
ke depan menjadi penggerak utama atas laju tingkat suku bunga dan
kebijakan AS dalam mendevaluasi nilai tukarnya. Pada era 80an, justru
tingkat suku bunga lah yang menjadi determinan atas kuatnya korelasi
antara tingkat suku bunga dan nilai tukar.
87
Untuk kasus dalam penelitian ini, adanya hubungan yang positif
antara tingkat suku bunga dan nilai tukar dapat menjadi indikasi bahwa
nilai tukar yang terapresiasi merupakan refleksi atas kebijakan moneter
kontraktif yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Apresiasi nilai tukar
memang diketahui memiliki keterkaitan dengan arah kebijakan moneter,
jika BI meningkatkan suku bunga acuan, maka interest rate parity yang
lebih besar akan mendorong investor untuk berinvestasi di Indonesia, hal
ini dapat mendorong terapresiasinya rupiah.
Gambar 11. Output Forecast Error Variance Decompositions
FEVD menyajikan perkiraan tentang seberapa besar kontribusi
suatu variabel terhadap perubahan variabel itu sendiri dan variabel lainnya
pada beberapa periode mendatang, yang diukur dalam satuan persentase.
0
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
DBIRATE DCFLOW DEXNETTDKURS DRDIFF
Variance Decomposition of DEXNETT
88
Dengan demikian dapat diketahui variabel mana yang paling
mempengaruhi dan mana yang tidak.
Analisis FEVD dari variabel ekspor neto pada Tabel 9
menunjukkan bahwa perubahan ekspor neto diperkirakan akan didominasi
oleh inovasi ekspor neto itu sendiri. Selama 3 bulan pertama, komposisi
ekspor neto dalam mempengaruhi ekspor neto itu sendiri mencapai 93
persen lalu menurun hingga kisaran 89 persen seiring kebijakan moneter
mulai memberikan imbas melalui passthrough yang dilewatinya. Variabel
tercepat yang memberikan kontribusi atas inovasi ekspor neto adalah kurs,
dengan komposisi sebesar 2.5 persen pada 2 bulan pertama, kemudian
yang tercepat kedua adalah arus modal dengan komposisi sebesar 1.32
persen pada bulan ke 5.
Tabel 10. Output Forecast Error Variance Decomposition
Period S.E. DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF
1 0.001272 0.086835 0.054250 99.85892 0.000000 0.0000002 0.001420 0.113436 0.694416 96.58499 2.577101 0.0300533 0.001579 0.331480 0.703745 93.14397 3.869954 1.9508534 0.001731 0.326661 0.977102 91.05114 4.678789 2.9663075 0.001787 0.349431 1.327615 90.86842 4.565896 2.8886376 0.001819 0.398890 1.415807 90.26889 4.845983 3.0704317 0.001850 0.417835 1.442875 90.09744 4.910889 3.1309618 0.001865 0.454506 1.462082 90.04148 4.915217 3.1267179 0.001874 0.460096 1.495170 89.98393 4.927602 3.133203
10 0.001880 0.463772 1.499194 89.97829 4.925728 3.13301111 0.001885 0.467515 1.500726 89.96107 4.935084 3.13560812 0.001888 0.467542 1.508936 89.95261 4.934916 3.135998
Secara umum analisis FEVD tersebut memberikan gambaran
bahwa untuk 2 tahun ke depan ekspor neto akan dipengaruhi oleh inovasi
ekspor neto itu sendiri, sementara itu variabel lain memberikan kontribusi
89
yang kecil dan relatif stagnan. Variabel lain selain ekspor neto yang
diperkirakan berkontribusi paling besar selama 1 tahun ke depan adalah
kurs dengan rata – rata 4 hingga 5 persen per bulan, lalu diikuti paritas
suku bunga yang sebesar 3 persen per bulan. Variabel lain seperti BI Rate
dan arus modal diperkirakan berkontribusi pada kisaran yang lebih rendah
lagi, dengan rata – rata di bawah 4 persen per bulan. Hal ini menunjukkan
bahwa memang terdapat indikasi terjadinya passthrough yang tidak
sempurna, dalam artian bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter
memang memakan time lag yang relatif cepat namun signifikansinya
rendah pada nilai tukar, sehingga inovasi ekspor neto tidak bisa dijelaskan
dengan baik oleh nilai tukar pada periode penelitian ini.
B. Interpretasi dan Pembahasan
Setelah dilakukan serangkaian pengujian atas set variabel dengan
menggunakan data non stasioner yang ditransformasikan ke dalam bentuk
first difference serta pengujian arah hubungan variabel dan simulasi
dengan menggunakan innovation accounting, terdapat beberapa temuan
yang didapat terkait upaya menjawab permasalahan dalam penelitian ;
1. Hubungan antara tingkat suku bunga dan kurs
Setelah diperoleh model VAR dengan melakukan estimasi dengan
data first difference diperoleh hasil bahwa secara umum tingkat suku
bunga BI signifikan mempengaruhi nilai tukar. Uji kausalitas dengan
90
menggunakan level kritis 0.05% pun menunjukkan adanya hubungan yang
bersifat satu arah. Estimasi lebih lanjut dengan menggunakan IRF
menunjukkan bahwa nilai tukar baru akan merespon shock dari laju
tingkat suku bunga secara efektif pada lag ke 3. Ini berarti dalam 3 bulan
semenjak Bank Indonesia mengumumkan perubahan stance kebijakan
moneternya, kurs baru akan merespon secara positif perubahan tersebut.
Namun demikian, meski hanya memakan waktu yang relatif cepat , output
FEVD menunjukkan bahwa secara simultan, komposisi tingkat suku bunga
dalam menjelaskan variabilitas kurs hanya sebesar 6 persen dalam 3 bulan
pertama, lalu meningkat hingga ke kisaran 14 persen pada bulan-bulan
selanjutnya dan hal ini bersifat permanen untuk seluruh periode ke depan.
Secara ekonomi, hasil tersebut menandakan bahwa suku bunga
berhubungan positif signifikan dengan besaran sekitar 14 persen terhadap
nilai tukar (lihat lampiran). Besarnya komposisi nilai tukar itu terhadap
variabilitas nilai tukar itu sendiri menandakan bahwa pada periode
penelitian mungkin saja terdapat variabel yang lebih dapat menjelaskan
variabilitas nilai tukar yang tidak dimasukkan ke dalam model. Kendati
demikan, ini menunjukkan bahwa pada periode penelitian tingkat suku
bunga memiliki efektivitas yang relative besar dalam mentransmisikan
pengaruhnya terhadap nilai tukar disbanding variable lainnya.
91
2. Hubungan antara paritas suku bunga dan capital flow
Berdasarkan model VAR yang diperoleh, dapat diketahui bahwa
secara empiris paritas suku bunga tidak signifikan mempengaruhi arus
modal pada lag berapapun. Hal ini diperkuat oleh output uji kausalitas
granger yang tidak menunjukkan adanya hubungan saling mempengaruhi
maupun 1 arah. Namun dengan asumsi bahwa informasi yang terdapat
dalam data tidak berubah atau ceteris paribus maka akan ada potensi
terjadinya capital inflow dalam 2 hingga 5 bulan ke depan setelah terjadi
perubahan pada suku bunga dalam dan luar negeri maka akan terjadi
capital inflow sebesar 4 hingga 5 persen. Kondisi tersebut hanya terjadi
dalam jangka pendek, selanjutnya arus modal akan mulai bergerak
konvergen pada lag ke7 dan seterusnya.
Output FEVD juga menunjukkan kesimpulan yang serupa,
komposisi peritas suku bunga terhadap capital flow hanya mampu
mencapai kisaran 8 persen pada hampir seluruh lag. Ini berarti informasi
yang terdapat pada paritas suku bunga tidak mampu menjelaskan
variabilitas capital flow pada periode penelitian. Secara umum, asumsi
bahwa arus modal memiliki peran intermediary dalam jalur transmisi
kebijakan moneter melalui saluran nilai tukar tidak terbukti pada periode
penelitian.
92
3. Hubungan antara capital flow dan kurs
Persamaan untuk nilai tukar yang diperoleh melalui estimasi model
empiris VAR menunjukkan bahwa variabel capital flow tidak berpengaruh
signifikan terhadap kurs di seluruh lag yang digunakan (lag 3). Uji
kausalitas Granger juga menunjukkan hasil yang serupa. Dengan
menggunakan lag 3 dan 0.05% sebagai nilai kritis signifikansi, capital
flow dan kurs sama sama menerima hipotesis nol untuk hubungan
kausalitas 1 arah maupun 2 arah.
Meskipun model empiris menunjukkan hasil yang tidak signifikan,
peramalan sebanyak 24 periode ke depan dengan menggunakan IRF
menunjukkan bahwa capital flow diprediksi dapat mempengaruhi kurs
pada lag ke 2. Adanya capital inflow sebesar 1 standar deviasi dapat
menyebabkan kurs terapresiasi sebesar 5 persen pada bulan ke 2. shock
tersebut diperkirakan akan permanen dalam 12 bulan pertama, lalu pada
periode-periode selanjutnya pengaruh shock tersebut mulai menghilang,
sehingga kurs bergerak konvergen mencapai titik keseimbangannya
setelah periode ke 24. Analisis dengan menggunakan FEVD menunjukkan
bahwa variabilitas kurs hanya dapat dijelaskan oleh capital flow maksimal
sebesar 4.5 persen. Secara garis besar, capital flow memang berpengaruh
terhadap kurs, namun besarannya diprediksi sangatlah kecil. Dalam
konteks kebijakan moneter, mengingat tidak signifikan dan rendahnya
nilai prediktif atas capital flow terhadap variabel lain maka penggunaan
93
capital flow sebagai asumsi dalam jalur lintasan kebijakan menjadi tidak
disarankan.
4. Hubungan antara kurs dan ekspor neto
Hubungan kurs dan ekspor neto pada periode penelitian ini adalah
signifikan dan relatif cepat. Hal tersebut dibuktikan oleh output persamaan
VAR yang didapat menunjukkan bahwa variabel kurs signifikan positif
terhadap ekspor neto dalam lag 1, selain itu hasil analisis lebih lanjut
dengan menggunakan IRF menunjukkan bahwa pada lag ke 2, deviasi kurs
sebesar 1 standar akan menyebabkan ekspor neto merespon positif pad lag
2 dan negatif pada lag 3 dan 5.
Selama 3 bulan shock atas nilai tukar akan menyebabkan ekspor
neto berfluktuatif, kemudian dampak tersebut mulai menghilang dan
ekspor neto bergerak konvergen setelah periode ke 12 (lihat lampiran).
Hasil analisis dengan menggunakan FEVD menunjukkan bahwa variabel
kurs merupakan komponen terbesar kedua setelah ekspor neto itu sendiri
dalam kemampuannya memprediksi pergerakan ekspor neto. Dalam
jangka pendek, kurs hanya mampu menjelaskan sebanyak 2 persen atas
variabilitas ekspor neto, namun tentu saja besaran ini meningkat seiring
berjalannya waktu hingga stagnan di kisaran 5 persen pada periode ke 24.
Secara umum, dalam jangka pendek kurs menujukkan hubungan negatif
yang kurang kuat terhadap ekspor neto, hal ini diindikasikan oleh besarnya
volatilitas ekspor neto terhadap shock kurs pada 2 hingga 4 bulan pertama.
94
Namun dalam jangka menengah, respon tersebut mulai bergerak ke daerah
negatif dan perlahan konvergen di sekitar periode ke 24.
Meskipun temuan ini konsisten dengan teori, hal ini masih
menyisakan pertanyaan penting terkait apa persisnya yang menyebabkan
kontribusi nilai tukar terhadap ekspor neto sangat rendah (di bawah 5
persen). Rendahnya kontribusi nilai tukar dalam menjelaskan ekspor neto
bisa jadi disebabkan adanya variabel prediktif lain yang tidak dimasukkan
ke dalam model pada periode penelitian.
Beberapa hal yang dapat menjelaskan bagaimana laju nilai tukar
nominal tidak memiliki keterkaitan erat dengan neraca perdagangan
antara lain sebagai berikut :
a) Dalam kasus dimana komoditas yang di ekspor merupakan komoditas
yang ada substitusi sempurnanya di pasar dunia, maka kebijakan nilai
tukar tidak akan mampu memperbaiki neraca perdagangan. Hal
tersebut dapat terjadi dengan asumsi bahwa permintaan atas
komoditas ekspor tersebut bersifat elastis.
b) Masih tingginya permintaan masyarakat atas komoditas impor juga
dapat menjadi faktor yang menjelaskan minimnya pengaruh nilai tukar
terhadap kinerja ekspor neto. Pada situasi seperti ini, perubahan nilai
tukar tidak dapat merubah permintaan pasar atas komoditas impor
disebabkan sifatnya yang sudah inelastis.
95
c) Lesunya perekonomian dunia pada periode penelitian menyebabkan
turunnya permintaan komoditas ekspor Indonesia. Hal ini
menyebabkan merosotnya kinerja ekspor. Yang seharusnya terjadi
adalah saat rupiah terdepresiasi, ekspor mestinya mengalami kenaikan.
Tetapi karena terjadi penurunan pada permintaan barang komoditas,
maka pengaruhnya pada neraca perdagangan justru buruk dan hal ini
mendorong semakin lemahnya nilai rupiah. Jika dikaitkan dengan
keadaan perekonomian Indonesia, struktur ekspor Indonesia sebelum
tahun 2013 masih didominasi oleh bahan baku, akibatnya pada saat
negara tujuan ekspor Indonesia mengalami guncangan akibat krisis,
permintaan atas ekspor bahan baku ke negara tersebut menurun
dikarenakan lesunya aktivitas produksi. Ini terjadi pada saat Tiongkok
terkena dampak dari krisis global 2008 silam.
Kebijakan moneter yang dilalui nilai tukar belum tentu mampu
memperbaiki neraca perdagangan atau ekspor neto. Neraca perdagangan
akan meningkat saat nilai tukar terdepresiasi bila persyaratan kondisi
Marshall – Lerner yang terpenuhi, yaitu apabila jumlah elastisitas ekspor
dan elastisitas impor terhadap nilai tukar riil lebih besar dari 1 (Siswanto
dalam Hausman, 2005). Depresiasi nilai tukar itu sendiri pada dasarnya
akan mempengaruhi neraca perdagangan melalui dua cara yaitu melalui
perubahan volume dan perubahan nilai. Kondisi Marshall – Lerner
menyatakan bahwa perubahan volume akan mendominasi perubahan nilai,
sehingga meskipun nilai impor akan meningkat dan nilai ekspor akan
96
menurun namun peningkatan volume ekspor dan penurunan volume impor
akan lebih dominan sehingga secara total neraca perdagangan akan
membaik. Namun demikian, ada kecenderungan bahwa elastisitas akan
lebih rendah dalam jangka pendek sehingga kondisi Marshall – Lerner
kemungkinan hanya dapat terpenuhi pada jangka menengah dan jangka
panjang, fenomena ini dikenal sebagai J-Curve.
Temuan penelitian ini sekaligus menekankan bahwa perubahan
pada kinerja neraca perdagangan yang diproksikan melalui ekspor neto
tidak hanya dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar riil saja, melainkan
dapat juga dipengaruhi oleh struktur dan industri komoditas berbasis
ekspor itu sendiri juga diyakini memegang pengaruh yang dominan
terhadap daya saing ekspor Indonesia. Jika dilihat dari sisi impor,
tingginya ketergantungan Indonesia terhadap komoditas Impor juga dinilai
masih tinggi, khususnya untuk segmen keperluan bahan baku industri.
Secara keseluruhan, transmisi kebijakan moneter dengan
menggunakan jalur nilai tukar mampu mentransmisikan dampak kebijakan
tersebut hingga memengaruhi nilai tukar, hanya saja pengaruh tersebut
sangat kecil jika dilihat dari komposisi variannya, hal ini ditunjukkan
dengan nilai variance decomposition nilai tukar yang hanya sebesar 3 – 4
persen. Pemerintah khususnya otoritas moneter perlu mencermati sasaran
antara yang lain untuk digunakan dalam skema transmisi kebijakan
97
moneter melalui nilai tukar dalam mengantisipasi dampak gejolak
perekonomian global terhadap neraca perdagangan.
Beberapa argumen yang mendukung hal tersebut adalah temuan
bahwa exchange rate passthrough yang terjadi pada periode penelitian
memiliki efektivitas yang rendah. Hal ini ditandai oleh relatif cepatnya
transmisi kebijakan, namun jika dilihat dari komposisi variannya sangat
rendah dalam menjelaskan inovasi pada tiap variabel dalam model. Selain
itu terjadi rantai kebijakan yang putus disebabkan tidak signifikannya arus
modal dalam mentransmisikan pengaruh kebijakan.
98
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
Secara parsial penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme
transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar terhadap sasaran
ekspor neto tidak tertransmisikan dengan baik pada variabel-variabel yang
disebutkan dalam teori. Output uji kausalitas Granger menunjukkan bukti
yang mendukung hipotesis tersebut. Dari 4 variabel yang dihipotesiskan
memiliki keterkaitan secara bertahap terhadap ekspor neto, justru variabel
ekspor neto lah yang memiliki hubungan satu arah terhadap suku bunga.
Hasil analisis prediktif dengan menggunakan IRF menunjukkan
bahwa untuk beberapa periode ke depan, transmisi kebijakan moneter
melalui jalur nilai tukar berjalan dengan relatif cepat,dengan rentang 4
hingga 5 bulan hingga mempengaruhi neraca perdagangan, namun
demikian pengaruhnya sangatlah kecil jika dilihat melalui output FEVD.
Suku bunga memiliki rank tertinggi sebagai variabel yang berkontribusi
terhadap variabilitas ekspor neto.
Hasil yang inkonsisten dengan teori ini meninggalkan pertanyaan
penting terkait apa yang menyebabkan mekanisme transmisi kebijakan
moneter dapat berlangsung relatif cepat namun tidak berdampak terhadap
neraca perdagangan. Peneliti menduga bahwa pada periode penelitian,
belum mampunya kebijakan moneter yang dilalui nilai tukar dalam
memperbaiki neraca perdagangan disebabkan oleh tidak terpenuhinya
99
asumsi Marshall-Lerner, yaitu kondisi di mana jumlah elastisitas ekspor
dan elastisitas impor terhadap nilai tukar riil lebih besar dari satu. Secara
sederhana, kondisi Marshall-Lerner menyiratkan bahwa kebijakan moneter
melalui nilai tukar dapat memperbaiki neraca perdagangan dengan asumsi
dasar bahwa struktur ekspor dan impor Negara tersebut sensitif terhadap
perubahan kurs. Dalam kasus Indonesia, sebagaimana Negara lain pada
umumnya – kondisi ekspor dan impor yang inelastis terhadap perubahan
kurs bisa jadi disebabkan karena struktur neraca perdagangan yang
dikuasai sebagian besar oleh kontrak jangka panjang, ataupun kontrak
perdagangan terhadap Negara yang menganut rezim tukar tetap. Kondisi
kedua serupa dengan yang ditemukan oleh penelitian Gagnon pada tahun
2003 untuk kasus Amerika Serikat. Meskipun demikian, hal ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dugaan lain yang mendukung hasil penelitian ini adalah bahwa
komoditas ekspor Indonesia masih didominasi oleh penggunaan bahan
baku impor, sebab keuntungan ekonomis ekspor yang diperoleh melalui
perubahan nilai tukar justru segera tertutup oleh beban impor bahan baku.
Kondisi ini bukannya menambah insentif untuk para eksportir, justru
menjadi sebaliknya jika beban impor bahan baku yang didapat lebih besar
daripada keuntungan ekonomis dari perubahan nilai tukar.
100
B. Implikasi
Upaya untuk memperbaiki neraca perdagangan melalui kebijakan
moneter dengan saluran nilai tukar perlu dilakukan tinjauan akademis
lebih lanjut. Hasil yang menunjukkan besaran yang sangat kecil ( 3 hingga
4 persen) mengindikasikan bahwa terdapat variabel ekonomi lain yang
jauh lebih berperan dalam memperbaiki neraca perdagangan. Pemerintah
perlu melakukan koordinasi antara Bank Indonesia sebagai pemegang
otoritas moneter nasional dengan pemangku kebijakan lain dalam upaya
mencapai tujuan perekonomian nasional yang berkelanjutan dan non-
kontraproduktif.
DAFTAR ISI
Ascarya. 2012. Alur Transmisi dan Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di
Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta
Gujarati. 2004. Basic Econometrics, Fourth Edition. New York City. The McGraw-
Hill Companies.
Luetkepohl, Helmut. 2011. Vector Autoregressive Models. European University
Institute. San Domenico di Fiesole. Italy
Luetkepohl, Helmut. 2007. Econometric Analysis with Vector Autoregressive Models.
European University Institute. San Domenico di Fiesole. Italy
Husman, Jardine A. 2005. Pengaruh Nilai Tukar Riil terhadap Neraca Perdagangan
Bilateral Indonesia : Kondisi Marshall-Lerner dan Fenomena J-Curve.
Rusydiana, A.S. 2009. Hubungan Antara Perdagangan Internasional, Pertumbuhan
Ekonomi dan Perkembangan Industri Keuangan Syariah di Indonesia.
Bogor. LPPM Tazkia.
Dison M.H. Batubara dan I.A. Nyoman Saskara. 2015. Analisis Hubungan Ekspor,
Impor, PDB, dan Utang Luar Negeri Indonesia Periode 1970 – 2013. Jurnal
Ekonomi Kuantitatif Terapan Vol. 8 No. 1. Universitas Udayana.
Elod Takats dan Judit Temesvary. 2007. The Currency Dimension of the Bank
Lending Channel in International Monetary Transmission. Finance and
Economics Discussion Series. Washington, D.C. Federal Reserve Board.
Mario Marazzi, dkk. 2005. Exchange Rate Pass-through to U.S. Import Prices: Some
New Evidence. International Finance Discussion Papers. Federal Reserve
Board.
Enny Sri Hartati. 2004. Analisis Dampak Pergerakan Nilai Tukar Terhadap Inflasi di
Indonesia : Pendekatan Exchange Rate Pass Through (Tesis). Bogor.
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Mishkin, Frederic S. 1996. The Channels of Monetary Transmission: Lessons for
Monetary Policy. Cambridge. National Bureau of Economic Research.
Boivin, dkk. 2010. How Has the Monetary Transmission Mechanism Evolved Over
Time?. Finance and Economics Discussion Series. Washington, D.C.
Federal Reserve Board.
Jaime Marquez dan John W. Schindler. 2006. Exchange-Rate Effects on China’s
Trade: An interim Report. International Finance Discussion Papers.
Washington, D.C. Federal Reserve Board.
Dhany, dkk. 2012. Dampak Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Terhadap Ekspor
Indonesia. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Erwin Hardianto. 2005. Mekanisme Transmisi Syariah di Indonesia. Surabaya.
Universitas Airlangga.
Ari Mulianta Ginting. 2013. Pengaruh Nilai Tukar erhadap Ekspor Indonesia. Buletin
Ilmiah Litbang Perdagangan. Jakarta. P3DI Bidang Ekonomi dan Kebijakan
Publik.
Natsir. 2007. Peranan Jalur Suku Bunga dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan
Moneter di Indonesia. Kendari. Universitas Halu Oleo.
Natsir. 2008. Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
di Indonesia melalui Jalur Nilai Tukar Periode 1990:2 – 2007:1. Kendari.
Universitas Halu Oleo.
Sugianto, dkk. 2015. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia melalui
Sistem Moneter Syariah. Human Falah: Volume 2. No. 1.
Joseph E. Gagnon dan Jane Ihrig. 2004. Monetary policy and Exchange-Rate Pass-
through. Division of International Finance. Federal Reserve Board.
Fizari, Fadli, dkk. 2011. A Vector Error Correction Model (VECM) Approach in
Explaining the Relationship Between Interest Rate and Inflation Towards
Exchange Rate Volatility in Malaysia.World Applied Sciences Journal 12.
IDOSI Publications.
Mankiw, N. Gregory. 2009. Macroeconomics : Seventh Edition. New York. Worth
Publishers.
Rayati Togatorop dan Wahyu Ario Pratomo. 2012. Analisis Perbandingan Peranan
Jalur Suku Bunga dan Jalur Nilai Tukar pada Mekanisme Transmisi
Kebijakan Moneter di ASEAN : Studi Komparatif (Indonesia, Malaysia,
Singapura). Jurnal Ekonomi dan Keuangan Vol.2 No.4
Antonio, Muhammad Syafii, dkk. 2013. The Islamic Capital Market Volatility : A
Comparative Study Between Indonesia and Malaysia. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan.
Ingrit Magdalena dan Wahyu Ario Pratomo. 2014. Analisis Efektivitas Transmisi
Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Vol.
2 No. 11
Iulian Ihnatov dan Bogdan Capraru. 2014. The Trilemma Policies and
Macroeconomic Volatility in Central and Eastern Europe. Romania.
Elsevier.
Dimitrios Serenis dan Nicholas Tsounis. 2013. Exchange Rate Volatility and Foreign
Trade : The Case for Cyprus and Croatia. Romania. Elsevier.
Dimitrios Serenis dan Nicholas Tsounis. 2013. A New Approach for Measuring
Volatility of The Exchange Rate. Romania. Elsevier.
Giovanni Dell dan Donald Mathieson. 1998. Exchange Rate Fluctuatuons and Trade
Flows : Evidence from the European Union. Working Paper of the
International Monetary Fund. IMF Working Paper.
Clark, Peter dkk. 2004. Exchange rate Volatility and Trade Flows – Some New
Evidence. International Monetary Fund.
Hakkio, S.Craig. 1986. Interest Rates and Exchange Rates – What is the
Relationship?. Economic Review. Federal Reserve Bank of Kansas City.
Ricardo J. C dan Vittorio Corbo. 1989. The Effect of Real Exchange Rate Uncertainty
on Exports : Empirical Evidence. The World Bank Economic Review Vol.
3, No. 2. The World Bank.
105
Lampiran 1. Data Penelitian (Asli)
Periode BIRATE CFLOW KURS RDIFF EXNETT2007M01 0.095 317 9567 0.0425 19102007M02 0.0925 324 9568 0.0399 21132007M03 0.09 331 9664 0.0374 19472007M04 0.09 337 9598 0.0375 21792007M05 0.0875 343 9344 0.0350 18142007M06 0.085 348 9484 0.0325 21732007M07 0.0825 353 9567 0.0299 21012007M08 0.0825 357 9867 0.0323 16972007M09 0.0825 361 9810 0.0331 16162007M10 0.0825 364 9607 0.0349 26902007M11 0.0825 367 9764 0.0376 13202007M12 0.08 369 9834 0.0376 33542008M01 0.08 295 9906 0.0406 19802008M02 0.08 300 9681 0.0502 11702008M03 0.08 307 9685 0.0539 19102008M04 0.08 316 9709 0.0572 -3862008M05 0.0825 328 9791 0.0627 17772008M06 0.085 343 9796 0.065 11182008M07 0.0875 360 9663 0.0674 432008M08 0.09 380 9649 0.0700 7372008M09 0.0925 403 9841 0.0744 20192008M10 0.095 428 10548 0.0853 592008M11 0.095 456 12211 0.0911 8662008M12 0.0925 487 11825 0.0909 8632009M01 0.0875 632 11581 0.0859 8682009M02 0.0825 663 12353 0.0803 22312009M03 0.0775 692 12350 0.0757 24262009M04 0.075 719 11525 0.0735 21072009M05 0.0725 744 10893 0.0707 26902009M06 0.0700 767 10707 0.0679 21642009M07 0.0675 788 10611 0.0659 14202009M08 0.065 806 10478 0.0634 25062009M09 0.065 823 10401 0.0635 30282009M10 0.065 837 9983 0.0638 28162009M11 0.065 850 9970 0.0638 23702009M12 0.065 860 9958 0.0638 46642010M01 0.065 837 9775 0.0639 13722010M02 0.065 844 9848 0.0637 22642010M03 0.065 851 9674 0.0634 23902010M04 0.065 857 9527 0.063 14732010M05 0.065 862 9683 0.063 25142010M06 0.065 866 9648 0.0632 17012010M07 0.065 870 9549 0.0632 1021
106
2010M08 0.065 872 9472 0.0631 18492010M09 0.065 874 9474 0.0631 34502010M10 0.065 875 9428 0.0631 26072010M11 0.065 876 9438 0.0631 24922010M12 0.065 875 9523 0.0632 25932011M01 0.065 782 9537 0.0633 22852011M02 0.0675 784 9413 0.0659 20112011M03 0.0675 789 9261 0.0661 21412011M04 0.0675 797 9151 0.0665 16122011M05 0.0675 808 9056 0.0666 29802011M06 0.0675 822 9064 0.0666 20152011M07 0.0675 839 9033 0.0668 10702011M08 0.0675 860 9032 0.0665 38842011M09 0.0675 883 9266 0.0667 20362011M10 0.065 910 9395 0.0643 15622011M11 0.06 939 9515 0.0592 11062011M12 0.06 972 9588 0.0593 11022012M01 0.06 999 9609 0.0592 5252012M02 0.0575 1038 9526 0.0565 -1092012M03 0.0575 1081 9665 0.0562 7532012M04 0.0575 1127 9676 0.0561 -6112012M05 0.0575 1176 9790 0.0559 -5272012M06 0.0575 1229 9951 0.0559 -8352012M07 0.0575 1286 9957 0.0559 -2672012M08 0.0575 1346 10000 0.0562 422012M09 0.0575 1409 10066 0.0561 7572012M10 0.0575 1476 10097 0.0559 -19302012M11 0.0575 1547 10128 0.0559 -6182012M12 0.0575 1621 10146 0.0559 -1882013M01 0.0575 1954 10187 0.0561 -752013M02 0.0575 2024 10187 0.056 -2982013M03 0.0575 2087 10209 0.0561 1382013M04 0.0575 2142 10224 0.056 -17032013M05 0.0575 2190 10261 0.0564 -5872013M06 0.06 2231 10382 0.0591 -8952013M07 0.065 2265 10573 0.0641 -23092013M08 0.065 2291 11073 0.0641 1492013M09 0.0700 2310 11846 0.0692 -6572013M10 0.0725 2322 11867 0.0716 422013M11 0.0725 2326 12113 0.0717 7762013M12 0.075 2323 12587 0.0741 15122014M01 0.075 2087 12680 0.0743 -4442014M02 0.075 2079 12435 0.0743 8432014M03 0.075 2073 11927 0.0742 6692014M04 0.075 2069 11936 0.0741 -19632014M05 0.075 2068 12026 0.0741 55
107
2014M06 0.075 2069 12393 0.074 -2822014M07 0.075 2072 12189 0.0741 972014M08 0.075 2078 12207 0.0741 -3182014M09 0.075 2085 12391 0.0741 -2702014M10 0.075 2095 12645 0.0741 232014M11 0.075 2107 12658 0.0741 -4262014M12 0.075 2121 12938 0.0738 1782015M01 0.0775 1797 13079 0.0764 7442015M02 0.0775 1830 13250 0.0764 6632015M03 0.0775 1879 13567 0.0764 10262015M04 0.075 1945 13448 0.0738 4782015M05 0.075 2027 13641 0.0738 11412015M06 0.075 2126 13813 0.0737 5362015M07 0.075 2242 13875 0.0737 13842015M08 0.075 2374 14282 0.0736 3272015M09 0.075 2522 14896 0.0736 10302015M10 0.075 2687 14296 0.0738 10132015M11 0.075 2869 14173 0.0738 -3972015M12 0.075 3067 14355 0.0726 -160
Lampiran 2. Data Penelitian (first difference)
Periode DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF2007M01 NA NA NA NA NA2007M02 -0.002500 7.000000 203.0000 1.000000 -0.0026002007M03 -0.002500 7.000000 -166.0000 96.00000 -0.0025002007M04 0.000000 6.000000 232.0000 -66.00000 0.0001002007M05 -0.002500 6.000000 -365.0000 -254.0000 -0.0025002007M06 -0.002500 5.000000 359.0000 140.0000 -0.0025002007M07 -0.002500 5.000000 -72.00000 83.00000 -0.0026002007M08 0.000000 4.000000 -404.0000 300.0000 0.0024002007M09 0.000000 4.000000 -81.00000 -57.00000 0.0008002007M10 0.000000 3.000000 1074.000 -203.0000 0.0018002007M11 0.000000 3.000000 -1370.000 157.0000 0.0027002007M12 -0.002500 2.000000 2034.000 70.00000 0.0000002008M01 0.000000 -74.00000 -1374.000 72.00000 0.0030002008M02 0.000000 5.000000 -810.0000 -225.0000 0.0096002008M03 0.000000 7.000000 740.0000 4.000000 0.0037002008M04 0.000000 9.000000 -2296.000 24.00000 0.0033002008M05 0.002500 12.00000 2163.000 82.00000 0.0055002008M06 0.002500 15.00000 -659.0000 5.000000 0.0023002008M07 0.002500 17.00000 -1075.000 -133.0000 0.0024002008M08 0.002500 20.00000 694.0000 -14.00000 0.0026002008M09 0.002500 23.00000 1282.000 192.0000 0.004400
108
2008M10 0.002500 25.00000 -1960.000 707.0000 0.0109002008M11 0.000000 28.00000 807.0000 1663.000 0.0058002008M12 -0.002500 31.00000 -3.000000 -386.0000 -0.0002002009M01 -0.005000 145.0000 5.000000 -244.0000 -0.0049002009M02 -0.005000 31.00000 1363.000 772.0000 -0.0057002009M03 -0.005000 29.00000 195.0000 -3.000000 -0.0046002009M04 -0.002500 27.00000 -319.0000 -825.0000 -0.0022002009M05 -0.002500 25.00000 583.0000 -632.0000 -0.0028002009M06 -0.002500 23.00000 -526.0000 -186.0000 -0.0028002009M07 -0.002500 21.00000 -744.0000 -96.00000 -0.0020002009M08 -0.002500 18.00000 1086.000 -133.0000 -0.0025002009M09 0.000000 17.00000 522.0000 -77.00000 0.0001002009M10 0.000000 14.00000 -212.0000 -418.0000 0.0003002009M11 0.000000 13.00000 -446.0000 -13.00000 0.0000002009M12 0.000000 10.00000 2294.000 -12.00000 0.0000002010M01 0.000000 -23.00000 -3292.000 -183.0000 0.0001002010M02 0.000000 7.000000 892.0000 73.00000 -0.0002002010M03 0.000000 7.000000 126.0000 -174.0000 -0.0003002010M04 0.000000 6.000000 -917.0000 -147.0000 -0.0004002010M05 0.000000 5.000000 1041.000 156.0000 0.0000002010M06 0.000000 4.000000 -813.0000 -35.00000 0.0002002010M07 0.000000 4.000000 -680.0000 -99.00000 0.0000002010M08 0.000000 2.000000 828.0000 -77.00000 -0.0001002010M09 0.000000 2.000000 1601.000 2.000000 0.0000002010M10 0.000000 1.000000 -843.0000 -46.00000 0.0000002010M11 0.000000 1.000000 -115.0000 10.00000 0.0000002010M12 0.000000 -1.000000 101.0000 85.00000 0.0001002011M01 0.000000 -93.00000 -308.0000 14.00000 0.0001002011M02 0.002500 2.000000 -274.0000 -124.0000 0.0026002011M03 0.000000 5.000000 130.0000 -152.0000 0.0002002011M04 0.000000 8.000000 -529.0000 -110.0000 0.0004002011M05 0.000000 11.00000 1368.000 -95.00000 0.0001002011M06 0.000000 14.00000 -965.0000 8.000000 0.0000002011M07 0.000000 17.00000 -945.0000 -31.00000 0.0002002011M08 0.000000 21.00000 2814.000 -1.000000 -0.0003002011M09 0.000000 23.00000 -1848.000 234.0000 0.0002002011M10 -0.002500 27.00000 -474.0000 129.0000 -0.0024002011M11 -0.005000 29.00000 -456.0000 120.0000 -0.0051002011M12 0.000000 33.00000 -4.000000 73.00000 0.0001002012M01 0.000000 27.00000 -577.0000 21.00000 -0.0001002012M02 -0.002500 39.00000 -634.0000 -83.00000 -0.0027002012M03 0.000000 43.00000 862.0000 139.0000 -0.0003002012M04 0.000000 46.00000 -1364.000 11.00000 -0.0001002012M05 0.000000 49.00000 84.00000 114.0000 -0.0002002012M06 0.000000 53.00000 -308.0000 161.0000 0.0000002012M07 0.000000 57.00000 568.0000 6.000000 0.000000
109
2012M08 0.000000 60.00000 309.0000 43.00000 0.0003002012M09 0.000000 63.00000 715.0000 66.00000 -0.0001002012M10 0.000000 67.00000 -2687.000 31.00000 -0.0002002012M11 0.000000 71.00000 1312.000 31.00000 0.0000002012M12 0.000000 74.00000 430.0000 18.00000 0.0000002013M01 0.000000 333.0000 113.0000 41.00000 0.0002002013M02 0.000000 70.00000 -223.0000 0.000000 -0.0001002013M03 0.000000 63.00000 436.0000 22.00000 0.0001002013M04 0.000000 55.00000 -1841.000 15.00000 -0.0001002013M05 0.000000 48.00000 1116.000 37.00000 0.0004002013M06 0.002500 41.00000 -308.0000 121.0000 0.0027002013M07 0.005000 34.00000 -1414.000 191.0000 0.0050002013M08 0.000000 26.00000 2458.000 500.0000 0.0001002013M09 0.005000 19.00000 -806.0000 773.0000 0.0050002013M10 0.002500 12.00000 699.0000 21.00000 0.0024002013M11 0.000000 4.000000 734.0000 246.0000 0.0001002013M12 0.002500 -3.000000 736.0000 474.0000 0.0024002014M01 0.000000 -236.0000 -1956.000 93.00000 0.0002002014M02 0.000000 -8.000000 1287.000 -245.0000 0.0000002014M03 0.000000 -6.000000 -174.0000 -508.0000 -0.0001002014M04 0.000000 -4.000000 -2632.000 9.000000 -0.0001002014M05 0.000000 -1.000000 2018.000 90.00000 0.0000002014M06 0.000000 1.000000 -337.0000 367.0000 -0.0001002014M07 0.000000 3.000000 379.0000 -204.0000 0.0001002014M08 0.000000 6.000000 -415.0000 18.00000 0.0000002014M09 0.000000 7.000000 48.00000 184.0000 0.0000002014M10 0.000000 10.00000 293.0000 254.0000 0.0000002014M11 0.000000 12.00000 -449.0000 13.00000 0.0000002014M12 0.000000 14.00000 604.0000 280.0000 -0.0003002015M01 0.002500 -324.0000 566.0000 141.0000 0.0026002015M02 0.000000 33.00000 -81.00000 171.0000 0.0000002015M03 0.000000 49.00000 363.0000 317.0000 0.0000002015M04 -0.002500 66.00000 -548.0000 -119.0000 -0.0026002015M05 0.000000 82.00000 663.0000 193.0000 0.0000002015M06 0.000000 99.00000 -605.0000 172.0000 -0.0001002015M07 0.000000 116.0000 848.0000 62.00000 0.0000002015M08 0.000000 132.0000 -1057.000 407.0000 -0.0001002015M09 0.000000 148.0000 703.0000 614.0000 0.0000002015M10 0.000000 165.0000 -17.00000 -600.0000 0.0002002015M11 0.000000 182.0000 -1410.000 -123.0000 0.0000002015M12 0.000000 198.0000 237.0000 182.0000 -0.001200
110
Lampiran 3. Uji Akar Unit pada Data Level
1. BI Rate
Null Hypothesis: BIRATE has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.839009 0.6787Test critical values: 1% level -4.046925
5% level -3.45276410% level -3.151911
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(BIRATE)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:18Sample (adjusted): 2007M03 2015M12Included observations: 106 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
BIRATE(-1) -0.025951 0.014111 -1.839009 0.0688D(BIRATE(-1)) 0.581470 0.079349 7.327963 0.0000
C 0.001734 0.001152 1.505223 0.1354@TREND(2007M01) 1.30E-06 4.83E-06 0.269047 0.7884
R-squared 0.389758 Mean dependent var -0.000165Adjusted R-squared 0.371810 S.D. dependent var 0.001700S.E. of regression 0.001347 Akaike info criterion -10.34458Sum squared resid 0.000185 Schwarz criterion -10.24407Log likelihood 552.2626 Hannan-Quinn criter. -10.30384F-statistic 21.71559 Durbin-Watson stat 2.218982Prob(F-statistic) 0.000000
2. Interest Rate Differential
Null Hypothesis: RDIFF has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.611977 0.2760
111
Test critical values: 1% level -4.0469255% level -3.452764
10% level -3.151911
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(RDIFF)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:20Sample (adjusted): 2007M03 2015M12Included observations: 106 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
RDIFF(-1) -0.043773 0.016759 -2.611977 0.0104D(RDIFF(-1)) 0.627765 0.075479 8.317055 0.0000
C 0.002629 0.000942 2.790809 0.0063@TREND(2007M01) 4.86E-06 6.94E-06 0.699919 0.4856
R-squared 0.421077 Mean dependent var 0.000308Adjusted R-squared 0.404049 S.D. dependent var 0.002425S.E. of regression 0.001872 Akaike info criterion -9.686244Sum squared resid 0.000358 Schwarz criterion -9.585737Log likelihood 517.3709 Hannan-Quinn criter. -9.645508F-statistic 24.72971 Durbin-Watson stat 2.094123Prob(F-statistic) 0.000000
3. Capital Flow
Null Hypothesis: CFLOW has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.763809 0.7153Test critical values: 1% level -4.047795
5% level -3.45317910% level -3.152153
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(CFLOW)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:22Sample (adjusted): 2007M04 2015M12Included observations: 105 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
112
CFLOW(-1) -0.042839 0.024288 -1.763809 0.0808D(CFLOW(-1)) 0.332281 0.097320 3.414332 0.0009D(CFLOW(-2)) 0.277433 0.100785 2.752720 0.0070
C -3.571573 12.06844 -0.295943 0.7679@TREND(2007M01) 1.233551 0.571794 2.157335 0.0334
R-squared 0.263670 Mean dependent var 26.05714Adjusted R-squared 0.234217 S.D. dependent var 68.13587S.E. of regression 59.62504 Akaike info criterion 11.06048Sum squared resid 355514.5 Schwarz criterion 11.18686Log likelihood -575.6750 Hannan-Quinn criter. 11.11169F-statistic 8.952179 Durbin-Watson stat 2.077076Prob(F-statistic) 0.000003
4. Kurs
Null Hypothesis: KURS has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 3 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.475646 0.8318Test critical values: 1% level -4.048682
5% level -3.45360110% level -3.152400
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(KURS)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:22Sample (adjusted): 2007M05 2015M12Included observations: 104 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
KURS(-1) -0.038224 0.025903 -1.475646 0.1432D(KURS(-1)) 0.328764 0.098951 3.322486 0.0013D(KURS(-2)) -0.245032 0.099615 -2.459789 0.0157D(KURS(-3)) 0.265028 0.103542 2.559623 0.0120
C 325.5960 239.3290 1.360454 0.1768@TREND(2007M01) 2.055257 1.214225 1.692649 0.0937
R-squared 0.167456 Mean dependent var 45.74038Adjusted R-squared 0.124980 S.D. dependent var 295.2246S.E. of regression 276.1605 Akaike info criterion 14.13580Sum squared resid 7473935. Schwarz criterion 14.28836Log likelihood -729.0618 Hannan-Quinn criter. 14.19761F-statistic 3.942311 Durbin-Watson stat 2.011381
113
Prob(F-statistic) 0.002672
5. Ekspor Neto
Null Hypothesis: EXNETT has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.246680 0.4588Test critical values: 1% level -4.047795
5% level -3.45317910% level -3.152153
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(EXNETT)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:23Sample (adjusted): 2007M04 2015M12Included observations: 105 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
EXNETT(-1) -0.207980 0.092572 -2.246680 0.0269D(EXNETT(-1)) -0.615099 0.108677 -5.659887 0.0000D(EXNETT(-2)) -0.349480 0.094648 -3.692406 0.0004
C 462.3409 278.4125 1.660633 0.0999@TREND(2007M01) -5.093005 3.487372 -1.460413 0.1473
R-squared 0.435898 Mean dependent var -20.06667Adjusted R-squared 0.413334 S.D. dependent var 1100.148S.E. of regression 842.6491 Akaike info criterion 16.35743Sum squared resid 71005751 Schwarz criterion 16.48381Log likelihood -853.7649 Hannan-Quinn criter. 16.40864F-statistic 19.31822 Durbin-Watson stat 1.932406Prob(F-statistic) 0.000000
114
Lampiran 4. Uji Akar Unit pada data first difference
1. DBI Rate
Null Hypothesis: DBIRATE has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.307030 0.0001Test critical values: 1% level -4.046925
5% level -3.45276410% level -3.151911
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(DBIRATE)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:25Sample (adjusted): 2007M03 2015M12Included observations: 106 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DBIRATE(-1) -0.425469 0.080171 -5.307030 0.0000C -0.000322 0.000281 -1.145317 0.2547
@TREND(2007M01) 4.87E-06 4.47E-06 1.088350 0.2790
R-squared 0.215147 Mean dependent var 2.36E-05Adjusted R-squared 0.199907 S.D. dependent var 0.001523S.E. of regression 0.001363 Akaike info criterion -10.33083Sum squared resid 0.000191 Schwarz criterion -10.25545Log likelihood 550.5338 Hannan-Quinn criter. -10.30027F-statistic 14.11739 Durbin-Watson stat 2.183196Prob(F-statistic) 0.000004
2. DInterest Rate Differential
Null Hypothesis: DRDIFF has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.063316 0.0003Test critical values: 1% level -4.046925
115
5% level -3.45276410% level -3.151911
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(DRDIFF)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:27Sample (adjusted): 2007M03 2015M12Included observations: 106 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DRDIFF(-1) -0.391038 0.077230 -5.063316 0.0000C 0.000371 0.000385 0.964292 0.3372
@TREND(2007M01) -4.44E-06 6.12E-06 -0.725506 0.4698
R-squared 0.200220 Mean dependent var 1.32E-05Adjusted R-squared 0.184690 S.D. dependent var 0.002131S.E. of regression 0.001925 Akaike info criterion -9.640367Sum squared resid 0.000381 Schwarz criterion -9.564987Log likelihood 513.9395 Hannan-Quinn criter. -9.609815F-statistic 12.89268 Durbin-Watson stat 2.010577Prob(F-statistic) 0.000010
3. DCapital Flow
Null Hypothesis: DCFLOW has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.942238 0.0136Test critical values: 1% level -4.047795
5% level -3.45317910% level -3.152153
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(DCFLOW)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:28Sample (adjusted): 2007M04 2015M12Included observations: 105 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DCFLOW(-1) -0.440524 0.111745 -3.942238 0.0001
116
D(DCFLOW(-1)) -0.244445 0.100064 -2.442884 0.0163C -2.851454 12.18693 -0.233976 0.8155
@TREND(2007M01) 0.286462 0.198577 1.442568 0.1522
R-squared 0.327645 Mean dependent var 1.819048Adjusted R-squared 0.307674 S.D. dependent var 72.40442S.E. of regression 60.24493 Akaike info criterion 11.07206Sum squared resid 366574.6 Schwarz criterion 11.17317Log likelihood -577.2834 Hannan-Quinn criter. 11.11303F-statistic 16.40605 Durbin-Watson stat 2.051815Prob(F-statistic) 0.000000
4. DKurs
Null Hypothesis: DKURS has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.753269 0.0010Test critical values: 1% level -4.048682
5% level -3.45360110% level -3.152400
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(DKURS)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:28Sample (adjusted): 2007M05 2015M12Included observations: 104 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DKURS(-1) -0.736377 0.154920 -4.753269 0.0000D(DKURS(-1)) 0.039509 0.123136 0.320856 0.7490D(DKURS(-2)) -0.228161 0.101078 -2.257269 0.0262
C -17.32390 57.56652 -0.300937 0.7641@TREND(2007M01) 0.908097 0.938268 0.967844 0.3355
R-squared 0.449940 Mean dependent var 2.384615Adjusted R-squared 0.427716 S.D. dependent var 367.2174S.E. of regression 277.7980 Akaike info criterion 14.13855Sum squared resid 7640004. Schwarz criterion 14.26568Log likelihood -730.2045 Hannan-Quinn criter. 14.19005F-statistic 20.24512 Durbin-Watson stat 1.992990Prob(F-statistic) 0.000000
117
5. DEkspor Neto
Null Hypothesis: DEXNETT has a unit rootExogenous: Constant, Linear TrendLag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=12)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.62870 0.0000Test critical values: 1% level -4.047795
5% level -3.45317910% level -3.152153
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test EquationDependent Variable: D(DEXNETT)Method: Least SquaresDate: 06/01/17 Time: 16:29Sample (adjusted): 2007M04 2015M12Included observations: 105 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DEXNETT(-1) -2.173543 0.159483 -13.62870 0.0000D(DEXNETT(-1)) 0.418044 0.091371 4.575236 0.0000
C -32.29532 173.7973 -0.185822 0.8530@TREND(2007M01) -0.170958 2.767157 -0.061781 0.9509
R-squared 0.806745 Mean dependent var 3.838095Adjusted R-squared 0.801005 S.D. dependent var 1926.451S.E. of regression 859.3678 Akaike info criterion 16.38762Sum squared resid 74589816 Schwarz criterion 16.48872Log likelihood -856.3501 Hannan-Quinn criter. 16.42859F-statistic 140.5420 Durbin-Watson stat 1.961824Prob(F-statistic) 0.000000
118
Lampiran 5. Output Lag Optimal
VAR Lag Order Selection CriteriaEndogenous variables: DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFFExogenous variables: CDate: 06/01/17 Time: 16:31Sample: 2007M01 2015M12Included observations: 99
Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 -1102.460 NA 3581.547 22.37293 22.50400 22.425961 -1016.344 161.7935 1042.760 21.13827 21.92467* 21.45645*2 -978.4592 67.35127 806.8875 20.87796 22.31970 21.461293 -950.6337 46.65688* 769.5400* 20.82088* 22.91795 21.669364 -938.8431 18.57909 1023.575 21.08774 23.84014 22.201365 -925.6996 19.38337 1340.620 21.32726 24.73500 22.706046 -914.2603 15.71456 1845.773 21.60122 25.66428 23.245147 -898.1258 20.53477 2357.298 21.78032 26.49872 23.689398 -877.8040 23.81140 2835.650 21.87483 27.24856 24.04905
* indicates lag order selected by the criterionLR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)FPE: Final prediction errorAIC: Akaike information criterionSC: Schwarz information criterionHQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 6. Output Uji Stabilitas Model VAR
Roots of Characteristic PolynomialEndogenous variables: DBIRATE DCFLOW DEXNETTDKURS DRDIFFExogenous variables: CLag specification: 1 3Date: 06/01/17 Time: 16:34
Root Modulus
0.849892 0.8498920.731315 - 0.218341i 0.7632130.731315 + 0.218341i 0.7632130.695336 0.695336
-0.479089 - 0.438990i 0.649799-0.479089 + 0.438990i 0.649799-0.076718 - 0.619495i 0.624227-0.076718 + 0.619495i 0.624227-0.328082 - 0.432089i 0.542530-0.328082 + 0.432089i 0.542530-0.197598 - 0.487426i 0.525956-0.197598 + 0.487426i 0.5259560.038171 - 0.341071i 0.343201
119
0.038171 + 0.341071i 0.343201-0.003955 0.003955
No root lies outside the unit circle.VAR satisfies the stability condition.
Lampiran 7. Johansen’s Cointegration Test Output
Date: 06/01/17 Time: 16:36Sample (adjusted): 2007M05 2015M12Included observations: 104 after adjustmentsTrend assumption: Linear deterministic trendSeries: BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFFLags interval (in first differences): 1 to 3
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None 0.207071 63.22640 69.81889 0.1499At most 1 0.180652 39.09621 47.85613 0.2565At most 2 0.094566 18.37464 29.79707 0.5385At most 3 0.070367 8.043153 15.49471 0.4608At most 4 0.004363 0.454699 3.841466 0.5001
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized Max-Eigen 0.05No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None 0.207071 24.13018 33.87687 0.4461At most 1 0.180652 20.72157 27.58434 0.2934At most 2 0.094566 10.33149 21.13162 0.7130At most 3 0.070367 7.588454 14.26460 0.4221At most 4 0.004363 0.454699 3.841466 0.5001
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFF-54.85219 0.002565 0.000765 -0.000508 20.57881-182.6063 -0.003930 -0.000350 0.002197 -63.38251-14.51021 -0.001148 -0.000812 9.11E-05 84.0814122.23992 0.001026 -0.000857 -0.000290 -39.7261493.44806 0.001770 0.000502 6.93E-06 -5.868256
120
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(BIRATE) 0.000133 0.000157 -0.000147 0.000241 -2.00E-05D(CFLOW) -3.632893 16.84863 7.175591 -2.401279 1.881494D(EXNETT) -176.4694 62.47085 115.8620 12.01728 -37.08654
D(KURS) -27.99349 -46.87940 26.76558 35.64128 5.786616D(RDIFF) -0.000242 0.000156 -0.000352 0.000278 -3.39E-06
1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -983.8446
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFF1.000000 -4.68E-05 -1.39E-05 9.26E-06 -0.375168
(1.4E-05) (5.8E-06) (5.4E-06) (0.41542)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)D(BIRATE) -0.007318
(0.00684)D(CFLOW) 199.2721
(325.298)D(EXNETT) 9679.732
(4555.73)D(KURS) 1535.504
(1294.70)D(RDIFF) 0.013282
(0.00978)
2 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -973.4838
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFF1.000000 0.000000 -3.08E-06 -5.32E-06 0.119429
(1.8E-06) (1.5E-06) (0.16039)0.000000 1.000000 0.232385 -0.311775 10578.62
(0.07305) (0.05837) (6392.67)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)D(BIRATE) -0.036049 -2.76E-07
(0.02354) (5.8E-07)D(CFLOW) -2877.395 -0.075532
(1077.01) (0.02651)D(EXNETT) -1727.839 -0.698081
(15784.2) (0.38849)D(KURS) 10095.98 0.112445
(4397.18) (0.10823)D(RDIFF) -0.015248 -1.24E-06
(0.03383) (8.3E-07)
3 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -968.3180
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFF
121
1.000000 0.000000 0.000000 -3.52E-06 -0.392304(2.2E-06) (0.25451)
0.000000 1.000000 0.000000 -0.447216 49159.44(0.14369) (16567.6)
0.000000 0.000000 1.000000 0.582827 -166020.9(0.53369) (61534.2)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)D(BIRATE) -0.033920 -1.08E-07 1.66E-07
(0.02342) (5.9E-07) (1.4E-07)D(CFLOW) -2981.514 -0.083767 -0.014510
(1070.06) (0.02703) (0.00654)D(EXNETT) -3409.022 -0.831040 -0.250973
(15650.6) (0.39541) (0.09571)D(KURS) 9707.604 0.081730 -0.026721
(4375.62) (0.11055) (0.02676)D(RDIFF) -0.010146 -8.31E-07 4.55E-08
(0.03316) (8.4E-07) (2.0E-07)
4 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -964.5238
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)BIRATE CFLOW EXNETT KURS RDIFF1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -1.447248
(0.46666)0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 -84769.08
(28489.2)0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 8519.285
(29038.9)0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 -299471.7
(85288.7)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)D(BIRATE) -0.028558 1.39E-07 -4.07E-08 1.95E-07
(0.02304) (5.9E-07) (1.7E-07) (2.7E-07)D(CFLOW) -3034.919 -0.086230 -0.012452 0.040203
(1076.13) (0.02761) (0.00810) (0.01272)D(EXNETT) -3141.759 -0.818713 -0.261274 0.233909
(15754.2) (0.40417) (0.11865) (0.18617)D(KURS) 10500.26 0.118289 -0.057271 -0.096642
(4343.26) (0.11143) (0.03271) (0.05132)D(RDIFF) -0.003974 -5.47E-07 -1.92E-07 3.54E-07
(0.03289) (8.4E-07) (2.5E-07) (3.9E-07)
122
Lampiran 8. Output VAR in first difference
Vector Autoregression EstimatesDate: 04/03/17 Time: 21:11Sample (adjusted): 2007M05 2015M12Included observations: 104 after adjustmentsStandard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF
DBIRATE(-1) 0.344870 -5150.229 -28985.40 -106561.5 -0.350357(0.15992) (7576.81) (108596.) (30333.4) (0.22964)[ 2.15654] [-0.67974] [-0.26691] [-3.51301] [-1.52571]
DBIRATE(-2) 0.456399 5441.869 247338.3 166282.8 0.430880(0.18512) (8770.65) (125707.) (35112.9) (0.26582)[ 2.46548] [ 0.62046] [ 1.96758] [ 4.73566] [ 1.62096]
DBIRATE(-3) 0.060595 871.4405 -171259.2 -5921.014 0.162962(0.17534) (8307.42) (119067.) (33258.4) (0.25178)[ 0.34559] [ 0.10490] [-1.43834] [-0.17803] [ 0.64724]
DCFLOW(-1) -8.17E-07 0.320846 -1.121891 0.193939 -3.02E-06(2.2E-06) (0.10423) (1.49390) (0.41728) (3.2E-06)
[-0.37150] [ 3.07823] [-0.75098] [ 0.46477] [-0.95507]
DCFLOW(-2) -5.01E-07 0.227586 -0.533099 0.513891 -7.60E-08(2.3E-06) (0.10670) (1.52934) (0.42718) (3.2E-06)
[-0.22264] [ 2.13288] [-0.34858] [ 1.20298] [-0.02351]
DCFLOW(-3) 4.52E-06 0.141046 0.571006 0.061210 5.18E-06(2.3E-06) (0.10856) (1.55598) (0.43462) (3.3E-06)
[ 1.97389] [ 1.29922] [ 0.36698] [ 0.14083] [ 1.57421]
DEXNETT(-1) 6.28E-08 -0.011880 -0.761166 0.008338 2.51E-07(1.5E-07) (0.00724) (0.10376) (0.02898) (2.2E-07)
[ 0.41127] [-1.64091] [-7.33562] [ 0.28768] [ 1.14527]
DEXNETT(-2) -3.15E-07 -0.012328 -0.450680 0.010170 -8.68E-10(1.9E-07) (0.00881) (0.12633) (0.03529) (2.7E-07)
[-1.69273] [-1.39859] [-3.56738] [ 0.28820] [-0.00325]
DEXNETT(-3) -5.06E-07 -0.019006 -0.021523 -0.024195 -5.59E-07(1.6E-07) (0.00759) (0.10882) (0.03039) (2.3E-07)
[-3.16066] [-2.50343] [-0.19780] [-0.79603] [-2.43007]
DKURS(-1) -3.84E-07 -0.028331 0.747204 0.205136 -4.69E-07(5.4E-07) (0.02540) (0.36400) (0.10167) (7.7E-07)
[-0.71721] [-1.11555] [ 2.05274] [ 2.01758] [-0.60916]
DKURS(-2) -7.47E-07 0.034817 -0.105500 -0.341840 -1.31E-06(4.8E-07) (0.02291) (0.32834) (0.09171) (6.9E-07)
[-1.54534] [ 1.51982] [-0.32131] [-3.72727] [-1.89229]
DKURS(-3) -2.87E-07 0.017972 0.586286 0.219899 -9.12E-07
123
(5.1E-07) (0.02432) (0.34861) (0.09737) (7.4E-07)[-0.55874] [ 0.73888] [ 1.68179] [ 2.25828] [-1.23700]
DRDIFF(-1) 0.114504 3453.312 -16307.85 86018.60 0.807583(0.11465) (5431.86) (77853.1) (21746.2) (0.16463)[ 0.99876] [ 0.63575] [-0.20947] [ 3.95557] [ 4.90554]
DRDIFF(-2) -0.247736 -1927.988 -190177.2 -91231.63 -0.245166(0.13934) (6601.63) (94619.1) (26429.3) (0.20008)[-1.77798] [-0.29205] [-2.00992] [-3.45191] [-1.22534]
DRDIFF(-3) 0.057282 -2334.107 142510.6 24070.41 0.065999(0.11525) (5460.64) (78265.5) (21861.4) (0.16550)[ 0.49701] [-0.42744] [ 1.82086] [ 1.10105] [ 0.39879]
C 1.21E-05 8.882599 -45.26466 27.40902 0.000262(0.00015) (7.13592) (102.277) (28.5683) (0.00022)[ 0.08024] [ 1.24477] [-0.44257] [ 0.95942] [ 1.20948]
R-squared 0.521983 0.337512 0.478160 0.429409 0.518467Adj. R-squared 0.440503 0.224587 0.389210 0.332149 0.436387Sum sq. resids 0.000142 319593.3 65652629 5122330. 0.000294S.E. equation 0.001272 60.26394 863.7434 241.2640 0.001826F-statistic 6.406270 2.988835 5.375596 4.415063 6.316643Log likelihood 554.5067 -565.1511 -842.0555 -709.4155 516.8764Akaike AIC -10.35590 11.17598 16.50107 13.95030 -9.632238Schwarz SC -9.949068 11.58281 16.90790 14.35713 -9.225408Mean dependent -0.000144 26.25000 -22.49038 45.74038 0.000338S.D. dependent 0.001700 68.43702 1105.194 295.2246 0.002433
Determinant resid covariance (dof adj.) 329.6377Determinant resid covariance 142.9827Log likelihood -995.9097Akaike information criterion 20.69057Schwarz criterion 22.72472
Lampiran 9. Output Granger Causality Test
Pairwise Granger Causality TestsDate: 06/01/17 Time: 16:40Sample: 2007M01 2015M12Lags: 3
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.
DCFLOW does not Granger Cause DBIRATE 104 0.78502 0.5051DBIRATE does not Granger Cause DCFLOW 0.22149 0.8813
DEXNETT does not Granger Cause DBIRATE 104 3.70901 0.0142DBIRATE does not Granger Cause DEXNETT 0.53598 0.6587
DKURS does not Granger Cause DBIRATE 104 1.86383 0.1408DBIRATE does not Granger Cause DKURS 6.65924 0.0004
124
DRDIFF does not Granger Cause DBIRATE 104 1.11846 0.3455DBIRATE does not Granger Cause DRDIFF 0.96042 0.4147
DEXNETT does not Granger Cause DCFLOW 104 2.31724 0.0804DCFLOW does not Granger Cause DEXNETT 0.20009 0.8961
DKURS does not Granger Cause DCFLOW 104 1.63910 0.1854DCFLOW does not Granger Cause DKURS 0.08959 0.9656
DRDIFF does not Granger Cause DCFLOW 104 0.17562 0.9127DCFLOW does not Granger Cause DRDIFF 0.51019 0.6762
DKURS does not Granger Cause DEXNETT 104 1.29016 0.2822DEXNETT does not Granger Cause DKURS 0.19263 0.9012
DRDIFF does not Granger Cause DEXNETT 104 0.93574 0.4266DEXNETT does not Granger Cause DRDIFF 3.42956 0.0201
DRDIFF does not Granger Cause DKURS 104 3.20475 0.0266DKURS does not Granger Cause DRDIFF 2.06288 0.1102
Lampiran 10. Impulse Response Function
Period DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF
1 -25.45253 20.11794 863.1338 0.000000 0.0000002 -27.12767 -89.81137 -658.1714 177.3040 -19.146973 53.62087 23.89690 136.1831 -135.2234 -157.15734 -12.06967 64.28935 175.9982 115.6094 122.19635 22.11732 -73.60891 -211.9037 29.28902 21.412166 27.82983 39.05882 100.6078 -70.11967 -56.355287 16.76976 20.64295 -12.43701 32.61204 30.824988 23.13659 -17.76958 -42.50462 -14.27392 -5.4750139 9.302858 22.22905 22.47709 -15.79030 -11.7780710 7.433224 8.146326 -21.27496 1.557659 3.97642911 7.402442 5.110896 -2.856542 -12.15064 -6.78055912 1.018078 10.92785 -1.826259 -2.099199 -3.14633313 0.289382 5.433706 -8.769078 -1.958971 -1.85177214 -0.545052 6.874516 0.254566 -3.701872 -3.09442015 -1.682762 5.611016 -3.377170 0.234451 -1.34391516 -1.612286 3.929096 -2.391781 -0.512140 -1.54217417 -1.757278 4.145377 -0.572843 -0.068306 -1.03858318 -1.477209 2.973324 -1.613570 0.504853 -0.61354119 -1.164757 2.453886 -0.655800 0.237617 -0.63584420 -0.972018 2.131634 -0.652111 0.472546 -0.31773721 -0.659692 1.624586 -0.663784 0.321290 -0.26372822 -0.448843 1.404951 -0.364221 0.228107 -0.22033523 -0.293910 1.140143 -0.458048 0.225666 -0.13506324 -0.161897 0.943787 -0.354188 0.101198 -0.137036
Cholesky Ordering: DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF
125
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of DCFLOW to CholeskyOne S.D. DRDIFF Innovation
-20
-10
0
10
20
30
40
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of DKURS to CholeskyOne S.D. DCFLOW Innovation
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of DEXNETT to CholeskyOne S.D. DKURS Innovation
-40
-20
0
20
40
60
80
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Response of DKURS to CholeskyOne S.D. DBIRATE Innovation
Lampiran 10.1 Impulse Response Function (Grafik)
Lampiran 11. Variance Decomposition (Tabel)
Period S.E. DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF
1 0.001272 0.086835 0.054250 99.85892 0.000000 0.0000002 0.001420 0.113436 0.694416 96.58499 2.577101 0.0300533 0.001579 0.331480 0.703745 93.14397 3.869954 1.9508534 0.001731 0.326661 0.977102 91.05114 4.678789 2.9663075 0.001787 0.349431 1.327615 90.86842 4.565896 2.8886376 0.001819 0.398890 1.415807 90.26889 4.845983 3.0704317 0.001850 0.417835 1.442875 90.09744 4.910889 3.1309618 0.001865 0.454506 1.462082 90.04148 4.915217 3.1267179 0.001874 0.460096 1.495170 89.98393 4.927602 3.13320310 0.001880 0.463772 1.499194 89.97829 4.925728 3.13301111 0.001885 0.467515 1.500726 89.96107 4.935084 3.13560812 0.001888 0.467542 1.508936 89.95261 4.934916 3.135998
Cholesky Ordering: DBIRATE DCFLOW DEXNETT DKURS DRDIFF