Post on 30-Jun-2015
TEORI MARKETING POLITIK
Robby Milana, S.Ip(Mahasiswa Program Pascasarjana MIKOM UMJ)
1. Pengertian Marketing Politik
Istilah marketing politik merupakan istilah baru di Indonesia, sehingga wajar jika
masih banyak orang yang bertanya mengenai hakikat marketing politik. Kejelasan hubungan
antara marketing politik, komunikasi politik dan manajemen politik pun tidak selalu jernih
dan seringkali diburamkan oleh intepretasi yang tumpang tindih. Namun secara konseptual
banyak diakui bahwa marketing politik dapat menjadi payung (umbrella) dalam menerapkan
praksis marketing di ruang politik, terutama ketika proses kampanye berlangsung.
Tidak ada jaminan bahwa dengan menggunakan framework dan paksis marketing,
maka seorang kandidat politik akan memperoleh kemenangan untuk menduduki jabatan
publik atau jabatan politik tertentu. Namun sebagai sebuah payung, marketing dapat
memaksimalkan potensi kandidat. Di samping itu, dengan menerapkan teknik standar
marketing dalam sebuah kampanye politik, maka paling tidak kampanye yang dilakukan akan
menjadi lebih sistematis, efisien dan voter-oriented. Marketing dapat mempromosikan
sumberdaya yang langka secara efektif, memberikan informasi yang sangat bernilai kepada
kandidat maupun bagi pemilih, dan mampu mempromosikan keunggulan responsif dalam
proses politik. Penerapan marketing dalam wilayah politik bagi negara demokratis bukanlah
sebuah noktah politik yang ditabukan. Berbagai negara penganut demokrasi di dunia
menerapkan marketing politik dan menjadikannya sebagai sebuah manajemen terintegrasi
yang seringkali efektif dan efisien untuk mencapai tujuan politik.
Secara sederhana marketing politik berarti aplikasi kegiatan marketing di dalam
ruang politik yang umumnya terkonsentrasi pada saat pemilu atau pilkada. Jika melihat
definisi sederhana ini, maka sesungguhnya dalam praktiknya pelaksanaan marketing politik
bukanlah hal baru, termasuk di Indonesia.
Menurut O’Shaughnessy, seperti dikutip Firmanzah, marketing politik berbeda
dengan marketing komersial. Marketing politik bukanlah konsep untuk “menjual” partai
politik (parpol) atau kandidat kepada pemilih, namun sebuah konsep yang menawarkan
bagaimana sebuah parpol atau seorang kandidat dapat membuat program yang berhubungan
dengan permasalahan aktual. Di samping itu, marketing politik merupakan sebuah teknik
untuk memelihara hubungan dua arah dengan publik.1
Dari definisi tersebut terkandung pesan; Pertama, marketing politik dapat menjadi
“teknik” dalam menawarkan dan mempromosikan parpol atau kandidat. Kedua, menjadikan
pemilih sebagai subjek, bukan objek. Ketiga, menjadikan permasalahan yang dihadapi
pemilih sebagai langkah awal dalam penyusunan program kerja. Keempat, marketing politik
tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools untuk menjaga hubungan
dengan pemilih sehingga dari hal itu akan terbangun kepercayaan yang kemudian diperoleh
dukungan suara pemilih.2
M. N. Clemente mendefinisikan marketing politik sebagai pemasaran ide-ide dan
opini-opini yang berhubungan dengan isu-isu politik atau isu-isu mengenai kandidat. Secara
umum, marketing politik dirancang untuk mempengaruhi suara pemilih di dalam pemilu.3
Menurut A. O’Cass marketing politik adalah analisis, perencanaan, implementasi dan
kontrol terhadap politik dan program-program pemilihan yang dirancang untuk menciptakan,
membangun dan memelihara pertukaran hubungan yang menguntungkan antara partai dan
pemilih demi tujuan untuk mencapai political marketers objectives.4
1 Firmanzah, Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), p. 156-157.
2 Ibid.3 Andrew Hughes dan Stephen Dann, “Political Marketing 2006; Direct Benefit, Value and Managing
The Voter Relationship,” http://conferences.anzmac.org/ANZMAC2006/ documents/Hughes_Andrew1.pdf, Tanggal 26 November 2010.
4 Ibid.
Butler dan Collins mendefinisikan marketing politik sebagai “adaptasi” dari konsep
dan teknik marketing komersial yang dilakukan oleh para aktor politik untuk mengorganisasi,
mengimplementasi dan memanage aktivitas politik untuk mewujudkan tujuan politik.5
Menurut Firmanzah, paradigma dari konsep marketing politik adalah; Pertama,
Marketing politik lebih dari sekedar komunikasi politik. Kedua, Marketing politik
diaplikasikan dalam seluruh proses, tidak hanya terbatas pada kampanye politik, namun juga
mencakup bagaimana memformulasikan produk politik melalui pembangunan simbol, image,
platform dan program yang ditawarkan. Ketiga, Marketing politik menggunakan konsep
marketing secara luas yang meliputi teknik marketing, strategi marketing, teknik publikasi,
penawaran ide dan program, desain produk, serta pemrosesan informasi. Keempat, Marketing
politik melibatkan banyak disiplin ilmu, terutama sosiologi dan psikologi. Kelima, Marketing
politik dapat diterapkan mulai dari pemilu hingga lobby politik di parlemen.6
Lees-Marshment menekankan bahwa marketing politik berkonsentrasi pada hubungan
antara produk politik sebuah organisasi dengan permintaan pasar.7 Pasar, dengan demikian,
menjadi faktor penting dalam sukses implementasi marketing politik.
Philip Kotler dan Neil Kotler menyatakan bahwa untuk dapat sukses, seorang
kandidat perlu memahami market atau pasar, yakni para pemilih, beserta kebutuhan dasar
mereka serta aspirasi dan konstituensi yang ingin kandidat representasikan.8
Dengan demikian, yang dimaksud dengan marketing politik dalam penelitian ini
adalah keseluruhan tujuan dan tindakan strategis dan taktis yang dilakukan oleh aktor politik
untuk menawarkan dan menjual produk politik kepada kelompok-kelompok sasaran.
5 Kobby Mensah, “Kwame Nkrumah and Political Marketing,” www.kobbymensah.com, Tanggal 26 November 2010.
6 Firmanzah, Op. Cit, p. 156-157.7 Robert P. Ormrod, “Understanding Political Market Orientation,”
http://research.asb.dk/fbspretrieve/5432/ormrod_2009, Tanggal 25 November 2010.8 Philip Kotler and Neil Kotler, “Political Marekting; Generating Effective Candidates, Campaigns and
Causes,” dalam Bruce I. Newman, Handbook of Political Marketing (California: Sage Publication, 1999), p. 3.
Dalam prosesnya, marketing politik tidak terbatas pada kegiatan kampanye politik
menjelang pemilihan, namun juga mencakup even-even politik yang lebih luas dan -jika
menyangkut politik pemerintahan- bersifat sustainable dalam rangka menawarkan atau
menjual produk politik dan pembangunan simbol, citra, platform, dan program-program yang
berhubungan dengan publik dan kebijakan politik.
Tujuan marketing dalam politik menurut Gunter Schweiger and Michaela Adami
adalah; (1) Untuk menanggulangi rintangan aksesibilitas; (2) Memperluas pembagian
pemilih; (3) Meraih kelompok sasaran baru; (4) Memperluas tingkat pengetahuan publik; (5)
Memperluas preferensi program partai atau kandidat; (6) Memperluas kemauan dan maksud
untuk memilih.9
Marketing politik, menurut Patrick Bulter dan Neil Collins, memiliki dua karakter
yang melekat dalam dirinya, yakni karakter struktural dan karakter proses. Karakter struktural
mencakup produk, organisasi dan pasar. Sementara karakter proses mencakup pendefinisian
nilai, pembangunan nilai dan penyampaian nilai.10
Karena itu, layaknya dalam marketing komersial, dalam marketing politik juga
terdapat unsur-unsur marketing seperti orientasi pasar politik, STP, serta marketing mix
dalam politik.
2. Orientasi Pasar Politik
Seorang kandidat atau sebuah parpol dikatakan berorientasi pasar jika ia menjadikan
calon pemilih (kelompok sasaran) sebagai pijakan awal dalam mengembangkan produk dan
9 Gunter Schweiger and Michaela Adami, “The Nonverbal Image of Politicians and Political Parties,” dalam Bruce I. Newman, Op. Cit, p. 348.
10 Patrick Butler and Neil Collins, “A Conceptual Framework for Political Marketing,” dalam Bruce I. Newman, Ibid, p. 56-57.
komunikasi pemasarannya, dan lebih jauh dalam menawarkan dan menjual produk
politiknya. Kandidat itu memiliki kemampuan untuk mengumpulkan, mendesiminasi dan
menggunakan informasi yang tepat tentang pemilih.
Menurut Lees-Marhment, sebagaimana dikutip Firmanzah, orientasi pasar dalam
marketing politik berarti proses perancangan brand, kebijakan dan pesan politik yang
disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Dengan kata lain, titik awal penyusunan produk
adalah pasar.11
Orientasi pasar artinya adalah para kandidat mengenali sifat alami dari proses
pertukaran (exchange process) saat para kandidat meminta para pemilih untuk memilih. Dan
para kandidat harus melihat kampanye yang mereka lakukan melalui sudut pandang pemilih,
konstituen, donator, dan konsumen.12
Robert P. Ormrod mengatakan bahwa partai atau kandidat dikatakan berorientasi
pasar ketika partai atau kandidat sensitif terhadap sikap, kebutuhan, dan keinginan
stakeholders internal dan eksternal, dan menjadikan pandangan stakeholders sebagai basis
untuk membangun kebijakan dan program-program demi meraih tujuan partai atau
kandidat.13
Kebutuhan stakeholders, konsumen, pemilih atau pasar antara lain adalah program
kerja yang jelas, ideologi yang mantap, harapan serta kepemimpinan yang mampu
memberikan rasa pasti untuk melangkah ke depan. Sesuai dengan pesan marketing politik
yang tidak menjadikan pemilih sebagai objek namun menjadikannya sebagai subjek, maka
dalam proses pelaksanaan marketing politik ada kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan
politik kepada pemilih, transparansi penjaringan kebutuhan pemilih, dan berpolitik atas dasar
motivasi kepada pemilih, atau dalam hal ini kepada rakyat.
11 Firmanzah, Op. Cit, p. 160.12 Ibid.13 Robert P. Ormrod, Loc. Cit.
Menurut Robert P. Ormrod, model konseptual dari orientasi pasar dalam politik terdiri
dari empat bangunan yang merepresentasikan orientasi dari stakeholders yang ada di tengah
masyarakat, yakni pemilih (voters), partai kompetitor (competing party), anggota partai
(party members), dan kelompok eksternal (external groups) seperti media, warga, serta
kelompok lobby dan kelompok kepentingan.14
Bangunan konseptual pertama adalah orientasi pasar pada pemilih (voters). Parpol
atau kandidat sebaiknya memahami, sadar dan perduli dengan kebutuhan dan keinginan
pemilih dalam rangka pembangunan program atau proses pertukaran nilai ketika pemilihan
terjadi.
Bangunan kedua adalah partai kompetitor (competing party). Parpol atau kandidat
harus memahami pasar ini untuk menemukan celah kerjasama atau koalisi yang dapat
berguna bagi tujuan parpol atau kandidat.
Bangunan ketiga adalah anggota internal parpol (party members). Parpol akan
memperoleh ide-ide mengenai apa yang pemilih inginkan dengan cara mendengarkan
pendapat anggota partai, baik anggota grassroot maupun aktivis.
Bangunan keempat adalah kelompok eksternal (external groups). Memperhatikan
kelompok eksternal bukan saja karena menganggap mereka sebagai pemilih potensial, namun
lebih dari itu, kelompok eksternal dapat menjadi kelompok yang berpengaruh dalam
keberlanjutan dan karir politik partai atau kandidat. Tidak sedikit pula bahwa bagian dari
kelompok eksternal merupakan opinion leader di tengah masyarakat.
Sementara Kotler dan Kotler mengemukakan lima jenis pasar politik yang mesti
diperhatikan oleh parpol atau kandidat dalam konteks orientasi pasar politik, terutama pada
saat melakukan perhelatan kampanye politik. Pertama, pemilih (voters), yakni kelompok
penting pada saat pemilihan. Kedua, aktivis, kelompok kepentingan dan konstituen sebuah
organisasi, yakni kelompok-kelompok yang memiliki pengaruh dalam pemilihan dan donasi.
14 Robert P. Ormrod, Ibid.
Ketiga, media, yakni institusi yang mampu membuat parpol atau kandidat muncul ke
hadapan publik atau tidak. Keempat, organisasi partai, yakni kelompok internal dan ekternal
partai yang berada di daerah. Kelima, donatur dan kontributor, yakni kelompok yang akan
membantu atau tidak dalam soal keuangan parpol atau kandidat.15
Dalam konteks pilkada, menurut pandangan penulis, pasar yang harus diperhatikan
adalah; Pertama, partai politik (parpol). Parpol bukan saja memiliki massa, sistem politik
yang mapan atau popularitas, namun juga menjadi acuan hukum ketika seorang kandidat
bermaksud mencalonkan diri menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota, dan dapat pula
menjadi rekan koalisi untuk menjaring kekuatan lebih. Penyusunan produk politik juga dapat
diacu dari anggota partai jika partai tersebut mencalonkan seseorang untuk maju dalam
pilkada.
Kedua, pemilih. Pemilih merupakan warga yang akan memberikan suaranya pada saat
pilkada berlangsung. Pemilih merupakan bagian terpenting bagi parpol atau kandidat yang
akan maju ke dalam pilkada. Memahami pemilih dengan berbagai tingkah laku, kebutuhan,
keinginan, dan orientasinya menjadi kunci merebut hati pemilih.
Ketiga, opinion leader. Para pembentuk opini (opinion leader) mencakup ketua
organisasi masyarakat, tokoh keagamaan, media, kelompok kepentingan, dan tokoh
masyarakat. Mereka bukan saja akan menjadi pemilih, namun juga dapat memberi pengaruh
pada pemilih yang lebih luas.
Keempat, funding atau penyumbang dana. Dalam pilkada yang membutuhkan banyak
biaya, diperlukan kerjasama dari funding untuk mendonorkan uang kepada parpol atau
kandidat demi kepentingan proses kampanye.
Keempat kelompok itu merupakan pasar politik dalam pilkada. Berorientasi pasar
berarti melakukan analisa atas kebutuhan, keinginan dan tingkah laku keempat kelompok di
atas. Keempatnya dapat pula dikatakan sebagai “stakeholders politik”, yakni kelompok atau
15 Philip Kotler and Neil Kotler, dalam Bruce I. Newman, Op. Cit, p. 5.
individu yang dapat memberi pengaruh atau dipengaruhi oleh achievement dari tujuan utama
parpol atau kandidat. Berorientasi pada pasar dapat memberikan parpol atau kandidat
inspirasi dalam pembentukan program atau perencanaan kampanye dalam pilkada.
3. Segmentasi, Targeting dan Positioning
Pembahasan ini berangkat dari analogi bahwa masyarakat bersifat heterogen.
Masyarakat tersusun dari beragam struktur dan lapisan yang masing-masing memiliki
karakteristik yang unik. Dalam konsep marketing politik, parpol atau kandidat harus mampu
mengidentifikasi kelompok-kelompok yang terdapat dalam masyarakat; perbedaan usia
(pemilih pemula dan pemilih dewasa), jenis kelamin, pendidikan, etnis, status sosio-ekonomi,
dan seterusnya mesti disegmentasikan ke dalam ragam entitas pasar yang memiliki kebutuhan
masing-masing.
Sebagaimana dalam segmentasi pasar pada marketing komersial, dalam marketing
politik dapat juga dilakukan segmentasi dengan menggunakan empat variabel segmentasi
pasar, yakni geografis, demografis, psikografis dan tingkah laku. Namun Firmanzah juga
menambahkan satu variabel tambahan, yakni variabel sosial-budaya. Berikut uraiannya;16
Pada variabel geografis, pasar politik dapat disegmentasi berdasar wilayah dan
kerapatan populasinya. Masyarakat yang tinggal di pedesaan akan berbeda kebutuhannya
akan produk politik dibanding masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Pada variabel demografis, masyarakat dapat disegmentasi berdasarkan umur, jenis
kelamin, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan kelas sosial. Masing-masing kategori
memiliki karakteristik yang berbeda mengenai isu politik. Kebutuhan dan orientasi politik
pemilih pemula, misalnya, kemungkinan besar akan sangat berbeda dengan mereka yang
sudah pernah memilih, karena ada perbedaan dalam segi usia atau pendidikan.
16 Firmanzah, Op. Cit, p. 186.
Pada variabel psikografis, masyarakat disegmentasi berdasarkan kebiasaan, gaya
hidup, dan prilaku yang terkait dengan isu-isu politik. Masyarakat yang gemar membuka
internet, misalnya, akan sangat berbeda dengan masyarakat yang tidak pernah membuka
internet.
Pada variabel tingkah laku, masyarakat dibedakan dan dikelompokkan berdasarkan
proses pengambilan keputusan, intensitas ketertarikan dan keterlibatan dengan isu politik,
loyalitas, dan perhatian terhadap permasalahan politik.
Pada variabel sosial-budaya, masyarakat disegmentasi melalui karakteristik sosial dan
budayanya. Klasifikasi seperti budaya, suku, etnik dan ritual spesifik seringkali membedakan
intensitas, kepentingan dan prilaku terhadap isu-isu politik.
Segmentasi pasar politik dibutuhkan sebagai aktivitas identifikasi, deteksi, evaluasi
dan pemilihan kelompok yang memiliki karakteristik sama sehingga memungkinkan untuk
mendesain sebuah strategi yang sesuai dengan karekteristik tersebut. Dan segmentasi
diperlukan untuk memudahkan parpol atau kandidat dalam menganalisis prilaku masyarakat.
Lebih dari itu, segmentasi kemudian akan memberi kemudahan dalam menyusun program
kerja, terutama cara berkomunikasi dan membangun interaksi dengan pasar atau
masyarakat.17
Setelah pasar disegmentasi, lalu langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi untuk
mengelompokan pasar sasaran atau melakukan targeting. Evaluasi tersebut akan
memunculkan pasar sasaran atau target market, yakni sekelompok “pembeli” yang berbagi
kebutuhan dan karakteristik yang sama yang akan treatment oleh parpol atau kandidat.
Lima pola targeting ala Kotler dan Lane dapat diterapkan; Pertama, Single Segment
Concentration, yakni parpol atau kandidat memilih satu segmen saja untuk diberi perlakuan.
Misalnya parpol atau kandidat hanya berkonsentrasi pada pemilih yang beragama Islam yang
diperkirakan jumlahnya sudah cukup banyak untuk memenangkan sebuah pemilihan. Dengan
17 Ibid, p. 182-183.
pola ini, parpol atau kandidat lebih bisa mencapai posisi yang kuat di satu segmen, dengan
pengetahuan yang baik terhadap kebutuhan segmen sehingga bisa diperoleh keuntungan.
Namun, konsentrasi di satu segmen mempunyai potensi resiko yang cukup besar.
Kedua, Selective Specialization, yakni parpol atau kandidat menseleksi beberapa
segmen untuk diberi perlakuan. Segmen yang dipilih mungkin tidak saling berhubungan atau
membentuk sinergi, tetapi masing-masing segmen menjanjikan profit politis.
Ketiga, Product Specialization, yakni parpol atau kandidat berkonsentrasi membuat
sebuah produk khusus. Melalui cara ini, parpol atau kandidat membangun reputasi yang kuat
pada produk yang spesifik.
Keempat, Market Specialization, yakni parpol atau kandidat berkonsentrasi melayani
berbagai kebutuhan dalam kelompok tertentu. Parpol atau kandidat memperoleh reputasi
yang kuat dan menjadi channel untuk semua produk baru yang dibutuhkan dan dipergunakan
oleh kelompok tersebut.
Kelima, Full Market Coverage, yakni parpol atau kandidat berusaha melayani semua
kelompok dengan produk yang dibutuhkan. Namun, hanya parpol dan kandidat yang kuat
yang bisa melakukannya.
Langkah berikutnya adalah melakukan positioning. Proses positioning politik adalah
sebuah determinasi mengenai bagaimana cara terbaik untuk menggambarkan kandidat atau
parpol kepada segmen yang relevan diantara pemilih dan juga untuk meyakinkan dan
membujuk pemilih agar memilih kembali kandidat atau parpol atau agar pemilih berpindah
dukungan dari kandidat atau parpol lain.18
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, sasaran dalam melakukan positioning
adalah benak, dalam hal ini benak pemilih. Positioning nantinya akan menyangkut persoalan
image kandidat atau parpol, track record, program, serta reputasinya di dalam alam pikiran
18 Paul R. Baines, “Voter Segmentation and Candidate Positioning,” dalam Bruce I. Newman, Op. Cit, p. 413.
pemilih. Positioning adalah sebuah “strategi” agar bagaimana kandidat atau parpol berada
di posisi paling unggul dalam alam pikiran pemilih.
Menurut Firmanzah, positioning merupakan semua aktivitas untuk menanamkan
kesan di benak pemilih. Dalam positioning, atribut produk dan jasa yang dihasilkan akan
direkam dalam bentuk image yang terdapat dalam sistem kognitif pemilih. Dengan hal itu
pemilih akan dengan mudah mengidentifikasi sekaligus membedakan produk dengan produk
lainnya. Sesuatu yang berbeda atau unik dapat membenatu pemilih dalam melakukan
diferensiasi atas suatu produk di dalam benak mereka.19
4. Empat P’s dalam Politik
Sebagaimana dalam bisnis, 4 P’s atau marketing mix dalam politik juga terdiri dari
unsur product, promotion, price dan place. Keempatnya dapat digunakan untuk melakukan
analisis terhadap sumber daya kandidat dan juga analisis terhadap pemilih.
a. Product
Product yang ditawarkan dalam marketing politik berbeda dengan marketing
komersial karena lebih kompleks, dimana pemilih akan menikmatinya setelah partai atau
kandidat terpilih.
Seorang kandidat atau sebuah partai yang ingin memperoleh kemenangan tidak bisa
melepaskan persoalan image; pakaian, sikap, pernyataan, dan tindakan kandidat dapat
membentuk kesan di benak pasar. Istilah yang sering digunakan untuk membentuk image
bagi sebuah produk adalah konsep produk. Tema utamanya adalah dengan membangun
“unique selling proposition” atau “promised benefit” dari sebuah produk.20
19 Firmanzah, Op. Cit, p. 189-190.20 Philip Kotler and Neil Kotler, dalam Bruce I. Newman, Op. Cit, p. 14.
Kandidat atau partai harus cermat dalam memilih konsep produk yang akan
dipasarkan. Apakah kandidat atau partai ingin diasumsikan sebagai reformer, negarawan
yang bijak atau figur yang cerdas, bergantung pada sumber daya kandidat, kebutuhan pasar
dan kondisi oponen. Konsep produk bukan sekedar sebuah slogan; konsep produk
menyangkut semua kebutuhan dalam implementasi kampanye politik yang mencakup koalisi
yang dibentuk, pernyataan yang dibuat, penampilan di depan publik, dan berbagai hal lain.
Pasar atau pemilih mencari sesuatu dari kandidat; umumnya mereka mencari janji
atau jawaban atas permasalahan yang mereka hadapi. Kandidat atau parpol harus menyerap
pesan-pesan yang ada di tengah pasar untuk kemudian mengemas pesan pasar itu menjadi
sebuah konsep produk. Kandidat tidak perlu membuat sebuah konsep yang ideal, tapi cukup
dengan membuat konsep yang dapat menjadikannya berada di posisi terbaik untuk
menawarkan produknya dibanding kandidat lain.
Niffenegger, dalam Firmanzah, membagi produk politik dalam tiga kategori;
Pertama, Platform partai atau kandidat yang berisi konsep, ideologi dan program kerja.
Kedua, Post record atau catatan tentang hal-hal yang dilakukan di masa lalu dalam
pembentukan sebuah produk politik. Ketiga, Karakteristik personal seorang kandidat atau
sebuah partai dalam memberikan citra, simbol dan kredibilitas produk politik.21
Henneberg menyatakan produk politik mencakup; (1) Atribut personal, seperti
karakteristik kandidat; (2) Maksud politik, seperti isu-isu politik tertentu yang
dikomunikasikan kandidat; (3) Kerangka ideologis (ideological framework), seperti
kepercayaan dan sikap kandidat.22
Produk politik dalam penelitian ini mencakup; Pertama, Karakter personal atau brand
image kandidat, yang mencakup karakter fisik dan non-fisik kandidat; Kedua, Platform
21 Ibid, p. 200-201.22 Stephan C. M. Henneberg, “Generic Functions of Political Marketing Management,”
http://www.bath.ac.uk/management/research/pdf/2003-19.pdf, Tanggal 26 November 2010.
kandidat, yang meliputi ideologi, konsep dan program kerja kandidat; Ketiga, Track-record
kandidat, terutama dalam soal kepemimpinan dan kenegarawanan.
Produk politik bersifat tidak nyata, sangat terkait dengan sistem nilai, harapan, visi,
dan kepuasan masyarakat. Produk politik ini nantinya akan dipropagandakan melalui iklan
politik lewat berbagai media yang dibutuhkan. Kunci sukses dalam menawarkan dan menjual
produk politik kepada pasar adalah dengan melakukan unique selling point dan unique selling
proposition produk. Unique selling point merupakan nilai unik yang dimiliki produk yang
mempunyai keunggulan berbeda dari produk lain dan mempunyai daya jual. Misalnya, jika
ideologi keagamaan atau nasionalisme sudah dianggap sebagai idelogi yang klise oleh pasar,
maka kandidat bisa menampilkan ideologi baru berupa nasionalisme-religius. Karena belum
ada di tengah political marketplace, maka ideologi ini unik dan berbeda. Unique selling
proposition merupakan keunikan penampilan produk. Misalnya, jika ideologi keagamaan
selalu ditunjukan dengan menggunakan atribut sorban, kerudung atau salib, sementara
ideologi nasionalisme selalu ditunjukan menggunakan atribut bendera merah-putih, maka
ideologi nasionalisme-religius ditunjukan dengan menggunakan atribut setelan safari dengan
peci hitam.
b. Price
Price atau harga dalam marketing politik menyangkut banyak hal, mulai dari
ekonomi, psikologis sampai ke citra nasional. Harga ekonomi menyangkut semua biaya yang
dikeluarkan untuk membayar iklan, publikasi, rapat-rapat, hingga biaya administrasi. Harga
psikologis menyangkut pada harga persepsi psikologis seperti kenyamanan pemilih dengan
latar belakang (agama, ras, pendidikan, etnis, dan lain-lain) yang dimiliki oleh seorang
kandidat. Harga citra nasional berkaitan dengan kepuasan pemilih terhadap citra positif
kandidat.23
23 Firmanzah, Op. Cit, p. 205.
Menurut Niffenegger, harga politik dalam marketing politik adalah bangunan
psikologis yang dibentuk oleh perasaan pemilih atas harapan dan ketidaknyamanan nasional,
ekonomi dan psikologi.24
Perbedaan antara harga dalam marketing politik dengan marketing komersial adalah
tidak dikenakannya biaya kepada pasar dalam proses pembelian produk politik. Sebagai
contoh, pemilih tidak akan dipungut biaya ketika melakukan pemilihan di dalam bilik suara.25
Harga (price) dalam penelitian ini adalah; (1) harga ekonomi, yakni biaya yang
dikeluarkan dan didapat dalam proses kampanye politik kandidat, dan biaya yang didapat
pemilih dari kandidat; (2) harga psikologis, yakni kepuasan dan rasa saling menguntungkan
yang didapat kandidat dan pemilih; (3) harga politis, yakni nilai-nilai politis yang didapat
kandidat dan pemilih dalam transaksi yang dilakukan.
c. Place
Place atau tempat berkaitan dengan cara hadir atau distribusi parpol atau kandidat
politik dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih. Place dalam
marketing politik bisa berbentuk roadshow, kampanye, safari politik, temu kader, dan lain
sebagainya. Place diartikan pula sebagai distribusi jaringan yang berisi orang dan institusi
yang terkait dengan aliran produk politik kepada masyarakat secara luas, sehingga
masyarakat dapat merasakan dan mengakses produk politik dengan lebih mudah.26
Menurut Henneberg, place merupakan distribusi kandidat sebagai pengganti produk
melalui even-even kampanye, pengerahan massa atau tatap muka kepada massa. Dan
distribusi grassroot yang memberikan dukungannya melalui kampanye atau penyebaran
selebaran dalam kampanye yang dilakukan kandidat.27
24 Kobby Mensah, “Kwame Nkrumah and Political Marketing,” www.kobbymensah.com, Tanggal 26 November 2010.
25 Firmanzah, Op. Cit, p. 207.26 Ibid, p. 207.27 Kobby Mensah, Op. Cit.
Place dalam penelitian ini adalah lokasi atau distribusi yang menyangkut pada
persoalan di mana produk politik akan dijual dan bagaimana produk tersebut dapat sampai
kepada pemilih.
d. Promotion
Promotion menyangkut cara-cara yang digunakan dalam menyebarkan dan
mempropagandakan produk-produk politik. Tidak jarang sebuah parpol atau seorang kandidat
bekerja sama dengan agen iklan dalam membangun slogan (tagline), jargon dan citra yang
akan ditampilkan.28
Hal terpenting dalam proses promosi politik adalah pemilihan media yang tepat agar
transfer pesan politik sampai kepada masyarakat. Karena itu sangat valid jika dikatakan
bahwa penggunaan televisi nasional kurang tepat untuk melakukan kampanye dalam Pilkada
karena terlalu luas dan mahal. Jika, misalnya, hanya mencalonkan diri menjadi Walikota
Tangerang Selatan, tidak perlu berpromosi di televisi nasional yang jangkauannya ke seluruh
Indonesia dimana sebagian besar pemirsanya bukan calon pemilih atau masyarakat
Tangerang Selatan. Ini seperti membeli sebuah sepatu bermerk Belly; sepatunya memang
bagus karena mahal, namun ukurannya kebesaran.
5. Branding Politik
Secara sederhana branding dapat diartikan sebagai “pemberian merk” terhadap suatu
produk dengan tujuan untuk menanamkan kesan yang tidak terhapuskan (indelible
impression) dari benak konsumen.
28 Firmanzah, Op. Cit, p. 203.
Secara etimologis branding berasal dari kata brand yang sering diartikan sebagai
sekumpulan pengalaman dan asosiasi yang berhubungan dengan pelayanan, orang atau
entitas lain. Belakangan brand juga diartikan sebagai asesoris kultural dan filosofi personal.
Brand merupakan identitas atau kepribadian yang mengidentifikasi sebuah produk,
layanan atau lembaga ke dalam bentuk nama, tanda, simbol, design atau kombinasi di antara
hal-hal itu, dan bagaimana identifikasi itu berhubungan kepada konstituen kunci seperti
pasar, anggota, funding, dan lain-lain.29
Brand juga dapat diterjemahkan sebagai totalitas pengetahuan konsumen tentang apa
yang diketahui, dipikirkan, dirasakan dan diasosiasikan tentang suatu produk dan jasa atau
suatu lembaga.30
Brand biasanya dibagi menjadi dua, yakni brand experience dan brand image. Brand
experience merupakan pengalaman yang dimiliki pasar atau konsumen atas kontak yang
mereka lakukan terhadap merk. Sementara brand image menyangkut pada persoalan
psikologis, yakni bangunan simbolik yang tercipta di dalam pikiran pasar atau konsumen
yang terdiri dari keseluruhan informasi dan harapan yang sering diasosiasikan dengan produk
atau jasa sebuah merk. Brand image sering dihubungkan dengan pemikiran, citra, perasaan,
persepsi, keyakinan atau sikap.31
Brand menyangkut dari hal besar sampai yang paling detil dari sebuah produk atau
jasa; dari karakter personal hingga huruf dan warna logo yang digunakan, dan dari yang
berbentuk fisik hingga non-fisik. Karena itu ada pakar yang menyatakan bahwa brand
merupakan payung (umbrella) dalam marketing, karena brand manungi setiap hal detil pada
strategi marketing.
Sementara itu branding adalah keseluruhan aktivitas untuk menciptakan brand yang
unggul (brand equity), yang mengacu pada nilai suatu brand berdasarkan loyalitas, kesadaran,
29 http://en.wikipedia.org/wiki/Brand, Tanggal 26 November 2010.30 Firmanzah, Op. Cit, p. 141.31 http://en.wikipedia.org/wiki/Brand, Tanggal 26 November 2010.
persepsi kualitas dan asosiasi dari suatu brand. Branding bukan hanya untuk menampilkan
keunggulan suatu produk, namun juga untuk menanamkan brand ke dalam benak
konsumen.32
Dalam panggung politik, branding sering kali hanya diartikan sebagai tindakkan
pencitraan atau pembangunan image terhadap kandidat, yakni pada karakter personal
kandidat. Branding lebih dari itu.
Dalam penelitian ini branding politik diartikan sebagai semua pengalaman, aktivitas
dan unsur psikologis dalam menciptakan brand politik yang unggul, unik, menarik dan
mampu memberikan pengaruh ke dalam benak konsumen.
Pada pembangunan branding politik yang baik, prasyarat teknis yang harus dipenuhi
adalah penyampaian pesan secara jelas dan komunikatif, mempertegas kredibilitas diri,
hubungkan target market yang prospektif kepada brand secara emosional, memotivasi target
market, membangun loyalitas target market secara berkesinambungan. Di samping itu, untuk
meraih sukses dalam branding, kandidat mesti memahami kebutuhan dan keinginan pasar dan
bagaimana prospeknya. Hal ini dilakukan dalam setiap kontak dengan publik.33
Mengutip Joko Santoso,34 ada lima tahap strategi branding yang aplikatif dalam
branding politik kandidat, yakni Pertama, Tahap Brand Awareness. Pada tahap ini kandidat
memperkenalkan diri kepada calon pemilih. Hasil pada tahap ini adalah pemilih “tahu” dan
sadar akan keberadaan kandidat.
Kedua, Tahap Brand Knowledge. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai punya
pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap kandidat. Hasil dari tahap ini adalah pemilih
sudah tahu akan eksistensi kandidat sekaligus mulai memahami maksud politik dan program
kandidat.
32 Firmanzah, Loc. Cit.33 http://marketing.about.com/cs/brandmktg/a/whatisbranding.htm, Tanggal 26 November 2010.34 Wawancara dengan Joko Santoso, “Strategi Branding dalam Komunikasi Pemasaran Politik,”
Tanggal 1 Oktober 2010.
Ketiga, Tahap Brand Preference. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai
membandingkan antara kandidat dengan kandidat yang lain dengan memberikan persepsi
yang positif kepada kandidat dibanding kepada kandidat lain. Tahap ini sekaligu menunjukan
tingkat keberhasilan positioning yang dilakukan kandidat.
Keempat, Tahap Brand Liking. Pada tahap ini calon pemilih mulai memiliki rasa suka
terhadap kandidat dan berniat akan memilihnya pada saat pemilihan. Jika seorang kandidat
sudah memasuki tahap ini dan memperoleh hasilnya, maka dapat dibilang posisinya sudah
memasuki wilayah aman tahap satu. Namun yang mesti diingat, rasa suka seseorang masih
bisa dipengaruhi bahkan dirubah dengan berbagai kondisi yang datang kemudian
Kelima, Tahap Brand Loyalty. Pada tahap ini calon pemilih sudah setia kepada
kandidat yang akan dipilihnya. Pemilih sudah memiliki keyakinan yang kuat untuk
mendukung dan memilih kandidat dan tidak akan memilih kandidat lain.