Post on 05-Dec-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasar modal menjalankan dua fungsi yang penting bagi perekonomian suatu
negara, yang pertama sebagai sarana bagi perusahaan untuk mendapatkan dana
dari investor. Kedua, menjadi sarana investasi bagi masyarakat dalam bentuk
saham, obligasi, reksa dana, dan lain-lain. Pasar modal juga dapat dijadikan
leading indicator perekonomian, jika memiliki kondisi yang baik atau terus
berkembang, maka ekonomi negara tersebut dapat dikatakan juga akan baik walau
tidak secara mutlak.
Para pelaku di pasar modal telah menyadari bahwa perdagangan efek dapat
memberikan return yang cukup baik bagi mereka, dan sekaligus memberikan
kontribusi yang besar bagi perkembangan perekonomian negara. Banyak industri
dan perusahaan yang menggunakan institusi pasar modal sebagai media untuk
menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya. Melihat
jumlah uang yang terhimpun dalam pasar modal kita dan kemajuannya yang
berdampak pada pengakuan negara kita sebagai negara tujuan investasi, dapat
dikatakan bahwa perbaikan pada pasar modal harus dilakukan secara terus
menerus, karena menyangkut kepentingan publik yang sangat luas bahkan tidak
hanya bagi masyarakat kita tetapi sudah menyangkut nama negara karena
melibatkan investor internasional.
Disamping menerapkan prinsip tata kelola perusahaan (corporate
governance). Salah satu ciri perusahaan yang dikelola dengan baik adalah
menyampaikan informasi dengan lebih cepat, akurat, dan lengkap (Arifin, 2003).
Oleh kerena itu, guna mencegah masalah yang akan merugikan kepentingan
publik, maka perusahaan yang listing di BEI perlu menyampaikan laporan
keuangan bagi para pihak di luar perusahaan. Sebagaimana telah diatur oleh
BAPEPAM dalam KEP-134/BL/2006 tentang kewajiban penyampaian laporan
keuangan, yang juga mengatur bentuk dan isi laporan tahunan yang harus
diungkapkan pada laporan keuangan.
Hal ini juga dilakukan guna mengurangi kemungkinan terjadinya asimetri
informasi, yang sering timbul pada perusahaan dengan two tier board system.
Sebagaimana telah ditegaskan Jensen dan Meckling (1976) yang memandang
baik principal dan agent memiliki keepentingan untuk memaksimumkan
kesejahteraan, baik untuk kesejahteraan para pemegang saham dari sisi principal /
investor serta kesejahteraan pribadi para agent / manajer di sisi lain. Sehingga ada
kemungkinan besar bahwa agen tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik
principal.
Yayasan Pendidikan Pasar Modal Indonesia (YPPMI) dan Sinergy
Communication (2002) dalam Cety (2010) juga menekankan konsep utama tata
kelola perusahaan adalah pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh
informasi dengan benar dan tepat pada waktunya serta kewajiban perusahaan
untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat tepat pada waktunya
dan transparansi mengenai semua hal yang berkaitan dengan performance
perusahaan. Sebuah informasi dapat dikatakan informatif, jika informasi tersebut
dapat merubah keyakinan para pengambil keputusan. Adanya suatu informasi
tambahan akan mempengaruhi keyakinan para investor. Beberapa penelitian
sebelumnya mengenai pengumuman laba dari perusahaan menunjukkan terdapat
asimetri informasi yang tinggi sebelum pengumuman. Pada saat pengumuman
laba para investor yang notabene telah memiliki informasi ataupun belum, akan
melakukan reaksi sebagai respon atas stimulus yang dilakukan oleh perusahaan.
Karena tiap-tiap komponen dalam pasar modal beranggapan akan ada informasi
penting yang disampaikan ke pasar (Chae, 2002).
Penelitian-penelitian sebelumnya (Ajinkya et al., 2005; Karamanou dan
Vafeas, 2005; Klein, 2002; dalam Kanagaretnam, 2007) mengindikasikan bahwa
dewan komisaris yang memonitor manajemen akan lebih meningkatkan kualitas
dan frekuensi informasi yang dirilis oleh manajemen. Dimana yang dimaksud
dalam hal ini bukan hanya informasi laba perusahaan tetapi termasuk
penyampaian voluntary disclosure pada laporan tahunan yang akan menurunkan
asimetri informasi. Penelitian Kanagaretnam et al. (2007) yang menguji
mengenai pengaruh komponen good corporate governance ini memiliki hasil
signifikan pada penurunan asimetri informasi di sekitar pengumuman laba
triwulanan (window event).
Sementara itu Akhtaruddin et al. (2009) telah menemukan hubungan antara
good corporate governace dan pengungkapan sukarela di malaysia. Dimana aspek
good corporate governance yang digunakan adalah ukuran dewan, independensi
dewan, kepemilikan publik, family control dan komite audit. Hasil penelitian
Akhtaruddin et al. (2009) menunjukan bahwa ukuran dewan komisaris memiliki
hubungan positif dengan tingkat pengungkapan voluntary, hal ini
mengindikasikan bahwa dewan komisaris memang berfungsi sebagai pengawas
kinerja perusahaan, termasuk dalam memastikan tata kelola perusahaan telah
dilaksanakan dengan baik untuk upaya mengurangi asimetri informasi.
Berdasar penjelasan tersebut, penelitian ini mencoba mereplikasi dan
memadukan antara penelitian yang telah dilakukan oleh Kanagaretnam et al.
(2007) dengan penelitian yang dilakukan oleh Akhtaruddin et al. (2009). Dengan
berfokus pada pengungkapan (disclosure) , peneliti ingin menguji apakah dewan
komisaris dapat menjadi moderasi hubungan pengungkapan tersebut terhadap
asimetri informasi. Ada beberapa hal yang menyebabkan penelitian ini berbeda
dengan penelitian sebelumnya. Pertama, penelitian ini menggunakan sampel
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2010 – 2011.
Kedua, variabel independen adalah item pengunggkapan aset tetap baik
mandatory maupun voluntary yang telah disesuaikan dengan PSAK No. 16 tahun
2009 (belum IFRS) dan peraturan Bapepam LK No. 134/BL/2006. Ketiga, proksi
untuk asimetri informasi adalah nilai ask bid spread sebagaimana yang dilakukan
dalam penelitian Kanagaretnam et al. (2007).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh antara pengungkapan aset tetap terhadap asimetri
informasi di perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI?
2. Apakah ukuran dewan komisaris dapat memoderasi pengaruh antara
pengungkapan perolehan aset tetap (baik voluntary maupun mandatory)
terhadap asimetri informasi di perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji seberapa besar pengaruh
pengungkapan aset tetap terhadap asimetri informasi pada perusahaan manufaktur
yang terdaftar di BEI serta apakah ukuran dewan komisaris dapat memperkuat
hubungan tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak,
diantaranya yaitu :
1. Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan
masukan kepada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk
mempertimbangkan penerapan good corporate governance sehingga pihak
yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan dapat terlindungi.
2. Bagi investor, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
untuk memilih perusahaan yang telah menerapkan good corporate
governance dalam keputusan investasi yang diambil.
3. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini mampu merumuskan bagaimana
strategi untuk meningkatkan penurunan asimetri informasi, hubungannya
dengan good corporate governance dan pengungkapan aset tetap sehingga
mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pasar modal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengungkapan
Kata pengungkapan (disclosure) dapat diartikan sebagai suatu proses atau
cara untuk menerangkan dengan jelas. Apabila dikaitkan dengan informasi,
pengungkapan berarti memberikan keseluruhan data yang bermanfaat kepada
pihak yang memerlukan tanpa menutupi atau menyembunyikan sesuatu.
Sedangkan jika dikaitkan dengan laporan keuangan, pengungkapan mengandung
arti bahwa laporan keuangan harus memberikan penjelasan yang memadai
mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha. Dengan demikian, informasi tersebut
harus lengkap, jelas dan dapat menggambarkan secara tepat kejadian-kejadian
ekonomi yang berpengaruh terhadap hasil operasi unit usaha tersebut.
Pengungkapan (disclosure) merupakan upaya transparansi perusahaan atau
entitas dalam menyajikan informasi baik keuangan maupun non keuangan kepada
para user. User dalam hal ini adalah para pengguna dari informasi tersebut dalam
entitas swasta (private) tentu saja yang menjadi user adalah para kreditor,
investor, manajer, karyawan, dan bahkan pemerintah. Suwardjono (2005)
mengungkapkan bahwa pengungkapan bagian integral dari pelaporan keuangan
dan langkah akhir dalam proses akuntasi yaitu penyajian informasi dalam
seperangkat penuh laporan keuangan. Dengan tujuan menyediakan informasi yang
memadai bagi para pengguna untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.
Perlu diperhatikan perbedaan mendasar antara laporan keuangan tahunan
dengan laporan tahunan. Laporan keuangan tahunan hanya menyajikan informasi
yang bersifat financial dalam satu tahun buku sedangkan laporan tahunan
mencakup semua informasi keuangan maupun non keuangan perusahaan sesuai
dengan batasan-batasan tertentu dalam satu tahun buku. sehingga laporan
keuangan tahunan sudah menjadi bagian dari laporan tahunan perusahaan.
Subiyantoro dan Hatane (2007), mendefinisikan pengungkapan dalam arti
luas yaitu:
“Pengungkapan berkenaan dengan informasi yang disajikan baik dalam bentuk laporan keuangan maupun media komunikasi pendukung lainnya seperti: catatan kaki, peristiwa sesudah tanggal laporan, analisis manajemen mengenai operasi pada tahun yang akan datang, peramalan keuangan dan operasi, laporan keuangan tambahan mengenai segmental disclosure serta informasi lain di luar historical cost”
Menurut Hendriksen (1994:204) dalam Subiyantoro dan Hatane (2007)
konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan ada tiga, yaitu cukup (adequate),
wajar (fair), dan lengkap (full). Pada praktiknya pengungkapan cukup adalah yang
paling lazim dipergunakan, dimana hanya mencakup informasi minimal tapi dapat
digunakan untuk membuat laporan yang tidak menyesatkan. Sedangkan dalam
pengungkapan wajar dan lengkap memiliki konsep yang lebih positif, dimana
pengungkapan yang wajar secara tak langsung merupakan tujuan etis dari
manajemen agar memberikan perlakuan yang sama bagi semua user yang
berkepentingan dengan perusahaan. Pengungkapan yang lengkap mencerminkan
penyajian semua informasi yang relevan. Oleh karena itu, pengungkapan yang
layak mengenai informasi yang signifikan bagi para investor dan pihak lainnya
hendaknya cukup, wajar dan lengkap.
Pengungkapan dapat dikelompokkan sebagai pengungkapan wajib
(mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure).
Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan yang diatur dalam peraturan yang
berlaku sedangkan pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan yang tidak
diatur dalam peraturan yang berlaku. Signaling theory yang melandasi
pengungkapan sukarela ini, Suwardjono (2005). Dengan mengungkapkan
informasi yang bersifat private yang tidak diwajibkan, manajemen berharap
informasi tersebut merupakan good news bagi investor atau pemegang saham dan
merupakan bentuk kredibilitas manajemen. Namun pada dasarnya, tingkat
pengungkapan yang tepat tetap harus memperhatikan cost and benefit, karena
belum tentu tingginya cost yang dikeluarkan untuk menghasilkan informasi akan
seiring dengan besarnya benefit yang diterima oleh perusahaan.
Wolk et al. (1991) dalam Subroto (2004) menyatakan bahwa alasan
pentingnya pengungkapan pada masa mendatang adalah karena lingkungan bisnis
tumbuh kian kompleks dan pasar modal mampu menyerap dan mencerminkan
informasi baru dalam harga saham secara cepat. Prinsip ini dipenuhi dengan cara
menyajikan data tang terdapat pada laporan keuangan dan informasi pada catatan
atas laporan keuangan utama. Contoh informasi tersebut dalam banyak kasus
adalah suatu ringkasan dari kebijakan akuntansi yang signifikan, misalnya metode
inventory costing yang digunakan perusahaan, depresiasi dari aktiva perusahaan
dan amortisasi dari intangible assets.
SFAS 105 (paragraf 71-86) yang dikeluarkan oleh FASB dalam Johnson
(1992) menyebutkan adanya empat tujuan dari disclosure, yakni:
Menggambarkan item yang diakui dan menyediakan pengukuran yang
relevan untuk item itu dalam laporan keuangan
Menggambarkan item yang tidak diakui dan menyediakan pengukuran
yang berguna untuk item tersebut
Menyediakan informasi yang dapat me=mbantu investor dan kreditur
dalam mempertimbangkan resiko dan potensi dari item yang diakui dan
tidak diakui
Menyediakan informasi intern yang penting disaat isu-isu akuntansi
lainnya masih sedang dipelajari secara lebih mendalam
Subekti (2001) membagi item pengungkapan berdasar persyaratan yang
ditetapkan pengungkapan dibedakan menjadi dua jenis;
1. Pengungkapan wajib-merupakan pengungk apan yang wajib dikemukakan
oleh perusahaan, khususnya perusahaan publik pada masyarakat. Peraturan
tentang stadar pengungkapan informasi bagi perusahaan yang telah
melakukan penawaran umum dan perusahaan publik antara lain adaklah:
a. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
Kep-06/PM/2000 tentang Perubahan Peraturan Nomor VIII.G.7
tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan
b. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor
Kep-134/BL/2006 tentang Kewajiban penyampaian Laporan
tahunan Bagi Emiten atau perusahaan publik
c. Surat Edaran Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor No.SE-
02/PM/2002 tentang Pedoman penyajian dan Pengungkapan
laporan keuangan oleh emiten atau perusahaan publik industri
manufaktur.
2. Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure)
Pengungkapan sukarela merupakan pengungkapan butir-butir yang
dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh peraturan
yang berlaku. Hal ini sesuai dengan PSAK nomor 1 yang menyatakan
sebagai berikut:
“informasi lain atau informasi tambahan (telaahan keuangan yang menjelaskan karakteristik utama yang mempengaruhi kinerja perusahaan, posisi keuangan perusahaan, kondisi ketidakpastian, laporan mengenai lingkungan hidup, dan laporan nilai tambah) adalah merupakan pengungkapan yang dianjurkan (tidak diharuskan) dan diperlukan dalam rangka memberikan penyajian yang wajar dan relevan dengan kebutuhan pemakai” (Subekti. 2001).
Sedangkan Mardiyah (2002) menyatakan bahwa disclosure untuk pasar
modal terdiri dari dua aspek, yakni protective dislosure yang merupakan usaha
badan pengawas pasar modal untuk melindungi investor dari perlakuanyang tidak
wajar oleh emiten. Dan informative disclosure yang disajikan dalam keterbukaan
emiten untuk tujuan analisis investasi
B. Keuntungan dan kerugian pengungkapan
Disclosure membawa sejumlah konsekuensi dalam pelaksanaannya, baik
yang bersifat menguntungkan maupun merugikan. Berikut sejumlah keuntungan
dari dilakukan disclosure, yaitu
1. Keuntungan terjadi apabila pengungkapan rinci mengenai produk baru
dapat digunakan untuk menyampaikan prospek perusahaan di masa yang
akan datang kepada para pemegang saham (Darrough, 1993)
2. Dalam dunia investasi dapat berperan sebagai public relation bagi
perusahaan yang berhubungan dengan komunitas investasi setiap saat,
sehingga melalui disclosure masyarakat investasi dapat mengetahui
keeradaan sebuah perusahaan (Elliott dan Jacobson, 1994)
3. Disclosure dapat mengurangi resiko timbulnya biaya litigasi bagi
perusahaan (Elliott dan Jacobson, 1994)
4. Perbaikan likuiditas saham, voluntary dislosure akan mengurangi asimetri
informasi diantara informed dan uninformed investor, sehingga untuk
perusahaan dengan tingkat disclosure yang tinggi akan meningkatkan
likuiditas saham perusahaan tersebut (Diamond dan Verrechia, 1991; Kim
dan Verrechia, 1994 dalam dahlan, 2003; Elliott dan Jacobson, 1994)
5. Disclosure dapat mengurangi risiko investasi untuk investor luar, sehingga
terdapat rasa aman dalam berinvestasi (Elliott dan Jacobson, 1994)
6. Disclosure dapat meningkatkan likuiditas pasar modal nasional secara
keseluruhan (Elliot dan Jacobson, 1994)
7. Disclosure yang dibuat perusahaan dapat meningkatkan pemakaian jasa
intermediasi finansial, seperti jasa analis sekuritas (Dahlan, 2003).
Adapun sejumlah kerugian dengan adanya disclosure, diantaranya:
1. Pelaksanaan disclosure dapat mengungkapkan strategi perusahaan
terhadap para pesaing, sehingga mungkin menurunkan keunggulan
kompetitif suatu perusahaan (Darrough, 1993)
2. Menurunnya keunggulan kompetitif perusahaan. Pada umumnya
perusahaan publik sangat sensitif dalam mengungkapkan jenis
informasi yang mungkin menurunkan daya saing perusahaan. Jenis
informasi tersebut meliputi: a) informasi mengenai teknologi dan
inovasi menjerial, b) informasi mengenai strategi, rencana, dan taktik,
c) informasi mengenai operasi perusahaan (Elliot dan Jacobson, 1994)
3. Adanya biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat disclosure,
semnetara itu pihak-pihak yang mengambil manfaat dari disclosure
bisanya tidak mau membayar karena mereka beranggapan bahwa
laporan keuangan perusahaan merupakan public goods. Hal ini
menimbulkan peningkatan harga jual (dengan kata lain konsumenlah
yang membayar). Peningkatan harga jual berpengaruh terhadap jumlah
sehingga akan mempengaruhi kinerja perusahaan secara keseluruhan
(Elliott dan Jacobson, 1994).
C. Penelitian empiris tentang pentingnya pengungkapan
Sejumlah penelitian telah memberikan bukti empiris bahwa disclosure
mempunyai hubungan yang signifikan dengan asimetri informasi dalam hal
kemampuannya untuk mengurangi asimetri informasi. Diamond dan Verrecchia
(1991) dalam Khomsiyah dan Susanti (2003) menyatakan bahwa pengungkapan
akan mengurangi asimetri informasi. pernyataan ini didukung oleh Greenstein dan
Sami (1994) dalam Mardiyah (2002), yakni informasi asimetris berkurang dengan
adanya pengungkapan. Sedangkan Walker (1995) dalam Khomsiyah dan Susanti
(2003) mengemukakan adanya hubungan yang signifikan antara pengungkapan
dengan informasi asimetris.
Lev (1988) dalam penelitiannya berpendapat bahwa pengukuran yang
dapat diamati dari likuiditas pasar digunakan untuk mengidentifikasi level
asimetri informasi dalam menghadapi partisipan di pasar modal. Lev menyatakan
bahwa pengungkapan penuh (full disclosure) seharusnya mengurangi
ketidakadilan diantara para investor karena adanya penurunan asimetri informasi
melalui akses yang sama terhadap informasi.
Healy dan Palepu (1993) menyatakan bahwa pengungkapan merupakan
salah satu cara untuk mengurangi asimetri informasi. Dalam penelitiannya, Healy
dan Palepu menemukan bahwa proses pelaporan keuangan yang seharusnya
merupakan mekanisme yang berguna bagi manjer untuk berkomunikasi dengan
investor ternyata tidak efektif ketidaksempurnaan proses tersebut diantaranya
disebabkan olehkeunggulan informasi yang dimiliki oleh manajer (hal ini dapat
menimbulkan asimetri informasi). Berkaitan dengan hal tersebut, manajer dapat
meningkatkan komunikasinya dengan investor dalam mengembangkan strategi
disclosure, terlebih voluntary disclosure.
Hal tersebut dapat membantu investor memahami strategi bisnis dari
manajer, sehingga investor dapat mengukur tingkat risiko yang mungkin terjadi.
Akibatnya investor mungkin akan tidak terlalu banyak menuntut terhadap
manajer, karena adanya risiko asimetri informasi telah dianggap teratasi. Lang
dan Lundholm (1996) secara tidak langsung menyatakan bahwa pengungkapan
yang informatif dapat mengurangi asimetri informasi. Dalam penelitiannya,
mereka membuktikan bahwa pengungkapan informasi yang lebih banyak akan
diikuti oleh analisis yang lebih besar, tingkat akurasi analisis yang lebih besar,
tingkat akurasi analisi yang lebih baik, dispersi analisis yang lebih kecil diantara
analis individual, dan memiliki tingkat volatilitas revisi hasil analisis yang lebih
kecil. Dispersi dan tingkat volatilitas hasil analisis dari analis menunjukkan
pengukuran yang tepat bagi asimetri informasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Gonedes (1980) dalam Khomsiyah dan
Susanti (2003) berhasil membuktikan bahwa regulasi pengungkapan informasi
mempunyai potensi untuk mengurangi asimetri informasi.
Komalasari dan Baridwan (2001) menyatakan bahwa dalam upaya
meningkatkan nilai perusahaan, manajemen dapat memberikan sinyal informasi
akuntansi kepada pemegang saham sehingga upaya untuk mengurangi adanya
informasi asimetris dalam bentuk pengungkapan. Glosten dan Milgrom (1985)
dalam Lobo dan Zou (2001) dalam Irfan (2002) Membuat suatu model untuk
hubungan antara pengungkapan oleh perusahaan dengan asimetri informasi, yang
menunjukkan bahwa informasi asimetris menjadi berkurang dengan peningkatan
corporate disclosure. Sementara itu, Dahlan (2003) menyatakan bahwa disclosure
merupakan salah satu poin utama mencapai good corporate governance mengingat
informasi asimetris yang timbul akibat adanya hubungan prinsipal-agen antara
manajemen dengan stakeholders bisa dipecahkan melalui disclosure yang efektif.
Seluruh penelitian empiris tersebut menyatakan bahwa pengungkapan dapat
digunakan untuk mengatasi asimetri informasi.
D. Asimetri informasi
Teori keagenan mengasumsikan hubungan keagenan yang merupakan
suatu kontrak, dimana pihak prinsipal yang terdiri dari satu atau lebih orang
mengikat perjanjian dengan pihak agen untuk melaksanakan sejumlah jasa atas
nama prinsipal yang mencakup pendelegasian sejumlah kekuasaan untuk
membuat keputusan kepada pihak agen. Hubungan tersebut memberi konsekuensi,
bahwa manajemen yang telah diberi otorisasi dalam pengambilan keputusan
secara sadar harus bertindak dalam konteks yang memberi keuntungan principal.
Tetapi dalam pelaksananya timbul permasalahan dimana terdapat
ketidakseimbangan penerimaan informasi karena satu pihak dalam hal ini agen
memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan prinsipal dan pihak agen
tidak mau mengungkapkan seluruh informasi yang dimilikinya untuk keuntungan
pribadinya.
Laporan akuntansi dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak
termasuk manajemen perusahaan. Namun yang paling berkepentingan dengannya
adalah pada pengguna eksternal, karena kelompok ini berada dalam kondisi yang
paling besar ketidakpastiannya. Para pengguna internal (pihak manajemen)
memiliki kontak langsung dengan entitas atau perusahaanya dan mengetahui
peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi sehingga tingkat ketergantungannya
terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal. Situasi ini
akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut asimetri informasi.
Scott (2008) dengan tegas menyatakan bahwa asimetri informasi
merupakan suatu kondisi dalam transaksi bisnis dimana salah satu pihak yang
terlibat dalam transaksi itu memiliki keunggulan dan kelebihan informasi
dibandingkan dengan pihak lain. Dengan kata lain, dalam asimetri informasi
terdapat ketidakseimbangan penerimaan informasi karena satu pihak memiliki
informasi yang lebih. Asimetri informasi juga dapat terjadi karena manajer lebih
mengetahui informasi perusahaan dibandingkan dengan pemilik atau pemegang
saham, sehingga manajemen akan berusaha memanipulasi kinerja perusahaan
yang dilaporkan untuk kepentingannya sendiri (Herawaty, 2008).
Teori keagenan mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara
manajer sebagai agen dengan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham)
sebagai prinsipal (Komalasari dan Baridwan, 2001). Hal tersebut diperkuat oleh
Watts dan Zimmerman (1986) yang menyatakan bahwa masalah yang timbul
dalam hubungan keagenan biasanya dikarenakan salah satu pihak mempunyai
informasi lebih terhadap transaksi potensial dibandingkan pihak lainnya, yang
disebut sebagai asimetri informasi. menurut Healy dan Palepu (1993), ada tiga
kondisi yang menyebabkan komunikiasi melalui laporan keuangan tidak
sempurna dan tidak transparan yaitu, (1) manajer memiliki informasi lebih banyak
tentang strategi dan operasi bisnis yang dikelolanya dibandingkan dengan
investor; (2) kepentingan manajer tidak selalu selaras dengan kepentingan
investor; (3) ketidaksempurnaan dari aturan akuntansi dan audit. Sedangkan Irfan
(2002) menyatakan bahwa hubungan antara prinsipal dan agen, biasanya juga
memasuki wilayah (ketidakseimbangan informasi) asymetric information karena
agen berada pada posisi yang memiliki informasi lebih banyak tentang perusahaan
dibandingkan dengan principal.
Masalah yang timbul dari latar agency relationship ini sebenarnya bermula
dari adanya hasrat pihak manajemen untuk tidak bertindak demi kepentingan
terbaik prinsipal. Contoh klasik dari fenomena ini dimana pemilik dari perusahaan
menyewa atau mempekerjakan seorang manajer untuk mengoprasikan
perusahaannyadan menginginkan manajemen untuk membuat keputusan-
keputusan yang memberi nilai tambah bagi kekayaan pemilik, tetapi manajemen
malah tidak bertindak seperti yang diinginkan oleh prinsipal. Manajemen
seringkali membuat keputusan yang memaksimalkan kekayaan diri manajemen
daripada untuk memaksimalkan kekayaan principal. Ada dua bentuk asimetri
informasi menurut Scott (2003), yakni:
- Adverse selection, terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan
dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi dan prospek
ke depan suatu perusahaan daripada investor luar.
- Moral hazard, terjadi karena adanya pemisahaan pemilikan dengan pengendalian
yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.
Adverse selection memiliki kesamaan dengan moral hazard dalam hal
adanya unsur kesengajaan, namun berbeda dalam hal perencanaan. Dalam
adverse, pada awalnya terdapat indikasi untuk memberikan informasi tetapi
karena pihak lain tidak tahu atau dianggap tidak tahu maka informasi tidak jadi
diberikan. Sedangkan pada moral hazard, sejak awal sudah terdapat indikasi untuk
tidak memberikan informasi tersebut kepada pihak lain. Menurut Subekti dan
Suprapti (2002), adverse selection lebih terkait pada tiddak adanya pengungkapan
yang harus dipublikasikan oleh pihak manajemen perusahaan. Sedangkan moral
hazard terletak pada masalah motivasi dan usaha manajemen untuk bertindak
yang lebih mengutamakan diri sendiri
E. Hubungan antara Pengungkapan dan Asimetri Informasi Asimetri
informasi dan Bid-ask spreads
Informasi akuntansi yang berkualitas dapat berguna bagi investor untuk
menurunkan asimetri informasi ketika asimetri informasi muncul, keputusan
pengungkapan yang dibuat oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham sebab
asimetri informasi antara investor yang lebih terinformasi dan investor kurang
terinformasi menimbulkan biaya transaksi dan mengurangi likuiditas yang
diharapkan dalam pasar untuk saham-saham perusahaan (Komalasari, 2000).
Hubungan antara asimetri informasi, likuiditas perdagangan dan harga saham
telah dikembangkan dalam penelitian (Demsetz, 1968; Epps, 1976; Copeland &
Galai, 1983; Glosten dan Milgrom, 1985; Diamond & Verrecchia, 1991). Lang &
Lundlolm (1996) mengemukakakn bahwa keuntungan potensial terhadap
pengungkapan, termasuk meningkatnya investor yang mengikutinya, mengurangi
estimasi resiko dan mengurangi asimetri informasi yang masing-masing
menunjukkan pengurangan cost of equity capital perusahaan dalam penelitian
teoritikal. Gonedes (1980) berpendapat bahwa pengungkapan memiliki potensi
mengurangi asimetri informasi. Penurunan asimetri informasi akan menyebabkan
pengurangan dalam biaya transaksi, dimana biaya transaksi diwakili oleh bid-ask
spreads.
Komalasari (2000) meneliti hubungan antara asimetri informasi dan cost
of equity capital dimana asimetri informasi diukur dengan menggunakan bid-ask
spread. Hasil menunjukkan bahwaada hubungan positif anatara asimetri informasi
dan cost of equity capital. Hal ini berarti semakin kecil asimetri informasi yang
terjadi di antara partisipan pasar modal maka semakin kecil kos modal sendiri
yang ditanggung oleh perusahaan.
Komalasari dan Baridwan (2001) menyatakan bahwa salah satu masalah
yang dihadapi ketika mengukur asimetri informasi adalah tingkat asimetri
informasi diantara partisipan pasar tidak dapat diamati secara langsung. Untuk itu,
biasanya dipakai proksi untuk menggambarkan asimetri informasi. Menurut
Mardiyah (2002) pengukuran terhadap saimetri informasi seringkali diproksikan
dengan bid-ask spread disebabkan asimetri informasi tidak dapat diobservasi
secara langsung.
Bid-ask spread merupakan selisih harga beli tertinggi dengan harga jual
terendah saham trader. Stoll (1989) dalam Mardiyah (2002) menyatakan bahwa
bid-ask spread merupakan fungsi dari tiga komponen biaya yang berasal dari (1)
pemilikan saham (inventory holding), (2) pemerosesan pesanan (order
processing), dan (3) informas asimetris. Biaya pemilikan menunjukkan trade-off
antara memiliki terlalu banyak saham dan memiliki terlalu banyak saham dan
memiliki terlalu sedikit saham. Atas biaya pemilikan saham tersebut akan
menimbulkan opportinity costs. Biaya pemrosesan pesanan meliputi biaya
administrasi, pelaporan, proses komputer, telepon, dan lainnya. Sedangkan biaya
asimetri informasi lahir karena adanya dua pihak trader yang tidak sama dalam
memilikidan mengakses informasi. pihak pertama adalah informed trader yang
memiliki informasi superior dan pihak lain yaitu uninformed trader yang tidak
memiliki informasi. ketidakseimbangan informasi tersebut menyebabkan
munculnya perilaku adverse selection dan moral hazard dalam perdagangan
saham antara trader. Jika kedua belah pihak bertransaksi, maka uninformed trader
menghadapi resiko rugi jika bertransaksi.
Berdasarkan hal-hal di atas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa
disclosure mempunyai hubungan dengan asimetri informasi, yakni disclosure
dapat digunakan untuk mengatasi atau meminimalisasi asimetri informasi. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut: melalui publikasi laporan keuangan yang
didalamnya termasuk disclosure, pasar dapat menilai sejauh mana perusahaan
telah mengungkapkan semua informasi relevan. Jika semua informasi relevan
telah diungkapkan, berarti asimetri informasi seharusnya berkurang. Berkurang
nya asimetri informasi dapat diketahuidari bid-ask spread. Semakin kecil bid-ask
spread juga mencerminkan respon positif pasar terhadap informasi yang
terkandung dalam publikasi laporan keuangan, termasuk disclosurenya.
F. Teori bid-ask spread
Menurut Subali dan Diana Zuhroh (2002) Bid-ask spread adalah selisih
antara harga beli tertinggi (bid) yang menyebabkan investor bersedia untuk
membeli saham tertentu dengan harga jual (ask) terendah yang menyebabkan
investor bersedia untuk menjual sahamnya. Bid-ask spread yang merupakan
fungsi dari transaction cost mempengaruhi perdagangan dan mem=nyebabkan
investor mengharapkan untuk menahan lebih panjang / pendek asset yang
memiliki biaya transaksi yang lebih tinggi / rendah.
Jika seorang investor ingin membeli atau menjual suatu saham atau
sekuritas lain di pasar modal, dia biasanya melakukan transaksi melalui
broker/dealer yang memiliki spesialisasi dalam suatu sekuritas. Broker/dealer
inilah yang siap untuk menjual pada investor untuk harga ask jika investor ingin
membeli suatu sekuritas. Jika investor sudah mempunyai suatu sekuritas dan ingin
menjualnya, maka broker/dealer ini yang akan membeli sekuritas dengan harga
bid. Perbedaan antara harga bid dan ask ini adalah spread. Jadi bid-ask spread
merupakan selisih harga beli tertinggi bagi broker/ dealer bersedia untuk membeli
suatu saham dan harga jual dimana broker/dealer bersedia menjual saham
tersebut.
Penggunaan bid-ask spread sebagai proksi dari asimetri informasi menurut
Komalasari (2001) dikarenakan dalam mekanisme pasar modal, pelaku pasar
modal juga menghadapi masalah keagenan. Partisispan pasar saling berinteraksi di
pasar modal guna mewujudkan tujuannya yaitu membeli atau menjual
sekuritasnya, sehingga aktivitas yang mereka lakukan dipengaruhi oleh informasi
yang diterima baik secara langsung (laporan publik) maupun tidak langsung
(insider trading). Dealers atau market-makers memiliki daya pikir terbatas
terhadap presepsi masa depan dan menghadapi potensi kerugian ketika
berhadapan dengan informed traders. Hal inilah yang menimbulkan adverse
selection yang mendorong dealers untuk menutupi kerugian dari pedagang
terinformasi dengan meningkatkan spread-nya terhadap pedagang likuid. Jadi
dapat dikatakan bahwa asimetri informasi yang terjadi antara dealer dan pedagang
terinformasi tercermin pada spread yang ditentukannya (Komalasari, 2001)
Terdapat tiga komponen cost dalam menetapkan bid-ask spread menurut
Krinsky dan Lee (1996) dalam Rahmawati, et al. (2006) menyatakan bahwa :
1. Kos pemrosesan pesanan (Order Processing Cost) kos yang
dikeluarkan untuk mengatur transaksi, mencatat serta melakukan
pembukuan.
2. Kos Pemilikan saham (Inventory Holding Cost) kos oportunitas
dan resiko saham yang berkaitan dengan pemilikan saham
3. Kos Adverse Selection – terjasi karena informasi terdistribusi
secara asimetris diantara partisipan pasar modal, oleh karena itu
broker/dealer menghadapi masalah adverse selection karena ia
melakuakan transaksi dengan investor yang memiliki informasi
yang superior.
G. Teori Keagenan & Good Corporate Governance
Teori keagenan lahir sekitar tahun 1970an, berawal dari adanya bentuk
koorporasi yang memisahkan dengan tegas antara kepemilikan perusahaan dan
kontrol, dengan kata lain bisa dikatakan bahwa ada pemisahaan yang jelas antara
pemilik perusahaan dengan pihak manajemen. Semakin rumit dan besarnya suatu
perusahaan membuat pemilik tidak bisa secara intensif mengelola perusahaanya
sehingga meminta pihak manajemen untuk mengelola kelangsungan hidup
perusahaan dalam usahanya mendapatkan profit. Selanjutnya manajemen
dianggap sebagai agen dan pemilik dianggap sebagai principal. Hubungan
tersebut tersebut oleh banyak ahli kemudian disebut dengan hubungan keagenan
(agency relationship)
Menurut Scott (2003), teori keagenan merupakan versi game theory yang
memodelkan proses kontrak antara dua orang atau lebih dan masing-masing pihak
yang terlibat dalam kontrak mencoba mendapatkan yang terbaik bagi dirinya.
Jensen & Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan
merupakan suatu kontrak, dimana pihak principal yang terdiri dari satu atau lebih
orang mengikat perjanjian dengan pihak agen untuk melaksanakan sejumlah jasa
atas nama prinsipal yang mencakup pendelegasian sejumlah kekuasaan untuk
membuat keputusan kepada pihak agen. Hubungan tersebut memberikan
konsekuensi, bahwa manajemen yang telah diberi otorisasi dalam pengambilan
keputusan secara sadar harus bertindak dalam konteks yang memberikan
keuntungan kepada prinsipal.
Eisenhardt (1989) dalam Mardiyah (2002) menyatakan bahwa teori
keagenan menggunakan tiga asumsi sifat manusia, yaitu :
1) Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest)
2) Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai npresepsi masa datang
(bounded-rationality)
3) Manisua selalu menghindari resiko (risk averse)
Agency theory inilah merupakan dasar yang dapat digunkaan untuk
memahami corporate governance, dimana isu corporate governance muncul
karena terjadi pemisahan antara kepemilikan (di pihak investor/ principal) dengan
pengelolaan (manajer/ agent) suatu perusahaan, yang dapat menimbulkan masalah
keagenan (agency problem). Permasalahan corporate governance dapat
dikembangkan dari agency theory yang mencoba menjelaskan bagaimana pihak-
pihak yang terlibat dalam perusahaan akan berperilaku, sebab mereka pada
dasarnya memiliki kepentingan yang berbeda.
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi
internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik
(pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi
perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui
pengungkapan informasi akuntansi seperti pengumuman dividen.
Prinsip signaling ini mengajarkan bahwa setiap tindakan mengandung
informasi. Menurut teori sinyal, terdapat asimetri informasi antara manajer dan
investor. Manajer mengetahui prospek perusahaan di masa depan, sedangkan
investor tidak.
Gelb (1994) dalam Setiawan dan Subekti (2005) membuktikan bahwa
dividen merupakan suatu sinyal yang baik untuk menyampaikan maksud
perusahaan kepada investor. Pengumuman dividen dapat digunakan investor
untuk memperkecil asimetri informasi dengan manajer, sehingga pengumuman
dividen merupakan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan. Oleh
karena itu, pengumuman dividen mempunyai kandungan informasi yang berguna
bagi investor. Demikian pula dengan laporan yang dipublikasikan lainnya,
misalnya laporan laba.
Keputusan-keputusan investasi seperti perolehan aset tetap maupun
pengeluaran untuk biaya riset dan pengembangan melibatkan jumlah uang yang
sangat besar dan secara akuntansi dikatakan sebagai transaksi yang material.
Keputusan-keputusan semacam ini memerlukan persetujuan manajer puncak dan
melibatkan dewan komisaris. Keputusan pendanaan yang besar mempunyai
konsekuensi kelangsungan usaha. Informasi seperti semestinya menjadi informasi
penting bagi investor. Apabila terdapat asimetri informasi ini maka keputusan
investasi yang diambil mungkin tidak tepat.
Menurut teori sinyal, terdapat asimetri informasi antara manajer dan
investor. Manajer mengetahui prospek perusahaan di masa depan, sedangkan
investor tidak. Beberapa peneliti setuju bahwa pengungkapan voluntary yang
menyangkut sumber-sumber tidak berujud akan memperbaiki kepercayaan dan
komitment karyawan, memberikan legitimasi ekternal terhadap kegiatan
manajemen, menarik partner terbaik, dan secara umum memperbaiki reputasi
perusahaan (Epstein 2000, KPMG 1999, Elkington 1997, Hesket 1997 dalam
Boessso, 2003).
Corporate governance yang merupakan konsep mendasar pada teori
keagenan, diharapkan mampu berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan
kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah
mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para
investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin
bahwa manajer tidak akan mencuri atau menginvestasikan ke dalam proyek-
proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana/kapital yang telah
ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor
mengontrol para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997 dalam Ujiyantho dan
Pramuka, 2007).
Friedman et al. (2000) memberikan bukti bahwa rendahnya kualitas
corporate governance dalam suatu negara berdampak negatif terhadap pasar
saham dan nilai tukar mata uang negara yang bersangkutan pada masa krisis di
Asia.
Johnson et al.., (2000) memberikan bukti bahwa rendahnya kualitas
corporate governance dalam suatu negara berdampak negatif terhadap pasar
saham dan nilai tukar mata uang negara yang bersangkutan pada masa krisis di
Asia. Johnson, et al.. mendefinisikan corporate governance sebagai efektivitas
mekanisme yang bertujuan meminimasi konflik keagenan, dengan penekanan
khusus pada mekanisme legal yang mencegah dilakukannya ekspropria/si atas
pemegang saham minoritas.
Berdasar teori sinyal, terdapat asimetri informasi antara manajer dan
investor. Manajer mengetahui prospek perusahaan di masa mendatang, sedangkan
investor tidak. [kutipan untuk memperkuat bahwa pengungkapan merupakan
sinyal yang baik untuk menyampaikan maksud perusahaan kepada investor,
sehingga dapat memperkecil atau mempengaruhi asimetri informasi]
Krisis finansial global yang terjadi di tahun 2008 berdampak luar biasa
tidak hanya pada sektor finansial tetapi juga sektor riil. Krisis perbankan
kemudian menjalar pada nasabah-nasabahnya mereka (mahalnya atau hilangnya
kredit bank), sehingga masalah sektor keuangan langsung menjalar ke sektor riil
(kegiatan konsumsi , produksi, perdagangan dan investasi). Pasar modal Indonesia
mengalami gejolak luar biasa akibat krisis ini. Krisis finansial global yang
melanda dunia merupakan akumulasi dari ulah korporat yang tidak mengindahkan
rambu-rambu bisnis yang sehat yaitu good corporate governance, dalam bentuk
kurangnya transparansi oleh pihak manajemen terhadap para stakeholders (Dewi,
2011). Kurangnya transparansi ini menyebabkan munculnya kesenjangan
informasi atau asimetri informasi antara manajemen dan stakeholders.
Selama periode krisis perusahaan dituntut untuk melakukan pengungkapan
lebih dalam rangka memberikan informasi dan mengurangi ketidakpastian
investor atas kopndisi perusahaan. Pengungkapan yang dilakukan manajer harus
didukung dengan adanya corporate governance yang baik, untuk menjamin
meratanya distribusi informasi yang relevan dan handal. Pernyataan ini didukung
oleh temuan Khomsiyah (2003) yang menyatakan bahwa semakin baik
implementasi corporate governance, maka semakin banyak pula informasi yang
diungkapkan oleh perusahaan. Hal ini menjadikan corporate governance sebagai
mekanisme yang penting dalam mengurangi asimetri informasi selama krisis
finansial global.
Peran corporate governance secara langsung dapat menurunkan asimetri
informasi. Kanagaretnam et al (2007); dan Meilani (2009) berhasil membuktikan
bahwa corporate governance mempengaruhi asimetri informasi disekitar
pengumuman laba. Karena pada saat melakukan pengumuman laba, corporate
governace diharapkan menjamin keseimbangan distribusi informasi, sehingga
tidak ada informasi private yang terjadi.
Pengungkapan merupakan atribut yang penting dari corporate governance,
terutama yang berhubungan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas
(Sutrisno et al, 2009; Arifin, 2005). Pengungkapan adalah salah satu cara yang
dilakukan oleh perusahaan untuk mengurangi tingkat asimetri informasi (Brown
dan Hiilegeist, 2006; Khomsiyah, 2003) terutama selama krisis finansial global.
Pengungkapan yang dilakuaka perusahaan cenderung merupakan peraturan wajib
yang diisyaratkan oleh regulasi. Perusahaan enggan melakukan pengungkapan
karena mahalnya biaya untuk melakukan pengungkapan dan ketakutan pesaing
akan mengetahui strategi perusahaan (Hendriksen dan Brenda, 2001). Di sisi lain,
Sunder (2002); Li (2009); Chang et al. (2008); Baek et al. (2009) menyatakan
bahwa asimetr informasi dapat dikurangi dengan adanya pengungkapan sukarela
yang dilakukan perusahaan. Hal ini menunjukkan semakin kuasnya pengungkapan
sukarela yang dilakukan mengindikasikan informasi terdistribusi secara merata.
Pengungkapan sukarela yang dilakukan olewh perusahaan dipengaruhi oleh
banyak faktor, baik faktor keuangn dan non keuangan (Zubaidah dan Zulfikar,
2005). Fitria (2006) meneliti bahwa kinerja perusahaan terbukti berpengaruh
positif pada luas pe ngungkapan sukarela. Munculnya gejolak ekonomi turut
berpengaruh pada kinerja perusahaan publik (Machfoedz ,1999); Setiawan dan
Subekti (2005). Penurunan kinerja selama krisis mengindikasikan adanya
penurunan pengungkapan sukarela selama krisis, hal ini didukung dengan
penelitian Jhon dan Weiss (2009). Disisi lain, corporate governance terbukti
mampu secara efektif meningkatkan pengungkapan sukarela (Achmad, 2007).
Sutrisno et al (2009); Fitria (2006); Zubaidah, siti dan Zulfikar (2005) dengan
model penelitian yang berbeda pada perusahaan di Indonesia berhasil
membuktikan hipotesis, bahwa corporate governance mampu meningkatkan
pengungkapan sukarela.
H. Pengembangan Hipotesis
Di Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahan 1995 tentang
perseroan terbatas menjadikan kebanyakan perusahaan-perusahaan di Indonesia
menggunakan two tier board system. Dengan tegas dalam model two tier system
secara konseptual memisahkan keanggotaan dewan komisaris sebagai pengawas
dan dewan direksi sebagai eksekusi korporasi. Berkaitan dengan hal tersebut, I
Nyoman Tjager (2003) menyebutkan bahwa pengaruh pemegang saham dalam
two tier board system dapat dijalankan melalui dewan komisaris, sehingga tidak
harus mengganggu aktivitas normal manajemen dan memungkinkan pemegang
saham meningkatkan pengaruhnya tanpa harus menunggu terjadinya skandal
publik atau ketidaksepakatan publik.
Pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap kinerja perusahaan sendiri
memiliki hasil yang beragam. Salah satu argumen menyatakan bahwa makin
banyaknya personel yang menjadi dewan komisaris dapat berakibat pada
memburuknya kinerja perusahaan itu sendiri (Yermack 1996, Eisenberg,
Sundgren, dan Wells 1998, dan Jensen 1993). Hal ini masih memiliki hubungan
dengan agency theory, lebih tepatnya dengan agency problems. Yakni dengan
makin banyaknya anggota dewan komisaris maka badan ini akan mengalami
kesulitan melaksanakan fungsinya, mulai masalah dalam berkomunikasi dan
mengkoordinir kerja dari tiap-tiap anggota dewan itu sendiri, sulitnya
mengendalikan dan mengawasi tindakan manajemen perusahaan, serta sulitnya
menentukan keputusan yang berguna bagi perusahaan (Yermack 1996, Jensen
1993). Dengan beragam kesulitan yang dimiliki oleh perusahaan dengan anggota
dewan komisaris yang banyak tersebut berdampak pada kinerja perusahaan
semakin menurun (Yermack 1996, Eisenberg, Sundgren, dan Wells 1998).
Beberapa hasil menunjukkan bahwa adanya pengaruh ukuran dewan dalam
kegiatan perusahaan. Chen dan Jaggi (2000) dalam Akhtarudin et al. (2009)
menyatakan bahwa semakin besar ukuran dewan maka akan semakin mengurangi
asimetri informasi yangterjadi antara pemilik dan manajemen. Msalah
ketidakpastian dan kekurangan informasi dapat diminimalisir dengan ukuran
dewan yang lebih besar (Bimbaum, 1984 dalam Akhtaruddin et al., 2009).
Penelitian oleh Erwansyah (2009) secara statistik menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh antara ukuran dewan komisaris terhadap pengungkapan informasi
pertanggungjawaban sosial pada perusahaan2 manufaktur yang terdaftar di BEI
pada 2006-2007. Penelitian Akhtaruddin et al. (2009), menunjukkan bahwa
ukuran dewan komisaris berpengaruh positif dan signifikan terhadap luas
pengungkapan sukarela. Ukuran dewan komisaris yang besar akan meningkatkan
kemampuan dewan dalam memonitor proses informasi manajemen.
Kemampuan dewan komisaris dalam mengawasi akan lebih meningkat
mengikuti pertambahan anggota dewan komisaris. Semakin besar ukuran dewan
komisaris, maka pengalaman dan kompetensi kolektif dewan komisaris akan
bertambah, sehingga informasi yang diungkapkan oleh manajemen akan lebih
luas, selain itu ukuran dewan komisaris yang lebih besar dipandang sebagai
mekanisme good corporate governace yang efektif untuk mendorong transparansi
dan pengungkapan (Akhtaruddin et al. 2009).
Penelitian Kanagaretman et al. (2007) menunjukkan perusahaan yang
semakin besar prosentase komisaris independennya, rata-rata kenaikan ask-bid
spreadnya secara signifikan semakin mengecil di sekitar pengumuman laba.
Secara umum penelitian ini menyimpulkan bahwa kualitas good corporate
governance menurunkan asimetri informasi di sekitar pengumuman laba.
Mengingat pentingnya informasi bagi principal untuk pengambilan keputusan
yang optimal, maka untuk mengatasi asimetri informasi tersebut diperlukan
adanya pengungkapan terhadap laporan keuangan perusahaan.
Berdasar penjelasan tersebut di atas, hipotesis yang diajukan adalah
berikut ini.
H1 : Ukuran dewan komisaris memperkuat pengaruh antara pengungkapan
aset tetap mandatory terhadap asimetri informasi
H2 : Ukuran dewan komisaris memperkuat pengaruh antara pengungkapan
aset tetap voluntary terhadap asimetri informasi
I. Kerangka Pemikiran
Berdasar uarian diatas, maka dapat digambarkan kerangka pikir dari model
penelitian ini satu arah ini dengan diagram skematik sebagai berikut:
Gambar 2.1Kerangka Teoritis
Variabel Kontrol
Variabel Independen
H1
Variabel Dependen
H2
Variabel Moderasi
Pengungkapan Aset Tetap
(Mandatory / Voluntary)
Ukuran Dewan Komisaris
Asimetri Informasi
Total Aset
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian uji hipotesis (hypothesis
testing study) yang menjelaskan sifat hubungan-hubungan tertentu atau
perbedaan-perbedaan antara dua faktor (kelompok) independen atau lebih dalam
sebuah situasi (Sekaran,2006). Penelitian ini juga termasuk jenis penelitian
korelasional yang berusaha menjelaskan pengaruh pengungkapan aset tetap yang
diproksikan dengan indeks jumlah pengungkapan baik mandatory maupun
voluntary sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan di Indonesia. Adapun
unit analisis penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia, dan memenuhi syarat yang telah ditentukan sebelumnya. Waktu
penelitian ini menitikberatkan pada pengujian yang menggunakan perbandingan
dari tahun ke tahun secara berturut- urut (cross section).
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi
Menurut Sekaran (2006), polpulasi menitikberatkan pada kelompok
orang, keladian, atau hal minat yang ingin digali oleh peneliti. Populasi
dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI
sejak tahun 2010 sampai 2011. Perusahaan manufaktur merupakan
perusahaan paling banyak di Indonesia sehingga peneliti memilih
perusahaan manufaktur untuk dapat memperoleh lebih banyak sampel.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan dipelajari secara
lebih mendetail (Sekaran, 2006). Sampel penelitian ini adalah perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI sejak tahun 2010 sampai 2011 yang
meiliki pengungkapan mengenai aset tetap setiap tahunnya. Perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI dalam kurun waktu tersebut akan tetapi
tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti dikeluarkan
dari sampel.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan data menggunakan purposive sampling, yaitu
teknik pengambilan sampel dengan menggunakan pertimbangan dan
batasan tertentu sehingga sampel yang dipilih relevan dengan tujuan
penelitian. Kriteria yang digunakan untuk memilih sampel adalah:
a. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2010 – 2011
b. Perusahaan yang menggumumkan laporan keuangan berturut-turut dari
tahun 2010 - 2011
c. Perusahaan manufaktur yang mempunyai prosedur tata kelola
perusahaan di periode tahun 2010 - 2011
d. Perusahaan manufaktur yang mempunyai pengungkapan aset tetap
pada laporan keuangan / laporan tahunan
Perusahaan manufaktur dipilih karena sangat dimungkinkan
memiliki prosedur pengungkapan aset tetap, mengingat sektor manufaktur
dianggap memiliki kontribusi cukup besar bagi PDB negara dan
pertumbuhan ekonomi Indonesia (Stefan Koeberle).
C. Data dan metode pengumpulan data
1. Sumber Data
Data penelitian ini merupakan data sekunder dan bersifat kuantitatif,
yaitu data yang diperoleh dari referensi yang sudah ada dan berupa angka.
Data yang digunakan terdiri atas:
a. Data tentang corporate governance (CG) yang diterapkan perusahaan
khususnya ukuran dewan komisaris
b. Data tentang tanggal laporan laba diumumkan
c. Data harga saham, standar deviasi return saham, total aset perusahaan,
prosentase kepemilikan saham oleh manajemen
d. Data ask-bid spread saham
e. Data tentang pengungkapan GCG melalui internet dengan alamat
www.idx.co.id. Data mengenai harga saham diperoleh dari JSX
Statistics
f. Data tentang pengungkapan aset tetap dari laporan keuangan.
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi. Data
yang diperlukan dikumpulkan dan disortir, sedangkan untuk tinjauan
pustaka diperoleh dari beberapa literatur dan penelitian-penelitian
terdahulu. Data mengenai pengungkapan aset tetap diperoleh dari laporan
keuangan.
D. Definisi Oprasional dan Pengukuran Variabel
1. Variabel Dependen
Penelitian ini menggunakan asimetri informasi yang diproksikan
dengan nilai ask bid price spread. Mengambil pada salah satu proxy yang
digunakan dalam penelitian Hua et al. (2006) yang menguji asimetri
informasi di perusahaan yang bergerak dalam bidang electric industry di
Taiwan. Data ask-bid spread yang digunakan pada penelitian ini adalah
pada periode pengumuman laba (window event), yang ditetapkan dari dua
hari sebelum sampai dua hari setelah tanggal pengumuman laba selama
tahun 2010-2011.
Rumus yang digunakan peneliti untuk menentukan nilai variabel
dependen adalah sebagai berikut:
SPREAD = (Ask Price – Bid Price) / [(Ask Price + Bid Price) / 2]
Keterangan:
Spread : persebaran harga saham harian
Ask Price : harga penjualan saham harian
Bid Price : harga pembelian saham harian
Variabel Independen
Pada penelitian ini, pengungkapan aset tetap dibagi menjadi
pengungkapan voluntary dan mandatory. Pengungkapan diberi nilai 1
(satu) untuk keberadaan suatu pengungkapan dan diberi nilai 0 (nol) bagi
perusahaan yang tidak melakukan suatu pengungkapan. Kemudian total
nilai dari setiap perusahaan akan diformulasikan dan dirubah menjadi
indeks yang menjadi proxy pengungkapan. Item-item pengungkapan masih
mengacu pada mengacu pada penelitian Akhtarudin et al. (2009)
akantetapi telah disesuaikan dengan SAK 2009. Untuk rincian semua item
yang diperhitungkan dalam penentuan proxy pengungkapan tersebut telah
terlampir pada tabel 3.1.
Tabel 3.1.
Item Pengungkapan Mandatory dan Voluntary
No Item Mandatory Disclosure Item Voluntary Disclosure1 Dasar pengakuan. Jumlah tercatat aset tetap
yang tidak dipakai sementara.
2 Metode Penyusutan. Jumlah tercatat bruto dari setiap aset tetap yangtelah disusutkan penuh dan masih digunakan.
3 Umur manfaat atau tarif penyusutan.
Junlah tercatat aset tetap dihentikan dari penggunaan aktif dan tidak diklasifikasikan sebagai tersedia untuk dijual.
4 Jumlah tercatat bruto dan akumulasi penyusutan pada awal dan akhir periode.
Perbedaan material antara nilai wajar aset tetap dengan jumlah yang tercatat (jika menggunakan metode biaya).
5 Rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode.
Fisik output dan pemanfaatan kapasitas.
6 Keberadaan dan jumlah restriksi atas hak milik dan aset tetap yang sedang dijamin untuk hutang.
Aset lancar dan komposisinya.
7 Jumlah pengeluaran yang diakui dalam jumlah aset
Diskusi pengembangan
tetap yang sedang dalam pembangunan.
produk.
8 Jumlah komitmen kontraktual dalam akuisisi.
Akuisisi dan pelepasan aset tetap.
9 Jumlah kompensasi dari pihak ketiga untuk aset tetap yang mengalami penurunan nilai, hilang, atau dihentikan.
Alasan untuk akuisisi aset tetap.
10 Pemilihan metode akuntansi. Alasan untuk pelepasan (disposal) aset tetap.
11 Perubahan estimasi. Belanja modal untuk periode.
12 Aset tetap disajikan pada jumlah revaluasi.
Rincian investasi perusahaan.
13 Perencanaan belanja modal.
2. Variabel Moderasi
Variabel ini memiliki pengaruh ketergantungan (contingent effect)
yang kuat dengan hubungan variabel dependen dan variabel independen
(Sekaran, 2006), sehingga adanya veriabel ini dapat memperkuat atau
memperlemah hubungan antara satu variabel dengan variabel lain.
Penelitian ini menggunakan ukuran dewan komisaris sebagai
variabel pemoderasi, karena peneliti menduga dapat mempengaruhi
hubungan pengungkapan aset tetap dengan asimetri informasi dalam
perusahaan. Size of board director (BDSIZE) diproksikan dengan jumlah
dari anggota dewan komisaris independen yang ada di setiap perusahaan.
Proxy ini juga merujuk pada penelitian yang dilakukan Kanagaretnam et
al. (2007) dan Akhtarudin et al. (2009).
3. Variabel kontrol
Merupakan variabel yang dikendalikan atau nilainya dibuat konstan
oleh peneliti, sehingga hubungan variabel dependen dan variabel
independen tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi bias dalam hasil penelitian.
Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan (UP)
yang ditentukan dengan nilai total aset yang dimiliki oleh perusahaan
sampel. Nilai dari total aset yang dimiliki perusahaan dalam rupiah
kemudian dihitung dengan logaritma natural (LN) agar tidak terjadi
perbedaan jumlah angka variabel secara ekstrim dengan angka variabel
lain. Total aset digunakan sebagai variabel kontrol pada perusahaan besar
lebih dimungkinkan telah mengurangi asimetri informasi karena memiliki
suber daya serta sumber dana daripada perusahaan kecil.
E. Metode analisis data
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif ini digunakan untuk memberikan gambaran
mengenai variabel-variabel yang akan diteliti yaitu item disclosure
mandatory serta disclosure voluntary aset tetap dan ask-bid Spread pada
window event sebagai proxy asimetri informasi. Deskriptif data terdiri dari
nilai mean, standar deviasi, varian, maksimum, minimum, sum, range,
kurtosis dan skewness (kemencengan distribusi).
2. Uji Asumsi Klasik
Model regresi berganda yang baik harus memenuhi syarat dalam uji
asumsi klasik, yang meliputi:
a. Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
yang sedang diteliti, variabel pengganggu atau residual memiliki
distribusi normal (Ghozali, 2006). Untuk melakukan uji normalitas,
dapat menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov Test, dengan
melihat tingkat signifikansi 5%. Dasar pengambilan keputusan dari uji
normalitas adalah dengan melihat probabilitas asymp.sig (2-tailed) >
0.05 maka data mempunyai distribusi normal dan sebaliknya jika
probabilitas asymp.sig (2-tailed) < 0.05 maka data mempunyai
distribusi yang tidak normal.
b. Multikolonieritas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model
regresi terdaat adanya korelasi antara variabel independen. Pada model
regresi yang baik semestinya tidak terdjadi korelasi antar variabel
independen (ortogonal). Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya
masalah multikolinearitas adalah dengan melihat nilai VIF jika kurang
dari 10 dan nilai tolerance diatas 0.1, maka hal tersebut menunjukkan
tidak terdapat gejala multikolinearitas dan begitu pula sebaliknya.
c. Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah dalam model
regresi terdapat korelasi antara kesalahan penggangu pada perioda t
dengan kesalahan pengganggu perioda t-1 (Ghozali, 2006). Model
regresi yang baik tidak mengandung masalah autokorelasi, yang artinya
data residual terjadi secara acak (random) bukan secara sistematis.
Untuk memeriksa ada tidaknya autokorelasi, dapat dipergunakan Uji
Run-test pada alat bantu SPSS. Ketentuan yang dipergunakan pada uji
ini adalah nilai asymp sig, yang mana bila nilai asymp sig > 5% dapat
dinyatakan tidak terdapat autokorelasi dan apabila nilai asymp sig lebih
kecil dari 5%, maka terdapat autokorelasi dalam model regresi yang
akan diuji.
d. Heteroskedastisitas
Uji heteroskedaktisitas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual dari satu
pengamatan ke pengamatan lain. Model regresi yang baik adalah
model yang homoskesdatisitas, .
Uji hetetroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Uji heteroskedastisitas dengan
menggunakan uji Glejser yang meregresikan nilai absolut redisual
terhadap variabel independen yang digunakan dalam suatu model
regresi. Jika variabel independen ternyata signifikan (sig < 0,05)
mempengaruhi absolut residual, ini berarti bahwa dalam data
terdapat heteroskedastisitas. Apabila ternyata tidak signifikan (sig >
0,05), memiliki arti jika asumsi homoskedastisitas terpenuhi.
3. Uji Hipotesa
Sesuai dengan kerangka pemikiran dan pengajuan hipotesis di atas,
maka hipotesis akan diuji dengan persamaan regresi sebagai berikut ini.
Y = α + α 1X1m+ α 2X2v + α 3X3 + α4 ǀX1m . X3ǀ + α 5 ǀX2v . X3ǀ + α 6 X4 + ε
Keterangan:
Y : mean ask-bid price pada window event
X1m : mandatory disclosure aset tetap
X2v : voluntary disclosure aset tetap
X3 : ukuran dewan komisaris
X4 : logaritma natural dari total asset
ε : error term.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada kekuatan
hubungan antara beberapa variabel, serta menunjukkan arah hubungan
antara variabel dependen dengan variabel independen. Karena dalam
penelitian ini juga menggunakan variabel moderating yang dalam model
regresinya mengandung unsur perkalian dua atau lebih variabel
independen (interaksi), maka hipotesis akan diuji menggunakan uji model
dengan aplikasi interaksi (MRA) dan analisis beda t-test.
Uji interaksi atau Moderated Regression Analysis terdiri dari
beberapa tahapan antara lain:
a. Uji Ketepatan Perkiraan (Uji R2)
Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen
(Ghozali, 2006). Nilai koefisien yang akan diperoleh berkisar antara nilai
nol dan satu yang mana jika R2 semakin kecil, maka kemampuan variabel
independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas.
Sebaliknya jika nilai mendekati satu berarti variabel-variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variasi variabel dependen.
b. Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)
Uji ini pada dasarnya dilakukan untuk menunjukkan apakah semua
variabel independen yang dimasukkan ke dalam model regresi mempunyai
pengaruh bersama-sama terhadap variabel dependen (Ghozali, 2006).
Untuk itu peneliti menggunakan alat bantu program SPSS varsi 17.0.
dimana kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut.
H0 diterima dan Ha ditolak, apabila nilai signifikansi lebih dari nilai
alpha 0,05 berarti variabel dependen secara bersama-sama tidak
berpengaruh terhadap variabel dependen atau dapat dikatakan model
regresi tidak signifikan.
H0 ditolak dan Ha diterima, apabila nilai signifikansi kurang dari
nilai alpha 0,05 berarti variabel de/penden secara bersama-sama memiliki
pengaruh terhadap variabel dependen atau dapat dikatakan model regresi
signifikan.
c. Pengujian Parameter Individual (Uji Statistik t)
Uji signifikansi statistik t dilakukan untuk menunjukkan seberapa
jauh pengaruh masing-masing variabel independen secara individual
dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2006). Pada uji
statistik t, nilai t hitung akan dibandingkan dengan nilai t tabel, dilakukan
dengan cara:
Bila t hitung > t tabel atau probabilitas < tingkat signifikansi (sig <
0,05), maka Ha diterima dan Ho akan ditolak, variabel independen
berpengaruh terhadap varriabel dependen.
Bila t hitung < t tabel atau probabilitas > tingkat signifikansi (sig < 0,05),
maka Ha ditolak dan Ho akan diterima, variabel independen tidak
berpengaruh terhadap varriabel dependen.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pengujian hipotesis yang telah dikemukakan dilakukan pengujian dengan
menghitung indeks pengungkapan dan ask bid spread dari masing-masing
perusahaan sampel dalam periode pengamatan. Indeks pengungkapan diperoleh
dari jumlah skor pengungkapan dibagi skor keseluruhan pengungkapan dari
laporan tahunan setiap perusahaan sampel baik voluntary maupun mandatory.
Sedangkan ask bid spread diperoleh dari
A. Deskripsi Data
Objek dari penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di
sektor manufaktur yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang menerbitkan
laporan tahunan selama periode 2010-2011 (cross sectional) secara berkala.
Dengan tujuan menemukan hasil empiris mengenai pengaruh pengungkapan
aktiva tetap terhadap asimetri informasi di sekitar window event, yang dimoderasi
dengan ukuran dewan sebagai salah satu item good corporate governance.
Data yang digunakan merupakan data sekunder yang berasal dari ICMD.
Kemudian dari data tersebut peneliti mengambil sampel yang digunakan dalam
penelitian ini dengan metode purposive sampling, hal ini dilakukan berdasar
pertimbangan agar sampel yang digunakan representatif dan memenuhi kriteria
yang telah ditentukan sebelumnya. Berdasarkan kriteria itu sampel akhir yang
diperoleh oleh peneliti ada sebanyak 88 perusahaan manufaktur yang terdaftar di
BEI, adapun rincian kriteria pemilihan sampel adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1Pemilihan Sampel Penelitian
Kriteria Pemilihan Sampel JumlahJumlah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI selama periode 2010 & 2011
271
Data tidak lengkap (Tanggal Publikasi/Ask-Bid Spread) (95)
Perusahaan manufaktur yang tidak memiliki pengungkapan aktiva tetap pada laporan keuangan
(36)
Jumlah perusahaan yang menjadi sampel periode 2010 & 2011
140
Tabel 4.2Daftar Perusahaan Manufaktur yang menjadi Sampel Penelitian
No Kode Emiten 2010 20111 ADES Akasha Wira International Tbk √ √2 ADMG Polychem Indonesia Tbk. √ √3 AKKU Alam Karya Unggul Tbk. √ √4 AKPI Argha Karya Prima Industry Tbk √5 ALMI Alumindo Light Metal Industry Tbk. √ √6 AMFG Asahimas Flat Glass Tbk. √ √7 ASII Astra International Tbk √ √8 AUTO Astra Auto Part Tbk √9 BRNA Berlina Tbk. √ √10 BRPT Barito Pasific Tbk √11 BTON Betonjaya Manunggal Tbk. √ √12 BUDI Budi Starch & Sweetener Tbk. √ √13 CEKA Wilmar Cahaya Indonesia Tbk. √ √14 CPIN Charoen Pokphand Indonesia Tbk √ √15 DLTA Delta Djakarta Tbk. √ √16 DPNS Duta Pertiwi Nusantara √17 DVLA Darya-Varia Laboratoria Tbk √ √18 EKAD Ekadharma International Tbk. √ √19 ESTI Ever Shine Tex Tbk. √ √
20 ETWA Eterindo Wahanatama Tbk √21 FASW Fajar Surya Wisesa Tbk √22 FPNI PT Lotte Chemical Titan Tbk. √ √23 GDYR Goodyear Indonesia Tbk √ √24 GGRM Gudang Garam Tbk √ √25 GJTL Gajah Tunggal Tbk √ √26 HMSP HM Sampoerna Tbk √ √27 IKAI Intikeramik Alamasri Industri Tbk √ √28 IMAS Indomobil Sukses Internasional Tbk √ √29 INAF Indofarma Tbk √ √30 INAI Indal Aluminium Industry Tbk √ √31 INCI Intanwijaya Internasional Tbk √ √32 INDF Indofood Sukses Makmur Tbk √ √33 INDS Indospring Tbk √ √34 INKP Indah Kiat Pulp & paper Tbk √ √35 INTP Indocement Tunggal Prakarsa Tbk √ √36 JECC Jembo Cable Company Tbk √37 JPFA Japfa Comfeed Indonesia Tbk √ √38 JPRS Jaya Pari Steel Tbk √ √39 KAEF Kimia Farma Tbk √ √40 KBLI KMI Wire & Cable Tbk √ √41 KDSI Kedawung Setia Industrial Tbk √ √42 KIAS Keramika Indonesia Assosiasi Tbk √ √43 KICI Kedaung Indag Can Tbk √ √44 KLBF Kalbe Farma Tbk √ √45 LMPI Langgeng Makmur Industri Tbk √ √46 LPIN Multi Prima Sejahtera Tbk √ √47 MAIN Malindo Feedmill Tbk √ √48 MASA Multistrada Arah Sarana Tbk √ √49 MERK Merck Tbk √50 MLBI Multi Bintang Indonesia Tbk √ √51 MLIA Mulia Industrindo Tbk √ √52 NIPS Nipress Tbk √ √53 PBRX Pan Brothers Tbk √ √54 PICO Pelangi Indah Canindo Tbk √ √55 PRAS Prima Alloy Steel Universal Tbk √ √56 PYFA Pyridam Farma Tbk √ √57 RMBA Bentoel international Investama Tbk √ √58 SAIP Surabaya Agung Industry Pulp Tbk √ √59 SIPD Sierad produce Tbk √ √60 SMCB Holcim Indonesia Tbk √ √61 SMGR Semen Gresik Tbk √ √
62 SMSM Selamat Sempurna Tbk √ √63 SPMA Suparma Tbk √ √64 SRSN Indo Acidatama Tbk √ √65 SULI Sumalindo Lestari Jaya Tbk √ √66 TCID Mandom Indonesia Tbk √ √67 TIRT Tirta Mahakam Resources Tbk √ √68 TKIM Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk √ √69 TPIA Chandra Asri Petrochemical √ √70 TRST Trias Sentosa Tbk √ √71 TSPC Tempo Scan Pacific Tbk √ √72 ULTJ Ultra jaya Milk Industry Tbk √ √73 UNIT Nusantara Inti Corpora Tbk √ √74 UNVR Unilever Indonesia Tbk √75 VOKS Voksel Electric Tbk √
B. Statistik Deskriptif
Peneliti melakukan analisis data pada model regresi berganda dengan
menggunakan bantuan program SPSS 17. Statistik deskriptif ini diperlukan untuk
menunjukkan distribusi data dari variabel-variabel yang akan diteliti. Hasil dari
statistik deskripsi pada sampel dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2Statistik Deskriptif
Statistics n Min Max MeanStd.
Deviation
Y 140 -0,1308 0,234 0,06573 0,06737Xi 140 0,154 1,000 0,75697 0,17734Xii 140 0,5833 1,000 0,88988 0,11322UDKi 140 1 10 3,71 2,061Ln_TA 140 8,93 14,86 12,1941 0,84974
Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa variabel asimetri informasi (Y)
memiliki nilai minimum sebesar -0,1308 oleh Mulia Industrindo Tbk pada tahun
2011. Nilai maksimum sebesar 0,234 oleh Delta Djakarta Tbk pada 2010. Nilai
rata-rata sebesar 0,06573 dan standar deviasi sebesar 0,06737.
Pada pengungkapan aset tetap mandatory (X1) memiliki nilai minimum
sebesar 0,154 oleh Alam Karya Unggul Tbk pada tahun 2010. Nilai maksimum
sebesar 1, rata-rata senilai 0,75697 dan standar deviasi 0,17734. Sedangkan pada
pengungkapan aset tetap voluntary (X2) memiliki nilai minimum sebesar 0,5833
oleh Indah Kiat Pulp & Paper Tbk pada tahun 2011, serta nilai maksimum sebesar
1, rata-rata senilai 0,88988 dan standar deviasi senilai 0,11322.
Variabel ukuran dewan komisaris (X3) memiliki nilai minimum sebesar 1,
nilai maksimum sebesar 10, rata-rata senilai 3,71 dan standar deviasi senilai
2,061. Variabel Ln_TA memiliki nilai minimum sebesar 8,93 oleh Charoen
Pokphand Indonesia Tbk di tahun 2010, nilai maksimum 14,86 oleh Delta
Djakarta Tbk pada tahun 2011, rata-rata senilai 12,1941 dan standar deviasi
senilai 0,84974.
C. Uji Asumsi Klasik
Pada suatu model regresi linier berganda dalam sebuah penelitian dapat
menghasilkan estimasi yang representatif dan signifika, jika model tersebut
tidak melanggar asumsi dasar regresi yang terdiri dari:
1. Uji Normalitas
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan awalan menguji
normalitas data terlebih dahulu. Peneliti melakukan uji normalitas dengan
menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov dengan tingkat signifikansi 5%
yang artinya, data akan disebut berdistribusi normal pada waktu p=value
(asymptotic significance) > 0,05.
Tabel 4.3
Hasil Uji Normalitas Data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 140
Normal Parametersa,,b Mean .0000000
Std. Deviation .05114769
Most Extreme Differences Absolute .057
Positive .057
Negative -.046
Kolmogorov-Smirnov Z .676
Asymp. Sig. (2-tailed) .751
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Untuk uji normalitas, data dinyatakan berdistribusi normal karena nilai p value
sebesar 75,1%
2. Uji Multikolonieritas
Multikolonieritas terjadi pada saat variabel independen berkorelasi dengan
variabel independen lain. Pada model regresi yang baik memiliki variabel
independen yang korelasinya rendah atau malah tidak memiliki korelasi. Hasil uji
ini ditentukan dengan besarnya nilai Variant Inflation Factor dan Tolerance.
Coefficient Correlationsa
Model Log_X4 X2V X3 X1M
1 Correlations Log_X4 1.000 .125 -.343 -.171
X2V .125 1.000 -.309 -.520
X3 -.343 -.309 1.000 -.084
X1M -.171 -.520 -.084 1.000
Covariances Log_X40.038 0.042 -0.006 -0.036
X2V0.042 .003 -0.047 .000
X3-0.006 -0.047 0.008 -0.008
X1M-0.036 .000 -0.008 .001
a. Dependent Variable: Y
Berdasarkan nilai korelasi antar variabel independen ditemukan korelasi yang
cukup tinggi antara variabel X1M dengan X2V yakni sebesar -0,520 atau -52%,
akan tetapi dikarenakan persentase korelasi yang tidak lebih dari 75%, maka dapat
dikatakan tidak terjadi multikolinearitas yang serius.
Variabel Tolerance VIF Keterangan
X1M .622 1.607 Tidak terdapat multikolinearitas
X2V .594 1.684 Tidak terdapat multikolinearitas
X3 .703 1.423 Tidak terdapat multikolinearitas
Log_X4 .828 1.207 Tidak terdapat multikolinearitas
Hasil perhitungan pada semua variabel independen juga menunjukkan nilai VIF
kurang dari 10 dan nilai tolerance diatas 0.1, hal tersebut memperkuat penarikan
kesimpulan bahwa tidak terdapat gejala multikolinearitas pada variabel
independen yang akan diteliti.
3. Uji Autokorelasi
Runs Test
Unstandardized
Residual
Test Valuea -.00007
Cases < Test Value 70
Cases >= Test Value 70
Total Cases 140
Number of Runs 76
Z .848
Asymp. Sig. (2-tailed) .396
a. Median
Hasil output SPSS telah menunjukkan bahwa nilai Runs-test adalah -0,00007
dengan probabilitas 0,396 signifikan pada α = 5% yang berarti hipotesis nol
diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa residual terjadi secara acak atau tidak
terjadi autokorelasi antar nilai residual.
4. Uji Heteroskeditas (Uji Glejser)
Coefficientsa
Model
Unstandardized CoefficientsStandardized Coefficients
t Sig.B Std. Error Beta
1 (Constant) .067 .059 1.136 .258
X1M .019 .042 .102 .446 .656
X2V -.041 .059 -.145 -.700 .485
X3 .000 .012 .015 .019 .985
X1M.X3 -.012 .011 -.747 -1.036 .302
X2V.X3 .011 .017 .691 .637 .525
Log_X4 .000 .004 -.016 -.167 .868
a. Dependent Variable: ABS_RES1
Terlihat dari probabilitas signifikansi yang berada diatas tingkat kepercayaan
5%, sehingga dapat disimpulkan model regresi dalam penelitian ini tidak
memiliki heteroskedastisitas.
UJI HIPOTESIS BLM THO?
BAB V
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. 2003. Pengaruh Corporate Governance terhadap Reaksi Harga dan Volume Perdagangan Pada Saat Pengumuman Earnings. Simposium Nasional Akuntansi VI. 16-17 Oktober 2003, Surabaya. Hal 614-621.
Bandi dan Jogiyanto Hartono. 1999. Perilaku Reaksi Harga dan Volume Perdagangan Saham terhadap Pengumuman Dividen. Simposium Nasional Akuntansi II. 24-25 September 1999, Surabaya.
Ball, Ray dan P. Brown, 1968, An Empirical Evaluation of Accounting Income Numbers, Journal of Accounting Research (autumn), pp 159-178
Brigham, Eugene F and Phillip R.Daves, Intermediate Financial Management,
eighth edition, Thomson, South-western
Chae, joon, 2002. “Timing Information, Information Asymetry, and Trading Volume”. http://www.ssrn.com.
Finger, Catherine A, 1994, The Ability of Earnings Predict Future Earnings dan Cash Flow, Journal of Accounting Research, Vol 32, No 2, pp210-223
Forum for Corporate Governanace in Indonesia (FCGI). Corporate Governance di Indonesia. http://www.fcgi.or.id.
Fortuna Antonieta, 2007, Challenges facing incentives For Effective Corporate Governance: cost and benefit, resistance to change and lack of accountability, Makalah 15 th Afa Conference, Jakarta.
Hendriksen, Eldon S., 1994. Teori Akuntansi, Edisi 4, Penerbit Erlangga.
Hua, Chi Yun; Min-Li Yao; Wen Chih Lee; Wei-Ming Chine, Information Asymmetry at Merge and Acquisition- An Investigation on Firm in The Electric Industry, working paper, 2006
Jensen, Michael C. dan William H. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics. Vol. 3, No. 4. . Oktober 1976. Hal 305-360.
Johnson, Simon; P. Boone; A. Breach; dan E. Friedman. 2000. Corporate Governance in the Asian Financial Crisis. Journal of Financial Economics 58. Hal 141-186.
Kanagaretnam, Kiridaran; Gerald J Lobo; Dennis J Whalen, 2007. Does Good Corporate Reduce Information Asymmetry Around Quarterly Earnings Announcements?, Journal of Accounting and Public Policy 26 Hal 497-522.
Kapitalisasi Bursa Naik 277 trilyun, http://www.viva.com, 17 Desember 2012
Kenaikan Peringkat Indonesia Tarik Minat Investor Asing, http:// www.investordayly.co,id, 17 Januari 2012.
Kieso, Donald E, Jerry J. Weigandt, Terry D Warfield, 2011, Intermediate Accounting, IFRS edition, Volume 1, John Wiley &Sons
Komite Nasional Kebijakan Governance. 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. http://www.google.com.
Komalasari, Puput Tri dan Zaki Baridwan. 2001. Asimetri Informasi dan Cost of Equity Capital. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 4, No. 1 (Januari): 64-81
Majalah SWA. 2006. Edisi 26/XXII/11-20 Desember 2006.
Mempercepat Laju: Revitalisasi Pertumbuhan di Sektor Manufaktur Indonesia, Stefan koeberle 10 oktober 2012
Mendenhall, W dan R.J. Beaver, 1992, A Course in Business Statistics, Boston: PWC-Kent Publishing Company.
Moksin, Pengiran Haji, 2007, Corporate Governance and Its Impact On A Firm”s Equity Price and Cost of Capital, Makalah 15 th AFA Conference , Jakarta.
Niyamanusorn, Nataya; A Fuad Rahmany, Liew Kim yuen, 2007, Past Failures
of Bad Corporate Governance: ASEAN Case Studies, makalah 15 th Afa Conference, Jakarta.
Perbaikan Peringkat dan Prospek Pasar Modal Indonesia, http://businessnews.co.id,11 Januari 2012
Sayidah, Nur, 2004, Persepsi Penyedia dan Pemakai Laporan Keuangan Terhadap Pengungkapan Biaya Riset dan Pengembangan, JAAI Vol. 8, No. 1 Juni 2004. Hal. 81-98.
Setiawan, Doddy dan Sitti Subekti. 2005. Pengujian Efisiensi Pasar Bentuk Setengah Kuat Secara Keputusan: Analisis Pengumuman Dividen Meningkat (Studi Empiris pada Bursa Efek Jakarta Selama Krisis
Moneter). Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 8, No. 2. Mei 2005. Hal 121-137.
Subiyantoro, Edy dan Saarce Elsye Hatane. 2007. Dampak Perubahan Kultur Masyarakat Terhadap Praktik Pengungkapan Laporan Keuangan Perusahaan Publik Di Indonesia. Jurnal Mnajemen Dan Kewirausahaan, Vol. 9, No. 1, Maret.
Sunarto. 2003. Corporate Governance dan Kinerja Saham. Fokus Ekonomi. Vol. 2, No. 3. Desember 2003. Hal. 240-257.
Suwardjono, 2005, Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan, Edisi Ketiga, BPFE, Yogyakarta
The Free Encyclopedia, Wiki Pedia, Information Asymmetry, http://www. en.wikipedia.org/wiki/information economics
Ujiyantho, Muh. Arief dan Bambang Agus Pramuka. 2007. Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba, dan Kinerja Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi X. 26-28 Juli 2007, Makassar.
Pecahan Variabel Dependen
Diambil dari Wiki Pedia, Information asymmetry adalah kondisi dimana salah
satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak daripada pihak lain.
Misalnya, pihak stakeholder intern perusahaan selain shareholder yang
memiliki informasi lebih banyak dibandingkan dengan pihak shareholder itu
sendiri.
Sebagai pihak yang tidak memiliki banyak informasi, investor akan
menggunakan informasi pengumuman laba untuk mengeliminasi asimetri
informasi. Apabila pengumuman laba tersebut merupakan indikasi kabar baik
/ buruk, yaitu laba meningkat / menurun, maka investor akan bereaksi positif
(negatif). Jadi laba mempunyai kandungan informasi yang berguna bagi
investor (Ball dan Brown, 1968). Proxy asimetri informasi dalam penelitian
ini adalah ask bid price spread. Proxy ini mendasarkan pada penelitian
Kanagaretnam (2007); Hua et al. (2006).
Harga bid adalah harga dimana dealer bersedia untuk membeli suatu
sekuritas, sedang ask adalah harga dimana dealer bersedia untuk menjual
suatu sekuritas. Perbedaan antara harga bid dan harga ask ini adalah spread.
Sehingga bid-ask spread merupakan selisih antara harga jual dan harga beli
(Purwanto, 2004)