Post on 30-Jun-2015
description
DIREKTORAT JENDERAL PP & PL
DEPARTEMEN KESEHATAN R I
2007
SEJARAH
PEMBERANTASAN PENYAKIT
DI INDONESIA
i
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL PP & PL
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, maka saya menyambut
baik terbitnya buku ”SEJARAH PEMBERANTASAN PENYAKIT DI INDONESIA”,
sebagai informasi antargenerasi untuk mengetahui dan memahami hasil
proses perjalanan panjang upaya pemberantasan penyakit, sebagai bagian integral pembangunan
kesehatan nasional.
Upaya pemberantasan penyakit di Indonesia telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia,
sejalan dengan perkembangan serta kemajuan teknologi kedokteran dan kesehatan modern,
terutama di Benua Eropa dan Amerika.
Pada era Kolonialisme, pemberantasan penyakit sebesar-besarnya ditujukan agar kepentingan
Kolonial untuk mendapat sumber daya manusia yang sehat terpenuhi. Belajar dari pengalaman,
maka pada era awal kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia melakukan penataan organisasi
kelembagaan guna mengefektifkan upaya pemberantasan penyakit.
Upaya pemberantasan penyakit di Indonesia mencatat sukses di tahun 1972, dengan terbasminya
penyakit cacar, sehingga Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada tahun 1974. Prestasi
lain yang juga patut diingat adalah kemampuan kita membasmi polio pada tahun 1990 melalui
gerakan nasional, yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN), yang mampu membebaskan Indonesia dari
penyakit polio.
Dewasa ini kita sedang menghadapi tantangan yang sangat berat (double bourden). Kita tidak hanya
dihadapkan pada masalah “penyakit menular”, tapi juga pada masalah “penyakit tidak menular”,
seperti jantung, diabetes, kanker, maupun penyakit atau kecacatan akibat cedera dan kecelakaan.
Namun kita harus yakin, dengan kerja keras dan pengolahan program yang solid, kita bersama
mampu melaksanakan tugas mulia yang berhasil dan berdaya guna, yaitu pengendalian penyakit
dan penyehatan lingkungan.
Dengan mengetahui dan memahami sejarah pemberantasan penyakit, diharapkan masyarakat
dapat lebih mandiri dan juga berpartisipasi dalam upaya pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan, maupun upaya pertolongan secara dini.
Sekali lagi, saya menyambut baik adanya penerbitan buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di
Indoensa. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih atas ide maupun upaya gigih yang tak kenal
menyerah untuk memberi manfaat bagi masyarakat luas. Kepada semua pihak yang telah
membantu penerbitan buku ini, saya sampaikan terima kaasih dan penghargaan setinggi-tingginya,
semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan petunjuk kepada kita semua.
Jakarta, Desember 2007
Direktur Jenderal PP & PL,
ttd
dr. I Nyoman Kandun, MPH
NIP 140 066 762
ii
DAFTAR ISI
Sambutan Direktur Jenderal PP & PL ................................................................... ...... i
Daftar Isi ........................................ ................................................... ......................... ii
SK Pembentukan Tim Penyusun Sejarah
Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007 ............................................................... ... iii
Pemberantasan Penyakit Era Kolonial (Awal Abad 20 – 1945) ........................................... 1
Pemberantasan Penyakit Era Awal Kemerdekaan
dan Demokrasi Terpimpin (1945 – 1965) ............................................................... ............ 24
Pemberantasan Penyakit Era Pembangunan Nasional (1966 – 1975) ............................... 43
Pemberantasan Penyakit Era Reformasi (2000 – 2007) .................................................. ... 63
Foto Dirjen ....................................... ................................................... ................................. 87
Daftar Pustaka ....................................................................................... ............................ 100
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN (PP & PL)
DEPARTEMEN KESEHATAN RI
NOMOR : HK.03.05/D/1.4/2510/2007
TENTANG
PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL PP & PL TAHUN 2007
DIREKTUR JENDERAL PP & PL,
Menimbang : a. bahwa untuk mengungkapkan data sejarah yang mengandung
nilai perjuangan dan kebanggaan di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, maka perlu disusun sejarah Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL);
b. bahwa untuk menyusun sejarah Direktorat Jenderal PP & PL
sebagaimana diuraikan pada huruf a di atas, perlu dibentuk Tim Penyusun Sejarah Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007, yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3273);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang
Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3447);
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1575/Menkes/SK/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan Republik Indonesia;
MEMUTUSKAN Menetapkan : Pertama : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT
DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN SEJARAH DIREKTORAT JENDERAL PP & PL TAHUN 2007.
Kedua :
Tim Penyusun Sejarah Direktorat Jenderal PP & PL Tahun 2007 adalah sebagai berikut.
Penasehat : Direktur Jenderal PP & PL Pelindung : Sekretaris Ditjen PP & PL Pengarah : 1. Direktur Sepimkesma
2. Direktur PPML 3. Direktur PPBB 4. Direktur PPTM 5. Direktur PL
Tim Pelaksana : Ketua Kepala Bagian Hukum, Organisasi, dan Humas Wakil Ketua : Kepala Bagian Program dan Informasi Sekretaris Kepala Sub Bagian Humas 1. Bidang Inventarisasi Dokumen dan Pengumpulan Data Anggota : 1. Imam Setiaji, SH 2. dr. Desak Made Wismarini 3. Inri Denna, S.Sos 4. Eriana Sitompul 5. Risma 2. Bidang Analisis Data dan Editing Dokumentasi Anggota : 1. Sudjais, SKM, MM 2. Drs. Yusraluddin, M.Kes 3. Drs. Yulikarmen, M.Kes 4. Ahmad Abdul Hay, SKM 5. Dewi Nurul Triastuti, SKM 3. Narasumber : 1. Drs. Rajin Sinulingga 2. dr. Arwati Soeparto, MPH 3. M. Daud, B.Sc 4. dr. Nyoman Kumara Rai, MPH 5. dr. Brotowasisto, MPH 6. Drs. Sumarlan, SKM 7. Drs.Sutardjo Martono 8. Sunarjo, SKM 9. Sayuti, SKM, M.Epid 10. P. Simanjuntak, SKM 11. Slamet Nugroho, DPHI
4. Sekretariat 1. Mudji Wahono 2. Tohar 3. Siti Djubaidah Ketiga : Tim penyusun sebagaimana Diktum Kedua keputusan ini bertugas
sebagai berikut. 1. Mengumpulkan data dan bahan-bahan penyusunan sejarah
Ditjen PP & PL; 2. Melakukan review terhadap naskah sejarah yang telah dikumpulkan; 3. Melakukan penyusunan draft awal sejarah Ditjen PP & PL; 4. Melakukan finalisasi edisi pertama.
Keempat : Tim penyusun bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal PP & PL melalui Sekretaris Ditjen PP & PL dan wajib menyampaikan laporan secara berkala.
Kelima : Semua pembiayaan yang berkaitan dengan penyusunan Sejarah
Direktorat Jenderal PP & PL dibebankan pada DIPA Ditjen PP & PL. Keenam : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan akan
dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya apabila terdapat kekeliruan di kemudian hari.
Keputusan ini disampaikan, Yth. 1. Sekretaris Jenderal Depkes RI 2. Inspektur Jenderal Depkes RI 3. Para Direktur Jenderal di lingkungan Depkes RI 4. KPPN Jakarta V dan VI di Jakarta 5. Yang bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan
1
PEMBERANTASAN PENYAKIT
ERA KOLONIAL
(AWAL ABAD 20 – 1945)
Pemberantasan penyakit menular yang dijalankan pada era
Kolonial merupakan upaya preventif yang mencakup beberapa
penyakit, sebagai berikut.
CACAR
Pada tahun 1804, untuk pertama kalinya penyakit cacar
berjangkit di Batavia. Penyakit itu berasal ”Isle de France”
(Mauritius), yang masuk Batavia dengan perantaraan para anak
budak belian, berusia 6–12 tahun, penyakit itu terbawa sampai
Batavia.
Untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, vaksinasi pun
mulai diberikan. Awalnya, vaksinansi cacar hanya diberikan bagi
penduduk pribumi yang sehari-hari bergaul dengan orang Eropa.
Namun pada akhirnya, vaksinasi juga diberikan kepada mereka
yang tidak menolak pemberian vaksinasi.
Kemudian pada September 1811 – Maret 1816, Letnan Gubernur
Thomas Stanford Raffles, salah satu pemimpin Inggris yang
berkuasa saat itu, mulai mengembangkan wilayah pemberian
vaksinasi cacar di daerah Jawa. Saat itu, pemberian vaksinasi
cacar telah dilakukan oleh juru cacar pribumi, yang telah dididik
di beberapa rumah sakit tentara.
2
Sumber: http://nl.wikipedia.org
Gambar 1. Thomas Stanford Raffles
Pada tahun 1820, Peraturan Jawatan Kesehatan Sipil (Reglement
voor den BGD) ditetapkan. Bersamaan dengan itu, Peraturan
Pelaksanaan Vaksinasi Cacar (Reglement op de uitoefening der
koepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie) juga dikeluarkan, yang
isinya:
1. Seluruh usaha vaksinasi ditempatkan di bawah seorang
Inspektur;
2. Di setiap karesidenan diangkat seorang pengawas (opziener),
sedapat-dapatnya dokter setempat;
3. Pengawas tiap minggu harus memberi vaksinasi di tempat
kedudukannya dan sekitarnya;
4. Untuk tempat-tempat yang jauh dari tempat kedudukan
pengawas, digunakan juru cacar (vaccinateur) pribumi, yang
sebelumnya dididik oleh pengawas;
5. Tiap bulan pengawas harus mengirimkan laporan kepada
residen dan inspektur, dan tiap enam bulan memeriksa hasil
pekerjaan para juru cacar;
6. Inspektur bertanggung jawab atas pengiriman bibit cacar ke
seluruh karesidenan.
3
Dari waktu ke waktu, penyempurnaan pelaksanaan pencacaran
mulai dilakukan. Bibit cacar yang tadinya didatangkan dari Eropa,
kini mulai dibuat sendiri. Untuk mendukung pembuatan bibit
cacar sendiri, maka di tahun 1879, ”Parc vaccinogene” didirikan
di daerah Batu Tulis, Jawa Barat.
Sumber: http://www.schaakclubutrecht.nl
Gambar 2. dr. A Schuckink Kool (kedua dari kanan)
Kemajuan pembuatan vaksin mulai terlihat di tahun 1884, ketika
dr. A. Schuckink Kool berhasil membuat vaksin di Meester
Cornelis (Jatinegara), dengan menggunakan sapi sebagai tempat
pembiakan. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pemerintah
Hindia Belanda, 6 Agustus 1890, tentang pendirian Parc
Vaccinogen atau Landskoepok Inrichting di Rumah Sakit Tentara
Weltevreden-Batavia, maka lembaga pembuatan vaksin
dipindah ke Batavia.
Dengan berjalannya waktu dan semakin meningkatnya kegiatan
produksi vaksin, maka pada tahun 1896 didirikan Parc
Vaccinogen Instituut Pasteur, Bandung. Dengan berdirinya
institut tersebut, maka di tahun 1918, lembaga pembuatan
vaksin cacar dipindahkan ke Bandung, bersatu dengan Instituut
Pasteur, dan berubah nama menjadi Landskoepok Inrichting en
Instituut Pasteur.
Seiring dengan perkembangan pembuatan vaksin, di tahun 1926,
Dr. L. Otten berhasil menyempurnakan pembuatan vaksin, dari
larutan dalam gliserin menjadi vaksin kering in vacuo.
4
Sumber: http://bandungheritage.org
Gambar 3. Instituut Pasteur, kini PT Biofarma, Bandung
KUSTA
Pada tahun 1655, Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan
leprozerie di Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta), sebagai tempat
penampungan para penderita kusta.
Sesuai dengan cara yang diterapkan di Eropa saat itu, maka di
tahun 1770 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan peraturan
pengasingan bagi penderita kusta yang ada di daerah
konsolidasinya.
Sampai dengan pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia
Belanda telah mengembangkan leprozerie di berbagai daerah,
seperti Ambon, Banda, Ternate, Manado, Gorontalo, Riau,
Bangka, dan Bengkulu.
Namun pada tahun 1865, Pemerintah mengeluarkan Surat
Keputusan yang menyatakan bahwa penderita penyakit kusta
dianggap tidak menular. Dengan adanya surat keputusan itu,
maka para penderita kusta tidak boleh dipaksa masuk leprozerie.
Mereka diberi kebebasan memilih untuk tetap tinggal dalam
liprozerie atau meninggalkannya.
Berdasarkan hasil kongres Lepra pertama di Berlin (Jerman), di
tahun 1897 peraturan pengasingan paksa diterapkan kembali.
Kongres tersebut menyatakan bahwa lepra adalah penyakit
menular. Atas dasar itu, Pemerintah Hindia Belanda kembali
membangun liprozerie bagi penderita kusta.
5
Namun di tahun 1932, peraturan pengasingan paksa di leprozerie
dihapus oleh Dr. J. B. Sitanala, yang saat itu menjabat sebagai
Kepala Dinas Pemberantasan Kusta. Ia bertindak atas referensi
pemberantasan penyakit kusta di Norwegia. Pertimbangan
lainnya, penerapan sistem tersebut di Filipina dan Hindia Barat
tidak membawa hasil memuaskan.
Sebagai gantinya, Dr. J. B. Sitanala menerapkan sistem ”tiga
langkah” sebagai upaya pemberantasan kusta, yaitu ekplorasi,
pengobatan, dan pemisahan.
Eksplorasi, merupakan tindakan untuk mendapatkan data
terpercaya di tiap daerah, termasuk data untuk mengetahui
sikap masyarakat terhadap penyakit kusta. Eksplorasi ini menjadi
awal dari surveilans penyakit kusta.
Pengobatan, merupakan tindakan pemberian obat berdasarkan
hasil eksplorasi. Pengobatan dilakukan di poliklinik kusta, yang
letaknya tidak jauh dari tempat tinggal penderita. Sekali
seminggu, para penderita kembali mengunjungi poliklinik untuk
mendapat pengobatan.
Pemisahan, merupakan tindakan pemisahan penderita kusta dari
lingkungannya, tanpa paksaan. Pemisahan dilakukan dengan
menempatkan penderita kusta dalam rumah tersendiri, yang
masih berada dalam lingkungan keluarga.
Penerapan sistem ”tiga langkah” ini tidak otomatis menutup
akses sistem leprozerie. Penampungan di leporozerie tetap
dilakukan dengan tanpa paksaan (sukarela). Sampai dengan
tahun 1940, sebanyak 47 liprozerie telah tersebar di seluruh
wilayah Hindia Belanda, dihuni 4955 penderita kusta.
MALARIA
Pemberantasan penyakit malaria di Indonesia mulai menemukan
titik terang, ketika di tahun 1882 Laveran berhasil menemukan
plasmodium malarie sebagai penyebab penyakit malaria, dengan
penularan melalui nyamuk.
6
Menyadari bahwa penyakit malaria telah menjadi ancaman
kesehatan rakyat di beberapa wilayah, maka di tahun 1911,
Jawatan Kesehatan Sipil didirikan sebagai bentuk upaya
penyelidikan dan pemberantasan penyakit malaria.
Dari waktu ke waktu, lingkup kerja Jawatan Kerja Sipil semakin
meluas. Untuk itu, pada tahun 1924, Biro Malaria Pusat (Centrale
Malaria Bureau) didirikan. Dalam menjalankan fungsinya, Biro
Malaria Pusat selalu bekerja sama dengan Bagian Penyehatan
Teknik (Gezondmakingswerken).
Pada tahun 1929, Biro Malaria Pusat mulai mendirikan cabang di
Surabaya, dengan fokus pelayanan kepulauan bagian timur.
Sedangkan untuk wilayah seluruh Sumatera, pelayanan
dilakukan oleh cabang Medan.
Sumber: http://id.wikipedia.org
Gambar 4. Nyamuk Anopheles, penyebab malaria
Dalam upaya pemberantasan, para mantri malaria ditugaskan
untuk menentukan jenis nyamuk dan jentik, memeriksa
persediaan darah, mengadakan pembedahan lambung nyamuk,
serta membuat peta wilayah.
Penerapan riset sebagai upaya pemberantasan malaria juga
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pembunuhan dan
pencegahan berkembangnya jentik di sarang-sarang;
pembunuhan nyamuk dewasa dengan asap, obat nyamuk, dan
sebagainya; penggunaan kelambu/kasa nyamuk pencegah
kontak antara manusia dengan nyamuk; serta kininisasi dalam
epidemi. Dengan penerapan riset yang berdasarkan penyelidikan
yang tepat terhadap biologi nyamuk penyebab malaria, maka
dapat ditemukan berbagai pola pemberantasannya.
7
Pemberantasan malaria di pantai, dapat dilakukan dengan cara
Species-assaineering. Pertama, membuat tanggul sepanjang
garis pantai. Tinggi tanggul dibuat melebihi tinggi air laut saat
pasang, begitu juga pada tanah di belakang tanggul. Cara kedua,
yaitu dengan membuat sebuah saluran. Saluran ini dibuat mulai
dari muara sungai sampai melewati batas pemecah gelombang
air laut. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan pembagian
kinine, penggunaan kelambu/alat pembunuhan nyamuk,
pemberian minyak tanah di sarang nyamuk, penempatan
kandang kerbau di antara rumah tinggal dan sarang nyamuk,
serta pemeliharaan tambak secara higienis.
Sedangkan pemberantasan malaria di daerah pedalaman,
beberapa cara yang dapat dilakukan adalah seperti berikut.
1. Menghadapi An. ludlowi tawar di kolam-kolam ikan, yaitu
dengan menembus tanggul untuk mengeluarkan airnya dan
merubah kolam ikan menjadi sawah;
2. Cara biologis, yaitu dengan memasukkan ikan tawes dan
ikan kepala timah dalam kolam;
3. Memberantas An. aconitus, An. minimus, dan An. Macolatus
(biasa ditemukan di tempat yang rendah, saluran air yang
kurang terpelihara, dan persawahan) dilakukan cara
pemeliharaan saluran air (saluran air masuk maupun
pembuangan) secara baik, sehingga tebingnya terbebas dari
tumbuh-tumbuhan; penanaman padi secara serentak di
persawahan yang pengairannya tergantung dari satu
saluran air yang sama; mengeringkan sawah yang tidak
digarap dalam dua masa penanaman;
4. Khusus An. maculatus, digunakan cara biologis dengan
menanam tepi aliran/anak sungai dengan tumbuh-
tumbuhan yang rindang. Cara ini berguna untuk menutupi
air dari cahaya dan sinar matahari (cara yang lebih murah
dari pada ”subsoil drainage” dan ”hillpoot drainage”).
SAMPAR/PES
Pada Maret 1911, kasus sampar pertama ditemukan di daerah
Malang. Penemuan ini memperkuat dugaan adanya penyakit
sampar di Jawa Timur, yang ternyata benar. Penyakit sampar
telah meluas di Kabupaten Malang, kemudian menjalar ke barat
melalui Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Madiun.
8
Saa
be
hu
pe
hu
Pa
me
me
me
be
Di
dil
ha
vak
me
Da
seb
seb
Saat itu rantai penularan antara tikus, pinjal, dan m
berupa hipotesis. Dengan bukti yang cukup, diketah
hubungan antara sampar tikus dan sampar manusi
pemberantasan difokuskan pada pemutusan jarak
hubungan/kontak antara manusia dengan tikus.
Pada tahun 1915, Dinas Pemberantasan Pes dibent
memutus kontak antara manusia dengan tikus. Din
melakukan perbaikan perumahan dan pembinaan d
mengurus rumah tangga, hingga tidak ada lagi tem
bersarang.
Sumber: http://www.arsipjatim.go.id
Gambar 5. Laporan Triwulan Pertama
Dinas Pemberantasan Pes, 1916
Di samping usaha perbaikan rumah, pemberian vak
dilakukan. Awalnya, rakyat diberikan vaksin Haffkin
hasilnya tidak memuaskan, pada vaksinasi berikutn
vaksin Otten (mulai tahun 1934), yang ternyata dap
menurunkan 20 % angka kematian dari angka semu
Daerah Temanggung, Tegal, dan Majalengka yang d
sebagai ”sarang” terus diamati dan diawasi dengan
sebagai upaya memberantas penyakit ini.
n manusia masih
etahui adanya
nusia. Untuk itu,
rak
bentuk untuk
. Dinas ini bertugas
an dalam
tempat tikus
vaksinasi juga
ffkine. Karena
kutnya digunakan
dapat
emula.
ng dianggap
gan cermat,
FRAMBUSIA
Di zaman penjajahan, penyak
dikatakan sebagai penyakit ra
besar rakyat Indonesia.
Di tahun 1920, istilah ”pembe
Pemberantasan ini dilakukan
Neosalvarsan, sebagai pengo
ternyata berhasil memberi pe
Keberhasilan itu telah menar
rakyat, khususnya penderita
membayar, mereka berkump
didatangi dokter sekali semin
Upaya pemberantasan framb
pada tahun 1934, atas prakar
Karesidenan Kediri.
Di awal kemerdekaan, pembe
pemberian obat Penicillin bag
pengobatan frambusia mulai
Treponematosis Control Progr
secara bertahap telah menca
Meski belum merata, namun
memuaskan.
Sumber: http://www
Gambar 6.
nyakit Frambusia (patek) dapat
kit rakyat, karena diderita oleh sebagian
mberantasan” mulai digunakan.
kan dengan memberi suntikan
ngobatan penderita frambusia, yang
penyembuhan.
narik perhatian dan membuka mata
rita frambusia. Untuk itu, meski harus
umpul di suatu tempat, yang akan
inggu untuk memberi pengobatan.
ambusia secara teratur mulai dilakukan
akarsa dr. Kodiyat, seorang dokter
mberantasan dilakukan dengan cara
bagi penderita. Setelah itu,
ulai menggunakan sistem
rogramme Simplified (TCPS), yang
ncakup seluruh wilayah tanah air.
un telah mencapai hasil sangat
www.rmaf.org.ph
ar 6. dr. KodiyatKolera
9
10
Penyakit Kolera mulai dikenal pada tahun 1821. Penyakit ini
termasuk penyakit sangat akut. Namun sampai dengan tahun
1860, sifatnya yang menular atau tidak, masih diperdebatkan.
Setiap kali kolera mewabah, maka vaksinansi massa dan
penyuluhan higiene akan diadakan.
Tahun 1911, vaksin kolera mulai dibuat oleh Nyland. Meski
vaksin sudah diproduksi, sampai dengan tahun 1920, penyakit
kolera tetap mewabah setiap tahun. Antara tahun 1920 – 1927
tidak ada laporan wabah. Wabah terakhir terjadi di Tanjung Priok
pada tahun 1927.
TRACHOMA
Antara tahun 1926 – 1928, dilakukan penyelidikan prevalensi
trachoma. Hasilnya, ditemukan beberapa daerah terjangkit, yang
menjadi sarang penyakit tersebut.
Berdasarkan temuan tersebut, pada tahun 1928 mulai diadakan
pemberantasan penyakit Trachoma di daerah Tegal. Di tahun
1932, tercatat 16 poliklinik mata di Kabupaten Tegal dan
Pemalang.
TUBERKULOSIS
Penyakit Tuberkulosis telah lama dikenal dengan berbagai
sebutan, seperti ”batuk darah”, ”batuk kering”, dan sebagainya.
Bagi penderita tuberkulosis yang mampu, perawatan diberikan
di tempat peristirahatan, yang dinamakan ”sanatorium”.
Tempat peristirahatan ini terletak di daerah pegunungan,
dengan anggapan iklim pegunungan berpengaruh baik bagi
kesehatan penderita. Dari waktu ke waktu, banyak orang
menganggap bahwa tuberkulosis bukan masalah penting bagi
Indonesia, negeri yang bermandikan cahaya matahari dengan
kehidupan alam terbuka.
Ternyata kenyataan berkata
masalah. Untuk itu di tahun 1
yang bertugas menyelidiki
menderita penyakit tuberkulo
Sumber: http://www.qoop.nl
Gambar 7. Lingkung
Sumber: http://www.stamps-auction.com
Gambar 8. Villa Ju
rkata lain. Tuberkulosis tetap menjadi
un 1917, dibentuk suatu panitia khusus,
idiki jumlah penduduk pribumi yang
rkulosis dan paru-paru.
kungan sekitar Sanatorium Tosari
illa Juliana – Sanatorium Tosari
11
12
Pada Oktober 1918, didirikan suatu badan swasta berbentuk
yayasan, yang mendapat bantuan tenaga dan keuangan dari
Pemerintah. Yayasan itu bernama ”Stichting der Centrale
Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose” (SCVT). Rencananya,
yayasan ini akan mendirikan sanatoria, mengusahakan
perawatan penderita di rumah, dan higiene sekolah sebagai
upaya pemberantasan penyakit ini.
Sampai dengan tahun 1930, belum ada langkah sistematis
sebagai upaya pemberantasan tuberkulosis. Kegiatan mulai
terlihat ketika SCVT mulai banyak mendirikan poliklinik penyakit
paru di kota-kota besar.
Sistem penyebaran poliklinik (”Consultatie Bureau”) juga
dilakukan sehingga mempermudah pencarian kontak penderita
tuberkulosis, serta pengobatan difokuskan pada gejala
(simtomatis) dan perbaikan gizi penderita.
Sampai akhir penjajahan Belanda, telah tersebar poliklinik paru
di 20 ibu kota karesidenan.
HIGIENE DAN SANITASI
Dalam perkembangannya, taraf pertama usaha higiene dan
sanitasi adalah tertuju pada pemberantasan wabah, baru
kemudian meluas pada pencegahan penyakit.
Bertepatan dengan adanya wabah kolera, langkah pertama yang
dilakukan adalah pembentukan badan “Higiene Commissie”
(Panitia Higiene) pada tahun 1911 di Batavia.
Badan ini telah melakukan beberapa hal, seperti pemberian
vaksinasi massa secara besar-besaran, penyediaan air minum,
serta penganjuran untuk memasak air atau membubuhi air
dengan kaliumpermanganaat, yang telah disediakan dengan
cuma-cuma.
Usaha higiene saat zaman penjajahan Belanda telah dirintis oleh
dr. W. Th. de Vogel, yang berpengalaman sebagai dokter di Kota
Semarang.
Saat menjabat sebagai Kepala
(Hoofdinspecteur) di tahun 19
pemerintah merubah organis
disampaikan atas dasar peng
Menurut de Vogel, tugas pen
(penyelenggaraan rumah sak
dilimpahkan kepada prakarsa
pemerintah, dengan atau tan
pemerintah bisa memberi pe
yang sangat bermanfaat bagi
Langkah nyata mulai dilakuka
dibentuknya Dinas Higiene.
melakukan “pemberantasan
Sumber: www.historycooperative.org
Gambar 9. Pendidikan keseh
Upaya pemberantasan dititik
kesehatan bagi masyarakat, y
untuk mendirikan kakus sede
Upaya pemberantasan denga
dr. J. L. Hydrick dari Rockefell
Lambat laun, pemberantasan
berkembang, dan dikenal isti
propaganda”.
pala Jawatan Kesehatan Sipil
n 1916, ia mengusulkan agar
anisasi Jawatan Kesehatan Sipil. Usul itu
engalaman sebagai dokter.
pengobatan dan perawatan perorangan
sakit dan poliklinik) sebaiknya
arsa swasta dan badan semi
tanpa subsidi. Dengan begitu,
ri perhatian lebih kepada usaha higiene,
bagi masyarakat secara keseluruhan.
kukan di tahun 1924, dengan
e. Sebagai langkah pertama, dinas ini
san cacing tambang” di wilayah Banten.
kesehatan bagi rakyat oleh matri higiene
ititikberatkan pada pendidikan
at, yaitu dengan mendorong mereka
sederhana, serta menggunakannya.
engan sistem higiene ini diprakarsai oleh
feller Foundation (tahun 1924 – 1939).
asan cacing tambang semakin
l istilah “medisch hygienische
13
14
Pro
cac
lain
pen
Tah
ben
ini
me
Da
Na
beb
1.
2.
3.
4.
Propaganda ini ditujukan tidak hanya untuk pembe
cacing tambang, tetapi juga pemberantasan penyak
lainnya, dengan cara penyuluhan di berbagai sekola
pengobatan bagi anak sekolah yang menderita saki
Sumber: www.historycooperative.org
Gambar 10. Kecacingan pada anak, sebelum dan sesuda
Tahun 1933, suatu organisasi higiene mulai berope
bentuk “Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten”
ini berlokasi di Purwokerto, dengan harapan kabup
mencontoh dan melakukan hal yang sama.
Dalam kedudukannya, Dinas Higiene terpisah dari D
Namun dalam pelaksanaannya, kerjasama erat men
beberapa program tetap dilakukan keduanya, sepe
1. Tindakan kekarantinaan, seperti isolasi, observa
penyidikan epidemiologi, dan tindakan perlindu
saat menghadapi wabah (penyakit yang termas
ordonasi epidemic);
2. Tindakan preventif terhadap penyakit-penyakit
seperti membangun assainering/penyehatan te
malaria, pembuatan kakus terhadap penyakit c
tambang dan penyakit perut lainnya (termasuk
dan penyuluhan penggunaannya), pengawasan
(termasuk pengawasan terhadap perusahaan e
dan susu);
3. Mengadakan kursus dukun, sebagai upaya men
banyaknya kasus kematian bayi dan anak;
4. Pendidikan kesehatan bagi rakyat, termasuk pe
kursus untuk guru sekolah dan perkumpulan w
mberantasan
nyakit perut
kolah dan
sakit.
esudah diobati
operasi dalam
ten”. Percontohan
bupaten lain akan
ari Dinas Kuratif.
mencakup
eperti:
servasi, desinfeksi,
lindungan lainnya
masuk dalam
akit rakyat,
n terhadap
kit cacing
suk pengamatan
asan air minum
an es, minuman,
menghadapi
k pemberian
n wanita.
15
PEMBERANTASAN PENYAKIT
ERA AWAL KEMERDEKAAN
DAN DEMOKRASI TERPIMPIN
(1945 – 1965)
Era Demokrasi Terpimpin di Indonesia ditandai dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Dengan adanya
dekrit tersebut, maka pada 10 Juli 1959, Kabinet Kerja Pertama
dibentuk, dengan Kolonel Prof. Dr. Satrio sebagai Menteri Muda
Kesehatan.
Pada era ini, berbagai lembaga kesehatan, terutama di bidang
pemberantasan penyakit, telah berdiri dan tersebar di beberapa
daerah di Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut, antara lain
Lembaga Eijkman (Jakarta), Lembaga Pasteur (Bandung),
Lembaga Pemberantasan Penyakit Malaria (Jakarta), Lembaga
Pemberantasan Penyakit Kelamin (Surabaya), Lembaga
Pemberantasan Penyakit Rakyat (Yogyakarta), Lembaga
Pemberantasan Penyakit Pes (Bandung), serta Lembaga
Pemberantasan Penyakit Mata (Semarang).
Dengan adanya lembaga-lembaga tersebut, maka Departemen
Kesehatan bertugas mengelolanya, termasuk mengelola sekolah
dan kursus bidang kesehatan, jawatan perlengkapan, badan
pengawas perusahaan farmasi (Bapphar), kedinasan, rumah
sakit, serta balai pengobatan.
16
Pri
dit
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Sumber: http://www.eijkman.go.id
Gambar 11. Gedung Lembaga Eijkman, Jakarta
Prinsip kebijakan kesehatan pada masa Demokrasi
ditujukan pada beberapa usaha, yaitu:
1. Memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi
peraturan-peraturan kesehatan;
2. Memperbanyak pendidikan tenaga kesehatan,
maupun tenaga paramedik;
3. Menyelenggarakan pembaharuan kebijaksanaa
perumahsakitan, balai pengobatan, dan sejuml
4. Menentukan kebijaksanaan mengenai kefarma
menggiatkan penggunaan obat-obatan asli sert
pabrik-pabrik obat nasional, seperti ABDI, PAPH
5. Pembasmian malaria dengan membentuk KOPE
6. Mengintensifkan pemberantasan penyakit Fram
7. Menunjang penyelesaian Trikora dan Dwikora d
menyediakan tenaga medik, paramedik, dan pe
8. Perbaikan gizi masyarakat melalui Revolusi Mak
dan Operasi Komando Buta Gizi;
9. Penyelenggaraan Rombongan Kesehatan Indon
untuk pemeliharaan kesehatan jemaah haji;
10. Pembinaan usaha-usaha kesehatan swasta;
11. Pembentukan Badan Pelindung Susila Kedokter
12. Perkembangan Kesehatan Olah Raga, berhubun
akan adanya Asian Games dan Game of the New
Force (GANEFO).
karta
rasi Terpimpin
bagi segenap
tan, baik dokter
anaan
umlah BKIA;
rmasian,
serta pendirian
PHROS;
OPEM;
Frambusia;
ora dengan
n peralatan;
Makanan Rakyat
donesia (RKI)
kteran;
ubung dengan
New Emerging
17
PERIODE DITJEN KRIDA NIRMALA – DITJEN P4M
Pada tahun 1965, organisasi Departemen Kesehatan mengalami
perubahan mendasar, yaitu dengan dibentuknya beberapa
direktorat jenderal (Ditjen) sebagai unit pelaksana teknis (UPT),
yang sebelumnya tidak ada dalam struktur organisasi
Departemen Kesehatan.
Untuk itu, Departemen Kesehatan membentuk Direktorat
Jenderal Krida Nirmala, yang artinya “upaya atau kerja untuk
menghilangkan penyakit”, sebagai UPT bidang penyakit menular.
Sebagai peleburan dari KOPEM dengan Bagian Pencegahan
Penyakit, maka Ditjen Krida Nirmala yang saat itu dipimpin oleh
dr. Marsaid, mempunyai beban kerja di bidang penyakit beserta
permasalahannya, antara lain penyakit malaria, cacar,
tuberkulosis, kusta, kolera, diare, frambusia, dan lainnya. Selain
itu, permasalahan kesehatan karantina (laut, udara, dan
perbatasan darat) serta kesehatan transmigrasi juga menjadi
tanggung jawabnya.
Seiring dengan waktu, Menteri Kesehatan kemudian
mengangkat dr. R.E.M. Suling menjadi Direktur Jenderal Krida
Nirmala, menggantikan dr. Marsaid, walau hanya dalam jangka
waktu singkat. Setelah itu, Prof. Dr. J. Sulianti Saroso diangkat
untuk menduduki jabatan tersebut. Bersamaan dengan itu,
Direktorat Jenderal Krida Nirmala berganti nama menjadi
Direktorat Jenderal Pencegahan, Pembasmian, dan
Pemberantasan Penyakit Menular (Ditjen P4M).
SAMPAR/PES
Pada akhir tahun 1910, penyakit sampar/pes mulai menyebar di
Indonesia. Penyakit ini, selama kurang lebih 40 tahun, telah
menyerang sekitar 240 ribu orang di Pulau Jawa.
Penyakit pes menyebar di wilayah Nusantara melalui alat
angkutan laut (kapal). Selain mengangkut beras, ternyata di atas
kapal juga berkeliaran tikus-tikus yang terjangkit penyakit pes.
18
Penyakit ini pertama kali berjangkit di Pelabuhan Surabaya,
kemudian menyebar ke daerah Pasuruan, Malang, Kediri,
Madiun, Surakarta, Boyolali, Magelang, dan Yogyakarta. Pada
tahun 1919, penyakit ini menyebar ke wilayah Jawa Tengah
melalui Pelabuhan Semarang.
Di tahun 1922, penyakit ini masuk ke Bumiayu melalui Pelabuhan
Tegal. Dua tahun kemudian, penyakit ini menyebar ke wilayah
Jawa Barat melalui Pelabuhan Cirebon. Di tahun 1927, penyakit
pes mewabah di daerah Pasuruan, dengan jumlah korban yang
cukup besar.
Pemberantasan penyakit pes menggunakan racun serangga
berupa ”DDT Spraying” mulai dilakukan tahun 1952 dan
membawa hasil yang sangat memuaskan. Di akhir tahun 1960
dan di tahun 1961 tidak lagi dilaporkan adanya kasus pes.
KOLERA
Pada tahun 1928, dilaporkan bahwa Indonesia telah berhasil
memberantas penyakit kolera. Meski dinyatakan ”berhasil”,
namun ternyata masih tertinggal satu jenis Vibrio Cholerae di
Indonesia, yakni Vibrio Eltor. Dengan demikian, maka di awal
kemerdekaan Republik Indonesia, penyakit ini kembali
berjangkit.
Untuk mengatasinya, berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah
Indoneisa, antara lain dengan pemberian vaksin TCD (typhus,
cholerae, desentry) kepada anggota Angkatan Perang dan anak-
anak sekolah, sebagai upaya pengebalan di tahun 1950.
Penelitian terhadap penyakit kolera terus dilakukan dari waktu
ke waktu. Hasilnya, pada tahun 1957 ditemukan Vibrio Eltor di
Makassar. Penemuan oleh Tanamal ini terjadi saat penyakit
kolera sedang kembali berjangkit di Makassar dan Jakarta, yang
dikenal dengan peristiwa Enteries Choleroformis.
Di tahun 1961, kolera juga mewabah di Semarang, hingga
menimbulkan kematian. Untuk itu, di tahun 1962, cholera eltor
masuk dalam UU Nomor 6 tahun 1962 tentang Wabah. Artinya,
penyakit ini harus segera diberantas, jika mewabah.
19
Dengan kemajuan teknologi kesehatan, pemberian kekebalan
dilakukan dengan menggunakan vaksinasi Chotipa (cholera,
typhus, dan parathypus), yang dikenal dengan istilah pemberian
”Ring Vaksinasi”.
CACAR
Penyakit Cacar tergolong penyakit karantina. Wabah cacar
kembali melanda Indonesia di tahun 1948, setelah tidak
berjangkit selama 25 tahun terakhir.
Penyakit ini bermula dari Singapura/Malaka, menyebar ke
Sumatera dan pulau lainnya di Indonesia, seperti Jawa,
Kalimantan, dan Nusa Tenggara, melalui lalu lintas darat dan
laut.
Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1
Gambar 12. Saridi, salah seorang penderita cacar
Untuk mencegah penyebaran penyakit cacar, maka pada tahun
1951 pencacaran massal dilakukan di Pulau Jawa, Sumatera, dan
pulau-pulau lain di Indonesia. Upaya ini (Smallpox Eradication
Programme) dikembangkan sejalan dengan kebijakan global
dunia, melalui WHO, untuk membasmi penyakit cacar.
Pembasmian dimungkinkan, karena penyakit cacar tidak
mempunyai vektor penyakit. Selain itu, vaksin cacar yang sangat
efektif juga telah dihasilkan oleh Bio Farma.
20
Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1
Gambar 14. Pencacaran umum di Pasar Jatisrono, 20 November 1960
Sebelum Perang Dunia II, pencacaran dilakukan dengan
pemberian vaksin cacar kering serta vaksin cacar basah. Namun
setelah perang berakhir, pencacaran tidak lagi menggunakan
vaksin cacar basah, yang digunakan hanya vksin kering saja.
Untuk memenuhi kebutuhan vaksin kering, Prof. Dr. Sardjito
membuat vaksin kering di sebuah laboratorium yang berada di
Klaten, kemudian membagikannya ke sejumlah daerah di
Indonesia.
Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2
Gambar 13. Prof. Dr. Sardjito
Dengan ditemukannya vaksin cacar, maka pada tahun 1972,
Pemerintah Indonesia berhasil membasmi penyakit tersebut.
Dengan keberhasilan itu, di tahun 1974, Indonesia dinyatakan
bebas cacar oleh WHO.
21
TUBERKULOSIS
Penyakit Tuberkulosis di Indonesia termasuk salah satu penyakit
rakyat yang banyak menelan korban.
Upaya pemberantasan penyakit Tuberkulosis pada jaman
penjajahan Belanda telah dilakukan oleh Stichting Centrale
Vereniging voor de Tuberculose Bestrijding (SCVT) di tahun 1918,
dengan mendirikan lima sanatorium dan 20 biro konsultasi.
Aktivitas SCVT telah diambil alih oleh Pemerintah Indonesia
sejak jaman Pemerintahan Jepang. SCVT ini kemudian dijadikan
sebagai Yayasan Perkumpulan Pusat Pemberantasan Penyakit
Paru-Paru (Yayasan P6), bertempat di Jakarta. Yayasan sejenis
kemudian didirikan di beberapa kota di Jawa, seperti Jember,
Semarang, dan Cirebon.
Sumber: http://www.general-anaesthesia.com
Gambar 15. Robert Koch, penemu basil tuberkulosis
Pada era 1950, diketahui adanya vaksin yang dapat memberikan
kekebalan tubuh terhadap kuman penyakit penyebab
tuberkolusis. Vaksin tersebut adalah vaksin BCG. Dengan adanya
vaksin itu, pada Oktober 1952, Pemerintah Indonesia, WHO, dan
UNICEF menandatangani persetujuan untuk memulai program
percontohan dan latihan pemberantasan penyakit tuberkulosis.
22
Pada Juli 1953, diadakan konferensi pertama pemberantasan
penyakit paru-paru. Rekomendasi dari konferensi ini
dipergunakan sebagai sebagai dasar upaya pemberantasan
penyakit tuberkolosis paru-paru, dengan vaksinasi BCG sebagai
salah satu upaya preventif yang penting.
MALARIA
Malaria dikenal sebagai penyakit yang berjangkit secara endemik
di daerah tropis. Penyakit ini merupakan penyakit rakyat yang
paling banyak penderitanya dan berjangkit di seluruh wilayah
Indonesia.
Sebelum Perang Dunia II, usaha pemberantasan Malaria
dilakukan dengan sistem pemberantasan sarang nyamuk,
dengan membersihkan genangan air atau menyemprot air
dengan minyak tanah. Seusai Perang Dunia II, ditemukan obat
DDT yang dapat digunakan sebagai pembunuh serangga
(insektisida dengan sistem penyemprotan rumah-rumah).
Pemberantasan malaria dilakukan dengan dua upaya, yaitu
preventif dengan pengendalian vektor penyakit (nyamuk) dan
pengobatan penderita sebagai upaya kuratif, dan sampai saat ini
untuk memberantas penyakit malaria belum diketemukan
vaksinnya, sehingga penyakit ini menjadi salah satu penyakit
menular yang sulit diberantas.
Sumber: BukuSejarahKesehatan Nasional Indonesia Jilid 2
Gambar 16. Pasukan Penyemprot DDT, 12 November 1960
Pada era 1950, Pemerintah In
Pemerintah Amerika, melalui
Basmi Malaria (KOPEM). KOP
Departemen Kesehatan, deng
penyakit malaria.
Pada Januari 1959, Pemerinta
USAID menandatangani Perse
Tujuannya, agar penyakit ma
Indonesia dalam tahun 1970
dilakukannya penyemprotan
Soekarno pada 12 November
Yogyakarta. Kegiatan pembas
1. Penyemprotan rumah di
selama tahap attack;
2. Penemuan penderita sec
radikal terhadap yang po
dan tahap konsolidasi;
3. Penyelidikan entomologi
4. Penataran tenaga.
Dengan demikian, 12 Novem
KESEHATAN NASIONAL, yang
setiap tahun.
Sumber: Pembangunan
Gambar 17. Preside
melakukan penyemprotan DDT
di Desa Tirtomartani,
ah Indonesia bekerja sama dengan
lalui USAID, mencanangkan Komando
KOPEM merupakan suatu ”task force”
dengan tugas khusus membasmi
rintah Indonesia bersama WHO serta
ersetujuan Pembasmian Malaria.
malaria berhasil terbasmi dari wilayah
970. Pemberantasan ditandai dengan
tan DDT pertama oleh Presiden
ber 1959, di Daerah Istimewa
basmian ini, meliputi:
h di seluruh Jawa, Bali, dan Lampung,
secara aktif dan pasif serta pengobatan
g positif pada bagian akhir tahap attack
logi;
vember ditetapkan sebagai HARI
yang hingga kini tetap diperingati
unan Kesehatan Edisi 1992
esiden RI pertama, Ir. Soekarno,
DDT sebagai upaya pemberantasan malaria
ni, Yogyakarta, 12 November 1959.
23
24
FR
Fr
de
Se
fr
ne
be
da
S
fr
fr
”P
U
is
Su
FRAMBUSIA
Frambusia merupakan penyakit rakyat yang erat k
dengan kebersihan perorangan (higiene dan sanita
Sebelum Perang Dunia II, upaya pemberantasan p
frambusia telah dilakukan dengan cara pemberian
neosalvarsan. Upaya yang dilakukan oleh dr. Kod
berhasil menurunkan tingkat infeksi frambusia hin
dari 1%.
Setelah Perang Dunia II berakhir, pemberantasan p
frambusia kembali dilanjutkan. Keseriusan membe
frambusia ditandai dengan pemberian bantuan ob
”Penicilin Antibiotik” oleh WHO dan UNICEF.
Upaya pemberantasan frambusia telah dikenal lua
istilah ”Treponematosis Control Program”.
Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2
Gambar 18. Penyematan Bintang Jasa kepada dr. Ko
Menteri Kesehatan Mayjen dr. Satrio di Istana Yogyakarta, 2
rat kaitannya
anitasi).
an penyakit
rian suntikan
odiyat telah
hingga kurang
san penyakit
mberantas
n obat baru
l luas dengan
r. Kodiyat oleh
ta, 28 Desember 1964
25
KUSTA
Antara tahun 1950 – 1960, sekitar 80 ribu penduduk Indonesia
diperkirakan menderita penyakit kusta. Dari jumlah tersebut,
hanya lima ribu orang yang di rawat di rumah saki kusta,
sedangkan sisanya masih berada di tengah-tengah masyarakat.
Meski penyakit Kusta tidak menyebabkan kematian, namun
penyakit ini cukup menimbulkan dampak sosial, karena
menimbulkan leprofobia di kalangan masyarakat. Untuk
mengatasinya, maka didirikan rumah sakit khusus kusta, sebagai
upaya pemberatasan dengan pola perawatan penderita.
Saat itu telah terdapat 52 rumah sakit kusta (Leprosaria),
termasuk kampung lepra, di seluruh Indonesia, dengan kapasitas
sekitar lima ribu tempat tidur, yang dibina oleh pemerintah dan
Bala Keselamatan (dengan subsidi pemerintah).
Dalam usaha pemberantasan kusta, Lembaga Kusta Kementerian
Kesehatan melakukan penelitian, pendidikan, usaha koordinasi,
serta mencari cara pemberantasan yang tepat. Lembaga
tersebut meliputi laboratorium, klinik, poliklinik pusat dan
poliklinik pembantu, Leproseri Tangerang dan Lenteng Agung,
serta Pusat Epidemiologi di Desa Wates Bekasi.
Sumber: Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 2
Gambar 18. Pemeriksaan penderita kusta di RS Kusta Sitanala, Tangerang
26
Saat itu, Jawa Tengah merupakan satu-satunya provinsi yang
telah memiliki Dinas Pemberantasan Kusta, dengan dua orang
dokter di Semarang.
Pelatihan juga diberikan kepada para mantri lepra, yang
kemudian ditugaskan di Jakarta, Semarang, Lamongan, Madura,
Gorontalo, dan daerah lainnya. Mereka bertugas mengobati para
penderita dengan menggunakan obat-obatan sulphon, antara
lain promin, diazone, sulphetrone, diamino-diphenyl-sulphone
(DDS).
Selain menggunakan obat-obatan, Leproseri Tangerang
(sekarang Pusat Rahabilitasi Kusta Sitanala) juga melakukan
usaha pemisahan bayi baru lahir dari orang tuanya yang
menderita Kusta. Observasi dilakukan sekitar lima tahun,
kemudian jika lepromin anak itu negatif akan divaksinasi dengan
vaksin BCG sampai reaksi lepromin menjadi positif.
FILARIASIS
Filariasis, yang juga disebut penyakit kaki gajah merupakan
penyakit rakyat yang erat kaitannya dengan kebersihan
perorangan, higiene, serta sanitasi lingkungan.
Di Indonesia, penyebab panyakit ini adalah Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi, sejenis cacing (mikrofilaria) yang menyerang
saluran kelenjar limpa dan funiculus spermaticus, sehingga
penderita mengalami kecacatan di bagian anggota tubuh, seperti
kaki.
Penyakit ini menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia
dengan penularan melalui perantaraan nyamuk, terutama
species culex dan spesies mansonia.
POLIOMYELITIS
Poliomyelitis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
virus polio. Penyakit ini penyebab cacat tubuh pada anak,
sehingga mengalami kelumpuhan.
27
PEMBERANTASAN PENYAKIT
ERA PEMBANGUNAN NASIONAL
(1966 – 1975)
PERIODE DITJEN P3M
Berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan,
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
Menular (Ditjen P3M) mempunyai tugas pokok melaksanakan
sebagian tugas pokok Departemen Kesehatan di Bidang
Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang, Pemberantasan
Penyakit Menular Langsung, Epidemiologi dan Imunisasi, serta
Higiene Sanitasi.
Untuk menyelenggarakan tugasnya, Ditjen P3M yang saat itu
dipimpin oleh dr. Adhyatma, MPH, mempunyai fungsi:
a. Perumusan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan
pembinaan serta pemberian perijinan di bidang
pemberantasan penyakit menular dan higiene Sanitasi sesuai
dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. Pelaksanaan pemberantasan penyakit menular dan Higiene
Sanitasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. Pemberantasan penyakit menular dan higiene sanitasi,
sesuai pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokok
Ditjen P3M dalam kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Menteri;
d. Kesehatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
28
Pada era Pembangunan Nasional (Pelita), pemberantasan
penyakit menular ditujukan untuk mematahkan rantai
penularan. Untuk itu, cara yang dilakukan adalah dengan
menghilangkan sumber atau pembawa penyakit, mencegah
adanya hubungan dengan penyebab penyakit, serta memberi
kekebalan kepada penduduk.
Pemberantasan penyakit pada Pelita I ditentukan atas dasar
beberapa pertimbangan, sebagai berikut.
1. Perjanjian luar negeri, seperti International Health
Regulation (IHR), yang dituangkan dalam Undang-undang
Karantina (cacar, kolera, dan pes);
2. Penyakit yang menjadi masalah kesehatan rakyat dan telah
diketahui cara efektif pemberantasannya, seperti malaria,
tuberkulosis, kusta, frambusia, dan penyakit kelamin;
3. Penyakit lain yang timbul sebagai wabah dan diperlukan
pengambilan tindakan, seperti penyakit antraks, demam
berdarah, serta penyakit lain yang memerlukan survei, studi,
dan percobaan pemberantasan untuk menyiapkan cara
penanggulangannya (Filariasis, Schistosomiasis, dan Cacing
tambang.
Upaya pemberantasan penyakit di daerah bukanlah suatu
perkara mudah, terkait dengan bentuk dan letak wilayah
Indonesia. Untuk itu, berbagai permasalahan yang timbul di
daerah harus diselesaikan secara tepat dan cepat, dengan
melakukan:
1. Penelitian keadaan penyakit dan pola penyebarannya
(epidemiological surveilance);
2. Pembangunan unit pengamatan (surveillance unit);
3. Pemeriksaan laboratorium;
4. Kekarantinaan dengan cara meningkatkan pencegahan
masuk/keluarnya penyakit menular ke/dari luar negeri;
5. Higiene dan Sanitasi, dengan cara perbaikan persediaan air
minum pedesaan dalam usaha pemberantasan/pencegahan
penyakit, seperti kolera);
6. Mendidik masyarakat untuk membiasakan diri untuk hidup
higienis.
29
MALARIA
Kebijakan pokok pemberantasan malaria pada era ini adalah
melaksanakan pemberantasan agar malaria tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Untuk itu, penyemprotan
dilakukan terhadap 8,6 juta rumah di sumber penularan,
penemuan penderita secara pasif dan aktif, pengobatan 32,6
juta penderita, serta melatih puluhan ribu tenaga
pemberantasan malaria.
DEMAM BERDARAH
Usaha pemberantasan penyakit demam berdarah meliputi 3
bidang, yaitu surveilance, pengobatan penderita, dan
pemberantasan.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes
Gambar 19. Nyamuk Aedes aegypti
Di Bidang Surveilance, 12 provinsi melaporkan adanya penderita
dengue haemorhagic fever (DHF). Dilaporkan juga adanya wabah
di Provinsi Aceh, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Riau, dan
Jawa Tengah. Laporan specimen selalu disampaikan oleh
Laboratorium Pusat dan Bio Farma secara teratur. Untuk itu,
survei vektor dilakukan terhadap 20 kota di 12 provinsi.
Sedangkan di bidang pemberantasan, dilakukan kegiatan
penyemprotan menggunakan Malathion, percobaan aplikasi
abate terhadap 115 ribu rumah, dan peniadaan sarang nyamuk
melalui penyuluhan kesehatan terhadap 2,4 juta rumah.
30
FILARIASIS DAN SCHISTOSOMIASIS
Dalam rangka pemberantasan penyakit Filariasis dan
Schistosomiasis telah dilakukan mirofilaria, survei di 10
kabupaten di Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, dan Nusa
Tenggara Timur, serta pemberantasan penyebar penyakit.
Untuk meningkatkan pemberantasan penyakit ini, pada 3
Februari 1975 diadakan Penataran Tenaga Pimpinan/Pelaksana
Pemberantasan Filariasis di Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Penataran diikuti perwakilan dari tiga provinsi, yaitu Irian Jaya
yang diwakili oleh Dokabu Sorong dan Dokabu Merauke,
Sulawesi Utara yang diwakili oleh Kepala Unit Surveilance dan
Staf Dinas Kesehatan Provinsi, serta Nusa Tenggara Timur yang
dihadiri oleh semua Dokabu dan seorang dokter puskesmas.
RABIES
Pemberantasan penyakit rabies telah dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain dengan pemberian vaksin anti rabies
kepada hewan, perbaikan sistem pelaporan dan pencatatan,
serta peningkatan kesadaran dan kerjasama yang baik dari para
petugas.
Cara tersebut membuahkan hasil yang cukup baik, dimana
dilaporkan adanya penurunan jumlah orang yang digigit hewan
dan permintaan pengobatan/vaksinasi.
TUBERKULOSIS
Pada Pelita I, fokus pemberantasan penyakit paru-paru adalah
dengan menurunkan tuberkolusis incidente. Pemberantasan
dilakukan dengan cara pemberian suntikan BCG kepada semua
anak umur 0–14 tahun.
Saat itu, vaksinasi mencakup sekitar 38 juta anak Indonesia.
Daerah Jawa dan Bali berhasil mencapai 80% dari target,
sedangkan daerah lainnya mencapai sekitar 51%.
PES
Pengamatan terhadap penya
menemukan gejala-gejala yan
kasus/wabah.
KOLERA
Guna memberantas penyakit
menitikberatkan usaha terseb
pengobatan dini secara tepat
sebesar 35,8% (tahun 1969–
5,6 % di tahun 1973 – 1974.
FRAMBUSIA
Sejak tahun 1951, sistem Trep
Simplified (TCPS) guna memb
mencapai banyak keberhasila
Sampai akhir Pelita I, pemeri
sekitar 219 juta orang. Progra
meliputi TCPS konsolidasi, TC
puskesmas, dengan jumlah ke
Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL
Gambar 20. Gejala fa
Benjolan di kulit (papula)berb
permukaan
nyakit pes pada era ini tidak
a yang mencurigakan akan timbulnya
akit kolera, pemerintah
rsebut pada pengamatan dan
epat. Hasilnya, case fatality rate (CFR)
–1970) berhasil diturunkan menjadi
74.
Treponematis Control Program
emberantas penyakit frambusia telah
asilan.
meriksaan telah dilakukan terhadap
ogram ini sampai akhir Pelita I telah
i, TCPS maintenance, dan TCPS integrasi
ah keseluruhan sebanyak 3.016 buah.
ala fase awal penyakitfFrambusia
)berbentuk seperti buah arbei, tidak sakit,
kaan basah tanpa nanah
31
32
KU
Pad
me
pen
tar
pen
Keb
me
Ban
sak
CA
Da
Ind
pem
Ind
Pem
dal
196
KUSTA
Pada Pelita I, daerah pemberantasan penyakit kusta
mencakup 83% dari jumlah kabupaten di Indonesia
penemuan penderita sampai akhir Pelita I mencapa
target, yaitu sebesar 40.245 penderita dari target 5
penderita.
Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL
Gambar 21. Kelainan kulit pada penderita kusta, berupa ber
keputihan atau kemerahan, mati rasa, tidak gatal, dan
Keberhasilan program pemberantasan penyakit kus
mengalirkan bantuan hibah dari Sasakawa Foundat
Bantuan hibah ini sangat berguna untuk pengemba
sakit kusta di Tangerang dan Sulawesi Selatan.
CACAR
Dalam usaha pemberantasan penyakit cacar, Peme
Indonesia mengambil kebijakan peningkatan penga
pemberian kekebalan penyakit cacar kepada 1/3 pe
Indonesia.
Pemerintah juga mengambil kebijakan lain dengan
dalam Global Smallpox Eradication Program (SEP) p
1967.
kusta telah
esia. Kegiatan
capai 80 % dari
et 50 ribu
a bercak berwarna
dan tidak sakit
t kusta ini telah
dation, Jepang.
mbangan rumah
emerintah
ngamatan dan
3 penduduk
gan ikut serta
P) pada tahun
33
Sejak keikutsertaan dalam SEP, Indonesia mulai mengalami
banyak kemajuan dalam pemberantasan penyakit cacar, hingga
dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada 25 April 1974.
PENYAKIT KELAMIN
Upaya pemberantasan penyakit kelamin telah dilakukan di 139
kabupaten pada tahun 1973 – 1974. Hasilnya, ditemukan 100
ribu penderita. Untuk itu, segera dilakukan pencegahan terhadap
20 ribu sumber penularan.
Kebijakan yang dilakukan pada Pelita I guna memberantas
penyakit ini adalah sebagai berikut.
1. melaksanakan penemuan penderita;
2. melanjutkan penyuntikan seminggu sekali;
3. meningkatkan pendidikan kepada masyarakat tentang
penyakit kelamin;
4. mengembangkan cara pemberantasan gonorrohoea.
Sampai akhir Pelita I, pemberantasan penyakit kelamin telah
dilaksanakan di 81 kabupaten.
EPIDEMIOLOGI DAN KARANTINA
Dalam usaha pemberantasan penyakit, maka dilakukan
pengamatan epidemiologi, imunisasi, serta karantina kesehatan
pelabuhan/haji.
Beberapa hal yang dilakukan, antara lain:
1. Penyempurnaan (pembaruan dan penyederhanaan) dalam
sistem pelaporan pada Mei 1975;
2. Pemberian vaksinasi cacar dan BCG kepada sekitar 8 juta
anak, sebagai usaha pemberantasan penyakit cacar dan
Tuberkulosis paru-paru;
3. Penyempurnaan tiga kantor Dinas Kesehatan Pelabuhan
(DKP), yaitu dengan penyediaan alat-alat medik, higiene dan
sanitasi di delapan DKP, serta peningkatan usaha karantina
haji.
34
HIGIENE DAN SANITASI
Sebagai usaha higiene dan sanitasi, maka dilakukan beberapa
hal, sebagai berikut.
1. Pencegahan pencemaran lingkungan di 10 kotamadya dari
10 provinsi;
2. Pengangkatan 85 tenaga penilik kesehatan dan 245
sanitarian;
3. Lokakarya Pengurusan dan Pemeliharaan Sarana Air Minum
Pedesaan, yang diikuti 30 orang peserta dari 13 provinsi.
PERIODE DITJEN PPM & PLP
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP)
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas pokok
Departemen Kesehatan di bidang pemberantasan penyakit
bersumber binatang, pemberantasan penyakit menular
langsung, epidemiologi dan imunisasi, serta penyehatan
lingkungan pemukiman dan penyehatan air.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Ditjen PPM & PLP
mempunyai fungsi:
a. Perumusan kebijaksanaan teknis, pemberian bimbingan dan
pembinaan serta pemberian perijinan di bidang
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan
lingkungan pemukiman sesuai dengan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Pelaksanaan pemberantasan penyakit menular dan
penyehatan lingkungan pemukiman berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c. Pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas pokok
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan sesuai dengan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
35
INPRES SAMIJAGA
Guna mempercepat akses masyarakat akan kebutuhan sanitasi
dasar, seperti air minum dan jamban keluarga yang memenuhi
persyaratan kesehatan, maka mulai tahun 1974 pemerintah
menetapkan kebijakan Inpres Samijaga (sarana air minum dan
jamban keluarga).
Inpres ini memberikan bantuan pembangunan sarana air bersih
dan jamban keluarga bagi masyarakat serta penempatan tenaga
kesehatan, seperti tenaga dokter dan sanitarian di puskesmas
guna meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat,
khususnya di bidang kesehatan lingkungan.
Di samping pembangunan saranan sanitasi tersebut, Inpres
Samijaga juga memberikan bantuan pembangunan sarana
kesehatan, seperti gedung puskesmas dan puskesmas keliling,
dengan segala fasilitas lainnya yang berhubungan dengan
kegiatan pembangunan sarana air minum dan jamban keluarga.
P4D
Pemberantasan penyakit diare di Indonesia dimulai sejak
Repelita III (1981), sebagai kelanjutan kegiatan penanggulangan
penyakit kolera dan gastroenteritis (1978).
Penyakit diare/kolera merupakan penyakit yang banyak diderita
masyarakat Indonesia. Penyakit ini erat kaitannya dengan
perilaku hidup masyarakat. Di samping tingginya angka
kesakitan, penyakit ini juga sering menimbulkan KLB yang
disertai dengan kematian.
Untuk memberantas penyakit itu, pemerintah mengembangkan
Program Pemberantasan Penyakit Diare (P4D) di seluruh
puskesmas, dengan tujuan memperluas cakupan pelayanan
penderita, terutama pelayanan melalui posyandu, sebagai upaya
tatalaksana penderita diare di sarana kesehatan dan masyarakat.
36
Tatalaksana penderita menjadi efektif setelah dikembangkan
upaya rehidrasi oral dengan menggunakan oralit (sesuai dengan
anjuran WHO tahun 1973) dan cairan rumah tangga sebagai
pertolongan pertama. Dengan dilaksanakannya tatalaksana
tersebut dengan cepat dan tepat, angka kematian akibat diare
dapat diturunkan, terutama saat terjadi KLB.
PENGEMBANGAN PROGRAM IMUNISASI
Pengembangan Program Imunisasi (PPI) dimulai pada era tahun
70-an. Program ini bertujuan mempercepat pencapaian sasaran
program imunisasi guna mencegah penyebaran penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi.
Awalnya, program ini baru mencakup pemberian vaksinasi BCG.
Seiring dengan waktu, selanjutnya program diperluas terhadap
vaksinasi dasar, seperti DPT, polio, TT, dan campak.
ERADIKSI POLIOMYELITIS
Poliomyelitis merupakan penyakit menular yang dapat
menyebabkan kecacatan bagian tubuh, seperti kaki, sehingga
penderita mengalami kelumpuhan.
Pada tahun 1949–1951, penyakit Poliomyelitis hampir menjadi
wabah di Jakarta. Kemudian di tahun 1954, penyakit ini
mewabah di Bandung, namun tidak berlangsung lama.
Pada era tahun 1980, pemerintah mengembangkan Program
Imunisasi yang diprioritaskan bagi bayi dan anak balita. Melalui
gerakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) diharapkan penyakit ini
tidak ditemukan lagi di wilayah Indonesia.
Namun sejalan dengan kemajuan teknologi transportasi dan
komunikasi, pada tahun 2005 penyakit ini kembali ditemukan di
daerah Sukabumi, Jawa Barat.
Berdasarkan pengalaman tersebut, di tahun 1980, Pemerintah
Indonesia mulai mengembangkan Program Imunisasi (PPI) yang
diprioritaskan bagi bayi dan anak balita.
37
Untuk mensukseskan program ini, Pemerintah menjadikan
program ini sebagai gerakan nasional, yang dikenal dengan
Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
Dengan gerakan nasional ini, diharapkan penyakit poliomylities
dapat diberantas. Namun pada tahun 2005, penyakit ini ternyata
muncul kembali di Sukabumi, Jawa Barat, yang diperkirakan
berasal dari Afrika.
DEMAM BERDARAH DENGUE
Pada tahun 1968, penyakit Demam Berdarah Dengue (dengue
haemorraghic fever) mulai berjangkit di Indonesia. Awalnya,
penyakit tersebut berjangkit di Surabaya, kemudian menyebar
ke berbagai wilayah, seperti Semarang, Jakarta, Palembang.
menimbulkan wabah.
Sampai saat ini seluruh wilayah di Indonesia telah terjangkit
penyakit ini, dan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
serta disebarkan dengan perantaraan nyamuk aedes aegypti ini
sulit diberantas karena terkait erat dengan perilaku masyarakat
dan kesehatan lingkungan.
FILARIASIS
Penyakit Filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit rakyat
yang erat kaitannya dengan kebersihan perorangan, higiene,
serta sanitasi lingkungan.
Di Indonesia, Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi dikenal
sebagai penyebab panyakit ini, dengan penyebaran hampir di
seluruh wilayah Indonesia.
Pemberantasan filarisis di Indonesia menggunakan obat Diethyl
Carbamazize Citrae (DEC), yang sangat efektif dalam membunuh
microfilaria maupun macrofilaria. Pengobatan massal dengan
dosis standar, yang dilakukan di sekitar Bendungan Gumbasa
(Sulawesi Tengah) dan Banjar (Kalimantan Selatan), merupakan
salah satu metode yang digunakan.
38
Me
sta
Kab
ber
Ber
dip
sel
Gam
SC
Sch
Sch
ma
Ter
pad
ma
Pen
ber
pen
sos
Di
ma
me
Di
sed
pen
Metode lainnya adalah pengobatan dosis rendah di
standar, yang dilakukan di Kalimantan Selatan, Flor
Kabupaten Batang Hari (Jambi). Ternyata, pengoba
berhasil.
Berdasarkan pengalaman, pengamatan, serta pene
diputuskan penggunaan DEC dosis rendah semingg
selama 40 minggu, sebagai program pemberantasa
Sumber:Koleksi Ditjen PP & PL
Gambar 22.
SCHISTOSOMIASIS
Schistosomiasis adalah penyakit parasitik akibat inf
Schistosoma, dengan gejala klinis awal gatal-gatal s
masuk ke dalam kulit.
Terdapat empat spesies cacing Schistosoma yang m
pada manusia, yaitu Schistosoma haematobium, Sch
mansonni, Schistosoma japonicum, Schistosoma me
Penyelidikan epidemiologi Schistosomiasis dilakuka
berdasarkan beberapa kriteria, yaitu berdasarkan je
penyebaran schistosomiasis di dunia, manivestasi k
sosio ekonomi, dan pemberantasan.
Di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia, Schistomiasis m
masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar d
memerlukan usaha yang kuat untuk memberantas
Di dunia, penderita penyakit ini mencapai 200 juta
sedangkan yang terancam penyakit ini mencapai 60
penduduk (population at risk).
h diikuti dosis
Flores Barat, dan
obatan ini sangat
enelitian, maka
inggu sekali
tasan filariasis.
t infeksi cacing
tal saat serkaria
ng menjadi parasit
, Schistosoma
a mekongi.
kukan
an jenis
asi klinis, dampak
sis merupakan
ar dan
tas hingga tuntas.
uta orang,
ai 600 juta
39
PEMBERANTASAN PENYAKIT
ERA REFORMASI
(2000 – 2007)
PERIODE DITJEN PPM & PLP – DITJEN PP & PL
Seiring dengan perkembangan jaman, semakin berkembang pula
berbagai jenis penyakit di tengah masyarakat, baik penyakit
menular maupun tidak menular. Berbagai penyakit baru yang
dikenal dengan istilah New-emerging Diseases pun turut
berkembang, seperti penyakit Severe Accute Respitory Syndrome
(SARS), Avian Influenza (flu burung), Meningitis Meningokokus,
serta penyakit zoonosis lain (Hanta virus, Nipah Virus).
Menyadari perkembangan tersebut, maka dibutuhkan
pemantauan dan cara pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan yang tepat. Untuk itu diadakan perubahan nama
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP) menjadi
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PP & PL).
Ditjen PP & PL mempunyai tugas merumuskan serta
melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Untuk
menjalankan tugas dan fungsi secara maksimal, yang mencakup
seluruh daerah di Indonesia, Ditjen PP & PL dibantu oleh tiga unit
pelaksana teknis (UPT), yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan
(KKP), Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan
Penyakit Menular (BTKLPPM), serta Rumah Sakit Penyakit Infeksi
Prof. Dr. Sulianti Saroso (RSPI-SS).
40
KANTOR KESEHATAN PELABUHAN
Sampai tahun 1962 urusan kekarantinaan dilakukan berdasarkan
Ordonansi Karantina. Dengan berkembangnya zaman, urusan
kekarantinaan dilaksanakan dalam dinas Kesehatan Pelabuhan,
baik laut maupun udara, sesuai dengan International Sanitary
Regulation dari WHO.
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) adalah suatu unit pelaksana
teknis (UPT) Ditjen PP & PL, dibidang pemberantasan dan
pencegahan penyakit menular.
KKP mempunyai tugas melaksanakan pencegahan masuk dan
keluarnya penyakit karantina dan penyakit menular potensial
wabah, kekarantinaan, pelayanan kesehatan terbatas di wilayah
kerja pelabuhan laut/udara dan lintas batas, serta pengendalian
dampak kesehatan lingkungan.
BTKLPPM
Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit
Menular (BTKLPPM) merupakan salah satu UPT di lingkungan
Ditjen PP & PL, yang bergerak di Bidang Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular.
Diberlakukannya “otonomi daerah” dalam penyelenggaraan
pemerintahan, maka kesehatan menjadi “urusan” yang wajib
diserahkan dan dilaksanakan oleh masing-maisng daerah
(kabupaten/kota). Meski demikian, pengecualian “kewenangan”
bidang kesehatan tetap berlaku, diantaranya dalam hal
pengelolaan pemberantasan penyakit menular dan kesehatan
lingkungan yang masih menjadi wewenang pemerintah.
BTKLPPM bertugas sebagai pelaksana surveilans epidemiologi,
kajian dan penapisan teknologi, laboratorium rujukan, kendali
mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan model
dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan
penanggulangan KLB/Wabah dan bencana di bidang
pemberantasan penyakit menular dan kesehatan lingkungan
serta kesehatan matra.
41
RSPI PROF. DR. SULIANTI SAROSO
Pada tahun 1958, Stasiun Karantina (pindahan dari Pulau Onrust
Kuiper) didirikan di daerah Pelabuhan Tanjung Priok. Fungsinya,
untuk menampung penderita penyakit karantina dari kapal.
Di tahun 1964, Stasiun Karantina juga difungsikan sebagai
tempat menampung penderita penyakit cacar dari Jakarta dan
sekitarnya, yang berjumlah sekitar 2.358 orang. Namun sejak
Indonesia dinyatakan bebas cacar pada tahun 1972, kegiatan
pun berkurang, sehingga pada 28 April 1978, Stasiun Karantina
berubah fungsi menjadi Rumah Sakit Karantina.
Rumah Sakit Karantina mempunyai tugas menyelenggarakan
pelayanan, pengobatan, perawatan, karantina dan isolasi serta
pengelolaan penyakit menular tertentu. Dalam perjalanannya,
rumah sakit ini tidak hanya merawat penderita penyakit wabah,
tetapi juga penyakit menular atau infeksi lainnya.
Sumber: http://www.navigasi.net
Gambar 22. Museum Pulau Onrust,
salah satu bangunan yang masih tersisa
Untuk dapat melakukan pelayanan kesehatan secara maksimal,
maka pada 1 Desember 1993, pelayanan Rumah Sakit Karantina
dipindahkan ke lokasi baru di daerah Sunter dan berganti nama
menjadi Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso
(RSPI-SS). Dengan demikian, pada 1 Januari 1994, Rumah Sakit
Karantina ditutup dan RSPI-SS di buka untuk umum.
42
Sejak diresmikan penggunaannya pada 21 April 1994, RSPI-SS
telah melakukan tugas pelayanan penyembuhan dan perawatan
penderita secara menyeluruh. Selain itu, RSPI-SS juga
menjalankan fungsi sebagai:
1. pelaksana rujukan nasional di bidang penyakit infeksi dan
penyakit menular lainnya;
2. penatalaksanaan penyakit infeksi menular lainnya;
3. penelitian klinik dan epidemiologi penyakit infeksi dan
penyakit menular lainnya;
4. pelaksanaan sistem kewaspadaan dini, penanggulangan
wabah/kejadian luart biasa (KLB);
5. pendidikan dan pelatihan di bidang penyakit infeksi dan
penyakit menular lainnya;
6. penelitian dan pengembangan di bidang penyakit infeksi dan
penyakit menular lainnya;
7. pengelolaan sistem informasi penyakit infeksi dan penyakit
menular lainnya.
Beberapa tahun terakhir, RSPI-SS telah menunjukkan
kemampuannya dalam upaya penanggulangan penyakit infeksi
maupun penyakit lainnya, seperti Diare, HIV/AIDS, Tifoid,
Salmonellosis, KLB Demam Berdarah, KLB SARS, KLB Polio, dan
KLB Flu Burung.
PERIODE DITJEN PP & PL
Perubahan nomenklatur Ditjen P2M dan PL menjadi Ditjen PP &
PL atas dasar Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9
tahun 2005 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia
dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian
Negara Repbulik Indonesia dan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor : 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan.
Sebagai upaya pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan tersebut, Ditjen PP & PL telah menyusun dan
melaksanakan berbagai program, sebagai berikut.
PROGRAM IMUNISASI
Imunisasi telah diakui sebaga
efektif dan berdampak terhad
masyarakat. Namun, pember
adanya kejadian ikutan pasca
agar efektifitas dan keamana
terjaga dengan melakukan su
Upaya imunisasi dilaksanakan
tambahan. Kegiatan imunisas
imunisasi kepada bayi umur 0
HB), imunisasi kepada WUS/B
anak SD (kelas 1: DT, dan kela
Sumber: K
Kegiatan imunisasi tambahan
masalah, seperti Desa non UC
ditemukan/diduga adanya vir
AFP yang masih buruk/tidak b
berdasarkan kebijakan teknis
Campak juga dilakukan bagi a
beberapa provinsi.
Pada tahun 2005, kasus polio
Indonesia. Untuk itu, Outbrea
dilakukan untuk memutus pe
Selain itu, Mop up Imunisasi d
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Bar
Imunisasi Nasional (PIN) dilak
sasaran anak berusia 0 – 5 ta
agai upaya pencegahan penyakit paling
rhadap peningkatan kesehatan
berian imunisasi mempunyai risiko
asca imunisasi (KIPI). Untuk itu, perlu
ananan vaksin tetap terpantau dan
n surveilans KIPI yang efektif.
akan melalui kegiatan rutin dan
nisasi rutin meliputi pemberian
ur 0-1 tahun (BCG, DPT, Polio, Campak,
US/Bumil (TT), dan imunisasi kepada
kelas 2-3: TT).
ber: Koleksi Ditjen PP & PL
han dilakukan atas dasar ditemukannya
n UCI, potensial/risti KLB;
a virus polio liar; hasil kinerja surveilans
ak berjalan; atau kegiatan lain
knis. Catch Up Campaign Imunisasi
agi anak sekolah dasar (kelas 1 – 6) di
olio liar kembali ditemukan di
break Response Immunization (ORI)
s penularan di sekitar lokasi kasus.
sasi dilakukan dalam dua putaran di
a Barat, dan Banten, sedangkan Pekan
dilakukan dalam tiga putaran, dengan
5 tahun.
43
44
Di tahun yang sama, bencana tsunami juga terjadi di Nangroe
Aceh Darussalam dan Pulau Nias. Untuk itu, Crash Program
Imunisasi Campak dilakukan bagi para korban pengungsi berusia
0 – 5 tahun.
KUSTA
Berdasarkan catatan WHO, Indonesia saat ini masih menjadi
salah satu negara penyumbang penyakit kusta terbesar di dunia.
Meskipun Indonesia telah mencapai Eliminasi Kusta pada
pertengahan tahun 2000, namun penyakit ini masih menjadi
masalah kesehatan yang cukup besar. Sampai akhir tahun 2005,
14 provinsi dan 155 kabupaten di Indonesia belum mencapai
eliminasi.
FRAMBUSIA
Sampai saat ini, penyakit Frambusia masih belum dapat
dieliminasi dari seluruh wilayah Indonesia.
Penderita Frambusia banyak ditemukan di wilayah timur
Indonesia, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi
Tenggara. Sedangkan di wilayah barat, ditemukan di NAD, Jambi,
Banten, dan Jawa Timur. Wilayah-wilayah itu dikenal sebagai
”kantong Frambusia”.
Keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan serta tempat
tinggal di daerah pedalaman membuat penderita Frambusia sulit
mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk menjangkau daerah-
daerah kantong Frambusia yang tersebar di beberapa provinsi
dan kabupaten di Indonesia, maka pada tahun 2000 mulai
dilakukan survei daerah kantong Frambusia. Sejak saat itu
sampai dengan tahun 2005, sejumlah 17.085 kasus dan kontak
telah ditemukan serta diobati.
MALARIA
Sampai dengan tahun 2005, k
Penyakit Malaria di Jawa dan
penegakkan diagnosa kasus d
yang dikenal dengan istilah
Dalam lima tahun terakhir, ka
telah mengalami penurunan.
penduduk (API) menurun, da
menjadi 0,15 per seribu pend
DEMAM BERDARAH DEN
Metode tepat guna untuk me
Pemberantasan Sarang Nyam
(Menguras, Menutup, dan M
penyebaran ikan pada tempa
lainya yang dapat mencegah/
berkembang biak.
Angka Bebas Jentik (ABJ), seb
pemberantasan vektor melal
partisipasi masyarakat dalaam
pendekatan pemberantasan
masyarakat menjadi salah sat
05, kebijakan Program Pemberantasan
dan Bali telah menggunakan strategi
us dengan konfirmasi laboratorium,
ah Annual Parasite Incidence (API).
ir, kasus malaria di Pulau Jawa dan Bali
nan. Angka parasit malaria per seribu
, dari sebesar 0,81 di tahun 2000
enduduk di tahun 2005.
Sumber: koleksi Ditjen PP & PL
ENGUE
k mencegah DBD adalah dengan
yamuk (PSN) melalui 3M plus
n Mengubur) plus menabur larvasida,
mpat penampungan air, serta kegiatan
gah/memberantas nyamuk Aedes
, sebagai tolak ukur upaya
elalui PSN-3M, menunjukkan angka
laam mencegah DBD. Oleh karena itu,
san DBD yang berwawasan kepedulian
h satu alternatif pendekatan baru.
45
46
Sur
ole
(Ju
sec
den
Sum
DE
De
me
per
ser
Pen
ole
ISP
ISP
ray
kur
ini.
bel
me
Surveilans vektor dilakukan melalui kegiatan peman
oleh petugas kesehatan maupun juru/kader peman
(Jumantik/Kamantik). Pengembangan sistem survei
secara berkala perlu terus dilakukan, terutama dala
dengan perubahan iklim dan pola penyebaran kasu
umber: Koleksi Ditjen PP & PL
DEMAM CHIKUNGUNYA
Demam Chikungunya (Demam Chik) adalah suatu p
menular dengan gejala utama demam mendadak, n
persendian terutama lutut, pergelangan, jari kaki d
serta tulang belakang yang disertai ruam pada kulit
Penyakit ini disebabkan oleh virus chikungunya dan
oleh nyamuk Aedes aegepti, yang juga nyamuk pen
ISPA
ISPA termasuk Pneumonia, sering kali disebut seba
raya yang terlupakan atau The Forgotten Pandemic
kurangnya perhatian organisasi internasional terha
ini. Upaya yang dilakukan lebih dari sepuluh tahun
belum juga menemukan suatu intervensi yang efek
mengatasi penyakit ini.
mantauan jentik
mantau jentik
rveilans vektor
dalam kaitannya
kasus.
tu penyakit
ak, nyeri pada
ki dan tangan,
kulit.
dan ditularkan
penular DBD.
ebagai wabah
mic, karena
rhadap penyakit
un yang lalu,
efektif untuk
Di tahun 1997, pendekatan
Illness (IMCI) atau Manajeme
diperkenalkan. Pendekatan in
kasus untuk berbagai penyak
Campak, Gizi Kurang, dan Kec
Gambar 23.
Selain menggunakan cara kla
dan sederhana, dengan peng
juga mengatur pemisahan an
Pneumonia dan tatalaksana p
telinga dan tenggorok.
TUBERKULOSIS
Upaya Pemerintah menanggu
menunjukkan kemajuan. Ini t
penderita yang ditemukan da
an Integrated Management Childhood
emen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
an ini merupakan model tatalaksana
yakit anak, seperti ISPA, Diare, Malaria,
Kecacingan.
Sumber: Koleksi PP & PL
23. Pneumonia pada anak
klasifikasi gejala penyakit yang praktis
enggunaan teknologi tepat guna, MTBS
n antara tatalaksana penyakit
na penderita penyakit infeksi akut
nggulangi Tuberkulosis (TBC) semakin
Ini terlihat dari meningkatnya jumlah
n dan disembuhkan tiap tahunnya.
Sumber: Koleksi Ditjen PP & PL
47
48
Pe
D
Ch
di
in
19
H
Pa
Fiv
Vir
Be
ta
te
D
AR
le
su
Sa
m
AR
da
Pengembangan Program Pengendalian TBC denga
DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse
Chemotheraphy) sampai dengan tahun 2005 telah
di seluruh provinsi di Indonesia. Hasilnya, tercapai
insiden kasus menular, yaitu dari 130/100.000 pen
1995) menjadi 170/100.000 penduduk.
HIV/AIDS DAN PMS
Pada Desember 2003, WHO menetapkan kebijaka
Five Initiative”, yaitu target global akses pengobat
Viral (ARV) terhadap tiga juta ODHA pada tahun 20
Berdasarkan kebijakan itu, Menteri Kesehatan me
target, bahwa sepanjang tahun 2005 sebanyak 10
telah mendapatkan aksesbilitas pengobatan ARV.
Di tahun 2004, lima ribu ODHA telah mendapatkan
ARV. Sedangkan di tahun 2005, pengobatan telah
lebih dari lima ribu ODHA.
sumber: http://www.artasauthority.com
Sampai dengan tahun 2005, Departemen Kesehata
menetapkan 75 rumah sakit sebagai pusat rujukan
ARV. Penetapan tersebut sebagai bentuk komitme
dalam mendukung 3 by 5.
ngan strategi
rse
elah dilaksanakan
apai penurunan
penduduk (WHO-
akan ”Three by
batan Anti Retro
n 2005.
menetapkan
k 10 ribu ODHA
RV.
tkan pengobatan
lah diakses oleh
hatan telah
ukan pengobatan
itmen Indonesia
49
Hingga Desember 2005, secara kumulatif tercatat 3.368 orang
mengidap HIV (+) dan sebanyak 2.682 orang mengidap AIDS.
Dengan meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, maka
pemantauan terhadap kecenderungan HIV/AIDS dan sipilis pada
kelompok risiko tinggi dilakukan dengan cara pengambilan
sampel secara bersamaan setiap setahun sekali.
DIARE
Selain angka kesakitan yang masih tinggi, penyakit diare juga
sering menimbulkan KLB dengan tingkat CFR yang juga tinggi.
Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
diperoleh angka kematian diare (semua umur) 23 per 100.000
penduduk. Sedangkan pada Balita, 75 per 1000.000 penduduk.
Salah satu upaya menurunkan kematian akibat diare adalah
dengan tatalaksana yang tepat dan cepat. Upaya ini dilakukan
dengan mengadakan pelatihan petugas terintegrasi dengan
pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), serta
pengamatan tatalaksana diare di puskesmas sentinel.
Upaya lainnya, mengadakan kajian epidemiologi KLB Diare di
enam provinsi, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, NTB,
NTT, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Pengolahan, analisa,
dan interpretasi data secara rutin juga akan dilakukan, sebagai
upaya kewaspadaan dini KLB Diare.
KECACINGAN
Untuk mempercepat penurunan prevalensi cacingan pada anak
sekolah dasar, kegiatan intervensi berupa penyuluhan kesehatan
bagi murid SD dilakukan oleh para guru di sejumlah SD, yang
tersebar di lima provinsi.
Sosialisasi materi pemberantasan penyakit kecacingan diberikan
kepada para guru, agar mereka memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang lebih tentang penyakit ini. Bahan materi,
berupa poster pencegahan cacingan dan lembar balik cacingan,
juga diberikan sebagai alat penunjang kegiatan.
50
Dengan penyuluhan ini, diharapkan para murid dapat melakukan
perilaku hidup sehat, seperti kebiasaan cuci tangan sebelum
makan dan sesudah buang air besar, potong kuku, serta
memakai alas kaki jika keluar rumah, sehingga terhindar dari
penyakit kecacingan.
FILARIASIS
Hingga saat ini, Filariasis masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat Indonesia. Hasil mapping yang dilakukan sampai
tahun 2004 menggambarkan adanya kasus kronis yang mencapai
jumlah 8.243 orang, yang tersebar di 30 provinsi.
Untuk itu, Indonesia melaksanakan Program Eliminasi Filariasis
atas dasar kesepakatan Global WHO tahun 2000, yaitu “The
Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public
Health Problem the year 2020”, yang merupakan realisasi dari
resolusi WHA pada tahun 1997.
SCHISTOSOMIASIS
Berbagai upaya pemberantasan penyakit Schistosomiasis telah
dilakukan sejak tahun 1982 melalui bermacam bentuk kegiatan,
seperti pengobatan penduduk, penyuluhan, dan perbaikan
lingkungan.
Langkah pemberantasan ditujukan pada cacing Schistosoma
japonicum (host), keong Oncomelania hupensis lindoensis
(hospes perantara), manusia, dan hewan mamalia (hospes
definitif), dan lingkungan fisik maupun biologis.
Sampai saat ini daerah endemis Schistosomiasis di Indonesia
baru ditemukan di dua tempat, di Lembah Lindu (Kecamatan
Kulawi, Kabupaten Donggala) dan Lembah Napu-Besoa
(Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso).
Schistosomiasis tidak mungkin dieradiksi. Oleh karena itu, tujuan
program pemberantasan Schistosomiasis adalah eliminasi,
supaya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
FLU BURUNG
Flu burung atau Avian Influen
yang disebabkan oleh virus in
penyakit ini pertama kali dila
Flu burung menular dari ungg
manusia. Penyakit ini dapat m
tercemar virus H5N1 yang be
burung/unggas yang mender
Penularan dari unggas ke ma
manusia telah menghirup uda
burung atau kontak langsung
burung. Namun sampai saat i
menyatakan bahwa virus flu b
ke manusia dan menular mel
Sumber: Koleksi Ditjen PP &
Gejala awal penyakit ini pada
gejala flu pada umumnya, sep
38oC), batuk dan nyeri tenggo
atas, pneumonia, infeksi mat
inkubasi virus flu burung adal
tetapi, sebagian besar kasus m
setelah terpapar oleh virus te
luenza adalah suatu penyakit menular
us influenza tipe A. Di Indonesia,
dilaporkan pada Agustus 2003.
unggas ke unggas, dan dari unggas ke
at menular melalui udara yang
g berasal dari kotoran atau sekreta
derita flu burung.
manusia juga dapat terjadi jika
udara yang mengandung virus flu
ung dengan unggas yang terinfeksi flu
aat ini, belum ada bukti yang
flu burung dapat menular dari manusia
melalui makanan.
P & PL
ada manusia hampir sama dengan
, seperti demam (suhu badan di atas
nggorokan, radang saluran pernapasan
mata, dan nyeri otot. Sedangkan masa
adalah 2-10 hari setelah terpapar. Akan
sus menunjukkan gejala setelah 3-5 hari
us tersebut.
51
52
Pengobatan bagi penderita, dapat dilakukan dengan oksigenasi
bila terdapat sesak napas; hidrasi dengan pemberian cairan
parenteral (infus); pemberian obat antivirus oseltamivir 75 mg
dosis tunggal selama 7 hari; serta pemberian Amantadin di awal
terjadi infeksi (sedapat mungkin dalam waktu 48 jam pertama,
selama 3 - 5 hari).
Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh flu burung,
Departemen Kesehatan telah mengambil beberapa tindakan,
antara lain:
1. Melakukan Investigasi pada pekerja, penjual dan penjamah
produk ayam di beberapa daerah KLB flu burung pada ayam
di Indonesia (untuk mengetahui infeksi flu burung pada
manusia);
2. Melakukan monitoring secara ketat terhadap orang-orang
yang pernah kontak dengan orang yang diduga terkena flu
burung. hingga terlewati dua kali masa inkubasi yaitu 14
hari;
3. Menyiapkan 44 rumah sakit di seluruh Indonesia untuk
menyiapkan ruangan observasi terhadap pasien yang
dicurigai mengidap Avian Influenza;
4. Memberlakukan kesiapsiagaan di daerah yang mempunyai
resiko, yaitu Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten,
serta membentuk POSKO Flu Burung;
5. Menginstruksikan kepada Gubernur pemerintah provinsi
untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan
terhadap kemungkinan terjangkitnya flu burung di wilayah
masing-masing;
6. Meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat dan
membangun jejaring kerja dengan berbagai pihak untuk
edukasi terhadap masyarakat agar masyarakat tetap
waspada dan tidak panik;
7. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan
Departemen Pertanian dan pemerintah daerah dalam upaya
penanggulangan flu burung; Mengumpulkan informasi yang
meliputi aspek lingkungan dan faktor resiko untuk mencari
kemungkinan sumber penularan oleh tim investigasi.
53
SARS
Kasus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) atau Sindrom
Pernapasan Akut Berat, pertama kali ditemukan di Provinsi
Guangdong (Cina) pada November 2002. Saat itu, WHO
menyebut penyakit ini sebagai Atypical Pneumonia atau Radang
Paru Atipik.
Kemudian pada 11 Maret 2003, WHO kembali mengumumkan
adanya penyakit baru yang menular sangat cepat di Hongkong,
Singapura, dan Vietnam. Belum diketahui apakah penyakit ini
sama dengan Atypical Pneumonia yang berjangkit di Guangdong.
Pada April 2003, barulah WHO memastikan bahwa Atypical
Pneumonia di Guangdong adalah SARS. Untuk itu, Direktur
Jenderal WHO menyatakan bahwa SARS adalah ancaman global
atau Global Threat.
Pertimbangan WHO menyatakannya sebagai ancaman global,
karena SARS merupakan penyakit baru yang belum dikenal
penyebabnya dan menyebar secara cepat melalui alat angkut
antar negara, terutama juga menyerang tenaga kesehatan di
rumah sakit.
Wabah SARS telah mendorong berbagai pakar kesehatan di
dunia untuk bekerja sama menemukan penyebab SARS dan
memahami cara penularan SARS. Hasilnya, pada 16 April 2003
dipastikan bahwa penyebab SARS adalah Virus Corona atau
Coronavirus.
Departemen Kesehatan sejak awal pandemi SARS secara dini
telah melaksanakan Penanggulangan SARS . Tujuannya, untuk
mencegah terjadinya kesakitan dan kematian, serta mencegah
terjadinya penularan SARS di masyarakat (community
transmission) di Indonesia.
Strategi yang dijalankan adalah dengan mengupayakan public
awareness melalui advokasi dan sosialisasi, pemantauan atau
surveilans kasus secara epidemiologi berdasarkan informasi
masyarakat, up date informasi rumah sakit dan informasi KKP,
menyiapkan rumah sakit, baik sarana maupun prasarana, serta
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas.
54
Upaya surveilans epidemiologi SARS di Indonesia mencakup
pemeriksaan penumpang di bandara pada saat kedatangan
(arrival screening) dan keberangkatan (pre-departure screening),
pemeriksaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang datang dari
daerah terjangkit SARS, surveilans SARS di rumah sakit dan
sarana kesehatan, surveilans SARS dan penumonia di
masyarakat, serta investigasi dan pelacakan kontak.
Untuk menunjang kegiatan dan keberhasilan surveilans SARS,
sebanyak 20 thermo scanner dan sejumlah thermo digital
(telinga ditempatkan di bandara dan beberapa pelabuhan laut.
Di Indonesia, sejak 17 Maret – 10 April 2003, 24 orang dicurigai
mengidap penyakit SARS. Dari jumlah tersebut, satu orang
dinyatakan kasus, delapan orang dalam tahap observasi, dan
sisanya dinyatakan negatif SARS.
KESEHATAN HAJI
Sejak tahun 2001, kasus Meningitis pada jemaah Haji Indonesia
telah menunjukan penurunan angka, bahkan di tahun 2004 tidak
ditemukan adanya kasus.
Sedangkan untuk meminimalisir jemaah haji yang meninggal
karena risiko penyakit kardiovaskuler/jantung dan paru, maka
pembinaan jemaah haji risiko tinggi terus dilakukan, dengan cara
sosialisasi manajemen risiko ke daerah-daerah di wilayah
Indonesia.
Kerjasama berbagai sektor terkait juga terus dilakukan, sebagai
upaya peningkatan kesiapsiagaan, deteksi dini, serta respon
kejadian luar biasa (KLB).
88
KOL. Dr. AZIL WIDJAYAKUSUMA
DIREKTUR JENDERAL EKSEKUTIF KOPEM
1960 – 1966
89
Dr. MARSAID S.
DIREKTUR JENDERAL KRIDA NIRMALA
1966 – 1967
90
Dr. R. E. M. SULING
DIREKTUR JENDERAL KRIDA NIRMALA
1967
91
PROF. DR. J. SULIANTI SAROSO
DIREKTUR JENDERAL P 4 M
1967 – 1975
92
Dr. BAHRAWI WONGSOKOESOEMO, MPH
DIREKTUR JENDERAL P 3 M
1975 – 1978
93
Dr. M. ADHYATMA, MPH
DIREKTUR JENDERAL PPM & PLP
1978 – 1987
94
Dr. S. L. LEIMENA, MPH
DIREKTUR JENDERAL PPM & PLP
1987 – 1988
95
Dr. GANDUNG HARTONO
DIREKTUR JENDERAL PPM & PLP
1988 – 1993
96
Dr. HADI M. ABEDNEGO, SKM
DIREKTUR JENDERAL PPM & PLP
1993 – 1998
97
Dr. ACHMAD SUJUDI
DIREKTUR JENDERAL PPM & PLP
1998 – 2000
98
PROF. DR. Dr. UMAR FAHMI ACHMADI, MPH
DIREKTUR JENDERAL PPM & PL
2000 – 2005
99
Dr. I NYOMAN KANDUN, MPH
DIREKTUR JENDERAL PP & PL
2005 – Sekarang
100
DAFTAR PUSTAKA
BUK U
Departemen Kesehatan RI; Sejarah Kesehatan Nasional
Indonesia Jilid 1, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,
1978
Departemen Kesehatan RI; Sejarah Kesehatan Nasional
Indonesia Jilid 2, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,
1980
Departemen Kesehatan RI; Sejarah Kesehatan Nasional
Indonesia Jilid 3, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,
1980
Departemen Kesehatan RI, Almanak Pembangunan Kesehatan
Edisi 1992, Badan Penerbit KOSGORO, Jakarta, 1992
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PPM & PL; Profil
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan (PPM & PL) Tahun 2004, Ditjen PPM & PL
Depkes RI, Jakarta, 2005
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PP & PL; Profil
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Tahun 2005, Direktorat Jenderal PP & PL Depkes RI,
Jakarta, 2006
Sub Dit. Diare, Kecacingan, dan ISPL; Sejarah Pemberantasan
Penyakit Diare di Indonesia, Sub Dit. Diare, Kecacingan,
dan ISPL Direktorat PPML, Jakarta, 2008
INTERNET
1. http://nl.wikipedia.org/wiki/Thomas_Raffles
2. http://www.schaakclubutrecht.nl/histarnoldforeest.html
3. http://bandungheritage.org/index.php?option=com_content
&task=view&id=55&Itemid=49
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Anopheles
5. http://www.arsipjatim.go.id/web/ARSIP/WebContent/web/
view_koleksi_detail.jsp?q=200600000224
6. http://www.rmaf.org.ph/Awardees/Biography/BiographyKo
dijatRad.htm
7. http://www.qoop.nl/showimage.php?artikelID=6205480
8. http://www.stamps-auction.com/indonesia-old-postcard-
villa-juliana-sanatorium-tosari-for-sale-30554
9. www.historycooperative.org/journals/hah/8.2/stein.html
10. http://www.eijkman.go.id/Public
11. http://www.general-anaesthesia.com/images/robert-
koch.html
12. http://id.wikipedia.org/wiki/Aedes
13. http://www.navigasi.net/goart.php?a=puonrust
14. http://www.artasauthority.com/2006/12/show_your_color_
world_aids_day.html
15. http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/072005/flu_burun
g.pdf
16. http://www.who.or.id/ind/php/faq_avian.php
17. http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=43
18. http://www.biofarma.co.id/ind/company2.html