Post on 10-Nov-2020
IMPLIKASI KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA DI MYANMAR TERHADAP
NEGARA-NEGARA ASEAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana pada
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh :
INDAH ANGRAINI SAWAL
E 131 13 009
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur
kehadirat ALLAH SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implikasi Krisis Kemanusiaan Rohingya
di Myanmar terhadap Negara-Negara ASEAN”. Dalam penulisan skripsi ini
penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu dan memberikan
dukungan kepada penulis, sehingga penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Almarhum Bapak tercinta Samsul Bahri Sawal,
walaupun tidak lagi dapat memberi do’a dan dukungan langsung terhadap
penulis, akan tetapi penulis yakin Bapak turut bahagia karena penulis telah
senantiasa berusaha dan berdo’a sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
kesarjanaannya. Mama tercinta Nurhayati, yang telah begitu banyak
berkorban untuk penulis, senantiasa berdo’a untuk penulis, menjadi salah satu
motivasi dan inspirasi terbesar penulis untuk menyelesaikan skripsi.
2. Saudara penulis, Mohamad Sulaiman Sawal, guru besar penulis. Senantiasa
memberikan nasehat dan dukungan terhadap segala hal untuk penulis. Terima
kasih Bung, semoga segera lulus dan melanjutkan rencana kehidupan sesuai
keinginanmu di masa depan.
3. Bapak Adi Suryadi B, MA, selaku pembimbing I, senantiasa memberikan
arahan dan masukan terhadap skripsi penulis, membimbing penulis agar dapat
menyelesaikan skripsi dengan baik dan benar. Terima kasih Pak, semoga selalu
dalam lindungan-Nya. Bapak Burhanuddin, S.IP, M.Si, selaku pembimbing
v
II yang senantiasa memberikan bimbingan, saran, nasehat kepada penulis
sehingga penulis menyelesaikan skripsinya. Terima kasih Pak, semoga juga
selalu dalam lindungan-Nya.
4. Kak Rahma dan Bunda Lily Nasruddin, yang berjasa dalam mengurus
kelengkapan administrasi penulis, terima kasih Kak dan terima kasih Bunda,
semoga ALLAH SWT membalas kebaikan kalian.
5. Mutarabbiyah, Kak Zulfa dan Kak Risqa, saudara karena ukhuwah, karena
ALLAH, senantiasa mendidik, membimbing, mendengarkan penulis, baik itu
hanya bercerita maupun menanyakan hal-hal yang mungkin perlu menyita
banyak perhatian kakak-kakak, akan tetapi kakak-kakak sangat membantu
penulis dalam menyelesaikan masalah penulis juga menunjang penulis
menyelesaikan skripsi.
6. Musyrifah, Kak Umi, Kak Misqa, Kak Selvy, Kak Ani, Kak Risma, juga
saudara katrna ALLAH, senantiasa mendidik, membimbing, mendengarkan
penulis dan menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis walaupun mungkin
menyita perhatian yang banyak dari kakak-kakak. Terima kasih kakak-kakak
ku, terima kasih untuk senantiasa membantuku. Bantuan kakak-kakak sangat
berarti dan bantuan kakak-kakak juga menunjang penulis menyelesai skripsi.
7. Kak Ayu, Pembimbing 3 skripsi ini. memberi banyak bantuan untuk penulis
agar bisa dengan segara menyelesaikan skripsinya. Terima kasih banyak kak,
mau mendengarkan cerita, menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis dan selalu
membantu penulis. Semoga studi kakak lancar dan segala impian kakak untuk
masa depan dapat terwujud.
vi
8. Komplot, dahulu bernama Komplotan, entah kenapa akhirnya jadi Komplot.
Teman-teman yang lain menyebutnya D’Komplots atau D’Komplotz. Banyak
orang menyebut ini geng, padahal sejatinya tidak. Mengapa tidak? Karena bagi
penulis, untuk orang-orang seusia kami tidak pantas untuk membentuk geng
ala anak-anak sekolahan lagi. Kami hanya sekumpulan orang dengan
kepribadian introvert sehingga mungkin hanya selalu bersama dengan orang-
orang yang sama. Pemberian nama Komplotan atau Komplot itu awalnya dari
penulis. Menurut penulis, sayang saja orang-orang yang selalu bersama-sama
ini tidak memiliki “label” sebagai pengingatnya. Terima kasih Shita,
senantiasa membantu penulis dalam mengerjakan skripsi, menjawab semua
pertanyaan-pertanyaan penulis terkait skripsi. Menjadi teman curhat penulis,
pembimbing 4 skripsi penulis sehingga mengetahui bagaimana panjang kali
lebar skripsi penulis. Terima kasih Pupe, senantiasa memberikan dorongan
kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsinya, membantu bolak-balik
kesana-kemari mengurus administrasi, membantu banyak hal, menjadi orang
yang percaya bahwa penulis bisa wisuda dalam periode terdekat selain Mama
walaupun kemungkinan untuk hal itu kecil. Terima kasih Oching yang sempat-
sempatnya menanyakan perkembangan skripsi penulis yang mana waktu itu
dia juga masih menyusun, sudah marah-marah kayak nenek rempong atau
dosen killer agar penulis termotivasi menyelesaikan skripsinya. Alhamdulillah
Ching, akhirnya selesai. Terima kasih Mekay, kosannya selalu menjadi tempat
persinggahan penulis karena letaknya di dalam kampus, print nya dipinjam
untuk mencetak skripsi penulis, menemani penulis menyelesaikan skripsinya.
vii
Semangat Mek, selesaikan skripsimu, masa depan menantimu. Terima kasih
Sisca, sudah sempat menemani mengurus administrasi juga, menemani konsul,
membawakan bekal, menemani membentuk cerita imajinatif yang menghibur.
Semangat juga dear, kerja saja terus, ketik saja terus. Imajinasi yang perlu
diwujudkan menantimu di masa depan. Terima kasih Eda, senantiasa
mendengarkan curhat penulis, memberi nasehat, masukan, dorongan, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsinya. Eda, dengan caranya sendiri
senantiasa memberikan dukungan terhadap penulis. Nicha, yang juga
menemani mengurus administrasi terkait skripsi penulis, senantiasa
memberikan saran terhadap penulis, mendorong penulis agar segera
menyelesaikan segala urusannya di kampus. Semoga Tuhan mewujudkan
semua harapan-harapan kita dan menjaga hubungan kita salalu baik walaupun
kita tidak harus bersama-sama lagi.
9. Teman-teman Posko Panincong, Joey, Ucen, Uni, Kak Anto, Farid. Terima
kasih untuk waktu-waktu yang tidak terlupakan selama di Soppeng. Mohon
maaf sebesar-besarnya atas semua perkataan dan perbuatan penulis yang
menyakiti kalian. Itu semua karena khilaf. Terima kasih atas dukungan dan
do’a yang kalian berikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelsaikan
skripsinya.
10. Enggra dan Cupi, terima kasih sudah membantu penulis selama
penentuan judul, selama persiapan sidang, dan selama penyususnan skripsi.
Terima kasih sudah mendorong dan memotivasi penulis menyelesaikan
skripsinya. Akhirnya anak ini selesai juga skripsinya.
viii
11. September Squad, Nana, Diah, Iccang, teman SEATTLE yang hanya
berempat wisuda bulan 9, terima kasih sudah banyak membantu penulis
menyelesaikan urusannya terkait skripsi. Mohon maaf jika penulis banyak
merepotkan kalian. Kalian luar biasa. Semoga ALLAH SWT melancarkan
segala urusan kita ke depannya.
12. SEATTLE, teman angkatan penulis, mohon maaf jika penulis tidak bisa
menjadi teman yang baik bagi kalian, mohon maaf penulis tidak berbaur
dengan baik dengan kalian, sebenarnya walaupun penulis berkepribadian
introvert, akan tetapi penulis senang melakukan interaksi dengan orang lain.
Mohon maaf jika ada “kumpul-kumpul” penulis tidak ikut serta, karena penulis
tidak punya kendaraan pribadi atau tidak sedang berada di Makassar atau
memiliki alasan lain yang bisa menjelaskan alasan penulis tidak ikut
bergabung. Terima kasih untuk teman-teman yang telah membantu penulis
menyelesaikan skripsinya.
Akhir kata, penulis memohon maaf bagi pihak yang tidak sempat penulis tulis
namanya, akan tetapi berkontribusi terhadap penyelesaian skripsi ini. Terima
kasih atas semua pihak yang telah mendo’akan, memberi dukungan,dan memberi
bantuan agar penulis dapat menyelesaikan skripsinya, penulis berdo’a agar Tuhan
Yang Maha Kuasa senantiasa mencurahkan kasih sayang-Nya kepada semua
pihak yang membantu penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan dan juga bagi pengemban keilmuan khususnya di
bidang Ilmu Hubungan Internasional. Penulis menyadari, masih terdapat banyak
ix
kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan penulis menerima kritik dan saran
yang dapat dikirimkan melalui alamat email penulis indahsawal@ymail.com.
Makassar, Agustus 2017
Penulis,
Indah Angraini Sawal
x
ABSTRAK
Indah Angraini Sawal, E131 13 009. “Implikasi Krisis Kemanusiaan Rohingya diMyanmar terhadap Negara-Negara ASEAN”, di bawah bimbingan H. AdiSuryadi B, selaku Pembimbing I, dan Burhanuddin, selaku Pembimbing II, padaJurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Hasanuddin.
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan implikasi krisis kemanusiaanRohingya di Myanmar terhadap negara-negara ASEAN. Krisis kemanusiaanRohingya yang terjadi disebabkan karena konflik yang melibatkan etnis Rohingyadan etnis Rakhine dan diskriminasi pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingyamenyebabkan orang-orang Rohingya memutuskan untuk meninggalkan Myanmardan mengungsi ke negara-negara ASEAN lainnya. Penelitian ini bertujuan untukmengetahui upaya-upaya yang dilakukan negara-negara ASEAN terhadappengungsi Rohingya akibat krisis kemanusiaan dan respon negara-negara ASEANterhadap krisis kemanusiaan yang menimpa Rohingya. Metode penelitian yangdigunakan penulis adalah Deskriptif-Analitik dengan teknik pengumpulan datamelalui studi pustaka dengan menelaah sejumlah buku, jurnal, dokumen, danartikel ilmiah. Adapun untuk menganilsis data, penulis menggunakan teknikanalisis kualitatif dengan penulisan deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwanegara-negara ASEAN telah menetapkan kebijakan tertentu dalam bidang politikdan keamanan masing-masing negara untuk menangani pengungsi Rohingyaakibat krisis kemanusiaan. Adapun respon negara-negara ASEAN terhadap krisiskemanusiaan Rohingya menunjukkan sikap masing-masing negara dalammenanggapi krisis kemanusiaan yang menimpa Rohingya.
Kata Kunci: Krisis Kemanusiaan, Rohingya, Myanmar, Negara-negara ASEAN
xi
ABSTRACT
Indah Angraini Sawal, E131 13 009. “Implication of Rohingyas HumanitarianCrisis Against ASEAN Countries”, supervised by of H. Adi Suryadi B, asSupervisor I, and Burhanuddin, as Supervisor II, Department of InternationalRelations, Faculty of Social and Political Science, Hasanuddin University.
This research aims to describe the implication of Rohingyas humanitarian crisis inMyanmar against ASEAN countries. The Rohingyas humanitarian crisis wascaused by conflict involving Rohingya and Rakhine ethnic groups and thediscrimination of the Myanmar government against Rohingyas caused theRohingyas to abandon Myanmar and flee to other ASEAN countries. This studyaims to determine the efforts made by ASEAN countries towards Rohingyarefugees due to humanitarian crisis and the response of ASEAN countries to thehumanitarian crisis that befall Rohingya. The research method used by the authoris descriptive-analytics with data collection technique through literature study byreviewing a number of books, journals, documents, and scientific articles. As foranalyze data, the authors use qualitative analysis techniques with deductivewriting. The results show that ASEAN countries have set certain policies in thefield of politics and security of each country to handle Rohingya refugees due tohumanitarian crisis. The response of ASEAN countries to the humanitarian crisisRohingya show the attitude of each country in response to the humanitarian crisisthat befall Rohingya.
Keywords: Humanitarian Crisis, Rohingya, Myanmar, ASEAN Countries
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. iHALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iiPENERIMAAN TIM EVALUASI………………………………………………. iiiKATA PENGANTAR............................................................................................ ivABSTRAK.............................................................................................................. xABSTRACT........................................................................................................... xiDAFTAR ISI.......................................................................................................... xiiDAFTAR TABEL.................................................................................................. xivDAFTAR GAMBAR.............................................................................................. xvBAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1B. Batasan dan Rumusan Masalah......................................................... 9C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian....................................................... 11D. Kerangka Konseptual........................................................................ 10E. Metode Penelitian.............................................................................. 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 17A. Konsep Hak Asasi Manusia............................................................... 17B. Konsep Keamanan Manusia (Human Security)................................. 24C. Penelitian-penelitian Sebelumnya..................................................... 32
BAB III KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA DAN MASUKNYAPEENGUNGSI ROHINGYA DI NEGARA-NEGARA ASEAN 35A. Sejarah dan Perkembangan Krisis Kemanusiaan Rohingya di
Negara-Negara ASEAN...............35
1. Asal-Usul Etnis Rohingya........................................................... 352. Konflik antara Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine...................... 393. Sikap Pemerintah Myanmar terhadap Etnis Rohingya................ 47
B. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Negara-Negara ASEAN............ 511. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Thailand.............................. 532. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Malaysia.............................. 573. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Indonesia............................. 63
BAB IV IMPLIKASI KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA TERHADAPNEGARA-NEGARA ASEAN................................................................ 68A. Implikasi Krisis Kemanusiaan Rohingya terhadap Negara-Negara
ASEAN di bidang Politik dan Keamanan.........................................68
B. Respon Negara-Negara ASEAN terhadap Krisis KemanusiaanRohingya di Myanmar.......................................................................
80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN................................................A. Kesimpulan........................................................................................ 84B. Saran.................................................................................................. 85
xiii
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 87
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kronologi Konflik Rohingya-Rakhine Tahun 2012-2013................ 44
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Peta Negara Myanmar dan Negara-Negara ASEAN........................... 52
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis kemanusiaan menjadi fenomena yang terus saja muncul dari masa ke
masa. Walaupun pada saat ini dunia sudah memasuki abad ke-21, krisis
kemanusiaan masih saja melanda umat manusia. Krisis kemanusiaan adalah suatu
kondisi yang mana hak-hak dasar bagi seorang manusia tidak terpenuhi. Hak-hak
seperti hak untuk hidup, hak untuk memperoleh rasa aman, dan hak untuk
memperoleh keadilan tidak mampu diperoleh seorang individu.
Penyebab krisis kemanusiaan sering kali karena adanya konflik di
lingkungan tempat tinggal kelompok-kelompok yang berselisih. Konflik yang
terjadi disebabkan oleh perbedaan antara kelompok-kelompok tersebut. Baik itu
perbedaan etnis, ras, maupun perbedaan agama. Selain itu, penyebab krisis
kemanusiaan terjadi dikarenakan pemerintah yang terkait tidak mempunyai
keinginan yang kuat untuk mengatasi konflik.
Dampak krisis kemanusiaan yang terjadi berkaitan erat dengan masalah Hak
Asasi Manusia (HAM). Krisis kemanusiaan akibat konflik menyebabkan
munculnya berbagai pelanggaran HAM, seperti kekerasan, penganiayaan, dan
ketidakmampuan seseorang memenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia. Dalam
suatu konflik, biasanya korban yang lebih banyak berasal dari kelompok
minoritas.
Pemerintah yang terkait kemudian wajib mengambil tindakan untuk
menyelesaikan konflik sehingga dapat mencegah jatuhnya korban yang lebih
2
banyak dan mencegah kerugian yang lebih besar. Akan tetapi, apabila pemerintah
tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk mengatasi konflik yang terus terjadi
maka akan mengakibatkan krisis kemanusiaan semakin berkembang dan memberi
dampak terhadap wilayah di sekitar krisis yang terjadi.
Negara-negara ASEAN yang berada di wilayah Asia Tenggara memiliki
keanekaragaman etnis, ras, dan agama yang tersebar di masing-masing negara.
Myanmar sebagai salah satu negara ASEAN yang mayoritas penduduknya
beragama Buddha dan memiliki banyak etnis. Populasi Burma (Myanmar)
memiliki sekitar 135 kelompok etnis dan sub kelompok. Etnis Burma adalah
kelompok terbesar (sekitar 68%). Kemudian Shan (9%), Karen (7%), Rakhine
atau Arakan (4%), dan Mon (2%). Selain itu, terdapat etnis Kachin, Chin,
Karenni, dan Rohingya (Community, 2013).
Banyaknya etnis yang terdapat di Myanmar telah menimbulkan konflik
antara etnis mayoritas dan minoritas di dalam negaranya. Etnis Rakhine dan etnis
Rohingya yang hidup di satu wilayah telah lama terlibat konflik yang mana etnis
Rohingya merupakan etnis muslim dan minoritas, sedangkan etnis Rakhine
merupakan etnis Buddha yang merupakan mayoritas.
Menurut laporan Human Rights Watch yang berjudul “ All You Can Do is
Pray”, Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in
Burma’s Arakan State”, menerangkan bahwa konflik kontemporer ini dapat
ditarik paling tidak berawal dari Perang Dunia Kedua, ketika masyarakat
Rohingya tetap loyal pada penguasa Inggris (Human Rights Watch, 2013).
Sementara masyarakat Arakan lain termasuk etnis Rakhine berpihak pada kolonial
3
Jepang. Konflik antara etnis Rohingya dan etnis Rakhine secara historis tidak
mudah dihentikan. Pertikaian berdarah antara kedua etnis masih berlanjut hingga
saat ini.
Konflik yang terus menjatuhkan korban dari waktu ke waktu memerlukan
penyelesaian agar korban tidak terus berjatuhan. Peran pemerintah kemudian
dibutuhkan dalam penanganan konflik yang semakin memperpanjang krisis
kemanusiaan di Myanmar. Rohingya yang mengalami kerugian lebih banyak,
memerlukan perhatian lebih dari pemerintah terkait. Namun, pada kenyataannya
Rohingya tidak mendapat perhatian dari pemerintah Myanmar malah mendapat
perlakuan diskriminasi dan menambah penderitaan etnis Rohingya.
Pada tahun 1977, junta militer yang mulai berkuasa di Myanmar sejak tahun
1962 mengadakan sensus nasional yang disebut dengan Naga Min untuk
memeriksa orang-orang yang memasuki Myanmar dengan cara ilegal(Human
Rights Watch, 2013). Setelah itu, keberadaan etnis Rohingya sebagai salah satu
etnis di Myanmar tidak lagi diakui dan hal tersebut menjadikan Rohingya tidak
mendapatkan perlindungan dari pemerintah sebagai masyarakat yang tinggal di
negara tersebut.
Sejak UU Kewarganegaraan 1982 diberlakukan di Myanmar, etnis yang
diakui sebagai warga negara adalah etnis yang telah lama berada di Myanmar
sebelum pendudukan kolonial Inggris tahun 1824. Setelah tercatat ada 135 etnis
namun warga Rohingya tidak ada di dalamnya. (Revolusi, 2013).
Oleh karena itu, terjadi berbagai bentuk penindasan melalui pembantaian
hingga pembersihan etnis yang mengarah pada tindakan genosida terhadap etnis
4
Rohingya yang berlangsung hingga saat ini, telah menambah panjang kasus
kemanusiaan yang pernah terjadi di Myanmar (Asrieyani, 2013). Selain itu, akibat
keberadaan mereka yang tidak diakui, etnis Rohingya kehilangan banyak hak
dasar sebagai warga negara, seperti hak mendapat tempat tinggal, pekerjaan, dan
kesejahteraan (Purwanto, 2015).
Pada Juni tahun 2012 lalu, konflik antara kedua etnis memuncak. Secara
umum, kekerasan dipicu oleh kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap
perempuan Buddha yang diduga dilakukan oleh laki-laki muslim, yang kemudian
dibalas dengan pembunuhan 10 orang laki-laki muslim. Kejadian tersebut memicu
kekerasan massal berupa pembunuhan dan penyiksaan, pembakaran rumah dan
properti serta pemaksaan untuk meninggalkan tempat tinggal, terutama terhadap
orang-orang muslim minoritas. Kekerasan massal antara lain terjadi pada Juni dan
Oktober 2012 serta Maret, Mei, dan Agustus 2013. Lokasi kejadian kebanyakan
terjadi di negara bagian Rakhine dan menyebar ke negara bagaian lainnya seperti
di Shan (Raharjo S. N., 2015).
Myanmar telah menetapkan kondisi darurat militer pada Juni 2012 dan
mengirim pasukan bersenjata berat ke Negara Bagian Rakhine. Namun,
kedatangan pasukan ini menurut Human Rights Watch (HRW) justru menjadi
petaka bagi Rohingya. Tentara pemerintah malah banyak menembaki Muslim
Rohingya yang dicap sebagai imigran gelap Bangladesh (Muhammad, 2012).
Dalam laporannya HRW menegaskan bahwa aparat keamanan Myanmar
terlibat dalam aksi pembunuhan, pemerkosaan, dan penangkapan massal warga
Rohingya saat terjadi kerusuhan bernuansa sektarian di kawasan Rakihne,
5
Myanmar Barat, Juni lalu. HRW merilis laporan setebal 56 halaman mengenai
kondisi di Rakhine yang disusun berdasarkan wawancara dengan warga Rakhine
dan Rohingya. Pemerintah Myanmar secara resmi menyebut 78 orang tewas dari
kedua pihak yang bertikai dalam kerusuhan tersebut. Namun, HRW menduga
angka tersebut jauh di bawah angka korban tewas sesungguhnya (Muhammad,
2012). Kekerasan yang terjadi di Myanmar ini menjadi perhatian internasional
dan menjadikannya tragedi kemanusiaan.
Kasus selanjutnya yang cukup besar dan baru-baru ini terjadi melibatkan
Rohingya dan militer setempat. Pada tanggal 9 Oktober 2016 lalu, Rohingya
terlibat pertikaian dengan militer Myanmar setelah insiden pembunuhan sembilan
prajurit penjaga perbatasan Myanmar. Sejak saat itu 100 orang tewas terbunuh,
ratusan ditahan di penjara militer dan lebih dari 150.000 pengungsi dibiarkan
tanpa makanan dan obat-obatan belasan perempuan mengaku diperkosa. 1200
bangunan rata dengan tanah dan 30 orang melarikan diri (Deutsche Welle
Indonesia, 2016).
Serangan 9 Oktober dipicu oleh rencana pemerintah menggusur perumahan
ilegal milik etnis Rohingya, termasuk di antaranya 2500 rumah, 600 toko, lusinan
masjid dan lebih dari 30 sekolah (Deutsche Welle Indonesia, 2016). Bahkan
menurut seorang politisi Myanmar hal ini diduga sebagai langkah pemeritah untuk
mengurangi populasi etnis Rohingya di Myanmar.
Serangkaian kekerasan yang menimpa etnis Rohingya menunjukkan bahwa
Rohingya telah hidup berpuluh-puluh tahun dengan kondisi mengalami
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), seperti penganiayaan, pemerkosaan,
6
kesulitan untuk mendapatkan tempat tinggal dan kesulitan untuk dapat memenuhi
hak-hak dasar mereka yang lain.
Seperti apa yang telah penulis jelaskan sebelumnya, berbagai penindasan
yang dialami etnis Rohingya baik yang berasal dari pemerintah junta militer
maupun akibat konflik dengan etnis Rakhine mengakibatkan mereka mengalami
krisis kemanusiaan. Apa yang menimpa mereka tidak lagi memenuhi kententuan
konsep keamanan manusia yang mana diyakini sebagai konsep kehidupan
manusia yang layak. Secara ringkas UNDP mendefinisikan keamanan manusia
sebagai berikut:
first safety from such chronic threats such as hunger, disease, andrepression. And second, it means protection from sudden and hurtfuldisruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs orin communities. Such threats can exist at all levels of national incomeand development.(UNDP, 1994).
Akibat dari krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya, mereka
memutuskan untuk mengungsi ke beberapa negara. Pada kenyataannya, etnis
Rohingya sejak lama telah mengungsi ke luar negeri meninggalkan tempat tinggal
mereka di Myanmar. Hal ini mengingat krisis kemanusiaan yang menimpa mereka
telah sejak lama terjadi. Perpindahan orang-orang Rohingya dari Myanmar ke
Bangladesh pernah terjadi pada tahun 1978, sebanyak 220.000 orang melarikan
diri ke Banglades dilatarbelakangi oleh pelanggaran HAM yang meluas dan
sistematis yang mereka terima. Juga pada tahun 1992 sebanyak 250.000 orang
Rohingya melarikan diri ke Banglades (Irish Centre for Human Rights, 2010).
Setelah konflik 2012, Rohingya semakin gencar untuk pergi mengungsi dari
Myanmar. Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNCHR) memperkirakan
7
bahwa lebih dari 150.000 jiwa etnis Rohingya dan Bangladesh telah
meninggalkan Myanmar dengan menggunakan kapal sejak 2012. Lebih lanjut,
Satuan Pengawasan Maritim UNHCR pula menjelaskan antara Juni 2012 dan
Agustus 2014, diperkirakan 87.000 Rohingya dan Banglades melakukan
perjalanan laut berbahaya dari Teluk Banggala (Tim Yayasan Geutanyoe, 2016).
Beberapa negara ASEAN kemudian menjadi destinasi pengungsi Rohingya
untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Malaysia, Indonesia, dan
Thailand sebagai negara tetangga Myanmar menjadi tujuan orang-orang Rohingya
yang pergi meninggalkan tempat tinggal mereka sebelumnya. Malaysia menjadi
destinasi Rohingya dikarenakan kesejahteraan ekonomi, budaya islamis, dan
besarnya populasi Rohingya di sana (VOA Indonesia, 2015). Indonesia menjadi
destinasi Rohingya sejak aksi heroik kemanusiaan nelayan Aceh menyelamatkan
pengungsi Rohingya dan imigran Bangladesh yang terkatumg-katung di lautan
mengharap diterima di negara tujuan (Tim Yayasan Geutanyoe, 2016).
Akan tetapi, negara-negara tersebut justru menolak kedatangan mereka.
Pemerintah Thailand bahkan mengeluarkan pernyataan cukup keras terkait
rencana hadirnya pengungsi Rohingya di negaranya. Mereka mengatakan, warga
Rohingya tidak diinginkan kehadirannya di negara itu (Liputan 6, 2015). Begitu
pula dengan Malaysia dan Indonesia. Dari keterangan Wakil Menteri Dalam
Negeri Malaysia Wan Junaidi Jafaar, negaranya bisa memberi makan dan berbuat
baik pada pengungsi Malaysia tetapi tidak bisa menerimanya di sana. Adapun
Indonesia, Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan, Pemerintah Indonesia
tak akan membiarkan wilayah lautnya dimasuki kapal-kapal pengungsi Rohingya.
8
Menurut dia, bantuan kemanusiaan tetap akan diberikan kepada pengungsi yang
terusir dari Myanmar tersebut, namun tetap melarang mereka masuk apalagi
menepi di daratan Indonesia (Kompas, Panglima TNI Tolak Kapal Pengngsi
Rohingya Masuk RI, tapi Bersedia Beri Bantuan, 2015).
Namun setelah munculnya kecaman dari masyarakat internasional dan
himbauan dari PBB maka akhirnya ketiga negara bersedia untuk menampung
pengungsi Rohingya di negara masing-masing. Malaysia dan Indonesia tepat pada
Rabu, 20 Mei 2015 menyatakan siap menerima pengungsi Rohingya yang
terkatung-katung di tengah laut di daerah perairannya. Hal itu disampaikan oleh
Menteri Luar Negeri kedua negara setelah melakukan konsultasi dengan menlu
Thailand di Putrajaya, Malaysia (Deutsche Welle Indonesia, Malaysia dan
Indonesia Setuju Tampung Pengungsi Rohingya, 2015).
Begitupula dengan presiden Joko Widodo memastikan bahwa Malaysia dan
Thailand akan bekerja sama untuk membantu pengungsi Rohingya. Kesepakatan
tersebut dicapai setelah Jokowi mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi
untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Malaysia dan Thailand (Kompas,
2015).
Di Indonesia, pengungsi Rohingya mendarat di Provinsi Aceh. Adapun di
Malaysia mereka mendarat di Pulau Langkawi (BBC Indonesia, Tenggat Waktu
Hampir Habis Malaysia Akan Tetap Tampung Pengungsi Rohingya, 2016).
Sedangkan di Thailand mereka tinggal di penampungan sementara di wilayah
Phang-Nga (Wuri, 2015). Berdasarkan statistik UNHCR per September 2016,
9
jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia adalah sebanyak 959 orang (Rizka
Argadianti Rachmah, 2016). Di Malaysia, hingga akhir 2015, terdapat 52.570
pegungsi Rohingya yang terdaftar di UNHCR Malaysia (BBC Indonesia, Tenggat
Waktu Hampir Habis Malaysia Akan Tetap Tampung Pengungsi Rohingya,
2016).
Dari apa yang telah dipaparkan penulis sebelumnya, maka penulis tertarik
ingin memahami lebih lanjut terkait kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dari
masing-masing negara dan kesepakatan yang ada dalam rangka menanggulangi
kedatangan pengungsi Rohingya akibat krisis kemanusiaan Rohingya sehingga
penulis tertarik untuk mengangkat judul “Implikasi Krisis Kemanusiaan Rohingya
di Myanmar terhadap Negara-Negara ASEAN”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada implikasi krisis kemanusiaan
Rohingya di Myanmar pada bidang politik dan keamanannegara-negara ASEAN.
Hal ini disebabkan krisis kemanusiaan Rohingya memberi dampak yang
signifikan terhadap negara-negara ASEAN ketika mereka memutuskan untuk
mengungsi ke beberapa negara ASEAN sehingga negara-negara ASEAN perlu
mengeluarkan kebijakan terkait politik dan keamanan negara-negara yang
bersangkutan.
Adapun rentang waktu yang menjadi fokus penelitian yaitu pada tahun 2015
sampai 2016 mengingat pada tahun 2015 menjadi tahunnegara-negara ASEAN
mengeluarkan kebijakan kepada pengungsi Rohingya, setelah kecaman
internasional muncul akibat penolakan pengungsi Rohingya yang terus masuk ke
10
negara-negara ASEAN sejak terjadi konflik besar antara etnis Rohingya dan etnis
Rakhine tahun 2012. Kemudian tahun 2016 dipilih mengingat kebijakan yang
dikeluarkan negara-negara penerima pengungsi hanya berlaku satu tahun sejak
2015.
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang telah diuraikan, maka
penulis dalam penelitian ini mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implikasi krisis kemanusiaan Rohingya terhadap politik
dan keamanan negara-negara ASEAN?
2. Bagaimana respon negara-negara ASEAN terhadap krisis
kemanusiaan Rohingya?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan menjelaskan implikasi krisis kemanusiaan Rohingya
terhadap negara-negara ASEAN.
b. Untuk mengetahui dan menjelaskanrespon negara-negara ASEAN terhadap
krisis kemanusiaan Rohingya.
2. Kegunaan penelitian
Adapun kegunaan penelitian yang diharapkan yaitu penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi mengenai
implikasi krisis kemanusiaan Rohingya terhadap negara-negara ASEAN dan
respon negara-negara ASEAN terhadap krisis kemanusiaan Rohingya.
11
D. Kerangka Konseptual
Untuk menjawab apa yang menjadi masalah dalam sebuah penelitian
diperlukan konsep dan teori yang menjadi landasan pemikiran. Dalam penelitian
ini, penulis akan menggunakan beberapa konsep dalam hubungan internasional,
yaitu Hak Asasi Manusia dan Keamanan Manusia (Human Security).
Pertama-tama, alasan penulis mengambil konsep Hak Asasi Manusia dalam
penelitian ini adalah karena kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran HAM
yang didapatkan oleh etnis Rohingya. Seharusnya ada peran dari pemerintah
untuk menangani permasalahan yang menimpa Rohingya. Akan tetapi, etnis
Rohingya yang sejak dahulu terlibat konflik malah mengalami kondisi yang
semakin parah dengan adanya perlakuan diskriminasi dari pemerintah.
Pada dasarnya, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu hak dasar yang
melekat pada manusia sejak ia lahir. Hak dasar yang dimiliki setiap manusia
antara lain adalah hak untuk hidup, hak untuk memeluk agama, hak untuk
mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan keamanan dan hak-hak dasar
lainnya. Ada tiga konteks utama dalam HAM, yaitu universal, tidak dapat dibagi
dan tidak dapat dicabut.
Berdasarkan Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Hak Asasi
Manusia sebagai suatu standar umum keberhasilan semua bangsa dan semua
negara, dengan tujuan agar setiap orang maupun badan di dalam masyarakat,
senantiasa mengingat Deklarasi ini, dan akan berusaha dengan cara mengajarkan
dan memberikan pendidikan untuk menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak
dan kebebasan-kebebasan tersebut, secara progresif baik bersifat nasional maupun
12
internasional, menjamin pengakuan dan penghargaan secara universal dan efektif,
baik oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah di bawah perwalian (Peter Baehr,
2006).
Kesepakatan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang
diproklamasikan pertama kali oleh Majelis Umum PBB di Paris pada tanggal 10
Desember 1948 kemudian menjadi acuan bagi negara-negara yang ada di dunia
tentang pelaksanaan dan penegakan HAM, baik dalam instrumen internasional
maupun regional HAM. Selain itu, dalam berbagai pasal UDHR ditekankan secara
jelas akan kecaman terhadap diskriminasi dan pelanggaran HAM.
Pelanggaran terhadap HAM itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu bentuk
pelanggaran terhadap kewajiban asasi yang dilakukan oleh seseorang maupun
sekelompok orang kepada orang lain atau kelompok lainnya. Pelanggaran ini
dapat berupa hal fisik maupun non fisik bergantung pada konteks hak asasi yang
dilanggarnya. Apa yang menimpa etnis Rohingya tentu saja melanggar HAM
yang dimiliki oleh mereka. Berdasarkan UDHR berbagai tindakan kekerasan dan
diskriminasi yang mereka terima menyebabkan hak - hak dasar mereka tidak
terpenuhi. Mereka tidak hanya kesulitan untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok
mereka, tetapi keamanan mereka juga tidak terjamin.
Selanjutnya penulis menggunakan konsep keamanan manusia (Human
Security) yang menjadi alasan etnis Rohingya untuk mengungsi karena keamanan
dan kebutuhan hak-hak dasar mereka yang tidak terpenuhi. Dalam studi hubungan
internasional terdapat konsep keamanan yang membahas berbagai bentuk
13
ancaman keamanan. Ancaman keamanan itu sendiri terbagai atas ancaman
keamanan tradisional dan ancaman keamanan non-tradisional.
Pada dasarnya, dalam studi hubungan internasional terdapat konsep
keamanan yang membahas berbagai bentuk ancaman keamanan. Ancaman
keamanan itu sendiri terbagi atas ancaman keamanan tradisional dan ancaman
keamanan non-tradisional.
Keamanan manusia kemudian menanggapi ancaman keamanan secara
terpadu. Keamanan manusia melindungi semua aspek kehidupan manusia
mencakup lingkup keamanan individu dan masyarakat. Melibatkan aktor yang
lebih luas, seperti masyarakat sipil, organisasi internasional, dan negara.
Pelanggaran hak-hak asasi yang dialami Rohingya memerlukan peran dari
berbagai pihak sehingga apa yang menimpa Rohingya dapat segera teratasi.
Berbagai penindasan dan tindakan diskriminasi yang diterima oleh Rohingya
merupakan ancaman terhadap kemanusiaan.
Dalam institusi PBB, Keamanan manusia memiliki dewan perwalian dan
komite khusus yang membahas Keamanan manusia dalam kerangka kerja PBB.
Definisi keamanan manusia menurut Commite Human Security dalam final report
Human Security Now adalah sebagai berikut:
...to protect the vital core of all human lives in ways that enhancehuman freedoms and human fulfillment. Human security meansprotecting fundamental freedoms-freedoms that are the essence oflife. It means protecting people from critical severe and pervasive(widespread) threats and situations. It means creating political,social, environmental, economic, millitary, and cultural systems thattogether give people the building blocks of survival, life hood anddignity.(Human Security Unit, 2009)
14
Selanjutnya menurut Barry Buzan seorang pakar konsep keamanan dalam
makalahnya yang berjudul Human Security: What It Means, What It Entails,
menagatakan bahwa:
keamanan manusia merupakan satu konsep yang promatis,khususnya dijadikan sebagai bagian dari analisis atas kemananinternasional. Bentuk keamanan ini memiliki agenda yang berbedamenjadikan sebagai isu keamanan internasional dapat ditemukandalam pemanhaman keamanan militer-politik internasional. Dalamkonteks ini, keamanan bagi suatu negara senantiasa berkaitan dengankelangsungan hidup. Sementara itu, identitas merupakan kunci daripemahaman keamanan bagi suatu bangsa (Buzan, 2000)
Berdasarkan konsep keamanan di atas tentu saja etnis Rohingya tidak
terpenuhi keamaanannya. Masalah-masalah kemanusiaan, HAM, tidak
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar bagis eorang individu terjaadi pada etnis
Rohingya. identitas kewarganegaraan mereka pun kini telah dihilangkan. Hal
tersebut kemudian mengakibatkan banyaknya etnis Rohingya yang memilih
mengungsi ke negara-negara tetangganya.
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat Deskriptif-
Analitik, yaitu penelitian yang menggunakan pola penggambaran keadaan
fakta empiris disertai argumen yang relevan secara deskriptif. Kemudian
hasil uraian tersebut dilanjutkan dengan analisis untuk menarik
kesimpulan yang bersifat analitik.
15
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah
library research, yang mana data-data diperoleh dari berbagai tulisan dan
sumber, baik berupa buku, jurnal, artikel, website, video, dan berbagai data
relevan lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian dari sumber
yang resmi dan terpercaya.
3. Jenis Data
Data yang digunakan oleh penulis adalah data sekunder, yang mana
data ini didapatkan dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, artikel,
website, video, surat kabar, majalah, dan berbagai data terkait dengan
masalah penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis
data hasil penelitian adalah teknik analisis kualitatif. Adapun dalam
menganalisis permasalahan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang
ada, kemudian menghubungkan fakta tersebut dengan fakta lainnya
sehingga menghasilkan sebuah argumen yang tepat. Sedangkan, data
kuantitatif memperkuat analisis kualitatif.
5. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis ialah metode
deduktif, yaitu penulis menggambarkan secara umum masalah yang
diteliti, lalu kemudian menarik kesimpulan secara khusus menganilisis
data. Metode ini dilakukan dengan cara menggambarkan bagaimana
16
langkah atau strategi peneliti menjawab perumusan masalah penelitian,
yang mana hasil dari jawaban atas perumusan masalah tersebut akan
diuraikan dalam bab selanjutnya yaitu bab hasil penelitian dan
pembahasan.
17
BAB III
KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA DI MYANMAR DAN MASUKNYA
PENGUNGSI ROHINGYA KE NEGARA-NEGARA ASEAN
A. Sejarah dan Perkembangan Krisis Kemanusiaan Rohingya
Krisis kemanusiaan Rohingya telah terjadi sejak masa penjajahan masih
berlangsung di Myanmar. Penyebab krisis kemanusiaan Rohingya antara lain
yaitu konflik antar etnis yang melibatkan Rohingya dengan etnis setempat dan
sikap diskriminasi pemerintah Myanmar terhadap Rohingya yang menolak etnis
Rohingyasebagai salah satu etnis resmi yang ada di Myanmar. Sejarah dan
perkembangan krisis kemanusiaan yang terjadi pada Rohingya kemudian tidak
terlepas dari 3 komponen berikut:
1. Asal-Usul Etnis Rohingya
Sejatinya Rohingya tidak tepat disebut “etnis” karena kata itu merupakan
label politis yang digunakan untuk memperjuangkan keberadaan kelompok
tersebut di Myanmar. Beberapa sejarawan mengatakan bahwa nama Rohingya
baru muncul pada tahun 1950-an, setelah kemerdekaan Myanmar.
Dalam catatan PBB, Rohingya hanya disebut sebagai penduduk Muslim
yang tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar. Dari sudut kebahasaan, bahasa
yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun
bahasa Indo-Eropa, khususnya kerabat bahasa Indo-Arya. Lebih detail lagi,
bahasa Rohingya dikategorikan sebagai bahasa-bahasa Chittagonia yang
dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara Bangladesh. Sementara itu,
18
kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun Tai Kadal, Austroasiatik,
atau Sino-Tibetan. (Hartati, 2013).
Menurut catatan sejarah, ada beberapa versi asal muasal bangsa
Rohingya di Myanmar. Pertama, ada yang mengatakan bahwa mereka
bukanlah keturunan Arab tetapi generasi Muslim Chittagonian yang bermigrasi
dari Bengal (Bangladesh sekarang) saat Burma dijajah oleh Inggris (Hla,
2009). Kedua, terminologi Rohingya mulai dikenal untuk penamaan sebuah
komunitas oleh sebagian kecil kaum intelektual Muslim Bengal yang
mendiami bagian tenggara Arakan di awal 1950-an. Mereka adalah keturunan
para imigran berasal dari Chittagong Timur Bengal dengan perjanjian Yandabo
saat perang Inggris-Burma I berakhir (1824-1826) (Chan, 2005).Ketiga, dalam
skrip Ananda Chandra dikatakan pada tahun 957 SM, terjadi migrasi populasi
Tibeto-Burman Theravada Buddhist ke kawasan Arakan. Dengan mengalahkan
bala tentara Chandra mereka menguasai Arakan dan orang-orang yang berparas
seperti India kembali mendiami wilayah bagian utara Arakan atau balik ke
Bengal. Ini merupakan exodus orang berparas India pertama ke Bengal (Bahar,
2012). Keempat, Rohingya adalah masyarakat mayoritas Muslim dan minoritas
Hindu secara rasial berasal dari Indo-Semitic. Mereka bukanlah kelompok
(Arakan Rakhine) etnis yang berkembang dari gabungan satu suku atau ras
tertentu. Mereka adalah percampuran Brahmin dari India, Arab, Moghuls,
Bengals, Turks, dan Asia Tengah yang mayoritas sebagai pedagang, pejuang,
dan juru dakwah datang melalui laut dan berdiam diri di Arakan. Pada zaman
19
Chandra, mereka bercampur baur dengan masyarakat lokal dan melahirkan
generasi mayarakat Rohingya (Bahar, 2012).
Lebih dari itu, dikatakan pula kemunculan pemukiman Muslim di Arakan
sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk
U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430-1434). Setelah dibuang ke
Bengal, Narameikhla lalu menguasai kembali Mrak U berkat bantuan Sultan
Bengal. Seiring dengan berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk
Muslim dari Bengal ke wilayah Arakan, Rakhine. Dalam perkembangannya,
jumlah pemukim muslim dari Bengal terus bertambah, terutama ketika Inggris
menguasai Rakhine. Karena kurangnya populasi di Rakhine, Inggris
memasukkan banyak orang Bengali ke Rakhine untuk bekerja sebagai petani.
Oleh karena itu, sampai saat ini pula, kebanyakan orang Rohingya bekerja di
sektor agraris (Hartati, 2013).
Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911, pemukim Muslim
di Arakan sudah berjumlah 58.000 orang. Jumlah itu terus bertambah pada
tahun 1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India, sehingga orang-orang
Bengali memilih masuk ke Rakhine. Sejak tahun-tahun ini pula lahmulai
timbul konflik antara Rohingya dengan penduduk lokal yang mayoritas
merupakan penganut Buddha. Bertambahnya jumlah penduduk migran
membuat penduduk lokal khawatir (Hartati, 2013).
Akan tetapi, selain beberapa paparan tentang asal-usul etnis Rohingya di
atas, seorang sejarawan Jaques P. Leider mempunyai pendapat tentang asal-
usul etnis Rohingya itu sendiri. Ia mengatakan bahwa pada abad ke-18 ada
20
catatan seorang Inggris yang bernama Francis Buchanan-Hamilton yang sudah
menyebutkan adanya masyarakat Muslim di Arakan. Mereka menyebut diri
mereka “Rooinga”. Ada yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari kata
“rahma” (rahmat) dalam bahasa Arab atau “rongha” (perdamaian) dalam
bahasa Pashtun. Selain itu, ada pula yang mengaitkannya dengan wilayah
Ruhadi Afghanistan yang dianggap sebagai tempat asal Rohigya (Hartati,
2013).
Meski sudah tinggal berabad-abad lamanya di Myanmar, pemerintah
Myanmar menganggap Rohingya bukan kelompok etnis asli. Keturunan
Rohingya tetap dipandang sebagai pengungsi ilegal dari negara tetangga
Bangladesh. Di pihak lain, Bangladesh juga tidak mengakui mereka sebagai
warga negara (Kompas, Menelisik Akar Pengungsi Rohingya, 2015).
Menurut Burmese Rohingya Organisation UK (Brouk) atau organisasi
Rohingya di Inggris, Pemrintah Myanmar selalu membuat kebijakan yang
menekan kelompok etnis Rohingya sejak 1970-an. Tekanan terhadap warga
Rohingya secara bertahap meningkat sejak proses reformasi yang
diperkenalkan Thein Sein pada 2011 (Kompas, Menelisik Akar Pengungsi
Rohingya, 2015).
Dengan demikian, terlepas apakah Rohingya merupakan sebuah etnis
atau tidak? Apakah masuk ke dalam kategori salah satu etnis di Myanmar atau
tidak? Rohingya merupakan komunitas migran yang sudah lama menetap di
sebuah wilayah yang kebetulan kini menjadi bagian dari negara Myanmar,
tentu saja sudah selayaknya mereka mendapatkan hak-hak dasar mereka,
21
terutama status kewarganegaraan. Meskipun begitu, sikap pemerintah
Myanmar sudah jelas seperti yang disampaikan Thein Sein bahwa Myanmar
tak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya (Hartati, 2013).
2. Konflik antara Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine
Konflik Rohingya pada dasarnya diawali dengan penolakan identitas dan
kewarganegaraan mereka. Myanmar secara resmi mengakui 135 kelompok
etnis, tersebar di seluruh negara. Namun, sebagian besar etnis minoritas tinggal
pada negara bagian sesuai nama dari etnis tersebut, seperti Chin, Kachin,
Karen, Kayah, Mon, Rakhine, dan Shan. AdapunRohingya tidak termasuk di
dalam etnis yang diakui.
Menurut laporan Human Right Watch yang berjudul “All you can do is
pray, crime againts humanity and ethnic cleansing of Rohingya Muslims in
Burma’s Arakan State”, menerangkan bahwa konflik kontemporer ini dapat
ditarik berawal dari Perang Dunia Kedua, ketika masyarakat Rohingya tetap
loyal pada penguasa Inggris (Human Rights Watch, 2013). Sementara etnis lain
berpihak pada kolonial Jepang.
Disisi lain, sejarawan Prancis Dr. Jacques P. Leider yang meriset sejarah
Arakan sejak dua dekade silam menyatakan bahwa akar masalahnya bukan
karena sikap rasis kaum Buddha Rakhine tetapi itu lebih pada reaksi emosional
mereka yang sangat kuat. Sebuahemosi reaksional yang berangkat dari kondisi
22
dimana desa-desa di Rakhine banyak didiami oleh Muslim dengan
pertumbuhan populasi yang masif.
Keluhan etno-demografis menjadi penyebab konflik antara populasi
Buddha dan Muslim Rohingya di Rakhine. Pemimpin Buddha nasionalistik,
seperti biksu kontroversial Ashin Wirathu, mempunyai pernyataan bahwa
pertumbuhan populasi yang cepat dan tingkat kesuburan yang baik mengancam
untuk mengalahkan populasi masyarakat Buddha setempat, yang mana hal ini
mencerminkan sentimen masyarakat Rakhine setempat (Blomquist, 2016).
Biksu muda ini berasal dari Mandalay, ia diuluki “The Fighting Monk”
(Biksu Petarung) sebagai otak konflik berdarah dan pembersihan etnis terhadap
masyarakat Rohingya. Asia Times menstigma agamamawan Buddha ini
dengan “Leader of growing anti-Muslim movement” (Pemimpin gerakan anti-
Muslim yang kian tumbuh) (Asia Times, 2003).
Pada tanggal 14 September 2003 lalu, ia berbicara di hadapan sekitar tiga
ribu biksu memprovokasi mereka untuk punya pandangan yang sama dengan
dia bahwa Muslim adalah maling dan teroris. Wirathu adalah orang pertama
yang mengklaim bahwa sanksi Amerika terhadap Myanmar bukan karena
pemerintahan junta militer, tetapi karena eksistensi teroris Muslimyangia
klaim. Dalam salah satu pernyataan yang ia lontarkan, Wirathu mengatakan:
We have a problem in Myanmar, we have a problem here inMandalay. The problem is called Islam. There are many newMuslims in Mandalay from Pakistan (and Bangladesh). These peopleare thieves and terrorists. They do not respect our religion and ourwomen. We are Buddhist, and we are peaceful, but we must protectourselves (Asia Times, 2003)
23
Pemerintah Myanmar telah menanggapi masalah terkait dengan
menargetkan Rohingya dengan kebijakan yang menindas, termasuk
pembatasan melahirkan bagi perempuan Rohingya (Blomquist, 2016).
Kekerasan terhadap Rohingya yang terus terjadi, termasuk kerusuhan di
Arakan, Rakhine pada tahun 2012, telah megakibatkan hancurnya rumah
masyarakat Rohingya dan menyebabkan gelombang “boat people” Rohingya
yang mencari perlindungan di sepanjang garis pantai. Termasuk pesisir negara-
negara Asia Tenggara.
Kompetisi sumber daya alam dan keinginan untuk melindungi identitas
Buddha juga dapat dijadikan sebagai beberapa alasan penyebab konflik
Rohingya dan etnis setempat. Pada kenyataannya, di Myanmar, populasi
mayoritas Buddha menganggap minoritas Muslim sebagai ancaman terhadap
keamanan berdasarkan perbedaan dalam pertumbuhan penduduk. Terutama di
negara bagian Rakhine, yang mana populasi Rohingya menempati kira-kira
30% total dari populasi, nasionalis dan penduduk lokal kemudian mengklaim
tingginya tingkat kesuburan dan pertumbuhan penduduk yang cepat akan
mengancam membanjiri komunitas Buddha setempat (Blomquist, 2016).
Berdasarkan “Dilema Keamanan Demografis”, yaitu sebuah model
demografi politik yang diajukan oleh Christiant Leuprecht, penelitian ini
memaparkan bahwa ketika tingkat pertumbuhan penduduk Rohingya
melampaui kelompok etnis lain, ancaman yang dirasakan akan kepunahan
mutlak dan/atau budaya dapat meningkat menjadi siklus antara ketakutan dan
24
tanggapan di antara pemangku kepentingan pada negara-negara bagian
(Blomquist, 2016).
Kurangnya data yang tersedia menimbulkan tantangan signifikan untuk
menelusuri lebih lanjut hal ini. Kebijakan pemerintah yang membatasi akses
terhadap demografi Myanmar dan sensus pada tahun 2014 tidak memasukkan
informasi terperinci tentang Rohingya. Namun, jika meninjau Dilema
Demografi Keamanan Leuprecht akibat populasi Rohingya yang terus
meningkat dari kelompok lain di Myanmar, kelompok etnis lain (khususnya
Buddha Rakhine) tingkat ketakutan akan pemindahan dan kepunahan
budayanya menyebabkan siklus konflik terus berlanjut. Ketakutan ini juga akan
memperkuat kebijakan pemerintah yang represif sehingga dapat memperparah
konflik.
Adapun berdasarkan wawancara Media DW dengan seorang analis
Siegfried Wolf, Kepala Bidang Penelitian South Asia Democratic (SADF) di
Brussel dan Peneliti pada Universitas Heidelberg, mempunyai pandangan
terkait konflik Rohingya sebagai berikut:
DW : Mengapa warga Buddha Myanmar menentang Rohingya?
Apa ini hanya masalah agama, atau masalah lainnya?
Siegfried O. Wolf : Hubungan antar agama di Myanmar adalah masalah yang
sangat kompleks. Warga Muslim, terutama Rohingya, dikonfrontasikan dengan
rasa takut mendalam terhadap Islam di masyarakat dan negara yang mayoritas
warganya beragama Buddha. Warga yang fundamental mengklaim bahwa
kebudayaan Buddha serta masyarakat terdesak oleh warga Muslim. Apalagi
25
Myanmar dikelilingi negara-negara yang mayoritas warganya beragama Islam,
seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia. Warga Rohingya dianggap
sebagai ancaman terhadap gaya hidup dan kepercayaan Buddha, dan jadi jalan
menuju islamisasi Myanmar. Tapi masalah ini juga punya aspek ekonomi.
Rakhine adalah salah satu negara bagian yang warganya paling miskin,
walaupun kaya akan sumber daya alam. Jadi warga Rohingya dianggap beban
ekonomi tambahan, jika mereka bersaing untuk mendapat pekerjaan dan
kesempatan untuk berbisnis. Pekerjaan dan bisnis di negara bagian itu sebagian
besar dikuasai kelompok elit Burma. Jadi bisa dibilang, rasa tidak suka warga
Buddha terhadap Rohingya bukan saja masalah agama, melainkan didorong
masalah politis dan ekonomis.
DW : Apakah proses demokratisasi di Myanmar membantu
Rohingya?
Siegfried O. Wolf : Proses ini sampai sekarang belum menghasilkan
perbaikan kondisi masyarakat. Politik Myanmar membuktikan bahwa proses
demokrasi bisa membuahkan rezim yang mewakili warga mayoritas, dan tidak
memperhatikan warga minoritas sama sekali. Myanmar punya sistem politik
yang berdasar pada kekuasaan mayoritas tanpa proteksi secara institusional
bagi hak-hak minoritas. Namun demikian, ada harapan besar bahwa ikon
demokrasi Aung San Suu Kyi akan mengubah situasi dan berupaya agar
kebudayaan politik yang merangkum semua warga bisa tercipta. Tapi
pemenang Nobel Perdamaian itu sudah mengejutkan banyak pengamat politik
karena tidak memberikan komentar apapun menyangkut kesengsaraan warga
26
Rohingya. Saya pikir reformasi substansial dalam sistem pemilu di negara itu
bisa menolong warga minoritas, tetapi kelompok mayoritas akan mencegah
perubahan ini (Deutsche Welle Indonesia, Rohingya, sebenarnya Bukan
Konflik Agama, 2015).
Dari beberapa pandangan tentang konflik etnis Rohingya dan etnis
Rakhine yang telah penulis paparkan, penulis beranggapan bahwa konflik
antara etnis Rohingya dan etnis Rakhine yang telah terjadi sejak masa
penjajahan berlangsung di Myanmar (Burma), terjadi karena perbedaan agama
di antara kedua etnis ditambah berbagai persoalan lainnya seperti masalah
demografi, politik, dan ekonomi.
Perkembangan konflik kemudian terjadi pada kerusuhan Mei 2012 yang
telah memicu perhatian dunia internasional. Secara umum, kekerasan dipicu
oleh kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Buddha yang
diduga dilakukan oleh laki-laki Muslim. Kejadian tersebut kemudian memicu
kekerasan massal berupa pembunuhan dan penyiksaan, pembakaran rumah dan
properti serta pemaksaan untuk meninggalkan tempat tinggal, terutama
terhadap orang-orang muslim minoritas (Raharjo, 2015).
Tabel 3.1 Kronologi Konflik Rohingya-Rakhine Tahun 2012-2013
Waktu Peristiwa
28 Mei 2012 Terjadi pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang
perempuan Buddha berusia 28 tahun yang diduga
dilakukan oleh tiga orang laki-laki Muslim di kota Ramri.
27
3 Juni 2012 Terjadi pembunuhan terhadap 10 laki-laki Muslim oleh
sekelompok orang Rakhine Buddha di dalam di dalam
bus yang diduga memuat 3 pelaku pemerkosaan.
10 Juni 2012 Presiden Thein Sein mengumumkan kondisi darurat di
negara bagian Rakhine setelah terjadi bentrokan
mematikan antara kelompok Buddha dengan Muslim
Rohingya yang menyebabkan 88 orang tewas dan lebih
dari 90.000 lainnya mengungsi.
12 Juli 2012 Presiden Thein Sein mengatakan kepada UNHCR bahwa
Myanmar tidak akan bertanggung jawab terhadap
“pelintas batas legal” Rohingya dan menganggap mereka
sebagai ancaman terhadap keamanan nasional sehingga
mereka harus dipindahkan ke negara-negara ketiga yang
bersedia menerima mereka.
18 Oktober 2012 Konferensi Solidaritas Para Biksu Arakan digelar dan
menyambut para simpatisan Rohingya, termasuk mereka
yang mengadvokasi perlindungan bagi hak asasi
Rohingya, sebagai pengkhianat bangsa.
21 Oktober 2012 Kekerasan sektarian kembali terjadi di 9 kota di negara
bagian Rakhine dan menyebabkan 35.000 orang yang
sebagian besar Muslim mengungsi.
20 Maret 2013 Kekerasan komunal antara kelompok Buddha dan
Muslim kembali terjadi di Kota Meikhtila dan melebar ke
28
beberapa wilayah di sekitarnya, menewaskan sedikitnya
40 orang dan membuat 12.000 orang lainnya lari
mengungsi.
20 Mei 2013 Otoritas pemerintah di distrik Maungdaw, Rakhine
mengeluarkan aturan pembatasan dua anak terhadap
keluarga Rohingya.
28 Mei 2013 Kekerasan anti-Muslim pecah di Lashio, negara bagian
Shan. Kelompok Buddha menghancurkan masjid, panti
asuhan, dan bisnis (toko) milik orang Muslim,
menyebabkan sedikitnya 14.000 orang Muslim
mengungsi.
14 Juni 2013 Konferensi Pemimipin Buddha digelar di Yangon,
memproposalkan hukum pernikahan antaragama yang
melarang perempuan Buddha menikah dengan laki-laki
Muslim yang akan berpindah agama menjadi Buddha.
14 Juli 2013 Pengumuman pembubaran pasukan keamanan perbatasan
(border security force) NaSaKa oleh Presiden Thein
Sein. NaSaKa dituduh telah melakukan kejahatan
kemanusiaan terhadap orang-orang Rohingya, termasuk
pembunuhan, penahanan, dan penyiksaan.
20 Juli 2013 Status darurat di Meikhtila dicabut karena situasi disana
dianggap sudah stabil.
25 Agustus 2013 Kelompok Buddha membakar lusinan rumah dan toko
29
milik orang-orang di Kanbalu, Divisi Sagaing.
Sumber : Dokumen LIPI 2015
Konflik yang terjadi pada tahun 2012 lalu membuktikan bahwa konflik di
antara kedua etnis terus terjadi. Kekerasan dan penindasan yang dialami lebih
banyak oleh etnis Rohingya memicu mereka untuk mengungsi dan
meninggalkan tempat tinggal mereka di Myanmar.
3. Sikap pemerintah terhadap Etnis Rohingya
Jika melihat kembali sejarah asal-usul etnis Rohingya, mereka telah
tinggal berabad-abad di Myanmar. Meskipun demikian, mereka tetap tidak
dianggap sebagai salah satu etnis yang tercatat secara resmi di Myanmar.
Penderitaan yang dialami Rohingya tidak saja datang akibat tindakan
diskriminasi penduduk setempat, akan tetapi sikap pemerintah yang tidak
peduli dengan masyarakat Rohingya. Pemerintah Rohingya tidak serius
menyelesaikan pertikaian yang terjadi antara etnis Rohingya dan etnis Rakhine
yang mana etnis Rohingya lebih banyak menderita dan pemerintah justru turut
serta melegalkan tindakan diskriminatif terhadap etnis Rohingya.
Penindasan yang terjadi sejak kemerdekaan Myanmar tahun 1948
kemudian pembatasan hak kewarganegaraan telah berkontribusi terhadap
penderitaan Rohingya. Melalui cara yang sama dengan kelompok etnis lain
pada saat kemerdekaan, Rohingya mencoba menentukan otonomi daerahnya,
baik itu memisahkan diri dari Burma atau dengan menjadi negara bagian
administratif yang terpisah. Awalnya para aktivis politik Rohingya
mengupayakan pemisahan diri dari Burma melalui unifikasi dengan negara
30
Pakistan yang baru terbentuk, namun kesepakatan antara kedua pihak (Pakistan
dan Burma) mencegah hal ini terjadi.
Sementara kelompok Rohingya moderat mencoba bernegosiasi dengan
pemerintah, kelompok Rohingya ekstrem membentuk kelompok bersenjata
(sebuah gerakan mujahidin) yang mengancam hubungan antara pemerintah
Burma dengan kelompok Rohingya moderat. Pada tahun 1954, pemerintah
mengadakan Operasi Monsoon yang mana menangkap para mujahidin dengan
membunuh para pemimpinnya dan memenjarakan pendukungnya. Pada tahun
1961, pemimpin Rohingya menyetujui pembentukan Administrasi Perbatasan
Mayu (MFA) yang diusulkan oleh Perdana Menteri U Nu. Program MFA
bertujuan untuk memerintah kota-kota di negara bagian Rakhine Utara dan
menciptakan sebuah administrasi terpisah yang dikendalikan oleh umat Islam
di dalam pemerintahan Rakhine Buddha. Namun, kudeta tahun 1962
mengakhiri harapan Muslim akan pemerintahan sendiri, menggagalkan
perjanjian politik lebih lanjut dan secara signifikan membatasi aktivitas
Rohingya (Blomquist, 2016).
Pada tahun 1962, Jenderal Ne Win menerapkan kebijakan Burmanisasi
yang dirancang untuk memusatkan dan melegitimasi pemerintah dengan
menyatukan negara di bawah satu identitas nasional. Kebijakan ini mengaitkan
sosial dan ekonomi dengan asimilasi budaya Burma, sehingga tidak ada lagi
kepemimpinan etnis minoritas seperti Burma pada masa pemerintahan U Nu.
Selain itu, kebijakan tentang kewarganegaraan yang baru mendorong
pengeluaran kartu registrasi asing kepada Rohingya (FCA). Selain itu, terdapat
31
Operasi Naga Min pada tahun 1978 yang mana merupakan sebuah kampanye
demografis yang ditujukan untuk membedakan antara warga negara, orang
asing, dan orang asing ilegal. Pemerintah memperkuat sikap anti-Rohingya
dengan Undang-Undang Kewarganegaraan 1982. Undang-undang ini
mendiskriminasi Rohingya dalam sistem nasional-politik, sosial dan ekonomi-
dengan secara formal menetapkan status mereka sebagai orang asing ilegal.
Pad tahun 1991, pemerintah meluncurkan Operasi Pyi Thaya (Operasi
Pembesihan dan Pengindahan Negara) sebagai tanggapan atas demonstrasi
politik di negara bagian Rakhine. Operasi Naga Min dan Pyi Thaya memicu
kekerasan secara meluas terhadap Rohingya yang mengakibatkan migrasi
pengungsi besar-besaran melintasi perbatasan Bangaloheri(Blomquist, 2016).
Keberadaan etnis Rohingya yang tidak diakui mengakibatkan mereka
kehilangan banyak hak dasarnya sebagai warga negara, seperti hak mendapat
atau memiliki tempat tinggal, pekerjaan, dan kesjahteraan. Kehidupan warga
Rohingya pun sangat dibatasi. Mereka dilarang menikah tanpa mengantongi
izin resmi. Setelah menikah, mereka tidak diperbolehkan punya anak lebih dari
dua orang. Mereka juga tidak berhak memiliki paspor.
Dengan status seperti itu, anak-anak Rohingya kehilangan akses terhadap
pendidikan serta kesehatan. Tak heran, dengan kondisi seperti itu, UNHCR
mengkategorikan Rohingya sebagai etnis minoritas paling teraniaya di
dunia(Kompas, Menelisik Akar Pengungsi Rohingya, 2015).
Selain penolakan kewarganegaraan oleh Myanmar, beberapa ilmuan dan
pendukung Hak Asasi Manusia mengamati adanya pembatasan kebebasan
32
beragama bagi etnis Rohingya. Pemerintah Burma melanggar Pasal 34 dan
Pasal 354 Konstitusi Burma tahun 2008 serta Konvensi Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang melindungi kebebasan beragama atau
berkeyakinan. Pasukan Keamanan Burma menahan Muslim yang mengajarkan
doktrin ajaran agama dan Muslim yang berdoa meskipun tidak melanggar
ketentuan yang telah ditetapkan. Kemudian tempat ibadah hanya bisa dibangun
dengan persetujan informal yang seringkali dibatalkan semena-mena. Adapun
permintaan yang lebih formal seharusnyeringkali ditunda atau ditolak. Hal ini
kemudian menyebabkan umat Islam mengalami kesulitan dalam membangun
termasuk memperbaiki rumah ibadahnya (Abdelkader, 2013).
Pemerintah Burma juga menghalangi bantuan kemanusiaan dan mengusir
Rohingya untuk pergi ke negara-negara ketiga setelah konflik Rohingya dan
Rakhine semakin memanas. Padahal pemerintah Burma memikul tanggung
jawab utama untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan,
berdasarkan peraturan yang ada juga mewajibkan mereka untuk “memberikan
dan mamfasilitasi akses secara bebas untuk bantuan kemanusiaan” dan
memungkinkan “akses cepat dan tanpa hambatan ke pengungsi internal”.
Pemerintah Burma telah mengabaikan hal-hal ini dengan mengahalangi upaya
yang dilakukan pekerja PBB dan agen kemanusiaan lainnya. selain itu,
Pemerintah Burma pada dasarnya berkewajiban untuk mencegah dan
menghindari kondisi yang dapat menyebabkan penduduknya bermigrasi.
Pemerntah harus melakukan segala upaya untuk meminimalisasi migrasi
penduduknya(Abdelkader, 2013).
33
Pasukan keamanan Burma secara terus menerus melakukan kekerasan
terhadap warga Rohingya, mereka memukuli dan menganiaya mereka hingga
menyebabkan kematian. Tindakan seperti itu tentu saja melanggar prisip dasar
dalam PBB yang mana penggunaan kekerasan dan sejata api oleh aparat
penegak hukum sebisa mungkin bisa dicegah. Jika benar-benar diperlukan,
mereka diminta untuk menahan diri dan bereaksi secara proporsional untuk
meminimalkan kerusakan dan cedera (Abdelkader, 2013).
B. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Negara-Negara ASEAN
Konflik yang melibatkan etnis Rohingya dan etnis Rakhine ditambah
kurangnya upaya pemerintah untuk menghentikan konflik serta perlakuan
diskriminasi yang dilakukan pemerintah terhadap etnis Rohingya mendorong
mereka untuk pergi meninggalkan Myanmar. Orang-orang Rohingya ini
kemudian memilih beberapa negara menjadi destinasi mereka.
Perpindahan massal orang-orang Rohingya sudah berlangsung sejak
beberapa dekade terakhir, tepatnya sejak deklarasi kemerdekaan Myanmar dari
Inggris Raya pada 1948 disusul berbagai mekanisme diskriminatif untuk
membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya di sana.
Ketika rezim U Ne Win berkuasa tahun 1962, etnis Rohingya semakin
terpuruk dengan adanya penolakan pemberian status kewarganegaraan. Situasi
semakin memburuk dengan terbitnya Undang-undang Kewarganegaraan tahun
1982(DIKJEN Kerja Sama ASEAN KEMENLU RI, 2015). UU ini mengeluarkan
Rohingya dan beberapa etnis minoritas lain, seperti Panthay, Ba Shu, dan enam
34
etnis lainnya dari daftar delapan etnis utama dan 135 kelompok etnis kecil yang
mana tergolong etnis resmi di Myanmar. Status etnis Rohingya kemudian
diturunkan menjadi temporary residents dan hanya menyandang temporary cards.
Berbagai kekerasan yang dialami oleh etnis Rohingya secara individu
maupun kelompok telah memaksa mereka untuk mencari perlindungan di negara
lain. Diskriminasi secara sistemis, pelanggaran HAM berat, serta kemiskinan akut
yang dihadapi etnis Rohingya, telah membuat mereka keluar dari negaranya
dengan kondisi perjalanan yang buruk dan terdampar di beberapa negara
tetangganya, seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Akan tetapi,
dalam tulisan ini penulis hanya akan membahas negara-negara ASEAN dengan
mempertimbangkan judul penelitian.
Gambar 3.1 Peta Negara Myanmar dan Negara-Negara Asia Tenggara
Sumber: google.com
35
Secara umum, pengungsi Rohingya sudah menjadikan Malaysia sebagai
destinasi utama, yang mana Thailand menjadi lokasi transit menunggu
kesempatan untuk bisa menuju ke Malaysia baik melalui darat dan laut.
Sementara untuk Indonesia, para pengungsi Rohingya ini umumnya rombongan
penumpang kapal yang terlunta-lunta di laut dan diselamatkan para nelayan
Indonesia atas pertimbangan kemanusiaan (Tim Yayasan Geutanyoe, 2016).
1. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Thailand
Kebijakan resmi Thailand pada dasarnya tidak pernah mendukung
masuknya Rohingya ke negaranya. Pada Tahun 1980, mantan Perdana Menteri
Thailand Prem Tinsulanonda menyediakan tempat penampungan kepada
ratusan dan ribuan pengungsi lain yang berasal dari Myanmar, seperti Karen,
Karenni, Mon, dan Shan, sedangkan jumlah penampungan untuk Rohingya
sangat rendah. Selain itu, Rohingya disebut sebagai “pengungsi sementara” dan
bukan “pengungsi” untuk memperjelas keengganan Thailand untuk
menerimanya.
Menurut Human Rights Watch, sejak 1992 Thailand mengambil beberapa
kebijakan. Pertama, pemerintah Thailand menolak para pengungsi yang dapat
menghadapi pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis. Kedua, pihak
berwenang Thailand sangat membatasi ruang operasional UNHCR untuk
mendukung para pengungsi Rohingya. Ketiga, untuk menyelesaikan krisis
pengungsi, Thailand mempromosikan kesepakatan gencatan senjata terhadap
etnis pemberontak dan pemerintah Myanmar (Yesmin, 2016).
36
Sebelum konflik yang terjadi pada tahun 2012 antara etnis Rohingya dan
etnis Rakhine, perjalanan manusia Rohingya melalui jalur laut menggunakan
kapal yang kebanyakan berangkat dari Cox Bazar di Bangladesh. Kemudian
mereka melintasi perbatasan dari negara bagian Rakhine Utara ke Bangladesh,
lalu mereka menemukan bahwa kapal-kapal dioperasikan jaringan
penyelundupan.
Sejak tahun 2012, telah terjadi peningkatan jumlah pengungsi Rohingya
yang melarikan diri dari Myanmar. Sejak bulan Juni 2014, diperkirakan 94.000
orang melewati perbatasan Rakhine, Sittwe dan Bangladesh Utara, jumlah
tersebut termasuk wanita dan anak-anak. Penumpang tersebut terdiri dari
Rohingya dan migran Bangladesh. Untuk dapat melakukan perjalanan tersebut,
setiap penumpang membayar sesuai dengan kesepakatan untuk berlayar ke
Laut Andaman menuju Pantai Selatan Thailand atau menuju ke Malaysia
(Equal Rights Trust, 2014).
Pelayaran biasanya berlangsung dari bulan Oktober sampai April pada
tahun selanjutnya, namun sejak tahun 2012 ketika pelayaran menggunakan
kapal kargo besar, jadwal tidak lagi bergantung pada bulan dan musim tertentu
karena mengandalkan arah angin. Dengan penggunaan kapal besar jumlah
penumpang juga meningkat drastis. Setelah perjalanan sudah dekat dengan
pantai Thailand, penumpang diturunkan ke kapal milik penyelundup yang lebih
kecil. Setiap kapal kecil menampung 350 hingga 600 penumpang dan kapal
besar dapat menampung 1000 orang (Equal Rights Trust, 2014).
37
Penderitaan pun terus menimpa Rohingya. Perahu yang mereka tumpangi
sangat sempit dan sesak. Penumpang tidak dapat berbaring untuk tidur.
Ransum makanan dan air yang sedikit tidak cukup untuk perjalanan yang bisa
memakan waktu berminggu-minggu. Lama waktu perjalanan bergantung pada
kondisi kapal, cuaca dan kecakapan navigasi pendayung. Kondisi buruk kapal
yang sesak dan pengalaman pendayung yang tidak dapat diandalkan telah
mengakibatkan banyaknya kapal yang tenggelam kemudian menyebabkan
penumpang meninggal dunia. Selain kematian akibat kecelakaan atau kapal
yang tenggelam, terdapat dugaan kasus awak kapal yang membunuh
penumpang dan memerkosa penumpang wanita. Rute laut Rohingya kemudian
menjadi salah satu rute yang paling berbahaya di dunia ini.
Selain perjalanan melalui laut, terdapat juga perjalanan jalur darat yang
ditempuh beberapa orang Rohingya. Perjalanan melalui jalur darat kebanyakan
ditempuh oleh orang-orang Rohingya yang sudah lama tinggal di Thailand.
Kebanyakan dari mereka tinggal di Bangkok, ibu kota Thailand, di sekitar
provinsi Khon Kaen (dekat perbatasan Laos) dan Tak (dekat perbatasan
Myanmar). Selain itu, beberapa orang Rohingya juga terdapa di Provinsi
Selatan, seperti Ranong, Nakhon Si Thammarat dan Songkhla (Equal Rights
Trust, 2014).
Alasan beberapa orang memutuskan untuk meninggalkan Myanmar
sebagian besar terkait dengan penyitaan tanah, kerja paksa biasanya kuli
militer,selain itu diskriminasi, penganiayaan, dan ketidak mampuan untuk
mendapatkan kehidupan yang layak. Mereka yang tidak tahan dengan kondisi
38
seperti ini, kemudian meninggalkan Myanmar dan pergi ke Thailand setelah
melalui perjalanan yang panjang dengan rute darat.
Beberapa orang sempat singgah di Bangladesh dan India sebelum pergi
ke Thailand, dan sebagian besar memasuki negara itu melalui Mae Sot atau
Ranong, kota-kota perbatasan yang terletak di sepanjang perbatasan Thailand
bagian barat. Seluruh perjalanan darat bisa menghabiskan waktu berbulan-
bulan, bisa lebih dari setahun, tergantung pada rute yang dilalui dan berapa
banyak waktu yang dihabiskan di beberapa tempat berbeda (Equal Rights
Trust, 2014).
Imigran Rohingya yang tiba di Thailand melalui Mae Sot dan Ranong
beberapa tahun lalu tinggal di daerah perbatasan dalam jangka waktu yang
bermacam-macam. Beberapa orang dengan segera mencari pekerjaan, beberapa
orang mencari perlindungan dari UNHCR di Bangkok, sementara yang lain
mencari pekerjaan dengan menjadi pekerja kasar di wilayah Mae Sot atau Tak,
seperti pembantu rumah tangga, menjadi petani, dan buruh pengangkut barang.
Sebelum awal tahun 1990, para imigran yang bepergian ke beberapa wilayah
Thailand tidak menghadapi pembatasan gerak seperti yang mereka hadapi
sekarang. Seorang pria Rohingya yang tinggal di Mae Sot selama setahun
sebelum pergi ke Bangkok menagatakan bahwa ia bersama beberapa orang
lainnya melakukan perjalanan ke India lalu ke Mae Sot. Mereka membutuhkan
waktu 3 bulan. Ia tinggal di Mae Sot selama setahun dan bekerja sebagai buruh
pengangkut barang melintasi perbatasan. Setelah itu baru ia sampai di Bangkok
39
dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan menabung untuk membangun
bisnis roti (Equal Rights Trust, 2014).
2. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Malaysia
Pada tahun 1970 an dan 1980 an Malaysia dengan terbuka menampung
pengungsi yang berasal dari berbagai negara, seperti Indonesia, Bosnia, dan
Myanmar. Pada tahun 1991 dan 1992, pemerintah Myanmar tidak begitu
membatasi jumlah pengungsi Rohingya yang masuk ke negara tersebut.
Pemerintah mengeluarkan pass card dengan memberikan izin tinggal untuk
enam bulan kepada orang-orang Rohingya sebelum tahun 1992 (Yesmin,
2016).
Akan tetapi, akibat dari banyaknya tantangan yang muncul akibat
imigran ilegal, seperti keterlibatan mereka dalam aktivitas kriminal,
pengangguran, dan ancaman perbatasan, maka Malaysia mereformasi
“kebijakan pekerja asing” yang mana menyebabkan banyaknya jumlah migran
yang masuk ke negara mereka. Setelah krisis ekonomi Asia pada tahun 1997,
Pemerintah Malaysia mencabut ijin kerja dan mendeportasi imigran ilegal
(Yesmin, 2016).
Beberapa tahun terakhir, akibat konflik yang terjadi antara etnis
Rohingya dan etnis Rakhine pada tahun 2012, jumlah pengungsi dari Rohingya
yang datang ke Malaysia meningkat drastis. Orang-orang Rohingya terdiri dari
pria, wanita, dan anak-anakmelarikan diri dari kekerasan yang menimpa
mereka.
40
Sebagian besar Rohingya tiba dengan perahu yang secara tidak langsung
melewati Thailand. Perjalanan mereka kebanyakan dimulai dengan menaiki
perahu nelayan kecil yang berasal dari Sittwe dan Maungdaw, kemudian dari
sini mereka mungkin berhenti sejenak di Banglades atau langsung menaiki
kapal besar yang membawa mereka melintasi laut menuju Thailand dan
Malaysia. Jumlah yang tepat dari orang-orang Rohingya yang telah melakukan
perjalanan seperti ini tidak bisa diketahui secara pasti (Equal Rights Trust ,
2014).
Kemudian meskipun setiap perjalanan memiliki perbedaan masing-
masing, akan tetapiterdapat beberapa kesamaan di antara perjalanan mereka
dari Rakhine. Mereka mengatakan bahwa di tangan agen mereka pergi dengan
perahu kecil (yang hanya bisa menampung sekitar 20-50 orang) melewati jarak
sekitar dua mil laut, dimana sebuah kapal besar menunggunya. Orang-orang
kemudian diangkut ke kapal yang lebih besar dan dibutuhkan waktu dua
sampai empat hari untuk mengumpulkan semua orang di kapal yang lebih
besar. Kemudian mereka memulai perjalanan. Perjalanan tercepat memakan
waktu empat hari untuk sampai ke Thailand. Akan tetapi, dalam beberapa
kasus bisa memakan waktu antara tujuh sampai 20 harikarena kadang-kadang
mereka kehilangan arah. Apalagi jika mereka ditangkap oleh pemerintah
Thailand maka mereka akan berada di penjara untuk waktu beberapa lama.
Dalam beberapa kasus, mereka dirampok dan jatuh ke tangan pedagang
manusia yang menahan mereka di kamp-kamp perdagangan untuk waktu
beberapa lama (Equal Rights Trust , 2014).
41
Orang-orang yang selamat dari perjalanan mereka menggunakan kapal,
berhasil menghindari penahanan di Thailand dan mampu menebus
penyelundup atau pedagang akan dibawa ke Malaysia. Mereka bercerita bahwa
setelah dilepaskan dari pedagang, mereka akan dibawa dengan mobil melintasi
perbatasan.Tetapi, selama perjalanan di beberapa mereka harus turun dan
berjalan beberapa jam untuk menghindari pertemuan dengan pihak berwajib.
Akan ada yang menunggu mereka dan meminta mereka untuk kembali masuk
ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, dalam beberapa kasus
mereka ditangkap. Setelah melewati perbatasan mereka biasanya masuk
melalui Kedah dan Perils (Equal Rights Trust , 2014). Bagi mereka yang
ditahan di Thailand mereka tetap dalam penahanan dalam waktu yang cukup
lama, dan jika dibebaskan mereka akan melakukan hal yang sama untuk
sampai ke Malaysia.
Selain menggunakan kapal yang terlebih dahulu singgah di Thailand,
terdapat perahu yang tiba secara langsung tepat di pantai Malaysia. Akan tetapi
jumlah perahu yang tiba langsung tersebut sangat minim. Pada tahun 2013,
hanya empat perahu yang tiba di Penang, Langkawi dan Kuala selangor tanpa
dicegat. Namun jumlah ini mencakup jumlah perahu yang sampai pada
perhatian pihak berwenang, dengan lebih banyak perahu yang tiba tanpa
terdeteksi.
Orang-orang Rohingya yang berada di kapal ini kebanyakan berasal dari
Sittwe dan Kyauk Phyu, kota pesisir yang menelan banyak korban akibat
kekerasan yang terjadi pada tahun 2012 dan setelahnya. Kemudian jumlah
42
keberangkatan perahu dari Sittwe dan Kyauk Phyu menurun menjelang sensus
nasional di Myanmar pada bulan Maret 2014, dikarenakan harapan Rohingya
bahwa mereka akan dimasukkan dalam sensus tersebut. Akan tetapi, menyusul
eskalasi kekerasan dan pengumuman bahwa Rohingya tidak diidentifikasi
sebagai salah satu etnis Myanmar dalam sensus tersebut menyebabkan
pergerakan jumlah perahu telah meningkat lagi dengan dua kapal dari Sittwe
yang tiba di Malaysia. Perahu pertama tiba di Penang pada 10 April 2014
dengan membawa 129 orang. Semua orang di kapal tersbut kemudian
ditangkap oleh petugas imigrasi dan kasus telah dipindahkan ke Unit Anti
Perdagangan Manusia (ATIP). Perahu kedua tiba pada 9 Mei 2014 di Kuala
Perlis dengan 1010 orang di dalamnya. Pada tanggal 31 Mei 2014 , semua
orang kemudian ditangkap oleh otoritas imigrasi Malaysia dan tetap dalam
tahanan menunggu dibebaskan oleh UNHCR (Equal Rights Trust , 2014).
Berikut ini deskripsi seorang imigran tentang perjalanan menggunakan
perahu pada tahun 2012 untuk sampai ke Malaysia:
I paid Bangladeshi agent and left Teknaf by boat towards Malaysia.However, the boat got lost in the Indian Oceanand was stopped bythe Indian Navy. I was sent to a detention camp on Andaman Islandfor two months.
After two months, I was put on a packed fishing boat that came fromMalaysia. There were 297 men and three children aged about 10years old on the boat. The nonstop journey took five days and fournights. We finally reached Pantai Merdeka in Kedah and waited foragents to bring us down. Unfortunately, we were all arrested by theMalaysian Maritime Enforcement Agency and were sent to the policestation in Sungai Petani, Kedah.
We were remanded for two months while waiting for the courthearing. I heard that usually the remand is just for twoweeks, butthis time it as longer due to the fact taht some agents were trying to
43
negotiate our release for a sum of money. The negotiations failedand we were finally brought to court, charged with ilegally enteringthe country and sentenced to three months jail. After serving mysntence, I was sent to a detention camp in Melaka. UNHCR sentsome people to register me and I was finally released(Equal RightsTrust , 2014).
Orang-orang Rohingya kemudian menderita dengan kondisi perahu
yang kotor. Akibat kekurangan makanan, kondisi tidak sehat, kekerasan
oleh pialangdan kondisi berbahaya di laut pada perahu yang tidak layang,
banyak imigran Rohingya yang tidak dapat bertahan dengan gangguan
kesehatan fisik yang serius dan trauma psikologis yang parah. Seorang
pengungsi yang diwawancarai berkata:
It was an old fishing boat. There were 208 Rohingya on board andaround 70 Bangladeshi and one driver. It was crammed tight withpeople on the boat. We were like cattle crammed onto a lorry. Therewas not enough space to lie down. Just to sit scrunched up. It wasdifficult even to find enough space to eat. Every two days, we weregiven a small portion of rice and every day we were given two tothree cups of water.it wasn’t enough. We brought very light foodourselves to sustain us. Like small packets of sugar and sauce. Onboard, we were not treated badly and we were never beaten(EqualRights Trust , 2014).
Sepanjang 2013 dan awal 2014, terdapat perubahan yang terjadi terkait
dengan perjalanan para imigran Rohingya. Dalam demografi kedatangan
imigran Rohingya, mana jumlah imigran wanita dan anak-anak mengalami
peningkatan. Diperkirakan bahwa wanita dan anak-anak memiliki persentasi 5-
15% di luar negeri secara keseluruhan. Dengan semakin banyak wanita yang
menempuh perjalanan ini menyebabkan laporan tentang pemerkosaan di kapal
ini juga meningkat.Perubahan lainnya adalah implikasi kesehatan yang timbul
dari perjalanan menggunakan perahu dan kondisi kamp yang ada.
44
Meningkatnya jumlah pemuda Rohingya tiba, berusia 16-25 tahun mereka
memiliki kondisi kesehatan fisik yang parah, seperti “kelumpuhan akibat
asupan makanan yang kurang sehat dan kurungan yang lama”.
Meskipun perjalanan menggunakan perahu merupakan cara yang paling
umum digunakan para imigran Rohingya untuk sampai ke Malaysia, beberapa
dari mereka memilih jalan lain termasuk pergi melalui jalur udara. Berikut
kutipan penjelasan seorang imigran Rohingya yang menempuh jalur udara:
I left home because of the constant harrasment by the Myanmarauthorities and local people. My father initially did not allow me togo but relented and gave me RM 9,000 (USD 2,080) to pay agents inBangladesh. This was insufficent because the asking fee was RM13,000 (USD 4,050). However, the agent agreed to allow me to go,disguised as a “son” of another female refugee... From Dhaka weflew to Cambodia. Upon arrival my Bangladeshi passport was takenaway and I was separated the others. From Cambodia I made myway by car to Bangkok, and then onwards towards the Thai –Malaysia border, a journey which took two days and two nights.Then I made my way by foot across the border into Malaysia wherea car was waiting for me and took me to Kuala Lumpur. The agentskept me there until they found somebody in Penang who knew myfather. The agents demanded RM 600 (USD 186 )for my release.After the money was paid by my father’s friend, I was released andput on a bus to Penang(Equal Rights Trust , 2014).
Bagi mereka yang tidak mampu membayar tiket pesawat, mereka akan
menempuh perjalanan darat dari Rakhine ke Yangon lalu ke Thailand hingga
tiba di Malaysia. Perjalanan yang ditempuh mseki lebih mudah daripada
bepergian di laut lepas, seringkali memakan waktu jauh lebih lama, melintasi
banyka perbatasan, dan bukan tanpa tantangan sendiri.
Sebagian besar populasi Rohingya yang telah lama tinggal di Malaysia,
tinggal di kota-kota metropolitan dimana kesempatan kerja terbuka luas, seperti
Penang, Kuala Lumpur, dan Johor. Selain itu, mereka yang telah lama tinggal
45
di Malaysia, telah fasih menggunakan bahasa setempat dan sekarang beberapa
dari mereka mendirikan organisasi dan sekolah untuk membantu pendatang
baru dan anak-anak Rohingya yang tidak memiliki akses untuk bersekolah di
sekolah resmi.
Sampai saat ini, sangat jarang wanita Rohingya pergi meninggalkan
Myanmar, dan populasi pengungsi tiba-tiba sebagian besar merupakan pemuda
atau suami yang meninggalkan istri dan keluarganya di Myanmar. Setelah
memiliki pekerjaan yang tetap di Malaysia, beberapa dari mereka membuat
persiapan untuk istri mereka yang akan melakukan perjalanan dari Myanmar,
yang lain yang mana telah tinggal 15 tahun di Malaysia, menikahi wanita
Muslim setempat atau wanita migran Indonesia. dalam kedua kasus tersebut,
kehadiran generasi kedua dan ketiga Rohingya yang lahir dan tinggal di
Malaysia sangat penting. Generasi-generasi in, meski lahir di Malaysia dan
tidak pernah pergi ke Myanmar, mereka tetap dianggap sebagai “imigran
ilegal” dan tetap berada dalam keadaan tanpa kewarganegaraan yang berlarut-
larut (Equal Rights Trust , 2014).
3. Masuknya Pengungsi Rohingya ke Indonesia
Pengungsi Rohingya masuk ke wilayah Indonesia sejak periode 2000 an.
Pada 3 Februari 2009 sekitar 198 orang pengungsi Rohingya (semuanya laki-
laki) diselamatkan oleh nelayan Idi Rayeuk ke pelabuhan Kuala Idi karena
perahu yang mereka tumpangi sudah tidak memiliki mesin serta tidak memiliki
stok makanan dan minuman sama sekali. Sejak itu, sejumlah rombongan silih
46
berganti tiba mendarat di pantai Aceh melalui sejumlah titik berbeda(Tim
Yayasan Geutanyoe, 2016).
Pada Mei 2015, Indonesia kembali kedatangan para pengungsi Rohingya
yang terdampar di perairan Aceh. Sebanyak 1.300 orang yang bercampur
antara pengungsi Rohingya dan Bangladesh, diselamatkan oleh para nelayan
Aceh setelah berhari-hari terombang-ambing di laut(UNHCR, 2015). Sebelum
mencapai perairan Aceh, perahu-perahumereka ditinggalkan oleh para
awaknya di Perairan Andaman, Thailand(International, 2015). Meskipun
awalnya ditolak(Kompas, Panglima TNI Tolak Kapal Rohingya Masuk RI, tapi
Beri Bantuan, 2015), Pemerintah Indonesia pada akhirnya mengizinkan para
pengungsi Rohingya untuk mendarat untuk diberi pertolongan dan
penampungan sementara(Kompas, Ditolak di Negara Lain, Imigran Rohingya
dan Banglades Diterima Indonesia dengan Layak, 2015).
Antara 10-20 Mei 2015, total 1.807 orang pencari suaka Rohingya dan
Bangladesh telah diselamatkan oleh nelayan setempatdi lepas pantai Aceh,
Indonesia setelah menempuh perjalanan selama berbulan-bulan di lautan
dengan menumpang perahu para penyelundup manusia(Tim Yayasan
Geutanyoe, 2016). Indonesia menjadi tujuan akhir bagi mereka yang
menghadapi sikap keras pemerintah Malaysia dan Thailand.
Kedatangan pengungsi Rohingya dan imigran Bangladesh ke Aceh
meningkat dari tahun ke tahun. Sikap ramah dan terbuka yang secara alamiah
ditunjukkan masyarakat Aceh menjadi magnet bagi pengungsi Rohingya,
selain kesamaan agama dan cara hidup tradisional. Fenomena kecenderungan
47
Rohingya untuk menjadikan Aceh sebagai destinasi utama pengungsiannya
tampaknya akan berlangsung hingga beberapa tahun ke depan.
Peristiwa Mei 2015 ini kemudian diingat dengan sebutan ‘Bay of Bangal
Crisis’ atau ‘Andaman Sea Crisis’(UN News Centre, 2016). Sebagai respon
darurat, Pemerintah Thailand, Malaysia, dan Indonesia menggelar pertemuan
tingkat tinggi di Putrajaya, Malaysia pada 20 Mei 2015. Pertemuan ini
membahas solusi dari gelombang masuknya pengungsi dan masalah keamanan
nasional dari ketiga negara.
Pada hari yang sama, pemerintah Indonesia dan Malaysia juga
menyatakan siap menampung para pengungsi dan pendatang yang terapung-
apung di laut dengan syarat mereka ditempatkan di negara ketiga atau
dipulangkan dalam waktu satu tahun(BBC Indonesia, Pengungsi Rohingya
akan ditempatkan di Aceh sampai setahun, 2015).
Etnis Rohingya di bawah perlindungan UNHCR dapat dibagi menjadi
pengungsi yang tinggal di dalam community housing, rumah detensi imigrasi
dan interception site, selain itu juga ada kategori pengungsi mandiri, yang
mengupayakan tempat tinggalnya sendiri. Di Makassar dan Medan, para
pengungsi ditempatkan di dalam community house yang dikoordinasikan oleh
IOM dan Kantor Imigrasi, dan di fasilitas-fasilitas rumah detensi imigrasi.
Sementara di wilayah Jabodetabek, banyak pengungsi yang menjadi pengungsi
mandiri (SUAKA Indonesia, 2016).
Pengungsi Rohingya yang pada umumnya menjadikan Malaysia sebagai
destinasi utama dan Thailand sebagai lokasi transit menuju Malaysia, sampai
48
ke Indonesia dalam keadaan terlunta-lunta di laut hingga diselamatkan oleh
nelayan Indonesia.
Jumlah Rohingya yang berangkat dari Teluk Benggala terus meningkat
secara dramatis sejak 2012. Mereka melakukan perjalanan yang berbahaya dari
sana. Pada Mei 2015, gerakan maritim tidak teratur ini menjadi berita utama
ketika beberapa kapal diperkirakan membawa lebih dari 7.000 penumpang
ditinggalkan terkatung-katung di Laut Andaman oleh penyelundup, tanpa air,
makanan dan bahan bakar yang cukup(UNHCR, MIXED MARITIME
MOVEMENTS, 2015). Perahu dan para penumpang ditinggalkan begitu saja
oleh para penyelundup.
Kemudian terjadi penangkapan terhadap para pelaku perdagangan
manusia di Thailand dan Malaysia pada pasca penemuan kuburan massal
pengungsi di perbatasan Thailand-Malaysia di awal Mei. Pemerintah
Indonesia, Malaysia, dan Thailand sayangnya menanggapi pengungsi yang
terkatung-terkatung tersebut dengan menolak kapal mereka untuk mendarat,
bahkan memutar arah perahu dalam apa yang digambarkan sebagai permainan
“ping pong” manusia. Sejak krisis kemanusiaan berlangsung di laut, kecaman
internasional pun terjadi dan pemerintah setempat diminta untuk
mendahulukan penyelamatan nyawa diatas kepentingan sempit mereka dan
prinsip tidak campur-tangan sesama anggota ASEAN, dan segera bertindak
atas nama kemanusiaan (REUTERS, 2015).
Nelayan Aceh yang menemukan mereka kemudian memutuskan
menyelamatkan pengungsi di lautan lepas ini. Aksi heroik kemanusiaan yang
49
ditujukkan nelayan Aceh ini akhirnya memperoleh perhatian dunia. Dalam
sebuah penyelamatan terhadap apa yang disebut tragedi “ping-pong manusia”
oleh angkatan laut masing-masing negara kawasan ASEAN, pada Mei 2015
lalu. Tanpa memperdulikan larangan dari otoritas kelautan, nelayan Aceh
bersikeras membantu para pengungsi yang terkatung-katung dengan semangat
kemanusiaan (Tim Yayasan Geutanyoe, 2016).
Ar Rahman atau biasa disapa Pak Do, ialah salah satu nelayan Aceh yang
turut membantu proses evakuasi para pengungsi. Pak Do mengatakan bahwa
pengungsi laki-laki melompat ke laut sambil histeris dan bertakbir. Mereka
meminta tolong dengan bahasa mereka (BBC Indonesia, Kisah Nelayan Aceh
menyelamatkan Pengungsi, 2015).
Indonesia sebenarnya bukan menjadi tujuan awal dari pelarian.
Berhubung sikap keras yang ditunjukkan pemerintah Malaysia dan Thailand
terhadap para pendatang ilegal ini, menjadikan Indonesia sebagai harapan
terakhir bagi pengungsi Rohingya.
50
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Krisis Kemanusiaan Rohingya yang kemudian berdampak pada negara-
negara di sekitarnya menyebabkan negara-negara yang menjadi destinasi
utama pengungsi Rohingya seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia,
mengeluarkan beberapa kebijakan untuk dapat mengurangi beban para
pengungsi Rohingya. Kebijakan dalam bidang politik dan keamanan
mempertimbangkan kepentingan domestik masing-masing negara diharapkan
dapat membantu pengungsi Rohingya dengan walaupun ketiga negara tidak
dapat berbuat banyak mengingat ketiga negara belum menandatangani
Konvensi tentang Pengungsi Tahun 1951 atu Protokol tentang pengungsi
Tahun 1967. Sehingga Malaysia dan Indonesia sebagai negara penerima
pengungsi hanya bisa memberikan bantuan berupa penampungan sementara
kepada mereka dengan fasilitas sandang, pangan, dan papan yang memadai
sementara Thailand hanya dapat memberikan bantuan berupa makanan,
minuman, dan bahan bakar bagi kapal-kapal pengungsi yang singgah di
wilayah teritorial Thailand.
2. Negara-negara ASEAN tidak dapat begitu merespon krisis kemanusiaan
Rohingya disebabkan hanya dua negara yang menandatangani Konvensi
tentang pengungsi tahun 1957, yaitu Kamboja dan Filipina. Selain itu,
negara-negara ini tidak menjadi destinasi pengungsi Rohingya secara besar-
besaran seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Hal ini antara lain
51
disebabkan jarak tempuh pengungsi Rohingya ke tiga negara tersebut yang
relatif dekat dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Akan tetapi, Filipina
sebagai negara anggota ASEAN yang menandatangani Konvensi tentang
Pengungsi berkontribusi dalam memberikan bantuan terhadap pengungsi
Rohingya bersama Malaysia, Thailand, dan Indonesia.
B. Saran
1. Negara-negara ASEAN yang menjadi destinasi pengungsi Rohingya harus
meningkatkan fasilitas yang diberikan kepada pengungsi Rohingya
mengingat mereka sangat membutuhkan bantuan dari negara-negara
tetangganya akibat berbagai kekerasan dan penindasan di negara tempat
mereka tinggal. Hal ini demi mewujudkan terciptanya keamanan global
melalui tercapainyakeamanan manusia yang merupakan hak setiap individu.
2. Semua negara ASEAN harus terlibat aktif dalam penyelesaian krisis
kemanusiaan Rohingya mengingat Rohingya merupakan salah satu dari
komunitas masyarakat yang ada di ASEAN yang mana sedang mengalami
penindasan dan kekerasan di negara tempat tinggal mereka sendiri. Walaupun
pada dasarnya ASEAN menganut prinsip non-interference, akan tetapi
masalah kemanusiaan sebagai masalah global harus mencapai titik
penyelesaiannya.
3. Myanmar sebagai negara tempat minoritas Rohingya tinggal harus
mempertimbangkan kembali kewarganegaraan Rohingya yang menjadi titik
masalah penyebab terjadinya krisis kemanusiaan terhadap Rohingya
mengingat jika mempertimbangkan kembali catatan sejarah etnis Rohingya di
52
Myanmar, sudah seharusnya Rohingya ditetapkan sebagai salah satu etnis
resmi yang ada di Myanmar.
53
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, M. (2011). Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat : In Court& Out CourtSystem. Depok: Gramata.
David Dickens. (2002). The Human Face of Security: Asia-Pacific Perspectives.Canberra: Strategic Defence Studies Centre Australian NationalUniversity.
Equal Rights Trust . (2014). Equal Only in Name The Human Rights of StatelessRohingya in Malaysia . London: Equal Only in Name The Human Rightspartnership with The Institute of Human Rights and Peace Studies,Mahidol University .
Equal Rights Trust. (2014). Equal Only in Name The Human Rights of StatelessRohingya in Thailand. London: Equal Rights Trust in Partnership withThe Institute of Human Rights and Peace Studies, Mahidol University.
Hartati, A. Y. (2013). Konflik Etnis Myanmaar (Studi Eksistensi Rohingyaditengah Tekananan Pemerintah). Semarang: Universitas Wahid Hasyim.
Hiariej, O. S. (2010). Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadapHAM. Jakarta: Erlangga.
Hla, M. T. (2009). Rohingya Hoax. New York: Buddhist Rakhaing CulturalAssociation.
Ikbar, Y. (2014). Metodologi & Teori Hubungan Internasional. Bandung: RefikaAditama.
Irish Centre for Human Rights. (2010). Crime against Humanity in WesternBurma: The Situaton of the Rohingyas. Galway: National University ofIreland.
Mauna, B. (2005). Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsidalam Era Dinamika Global edisi ke-2. Bandung.
Peter Baehr. (2006). Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, terj.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rahmat, A. N. (2015). Keamanan Global Transformasi Isu Keamanan PascaPerang Dingin. Bandung: Alfabeta.
54
Starke, J. (2007). Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kesepuluh . Jakarta:Sinar Grafika.
SUAKA Indonesia. (2016). Hidup Yang Terabaikan. Jakarta Pusat: LembagaBantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Suarda, I. G. (2012). Hukum Pidana Internasional : Sebuah Pengantar . Bandung:Citra Adya Bakti.
Tim Yayasan Geutanyoe. (2016). Hidup Dalam Penantian Setahun PengungsiRohingya di Aceh. Aceh: The Geutanyoe Foundation.
Jurnal
Abdelkader, E. (2013). The Rohingya Muslims in Myanmar: Past, Present, andFuture. Oregon Review of International Law, Vol. 15, No. 393, 401-404.
Achmad Romsan. (2003). Pengantar Hukum Pengungsi Internasional : HukumInternasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional. Bandung:Sanic Offset.
Alfi Revolusi. (2013). Faktor-Faktor Penyebab Konflik Etnis Rakhine danRohingya di Myanmar. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa UNEJ,2.
Apriyanti, D. (2014). Reformasi Politik dan Ekonomi di Myanmar Pada MasaPemerintahan U Thein Sein (2011-2013). Universitas Riau, Vol. 1, Vol.2,2.
Asrieyani, D. (2013). Peran Office of The High Commisioner for Human RightDalam Penyelesaian Kasus Genosida Etnis Rohingya Di Myanmar (1967-2012). Jurnal Universitas Mulawarman, Vol.1, No.2, 1.
Blomquist, R. (2016). Ethno-Demographic Dynamics of the Rohingya-BuddhistConflict. Georgetown Journal of Asian Affairs, 94.
Chan, A. (2005). The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine)State of Burma . SOAS Bulletin Burma Research, Vol.3, NO.2. SBBR.
International Orgaisation for Migration (IOM). (2015). Irregular MaritimeMigration in the Bay of Bengal: The Challenges of Protection,Management and Cooperation. Migration Policy Institute, 2.
55
Kundu, S. (2015). The Rohingyas: Security Implications for ASEAN and Beyond.New Delhi: IDSA Issue Brief.
Muhammad, S. V. (2012). Tragedi Kemanusiaan Rohingya. Info SingkatHubungan Internasional, Vol. IV, NO. 15, 5-6.
Oh, S.-A. (2010). Education in Refugee Camps in Thailand: Policy, Practice andPaucity. United National Educational, Scientific and CulturalOrganizations.
Raharjo, S. (2015). Peran Identitas Agama Dalam Konflik Di Rakhine MyanmarTahun 2012-2013. Jurnal Kajian LIPI, Vol. 6, No.1, 39-40.
Revolusi, A. (2013). Faktor-Faktor Penyebab Konflik Etnis Rakhine danRohingya di Myanmar. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa UNEJ,2.
Safe Haven. (2013). Sheltering Displaced Persons from Sexual and Gender-BasedViolence, Case Study Thailand, May 2013 . Berkley: University ofCalifornia.
San, Y. N. (2013). Group Resettlement of Thai Border Refugees to End Early2014: UNHCR. The Irrawady.
Waluyo, J. T. (2013). Konflik Tak Seimbang Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine diMyanmar. Jurnal Transnasional, Vol.4, No.2,
Xiong, D. H. (2015). Rohingya Refugee Crisis: Testing Malaysia's ASEANChairmanship. RSIS COMMENTARY, 1-3.
Yesmin, S. (2016). POLICY TOWARDS ROHINGYA REFUGEES: ACOMPARATIVE ANALYSIS OF BANGLADESH, MALAYSIA ANDTHAILAND. Journal of the Asiatic Society of Bangladesh (Hum.), Vol.61(1), 88.
Dokumen
Awaludin, H. (2012). HAM : politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional.Jakarta: Kompas.
Amnesty International. (2012). Myanmar: Abuse against Rohingya erode humanrights progress. Amnesty International.
56
Barry Buzan. (1998). Security: A New Framework for Analysis. Lyenne RiennerPublishers.
Buzan, B. (2000). Human Security: What It Means, What It Entails 14 th AsiaPasific Roundtable on Confidence Building and Conflict Resolution .Kuala Lumpur .
DIKJEN Kerja Sama ASEAN KEMENLU RI. (2015, Juni 8). Rohingya, antaraSolidaritas ASEAN dan Kemanusiaan. Masyarakat ASEAN. Jakarta, DKIJakarta, Jakarta: Media Publikasi DIKJEN Kerja Sama ASEANKEMENLU RI.
Human Right Watch. (2012). Ad hoc and Inadequate: Thailand's Treatement ofRefugees and Asylum Seekers . Human Right Watch.
Human Rights Watch. (2013). "All You Can Do Is Pray": Crimes AgainstHumanity and Ethnic Rohingya Muslims in Burma's Arakan State. NewYork: Human Right Watch.
Human Security Unit. (2009). Human Security in Theory and Practice. NewYork: Human Security Unit .
South China Morning Posts. (2013, Oktober 24). Karen Refugees in Mae LaCamp Live in Fear of Forced Return to Myanmar. Karen Refugees in MaeLa Camp Live in Fear of Forced Return to Myanmar. South ChinaMorning Posts.
The Economist. (2010, Oktober 15). Banyan, Welcome withdrawn. Banyan,Welcome withdrawn. The Economist.
UNHCR. (2015). Join Statement by UNHCR, OHCHR, IOM, and SRSG forMigration and Development: Search and Rescue at Sea, Disembarkation,and Protection of The Human Rights of Refugees and Migrants NowImperative to Save Liven in bay of Bengal and Andaman Sea . UNHCRPress Release.
Internet
AlJazeera. (2013, Juni 5). Malaysia Detains Myanmar Migrants Over Deaths.Dipetik Agustus 11, 2017, dari AlJazeera:http://www.aljazeera.com/news/asia-pacific/2013/06/20136585912715688.html
57
Asia Times. (2003, Oktober 21). Myanmar's Muslim sideshow. Dipetik Mei 7,2017, dari Asia Times Online:http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/EJ21Ae01.html
Bahar, A. (2012, July 29). Ancient Kingdom of Arakan: Understanding The Arab-Chandra Synthesis . Dipetik Mei 29, 2017, dari Kaladan Press:http://www.kaladanpress.org/index.php/report/rohingya/3772-burmas-rohingya-origin-in-the-ancient-kingdom-of-arakan-understanding-the-arab-chandra-synthesis.html
BBC Indonesia. (2015, Mei 16). Kisah Nelayan Aceh menyelamatkan Pengungsi.Dipetik Mei 16, 2017, dari BBC Indonesia:http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150516_indonesia_nelayan_pengungsi
BBC Indonesia. (2015, Juni 4). Pengungsi Rohingya akan ditempatkan di Acehsampai setahun. Dipetik Mei 15, 2017, dari BBC Indonesia:http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150604_indonesia_penempatan_rohingya
BBC Indonesia. (2016, Februari 21). Tenggat Waktu Hampir Habis MalaysiaAkan Tetap Tampung Pengungsi Rohingya. Dipetik Maret 21, 2017, dariBBC Indonesia:http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/02/160220_dunia_malaysia_rohingya
Community, C. (2013, November). Working with new and emerging communities:A guide. Dipetik April 14, 2017, dari CMRC Community:http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:fU8WCcC5gwkJ:lacextra.legalaid.nsw.gov.au/PublicationsResourcesService/PublicationImprints/Files/555.pdf+&cd=8&hl=id&ct=clnk&client=firefox-b-ab
Deutsche Welle Indonesia. (2015, Mei 20). Malaysia dan Indonesia SetujuTampung Pengungsi Rohingya. Dipetik Maret 28, 2017, dari DeutscheWelle Indonesia: http://www.dw.com/id/malaysia-dan-indonesia-setuju-tampung-pengungsi-rohingya/a-18462889
Deutsche Welle Indonesia. (2015, Agustus 31). Rohingya, sebenarnya BukanKonflik Agama. Dipetik Mei 31, 2017, dari Deutsche Welle Indonesia:http://www.dw.com/id/rohingya-sebenarnya-bukan-konflik-agama/a-18683571
58
Deutsche Welle Indonesia. (2016, November 22). Militer Myanmar KembaliSerang Etnis Rohingya. Dipetik Maret 21, 2017, dari Deutsche WelleIndonesia: http://www.dw.com/id/militer-myanmar-kembali-serang-etnis-rohingya/a-36477718
Deutsche Welle, I. (2016). Deutsche Welle Indonesia. Dipetik Februari 23, 2017,dari Deutsche Welle Indonesia: http://www.dw.com/id/militer-myanmar-kembali-serang-etnis-rohingya/a-36477718
Deutsche Welle, I. (2017). Deutsche Welle Indonesia. Dipetik Februari 23, 2017,dari Deutsche Welle Indonesia: http://www.dw.com/id/inilah-profil-manusia-perahu-rohingya/a-18467515
Indonesia, V. (2014, April 28). Putus Asa, Anak-anak Rohingya TinggalkanRumah dengan Perahu. Dipetik Agustus 11, 2017, dari VoA Indonesia:https://www.voaindonesia.com/a/putus-asa-anak-anak-rohingya-tinggalkan-rumah-dengan-perahu/1902405.html
International, A. (2015, Oktober 21). Southeast Asia: Persecuted RohingyaRefugees From Myanmar Suffer Horrific Abuses at Sea. Dipetik Mei 15,2017, dari Amnesty International : https://www.amnesty.org/en/press-releases/2015/10/southeast-asia-persecuted-rohingya-refugees-from-myanmar-suffer-horrific-abuses-at-sea/
Kompas. (2015, Mei 22). Ditolak di Negara Lain, Imigran Rohingya danBanglades Diterima Indonesia dengan Layak. Dipetik Mei 15, 2017, dariKOMPAS.COM: http://print.kompas.com/baca/internasional/asia-pasifik/2015/05/22/Ditolak-di-Negara-Lain%2c-Imigran-Rohingya-dan-Bangl
Kompas. (2015, Mei 23). Jokowi Pastikan Malaysia dan Thailand Siap KerjaSama Bantu Pengungsi Rohingya. Dipetik Maret 21, 2017, dariKOMPAS.COM:http://nasional.kompas.com/read/2015/05/23/13371261/Jokowi.Pastikan.Malaysia.dan.Thailand.Siap.Kerja.Sama.Bantu.Pengungsi.Rohingya
Kompas. (2015). Kompas. Dipetik Januari 27, 2017, dari KOMPAS.COM:http://print.kompas.cpm/baca/2015/06/03/Menelisisk-Akar-Persoalan-Rohingya
Kompas. (2015). Kompas. Dipetik Januari 21, 2017, dari KOMPAS.COM:http://print.kompas.com/baca/2015/06/03/Menelisik-Akar-Persoalan-Rohingya
59
Kompas. (2015, Juni 3). Menelisik Akar Pengungsi Rohingya. Dipetik Mei 6,2017, dari KOMPAS.COM:http://print.kompas.com/baca/2015/06/03/Menelisik-Akar-Persoalan-Rohingya
Kompas. (2015, Mei 15). Panglima TNI Tolak Kapal Pengngsi Rohingya MasukRI, tapi Bersedia Beri Bantuan. Dipetik Maret 28, 2017, dariKOMPAS.COM:https://www.google.com/search?q=indonesia+menolak+pengungsi+rohingya&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b-ab
Kompas. (2015, Mei 15). Panglima TNI Tolak Kapal Rohingya Masuk RI, tapiBeri Bantuan. Dipetik Mei 2017, 15, dari KOMPAS.COM:http://nasional.kompas.com/read/2015/05/15/20213301/Panglima.TNI.Tolak.Kapal.Pengungsi.Rohingya.Masuk.RI.tapi.Bersedia.Beri.Bantuan
Liputan 6. (2015, Mei 15). Thailand-Malaysia Menolak, Pengungsi Terdampar diAceh. Dipetik Maret 28, 2017, dari Liputan 6:http://global.liputan6.com/read/2232748/thailand-malaysia-menolak-pengungsi-rohingya-terdampar-di-aceh
New York Times. (2015, Mei 29). Asian States Say They'll Focus on Causes ofMigrant Crisis. Dipetik Agustus 15, 2017, dari New York Times:www.nytimes.com/2015/05/30/world/asia/yanmar-deffects-un-criticism-over-rohingya.html.
Prague, B. C. (t.thn.). Burma Center Prague. Dipetik Maret 19, 2017, dari BurmaCenter Prague: https://www.burma-center.org/history-land-and-people/
Purwanto, A. (2015, Juni 3). Menelisik Akar Persoalan Rohingya. Dipetik Maret27, 2017, dari KOMPAS.COM:http://print.kompas.com/baca/2015/06/03/Menelisik-Akar-Persoalan-Rohingya
Ramidi. (2015, Mei 23). Atasi Pengungsi Rohingya, Indonesia Harus GalangInternasional Tekan Myanmar. Dipetik Agustus 13, 2017, dariGRESNEWS.COM: http://www.gresnews.com/berita/sosial/150235-atasi-pengungsi-rohingya-indonesia-harus-galang-internasional-tekan-myanmar/0/
REUTERS. (2015, Mei 18). 'Boat People' crisis a test ASEAN's humanitarianresolve. Dipetik Mei 16, 2017, dari REUTERS:
60
http://www.reuters.com/article/us-asia-migrants-asean-idUSKBN0O31J220150518
Saikia, P. (2011, Desember 31). Burma: Rohingya Refugees and Thailand's 'PushBack' - Analysis. Dipetik Juli 21, 2017, dari Rohingya:http://www.rohingya.org/portal/index.php/reports/38-report/286-burma-rohingya-refugees-and-thailands-push-back-analysis.pdf
Tan, V. (2017, Mei 3). Over 168,000 Rohingya Likely Fled Myanmar Since 2012-UNHCR Report . Dipetik Agustus 11, 2017, dari UNHCR:http://www.unhcr.org/news/latest/2017/5/590990ff4/168000-rohingya-likely-fled-myanmar-since-2012-unhcr-report.html
The Guardian. (2015, Mei 21). Breakthrough in Asian Migrant Crisis asIndonesia and Malaysia Agree to Help. Dipetik Juli 24, 2017, dari TheGuardian: at http://www.theguardian.com/world/2015/may/20/hundreds-more-migrants-
UN News Centre. (2016, Februari 23). Bay of Bengal'three times more deadly'than Mediterranean for migrants and refugees-UN. Dipetik Mei 15, 2017,dari UN News Centre:http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=53298#.WRnBrNxtHIV
UNDP. (1994). United Nations Development Programme . Dipetik Maret 1, 2017,dari United Nations Development Programme :http//hdr.undp.org/sites/default/files/reports/255/hdr_1994_en_complete_nostats.pdf
UNHCR. (2015, Mei 18). After long ordeal at sea, Rohingya find humanity inIndonesia. Dipetik Mei 15, 2017, dari UNHCR:http://www.unhcr.org/news/latest/2015/5/5559efb36/long-ordeal-sea-rohingya-find-humanity-indonesia.html
UNHCR. (2015, April-Juni). MIXED MARITIME MOVEMENTS. Dipetik Mei 16,2017, dari UNHCR: http://www.unhcr.org/53f1c5fc9.html
UNHCR. (2015, Mei 29). Statement by Volker Turk, UNHCR's Assistant HighCommisioner for Protection Press Release. Dipetik Agustus 15, 2017, dariUNHCR: www.unhcr.or.th/news/Statement_by_Volker_T%C3%Bcrk.
United Nations Press Release. (1999, Oktober 12). DEPUTY SECRETARY-GENERAL ADDRESSES PANEL ON HUMAN SECURITY MARKINGTWENTIETH ANNIVERSARY OF VIENNA INTERNATIONAL CENTRE.Dipetik Mei 1, 2017, dari UNITED NATIONS MEETINGS COVERAGE
61
AND PRESS RELEASES:http://www.un.org/press/en/1999/19991012.dsgsm70.doc.html
United Nations Press Releases. (2000, Mei 8). SECRETARY-GENERALSALUTES INTERNATIONAL WORKSHOP ON HUMAN SECURITY INMONGOLIA. Dipetik Mei 1, 2017, dari UNITED NATIONS MEETINGSCOVERAGE AND PRESS RELEASES:http://www.un.org/press/en/2000/20000508.sgsm7382.doc.html
VOA Indonesia. (2015, Mei 26). Warga Rohingya Cari Kehidupan Lebih Baik diMalaysia, Temukan Kenyataan Pahit. Dipetik April 15, 2017, dari VOAIndonesia: http://www.voaindonesia.com/a/warga-rohingya-cari-kehidupan-lebih-baik-di-malaysia-temukan-kenyataan-pahit/2790542.html
Watch, H. R. (2013, Agustus 20). Thailand: Release and Protect Rohingya 'BoatPeople'. Dipetik Agustus 11, 2017, dari Human Rights Watch:https://www.hrw.org/news/2013/08/20/thailand-release-and-protect-rohingya-boat-people
Wuri, F. (2015). Seperti Ini Shelter Pengungsi Rohingya di Thailand. DipetikMaret 21, 2017, dari NET. CJ: http://netcj.co.id/public-affairs/video/180218/seperti-ini-shelter-pengungsi-rohingya-di-thailand