Post on 12-Jan-2017
27
BAB IV
POTRET DESA KALIURANG DAN FORUM KEMITRAAN POLISI
MASYARAKAT (FKPM) KALIURANG
4.1. Potret Desa Kaliurang
4.1.1. Kondisi Geografis dan Potensi Desa
Desa Kaliurang adalah bagian administratif dari Kecamatan Srumbung,
Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Secara administratif, batas-batas desa
Kaliurang adalah: sebelah Utara dengan: sebalah Utara berbatasan dengan desa
Kemiren, sebelah Selatan dengan desa Nglumut/Wonokerto, sebelah Timur berbatasan
dengan desa Wonokerto, dan sebelah Barat berbatasan dengan desa Kamongan. Luas
desa Kaliurang adalah 618,2 hektar (ha) yang berada pada ketinggian 700 meter di atas
permukaan laut (mdl), dan hanya berjarak 9 kilometer dari gunung Merapi (Monografi
Desa Kaliurang, 2012).
Secara topografi desa Kaliurang adalah bergunung atau yang dalam buku III
Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan (2012) disebut desa atau kelurahan dengan
topografi lereng gunung yakni 618,2 haktar/m2, dengan tingkat kemiringan tanah 10
derajat. Desa Kaliurang dikaterogikan sebagai sebagai desa kawasan hutan atau hutan
rakyat atau hutan suaka alam sebesar 185,4 ha/m2
dengan kondisi 20 ha dinyatakan
rusak. Secara iklim dapat dikatakan desa Kaliurang sangat dingin sebab mengalami
musing hujan sebanyak 7 bulan dalam setahun, dengan suru rata-rata harian 320C.
28
Jarak tempuh dari desa Kaliurang ke ibukota kecamatan adalah 6 kilometer
dengan waktu tempuh kendaraan bermotor 0,3 jam, dan perkiraan perjalanan dengan
berjalan kaki 1 jam perjalanan. Berdasarkan hasil pencatatan data monografi tidak
ditemukan adanya kendaraan umum sebagai transportasi masyarakat dari desa menuju
ibu kota kecamatan. Jarak tempuh ke ibu kota Kabupaten adalah 30 kilometer dengan
waktu tempuh kendaraan bermotor adalah 0,5 jam dan perkiraan perjalanan dengan
berjalan kaki adalah 6 jam, dengan kondisi jalan beraspal. Sedangkan jarak tempuh dari
desa Kaliurang ke ibu kota provinsi adalah 76 kilometer dengan perkiraan waktu
tempuh dengan kendaraan bermotor adalah 4 jam (Buku III: Daftar Isian Potensi Desa
dan Kelurahan, 2012:4).
Potensi desa Kaliurang adalah daerah pertanian, perkebunan dan peternakan.
Terdapat 712 keluarga yang memiliki tanah pertanian, dan hanya 2 keluarga yang tidak
memiliki tanah pertanian. Dengan rincian adalah 649 keluarga memiliki tanah pertanian
masing-masing dengan luas kurang dari 1,0 hektar (ha) per keluarga dan 62 keluarga
memiliki tanah pertanian masing-masing dengan kisaran antara 1,0-5,0 ha per keluarga.
Komuditas tanaman pangan yang dihasilkan desa Kaliurang berfariasi diantaranya:
Jagung 5 ton/ha dengan luas tanaman mencapai 2,5 ha; Padi sawah 5,7 ton/ha dengan
luas tanaman 6 ha; Cabe 8 ton/ha dengan luas tanaman mencapai 6,4 ha; dan umbi-
umbian lain 10 ton/ha dengan luas tanaman 0,8 ha (Buku III: Daftar Isian Potensi Desa
dan Kelurahan, 2012:5).
Sedangkan jumlah kepemilikan lahan perkebunan adalah 65 keluarga dengan
jenis tanaman kelapa dan kopi dengan luas lahan pekebunan mencapai 4,3 dan 1,2
29
hektar. Selain itu, potensi unggulan yang dimiliki desa Kaliurang adalah buah Salak
yang luas lahan tanamannya mencapai 350 ha dengan hasil 12,5 ton/ha.
Jenis ternak yang diternak masyarakat desa adalah juga bervariasi, diantaranya:
ayam kampung dengan perkiraan jumlah populasi sebanyak 2168 ekor yang diternak
oleh 542 orang; burung puyuh 9000 ekor yang diternak oleh 6 orang; kambing 548 ekor
diternak oleh 206 orang; sapi 346 ekor dengan 220 orang peternak; bebek 72 ekor yang
diternak oleh 6 orang; dan 48 ekor kelinci yang diternak oleh 10 orang (Monografi
Desa, 2012).
Sistem pemasaran yang dipakai untuk memasarkan hasil-hasil yang dimiliki
desa adalah dengan cara menjualnya Koperasi Unit Desa (KUD) dan ke Tengkulak.
4.1.2. Penduduk dan Mata Pencaharian
Berdasarkan data sekunder yang dihimpun dari kantor desa, ditemukan bahwa
jumlah penduduk desa Kaliurang adalah 2493 orang. Rasio perbandingan sex adalah
1211 orang laki-laki dan 1282 orang perempuan, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK)
sebanyak 716. Dengan demikian, maka rata-rata jumlah jiwa dalam satu rumah tangga
adalah 4 orang. Berdasarkan data jumlah penduduk tersebut, jika diperbandingkan
dengan luas wilayah yang dimiliki yakni 618,2 ha, maka kepadatan penduduk di desa
Kaliurang untuk setiap hektar tanah ditempati oleh 4,0 orang. Dengan demikian, maka
dapat dikatakan bahwa tingkat kepaadatan penduduk di desa Kaliurang aadalah jarang
atau tidak padat (Monografi Desa, 2012).
30
Pencatatan data monografi desa Kaliurang tahun 2012 tentang perbandingan
tingkat usia (laki-laki dan perempuan) dan tingkat pendidikan, dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
Tabel 4.1.
Tingkat Usia dan Tingkat Pendidikan
USIA TINGKAT PENDIDIAKN L P
3-6 thn Belum sekolah (TK) 38 42
3-6 thn Sedang Sekolah TK 42 44
7-18 Tidak pernah sekolah 3 3
7-18 Sedang sekolah (SD-SMA) 220 255
18-56 Tidak pernah sekolah 135 154
18-56 Pernah SD tapi tidak tamat 186 198
Tamat SD/sederajat 110 105
12-56 Tidak tamat SLTP 60 51
18-56 Tidak tamat SLTA 69 56
Tamat SMP/sederajat 55 56
Tamat SMA/sederajat 60 64
Tamat S-1/sederajat 23 7
Sumber: Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan (2012:18)
Berdasarkan tabel di atas dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat
desa Kaliurang cukup baik, bahkan terlihat ada keinginan orang tua untuk terus
meningkatkan pendidikan anak-anak mereka. Hal ini ditunjukan dengan adanya 475
anak dengan usia 7-18 tahun yang sedang menekuni pendidikan dibangku sekolah baik
SD, SMP maupun SMA. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada kesadaran dari
orang tua untuk terus meningkatkan tingkat pendidikan anak setiap tahunnya.
Kesadaran ini diduga muncul akibat banyaknya orang tua yang tidak pernah sekolah
bahkan sekolah SD pun tidak tamat.
31
Fasilitas atau lembaga pendidikan yang ada di desa Kaliurang adalah 2 buah
sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) dengan tenaga pengajar 2 orang, serta 2 gedung
Sekolah Dasar (SD) dengan tenaga pengajar (guru) sebanyak 22 orang, yang
menampung jumlah murid SD sebanyak 214 orang. Kedua sekolah ini, oleh Kepala
Desa dinyatakan milik desa dan bukan milik pemerintah. Selain itu terdapat juga 1 buah
pondok pesantren dengan 2 orang pengajar dan 16 siswa/santri.
Sedangkan mata pencaharian penduduk desa Kaliurang berdasarkan data
sekunder yang dihimpun, ditemukan bahwa sebagian besar penduduk berprofesi sebagai
petani, yakni 714 keluarga dengan total anggota rumah tangga petani mencapai 1894
orang; 538 orang peternak terdiri dari 419 buruh peternak dan 119 pemilik usaha
peternakan; 30 orang adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS); 3 orang Tentara Nasional
Indonesia (TNI); 4 orang POLRI; 7 orang pensiunan PNS/TNI/POLRI; 2 orang
pedagang kecil dan menengah; tukang kayu 15 orang dan tukang batu 35 orang (Daftar
Isian Tingkat Perkembangan Desa dan Kelurahan, 2012). Dengan demikian, maka
jumlah sebagian besar masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani dan
peternak adalah berbanding lurus dengan potensi desa yang mereka miliki.
4.1.3. Sruktur Pemerintahan Desa
Desa Kaliurang saat ini dipimpin oleh seorang Kepala Desa perempuan, yakni
Ibu Kaptiyah, A.Ma, yang membawahi 5 buah dusun, yakni: dususn Jrakah, Cepagan,
Kaliurang Selatan, Kaliurang Utara, dan Sumberejo. Struktur pemerintah desanya terdiri
dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan tidak memiliki
32
Lembaga Musyawara Desa (LMD) atau Lembaga Ketahanan Mssyarakat Desa
(LKMD).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Desa, diketahui bahwa terdapat 12
unit kerja atau perangkat desa Kaliurang, yakni: 1) Kepala Desa, 2) Sekretaris Desa; 3)
Kepala Urusan Pemerintahan, 4) Kepala Urusan Pembangunan, 5) Kepala Urusan
Kesejahtraan Rakyat, 6). Kepala Urusan Umum, 7) Kepala Urusan Keuangan, dan 8)
Terdapat 5 Dusun yang dikepalai oleh 5 orang. Dengan jumlah aparat pemerintahan
desa/kelurahan sebanyak 16 orang dan 6 orang staf. Berdasarkan tingkat pendidikan
aparat pemerintahan desa, dapat dikatakan cukup baik, sebab semua Kepala Urusan
adalah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Kepala Desa adalah lulusan
Diploma.
Sedangkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terdiri dari 1 orang Ketua
(lulusan SMA), 1 orang wakil Ketua (lulusan SMP), 1 orang Sekretaris (lulusan SMA),
dan 5 orang anggota dengan tingkat pendidikan lulusan SMA dan SPM. Berdasarkan
data ini, maka dapat dikatakan bahwa perbandingan tingkat pendidikan antara aparat
pemerintah desa dengan aparat BPD adalah masih lebih baik tingkat pendidikan aparat
pemerintah desa (Buku III: Daftar Isian Potensi Desa Kaliurang, 2012: 22-23).
Fungsi BPD berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 adalah sebagai Badan
Permusyawaratan Desa yang akan memberikan masukan-masukan kepada Kepala Desa
berdasarkan aspirasi masyarakat yang mereka terima. Fungsi ini bagi peneliti kurang
“menggigit” bila dibandingkan dengan fungsi BPD (Badan Perwakilan Desa) yang
33
diamanatkan dalam UU No. 22 tahun 1999 yang telah di amandemen menjadi UU
No.32/2004 di atas, yakni selain memberikan masukan-masukan juga berfungsi
meminta dan menerima pertanggungjawaban Kepala Desa. Jadi dengan demikian BPD
versi UU No. 32/2004 bagi peneliti tidak memiliki “taring” bagi aparat pemerintah desa.
Selain itu, yang menarik dari sisi pemerintahan desa adalah soal keberadaan
kepengurusan lembaga politik dalam hal aktivitas Partai Politik di desa Kaliurang.
Fenomena partai politik di desa Kaliurang memperlihatkan “wajah buram” atau dengan
kata lain tidak ada aktivitas partai politik di desa ini. Hal ini dibuktikan dengan
“laporan” yang dimuat dalam buku III Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan–
lampiran II (2012: 26-29) bahwa sama sekali tidak ada aktivitas partai politik di desa
Kaliurang.
Berdasarkan data (laporan) tersebut tidak ditemukan adanya (anggota) warga
masyarakat desa Kaliurang yang menjadi pengurus pada salah satu partai politik.
Padahal fakta membuktikan bahwa setelah tumbangnya rezim Orde Baru, kebijakan
tentang sistem politik masa mengambang tidak lagi berlaku. Kita tahu bahwa dalam
kebijakan masa mengambang ala Orde Baru itu, kegiatan partai politik terutama PDI
dan PPP, dilarang membangun jaringan politik formal di tingkat desa, terutama yang
bisa digunakan sebagai basis mobilisasi massa. Sehingga implikasi dari kebijakan itu
adalah kemenangan Golkar dalam setiap pemilu karena memanfaatkan institusi
pemerintahan desa.
34
Memasuki periode reformasi, kebijakan ala Orde Baru itu tidak lagi berlaku,
dan ada runag yang diberikan bagi partai politik untuk dapat beraktivitas sampai pada
tingkat desa dengan membentuk “perpanjangan tangan” yang lebih dikenal dengan
“pengurus ranting”. Walaupun demikian, desa Kaliurang tetap sepi dari kegiatan politik.
Kepala Desa ketika dikonfirmasi tentang fenomena ini hanya berkata “benar, memang
tidak ada warga yang menjadi pengurus partai, biasanya kalau ada kegiatan partai
pengurusnya datang langsung dari kecamatan”.1
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Desa, dan Sekretari Desa (Sekdes)
tidak ditemukan alasan yang cukup kuat yang bisa menjelaskan fenomena tentang tidak
adanya anggota masyarakat di desa Kaliurang yang menjadi pengurus ranting pada
salah satu partai politik di Indonesia ini. Alasan yang diberikan hanylah bahwa
“memang tidak ada pengurus ranting partai politik di desa ini, dan masyarakat juga
tidak berminat menjadi pengurus partai politik, karena sibuk bekerja di sawah atau
ladang.”
4.1.4 Jenis-Jenis Masalah Sosial Di Desa Kaliurang
Kehidupan bersama dalam sebuah komunitas ataupun dalam sebuah masyarakat
(society) tentu tidak terlepas dari riak-riak permasalahan. Interaksi-interaksi baik antara
individu dengan individu, maupu individu dengan kelompok bahkan kelompok dengan
kelompok tentu tidak selamanya terjadi dalam keadaan yang baik-baik saja. Dalam
interakti tentu ada berbagai kepentingan yang dapat saja “merusak” hubungan yang
1 Wawancara dengan Kepala Desa Kaliurang, Ibu Kaptiyah, tanggal 18 Mei 2012; dan Sekdes Kaliurang,
Suwardi tanggal 1 Mei 2012.
35
telah terbangun. Masalah, sekecil apapun jika tidak dikelola dengan baik akan berakibat
pada munculnya masalah yang lebih besar.
Dalam masyarakat sederhana (untuk mengindari penggunaan konsep primitif
yang sering secara keliru diidentikan dengan masyarkat sederhara), terdapat integrasi
yang erat dan cenderung kearah keteguhan struktur. Hal ini nampak cukup kuat
dipertahankan pada masyarakat tani perdesaan Jawa yang bersifat subsistance.
Mengenai masyarakat sederhana ini, Kutut Suwondo (makalah, tanpa tahun)
menginventarisis dua ciri utama masyarakat sederhana, sebagai berikut: 1). Besarnya
peran yang dimainkan oleh norma-norma sosial, yang sering kita sebut adat-istiadat.
Berdasar adat inilah mereka mengatur kehidupannya; dan 2). Sebagian besar adat tersebut
berhubungan dengan aspek kekeluargaan. Berdasar asas kekeluargaan inilah kehidupan
masyarakat sederhana ini (biasanya di pedesaan) disusun. Sejumlah aturan tidak tertulis
yang menyertai asas kekeluargaan akan menyangkut pengaturan tentang hak, kuwajiban,
harapan, dan tindakan. Disini kedudukan sosial yang bersifat warisan menjadi penting.
Beberapa aspek yang menyertai asas kekeluargaan menyangkut aspek penghormatan
(siapa yang paling berkuasa, proses pengambilan keputusan, hak-hak khusus pada orang
tertentu, dll), hubungan laki-perempuan (termasuk inses, zina, poligami, poliandri, dll),
hubungan harta-benda (pewarisan harta-benda, bawon system, bagi hasil, dll).2
Dalam masyarakat sederhana norma-norma sosial atau adat-istiadat itulah yang
digunakan sebagai pedoman hidup masyarakat. Hal ini juga tampak dalam masyarakat
2 Kutut Suwondo, Struktur Sosial Masyarakat Majemuk, (Makalah – bahan kuliah Sosiologi, Tanpa
Tahun)
36
desa Kaliurang, Kecamatan Srumbun, Magelang. Walaun demikian, adat-istiadat sebagai
pedoman relasi dalam kehidupan bersama itu bukan tidak berarti tidak dilanggar,
pelanggaran terhadap norma-norma adat itulah yang peneliti pahami sebagai adanya
masalah-masalah sosial, selain itu termasuk juga akibat yang ditimbulkan oleh bencana
alam. Kita tahu bahwa pasca bencana alam akan meninggalkan akibat-akibat berupa
masalah-masalah sosial, baik rusaknya tatanan kehidupan (sruktur sosial) maupun akibat-
akibat lain, seperti trauma sosial yang perlu penanganan khusus.
Hasil identifikasi yang dilakukan, baik oleh kepolisian maupun oleh pemerintah
desa Kaliurang, ditemukan bahwa masalah-masalah sosial yang sering terjadi di desa
Kaliurang, (FKPM, 2012) dalam 5 tahun terakhir, meliputi:
a. Pencurian (10 Kasus)
Salah satu kasusnya Pada hari Jumat, 21 April 2006 , pada tanggal tersebut
terjadi pencurian rokok di warung di Dusun Cepagan dengan korban Pelaku empat
orang di antaranya : Sorla 30 tahun (tani ) , Soiful sobari 22 tahun (tani), Yarto16
Tahun (Pelajar), dan Waji 35 tahun (tani ). Setelah mereka melakukan Pencurian
kemudian hasil curinya itu dimakan di jalan atau merokok di jalan.
b. Penganiayaan ( 6 kasus )
Contoh kasusnya pada tanggal 5 Januari 2007, pukul : 15.00, tanggal tersebut
terjadi penganiayaan dengan Pelaku Suharyoso, 26 tahun , (tani), dari dusun Jrakah
kaliurang Utara dan korbannya Porjanto, 25 Tahun , Sumberejo. Pada saat penganiayan
yang di lakukan oleh pelaku hampir di saksikan oleh banyak orang di wilayah tersebut.
37
c. Perselingkuhan,/ kumpul kebo ( 2 kasus )
Pada hari Kamis, 4-9-2010.18.00 terjadi kumpul kebo dalam status mereka
sudah punya istri ataupun suami masing-masing. Dengan pelaku Sarjono dan tentram.
Dua orang tersebut melakukan tindakan tuna susila dengan hubungan intim.
d. Penyerobotan tanah (2 Kasus)
Pada Tahun 2003 silang sering terjadi pencurian tanah ( Ibu Kaptiyah, mei 2012)
. ini terjadi dalam rukun keluarga. Biasanya dalam masalah perkebunan salak.
e. Aborsi ( 1 kasus)
Contoh kasus aborsi di Desa ini , ketika Pada hari Senin , 16 -7 -2007. 01.00 Di
rumah Bapak Sumowadi Wiyono dusun Jrakah, rt 04/rw dengan Pelaku Tukini
Melakukan tindak aborsi sendiri atas kehamilan yang tidak bersuami dengan cara
melahirkan di tangani sendiri dengan paksa tidak sepengetahuan medis
f. Bunuh diri ( 1 kaus )
Contoh kasus di Kalirang , pada hari Kamis, 7 Juni 2007. 16.00, Pada hari dan
tanggal tersebut di atas korban bermain di rumah temannya Yuni, ketika pemilik Rumah
berada di dapur korban berusaha bunuh diri dan minum byclien selanjutnya korban di
bawa ke Rumah sakit umum Muntilan.
g. Perusakan lingkungan, bencana alam seperti longsor, banjir, awan panas dan
juga lahar, dan lain-lain ( 5 kasus ).
38
Pada hari Selasa, 26-10-2010.17.00 Terjadi letusan gunung merapi sehingga
terjadi hujan pasir dan abu. Pada saat itu masyarakat panik dan kalang kabut,kemudian
Masyarakat mengungsi di TPA Tanjung dan TPA lapangan Jumoyo.
Masalah-masalah ini tentu muncul (terjadi) dikarenakan kurangnya tingkat
kesadaran individu maupun masyarakat. Selain itu, masalah-masalah pencurian dan
perampokan yang terjadi adalah kibat dari himpitan ekonomi keluarga. Kepala desa
Kaliurang yang diwawancarai tanggal 18 Juli 2012, menguraikan bahwa: “masalah-
masalah yang muncul adalah berkisar pada masalah pencurian tanah yang telah tercatat
65 kasus, meletusnya gunung Merapi tahun 2004 meninggalkan trauma masyarakat yang
perlu penanganan juga perlu adanya upaya latihan tanggap bencana untuk menanggulangi
kerugian akibat bencana alam, perselingkuhan, bentrok antar dusun akibat sepak bola dan
pencurian. Maka, untuk menanggulangi masalah-masalah itu, dibutuhkan penyadaran
baik kepada individu, komunitas maupun masyarakat desa Kaliurang secara umum.”
Hasil pendataan yang dicatat oleh Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM)
desa Kaliurang selama kurun 2006-2012 menunjukan adanya berbagai masalah baik
yang muncul akibat pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh warga masyarakat
maupun masalah yang ditimbulkan oleh alam. Dengan fakta itu, maka ada kebutuhan
untuk membentuk salah satu forum yang berfungsi mengambil tindakan penyelesaian
maupun pencegahan terhadap masalah-masalah yang muncul. Dasar pemikiran seperti ini
dikarenakan adanya pemahaman bahwa tidak semua masalah harus diselesaikan atau
dibawah ke polisi dan pengadilan. Maka, forum itu dibentuk dengan harapan dapat
39
menyelesaikan masalah-masalah yang timbuk di masyarakat dengan menekankan pada
pendekatan kekeluargaan. Forum itulah yang disebut dengan FKPM.
4.2. Proses Pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM)
di Desa Kaliurang
4.2.1. Latar Belakang Terbentuknya FKPM
Proses reformasi yang telah dan sedang berlangsung menuju masyarakat sipil
yang demokratis diharapkan mampu membawa berbagai perubahan di dalam sendi-
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian juga Polri yang saat ini sedang
melaksanakan proses reformasi untuk menjadi kepolisian sipil dengan tujuan bisa
menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Dengan demikian,
salah satu cara yang hendaknya dapat ditempuh adalah dengan merubah paradigma
yang menitikberatkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan)
menuju pendekatan yang proaktif guna mendapatkan dukungan publik dengan
mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-msalah sosial.
Wardi (48 tahun) jabatan Kamtimas Posek Kab. Magelang ketika diwawancarai
peneliti pada tanggal 2 Juli 2012 perihal pembentukan Forum Kemitraan Polisi
Masyarakat di desa Kaliurang, pada intinya mengatakan bahwa:
“Pembentukan FKPM di Kalurang adalah sesuai denga di terbitkan nya SK
pihak Kepolisian Republik Indonesia, saya merasa bahwa kegiatan ini akan
memunculkan aroma baru bagi masyarakat dalam bidang keamanan. Kami
sebagai team dari pihak kepolisian merasa terbantu dengan adanya kegiatan ini.
Ya itu tadi mba karena selama saya mejnadi polisi saya terkadang bergfikir
menjadi musuh bagi msyarakat itu sendiri. Justru muncul hal seperti ini menjadi
lebih baik. Ya anggapan masyarakat sama polisi kan hanya segi negatifnya saja
40
polisi di pandang seprti apa. Ya saya senang dengan kegiatan ini saya bisa jadi
sahabat baik bagi masyarakat, bisa saling bekerja sama. Ya intinya saya senang
dengan Forum ini.
Pernyataan salah satu anggota Polisi (Polsek Magelang) seperti terurai di atas
mengindikasikan bahkan membenarkan fakta yang sering diungkapkan oleh masyarakat
bahwa polisi itu adalah “kaum elit” yang dalam mejalankan tugasnya selalu
mengutamakan pendekatan kekuasaan dalam penyelesaian masalah. Atau dengan kata
lain “dipukul dulu baru bertanya”. Oknum Polisi kebanyakan masih menggunakan
pendekatan-pendekatan keuasaan ini. Hasil dialog dengan beberapa mahasiswa
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang pernah “berurusan” dengan polisi
mengungkapkan bahwa “biasanya ketika dibawa ke kantor polisi dimasukan ke sel,
dipukul dulu baru dikeluarkan dan dia (polisi) mulai bertanya tentang masalah yang
terjadi”.
Fenomena seperti ini telah menjadi rahasia umum yang kadang-kadang
“diaminkan” saja oleh polisi dan juga masyarakat. Latar belakangnya tentu diakibatkan
oleh sejarah panjang keberadaan polisi sebagai bagian dari Tentara Nasional Indonesia
(TNI) sehingga polisi kehilangan citra sipilnya, profesionalisme dan kinerja polisi yang
kurang baik, ditambah lagi dengan masalah internal polisi; lemahnya SDM dan
terbatasnya dana/anggaran yang tersedia (Data sekunder: Percik, 2004-2012), membuat
polisi dalam peran/kegiatannya menjadi begitu sangar, ditakuti dan menakuti anggota
masyarakat.
Citra negatif polisi ini mendapatkan “angin segar” perbaikannya ketika
reformasi mulai bergulir. Institusi kepolisian “menangkap” angin reformasi itu dengan
41
mereformasi diri demi mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadapnya, salah satu
bentuk reformasi itu adalah dengan merubah model penyelenggaraan fungsi kepolisian
sebagai Community Oriented Policing atau Community Based Policing dan
Neighbourhood Policing, dan akhirnya lebih popular dikenal masyarakat dengan
sebutan Community Polising atau Perpolisian Masyarakat/ Polmas (Majalah
Kenthongan, 2011).
Untuk membangun semangat baru dalam pelayanan kepada masyarakat, Polri
menetapkan Polmas sebagai landasan proses reformasi. Strategi ini memungkinkan
polisi dan masyarakat untuk bekerjasama dalam mengidentifikasi, memprioritaskan dan
memecahkan masalah-masalah lokal. Dengan demikian, Polmas merupakan strategi
baru yang ditetapkan Polri sebagai cara efektif untuk membangun kemitraan antara
polisi dan masyarakat dan sekaligus menjamin adalanya perlindungan terhadap hak
asasi manusia. Jadi diharapkan tidak ada lagi istilah atau pendekatan “pukul dulu baru
bertanya”.
Demi memfasilitasi pengenalan Polmas dan menciptakan kemitraan dengan
masyarakat guna memperkuat komunikasi antara Polri dengan masyarakat, maka
dijalinlah hubungan komunikasi melalui pembentukan Forum Kemitraan Polisi
Masyarakat (FKPM). Karena itu, FKPM merupakan organisasi kemasyarakatan yang
bersifat independen atau yang dalam kegiatannya bebas dari campur tangan pihak
manapun.
42
Mendapat “angin segar” reformasi itu, Pori lalu “melebarkan sayapnya” sampai
ke masyarakat pada tingkat desa guna membangun komunikasi “yang bebas penguasa”
(meminjam terminologi Habermas) guna mengembalikan citra yang terlanjur negative
ditingkat masyarakat. Salah satu desa yang “didatanginya” adalah desa Kaliurang Kec.
Srumbun, Magelang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan (terutama Kepala Desa,
Sekdes, dan kelapa-kepala dusun), diketahui bahwa informasi mengenai Polmas sampai
dengan pembentukan FKPM adalah berasal dari pihak kepolisian Magelang. Walaupun
informasi awalnya berasal dari pihak kepolisian, nanmun masyarakat lewat perangkat
pemerintahan desa menyambut baik keinginan pihak kepolisian untuk membentuk
FKPM di desa Kaliurang.
Menurut para informan, tanggapan positif yang dilakukan pemerintahan desa
terhadap keinginan kepolisian untuk membentuk FKPM tersebut antara lain diakibatkan
oleh situasi dan kondisi desa Kaliurang yang rawan bencana, baik bencana akibat situasi
alam khususnya gunung Merapi yang sering erupsi, maupun bencana akibat ulah
manusia (masyarakat). Sekretaris desa (Sekdes) Kaliurang, Suwardi (53 Tahun) ketika
diwawancarai tanggal 1 Mei 2012, pada intinya mengatakan bahwa:
“Iya awalnya sieh memang dari pihak kapores Magelang mengadakan suatu
pertemuan tentang FKPM tersebut dan, di mana kami sebagai warga sini
merasa bentuk informasi yang disampaikan oleh polisi adalah baik, karena
berkaitan dengan; kebutuhan masyarakat, selain mengurangi kerja polisi
karena masyarakat diajak kerjasama, juga pembentukan FKPM itu bertujuan
memberdayakan perangkat desa untuk berkerja lebih efektif dan efesien,
selain itu pembentukan FKPM juga adalah untuk menjaga keamanan
bersama”
43
Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang Kepala Dusun, Widoyo (50
Tahun) kepala dusun Jerakah ketika diwawancarai tanggal 10 Mei 2012, tentang latar
belakang pembentukan FPKM, pada intinya mengatakan bahwa:
“Iyah awalnya sieh ada informasi pertemuan dari kepala Desa, untuk
membicarakan pembentukan FKPM. Dan pada saat pertemuan ternyata
bersana-sama dengan polisi, jadi polisi yang menjelaskan tentang arti FKPM
itu. Info yang disampaikan polisi, ya biasa kami terima. Karena melihat juga
keadaan di desa kami yang kurang aman dan banyak masalah. Pembentukan
FKPM itu tujuannya untuk pencegahan masalah-masalah sosial yang sering
muncul itu.
Pahit manis saya rasakan mba menjalani kegiatan ini. Ya hasilnya sekarang
keadaan aman dan tidak seperti dulu lagi lah”.
Selain itu, kepala desa Kaliurang, ibu Kaptiyah yang diwawancarai tanggal 12
Mei 2012, mengatakan kepada peneliti bahwa:
“Pembentukan FKPM di Kaliurang adalah dilakukan pada tahun 2007.
Pembentuk forum itu berdasarkan kemauan masyarakat setelah mendengar
langsung informasi tentang kinerja FKPM di beberapa wailah lain yang
dijelaaskan oleh pihak kepolisian dalam sebuah pertemuan waktu itu. dasar
pembentukan FKPM Desa Kaliurang itu adalah dengan adanya
Surat Keputusan Kapolri No.Pol.SKEP/737/X/2005 Tanggal 13 Oktober
2005 Tentang Kebijaksanaan dan strategi Penerapan Model Perpolisian
Masyarakat dalam Penyelenggaraan tugas POLRI. Sehingga kemungkinan
dengan adanya surat ini, polisi mencoba mereformasi diri untuk menjadi
lebih dekat dengan masyarakat”.
Secara khusus kepala desa Kaliurang mengatakan bahwa, beberapa program
yang dilakukan atas kerjasama polisi dan masyarakat lewat FKPM ini berjalan cukup
sukses. Misalnya saja bentuk-bentuk pendekatan dalam penyelesaian masalah yang
dulunya ketika ada masalah langsung dibawa ke kantor polisi, sekarang dengan adanya
44
FKPM masalah-masalah bisa ditangani dan diselesaikan sendiri di tingkat desa maupun
dusun.
Menurut para informan, hal positif dari adanya Forum Kemitraan Polisi
Masyarakat (FKPM) ini adalah soal pendekatan penyelesaian masalah-masalah sosial
terutama masalah-masalah pencurian, penganiayaan, perselingkuhan bahkan perilaku
menyimpang akibat mengkonsumsi minuman keras. Menurut mereka kalau dulu
(sebelum FKPM terbentuk) jika terjadi masalah-masalah seperti itu, maka masyarakat
(korban) langsung mengadukannya ke kantor polisi, saat ini dengan dibentuknya FKPM
masalah-masalah itu tidak langsung dilaporkan ke polisi namun kepada FKPM untuk
ditangani dan diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pembentukan FKPM selain untuk meringankan kerja polisi, juga
membantu aparat pemerintah desa yang berjumlah 16 orang namun harus mengurus
2493 orang penduduk desa Kaliurang.3
4.2.2 Struktur organisasi FKPM
Dengan adanya struktur organisasi membantu untuk menjalankan tugas masing-
masing pada setiap aparat di tingkat desa, agar setiap aparat dapat mengerti dan
memahami akan tugas dan kewajibannya yang akan dilakukannya. Agenda kegiatan
yang secara rutin dilakukan oleh FKPM desa Kaliurang bersama dengan
babinkamtibmas dan aparat Desa Kaliurang adalah: pertemuan rutin tiap bulan diadakan
3 Hasil wawancara dengan Kepala Desa Kaliurang, Ibu Kaptiyah, 12 dan 18 Mei 2012; Sekdes (Suwardi)
1 Mei 2012; Widodo (kadus Jarakah), 10 Mei 2012; Wakidi (kadus Kaliurang Selatan), 14 Juni 2012;
Harmaji (kadus Cepagan), 8 Mei 2012; Hardiyanto (kadus Kaliurang Utara), 27 Mei 2012; dan Giran
(kadus Sumberejo), 10 Juli 2012.
45
secara bergilir dirumah-rumah anggota secara bergantian dengan tujuan untuk lebih
saling mengenal dan mengakrabkan, mensosialisasikan dan sharing keamanan di
wilayah RT masing-masing.4
Menurut masyarakat, dengan adanya FKPM dibawah pendampingan Bapak
Wardi (Kampimas Polsek Magelang) ini sangat membantu pemerintah desa Kaliurang
terutama dalam mem-back up keamanan di wilayah, karena anggota FKPM berasal dari
semua RW yang ada dan harapannya, kedepan setiap seksi kemanan RT otomatis
menjadi anggota FKPM. Harapan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa tindakan
penyimpangan (pencurian, dan lain-lain) juga sering terjadi pada level yang paling
bawah yakni Rukun Tetangga (RT).
Selain menjaga kondisi keamanan di Wilayah, FKPM juga berperan aktif dalam
berbagai kegiatan baik di tingkat warga maupun ditingkat Desa bahkan Kecamatan.
Apabila ada warga yang mempunyai hajat, maka FKPM secara sukarela membantu
keamanan dan parkir, sedang di kegiatan-kegiatan kelurahan FKPM selalu tampil
sebagai keamanan.
Setelah terbentuk pada tahun 2007, maka struktur FKPM desa Kaliurang, serta
dalam rangka untuk mempermuda cara kerja dan hubungan-hubungan (interaksi) baik
antar anggota dengan anggota, maupun antar FKPM dengan masyarakat, maka secara
kelembagaan dibentuklah struktur organisasi FKPM, seperti tergambarkan di bawah ini:
4 Lihat buku kegiatan FPKM dan buku penyelesaian masalah yang ditangani oleh FKPM desa Kaliurang.
46
Gambar 2.
Struktur Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) di Desa Kaliurang
Lampiran keputusan Kepala Desa Kaliurang Nomor : 188.4/ /Kep/II/2006
Sumber: FKPM, 2012
KETUA
SUHARNO, S.Sos
WAKIL KETUA
BRIPKA BARDONO
SEKRETARIS
SUWARDI
BENDAHARA
HARDIYANTO
MIJI HARJONO
WIDOYO
CHUNDORI
SUPRIYANTO
AKHMAD SUKAJI
H. BEJO S.M
MUKRI
GUNTORO
WAKIDI
SUDARYANTO
SUROTO
SUGITO
RATIMIN
MARDONO
JUMIYATI
MARYONO
HARMAJI
MUHADI
SUGITO
SULADI
FATKHUROHMAN
SUWAJI
SUPARTINI
WAGIRAN
UPRIYANTO
SUGITO
SUKARDI
HARDIYANTO
ENI KRISNAWATI
TRIYATNO
ENI SUTARSIH
SUPRATYO
WANTO SUWARNO
SUYATNO
SURATNO
SUJARWO
SRI PARWATI
MARSONO
PODO S.P
PARJO