Post on 18-Jan-2020
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGAN PSYCHOLOGICAL
WELL BEING PADA PASANGAN MUDA
SKRIPSI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh :
Vina Witri Astuti
G0106095
Pembimbing:
1. Dra. Salmah Lilik, M. Si
2. Rin Widya Agustin, M. Psi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesunggguhnya bahwa dalam skripsi ini
tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan
di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali
yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya
bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.
Surakarta, Pebruari 2011
Vina Witri Astuti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul : Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being pada Pasangan Muda
Nama Peneliti : Vina Witri AstutiNIM/Semester : G0106095Tahun : 2011
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji SkripsiProdi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:
Pada Hari : Rabu, 9 Pebruari 2011
Pembimbing I
Dra. Salmah Lilik, M.Si.NIP 19490415 198101 2 001
Pembimbing II
Rin Widya Agustin, M.Psi.NIP 19760817 200501 2 002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi.NIP 19760817 200501 2 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being
pada Pasangan Muda
Vina Witri Astuti, G0106095, Tahun 2011
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji SkripsiProdi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari : SeninTanggal : 28 Pebruari 2011
1. Pembimbing IDra. Salmah Lilik, M.Si. ( )
2. Pembimbing IIRin Widya Agustin, M.Psi. ( )
3. Penguji IDra. Makmuroch, M.S. ( )
4. Penguji IIAditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si. ( )
Surakarta, __________________
Ketua Program Studi Psikologi
Drs. Hardjono, M.Si.NIP 19590119 198903 1 002
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M.Psi.NIP 19760817 200501 2 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user v
MOTTO
Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini
selalu mempunyai makna. Dalam batas-batas tertentu, manusia memiliki
kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih dan menentukan makna
dan tujuan hidupnya
(Viktor E. Frankl)
Tidak ingin menyesali yang sudah terjadi kemarin, banyak bersyukur untuk hari
ini dan tidak perlu khawatir menghadapi hari esok
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk
Papah Mamahku tercinta dan kakak-kakakku tersayang
Berbagai rintangan dan keputusasaan memudar
karena limpahan perhatian dan dukungan mereka
Berkat dorongan, dukungan dan do a merekalah karya ini terselesaikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas segala karunia-Nya yang
dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai
syarat guna memperoleh gelar sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul
“Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being pada
Pasangan Muda”.
Tidak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberi bimbingan, bantuan, dorongan, dan doa dalam penyelesaian skripsi
ini. Penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. AA. Subiyanto, M.S., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Dra. Salmah Lilik, M.Si., selaku dosen pembimbing I atas bimbingan,
kepercayaan, kesabaran, serta perhatiannya yang sangat besar.
4. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku pembimbing II atas bimbingan,
kesabaran, perhatian serta saran-sarannya yang membangun selama ini.
5. Ibu Dra. Machmuroh, M.S. dan Bapak Aditya Nanda Priyatama, S. Psi., M. Si.
selaku dosen penguji I dan II yang telah memberikan pemikiran kritis serta
masukan-masukan yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
6. Seluruh staf Program Studi Psikologi yang telah membantu penulis dalam
mengurus administrasi dan memberikan semangat dan saran-sarannya.
7. Bapak Drs. Tamso, MM., selaku Kepala kelurahan Jebres Surakarta beserta
staf, Bapak Karjono selaku ketua RW XX (Kaplingan) dan seluruh ketua RT
serta responden di Kaplingan yang bersedia memberikan ijin serta membantu
penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data.
8. Papah mamahku tercinta yang telah memberikan cinta kasihnya, bimbingan,
nasihat, kesabaran, pengertian dan perhatian serta tak henti mendo’akan
penulis selama mengikuti tugas belajar di Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan menyelesaikan skripsi
ini.
9. Kakak-kakakku tersayang, Kak Eka, Kak Eska, Ko Joni, Mas Bondan yang
telah memberikan semangat dan do’a dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Abang Faris yang selalu memberikan dukungan, perhatian, semangat serta
kasih sayang kepada penulis.
11. Sahabat-sahabatku tercinta (Yenie, Rengga, Febi, Lina, Nisa, Siti, Putri, Ayu,
Tanti, Nuzul, Ulva) dan semua teman-teman Psikologi UNS tercinta,
khususnya Psikologi ’06 yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan
mengajarkan penulis arti kekompakan dan kebersamaan.
Surakarta, Pebruari 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL STABILITY WITHPSYCHOLOGICAL WELL BEING
IN YOUNG COUPLE
Vina Witri AstutiG0106095
ABSTRACT
Everyone wants happy and prosperous marriage life, but it is not easy toachieved, needs hard effort. Marriage acquaints two different people, either intheir needs, their wishes and their expectations that enable a more complicatedconflict occurs among them. Young couple in this study were young adults whohave been married for less than 10 years. Many things that are not expected tooccure within marriage is caused by psychological factors. If someone has a goodpsychological condition, then they are able to control their emotions in varioussituations. Emotional stability will effect how individuals solve their problemsthat occure in their life. When the young couple have emotional stability, they willshow appropriate emotional reactions, and it will lead to the achievement ofpsychological well being in them.
This research aims to determine the relationship between emotionalstability with psychological well being in young couple. The subjects of theresearch were young couples in Kaplingan, Jebres, Surakarta. This research usepurposive cluster random sampling technique. This research used an emotionalstability scale and a psychological well being scale to collect data. Data analysisused product moment correlation analysis techniques by Pearson.
This research result correlation coefficient ( r ) = 0,406; p = 0,001 (p <0,05), it means that there are a significant positive correlation between emotionalstability with psychological well being in young couple. Emotional stabilitycontribute 16,5% factor of young couple’s psychological well being. That result islow, this is because there are many other things that affect the psychological wellbeing, especially young couples, in marital life, for example, related to theexpectations of both partners, how to cooperate in marital life, how to balance thewants and needs between them and the problem of their communication. Inaddition, to see different levels of psychological well being of the subject,performed additional analysis by calculating the average score of psychologicalwell being of highly educated subjects with subjects with low education. Theresults show that highly educated subjects had higher psychological well being,though with a small difference score, which is only 2.77.
Keywords: emotional stability, psychological well being, young couple
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGANPSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA
PASANGAN MUDA
Vina Witri AstutiG0106095
ABSTRAK
Setiap orang mendambakan kehidupan perkawinannya bahagia dansejahtera, tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan.Perkawinan menyatukan dua orang yang berbeda, baik dalam kebutuhan,keinginan dan pengharapan di antara keduanya yang dimungkinkan dapatmenimbulkan permasalahan yang semakin rumit. Pasangan muda dalam penelitianini adalah individu yang mencapai dewasa muda dan usia perkawinan kurang dari10 tahun. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan disebabkanoleh faktor psikologis. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang baik,maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi. Kondisi emosiyang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu menghadapi permasalahanyang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah padatercapainya psychological well being pada pasangan muda tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kestabilanemosi dengan psychological well being pada pasangan muda. Subjek penelitianini adalah individu yang telah menikah (suami atau istri) yang ada di Kaplingan,kelurahan Jebres Surakarta. Teknik pengambilan sampel dengan purposive clusterrandom sampling. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah skala kestabilanemosi dan skala psychological well being. Analisis data menggunakan teknikkorelasi product moment Pearson.
Berdasarkan hasil analisis teknik korelasi product moment Pearsondiperoleh nilai koefisien korelasi ( r ) sebesar 0,406; p = 0,001 (p < 0,05) artinyaada hubungan positif yang signifikan antara kestabilan emosi denganpsychological well being pada pasangan muda. Artinya, semakin tinggi kestabilanemosi subjek, maka akan semakin tinggi psychological well being pada pasanganmuda. Peran kestabilan emosi terhadap psychological well being pada pasanganmuda sebesar 16,5%. Hasil tersebut termasuk kecil, hal ini dikarenakan banyakhal lain yang mempengaruhi psychological well being pasangan muda khususnyadalam kehidupan perkawinan misalnya terkait dengan harapan-harapan di antarakedua pasangan, bagaimana kerjasama dalam kehidupan perkawinan, bagaimanamenyeimbangkan keinginan dan kebutuhan di antara keduanya dan masalahkomunikasi keduanya. Selain itu, untuk melihat perbedaan tingkat psychologicalwell being subjek, dilakukan analisis tambahan dengan menghitung rata-rata skorpsychological well being subjek yang berpendidikan tinggi dengan subjek yangberpendidikan rendah. Hasilnya menunjukkan subjek yang berpendidikan tinggimemiliki psychological well being lebih tinggi, walaupun dengan selisih skoryang tidak begitu jauh, yaitu hanya 2,77.
Kata kunci : kestabilan emosi, psychological well being, pasangan muda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iv
MOTTO ..................................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................ vii
ABSTRACT ............................................................................................... ix
ABSTRAK .................................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvi
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 7
BAB II. LANDASAN TEORI................................................................... 8
A. Psychological Well Being ....................................................... 8
1. Pengertian Psychological Well Being .................................. 8
2. Dimensi-dimensi Psychological Well Being ........................ 10
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well
Being .................................................................................. 15
B. Kestabilan Emosi .................................................................... 22
1. Pengertian Kestabilan Emosi .............................................. 22
2. Aspek-aspek Kestabilan Emosi ........................................... 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xii
C. Pasangan Muda ....................................................................... 26
D. Hubungan Antara Kestabilan Emosi dengan Psychological
Well Being pada Pasangan Muda........................................... 30
E. Kerangka Pemikiran ............................................................... 33
F. Hipotesis................................................................................. 34
BAB III. METODE PENELITIAN .......................................................... 35
A. Identifikasi Variabel Penelitian ............................................... 35
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ................................. 35
C. Populasi, Sampel, dan Sampling ............................................. 36
D. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 38
1. Sumber Data ...................................................................... 38
2. Alat Pengumpul Data ......................................................... 39
E. Validitas dan Reliabilitas ........................................................ 42
1. Validitas ............................................................................ 42
2. Reliabilitas ...................................................................... 43
F. Teknik Analisis Data .............................................................. 43
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 45
A. Persiapan Penelitian ................................................................ 45
1. Orientasi Kancah Penelitian ................................................ 45
2. Persiapan Penelitian ................................................................... 46
3. Pelaksanaan Uji Coba (try out) ........................................... 48
4. Uji Validitas dan Reliabilitas .............................................. 48
5. Penyusunan Alat Ukur Penelitian ....................................... 51
B. Pelaksanaan Penelitian ............................................................ 53
1. Penentuan Subjek Penelitian ............................................... 53
2. Pengumpulan Data ............................................................. 53
3. Pelaksanaan Skoring ........................................................... 54
C. Hasil Analisis Data Penelitian ................................................. 55
1. Uji Asumsi ......................................................................... 55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiii
2. Uji Hipotesis ...................................................................... 57
3. Peran Kestabilan Emosi terhadap Psychological Well
Being .................................................................................. 59
4. Deskripsi Statistik .............................................................. 60
5. Deskripsi Data Sekunder Subjek Penelitian ........................ 63
D. Pembahasan ............................................................................ 65
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 73
A. Kesimpulan ............................................................................ 73
B. Saran........ ............................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 75
LAMPIRAN ............................................................................................... 79
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penilaian Pernyataan Favorable dan Pernyataan Unfavorable ........ 39
Tabel 2. Blue Print Skala Kestabilan Emosi (Sebelum Uji Coba) ................. 41
Tabel 3. Blue Print Skala Psychological Well Being
(Sebelum Uji Coba) ..................................................................................... 42
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Coklit Kaplingan Tahun 2009 ........................... 45
Tabel 5. Hasil Pendataan Pasangan Muda di Kaplingan ............................... 46
Tabel 6. Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Kestabilan Emosi ............ 50
Tabel 7. Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Psychological
Well Being ................................................................................................... 51
Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Kestabilan Emosi Setelah Uji Coba ............ 52
Tabel 9. Distribusi Aitem Skala Psychological Well Being Setelah
Uji Coba ...................................................................................................... 52
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ..................................................................... 56
Tabel 11. Hasil Uji Linieritas antara Variabel Kestabilan Emosi dengan
Psychological Well Being ............................................................................ 57
Tabel 12. Hasil Analisis Korelasi Bivariate Pearson .................................... 58
Tabel 13. Peran Kestabilan Emosi terhadap Psychological Well Being ......... 60
Tabel 14. Deskripsi Statistik Data Penelitian ................................................ 60
Tabel 15. Kriteria Kategori Skala Kestabilan Emosi ..................................... 61
Tabel 16. Kriteria Kategori Skala Psychological Well Being ........................ 63
Tabel 17. Deskripsi Subjek berdasarkan Tingkat Pendidikan ........................ 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan antara kestabilan emosi dengan
psychological well being pada pasangan muda. ............................................ 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xvi
DAFTAR LAMPIRAN
A. Alat Ukur Penelitian ........................................................................ 80
1. Alat Ukur Penelitian Sebelum Uji Coba ..................................... 81
Skala 1 : Skala Kestabilan Emosi ............................................... 82
Skala 2 : Skala Psychological Well Being ................................... 89
2. Alat Ukur Penelitian Setelah Uji Coba ....................................... 93
Skala 1 : Skala Kestabilan Emosi ............................................... 94
Skala 2 : Skala Psychological Well Being ................................... 100
B. Data Uji Coba dan Penelitian Alat Ukur Penelitian .......................... 103
1. Data Hasil Uji Coba Skala Kestabila Emosi................................ 104
2. Data Hasil Uji Coba Skala Psychological Well Being ................. 107
3. Data Penelitian Skala Kestabilan Emosi ..................................... 110
4. Data Penelitian Skala Psychological Well Being ......................... 114
C. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian .......................... 118
1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kestabilan Emosi ....... 119
2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Psychological Well
Being……..... ............................................................................. 121
D. Hasil Analisis Data Penelitian .......................................................... 123
1. Hasil Uji Normalitas................................................................... 124
2. Hasil Uji Linierias ...................................................................... 124
3. Hasil Deskripsi Statistik ............................................................. 125
4. Hasil Analisis Korelasi Bivariate Pearson .................................. 125
5. Hasil Analisis Koefisien Determinan (R Square) ........................ 125
E. Data Sekunder Subjek Penelitian (Data Tingkat Pendidikan
Subjek) ........................................................................................... 126
F. Surat Ijin dan Surat Keterangan Penelitian ....................................... 129
1. Surat Permohonan Ijin Penelitian Prodi Psikologi FK UNS ........ 130
2. Surat Pengantar Kepada RT 01, 04 dan 06 di Kaplingan (RW
XX) ........................................................................................... 131
3. Surat Tanda Bukti Penelitian dari Kelurahan Jebres
Surakarta .................................................................................... 132
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan tahapan yang penting dalam hidup seseorang.
Setiap orang mendambakan kehidupan perkawinannya bahagia dan sejahtera,
tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang besar.
Menurut Susilowati (2008), perjuangan di dalam perkawinan tidak akan pernah
berhenti karena hidup ini adalah perjuangan. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Hauck (1993) bahwa kebanyakan perkawinan merupakan pertalian
silih berganti antara “perang” dan damai. Perkawinan akan membawa lebih
banyak frustrasi daripada yang dibayangkan. Memang benar perkawinan akan
membuat seseorang lebih bahagia dari sebelumnya, akan tetapi untuk
mencapainya harus menempuh saat-saat yang sulit. Kadang seseorang tidak akan
mencapai keseimbangan yang baik setelah beberapa tahun menjalani perkawinan.
Setelah perkawinan akan terus muncul gejolak-gejolak yang datang secara
berkala.
Perkawinan menciptakan pasangan suami istri dalam kehidupan rumah
tangga. Pasangan muda dalam penelitian ini adalah individu yang telah menikah
dan dengan usia yang mencapai dewasa dini atau dewasa muda. Menurut Hurlock
(1994), masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-
pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda
diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru
ini. Periode ini merupakan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup
seseorang.
Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan
muda, sebab dalam perkawinan dapat terjadi berbagai hal yang dapat memicu
permasalahan. Fenomena perceraian suami istri dalam masyarakat kita terjadi
semakin meningkat dari waktu ke waktu (Barus, 2005). Tulisan yang dibuat oleh
Pengadilan Agama Surakarta pada 25 Mei 2010 (http://pa-surakarta.go.id)
menjelaskan bahwa, berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an
angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling
tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir
dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian
di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di
belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat
kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2009.
Meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir
memang merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Hal ini sungguh menimbulkan
keprihatinan, karena ikatan perkawinan tidak lagi membawa kebahagiaan dalam
hidup pasangan suami istri, akan tetapi justru membawa ke dalam perselisihan
yang semakin rumit. Wahyuningsih (2005) menyebutkan bahwa perselisihan yang
sering muncul dalam rumah tangga dapat disebabkan karena ketidaksamaan
kebutuhan, keinginan, dan harapan di antara pasangan suami istri. Menurut Anjani
dan Suryanto (2006), masa perkawinan kurang dari sepuluh tahun merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
periode awal dalam perkawinan, dimana periode ini merupakan masa rawan di
dalam perkawinan. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa pada dua tahun
pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan, dimana
pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus menyiapkan
mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya, pada usia tujuh tahun
pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah tangga
sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap pasangan
muda.
Kesulitan penyesuaian perkawinan hampir tidak terelakkan bila suami dan
istri berasal dari pola keluarga yang berbeda. Hal ini akan menjadi sulit ketika
pasangan muda mengahadapi tekanan ataupun kondisi yang negatif namun hal
tersebut tidak diungkapkan (Hurlock, 1994). Meskipun demikian, menurut
Wahyuningsih (2005), mengakhiri perkawinan karena ketidakbahagiaan tidak
selalu menjadi pilihan, banyak pasangan muda yang dapat mempertahankan
perkawinannya, berusaha berpikiran positif terhadap pasangannya dan tetap
menjalankan kehidupan rumah tangga sehingga dapat mencapai kondisi yang
diharapkan setiap pasangan. Hasil penelitian Wilson, dkk. (dalam Wahyuningsih,
2005) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kesehatan emosi akan
merasakan hidup yang lebih optimis dan memuaskan dalam perkawinannya.
Sikap positif dari pasangan muda untuk tetap mempertahankan
perkawinannya, berpikiran positif terhadap pasangannya dan menjalankan
tanggung jawab terhadap pasangan meskipun dengan begitu banyak hal yang
memicu permasalahan akan mengarah pada terbentuknya fungsi psikologis yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
positif (positive psychological functioning), yang membawa kepada terwujudnya
kesejahteraan psikologis (psychological well being) dalam diri seseorang.
Ryff (1989) seorang pelopor penelitian mengenai psychological well being
menjelaskan bahwa, psychological well being merupakan istilah yang digunakan
untuk menggambarkan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dan
suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa
adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengembangkan
potensi diri secara berkelanjutan, mampu untuk mengarahkan tingkah laku sendiri,
mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan dalam hidup.
Psychological well being pada pasangan muda mengarah pada kondisi
dimana individu mampu menghadapi berbagai hal yang dapat memicu
permasalahan dalam perkawinannya, mampu melalui periode sulit dalam
perkawinan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan
menjalankan fungsi psikologi positif yang ada dalam dirinya sehingga individu
tersebut merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap
hidupnya.
Kondisi psikologis seseorang memiliki peran penting dalam
perkawinannya. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan
disebabkan oleh faktor psikologis. Hal ini menjadi penting, sebab akan
mempengaruhi bagaimana kemampuan individu untuk bertahan menghadapi
tekanan akibat berbagai permasalahan dalam rumah tangganya. Seseorang yang
dapat menjalankan fungsi-fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan
memiliki kondisi psikologis yang baik. Ryff (1989) menyebutkan bahwa fungsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
positif artinya manusia dipandang sebagai mahluk yang mempunyai potensi dan
mampu mengembangkan dirinya. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis
yang baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi.
Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu
menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya.
Menurut Walgito (1984) kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan suami
istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan perkawinannya secara
baik dan objektif. Pasangan yang mampu mengendalikan kondisi emosinya saat
menghadapi situasi yang menyenangkan ataupun ketika berada dalam situasi yang
tidak menyenangkan adalah mereka yang memiliki kestabilan emosi.
Irma (2003) menjelaskan bahwa kestabilan emosi menunjukkan emosi
yang tetap, tidak mengalami perubahan, atau tidak cepat terganggu meskipun
dalam keadaan menghadapi masalah. Seseorang yang mempunyai kestabilan
emosi mampu mengekspresikan emosi dengan tepat, tidak berlebihan, sehingga
emosi yang sedang dialaminya tidak mengganggu aktivitas yang lain. Sementara
itu, individu dengan kondisi emosi yang tidak stabil memiliki kecenderungan
perubahan yang cepat dan tidak diduga dalam reaksi emosinya (Chaplin, 2000).
Apabila pasangan muda memiliki kestabilan emosi, maka mereka akan
menghasilkan reaksi emosi yang tepat, tidak berlebihan dalam menghadapi
masalah yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah
pada tercapainya kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada
pasangan muda tersebut. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Semiun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
(2006), yang menyebutkan bahwa, apabila emosi itu dapat dikendalikan dengan
tepat maka emosi tersebut bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan
antara kestabilan emosi dengan psychological well being. Untuk itu penulis
mengambil judul “Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well
Being pada Pasangan Muda”.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
“Apakah ada Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well
Being pada Pasangan Muda?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui Hubungan
antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being pada Pasangan Muda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah
khususnya dalam bidang psikologi yang berkaitan dengan hubungan antara
kestabilan emosi dengan psychological well being pada pasangan muda
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pasangan Muda
Memberikan informasi dan masukan mengenai hubungan antara kestabilan
emosi dengan psychological well being pada pasangan muda, sehingga
dapat menggunakan informasi ini sebagai pertimbangan dalam
menghadapi masalah dalam kehidupan rumah tangganya
b. Bagi Psikolog, Konselor Perkawinan dan Praktisi Terkait
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan
mengenai hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well
being pada pasangan muda, sehingga dapat menggunakan informasi ini
sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penanganan masalah
perkawinan bagi pasangan suami istri
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi bagi peneliti untuk
melakukan penelitian lebih lanjut khususnya berkaitan dengan hubungan
antara kestabilan emosi dengan psychological well being.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Psychological Well Being
1. Pengertian Psychological Well Being
Penelitian mengenai psychological well being dipelopori oleh Ryff.
Diener dan Jahoda (dalam Ryff, 1989) mengatakan bahwa, penelitian
mengenai psychological well being mulai berkembang sejak para ahli
menyadari bahwa selama ini ilmu psikologi lebih banyak memberikan
perhatian kepada penderitaan atau ketidakbahagiaan seseorang daripada
bagaimana seseorang dapat berfungsi secara positif. Menurut Ryff (1989),
psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan
kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning).
Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological well being yang
kemudian disingkat PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis
seseorang, dimana individu tersebut dapat menerima kekuatan dan kelemahan
yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif dengan orang lain yang
ada di sekitarnya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan
mandiri, mampu dan berkompetensi untuk mengatur lingkungan, memiliki
tujuan hidup dan merasa mampu untuk melalui tahapan perkembangan dalam
kehidupannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Ryff dan Singer (1996) menyebutkan bahwa, tingkat kesejahteraan
psikologis yang tinggi menunjukkan bahwa individu memiliki hubungan yang
baik dengan lingkungan di sekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang baik,
dapat membangun hubungan personal yang baik dengan orang lain dan
menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam
pekerjaannnya.
Menurut Snyder dan Lopez (dalam Tenggara, dkk., 2008),
kesejahteraan psikologis bukan hanya merupakan ketiadaan penderitaan,
namun kesejahteraan psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia,
memahami arti dan tujuan dalam hidup dan hubungan seseorang pada objek
ataupun orang lain.
Hurlock (1994) menyebutkan kebahagiaan adalah keadaan sejahtera
(well being) dan kepuasan hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan yang
timbul bila kebutuhan dan harapan individu terpenuhi. Alston dan Dudley
(dalam Hurlock, 1994) menambahkan bahwa, kepuasan hidup merupakan
kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya, yang
disertai tingkat kegembiraan.
Dari beberapa pengertian psychological well being yang dikemukakan
oleh beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan psychological well being
adalah mengarah pada kondisi dimana individu mampu menghadapi berbagai
hal yang dapat memicu permasalahan dalam kehidupannya, mampu melalui
periode sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan kemampuan yang ada
dalam dirinya dan menjalankan fungsi psikologi positif yang ada dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
dirinya, sehingga individu tersebut merasakan adanya kepuasan dan
kesejahteraan batin dalam atau terhadap hidupnya.
2. Dimensi-dimensi Psychological Well Being
Ryff (1989) menyebutkan bahwa, selama dua puluh tahun terakhir
penelitian mengenai psychological well being terpaku pada perbedaan antara
efek positif dan negatif serta kepuasaan hidup (life satisfaction). Penelitian-
penelitian mengenai psychological well being tidak didasari oleh tinjauan
teori yang kuat, akibatnya pengukuran psychological well being melupakan
satu aspek penting yaitu fungsi positif (positive fungtioning) dari manusia.
Fungsi positif tersebut merupakan pemahaman bagaimana seseorang
mempunyai kemampuan dan potensi dan mampu mengembangkannya.
Ryff (1989) mengembangkan pendekatan multidimensional untuk
mengukur psychological well being. Pendekatan multidimensional tersebut
berdasarkan pada tinjauan berbagai sudut pandang ahli psikologi yang tertarik
dengan pertumbuhan dan perkembangan penuh potensi individual seperti teori
aktualisasi diri Abraham Maslow (1968), fully functioning person Carl Rogers
(1961), mature person Gordon Allport (1961) dan individuation Carl Jung
(1933) (dalam Ryff, Keyes dan Shmotkin, 2002).
Ryff (1989) telah menyusun pendekatan multidimensional untuk
menjelaskan mengenai psychological well being. Dimensi-dimensi tersebut
antara lain kepemilikan akan rasa penghargaan terhadap diri sendiri,
kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan
terhadap lingkungan di sekitarnya, memiliki tujuan hidup dan pertumbuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
pribadi yang berkelanjutan. Berikut penjelasan mengenai keenam dimensi
tersebut (Ryff, 1989):
a. Penerimaan diri (Self acceptance)
Dimensi penerimaan diri merupakan ciri utama kesehatan mental
dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi
secara optimal dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai
dengan kemampuan menerima diri apa adanya, sehingga kemampuan
tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri
sendiri dan kehidupan yang dijalaninya. Seseorang yang memiliki tingkat
penerimaan diri yang tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri,
mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik
positif ataupun negatif dan memiliki pandangan positif tentang kehidupan
masa lalu. Sebaliknya, individu dengan tingkat penerimaan diri yang
rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya, merasa kecewa dengan
pengalaman masa lalu dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi
dirinya seperti saat ini.
b. Hubungan positif dengan orang lain (Possitive relations with others)
Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal
yang hangat dan saling mempercayai dengan orang lain. Kemampuan
untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama kesehatan mental.
Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain atau tinggi
untuk dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat,
memuaskan, dan saling percaya dengan orang lain. Individu tersebut juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang
rendah atau kurang baik untuk dimensi ini, sulit untuk bersikap hangat dan
enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain.
c. Kemandirian (Autonomy)
Dimensi ini menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan
untuk menentukan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah
laku. Individu yang baik dalam dimensi ini, mampu menolak tekanan
sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, serta dapat
mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal. Sedangkan, individu
yang rendah atau kurang baik untuk dimensi ini akan memperhatikan
harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan
penilaian orang lain dan cenderung bersikap konformis.
d. Penguasaan lingkungan (Environmental mastery)
Dimensi ini menjelaskan tentang kemampuan individu untuk
memilih lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Kematangan
pada dimensi ini terlihat pada kemampuan individu dalam menghadapi
kejadian di luar dirinya. Individu yang memiliki penguasaan lingkungan
baik mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan, menggunakan
secara efektif kesempatan dalam lingkungan, mampu memilih dan
menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu
sendiri. Sebaliknya, apabila individu tersebut memiliki penguasaan
lingkungan yang rendah akan kesulitan untuk mengatur lingkungannya,
selalu mengalami kekhawatiran dalam kehidupannya, tidak peka terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
sebuah kesempatan dan kurang memiliki kontrol lingkungan di luar
dirinya.
e. Tujuan hidup (Purpose of life)
Kesehatan mental didefinisikan mencakup kepercayaan-
kepercayaan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini
memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi secara positif
memiliki tujuan, misi dan arah yang membuatnya merasa hidup ini
memiliki makna. Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu
untuk mencapai tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai arah
dalam hidup akan mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan
masa lalu mempunyai makna, memegang kepercayaan yang memberikan
tujuan hidup dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam kehidupan.
Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan memiliki
perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak
melihat adanya manfaat dari masa lalu kehidupannya dan tidak
mempunyai kepercayaan yang membuat hidup lebih bermakna.
f. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)
Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk
mengembangkan potensi dalam dirinya. Pertumbuhan pribadi yang baik
ditandai perasaan mampu dalam melalui tahap-tahap perkembangan,
terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi yang ada dalam dirinya,
melakukan perbaikan dalam hidupnya setiap waktu. Sebaliknya, seseorang
yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan
bahwa ia adalah pribadi yang stagnan dan tidak tertarik dengan kehidupan
yang dijalani.
Hurlock (1994) menjelaskan bahwa, ada beberapa esensi mengenai
kebahagiaan, atau keadaan sejahtera (well being), kenikmatan atau kepuasan,
yaitu antara lain sebagai berikut:
a. Sikap menerima (acceptance)
Sikap menerima orang lain dipengaruhi oleh sikap menerima diri
yang timbul dari penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang
baik. Shaver dan Freedman (dalam Hurlock, 1994) lebih lanjut
menjelaskan bahwa, kebahagiaan banyak bergantung pada sikap menerima
dan menikmati keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya.
b. Kasih sayang (affection)
Cinta atau kasih sayang merupakan hasil normal dari sikap
diterima oleh orang lain. Semakin diterima baik oleh orang lain, semakin
banyak diharapkan cinta yang dapat diperoleh dari orang lain. Kurangnya
cinta atau kasih sayang memiliki pengaruh yang besar terhadap
kebahagiaan seseorang.
c. Prestasi (achievement)
Prestasi berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang.
Apabila tujuan ini secara tidak realistis tinggi, maka akan timbul
kegagalan dan yang bersangkutan akan merasa tidak puas dan tidak
bahagia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Dimensi-dimensi psychological well being yang digunakan dalam
penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989), yang
meliputi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian,
penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being
Menurut Ryff dan Singer (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis (psychological well being) antara lain:
a. Usia
Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang
dilakukan Ryff (1989; Ryff & Keyes 1995; Ryff & Singer 1996),
penguasaan lingkungan dan kemandirian menunjukkan peningkatan
seiring perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74). Tujuan
hidup dan pertumbuhan pribadi secara jelas menunjukkan penurunan
seiring bertambahnya usia. Skor dimensi penerimaan diri, hubungan
positif dengan orang lain secara signifikan bervariasi berdasarkan usia.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang
dilakukan Ryff (1989; Ryff 1995; Ryff & Singer 1996), faktor jenis
kelamin menunjukkan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan
positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Dari
keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74), wanita
menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada pria. Sementara dimensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
psychological well being yang lain yaitu penerimaan diri, kemandirian,
penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan.
c. Tingkat pendidikan dan pekerjaan
Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya tingkat pendidikan
seseorang menunjukkan bahwa individu memiliki faktor pengaman (uang,
ilmu, keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan
tantangan (Ryff dan Singer, 1996). Hal ini dapat terkait dengan kesulitan
ekonomi, dimana kesulitan ekonomi menyebakan sulitnya individu untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga menyebabkan menurunnya
kesejahteraan psikologis (psychological well being).
d. Latar belakang budaya
Menurut Sugianto (2000), perbedaan budaya Barat dan Timur juga
memberikan pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih berorientasi pada
diri (seperti dimensi penerimaan diri dan kemandirian) lebih menonjol
dalam konteks budaya Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada
orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol
pada budaya Timur.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Schmutte dan Ryff (1997)
menyebutkan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
psikologis (psychological well being) antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
a. Kepribadian
Apabila individu memiliki kepribadian yang mengarah pada sifat-
sifat negatif seperti mudah marah, mudah stres, mudah terpengaruh dan
cenderung labil akan menyebabkan terbentuknya keadaan psychological
well being yang rendah. Sebaliknya, apabila individu memiliki kepribadian
yang baik, maka individu akan lebih bahagia dan sejahtera karena mampu
melewati tantangan dalam kehidupannya.
b. Pekerjaan
Pekerjaan yang sifatnya rentan terhadap korupsi, iklim organisasi
yang tidak mendukung dan pekerjaan yang tidak disenangi akan
menyebabkan terbentuknya keadaan psychological well being yang
rendah, begitu pula sebaliknya.
c. Kesehatan dan fungsi fisik
Individu yang mengalami gangguan kesehatan dan fungsi fisik
yang tidak optimal atau terganggu dapat menyebabkan rendahnya
psychological well being individu tersebut. Sebaliknya, apabila individu
memiliki kesehatan dan fungsi fisik yang baik, akan memiliki
psychological well being yang tinggi.
Hurlock (1994) menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kebahagiaan, kepuasan dan kesejahteraan (well being) seseorang, antara lain
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
a. Kesehatan
Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun
melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk
atau ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan
bagi keinginan dan kebutuhan mereka sedemikian rupa, sehingga
menimbulkan rasa tidak bahagia dan sejahtera (well being)
b. Daya tarik fisik
Daya tarik fisik menyebabkan individu dapat diterima dan disukai
oleh masyarakat dan sering merupakan penyebab dari prestasi yang lebih
besar daripada apa yang mungkin dicapai individu jika kurang memiliki
daya tarik.
c. Tingkat otonomi
Semakin besar otonomi yang dapat dicapai, semakin besar
kesempatan untuk merasa bahagia. Hal ini ditentukan baik pada masa
kanak-kanak maupun masa dewasa.
d. Kesempatan-kesempatan interaksi di luar keluarga dan kondisi kehidupan
Karena nilai sosial yang tinggi ditekankan pada popularitas, maka
di tingkat usia apapun, orang akan merasa bahagia apabila mereka
mempunyai kesempatan untuk mengadakan hubungan sosial dengan
orang-orang di luar lingkungannya daripada apabila hubungan sosial
mereka terbatas pada anggota keluarga.
Apabila pola kehidupan memungkinkan seseorang untuk
berinteraksi dengan orang lain, baik di dalam keluarga maupun teman-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
temandan tetangga di dalam masyarakat, maka kondisi demikian akan
memperbesar kepuasan hidup.
e. Jenis pekerjaan dan status kerja
Semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan
untuk otonomi dalam pekerjaan, semakin kurang memuaskan. Hal ini
dilihat pada tugas sehari-hari yang diberikan kepada anak-anak dan
pekerjaan orang-orang dewasa.
Baik di bidang pendidikan maupun pekerjaan, semakin berhasil
seseorang melaksanakan tugas semakin hal itu dihubungkan dengan
prestise, maka semakin besar kepuasaan yang ditimbulkan.
f. Keseimbangan antara harapan dan pencapaian serta pemilikan harta benda
Apabila harapan-harapan itu realistis, seseorang akan puas dan
bahagia apabila tujuannya tercapai. Pemilikan harta benda bukan dalam
arti memiliki benda itu akan mempengaruhi kebahagiaan seseorang,
melainkan cara seseorang merasakan pemilikan itu. Seperti yang
diungkapkan Clark (dalam Hurlock, 1994) yang menyebutkan bahwa,
kebahagian bukan datang dari pemilikan harta, tetapi dari perasaaan
seseorang terhadap pemilikan harta tersebut.
g. Penyesuaian emosional dan sikap terhadap periode tertentu
Orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dan yang
bahagia, jarang dan tidak terlampau intensif mengungkapkan perasaan-
perasaan negatif seperti takut, marah dan iri hati daripada mereka yang
tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik dan tidak bahagia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Perasaan bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian
ditentukan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri bersama orang lain
selama masa kanak-kanak dan sebagian oleh stereotip budaya.
h. Realisme dari konsep diri dan konsep peran
Orang-orang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari
yang sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak
tercapai. Ketidakbahagiaan mereka dipertajam oleh perasaan tidak mampu
dan oleh keyakinan bahwa mereka tidak dimengerti, diperlakukan kurang
adil.
Orang-orang cenderung mengangankan peran yang akan
dimainkan pada usia mendatang. Apabila peran yang baru itu tidak sesuai
dengan harapan mereka, mereka akan merasa tidak bahagia kecuali jika
mereka mau menerima kenyataan peran yang baru itu.
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi psychological well being
antara lain sebagi berikut:
a. Religiusitas
Penelitian Ellison (dalam Taylor, 1995) menyebutkan bahwa
agama mampu meningkatkan psychological well being dalam diri
seseorang. Hasil penelitian Ellison menunjukkan bahwa individu yang
memiliki kepercayaan terhadap agama yang kuat, dilaporkan memiliki
kepuasan hidup yang lebih tinggi, kebahagiaan personal yang lebih tinggi,
serta mengalami dampak negatif peristiwa traumatis yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
agama yang kuat. Penilitian yang dilakukan Amawidyati dan Utami (2007)
mendukung penelitian Ellison, dimana hasil analisis menunjukkan adanya
hubungan positif dan signifikan antara religiusitas dan psychological well
being.
b. Dukungan sosial
Cohen dan Syme (dalam Calhoun dan Accocella, 1990)
menyebutkan bahwa, dukungan sosial dapat berkaitan erat dengan
psychological well being. Dukungan sosial diperoleh dari orang-orang
yang berinteraksi dan dekat secara emosional dengan individu. Orang yang
memberikan dukungan sosial ini disebut sebagai sumber dukungan sosial.
Bagaimana sumber dukungan sosial ini penting, karena akan
mempengaruhi psychological well being seseorang.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi psychological well being meliputi usia, jenis kelamin,
kelas sosial (terkait pekerjaan, jenis kerja, status kerja dan tingkat pendidikan),
latar belakang budaya, kepribadian, kesehatan dan fungsi fisik, tingkat
otonomi, daya tarik fisik, kesempatan-kesempatan interaksi di luar keluarga
dan kondisi kehidupan, keseimbangan antara harapan dan pencapaian serta
pemilikan harta benda, penyesuaian emosional dan sikap terhadap periode
tertentu, realisme dari konsep diri dan konsep peran, religiusitas serta
dukungan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
B. Kestabilan Emosi
1. Pengertian Kestabilan Emosi
Menurut Chaplin (2000), kestabilan emosi (emotional stability) ialah
terbebas dari sejumlah besar variasi atau perselang-selingan dalam suasana
hati, sifat karakteristik orang yang memiliki kontrol emosi yang baik. Kontrol
emosi merupakan usaha di pihak individu untuk mengatur dan menguasai
emosi sendiri atau emosi orang lain. Sedangkan ketidakstabilan emosi
merupakan satu kecenderungan untuk menunjukkan perubahan yang cepat dan
tidak dapat diduga-duga atau diramalkan dalam emosionalitas.
Morgan (1986) menjelaskan bahwa, kestabilan emosi merupakan suatu
keadaan emosi seseorang yang apabila mendapat rangsangan secara emosional
dari luar tidak menunjukkan gangguan emosional seperti depresi dan
kecemasan. Sementara itu, Sharma (2006) menjelaskan bahwa, kestabilan
emosi berarti kondisi yang benar-benar kokoh, tidak mudah berbalik atau
terganggu, memiliki keseimbangan yang baik dan mampu untuk menghadapi
segala sesuatu dengan kondisi emosi yang tetap atau sama.
Kestabilan emosi menunjukkan emosi yang tetap, tidak mengalami
perubahan, atau tidak cepat terganggu meskipun dalam keadaan menghadapi
masalah. Seseorang yang mempunyai kestabilan emosi mampu
mengekspresikan emosi dengan tepat, tidak berlebihan sehingga emosi yang
sedang dialaminya tidak mengganggu aktivitas yang lain. Kestabilan emosi
adalah keadaan dimana seseorang dapat menampilkan reaksi yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
berlebihan atas rangsangan yang diterima, terutama dalam menghadapi
masalah-masalah. Hal ini dapat dilihat dari keseimbangan antara emosi
pleasant dengan emosi unpleasant. Seseorang akan mampu mengatasi dan
menerima gejolak naik turunnya emosi serta dapat mengarahkan emosi
unpleasant ke dalam suatu bentuk pemahaman yang lebih positif. Kestabilan
emosi ini merupakan suatu tahapan yang harus dicapai oleh seseorang untuk
lebih tenang dalam menghadapi segala permasalahan, mencakup kemampuan
untuk mengungkapkan emosi dengan melakukan kendali yang tidak
berlebihan terhadap gejala-gejala yang muncul baik dalam kondisi pleasant
maupun unpleasant (Irma, 2003).
Dari beberapa pengertian kestabilan emosi yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan kestabilan emosi adalah suatu
kondisi emosi yang tetap, tidak mudah berubah, tidak labil, tidak mudah
mengalami gangguan emosional, memiliki kontrol emosi yang baik dan
mampu mengendalikan emosi secara tepat ketika menghadapi kondisi yang
menyenangkan ataupun ketika menghadapi masalah dalam hidup.
2. Aspek-aspek Kestabilan Emosi
Kestabilan emosi yang dimiliki setiap orang akan berbeda satu sama
lain. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi emosi yang dapat dilihat
melalui aspek-aspek yang menyusun kestabilan emosi, antara lain sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
a. Kontrol Emosi
Aleem (2005) menjelaskan bahwa, kondisi emosi yang stabil akan
ditunjukkan dengan adanya kendali atau kontrol emosi pada saat situasi
yang ekstrim sekalipun. Lebih lanjut ia menjelaskan, individu memiliki
kapasitas untuk menahan keterlambatan kepuasan kebutuhan, kemampuan
untuk mentolerir frustrasi dalam jumlah yang wajar, kepercayaan dalam
perencanaan jangka panjang dan mampu menunda atau merevisi harapan
dalam hal tuntutan situasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
Schneiders (1991) bahwa, kontrol emosi meliputi pengaturan emosi dan
perasaan sesuai dengan tuntutan lingkungan atau situasi dan standar dalam
diri individu yang berhubungan dengan nilai-nilai, cita-cita, serta prinsip.
Semiun (2006) menjelaskan bahwa kontrol emosi tidak berarti emosi
ditekan atau tidak boleh diungkapkan, akan tetapi melatih emosi dan
mengendalikan emosi tersebut sehingga tidak merugikan diri sendiri
maupun orang lain di sekitarnya.
b. Respon Emosi
Li dan Hui (2005) menyebutkan bahwa, respon emosi yang
ditunjukkan seseorang dapat menggambarkan stabilitas emosinya. Pada
penelitian Li dan Hui (2005), seseorang yang memiliki kestabilan emosi
cenderung memberikan respon emosi yang positif, walaupun individu
tersebut dalam pengalaman emosi yang negatif. Witherington (1978)
menjelaskan bahwa kestabilan emosi dapat dicapai oleh individu apabila
individu tersebut di dalam menghadapi situasi bahaya dapat menemukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
suatu cara untuk mengatasinya, sehingga emosi yang tidak menyenangkan
sebelumnya dapat menurun atau menjadi reda. Safaria dan Saputra (2009)
menjelaskan bahwa, seseorang akan berusaha menyeimbangkan antara
respon emosi positif dan respon emosi negatif. Seseorang yang gagal
menyeimbangkan respon emosinya, misalnya saat berada dalam situasi
yang tidak menyenangkan hanya akan dimunculkan respon emosi yang
negatif, maka individu tersebut gagal mencapai stabilitas emosi. Jadi,
bentuk respon emosi yang dipilih dan ditampilkan seseorang saat
menghadapi situasi tertentu dapat menunjukkan kestabilan emosi
seseorang.
c. Kematangan Emosi
Menurut Schneiders (1991), kematangan emosi adalah kemampuan
seseorang untuk melakukan reaksi emosi sesuai dengan tingkat
perkembangannya. Indikator kematangan emosi seseorang dapat dilihat
dari kemampuannya untuk menyesuaikan diri terhadap stres, tidak mudah
khawatir, tidak mudah cemas dan tidak mudah marah. Gerungan (2004)
juga menyebutkan bahwa kestabilan emosi pada dasarnya harus ada
kematangan emosi yang berdasarkan kesadaran yang mendalam daripada
kebutuhan keinginan-keinginan, cita-cita dan alam perasaannya, serta
pengintergrasian semuanya itu ke dalam kepribadian yang bulat dan
harmonis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
yang menyusun kestabilan emosi adalah kontrol emosi, respon emosi dan
kematangan emosi.
C. Pasangan Muda
Perkawinan merupakan tahapan yang penting dalam hidup seseorang.
Soewondo (2001) menyebutkan bahwa perkawinan memiliki tujuan untuk
mendapatkan kebahagiaan, cinta kasih, kepuasan dan keturunan. Untuk mencapai
kebahagiaan dan kepuasan di dalam perkawinan tidaklah mudah, sebab di dalam
perkawinan banyak hal yang dapat memicu berbagai permasalahan. Agar
pasangan suami istri dapat menjalankan fungsi keluarga dengan baik dalam
kehidupan perkawinannya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain
sebagai berikut.
1. Harapan-harapan dari masing-masing individu
Setiap individu akan memberi pengharapan-pengharapan kepada
pasangannya. Terlebih ketika masa sebelum menikah, banyak karakter asli
yang belum dimunculkan. Sadarjoen (2005) menyebutkan bahwa, konflik-
konflik muncul pada bulan pertama perkawinan berasal dari harapan-harapan
kedua pasangan tentang perkawinan tersebut dan apa yang seharusnya tidak
terjadi pada perkawinan. Florence (dalam Bastaman, 2001) menambahkan
bahwa, ketika di antara pasangan suami istri memiliki harapan yang
berlebihan dan tidak realistis akan menyebabkan kekecewaan dan
ketidakpuasan di dalam kehidupan perkawinannya. Jika seseorang merasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
tidak puas dengan kehidupannya, tentunya akan sulit mencapai psychological
well being dalam kehidupan perkawinannya.
2. Kerjasama di antara pasangan
Kerjasama merupakan hal yang penting di dalam perkawinan.
Kerjasama di antara suami istri diperlukan dari hal-hal yang sederhana sampai
dengan hal-hal yang kompleks. Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa
kebersamaan adalah sesuatu yang penting untuk mempertahankan dan
merawat perkawinan. Lebih lanjut ia menjelaskan, bila kedua individu yang
terlibat dalam suatu perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama dalam
melaksanakan hal-hal kecil dalam kehidupan rumah tangganya, maka
merekapun akan mendapat kesulitan dalam mengatasi permasalahan-
permasalahan hidup yang lebih kompleks di kemudian hari. Mengingat
masalah-masalah dalam kehidupan perkawinan selalu ada, maka kerjasama
yang baik di antara pasangan suami istri menjadi sangat penting agar dapat
mencapai kebahagiaan dalam kehidupan perkawinannya.
3. Keinginan dan kebutuhan di antara pasangan
Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa, kebutuhan merupakan sesuatu
yang selalu ada pada seseorang yang sehat. Meskipun kebutuhan-kebutuhan
personal merupakan dasar yang sangat penting bagi tercapainya kesejahteraan
fisik dan psikologis, akan tetapi saat individu telah menikah, keinginan dan
kebutuhan personal itu harus diseimbangkan dengan pasangan agar tidak ada
pihak yang merasa dirugikan. Apabila perbedaan keinginan masing-masing
individu dalam kehidupan perkawinan tidak dapat diatasi, akan menimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
masalah-masalah yang pada akhirnya dapat mempengaruhi psychological well
being pasangan suami istri tersebut.
4. Komunikasi
Untuk menjalin relasi perkawinan yang memuaskan diperlukan
komunikasi yang baik di antara pasangan (Sadarjoen, 2005). Lebih lanjut
Bastaman (2001) menjelaskan bahwa dalam menjalankan kehidupan
perkawinan, ada komunikasi di mana individu memiliki kesediaan dan
keberhasilan untuk memberi dan menerima pendapat, tanggapan, ungkapan,
saran, umpan balik dari satu pihak ke pihak lain secara baik yang dilakukan
tanpa menyakiti hati salah satu pihak. Apabila komunikasi yang demikian
digunakan dalam setiap menghadapi permasalahan, maka pasangan suami istri
akan menemukan cara-cara yang efektif untuk menyelesaikan setiap
permasalahan yang muncul dengan baik.
Perkawinan menciptakan pasangan dalam kehidupan rumah tangga, yaitu
pasangan suami dan istri. Pasangan muda merupakan pasangan orang-orang
muda. Hurlock (1994) menyebutkan orang dewasa muda sebagai orang muda.
Menurut Hurlock (1994) masa dewasa muda dimulai dari umur 18 tahun sampai
kira-kira umur 40 tahun. Sementara itu, Rahmawati (2003) dalam penelitiannya,
menyebutkan pasangan muda merupakan individu yang telah menikah dengan
batas usia maksimal 35 tahun.
Masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-
pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang muda memainkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua, pencari nafkah, keinginan-
keinginan dan nilai-nilai baru yang sesuai dengan tugas baru ini (Hurlock, 1994).
Undang-undang perkawinan di negara kita menyebutkan bahwa, seseorang
diperbolehkan menikah apabila pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun (UU Perkawinan Pasal 7 dalam Walgito,
1984). Walgito (1984) sendiri menyebutkan bahwa, seorang wanita sebaiknya
menikah setelah usianya mencapai 23 tahun, sedangkan untuk pria setelah
mencapai 27 tahun, karena pada usia tersebut individu dianggap telah dewasa. Hal
ini berarti, seseorang sebaiknya menikah apabila ia telah dewasa, sehingga ia
mampu menjalankan kehidupan perkawinannya dengan baik, karena menurut
Maryati, dkk. (2007), dalam sebuah perkawinan pada umumnya banyak terjadi
kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi.
Keluarga dimulai dengan suatu perkawinan dan selanjutnya berkembang
pada tahun-tahun berikutnya. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa, perjuangan
di dalam perkawinan tidak akan pernah berhenti karena hidup ini adalah
perjuangan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hauck (1993) bahwa
kebanyakan perkawinan merupakan pertalian silih berganti antara “perang” dan
damai. Anjani dan Suryanto (2006) menyebutkan masa perkawinan yang masih
muda atau awal sebagai periode awal dalam perkawinan, yaitu kurang dari
sepuluh tahun, dimana periode ini merupakan masa rawan di dalam perkawinan.
Dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh
perjuangan, dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya
dan harus menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
pada usia tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam
rutinitas rumah tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus
diwaspadai setiap pasangan muda tersebut (Susilowati, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, pasangan muda yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah individu yang telah menikah (suami dan istri), mencapai usia
dewasa muda, usia minimal untuk istri 23 tahun dan suami 27 tahun dan usia tidak
lebih dari 35 tahun serta usia perkawinan yang masih muda (periode awal) yaitu
kurang dari sepuluh tahun.
D. Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being
pada Pasangan Muda
Kebahagiaan dalam sebuah perkawinan adalah dambaan setiap orang, akan
tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang besar.
Hauck (1993) menjelaskan bahwa, kebanyakan perkawinan merupakan pertalian
silih berganti antara “perang” dan damai. Perkawinan akan membawa lebih
banyak frustrasi daripada yang dibayangkan. Memang benar perkawinan akan
membuat seseorang lebih bahagia dari sebelumnya, akan tetapi untuk
mencapainya harus menempuh saat-saat yang sulit. Kadang seseorang tidak akan
mencapai keseimbangan yang baik setelah beberapa tahun menjalani perkawinan.
Setelah perkawinan akan terus muncul gejolak-gejolak yang datang secara
berkala.
Pasangan muda yang merupakan orang-orang dewasa muda dan dengan
usia perkawinan yang masih muda, juga akan mengalami berbagai permasalahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
dalam kehidupan perkawinannya. Hal ini dikarenakan masa dewasa muda
merupakan periode yang khusus dan sulit dalam kehidupan seseorang. Menurut
Hurlock (1994), masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap
pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda
diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua,
pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru
ini.
Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan
muda, sebab dalam perkawinan dapat terjadi berbagai hal yang dapat memicu
permasalahan, seperti terjadinya perbedaan pendapat, pemikiran, tujuan atau
impian, ingin menguasai satu sama lain, kekecewaan, takut kehilangan dan
perbedaan kebiasaan yang dipengaruhi perbedaan latar belakang. Menurut Anjani
dan Suryanto (2006), masa perkawinan kurang dari sepuluh tahun merupakan
masa rawan di dalam perkawinan. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa pada
dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan,
dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus
menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya, pada usia
tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah
tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap
pasangan muda.
Menurut Hurlock (1994), ketika pasangan suami istri menghadapai
tekanan ataupun kondisi negatif, namun hal tersebut tidak diungkapkan, maka
akan menimbulkan situasi yang sulit dalam kehidupan pekawinannya. Meskipun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
demikian, tidak berarti pasangan muda tidak dapat mencapai kesejahteraan
psikologis dalam kehidupannya. Kebahagiaan dapat diperoleh jika individu
mampu menjalankan fungsi psikologisnya dengan baik (Hawthorne dalam Manz,
2007). Jadi, individu akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan jika ia mampu
menjalankan fungsi psikologis positif sehingga dapat mencapai kondisi psikologis
yang baik.
Kondisi psikologis seseorang memiliki peran penting dalam
perkawinannya. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan
disebabkan oleh faktor psikologis. Seseorang yang dapat menjalankan fungsi-
fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan memiliki kondisi psikologis
yang baik. Ryff (1989) menyebutkan bahwa fungsi positif artinya manusia
dipandang sebagai mahluk yang mempunyai potensi dan mampu mengembangkan
dirinya. Menurut Safaria dan Saputra (2009), pemahaman akan suasana emosi,
mengetahui secara jelas makna dari perasaan, mampu mengungkapkan perasaan
secara konstruktif merupakan hal-hal yang mendorong tercapainya kesejahteraan
psikologis (psychological well being), kebahagiaan dan kesehatan jiwa individu.
Orang yang mampu memahami emosi apa yang sedang mereka alami dan
rasakan, akan lebih mampu mengelola emosinya secara positif. Sebaliknya, orang
yang kesulitan memahami emosi apa yang sedang bergejolak dalam perasaannya,
menjadi rentan terpenjara oleh emosinya sendiri. Hal ini terkait dengan
kemampuan individu dalam menjalankan fungsi psikologisnya. Individu yang
mampu menjalankan fungsi psikologisnya dengan baik, akan memiliki kondisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
psikologis yang baik pula. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang
baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi.
Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu
menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya.
Menurut Walgito (1984) kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan suami
istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan perkawinannya secara
baik dan objektif. Individu yang mampu mengendalikan kondisi emosinya saat
menghadapi situasi yang menyenangkan ataupun ketika berada dalam situasi yang
tidak menyenangkan adalah mereka yang memiliki kestabilan emosi. Apabila
pasangan muda memiliki kestabilan emosi, maka mereka akan menghasilkan
reaksi emosi yang tepat, tidak berlebihan dalam menghadapi masalah yang
muncul dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah pada tercapainya
kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada pasangan muda tersebut.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Semiun (2006), yang menyebutkan
bahwa, apabila emosi itu dapat dikendalikan dengan tepat maka emosi tersebut
bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
E. Kerangka Pemikiran
Hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada
pasangan muda dapat digambarkan dengan kerangka pikiran sebagai berikut:
Pasangan Muda Psychological Well BeingKestabilan Emosi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
F. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang dapat diajukan adalah: ada
hubungan positif antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada
pasangan muda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Tergantung : Psychological well being
2. Variabel Bebas : Kestabilan Emosi
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Kestabilan Emosi
Kestabilan emosi adalah suatu kondisi emosi yang tetap, tidak mudah
berubah, tidak labil, memiliki kontrol emosi yang baik dan tidak mudah
mengalami gangguan emosional dan mampu mengendalikan emosi secara
tepat ketika menghadapi kondisi yang menyenangkan ataupun ketika
menghadapi masalah dalam hidup. Tingkat kestabilan emosi akan diungkap
melalui skala kestabilan emosi yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan
aspek-aspek kestabilan emosi yang disimpulkan berdasarkan pendapat
beberapa ahli (Aleem, 2005; Schneiders, 1991; Semiun, 2006; Li & Hui,
2005; Witherington, 1978; Safaria & Saputra, 2009; Gerungan, 2004), yaitu
kontrol emosi, respon emosi dan kematangan emosi. Semakin tinggi skor yang
diperoleh subjek berarti semakin tinggi kestabilan emosi, sebaliknya semakin
rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah kestabilan emosi
dari subjek tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
2. Psychological Well Being
Psychological well being adalah kondisi dimana individu mampu
menghadapi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam
kehidupannya, mampu melalui periode sulit dalam kehidupan dengan
mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi
psikologi positif yang ada dalam dirinya, sehingga individu tersebut
merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap
hidupnya. Untuk mengukur tingkat psychological well being pada subjek
yang akan diteliti, digunakan skala psychological well being yang dibuat
sendiri oleh peneliti yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi yang
dikemukakan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri, hubungan positif
dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti
semakin tinggi tingkat psychological well being, sebaliknya semakin rendah
skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah tingkat psychological well
being dari subjek tersebut.
C. Populasi, Sampel dan Sampling
Populasi penelitian ini adalah pasangan muda yang ada di Kaplingan,
kelurahan Jebres, kecamatan Jebres Surakarta. Peneliti memilih daerah Kaplingan
sebagai populasi penelitian dikarenakan beberapa alasan. Berdasarkan survei yang
dilakukan peneliti dan data yang diperoleh dari kelurahan Jebres, daerah ini
memiliki penduduk yang cukup banyak (terdiri dari 6 RT) di kelurahan Jebres dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
berdasarkan survei prapenelitian yang dilakukan peneliti, di sana terdapat cukup
banyak pasangan muda yang sesuai dengan karakteristik pasangan muda yang
diinginkan dalam penelitian ini, yaitu 105 pasangan (210 orang), serta wilayahnya
yang tidak terlalu jauh mempermudah peneliti karena dapat menghemat waktu,
tenaga dan biaya.
Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah sebagian dari
pasangan muda yang ada di Kaplingan, yaitu 47 pasangan (94 orang) yang dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok subjek untuk uji coba dan kelompok
subjek untuk penelitian. Perbandingan kedua kelompok tersebut adalah 1 : 2,
sehingga diperoleh 17 pasangan (34 orang) dari RT 6 untuk uji coba dan 30
pasangan (60 orang) dari RT 1 dan RT 4 untuk penelitian.
Pemilihan sampel menggunakan purposive cluster random sampling.
Purposive karena subjek pada penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria tertentu
sesuai dengan karakteristik yang diinginkan atau sesuai dengan tujuan penelitian.
Karakteristik yang ditentukan untuk subjek penelitian ini antara lain sebagai
berikut.
1. Individu yang telah menikah (suami dan istri)
2. Mencapai usia dewasa muda (18-40 tahun)
3. Istri dengan kriteria usia 23-35 tahun dan suami denga kriteria usia 27-35
tahun, rentang usia demikian dipilih agar usia dapat menjadi kendali atau
kontrol dalam pemilihan subjek penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
4. Usia perkawinan yang masih muda atau merupakan perisode awal di dalam
perkawinan, yaitu kurang dari sepuluh tahun
Cluster dikarenakan randomisasi dilakukan pada RT yang ada di
Kaplingan, kelurahan Jebres, kecamatan Jebres, dimana RT ini dianggap sebagai
kelas. Pemilihan 47 pasangan (94 orang) didapatkan dengan cara mengundi RT
yang ada di desa Kaplingan dengan menggunakan gulungan kertas yang ditulis
nama-nama RT (RT 1-RT 6). Hasil randomisasi menghasilkan RT 1 (18 pasangan
muda atau 36 orang pasangan muda), RT 4 (12 pasangan muda atau 24 orang
pasangan muda) dan RT 6 (17 pasangan muda atau 34 orang pasangan muda)
yang digunakan sebagai sampel penelitian.
D. Metode Pengumpulan Data
1. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
responden penelitian dan merupakan data utama dalam penelitian. Dalam
penelitian ini data primer diperoleh dari skala kestabilan emosi dan skala
psychological well being.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data penunjang yang diperoleh dari tempat
penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini berupa arsip yang diperoleh
dari kelurahan tentang tingkat pendidikan subjek penelitian. Data
penunjang ini digunakan untuk analisis deskriptif mengenai hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
penelitian. Data mengenai tingkat pendidikan subjek penelitian dicatat
kembali oleh peneliti dan dilampirkan dalam penelitian ini.
2. Alat Pengumpul Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis skala psikologi, yaitu skala
psikologi tentang kestabilan emosi dan skala tentang psychological well being.
Selain itu, untuk mengetahui deskripsi lain mengenai responden, yaitu tingkat
pendidikan, digunakan data atau arsip kelurahan. Skala yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan modifikasi skala Likert, dimana masing-masing skala
memiliki ciri-ciri empat alternatif jawaban yang dipisahkan menjadi
pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable, dengan cara penilaian
dengan menggunakan empat kategori jawaban yaitu sebagai berikut:
Tabel 1
Penilaian Pernyataan Favorable dan Pernyataan Unfavorable
Pilihan JawabanBentuk Pernyataan
Favorable Unfavorable
Sangat Sesuai (SS) 4 1
Sesuai (S) 3 2
Tidak Sesuai (TS) 2 3
Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4
Penelitian ini menggunakan empat alternatif jawaban dengan
menghilangkan alternatif jawaban “ragu-ragu”, hal tersebut dilakukan karena
“ragu-ragu” mengindikasikan subjek tidak yakin dengan jawaban yang
diberikan (Azwar, 2008). Penghilangan alternatif jawaban “ragu-ragu”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
dilakukan peneliti sebagai upaya agar subjek hanya memberikan jawaban yang
diyakini oleh subjek.
Penilaian skor bergerak mulai dari satu sampai empat, hal ini
dilakukan peneliti dengan alasan ada beberapa pendapat bahwa nilai nol dapat
diartikan bahwa subjek tidak memiliki hal yang disebutkan dalam suatu
pernyataan dalam skala.
a. Skala Kestabilan Emosi
Kestabilan emosi dalam penelitian ini akan diukur dengan
menggunakan skala kestabilan emosi yang dibuat sendiri oleh peneliti
berdasarkan aspek-aspek kestabilan emosi yang disimpulkan berdasarkan
pendapat beberapa ahli (Aleem, 2005; Schneiders, 1991; Semiun, 2006; Li
& Hui, 2005; Witherington, 1978; Safaria & Saputra, 2009; Gerungan,
2004), yaitu kontrol emosi, respon emosi dan kematangan emosi.
Skala kestabilan emosi dalam penelitian ini terdiri atas aitem
favorable dan aitem unfavorable yang masing-masing terdiri atas empat
alternatif jawaban. Aitem favorable adalah aitem yang mengandung nilai-
nilai yang mendukung secara positif terhadap suatu pernyataan tertentu.
Sedangkan aitem unfavorable adalah aitem yang mengandung nilai-nilai
yang mendukung secara negatif terhadap suatu pernyataan tertentu.
Blueprint skala kestabilan emosi sebelum uji coba dapat dilihat
pada tabel 2 berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Tabel 2
Blueprint Skala Kestabilan Emosi (Sebelum Uji Coba)
No Aspek Indikator AitemFavorable Unfavorable
1. Kontrolemosi
- Intensitas ledakkan emosi 5 33, 8- Menahan kemarahan di
depan umum21, 38 11, 14
- Mampu menghadapi situasiekstrim dengan tenang
18, 25 3, 24
- Frustrasi yang wajar atautidak berlebihan
7, 34, 43 29, 41
2. Responemosi
- Emosi yang ditunjukkan 1, 12, 20 22, 26, 31, 40- Sedikit respon emosi negatif 4, 15, 28, 30 17, 36, 44
3. Kematanganemosi
- Penyesuaian diri terhadapstress
2, 9 10, 16
- Tidak mudah cemas ataukhawatir serta marah
27, 35 13, 42
- Mampu melaksanakanaktivitas dengan baik
6 37, 23
- Memiliki konsentrasi yangbaik
39, 45 19, 32
Jumlah 22 23Jumlah Total 45
b. Skala Psychological Well Being
Psychological well being dalam penelitian ini akan diukur dengan
menggunakan skala psychological well being yang dibuat sendiri oleh
peneliti berdasarkan dimensi-dimensi psychological well being yang
dikemukakan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri, hubungan positif
dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi.
Skala psychological well being dalam penelitian ini terdiri atas
aitem favorable dan aitem unfavorable yang masing-masing terdiri atas
empat alternatif jawaban. Aitem favorable adalah aitem yang mengandung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
nilai-nilai yang mendukung secara positif terhadap suatu pernyataan
tertentu. Sedangkan aitem unfavorable adalah aitem yang mengandung
nilai-nilai yang mendukung secara negatif terhadap suatu pernyataan
tertentu.
Blueprint skala psychological well being sebelum uji coba dapat
dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 3
Blueprint Skala Psychological Well Being (Sebelum Uji Coba)
No. DimensiNomor Aitem
JumlahFavorable Unfavorable
1. Penerimaan diri 2,11,20,30 4,25,29 72. Hubungan positif
dengan orang lain1,17,31,39 9,13,21,33 8
3. Kemandirian 5,19,24,45 26,38,40,43 84. Penguasaan lingkungan 8,12,27,32 14,18,37 75. Tujuan hidup 3,15,28 7,23,35,42 76. Pertumbuhan pribadi 6,16,34,44 10,22,36,41 8 Jumlah total 23 22 45
E. Validitas dan Reliabilitas
1. Validitas
Vaditas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan review
professional judgement, yaitu penilaian alat dengan dibimbing oleh orang-
orang yang sudah berkompeten dan ahli di bidangnya. Dalam hal ini peneliti
dibantu oleh dosen pembimbing. Uji validitas selanjutnya adalah prosedur
seleksi aitem berdasarkan data empiris dengan melakukan analisis kuantitatif
terhadap parameter-parameter aitem. Pada tahap ini akan dilakukan seleksi
item berdasarkan daya beda aitem. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
korelasi aitem total biasanya digunakan batasan 0,30. Namun dalam penelitian
ini, batasan korelasi aitem total yang digunakan adalah 0,25. Hal ini menurut
Crocker dan Algina (dalam Azwar, 2007) umumnya koefisien rix di atas 0,30
atau di atas 0,25 sudah dianggap mengindikasikan daya diskriminasi yang
baik. Untuk mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0.
2. Reliabilitas
Teknik untuk mengetahui reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini
menggunakan koefisien Cronbach’s Alpha. Pertimbangan memilih teknik ini
karena data untuk menghitung koefisien reliabilitas alpha diperoleh lewat
penyajian satu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada
sekelompok responden (single-trial administration), sehingga problem yang
mungkin timbul pada pendekatan reliabilitas terulang dapat dihindari (Azwar,
2008). Untuk mempermudah perhitungan penelitian ini menggunakan bantuan
program SPSS 17.0 for windows.
F. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu kestabilan emosi sebagai
variabel bebas dan psychological well being sebagai variabel tergantung, sehingga
menggunakan metode product moment dari Karl Pearson untuk melakukan
pengujian dan pembuktian secara statistik hubungan antara kestabilan emosi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
dengan psychological well being pada pasangan muda. Teknik korelasi product
moment Pearson ini dipilih karena kedua variabel pada penelitian ini akan
menghasilkan data yang berupa data interval. Untuk mempermudah perhitungan
metode ini akan diolah dengan program Statistical Product and Service Solution
(SPSS) versi 17.0.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian
Penelitian mengenai hubungan antara kestabilan emosi dengan
psychological well being pada pasangan muda dilaksanakan di Kaplingan,
kelurahan Jebres, kecamatan Jebres Surakarta. Daerah Kaplingan merupakan
RW XX yang ada di kelurahan Jebres yang terdiri dari 6 RT. Berdasarkan data
yang diperoleh dari bank data kelurahan Jebres Mei 2010 terdapat 548 jiwa
yang merupakan penduduk tetap di daerah Kaplingan. Berikut rekapitulasi
hasil coklit (pendataan yang dilakukan pihak kelurahan) tahun 2009 kelurahan
Jebres.
Tabel 4
Rekapitulasi Hasil Coklit Desa Kaplingan Tahun 2009
RT Diterima Pindah Bukan
Penduduk
Meninggal Ganda
(double)
Tambahan Jumlah
I 85 - - - 1 2 86
II 100 - - 2 - 8 106
III 97 1 - - 2 6 100
IV 92 - 3 - 2 8 95
V 68 1 - - - 15 82
VI 75 - - - - 4 79
Jumlah 517 2 3 2 5 43 548
Sumber: Arsip kelurahan Jebres
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Dari 548 penduduk di Kaplingan, terdapat 210 orang yang merupakan
pasangan muda yang sesuai dengan karakteristik di dalam penelitian ini.
Jumlah tersebut diperoleh peneliti dari survei prapenelitian dengan melakukan
pendataan berdasarkan arsip di masing-masing RT dan wawancara. Berikut
hasil pendataan pasangan muda di Kaplingan yang dilakukan peneliti.
Tabel 5
Hasil Pendataan Pasangan Muda di Kaplingan
RT Jumlah Pasangan Muda
I 38 orang
II 48 orang
III 44 orang
IV 24 orang
V 22 orang
VI 34 orang
Jumlah 210 orang
2. Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan lancar
dan terarah. Hal-hal yang dipersiapkan adalah persiapan yang berkaitan
dengan perijinan serta penyusunan alat ukur yang digunakan dalam penelitian.
a. Persiapan Administrasi
Persiapan administrasi penelitian meliputi segala urusan perijinan
yang diajukan pada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan
penelitian. Permohonan ijin tersebut meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
a. Peneliti meminta surat pengantar dari Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
ditujukan kepada pimpinan kelurahan Jebres Surakarta dengan nomor
820/H27.06.7.1/TU/2011 agar bisa melakukan penelitian di Kaplingan,
kelurahan Jebres.
b. Peneliti mendapatkan surat pengantar permohonan ijin penelitian
dengan nomor 074/22/1/2011 dari pimpinan kelurahan Jebres
Surakarta yang ditujukan kepada ketua RT 01, RT 04 dan RT 06 di
Kaplingan.
c. Surat pengantar dari pimpinan kelurahan Jebres surakarta, selanjutnya
dibawa peneliti untuk ditujukan kepada masing-masing ketua RT
tersebut, dan setelah mendapat ijin dari ketua RT yang bersangkutan,
peneliti baru melaksanakan penelitian dengan dibantu salah satu warga
yang telah ditentukan.
b. Persiapan Alat Ukur
Penelitian ini menggunakan dua skala psikologi, yaitu skala
kestabilan emosi dan skala psychological well being. Persiapan mengenai
alat ukur sendiri telah melalui proses professional judgement yang
dilakukan oleh pembimbing. Mengenai distribusi aitem kedua skala
psikologi serta aspek dan dimensi apa saja yang mendasarinya telah
dibahas pada bab sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
3. Pelaksanaan Uji Coba (Try Out)
Pelaksanaan uji coba (try out) dilakukan sebelum skala penelitian
digunakan, gunanya adalah untuk mengetahui validitas dan reliabilitas skala
penelitian. Menurut Azwar (2008), uji coba terhadap aitem skala psikologi
bertujuan untuk mengetahui apakah kalimat dalam aitem mudah dan dapat
dipahami oleh responden sebagaimana yang diinginkan oleh penulis aitem,
dan sebagai salah satu cara praktis untuk memperoleh data jawaban dari
subjek yang akan digunakan untuk penskalaan.
Uji coba (try out) dilakukan sendiri oleh peneliti dengan dibantu oleh
salah satu warga dari lingkungan setempat. Uji coba (try out) dilakukan oleh
peneliti dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah. Uji coba (try out)
dilakukan selama 2 hari, yaitu tanggal 5-6 Januari 2011. Uji coba (try out)
dilakukan pada 34 orang yang merupakan pasangan muda yang ada di RT 6
di Kaplingan. Seluruh skala dapat dianalisis, karena skala langsung dijawab di
depan peneliti dan peneliti melakukan pengecekan langsung setelah subjek
selesai menjawab. Jumlah yang demikian sudah memenuhi syarat untuk
dilakukan skoring yang kemudian dapat dianalisis nilai validitas dan
reliabilitasnya.
4. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas skala kestabilan emosi dan skala psychological well being
dilakukan dengan seleksi aitem berdasarkan data empiris dengan melakukan
analisis kuantitatif terhadap parameter-parameter aitem. Pada tahap ini akan
dilakukan seleksi item berdasarkan daya beda aitem. Kriteria pemilihan aitem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
berdasarkan korelasi aitem total biasanya digunakan batasan 0,30. Namun
dalam penelitian ini, batasan korelasi aitem total yang digunakan adalah
0,25. Hal ini menurut Crocker dan Algina (dalam Azwar, 2007) umumnya
koefisien rix di atas 0,30 atau di atas 0,25 sudah dianggap mengindikasikan
daya diskriminasi yang baik. Uji validitas akan menentukan aitem yang gugur
atau sahih. Sedangkan perhitungan reliabilitasnya dihitung dengan teknik
analisis reliabilitas Cronbach’s Alpha. Perhitungan validitas dan reliabilitas
skala pada pendekatan ini dibantu dengan menggunakan program analisis
validitas dan reliabilitas program statistik SPSS 17.0 for Windows.
a. Skala Kestabilan Emosi
Berdasarkan hasil analisis, dari 45 aitem yang digunakan dalam uji
coba, didapatkan 29 aitem valid dan 16 aitem gugur. Aitem yang valid
mempunyai nilai corrected item-total correlation bergerak dari 0,261
sampai 0,603 dan koefisien reliabilitas alpha (a) = 0,889. Distribusi aitem
skala kestabilan emosi yang valid dan gugur adalah sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Tabel 6
Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Kestabilan Emosi
No. Aspek Indikator Favorable Unfavorable Jumlah
Valid Gugur Valid Gugur Valid Gugur
1. Kontrol Emosi
- Intensitas ledakkan emosi 5 - 33 8
9 7
- Menahan kemarahan didepan umum 38 21 11 14
- Mampu menghadapisituasi ekstrim dengantenang
18 25 3, 24 -
- Frustrasi yang wajar atautidak berlebihan 7 34, 43 41 29
2. Respon Emosi
- Emosi yang ditunjukkan 1, 20 12 22,26, 40
3110 4
- Sedikit respon emosinegatif
4, 15,30 28 17, 44 36
3.KematanganEmosi
- Penyesuaian diri terhadapstress 2 9 10, 16 -
10 5
- Tidak mudah cemas ataukhawatir serta marah 35 27 13 42
- Mampu melaksanakanaktivitas dengan baik 6 - 23 37
- Memiliki konsentrasi yangbaik
39, 45 - 32 19
Jumlah total 14 8 15 8 29 16
b. Skala Psychological Well Being
Berdasarkan hasil analisis, dari 45 aitem yang digunakan dalam uji
coba, didapatkan 33 aitem valid dan 12 aitem gugur. Aitem yang valid
mempunyai nilai corrected item-total correlation bergerak dari 0,262
sampai 0,729 dan koefisien reliabilitas alpha (a) = 0,925. Distribusi aitem
skala psychological well being yang valid dan gugur adalah sebagai
berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Tabel 7
Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Psychological Well Being
No. DimensiFavorable Unfavorable Jumlah
Valid Gugur Valid Gugur Valid Gugur
1. Penerimaan diri2, 11,
30 20 4, 25 29 5 2
2.Hubunganpositif denganorang lain
17, 31,39
1 9, 13, 21 33 6 2
3. Kemandirian 5, 24,45 19 26, 38,
40, 43 - 7 1
4. Penguasaanlingkungan
8, 27,32 12 18, 37 14 5 2
5. Tujuan hidup 3, 5, 28 - 7, 35 23, 42 5 2
6. Pertumbuhanpribadi
6, 16,34 44 36, 41 10, 22 5 3
Jumlah total 18 5 15 7 33 12
5. Penyusunan Alat Ukur Penelitian
Setelah melakukan uji validitas dan reliabilitas, langkah selanjutnya
adalah menyusun kembali butir-butir aitem yang sahih dan dipergunakan
untuk mengambil data yang sesungguhnya. Adapun distribusi ulang skala
penelitian untuk skala kestabilan emosi dan skala psychological well being
dapat dilihat pada tabel 8 dan tabel 9 berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Tabel 8
Distribusi Aitem Skala Kestabilan Emosi Setelah Uji Coba
No Aspek Indikator AitemFavorable Unfavorable
1. Kontrolemosi
- Intensitas ledakkan emosi 5 33 (29)- Menahan kemarahan di
depan umum38 (9) 11
- Mampu menghadapi situasiekstrim dengan tenang
18 3, 24
- Frustrasi yang wajar atautidak berlebihan
7 41 (19)
2. Responemosi
- Emosi yang ditunjukkan 1, 20 22, 26, 40 (28)- Sedikit respon emosi negatif 4, 15, 30 (21) 17, 44 (12)
3. Kematanganemosi
- Penyesuaian diri terhadapstres
2 10, 16
- Tidak mudah cemas ataukhawatir serta marah
35 (27) 13
- Mampu melaksanakanaktivitas dengan baik
6 23
- Memiliki konsentrasi yangbaik
39 (8), 45 (14) 32 (25)
Jumlah 14 15Jumlah Total 29
Tabel 9
Distribusi Aitem Skala Psychological Well Being Setelah Uji Coba
No. Dimensi Nomor Aitem JumlahFavorable Unfavorable
1. Penerimaan diri 2, 11, 30 4, 25 52. Hubungan positif dengan
orang lain17, 31, 39 (1) 9, 13, 21 6
3. Kemandirian 5, 24, 45 (20) 26,38 (22),40 (33),43 (10)
7
4. Penguasaan lingkungan 8, 27, 32 18, 37 (12) 55. Tujuan hidup 3,15,28 7, 35 (29) 56. Pertumbuhan pribadi 6, 16, 34 (19) 36 (14), 41 (23) 5 Jumlah total 18 15 33
Keterangan: nomor dalam tanda kurung ( ) adalah nomor aitem baru untuk
penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Penentuan Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah individu yang merupakan pasangan
muda yang ada di RT 01 dan RT 04 di Kaplingan, kelurahan Jebres Surakarta.
Jumlah total pasangan muda tersebut adalah 60 orang, yang sebelumnya pada
saat survei pra penelitian peneliti memperoleh 62 orang, namun saat penelitian
dilaksanakan individu tersebut sudah pindah. Jumlah tersebut diperoleh
peneliti sesuai dengan kriteria sampel penelitian yang sudah ditetapkan
sebelumnya. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan
secara random dengan teknik purposive cluster random sampling.
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan selama 4 hari tanggal 12-15 Januari
2011. Sebelumnya, peneliti meminta ijin terlebih dahulu kepada ketua RT 01
dan RT 04 dengan membawa surat pengantar dari pimpinan kelurahan Jebres.
Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan berkunjung dari rumah ke rumah.
Peneliti dibantu oleh salah satu warga setempat yang lebih memahami daerah
tersebut. Sedikit berbeda dengan pelaksanaan uji coba (try out), dimana tidak
semua skala dijawab di depan peneliti. Terdapat beberapa subjek yang tidak
memungkinkan untuk bertemu langsung dengan peneliti, karena masalah
waktu dan kesibukan, sehingga skala diberikan kepada subjek dengan
dititipkan pada suami atau istri mereka, yang kemudian diambil oleh peneliti
pada hari berikutnya. Selain itu, ada beberapa skala yang sudah selesai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
dijawab dikumpulkan di tempat ketua RT setempat, sehingga peneliti tidak
mengambil kembali skala tersebut di rumah subjek penelitian. Peneliti
menyiapkan skala sebanyak 62 eksemplar sesuai dengan jumlah subjek hasil
survei pra penelitian, namun total skala yang dibagikan hanya 60 eksemplar,
karena ada 2 orang subjek yang sudah pindah. Jumlah 60 skala tersebut
semuanya dapat dianalisis. Selanjutnya, dapat dilakukan skoring pada skala
yang telah terkumpul.
3. Pelaksanaan Skoring
Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah memberikan
skor pada hasil pengisian skala yang telah diisi oleh subjek untuk keperluan
analisis data. Kedua skala menggunakan sistem penilaian dengan kategori
Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS).
Aitem-aitem dalam kedua skala ini terdiri aitem yang favorable dan aitem
unfavorable. Skor untuk aitem yang favorable yaitu SS = 4, S = 3, TS = 2,
STS = 1. Skor untuk aitem yang unfavorable yaitu SS = 1, S = 2, TS = 3, STS
= 4. Skor total setiap aitem yang diperoleh dari subjek penelitian dijumlahkan
untuk tiap-tiap skala. Total skor setiap aitem dari setiap skala yang diperoleh
subjek ini akan digunakan dalam analisis data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
C. Hasil Analisis Data Penelitian
1. Uji Asumsi
Perhitungan analisis data dilakukan setelah uji asumsi yang meliputi
uji normalitas sebaran, dan uji linieritas hubungan, mengingat bahwa syarat
untuk mencari koefisien hubungan antar dua variabel ( r ) adalah data yang
digunakan memiliki distribusi normal dan hubungannya linear. Perhitungan
dalam analisis ini dilakukan dengan bantuan komputer program statistik SPSS
17.0 for Windows.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi data
berdistribusi normal atau tidak. Jika analisis menggunakan metode
parametrik, maka persyaratan normalitas harus terpenuhi, yaitu data
berasal dari distribusi yang normal. Dalam penelitian ini akan digunakan
uji One Sample Kolmogorov-Smirnov dengan taraf signifikansi 0,05. Data
dinyatakan berdistribusi normal jika signifikansi lebih besar dari 5% atau
0,05 Priyatno (2009). Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut
ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Tabel 10
Hasil Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Kestabilan Emosi .083 60 .200* .984 60 .613
Psychological Well
Being
.065 60 .200* .984 60 .598
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Berdasarkan hasil perhitungan dalam tabel di atas, diperoleh nilai
K-S sebesar 0,200. Karena 0,200 > 0,05 maka uji normalitas dalam
penelitian ini dapat mewakili populasi. Hal tersebut bahwa sampel dalam
penelitian dapat mewakili populasi.
b. Uji Linieritas Hubungan
Uji linieritas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel
mempunyai hubungan yang linier atau tidak secara signifikan. Pengujian
pada SPSS 17.0 for Windows dengan menggunakan Test for Linearity
dengan taraf signifikansi 0,05. Dua variabel dikatakan mempunyai
hubungan yang linier bila signifikansi (Linearity) kurang dari 0,05
(Priyatno, 2009). Hasil uji linieritas dapat dilihat pada tabel berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Tabel 11
Hasil Uji Linearitas Antara Variabel Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being
Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel di atas, menunjukkan
bahwa hubungan antara variabel kestabilan emosi dan psychological well
being menghasilkan nilai signifikansi Linearity sebesar 0,002. Karena
signifikansi 0,002 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa antara variabel
kestabilan emosi dan psychological well being terdapat hubungan yang
linier.
2. Uji Hipotesis
Setelah dilakukan uji asumsi diketahui sebaran data kestabilan emosi
dan psychological well being berdistribusi normal dan linier. Karena syarat
untuk melakukan uji hipotesis, yaitu uji asumsi telah terpenuhi, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang
diajukan dengan analisis Korelasi Bivariate Pearson atau sering disebut
dengan teknik korelasi Product Moment Pearson untuk mengetahui keeratan
ANOVA Tabel
Sum ofSquares Df
MeanSquare F Sig.
PsychologicalWell Being*KestabilanEmosi
BetweenGroups
(Combined)
2786.250 23 121.141 1.440 .160
Linearity 959.293 1 959.293 11.401 .002
DeviationfromLinearity
1826.957 22 83.044 .987 .501
Within Groups 3029.000 36 84.139
Total 5815.250 59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
hubungan antara dua variabel tersebut dan untuk mengetahui arah hubungan
yang terjadi. Hasil uji hipotesis dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 12
Hasil Analisis Korelasi Bivariate Pearson
Correlations
Kestabilan Emosi Psychological Well
Being
Kestabilan Emosi Pearson Correlation 1 .406**
Sig. (2-tailed) .001
N 60 60
PsychologicalWell Being
Pearson Correlation .406** 1
Sig. (2-tailed) .001
N 60 60
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Menurut Priyatno (2009), nilai korelasi ( r ) berkisar antara 1 sampai -
1, nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan antar dua variabel
makin kuat, sebaliknya nilai mendekati 0 berarti hubungan antar dua variabel
semakin lemah. Nilai positif menunjukkan hubungan searah (X naik maka Y
naik) dan nilai negatif menunjukkan hubungan terbalik (X naik maka Y
turun).
Menurut Sugiyono (dalam Priyatno, 2009) pedoman untuk
memberikan interpretasi koefisien korelasi adalah sebagai berikut.
0,00 – 0,199 = Sangat rendah
0,20 – 0,399 = Rendah
0,40 – 0,599 = Sedang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
0,60 – 0,799 = Kuat
0,80 – 1,000 = Sangat Kuat
Dari hasil analisis korelasi sederhana ( r ) diperoleh korelasi antara
kestabilan emosi dengan psychological well being adalah 0,406 dan
didapatkan p value sebesar 0,001. Karena p value < 0,05 (a) maka hipotesis
diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan antara kestabilan emosi
dengan psychological well being. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang
sedang antara kestabilan emosi dengan psychological well being. Sedangkan
arah hubungan adalah positif karena nilai r positif ( + ), berarti semakin tinggi
kestabilan emosi maka semakin meningkatkan psychological well being.
3. Peran Kestabilan Emosi terhadap Psychological Well Being
Untuk mengetahui besarnya peran kestabilan emosi terhadap
psychological well being pada pasangan muda adalah menggunakan koefisien
determinan, yaitu R2 (R Square), atau kwadrat dari koefisien korelasi
kestabilan emosi dengan psychological well being. Berdasarkan hasil
perhitungan dengan SPSS, dapat dilihat bahwa R2 adalah 0,165, sehingga
dikatakan bahwa peran kestabilan emosi terhadap psychological well being
pada pasangan muda adalah 16,5%. Berikut tabel rangkuman hasil
perhitungan R2 (R Square).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Tabel 13
Peran Kestabilan Emosi terhadap Psychological Well Being
Variabel Bebas => Variabel Tergantung R P R2
Kestabilan Emosi => Psychological WellBeing
0,406 0,001 0,165
4. Deskripsi Statistik
Gambaran umum data penelitian dapat dilihat pada tabel deskripsi data
penelitian yang meliputi variabel kestabilan emosi dan psychological well
being berikut ini.
Tabel 14
Deskripsi Statistik Data Penelitian
Skala JumlahSubjek
Data HipotetikM SD
)
Data EmpirikM SD
)SkorMin
SkorMaks
SkorMin
SkorMaks
KestabilanEmosi
60 29 116 72,5 14,5 70 103 89.02 5.882
PsychologicalWell Being 60 33 132 82,5 16,5 76 118 99.75 9.928
Keterangan:M : MeanSD ( ) : Standar Deviasi
Deskripsi data penelitian di atas menggambarkan kategorisasi dari
masing-masing variabel yaitu kestabilan emosi dan psychological well being.
Kategorisasi dibagi menjadi tiga golongan yaitu tinggi, sedang dan rendah.
Penentuan kategori tersebut didasarkan pada tingkat diferensiasi yang
dikehendaki. Namun untuk memperoleh kategori perlu ditentukan terlebih
dahulu batasan yang akan digunakan berdasarkan nilai deviasi standar dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
memperhitungkan rentangan nilai maksimal dan minimum teoritisnya.
Kategori ini ditentukan berdasarkan sebaran empirik.
1) Skala Kestabilan Emosi
Skala kestabilan emosi dikategorikan untuk mengetahui tinggi
rendahnya nilai subjek. Kategorisasi yang dilakukan adalah dengan
mengasumsikan bahwa skor populasi subjek terdistribusi secara normal,
sehingga skor hipotetik didistribusi menurut model normal (Azwar, 1999).
Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 29 x 1 = 29 dan skor maksimal
yang dapat diperoleh subjek adalah 29 x 4 = 116, maka jarak sebarannya
adalah 116 – 29 = 87 dan setiap satuan deviasi standarnya bernilai 87 : 6,0
= 14,5, sedangkan rerata hipotetiknya 29 x 2,5 = 72,5. Apabila subjek
digolongkan dalam 3 kategorisasi, maka akan diperoleh kategorisasi serta
distribusi skor subjek seperti pada tabel 14.
Tabel 15
Kriteria Kategori Skala Kestabilan Emosi
Standar Deviasi Skor KategorisasiSubjek
RerataempirikFrek
(N)Presentase
(%)(MH+1,0 X 87 X Tinggi 43 72,00(MH-1,0 X<(MH+1,0 )
58 X < 87 Sedang 17 28,00 89.02
X < (MH-1,0 ) X < 58 Rendah - -Jumlah 60 100
Dari kategori skala kestabilan emosi seperti terlihat pada tabel,
dapat diambil kesimpulan bahwa 72 % subjek yang merupakan pasangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
muda di Kaplingan memiliki kestabilan emosi yang tinggi dan 28 %
subjek yang merupakan pasangan muda di Kaplingan tergolong memiliki
tingkat kestabilan emosi yang sedang. Jadi secara umum, subjek memiliki
tingkat kestabilan emosi yang tinggi.
2) Skala Psychological Well Being
Skala psychological well being dikategorikan untuk mengetahui
tinggi rendahnya nilai subjek. Kategorisasi yang dilakukan adalah dengan
mengasumsikan bahwa skor populasi subjek terdistribusi secara normal,
sehingga skor hipotetik didistribusi menurut model normal (Azwar, 1999).
Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 33 x 1 = 33 dan skor maksimal
yang dapat diperoleh subjek adalah 33 x 4 = 132, maka jarak sebarannya
adalah 132 – 33 = 99 dan setiap satuan deviasi standarnya bernilai 99 : 6,0
= 16,5, sedangkan rerata hipotetiknya 33 x 2,5 = 82,5. Apabila subjek
digolongkan dalam 3 kategorisasi, maka akan diperoleh kategorisasi serta
distribusi skor subjek seperti pada tabel 15.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Tabel 16
Kriteria Kategori Skala Psychological Well Being
Standar Deviasi Skor KategorisasiSubjek
RerataempirikFrek
(N)Presentase
(%)(MH+1,0 X 99 X Tinggi 34 57,00(MH-1,0 X<(MH+1,0 )
66 X < 99 Sedang 26 43,00 99.75
X < (MH-1,0 ) X < 66 Rendah - -Jumlah 60 100
Dari kategori skala psychological well being seperti terlihat pada
tabel, dapat diambil kesimpulan bahwa 57 % subjek yang merupakan
pasangan muda di Kaplingan memiliki psychological well being yang
tinggi dan 43 % subjek yang merupakan pasangan muda di Kaplingan
tergolong memiliki tingkat psychological well being yang sedang. Jadi
secara umum, subjek memiliki tingkat psychological well being yang
tinggi.
5. Deskripsi Data Sekunder Subjek Penelitian
Berikut ini akan disajikan deskripsi data sekunder subjek penelitian
yang kemudian diikuti oleh rangkuman data penelitian. Deskripsi data
sekunder subjek penelitian ini memberikan gambaran tambahan mengenai
pengaruh tingkat pendidikan subjek penelitian terhadap hasil pengukuran
tingkat psychological well being. Berikut rangkuman gambaran tingkat
pendidikan subjek penelitian yang dibuat peneliti berdasarkan data dari arsip
kelurahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Tabel 17
Deskripsi Subjek Berdasarkan Tingkat PendidikanNo Tingkat Pendidikan Responden
Jumlah %1 Tinggi (SMA-Perguruan Tinggi) 39 65,00%2 Rendah (SD-SMP) 21 35,00%
Jumlah 60 100%
Data tingkat pendidikan subjek tersebut digunakan untuk melihat
perbandingan tingkat psychological well being subjek penelitian dengan
menghitung rata-rata skor psychological well being pada subjek yang
berpendidikan tinggi (SMA-Perguruan Tinggi) dan subjek berpendidikan
rendah (SD-SMP). Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, rata-rata skor
psychological well being untuk subjek berpendidikan tinggi (SMA-Perguruan
Tinggi) adalah 100,72. Sedangkan rata-rata skor psychological well being
untuk subjek berpendidikan rendah (SD-SMP) adalah 97,95. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa rata-rata skor psychological well being untuk subjek
berpendidikan tinggi lebih tinggi dari pada rata-rata skor psychological well
being untuk subjek berpendidikan rendah (SD-SMP). Meskipun demikian,
perbedaan tersebut tidak begitu jauh yaitu hanya 2,77.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
D. Pembahasan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan
bahwa ada hubungan positif antara kestabilan emosi dengan psychological
well being pada pasangan muda telah terbukti. Hubungan positif antara kedua
variabel ini menunjukkan bahwa hubungannya searah, artinya semakin tinggi
kestabilan emosi individu, maka semakin tinggi pula psychological well
being-nya. Kekuatan hubungan antara kedua variabel ini ditunjukkan oleh
koefisien korelasi sebesar r = 0,406; p:0,001 (p < 0,05), sedangkan koefisien
determinan sebesar R2 = 0,165, artinya besar peranan yang diberikan oleh
kestabilan emosi terhadap psychological well being pada pasangan muda
adalah sebesar 16,5%, sedangkan 83,5% lainnya dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain.
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang diungkapkan Semiun (2006),
yaitu apabila emosi seseorang dapat dikendalikan dengan tepat, maka emosi
itu akan membawa kepada kesejahteraan (well being) dan kebahagiaan
individu tersebut. Individu yang dapat mengendalikan emosi dengan tepat
merupakan individu yang memiliki kestabilan emosi yang baik. Kondisi emosi
yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu menghadapi setiap
permasalahan yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya. Walgito
(1984) menjelaskan bahwa kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan
suami istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan
perkawinannya secara baik dan objektif. Sehingga, setiap masalah yang
muncul tidak membawa individu tersebut kepada penderitaan atau tertekan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Kestabilan emosi pasangan muda di Kaplingan secara umum tergolong
tinggi. Hal ini terlihat dari skor kestabilan emosi pasangan muda dalam
penelitian ini, dimana 72% subjek memiliki kestabilan emosi tinggi, dan 28%
sisanya termasuk sedang. Begitu pula dengan skor psychological well being
subjek yang secara umum juga tinggi, yaitu 57% subjek memiliki
psychological well being tinggi, dan 43% sisanya sedang. Hal ini
menunjukkan, makin tinggi kestabilan emosi subjek, maka psychological well
being-nya pun makin tinggi. Safaria dan Saputra (2009) menambahkan,
pemahaman akan suasana emosi, mengetahui secara jelas makna dari
perasaan, mampu mengungkapkan perasaan secara konstruktif merupakan hal-
hal yang mendorong tercapainya psychological well being. Hal tersebut
menjelaskan bahwa untuk mencapai psychological well being perlu adanya
suatu usaha untuk memahami kondisi emosi yang dialami diikuti pengaturan
dan penguasaan yang dilakukan individu ketika sedang menghadapi situasi
yang berbeda dengan kondisi emosi yang cenderung tidak mudah berubah dan
seimbang serta tidak berlebihan. Selanjutnya, pemahaman akan suasana emosi
tersebut akan membantu individu untuk mengendalikan emosinya dan
memilih reaksi emosi yang tepat dalam merespon situasi yang terjadi,
sehingga tidak merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan sekitar.
Meskipun dalam penelitian ini didapatkan bahwa kestabilan emosi
memiliki hubungan yang signifikan dengan psychological well being pada
pasangan muda, namun ternyata peran yang diberikan kestabilan emosi
terhadap psychological well being tergolong kecil, yaitu 16,5%. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
dimungkinkan terkait dengan bagaimana kondisi subjek itu sendiri, dimana
pengisian skala yang dilakukan subjek berbeda-beda karena tidak semua
subjek dapat bertemu langsung dengan peneliti. Selain itu, psychological well
being tetap dipengaruhi oleh banyak faktor lain seperti yang diungkapkan Ryff
dan Singer (1996); Schmutte dan Ryff (1997); Hurlock (1994); Ellison (dalam
Taylor, 1995); Cohen dan Syme (dalam Calhoun dan Accocella, 1990) yaitu
usia, jenis kelamin, kelas sosial (terkait pekerjaan, jenis kerja, status kerja dan
tingkat pendidikan), latar belakang budaya, kepribadian, kesehatan dan fungsi
fisik, tingkat otonomi, daya tarik fisik, kesempatan-kesempatan interaksi di
luar keluarga dan kondisi kehidupan, keseimbangan antara harapan dan
pencapaian serta pemilikan harta benda, penyesuaian emosional dan sikap
terhadap periode tertentu, realisme dari konsep diri dan konsep peran,
religiusitas serta dukungan sosial.
Dari beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well
being di atas, peneliti mencoba melihat perbedaan psychological well being
pasangan muda dengan melakukan analisis tambahan terkait dengan data
sekunder yang diperoleh dari arsip kelurahan, yaitu tingkat pendidikan subjek.
Data tingkat pendidikan subjek tersebut digunakan untuk melihat
perbandingan tingkat psychological well being subjek penelitian dengan
menghitung rata-rata skor psychological well being pada subjek yang
berpendidikan tinggi (SMA-Perguruan Tinggi) dan subjek berpendidikan
rendah (SD-SMP). Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, rata-rata skor
psychological well being untuk subjek berpendidikan tinggi (SMA-Perguruan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Tinggi) adalah 100,72. Sedangkan rata-rata skor psychological well being
untuk subjek berpendidikan rendah (SD-SMP) adalah 97,95. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa rata-rata skor psychological well being untuk subjek
berpendidikan tinggi lebih tinggi dari pada rata-rata skor psychological well
being untuk subjek berpendidikan rendah (SD-SMP). Meskipun demikian,
perbedaan tersebut tidak begitu jauh yaitu hanya 2,77.
Hasil analisis tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Ryff dan
Singer (1996). Ryff dan Singer (1996) menjelaskan bahwa tingginya tingkat
pendidikan seseorang menunjukkan bahwa individu memiliki faktor
pengaman (uang, ilmu, keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah,
tekanan dan tantangan (Ryff dan Singer, 1996). Hal ini dapat terkait dengan
kesulitan ekonomi, dimana kesulitan ekonomi menyebakan sulitnya individu
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga menyebabkan menurunnya
kesejahteraan psikologis (psychological well being). Kecilnya perbedaan
tersebut dimungkinkan karena terkait dengan situasi yang diukur. Pengaruh
tingkat pendidikan yang signifikan mungkin dapat lebih terlihat perbedaannya
pada situasi lain, misalnya mengukur psychological well being terkait dengan
situasi kerja.
Banyaknya hal lain yang mempengaruhi psychological well being
khususnya pada pasangan muda dalam kehidupan perkawinan memang tidak
bisa dipungkiri, dimana dalam kehidupan rumah tangga menyatukan dua
orang yang berbeda dalam hal kebutuhan, keinginan serta pengharapan
keduanya yang dimungkinkan dapat memicu berbagai permasalahan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
kehidupan rumah tangga, yang pada akhirnya turut mempengaruhi
psychological well being pada pasangan suami istri pada tingkat kestabilan
emosi tertentu. Menurut Florence (dalam Bastaman, 2001), di dalam
perkawinan yang bahagia sekalipun, akan mengalami suka dan duka.
Sadarjoen (2005) menambahkan bahwa setiap perkawinan tidak akan
terhindar dari konflik. Lebih lanjut ia menjelaskan, konflik-konflik yang
muncul pada awal perkawinan berasal dari harapan-harapan kedua pasangan
tersebut dan apa yang seharusnya terjadi pada perkawinan. Hal ini menurut
Hurlock (1994) dapat menimbulkan situasi yang sulit dalam kehidupan
perkawinannya.
Florence (dalam Bastaman, 2001) menjelaskan bahwa, pada permulaan
perkawinan biasanya masing-masing pihak mengharapkan secara berlebihan
tampilnya sikap atau tindakan yang ideal dari pasangannya. Dalam
kenyataannya, hal itu hampir tak pernah terjadi, karena biasanya masing-
masing pihak pada suatu saat akan menunjukkan beberapa sikap, tindakan dan
ucapan yang tidak disukai atau disetujui pasangannya. Pada kondisi demikian,
penting bagi individu untuk dapat menerima kenyataan tersebut secara
realistis, sehingga masalah yang muncul dapat diminimalisir dan mengarah
kepada tercapainya psychological well being dalam kehidupan
perkawinannya.
Untuk menjalin relasi perkawinan yang memuaskan dibutuhkan
kerjasama di antara pasangan suami istri (Sadarjoen, 2005). Kerjasama ini
dimulai dari hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari sampai dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
mengambil keputusan yang penting. Wilson (dalam Sadarjoen, 2005)
menyebutkan bahwa apabila pengambilan keputusan dilakukan atas dasar
kesepakatan bersama, akan memuaskan kedua pihak. Apabila pasangan suami
istri merasakan kepuasan dan kebahagiaan, diyakini akan mempengaruhi
psychological well being keduanya dalam kehidupan perkawinannya.
Sementara itu, Apabila pasangan suami istri tidak mampu melaksanakan hal-
hal kecil dalam rumah tangga, maka merekapun akan mendapatkan kesulitan
dalam mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang lebih kompleks di
kemudian hari. Masalah-masalah yang tidak terselesaikan inilah yang dapat
menyebabkan ketidakpuasan dalam perkawinannya.
Selain itu, perbedaan keinginan masing-masing individu dalam
kehidupan perkawinan dapat menimbulkan masalah yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi psychological well being pasangan suami istri tersebut.
Adanya perbedaan-perbedaan keinginan ini bukan berarti memaksakan salah
satu pihak untuk mengikuti keinginan pihak lainnya. Sadarjoen (2005)
menyebutkan bahwa, perkawinan yang baik dan memuaskan memberikan
peluang bagi kebebasan yang cukup, memberi kesempatan setiap pasangan
untuk berkembang secara terpisah, dan membuka peluang bagi kesempatan
kedua pasangan untuk mendapatkan tujuan-tujuan hidupnya. Lebih lanjut ia
menjelaskan, tujuan bersama dalam kehidupan perkawinan dapat diperoleh
dengan mengkomposisikan tujuan personal yang akan menyertakan keinginan
pasangan tersebut. Dengan demikian, tidak ada tujuan yang dieliminasi, tapi
dengan koordinasi yang baik di antara suami istri mencapai tujuan bersama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Komunikasi juga memiliki peranan penting dalam kehidupan
perkawinan. Smith (2003) menjelaskan bahwa adanya kemungkinan
perbedaan cara berkomunikasi di antara pasangan karena masing-masing
individu belajar komunikasi dari keluarganya masing-masing. Meskipun
demikian, perbedaan cara berkomunikasi dapat diatasi oleh kedua pasangan
apabila pasangan memiliki komunikasi yang baik di antara keduanya.
Bastaman (2001) menjelaskan bahwa komunikasi yang baik di antara
pasangan dalam menjalankan kehidupan perkawinan adalah harus memiliki
kesediaan dan keberhasilan untuk memberi dan menerima pendapat,
tanggapan, ungkapan, saran, umpan balik dari satu pihak ke pihak lain secara
baik yang dilakukan tanpa menyakiti hati salah satu pihak. Hal ini berarti,
apabila komunikasi yang demikian digunakan dalam setiap menghadapi
permasalahan, maka setiap permasalahan yang muncul dapat diselesaikan
dengan baik. Terselesaikannya setiap permasalahan yang muncul inilah yang
nantinya akan membawa kepada kehidupan perkawinan yang bahagia.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan adanya beberapa hal yang
turut mempengaruhi psycholocical well being seseorang, khususnya dalam
kehidupan perkawinan, antara lain harapan-harapan dari masing-masing
individu, kerjasama di antara pasangan, keinginan dan kebutuhan di antara
pasangan, serta bagaimana komunikasi di antara keduanya.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah bahwa penelitian ini hanya
mengungkap hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well
being pada pasangan muda dan hanya melihat perbedaan tingkat psychological
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
well being subjek berdasarkan tingkat pendidikannya saja, tanpa memandang
banyak faktor dan hal-hal lain yang mungkin dapat mempengaruhi
psychological well being khususnya dalam kehidupan rumah tangga. Selain
itu, jumlah subjek yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini juga
tergolong sedikit karena hanya terbatas di daerah Kaplingan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 73
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada hubungan positif yang signifikan antara kestabilan emosi dengan
psychological well being pada pasangan muda, dimana semakin tinggi
kestabilan emosi subjek, maka akan semakin tinggi pula psychological well
being-nya.
2. Peran yang diberikan kestabilan emosi terhadap psychological well being pada
pasangan muda adalah sebesar 16,5%, sementara 83,5% dipengaruhi oleh
faktor-faktor lainnya.
B. Saran
1. Bagi Pasangan Muda
Kepada pasangan muda diharapkan dapat menjadikan bahan pertimbangan
untuk meningkatkan kestabilan emosi dalam upaya mencapai psychological
well being dalam kehidupan perkawinannya di samping faktor-faktor lainnya.
2. Bagi Psikolog, Konselor Perkawinan dan Praktisi Terkait
Psikolog, konselor perkawinan dan praktisi terkait diharapkan dapat
memberikan masukan, saran dan penanganan yang efektif kepada pasangan
suami istri yang sedang menghadapi berbagai masalah dalam upaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
peningkatan kestabilan emosi agar tercapai psychological well being dengan
tetap mempertimbangkan berbagai faktor lain yang mempengaruhi
psychological well being individu tersebut.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama,
disarankan agar mengembangkan penelitian ini dengan mempertimbangkan
faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi psychological well being.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
DAFTAR PUSTAKA
Aleem, S. 2005. Emotional Stability among College Youth. Journal of IndianAcademy of Applied Psychology, 31, 100-102.
Amawidyati, A. G. dan Utami, M, S. 2007. Religiusitas dan Psychological WellBeing pada Korba Gempa. Jurnal Psikologi, 34, 164-174.
Anjani, C. dan Suryanto. 2006. Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal.Jurnal Psikologi, 8, 198-210.
Azwar, S. 1999. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Edisi Kedua.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
________. 2007. Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran PrestasiBelajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2008. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2008. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barus, G. 2005. Komunikasi Interpersonal Suami-Istri Menuju KeluargaHarmonis. Jurnal Intelektual, 3, 137-152.
Bastaman, H. D. 2001. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju PsikologiIslami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Calhoun, J. F. dan Acocella, J. R. 1990. Psychology of Adjustment and HumanRelationship 3rd Edition. USA: McGraw Hill.
Chaplin, J. P. 2000. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Gerungan, W. A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
Hauck, P. 1993. Membina Perkawinan Bahagia. Jakarta: Arcan.Hurlock, E. B. 1994. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Irma, A. 2003. Perbedaan Kestabilan Emosi Remaja yang Shalatnya Teraturdengan Kestabilan Emosi Remaja yang Shalatnya Tidak Teratur. JurnalPsikologi Islam, 3, 83-93.
Li, Y. dan Hui, C. 2005. Multilevel Model of Emotional Stability on EmergentGroup Leadership When Group Level Conflict Concerned. Tesis. TidakDiterbitkan. Chinese University of Hong Kong.
Manz, C. 2007. Emotional Discipline: 5 Langkah Menata Emosi untuk MerasaLebih Baik Setiap Hari. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Maryati, H., Alsa, A. dan Rohmatun. 2007. Kaitan Kematangan Emosi denganKesiapan Perkawinan pada Wanita Dewasa Awal di Kecamatan SemarangBarat. Jurnal Psikologi Proyeksi, 2, 25-35.
Morgan, C. T. 1986. Introduction to Psychology 7th Edition. New York: McGrawHill Book Company Inc.
Pengadilan Agama Surakarta. 2010. Melonjaknya Angka Perceraian Jadi SorotanLagi. http://pa-surakarta.go.id (Diakses 1 Juni 2010, 08.42 pm).
Priyatno, Duwi. 2009. Mandiri Belajar SPSS untuk Analisis Data & Uji Statistik.Yogyakarta: MediaKom.
Putri, A. G. dan Suryadi, D. 2007. Gambaran Kesejahteraan Psikologis SelebritiMenjelang Masa Lanjut Usia: Studi pada Penyanyi Wanita Era 60-an.Arkhe, 12, 91-100.
Rahmawati. 2003. Analisis Permintaan Anak pada Wanita Pasangan Usia Muda diKota Makasar. Tesis. Tidak diterbitkan. Program Pasca SarjanaUniversitas Hasanuddin Makasar.
Ryff, C. D. dan Singer, B. H. 1996. Psychological Well Being: Meaning,Measurement and Implications for Psychotherapy Research. Journal ofPsychotheraphy Psychosomatics, 65, 14-23.
Ryff, C. D. dan Keyes, C. L. M. 1995. The Structure of Psychological Well BeingRevisited. Journal of Personality and Social Psychology. 69, 719-727.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Ryff, C. D., Keyes, C. L. M. dan Shmotkin, D. 2002. Optimizing Well-Being: TheEmpirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and SocialPsychology, 82, 1007-1022.
Ryff, C. D. 1989. Happines Is Everything, or Is It? Exploration on the Meaning ofPsychological Well Being. Journal of Personality and Social Psychology,57, 1069-1081.
Sadarjoen, S. S. 2005. Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual danAlternatif Solusinya. Bandung: Refika Aditama.
Safaria, T. dan Saputra, N. E. 2009. Manajemen Emosi: Sebuah Panduan CerdasBagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta: BumiAksara.
Schmutte, P. S. dan Ryff, C. D. 1997. Personality and Well Being: ReexaminingMethodes and Meaning. Journal of Personality and Social Psychology,73,549-559.
Schneiders, A. 1991. Personal Adjustment and Mental Health. New York:Rinehart and Winston.
Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 1: Pandangan Umum Mengenai PenyesuaianDiri dan Kesehatan Mental serta Teori-Teori Terkait. Yogyakarta:Kanisius.
Sharma, S. 2006. Emotional Stability of Visually Disabled in Relation to TheirStudy Habits. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, 32,30-32.
Smith, S. J. 2003. Before Saying Yes to Marriage. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama.
Soewondo, S. 2001. Bunga Rampai: Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayisampai Lanjut Usia. Jakarta: UI Press.
Sugianto, I. R. 2000. Status Lajang dan Psychological Well Being pada Pria danWanita Lajang Usia 30-40 Tahun di Jakarta, Phronesis, 2, 67-77.
Susilowati, P. 2008. Jurus Memenangkan Pernikahan. Majalah Psikologi, Vol.III,No.4, 36-39.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Taylor, S. E. 1995. Health Psychology 3rd Edition. Singapore: McGraw Hill.
Tenggara, H., Zamralita dan Suyasa, P. T. Y. S. 2008. Kepuasaan Kerja danKesejahteraan Psikologis Karyawan. Jurnal Ilmiah Psikologi Industri danOrganisasi, 10, 96-115.
Wahyuningsih, H. 2005. Penyesuaian Perkawinan Pasangan Suami-Istri DewasaMuda Ditinjau dari Kecerdasan Emosional dan Umur Perkawinan.Indonesian Psychological Journal, 20, 330-341.
Walgito, B. 1984. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: YayasanPenerbitan Fakultas Psikologi UGM.
________. 1994. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Witherington, H. C. 1978. Psikologi Pendidikan (Terjemahan: Muchtar Buchori).Jakarta: Aksara Baru.