Post on 03-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hewan ternak maupun hewan kesayangan dapat beresiko terinfeksi oleh tungau.
Salah satu infeksi tungau dapat menyebabkan skabiosis atau disebut kudisan. Skabiosis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh sekelompok ektoparasit jenis tungau (mite).
Skabiosis juga bersifat zoonosis pada manusia dan penularannya melalui kontak
langsung dimana tungau akan menyerang kulit dengan cara membuat terowongan
dibawah lapisan kulit (stratum korneum dan stratum lucidum) sehingga terjadi reaksi
kulit serta air liurnya menimbulkan reaksi alergi berupa eritrema, papula, dan vesikula
dan kerusakan kulit. Bahkan pada kasus yang parah dapat menyebabkan kematian
hewan 50 – 100%. Tingkat kebersihan, sanitasi dan sosial ekonomi yang relatif rendah
menjadi faktor pemicu terjangkitnya penyakit ini. Disamping itu, kondisi kekurangan
air atau tidak adanya sarana pembersih tubuh, kekurangan makan ,dan hidup berdesakan
semakin mempermudah penularan penyakit skabies dari penderita kepada hewan yang
sehat.
Tungau merupakan ektoparasit berukuran kecil yang bervariasi (0,5 – 2 mm).
Tungau termasuk parasit obligat, tubuhnya tidak beruas, dan umumnya memiliki 4
pasang kaki. Ukuran tungau jantan lebih kecil dari tungau betina. Telurnya berbentuk
oval.
Parasit tungau sangat mendatangkan gangguan pada hewan ternak karena jika
tidak segera ditangani kudis yang ditimbulkan sangat parah. Hewan yang diserang
mengalami penurunan kondisi tubuh, kerugian ekonomi, ketidak senangan pemelihara
dan lingkungan karena sifatnya yang zoonosis.
Skabiosis dapat disebabkan oleh beberapa tipe tungau yaitu yang membuat
terowongan dalam seperti Sarcoptes, Demodex, dan Knemidokoptes serta yang tidak
membuat terowongan seperti Psoroptes dan Chorioptes. Namun pembahasan hanya
terbatas pada tungau Sarcoptes.
1
1.2 TUJUAN PENULISAN
1. Memenuhi tugas Ilmu Penyakit Parasitik
2. Untuk mengetahui etiologi dari skabiosis
3. Untuk mengetahui dan mengenal hewan yang rentan terhadap skabiosis bagaimana
siklus serta cara penularannya
4. Untuk mengetahui patogenesa – gejaa klinik, patologi anatomi, serta histopatologi
dari skabiosis.
5. Untuk mengetahui cara diagnosa, penanganan, dan pencegahan penyakit skabiosis.
1.3 MANFAAT PENULISAN
Diharapkan paper yang dibuat dapat memberikan informasi dan pengetahuan
kepada pembaca sehingga pembaca dapat mengetahui dan mengkaji penyakit skabiosis
pada babi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ETIOLOGI
Skabiosis disebabkan oleh tungau terkecil dari ordo Acarina, yaitu Sarcoptes
scabiei. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var.hominis karena tungau ini telah
mengalami adaptasi biologi membentuk strain sehingga dapat menginfestasi banyak
hospes definitif termasuk manusia. Selain itu terdapat Sarcoptes scabiei yang lain,
misalnya pada kambing dan babi. Peredarannya cosmopolitan diseluruh dunia dan daur
hidup bisa sampai 8 – 15 hari.
Secara morfologik merupakan tungau kecil, bentuk oval, punggung cembung,
dan bagian perut rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata.
Ukuran yang betina antara 330 – 450 mikron x 250 – 350 mikron.Yang jantan lebih
kecil yaitu antara 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa punya 4
pasang kaki biasanya hidup di lapisan kulit epidermis dengan membuat terowongan dan
memakan epitel kulit dan menyerang kulit dibagian telinga, moncong, wajah, siku dan
jika sudah berlanjut akan menyebar ke seluruh tubuh, aksial, dan inguinal.
Gambar 1: Morfologi Sarcoptes scabiei
2.2 HEWAN TERINFEKSI
Scabies dapat menyerang hewan kesayangan : anjing, kucing dan hewan ternak
seperti kambing, domba, sapi, kuda, babi serta bersifat zoonosis pada manusia. Na,un
dalam pembahasan paper ini hanya terbatas pada babi.
3
Gambar 2: Babi yang terinfeksi skabiosis
2.3 SIKLUS HIDUP
Siklus hidup tungau Sarcoptes scabiei melalui empat tahap yaitu: telur, larva,
nimfa, dan dewasa.
a. Fase telur
Setelah menempel pada kulit inangnya ( anjing ) ,tungau betina dewasa yang telah
dibuahi membuat liang ke dalam kulit stratum korneum, stratum lucidum, dan
lapisan Malphigi atas kulit dengan menggunakan mulut dan kakinya yang tajam
selama 30 menit untuk bertelur sebanyak 2 – 3 telur per hari sampai mencapai
jumlah 40 – 50 butir dan akan menetas dalam waktu 3 – 4 hari menjadi larva.
b. Fase larva
Pada fase ini bebentuk larva berkaki 6 bermigrasi ke permukaan dan kemudian
kedalam liang kantong. Larva memakan folikel – folikel rambut. Setelah 2 – 3 hari
larva akan menjadi nimfa.
c. Fase nimfa
Pada fase ini berbentuk nimfa berkaki 8. Nimfa akan berkembang menjadi tungau
dewasa. Pada tahap nymphic, tungau jantan akan mengalami fase pendewasaan
selama 11 hari namun pada tungau betina mengalami fase pendewasaan yang lebih
4
lama sekitar 17 – 19 hari. Betina akan mati setelah meninggalkan telur, sedangkan
tungau jantan mati setelah kopulasi. Tungau betina dapat hidup diluar suhu kamar
selama ± 7 – 14 hari.
Gambar 3: Siklus hidup Sarcoptes scabei
2.4 CARA PENULARAN
Penyakit skabiosis dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak
langsung. Kontak langsung (kulit dengan kulit). Kontak tak langsung misalnya
peralatan kandang, lantai dan dinding kandang, pakan, dan alat angkut. Penularan pada
manusia dapat melalui pakaian, handuk, seprei, dan bantal. Bahkan penyakit ini dapat
pula ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di
Amerika Serikat dilaporkan, bahwa scabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual
meskipun bukan merupakan akibat utama.
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan hewan dan lingkungan,
atau apabila banyak hewan yang tinggal secara bersama – sama disatu tempat yang
relatif sempit.
Penularan biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah dibuahi atau
terkadang oleh bentuk larva. Dikenal juga Sarcoptes scabiei var. Animalis yang kadang
dapat menulari manusia, terutama pada orang yang banyak memelihara binatang
peliharaan, misalnya anjing.
5
2.5 PATOGENESIS
Predileksi Sarcoptes scabiei pada babi berada di mata sekitar moncong, dan
bagian cekung dari kulit telinga luar. Kegatalan yang terus menerus sehingga babi
menggosok tempat gigitan. Juga ditemukan papula kecil berwarna kemerahan atau
terlihat luka garuk berwarna kemerahan diikuti dengan merembesnya cairan limfe
kemudian menjadi keropeng, kerusakan kulit (exoriasis), dan diikuti pengelupasan
epidermis, berwarna kecoklatan, mengerut, terlihat endapan, dan menebal
(hyperkeratosis).
2.6 GEJALA KLINIS
Terjadi pruritus nokturna yaitu gatal pada malam hari karena aktivitas tungau
lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. Bagian tubuh yang paling jarang
atau sedikit rambutnya merupakan tempat yang paling disenangi tungau. Kulit disekitar
moncong bila menderita akan segera meluas ke kaki karena moncong dan kaki saling
bergesekan untuk mengurangi rasa gatal. Sekali sebagian tubuh mengalami lesi
biasanya segera meluas ke bagian tubuh lain, termasuk yang berambut tebal. Rambut
rontok, dengan lesi yang tidak rata tepinya, tidak begitu menonjol dari permukaan, dan
biasa bersisik atau berkeropeng, dengan bentukan papulae yang tidak begitu berat.
Gejala pada anak babi adalah iritasi kulit. Penyakit skabiosis dapat bersifat akut dan
kronis. Akut dengan ciri: telinga gemetar, alergi yang parah hingga menutupi seluruh
kulit, hingga terjadi perdarahan. Kronis dengan ciri: ditemukan abses tebal pada telinga,
sepanjang sisi leher, dan siku.
Gejala tersebut timbul kira – kira 3 mingggu pascainfestasi tungau atau sejak
larva membuat terowongan. Selain terjadi gejala seperti diatas, infestasi tungau dapat
menyebabkan infeksi sekunder akibat bakteri Streptococcus dan Staphylococcus serta
infeksi jamur yang menimbulkan pyoderma apabila pengobatan tidak segera dilakukan.
Rasa gatal yang disebabkan tungau dapat pula menyebabkan nafsu makan
menurun, berbau apeg, dan dapat menimbulkan kerugian ekonomi pada produksi ternak
seperti penurunan berat badan, produksi susu, bahkan kematian.
6
Gambar 4: Bulu rontok dan kekurusan pada babi
2.7 PATOLOGI ANATOMI
Terlihat eritrema pada daerah yang tidak ditumbuhi rambut, adanya terowongan
(kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu – abuan,
berbentuk garis lurusatau berkelok, dengan panjang rata – rata 1 cm, pada ujung
terowongan ditemukan papul atau vesikel, serta adanya pustul, ekskoriasi, dan
hyperkeratosis.
2.8 HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologi tidak khas, sering ditemukan akantosis, hiperkeratosis,
edema pada epidermis bagian bawah, dan dermis bagian atas. Pada papul yang masih
baru terdapat pelebaran pembuluh darah, infiltrasi ringan sel radang sekitar papul dan
dermis bagian atas. Bila telah kronik, infiltrat kronis ditemukan di sekitar pembuluh
darah serta deposit pigmen di bagian basal.
Gambar 5: Histopatologi Sarcoptes scabiei
7
2.9 DIAGNOSA
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis
melalui pemeriksaan kerokan kulit. Kerokan dilakukan dengan menggunakan scalpel
pada lapisan kulit yang mengalami lesi atau keropeng. Kemudian hasil kerokan ditaruh
diatas kaca preparat, lalu diteteskan NaOH atau KOH 10% sebanyak 1 – 2 tetes yang
berfungsi sebagai keratokolium, tutup dengan gelas penutup dan diperiksa dibawah
mikroskop dengan pembesaran 100 – 400 kali sehingga memungkinkan terlihatnya
gerakan tungau yang masih hidup. Untuk mengarahkan diagnosa beberapa tanda
bisadipakai patokan antara lain: sering menginfestasi telinga, menimbulkan ras agatal
sehingga akan digaruk, digosok, atau digigit sehingga terlihat peradangan kulit dan
sangat menular (kontangius).
Diagnosa banding penyakit skabiosis :
a) Prurigo, biasanya berupa papel – papel yang gatal, predileksi pada bagian ekstensor
ekstremitas.
b) Gigitan serangga, biasanya jelas timbul sesudah ada gigitan, efloresensinya urtikaria
papuler.
c) Folikulitis, nyeri berupa pustule miliar dikelilingi daerah yang eritem.
2.10 PENANGANAN PENYAKIT
a) Pengobatan
- HCH (lidane), yang diaplikasikan dengan memandikan (dipping) dan
penyemprotan (spraying) konsentrasi larutan 0,25 %. Pengobatan diulang 2 – 3
kali dengan interval waktu 10 – 14 hari.
- Caumaphos 50% dengan pengenceran 1%, efektif membunuh berbagai jenis
telur dan tungau.
- Belerang dan bensil bensoat 5 – 25%, dioleskan pada kulit penderita, belerang
kalsium sulfide digunakan sebagai obat topical atau dipping dengan pemberian
3 – 6 kali selama satu minggu.
- Ivermectin atau avermectin 1 ml untuk 15 – 20 kg berat badan disuntikkan
subkutan dan diulang 10 – 14 hari kemudian.
- Amitraz 5% dilarutkan dalam 100 ml air. Pemakaian dengan memandikan
(dipping) babi 2 minggu sekali
- Menggunakan resep 2,4 yang terdiri dari 2 g asam salisilat, 4 g belerang, dan
8
minyak nabati dengan vaselin sama banyaknya masing – masing 25 g
- Phosmet dengan car dibedaki
- Antibiotik sistemik seperti lincomycin, clindamycin, erythromycin,
trimethoprim-sulfamethoxazole, trimetoprim-sulfadiazine, chloramphenicol,
cephalosporin, dan amoxicillin trihydrate-clavulanic acid jika ada infeksi
skunder.
Gambar 6: Contoh obat skabiosis (ivermectine(kiri) dan amitraz(kanan))
b) Pencegahan.
Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan cara:
- Selalu menjaga kebersihan kandang dan peralatan serta lingkungan sekitarnya.
- Bila ada ternak yang terserang hendaknya dipisahkan dari yang sehat.
- Mengawasi ternak yang masuk secara cermat kedalam peternakan
- Tidak mengawinkan hewan yang menderita.
- Populasi ternak (densitas) agar disesuaikan dengan luas lahan kandang yang
tersedia.
2.11 SKABIOSIS BERSIFAT ZOONOSIS
Selain dapat menimbulkan skabiosis pada babi, infestasi Sarcoptes scabiei juga
bersifat zoonosis pada manusia. Jenis yang menginfestasi adalah Sarcoptes scabei
varian hominis. Berdasarkan epidemiologinya, banyak faktor yang mempengaruhi
berkembannya penyakit ini antara lain: sosial ekonomi yang rendah, higiene yang
buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan
perkembangan dermografik serta ekologik. Penyakit ini dapat dimasukkan dalam P.H.S.
(Penyakit akibat Hubungan Seksual).
Pada umumnya patogenesis dan gejala klinis skabiosis pada manusia sama
dengan hewan (babi). Kegatalan yang terus menerus menimbulkan papul (binti),
9
vesikel, urtika yang sangat gatal, dan karena garukan dapat muncul erosi, eksoriasi,
krusta (koreng) hingga terjadi infeksi sekunder.
Gambar7: Gejala klinis pada manusia yang terkena skabiosis
Penularannya dapat terjadi secara langsung (kulit penderita dengan kulit orang
sehat) dan tidak langsung melalui sprai, handuk, dan bantal. Lokasi penyakit pun juga
khas: disela – sela jari, pergelangan tangan, siku, lipat dada, dan lipat ketiak.
Pengobatan dilakukan dengan memberikan krim scabicid (gameksan 1 %)
keseluruh tubuh penderita dan didiamkan semalaman dan krim permetrin 5% untuk
anak dibawah 6 tahun.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Skabiosis pada babi disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei. Tungau
ini memiliki ciri morfologi kecil, bentuk oval, punggung cembung, dan bagian perut
rata. Siklus hidup tungau Sarcoptes scabiei melalui empat tahap yaitu: telur, larva,
nimfa, dan dewasa. Cara penularannya dapat secara langsung maupun secara tidak
langsung. Apabia babi telah terinfeksi maka akan terjadi Kegatalan yang terus menerus
sehingga babi menggosok tempat gigitan (di mata sekitar moncong, dan bagian cekung
dari kulit telinga luar). Secara patologi anatomi terlihat papul atau vesikel , serta adanya
pustul, ekskoriasi, dan hyperkeratosis. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan pemeriksaan mikroskopis melalui pemeriksaan kerokan kulit. Pengobatan yang
efektif untuk skabiosis pada babi adalah ivermectin atau avermectin dan amitraz 5%.
Selain itu, skabiosis juga bersifat zoonosis pada manusia. Jenis yang
menginfestasi adalah Sarcoptes scabei varian hominis. Gejalanya berupa kegatalan yang
terus menerus menimbulkan papul (bintil), vesikel, urtika yang sangat gatal, dan karena
garukan dapat muncul erosi, eksoriasi, krusta (koreng) hingga terjadi infeksi sekunder.
Pengobatan dilakukan dengan memberikan krim scabicid (gameksan 1 %) keseluruh
tubuh penderita dan didiamkan semalaman dan krim permetrin 5% untuk anak dibawah
6 tahun.
11
DAFTAR PUSTAKA
D.VM,Erwin. 2008. Scabiosis. Jogjakarta
Staff Parasitologi Veteriner. 2008 . Buku Ajar Ilmu Penyakit Parasitik Veteriner . Universitas
Udayana : Denpasar
Ackerman, A. B. 1977. Histopathology of human scabies. See Ref. 87 pp. 88-95
Alva-Valdes, R., Wallace, D. H., Foster, A. G" Ericsson, G. F., Wooden, J.W, 1986. The
effects of sarcoptic mange on the productivity of confined pigs. Vet . Med. 81(3):258-62
Brownlie, W. M : , Harrison, I. R. 1960. Sarcoptic mange in pigs. Vet. Rec. 72: 1022-23
Estes, S. A. 1982. Diagnosis and management of scabies. Med. Clin. North A m . 66:955-63
Fernandez, N. , Torres, A . , Ackerman,B. 1977. Pathologic findings in human scabies. Arch .
Dermatol. 1 1 3:320-24
12
LAMPIRAN JURNAL
13