Post on 29-Jul-2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Senyawa calkon merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder
golongan flavonoid yang dapat diperoleh dengan cara isolasi dari tumbuhan.
Senyawa ini sangat menarik karena dapat digunakan sebagai material awal
dalam sintesis berbagai jenis senyawa heterosiklik. Calkon juga memiliki
berbagai jenis aktivitas biologi yang berbeda-beda. Beberapa jenis calkon
memperlihatkan aktivitas antimikroba, antimalaria, antioksidan, antitumor, dan
anti-inflamasi (Prasad et al, 2006). Namun untuk memperolehnya, terdapat
beberapa kelemahan antara lain jumlahnya yang terbatas dibanding dengan
senyawa flavonoid lain dan persentasenya dalam tumbuhan juga kecil, variasi
strukturnya relatif sedikit, serta membutuhkan biaya yang cukup banyak.
Bertolak dari hal tersebut, maka didapatkan suatu solusi yang dapat
meminimalisir segala kekurangan dalam proses isolasi yaitu dengan cara
sintesis kimia.
Melalui analisis retrosintesis, senyawa calkon dapat disintesis dengan
menggunakan starting material berupa senyawa-senyawa yang mempunyai
karbonil aromatik. Suatu keton aromatik dan aldehid aromatik merupakan
senyawa yang cocok digunakan sebagai starting material. Reaksi tersebut
nantinya dapat dikatalis oleh suatu asam atau basa, yang biasa dikenal dengan
kondensasi aldol (kondensasi Claisen-Schmidt). Kondensasi aldol merupakan
salah satu metode pembentukan karbon-karbon (reaksi perpanjangan rantai
karbon). Dalam hal ini, dua molekul atau lebih bergabung menjadi suatu
molekul yang lebih besar dengan atau tanpa hilangnya suatu molekul kecil
seperti air (Riawan, 1990). Reaksi ini dikenal ramah lingkungan karena tidak
banyak menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya dan prosesnya juga sangat
sederhana. Hal ini tentunya sangat baik karena mendukung Green Chemistry.
Penelitian ini menjadi penting artinya karena masih sedikit senyawa
bahan alam yang belum dapat disintesis dan berakibat mahalnya senyawa
2
tersebut di pasaran. Hal ini dapat kita lihat dari obat-obatan atau yang lainnnya
yang harus diisolasi dari bahan alam pasti akan mahal harganya, berbeda
dengan obat-obatan yang bahan bakunya adalah hasil sintesis, akan lebih murah
harganya. Oleh karena itu, sintesis merupakan jalan keluar yang paling tepat
bagi pemecahan masalah tersebut.
Dalam penelitian ini bahan baku keton aromatik yang digunakan adalah
4 metoksi asetofenon, dan sebagai aldehid aromatik adalah 4 metoksi
benzaldehid, 2,3 dimetoksi benzaldehid dan 2,4,5 trimetoksi benzaldehid. Ini
bertujuan agar dapat diperoleh suatu produk calkon yang lebih variatif,
sehingga lebih menarik untuk menggali potensi calkon tersebut bagi berbagai
kepentingan yang dapat menambah nilai tambah produk bahan alam.
1.2 Perumusan Masalah
Senyawa calkon merupakan metabolit sekunder yang ditemukan di alam
dalam jumlah yang relatif kecil. Namun demikian, senyawa ini mempunyai
peran biologis yang cukup penting. Untuk menggali potensi calkon bagi
kepentingan terapeutik diperlukan calkon dalam jumlah yang cukup dengan
variasi struktur yang beragam. Hal tersebut sulit diperoleh melalui isolasi dari
bahan alam karena selain membutuhkan biaya yang lebih mahal,
pengerjaannya juga lebih rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Oleh
karena itu, sintesis diharapkan dapat mengatasi masalah ini dengan
menghasilkan berbagai analog calkon yang strukturnya lebih bervariasi.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan tiga analog calkon dari
4’-metoksi calkon yaitu 1-3-bis-(4’-metoksifenil)-2-propen-1-on, 1-(4’-
metoksifenil)-3-(2,3-dimetoksifenil)-2-propen-1-on, dan 1-(4’-metoksifenil)-
3-(2,4,5-trimetoksifenil)-2-propen-1-on. Kemudian dilanjutkan dengan
karakterisasi senyawa yang diperoleh dengan spektroskopi UV, IR dan NMR,
dan uji toksisitas.
3
1.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Sintesis,
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Riau dan penelitian dilakukan selama 6 (enam) bulan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Calkon
Calkon adalah salah satu tipe metabolit sekunder yang termasuk
dalam golongan flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol
alam yang terbesar dan terdapat dalam semua tumbuhan hijau. Semua varian
flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama, yaitu dari alur
sikimat dan alur asetat malonat yang segera terbentuk setelah kedua alur
tersebut bertemu. Flavonoid yang dianggap pertama kali terbentuk pada
biosintesis ialah calkon, dan semua bentuk lain dari flavonoid diturunkan dari
calkon melalui beberapa alur (Markham, 1988).
O2'
3'
4'
5'
6'
2
3
4
5
6
β
α
Gambar 1. Rumus umum senyawa calkon
Senyawa calkon terdapat pada berbagai jenis tumbuhan di alam yang
berperan sebagai senyawa perkursor untuk biosintesis flavonoid dan
isoflavonoid (Patil et al, 2009). Senyawa calkon juga berguna dalam sintesis
berbagai macam senyawa heterosiklik seperti isoksazol, kuinolinon, tiadiazin,
benzofuranon, benzodiazepin dan lain sebagainya (Jayapal et al, 2010).
Senyawa calkon mengandung gugus etilen keto (-CO-CH=CH-) yang
reaktif. Adanya gugus tersebut menyebabkan molekul calkon mempunyai
berbagai macam aktivitas biologi (Jayapal dan Sreedhar, 2010).
Beberapa jenis calkon memperlihatkan aktivitas, misalnya sebagai
antibakteri seperti 2’,4’-dihidroksi-3’,6’-dimetoksicalkon yang diisolasi dari
kulit batang tumbuhan Cryptocarya costata (Lauraceae) (Usman et al, 2005),
sebagai antitumor seperti 2’,4’-dihidroksi-3’,5’,6’-trimetoksicalkon yang
diisolasi dari daun kulit batang tumbuhan Cryptocarya costata (Lauraceae)
5
(Usman dkk, 2005), sebagai antiinflamasi misalnya 3,4-dikloro-6’-
metoksicalkon dan 2’-hidroksi-6’-metoksicalkon (Kim et al, 2007), dan sebagai
antioksidan 2’,4’-dihidroksi-4-kloro calkon (2a) dan 2’,4’-dihidroksi-2-kloro
calkon (2b) (Sandhya et al, 2011).
O
OHHO Cl
O
OHHO Cl
2a 2b
Gambar 2. Calkon sebagai antioksidan
Disamping itu, menurut hipotesis Pelter calkon merupakan senyawa
intermediet untuk pembentukan senyawa flavonoid lainnya seperti flavon,
isoflavon, auron, flavanonol dan sebagainya.
OH
OH
HO
OH
O
OH
OH
HO
O-
O
OH
OH
HO
O
O-
OH
OH
HO
O
O
O
OH
HO
OH
O-
O
OH
HOO
O
OH
OH
HO
O
O
OH
H
FLAVANON
-
-e-
+ OH- - [H]
- [H]
- [H]O
OH
HO
O
O
H
H
FLAVON ISOFLAVON AURON FLAVANONOL
FLAVONOL
OKS
Gambar 3. Hubungan biogenetik berbagai jenis flavonoid (Manitto, 1992).
6
2.2 Reaksi Kondensasi Aldol
Reaksi kondensasi adalah reaksi penggabungan dari dua atau lebih
molekul yang sama atau berlainan dengan atau tanpa hilangnya suatu molekul
kecil seperti air (Riawan, 1990). Sedangkan kata “aldol” diturunkan dari
aldehid dan alkohol, menghasilkan produk berupa aldehid β-hidroksi yang
merupakan hasil reaksi antara alkil keton dan alkil aldehid (Hart, 1983).
Kondensasi aldol merupakan suatu reaksi organik yang dalam hal ini ion enolat
bereaksi dengan senyawa karbonil membentuk β–hidroksi aldehida atau
β–hidroksi keton yang diikuti dengan dehidrasi membentuk enon terkonjugasi.
Tahap pertama dari reaksi ini adalah reaksi aldol dan tahap kedua yaitu reaksi
eliminasi, hilangnya molekul kecil seperti air (dehidrasi) yang diikuti dengan
dekarboksilasi ketika gugus karbonil aktif ditambahkan (Fessenden dan
Fessenden, 1994).
Dalam kondensasi aldol, suatu ikatan karbon-karban baru yang
terbentuk antara atom karbon α dari satu senyawa karbonil dan atom karbon
karbonil yang lainnya. Karena keasaman atom hidrogen α dari senyawa kabonil
membuatnya memungkinkan senyawa karbonil tersebut untuk beraksi dengan
yang lainnya sehingga menghasilkan suatu produk gabungan keduanya adalah
suatu aldehid dan suatu alkohol. Reaksi ini sering disebut dengan kondensasi
aldol. Reaksi kondensasi hampir mirip dengan reaksi polimerisasi.
Perbedaannya pada reaksi kondensasi, bergabung melibatkan 2 atau 3 molekul
yang berkondensasi, sedangkan pada polimerisasi dapat sampai ratusan atau
jutaan molekul (Fessenden dan Fessenden, 1994).
Hal yang terpenting dalam kondensasi aldol adalah pembentukan ikatan
karbon-karbon terjadi antara atom karbon α dari satu gugus aldehid dengan
gugus karbonil yang lainnya.
2.2.1 Reaksi kondensasi aldol dengan katalis basa
Hidrogen yang terletak pada atom karbon yang berdekatan dengan
ikatan rangkap karbon-oksigen bersifat asam dan dapat dengan mudah
7
dipindahkan oleh basa. Bila suatu aldehid diolah dengan basa seperti NaOH
akan membentuk ion enolat yang dapat bereaksi dengan gugus karbonil dari
molekul aldehid yang lain. Reaksi ini disebut dengan reaksi kondensasi aldol.
Kata “aldol” diturunkan dari kata aldehid dan alkohol. Kondensasi aldol
merupakan suatu reaksi adisi dimana tidak dilepaskan suatu molekul kecil.
Misalnya, jika suatu asetaldehid diolah dengan larutan natrium hidroksida
berair, terbentuklah ion enolat dalam konsentrasi rendah (Fessenden dan
Fessenden, 1994).
Mekanisme reaksi pembentukan calkon dengan katalis basa adalah
sebagai berikut:
CH3
O
OH
CH2
O
H
O
O O HO OH
H
H
O OH2 O
-H2O
Gambar 4. Mekanisme reaksi pembentukan calkon dengan katalis basa
2.2.2 Reaksi kondensasi aldol dengan katalis asam
Kondensasi aldol dengan katalis asam ini memiliki perbedaan
mekanisme reaksi dengen katalis basa. Pada katalis asam ion H+ akan terikat
secara parsial dengan atom O yang terdapat karbonil pada suatu aldehid.
Ikatang rangkap pada karbonil akan menetralkan muatan atom O, sehingga
atom C pada karbonil akan bermuatan positif. Kemudian suatu pelarut yang
mempunyai molekul OH (umumnya air atau etanol) akan mengambil suatu
8
hidrogen (Hα) yang terletak pada atom karbon yang bertetangga dengan ikatan
karbonil pada keton dan C pada karbonil akan bermuatan negatif dan dengan
mudah menyerang C yang bermuatan positif tadi membentuk suatu senyawa
karbonil β-hidroksi. Senyawa karbonil β-hidroksi yang terbentuk dari reaksi
tadi akan mudah mengalami dehidrasi dan membentuk ikatan rangkap yang
berkonjugasi dengan gugus karbonilnya dan diperoleh hasil reaksi suatu calkon.
Katalis asam yang umum digunakan yaitu H2SO4 dan SOCl2 (Jayapal dan
Sreedhar, 2010), serta lainnya.
Kondensasi aldol dengan menggunakan katalis asam dengan mekanisme
reaksi sebagai berikut:
H
O
H
OH
H
OHH
CH3
O
H-OH
CH2
O
O OHO OHH
H
O OH2 O-H2O
Gambar 5. Mekanisme pembentukan calkon dengan katalis asam
2.3 Rekristalisasi
Senyawa yang didapat baik melalui isolasi senyawa bahan alam
maupun melalui sintesis tidak langsung murni sehingga senyawa yang didapat
tersebut harus dimurnikan terlebih dahulu. Salah satu cara pemurniannya yaitu
dengan rekristalisasi. Rekristalisasi merupakan salah satu metode yang paling
9
umum untuk memperoleh senyawa yang relatif murni dan homogen dari
senyawa yang tidak murni. Teknik yang digunakan untuk rekristalisasi
bergantung pada peningkatan daya larut zat terlarut dalam suatu pelarut ketika
temperatur dinaikkan. Kebanyakan padatan larut dalam pelarut dengan
menyerap panas. Pada temperatur tinggi, larutan tersebut akan jenuh dan ketika
pelarut dingin zat terlarut akan mengendap dalam larutan. Jadi, rekristalisasi
merupakan proses pembentukan kembali suatu padatan melalui pengendapan
(Mohrig et al, 1979). Rekristalisasi menyangkut beberapa langkah antara lain :
1. Pemilihan pelarut yang baik
2. Pelarutan sampel
3. Penyaringan larutan untuk mendapatkan pengotor yang tidak larut (hot
filtration)
4. Pendinginan larutan hingga terbentuk kristal
5. Pemisahan padatan dari larutan dengan penyaring vakum (cold
filtration)
6. Pencucian padatan dalam penyaring dengan sejumlah pelarut dingin
7. Pengeringan padatan (Palleros, 2000).
2.4 Kromatografi Lapis Tipis
Kormatografi Lapis Tipis (KLT) sangat umum digunakan dalam
teknik analisis kimia, antara lain yaitu (Pavia et-al, 1995):
1. Untuk identifikasi suatu senyawa.
2. Untuk mengetahui berapa banyak jenis senyawa dalam suatu campuran
(kemurnian).
3. Untuk mengetahui pelarut/perbandingan pelarut yang cocok untuk
pemisahan pada kromatografi kolom.
4. Untuk memonitor pemisahan pada kromatografi kolom.
5. Untuk mengecek keefektifan pemisahan dengan ekstraksi maupun
rekristalisasi.
6. Untuk mengetahui sejauhmana reaksi telah berlangsung.
10
B
A
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis ini terjadi karena adanya
perbedaan kecepatan migrasi yang didasarkan pada perbedaan koefisien
distribusi masing-masing komponen yang dipisahkan. Cara kerja KLT adalah
sebagai berikut: larutan sampel ditotolkan pada plat yang sudah diberi tanda.
Bila noda sudah kering plat dimasukkan ke dalam bak eluen yang telah jenuh
dengan eluen yang dipilih sebagai fase gerak. Eluen tidak boleh menyentuh
noda pada plat, karena memungkinkan senyawa yang dipisahkan larut. Eluen
bergerak dengan gaya kapiler dan menggerakkan komponen-kompoen dari
campuran cuplikan pada perbedaan jarak dalam arah aliran eluen. Jarak tempuh
noda dapat dihitung dengan mengetahui lokasi noda pada plat. Jika senyawa-
senyawa yang dipisahkan berwarna akan terlihat sebagai pita-pita atau noda-
noda yang terpisah. Tetapi untuk senyawa tertentu yang tidak berwarna dapat
diamati dengan lampu ultraviolet, uap yodium atau dengan pereaksi penampak
noda. Noda yang didapat ditandai dengan pensil untuk menentukan harga Rf
yang berkisar 0-1. Harga Rf dapat dihitung dengan membandingkan jarak yang
ditempuh komponen dengan jarak yang ditempuh eluen (Sastroamidjojo, 2001).
Rf = Jarak yang ditempuh sample (A)
Jarak yang ditempuh eluen (B)
Batas atas
Batas bawah
Gambar 6. Penentuan Harga Rf
11
2.5 Penentuan Titik Leleh
Titik leleh merupakan temperatur keadaan suatu kristal mulai meleleh
sampai meleleh seluruhnya. Pemeriksaan titik leleh suatu senyawa yang tidak
dikenal dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang sederhana, misalnya
Ordinary, Thiele, Fisher-Jonhs. Pengamatan titik leleh dilakukan secermat
mungkin, terutama bila telah mendekati titik lelehnya. Jadi titik leleh
sebenarnya merupakan harga antara yang dimaksud tidak boleh lebih dari 2oC
(Mayo, D.W., et al, 1994).
Penetuan titik leleh diperlukan dua hal yaitu:
1. Penentuan kemurnian
Pada penetuan titik leleh suatu senyawa, bila harga yang diperoleh memiliki
selisih angka yang lebih kecil dari 2oC, maka senyawa itu dikatakan sudah
murni. Bila selisihnya lebih besar dari 2oC dikatakan belum murni.
2. Identifikasi senyawa tak dikenal
Dalam hal ini, data titik leleh yang diperoleh dicocokkan dengan data
standar (hand book). Jika titik leleh senyawa tak dikenal tersebut sesuai
dengan data dari hand book, maka senyawa tersebut dapat diketahui.
2.6 Metode Karakterisasi
Dalam penentuan karakterisasi suatu senyawa kimia ada beberapa
metode yang digunakan. Secara umum metode yang biasa digunakan adalah
teknik spektroskopi. Diantaranya adalah spektroskopi ultraviolet (UV),
inframerah (IR), spektroskopi massa (MS) dan resonansi magnetik inti (NMR).
Semua metode ini menghasilkan data spektroskopi yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi senyawa-senyawa bahan alam.
2.6.1 Spektroskopi ultraviolet
Spektoskopi ultraviolet dari suatu senyawa organik berhubungan
dengan transisi elektron dari satu tingkat energi ke tingkat energi yang lebih
tinggi. Spektroskopi ultraviolet berguna untuk mengetahui ikatan rangkap
12
terkonjugasi dalam suatu molekul kimia (Sudjadi, 1983). Senyawa organik
yang dikarakterisasi dengan UV harus dalam keadaan murni dan berbentuk
larutan. Senyawa yang akan dianalisis dilarutkan dalam pelarut organik yang
sesuai.
Spektrum UV senyawa golongan flavonoid biasanya ditentukan dalam
etanol atau metanol dan khas terdiri dari dua absorbsi maksimum pada range
240-285 nm (pita II, terutama disebabkan absorbsi cincin A), dan 300-550 nm
(pita I, disebabkan cincin B). Absorbsi UV pada calkon terlihat pada panjang
gelombang 230-270 nm pada pita II dan 340-270 nm pada pita I dengan
intensitas yang rendah.
2.6.2 Spektroskopi inframerah
Spektroskopi IR digunakan untuk menentukan gugus fungsi
(Silverstain, 1986). Hal ini mungkin disebabkan spektrum inframerah senyawa
organik bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum
yang berbeda pula (Noedin, 1986). Penggunaan spektrum inframerah dalam
kimia organik menggunakan daerah yang berkisar pada bilangan gelombang
666-4000 cm-1. Bila sinar inframerah dilewatkan melalui senyawa organik,
maka beberapa frekuensi akan diserap dan lainnya diteruskan. Spektroskopi
inframerah digunakan untuk menentukan informasi-informasi secara struktural
dari senyawa-senyawa organik (Wingrove and Caret, 1981).
2.6.3 Spektroskopi resonansi magnetik inti (NMR)
Spektroskopi NMR merupakan teknik yang sangat baik di dalam
menentukan struktur senyawa organik. Spektroskopi NMR berhubungan
dengan sifat magnetik inti. Penentuan senyawa dengan menggunakan NMR
akan diperoleh gambaran perbedaan sifat dari berbagai inti yang ada untuk
menduga letak inti tersebut dalam molekul (Sudjadi, 1983).
13
2.6.4 Spektroskopi massa (MS)
Spektrofotometer massa adalah alur kelimpahan (jumlah relatif
fragmen bermuatan positif yang berlainan) versus nisbah massa/muatan (m/e
atau m/z) dari fragmen-fragmen tersebut. Muatan ion dari kebanyakan partikel
yang dideteksi dalam suatu spektrometer massa adalah +1, nilai m/e untuk
suatu ion semacam ini sama dengan massanya. Oleh karena itu spektrum massa
merupakan suatu rekaman dari massa partikel versus kelimpahan relatif
partikel tersebut (Sastrohamidjojo, 2001).
2.7 Tinjauan Umum Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Untuk mengetahui aktivitas dari suatu bahan alam dapat dilakukan uji
pendahuluan dengan metode yang sederhana, yang umumnya disebut dengan
uji aktivitas biologi utama (Primary Screening Bioassay), metode yang
digunakan harus cepat, murah, sensitif, membutuhkan sedikit material, serta
bisa mengidentifikasi aktivitas secara luas. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
merupakan salah satu penapisan primer tersebut, dimana metode ini merupakan
salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat toksik, dengan
menggunakan larva udang Artemia salina Leach sebagai hewan percobaan.
Metode ini pertama kali dilakukan oleh Meyer et al (1982). Uji pendahuluan
untuk senyawa sitotoksik dengan metode BSLT ini memiliki beberapa
keuntungan, antara lain mudah, cepat, murah, dan hasilnya dapat dipercaya.
2.7.1. Larva Artemia salina leach
Artemia salina adalah udang-udangan tingkat rendah yang hidup
sebagai zooplankton, dan menghuni perairan yang berkadar garam tinggi.
Apabila kadar garam kurang dari 6% telur Artemia salina akan tenggelam
sehingga telur tidak bisa menetas. Sedangkan apabila kadar garam lebih dari
14
25% telur akan tetap berada dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat
menetas dengan normal (Fox, 2004 dan Harefa, 1997).
Gambar 7. Siklus hidup Artemia salina (www.o-fish.com)
Siklus hidup Artemia salina dimulai dari saat menetasnya kista atau
telur. Setelah 15-20 jam pada suhu 25ºC kista akan menetas menjadi embrio.
Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih menempel pada kulit kista. Pada
fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah
menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Artemia salina yang baru
menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk
sempurna. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih
mengandung kuning telur dalam tubuhnya, yang akan bertahan selama 72 jam.
Sehingga naupli tidak membutuhkan makanan untuk selang waktu 72 jam
tersebut. Untuk kultur pertumbuhan selanjutnya, larva membutuhkan makanan
berupa mikro alga, bakteri dan dentritus organik lainnya. Naupli akan berganti
kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari (Harefa,
1997; Fox, 2004).
Variabel yang penting dalam membiakkan udang Artemia salina ini
adalah pH, temperatur, cahaya dan oksigen. pH 8-9 merupakan yang paling
baik, sedangkan pH dibawah 5 atau lebih besar dari 10 dapat membunuh
Artemia salina. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan
15
sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite
sudah cukup untuk keperluan hidup Artemia salina (Harefa, 1997; Fox, 2004).
2.7.2. Konsentrasi letal 50 (LC50)
LC50 (Lethal Concentration 50%) adalah konsentrasi yang dapat
menyebabkan kematian 50% hewan percobaan selama waktu tertentu. Pada
metode BSLT, suatu tanaman atau hasil isolasi dianggap menunjukkan
aktivitas sitotoksik bila mempunyai nilai LC50 kecil dari 1000 ppm, sedangkan
untuk senyawa murni dianggap menunjukkan aktivitas sitotoksik bila
mempunyai nilai LC50 kecil dari 200 ppm (Anderson, 1991). Sejauh ini
metoda penentuan LC50 ada 3 macam, yaitu Metoda Kurva, Metoda
Farmakope Indonesia dan Metoda Finney. Ketiga metoda ini berdasarkan
pengukuran persentase individu yang responsif pada kisaran dosis atau
konsentrasi tertentu (Meyer et al, 1982).
16
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Sintesis senyawa calkon akan dilakukan di laboratorium kimia organik
sintesis Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau.
Analisis produk melalui spektroskopi IR dan NMR akan dilakukan di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong, Tanggerang. Penelitian
ini diperkirakan akan berlangsung selama lebih kurang 6 bulan.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat yang digunakan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
mortar dan lumpang , pompa vakum, corong buchner, 1 set alat destilasi, labu
bulat, pengaduk magnet, hot plate, plat KLT GF254, alat penentu titik leleh Fisher
Johns, lampu UV (254 nm), alat pembiakan telur udang Artemia salina (wadah
gelap, aerasi, lampu dengan intensitas cahaya rendah), vial, pipet mikro,
timbangan analitik, pipet tetes, spektrofotometer inframerah, spektorofotometer
NMR proton serta alat gelas yang umum digunakan di laboratorium kimia.
3.2.2 Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
4-metoksi asetofenon , 4- metoksi benzaldehid, 2,3-dimetoksi benzaldehid,
2,4,5-trimetoksi benzaldehid, metanol, n-heksan, etil asetat, NaOH, HCl, etanol
absolut. Bahan yang digunakan untuk pengujian “Brine Shrimp Lethality Test”
adalah Air Laut, Dimetilsulfoksida (DMSO), larva uji yang digunakan adalah
Artemia salina Leach.
3.3 Rancangan Penelitian
Pembentukan senyawa analog calkon dalam penelitian ini dapat
dijelaskan dengan skema retrosintesis di bawah ini :
17
OO
H
O
R1 R2 R1 R2
+
Gambar 8. Skema pendekatan retrosintesis senyawa calkon
Sintesis senyawa turunan calkon didapatkan melalui kondensasi aldol
dengan menggunakan senyawa awal turunan benzaldehid 2 dan turunan
asetofenon 3 dengan menggunakan katalis basa (NaOH) seperti terlihat pada
skema reaksi berikut:
H
O O
R1 R2
+ NaOH
-H2O
O
R2R1
Gambar 9. Skema reaksi kondensasi aldol untuk mendapatkan calkon
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Sintesis calkon
Ke dalam lumpang dimasukkan senyawa 4-metoksi asetofenon (5
mmol) dan NaOH (7 mmol), dan kemudian ditambahkan aldehid aromatik (5
mmol) Campuran digerus hingga diperoleh padatan berbentuk bubuk, lalu
ditambahkan 10 mL air es hingga terbentuk karamel dan karamel disaring
dengan corong buchner. Karamel tersebut kemudian dikeringkan hingga
terbentuk padatan dan direkristalisasi dengan pelarut yang sesuai. Selanjutnya
produk yang diperoleh diuji kemurniannya dengan KLT dan pengukuran titik
leleh.
18
Tabel I. Senyawa asal dan molekul target calkon
Keton Aldehid Calkon
CH
O
H3CO
4-metoksi
asetofenon (Z)
CH
O
H3CO
4-metoksi
asetofenon (Z)
H
O
H3CO
4-metoksi
Benzaldehid (1)
H
O
OCH3
OCH3
2,3-dimetoksi
benzaldehid (2)
O
H3CO OC
(Z1)
O
H3CO H3CO
OCH3
(Z2)
CH
O
H3CO
4-metoksi
asetofenon (Z)
H
O
H3CO
H3CO
OCH3
2,4,5-trimetoksi
benzaldehid (3)
O
H3CO OC
OC
H3CO
(Z3)
Keterangan :
(Z1). 1-3-bis-(4’-metoksifenil)-2-propen-1-on
(Z2). 1-(4’-metoksifenil)-3-(2,3-dimetoksifenil)-2-propen-1-on
(Z3). 1-(4’-metoksifenil)-3-(2,4,5-trimetoksifenil)-2-propen-1-on
19
3.4.2 Rekristalisasi
Pelarut yang sesuai dipanaskan kemudian dimasukkan padatan
sampai semua larut. Saring dalam keadaan panas dan filtrat yang diperoleh
didinginkan sampai terbentuk kristal. Kristal yang terbentuk disaring dengan
menggunakan corong buchner. Kristal dikeringkan lalu diuji kemurniannya
melalui KLT dan penentuan titik leleh.
3.4.3 Uji kemurnian dengan KLT
Eluen disiapkan dengan perbandingan tertentu dan dibiarkan menguap
pada chamber tertutup agar uapnya menjadi jenuh. Sampel dilarutkan pada
pelarut yang sesuai dan ditotolkan dengan menggunakan pipa kapiler pada jarak
1 cm dari tepi bawah plat KLT. Plat dimasukkan ke dalam chamber dan
dibiarkan eluen naik sampai garis akhir. Setelah itu plat diangkat dan
dikeringkan dan noda dilihat dengan bantuan lampu UV. Jika nodanya hanya
satu maka dapat disimpulkan senyawa tersebut sudah murni. Untuk
memastikannya dapat dilakukan kembali analisis KLT dengan perbandingan
eluen yang berbeda.
3.4.4 Penentuan titik leleh
Kristal dari senyawa calkon ditentukan titik lelehnya dengan
menggunakan alat pengukur titik leleh Fisher-Jones. Sedikit padatan kristal
diletakkan pada kaca objek dan diukur temperaturnya mulai dari kristal meleleh
sampai meleleh seluruhnya. Jika selisih temperatur dari kristal meleleh hingga
meleleh seluruhnya kurang dari dua maka dapat disimpulkan senyawa tersebut
sudah murni.
3.4.5 Analisis produk
Produk murni yang diperoleh kemudian dilakukan uji HPLC untuk
memastikan senyawa sudah benar-benar murni yang ditandakan dengan
20
kromatogram yang memiliki 1 puncak yang tajam kemudian ditentukan
strukturnya dengan spektrofotometer inframerah dan NMR Proton. Pengukuran
spektrum ini akan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Serpong, Tanggerang.
3.4.6 Uji toksisitas metode brine shrimp lethality test (BSLT)
Benur Artemia salina dimasukkan dalam wadah pembiakan yang berisi
air laut dan telah dilengkapi dengan aerasi dan lampu, dibiarkan selama
48 jam sampai membentuk larva. Masing-masing vial uji di kalibrasi
sebanyak 5 mL. Pengujian dilakukan dengan konsentrasi 1000, 100, 10 µg/mL
dengan pengulangan masing-masing tiga kali. Timbang 40 mg sampel dan
dilarutkan dalam 4 mL metanol. Maka didapat larutan induk dengan
konsentrasi 10000 µg/mL, kemudian larutan induk dengan konsentrasi
10000 µg/mL tersebut dipipet sebanyak 0,5 mL kedalam vial uji hingga
nantinya didapat konsentrasi 1000 µg/mL setelah penambahan metanol hingga
5 mL. Pembuatan konsentrasi 100 µg/mL dengan cara pengenceran larutan
induk 1000 µg/mL sebanyak 0,5 mL ditambahkan metanol hingga 5 mL.
Kemudian di pipet sebanyak 0,5 mL larutan tersebut ke dalam vial uji hingga
nantinya didapat konsentrasi 10 µg/mL setelah penambahan metanol hingga
5 mL.
Masing-masing vial uji dibiarkan menguap metanolnya. Kemudian
larutkan kembali senyawa uji dengan 50 µL DMSO, selanjutnya ditambahkan
air laut hampir mencapai batas kalibrasi, selanjutnya masing-masing
ditambahkan larva udang Arthemia salina Leach sebanyak 10 ekor dan
ditambahkan air laut beberapa tetes sampai batas kalibrasi. Kematian larva
udang diamati setelah 24 jam. Dari data yang dihasilkan dihitung nilai LC50
dengan metode kurva menggunakan tabel analisa probit (Mayer et al., 1982;
Harefa, 1987).
Untuk kontrol, 50 µL DMSO di pipet dengan pipet mikro dimasukkan
ke dalam vial uji, ditambahkan air laut hampir mencapai batas kalibrasi.
21
Kemudian masukkan larva Artemia salina 10 ekor. Di tambahkan lagi air laut
beberapa tetes hingga batas kalibrasi. Masing-masing konsentrasi dibuat
3 kali pengulangan.
3.4.7 Analisa Data
Untuk melihat pengaruh pemberian senyawa calkon terhadap larva
Artemia salina dilakukan perhitungan statistik dengan analisa probit.
Perhitungan ini dilakukan dengan membandingkan antara larva yang mati
terhadap jumlah larva keseluruhan, sehingga diperoleh persen kematian.
Kemudian dilihat dalam tabel nilai probit. Dari nilai tersebut diketahui nilai
probit kemudian dimasukkan dalam persamaan regresi, sehingga dapat nilai
LC50.
Persamaan regresi:
y = a + bx
LC50 = anti log x
Keterangan:
x : Log Konsentrasi
a : Intercept (garis potong)
y : Nilai Probit
b : Slope (kemiringan dari garis regresi linear)