Post on 03-Mar-2019
Serambi Rumah dan Hotel di Hindia-Belanda
dalam Konsep Denotasi dan Konotasi Roland Barthes
Achmad Sunjayadi
Pendahuluan
Serambi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan beranda atau selasar
yang agak panjang, bersambung dengan induk rumah. Biasanya terletak lebih rendah daripada
induk rumah. Sedangkan beranda merupakan ruang beratap terbuka yang tidak berdinding di
bagian samping atau depan rumah, biasanya dipakai untuk tempat duduk santai sambil makan
angin.
Kata beranda berasal dari veranda atau verandah yang diambil dari bahasa Portugis
varanda. Secara etimologi kata ini diperkenalkan dari India yang merupakan kombinasi antara
kata bahar yang berarti di luar dan andar yang artinya di dalam. Bentuk kombinasi bahar-andar
atau baharanda mengalami proses anglisasi menjadi veranda yang berarti sebuah ruangan baik
di dalam maupun di luar.
Serambi merupakan bagian dari bangunan di Hindia-Belanda yang mendapatkan
pengaruh budaya. Dalam perkembangannya serambi di rumah-rumah di Hindia-Belanda pada
awalnya memiliki fungsi tertentu yang sifatnya domestik. Kelak, serambi juga digunakan oleh
hotel-hotel sebagai salah satu fasilitas yang dinikmati oleh publik.
Dalam artikel ini dibahas perkembangan fungsi dan berbagai kegiatan di serambi dari
masa VOC hingga Hindia-Belanda berdasarkan pengaruh budaya Indis terhadap fungsi bangunan
yang dikaitkan dengan konsep denotasi dan konotasi Roland Barthes dengan menitikberatkan
pada fungsi pada salah satu bagian bangunan rumah yaitu serambi.
Makna serambi atau beranda rumah di Hindia-Belanda berdasarkan konsep denotasi dan
konotasi Roland Barthes
Pada awalnya (sekitar abad 17) bentuk rumah-rumah yang dibangun dan ditinggali oleh orang-
orang Belanda di Hindia-Belanda serupa dengan rumah-rumah di Belanda. Terutama rumah-
rumah yang berada dalam benteng di Batavia, maupun di kota-kota lainnya. Bangunan rumah
tersebut berupa bangunan berlantai satu atau dua dengan dinding samping yang menempel
dengan bangunan di sebelahnya.
Pada masa itu di Batavia ada peraturan bangunan yang mewajibkan penggunaan bata
untuk bangunan di dalam kota karena bahaya kebakaran (Blackburn 2011: 23). Rumah-rumah
yang terbuat dari batu tersebut tidak semua memiliki serambi. Apabila kita melihat denah rumah
di dalam kastil Batavia sekitar 1698 (gambar 1) dan foto rumah di Spinhuisgracht Batavia
(sekarang Jalan Petak Asem dan Tiang Bendera II) terlihat tidak adanya serambi (gambar 2).
Gambar 1. Denah dua rumah untuk Opperkoopman di Kastil Batavia sekitar 1698 ( sumber:
www.atlasmutualheritage.nl)
Bila melihat denah rumah di atas yang berbentuk segi empat, mengacu pada McLuhan
(1994 [1964]), dapat dikatakan merupakan rumah pada masyarakat modern karena masyarakat
modern adalah masyarakat yang stabil, berbeda dengan masyarakat nomaden (Dant 1999: 62).
Gambar 2. Rumah Oud Hollands di Spinhuisgracht Batavia sekitar 1920-an (Koleksi KITLV)
Tidak banyak rumah batu pada masa VOC yang memiliki serambi. Apalagi jika rumah
tersebut tidak memiliki halaman. Namun, apabila sebuah rumah memiliki serambi maka tempat
itu merupakan tempat yang paling digemari oleh penduduk Batavia pada masa VOC. Di tempat
inilah kebanyakan warga Eropa maupun penduduk pribumi bersantai, melewatkan waktu
senggang mereka. Apalagi orang Eropa menyukai area terbuka di depan rumah. Demikian pula
halnya dengan para mardijker, warga etnis Asia lain serta para pelancong yang baru tiba dengan
kapal (Soekiman 2000:141; Niemeijer 2005: 168; Blackburn 2011:23).
Menurut Niemeijer kata ‘serambi’ lebih sering muncul dalam dokumen-dokumen notaris
dibandingkan ‘veranda’ (beranda). Hal ini mungkin disebabkan karena penamaan yang lebih
baru (Niemeijer 2005:375). Sementara itu Mingaars (2005:612) memberikan gambaran
serambi/beranda sebagai berikut:
Rumah-rumah kuno Indis biasanya memiliki atap yang ditopang dengan pilar-pilar. Bagian
beratap antara pilar dan dinding disebut serambi depan, serambi samping dan belakang. Luasnya
tergantung dari rumahnya tetapi setiap rumah memiliki sebuah serambi depan. Bagian ini
merupakan tempat orang di kursi malas, berlindung dari matahari, menerima tamu.
Aktivitas yang dilakukan orang di serambi adalah duduk-duduk santai sambil mengobrol
berbagai hal dan persoalan, memperbincangkan beraneka peristiwa atau menggunjingkan
berbagai kelakuan orang dan sahabat. Mereka yang berjalan-jalan di Batavia pada malam hari
pada masa itu, pasti melewati sejumlah serambi yang penuh sesak dengan orang yang sibuk
berceloteh (Niemeijer 2005:168 ). Seperti pengalaman Joan Bitter yang baru datang dari Belanda
pada 1675. Pada suatu malam tahun 1683 ia berkesempatan pergi menjenguk anak-anaknya di
malam hari, dia harus ‘melewati’ begitu banyak orang yang duduk atau berseliweran di serambi
dan jalan (Blusse 1997 : 160)
Pada masa VOC serambi merupakan ‘pos ronda’ ideal, lokasi yang strategis untuk tempat
pengamatan karena selain letaknya yang bersinggungan langsung dengan derap kehidupan di
jalan umum juga membatasi ranah kehidupan pribadi. Serambi juga merupakan tempat untuk
dapat duduk santai di luar, apalagi rumah-rumah batu pada masa itu letaknya in de rij (berderet)
dan tidak memiliki halaman (lihat gbr. 2). Sehingga tempat masuk utama ke dalam rumah-rumah
Batavia melalui serambi yang biasanya merupakan emperan sempit memanjang, sambung
menyambung di depan dereten rumah. Biasanya di atas emperan dibuat atap sederhana yang
ditopang tiang-tiang kayu dan ada juga yang dilengkapi dengan pagar kayu sederhana. Emperan
yang agak besar dengan mudah menjadi serambi depan rumah (voorgalerij) yang cukup luas
untuk menampung orang banyak (Soekiman 2000:141; Niemeijer 2005:168)
Serambi yang agak sempit pun dapat dijadikan tempat untuk bercengkrama. Para pria
asyik mengisap pipa, menenggak arak atau segelas anggur dari Tanjung Harapan. Sedangkan
para wanita sibuk menikmati teh sambil mencicipi kue-kue kering lalu mengunyah sirih dan
pinang untuk menyegarkan mulut (Niemeijer 2005:169)
Untuk serambi yang agak luas (besar) biasanya menjadi tempat duduk untuk para tamu
karena mengacu kepada kebiasaan di Timur, para tamu jarang sekali diperbolehkan masuk ke
dalam rumah. F de Haan dalam Oud Batavia (1922) mengatakan bahwa serambi dengan berbagai
kegiatannya berasal dari gaya hidup khas Holland (Belanda).
Memang pembagian ruang di banyak rumah, khususnya di Batavia mungkin merupakan
ciri khas Belanda tetapi serambi beserta berbagai aktivitasnya merupakan ciri khas Asia. Di
kebanyakan rumah warga Cina juga ada serambi yang juga berfungsi sebagai tempat bersantai.
Dalam daftar warisan warga Cina ditemukan pula barang-barang yang lazim dipakai untuk
menghias serambi seperti kandang burung, aneka guci dan bangku-bangku bambu (Niemeijer
2005:169).
Barang-barang lainnya yang juga menghiasi serambi rumah-rumah warga Cina adalah
lukisan, lampu gantung, hiasan dinding (lihat gambar 3). Barang-barang yang masuk dalam
daftar warisan tersebut menurut Kopytoff (1986) memiliki biografi. Barang-barang yang masuk
daftar warisan tersebut mungkin saja berasal dari nenek moyang mereka di daratan Cina yang
awalnya memiliki fungsi sebagai perabot rumah tangga biasa (bangku, guci) lalu benda-benda itu
dibawa ke Nusantara menjadi benda yang diwariskan turun-menurun dan sangat bernilai serta
memiliki makna bagi keluarga tersebut. Sehingga dapat dikatakan tidak hanya manusia yang
memiliki kehidupan sosial, benda pun memiliki kehidupan sosial (Woodward 2007:103).
Gambar 3. Rumah warga Cina di Molenvliet West Batavia (Jl. Hayam Wuruk-Gajah Mada)
sekitar 1860-1865 (sumber: koleksi KITLV)
Meskipun sebagai salah satu pusat tempat kehidupan sosial, serambi merupakan tempat
pribadi (domestik) yang tidak dapat dimasuki begitu saja. Apabila seorang tetangga mengumbar
lelucon atau penghinaan yang keterlaluan, seringkali yang merasa tersinggung berteriak dari
serambinya, menantang si pembual lancang itu berkelahi di jalan karena berkelahi di serambi
dianggap sebagai pelanggaran yang jauh lebih berat ketimbang berkelahi di jalan (Niemeijer
2005: 169)
Bila pada sore dan malam hari, para pria mendominasi serambi maka pada siang hari,
biasanya para wanita lah yang banyak beraktivitas di serambi. Para nyonya kulit putih, nyonya
indo dan para wanita pribumi menghabiskan waktu dengan duduk santai di bawah atap serambi.
Di sini dapat dikatakan serambi menjadi tempat gender space (ruang gender) berdasarkan time
(waktu). Dari tempat yang strategis itu mereka dapat mengawasi para budak dengan lebih ketat
sambil mengobrol dengan tetangga. Oleh karena itu tidak mengherankan jika orang yang baru
pertama kali menginjakkan kaki di Batavia pada masa itu dan berjalan melewati deretan rumah
sering berkata dalam hati betapa para nyonya di Batavia tidak punya kegiatan lain selain sibuk
mengawasi dan memerintah para budak (Niemeijer 2005:170)
Mengenai para wanita yang melakukan kegiatan di serambi, Nicolaus de Graaf
bergumam ‘mereka [para wanita] menuntut agar dilayani seperti puteri-puteri raja dan beberapa
yang memiliki banyak budak mengharuskan budak-budak itu menjaga serta melayani mereka
sepanjang siang dan malam bagaikan anjing’ (Warnsinck 1930:13)
Sementara itu rumah-rumah yang berada di luar benteng berbeda. Rumah-rumah tersebut
lebih besar dan memiliki halaman atau kebun yang luas. Sebelum VOC bubar pada 1799,
memang banyak warga intramuros (benteng) yang pindah ke wilayah yang ketika itu masih
termasuk ommelanden yaitu Molenvliet, Noordwijk, Rijswijk bahkan sampai ke Weltevreden.
Penyebab perpindahan itu adalah kondisi intramuros yang buruk dan menyebarnya epidemi
malaria, tifus dan disentri.1 Rumah-rumah yang mereka tinggali dikenal dengan landhuis. Kita
mengenalnya dengan istilah pesanggrahan. Apabila kita perhatikan gambar-gambar, foto-foto
pada masa itu atau jika bangunan-bangunan itu masih ada hingga kini akan jelas terlihat
perbedaannya antara bangunan dalam benteng dan di luar benteng.
Gaya bangunan landhuizen yang terletak di luar benteng berbentuk campuran yaitu tipe
rumah Belanda dengan rumah pribumi Jawa. Gaya bangunan campuran itu dikenal dengan gaya
Indis (Soekiman 2000:137). Gaya bangunan landhuis bersifat simetris dengan ruang tengah
sebagai pusat kegiatan dan beratap cungkup (Sachari 2007:91)
Gambar 4. Landhuis Kampung Makassar sekitar tahun 1930-an (sumber: koleksi KIT Amsterdam)
Dalam konteks orang-orang Belanda yang datang ke Nusantara, awalnya mereka membangun
dengan orientasi budaya Belanda. Bahkan pada bangunan-bangunan tertentu corak bangunannya
mirip dengan rumah para pedagang kaya di kota-kota di Belanda seperti Baarn atau Hilversum
(Soekiman 2000:137). Lalu mereka membangun rumah dengan menyesuaikan sesuai dengan
1 Untuk gambaran tentang kesehatan di Batavia pada abad ke-18 lihat P.H. van den Brug Malaria en malaise; de
VOC in Batavia in de achttiende eeuw (Amsterdam: de Bataafse Leeuw, 1994)
iklim tropis di Nusantara. Menurut Amos Rapaport dalam House and Culture (1969:61) iklim,
konstruksi dan bahan adalah faktor modifikasi sekunder dalam menentukan bentuk yang
membatasi pilihan. Namun, faktor penentu utama dalam membangun sebuah rumah adalah
budaya membangun rumah (Dant 1999:64)
Seperti halnya serambi rumah warga Cina, pada serambi landhuis, terutama rumah-rumah
di perkebunan ditemukan pula berbagai barang dan perabotan. Seperti kursi malas, meja, pot
bunga, kandang burung dan hiasan-hiasan dinding lainnya (lihat gambar 5).
Adanya bermacam-macam aktivitas dan benda dan perabotan di serambi dapat dikatakan
bahwa salah satu bagian dari bangunan rumah (di sini serambi) berisi aturan dan konvensi dari
budaya tertentu demikian pula dengan manusia dan benda-benda yang dimiliki ternyata memiliki
biografi (benda warisan). Aturannya adalah serambi merupakan tempat bersantai, bukan tempat
untuk makan dan pada masa VOC terdapat konvensi bahwa pada sore dan malam hari serambi
digunakan oleh para pria dan pada siang hari digunakan oleh wanita yang juga berfungsi sebagai
pos pengawas untuk mengawasi para budak mereka.
Gambar 5. Serambi/beranda di sebuah rumah perkebunan sekitar 1870-1900 (sumber: Koleksi KIT Amsterdam)
Serambi yang dalam bangunan rumah berada di bagian depan, mengacu pada konsep
Goffman (1969) tentang wilayah ‘depan’ dan ‘belakang’ mengilustrasikan suatu divergensi
mendasar dalam aktivitas sosial-spasial. Ruang bagian depan merupakan tempat di mana kita
seolah-olah berada dalam pertunjukan ‘di atas panggung’ publik segala aktivitas yang dibuat-
buat, formal dan dapat diterima secara sosial (Barker 2009:308). Mungkin, pengecualian
aktivitas di serambi pada masa VOC di mana cacian dan makian serta pertengkaran kerap terjadi.
Demikian halnya dengan benda-benda yang dipajang dan ditampilkan di serambi oleh
pemiliknya yang dapat menggambarkan identitas status pemiliknya. Hal tersebut dapat kita lihat
dari sekitar 200 foto mulai akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 (koleksi KITLV)
yang menggunakan serambi (depan) di Hindia sebagai obyek atau latar belakang.
Serambi di rumah dapat dianalisis dengan menggunakan konsep denotasi dan konotasi
dari Roland Barthes. Konsep denotasi adalah memaknai sesuatu yang sudah dikenal secara
umum. Sedangkan konotasi merupakan pengembangan makna. Makna tersebut adalah makna
baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuan,
atau konvensi baru yang ada dalam masyarakat (Hoed 2007:12)
Mengacu pada konsep denotasi Roland Barthes, maka serambi dapat dijelaskan sebagai
sebuah ruangan terbuka yang terletak di bagian depan rumah sebagai tempat bersantai, tempat
untuk menerima tamu. Apabila mengacu pada konsep konotasi Barthes, maka serambi dapat
memiliki makna lain yaitu sebagai tempat ‘pengintaian’, tempat untuk mengamati. Letak serambi
yang strategis membuat serambi tidak hanya sebagai tempat bersantai keluarga. Serambi juga
digunakan sebagai semacam pos pengawasan kehidupan sosial (kontrol sosial). Bahkan pada
masa lalu serambi merupakan tempat bagi mereka sambil mengunyah sirih dan pinang, sibuk
berceloteh, bergunjing bahkan mengumbar caci-maki. Makna konotasi lain dari serambi adalah
sebagai tempat untuk menunjukkan siapa sebenarnya pemilik rumah tersebut (status sosial). Ini
dikaitkan dengan benda-benda yang diletakkan di serambi.
Makna serambi atau beranda hotel di Hindia-Belanda
Selain mendapati beranda atau serambi yang terletak di rumah-rumah tinggal, kelak orang juga
menjumpai serambi di hotel-hotel. Hal ini disebabkan beberapa bangunan hotel yang sebelumnya
berfungsi sebagai rumah atau tempat tinggal. Misalnya pada 1840 di sebuah rumah tertua di
Rijswijk dibuat sebuah hotel, Hotel der Nederlanden oleh J.P.Faes. Dahulu rumah itu merupakan
tempat tinggal Raffles, pada 1846 memiliki nama ‘Palace Royale’ disamping juga menyandang
nama Hotel Amsterdam dan pada 1856 diberi nama Java Hotel (Kelling 1929:741)
Gambar 6. Hotel des Indes sekitar 1880 (koleksi KITLV Leiden)
Beberapa bangunan yang pada periode berikutnya berfungsi sebagai hotel pada awalnya
merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal milik pribadi. Seperti Hotel Ernst di
Batavia yang dibangun pada 1745-1767. Lalu difungsikan sebagai hotel tahun 1860 dengan
memakai nama Ernst yang mengacu pada pemiliknya yaitu Moeder (Ibu) Ernst. Pada 1890, nama
hotel tersebut diganti menjadi Hotel Wisse (Merilles 2000:116). Demikian pula dengan Hotel der
Nederlanden di Rijswijk (Jalan Veteran) yang dibangun tahun 1794 dan merupakan rumah
pribadi milik Pieter Tency yang kemudian dijual kepada salah seorang anggota Raad van Indië
(Dewan Hindia), W.H. van Ijsseldijk. Selanjutnya rumah itu dibeli oleh Raffles pada 1811 lalu
kembali dijual kepada pemerintah Hindia-Belanda pada 1816. Pemilik selanjutnya, Johannes
Petrus Faes mengubah bangunan tersebut menjadi Hotel Place Royale pada 1840. Baru pada
1846 bangunan tersebut menyandang nama Hotel der Nederlanden (Merilles 2000:130). Di
sinilah terjadi transformasi fungsi bangunan yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat tinggal
rumah menjadi hotel. Bangunan rumah direnovasi dan diperbaharui menjadi bangunan hotel
(Dant 1999: 67)
Gambar 7. Hotel der Nederlanden sekitar 1860-1872 (sumber: koleksi KITLV)
Kesan mengenai fungsi serambi di hotel diungkapkan oleh Charles Walter Kinloch alias
Bengal Civilian yang mengunjungi Jawa pada 1852, memberikan kesannya tentang beranda. Ia
melihat seorang pria duduk di beranda hotel pada tengah hari dengan mengenakan pakaian sore
(Kinloch 1987:37)
Pelancong lainnya yaitu Justus van Maurik dari Amsterdam (1897:167) yang menginap di
sebuah hotel di Hindia-Belanda pada akhir abad ke-19 menuliskan kesannya mengenai serambi:
Kamar-kamar untuk menginap sebagian besar berada di bangunan panjang, bangunan samping
rendah yang bersisian di bawah satu atap, yang terletak di sisi bangunan utama, terkadang dibatasi
dengan dinding rendah dari potongan kayu kecil yang membuat kita tak dapat melihat orang lain di
sebelah, tapi dapat mendengar apa pun. Beranda atau serambi depan di ruang tamu dan ruang
duduk penginapan itu dilengkapi dengan beberapa kursi malas, sebuah meja kecil dan lampu
gantung. Ketika kita melihat antara jam lima dan enam sore di sepanjang beranda, jika hotel penuh
dapat dilihat ‘pameran’ bermacam-macam kaki telanjang keluar dari celana-celana tidur para pria
yang menginap. Mereka duduk berbaring di kursi malam/malas, sampai salah satu dari mereka
menarik diri, mengenakan sandal dan berjalan menuju kamar mandi.
Dari gambaran van Maurik mengenai perabotan yang ada di serambi hotel yaitu kursi
malas, meja kecil, dan lampu gantung, kita mengetahui adanya kesamaan dengan perabotan di
serambi rumah. Berbeda dengan fungsi perabotan di serambi rumah yang mungkin ingin
menunjukkan identitas pemilik rumah, perabotan di serambi hotel lebih pada fungsi untuk
bersantai.
Kesan mengenai serambi juga diperoleh oleh Augusta de Wit. Ketika itu ia menginap di
sebuah hotel di Batavia. Ia menulis bahwa beranda merupakan tempat yang baik di hotel untuk
berlindung dari panas siang hari. Ia pun dapat bercakap-cakap dengan orang pribumi sambil
minum es jeruk (1987:18)
Kesan lain mengenai serambi depan diberikan oleh Alleta Jacobs. Ia menulis
pengalamannya pada 1913 di Batavia. Ketika ia tiba di Batavia, ia menginap di sebuah hotel.
Berikut kesannya:
Biarkan aku bercerita dulu, bagaimana kami tinggal di Batavia karena kehidupan hotel di sini
dalam banyak sudut pandang berbeda dengan di Eropa. Kami duduk berdua di rumah kecil yang
disebut pavilyun. Di dalamnya kami memiliki kamar tidur besar, sejuk yang termasuk juga kamar
bagian dalam dan serambi depan. Dari serambi depan kami memiliki pemandangan luas
menghadap Koningsplein. Jangan kira lapangan ini dapat dibandingkan dengan lapangan di
Amsterdam. Di sini, sebuah lapangan hijau yang dapat dikatakan luas dengan sapi-sapi dan
binatang lainnya. Di seberangnya terdapat jalan kerikil yang ramai dan lebar, yang memisahkan
kami dengan lapangan itu, penduduk Batavia berbaris di depan mata kami. Dengan tenang kami
duduk di atas kursi malas di serambi depan, kami punya cukup waktu untuk berfikir dan dengan
cara yang mudah mempelajari kehidupan di sini.” (1913:.416-423)
Gambar 8. Serambi di hotel Des Indes Batavia 1910 sumber: koleksi KIT Amsterdam
Berkaitan dengan serambi, salah satu aktivitas yang dilakukan di serambi terutama
serambi hotel adalah tidur siang. Aktivitas yang tidak dilakukan di serambi rumah pada masa
VOC.
Salah seorang pelancong asal Belanda Justus van Maurik (1897) menceritakan
pendapatnya mengenai tidur siang usai menikmati rijsttafel di hotel: ‘Usai rijsttafel, tidur siang.
Sesuatu yang nyaman bagi mereka yang dapat memanfaatkannya!’ (Maurik 1897: 8). Tidur
siang dilakukan oleh para tamu hotel di serambi hotel. Maurik yang juga melakukan aktivitas itu
memberikan kesannya: ‘…dan kelambanan yang nyaman menyergapku, membuatku terkenang
pada tidur siang di kursi hotel di bawah serambi.’ (Maurik 1897:156).
Aktivitas tidur siang berlangsung hingga pukul empat sore. Maurik menceritakan situasi
‘ramai’ suatu siang dari kamarnya. Orang-orang berbaris sambil terburu-buru dengan handuk dan
sandal ke kamar mandi. Mereka berjalan melewati jendela kamar Maurik. Setelah itu para tamu
duduk lagi di serambi sambil menikmati teh pada pukul lima.
Pengalaman tidur siang serupa diceritakan pula oleh Augusta de Wit. Setelah menikmati
hidangan rijsttafel, para tamu meninggalkan meja makan. Dia diberitahu oleh salah seorang
pelayan bahwa waktunya untuk tidur siang. Menurut de Wit tidur siang merupakan sesuatu yang
baru bagi para pendatang baru di Hindia-Belanda (Wit 1987:24-25)
Eliza Scidmore, pelancong perempuan dari Amerika (1984:30) dan Jan Poortenaar
(1989:35), seorang seniman sekaligus pelancong dari Belanda juga menceritakan kebiasaan tidur
siang di serambi hotel. Sama halnya dengan Maurik, menurut Scidmore tidur siang berlangsung
hingga empat sore setelah menikmati rijsttafel. Setelah tidur siang, mandi dan minum teh untuk
menyegarkan diri. Sementara Poortenaar menggambarkan situasi selama tidur siang. Para pria
mengenakan piyama dan duduk di kursi goyang.
Seperti halnya serambi rumah, serambi hotel juga kerap menjadi obyek atau latar
belakang foto antara lain Hotel Malga Cirebon, Hotel Wisse Batavia, Hotel Des Indes Batavia,
Hotel Berestein Madiun, Hotel Morbeck Pasuruan, Hotel Bali Denpasar (koleksi KITLV) serta
untuk obyek kartu pos antara lain serambi Grand Hotel Selabatoe Sukabumi, Grand Hotel Java
Batavia, Hotel Des Indes Batavia, Hotel Slier Solo, Hotel Marinus Jansen Malang, Hotel
Centrum Fort de Kock, Hotel Du Pavillon Semarang, Hotel Banjarmasin (Haks 2004)
Makna serambi di hotel mengacu pada konsep denotasi dan konotasi Barthes dapat
dikatakan hampir sama dengan makna serambi di rumah. Makna denotasi dari serambi di hotel
adalah sebuah ruangan terbuka yang terletak di bagian depan bangunan (hotel), seperti halnya
serambi di rumah juga sebagai tempat bersantai. Serambi di hotel mendapatkan makna konotasi
sebagai salah satu fasilitas yang ditawarkan oleh hotel kepada para tamu (turis) yaitu sebagai
tempat menikmati tidur siang, khususnya seusai menyantap rijsttafel. Setelah menyegarkan diri
(mandi) para tamu dapat menikmati kopi atau teh di serambi. Para tamu (turis) yang sudah cukup
lama tinggal di suatu hotel dapat pula ‘mengintai’, mengawasi para tamu yang baru datang. Serta
menikmati kebingungan para tamu baru tersebut dengan fasilitas hotel seperti kamar mandi dan
suara hewan kecil, seperti tokek, cicak.
Penutup
Fungsi serambi di rumah tinggal di Batavia pada masa kolonial merupakan tempat bersantai
melewati waktu senggang dengan memperbincangkan berbagai hal. Selain sebagai tempat
bersantai serambi juga digunakan sebagai semacam pos pengawasan kehidupan sosial (kontrol
sosial). Meskipun sebagai pusat bagi kehidupan sosial, pada masa VOC dan Hindia-Belanda
tempat ini merupakan tempat pribadi (domestik) yang tidak dapat dimasuki begitu saja
Bila pada sore dan malam hari, para pria mendominasi serambi maka pada siang hari,
biasanya para wanita lah yang banyak beraktivitas di serambi. Para nyonya kulit putih, nyonya
indo dan para wanita pribumi menghabiskan waktu dengan duduk santai di bawah atap serambi.
Di sini tidak ada pembedaan gender dalam memanfaatkan serambi di rumah. Pembedaan hanya
pada waktu.
Serambi mengalami transformasi dari yang fungsinya untuk privat (pribadi) menjadi
salah satu fasilitas hotel yang dapat dinikmati oleh umum. Pada beberapa hotel, serambi diberi
sekat-sekat untuk memisahkan antara satu kamar dengan kamar lainnya atau serambi yang
berada di bagian denpan hotel.
Fungsi serambi di hotel di Batavia pada masa kolonial juga sebagai tempat bersantai
tetapi dikaitkan dengan salah satu fasilitas hotel yaitu tempat beristirahat pada siang hari (tidur
siang) sesudah menikmati hidangan rijsttafel. Dari sudut pandang gender, dibandingkan dengan
serambi di rumah, tidak ada pembedaan waktu antara pria dan wanita dalam memanfaatkan
serambi hotel. Mereka sama-sama dapat menikmati tidur siang di serambi hotel hingga waktu
mandi sore tiba.
Serambi pada rumah tinggal dan hotel mengacu pada konsep denotasi dan konotasi
Barthes memiliki makna yang hampir sama. Makna sebagai tempat bersantai dan pos
pengawasan juga dimiliki oleh serambi pada rumah tinggal maupun serambi hotel.
Perbedaannya, serambi di rumah tinggal dihiasi dengan perabot dan benda-benda yang
menunjukkan identitas pemiliknya, sedangkan serambi di hotel lebih pada fungsi sebagai tempat
beristirahat.
Pada masa kini hotel yang memiliki serambi hanya ditemukan di hotel-hotel untuk
liburan (berbentuk cottage) atau hotel kelas melati. Biasanya hotel-hotel berbintang di kota besar
tidak memiliki serambi. Hotel-hotel tersebut memiliki balkon dan jika kita perhatikan para tamu
hotel jarang memanfaatkan balkon tersebut untuk tidur siang seperti pada masa Hindia-Belanda.
Daftar Pustaka
Barker, Chris. (2009). Cultural Studies. Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Blackburn, Susan.(2011). Jakarta :Sejarah 400 tahun. Depok: Masup Jakarta
Blusse, Leonard. (1997). Bitters Bruid. Een koloniaal huwelijksdrama in de gouden eeuw.
Amsterdam: Balans
Brug, P.H. van den. (1994). Malaria en malaise; de VOC in Batavia in de achttiende eeuw.
Amsterdam: de Bataafse Leeuw
Dant, Tim (1999). Material Culture in The Social World . Buckingham-Philadelphia: Open
University Press
Haan, F. de (1922). Oud Batavia: Gedenkboek uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap
van Kunsten en Wetenschappen naar aanleiding van het driehonderdjarig bestaan der
stad in 1919. Batavia; Kolff
Haks, Leo dan Steven Wachlin (2004) Indonesia 500 Early Postcards. Singapura: Archipelago
Hodder, Ian (1994) “The Interpretation of Documents and Material Culture” dalam N.K.Denzin
dan Y.S.Lincoln (eds) Handbook of Qualitative Research, hal. 393-402. London: Sage.
Hoed, Benny H. (2007) Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Jacobs, Alleta (1913) Reisbrieven uit Afrika en Azie, benevens eenige brieven uit Zweden en
Noorwegen. Tweede deel, Almelo: Hilarius
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008). Pusat Bahasa Edisi keempat. Jakarta: Gramedia
Maurik, Justus van. (1897). Indrukken van een totok. Amsterdam: van Holkema & Warendorf.
Merilles, Scott. (2000). Batavia in Nineteenth Century Photographs. Singapore: Archipelago
Press
Mingaars, Peter (ed.) (2005). Indische lexicon: Indische woorden in de Nederlandse literatuur.
Amsterdam: Hes & De Graaf
Niemeijer, Hendrik E. (2005). Batavia: een koloniale samenleving in de zeventiende eeuw.
Amsterdam: Balans
Poortenaar, Jan (1988). An Artist in Java and other island of Indonesia. Singapore: Oxford
University Press
Sachari, Agus. (2007). Budaya Visual Indonesia. Membaca Makna Perkembangan Gaya Visual
Karya Desain di Indonesia abad ke-20. Jakarta: Erlangga
Soekiman, Djoko. (2000). Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di
Jawa .Abad XVIII-Medio Abad XX. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Warnsinck, J.C.M. (ed). (1930). Reisen van Nicolaus de Graaff. Gedaan naar alle gewesten des
Werelds Beginnende 1639 tot 1687 incluis - Oost Indise Spiegel . s’Gravenhage
Wit, Augusta de. (1987). Java: Facts and Fancies. [cetakan pertama 1905]. Singapura: Oxford
University Press.
Woodward, Ian. (2007). Understanding Material Culture. London: Sage Publication
www.atlasmutualheritage.nl diakses 22 Oktober 2012
www.kitlv.nl diakses 24 Oktober 2012