Post on 28-Nov-2021
TEORI KONVERGENSI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Siti Nurholipah
NIM: 11150110000005
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
i
ABSTRAK
Siti Nurholipah. NIM: 11150110000005. Teori Konvergensi dalam Perspektif
Pendidikan Agama Islam. Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2019.
Dalam memahami tujuan pendidikan banyak teori yang berkembang. Akan tetapi
tidak semua teori dapat menelaah potensi manusia yang berkembang secara
optimal. Maka dalam hal ini perlu adanya pembahasan konsep pengembangan
pendidikan agama Islam. Penelitian ini mengkaji dan memahami tentang konsep
teori konvergensi yang dipelopori oleh William Stern dalam perspektif pendidikan
agama Islam. Dalam teori konvergensi ini, dinyatakan bahwa peotensi peserta
didik dipengaruhi oleh faktor bawaan atau hereditas dan faktor lingkungan
termasuk pendidikan. Kedua faktor tersebut memiliki pengaruh terhadap
perkembangan potensi peserta didik. Adapun dalam menelaah teori konvergensi
dalam perspektif pendidikan agama Islam, penulis senantiasa bersandar pada al-
Qur‟an dan Hadits. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah library
research dengan bersumber pada buku-buku, jurnal, artikel, dan lain sebagainya
yang berkaitan dengan teori konvergensi. Penelitian ini menghasilkan, pertama
konsep teori konvergensi menurut William Stern, kedua teori konvergensi dalam
perspektif pendidikan agama Islam, dan ketiga implikasi atau keterlibatan teori
konvergensi dalam pendidikan agama Islam.
Kata Kunci : William Stern, Teori Konvergensi, Pendidikan Agama
Islam.
Pembimbing : Dr. Bahrissalim, M.Ag.
Daftar Pustaka : 1997-2019.
ii
ABSTRACT
Siti Nurholipah. NIM: 11150110000005. Convergence Theory in Perspective
of Islamic Education. Islamic Religious Education Study Program, Faculty of
Tarbiyah and Teacher Training at the Syarif Hidayatullah State Islamic University
Jakarta, 2019.
In understanding the purpose of education many theories have developed.
However, not all theories can examine human potential that develops optimally.
So in this case it is necessary to discuss the concept of developing Islamic
religious education. This research examines and understands the concept of
convergence theory pioneered by William Stern in the perspective of Islamic
religious education. In this convergence theory, it is stated that student‟s potential
is influenced by heredity and environmental factors including education. Both of
these factors have an influence on the development of potential learners. As fpr
examining the theory of convergence in the perspective of Islamic religious
education, the author always relies on: al-Qur‟an and Hadith. The research method
used by the author is library research sourced from books, journals, articles, and
so forth related to convergence theory. This research resulted: first concept of
convergence theory according to William Stern, both convergence theories in the
perspective of Islamic education, and the three Implications or engagement of
convergence theories in Islamic religious education.
Keywords : William Stern, Convergence Theory, Islamic Education.
Supervisor : Dr. Bahrissalim, M.Ag.
List of Libraries : 1997-2019.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim..
Alhamdulillahirabbil „Aalamiin, Maha Suci Allah dengan segala
keagungan dan kebesaran-Nya, segala puji syukur hanya tercurahkan kepada-Nya
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan taufiq, serta inayah-Nya, sehingga
atas ridho-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun belum
mencapai pada kesempurnaan. Namun, dengan harapan hati kecil semoga dapat
bermanfaat. Shalawat bertangkai salam penulis curahkan kepada junjungan alam,
Nabi besar Muhammad SAW yang syafaatnya selalu didambakan kelak dihari
akhir, yang menjadi cahaya di atas cahaya bagi seluruh alam, beserta keluarga,
sahabat, dan pengikutnya yang setia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yudhi Munadi, M.A
sebagai dosen Pembimbing Nasihat Akademik yang telah memberikan banyak
sekali ilmu dan arahan, kepada orang tua yang senantiasa memberikan do‟a tiada
henti dan dukungan baik berupa materil maupun non-materil, dan kepada teman-
teman yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat agar skripsi yang
berjudul “Teori Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam” ini
dapat selesai tepat waktu.
Penulis amat sangat menyadari masih banyaknya kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak yang berperan, diantaranya:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A, selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abdul Haris M.Ag, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
5. Dr. Bahrissalim, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya guna membimbing dalam
penyelesaian skripsi ini.
6. Yudhi Munadi, M.A, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, berbagi ilmu, dan
memberikan nasihat serta arahan.
7. Kedua orang tua saya, Ibu Siti Asmi dan Bapak Turi selaku pendidik
pertama yang senantiasa memberikan support, bimbingan, dan do‟a untuk
putrinya ini agar senantiasa diberikan kemudahan dalam segala aktivitas,
terimakasih sedalam-dalamnya.
8. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang
telah memberikan banyak ilmu dan berbagai pengalaman kepada penyusun
selama masa perkuliahan.
9. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan
2015, khususnya kelas B.
10. Sahabat-sahabat CLOZY yang telah memberikan semangat kepada penulis
selama penyusunan skripsi.
11. Sahabat-sahabat STARS2 khususnya Camelia Hidayat, Siti Nur Azizah,
Shela Febryanti, Laeli Padilah, Tajul Munajat, Aprian Hidayatullah, Saeful
Bahri, Suhendi, Muhammad Ridwan Santoso dan Khairul Anwar yang
telah memberikan motivasi dan semangat agar skripsi ini dapat segera
terselesaikan serta senantiasa menghibur dikala penulis merasakan
kejenuhan.
12. Sahabat-sahabat terdekat selama penulis menetap di Ciputat Fadhila
Athiya Rahmah, Nursyifa Fauziyah Safari, Chika Chyntia, Nazihah, Novi
Fatonah, Nadya Safira, Khairunnisa, Maya Jelita Hasibuan, Naila Syamila,
Laeli Yuniar, Tasya Annisa, dan Atik Nuratikah yang sangat setia
memberikan motivasi, semangat dan bantuan kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
v
13. Teman-teman KKN Akspansi 2015 khususnya Haipat Fitriani, Nabilah
Mu‟jizatillah, dan Rissa Diah yang telah memberikan banyak bantuan,
motivasi, semangat, dan amat sangat menghibur disaat penulis merasakan
kejenuhan, penulis ucapkan terima kasih banyak.
14. Serta kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang turut membantu dalam penyusunan penulisan skripsi ini.
Atas semua kontribusi yang tidak dapat disebutkan satu persatu
terimakasih penulis haturkan. Penulis hanya bisa berdoa semoga kita
semua selalu diberi rahmat, hidayah, dan keberkahan hidup dunia dan
akhirat. Dan untuk semua yang telah membantu, penulis amat sangat
berterima kasih atas segala kebaikannya semoga Allah SWT memberikan
pahala yang setimpal dan senantiasa meridhoi amal usaha kita. Aamiin
Jakarta, 31 Oktober 2019
Penulis
Siti Nurholipah
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT ........................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................. 8
C. Pembatasan Masalah................................................................................. 8
D. Rumusan Masalah .................................................................................... 8
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Sejarah Munculnya Teori Konvergensi .................................................... 10
1. Teori Nativisme .................................................................................. 14
2. Teori Empirisme ................................................................................. 14
3. Teori Konvergensi .............................................................................. 16
B. Pendidikan Agama Islam .......................................................................... 24
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam .................................................. 24
2. Sumber Pendidikan Agama Islam ...................................................... 28
3. Komponen-komponen Pendidikan Agama Islam ............................... 31
4. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam .......................................... 35
5. Tugas dan Fungsi Pendidikan Agama Islam ...................................... 36
a. Tugas Pendidikan Agama Islam ................................................... 36
b. Fungsi Pendidikan Agama Islam .................................................. 37
C. Hasil Penelitian Relevan ........................................................................... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 40
B. Metode Penelitian ..................................................................................... 40
C. Teknik Pengumpula Data ......................................................................... 41
D. Teknik Analisis Data ................................................................................ 42
vii
E. Fokus Penelitian ........................................................................................ 43
F. Prosedur Penelitian.................................................................................... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Teori Konvergensi Menurut William Stern ................................. 45
1. Biografi William Stern ........................................................................ 45
2. Konsep Teori Konvergensi William Stern .......................................... 46
B. Teori Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam ............... 51
C. Implikasi Teori Konvergensi dalam Pendidikan Agama Islam ................ 56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 65
B. Saran .......................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah psikologi pendidikan pada dasarnya merupakan gabungan
dua kata yang terdiri dari kata psikologi dan pendidikan. Oleh karena itu,
untuk memahami definisi psikologi pendidikan terlebih dahulu perlu
dipahami definisi psikologi dan definisi pendidikan secara terpisah.
Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche yang memiliki arti jiwa
dan logos yang memiliki arti ilmu.1 Dengan demikian dapat diartikan
bahwa psikologi secara umum adalah ilmu pengetahuan yang
membicarakan masalah jiwa. Sedangkan pendidikan adalah usaha untuk
memandirikan manusia melalui aktivitas yang terencana dan disadari
melalui aktivitas belajar dan pembelajaran yang melibatkan siswa dan
guru.2
Witherington dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan,
mendefinisikan psikologi pendidikan sebagai salah satu studi yang
sistematis mengenai faktor-faktor dan proses kejiwaan yang berhubungan
dengan pendidikan manusia.3 Pengertian tersebut memaparkan dengan
jelas bahwa adanya aspek gejala kejiwaan dan faktor-faktor lainnya yang
ada pada individu dalam belajar dan pembelajaran yang tersusun secara
sistematis sebagai panduan pelaksanaan praktik pendidikan. Sedangkan
menurut Sumadi Suryabrata dalam bukunya yang berjudul psikologi
pendidikan menjelaskan bahwa psikologi pendidikan merupakan ilmu
pengetahuan tentang psikologi yang membahas dan mempelajari anak
didik dalam situasi dan lingkungan pendidikan.4 Dari berbagai pendapat
1 Muhamad Irham dan Novan Ardy Wiyani, Psikologi Pendidikan: Teori dan Aplikasi
dalam Proses Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), Cet. III, h. 16. 2 Ibid., h. 19.
3 H.C. Witherington, Psikologi Pendidikan, Terj. M. Buchori, (Jakarta: Aksara Baru, 1978),
h. 10. 4 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2008), Cet. V, h. 2.
2
mengenai psikologi pendidikan, dapat dipahami bahwa psikologi
pendidikan sebagai cabang dari ilmu psikologi yang mempelajari tentang
teori-teori psikologi dalam dunia pendidikan terhadap siswa yang berperan
sebagai peserta didik dan guru sebagai pendidik serta hubungan keduanya
dengan lingkungan dalam proses belajar mengajar.5 Oleh karenanya,
psikologi pendidikan sangat berperan penting dalam dunia pendidikan.
Manusia merupakan makhluk yang berpolitik, makhluk sosial,
makhluk yang memiliki budaya, makhluk yang berbahasa, dan lain
sebagainya. Ungkapan tersebut memiliki pandangan mengenai teori
tentang hakikat manusia dengan mengarah kepada konsep manusia dalam
arti yang berbeda-beda.6 Manusia memiliki peran sangat penting dalam
pendidikan, yaitu sebagai subyek sekaligus sebagai obyek pendidikan.
Manusia sebagai subyek pendidikan adalah manusia dewasa yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan. Mereka berkewajiban
secara moral atas perkembangan individu generasi penerus mereka,
terutama yang berprofesi dalam bidang pendidikan secara formal,
bertanggung jawab untuk melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan
tujuan pendidikan. Sedangkan, manusia yang termasuk ke dalam obyek
pendidikan yaitu manusia yang belum dewasa dalam proses perkembangan
kepribadiannya, baik menuju kebudayaan maupun proses kematangan dan
integritas. Mereka itulah yang menjadi sasaran yang akan dibina.7 Manusia
tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya, baik lingkungan yang
bersifat alamiah maupun lingkungan yang bersifat materiel, dan terutama
lingkungan sosial. Tingkah laku manusia tersebut merupakan suatu bentuk
adanya kepribadian yang merupakan suatu rangkaian kegiatan-kegiatannya
atas semua interaksinya dengan lingkungannya tersebut.8
5 Op.cit., h. 20.
6 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1989), cet. IV, h. 400. 7 Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Dasar
Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), Cet. III, h. 153. 8 Ibid., h. 157.
3
Allah telah menciptakan manusia dengan struktur yang paling baik
diantara makhluk-Nya yang lain. Struktur manusia terdiri dari jasmaniah
dan rohaniah. Dalam struktur tersebut, Allah memberikan kemampuan
dasar yang memiliki kecenderungan untuk berkembang, yang disebut
sebagai potensial. Dalam pandangan Islam kemampuan dasar pada
manusia disebut dengan fitrah.9 Allah telah memberikan fitrah kepada
manusia saat manusia belum terlahir ke dunia, sehingga fitrahnya manusia
belum sepenuhnya terlaksana dengan nyata, sehingga alamlah yang
mempengaruhi fitrah manusia.10
Namun, pada kenyataannya kebanyakan
manusia belum menyadari akan potensi dan kreativitas yang ada pada
dirinya, yang mungkin dapat berkembang dan meningkat. Hal tersebut
disebabkan karena kurangnya rasa peduli terhadap diri sendiri. Oleh sebab
itu, maka diperlukannya usaha-usaha yang baik, yaitu pendidikan agar
dapat mengembangkan dan memelihara fitrah serta dapat membersihkan
jiwa manusia dari syirik dan kesesatan agar mendapatkan hidup yang lebih
percaya diri. Kata fitrah yang berhubungan dengan penjelasan tentang
manusia terdapat dalam QS. Ar-Rum: 30
فطرت ا فأقم وجهك للدين حنيف ها ل ت بديل للق ٱلله ٱلله ٱلهت فطر ٱلنهاس علي لك ٱلدين ٱلقيم ولكنه أكث ر ٱلنهاس ل ي علمون ذ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia
berdasarkan fitrahnya, yang berarti bahwa manusia telah membawa
9 Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta : UIN
Jakarta Press, 2007), Cet. I, h. 69. 10
Lukis Alam, Perspektif Pendidikan IslamMengenai Fitrah Manusia, TARBAWI, Volume
1 No. 02, Juli-Desember 2015, ISSN 2442-8809, h. 45.
4
potensi beragama yang benar (tauhid), dari mulai asal penciptaanya.11
Surat tersebut menginspirasi agar kita sebagai manusia harus
mengembangkan dan mengaktualisasikan fitrah atau potensi itu dengan
baik.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.12
Dari tujuan pendidikan nasional tersebut dapat dijadikan acuan bahwa
pendidikan agama Islam di sekolah maupun di madrasah bertujuan untuk
menanamkan dan meningkatkan keimanan melalui penyampaian
pengetahuan, penghayatan, pengamalan, dan pengalaman siswa tentang
agama Islam sehingga menjadi umat Islam yang terus berkembang dalam
hal akidah, ketakwaan, berbangsa dan bernegara serta agar dapat
melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.13
Tujuan pendidikan menurut ahli-ahli pendidikan Islam dikaitkan
dengan tujuan diutusnya Rasulullah SAW yaitu agar manusia memiliki
akhlak yang baik. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW bersabda:
انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق Bahwasanya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan keluhuran
budi pekerti. (H.R. Ahmad)14
Dari pernyataan di atas tujuan pendidikan nasional beriringan
dengan tujuan pendidikan agama Islam bahwasanya selain manusia yang
memiliki ilmu pengetahuan, manusia di dunia ini juga diciptakan agar
menjadi makhluk yang bertakwa dan berakhlak mulia.
11
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Berbgai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1996), cet. III, h. 284. 12
Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Bandung: Citra Umbara, 2009), h. 64. 13
Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2012), h. 16. 14
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), cet. 15, h. 2.
5
Pendidikan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai
unsur dimana antara satu dan yang lainnya harus saling berkaitan.
Pendidikan agama Islam merupakan bagian dari sistem pendidikan
nasional, yang harus mampu menyesuaikan visi pendidikan Islam dengan
visi pendidikan nasional. Pada hakikatnya dilihat dari segi historis,
walaupun pendidikan Islam belum merumuskan seluruh tujuannya secara
tertulis, tetapi dalam pelaksanaannya telah melaksanakan sebagian dari
tujuan pendidikan nasional.15
Dalam proses pendidikan, khususnya
pendidikan agama Islam mempunyai tugas untuk mengembangkan fitrah
manusia dengan ajaran agama Islam, agar terwujud kehidupan manusia
yang makmur dan bahagia. Karena ajaran agama Islam mengandung unsur
pondasi bagi perkembangan seseorang. Dengan adanya tujuan pendidikan
yang sudah tertuang dalam undang-undang dan hadits tentunya harus
menjadikan pendidikan di Indonesia ini maju dan berkembang. Namun,
pada kenyataannya masih banyak hal-hal yang perlu dievaluasi dan
dibenahi karena banyaknya masalah-masalah yang terjadi dari berbagai
aspek pendidikan, hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa
masalah yang terjadi belakangan ini yaitu yang terkait dengan moral
peserta didik diantaranya banyaknya kekerasan dalam pendidikan yang
semakin masif dan mengerikan. Selain itu, kurangnya memberikan
perilaku baik terhadap orang tua, guru, teman, diri sendiri, bahkan
terhadap Tuhannya. Banyak peserta didik yang memiliki tingkat
kepintaran pengetahuannya yang tinggi, tetapi dalam interaksi dengan
teman dan lingkungan sekitarnya sangat kurang, bahkan lupa akan
kewajibannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu lupa akan ibadahnya.
Hal tersebut dipengaruhi karena pengaruh dari internet, tontonan
yang tidak bermanfaat, dan berita-berita yang kebenarnya tidak dapat
dibuktikan, serta lingkungan peserta didik yang kurang mendukung.
15
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana,
2009), cet. I, h. 18.
6
Adanya beberapa pengaruh media massa tersebut merupakan
pengaruhi negatif dari adanya globalisasi di dunia dalam pendidikan
nasional sehingga hal tersebut menjadi salah satu alasan belum tercapainya
tujuan pendidikan yang tertuang dalam undang-undang. Tujuan
pendidikan dirumuskan dengan berbagai macam faktor diantaranya adalah
faktor lingkungan dan faktor bawaan yang dikenal dengan istilah
Konvergensi. Teori Konvergensi ini dicetuskan oleh tokoh psikologi
pendidikan barat yaitu William Stern, yang tak lain adalah tokoh psikologi
pendidikan Jerman dan dipelopori juga oleh tokoh pendidikan Indonesia
yaitu Ki Hajar Dewantara yang telah mengembangkan konsep
Konvergensi dengan bercirikan keindonesiaannya.
Sebagaimana sudah kita ketahui, bahwa pendidikan harus dimulai
dengan menyusun gagasan-gagasan yang diikuti dengan penulisan ilmiah.
Dalam proses penyusunan tersebut, maka munculah teori. Adapun Teori
yang dikembangkan oleh para tokoh pendidikan sangat bermacam-macam,
diantaranya adalah teori pendidikan empirisme, nativisme, dan
konvergensi dimana teori-teori tersebut telah memberikan beragam warna
terhadap pola pendidikan dan memberikan bantuan terhadap dunia
pendidikan.16
Teori adalah suatu prinsip yang menerangkan sejumlah
hubungan antara berbagai fakta dan meramalkan hasil-hasil baru
berdasarkan fakta-fakta tersebut, sedangkan teori belajar dapat dipahami
sebagai kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan
penjelasan atas sejumlah fakta yang berkaitan dengan peristiwa belajar.17
Adapun titik tolak perbedaan dari masing-masing teori nativisme,
empirisme, dan konvergensi yaitu terletak pada faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan manusia. Teori nativisme merupakan
sebuah ajaran filosofis yang memiliki pengaruh besar terhadap aliran
pemikiran psikologis. Tokoh dari aliran ini bernama Arthur Schopenhauer
16
Aas Siti Solichah, Teori-teori Pendidikan dalam Al-Qur‟an, Edukasi Islam Jurnal
Pendidikan Islam Vol. 07, No. 1 DOI: 10.30868/EI.V7I01.209 ISSN : 2581-1754, 2018, h. 23. 17
Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), Cet.
II, h. 63.
7
seorang filosof Jerman. Dalam dunia pendidikan teori nativisme ini
disebut “pesimisme pedagogis”, karena perkembangan manusia hanya
dipengaruhi oleh faktor bawaan, sedangkan pengalaman dan pendidikan
(lingkungan) tidak berpengaruh apapun.18
Teori empirisme merupakan
kebalikan dari teori nativisme, dengan tokoh utamanya yaitu John Locke.
Ajaran teori empirisme yang sangat terkenal adalah “tabula rasa” sebuah
istilah bahasa Latin yang memiliki arti batu tulis kosong atau lembaran
kosong. Ajaran tabula rasa memiliki arti penting pengalaman, lingkungan,
dan pendidikan maksudnya adalah perkembangan manusia itu bergantung
pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan
hereditas dianggap tidak ada pengaruhnya.19
Maka teori konvergensi
merupakan teori gabungan antara teori nativisme dengan teori empirisme.
Teori ini berpendapat bahwa faktor hereditas atau pembawaan dengan
faktor lingkungan sama-sama memiliki pengaruh penting dalam
perkembangan manusia. Tokoh utama teori konvergensi ini bernama Louis
William Stern, yang merupakan seorang filosof dan psikologis Jerman.20
Dalam pendidikan, berupaya untuk mengembangkan dan
memenuhi kebutuhan tersebut secara konseptual agar berkembang.
Dengan begitu, kita dapat mengetahui betapa pentingnya pendidikan,
karena dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan potensi yang
ada pada dirinya. Fitrah manusia pada umumnya sama, akan tetapi yang
membedakan adalah pendidikan seperti apa yang mereka dapatkan,
sehingga terjadilah beragam agama dan kecerdasan setiap individu.
Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal di atas maka peneliti mengkaji
disiplin ilmu dengan lebih terkonsentrasi dengan judul Teori Konvergensi
dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam.
18
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005), Cet. II, h. 43. 19
Ibid., h. 44. 20
Ibid., h. 46.
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas,
dapat diidentifikasikan beberapa masalah, diantaranya sebagai berikut:
1. Kebanyakan manusia yang belum menyadari akan potensi dan
kreatifitas yang dimilikinya.
2. Kurangnya rasa peduli terhadap diri sendiri.
3. Belum tercapainya tujuan pendidikan yang tertuang dalam undang-
undang dan hadits Rasulullah SAW.
4. Pengaruh internet, tontonan, dan berita yang tidak layak untuk
dipertontonkan.
5. Lingkungan peserta didik yang kurang mendukung.
C. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas dan memberi arah yang tepat serta
menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, dan dengan
adanya identifikasi masalah di atas, penulis membatasi permasalahan yang
hendak diteliti diantaranya:
1. Teori konvergensi dalam perspektif pendidikan agama Islam
2. Implikasi teori konvergensi dalam pendidikan agama Islam
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, penulis ingin
mengetahui beberapa hal dari hasil penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana konsep teori konvergensi menurut William Stern?
2. Bagaimana teori konvergensi dalam perspektif pendidikan agama
Islam?
3. Bagaimana implikasi teori konvergensi dalam pendidikan agama
Islam?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian diantaranya:
9
a. Untuk mengetahui konsep teori konvergensi menurut William
Stern.
b. Untuk mengetahui teori konvergensi dalam perspektif pendidikan
agama Islam.
c. Untuk mengetahui sejauh mana implikasi atau keterlibatan teori
konvergensi dalam pendidikan agama Islam.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat bagi penulis
maupun pembaca diantaranya:
a. Diharapkan memiliki nilai akademis dan mampu memberikan
pemikiran tentang teori konvergensi dalam perspektif pendidikan
agama Islam.
b. Dapat menambah khazanah pengetahuan penulis mengenai
pendidikan agama Islam.
c. Bagi penulis agar dapat menambah wawasan tentang konsep dan
implikasi teori konvergensi sebagai modal dalam dunia pendidikan.
d. Penelitian ini dapat menjadi langkah awal dan dapat dikembangkan
oleh peneliti selanjutnya.
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Sejarah Munculnya Teori Konvergensi
Dalam ilmu psikologi sangat erat hubungannya dengan ilmu pendidikan.
Dengan pernyataan, bahwa psikologi pendidikan adalah penerapan psikologi dalam
proses belajar dan mengajar. Dengan kata lain bahwa psikologi pendidikan
merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia untuk memahami,
meramalkan, dan mengarahkan pendidikan untuk mencapai tujuan hidup.21
Kehidupan manusia dihubungkan dalam dua proses yang terus-menerus dan
berkelanjutan, yaitu perkembangan dan pertumbuhan yang saling bergantungan
satu dengan yang lainnya.
Menurut Crow dan Crow dalam buku Pendidikan dan Psikologi
Perkembangan karangan Baharuddin, kematangan atau pertumbuhan sejak
pembuahan dan seterusnya merupkan gejala alamiah. Arah terjadinya
perkembangan itu sebagai suatu hasil dari faktor-faktor luar dari individu
yang matang atau tumbuh itu bisa ditunjuk sebagai perkembangan.
Kematangan sebagai suatu proses alamiah dan perkembangan sebagai hasil
dari pengaruh kondisi-kondisi lingkungan terhadap anak selagi ia tumbuh
merupakan dua faktor yang menjadi dasar bagi proses belajar mengajar.22
Pertumbuhan merupakan proses berubahnya keadaan fisik dari hasil proses
kedewasaan karena adanya pengaruh dari lingkungan. Pertumbuhan tidak hanya
berlaku pada alam, sel, kromosom, rambut dan lain sebagainya yang bersifat
kuantifikasi, akan tetapi pertumbuhan juga dapat terdiri dari kesan, keinginan, ide,
gagasan, pengetahuan, nilai, dan lain sebagainya yang bersifat kualitatif. Jadi,
pertumbuhan fisik dapat terdiri dari kuantitas dan kualitas.23
21
Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru, (Jogjakarta : Ar-
Ruzz Media, 2012), Cet. I, h. 29. 22
Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2016), Cet. V, h. 65. 23
Ibid., h. 66.
11
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, perkembangan
merupakan perihal berkembang,24
mekar, terbuka, besar, luas, dan sebagainya.
Perkembangan merupakan proses berubahnya aspek psikologi yang meliputi setiap
kejiwaan rohani, dan kepribadian ke arah yang lebih maju yang tergerak dari
tingkah laku dan perbuatan. Istilah pertumbuhan dan perkembangan dapat juga
disebut dengan istilah kematangan, yaitu dilakukan pada saat sebelum ataupun
sesudah kegiatan belajar. Manusia disebut “matang” apabila fisik dan psikisnya
telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan pada waktu tertentu.25
Perkembangan dan pertumbuhan pada manusia memiliki prinsip-prinsip
yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya:
a. Menurut William Stern
Pendapat William Stern mengenai prinsip perkembangan dan pertumbuhan
bahwa diri seorang individulah yang menentukan berlangsungnya
perkembangan. Maka dari itu William Stern mencetuskan teori konvergensi.
b. Menurut J.L. Moreno
J.L. Moreno menolak pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan anak-anak
itu hanya bergantung dengan merasa lemahnya diri mereka dan pengaruh
lingkungan. Moreno berpendapat bahwa setiap anak memiliki kesempatan dalam
memilih jalan perkembangannya. Dapat diartikan, perkembangan manusia
berada pada diri setiap manusia ketika mereka masih anak-anak. Maka dari itu
menurut Moreno memungkinkannya pendidikan untuk dilaksanakan.
c. Menurut Jean Piaget
Jean Piaget merupakan orang yang sangat peduli terhadap perkembangan anak-
anak sampai usia 7 tahun. Menurutnya setiap anak memiliki dua faktor, yaitu
pengenalan dan perasaan. Kedua faktor tersebut berpengaruh dalam penyesuaian
ruhani terhadap lingkungan. Menurutnya pula dalam ruhani anak terdapat fungsi
pikiran, tetapi kemahiran berpikir tersebut muncul setelah tercapainya tingkat
perkembangan.
d. Menurut Montessori
24
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern
English Press, 2002), cet. III, h. 700. 25
Rohmalina Wahab, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), Cet. II, h. 94.
12
Montessori berpendapat bahwa setiap perkembangan memiliki arti biologis.
Berdasarkan dua asas utama, hukum alam memiliki konsep tertentu, yaitu:
1) Asas kebutuhan vitas, atau biasa disebut dengan masa peka.
2) Asas kehidupan.
Perkembangan jiwa dapat dipahami sebagai pelaksanaan dari suatu konsep
keteguhan jasmani dan ruhani dalam ketentuan yang sistematis dan
mendapatkan pelajaran yang penting untuk pembentukan yang tetap.
e. Menurut J.B. Watson dan Pavlov
J.B. Watson dan Pavlov berpendapat bahwa perkembangan pada intinya adalah
kumpulan dari beberapa rangsangan yang telah terlatih sehingga terbentuklah
perangai seseoyang yang sifatnya terus-menerus, yangdibawa sejak lahir.
Rangsangan yang sudah mendapatkan pembiasaan disebut dengan refleks
bersyarat. Jadi, menurutnya perkembangan itu merupakan proses terbentuknya
refleks yang wajar atau dibawa sejak lahir menjadi refleks bersyarat.26
Selain prinsip-prinsip perkembangan yang dikemukakan oleh para ahli di
atas, ada pula prinsip-prinsip perkembangan dan penerapannya dalam pelaksanaan
pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Ketuhanan Organisme
Dalam pembelajaran harus adanya dasar timbal balik dan kurikulum pendidikan
keduanya harus berinteraksi dengan baik.
b. Prinsip Tempo dan Irama Perkembangan
Pada pembelajaran guru harus memilih metode yang tepat, yaitu yang sesuai
dengan tingkat kemampuan siswa.
c. Prinsip Pola untuk Perkembangan
Sistem pendidikan yang digunakan oleh guru harus sesuai. Contohnya
sistem klasikal, yaitu peserta didik dapat dikelompokkan sesuai dengan
tingkat kemampuan perkembangan.
Sekolah dapat menyediakan media pembelajaran sesuai dengan
perkembangan siswa.
d. Prinsip Konvergensi
26
Baharuddin, Op.cit., h. 74-76.
13
Pertumbuhan dan perkembangan ditentukan oleh hereditas dan lingkungan,
maka potensi yang dimiliki peserta didik harus dapat dikembangkan melalui
pendidikan dan kemampuan anak dibatasi oleh upaya pendidikan.
e. Prinsip Bimbingan
Sangat dibutuhkannya bimbingan oleh orang dewasa bagi peserta didik yang
mengalami masalah dalam belajar.27
f. Prinsip Pematangan
Jika sudah waktunya, maka pertumbuhan dan perkembangan akan terjadi
sehingga pembelajarannya harus seuai dengan kemampuan peserta didik.
g. Prinsip Fungsional dan Dinamis
Perkembangan peserta didik akan menjadi dasar untuk menuju perkembangan ke
arah yang sempurna.28
Dalam perkembangan, pendidikan merupakan proses ketika potensi setiap
manusia akan dikembangkan secara kontinu. Faktor yang dapat mempengaruhi
suatu potensi peserta didik yaitu faktor hereditas dan lingkungan. Hereditas
merupakan penurunan sifat genetik dari orang tua kepada anaknya. Yang termasuk
ke dalam faktor-faktor hereditas adalah sifat-sifat jasmani, sifat-sifat perasaan, dan
sifat kepandaian. Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di dalam dan di
luar diri seseorang yang bersifat materiil. Beberapa hal yang mencakup lingkungan
yaitu lingkungan fisiologi (segala keadaan yang ad di dalam dan di luar diri
seseorang), lingkungan psikologi (segala rangsangan atau dorongan yang diperoleh
seseorang sejak dalam kandungan hingga meninggal), dan lingkungan sosio-
kultural (segala dorongan interaksi dan keadaan luar dalam hubungannya dengan
perlakuan orang lain).29
Para ahli telah merumuskan permasalahan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu teori
nativisme, teori empirisme, dan teori konvergensi.
27
Baharuddin, Op.cit., h. 77. 28
Baharuddin, Op.cit., h. 78. 29
Nyayu Khodijah, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), cet. II, h. 38.
14
1. Teori Nativisme
Teori nativisme dengan tokoh utamanya adalah Arthur Scopenhauer
berpendapat, bahwa perkembangan individu itu hanya ditentukan oleh beberapa
faktor pembawaan (hereditas) atau faktor yang dibawa sejak lahir. Contohnya,
jika ayahnya seorang musisi maka kemungkinan besar anaknya juga akan
menjadi seorang musisi dan jika ayahnya seorang pelukis, maka kemungkinan
besar anaknya juga akan menjadi seorang pelukis, dan sebagainya.30
Menurut teori ini, pengalaman dan pendidikan tidak memiliki arti apapun
atau tidak berpengaruh apapun. Yang menentukan pendidikan pada teori
nativisme ini adalah faktor hereditas yang bersifat kodrati dan dibawa sejak
lahir. Pembawaan tersebut tidak dapat diubah oleh pengaruh lingkungan. Maka
dari itu, pendapat seperti itu disebut dengan “Paedagogic Pesimism”.31
Teori ini
bersifat pesimistis dikarenakan tidak membutuhkan peran pendidikan. Sejak
dahulu hingga sekarang, semua orang berusaha mendidik kaum muda karena
pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan. Konsep
nativisme ini tidak dapat dijadikan teori karena tidak dianggapnya pengaruh
lingkungan dan pendidikan.32
Dengan demikian, pendidikan menurut teori
nativisme ini seluruhnya ditentukan oleh faktor hereditas atau faktor bawaan dari
dalam diri yang bersifat kodrati. Hal-hal apapun yang berasal dari luar seperti
lingkungan dan pendidikan sama sekali tidak dianggap sebagai faktor yang
menentukan perkembangan seseorang. Oleh sebab itu, teori nativisme ini tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
2. Teori Empirisme
Tokoh utama dari teori empirisme ini adalah John Lock, seorang filsuf
kebangsaan Inggris, yang terkenal dengan teorinya yaitu “tabularasa”,
maksudnya adalah bahwa seseorang terlahir seperti kertas kosong yang belum
ada tulisan apapun, maka pendidikanlah yang kan mengisi diri seseorang
30
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h.
177. 31
Fadhilah Suralaga dan Solicha, Psikologi Pendidikan, (Ciputat : Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet. I, h. 7. 32
Baharuddin, Op.cit., h. 72.
15
tersebut. Maka dari itu, teori ini disebut dengan optimisme pedagogis.
Empirisme berasal dari bahasa Latin, yaitu empiri yang berarti pengalaman.
Perkembangan sesorang ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau
pengalaman-pengalaman yang dialami dalam kehidupannya.33
Menurut pendapat empirisme, pendidikan merupakan peran penting
dalam membentuk peserta didik untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Teori
empirisme ini berbanding terbalik dengan teori nativisme, yang berpendapat
bahwa perkembangan manusia itu hanya dipengaruhi oleh faktor hereditas atau
pembawaan saja, sedangkan teori empirisme ini berpendapat bahwa
perkembangan itu hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pengalaman
(pendidikan) saja, faktor bawaan tidak sama sekali mempengaruhi
perkembangan manusia.34
Menurut perspektif Islam, teori empirisme ini memiliki sisi benarnya dan
tidak benarnya. Sisi benarnya yaitu teori empirisme ini searah dengan perspektif
Islam yang menyebutkan bahwa pendidikan atau lingkungan sangat berpengaruh
pada pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, akan tetapi tidak dapat
dikatakan sepenuhnya seperti itu, karena pendidikan dan lingkungan tidak
seluruhnya dapat berpengaruh pada peserta didik. Misalnya, perihal lahirnya
Nabi Muhammad SAW, beliau lahir di lingkungan yang kurang mendukung,
yaitu lingkungan pemuja patung dewa, lingkungan yang selalu semangat, yang
senang melakukan perang, terbiasa dengan berjudi, mabuk-mabukan, dan lain
sebagainya. Akan tetapi, Nabi Muhammad SAW bisa menjadi seorang nabi.35
Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW tidak seluruhnya terpengaruh
oleh lingkungan atau pendidikan, akan tetapi disebabkan oleh hal-hal lain,
seperti sifat, kebiasaan, dan faktor pembawaan (hereditas) yang dibawa sejak
lahir untuk menjadi seorang nabi yang mulia, serta adanya petunjuk dari Allah
SWT. Dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, faktor bawaan
33
Syafril dan Zelhendri Zen, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Depok: Kencana, 2017), cet.
I., h. 134. 34
Sumadi Suryabrata, Op.cit., h. 178. 35
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana,
2009), cet. I, h. 122.
16
(hereditas) sejak lahir dan faktor lingkungan sama-sama memiliki pengaruh
dalam membentuk potensi manusia.
3. Teori Konvergensi
William Stren merupakan ahli pendidikan bangsa Jerman yang
mempelopori teori konvergensi, menurut teori konvergensi ini bahwa seorang
anak dilahirkan dengan sifat baik dan buruk. Menurutnya, pendidikan berpaut
pada hereditas anak dan lingkungan sekitar, karena hereditas dan lingkungan itu
seperti dua hal yang memiliki tujuan yang sama.36
a. Faktor Pembawaan atau Hereditas
Pembawaan merupakan kecenderungan untuk bertumbuh dan
berkembang bagi manusia berdasarkan ciri-ciri dan sifat-sifat tertentu, yang
muncul pada saat rancangan dan berlaku sepanjang hidup seseorang.
Disebut sebagai kecenderungan karena pembawaan akan bertumbuh dan
berkembang jika mendapatkan kesempatan dan rangsangan dari luar. Kata
“bertumbuh” ini merujuk kepada aspek-aspek fisik, seperti anggota tubuh
yang sempurna, jenis rambut dan sebagainya. Sedangkan kata
“berkembang” merujuk kepada aspek ruhaniah, seperti pandai, kalem,
bersifat penyayang dan lain sebagainya.
Para ahli berpendapat bahwa gen merupakan unsur pembawa sifat
hereditas. Jadi, seorang peserta didik yang memiliki kulit hitam atau putih,
tinggi atau pendek, cerdas atau kurang cerdas ditentukan oleh sifat-sifat
yang ada pada gen tersebut. Gen tersebut berada pada sel kelamin, maka
akan berpindah dari orang tua kepada keturunannya pada masa rancangan.37
b. Faktor Lingkungan
Pada kenyataannya setiap individu merupakan bagian dari alam
sekitar yang tidak bisa lepas dari lingkungan. Sebagian ahli berpendapat
bahwa setiap individu tidak memiliki arti apapun tanpa adanya lingkungan
36
Ibid., h. 123. 37
Baharuddin, Psikologi Pendidikan: Refleksi Teoretis Terhadap Fenomena, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2016), cet. V, h. 63-67.
17
yang memengaruhinya. F. Patty dalam buku Psikologi Pendidikan: Refleksi
Teoretis Terhadap Fenomena, karangan Baharuddin berpendapat bahwa:
Lingkungan merupakan sesuatu yang mengelilingi individu di dalam
hidupnya, baik dalam bentuk lingkungan fisik seperti orang tua,
rumah, teman bermain, dan masyarakat sekitar, maupun dalam bentuk
lingkungan psikologis seperti perasaan-perasaan yang dialami, cita-
cita, persoalan-persoalan yang dihadapi dan sebagainya.38
Yang dimaksud dengan segala sesuatu yang mengelilingi individu di
dalam hidupnya bahwasanya secara tidak langsung sejak anak dalam
kandungan ia telah dipengaruhi oleh lingkungan. Misalnya seorang ibu yang
sedang mengandung suasana batinnya sedang gembira atau senang dan
sebagainya (lingkungan psikis) maka kemungkinan individu tersebut
psikisnya akan sehat. Karena sejak bayi lahir dan selama masa hidupnya,
pertumbuhan dan perkembangan individu tersebut akan dipengaruhi oleh
lingkungan, perawatan, dan makanan-makanan yang diterimanya. Sejak
individu dapat meniru dan bergaul, maka ia akan menirukan secara sengaja
ataupun tidak sengaja segala tingkah laku yang tertangkap oleh indranya.
Hal tersebut memengaruhi inidividu dengan pembawaanya yang menyaring
dan memilih berbagai pengalaman yang membentuk dan memberi warna
hidup dan kehidupannya lebih lanjut sebagai individu yang memiliki
karakter tersendiri.39
Psikologi Amerika, Sartain membagi lingkungan yang memengaruhi
individu menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Lingkungan alam luar, merupakan lingkungan alam yang akan
memberikan pengaruh pada individu, seperti daerah pantai dan
pegunungan. Daerah yang memiliki musim panas akan memberikan
pengaruh yang berbeda pula dengan daerah yang memliki musim dingin.
2) Lingkungan dalam, maksudnya adalah setiap makanan yang sedang
dalam pencernaan dan peresapan ke dalam pembuluh darah sehingga
38
Ibid., h. 68. 39
Ibid., h. 69-70.
18
memengaruhi sel-sel yang ada di dalam tubuh, hal seperti ini termasuk
ke dalam lingkungan dalam.
3) Lingkungan sosial atau masyarakat, yaitu tempat setiap individu
berinteraksi dengan individu yang lain. Situasi kondisi seperti ini akan
memberikan pengaruh tertentu terhadap perkembangan setiap individu.
Pengaruh lingkungan sosial masyarakat akan diterima secara langsung
maupun tidak langsung. Pengaruh yang diterima secara langsung
misalnya dalam pergaulan sehari-hari dengan keluarga, teman, dan lain
sebagainya. Sedangkan pengaruh yang diterima secara tidak langsung
misalnya melalui radio, televisi, beragam buku bacaan, dan dengan cara
lain.40
Pengaruh lingkungan yang diterima secara langsung ataupun
secara tidak langsung keduanya sangat berpengaruh dalam
perkembangan setiap individu dan akan lebih baik lagi jika pengaruh
masyarakat itu memiliki pengaruh yang baik.41
c. Interaksi Antara Hereditas dan Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh terhadap hereditas bagi individu.
Sebaliknya, lingkungan bergantung pada bagaimana individu
menginterpretasi dan memahaminya. Mungkin saja dua individu memiliki
hereditas yang sama, akan tetapi perkembangan keduanya berbeda jika
dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda. Begitu pula jika, keduanya
dibesarkan pada lingkungan yang sama, mungkin juga akan mendapatkan
perkembangan yang berbeda jika keduanya mempunyai hereditas yang
berbeda.42
Hubungan hereditas dan lingkungan sangat berpengaruh bagi
perkembangan individu. Bahkan sifat-sifat setiap individu merupakan hasil
interaksi antara hereditas dan lingkungan. Dapat diartikan bahwa interaksi
antara hereditas dengan lingkungan itulah yang menentukan keadaan
perkembangan unsur-unsur tertentu pada setiap individu.43
Maka dari itu,
40
Ibid., h. 70-71. 41
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2009), cet. V, h. 165. 42
Baharuddin, Op.cit., h. 72. 43
Baharuddin, Op.cit., h. 71.
19
dapat disimpulkan bahwa setiap individu adalah hasil dari hereditas dan
lingkungan.
William Stren menamakan teorinya dengan sebutan teori konvergensi,
diambil dari bahasa Inggris yaitu convergency, artinya memuat dua hal menuju
ke satu titik. Maksudnya adalah teori gabungan antara teori nativisme dengan
teori empirisme. Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh faktor hereditas
dan lingkungan sekitarnya. Karena bakat seseorang dapat berkembang karena
faktor lingkungan, sebaiknya para pendidik dapat menjadikan suasana
lingkungan yang sesuai dan bermacam-macam, agar bakat seseorang dapat
berkembang dengan baik. Menurut William Stern, hasil pendidikan itu
dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan, seperti bertemunya dua garis
menuju ke satu tujuan yang sama.
Pembawaan
Lingkungan
Selaras dengan hal tersebut, teori konvergensi berpendapat bahwa:
a. Pendidikan mungkin diberikan.
b. Pendidikan dimaksudkan sebagai penolong yang diberikan kepada
lingkungan peserta didik yang bertujuan untuk mengembangkan bakat yang
baik dan mencegah berkembangnya bakat yang buruk.
c. Hasil pendidikan dibatasi oleh pembawaan dan lingkungan.44
Sesuai dengan teori konvergensi ini, dengan kata lain pendidikan adalah
sebagai tindakan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan
pembawaan yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk.
a) Urgensi Teori Konvergensi
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor bawaan dan
lingkungan saling berhubungan dalam perkembangan individu. Bakat individu
yang merupakan salah satu faktor bawaan akan menjadi berkembang
44
Syafril dan Zelhendri Zen, Op.cit., h. 137.
Hasil Pendidikan/
Perkembangan
20
membutuhkan kesempatan untuk mengaktualisasikan bakat tersebut. Untuk itu
diperlukan lingkungan yang baik dan mendukung perkembangan bakat individu.
Pembawaan dan lingkungan dianggap penting dalam proses pendidikan,
dikarenakan keduanya adalah faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya
dalam pendidikan. Meskipun faktor lingkungan tidak terlalu fatal, namun tetap
menjadi faktor yang harus diperhatikan oleh para pendidik. Lingkungan yang
mendukung akan memudahkan keberhasilan, namun jika lingkungan anak
kurang mendukung tentu saja hasil pendidikan kurang optimal.
Sebenarnya pengaruh lingkungan terhadap perkembangan tidak terlalu
memaksa, akan tetapi, tetap memiliki pengaruh yang besar terhadap
perkemabngan individu. Sehingga pengaruh lingkungan yang dapat berupa
kesempatan-kesempatan bagi individu, tergantung pula pada keputusan individu
apakah bersikap menerima, menolak, atau netral terhadap kesempatan-
kesempatan tersebut. Dengan demikian proses perkembangan individu
merupakan suatu interaksi antara faktor bawaan, lingkungan dan penentuan diri
individu yang bersangkutan.
Manusia adalah sebagai makhluk homo educandus, yaitu makhluk yang
dapat dididik.45
Maka ia layak untuk mendapatkan didikan dari lingkungan
sekitarnya baik itu lingkungan keluarga, sekolah maupun lingkungan
masyarakat. Ia juga bertanggung jawab atas dirinya sendiri yaitu dengan cara
belajar. Sedangkan sebagai makhluk yang dapat mendidik maka wajib atasnya
untuk mendidik dan mengajarkan apa yang telah dia dapat dari belajar tersebut
walaupun yang didapatkannya itu hanya sepotong kuku, artinya apa yang ia
dapatkan baru sedikit. Sebagaimana telah dijelaskan pada Al-Qur‟an Surat At-
Taubah 122.
هم فرقة كل من ن فر ف لول ۞وما كان ٱلمؤمنون لينفروا كافهة ن ٱلدين ف لي ت فقههوا طائفة م
ذرون ولينذروا ق ومهم إذا رجعوا إليهم لعلههم ي
45
Direktorat Binbaga, Filsafat Penididkan Agama Islam, (Jakarta, 2001), h. 97.
21
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Teori konvergensi menganggap setiap manusia sepanjang hidupnya selalu
berada dalam perkembangan. Dimana dalam perkembangan tersebut didasarkan atas
tujuan pendidikan yaitu manusia penerus hingga akhir hidupnya. Berdasarkan proses
perkembangannya manusia itu selalu ditentukan oleh perpaduan pengaruh dari faktor
pembawaan (kemampuan dasar) dan faktor lingkungan sekitar, baik yang disengaja
(seperti pendidikan) maupun yang tidak disengaja seperti pergaulan dan lingkungan
alam, sesuai dengan pandangan konvergensi.
Islam telah memberikan konsep atau pandangan bahwa perkembangan manusia
diletakkan pada posisi dua titik lingkaran yaitu sebagai makhluk pribadi yang selalu
mempererat hubungan dengan Tuhan dan sekaligus menjalin hubungan dengan
masyarakatnya. Dengan ikatan dalam lingkaran inilah maka manusia menempuh
rangkaian proses perkembangan yang menuju kearah martabat hidup manusiawi sesuai
dengan kehendak Tuhannya. Sehingga antara kedua kemampuan ini saling pengaruh-
mempengaruhi dalam pribadi internal manusia muslim yang hidup dinamis.
Pandangan Islam sebagaimana tersebut di atas lebih bercorak konvergensi
karena mengakui adanya pengaruh internal (keimanan dalam pribadi) dan pengaruh
eksternal (berupa kegiatan sosialitas dalam masyarakat). Jelasnya bahwa manusia tidak
saja dipandang sebagai makhluk ideal dan struktural akan tetapi juga diletakkan pada
posisi potensial dalam proses perkembangannya.46
Namun faktor kemampuan potensial
yang alami dari anugerah Tuhanya bagaimana pun memiliki ciri-ciri khas dalam
perkembangannya menurut lingkungan sekitar dimana ia tinggal.
Dalam proses pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam mempunyai tugas
untuk mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran agama Islam, agar terwujud
kehidupan manusia yang makmur dan bahagia. Karena ajaran agama Islam mengandung
unsur pondasi bagi perkembangan seseorang. Sedangkan dalam usaha
46
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 65-66.
22
pengembangannya haruslah dilakukan secara sadar, berencana dan sistematis.47
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:
لت ركبه طب قا عن طبق
“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”.
Bahwasanya manusia dalam usaha perkembangannya tidaklah dilakukan secara
langsung, akan tetapi setahap demi setahap atau sedikit demi sedikit. Mulai manusia
tersebut dalam kandungan sampai dengan masa remaja, dewasa bahkan sampai manusia
itu kemudian mati, ia akan mengalami perkembangan yaitu melalui proses pendidikan,
baik dari dalam dirinya, keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat.
Selain William Stern, Ki Hajar Dewantara yang merupakan tokoh pendidikan
nasional juga menyepakati teori konvergensi, yaitu perkembangan manusia ditentukan
oleh dasar (nature) dan ajar (nurture). Menurutnya perkembangan peserta didik dibagi
menjadi beberapa fase mulai dari lahir sampai dewasa. Fase-fase tersebut adalah periode
yang sangat penting untuk perkembangan panca indera dan tubuh, yaitu pada jaman
wiraga (0-8 tahun). Selain itu, ada juga fase pada masa perkembangan yang mencakup
pikiran anak disebut sebagai jaman wicipta (8-16 tahun) dan ada juga fase tentang
penyesuaian diri dengan masyarakat yaitu jaman wirama (16-24 tahun). Kecepatan atau
kelambanan peserta didik pada masa perkembangan sangat bergantung pada pengaruh
lingkungannya. Faktor hereditas menurut Ki Hajar Dewantara disebut sebagai faktor
dasar. Faktor hereditas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pembawaan yang dibawa sejak lahir, misalnya seperti susunan urat syaraf,
tulang-tulang, otot-otot dan lain sebagainya.
b. Pembawaan kejiwaan, misalnya seperti pembawaan kecerdasan, tinggi-
rendahnya IQ, potensi khusus yang dapat dikembangkan.48
Adapun pengertian pendidikan yang sesuai dengan teori konvergensi tersebut
yaitu pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang merupakan tokoh pendidikan
47
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2001), h. 4. 48
Rusman, “Redefinisi Teori Among Ki Hajar Dewantara”, Edukasi,
(https://www.kompasiana.com/rusman245/5500f04ca333114e75512706/redefinisi-teori-among-ki-
hajar-dewantara). Diakses pada 17 September 2019 pukul 14.25.
23
nasional, menurutnya pendidikan merupakan upaya yang dilaksanakan dengan penuh
kesadaran yang bertujuan untuk kebahagiaan manusia. Pendidikan memiliki arti
memelihara hidup agar tumbuh ke arah yang lebih maju, tidak boleh melanjutkan
kehidupan masa lalu. Pendidikan adalah upaya kebudayaan, yang berasaskan peradaban,
artinya memajukan hidup untuk mempertinggi derajat kemanusiaan.49
Teori konvergensi bukanlah suatu hal yang baru dalam sistem pendidikan formal
di Indonesia. Pengaruh teori konvergensi ini sudah diketahui sejak pertama kali
dirumuskannya sistem pendidikan nasional di Indonesia oleh Ki Hajar Dewantara. Ki
Hajar Dewantara menyebutkan dalam tulisannya bahwa segala usaha dan cara
pendidikan harus sesuai dengan keadaan. Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga
berpendapat bahwa pendidikan itu sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
seseorang, Ki Hajar Dewantara juga mengakui adanya peran yang cukup penting dari
faktor pembawaan (dasar) yang disebut sebagai kekuasaan kodrati.50
Hasil pemikiran Ki Hajar Dewantara yang dekat dengan teori konvergensi ini
dapat juga dilihat dari mottonya yang sampai sekarang menjadi motto pendidikan
nasional, yaitu sebagai berikut:51
a. Ing ngarso sung tulodo, yang memiliki arti bahwa seorang pendidik merupakan
orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan dan seharusnya mampu
menjadi teladan yang baik bagi peserta didik.
b. Ing madya mangun karso, kata mangun karso memiliki arti membangun
kehendak dan kemauan agar dapat mengabdikan dirinya kepada cita-cita yang
tinggi. Sedangkan ing madya memiliki arti di tengah-tengah, maksudnya adalah
pergaulan sehari-harinya menciptakan suasana yang harmonis dan terbuka. Jadi
maksud dari ing madya mangun karso adalah seorang pendidikan adalah sebagai
pemimpin yang seharusnya mampu meningkatkan minat dan kemauan peserta
didik agar dapat berkarya sehingga dapat mengabdikan dirinya kepada cita-cita
yang tinggi.
49
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2005), cet. I, h. 131. 50
Jusrin Efendi Pohan, Filsafat Pendidikan: Teori Klasik Hingga Postmodernisme dan
Problematikanya di Indonesia. (Depok: Rajawali Pers, 2019), cet. I, h. 166. 51
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.
35.
24
c. Tut wuri handayani, kata tut wuri memiliki arti mengikuti dari belakang dengan
rasa cinta dan kasih sayang serta penuh tanggung jawab. Sedangkan handayani
memiliki arti membebaskan dan bimbingan dengan penuh perhatian kepada
peserta didik agar mereka dapat berkembang sesuai dengan bakat yang
dimilikinya.52
Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa tugas pendidikan itu
selain menjaga budaya masa lalu yang masih relevan, pendidikan juga harus
menerima masukan dan kreativitas yang baru. Pendidikan tidak hanya memiliki
arti untuk membangun, akan tetapi seberapa besar pendidikan dapat memberikan
manfaat untuk menopang kemajuan bangsa di masa yang akan datang, sehingga
tetap terjaganya keberadaan dan tingkat kelulusan dengan baik.53
Dengan demikian, pokok pikiran dari teori konvergensi ini bahwa
potensi atau bakat peserta didik dapat berkembang dengan sangat baik tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor bawaan atau hereditas dan juga tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan saja. Melainkan, potensi peserta didik akan
berkembang dengan sangat baik karena adanya pengaruh dari kedua faktor
tersebut terutama pendidikan.54
B. Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Dalam bahasa Arab kata pendidikan itu berasal dari kata al-
tarbiyah.55
Menurut perkataan ulama yang berkaitan dengan kata al-
tarbiyah memiliki tiga definisi, diantaranya:
a. Kata al-tarbiyah berasal dari kata rabaa, yarbuu dengan arti
bertambah dan berkembang. Pengertian al-tarbiyah ini berdasarkan
pada QS. ar-Rum [30]: 39.
52
Haryanto, Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara, (FIP UNY), h. 13.
(http://staffnew.uny.ac.id/upload/131656343/penelitian/PENDIDIKAN+KARAKTER+MENURU
T+KI+HAJAR+DEWANTORO.pdf). Diakses pada 10 September 2019 pukul 14.56. 53
Abuddin Nata, Op.cit., h. 35. 54
Ujam Jaenudin, Teori-teori Kepribadian, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), cet. I, h. 26. 55
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus adz-Dzurriyat), h.
137.
25
فطرت ا فأقم وجهك للدين حنيف ها ل ت بديل للق ٱلله ٱلله ٱلهت فطر ٱلنهاس علي
لك ٱلدين ٱلقيم ولكنه أكث ر ٱلنهاس ل ي علمون ذ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.
b. Kata al-tarbiyah berasal dari kata rabiya, yarba yang berarti
tumbuh, subur, dan berkembang. Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT dalam QS. al-Baqarah [2]: 276.
ل يب كله كفهار أثيم ا وي رب ٱلصهدقت وٱلله ٱلرب و يحق ٱلله
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,
dan selalu berbuat dosa.
c. Kata al-tarbiyah berasal dari kata rabba, yarubbu yang berarti
memperbaikinya dengan kasih sayang dan lain sebagainya, sehingga
menjadi baik setahap demi setahap. Hal ini sejalan dengan firman
Allah SWT dalam QS. al-Isra‟ [17]: 24.
هما كما رب هيان صغير ا وٱخفض لما جناح ٱلذل من ٱلرهحة وقل رهب ٱرح
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil.56
Jadi, dapat disimpulkan dari ketiga akar kata al-tarbiyah dengan
penggunaannya dalam al-Quran maka al-tarbiyah atau pendidikan secara
bahasa adalah memelihara, menumbuhkan, mengembangkan, dan merawatnya
dengan penuh kasih sayang.
56
Abuddin Nata, Op.cit, h. 18.
26
Karena sangat luasnya pengertian al-tarbiyah ini, maka Naquib al-Attas
sebagai pakar pendidikan tidak memiliki pendapat yang sama seperti pakar
pendidikan lainnya dalam menggunakan kata al-tarbiyah dengan arti
pendidikan. Karena menurutnya kata al-tarbiyah memiliki arti dan cakupan
yang sangat luas. Kata al-tarbiyah tidak hanya menjangkau manusia melainkan
menjaga juga alam jagat raya termasuk ke dalam cakupan tersebut. Menurut
Naquib al-Attas benda-benda selain manusia tidak dapat dididik karena tidak
memiliki akal, pancaindra, hati nurani, bahkan fitrah yang memungkinkan
untuk dididik. Yang memiliki potensial tersebut hanyalah manusia. Maka dari
itu, Naquib al-Attas berpendapat bahwa kata al-ta‟dib lah yang lebih cocok
untuk digunakan dalam arti pendidikan.57
Al-ta‟dib biasanya diartikan dengan pendidikan yaitu tata krama, sopan
santun,58
budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Kata al-Ta‟dib yang berakar
dari kata adab memiliki definisi pendidikan peradaban atau kebudayaan.
Maksudnya adalah, manusia yang memiliki peradaban yang unggul itu lahir
melalui pendidikan. Al-Ta‟dib menurut Naquib al-Attas adalah pengakuan serta
pengenalan yang secara berturut-turut ditanamkan kepada manusia mengenai
tempat-tempat yang sesuai dengan segala sesuatu pada aturan penciptaan,
sehingga dapat mengarahkan pengenalan dan pengakuan kekuatan dan
kemuliaan Sang Pencipta.59
Akan tetapi, tetap saja kata al-tarbiyah lebih
populer dan sering digunakan oleh para ahli dalam penyebutan pendidikan
agama Islam.
Sebagai manusia yang masih mempelajari agama, tentu sulit mengartikan
apa itu agama, apalagi di dunia ini agama sangatlah beragam. Pandangan
seseorang terhadap agama, ditentukan oleh pemahaman kita sebagai manusia
terhadap ajaran agama itu sendiri. Agar pemahaman kita terhadap agama
semakin kuat, kita diharuskan untuk mempelajarinya, tentunya dengan
dorongan pengetahuan yang tinggi.
57
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. I, h. 10. 58
Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 13. 59
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2017),
cet. V, h. 20.
27
Pengertian agama, menurut para ahli dibagi menjadi dua pengertian.
Pengertian secara bahasa dan secara istilah. Secara bahasa, agama berasal dari
kata ad-din dan religi. Kata agama ditinjau juga dari kata ad-din, yang berarti
peraturan, undang-undang, dan hukum. Dalam bahasa Arab, ad-din memiliki
arti tunduk dan patuh. Sedangkan, kata religi berasal dari bahasa Latin, yang
sebagian para ahli mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata relegere
yang memiliki arti mengumpulkan dan membaca. Selain itu, ada pula yang
mendefinisikan bahwa agama berasal dari bahasa sansakerta yaitu a yang
berarti tidak dan gama yang berarti pergi. Maka agama memiliki arti tidak
pergi, diam di tempat, langgeng, dan diwariskan secara turun temurun.60
Akan
tetapi banyak teori mengenai akar kata agama. Salah satu diantara teori tersebut
mengatakan, akar kata agama adalah gam yang diawali dengan huruf a dan
diakhiri pula dengan huruf a sehingga menjadi a-gam-a yang artinya adalah
aturan, tata cara, dan upacara atau perayaan hubungan manusia dengan raja.
Akar kata tersebut terkadang diawali dengan huruf i dan diakhiri dengan huruf
a, sehingga menjadi kata i-gam-a yang memiliki arti tata cara, aturan, dan
perayaan dalam berhubungan dengan dewa-dewa. Terkadang juga akar kata
gam diawali dengan huruf u dan diakhiri dengan huruf a, sehingga menjadi
kata u-gam-a yang memiliki arti sama dengan a-gam-a dan i-gam-a hanya saja
kata u-gam-a ini berhubungan antar manusia.61
Secara istilah, agama
merupakan aturan keyakinan adanya yang Maha Mulia di luar manusia, serta
suatu aturan kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan alam semesta,
yang sesuai dengan aturan keyakinan dan aturan penyembahan.62
Islam berasal dari bahasa Arab yaitu salama, yang berarti patuh. Dengan
kata dasarnya yaitu salima yang memiliki arti sejahtera, tidak tercela. Kata
tersebut juga berakar kata salm, silm yang berarti kepatuhan, ketenangan, dan
berserah diri.63
Maka dari itu Islam merupakan agama yang memberikan
60
Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Studi Islam: Suatu Pengantar dengan
Pendekatan Interdisipliner, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), cet. I, h. 2. 61
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2008), cet. I, h. 35. 62
Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Op.cit., h. 3. 63
Rois Mahfud, Al-Islam: Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 49.
28
bimbingan kepada manusia tentang seluruh permasalahan kehidupan duniawi
untuk mencapi tujuan atau kehidupan yang mulia, dengan berpegang teguh
kepada al-Quran dan Hadits.
Pendidikan Agama Islam merupakan rancangan yang sudah
direncanakan dalam mengatur peserta didik untuk mengetahui, merasakan,
sampai mempercayai paham tentang agama Islam disertakan dengan
bimbingan agar menghormati pemeluk agama lain dalam hubungannya dengan
kerukunan dalam hidup beragama sehingga tercapainya kesatuan dan persatuan
bangsa.64
2. Sumber Pendidikan Agama Islam
Yang dimaksud dengan sumber pendidikan agama Islam adalah referensi
yang melahirkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan diproses dalam
pendidikan agama Islam. Sumber pendidikan agama Islam menurut Sa‟id
Ismail sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Langgulung, dalam buku
karangan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir,65
terdapat enam macam,
diantaranya:
a. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an merupakan referensi utama pendidikan agama Islam.
Pada awal zaman pertumbuhan Islam, Nabi Muhammad SAW menjadikan
Al-Qur‟an sebagai referensi belajar pendidikan agama Islam. Tingkatan
Al-Qur‟an, sebagai referensi belajar yang paling pokok ditegaskan oleh
Allah dalam Al-Qur‟an surat al-Nahl: 64.
لم ٱلهذي ٱخت لفوا فيو وىد ي ؤمنون لقوم ورحة ى وما أنزلنا عليك ٱلكتب إله لت ب ي
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.66
64
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan
Kepribadian Muslim, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2011), cet. II, h. 6. 65
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Op.cit., h. 31. 66
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), cet. Xii, h. 306.
29
Al-Qur‟an menurut bahasa yaitu bacaan, berasal dari akar kata
qara-a, yang memiliki arti membaca. Sedangkan secara istilah menurut
Manna‟ al-Qathan alquran ialah kalamullah yang diturunkan kepada
Rasulullah yang membacanya dinilai ibadah. Juga menurut al-Zarqani
bahwa Alquran ialah lafal yang diturunkan kepada Rasulullah dimulai
dari surah Al-fatihah sampai akhir surat An-nas. Pengertian lebih lengkap
dipaparkan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa al-quran ialah firman Allah
yang diturunkan kepada hati Rasulullah melalui malaikat Jibril dengan
menggunakan bahasa arab agar menjadi dalil dan petunjuk bagi
manusia.67
b. As-Sunnah (Hadits)
As-sunnah atau hadits merupakan cara yang pernah dicontohkan
Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan kehidupannya melaksanakan
dakwah Islam. Contoh yang diberikan beliau dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu hadits qauliyah, fi‟liyah, dan takririyah yang merupakan sumber
yang bisa digunakan umat islam dalam setiap kegiatan sehari-hari. Hal ini
disebabkan, meskipun secara umum bagian terbesar dari syariat Islam
telah terkandung dalam al-Quran, muatan hukum tersebut belum mengatur
berbagai dimensi aktivitas kehidupan umat secara terperinci dan analitis.
Maka dapat dilihat kedudukan hadits Nabi Muhammad SAW sebagai
sumber pendidikan agama Islam yang pokok setelah al-Quran.
Eksistensinya merupakan sumber ilmu pengetahuan yang di dalamnya
terdapat keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan Ilahiah yang
tidak terdapat dalam al-Quran ataupun yang di dalamnya masih
memerlukan penjelasan secara rinci, untuk memperkuat kedudukan hadits
sebagai sumber pendidikan dan ilmu pengetahuan.68
c. Madzhab Shahabi
Sahabat merupakan orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah
SAW dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan beriman pula.
67
Muhammad Alim, Op.cit., h. 172. 68
Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), cet. I, h. 47.
30
Para sahabt rasulullah SAW memiliki keunikan sifat yang berbeda dengan
orang-orang pada umumnya, antara lain: (1) tradisi yang dilakukan oleh
para sahabat Nabi SAW sesuai dengan Sunnah Nabi SAW. (2) Tradisi
yang khusus dan aktual merupakan hasil sendiri. (3) Bagian kreatif dalam
kandungan merupakan ijtihad perorang yang telah ditegaskan dalam ijma‟.
(4) Perlakuan para sahabat Nabi SAW sama persis dengan ijma‟.
Usaha para sahabat Nabi SAW dalam pendidikan agama Islam
sangat berpengaruh bagi perkembangan pemikiran pendidikan. Misalnya
usaha yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, yaitu mengumpulkan al-
Qur‟an dalam satu mushaf yang digunakan sebagai sumber pokok
pendidikan agama Islam; membenarkan keimanan masyarakat dari
kemurtadan dan melawan masyarakat mengenai ketidak mauan dari
pembayaran zakat. Sedangkan usaha yang dilakukan oleh Umar bin al-
Khattab yaitu beliau sebagai pelopor pembaharu terhadap ajaran Islam.
Perlakuannya dalam memperluas wilayah Islam dan melawan kezaliman
merupakan cara dalam membangun startegi dan perluasan pendidikan
agama Islam. Utsman bin Affan berupaya menyatukan aturan berpikir
ilmiah dalam menggabungkan susunan al-Qur‟an dalam satu mushaf.
Sedngkan Ali bin Abi Thalib dominan merumuskan beberapa konsep
pendidikan contohnya seperti keharusan beretika peserta didik pada
pendidiknya dan semangatnya dalam belajar.
d. Mashalil al-Mursalah
Menetapkan peraturan dan hukum tentang pendidikan dalam
sebab-sebab yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash, dengan
mempertimbangkan kebaikan hidup bersama, dengan berlandaskan
mengambil kebaikan dan menolak keburukan.
Para pakar pendidikan memiliki hak untuk menentukan peraturan
pendidikan agama Islam sesuai dengan keadaan lingkungan. Ketetapan
yang disebutkan harus berdasarkan mashalil al-mursalah yang memiliki
tiga ciri: (1) sesuatu yang ditetapkan harus membawa kebaikan; (2)
kebaikan yang ditetapkan harus kebaikan yang bersifat menyeluruh
31
(mencakup seluruh masyarakat, tanpa adanya pembedaan); (3) ketetapan
yang diambil tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah.
e. „Uruf
Kebiasaan masyarakat, yang termasuk perkataan ataupun perbuatan
yang dilakukan secara terus menerus, sehingga hati merasa tenang ketika
melakukannya karena sesuai dengan akal dan diterima oleh budi
pekertinya.
Konsensus bersama dalam „uruf dapat dijadikan sebagai referensi
dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam. Dalam proses menerima „uruf
tersebut tentu memiliki syarat antara lain; (1) tidak berlawanan dengan
ketentuan al-Qur‟an dan as-Sunnah; (2) „Uruf yang dikenakan tidak
berlawanan dengan akal sehat dan budi pekerti yang baik, serta tidak
menimbulkan kerusakan dan keburukan.69
f. Ijtihad
Ijtihad secara etimologi yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh.
Sedangkan Umar Shihab mengartikan ijtihad itu dengan kesulitan. Lebih
jelasnya Umar Shihab mengartikan bahwa ijtihad itu merupakan segala
daya dan upaya untuk mengarahkan pada pengkajian, baik pengkajian
dalam ilmu hukum, ilmu kalam, maupun ilmu tasawuf. Orang yang
berkecimpung dalam pengkajian tersebut disebut dengan mujtahid.
Ijtihad merupakan sumber pendidikan agama Islam dikarenakan
proses penetapan hukum syariat yang dilakukan oleh para mujtahid dengan
menggunakan pendekatan nalar. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan
jawaban atas berbagai masalah umat yang ketentuannya tidak terdapat
dalam al-Quran dan Hadits.
3. Komponen-komponen Pendidikan Agama Islam
Komponen adalah bagian dari suatu perangkat yang berperan dalam
suatu proses agar memperoleh tujuan sistem. Komponen pendidikan
merupakan suatu bagian dari proses pendidikan, yang memastikan berhasil atau
69
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op.cit., h. 38-42.
32
tidaknya suatu proses pendidikan. Bahkan dapat pula disebut untuk berjalannya
proses pendidikan dibutuhkannya keberadaan komponen-komponen tersebut.70
Komponen-komponen dalam proses pendidikan terdiri dari lima
komponen, yaitu 1) tujuan pendidikan, 2) bahan pelajaran atau materi, 3)
metode, 4) alat atau media, dan 5) evaluasi pendidikan.71
a. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan pendidikan agama Islam pada dasarnya sama dengan tujuan
Islam. Sesuai dengan sumber pendidikan agama Islam, maka tujuan
pendidikan agama Islam merujuk kepada al-Qur‟an dan Hadits. Khususnya
yang berhubungan dengan penciptaan manusia, yaitu untuk menjadikan
manusia sebagai pengabdi Allah SWT yang setia. Ditegaskan dalam al-
Qur‟an:
نس إله لي عبدون وما خلقت ٱلنه وٱلDan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)72
Secara umum pendidikan agama Islam bertujuan untuk menumbuhkan
akidah melalui pemberian, pengembangan pengetahuan, pengamalan,
pembiasaan, serta pengalaman peserta didik mengenai agama Islam sehingga
menjadi muslim yang keimanan dan ketakwaannya kepada Alah SWT
berkembang. Serta mewujudkan manusia yang taat akan agama dan
mempunyai akhlak mulia, yaitu manusia yang memiliki pengetahuan, rajin
beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, disiplin, bertoleransi, menjaga
keharmonisan baik untuk diri sendiri maupun orang lain serta dapat
mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.73
70
Udin Syaefudin dan Abin Syamsudin Makmun, Perencanaan Pendidikan, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 51. 71
Jumanta Hamdayama, Metodologi Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2017), cet. II, h.
17. 72
Jalaludin, Pendidikan Islam: Pendekatan Sistem dan Proses, (Jakarta: Rajawalipers,
2016), cet. I, h. 143. 73
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,
Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 189.
33
Dalam GBPP PAI 1994 Pendidikan agama Islam bertujuan untuk
meningkatkan keimanan, penghayatan, pemahaman, dan pengamalan peserta
didik tentang agama Islam, sehingga menjadikan manusia yang bertakwa dan
beriman kepada Allah SWT kemudian berakhlak mulia dalam kehidupan
individu, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dari tujuan di atas, ada beberapa hal yang dapat ditingkatkan melalui
kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam, diantaranya:
1) Mengenai keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.
2) Mengenai masalah intelektual dan keilmuan peserta didik terhadap ajaran
agama Islam.
3) Mengenai pengalaman batin yang dialami oleh peserta didik selama
menjalankan ajaran agama Islam.
4) Mengenai pengamalannya, maksudnya adalah ajaran agama Islam yang
telah diimani, dipahami, dan dihayati oleh peserta didik dapat
menumbuhkan motivasi untuk menjalankan, mengamalkan, dan menaati
ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.74
b. Bahan Pelajaran atau Materi
Bahan pelajaran merupakan inti yang akan disampaikan dalam proses
belajar mengajar. Oleh sebab itu, guru yang akan mengajar pasti mempunyai dan
mendalami materi yang akan disampaikan kepada peserta didik.75
Peserta didik
juga merupakan salah satu bagian komponen penting dalam pendidikan, maka
Amstrong berpendapat mengenai beberapa permasalahan mengenai peserta didik
yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Permasalahan itu mengenai latar
belakang budaya masyarakat peserta didik, tingkat kemampuan peserta didik,
masalah yang dirasakan oleh peserta didik dan penguasaan bahasa peserta didik
di sekolah. Berdasarkan permasalahan tersebut diharuskan adanya pendidikan
yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus kepada peserta
74
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012),
cet. V, h. 78. 75
Jumananta Hamdayama, Loc.cit.
34
didik yang mempunyai kelainan, dan penanaman sikap dan tanggung jawab pada
peserta didik.76
c. Metode
Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Metode juga bertujuan sebagai cara dalam mentransfer nilai-
nilai pendidikan yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik. Maka dari
itu, penggunaan dari metode dalam pendidikan sangat diperlukan. Beberapa
metode dalam pendidikan yaitu metode proyek, metode eksperimen, metode
diskusi, metode demonstrasi, metode karya wisata, dan lain sebagainya.
d. Alat atau Media
Alat atau media merupakan sesuatu yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan pendidikan atau pengajaran sehingga pendidikan yang
berlangsung sesuai dengan apa yang diharapkan. Contohnya, grafik, bagan, dan
komputer.
e. Evaluasi Pendidikan
Evaluasi merupakan suatu kegiatan mengumpulkan data secara
mendalam da menyeluruh, yang berkaitan dengan kemampuan peserta didik
yang bertujuan agar mengetahui hasil belajar peserta didik sehingga dapat
mengembangkan kemampuan belajarnya.77
Konsep yang paling penting dalam
evaluasi adalah evaluasi harus bersifat kontinu dan menyeluruh. Kontinu
dipraktikkan pada saat melaksanakan tes harian, tes bulanan, dan tes akhir
program. Menyeluruh dipraktikkan pada saat melaksanakan tes yang
dimaksudkan kepada seluruh aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Satu hal yang harus dipertimbangkan oleh pendidik dalam evaluasi
pendidikan agama Islam atau penilaian yaitu masalah pengamalan agama oleh
peserta didik baik di rumah, di masyarakat, ataupun di sekolah.78
Komponen-komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
76
Udin Syaefudin dan Abin Syamsudin Makmun, Op.cit., h. 52. 77
Jumananta Hamdayan, Op.cit., h. 18. 78
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1997), h. 94.
35
4. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Dalam buku Pendidikan Agama Islam di SMP dan SMA karangan
Ismatu Ropi, Fuad Jabali, Oman Fathurrahman, Din Wahid, Didin Syafrudin
menjelaskan tentang ruang lingkup pendidikan agama Islam. Dengan tujuan
agar pendidik dapat memahami berbagai konsep dasar dalam pengajaran
agama Islam di sekolah. Ada 5 macam materi dalam pendidikan agama Islam,
yaitu al-Qur‟an, Aqidah, Akhlak, Fikih, dan Tarikh dan Kebudayaan Islam.
Masing-masing telah disebutkan berbagai macam mata pelajarannya,
diantaranya:
a. Al-Qur‟an, mata pelajarannya mencakup; berlomba-lomba dalam
kebaikan, bersih dan sehat, etos kerja, ikhlas, ilmu pengetahuan dan
teknologi, khalifah, penciptaan manusia, lingkungan, manusia, menuntut
ilmu, musyawarah, peduli, sabar, toleransi agama.
b. Aqidah, mata pelajarannya mencakup; arsy, azali, fatalisme, hari kiamat,
ikhtiar, iman, ismah, istiqomah, kafir, malaikat, hal-hal ghaib, mukjizat,
nasib, qadha dan qadar, qanaah, risalah, sunatullah, syirik, taaguut,
takhayul, tawakal, dan ulu al-Azmi.
c. Akhlak, yang termasuk ke dalam mata pelajarannya diantaranya; adil,
akhlak, amanah, ananiyah, ghadab, hasad, hilm, husn al-Dann, iffah,
ikhlas, israf, munafik, muruah, namimah, raja, ridha, riya, sabar, taat,
takabur, qanaah, tasamuh, taubat, tawadhu, tawakal.
d. Fikih, yang termasuk ke dalam materi pelajarannya diantaranya; akikah,
aurat, baitul mal, dakwah, darurat, faraid, fasakh, hablun min al-Nas dan
hablun min al-Lah, hadanah, haid, harfiyah, hijab, idah, idulfitri dan
iduladha, ijab kabul, ijma, ijtihad, ila, jenazah, kafarat, khiyar, khulu,
kurban, lian, menghadap kiblat, mudarrabah, mukallaf, mumayyiz,
musafir, puasa, qiyas, ria, rukhsah, shalat dan khutbah Jum‟at, shalat
jamak dan qasar, macam-macam sujud (sahwi, syukur, tilawah), syarak
(hukum Islam), talak, waris, wasiat, zakat, zihar.
e. Tarikh dan Kebudayaan Islam, ada beberapa materi pelajaran diantaranya;
Abdurrahman bin Awf, Abu Bakar, Abu Hurairah, Abu Jahal, Abu Lahab,
36
Abu Sufyan bin Harb, Abu Thalib, Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Anshar,
badar, bay‟ah, bayt al-mal, Hamzah, hijrah, perjanjian hudaibiyah, Hunain,
Ibnu Abbas, jahiliyah, jama‟ah, ka‟bah, Khadijah, khalifah, perang
khandaq, Madinah, Mekkah, Mu‟awiyah bin Abi Sufyan, Muhammad,
piagam Madinah, Quraisy, riddah, sahabat, perang siffin, suku, tabuk,
Thalhah bin Ubaidillah, perang uhud, Umar bin Khattab, umat, Utsman bin
Affan, Yahudi, Zayd bin Tsabit, Al-Zubayr bin al-Awwam.79
5. Tugas dan Fungsi Pendidikan Agama Islam
a. Tugas Pendidikan Agama Islam
Tugas pendidikan agama Islam secara umumnya merupakan
mengarahkan dan membimbing perkembangan dan pertumbuhan peserta
didik dari tingkatan kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan
tertinggi.
Tugas pendidikan agama Islam dapat ditinjau melalui tiga
pendekatan, diantaranya: pendidikan agama Islam sebagai proses
pewarisan budaya, pengembangan bakat, dan hubungannya antara budaya
dan bakat.
Sebagai pengembangan bakat, pendidikan agama Islam memiliki
tugas mendapatkan dan mengembangkan kecakapan dasar peserta didik,
sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama
Islam sebagai proses pewarisan budaya memiliki tugas sebagai alat
penyebaran bagian-bagian utama budaya dari satu generasi ke generasi
selanjutnya, sehingga tetap terjaganya identitas peserta didik dalam
tantangan zaman. Adapun pendidikan agama Islam sebagai interaksi antara
budaya dan bakat, memiliki tugas yaitu sebagai cara memberi dan
mengambil antara manusia dan lingkungan. Dengan cara tersebut, peserta
didik akan mampu menghasilkan dan mengembangkan kreativitas-
kreativitas yang dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan-keadaan
kemanusiaan dan lingkungannya.
79
Ismatu Ropi, dkk., Pendidikan Agama Islam di SMP dan SMA, (Jakarta: Kencana,
2012), cet. I, h. Xxvi.
37
Agar tugas pendidikan agama Islam dapat tercapai dan berjalan
dengan baik seharusnya dipersiapkan keadaan pendidikan yang fleksibel,
dinamis, dan mendukung.80
b. Fungsi Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama Islam diharuskan dapat menjalankan fungsinya
secara terstruktur ataupun institusional. Fungsi pendidikan agama Islam
secara terstruktur diharuskan adanya struktur organisasi yang mengatur
jalannya proses pendidikan, baik pada dimensi vertikal maupun horizontal.
Sedangkan fungsi pendidikan agama Islam secara institusional memiliki
implikasi bahwa proses pendidikan yang berjalan seharusnya dapat
memnuhi kebutuhan dan mengikuti perkembangan zaman yang terus
berkembang. Maka dari itu, dibutuhkannya kerjasama berbagai jalur dan
jenis pendidikan mulai dari sistem pendidikan sekolah maupun pendidikan
luar sekolah.
Jika ditinjau secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari
dua bentuk, yaitu:
1. Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-
tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide
masyarakat dan nasional.
2. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada
hakikatnya, cara ini dilakukan dengan cara potensi ilmu pengetahuan
dan keterampilan yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga peserta
didik yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial
dan ekonomi yang demikian dinamis.81
C. Hasil Penelitian Relevan
1. Bagus Akbar Saputra, Sarjana Universitas Islam Negeri Sunana Kalijaga
Yogyakarta tahun 2017, dengan judul skripsi “Konsep Konvergensi Menurut
Ki Hadjar Dewantara dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Agama
80
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2015), cet. IV, h. 122. 81
Ibid., h. 123.
38
Islam”. Berdasarkan penelitian di atas bahwa konsep teori konvergensi
menurut Ki Hadjar Dewantara memiliki hubungan dengan tujuan pendidikan
agama Islam. Jadi, dapat pula dikatakan bahwa teori konvergensi ini memiliki
keselarasan dengan teori fitrah dalam agama Islam, dan juga sesuai apabila
dijadikan sebagai patokan dalam mengembangkan konsep pencapaian tujuan
pendidikan agama Islam dengan melakukan penelaahan terhadap tujuan
falsafah tamansiswa yaitu tertib damai salam bahagia yang selaras dengan
tujuan khalifah fil ard.82
2. Konsep Pengembangan Pendidikan Islam (Analisis Komparatif Teori Fitrah
dalam Islam dan Asas-asas Filsafat Pendidikan Barat) penelitian ini dilakukan
oleh Triwidyastusi, Magister Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.
Berdasarkan penelitian di atas bahwa jika dilihat dari konsep pendidikannya
teori konvergensi lebih memiliki nilai dibandingkan dengan teori nativisme
dan teori empirisme. Teori konvergensi merupakan gabungan dari kedua teori
tersebut, maka hampir sama dengan teori fitrah. Akan tetapi, teori konvergensi
ini tidak sebanding dengan teori fitrah karena teori konvergensi cenderung
bersifat keduniawian. Lebih mementingkan kesuksesan dunia dan
meninggalkan orientasi akhirat. Atau biasa disebut dengan antroposentris
(tanpa melibatkan Tuhan). Sedangkan dalam teori fitrah manusia dapat
mengembangkan dirinya tidak hanya dengan faktor hereditas dan lingkungan
saja, tetapi juga melibatkan urusannya dengan Tuhan.83
3. Yusuf Dwi Hadi, Sarjana Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam
Negeri Tulungagung, tahun 2014, dengan judul skripsi “Konsep Pembentukan
Kepribadian Anak Menurut Teori Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan
Islam”. Berdasarkan penelitian di atas bahwa konsep pembentukan
kepribadian anak menurut teori konvergensi kepribadian anak itu hanya
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor bawaan dan faktor lingkungan.
82
Bagus Akbar Saputra, “Konsep Konvergensi Menurut Ki Hadjar Dewantara dan
Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Agama Islam”, Skripsi pada UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Yogyakarta, 2017, h. 17. 83
Triwidyastuti, “Konsep Pengembangan Pendidikan Islam (Analisis Komparatif Teori
Fitrah dalam Islam dan Asas-asas Filsafat Pendidikan Barat)”, Tesis pada Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, h. 15.
39
Sedangkan jika dilihat dalam perspektif pendidikan Islam bahwa manusia
telah mempunyai potensi, yang mencakup keimanan, ketauhidan, keIslaman,
keselamatan, keikhlasan, kesucian, cenderung menerima kebaikan dan
kebenaran, dan sifat-sifat baik lainnya. Semua potensi tersebut bukan
diturunkan dari orang tua, akan tetapi diturunkan oleh Allah SWT. Proses
pemberian potensi-potensi itu melalui struktur ruhani.84
84
Yusuf Dwi Hadi, “Konsep Pembentukan Kepribadian Anak Menurut Teori
Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam”, Skripsi pada IAIN Tulungagung,
Tulungagung, 2014, h. 90.
40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Teori Konvergensi dalam Perspektif
Pendidikan Agama Islam” ini berlangsung sejak disetujuinya judul
proposal skripsi yaitu pada 10 Januari 2019 sampai dengan 19 Maret
2019.
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Perpustakaan Utama Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan diberbagai tempat yang
mendukung untuk penulis menyusun penelitian ini.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara ilmiah yang bertujuan untuk
mendapatkan data dengan maksud dan kegunaan tertentu. Hillway
berpendapat bahwa penelitian merupakan suatu metode studi yang
dilakukan oleh seseorang melalui penyelidikan yang sempurna terhadap
suatu masalah, agar dapat memecahkan masalah tersebut dengan tepat.85
Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian kepustakaan adalah salah satu jenis penelitian
kualitatif yang pengumpulan datanya dilakukan di perpustakaan.86
Penelitian kepustakaan ini lebih menekankan pada kekuatan analisis data
pada sumber-sumber data yang ada, yang diperoleh dari literatur berupa
buku-buku dan tulisan-tulisan lainnya serta dengan mengandalkan teori-
teori yang ada, untuk dianalisis dan diinterpretasikan87
yang secara luas
85
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Galia Indonesia, 2013), h. 10 86
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), cet. III, h. 190. 87
Interpretasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemberian kesan, pendapat
atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran.
41
dan mendalam. Untuk itu peneliti menggunakan pendekatan deskriptif
kepustakaan dengan berdasarkan tulisan yang mengarah pada pembahasan
skripsi yang sedang peneliti kerjakan.
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dapat dikumpulkan dari berbagai tempat,
berbagai sumber, dan berbagai cara.88
Literatur yang dijadikan sumber
acuan dalam kajian pustaka seharusnya menggunakan sumber primer dan
dapat juga menggunakan sumber sekunder. Sumber data primer
merupakan sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber yang
tidak langsung memberikan data pada pengumpul data89
atau sumber lain
yang masih berkaitan dengan pembahasan. Oleh karena itu, sumber data
yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Sumber data primer pada penelitian skripsi ini meliputi buku-buku dan
jurnal yang berhubungan dengan teori konvergensi menurut William
Stern, yaitu sebagai berikut:
a. William Stern, Psychologhy of Early Childhood: Up to The Sixth
Year of Age, Terj. Anna Barwel, diterbitkan oleh Routledge Taylor
and Francis Group.
b. James T. Lamiel dan Werner Deutsch, In The Light of a Star: An
Introduction to William Stern‟s Critical Personalism.
c. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
diterbitkan oleh PT Remaja Rosdakarya.
d. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, diterbitkan oleh PT
Remaja Rosdakarya.
e. Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, diterbitkan
oleh Rajawali Pers.
88
Rully Indrawan dan R. Poppy Yaniawati, Metodologi Penelitian: Kualitatif,
Kuantitatif, dan Campuran untuk Manajemen, Pembangunan, dan Pendidikan, (Bandung: Refika
Aditama, 2014), cet. I, h. 141. 89
Ibid., h. 141.
42
2. Sumber data sekunder pada penelitian skripsi ini meliputi buku-buku
literatur, ensiklopedia, internet, dan lain sebagainya yang mendukung
dalam pembahasan dan penyelesaian dalam penyusunan skripsi yang
sedang peneliti kerjakan, diantaranya sebagai berikut:
a. Jusrin Efendi Pohan, Fisafat Pendidikan, diterbitkan oleh PT
RajaGrafindo Persada.
b. Syafril dan Zelhendril Zen, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan,
diterbitkah oleh Kencana.
c. Rohmalina Wahab, Psikologi Belajar, diterbitkan oleh Rajawali
Pers.
d. Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,
diterbitkan oleh Kencana.
D. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, data didapat dari beberapa sumber
dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam
dan dilakukan secara kontinu sampai datanya terpenuhi.90
Analisis data
merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam penelitian karena dari
analisis ini akan mendapatkan temuan, baik temuan yang bersifat
substantif maupun formal. Pada dasarnya analisis data merupakan suatu
kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi
tanda, dan mengategorikannya sehingga diperoleh temuan berdasarkan
fokus yang akan dijawab.
Karena penelitian ini berjenis kajian pustaka, maka teknis analisis
data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi. Selain itu,
dengan menggunakan analisis isi ini dapat membandingkan antara satu
buku dengan buku lainnya dalam bidang yang sama, baik berdasarkan
perbedaan waktu, penulisanya, ataupun mengenai standar kualitas buku-
90
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, kulitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta), h.
243.
43
buku tersebut dalam mencapai sasarannya sebagai bahan yang disajikan
kepada masyarakat.91
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian
ini dimulai dengan pengumpulan data, yaitu membuat catatan data yang
dikumpulkan melalui studi dokumentasi yang dilakukan terhadap buku-
buku mengenai teori konvergensi, kemudian mendeskripsikannya dari
setiap sumber baik primer maupun sekunder yang berhubungan dengan
teori konvergensi dalam perspektif pendidikan agama Islam, setelah data
terkumpul maka hal yang dilakukan selanjutnya adalah penarikan
kesimpulan. Hal ini dilakukan agar penulis dapat mengetahui konsep teori
konvergensi dalam pendidikan agama Islam.
E. Fokus Penelitian
Subjek penelitian ini merupakan tentang Teori Konvergensi dalam
Perspektif Pendidikan Agama Islam.
Cara penyajian penelitian ini bersifat deskriptif analitik. Penyajian
deskriptif ini menjelaskan tentang konsep teori konvergensi menurut
William Stern.
F. Prosedur Penelitian
Tahap-tahap pada penelitian ini terdiri dari tiga tahap, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan ini merupakan tahap awal yang dilakukan oleh
peneliti. Pada tahap ini peneliti mengunjungi perpustakaan utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dalam rangka untuk mencari data-data
yang sesuai dengan judul skripsi.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini, peneliti mulai mengumpulkan data dari
buku-buku, jurnal, artikel, dan sebagainya yang berkaitan dengan judul
91
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), cet. I, h.
181.
44
skripsi. Sumber yang didapat untuk penelitian merupakan sumber dari
perpustakaan dan internet
3. Tahap Tahap Penyelesaian
Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian yaitu peneliti berusaha
menyimpulkan hasil analisis, kemudian menyusun data dalm bentuk
hasil penelitian.
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Konsep Teori Konvergensi Menurut William Stern
1. Biografi William Stern
William Stern lahir pada tahun 1871 di Berlin dengan nama
lengkapnya yaitu Louis William Stern. Dimana ia menghabiskan
tahun-tahun pembentukannya, termasuk tahun belajarnya di
universitas. Stern merupakan anak dari seorang psikolog dan filsuf
Jerman yang dalam sejarah tercatat sebagai pencetus psikologi
kepribadian dan kecerdasan. Dia adalah orang yang menemukan IQ
(intellegence quotient), yang kemudian Lewis Ternan dan para
peneliti lain menggunakannya dalam pengembangan pertama tes IQ,
yang berdasarkan dengan karya Alferd Binet. Stern merupakan
seorang ayah dari Gunther Anders yang merupakan seorang penulis
dan filsuf Jerman.92
Pada tahun 1897, Stern menemukan variator nada
yang memungkinkan dia untuk melakukan penelitian mengenai
persepsi manusia terhadap suara dengan cara yang belum pernah
terjadi sebelumnya.93
Pada tahun yang sama Stern mendapatkan gelar
doktornya di Universitas Berlin, di bawah bimbingan Herman
Ebbinghaus.
William Stern menikah dengan seorang psikolog yang
bernama Clara Joseephy, dan dikaruniai sebanyak tiga orang anak
yang diberi nama Hilde, Gunther, dan Eva, masing-masing lahir pada
tahun 1900, 1902, dan 1904, yang kemudian mereka menjadi ahli ilmu
92
James T. Lamiel dan Werner Deutsch, In The Light of a Star: An Introduction to
William Stern‟s Critical Personalism, p. 716.
(https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0959354300106001) Diakses pada 17 September
2019 pukul 15.31. 93
WHO Schmidt, Dialogue with a Human Scientist: William Stern (1871-1938),
(University of Alberta), p. 2.
(https://journals.library.ualberta.ca/pandp/index.php/pandp/article/download/14990/11811).
Diakses pada 17 September 2019 pukul 15.18.
46
pengetahuan dan menjadi filsuf.94
Pada tahun 1907, Stern bersama
istrinya menerbitkan sebuah buku tentang bahasa anak yang
berdasarkan buku harian Clara Stern dari pengembangan ketiga anak
mereka dan juga pada semua literatur yang relevan yang tersedia pada
saat itu.95
Pada tahun 1916 Stern pergi ke Hamburg, kemudian diangkat
sebagai Profesor Psikologi di Universitas Hamburg. Pada tahun 1933
Stern menjabat sebagai Direktur Institut Psikologi. Stern merupakan
seorang Yahudi yang hidup pada zaman pemerintahan yang
dijatuhkan oleh sistem pengelola pemerintah yang dijalankan oleh
Hitler setelah Nazi. Stern mencari tempat perlindungan sementara di
Belanda, kemudian pada tahun 1934 Stern pergi ke Amerika Serikat
dan diangkat sebagai Dosen dan Profesor di Duke University. Stern
mengajar di Duke University sampai waktu kematiannya pada tahun
1938.96
2. Konsep Teori Konvergensi William Stern
Menurut Djumransjah teori konvergensi merupakan teori yang
mengkompromikan dua macam teori yang ekstrem, yaitu teori
nativisme dan teori empirisme, dimana faktor pembawaan dan
lingkungan sama-sama memiliki peran penting dan keduanya
berpengaruh terhadap hasil perkembangan peserta didik.97
Tokoh utama teori konvergensi ini adalah William Stern yang
merupakan seorang filosof dan psikolog Jerman. Aliran filsafat yang
dirintis oleh William Stern disebut “personalisme”, yaitu pemikiran
filosofis yang sangat memberikan pengaruh terhadap disiplin-disiplin
ilmu yang berhubungan dengan manusia. Asas personalisme juga
digunakan oleh disiplin ilmu yaitu “personologi” yang
94
James T. Lamiel dan Werner Deutsch, Loc.cit. 95
WHO Schmidt., Op.cit., p. 3. 96
WHO Schmidt., Loc.cit. 97
Djurmansjah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Malang: 2004), h. 61.
47
mengembangkan teori yang komprehensif berkenaan dengan
kepribadian manusia.98
“When two opposite stndpoints can each bring forward
weighty arguments in support of their position, the truth must
lie in a union of both, psychic development is not simply the
gradual appearance of inborn qualities nor a simple
acceptance and response to outside influences, but the result
of a „convergence‟ between inner qualities and outer
conditions of development”.99
Maksud dari kutipan diatas adalah faktor yang mempengaruhi
perkembangan manusia tidak hanya berlandaskan pada lingkungan
atau pengalaman saja dan juga tidak hanya berlandaskan pada faktor
pembawaan atau hereditas saja, akan tetapi berlandaskan pada kedua
faktor yang sama-sama memiliki peran penting. Faktor pembawaan
atau hereditas tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya faktor
lingkungan, begitu pula sebaliknya, faktor lingkungan atau
pengalaman tanpa faktor pembawaan tidak akan sanggup
mengembangkan manusia sesuai dengan harapan.
Para tokoh yang menganut teori konvergensi mempercayai
bahwa faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama
memiliki pengaruh yang sangat penting dalam menentukan masa
depan seseorang. Misalnya apabila seorang peserta didik yang terlahir
dari keluarga kiai, suatu saat nanti seorang peserta didik tersebut akan
menjadi ahli agama apabila dididik di lingkungan pendidikan
keagamaan.100
Mungkin sebagian orang lebih banyak ditentukan oleh faktor
lingkungannya. Akan tetapi, mengenai faktor pembawaan yang
bersifat jasmaniah hampir dapat dipastikan bahwa semua orang sama,
yaitu akan berbentuk badan, berambut, dan lain sebagainya yang sama
98
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja
RosdaKarya, 2017), cet. XXII, h. 45. 99
William Stern, Psychology of Early Childhood: Up to The Sixth Year of Age, Terj.
Anna Barwell, (New York: Routledge Taylor & Francis Group, 1924), p. 49.
48
dengan kedua orang tuanya. Namun, mengenai faktor pembawaan
yang bersifat rohaniah sangat sulit untuk diketahui. Banyak tanda
yang menunjukkan, bahwa atak dan bakat seseorang yang tidak
memiliki kesamaan dengan kedua orang tuanya, setelah ditelaah
ternyata watak dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau
ayah/ibu kakeknya. Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan, bahwa
tidak semua bakat dan watak seseorang dapat dapat diturunkan
langsung kepada nak-anaknya, akan tetapi memungkinkan kepada
cucunya atau anak-anak cucunya. Sebagai contoh konkritnya, bahwa
tiap anak manusia yang normal memiliki bakat untuk berdiri tegak di
atas kedua kakinya, akan tetapi bakat seperti ini tidak akan menjadi
kenyataan apabila anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan
manusia.101
Pandangan ini bisa dibenarkan, karena konvergensi berangkat
dari sekularisme yang mengangap agama tidak memiliki peran penting
dalam totalitas kehidupan manusia. Bakat atau potensi dalam
konvergensi adalah potensi yang kosong dari nilai-nilai agama
(tauhid). Seperti yang terjadi pada kisah Nabi Ibrahim, walaupun
bapaknya merupakan seorang kafir, produsen berhala dan lingkungan
sekitarnya dipenuhi dengan kemusyrikan, tetapi Nabi Ibrahim adalah
seorang mukmin dan menjadi Nabi bagi umatnya pada masa itu
karena memang pada setiap diri manusia telah terdapat potensi tauhid
yang akan berkembang jika manusia berusaha merealisasikannya
dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dengan bimbingan wahyu Ilahi
itulah ia dapat mengembangkan potensi tauhidnya sehingga ia dapat
menemukan kebenaran yang hakiki. Pada salah satu khutbahnya yang
dimuat dalam Nahj al-Balagah, dan sesudah menyinggung penciptaan
langgit dan bumi, Ali bin Abi Thalib berkata:
“Kemudian Allah mengutus rasul-rasul-Nya di tanah mereka,
dan berturut-turut mengirimkan nabi-nabi-Nya agar mereka
101
Muhibbin Syah, Loc.cit.
49
merealisasikan perjnjian fitrah mereka, mengingatkan mereka
akan nikmat-nikmat-Nya yang telah mereka lupakan, agar
mereka dapat menyampaikan risalah, membangkitkan
pendaman-pendaman akal mereka, dan memperlihatkan
kepada mera tanda-tanda kekuasaan-Nya”.102
Perlu diketahui, bahwa keberhasilan seorang peserta didik
bukan hanya karena pembawaan dan lingkungan saja, karena peserta
didik tidak hanya dikembangkan oleh faktor pembawaan dan faktor
lingkungan, tetapi oleh diri peserta didik itu sendiri. Setiap orang atau
peserta didik mempunyai potensi self-direction dan self-discipline
yang memungkinkan dirinya bebas dalam memilih, antara mengikuti
atau menolak sesuatu lingkungan tertentu yang akan mengembangkan
dirinya. Dengan begitu peserta didik memiliki potensi psikologi
tersendiri untuk mengembangkan bakat dan pembawaannya dalam
situasi lingkungan tertentu.103
Hal di atas memiliki maksud yang sama dengan artikel yang
ditulis oleh James T. Lamiel dan Werner Deutsch, yang menyatakan:
“Development is a process that entails the convergence of
inner and outer factors. A person is a totality with different
facets, and acquires an identity which changes over the course
of his/her development. A human person relates both to
him/herself and to other persons, and s/he both influences and
is influenced by those others. Importantly, a human person is
able to grasp his/her own finitude”.104
Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa pendapat tentang
ajaran filosofis yang berkaitan dengan proses perkembangan tersebut,
bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya kualitas hasil
perkembangan peserta didik pada dasarnya terdiri dari dua macam,
yaitu sebagai berikut:
102
Siti Fauziyah, “Konsep Fitrah dan Bedanya dari Nativisme, Empirisme, dan
Konvergensi”, Jurnal Aqlania, Vol. 08. No. 01, ISSN. 2087-8613, 2017, h. 98. 103
Muhibbin Syah, Op.cit., h. 46. 104
James T. Lamiel dan Werner Deutsch, Op.cit., p. 726.
50
Pembawaan
Lingkungan
Hasil Pendidikan/
Perkembangan
1. Faktor intern, yaitu faktor yang terdapat pada diri peserta didik
yang mencakup pembawaan dan potensi psikologis yang ikut
serta mengembangkan dirinya sendiri.
2. Faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang dari luar diri peserta
didik yang mencakup lingkungan (khususnya pendidikan) dan
pengalaman berinteraksi siswa tersebut dengan lingkungannya.105
Ada tiga teori konvergensi yang disampaikan oleh William
Stern, yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan mungkin dilaksanakan.
2. Pendidikan dimaksudkan sebagai penolong yang diberikan kepada
lingkungan peserta didik yang bertujuan untuk mengembangkan
bakat yang baik dan mencegah berkembangnya bakat yang buruk.
3. Hasil pendidikan dibatasi oleh pembawaan dan lingkungan.
Perspektif teori konvergensi tentunya memberikan arah yang
jelas, yang berkenaan dengan pentingnya pendidikan. Pendidikan
harus dilaksanakan agar potensi peserta didik dapat ditingkatkan.
Sehingga bakat dan kompetensi yang ada pada peserta didik semakin
mahir. Jadi, semuanya berjalan sesuai dengan perannya masing-
masing.106
Dari kedua faktor tersebut, berarti hasil pendidikan atau
perkembangan, merupakan hasil dari kolaborasi antara potensi
pembawaan dan lingkungan termasuk pendidikan. Interaksi antara
pembawaan dan lingkungan (sudah termasuk pendidikan) akan
105
Muhibbin Syah, Op.cit., h. 47. 106
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017),
cet. XIII, h. 56.
51
mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan, apabila
peserta didik mampu berperan aktif dalam mencernakan segala
pengalaman yang diperolehnya.
Analisis teori konvergensi ini meskipun dalam hal-hal tertentu
sangat diutamakan bakat dan potensi lainnya dari anak (bidang
kesenian, keterampilan tertentu), akan tetapi usaha penciptaan
lingkungan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan itu
diusahakan secara optimal. Dengan kata lain, meskipun peranan teori
nativisme dan empirisme tidak sepenuhnya ditolak, tetapi penerimaan
dilakukan dengan pendekatan efektif fungsional yakni diterima sesuai
kebutuhan, namun ditempatkan dalam teori konvergensi. Seperti
diketahui, tumbuh kembang manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor
yaitu hereditas, lingkungan, proses perkembangan diri sendiri, dan
anugrah (merupakan pencerminan pengakuan atas adanya kekuasaan
yang lebih besar (Allah Yang Maha Kuasa) yang ikut menentukan
nasib manusia.
B. Teori Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Agama
Islam
Allah menciptakan manusia dalam susunan rangka yang sempurna
di antara makhluk Allah yang lain. Susunan rangka manusia terdiri dari
dua unsur, yaitu unsur jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (psikologis).
Dalam dua unsur tersebut Allah memberikan kemampuan dasar yang bisa
berkembang. Berkembangnya dua unsur tersebut dalam psikologi disebut
potensialitas (kemampuan dasar yang dapat berkembang).107
Islam menjelaskan bahwa pembawaan dan lingkungan sama-sama
memiliki pengaruh dalam perkembangan dan pertumbuhan anak. Dalam
istilah psikologi disebut dengan teori konvergensi yaitu yang
mencampurkan antara teori nativisme dengan teori empirisme, yaitu antara
pembawaan dengan lingkungan. Sedangkan dalam Islam memiliki istilah
107
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 2006), h. 42.
52
teori fitrah. Secara bahasa, kata fitrah berarti “ciptaan” atau “penciptaan”.
Selain itu, kata fitrah juga dapat diartikan sebagai “sifat dasar atau
pembawaan” dapat pula diartikan sebagai “potensi dasar yang alami”
pengetahuan tentang Tuhannya. Dengan demikian, maka kata fitrah
merupakan sifat dasar atau potensi pembawaan ketauhidan atau keislaman
yang diciptakan oleh Allah sebagi dasar suatu proses penciptaan.108
Di lingkungan sebagian pemikir Islam mereka berpendapat, bahwa
ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan ajaran
yang mendukung teori konvergensi. Dalam hadits Rasulullah SAW
misalnya bahwa setiap manusia yang dilahirkan mempunyai fitrah, yaitu
asal kejadian yang diberikan Allah SWT kepada manusia berbentuk asal
kejadian untuk meyakini adanya Tuhan, menyukai keindahan, memiliki
bakat-bakat tertentu dan lain sebagainya. Pendapat ini berdasarkan dengan
hadits Nabi SAW sebagai berikut.
ث نا اب ث نا آدم، حده ، عن أب سلمة بن عبد الرهحن، عن أب حده ن أب ذئب، عن الزىري
كل مولود يولد على الفطرة، »ىري رة رضي الله عنو، قال: قال النهب صلهى الله عليو وسلهم:
سانو فأب واه ي هودانو، أ رانو، أو يج .و ي نص
“Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abu Dza‟bi dari az-Zuhriy, dari Abu Salamah
bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah ra., berkata: Nabi SAW
bersabda:‟Setiap anak yang dilahirkan telah membawa fitrah,
maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak tersebut
menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Selain pada hadits Rasulullah SAW, penjelasan mengenai fitrah juga
terdapat dalam QS. ar-Ruum [30] ayat 30
لك فطرت ا وجهك للدين حنيففأقم ذ ها ل ت بديل للق ٱلله ٱلله ٱلهت فطر ٱلنهاس علي
ٱلدين ٱلقيم ولكنه أكث ر ٱلنهاس ل ي علمون
108 Muhammad Fathurrohman, Pembawaan, Keturunan, dan Lingkungan dalam Perspektif
Islam, Kabilah, Vol 1 No. 2, Desember 2016.
53
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”.109
Dinyatakan bahwa agama Islam benar sesuai dengan fitrah
manusia. Bahkan segala perintah dan larangan-Nya pun erat kaitannya
dengan fitrah manusia. Bila ditinjau dari aspek tersebut maka fitrah
manusia itu cukup banyak macamnya. Diantaranya, yaitu: fitrah beragama,
fitrah berakal budi, fitrah kebersihan dan kesucian, fitrah berakhlak, fitrah
kebenaran, fitrah kemerdekaan, fitrah keadilan, fitrah persamaan dan
persatuan, dan fitrah seni.110
Dalam kandungan QS. ar-Rum [30] ayat 30 dan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori, mengandung pengertian, pertama kata fitrah
yang terdapat dalam QS. ar-Rum [30] ayat 30 mengandung pengertian
yang berbeda-beda, ada yang berpendapat bahwa kata fitrah pada ayat
tersebut merupakan potensi dasar beragama yang benar dan lurus dan
merupakan ketetapan dari Allah yang telah ditanamkan Allah dalam diri
setiap individu.111
Dalam hal tersebut para ulama menguatkannya dengan
hadits di atas, yaitu yang kedua kata fitrah dalam hadits di atas lebih
dipahami sebagai potensi yang dibawa sejak lahir, yaitu selain persaan
beragama, juga perasaan menyukai keindahan, dan perasaan ingin tahu.
Perasaan beragama membawa manusia untuk memeluk suatu agama,
perasaan keindahan membawa manusia untuk menyukai seni atau
keindahan, dan perasaan ingin tahu membawa manusia untuk menyukai
ilmu pengetahuan. Perihal antara agama, keindahan atau seni, dan ilmu
109
Kementrian Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surakarta: Media Insani, 2007), h.
407. 110
Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 17-19. 111
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Volume
11, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. VII, h. 53.
54
itulah yang disebut sebagai fitrah.112
Semua hal yang termasuk ke dalam
fitrah bukan berarti hasil belajar, akan tetapi memang telah ada pada
masing-masing diri manusia. Hal tersebut sesuai dengan teori nativisme.
Namun, dalam hadits Rasululah SAW telah dikatakan mengenai adanya
orang tua yang menyebabkan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau
Majusi dapat kita pahami sebagai pengaruh dari lingkungan, yaitu
lingkungan keluarga. Lingkungan yang pertama kali mempengaruhi jiwa
seorang anak. Adanya pengakuan Rasulullah SAW terhadap peran orang
tua dalam mempengaruhi pembawaan keagamaan seorang anak tersebut
adalah mengakui akan peran yang diperankan oleh lingkungan.113
Dengan
demikian, maka hadits tersebut dapat dipahami sebagai pendukung teori
konvergensi.
Dalam konsepsi al-Qur‟an yang terdapat pada QS. asy-Syams [91]
ayat 7-10 menunjukkan bahwa setiap manusia diberi kecondongan nafsu
untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap Tuhan-Nya, adalah
sebagai berikut.
ها وما فسون ها سوهى ها فألمها فجورىا وت قوى ى لح من زكه وقد خاب من قد أف
ها دسهى
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 7-10)
Ayat tersebut dapat dijadikan sebagai sumber pandangan bahwa
usaha mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan
positif untuk mengarahkan perkembanganya kepada jalan yang benar yaitu
112
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
cet. I, h. 252. 113
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana,
2009), cet. I, h. 125.
55
Islam. Apabila tidak melalui pendidikan, manusia akan jatuh ke jalan yang
salah yaitu menjadi kafir.114
Menurut Sayid Qutub, dalam tafsir Al-Misbah menuliskan bahwa
dalam pandangan Islam manusia merupakan makhluk dwi-dimensi dalam
tabiat dan potensinya serta kecenderungan arahnya. Hal tersebut
disebabkan karena penciptaannya sebagai makhluk yang diciptakan dari
tanah dan dihembuskannya ruh menjadikannya mempunyai potensi yang
sama dalam hal mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, serta mampu mengarahkan dirinya menuju kebaikan atau
keburukan dalam ukuran yang sama.115
Dengan demikian berpikir benar
dan sehat merupakan kemampuan fitrah yang dapat dikembangkan melalui
pendidikan dan latihan.
Dari ayat tersebut kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam
fitrah-Nya, manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar.
Kemampuan untuk memilih jalan yang benar tersebut, dapat diarahkan
melalui proses pendidikan yang dapat mempengaruhinya. Faktor
kemampuan memilih yang terdapat pada fitrah manusia berpusat pada
kemampuan berpikir yang sehat atau memiliki akal yang sehat, karena akal
yang sehat bisa membedakan antara sesuatu yang benar dari yang salah.
Sedangkan bagi seseorang yang memiliki pilihan yang benar dan tepat
hanyalah orang yang berpendidikan sehat.116
Dari penjelasan di atas dijelaskan bahwa setiap manusia memiliki
potensi sejak dalam kandungan, potensi tersebut bernama tauhid,
kemudian akan berkembang dan bertambah seiring dengan lingkungan dan
pola pendidikan yang diterima oleh setiap individu. Maka dari itu
114
Iwan Kiswanto, “Teori Konvergensi dan Relevansinya dengan Hadits Nabi
Muhammad SAW Tentang Fitrah Manusia”, Skripsi pada Institut Agama Islam Negeri Walisongo,
Semarang, 2012, h. 54, (http://eprints.walisongo.ac.id/484/5/103111139_Bab4.pdf). Diakses pada
19 Juli 2019 pukul 14.12. 115
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Volume
15, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), cet. X, h. 347. 116
Iwan Kiswanto, Loc.cit.
56
Teori
Konvergensi
لود يولد على الفطرة، كل مو رانو، فأب واه ي هودانو، أو ي نص
سانو أو يج
Perspektif
Pendidikan
Agama Islam
lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah menjadi acuan yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan dan perubahan setiap potensi.
Maka dari itu, pendidikan harus mengingatkan bahwa pada diri
peserta didik terdapat berbagai pembawaan yang harus mereka ketahui,
ada yang baik dan ada yang buruk. Jika peserta didik hidup di lingkungan
yang baik atau buruk, para pendidik harus memberikan semangat pada
peserta didik agar mereka dapat mengembangkan bakat baik yang ada
pada dirinya dan meninggalkan pergaulan atau lingkungan yang dapat
menghambat perkembangan bakat baik atau menyuburkan perkembangan
bakat buruk.
Apabila dideskripsikan mengenai teori konvergensi dalam
perspektif pendidikan agama Islam, maka pada dasarnya teori konvergensi
(A) yang saling bertemu dengan pendidikan agama Islam (B) kemudian
akan melahirkan persepsi atau tanggapan (C) sehingga teori konvergensi
dalam perspektif pendidikan agama Islam dapat dipahami sebagai berikut:
Bahwa fitrah pada seorang anak yang bergantung pada kedua orang tua
dan dapat berkembang dengan lingkungan sekolah yaitu peserta didik itu
sendiri dan pendidik atau dapat pula dikatakan bahwasanya Islam
dikatakan sebagai paham konvergensi plus, yaitu keberhasilan pendidikan
selain disebabkan karena usaha manusia juga karena adanya hidayah dari
Allah SWT. Hal seperti ini dapat digambarkan sebagai berikut.
A B C
C. Implikasi Teori Konvergensi dalam Pendidikan Agama
Islam
Pendidikan merupakan lingkungan yang menjadi tempat
terlibatnya individu yang saling berinteraksi. Dalam interaksi antar
57
individu ini baik antara guru dengan peserta didik ataupun antara sesama
peserta didik, terjadi proses dan peristiwa psikologi. Peristiwa dan proses
psikologi ini sangat perlu untuk dipahami dan dijadikan landasan oleh para
guru dalam memperlakukan para peserta didik secara tepat.
Teori konvergensi ini berpendapat, bahwa di dalam perkembangan
individu itu baik dasar atau pembawaan maupun lingkungan memiliki
peran penting.117
Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada diri individu,
akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan
yang sesuai supaya dapat berkembang.
Apabila ia hidup pada lingkungan yang baik maka ia akan tumbuh
dan berkembang menjadi anak yang baik dan sebaliknya apabila ia hidup
pada lingkungan yang kurang baik maka ia akan hidup dan berkembang
menjadi anak yang kurang baik pula. Sehingga lingkungan pendidikan
yang di dalamnya terdapat para pendidik yang berperan penting bagi
perkembangan anak, karena pendidikan yang menentukan baik buruknya
seorang anak. Tanpa adanya pendidikan anak tidak akan bisa berkembang
karena pendidikan merupakan proses perkembangan bagi anak.
Langeveld sebagaimana dikutip oleh Sumadi, mencoba
menemukan hal-hal yang memungkinkan perkembangan anak itu menjadi
dewasa, ia menemukan hal-hal sebagai berikut:
a. Justru karena anak itu adalah makhluk hidup (makhluk
biologis) maka dia berkembang.
b. Bahwa anak itu pada waktu masih sangat muda adalah sangat
tidak berdaya, dan adalah suatu keniscayaan bahwa dia perlu
berkembang menjadi lebih berdaya.
c. Bahwa kecuali kebutuhan-kebutuhan biologis anak
memerlukan adanya perasaan aman, karena itu perlu adanya
pertolongan atau perlindungan dari orang yang mendidik.
d. Bahwa di dalam perkembangannya anak tidak pasif menerima
pengaruh dari luar semata-mata, melainkan ia juga aktif
mencari dan menemukan.118
117
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),
cet. III, h. 180. 118
Ibid., h. 181-182.
58
Dalam perspektif pendidikan agama Islam mengenai konvergensi,
lebih kepada meletakkan pandangan bahwa manusia merupakan makhluk
ciptaan Allah, yang tidak muncul dengan sendirinya atau berada oleh
dirinya sendiri. Pengetahuan tentang penciptaan manusia sangat penting
artinya dalam merumuskan tujuan pendidikan agama Islam bagi manusia.
Asal kejadian manusia justru harus dijadikan pangkal tolak dalam
menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Manusia merupakan
makhluk ciptaan Tuhan, hal tersebut merupakan salah satu bentuk hakikat
wujud manusia. Hakikat wujudnya yang lain adalah bahwa manusia
merupakan makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan
dan lingkungan.
Dalam praktik pendidikan baik di lingkungan keluarga, sekolah
maupun masyarakat tujuan pendidikan agama Islam mengacu kepada
prinsip dasar penciptaan manusia dan fitrahnya dapat juga diartikan
sebagai kajian empiris, metodologis, dan sistematis yang bertujuan untuk
mengetahui segala usaha dalam mempersiapkan peserta didik secara terus
menerus disemua aspeknya, baik jasmani, akal, maupun rohaninya agar
menjadi manusia yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat sesuai
dengan nilai-nilai ajaran agama Islam119
yang harus dicapai oleh masing-
masing pendidik.
Selanjutnya dalam hal yang sama pendidikan agama Islam
bertujuan untuk menumbuhkan akidah melalui pemberian, pengembangan
pengetahuan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik
mengenai agama Islam sehingga menjadi muslim yang keimanan dan
ketakwaannya kepada Alah SWT berkembang. Serta mewujudkan manusia
yang taat akan agama dan mempunyai akhlak mulia, yaitu manusia yang
memiliki pengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil,
disiplin, bertoleransi, menjaga keharmonisan baik untuk diri sendiri
119
Mangun dan Budianto, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Griya Santri, 2010), h. 9
59
maupun orang lain serta dapat mengembangkan budaya agama dalam
komunitas sekolah.120
Karena manusia merupakan makhluk yang dapat dididik dan
mendidik, maka manusia pantas untuk mendapatkan didikan dari
lingkungan sekitarnya. Manusia juga bertanggung jawab atas dirinya
sendiri yaitu dengan cara belajar. Sedangkan sebagai makhluk yang dapat
mendidik, maka wajib untuk mendidik dan mengajarkan apa yang telah
didapatkannya walaupun baru sedikit. Sebagaimana telah dijelaskan pada
QS. at-Taubah [9]: 122.
هم ف لول ن فر من كل فرقة ن ٱلدين ولينذروا ق ومهم إذا رجعوا إليهم ف لي ت فقههوا طائفة م
ذرون لعلههم ي
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah [9]: 122)
Dalam Tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab Volume 5,
ayat di atas menjelaskan betapa pentingnya memperdalam ilmu dan
menyiarkan informasi yang benar. Memperdalam pengetahuan agama
harus memahami area serta memerhatikan kebenaran yang ada.121
Dalam aktivitas pendidikan itu ada beberapa faktor pendidikan
yang membentuk pola interaksi atau faktor yang saling mempengaruhi,
diantaranya yaitu: tujuan pendidikan, bahan pelajaran atau materi, metode,
alat atau media, dan evaluasi pendidikan. Komponen-komponen
pendidikan agama Islam tersebut saling berhubungan dan saling
mempengaruhi. Apabila salah satu dari kelima komponen pendidikan
agama Islam tersebut tidak terpenuhi maka hasil dari pendidikan tersebut
120
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,
Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 189. 121
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, Volume
5, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), cet. III, h. 292.
60
tidak akan bisa berhasil dengan baik. Oleh karena itu supaya tujuan
pendidikan agama Islam dapat tercapai, maka kelima komponen
pendidikan agama Islam itu harus saling berkaitan dan bekerjasama
dengan baik.
Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak, di lingkungan
keluarga pertama-tama anak mendapatkan pengaruh sadar. Karena itu
bentuk dan isi serta cara-cara pendidikan di dalam keluarga akan selalu
mempengaruhi tumbuh berkembangnya watak, budi pekerti dan
kepribadian tiap-tiap manusia. Pendidikan dalam keluarga inilah yang
akan digunakan oleh anak sebagai dasar untuk mengikuti pendidikan
selanjutnya di sekolah.
Sekolah sebagai lingkungan pendidikan kedua, bertugas
mengembangkan potensi dan bakat anak didik agar mereka memiliki
kecerdasan dan keterampilan, yang kemudian diterapkan di tengah-tengah
masyarakat. Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan ketiga merupakan
tempat dimana seseorang menerapkan dan mengembangkan potensinya.
Dalam perkembangan anak didik, selalu terjadi interaksi antara
faktor ajar dan faktor dasar, faktor indogen dan faktor eksogen, faktor-
ekstern dan faktor intern serta faktor lingkungan dan faktor pembawaan
sebagaimana hukum konvergensi.122
Masing-masing pasangan tersebut
saling mempengaruhi. Akan tetapi dalam implementasinya ada yang
mengganggap bahwa yang lebih dominan itu adalah faktor dasar
(keturunan) atau pembawaan dari pada faktor lingkungan yaitu ahli-ahli
psikologi konstitusional. Ada pula yang menganggap bahwa yang lebih
berpengaruh dalam perkembangan anak adalah lingkungan. Pendapat ini
banyak sekali pengikutnya terutama dari Inggris dan Amerika Serikat.123
Dalam QS. an-Nahl [16]: 78 Allah menjelaskan mengenai betapa
pentingnya suatu pendidikan.
122
Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 219. 123
Akyas Azhari, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Bina Utama, 2003), h. 35.
61
تكم ل ت علمون شي ن بطون أمهه ر وٱلأف لكم وجعل ا وٱلله أخرجكم م دة ٱلسهمع وٱلأبص
لعلهكم تشكرون
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS.
an-Nahl [16]: 78)
Dalam tafsir al-Misbah karangan M. Quraish Shihab Volume 7
menjelaskan bahwa firman Allah di atas menunjukkan kepada alat-alat
utama yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Telinga dan mata
merupakan alat utama pada objek yang bersifat material. Sedangkan alat
utama pada objek yang bersifat non-material adalah akal dan hati.124
Akan
tetapi, alat-alat yang dianugerahkan oleh Allah itu masih belum
sepenuhnya digunakan oleh umat Islam, bahkan para penuntut ilmu
terutama hati (kalbu). Para pelajar lebih banyak menggunakan
pendengaran daripada pengelihatan. Para pelajar baru menggunakan indera
pengelihatan setengah-setengah, akal tidak jarang diabaikan, tetapi hati
(kalbu) hampir selalu terabaikan termasuk dalam lembaga-lembaga
pendidikan agama.125
Karena manusia dilahirkan tanpa sedikitpun
pengetahuan, maka dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut merupakan
petunjuk bagi kita agar melakukan usaha pendidikan, karena dengan
melalui pendengaran, pengelihatan, dan hati manusia dapat dididik.
Kemudian Allah juga menjelaskan dalam QS. al-„Alaq [96]: 3-5
yang menunjukkan bahwa manusia tanpa belajar maka dia tidak akan
dapat mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi kelangsungan
kehidupan di dunia dan akhirat.
وربك ٱلأكرم رأ ن ما ل ي علم ٱلهذي علهم بٱلقلم ٱق نس علهم ٱل
124
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), cet. VIII, h. 308. 125
Ibid., h. 309.
62
“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.” (QS. al-„Alaq [96]: 3-5)
Maksud dari firman Allah di atas yaitu pada ayat ketiga Allah
menjanjikan bahwa ketika seseorang membaca dengan ikhlas karena
Allah, Allah akan memberikan kepadanya anugerah berupa ilmu
pengetahuan, pemahaman-pemahaman, dan wawasan-wawasan baru.126
Pada ayat keempat dan kelima, kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat
tersebut menjelaskan tentang dua cara yang ditempuh Allah SWT dalam
mengajar manusia. Pertama melalui tulisan (pena) yang harus dibaca oleh
manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat.127
Pada ayat di atas dapat kita pahami bahwa manusia jika tanpa
belajar, maka tidak akan mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan,
serta setiap manusia memiliki potensi dalam dirinya masing-masing.
Potensi tersebut dapat berkembang dengan melalui pendidikan.
Adanya perbedaan individual mengharuskan adanya perlakuan
secara individual dalam sistem pendidikan. Perbedaan individual tersebut
dapat dilihat dari kecerdasan, potensi, minat, dan motivasi yang dimiliki
dari masing-masing individu. Perbedaan potensi, minat, dan motivasi
tersebut dapat mempengaruhi kecepatan pemahaman, perhatian, dan
penerimaan sesuatu yang disampaikan oleh pendidik kepada peserta didik.
Pendidikan tidak diperbolehkan memaksakan kemampuan
seseorang, akan tetapi pendidikan harus bersifat membimbing dan
mengarahkan agar potensi yang dimiliki oleh peserta didik dapat
berkembang dengan baik. Kesiapan individu pada saat belajar, sangat
mempengaruhi hasil belajar. Jika belajar dalam kondisi tidak siap, maka
tidak akan mencapai tujuan pendidikan secara maksimal. Maka dari itu,
seorang pendidik diharuskan untuk mengetahui kondisi peserta didik
sebelum dimulainya pembelajaran. Perbedaan kondisi peserta didik
126
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, Voulume
15, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), cet. III, h. 463. 127
Ibid., h. 464.
63
tersebut akan mempengaruhi pembelajaran yang dilaksanakan oleh
pendidik, baik dalam menentukan model pembelajaran, pendekatan
pembelajaran, strategi pembelajaran, model pembelajaran, dan lain
sebagainya.128
Suatu kenyataan bahwa perkembangan pendidikan manusia
memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pembawaan. Salah satu
contohnya, pada IQ seseorang, anak yang memiliki IQ tinggi dibarengi
dengan lingkungan yang sesuai, maka dalam pedidikannya pun akan
berhasil dengan baik. Begitu pula sebaliknya, anak yang pembawaan IQ
nya rendah biarpun lingkungan baik, tetap saja akan terlihat perbedaanya
terutama dalam pola pikirnya. Akan tetapi jika dilihat dari fungsinya,
pembawaan dan lingkungan menurut Henry E. Garret dalam buku Metodik
Khusus Pengajaran Agama Islam karangan Zakiah Darajat, mengatakan
sebagai berikut:
“It appears to be true that heredity determines what man can do,
environment what does do within the limits imposed by heredity”
maksudnya adalah bahwa pembawaan dan lingkungan bukanlah suatu hal
yang bertentangan, akan tetapi keduanya saling membutuhkan.129
Pendidik yang tugasnya untuk mendidik dan mengarahkan peserta
didik seharusnya mengetahui dan sadar akan potensi yang telah dibawa
oleh peserta didik sejak lahir, sehingga dalam mengarahkan akan menjadi
lebih mudah. Akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan dari para
pendidik dalam mengasuh peserta didik sering kali mengabaikan potensi
yang ada pada peserta didik, sehingga menghambat perkembangan dan
menyebabkan pasifnya bakat yang telah dibawa sejak lahir. Upaya-upaya
tersebut diharapkan dapat membantu perkembangan potensi (pembawaan)
yang telah ada pada diri peserta didik sejak mereka dilahirkan agar
tercapainya tujuan pendidikan agama Islam. Maka dari itu, pengembangan
128
Muhammad Fathurrohman, Op.cit. 129
Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2004), h. 128.
64
potensi harus dilakukan dengan cara pendidikan dan pelatihan, terutama
pendidikan agama Islam.
Pengembangan potensi peserta didik seharusnya dilakukan dengan
menanamkan nilai-nilai keislaman, yang bertujuan agar manusia dapat
mengingat janjinya kepada Allah ketika zaman azali dan agar selalu
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal tersedut sesuai dengan tujuan
pendidikan agama Islam yang disebutkan oleh al-Ghazali yaitu
mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan dan
kemegahan. Karena jika tujuan pendidikan agama Islam bukan untuk
mendekatkan diri kepada Alah SWT, maka akan menimbulkan kedengkian
dan permusuhan.130
Demikianlah implikasi teori konvergensi dalam pendidikan agama
Islam, semoga dapat memberikan gambaran kepada para pendidik dalam
membantu perkembangan setiap individu (peserta didik) sesuai dengan apa
yang diharapkan, akan tetapi pelaksanaanya harus tetap memperhatikan
faktor-faktor hereditas peserta didik, kematangan, bakat, kemampuan,
keadaan mental, dan sebagainya. Kiranya teori konvergensi inilah yang
cocok diterapkan dalam praktik pendidikan agama Islam.
130
Ahmad Tanzeh, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosof Muslim: dalam Meniti
Jalan Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 17.
65
BAB V
PENUTUP
Sebagai penutup dalam penelitian ini, penulis menyajikan kesimpulan
yang berdasarkan dengan analisis hasil penelitian dan memberikan sedikit saran
untuk perbaikan penelitian selanjutnya.
A. Kesimpulan
1. Konsep teori konvergensi menurut William Stern merupakan salah satu
teori yang cocok untuk digunakan dalam dunia pendidikan. Teori
konvergensi ini memiliki arti bahwa perkembangan atau potensi manusia
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor bawaan dan faktor lingkungan.
Adapun teori konvergensi yang disampaikan oleh William Stern, yaitu
pendidikan yang mungkin dilaksanakan, pendidikan bertujuan untuk
mengembangkan bakat yang baik dan mencegah berkembangnya bakat
yang buruk, serta hasil dari pendidikan itu merupakan hasil dari kolaborasi
antara faktor bawaan dan lingkungan.
2. Teori konvergensi dalam perspektif pendidikan agama Islam lebih kepada
meletakkan pandangan bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah
yang berkembang karena dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan.
Dalam perkembangannya, manusia cenderung memiliki fitrah atau potensi
beragama sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori. Sehingga
teori konvergensi dalam perspektif pendidikan agama Islam dapat
digambarkan bahwa jika teori konvergensi saling bertemu dengan
pendidikan agama Islam, maka akan melahirkan sebuah persepsi atau
tanggapan, yaitu yang disebut sebagai fitrah yang dapat berkembang
melalui lingkungan baik lingkungan keluarga yaitu orang tua maupun
lingkungan sekolah termasuk pendidik.
3. Implikasi teori konvergensi dalam pendidikan agama Islam sangat
berpengaruh bagi pengembangan potensi peserta didik, karena dalam
pengembangan potensi peserta didik selain dipengaruhi oleh faktor
66
pembawaan dan lingkungan harus pula dilakukan dengan nilai-nilai
keislaman, tentunya memiliki tujuan agar manusia mengingat janjinya
kepada Allah ketika zaman azali dan agar selalu mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
B. Saran
Dari penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberikan sumbangsih
berupa pemikiran agar dapat memperbanyak wawasan dan menjadi upaya
untuk mewujudkannya tujuan pendidikan agama Islam. Adapun saran yang
dapat penulis paparkan adalah sebagai berikut:
1. Untuk seluruh pendidik pada semua tingkat sekolah dan bagi pendidik
yang bukan hanya di lingkungan sekolah supaya dapat menciptakan
lingkungan pendidikan yang baik untuk peserta didik dan warga sekolah
lainnya, karena hal tersebut sangat berpengaruh bagi perkembangan
potensi yang dimiliki oleh peserta didik.
2. Sebagai orang tua harus memiliki kepekaan yang tinggi terhadap potensi
yang dimiliki oleh setiap anak-anaknya juga harus dapat mengarahkan
potensi yang dimiliki oleh mereka ke arah yang baik, karena lingkungan
keluarga memiliki pengaruh yang besar juga terhadap perkembangan
potensi yang dimiliki oleh setiap anak.
3. Sebagai peserta didik kita harus menyadari dan menggali potensi atau
fitrah yang ada pada setiap diri masing-masing serta harus terus
memperbaiki diri dengan cara selalu mengingat Allah dan bergaul dengan
lingkungan yang baik, karena dengan begitu akan memberikan pengaruh
yang baik pula terhadap pertumbuhan dan perkembangan potensi yang
dimilikinya.
67
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Lukis. Perspektif Pendidikan IslamMengenai Fitrah Manusia, TARBAWI,
Volume 1 No. 02. ISSN 2442-8809. Juli-Desember 2015.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. Cet. I. 2008.
Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran
dan Kepribadian Muslim. Bandung: PT Remaja RosdaKarya. Cet. II.
2011.
Al-Munawwir. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif. 1997.
Arifin, M. Fisafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2003.
___________ . Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara. 2006.
Azhari, Akyas. Psikologi Pendidikan. Semarang: Bina Utama. 2003.
Baharuddin. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media. Cet. V. 2016.
Baharuddin. Psikologi Pendidikan: Refleksi Teoretis Terhadap Fenomena.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Cet. V. 2016.
Darajat, Zakiah. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi
Aksara. 2004.
Djurmansjah. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: 2004.
Fathurrohman, Muhammad. “Pembawaan, Keturunan, dan Lingkungan dalam
Perspektif Islam”, Kabilah, Vol 1 No. 2, Desember 2016.
Fauziyah, Siti. “Konsep Fitrah dan Bedanya dari Nativisme, Empirisme, dan
Konvergensi”, Jurnal Aqlania, Vol. 08. No. 01, ISSN. 2087-8613, 2017.
Ghazali, Dede Ahmad dan Heri Gunawan. Studi Islam: Suatu Pengantar dengan
Pendekatan Interdisipliner. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet. I.
2015.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara. Cet. I.
2013.
68
Hadi, Yusuf Dwi. “Konsep Pembentukan Kepribadian Anak Menurut Teori
Konvergensi dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam”. Skripsi pada
IAIN Tulungagung. Tulungagung. 2014.
Hamdayama, Jumanta. Metodologi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Cet. II.
2017.
Haryanto. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara. (FIP UNY).
(http://staffnew.uny.ac.id/upload/131656343/penelitian/PENDIDIKAN+K
ARAKTER+MENURUT+KI+HAJAR+DEWANTORO.pdf). Diakses
pada 10 September 2019 pukul 14.56.
Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Cet.
XIII. 2017.
Hidayati, Heny Narendrany dan Andri Yudiantoro. Psikologi Agama. Jakarta :
UIN Jakarta Press. Cet. I. 2007.
Indrawan, Rully dan R. Poppy Yaniawati. Metodologi Penelitian: Kualitatif,
Kuantitatif, dan Campuran untuk Manajemen, Pembangunan, dan
Pendidikan. Bandung: Refika Aditama. Cet. I. 2014.
Irham, Muhamad dan Novan Ardy Wiyani. Psikologi Pendidikan: Teori dan
Aplikasi dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Cet.
III. 2016.
Jaenudin, Ujam. Teori-teori Kepribadian. Bandung: Pustaka Setia. Cet. I. 2015.
Jalaludin. Pendidikan Islam: Pendekatan Sistem dan Proses. Jakarta:
Rajawalipers. Cet. I. 2016.
Kementrian Agama. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Surakarta: Media Insani. 2007.
Khodijah, Nyayu. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet.
II. 2014.
Kiswanto, Iwan. “Teori Konvergensi dan Relevansinya dengan Hadits Nabi
Muhammad SAW Tentang Fitrah Manusia”, Skripsi pada Institut Agama
Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2012.
(http://eprints.walisongo.ac.id/484/5/103111139_Bab4.pdf). Diakses pada
19 Juli 2019 pukul 14.12.
69
Lamiel, James T. dan Werner Deutsch, In The Light of a Star: An Introduction to
William Stern‟s Critical Personalism.
(https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0959354300106001)
Diakses pada 17 September 2019 pukul 15.31.
Mahfud, Rois. Al-Islam: Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga. 2011.
Majid, Abdul. Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung:
Remaja Rosda Karya. 2012.
Mangun dan Budianto. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Griya Santri. 2010.
Minarti, Sri. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah. Cet. I. 2013.
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet.
V. 2012.
___________ . Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,
Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta:
Rajawali Pers. 2009
Mujid, Abdul dan Yusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Cet. V. 2017.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet. XV.
2015.
___________ . Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Cet. I. 2010.
___________ . Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers.
2012.
___________ . Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta:
Kencana. Cet. I. 2009.
___________ . Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada. Cet. I. 2005.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Penerbit Galia Indonesia. 2013.
Pohan, Jusrin Efendi, Fisafat Pendidikan: Teori Klasik Hingga Postmodernisme
dan Problematikanya di Indonesia. Depok: Rajawali Pers. Cet. I. 2019.
Prasetwo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Cet. III. 2016.
70
Prawira, Purwa Atmaja. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Jogjakarta :
Ar-Ruzz Media. Cet. I. 2012.
Ramayulis. Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan
Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Cet. IV. 2015.
________ . Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Cet. XII. 2015.
Ropi, Ismatu dkk. Pendidikan Agama Islam di SMP dan SMA. Jakarta: Kencana.
Cet. I. 2012.
Rusman, “Redefinisi Teori Among Ki Hajar Dewantara”, Edukasi,
(https://www.kompasiana.com/rusman245/5500f04ca333114e75512706/re
definisi-teori-among-ki-hajar-dewantara). Diakses pada 17 September
2019 pukul 14.25.
Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Modern English Press. Cet. III. 2002.
Saputra, Bagus Akbar. “Konsep Konvergensi Menurut Ki Hadjar Dewantara dan
Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Agama Islam”. Skripsi pada UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta. 2017.
Schmidt, WHO. Dialogue with a Human Scientist: William Stern (1871-1938).
(University of Alberta).
(https://journals.library.ualberta.ca/pandp/index.php/pandp/article/downloa
d/14990/11811). Diakses pada 17 September 2019 pukul 15.18.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur‟an.
Volume 11. Jakarta: Lentera Hati. 2007. Cet. VII.
__________________ . Volume 15. Jakarta: Lentera Hati. 2010a. Cet. III.
__________________ . Volume 15. Jakarta: Lentera Hati. 2010b. Cet. X.
__________________ . Volume 5. Jakarta: Lentera Hati. 2010. Cet. III.
__________________ . Jakarta: Lentera Hati. 2007. Cet. VIII.
Solichah, Aas Siti. Teori-teori Pendidikan dalam Al-Qur‟an. Edukasi Islam Jurnal
Pendidikan Islam. Vol. 07, No. 1 DOI: 10.30868/EI.V7I01.209 ISSN :
2581-1754. 2018.
Stern, William. Psychology of Early Childhood: Up to The Sixth Year of Age.
Terj. Anna Barwell. New York: Routledge Taylor & Francis Group. 1924.
71
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, kulitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sujanto, Agus. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta. 2001.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya. Cet. V. 2009.
Suralaga, Fadhilah dan Solicha. Psikologi Pendidikan. Ciputat : Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Cet. I. 2010.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2008.
Syaefudin, Udin dan Abin Syamsudin Makmun. Perencanaan Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005.
Syafril dan Zelhendri Zen. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Depok: Kencana. Cet. I.
2017.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. Cet. II. 2005.
Syam, Muhammad Noor. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Dasar Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional. Cet. III. 1986.
Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 1997.
Tanzeh, Ahmad. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosof Muslim: dalam
Meniti Jalan Pendidikan Islam. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2013.
Triwidyastuti. “Konsep Pengembangan Pendidikan Islam (Analisis Komparatif
Teori Fitrah dalam Islam dan Asas-asas Filsafat Pendidikan Barat)”. Tesis
pada Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.
Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Bandung: Citra Umbara. 2009.
Wahab, Rohmalina Wahab. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers. Cet. II.
2016.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus adz-Dzurriyat.
Zaini, Syahmina. Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2001.