Post on 28-Jul-2015
description
SKRIPSI
STRESS DAN COPING STRESS PADA PECANDU
NARKOBA DEWASA AWAL YANG SEDANG MENJALANI
REHABILITASI
Disusun oleh:
Sara Sahrazad
705040010
Fakultas Psikologi
Universitas Tarumanagara
Jakarta
2007
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia meningkat tajam. Data terbaru
Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Februari 2006 menyebutkan, dalam lima
tahun terakhir jumlah kasus tindak pidana narkoba di Indonesia rata-rata naik
51,3% atau bertambah sekitar 3.100 kasus per tahun. Kenaikan tertinggi terjadi
pada 2005 sebanyak 16.252 kasus atau naik 93% dari tahun sebelumnya. Di
tahun yang sama tercatat 22 ribu orang tersangka kasus tindak pidana narkoba.
Kasus ini naik 101,2% dari 2004 sebanyak 11.323 kasus (Damayanti, 2006).
Data di atas menunjukkan bahwa perkembangan kasus narkoba makin
meningkat, sehingga banyak didirikannya tempat-tempat rehabilitasi guna untuk
membantu pecandu agar dapat berhenti dari efek penggunaan narkoba.
Hawari (1991) mengemukakan beberapa alasan yang menyebabkan narkoba
itu disalahgunakan, yaitu agar dapat diterima oleh lingkungannya, untuk
mengurangi stres dan kecemasan, bebas dari rasa murung, mengurangi
keletihan atau kejenuhan, dan dapat pula untuk mengatasi masalah pribadi.
Pada awal pemakaian, para pengguna narkoba ini tidak merasakan akibat buruk
dari narkoba. Akibat itu baru dirasakan setelah beberapa kali pemakaian
sehingga menimbulkan kecanduan dan ketergantungan. Ketergantungan dapat
menyebabkan kesulitan untuk melepaskan diri dari pemakaian narkoba, karena
saat sudah ketergantungan dosis pemakaian narkoba akan makin bertambah.
Pada beberapa jenis narkoba, seperti putaw dan shabu-shabu, proses
ketergantungan terjadi lebih cepat, hanya dengan beberapa kali pemakaian.
2
Pasar gelap juga mengembangkan jenis narkoba murni dengan daya
ketergantungan yang makin tinggi. Hal ini akan semakin cepat mengakibatkan
kematian.
Kematian dapat dicegah dengan cara mengikuti pengobatan untuk para
pecandu narkoba, pengobatan dapat dilakukan di tempat rehabilitasi ataupun
rumah sakit. Pusat-pusat detoksifikasi (penghilang racun narkoba) dan
rehabilitasi bagi pecandu narkoba juga sangat beragam. Ada yang hanya
menyediakan detoksifikasi sehingga pasien tidak perlu menginap. Contohnya,
rumah sakit, klinik, dan puskesmas. Ada juga tempat-tempat rehabilitasi yang
menyediakan penginapan seperti asrama, dengan fasilitas yang lengkap, udara
segar, dan pemandangan alam. Tempat-tempat ini berbeda satu sama lain,
tergantung filosifi, tujuan dari tempat tersebut, dan pasien yang disasar. Ada
pusat rehabilitasi yang berdasarkan agama sehingga memasukkan ajaran-ajaran
agama di dalam program mereka (Kompas, 2006).
Sebuah tempat rehabilitasi akan membantu seorang pecandu untuk bangkit
dari keadaan mereka yang terpuruk secara mental, spiritual, jasmani, sosial dan
membantu mereka untuk melanjutkan masa depannya. Penghuni panti
rehabilitasi membentuk hidup bersama atau komunitas. Masing-masing membuat
komitmen pada diri sendiri dan sesama anggota komunitas untuk memperbaiki
dan meningkatkan mutu kehidupan di segala bidang: mental, spiritual, sosial dan
jasmani, dengan demikian, hidup bersama, semangat persaudaraan, dan
komitmen timbal balik antara mereka dengan sendirinya menjadi model,
sekaligus metode penyembuhan bagi mereka masing-masing.
Ada suatu program yang diadakan oleh salah satu tempat rehabilitasi yang
memakai cara yang disebut dengan Naza Project. Naza Project adalah suatu
3
program yang diadakan oleh Yayasan Hikmatul Iman yang bertujuan untuk
melakukan rehabilitasi terhadap korban narkotika, zat adiktif dan psikotropika
agar sehat kembali (Wikipedia, 2007).
Peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana stress dan coping stress pada
pecandu narkoba dewasa awal yang sedang menjalani rehabilitasi dengan
asumsi bahwa seseorang yang terbiasa menyelesaikan masalahnya dengan
memakai narkoba akan menolak pemikiran tersebut karena ia ingin bebas dari
pengaruh narkoba dan ingin menyelesaikan masalahnya dengan normal.
Stress adalah pengalaman emosi negatif yang diikuti dengan perubahan
biokimia, fisiologis, kognitif dan tingkah laku. Stress ini dapat dikategorikan
sebagai tiga bagian, yaitu stimulus, respon, dan proses. Pendekatan yang
mendefinisikan stress sebagai stimulus adalah pendekatan yang berfokus pada
lingkungan. Pendekatan kedua memandang stress sebagai respon. Pendekatan
ini fokus kepada reaksi individu terhadap sumber stress. Pada pendekatan
terakhir, stress dideskripsikan sebagai interaksi antara stimulus yang memicu
stres dan diri individu sendiri (Brannon & Feist, 2000).
Menurut Lazarus & Folkman (1984), dalam melakukan coping, ada dua strategi
yang dibedakan yaitu Problem-focused coping dan Emotion-focused coping.
Problem-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur
atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang
menyebabkan terjadinya tekanan. Emotion-focused coping, yaitu usaha
mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi
atau situasi yang dianggap penuh tekanan.
4
Individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam
menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat
dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused
coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk
dikontrol (Lazarus & Folkman, 1984). Terkadang individu dapat menggunakan
kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping
pasti digunakan oleh individu (Taylor, 1991). Para peneliti menemukan bahwa
penggunaan strategi emotion focused coping oleh anak-anak secara umum
meningkat seiring bertambahnya usia mereka (Band & Weisz, Compas et al.,
dalam Wolchik & Sandler, 1997).
Penulis telah melakukan survey ke sebuah tempat rehabilitasi yang terletak di
daerah Sentul, tempat rehabilitasi tersebut bernama Kedhaton Parahita yang
telah berdiri sejak 2001 dengan pendirinya Romo Somar. Saat penulis datang ke
tempat rehabilitasi tersebut, penulis bertemu dengan salah satu psikolog bagian
klinis berinisial E, dan E berkata “sangat jelas para pecandu narkoba mengalami
stres saat menjalani rehabilitasi, karena saat dari pertama pecandu masuk ke
tempat rehabilitasi, pecandu akan di karantina selama 6 bulan penuh. Saat 6
bulan para pecandu tidak diperbolehkan bertemu dengan orang luar maupun
keluarga dan tidak diperbolehkan untuk keluar tempat rehabilitasi tersebut.
Saat menjalani rehabilitasi pecandu pasti akan merasa stres fisik maupun
psikis karena tubuhnya yang telah kecanduan narkoba dipaksa untuk tidak
mengkonsumsi kembali sehingga tubuh akan bereaksi yang biasa disebut
dengan sakaw. Tubuh yang sakaw akan merasa kesakitan yang luar biasa dan
pecandu akan dibiarkan merasakan hal itu sampai tubuhnya kembali normal.
Pecandu pun akan mengalami stres saat merasa sendiri (kesepian) karena
5
selama 6 bulan pertama tidak diperbolehkan bertemu dengan siapa-siapa.
Seorang pecandu pun mempunyai cara masing-masing untuk menyelesaikan
permasalahan yang yang dihadapinya”.
Percakapan penulis dengan E menunjukkan bahwa pecandu yang menjalani
rehabilitasi pasti akan mengalami stres dan para pecandu juga akan
menyelesaikan masalah (coping stress) dengan cara yang berbeda-beda (E.
Sentul, personal communication, juni 13, 2007). Oleh sebab itu penulis ingin
meneliti apa saja stressor yang akan timbul saat pecandu sedang menjalani
rehabilitasi dan coping stress apa yang dipakai dalam mengatasi
permasalahannya.
Penulis mempunyai tujuan dalam mengerjakan penelitian ini, yaitu agar peneliti
mendapatkan gambaran stressor dan coping stress yang dilakukan oleh pecandu
didalam rehabilitas, sehingga dapat memberi masukan kepada sebuah tempat
rehabilitasi agar dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul di
tempat rehab yang dapat menyebabkan para pasien menjadi jenuh dan bosan.
Begitupula penulis dapat member masukan kepada para orangtua pecandu agar
memberi dukungan kepada pecandu tersebut, karena hal itu dapat membantu
dalam proses penyembuhan para pecandu tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana stress dan coping stress pada pecandu narkoba dewasa awal yang
sedang menjalani rehabilitasi?
6
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana gambaran stress dan coping stress yang dialami oleh pecandu
narkoba dewasa awal yang sedang menjalani rehabilitasi.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Selain itu diharapkan juga dapat memberi sumbangsih terhadap
pengembangan ilmu psikologi pada umumnya serta bidang psikologi sosial dan
perkembangan pada khususnya. Peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat
berguna untuk mengetahui bagaimana stress dan coping stress pada pecandu
narkoba dewasa awal yang sedang menjalani rehabilitasi.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai kehidupan pecandu narkoba. Selama ini
masyarakat tidak mengetahui apa yang dialami oleh pecandu narkoba di tempat
rehabilitasi, pecandu mengalami stress dan masyarakat dapat mengetahui
bagaimana cara pecandu narkoba tersebut dalam mengatasi stressnya.
Banyak masyarakat berpendapat bahwa di tempat rehabilitasi para pecandu
narkoba itu disiksa sampai pecandu sembuh, dengan penelitian ini penulis
mengharapkan dapat merubah pandangan masyarakat tentang sebuah tempat
rehabilitasi. Diharapkan pula agar para pecandu narkoba lainnya yang masih
menggunakan narkoba menjadi sadar dan menginginkan perubahan pada
7
kehidupannya dan dapat mengetahui apa yang akan pecandu alami dan
bagaimana cara mengatasinya dengan belajar dari pengalaman para subyek.
8
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Stress
2.1.1 Pengertian Stress
Stress adalah pengalaman emosi negatif yang diikuti dengan perubahan
biokimia, fisiologis, kognitif dan tingkah laku. Stress ini dapat dikategorikan dalam
tiga bagian, yaitu stimulus, respon, dan proses. Pendekatan yang mendefinisikan
stress sebagai stimulus adalah pendekatan yang berfokus pada lingkungan,
misalnya, keadaan ekonomi, keadaan keluarga dan sekitarnya. Pendekatan
kedua memandang stress sebagai respon, bagaimana individu merespon suatu
permasalahan yang menyebabkan individu stress. Pendekatan ini fokus kepada
reaksi individu terhadap sumber stress. Pada pendekatan terakhir, stress
dideskripsikan sebagai interaksi antara stimulus yang memicu stress dan diri
individu sendiri. Pendekatan terakhir ini menjelaskan bagaimana proses stimulus
itu mempengaruhi individu sehingga individu menjadi stress (Brannon & Feist,
2000).
Hal-hal, kondisi-kondisi, kejadian-kejadian yang menyebabkan, memicu, dan
menjadi alasan organisme menjadi stress disebut sebagai stressor. Stressor ini
dapat berasal dari lingkungan (keramaian, polusi, kebisingan), pekerjaan, dan
hubungan personal (Brannon & Feist, 2000). Seringkali stres didefinisikan
dengan hanya melihat dari stimulus atau respon yang dialami seseorang. Definisi
stres dari stimulus terfokus pada kejadian di lingkungan seperti misalnya
bencana alam, kondisi berbahaya, penyakit, atau berhenti dari kerja. Definisi ini
menyangkut asumsi bahwa situasi demikian memang sangat menekan tapi tidak
9
memperhatikan perbedaan individual dalam mengevaluasi kejadian. Sedangkan
definisi stres dari respon mengacu pada keadaan stres, reaksi seseorang
terhadap stres, atau berada dalam keadaan di bawah stres (Lazarus & Folkman,
1984).
Definisi stres dengan hanya melihat dari stimulus yang dialami seseorang,
memiliki keterbatasan karena tidak memperhatikan adanya perbedaan individual
yang mempengaruhi asumsi mengenai stresor. Sedangkan jika stres
didefinisikan dari respon, maka tidak ada cara yang sistematis untuk mengenali
mana yang akan jadi stresor dan mana yang tidak. Untuk mengenalinya, perlu
dilihat terlebih dahulu reaksi yang terjadi. Selain itu, banyak respon dapat
mengindikasikan stres psikologis yang padahal sebenarnya bukan merupakan
stres psikologis. berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa respon tidak
dapat secara reliabel dinilai sebagai reaksi stres psikologis tanpa adanya
referensi dari stimulus (Lazarus & Folkman, 1984).
Singkatnya, semua pendekatan stimulus-respon mengacu pada pertanyaan
krusial mengenai stimulus yang menghasilkan respon stres tertentu dan respon
yang mengindikasikan stresor tertentu. Yang mendefinisikan stres adalah
hubungan stimulus-respon yang diobservasi, bukan stimulus atau respon.
Stimulus merupakan suatu stresor bila stimulus tersebut menghasilkan respon
yang penuh tekanan, dan respon dikatakan penuh tekanan bila respon tersebut
dihasilkan oleh tuntutan, deraan, ancaman atau beban. Oleh karena itu, stres
merupakan hubungan antara individu dengan lingkungan yang oleh individu
dinilai membebani atau melebihi kekuatannya dan mengancam kesehatannya
(Lazarus & Folkman, 1984).
10
Pandangan tentang stress yang mendefinisikannya sebagai stimulus dipelopori
oleh Hans Selye. Selye mengkonsepkan stress sebagai respon nonspesifik yang
disebabkan oleh stressor (Ibrahim, 2003). Selye mengkategorikan reaksi individu
terhadap stress menjadi tiga tahapan yang disebut sebagai General Adaptation
Syndrome (GAS).
Tahap pertama, alarm reaction, tahap ini adalah tahap awal, tahap peringatan.
Individu memperlihatkan tanda-tanda seperti meningkatnya tekanan darah,
jantung berdebar, serta tanda-tanda fisik lainnya. Pada tahap ini juga, tubuh
melawan dan bertahan terhadap stressor. Tahap kedua, disebut sebagai tahap
resistance. Pada tahap ini, individu bertahan, melawan, dan beradaptasi pada
stressor. Lama dari tahap ini bergantung pada seberapa kuat stressor. Tahap
terakhir adalah tahap exhaustion, di mana individu gagal untuk menangani
stressor dan berakibat fatal pada kondisi fisiologis. Individu pada tahap ini telah
kehabisan energi untuk melawan dan melakukan adaptasi terhadap stressor
(Sarafino, 2002).
2.2 Coping Stress
Stres yang muncul pada anak akan membuat anak melakukan suatu coping
(Mu’tadin, 2002). Coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan
dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau
eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki
individu. Coping yang dilakukan ini berbeda dengan perilaku adaptif otomatis,
karena coping membutuhkan suatu usaha, yang mana hal tersebut akan menjadi
perilaku otomatis lewat proses belajar.
11
Coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan,
tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun coping bukan
merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak
semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai. Maka, coping yang efektif
untuk dilakukan adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi
dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat
dikuasainya (Lazarus & Folkman, 1984).
Banyaknya tegangan fisik dan emosional yang mengiringi keadaan stress,
menyebabkan adanya ketidak-nyamanan. Ketidak-nyamanan ini menyebabkan
seseorang melakukan hal-hal yang dapat mengurangi keadaan stress tersebut.
Hal-hal yang dimaksud di sini juga berkaitan dengan upaya mengalahkan,
mentoleransi, mengurangi, memperkecil, dan mengatur tuntutan lingkungan,
tuntutan internal, dan konflik yang terjadi di antara keduanya. Upaya-upaya ini
baik yang disadari maupun yang tidak disadari disebut dengan coping (Brannon
& Feist, 2000).
Menurut Taylor (2003) coping adalah proses dimana seseorang mencoba
untuk mengatur (manage) pengamatan ketidaksesuaian (perceive discrepancy)
antara tuntutan dan daya yang orang tersebut prediksikan dalam situasi stress.
2.2.1 Strategy of Coping
Menurut Lazarus & Folkman (1984), dalam melakukan coping, ada dua strategi
yang dibedakan yaitu Problem-focused coping dan Emotion-focused coping.
Problem-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur
atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang
menyebabkan terjadinya tekanan. Emotion-focused coping, yaitu usaha
12
mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi
atau situasi yang dianggap penuh tekanan.
Individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam
menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat
dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused
coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk
dikontrol (Lazarus & Folkman, 1984). Terkadang individu dapat menggunakan
kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping
pasti digunakan oleh individu (Taylor, 1991). Para peneliti menemukan bahwa
penggunaan strategi emotion focused coping oleh anak-anak secara umum
meningkat seiring bertambahnya usia mereka (Band & Weisz, Compas et al.,
dalam Wolchik & Sandler, 1997).
Suatu studi dilakukan oleh Folkman et al. (dalam Taylor, 1991) mengenai
kemungkinan variasi dari kedua strategi terdahulu, yaitu problem-focused coping
dan emotion focused coping. Hasil studi tersebut menunjukkan adanya delapan
strategi coping yang muncul, yang terkait dalam Problem-focused coping adalah
pertama Confrontative coping, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang
dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup
tinggi, dan pengambilan resiko. Variasi yang kedua adalah Seeking social
support; yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan
informasi dari orang lain. Dan Planful problem solving; usaha untuk mengubah
keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan
analitis.
13
Variasi yang terkait dalam Emotion-focused coping adalah Self-control, yaitu
usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.
Distancing; usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar
dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-
pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon. Positive
reappraisal; usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan terfokus
pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.
Accepting responsibility; usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri
dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk
membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah
terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak
baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.
Escape/avoidance; usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari
situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan,
minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.
Orang akan menggunakan problem-focused coping pada saat mereka yakin
bahwa mereka dapat merubah keadaan yang memicu stress. Problem-focused
coping dan emotion-focused coping dapat digunakan secara bersamaan.
Contohnya adalah dalam kasus orang yang kehilangan surat berharga karena
kelalaian anak buah. Orang tersebut akan berusaha mengurus surat berharga
tersebut (problem-focused coping) dan dia menahan kemarahan (emotion
focused coping).
14
2.2.2 Mekanisme Coping
Leonard pearlin dan Carmi Schooler (dalam Friedman & DiMatteo, 1989)
mengatakan bahwa mekanisme coping dapat mengambil tiga bentuk, yaitu
psychological resources, social resources, dan respon coping spesifik. Pada
psychological resources ada karakteristik personal di mana seseorang
menggambarkan diri mereka sendiri sebagai orang yang mampu atau tidak
mampu berdamai dengan keadaan mengancam yang berasal dari lingkungan
(misalnya self-esteem—sikap positif yang dibangun seseorang mengenai diri
sendiri, penguasaan dan kompetensi diri, dan perasaan orang dapat dan mampu
mengontrol kehidupan).
Berbeda dari psychological resources, social resources adalah aspek dari
jaringan interpersonal. Social resources didapatkan dari dukungan sosial yang
tersedia dari keluarga, teman, teman kerja, tetangga, dan teman sejawat.
Dukungan sosial sering dikaitkan dengan dukungan emosional, hal ini juga
terkait dengan sumber yang lebih nyata, seperti informasi dan kooperasi.
Mekanisme coping yang terakhir, yaitu specific coping responses
merepresentasikan hal-hal yang orang lakukan. Specific coping responses dapat
dipengaruhi oleh psychological resources dari individu dan social resources.
2.2.3 Metode Coping
Ada beberapa metode coping (Taylor, 2003) yaitu emotional discharge,
Intrusive thought, cognitive redefinition. Emotional discharge termasuk di
dalamnya mengekspresikan atau mengurangi perasaan mereka mengenai
kondisi stress. Pendekatan ini kadang berlangsung bersamaan dengan mencari
15
dukungan sosial, seperti dari teman dan keluarga. Dalam pendekatan ini, juga
digunakan metode humor.
Pendekatan kedua, intrusive thought yaitu mengabadikan gambaran stress
yang pernah dialami. Contohnya adalah mengalami flashback tentang event atau
keadaan yang membuat stress. Orang yang sering menggunakan intrusive
thought memiliki kesehatan yang lebih rendah daripada orang yang jarang
menggunakan intrusive thought (Nowack, 1989 dalam Taylor, 2003).
Pendekatan terakhir, cognitive redefinition, adalah strategi di mana orang
mencoba untuk “put the good face on a bad situation”. Contoh dari pendekatan
ini adalah tanpa terjadinya hal yang buruk, hal tersebut akan menjadi lebih buruk,
membuat perbandingan dengan orang yang lebih tidak mampu atau lebih berada
dalam keadaan yang sulit, atau melihat hal yang baik yang berkembang pada
saat suatu masalah berjalan.
2.3 Dewasa Awal
2.3.1 Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (1972), orang dewasa mencapai tahap postformal thought yang
merupakan tahap kognisi tertinggi. Postformal thought merupakan tipe yang
matang, percaya pada pengalaman subjektif dan intuisi yang masuk akal dan
berguna untuk berhubungan dengan ambiguitas, ketidakyakinan,
ketidakkonsistenan, kontradiksi, ketidaksempurnaan dan kompromi.
Beberapa kriteria dari postformal thought, seperti (a) shifting gears yang
memungkinkan untuk merubah penalaran abstrak dan mempertimbangkan dunia
nyata; (b) multiple causality and multiple solutions untuk menyadari bahwa
masalah lebih dari satu penyebab dan solusi; (c) pragmatism sebagai
16
kemampuan untuk memilih yang terbaik dari beberapa solusi dan menghargai
solusi yang telah dipilih; dan (d) awareness of paradox, sebagai kemampuan
untuk memikirkan kembali bahwa masalah dari solusi meliputi masalah yang
terdahulu.
Selain Piaget dan Sinott, Schale (2000) turut mengemukakan a life span model
of cognitive development, yang dimulai dari acquisitive stage (anak-anak dan
remaja), dan berakhir pada legacy creating stage (orang tua umumnya
mendekati akhir hidupnya). Usia dewasa awal dalam a life span model of
cognitive development mulai memasuki achieving stage (akhir remaja atau awal
20-30 tahun). Tahap ini ditandai dengan tidak atau kurangnya permintaan
terhadap pengetahuan atau kepentingan sendiri, dan cenderung menggunakan
apa yang ketahui untuk mencapai tujuan, seperti keinginan untuk berkarir dan
berkeluarga.
2.3.2 Perkembangan Psikososial
Ada empat pendekatan dalam perkembangan psikososial, antara lain (a) traits
model, teori ini berfokus pada mental, emosional, tempramental, dan tingkah
laku seperti kebahagiaan dan mudah marah. Teori ini mengemukakan bahwa
kepribadian orang dewasa hanya mengalami sedikit perubahan.
Menurut Costa dan Crae (2001), membagi faktor-faktor yang berhubungan
dengan sifat yaitu (1) neuroticm, kelompok ini terdiri dari enam sifat negatif yang
mengidentifikasikan ketidakstabilan emosi, yaitu kecemasan (anxiety),
permusuhan (hostility), depresi (depression), kesadaran pribadi (self
consciousness), suara hati (impulsiveness), dan serangan atau luka
(vulnerability); (2) extraversion, kelompok ini mempunyai enam sisi yaitu
17
keramahan (warmth), berteman (gregariousness), tegas (asseetiveness),
aktivitas (activity), mencari kegembiraan (excitement-seeking) dan emosi positif
(positive emotions); (3) open to experience, kelompok ini mempunyai sisi yaitu
fantasi (fantasy), keindahan (aesthetic), perasaan-perasaan (feelings), tindakan-
tindakan (action), ide-ide (ideas), dan nilai-nilai (values); (4) conscientious,
adalah yang ingin mencapai sesuatu, mereka mempunyai sisi yaitu tertib
(orderly), patuh (dutiful), tenang dan berhati-hati (deliberate) dan disiplin
(discipline); (5) agreeable, tipe orang yang dapat dipercaya, berterus terang,
sering mengeluh (complaint), rendah hati (modest), dan mudah dipengaruhi.
Pendekatan dalam perkembangan psikososial yang lain adalah (b) typological
models, teori ini mengidentifikasikan dengan tipe kepribadian luas, mereka
menampilkan cara-cara kepribadian diidentifikasikan secara individual. Teori ini
mempunyai kecendrungan untuk menemukan keseimbangan dalam kepribadian.
Terdapat tiga tipe typological models yaitu (1) ego resilient, adalah ego yang
mampu beradaptasi di bawah kondisi tekanan dan orang yang mampu
mengontrol diri (ego control), tipe seperti ini mempunyai kepercayaan diri,
mandiri, pandai berbicara, penuh perhatian, suka menolong, mampu bekerja
sama dan fokus pada pekerjaan; (2) overcontrolled, adalah orang yang memiliki
sifat pemalu, pendiam, cemas, dan bergantung pada orang lain. Orang-orang
yang memiliki tipe ini seperti memiliki kecendrungan untuk menyimpan pemikiran
mereka sendiri dan menghindari konflik, orang yang memiliki tipe ini juga mudah
mengalami depresi; (3) undercontrolled, adalah tipe orang yang aktif, energik,
suka mengikuti kata hati, keras kepala, dan mudah mengalami kebingungan.
Pendekatan yang ketiga adalah (c) normative-crisis models, teori ini
menggambarkan rangkaian usia manusia berhubungan dengan perkembangan
18
yang berkesinambungan sepanjang hidupnya, misalnya pada masa kanak-kanak
dan remaja. Teori ini memprediksikan, bahwa kepribadian orang dewasa
mengalami perubahan. Menurut erikson (2001), manusia pada saat dewasa awal
sudah memasuki tahap intimacy versus isolation, yaitu tahapan ketika orang
dewasa membuat suatu komitmen maka orang tersebut akan mengalami
keterasingan.
Orang-orang dewasa awal cenderung siap dan ingin menyatukan identitasnya
dengan orang lain. Usia dewasa mendambakan hubungan-hubungan yang intim
dan akrab, munculnya nilai cinta, dan persaudaraan sehingga, siap
mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-
komitmen ini meskipun usia dewasa mungkin harus berkorban. Akan tetapi,
berbahaya pada tahap keintiman ini adalah isolasi, yaitu suatu kecendrungan
menghindari hubungan karena tidak mau melibatkan diri dalam keintiman.
Pendekatan perkembangan psikososial yang terakhir adalah (d) timing of
events models, teori ini menggambarkan bahwa perubahan tidak terlalu
berhubungan dengan usia sebagai sesuatu yang diharapkan atau bersifat
penting dalam hidup manusia. Teori ini menekankan individual dan konteks.
2.4 Narkoba
Margono (2000) mendefinisikan narkoba sebagai zat yang apabila digunakan
dapat menimbulkan gangguan atau perubahan pada perilaku, kesadaran, pikiran,
dan perasaan seseorang. Narkoba juga merupakan semua zat yang
mempengaruhi cara bekerja pikiran, perasaan, persepsi dan kehendak
(Colondam, 2007).
19
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semi yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dapat dibedakan ke dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang atau yang kemudian
ditetapkan sebagaimana keputusan Menteri Kesehatan (UU RI No.22 tahun
1997). Menurut lampiran UU tersebut yang termasuk dalam jenis narkotika
adalah: tanaman ganja, tanaman opium sampai heroin, tanaman koka sampai
kokain, kodein dan turunan kimianya.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan
perilaku (UU RI No.5 tahun 1997). Menurut lampiran UU tersebut yang termasuk
dalam jenis psikotropika adalah amphetamin, metamfetamin, dan turunannya
seperti pil ekstasi, shabu atau ice dan turunan kimia sejenisnya.
2.4.1 Penyalahgunaan Narkoba
Menurut Hawari (2002) penyalahgunaan narkotika zat adiktif dan obat
berbahaya lainnya merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat patologik,
berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan menimbulkan gangguan fungsi
social dan okupasional. Penyalahgunaan obat yang di maksud di sini adalah
pemakaian obat yang disalahgunakan, bukan untuk keperluan medis, maupun
pemakaian obat dengan dosis yang tidak tepat (Rice, 1993).
Penyalahgunaan narkoba merupakan tindak pelarian yang sedang mempunyai
masalah atau untuk mendapatkan perhatian dari orang lain di luar lingkungan
20
keluarga (Sarlito, 2003). Penyalahgunaan narkotika, psykotropika dan minuman
keras pada umumnya disebabkan karena zat-zat tersebut menjanjikan sesuatu
yang dapat memberikan rasa kenikmatan, kenyamanan, kesenangan dan
ketenangan, walaupun hal itu sebenarnya hanya dirasakan secara semu (dalam
http://www.narkoba-metro.org/).
Efek ketergantungan atau kecanduan adalah suatu tahap yang dirasakan
individu setelah memakai obat secara berulang kali. Secara umum individu
dikatakan telah mengalami ketergantungan atau kecanduan obat apabila telah
menunjukkan suatu simptom jika dihentikan pemakaian obat. Selain itu
menunjukkan efek toleransi, yaitu meningkatnya jumlah dosis zat yang
digunakan, dan meningkatkan frekuensi penggunaan (Hawari, 1991).
Alasan pemakaian obat pertama kalinya berbeda-beda dari tiap individu.
Namun demikian dari semua alasan yang ada, kebanyakan pemakaian obat
untuk pertama kalinya didorong oleh rasa ingin tahu dan didasari untuk
memperoleh kenikmatan yang kadang-kadang tanpa motivasi terlebih dahulu
(Williams, 1974). Alasan pertama kali memakai obat dan meneruskan pemakaian
kadang-kadang berbeda-beda (Capuzzi & Lecoq, 1983).
Sumber dari sifat ketergantungan tidak menentukan oleh khasiat kimiawi zat
(Hawari, 1991). Orang-orang yang memakai obat menandakan ”usaha” untuk
memecahkan masalah emosi, lama-kelamaan akan menjadi ketergantungan
secara psikologis pada obat tersebut (Johnson & Kaplan, 1991). Pemakaian obat
berarti terpenuhinya keamanan, kenyamanan, dan rasa lega (Andrews, 1993).
21
2.4.2 Proses Ketergantungan Obat
Nowinski (1990) membagi proses ketergantungan menjadi lima tahap, dimana
tahap-tahap tersebut tidak dapat dipisahkan secara nyata. Proses
ketergantungan obat yang diuraikan di atas merupakan salah satu penjelasan
proses yang lebih sederhana dibandingkan proses ketergantungan yang diajukan
oleh Nowinski.
Tahap pertama yang diuraikan oleh Nowinski yaitu tahap eksperimen atau
coba-coba (the experimental stage), motif utama dari pemakaian coba-coba
adalah rasa ingin tahu dan keinginan untuk mengambil resiko, yang keduanya
merupakan ciri-ciri khas kebutuhan manusia. Tahap yang kedua adalah tahap
sosial (the social stage), konteks pemakaian pada tahap ini berkaitan dengan
aspek sosial dan pengguna, misalnya pemakaian yang dilakukan saat bersama-
sama teman-tema, misalnya pada saat pesta, acara kumpul-kumpul, dan lain-
lain. Tingkah laku menyimpang merupakan motivasi utamanya adalah
penerimaan sari kelompok atau sebagai fasilitas sosial supaya dapat cocok
dengan kelompok tersebut.
Tahap ketiga merupakan tahap instrumental (the instrumental stage), pada
tahap ini melalui pengalaman-pengalaman coba-coba salah dan meniru, bahwa
pengguna dapat bertujuan memanipulasi emosi dan tingkah laku, mereka
menemukan bahwa pemakaian obat dapat mempengaruhi perasaan dan aksi.
Tahap keempat adalah tahap pembiasaan (habitual stage), tahap ini berbeda
dari pemakaian instrumental, bukan hanya pada frekuensi pemakaian, tetapi
karena motivasi yang mendasarinya. Tahap ini merupakan batas antara
pemakaian instrumental dan pemakaian kompulsif. Kata kunci dalam tahap
“accomodation”.
22
Tahap yang terakhir adalah tahap kompulsif (the compulsive stage), pada
tahap akhir ini pemakaian obat adalah sebagai tingkah laku yang kompulsif.
Pemakaian akomodasi kini secara komplit dan total. Pikiran pecandu kini
diokupasi pada keinginan atau untuk merasa high. Jangkauan perhatian untuk
hal-hal lain sangat terbatas atau sama sekali tidak ada minat terhadap sekolah,
pekerjaan, hobi, semuanya dialihkan pada pemakaian obat.
2.4.3 Kategori Pemakai Narkoba
Secara umum para pemakai dapat dibagi menjadi tiga kelompok (1)
ketergantungan primer, (2) ketergantungan simtomatis, (3) ketergantungan
reaktif (Trevalga, 2000). Kelompok pemakai ketergantungan primer ditandai
dengan adanya gangguan kejiwaan, kecemasan, dan depresi, yang pada
umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian tidak stabil. Kelompok ini
memerlukan terapi kejiwaan psikologik serta perawatan bukan hukuman.
Menurut Hawari (2002) kelompok pemakai ketergantungan simtomatis adalah
orang-orang yang berkepribadian antisosial (psikopatik). Pemakaian obat-obat
terlarang adalah untuk kesenangan semata, hura-hura, bersuka ria dan
sebagainya. Kelompok pemakai ketergantungan simtomatis biasanya memakai
obat-obat terlarang tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga mempengaruhi
orang lain untuk menggunakan obat-obat terlarang dengan berbagai cara.
Kelompok ketergantungan reaktif terdapat pada remaja karena dorongan ingin
tahu, pengaruh lingkungan, dan tekanan kelompok sebaya (peer-group).
Kelompok ini dapat dikategorikan sebagai korban, memerlukan perawatan serta
rehabilitasi bukan hukuman.
23
2.4.4 Dampak Penyalahgunaan Narkoba
Colondam (2007) mengatakan bahwa pemakaian narkoba jenis apa pun
membawa kerusakan fisik, mental dan emosi. Organ tubuh yang paling terkena
dampak penggunaan narkoba adalah otak dan efek kerusakan ini bersifat satu
arah serta tidak dapat diperbaiki kembali (irreversible damage).
Narkoba bila digunakan secara terus menerus atau melebihi takaran yang telah
ditentukan akan mengakibatkan ketergantungan. Kecanduan inilah yang akan
mengakibatkan gangguan fisik dan psikologis, karena terjadinya kerusakan pada
sistem syaraf pusat (SPP) dan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati
dan ginjal. Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung
pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi
pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada fisik,
psikis maupun sosial seseorang (Hawari, 1991).
Dampak yang ditimbulkan bagi para penyalahguna nakotika yang sudah akut
atau kecanduan, secara fisik narkoba akan merusak susunan syaraf pusat atau
merusak orang organ tubuh lainnya, seperti hati dan ginjal serta menimbulkan
penyakit lain dalam tubuh, seperti bintik- bintik merah pada kulit seperti kudis.
Dalam psikisnya juga akan berdampak menjadi lamban dalam melakukan
sesuatu, agresif, sulit berkonsentrasi dan cenderung menyakiti dirinya sendiri,
dalam dampak sosial pecandu akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan
penggunaan narkotika akibat ketergantungannya , Mereka dapat menghalalkan
segala cara demi memperoleh narkotika. Awalnya mengambil dan menjual
barang-barang milik pribadi, kemudian terus meningkat dengan mengambil
barang-barang milik keluarganya dan kemudian pada gilirannya melakukan
24
tindak pidana baik berupa pencuriaaan, perampokan , dan lain-lainnya sekedar
untuk membeli narkotika (dalam http://www.narkoba-metro.org).
2.5 Tempat Rehabilitasi
Tempat rehabilitasi merupakan salah satu jalan keluar agar pecandu narkoba
dapat sembuh dari jeratan efek dari narkoba tersebut. Pusat-pusat detoksifikasi
(penghilang racun narkoba) dan rehabilitasi bagi pecandu narkoba juga sangat
beragam. Ada yang hanya menyediakan detoksifikasi sehingga pasien tidak
perlu menginap. Contohnya, rumah sakit, klinik, dan puskesmas. Ada juga
tempat-tempat rehabilitasi yang menyediakan penginapan seperti asrama,
dengan fasilitas yang lengkap, udara segar, dan pemandangan alam bagus.
Tempat-tempat ini berbeda satu sama lain, tergantung filosifi, tujuan dari tempat
tersebut, dan pasien yang disasar. Ada pusat rehabilitasi yang berdasarkan
agama sehingga memasukkan ajaran-ajaran agama di dalam program mereka
(Kompas, 2006).
Lamanya program rehabilitasi sangat bervariasi, ada yang hanya tiga-empat
minggu, namun ada yang mencapai lebih dari 18 bulan. Hal ini tergantung
kebutuhan dan kemampuan masing-masing pasien. Program yang diberikan juga
beragam. Tidak hanya detoksifikasi, tetapi juga diberikan konseling dengan
psikolog atau psikiater, olahraga dan sebagainya. Ada juga yang menyediakan
grup pendukung sepertii teman sebaya atau mantan pecandu yang sudah bisa
bebas dari pengaruh narkoba (Hawari, 1991).
Aktivitas yang diselenggarakan harus mempunyai target agar terlihat jelas
tahap kemajuan dari setiap pasien. Aktivitas ini juga harus dibawah pengawasan
orang yang kompeten, seperti dokter, psikiater, dan psikolog. Pengobatan mental
25
ini bisa dilakukan dengan memberikan pembekalan seperti pelatihan self esteem
(kepercayaan diri). Pasien harus siap secara mental jika dia pulang ke rumah.
Dia harus dapat berkata tidak kepada narkoba dan siap jika ditolak oleh
masyarakat. Oleh karena itu, ada baiknya pasien diberikan keterampilan seperti
bahasa, musik, atau kerajinan tangan agar memiliki sesuatu ketika keluar nanti
(Iven dalam kompas, 2006).
2.5.1 Pengobatan Pada Tempat Rehabilitasi
Tahap pertama adalah tahap detoksifikasi. Detoksifikasi merupakan satu cara
untuk menghilangkan racun-racun obat dari tubuh si penderita kecanduan
narkoba. Proses ini dapat dilakukan melalui cara-cara berikut ini (1) Cold Turkey
(abrupt withdrawal) yaitu proses penghentian pemakaian Narkoba secara tiba-
tiba tanpa disertai dengan substitusi antidotum, (2) Bertahap atau substitusi
bertahap, misalnya dengan Kodein, Methadone, CPZ, atau Clocaril yang
dilakukan secara tapp off (bertahap) selama 1 - 2 minggu, (3) Rapid
Detoxification: dilakukan dengan anestesi umum (6 - 12 jam), dan (4)
Simtomatik: tergantung gejala yang dirasakan.
Tahap kedua adalah tahap deteksi sekunder infeksi. Pada tahap ini, biasanya
kita melakukan pemeriksaan laboratorium lengkap dan tes penunjang yang lain
untuk mendeteksi penyakit atau kelainan yang menyertai para pecandu Narkoba.
Contohnya, Hepatitis (B/C/D), AIDS, TBC, JAMUR, sexual transmitted disease
(Sifhilis, GO, dll). Jika dalam pemeriksaan ditemukan penyakit di atas, biasanya
kita langsung melakukan pengobatan medis sebelum pasien dikirim ke rumah
rehabilitasi medis. Hal ini perlu untuk mencegah untuk mencegah terjadinya
penularan penyakit pada para penderita yang lain atau tenaga kesehatan.
26
Tahap ketiga adalah tahap rehabilitasi. Prinsip perawatan di setiap rumah
rehabilitasi medis yang ada di Indonesia sangat beragam. Ada yang
menekankan pengobatan hanya pada prinsip medis, ada pula yang lebih
menekankan pada prinsip rohani. Atau, prinsip pengobatan dengan cara
memadukan kedua pendekatan tersebut dalam komposisi yang seimbang.
Pengobatan rawat inap ini biasanya dilakukan selama 3 bulan sampai dengan 1
atau 2 tahun.
Tahap terakhir adalah tahap purnarawat. Sebelum kembali ke masyarakat,
para penderita yang baru sembuh akan ditampung di sebuah lingkungan khusus
(sektor swasta, jurnalis, kelompok agama, LSM, dll) selama beberapa waktu
tertentu sampai pasien siap secara mental dan rohani kembali ke lingkungannya
semula. Hal ini terjadi karena sebagian besar para penderita umumnya putus
sekolah dan tidak mempunyai kemampuan intelejensia yang memadai.
Akibatnya, banyak di antara mereka menjadi rendah diri setelah keluar dari
rumah rehabilitasi. Lamanya proses aftercare dapat bervariasi, biasanya
dilakukan antara 3 bulan sampai 1 tahun. Dari keempat tahap pengobatan,
aftercare merupakan tahap yang terpenting dan sangat menentukan untuk
mencegah si penderita kembali ke lingkungannya yang semula (dalam
http://www.narkoba-metro.org/).
Ada suatu program yang diadakan oleh salah satu tempat rehabilitasi yang
memakai cara yang disebut dengan Naza Project. Naza Project memiliki
langkah-langkah yang akan diberikan kepada pasien, antara lain: Langkah
pertama adalah Analisis kondisi pasien. Pada tahap ini kondisi fisik, mental dan
sosial pasien untuk kemudian dilakukan diagnosa terhadap keadaanya. Langkah
kedua, Detoksifikasi (pembersihan racun). Fungsinya adalah untuk
27
membersihkan darah dan organ-organ tubuh pasien agar terbebas dari racun
narkotika, alkohol, zat adiktif ataupun obat psikotropika. Langkah ketiga
brainwash (cuci otak) yang akan dilakukan menggunakan alat khusus buatan
Hikmatul Iman dan tidak akan ada efek samping. Fungsi dari proses cuci otak ini
adalah untuk meng-"edit" memori-memori yang negatif (jelek) agar pasien tidak
lagi teringan akan ketergantungannya ternadap narkotika, alkohol, zat adiktif
ataupun obat psikotropika.
Langkah selanjutnya, penguatan tubuh yang dilakukan sejak hari pertama
pasien ikut program ini. Penguatan tubuh juga berfungsi untuk mengobati
penyakit-penyakit lain (jantung, diabetes, kanker, dll.) yang diderita oleh pasien
selain ketergantungannnya kan narkoba. Lankah kelima merupakan terapi
mental, bergfungsi untuk menambah keyakinan pasien bahwa dia masih bisa
disembuhkan dan menumbuhkan kembali kepercayaan akan dirinya, orang lain
dan lingkungan sosialnya. Langkah terakhir adalag dengan pemberian suplemen
khusus, yang terbagi menjadi dua bagian : a. Tips dan / trik khusus agar pasien
setelah menjalani terapi tidak kembali terjerumus ke dalam "lingkungan setan"
narkoba. b. Dilatih bela diri dari Hikmatul Iman Indonesia, yang terdiri dari materi
: silat, tenaga dalam dan tenaga metafisika. Fungsi dari latihan bela diri ini selain
berfungsi untuk defence (pertahanan tubuh) juga untuk kesehatan (Gani Kurnia,
2006).
2.6 Kerangka Berpikir
Menurut Brannon & Feist (2000), stress adalah pengalaman emosi negatif yang
diikuti dengan perubahan biokimia, fisiologis, kognitif dan tingkah laku. Stress ini
dapat dikategorikan sebagai tiga bagian, yaitu stimulus, respon, dan proses.
28
Pendekatan yang mendefinisikan stress sebagai stimulus adalah pendekatan
yang berfokus pada lingkungan. Pendekatan kedua memandang stress sebagai
respon. Pendekatan ini fokus kepada reaksi individu terhadap sumber stress.
Pada pendekatan terakhir, stress dideskripsikan sebagai interaksi antara
stimulus yang memicu stress dan diri individu sendiri. Sehingga setiap orang
pasti akan mengalami stress, dimanapun orang tersebut berada, termasuk pada
orang pecandu narkoba yang sedang menjalani rehabilitasi.
Menurut Piaget (1972), orang dewasa mencapai tahap postformal thought yang
merupakan tahap kognisi tertinggi. postformal thought merupakan tipe yang
matang, percaya pada pengalaman subjektif dan intuisi yang masuk akal dan
berguna untuk berhubungan dengan ambiguitas, ketidakyakinan,
ketidakkonsistenan, kontradiksi, ketidaksempurnaan dan kompromi. Pada usia
dewasa awal yang mempunyai kematangan kognitif akan mempengaruhi
bagaimana seseorang dalam menyelesaikan permasalahannya yang dapat
menyebabkan seseorang menjadi stress.
Penyalahgunaan narkoba merupakan tindak pelarian yang sedang
mempunyai masalah atau untuk mendapatkan perhatian dari orang lain di luar
lingkungan keluarga (Sarlito, 2003). Sehingga pada pecandu yang
menyalahgunakan penggunaan narkoba tersebut akan mengalami dampak pada
fisik, psikologis dan sosial, dimana akan berpengaruh akan cara pecandu dalam
menyelesaikan masalah yang menyebabkan mereka stress di tempat rehabilitasi.
Tempat rehabilitasi merupakan salah satu jalan keluar agar pecandu narkoba
dapat sembuh dari jeratan efek dari narkoba tersebut. Pusat-pusat detoksifikasi
(penghilang racun narkoba) dan rehabilitasi bagi pecandu narkoba juga sangat
beragam (Kompas, 2006). Dimana sebuah tempat rehabilitasi akan
29
menyebabkan pasien terkadang merasa jenuh, terlebih pada pasien yang baru
masuk, karena pecandu berfikir ingin sembuh dari pengaruh narkoba, sedangkan
tubuh mereka masih bereaksi akan obat-obatan terlarang tersebut, hal ini akan
menyebabkan pecandu menjadi stress.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Subyek penelitian
3.1.1 Karakteristik subyek
Karakteristik subjek yang akan dijadikan subyek penelitian adalah dewasa awal
dengan rentang usia antara 20-40 tahun. Subyek adalah seorang pecandu
narkoba yang sedang menjalani rehabilitasi dengan rentang waktu 4 bulan masa
pengobatan.
3.1.2 Populasi dan sampel
Populasinya adalah individu yang sudah menjalani proses rehabilitasi selama 4
bulan masa pengobatan. Sampel yang akan diambil adalah individu dewasa awal
yang berjumlah lima orang.
3.1.3 Teknik penarikan sampel
Subyek penelitian dipilih sesuai dengan karakteristik atau kriteria yang telah
ditentukan. Teknik penarikan sampel yang akan digunakan adalah criterion
sampling, yang artinya sampel diambil berdasarkan kriteria tertentu yang sudah
ditentukan.
3.2 Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif,
dengan tujuan untuk menghasilkan suatu data yang lebih akurat dan tepat. Hal
31
tersebut dapat diperoleh dari hasil wawancara dengan subjek. Wawancara yang
dilakukan disimpan dalam rekaman kaset.
Penelitian ini dapat memberikan informasi yang cukup lengkap karena
menggambarkan keadaan sebenarnya dari hasil kontak secara langsung antara
peneliti sebagai pewawancara dan subjek sebagai narasumber. Oleh karena itu,
informasi dan data yang diperoleh cukup rinci dan mendalam mengenai stress
dan coping stress dewasa awal pada pecandu narkoba yang sedang menjalani
rehabilitasi.
3.3 Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan untuk penelitian antara lain alat tulis, kertas biodata,
surat pernyataan, kaset kosong, dan alat perekam kaset.
3.4 Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini langkah pertama yang akan dilakukan adalah membuat
surat keterangan dari kampus untuk diberikan kepada sebuah tempat rehabilitasi
yang akan peneliti datangi. Kemudian setelah mendapatkan izin dari Kampus
tersebut, peneliti meminta izin pada subjek penelitian. Pengambilan data
dilakukan dengan cara mewawancarai subjek. Proses pengumpulan data ini
akan dilaksanakan oleh peneliti secara langsung.
3.5 Pengolahan Data
Setelah semua data dan informasi dari wawancara yang direkam dengan
taperecorder, catatan lapangan, dan pengamatan akan dianalisis denga tahapan
berikut:
32
a. Mentranskripkan data tape
b. Mengklasifikasikan data transkrip, catatan lapangan, dan data
pengamatan,
c. Mengolah keterkaitan antar komponen,
d. Konteks kedalam fokus permasalahan,
e. Mendeskripsikan secara keseluruhan dan sistimatik keterkaitan antar
satuan satuan gejala tersebut.
33
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS DATA PENELITIAN
4.1 Gambaran Subyek Penelitian
4.1.1 Gambaran Subyek A
Subyek pertama yang diwawancara ialah A (25 tahun). Pengambilan data
untuk subyek pertama dilakukan di daerah Jakarta Timur. Sebelum melakukan
proses wawancara, peneliti meminta ijin terlebih dahulu oleh ustadz (orang yang
bekerja di sana) untuk diperbolehkan mewawancarai pasien yang ada di tempat
rehab. Setelah mendapatkan ijin dari bapak ustadz, peneliti langsung
diperbolehkan pada hari itu juga untuk mewawancarai pasien.
Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 14 April 2008 pada pukul 15.00-
15.45 WIB dan wawancara kedua dilakukan pada tanggal 12 September 2008
pada pukul 13.00-13.30 WIB. Wawancara dilakukan di tempat rehab tesebut.
Peneliti memilih subyek ini karena direkomendasikan oleh ustadz di tampat
rehab X dan dicarikan yang sesuai dengan kriteria subyek penelitian yang
dibutuhkan oleh peneliti.
Keadaan ini memiliki kelemahan tersendiri, karena peneliti harus membangun
rapport terlebih dahulu, karena subyek terlihat tegang saat mau diwawancara.
Ketika peneliti diperkenalkan dengan subyek, subyek langsung gelisah dan
tadinya tidak mau diwawancara, setelah peneliti mengutarakan maksud
kedatangannya baru subyek mau diwawancara, lalu sempat menunggu sebentar
dulu, karena subyek meminta waktu untuk menenangkan diri sebelum
diwawancara, subyek menghabiskan 2 batang rokok sebelum wawancara di
mulai.
34
Berdasarkan hasil observasi terhadap A diperoleh gambaran sebagai berikut,
subyek memiliki tinggi badan 170 cm dengan berat 70 kg. Subyek berkulit hitam
dan memiliki rambut pendek berwarna hitam. Bola mata A berwarna hitam
kecoklatan. Saat diwawancara subyek mengenakan kaos berwarna putih lengan
pendek dengan tulisan Jogja di bagian depan dan memakan sarung kotak-kotak
berwarna biru dan merah marun.
Subyek A cenderung tertutup dan seperti agak berputar-putar dalam
menjawab pertanyaan dari peneliti, hal ini terlihat saat subyek menjawab
pertanyaan peneliti dengan wajah seperti sedang berfikir, dan menjawab
pertanyaan hanya sekedarnya saja. Subyek tetap terlihat gelisah sebelum, saat
dan sesudah wawancara di lakukan. Pandangan mata subyek tajam saat
menatap peneliti, seperti sedang memikirkan sesuatu, tetapi saat ditanya subyek
cenderung lebih seperti orang bengong dan bingung.
4.1.2 Gambaran Subyek AN
Subyek kedua yang diwawancara ialah AN (27 tahun). Pengambilan data
untuk subyek AN dilakukan di tempat yang sama seperti subyek A. Sebelum
melakukan proses wawancara, peneliti meminta ijin terlebih dahulu oleh ustadz
(orang yang bekerja di sana) untuk diperbolehkan mewawancarai pasien yang
ada di tempat rehab. Setelah mendapatkan ijin dari bapak ustadz, peneliti
langsung diperbolehkan pada hari itu juga untuk mewawancarai pasien.
Wawancara dilakukan pada tanggal 14 April 2008 pada pukul 17.30-18.00
WIB dan wawancara kedua dilakukan pada tanggal 12 September 2008 pada
pukul 14.30-15.00 WIB. Wawancara dilakukan di tempat rehab tesebut. Peneliti
memilih subyek ini karena direkomendasikan oleh ustadz dari tempat rehabnya
35
dan dicarikan yang sesuai dengan kriteria subyek penelitian yang dibutuhkan
oleh peneliti.
Sebelum melakukan proses wawancara peneliti sempat menunggu agak
lama, karena subyek telat datang ke tempat rehab tersebut karena hujan besar
dan ia dari tempat mengajar komputer di sekolah dasar daerah Jakarta Selatan.
Setelah subyek datang dan siap diwawancara, prosesnya sangat mudah karena
AN merupakan seorang mahasiswa Universitas A yang sedang menyelesaikan
skripsi-nya, sehingga subyek terbiasa dengan proses wawancara. Jawaban-
jawaban yang diberikan oleh subyek sangat masuk akal, cepat dan benar-benar
teratur. Subyek cenderung terbuka mengenai kehidupan narkoba yang
dialaminya hingga sampai saat ini.
Berdasarkan hasil observasi terhadap subyek AN diperoleh gambaran
sebagai berikut, subyek memiliki tinggi badan 175 cm dengan berat 65 kg.
Subyek berkulit sawo matang, rambut pendek berwarna hitam dengan potongan
di belah dua, subyek memiliki bola mata berwarna coklat tua. Saat diwawancara
subyek memakai kemeja berwarna putih tangan panjang dengan tangan yang di
gulung sampai sikut dan celana bahan berwarna hitam. Kegiatan subyek saat ini
mengajar komputer di sekolahan dasar dan sedang menyelesaikan skripsi
program strata satu di Universitas A.
4.1.3 Gambaran Subyek EF
Subyek ketiga yang diwawancara ialah EF (25 tahun). Pengambilan data
untuk subyek EF dilakukan di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Sebelum
melakukan proses wawancara peneliti datang ke tempat rehabilitasi Y untuk
36
meminta ijin mewawancarai pasien di Y. Setelah mendapatkan ijin, maka peneliti
pun langsung melakukan wawancara.
Wawancara dilakukan pada tanggal 19 Juni 2008 pada pukul 13.00-13.30
WIB dan wawancara kedua yang dilaksanakan pada tanggal 13 September 2008
pada pukul 19.00-19.30 WIB. Wawancara dilakukan di tempat rehab Y. Peneliti
memilih subyek ketiga ini karena direkomendasikan dari Y yang sesuai dengan
kriteria subyek penelitian yang dibutuhkan oleh peneliti.
Berdasarkan hasil observasi terhadap EF diperoleh gambaran sebagai
berikut, subyek memiliki tinggi 170 cm dengan berat 65 kg. Subyek berkulit putih,
rambut cepak, memiliki bola mata berwarna coklat muda. Saat diwawancara EF
memakai kaos lengan pendek berwarna hitam dengan tulisan rasta di bagian
depan dan memakai celana pendek jeans selutut berwarna biru. Subyek terlihat
sehat, bugar dan semangat sekali saat diwawancara. Kegiatan EF saat ini hanya
mengikuti kegiatan yang ada di tempat rehabnya saja.
Dalam proses wawancara, EF cenderung terbuka dalam mengungkapkan
kondisi dirinya dari awal menggunakan narkoba sampai sekarang berada di
tempat rehabilitasi. Subyek dapat mengerti pertanyaan dengan baik, serta
menjawabnya dengan jelas. Subyek terlihat sangat bersemangat menceritakan
kehidupannya yang telah dilaluinya dan kehidupan yang akan dijalankan setelah
keluar dari tempat rehab tersebut.
4.1.4 Gambaran Subyek RG
Subyek keempat yang diwawancara ialah RG (23 tahun). Pengambilan data
untuk RG dilakukan di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Sebelum melakukan
proses wawancara peneliti datang ke tempat rehabilitasi Y untuk meminta ijin
37
mewawancarai pasien di tempat rehabilitasi tersebut. Setelah mendapatkan ijin,
maka peneliti pun langsung melakukan wawancara.
Wawancara dilakukan pada tanggal 19 Juni 2008, pukul 16.00-16.30 WIB dan
wawancara kedua yang di laksanakan pada tanggal 13 September 2008 pada
pukul 11.00-11.30 WIB. Wawancara dilakukan di tempat rehab tersebut. Peneliti
memilih RG karena direkomendasikan yang sesuai dengan kriteria subyek
penelitian yang dibutuhkan oleh peneliti. RG merupakan teman sekamar subyek
EF, sehingga dapat mempermudah perolehan data.
Peneliti hanya memerlukan sedikit pembinaan rapport agar dapat
kepercayaan dari subyek, karena peneliti diperkenalkan sebagai teman lama dari
subyek EF. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi peneliti karena RG menjadi
lebih terbuka dalam menceritakan pengalamannya dari pertama kali memakai
narkoba sampai akhirnya sekarang berada di tempat rehabilitasi ini.
Berdasarkan hasil observasi terhadap RG diperoleh gambaran sebagai
berikut, subyek memiliki tinggi 160 cm dengan berat 55 kg. Subyek berkulit putih,
rambut pendek berwarna hitam, memiliki bola mata berwarna coklat muda. Saat
diwawancara RG memakai kaos berwarna hitam lengan pendek dengan tulisan
”I’m the bos” di bagian belakang kaosnya dan memakai celana pendek olahraga
berwarna hitam. Subyek terlihat lesu, dan kurang bersemangat saat
diwawancara. Kegiatan RG saat ini hanya mengikuti kegiatan yang ada di tempat
rehab.
4.1.5 Gambaran Subyek RI
Subyek kelima yang diwawancara ialah RI (23 tahun). Pengambilan data
untuk RI dilakukan di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Sebelum melakukan
38
proses wawancara peneliti datang ke tempat rehabilitasi Y untuk meminta ijin
mewawancarai pasien di sana. Setelah mendapatkan ijin, maka peneliti pun
langsung melakukan wawancara.
Peneliti memilih RI karena direkomendasikan yang sesuai dengan kriteria
subyek penelitian yang dibutuhkan oleh peneliti. Wawancara dilakukan pada
tanggal 19 Juni 2008, pukul 17.00-17.30 WIB dan wawancara kedua yang di
laksanakan pada tanggal 13 September 2008 pada pukul 14.30-15.00 WIB.
Wawancara dilaksanakan dengan tepat waktu sesuai perjanjian yang telah
dilakukan. Subyek cenderung terbuka, sehingga dapat mempermudah proses
wawancara.
Berdasarkan hasil observasi terhadap RI diperoleh gambaran sebagai berikut,
subyek memiliki tinggi 168 cm dengan berat 55 kg, berkulit putih, rambut
potongan pendek rapih berwarna hitam dan memiliki bola mata berwarna coklat
muda. Saat diwawancara RI memakai kaos berwarna hitam lengan pendek
dengan tulisan ”the Beatles” di bagian depan dan memakai celana jeans
panjang berwarna biru. Subyek mengenakan sandal kulit berwarna hitam dan
memakai gelang batu di tangan kirinya. Subyek terlihat segar dan santai saat
proses wawancara akan dilakukan.
39
Tabel 1
Latar Belakang Subyek Penelitian
Aspek A AN EF RG RI
Usia
Yang
memasukan ke
rehabilitasi
Masuk
rehabilitasi atas
kemauan
Lama tinggal di
rehabilitasi
Urutan kelahiran
dalam keluarga
Agama
Pendidikan
terakhir
Pekerjaan
25 tahun
Orangtua
Orangtua
9 bulan
3 dari 5
Islam
SMA
-
27 tahun
Orangtua
Sendiri
6 bulan
4 dari 4
Islam
SMA
Guru
komputer
25 tahun
Orangtua
Sendiri
7 bulan
3 dari 5
Islam
SMA
Kru band
musik
23 tahun
Orangtua
Sendiri
9 bulan
2 dari 2
Islam
SMA
-
23 tahun
Orangtua
Sendiri
7 bulan
1 dari 3
Islam
SMA
-
4.2 Gambaran Hasil Penelitian
4.2.1 Riwayat Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh subyek RG dan RI merupakan
pengalihan subyek tehadap masalah yang dihadapinya, ada pula subyek A, AN
dan EF mengkonsumsi narkoba karena rasa keingintahuannya. Sarlito (2003)
menjelaskan bahwa penyalahgunaan narkoba merupakan tindak pelarian yang
sedang mempunyai masalah atau untuk mendapatkan perhatian dari orang lain
di luar lingkungan keluarga.
40
Subyek A mengenal narkoba dari teman bermainnya, yang berawal dari
kumpul-kumpul saja lalu minum-minuman air keras dan ganja, yang pada
akhirnya semua jenis narkoba telah ia coba, berikut pernyataan subyek saat
ditanya tentang darimana A mengenal narkoba “Dari temen... Iya temen maen”.
Pada awal memakai narkoba A hanya ingin mencoba-coba saja, karena subyek
belum mengetahui dampak dari narkoba tersebut, hal ini terlihat dari pernyataan
A berikut “dulu dah tahu kalo itu dilarang cuman kan yaaa namanya waktu masih
smp yah, penasaran aja gitu, semakin di larang kayaknya semakin pengen
nyoba aja.”
Seperti pernyataan A yang menyatakan bahwa subyek memakai narkoba
karena merasa bosan dirumah tidak ada kehangatan dalam keluarga, hal ini
dibuktikan dari pernyataan subyek yaitu “nggak kok, cuman nyoba aja, bis bete
sih dirumah sering ga ada orang, yaaa maen terus deh akhirnya... dulu sih saya
selalu dikasih, tapi lama kelamaan jadi ketagihan trus lanjut deh jadinya di suruh
beli... di kelas saya selalu ngantuk, ga pernah konsentrasi, dan akhirnya saya di
panggil ke ruang BP.”
Reaksi ayahnya saat sangat marah sampai A di tampar saat mengetahui
bahwa anaknya merupakan seorang pemakai, hal ini dapat terlihat dari
pernyataan subyek, yaitu ”Yaa kesel… marah… terus saya di gaplok sama ayah
saya”. Subyek masuk rehabilitasi bukan karena kemauan diri sendiri, hal ini
terlihat dari penytaaan subyek “Ga lah siapa sih yang mau masuk ke tempat
rehab begini, pokoknya waktu itu saya dah ga sadar dan pas sadar-sadar dah
ada disini.”
Subyek AN mengenal narkoba dari teman-temannya saat SMA dan karena
rasa penasarannya yang tinggi saat usianya masih muda maka subyek mencoba
41
narkoba tersebut, hal ini dapat terlihat dari pernyataan subyek berikut “Pertama
di tawarin, di suruh nyoba, di bilangnya bisa ngilangin masalah yang ada gitu,
yah namanya anak SMA penasarannya kan tinggi, jadi saya coba deh waktu itu.”
Subyek EF mengenal narkoba saat menginjak SMA, pertama subyek mencoba
merokok, lalu ganja dan akhirnya semua jenis narkoba subyek coba. Saat
memakai ganja subyek tidak mengetahui akibatnya dan dilarang oleh
pemerintah, yang subyek tahu di Aceh ganja di jadikan bumbu masak, hal ini
dibuktikan dengan pernyataan subyek, yaitu
“Waktu SMA, kan awal-awalnya bandel tuh waktu itu, dan dah mulai kecanduan ma rokok, trus temen saya ada yang bawa ganja dah siap di bakar gitu, yaa udah saya cobain deh, penasaran juga rasanya bagaimana... Tau itu ganja, tapi waktu itu ga tau efeknya bagaimana dan bahaya apa nggaknya, karna saya kan orang Aceh, di Aceh itu ganja malah di jadiin bahan bumbu masakan, jadi yaa saya ga tau.”
Begitu pula yang dialami oleh RG yang merasa tertekan karena ajaran
ayahnya yang otoriter dan memakai kekerasan hal ini diperkuat dari pernyataan
subyek sebagai berikut,
”karena waktu itu saya merasa tertekan karena bokap saya kan orangnya keras, dia tuh ngajarin anaknya dah kayak ngajar militer deh. Pernah saya ketahuan rokok aja, eh rokoknya disundutin ke tangan saya... nieh bekasnya nieh... Lagian pasti ketahuan sih saya make, karna saya tingkahnya juga dah aneh, males-malesan, sering ga masuk sekolah, berantem terus ma orang... yaaa gitu-gitu deeeh...”
Subyek RI awalnya di tawarin narkoba oleh teman satu sekolahnya, tetapi
subyek mencoba narkoba atas kemauannya sendiri yaitu sebagai pelarian dari
masalah yang dialami dalam keluarganya, yaitu keadaan kedua orangtuanya
yang telah bercerai karena ayahnya telah menikah dengan wanita lain. Hal ini
dibuktikan dari pernyataan RI sebagai berikut ”pertama yaa ditawarin, tapi itu
karena keinginan saya sendiri kok... waktu itu saya pusing aja di rumah, ada
42
masalah keluarga gitu... waktu itu ibu dan bapak saya mau cerai, yah males aja
saya di rumah, suasananya ga enak.”
Ada pula alasan pemakaian obat pertama kalinya berbeda-beda dari tiap
individu. Namun demikian dari semua alasan yang ada, kebanyakan pemakaian
obat untuk pertama kalinya didorong oleh rasa ingin tahu dan didasari untuk
memperoleh kenikmatan yang kadang-kadang tanpa motivasi terlebih dahulu
(Williams, 1974). Seperti pernyataan AN ”Pertama di tawarin, di suruh nyoba, di
bilangnya bisa ngilangin masalah yang ada gitu, yah namanya anak SMA
penasarannya kan tinggi, jadi saya coba deh waktu itu”. Begitu pula alasan yang
diungkapkan oleh EF yaitu, ”waktu SMA, kan awal-awalnya bandel tuh waktu itu,
dan dah mulai kecanduan ma rokok, trus temen saya ada yang bawa ganja dah
siap di bakar gitu, yaa udah saya cobain deh, penasaran juga rasanya
bagaimana”
Nowinski (1990) membagi proses ketergantungan menjadi lima tahap, dimana
tahap-tahap tersebut tidak dapat dipisahkan secara nyata. Hasil wawancara dari
kelima subyek semua tahap proses ketergantungan obat tersebut telah dialami,
tetapi ada yang berbeda dari kelima subyek tersebut yaitu AN dan EF yang tidak
mengalami tahap the compulsive stage, dimana pemakaian obat adalah sebagai
tingkah laku yang kompulsif dan sama sekali tidak ada minat terhadap sekolah,
pekerjaan, hobi, semuanya dialihkan pada pemakaian obat.
Hal ini dibuktikan pasa pernyataan AN yang masih ingin menyelesaikan
skripsinya dan sudah bekerja sebagai guru komputer di sekolah dasar,
pernyataan subyek sebagai berikut “iyaa saya tinggal nunggu sidang skripsi dan
masih bekerja jadi guru komputer di sekolah dasar yang kemarin”. Begitu pula
ungkapan keinginan EF untuk bekerja kembali menjadi kru sebuah band di
43
indonesia, yaitu ”yang jelas saya mau kerja lagi seperti dulu, saya dah kangen
banget ketemu teman-teman band saya itu, lalu saya ingin membahagiakan ibu
saya dan keluarga”.
Tabel 2
Tahap-tahap proses ketergantungan
A AN EF RG RI
the experimental stage √ √ √ √ √
the social stage √ √ √ √ √
the instrumental stage √ √ √ √ √
the habitual stage √ √ √ √ √
the compulsive stage √ - - √ √
Kategori pemakai terhadap A adalah ketergantungan primer, dimana
kelompok pemakai ketergantungan primer ditandai dengan adanya gangguan
kejiwaan, kecemasan, dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada orang
dengan kepribadian tidak stabil. Kelompok ini memerlukan terapi kejiwaan
psikologik serta perawatan bukan hukuman. Subyek A terlihat merasa cemas
saat proses wawancara akan di mulai, peneliti harus menunggu subyek A
menghabiskan tiga batang rokok terlebih dahulu.
Subyek A terlihat sudah tidak ada semangat saat di tanyakan bagaimana
rencana ke depan yang akan subyek lakukan nanti setelah keluar dari tempat
rehab, berikut pernyataan subyek A “ngapain ya? Ga tau deh... keluar dari sini
juga ga tau kapan nie... mungkin emang hidup saya harus begini aja kali ya...”. A
juga sering terlihat termenung dan tidak konsentrasi saat proses wawancara.
Sedangkan kategori terhadap AN, EF, RG dan RI adalah ketergantungan
reaktif, dimana kelompok ketergantungan reaktif terdapat pada remaja karena
44
dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan, dan tekanan kelompok sebaya (peer-
group). Kelompok ini dapat dikategorikan sebagai korban, memerlukan
perawatan serta rehabilitasi bukan hukuman. Hal ini dapat terlihat dari
pernyataan AN “Pertama di tawarin, di suruh nyoba, di bilangnya bisa ngilangin
masalah yang ada gitu, yah namanya anak SMA penasarannya kan tinggi, jadi
saya coba deh waktu itu.”
Begitu pula pernyataan EF mengenai alasan untuk bisa memakai narkoba,
yaitu ”Waktu SMA, kan awal-awalnya bandel tuh waktu itu, dan dah mulai
kecanduan ma rokok, trus temen saya ada yang bawa ganja dah siap di bakar
gitu, yaa udah saya cobain deh, penasaran juga rasanya bagaimana.” Berikut
juga pernyataan RG yang menunjukkan bahwa subyek merasa tertekan oleh
bapaknya karena subyek diperlakukan kasar, yaitu ”waktu itu saya melihat
teman-teman saya menghisap ganja, lalu saya mencobanya saat itu, eh jadinya
ketagihan, karena waktu itu saya merasa tertekan karena bokap saya kan
orangnya keras, dia tuh ngajarin anaknya dah kayak ngajar militer deh.”
RI termasuk kategori reaktif juga karena subyek mengkonsumsi narkoba
karena subyek merasa tidak betah dengan keadaan keluarganya yang mau
bercerai, hal ini dapat terlihat dari pernyataan subyek sebagai berikut, ”waktu itu
saya pusing aja di rumah, ada masalah keluarga gitu... waktu itu ibu dan bapak
saya mau cerai, yah males aja saya di rumah, suasananya ga enak.”
45
Tabel 3
Kategori pemakaian narkoba
A AN EF RG RI
ketergantungan primer √ - - - -
ketergantungan simtomatis - - - - -
ketergantungan reaktif - √ √ √ √
4.2.2 Dampak Penyalahgunaan Narkoba
Dampak penyalahgunaan narkoba tentunya akan dialami oleh para pecandu
seperti yang dinyatakan oleh Colondam (2007) bahwa pemakaian narkoba jenis
apa pun membawa kerusakan fisik, mental dan emosi. Terlihat dari hasil
wawancara bahwa kelima subyek mengalami dampak dari penyalahgunaan
narkoba tersebut. Hal ini dapat diperkuat dari pernyataan A yang menceritakan
bahwa subyek mendapatkan dampak fisik dan keterlambatan otak yaitu,
”ketahuan guru.. jadi dulu waktu SMP saya ketahuan sama guru, karena di kelas
saya selalu ngantuk, ga pernah konsentrasi, dan akhirnya saya di panggil ke
ruang BP, di Tanya-tanya dan saya ngaku aja kalo saya make.”
Begitu juga yang dialami oleh AN, subyek mengalami kelelahan fisik dari
dampak narkoba, dapat dilihat dari percakapan subyek yaitu, ”Yaaa... karena
udah ngerasa capek aja yah, karena setiap pagi bangun tidur gitu, langsung
nyari barangnya, dan langsung make lagi, kalo ga make kan sakit badan
jadinya...” dan subyek berusaha menghalalkan segala cara demi memperoleh
narkotika, seperti pernyataan subyek dibawah ini,
“Yaa... ketika dengan orang tua ga dapet, yaa jadi mikir gimana caranya harus cari uang untuk beli barang tersebut, yaa akhirnya barang-barang sendiri tuh yang dijual, trus setelah barang-barang sendiri dah ga ada yang berharga lagi, baru cari barang-barang keluarga yang saya jual, cuman ga pernah sampe ke barang orang lain atau nyuri gitu sih nggak...”
46
Sama seperti A dan AN yang mengalami dampak fisik dan psikologis dari
narkoba, hal ini dikemukakan oleh EF yaitu,
”umh... pernah tuh saya mengamuk, karena benar-benar bosan
sekali dan badan saya juga sakit sekali dan pikiran saya bener-bener sedang kacau waktu itu. Sempet merasa menjadi orang yang terbodoh sedunia karena bisa terjerumus ma narkoba, karena itu saya jadi ga bisa melihat ayah saya untuk yang terakhir kalinya.”
Seperti yang dialami oleh AN yang berusaha menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan uang agar dapat membeli narkoba, hal ini dapat terlihat dari
pernyataan RG dibawah ini,
”pertama yah dari uang jajan sendiri, lama kelamaan kan makenya ga ganja doang tuh, mulai deh ke shabu, trus putau. Kan makin mahal tuh yaaa... saya pernah jual barang-barang yang ada dirumah, dari barang-barang punya saya, barang yang ada di rumah sampai waktu itu juga barang-barang pacar saya.”
Berikut juga RG yang mengalami dampak fisik dan psikis dari narkoba
tersebut, seperti yang dikemukakan oleh subyek berikut ini, ”yaah pernah saya
sampe seminggu ga make, tapi saya ga bisa badan saya tuh sakit semua,
menggigil, otak ga bisa mikir, jantung detaknya keras banget... duh dah kayak
orang mau mati deh. Pernah saya yang sampai nyiletin diri sendiri itu di tangan
trus ngisep darah sendiri gitu...”
RI pun mengalami hal yang serupa menyatakan bahwa “pertama-tama sih
yaaa badan pasti kaget kan, menggigil, badan rasanya sakit semua, pikiran
sudah tidak bisa fokus lagi, kepala rasanya seperti mau pecah, wuuuh macem-
macem deh… tapi setelah lama-kelamaan itu semua membaik dan sekarang
saya sudah tidak merasakan sakit seperti itu”
47
Tabel 4
Dampak Penyalahgunaan Narkoba
A AN EF RG RI
Fisik √ √ √ √ √
Psikologis √ - - √ -
4.2.3 Sumber-Sumber Stress Saat Menjalani Rehabilitasi
Menurut hasil wawancara, kelima subyek pernah mengalami stress saat
berada di tempat rehabilitasi. Stress adalah pengalaman emosi negatif yang
diikuti dengan perubahan biokimia, fisiologis, kognitif dan tingkah laku (Brannon
& Feist, 2000). Hal ini dapat terlihat pada pernyataan A mengenai rasa
kangennya terhadap kehidupannya yang dulu yaitu,
“Suka banget, kan di sini jauh dari komunitas, maksudnya tuh yah komunitas yang seharusnya saya jalanin, Kan saya seharusnya jadi mahasiswa nih, nah saya jadi ga bisa tuh ke kampus lagi, belajar ketemu teman-teman saya seperti dulu. Iya tapi saya tidak di perbolehkan, karena saya pernah dah sekali berhenti dari sini, saya kembali ke lingkungan sehari-hari saya dan saya balik lagi menjadi pecandu”
Saat ketahuan oleh orang tua, A langsung dibawa ke tempat rehabilitasi,
tetapi beberapa kali subyek ke tempat rehabilitasi yang berbeda, karena subyek
merasa tidak mempunyai kebebasan. Tempat rehab yang terakhir dapat
membuat A menjadi nyaman dan akhirnya subyek dapat bertahan, berikut
penyataan A “Iya langsung ke tempat rehab trus cuman berapa lama langsung
keluar... Karena ga betah, ga suka aja ga bebas. Beda ma di sini… di sini lebih
bebas, dikasih waktu untuk ngelakuin apa yang kita suka tapi tetap di kontrol
gitu…
A merasa terkurung di tempat rehabilitasi ini karena tidak dapat bertemu
dengan teman-teman dan keluarganya dengan bebas.
48
“Yaaa siapa sih yang mau dikurung begini, enakan juga di luar bebas mau ngapain aja, di sini mah ada aturannya... saya ga suka disini... ga bisa ketemu ma temen-temen lama, keluarga juga... kan di sini jauh dari komunitas, maksudnya tuh yah komunitas yang seharusnya saya jalanin... seharusnya jadi mahasiswa nih, nah saya jadi ga bisa tuh ke kampus lagi, belajar ketemu teman-teman saya seperti dulu...”
Pada saat di tempat rehabilitasi A suka teringat akan masa lalunya yang
menyebabkan subyek menjadi tergoda untuk memakai narkoba, seperti saat
merasa kesepian di rumah sendirian karena orangtuanya sibuk kerja dan kurang
mendapatkan perhatian dari keluarganya, hal ini dapat terlihat dari pernyataan
subyek berikut
”umh... waktu itu yaaa kalau saya sedang diam saja, bengong trus
terlintas deh tuh masa lalu-masa lalu saya... yaaa sedih, kesal...
pastinya saya jadi seperti mau marah ma diri sendiri, tapi kan ga bisa
yah... pengen kembali ke masa lalu pun ga bisa juga, jadi yaah
jadinya kesel sendiri gitu lah...”
Subyek A merasa biaya di tempat rehabilitasi ini mahal, jadi subyek merasa
kurang nyaman untuk tetap berada di rehab tersebut, hal ini di buktikan dengan
pernyataan A berikut, ”pusing juga disini mahal bayarnya.” Kedua orangtua A
sibuk kerja sehingga tidak dapat memperhatikan keadaan anaknya, hal ini dapat
dilihat dari penyataan A mengenai orangtuanya apakah sering datang untuk
menjenguknya di tempat rehab, yaitu “Jarang-jarang banget mereka dateng ke
sini, lagian mereka juga pada sibuk dua-duanya sih, ga ada waktu kali untuk
nengokin saya di sini.”
A merasa dituntut oleh orangtuanya untuk cepat sembuh, karena orangtuanya
mengeluh kepadanya tentang biaya pengobatan di tempat rehabilitasi tersebut,
dapat terlihat dari pernyataan subyek sebagai berikut,
49
”cuman waktu itu ibu saya bilang saya harus bisa sembuh di sini
karna biaya yang di keluarkan ibu tidak sedikit... saya sih mikirnya
ibu saya sudah capek ngurusin saya... yaaa buktinya dia dah ga
pernah nengokin saya lagi, berarti dia dah ga sayang lagi kan sama
saya.”
Pada AN lebih dapat mengatasi rasa bosan akibat rutininas kegiatan di tempat
rehabilitasi itu karena keinginannya yang kuat untuk berhenti dari narkoba, AN
menyatakan bahwa, ”pas pertama sih asing yah, banyak orang yang ga dikenal
gitu. Tapi karena ini keinginan saya sendiri yang mau berhenti, jadi saya bawa
enjoy aja, kalo dipikirin kan pastinya pusing karna bawaannya pengen pulang
aja”. AN juga menjelaskan rutinitas lah yang membuat rasa bosan itu muncul, hal
ini dinyatakan sebagai berikut,
”kadang tuh yang paling membosankan itu karena rutinitas, jadi setiap hari tuh bangun pagi, sholat, makan, kerjain kegiatan-kegiatan yang ada di sini, kalo ga ada ya tidur lagi, yaaa gitu-gitu aja ga ada kegiatan lain, nah makanya kadang santri di sini suka disuruh ikut kegiatan kayak outbond, seminar, demo, nonton atau sekedar jalan-jalan barengan aja gitu, nah itu bisa ngelepas kebosanan.”
AN merasa dalam hal apapun dapat menyebabkan sugesti muncul, misalnya
saat subyek sedang diam saja, melamun, hal ini dapat menyebabkan subyek
menjadi merasa ingin kembali mengkonsumsi narkoba tersebut. Hal ini dapat
terlihat dari pernyataan subyek sebagai berikut,
”yaaaa kayak misalnya kita sedang diem aja nie, melamun lah misalnya, nah kebayang tuh saya sedang merasakan fly itu, rasa enaknya pakai putau itu, nah jadi deeeh saya tersugesti dan seperti ingin merasakan putau itu lagi... dalam keadaan apapun sebenarnya bisa memicu sugesti itu datang karena kan dulu putau itu bisa saya pakai dalam kegiatan apapun malahan rutin pakainya.”
Saat teringat kuliah yang terbengkalai karena akibat mengkonsumsi narkoba
AN merasa menjadi manusia yang bodoh melalaikan kuliah, hal ini dapat
50
dibuktikan dengan pernyataan subyek sebagai berikut “saya kan juga ga mau
donk gitu-gitu aja, saya punya keluarga yang mau melihat saya berhasil. Saya
juga punya tanggung jawab atas diri saya sendiri kan. Saya sudah cukup merasa
bodoh kemarin melalaikan kewajiban kuliah saya.”
Stressor yang serupa juga dialami oleh EF yaitu merasa terisolasi selama 3
bulan pertama di tempat rehab, hanya mengikuti kegiatan yang diadakan oleh
tempat rehab dan tidak diperbolehkan bertemu dengan siapa-siapa di luar
tempat rehab, hal ini membuat subyek menjadi jenuh dan akibatnya akan
memicu EF menjadi stress. Dapat terlihat dari pernyataan subyek sebagai berikut
“Yaa yang jelas sih sebenernya ga enak yah, kan terisolasi juga, ga boleh keluar,
ga bisa ketemu temen-temen saya, ga bisa ketemu keluarga saya...”
Stress muncul ketika EF merasakan bosan dan jenuh akan rutinitas kegiatan
yang diadakan oleh tempat rehab tersebut, hal ini menyebabkan subyek tidak
tahan sehingga subyek mengamuk dan merasa menjadi manusia terbodoh
karena terjerumus narkoba. Subyek akhirnya sadar bahwa tindakan
mengamuknya itu tidak membantu dirinya dalam proses penyembuhan, hal ini
dapat dilihat dari pernyataan subyek berikut,
”pernah tuh saya mengamuk, karena benar-benar bosan sekali dan badan saya juga sakit sekali dan pikiran saya bener-bener sedang kacau waktu itu. Sempet merasa menjadi orang yang terbodoh sedunia karena bisa terjerumus ma narkoba... Setelah kejadian itu, saya ga pernah lagi mengamuk seperti itu, karena saya sadar itu tidak membantu, malah memperlambat proses kesembuhan saya sendiri.”
Begitupula saat EF merasa sedih saat terkenang masa lalunya ketika
masih menggunakan narkoba, seperti ungkapannya berikut ini ”Biasanya
kalo dah lagi bengong sendiri, pikiran mulai melayang memikirkan banyak
51
hal, saya berusaha bangkit dan mempersibuk diri saya sendiri... sebisa
mungkin saya harus bisa kendalikan diri saya sendiri...”
Sumber stress yang dialami oleh RG merupakan rasa kebosanan subyek
yang menyebabkan adanya keinginan untuk kabur dari tempat rehabilitasi
tersebut, hal ini dapat terlihat dari pernyataan subyek yaitu,
”hahahahaha.... saya pernah berusaha kabur loh dari sini, itu waktu pas baru 1 bulanan lah disini... yaaaa bosen aja, dulu yang biasanya saya bisa bebas kemana aja, mau ngapain aja terserah saya, sekarang saya kemana-mana pasti merasa di perhatiin, duuuuh ga bebas banget deh jadinya... jadi pernah malem-malem waktu itu saya berencana pengen kabur, diem-diem hampir berhasil waktu itu tapi akhirnya ketahuan pas saya mau loncat pager”
Steesor lain muncul ketika RG mengingat kekecewaan Ibunya terhadap
dirinya, hal ini menyebabkan subyek menjadi memiliki tekad yang besar untuk
cepat pulih dah kembali ke keluarga dan membahagiakan ibunya. hal ini dapat
terlihat dari pernyataan subyek sebagai berikut,
“yaaa dengan alasan dan tekad yang kuat mengenai ingin membuat ibu saya senang dan tersenyum aja itu sangat berarti buat saya, karena dalam hidup saya ini saya sudah banyak membuat banyak orang kecewa terutama ibu saya, saya ga mau misalnya ibu saya meninggal dalam keadaan menyesal mempunyai anak seperti saya”
RI merasa sangat asing saat pertama kali masuk ke tempat rehab
tersebut, karena di tempat rehab Y, pasien tidak diperbolehkan berinteraksi
dengan orang di luar tempat rehab dan hanya boleh mengikuti kegiatan
yang diadakan oleh tempat rehab itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan
percakapan RI sebagai berikut,
”pertama yaaa asing banget yah, banyak orang ga dikenal, terjaga, ga boleh kemana-mana... kan disini harus 3 bulan dulu yang bener-bener hanya mengikuti kegiatan yang ditentukan, ga boleh ketemu siapa-siapa. Ga bisa berinteraksi ma dunia luar seperti biasanya... pastinya bosan banget.”
52
RI sering merasakan sugesti timbul saat subyek teringat dengan Ayahnya
yang telah menyakiti hati Ibunya, seperti yang dinyatakan berikut ”waktu
bosan itu kan timbul rasa sugesti dari efek narkoba itu sendiri, yaaa pernah
sih saya merasa itu sering malahan... apalagi kalau ingat kelakuan ayah
saya ke ibu saya... rasanya tuh pengen make aja gitu, karena kan dah jadi
kebiasaan saya selalu mengalihkan pikiran saya tentang masalah itu
dengan make”
Berdasarkan paparan di atas, dapat diperolah gambaran bahwa stressor yang
dialami oleh para subyek relatif bervariasi. Beberapa subyek mengalami stressor
yang hampir serupa, secara rinci dapat dipaparkan sebagai berikut dari hal
peraturan tempat rehab yang dianggap terlalu ketat sehingga menyebabkan rasa
terkurung, rutinitas kegiatan di rehabilitasi menimbulkan kejenuhan, dan sugesti
dialami oleh kelima subyek. Stressor perlakuan orangtua yang menuntut dan
mengabaikan hanya dirasakan oleh subyek A saja, dan rasa terasing atau
terisolasi dari teman-teman tidak dialami oleh subyek AN, karena subyek dapat
mengatasi masalah tersebut.
53
Tabel 5
Stressor
Macam-macam stressor A AN EF RG RI
1. Peraturan tempat rehab yang
dianggap terlalu ketat sehingga
menyebabkan rasa terkurung.
2. Rutinitas kegiatan di rehabilitasi
menimbulkan kejenuhan.
3. Terasing atau terisolasi dari
teman-teman.
4. Sugesti.
5. Perilaku atau sikap orangtua yang
menuntut.
6. Perilaku atau sikap orangtua yang
mengabaikan.
√
√
√
√
√
√
√
√
-
√
-
-
√
√
√
√
-
-
√
√
√
√
-
-
√
√
√
√
-
-
4.2.4 Coping Stress yang Dipakai
Coping dapat menyajikan dua fungsi utama yang dapat mengatasi masalah
yang menyebabkan stress atau dapat mengatur respon emosional yang sebagai
akibat dari masalah (Lazarus & Folkman, 1984). Subyek A memakai kedua
fungsi coping stress tersebut, yaitu Emotion-Focused Coping, yaitu usaha
mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi
atau situasi yang dianggap penuh tekanan, dengan Problem-focused coping,
yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah
54
yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.
Hal ini dapat terlihat dari pernyataan subyek sebagai berikut,
”sholat... di sini apa-apa yang kita rasakan selalu di suruh balik lagi beribadah ke Tuhan, berdoa aja gitu... ntar juga lama-lama saya reda sendiri... yaaa dengan saya merasa kesal begitu, setelah sholat seenggaknya pikiran teralihkan, n berdoa aja kalo semua baik-baik saja dan pasrah aja... refresing aja kayak ngobrol sama ustadznya, ma sesama santri sini, maen gitar, maen PS, maen layangan ato apa aja biar saya lupa dengan rasa bete itu.”
A juga menjalankan strategi coping emotion-focused coping dengan cara
menenangkan diri yang sedang stress dengan beribadah dan berdoa kepada
Tuhan, A juga mengalihkan stressnya atau rasa kebosanannya dengan
melakukan kegiatan-kegiatan yang diadakan pada tempat rehabilitasi tersebut,
hal ini dapat dilihat dari penyataan A berikut, ”Belajar lah, belajar agama gitu,
belajar untuk ikutin program tajwid... Sholat, pengembangan diri, pemulihan
vitalitas, nguatin mental. Misalnya supaya kita jadi lebih bisa sabar, konsen akan
sesuatu.” Para santri rehab X, A khususnya langsung melakukan sholat dan
berdoa saat merasa ada kekesalan dalam dirinya, berikut penyataan subyek
”sholat... di sini apa-apa yang kita rasakan selalu di suruh balik lagi beribadah ke
Tuhan, berdoa aja gitu... ntar juga lama-lama saya reda sendiri.”
Apabila A sedang merasa tidak bersemangat dan terlintas pikiran-pikiran yang
negatif, subyek biasanya bedoa dan pasrahkan semuanya kepada Tuhan, hal ini
terlihat dari pernyataan A berikut ”ga lah ga tertekan kok, kalo pikiran-pikiran
buruk itu datang, yaah saya suka jadi sedih aja terus berdoa deh ke Tuhan.”
Subyek AN menjalankan kedua strategi coping stress tersebut yaitu emotion-
focused coping dan problem-focused coping karena AN merasa mempunyai
tanggung jawab atas dirinya sendiri dan keluarga, oleh karena itu AN ingin cepat
sembuh dan menanamkan pada dirinya untuk cepat pulih, hal ini terlihat dari
55
pernyataan subyek sebagai berikut ”yaa... saya kan juga ga mau donk gitu-gitu
aja, saya punya keluarga yang mau melihat saya berhasil. Saya juga punya
tanggungjawab atas diri saya sendiri kan. Sudah cukup saya menjahati diri saya
sendiri, sekarang waktunya untuk maju.”
Memiliki tekad yang kuat merupakan hal yang penting untuk dapat lepas dari
narkoba, oleh karena itu AN selalu bisa mengatasi permasalahannya dengan
berfikir positif dan ke depan agar dapat cepat sembuh yang termasuk kedalam
metode emotion-focused coping. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya
sebagai berikut ”pas pertama sih asing yah, banyak orang yang ga dikenal gitu.
Tapi karena ini keinginan saya sendiri yang mau berhenti, jadi saya bawa enjoy
aja, kalo dipikirin kan pastinya pusing karna bawaannya pengen pulang aja.”
Strategi coping problem-focused coping juga dilakukan oleh subyek AN dengan
cara berusaha memecahkan masalah kebosanan yang dialaminya tersebut
dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan atau mengobrol
dengan ustadz yang berada di tempat rehabilitasi tersebut.
AN mengalihkan rasa bosannya dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang
ada di tempat rehab tersebut, dan AN juga selalu menanamkan dalam dirinya
untuk lebih dekat dengan Tuhan dan tekad yang kuat untuk cepat sembuh, hal ini
dapat terlihat dari pernyataan subyek sebagai berikut,
”Yaaa... alihkan pikiran aja, yaaa ngobrol ma orang-orang yang ada disini, yaaa pokoknya ada cara-cara tertentu lah gimana supaya saya betah di sini... ngobrol, main gitar, bicara sama ustadznya... misalnya ya cerita aja ke mereka gimana nieh saya sedang bosan, jalan-jalan yuk atau ngerjain apa yuk... gitu... kalo disini itu kan lebih di utamakan ke kaidah agama islam yaah... jadi kita benar-benar di tanamkan ke dalam hati bahwa semua ini hanya punya Tuhan, kita kemana lagi kalo tidak mengadu kepada Tuhan. Jadi kalau kita sedang pusing, stres, tidak bisa tahan dan tidak tahu mau kemana lagi, kita di sini diiajarkan untuk beribadah dan kembali kepada Tuhan.”
56
Subyek AN memiliki keluarga yang sangat menyayanginya dan perhatian
dengannya, oleh karena itu subyek merasa mendapat dukungan dari
keluarganya dan termotivasi untuk cepat sembuh dan melakukan kegiatan atau
dapat selalu bertemu dan membahagiakan keluarganya, hal ini dibuktikan
dengan,
”Alhamdullilah yaa keluarga tuh malah tambah care kepada saya, karena itu juga saya semakin semangat untuk benar-benar sembuh dari efek narkoba itu. mereka benar-enar pengen lihat saya senang, saya sembuh. Karena yang saya rasa nieh kalau kita meerasa bosan timbul deh tuh sugesti-sugesti mau make lagi, nah bagaimana caranya saya harus tidak merasa bosan di sini.”
Berbeda dengan EF yang hanya melakukan strategi coping stress yang
problem-focused coping saja yaitu dengan berusaha untuk mempersibuk diri
sehingga pikiran-pikiran maupun rasa bosan tidak timbul kembali. EF dengan
sadar ingin berubah, subyek meyakinkan keinginannya untuk berhenti dari
narkoba dan keinginan untuk sembuh pada diri sendiri, tapi karena keluarga tidak
tega akhirnya subyek dibawa ke tempat rehabilitasi, dibuktikan dengan
pernyataan subyek sebagai berikut
“Waktu itu di cari cara apa yang paling ampuh untuk buat saya berhenti dari narkoba tersebut, cuman kan mau bagaimanapun dorongan mau sembuh itu harus dari diri sendiri dulu yah, jadi saya bener-bener tanemin ke diri saya dulu selama sebulan di rumah, dengan badan yang sakit karena sakaw tersebut, sampai saya minta saya jangan di kasihani oleh keluarga saya... tapi lama kelamaan keluarga saya ga tega melihat saya menderita seperti itu, dan akhirnya saya di bawa ke tempat rehab.”
Subyek EF berfikir harus mempunyai tekad yang kuat agar keinginannya
terbebas dari efek narkoba tersebut, hal ini dinyatakan oleh EF sebagai berikut
“yang saya rasa sih sampe sekarang berhasil yah… karna kan tergantung
kitanya aja menyikapinya dan seberapa besar keinginan kita untuk sembuh… itu
57
yang terpenting… kalo hanya keinginan berhenti tapi tanpa usaha yang di
tambah dengan tekad yang kuat kan sama aja bohong.”
Saat EF pernah mengamuk karena merasa jenuh di tempat rehab dan hal itu
menyebabkan banyak orang terluka dan sakit hati. Sejak saat itu EF tidak pernah
mengamuk lagi, bahkan EF berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melakukan
hal-hal yang dapat memperlambat kesembuhannya karena mengingat ada
keluarga yang menyayanginya dan membutuhkannya, hal ini terbukti dari
pernyataan subyek “Saya pengen cepat-cepat dinyatakan pulih nih dan balik lagi
kerja seperti dulu, tapi tidak dengan narkoba lagi hehehe... kan kasian nieh
kakak-kakak saya yang menanggung biaya kehidupan keluarganya dan keluarga
sendiri. Ade saya masih pada kecil-kecil soalnya.”
Keluarga sangat mendukung kesembuhan EF, terlihat dari rutinnya keluarga
datang untuk menjenguk subyek di tempat rehab, hal ini dibuktikan dengan
pernyataaan subyek “kalo keluarga sih iya mereka pasti datang minimal
seminggu sekali, makanya saya senang banget dapat dukungan penuh dari
keluarga.”
Berbeda dengan EF, RG menjalankan strategi coping stress yang emotion-
focused coping. Keinginan terbesar RG adalah cepat sembuh dan membuktikan
kepada keluarga, khususnya kepada ibunya dan mantan pacarnya bahwa
subyek dapat berubah. RG sangat menyesali dengan apa yang telah
dilakukannya sewaktu subyek masih menggunakan narkoba. Hal ini dibuktikan
pada pernyataan subyek sebagai berikut, ”itu yang paling utama, trus saya juga
pengen sembuh lah, cape loh punya badan yang dah ketergantungan sama
obat-obatan begituan, dan saya juga sadar banget perilaku saya dulu benar-
58
benar salah banget seperti ke pacar saya itu, ke teman-teman saya... ternyata
saya baru sadar juga banyak loh teman-teman saya yang benci sama saya”
Subyek RG memiliki tekad yang kuat untuk sembuh dari efek narkoba karena
ingin membuat ibunya bahagia, hal ini dilihat dari pernyataan subyek sebagai
berikut,
“yaaa dengan alasan dan tekad yang kuat mengenai ingin membuat ibu saya senang dan tersenyum aja itu sangat berarti buat saya, karena dalam hidup saya ini saya sudah banyak membuat banyak orang kecewa terutama ibu saya, saya ga mau misalnya ibu saya meninggal dalam keadaan menyesal mempunyai anak seperti saya…”
Sama halnya dengan A dan AN, RI juga melakukan kedua strategi coping
stress. Subyek RI melakukan strategi coping problem-focused coping dengan
cara banyak mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh tempat rehabilitasi
tersebut seperti menjalani sesi konseling, kegiatan pengembangan diri dan
keterampilan, hal ini dinyatakan oleh RI sebagai berikut ”kegiatan-kegiatan
konseling, ada yang barengan ma semua santri di sini, ada yang perorangan,
trus kegiatan pengembangan diri kayak diajarkan banyak keterampilan dan yang
bisa meningkatkan rasa kepercayaan diri kita gitu... ngelakuin kegiatan-kegiatan
yang lebih bermanfaat dibandingkan saya bengang-bengong aja kan.”
Strategi emotion-focused coping juga dilakukan oleh RI, yaitu dengan memiliki
kesadaran, keinginan dan tekad yang kuat untuk berhenti dan sembuh dari
narkoba, hal ini dibuktikan dari pernyataan subyek sebagai berikut “semua itu
tergantung dari dirinya sendiri. Kesadaran, keinginan dan tekad yang kuat jadi
kunci utama dalam penyembuhan dari dampak narkoba itu sendiri.”
59
Tabel 6
Coping stress
A AN EF RG RI
Emotion-Focused Coping √ √ - √ √
Problem-Focused Coping √ √ √ - √
60
61
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kelima subyek penelitian mengalami stress yang hampir sama, yaitu stress
saat pertama datang ke tempat rehabilitasi dengan suasana yang asing, orang-
orang yang asing dan sedangkan secara fisik para subyek masih ingin
mengkonsumsi narkoba, tetapi subyek juga harus beradaptasi dengan
lingkungan tempat rehab itu sendiri. Oleh karena itu tempat rehabilitasi yang
kedua peneliti kunjungi lebih memperketat kegiatan yang dilaksanakan dengan
fokus selama tiga bulan untuk tetap berada di tempat rehab, tidak berinteraksi
dengan dunia atau orang lain dari luar.
Begitu pula coping stress yang dipilih oleh masing-masing subyek, misalnya
dengan subyek A yang memilih menjalankan kedua strategi coping stress
dengan emotion-focused coping dan problem-focused coping. Dimana emotion-
focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon
emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan
ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.
Sedangkan problem-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara
mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya
yang menyebabkan terjadinya tekanan.
Subyek AN menjalankan kedua strategi coping stress tersebut yaitu emotion-
focused coping dan problem-focused coping juga, dimana hal ini dapat terlihat
dari usaha subyek AN dalam memecahkan masalah dan kebosanan yang
62
dialaminya tersebut dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bias dilakukan
atau mengobrol dengan ustadz yang berada di tempat rehabilitasi tersebut.
Berbeda sekali dengan subyek A dan subyek AN, subyek EF dan subyek RI
lebih menjalankan strategi coping stress dengan problem-focused coping, hal ini
dapat terlihat saat subyek selalu mengalihkan pikirannya dan rasa bosannya
dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh tempat rehabilitasi
tersebut. Berbeda dengan subyek RG menjalankan strategi emotion-focused
coping, karena subyek terlihat lebih berusaha mengontrol perasaan menyesal
dan pikiran-pikirannya yang mengganggu subyek selama subyek di tempat
rehabilitasi tersebut.
5.2 Diskusi
Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah lima orang. Mengingat jumlah ini
adalah jumlah yang cukup sedikit dibandingkan jumlah keseluruhan pecandu
narkoba yang sedang menjalani rehabilitasi, maka, hasil penelitian ini tidak dapat
digeneralisasi untuk seluruh pecandu narkoba yang sedang menjalani
rehabilitasi. Setiap tempat rehabilitasi juga melakukan pengobatan dengan cara
yang berbeda-beda, oleh karena itu subyek yang dalam penelitian ini hanya
sebagian contoh untuk masyarakat dapat mengetahui bagaimana para pecandu
menalami stress dan bagaimana dalam mengatasinya.
Pada awalnya, penulis ingin melakukan penelitian di beberapa tempat
rehabilitasi yang berbeda, tetapi hal ini tidak dapat diberlakukan oleh penulis,
karena penulis tidak mendapatkan ijin untuk melakukan penelitian. Kesulitan
yang ditemukan juga disebabkan rata-rata pecandu yang diwawancarai sudang
mengalami gangguan fisik dan psikis yang cukup parah, sehingga ada subyek
63
yang sulit untuk fokus dalam wawancara, ada pula subyek yang merasakan
penyesalan yang dalam sehingga subyek terlihat sangat memprihatinkan.
Penggalian data mengenai sumber stress dalam penelitian ini tidak mendalam
dan hanya dilakukan sampai penulis mendapatkan data bahwa subyek
mengalami stress. Hal ini dikarenakan penulis ingin memfokuskan penelitian
pada metode coping stress apa yang dipakai oleh subyek dalam mengatasi
stressnya tersebut.
Menurut Brannon & Feist (2000), stress adalah pengalaman emosi negatif
yang diikuti dengan perubahan biokimia, fisiologis, kognitif dan tingkah laku. Oleh
karena itu, tidak akan ada dampak positif yang akan ditimbulkan dari
penggunaan narkoba. Semua dampak yang dirasakan maupun yang terlihat
adalah dampak negatif. Kelima subyek pada awalnya tidak mengetahui informasi
tentang narkoba, seperti apa bentuknya, bagaimana efeknya dan dampaknya.
Hal ini dapat menyebabkan diri subyek stress karena keinginannya untuk
sembuh dengan keadaan fisik subyek yang tidak mendukung menjadi tidak
terpenuhi.
Coping dapat menyajikan dua fungsi utama yang dapat mengatasi masalah
yang menyebabkan stress atau dapat mengatur respon emosional yang sebagai
akibat dari masalah (Lazarus, 2003).
Fungsi yang pertama yaitu Emotion-Focused Coping ditujukan pada
pengaturan respon emosional melalui pendekatan behavioral dan pendekatan
kognitif. Fungsi yang ini lah yang dipakai oleh subyek RG, karena subyek RG
lebih banyak merasa bersalah dengan orang-orang sekitarnya sehingga subyek
belajar untuk mengontrol pikiran dan perasaannya dalam mengatasi
masalahnya. Fungsi yang kedua dari coping adalah problem-focused coping
64
yang bertujuan untuk mengurangi tuntutan dari situasi pembawa stress atau
perkembangan sumber stress untuk menghadapinya.
Fungsi problem-focused coping ini lah yang dipakai subyek EF karena subyek
lebih memilih merubah sikapdan keadaannya saat berada di tempat rehabilitasi
tersebut dan subyek RI yang terlihat menjadi lebih memanfaatkan waktu yang
ada dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bias menghilangkan rasa bosan
yang timbul saat di tempat rehabilitasi. Adapun subyek A dan subyek AN yang
memakai kedua fungsi tersebut secara bersamaan, yaitu dengan subyek
mengontrol pikirannya dan juga subyek juga melakukan kegiatan-kegiatan yang
dapat menghilangkan rasa kebosanannya.
Dukungan dari orang terdekat, motivasi dan semangat dalam merubah pola
pikir dan keadaan dirinya sangat mendukung dalam proses penyembuhannya.
Perasaan bosan akan menimbulkan rasa sugesti yang akan membuat pecandu
menjadi terganggu, oleh karena itu sebisa mungkin subyek harus dapat
mengontrol pikiran dan dapat mengalihkannya ke hal-hal yang lebih positif.
Tempat rehabilitasi merupakan salah satu jalan keluar agar pecandu narkoba
dapat sembuh dari jeratan efek dari narkoba tersebut. Pusat-pusat detoksifikasi
(penghilang racun narkoba) dan rehabilitasi bagi pecandu narkoba juga sangat
beragam. Oleh karena itu subyek ada yang sudah berganti-ganti cara dan tempat
rehabilitasi dalam menyembuhkan dirinya.
5.3 Saran
5.3.1 Saran untuk penelitian selanjutnya
Pada penelitian selanjutnya sebaiknya subyek yang diteliti lebih di konsepkan
mau tempat rehab seperti apa yang akan di menjadi tempat mencari subyek,
65
karena setiap tempat rehab memiliki cara yang berbeda-beda dalam
menyembuhkan pasien. Hal ini dimaksudkan agar data yang diperoleh dapat
lebih bervariasi. Peneliti diharapkan dapat lebih membina rapport yang baik
dengan subyek agar subyek dapat merasa lebih nyaman dan terbuka dalam
memberikan informasi.
Saat melakukan proses wawancara hendaknya peneliti tidak terlalu terpaku
pada pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya. Peneliti sebaiknya
memiliki kepekaan dalam menggali jawaban-jawaban subyek sehingga jawaban
yang dihasilkan dapat merepresentasikan keadaan subyek yang sebenarnya.
Selain penelitian secara verbal juga perlu dilakukan observasi terhadap tingkah
laku subyek untuk mendapatkan tambahan data mengenai subyek.
5.3.2 Saran untuk keluarga
Keluarga hendaknya dapat mengetahui informasi tentang penyalahgunaan
narkoba, agar keluarga dapat waspada apabila ada anggota keluarganya yang
memiliki ciri-ciri sebagai pengguna narkoba tersebut. Keluarga hendaknya tetap
menerima kehadiran anggota keluarganya yang sedang menjalani rehabilitasi
tersebut, karena dukungan terbesar sebenarnya sangat diharapkan oleh pasien
adalah dari pihak keluarga. Dukungan yang paling utama adalah dengan
mempercayai bahwa anggota keluarga yang sedang menjalani rehab dapat
benar-benar pulih dan berhenti. Pemberian rasa percaya dan dukungan saat
pasien sedang menjalani rehab akan memberikan semangat pada pasien agar
cepat memulihkan dirinya.
Keluarga juga harus berusaha untuk membuka jalur komunikasi yang baik
dan terbuka. Hal ini dilakukan agar nantinya pasien tersebut dapat terus
66
mengungkapkan perasaannya secara lebih jujur kepada keluarga. Ungkapan
atau cerita yang tekah diungkapkan oleh pasien juga hendaknya diberikan
respon dan dukungan-dukungan yang sewajarnya oleh keluarga.
5.3.3 Saran untuk pecandu narkoba yang sedang menjalani rehabilitasi
Pecandu juga hendaknya lebih mendekatkan diri kepada Tuhan,
memperbanyak ibadah serta kegiatan-kegiatan kerohanian agar dapat lebih
cepat dalam proses pemulihan diri dan batin dan tidak akan mengulanginya
kembali saat sudah keluar dari tempat rehabilitasi. Kegiatan kerohanian dapat
menjadikan jiwa pecandu lebih tenang, sehingga dapat lebih menerima keadaan
dirinya sendiri dan dapat mengontrol pikiran dan perilakunya.
5.3.4 Saran untuk masyarakat luas
Sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui bahaya narkoba. Hal ini
dapan dilakukan dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan, termasuk di
dalamnya bagaimana menghadapi pecandu narkoba yang berada di
lingkungannya. Masyarakat juga jangan sampai mendiskriminasikan atau
mengucilkan para pecandu tersebut, karena penting adanya dukungan dari
lingkungan agar pecandu sadar bahwa mereka melakukan kesalahan.
Memberikan sikap mau menerima dan memberikan semangat pada pecandu
akan membantu mereka dalam cepatnya proses pemulihan pada diri pecandu
tersebut.
67
Daftar Pustaka
Anti-narkoba.web.id. Ciri-ciri pemakai narkoba. Diperoleh juni, 27, 2007 dari
http://www.anti-narkoba.web.id/?pilih=hal&id=28#
Brannon, L. & Feist, J. (2000). Health psychology: An introduction to behavior
and health (4th ed.). Sydney: Wadsworth.
Colondam, V. (2007). Raising drog-free children. Jakarta: YCAB.
Damayanti, N.P. Kasus Narkoba di Indonesia Naik Tajam. Diperoleh juni, 28,
2007 dari
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/06/25/brk,20060625-
79376,id.html.
Daymon, C. and Holloway, I. (2002) Qualitative Research Methods in Public
Relations and Marketing Communications. New York: Routtledge, Taylor
and Francis Group.
Friedman, H. S. & DiMatteo, M. R. (1989). Health psychology. Boston: Allyn &
Bacon.
Hawari, D. (1991). Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif. Jakarta: Balai
penerbit FKUI.
Hawari, D. (2002). Penyalahgunaan & ketergantungan NAZA. Jakarta: Balai
penerbit FKUI.
Ibrahim, A. S. (2003). Stress dan psikosomatis. Jakarta: Dian Aresta
Jung, J. (2001). Psychology of alcohol and other drugs: a research perspective.
USA: Sage Publications, Inc.
Kompas. (2006). Keluarga anti n. Jakarta: Gramedia.
68
Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal and Coping. New York:
Springer.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (2002). Psikologi perkembangan:
Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Narkoba-metro.org. Tentang narkoba oleh Dr. Murcuanto Diwanto. Diperoleh
juni, 27, 2007 dari http://www.narkoba-metro.org/
Pandi. Ciri-ciri pemakai narkoba. Diperoleh juni, 27, 2007 dari http://www.anti-
narkoba.web.id/?pilih=hal&id=28#.
Papalia, E. D., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human development (9th
ed.). New York: McGraw Hill.
Rumah Belajar Psikologi. Stress oleh Reina Wangsadjaja. diperoleh November,
10, 2008 dari http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/stres.html
Santrock, J. W. (2004). Life span development (9th ed.). New York: McGraw Hill
Santrock, J. W. (2000). Psychology. USA: McGraw-Hill.
Sarafino, E. P. (2002). Health psychology: Biopsychosocial interactions (4th ed.).
New York: John Wiley & Sons.
Strauss, A. L. & Corbin, J. M. (Eds.). (1990). Basics of qualitatif research:
grounded theory procedures and techniqes. Newbury Park, Calif.: Sage
Publications.
Taylor, S. E. (2003). Health psychology (5th ed.). New York: McGraw Hill.
Wikipedia. Hikmatul Iman Indonesia. Diperoleh desember, 10, 2007 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Hikmatul_Iman_Indonesia.
Yayasan narkoba metro. Tentang narkoba oleh Dr. Murcuanto Diwanto.
Diperoleh juni, 27, 2007 dari http://www.narkoba-metro.org/.
69
LAMPIRAN
70
PEDOMAN WAWANCARA
I. Data Demografis
1. Nama
2. Usia
3. Berapa bersaudara
4. Tingkat Pendidikan
5. status pernikahan
6. keputusan masuk rehabilitasi
7. Lama rehabilitasi
8. jenis narkoba yang dipakai
9. alasan memakai narkoba
II. Narkoba
1. Kapan pertama kali anda memakai narkoba?
2. Jenis apa yang anda pakai pertama kali? Dan apa yang anda rasakan?
3. Dimanakah anda mendapatkan narkoba tersebut?
4. apa anda mengetahui bahaya narkoba sebelumnya?
5. Apakah teman-teman anda juga seorang pemakai?
6. Alasan untuk pertama kali memakai?
7. Alasan untuk secara terus-menerus memakai narkoba tersebut?
8. Siapa saja yang mengetahui bahwa anda adalah seorang pemakai?
9. Sejak kapan orantua mengetahuinya?
10. Bagaimana perlakuan keluarga setelah mengetahui anda adalah seorang
pemakai?
71
III. Hubungan dengan keluarga
a. Sebelum masuk tempat rehabilitasi
1. Tolong anda ceritakan mengenai keluarga anda pada saat anda belum
masuk ke tempat rehabilitasi!
2. Bagaimana perlakuan keluarga terhadap anda?
3. Siapa yang membiayai kehidupan anda pada saat itu?
4. Anda tinggal dengan siapa sebelum masuk rehabilitasi?
5. Apakah anda sering merasa kesepian padahal anda tinggal denga keluarga
anda?
6. Apakah ada perbedaan kehidupan anda sebelum dan sesudah memakai
narkoba? Bisa anda ceritakan?
b. Pada saat akan masuk tempat rehabilitasi
1. Apakah anda tahu alasan anda dimasukkan ke tempat rehabilitasi? apakah
anda pernah menanyakannya? tanggapan anda mengenai alasan itu?
2. Pada saat tahu akan dimasukkan ke tempat rehabilitasi, reaksi dan perasaan
anda seperti apa?
3. Sebelum mengambil keputusan untuk memasukkan anda ke tempat
rehabilitasi, apakah anak anda pernah merundingkan atau membicarakan hal
ini dengan anda?
c. Sesudah masuk tempat rehabilitasi
1. Apakah anda sering dijenguk atau dikunjungi oleh keluarga? (jika iya,
seberapa sering? Jika tidak, apakah anda tahu alasan keluarga anda tidak
menjenguk anda? Tanggapan anda mengenai alasan keluarga tidak
menjenguk?
72
2. Apakah anda sering mengunjungi keluarga anda pada saat keluarga tidak
mengunjungi? Jika iya apa tanggapan atau reaksi keluarga anda?
3. Saat ini kehidupan anda dibiayai oleh siapa?
4. Jika sudah lama tidak dijenguk, perasaan anda seperti apa?
5. Perasaan anda pada saat melihat orang lain dikunjungi?
6. Siapakah yang paling anda harapkan untuk datang menjenguk anda? Apa
yang menyebabkan anda begitu ingin dijenguk olehnya?
7. Sering kangen atau tidak dengan keluarga?
8. Jika sedang kangen apa yang dirasakan atau dilakukan?
9. Pengaruh rasa kangen tersebut terhadap kegiatan sehari-hari anda?
IV. Kehidupan di tempat rehabilitasi
a. Awal masuk ke tempat rehabilitasi
1. Pada saat awal mula masuk ke tempat rehabilitasi, menurut anda tempat
rehabilitasi ini seperti apa?
2. Perasaan anda pada awal masuk tempat rehabilitasi seperti apa?
3. Pada awal masuk tempat rehabilitasi, apakah anda pernah merasa stress?
4. Bisa anda gambarkan perasaan stress yang anda rasakan saat itu?
5. B agaimanakah anda mengatasi stress yang anda alami tersebut?
6. Apakah anda mencari atau berusaha mendapatkan teman pada awal anda
masuk ke tempat rehabilitasi?
b. Sekarang
1. Berapa lama anda dapat menyesuaikan diri dengan keadaan tempat
rehabilitasi? (dengan lingkungan dan pasien lainnya)
2. Saat seperti apa anda dapat merasakan stress?
73
3. Saat ini, apakah anda sering merasakan stress tersebut?
4. Bagaimana cara anda untuk mengatasi permasalahan yang membuat anda
stress itu?
74
Rangkuman dari data per subyek
Subyek A
Stressor Reaksi Coping stress
Stress muncul saat
subyek merasa tidak
bebas (banyak aturan
dan batasan).
Subyek merasa
terkurung dan tidak bisa
bertemu dengan teman-
teman dan keluarganya.
Biaya rehabilitasi mahal.
Saat subyek merasa
kesal, bosan,
memikirkan hal-hal yang
memicu ingatnya masa
lalu saat memakai
narkoba (sugesti).
subyek merasa jenuh.
Merasa jenuh.
Pusing
Uring-uringan, merasa
jenuh, bosan.
Melakukan kegiatan
yang dapat mengusir
rasa bosan, seperti main
PS, nonton bareng-
bareng, main layangan,
ngobrol, main gitar,
outbond atau jalan-jalan.
Berinteraksi dengan
orang-orang di sekitar
tempat rehabnya, belajar
menyablon dan belajar
membuat layangan.
Sadar bahwa biaya itu
untuk kegiatan dan
penghidupan subyek
selama di tempat rehab.
Belajar agama, program
tajwid, sholat, lebih
mendekaatkan diri
kepada Tuhan,
pengembangan diri,
pemulihan vitalitas,
kuatkan mental, belajar
sabar dan konsentrasi
akan sesuatu.
75
Merasa jauh dari
komunitas, yang
seharusnya menjadi
mahasiswa, bermain
dengan teman-teman
kampus, belajar di kelas,
sekarang subyek tidak
dapat melakukan hal itu
semua.
Orang tua subyek jarang
menengok ke tampat
rehab.
Saat subyek teringat
akan masa lalunya saat
memakai narkoba
(sugesti).
Tuntutan dari orang tua
untuk cepat keluar
rehab, karena sudah
tidak sanggup
membiayainya.
Merasa Ibunya sudah
capai mengurus dirinya
dan merasa terabaikan
karena tidak pernah di
tengok.
Merasa terasingkan, jauh
dari komunitas yang
seharusnya.
Sedih dan menjadi
berpikiran bahwa orang
tuanya sudah tidak
memperdulikannya.
Sedih, kesal, seperti mau
marah dengan diri sendiri.
Merasa tidak diperhatikan
dan diperdulikan oleh
keluarganya.
sedih
Sholat. Karena di tempat
rehab ini semua yang
kita rasakan selalu
disuruh beribadah dan
berdoa.
Berdoa dan pasrahkan
semuanya ke Tuhan.
Sadar akan masa lalu
tidak dapat terulang
kembali, pasrahkan
semuanya dan kembali
sholat dan berdoa.
Pasrah.
Sholat, berdoa, dan
selain itu baru subyek
melakukan refresing
seperti main PS, main
layangan, atau apa saja
yang dapat membuat
76
Subyek AN
subyek lupa akan
kesedihannya.
Stressor Reaksi Coping stress
Merasa asing dan
bertemu banyak orang
yang tidak dikenal.
Subyek teringat bahwa
kuliahnya terbengkalai
karena subyek
mengkonsumsi narkoba.
Tempat rehabilitasi yang
membatasi pergerakan
subyek.
Saat sedang terdiam,
melamun, pikiran-pikiran
negative terlintas, merasa
bosan dan sugesti muncul
dan karena rutinitas yang
dikerjakan selama di
tempat rehab.
Merasa asing.
Kesal.
Bosan.
Sugesti muncul.
Dibawa enjoy aja.
Subyek merasa memiliki
tanggung jawab atas
dirinya dan kepada
keluarganya untuk
menyelesaikan kuliahnya.
Dibawa enjoy saja,
karena kenginan subyek
untuk sembuh lebih kuat
daripada rasa bosannya.
Alihkan pikiran-pikiran
negative tersebut dengan
mengobrol dengan orang
sekitar, lakukan kegiatan
yang tidak bikin bosan
seperti main gitar, bicara
dengan ustadznya, jalan-
jalan.
77
Subyek EF
Subyek RG
Stressor Reaksi Coping stress
Merasa terisolasi karena
selama 3 bulan tidak
bolah kemana-mana dan
tidak boleh bertemu
siapa-siapa. Hanya
boleh mengikuti kegiatan
rutin yang diadakan oleh
tempat rehab.
Saat subyek merasa
sangat bosan dan jenuh
sekali.
Saat subyek melamun,
pikiran melayang berfikir
yang macam-macam.
Bosan dan jenuh.
Mengamuk, merasa
menjadi manusia
terbodoh karena
terjerumus oleh narkoba.
Sugesti muncul.
Di bawa seenjoy mungkin
dan menanamkan dalam
dirinya tekad yang kuat
untuk cepat sembuh.
Sadar akan tindakan
(mengamuk), dan berfikir
yang negative seperti itu
tidak membantu
penyembuhan dirinya.
Berusaha mengendalikan
diri dan berusaha
memikirkan rencana saya
kedepan nantinya.
Stressor Reaksi Coping stress
Rutinitas yang dilakukan
selama ditempat rehab,
dan terisolasinya subyek
selama 3 bulan tidak
bolah bertemu siapa-
siapa dan tidak boleh
Bosan dan jenuh.
Dibawa enjoy semua
kegiatan yang dijalankan,
dan subyek bertekad ingin
cepat sembuh karena
ingin berbakti dan
membanggakan
78
Subyek RI
kemana-mana.
Merasa tidak memiliki
kebebasan.
Saat mengingat
kekecewaan Ibunya
terhadap dirinya.
Berusaha kabur dari
tempat rehab.
Sedih.
keluarganya setelah
keluar dari rehab.
Banyak ngobrol saat sesi
konseling, ngobrol dengan
ustadznya dan sakhirnya
subyek sadar bahwa hal
itu tidak akan membantu
penyembuhan dirinya.
Subyek memiliki tekad
untuk cepat sembuh dan
ingin membahagiakan
ibunya.
Stressor Reaksi Coping stress
Subyek merasa tidak
memiliki kebebasan,
selalu terjaga, banyak
orang tidak dikenal.
Rasa bosan karena
mengikuti rutinitas dari
tempat rehab, muncul
rasa sugesti.
Merasa asing.
Muncul sugesti.
Berusaha menyesuaikan
diri dengan keadaannya,
dibawa enjoy dan
banyakin kenalan dengan
orang-orang yang ada di
tempat rehab.
Berusaha mengalihkan
dan mengontrol pikiran-
pikiran yang
menyebabkan sugesti
tersebut, melakukan
kegiatan-kegiatan yang
lebih bermanfaat lain
yang bisa mengusir rasa
79
Merasa kesal saat
eringat akan kelakuan
ayah subyek terhadap
ibunya.
Sugesti muncul.
bosan.
Mengalihkan pikiran
tersebut.