Post on 05-Apr-2018
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
1/140
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
2/140
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
3/140
DARI REDAKSI01PercikJuni 2009
Memasuki tahun 2009 ini,
banyak proyek AMPL diIndonesia yang telah dan
akan segera berakhir, diantaranya
Waspola 2. Setelah melalui satu
dekade, akhirnya sebagaimana kata
pepatah Tiada pesta yang tak
berakhir, Waspola 2 per Juni 2009
telah tutup buku. Di ujung proyek,
salah satu kewajiban dari pengelola
proyek adalah menyusun laporan
akhir.
Harapannya, laporan tersebut
akan dibaca oleh khalayak. Namun
kenyataannya, sebagian besar lapor-an tersebut hanya mengisi pojok
berdebu dar i rak buku di kantor
pemerintah. Menyadari hal tersebut,
Percik kemudian bekerjasama de-
ngan Waspola mencoba menuangkan
laporan akhir tersebut kedalam for-
mat majalah. Tepatnya menjadi isi
dari edisi khusus Percik pada bulan
Juni 2009.
Informasi dan data tentang
Waspola 2 dikemas dalam berbagai
rubrik seperti laporan utama, wawan-
cara, wawasan, regulasi, praktek ung-
gulan, dan info seputar pelaku.
Produk Waspola 2 pun mendapat
porsi untuk ditampilkan baik yang
berupa buku, audio visual, bahkan
situs. Apakah dengan cara ini kemu-
dian khalayak akan tertarik membaca
hasil Waspola 2. Hanya waktu yang
bisa menjawab.
Edisi kali ini merupakan edisi
khusus kedua, setelah edisi khusus
pertama dengan tema Pengelolaan
Sampah Berbasis Masyarakat (PSBM)yang sebenarnya merupakan upaya
memasyarakatkan PSBM ke tengah
masyarakat. Ini merupakan terobosan
kami agar pembaca tidak merasa
bosan dengan gaya yang sama dari
tahun ke tahun. Direncanakan sepan-
jang tahun 2009, Percik akan terbit
dalam bentuk edisi khusus sebanyak 5
kali.
Hal yang membanggakan bahwa
kesemua edisi khusus tersebut
didanai tidak lagi dari kocek peme-
rintah tetapi merupakan hasil kerja-
sama dengan berbagai pihak. Pada
saat yang bersamaan, Percik
Yunior pun telah mendapat lampu
hijau untuk didanai dari sumber non
pemerintah, melanjutkan kesepa-
katan tahun-tahun sebelumnya.
Kepercayaan ini menjadi bekal kami
untuk menjadi lebih baik lagi ke
depan.
Bukan hanya format Percik yang
berubah. Kantor redaksi Percik pun
telah pindah ke Jl. R.P. Soeroso 50
Menteng, Jakarta Pusat. Kepindahan
ke kantor baru sepertinya menjadi
salah satu faktor pendukung timbul-
nya semangat dan keberanian kami
untuk mencoba terbit dengan formatbaru.
Jika dicermati, terlihat fenomena
baru di dunia AMPL. Semakin banyak
proyek dan/atau institusi yang me-
nganggap kampanye publik adalah
bagian tidak terpisahkan dari upaya
meningkatkan profil pembangunan
AMPL di Indonesia. Contohnya,
semakin banyak majalah, news letter
baik on-line maupun cetak, buku ter-
masuk situs dengan fokus khusus
AMPL.
Sebagai ilustrasi, sekretariat Pokja
AMPL telah memiliki beragam bentuk
media kampanye, mulai dari majalah
Percik, Percik Yunioryang terbit
setiap 3 bulan; news lettermingguan
on-line dan news letterbulanan cetak.
Belum termasuk situs baik situs
AMPL, situs Pokja AMPL daerah,
situs AMPL yunior, situs WES Unicef,
digital library (digilib), situs Jejaring
AMPL, situs Gugus Tugas Pengolahan
Sampah. Bahkan juga telah meman-
faatkan jejaring sosial seperti face
book.
Budaya mengkomunikasikan apa
yang kita kerjakan, apa yang kita
ketahui, apa yang kita alami mulai
menjadi sebuah keniscayaan. Semogafenomena ini dapat menyumbang
kepada semakin meningkatnya
kesadaran semua pihak akan pen-
tingnya AMPL bagi kemaslahatan
umat manusia.
Akhir kata, upaya kami ini tidak
akan berarti tanpa adanya dukungan
dari seluruh pemangku kepentingan
AMPL. Terima kasih atas dukungan
Anda semua. Selamat membaca. Kami
tunggu kritik dan sarannya. (OM)
Tim Waspola dan Pokja AMPL berpose bersama usai acara Serah Terima Waspola 2.
Foto: Bowo Leksono
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
4/140
Percik untuk DaerahPamsimas
Yth. RedakturPercik
Senang juga baca-baca majalah
Percik, disamping dapat memperoleh
gambaran tentang masalah air minum
dan sanitasi, juga beberapa topik dapat
memicu untuk berbuat lebih banyak
dan lebih baik lagi bagi perkembangan
AMPL.
Kebetulan saya bekerja di CMAC
Pamsimas sebagai health hygiene spe-
cialist. Saya mau minta bantuan nih:- Apakah kami bisa langganan Percik,
berapa biaya langganan?
- Ada 15 provinsi dengan sekitar 110
kabupaten daerah Pamsimas. Apakah
mungkin Percik disebarluaskan ke
daerah tersebut? Bagaimana caranya?
- Mudah-mudahan suatu saat ada beri-
t a t en ta ng k eb er ha si la n d es a
Pamsimas yang bisa masukPercik,
tapi tunggu dulu ya.
- Saya dengar kantor pindah ya dari Jl.
Cianjur ke Jl. RP Suroso, dimana
posisi tepatnya?
Nuhun pisan
Supriyanto Margono
Jl. Melawai Raya No. 7 Kebayoran Baru
Jakarta
Yth. Bapak Supriyanto,
Untuk berlangganan Percik, ter-
masuk edisi sebelumnya, dan mem-
peroleh buku-buku terkait AMPL,
silahkan menghubungi Gerai AMPL
(http://geraiampl.com). Dapat juga
menghubungi Perpustakaan PokjaAMPL Jl. R.P. Soeroso 50 Menteng,
Jakarta Pusat telp. (021) 31904113.
Karena keterbatasan dana, sejak Juli
2009, kami mengenakan ongkos kirim
pada pelanggan pribadi
Pada dasarnya kami senang jika
Percik dapat disebarluaskan di dae-
rah Pamsimas, tapi tentunya kami
perlu bekerjasama dengan Pamsimas
dalam pendanaannya.
Kami dengan senang hati meneri-
ma tulisan tentang Pamsimas, baikpembelajaran maupun praktek ung-
gulannya.
Cara Mendapat Buku-buku
AMPL
Yth. Redaksi Percik
Saya sudah dua kali mengikuti
pelatihan fasilitator AMPL. Pertama
kali di Yogyakarta, Agustus 2008 yakni
pelatihan fasilitator AMPL mitra pokja.
Dan baru-baru ini pelatihan orientasi
MPA/PHAST di Makassar. Dari pe-latihan tersebut saya membuat tulisan
tentang air bersih dan sanitasi dan
telah dimuat pada koran lokal yaitu
Fajar pada 22 November 2008.
Literatur penulisan saya banyak
diperoleh dariPercik serta brosur dan
buku panduan yang dibagikan sewaktu
pelatihan. Bagaimana cara memper-
oleh Percik secara berkala dan buku-
buku yang berkaitan dengan penye-
hatan lingkungan? Dapatkah saya
mengirimkan tulisan mengenai kondisi
lingkungan di Makassar?
Suriyanti H. Salama
Makassar
Yth. Ibu Suriyanti,
Kami senang dan salut mendengar
bahwa Anda menuliskan pengalaman
Anda di salah satu koran, termasuk
juga bahwa Percik menjadi bahan
rujukan. Silahkan Anda mengirimkan
tulisan kePercik, dengan senang hati
kami akan memuatnya.
Cara memperoleh Percik dandokumen lainnya silahkan lihat jawab-
an sebelumnya.
Konsultasi Soal Sanitasi
Yth. Redaksi Percik
Perkenalkan saya Okta, mahasiswi
Politeknik Depkes RI Jakarta II
Jurusan Kesehatan Lingkungan. Saya
baru pertama kali membaca majalah
Percik edisi Agustus 2008 di suatu
perpustakaan instansi pemerintah,
saya langsung tertarik dengan segala
ilmu yang saya dapatkan dari majalah
Percik. Hal ini karena perkuliahan
saya sama dengan bidang sanitasi dan
saya calon sanitarian. Dan dalam matakuliah saya ada tentang Pengolahan
Air Bersih dan Air Limbah.
Pertanyaan saya:
1. Apakah saya bisa mendapatkan
majalahPercik?Jika bisa, mohon
dikirimkan ke alamat Jl. A.M.D 10
No. 36 RT 10/RW 01. Petukangan
Utara. Jakarta Selatan 12260.
2. Bagaimana saya bisa mendapat-
k a n m a j a l a h P e r c i k e d i s i
sebelumnya?
3. Saya mahasiswi tingkat akhir,
untuk menyelesaikan perkulihan
saya wajib membuat karya tulis
dan saya membuat karya tulis ten-
tang "Pengolahan Air Bersih".
Pertanyaan saya apakah saya dapat
melakukan konsultasi tentang
karya tulis saya kepada redaksi
Percik. Jika bisa, saya dapat
menghubungi ke bagian mana
untuk mendapatkan informasi ten-
tang "Pengolahan Air Bersih".
Okta
Jakarrta
Saudari Okta yang baik,
Cara memperoleh Percik terma-
suk edisi terdahulu dan dokumen lain-
nya silahkan lihat jawaban sebelum-
nya.
Anda juga dapat berkunjung ke
Perpustakaan Pokja AMPL Jl. R. P.
Soeroso No. 50 Menteng, Jakarta
Pusat, Telp. (021) 31904113
SUARA ANDA02PercikJuni 2009
MajalahPercik Pindah
Kantor
Redaksi MajalahPercik sejak 1 Juni
2009 resmi pindah kantor dari Jl.
Cianjur No. 4 Menteng, Jakarta ke kan-
tor baru Jl. R.P. Soeroso No. 50
Menteng, Jakarta. Demikian pemberi-
tahuan dari kami.
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
5/140
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
6/140
dekatan suplai (supply driven). Dalampendekatan tanggap kebutuhan,
masyarakat merupakan komponen
yang utama dalam proses perencanaan
pembangunan, karena masyarakat
harus menentukan sendiri keputusan-
keputusan yang diambil terkait dengan
pembangunan sarana air minum dan
penyehatan lingkungan. Pihak luar
masyarakat, termasuk pemerintah
merupakan pihak yang member-
dayakan, harus memberi peluang
kepada masyarakat untuk dapat
menyampaikan kebutuhannya melaluidampingan pemberdayaan.
Menetapkan Tujuan Pembangun-
an AMPL
Tujuan pembangunan AMPL dite-
tapkan secara bersama-sama dalam
serial lokakarya dan rapat kelompok
kerja. Pada awalnya tujuan selalu ter-
paku pada peningkatan cakupan
pelayanan, karena persoalan tingkat
pelayanan dipandang masih menjadi
tujuan besar yang harus dicapai.
Melalui diskusi-diskusi baik dalam
lokakarya maupun rapat kelompok
kerja, penetapan tujuan ini harus
dilakukan melalui tinjauan terhadap
isu dan persoalan pokok yang harus
diatasi. Persoalan yang selalu menge-
muka adalah keberlanjutan sarana dan
prasarana yang dibangun berbagai
proyek pemerintah, yang berakhir de-
ngan terbengkalainya sarana yang
dibangun. Persoalan inilah yang harus
dijawab lebih dulu, karena cakupan
merupakan fungsi linier dari keberlan-jutan itu sendiri. Dalam penjabaran-
nya, tujuan pembangunan AMPL diba-
gi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan umum meru-
pakan tujuan jangka panjang yang
diharapkan terjadi sebagai hasil dari
pembangunan AMPL, yaitu mencip-
takan kesejahteraan masyarakat
melalui pelayanan air minum dan
penyehatan lingkungan yang berkelan-
jutan. Tujuan khusus lebih kepada
tujuan langsung dari pembangunan
sarana air minum dan penyehatan
lingkungan, yaitu keberlanjutan dan
efektivitas penggunaan sarana AMPL
yang dibangun. Dengan demikian ma-
ka cakupan pelayanan merupakan
bagian yang padu di dalam keber-
lanjutan dan efektifitas penggunaan.
Karena unsur cakupan sudah
inheren di dalam keberlanjutan dan
efektivitas penggunaan, maka peneri-
maan para pihak terhadap usulan ini
menjadi solid. Tanpa keberlanjutan
sarana dan atau penggunaan yang
efektif dari sarana, maka cakupan juga
akan terpengaruh.
Secara konseptual pembangunan
AMPL yang berkelanjutan merupakan
sebuah sistem yang terdiri dari berba-
gai aspek yang satu dengan lainnya sa-
ling berkaitan dan saling mempenga-
ruhi. Kelima aspek keberlanjutan itu
adalah kelembagaan, teknologi, ke-uangan, sosial budaya, dan lingkung-
an.
Dikotomi Perkotaan dan Perde-
saan versus Berbasis Masyarakat
dan Berbasis Lembaga
WASPOLA dirancang untuk fokus
pada sektor AMPL di perdesaan.
Namun demikian, perbedaan perko-
taan dan perdesaan dalam konteks sek-
tor AMPL sangat tidak jelas. Perkotaan
dan perdesaan memiliki konotasi yang
kuat terhadap batasan administratif,
sedangkan sektor air minum dan
penyehatan lingkungan lebih bersifat
sistem, yang adakalanya menafikan
batasan administratif tersebut.
Menjadi tugas para pengambil
keputusan dan para pelaku pemba-
ngunan AMPL untuk melakukan
redefinisi tentang peristilahan terse-
but, yang perlu mempertimbangkan
aspek pengambilan keputusan dan
pengelolaan sarana. Pada satu sisi ada
masyarakat, baik individu maupun
kelompok, sedangkan pada sisi yang
lain ada lembaga, seperti PDAM,
perusahaan swasta, dinas, koperasi,
dan LSM. Tetapi diantara keduanya
ada wilayah abu-abu yang merupakan
kombinasi atau kerjasama dari
masyarakat dengan lembaga.
Pada awal perkembangannya,
muncul istilah pembangunan airminum dan penyehatan lingkungan
skala kecil dan menengah, sebagai
antitesa terhadap pendekatan perko-
taan dan perdesaan. Alasan di
belakang istilah ini adalah adanya area
pelayanan yang bisa di perkotaan dan
juga perdesaan, yang memiliki skala
berbeda dengan pengelolaan sarana
oleh institusi seperti PDAM, PDAL,
Dinas, dan lain-lain. Peristilahan ini
terus-menerus ditinjau guna menda-
patkan istilah yang lebih cocok, yang
LAPORAN UTAMA04PercikJuni 2009
Para fasilitator Waspola dan masyarakat berbaur bersama melakukan pelatihan terkait
AMPL. Foto: Dok. Waspola
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
7/140
akhirnya sampai pada peristilahanBerbasis Masyarakat dan Berbasis
Lembaga.
Pada dasarnya ciri yang membe-
dakan antara berbasis masyarakat dan
berbasis lembaga adalah pada pengam-
bilan keputusan. Pada berbasis
masyarakat, pengambil keputusan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
dan sistem operasi pemeliharaan bera-
da pada pihak masyarakat, sedangkan
pada berbasis lembaga sebagai
pengambil keputusan adalah pengelola
lembaga tersebut. Pembedaan pe-ngelolaan AMPL antara berbasis
masyarakat dengan berbasis lembaga
dirasa lebih cocok, karena tidak lagi
terkungkung dengan batasan adminis-
tratif. Pada kenyataannya, di perko-
taan masih dijumpai pengelolaan oleh
masyarakat, sedangkan di perdesaan
pengelolaan oleh kelompok yang telah
mapan dapat dikelompokkan sebagai
pengelolaan lembaga.
Membongkar Mitos
Mitos atau cerita yang dipercaya
tetapi tidak berdasarkan pada fakta,
juga terjadi pada sektor pembangunan
air minum dan penyehatan lingkungan
(AMPL). Mitos ini seringkali meng-
ganggu dalam penerapan pendekatan
pembangunan AMPL yang berorientasi
pada keberlanjutan. Dalam pemba-
ngunan AMPL berbasis masyarakat,
masyarakat memiliki posisi kunci
dalam seluruh proses pembangunan,
mulai tahap perencanaan, pelak-
sanaan, dan operasi serta pemeli-haraannya. Tetapi mitos yang berkem-
bang pada saat itu sangat bertentangan
dengan prinsip ini, misalnya:
Mitos 1: masyarakat miskin tidak
mau dan tidak mampu membayar
pelayanan air minum. Realita:
masyarakat miskin seringkali
membayar air minum lebih mahal
dari masyarakat yang mampu.
Mitos 2: masyarakat miskin
tidak mampu memecahkan atau
mengelola masalah teknis, mere-
ka tidak mengetahui apa yang ter-
baik bagi mereka. Realita: ma -
syarakat miskin memiliki kreati -
vitas, mereka mampu membentuk
sistem dan aturan mengelola
sumberdaya alam.
Mitos 3: jika masyarakat sudah
dilibatkan dalam membuat kepu-
tusan, maka kepentingan perem-
puan sebagai pengelola utama
penggunaan air minum rumah
tangga sudah terpenuhi. Realita:
karena faktor sosial budaya, seba-
gian besar kepentingan perem-
puan tidak terpenuhi, kecuali
perempuan secara khusus ditar-
getkan untuk dilibatkan dan ada
strategi yang disusun untuk mem-
berdayakan perempuan.
Mitos 4: lembaga teknis dan sek-
toral harus menjadi pelaksana
penyediaan sarana AMPL, karena
tugas utamanya adalah memba-
ngun sarana dan indikator keber-
LAPORAN UTAMA05PercikJuni 2009
WASPOLA adalah program berjangka
waktu 5 tahun (1998-2003). Fokus
utama diarahkan pada fasilitas
penyediaan air bersih dan penyehatan
lingkungan permukiman skala kecil dan
menengah yang dikelola oleh masyarakat
pengguna. Dalam pengembangan kebijakan,
WASPOLA melakukan pendekatan kemi-
traan, di bawah pimpinan Permerintah
Indonesia dengan bantuan dari AusAID dan
Bank Dunia, melalui program Water and
Sanitation Program for East Asia and Pacific
(WSP-EAP).
Tujuan WASPOLA
Tujuan akhir proyek WASPOLA adalah
identifikasi dan kajian ulang pelajaran-pela-
jaran yang didapat dari proyek-proyek air
bersih dan penyehatan lingkungan yang lalu,
baik di Indonesia maupun di negara-negara
lain, dan ujicoba pendekatan-pendekatan
baru dan fasilitasi kerangka kebijakan
nasional air bersih dan penyehatan ling-
kungan, yang memungkinkan masyarakat
kurang mampu di Indonesia dapat memper-
oleh pelayanan air bersih secara
berkesinambungan.
Sasaran Proyek
Meningkatkan kemampuan PemerintahIndonesia untuk mengembangkan dan
menerapkan kebijakan melalui pen-
dekatan tanggap kebutuhan dan pelak-
sanaan yang partisipatif.
Menguji pilihan-pilihan kebijakan yang
mendorong inisiatif pemenuhan kebu-
tuhan masyarakat miskin.
Memperkuat dan mengembangkan
kemampuan Indonesia untuk mengum-
pulkan dan menganalisa data sektor air
bersih dan penyehatan lingkungan dan
membuat data tersebut dapat diakses
sedemikian rupa sehingga dapat diman-
faatkan oleh konsumen, pemasok dan
penyusun kebijakan, mulai dari tingkat
yang paling tinggi sampai tingkat yang
paling rendah.
Komponen Proyek
a.Komponen Perubahan Kebijakan.
Komponen ini mencakup: (i) lokakarya
tingkat lokal, nasional dan regional
untuk mengkaji kebijakan-kebijakan
sektoral dan identifikasi isu yang
mungkin membutuhkan perubahan kebi-
jakan, (ii) studi kasus dan studi sektoral
untuk memperjelas gambaran tentang
masalah dan besaran perubahan yang
sesuai, (iii) strategi sektoral dan ren-
cana kegiatan yang didasarkan pada
kebijakan-kebijakan baru yang mungkin
timbul dalam proses pengkajian.
b. Komponen Peningkatan Pelayanan.
Proyek ini dirancang untuk memperbesar
manfaat yang dihasilkan oleh investasi
skala besar untuk perdesaan dan kota kecil
yang dirancang berdasarkan proses
penyusunan kebijakan yang dikembangkan
oleh WASPOLA. Komponen ini mencakup
ujicoba prinsip-prinsip baru terkait kebi-
jakan yang dikembangkan.
c. Komponen Proses Pembelajaran dan
Komunikasi.
Salah satu nilai utama untuk dapatmenerima pembiayaan hibah dari
WASPOLA adalah identifikasi pen-
dekatan yang paling efektif dan efisien
untuk dapat secara berkesinambungan
memenuhi kebutuhan akan air bersih
dan penyehatan lingkungan masyarakat
miskin di Indonesia, sehingga dapat
mempengaruhi kebijakan masa yang
akan datang dan pengambilan keputus-
an yang menyangkut investasi.
Komponen ini mencakup studi-studi
yang mendukung dan diseminasi pembe-
lajaran dalam bidang yang relevan.
WASPOLA (WASPOLA 1)
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
8/140
hasilannya adalah sarana yangterbangun. Realita: lembaga tek-
nis dapat mencapai keberhasilan
dengan memonitor dan mem-
berikan bantuan teknis kepada
pihak lain. Tugas utamanya
adalah membangun kemampuan
masyarakat dalam mengelola
sarana yang terbangun untuk
mencapai keberlanjutan.
Mitos 5: pengambilan keputusan
oleh masyarakat merupakan hal
yang penting, namun kendali atas
pelaksanaan program harus tetapberada pada manajer proyek.
Realita: hakikat proses partisi-
patif adalah memberi pilihan dan
kesempatan kepada masyarakat
untuk menyampaikan aspirasi.
Partisipasi masyarakat tidak bisa
dihidup-hidupkan oleh pihak
luar, proses partisipatif adalah
memberikan kendali pada
masyarakat.
Mitos 6: pendekatan partisipatif
memerlukan waktu lama.Realita:
ketika proyek dilaksanakan de-
ngan pendekatan tanggap kebu-
tuhan, masyarakat dapat bertin-
dak dan mengorganisir diri de-
ngan cepat.
Mitos 7: pendekatan partisipatif
sulit dilaksanakan dalam skala
besar karena membutuhkan
pemimpin yang karismatik, LSM,
dan orang berbakat. Realita: par-
tisipasi masyarakat dapat dire -
plikasi. Pemimpin karismatik
berperan dalam memulai proses.LSM sering berhasil dalam me -
nerapkan strategi pemberdayaan
masyarakat dan merupakan
mediator yang efektif. Kete -
rampilan teknis, kemampuan
mendesain dan melaksanakan
program secara partisipatif meru-
pakan proses bekerja sambil bela-
jar.
Mitos 8: partisipasi merupakan
proses yang tidak pasti sehingga
sulit ditentukan batasan dan ukur-
annya.Realita: konsep partisipasidapat dilaksanakan dan diukur
dengan mudah. Mengukur, mem-
onitor dan mengevaluasi partisi-
pasi masyarakat mempermudah
lembaga terkait dalam memper-
tanggungjawabkan upayanya
dalam peningkatan sumber daya
manusia.
Dari Air Bersih ke Air Minum
Ketika gagasan awal diluncurkan,
terminologi menjadi salah satu
bahasan yang menjadi pokok diskusikelompok kerja. Ketika didiskusikan
dalam bahasa Inggris, istilah water
supply dapat diterima dan difahami
oleh kelompok kerja, namun ketika
mulai masuk ke dalam peristilahan
bahasa Indonesia, perdebatan mulai
muncul. Istilah "air bersih" dan "air
minum" tidak begitu saja dipahami
dan diterima. Air minum lebih dipa-
hami sebagai air yang memiliki kuali-
tas tertentu sehingga dapat langsung
diminum, sedangkan air bersih dipa-
hami sebagai air dengan kualitas ter-
tentu yang memerlukan satu tahap
pengolahan lagi untuk dapat diminum.
Diskusi terminologi ini tidak
berhenti sampai disitu saja, karena
ternyata penggunaan istilah tersebut
memberikan konsekuensi kepadaaspek lain. Ketika istilah air minum
digunakan dalam kebijakan, kon-
sekuensinya seluruh penyedia layanan
air minum terikat dengan kualitas air
yang harus disediakannya. Hal ini akan
memberatkan. Pada awalnya disepa-
kati bahwa istilah air bersih lebih tepat
digunakan.
Baru pada diskusi naskah kebi-
jakan ketiga pada awal tahun 2003,
terminologi air minum ini diangkat lagi
ke permukaan. Pertimbangan uta-
manya adalah bahwa kebijakan iniharus menjadi daya dorong dalam
upaya perbaikan pelayanan air minum
dan penyehatan lingkungan di In -
donesia. Konsekuensi dari penerapan
istilah tersebut disadari sangat berat,
namun sebagai kebijakan, sebagai
dokumen acuan yang memiliki jang-
kauan rentang waktu yang panjang,
perlu menetapkan suatu acuan yang
ideal yang perlu dicapai oleh seluruh
pelaku pembangunan AMPL di Indo-
nesia.
Dinamika Perkembangan Kon-
sep Kebijakan
Dalam perjalanannya, WASPOLA
telah memfasilitasi Kelompok Kerja
AMPL Nasional dan telah berhasil
LAPORAN UTAMA06PercikJuni 2009
Proses penyusunan kebijakan pembangunan AMPL berbasis masyarakat meli-batkan beragam pemangku kepentingan. Foto: Dok. Waspola
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
9/140
menanamkan gagasan tentang perlu-
nya keberadaan suatu kebijakan yang
menjadi acuan dalam pembangunan
AMPL, khususnya yang berbasis pe-
ngelolaan masyarakat. Ketiadaan kebi-
jakan ikut andil dalam tidak efektifnya
pembangunan AMPL, terbukti dengan
rendahnya keberlanjutan sarana yang
dibangun oleh proyek pemerintah.
Pengulangan-pengulangan kegagalan
yang sama dalam hal tidak
berfungsinya sarana menjadi daya
dorong dalam penyusunan kebijakan
AMPL, khususnya yang berbasis pe-
ngelolaan masyarakat.
Pada awalnya, Kelompok Kerja
AMPL Nasional bersepakat dengan
sebuah judul Kebijakan Pembangunan
Air Bersih dan Sanitasi Skala Kecil dan
Menengah di Indonesia: Dari, Oleh,
dan Untuk Masyarakat. Naskah perta-
ma kebijakan ini dilahirkan pada April
2000, terdiri atas 5 bab: Pendahuluan,
Pengalaman Masa Lalu, Pelajaran Apa
yang dapat Kita Petik, KebijakanDasar, dan Strategi Pelaksanaan.
Pada Agustus 2001, diterbitkan
naskah kedua, dengan judul sama:
Kebijakan Pembangunan Air Bersih
dan Sanitasi Skala Kecil dan Menengah
di Indonesia: Dari, Oleh, dan Untuk
Masyarakat. Naskah kedua ini terdiri
dari tiga bab: Pendahuluan, Kebijakan
Dasar Program, dan Strategi
Pelaksanaan.
Pada April 2002, diterbitkan
naskah ketiga dengan judul berubah
menjadi: Kebijakan Nasional Pem-
bangunan Prasarana dan Sarana Air
Bersih dan Penyehatan Lingkungan
Berbasis Pengelolaan Masyarakat.
Naskah ketiga ini memuat tiga bab:
Pendahuluan, Kebijakan Pembangun-
an terdiri dari 11 kebijakan, dan
Strategi Pelaksanaan terdiri dari 17
strategi. Naskah ini ditandatangani
oleh Deputi Bidang Sarana dan
Prasarana Bappenas.
Pada Juni 2003, diterbitkan
naskah keempat dengan judul berubah
menjadi: Kebijakan Nasional Pemba-
ngunan Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan Berbasis Masyarakat.
Naskah keempat atau final ini memuat
empat bab: Pendahuluan, Kebijakan
Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis
Masyarakat yang terdiri dari 11 kebi-
jakan umum, dan Strategi Pelaksanaan
yang terdiri dari 16 strategi. Naskah ini
ditandatangani oleh enam pejabat
eselon 1 yaitu: Deputi MenteriNegara/Kepala Bappenas Bidang
Sarana dan Prasarana, Direktur
Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan, Direktur
Jenderal Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah, Direktur
Jenderal Bina Pembangunan Daerah
Departemen dalam Negeri, Direktur
Jenderal Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa Departemen Dalam Negeri,
Direktur Jenderal PerimbanganKeuangan Pusat dan Daerah De-
partemen Keuangan.
Kebijakan yang Disepakati
Dokumen kebijakan terakhir yang
disepakati berjudul: Kebijakan Na-
sional Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis
Masyarakat. Kebijakan ini terdiri dari
tujuan umum, dua butir tujuan khusus,
11 butir kebijakan umum dan 16 butir
strategi pelaksanaan.
Dari Berbasis Masyarakat ke Ber -
basis Lembaga
Keberhasilan Kelompok Kerja
AMPL Nasional dalam menyusun Ke-
bijakan Nasional AMPL Berbasis
Masyarakat telah memberi semangat
untuk melangkah lebih jauh, yaitu
melengkapinya dengan Kebijakan
Nasional AMPL Berbasis Lembaga.
Gagasan ini mulai dilontarkan oleh
Ketua Pokja AMPL pada waktu itu,
yaitu Ir Basah Hernowo. Pada tahun
2004 awal, gagasan ini mulai bergulir
terutama dengan dukungan yang kuat
dari anggota Pokja AMPL Nasional
dari Departemen Pekerjaan Umum.
Cita-cita ideal waktu itu adalah menyi-
apkan dokumen kebijakan berbasis
lembaga, yang kemudian disandingkan
dengan kebijakan berbasis masyarakat,
yang kemudian dipayungi oleh kebi-
jakan menyeluruh tentang AMPL.
Berbeda dengan kebijakan berbasis
masyarakat, kebijakan berbasis lemba-
ga memiliki tantangan yang lebih kom-pleks, mengingat telah banyaknya
diluncurkan beberapa produk pera-
turan sektoral mengenai sektor air mi-
num.
Pengalaman keberhasilan dalam
penyusunan kebijakan AMPL berbasis
masyarakat tidak terjadi pada pengem-
bangan kebijakan berbasis lembaga.
Pada wilayah berbasis masyarakat
memang saat itu terjadi kekosongan
atau ketiadaan kebijakan, sehingga
semua pelaku dengan aklamasi men-
LAPORAN UTAMA07PercikJuni 2009
Dalam pelatihan AMPL perlu menyelipkan permainan-permainan untuk mengurangi kebosanan
peserta. Foto: Dok. Waspola
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
10/140
dukung proses penyusunan kebijakanini. Pada wilayah berbasis lembaga, hal
tersebut tidak sama, sehingga sulit
menyamakan persepsi dalam men-
dudukkan kebijakan ini dalam konste-
lasi produk-produk sejenis.
Sesungguhnya, pemahaman dasar
kedua wilayah kebijakan sudah diper-
oleh, bahwa baik pada berbasis
masyarakat maupun berbasis lembaga
diperlukan upaya-upaya perbaikan.
Perlu dilakukan pelibatan banyak
pihak dalam memperbaiki kinerja
pembangunan AMPL bagi keduanya.Dan kalau belajar dari kebijakan
berbasis masyarakat , sesungguhnya
hal yang penting adalah bukan doku-
men kebijakannya, tetapi proses inter-
aksi para pelaku dalam pengembangan
kebijakannya. Di situ para pelaku
dapat saling belajar untuk memper-
baiki kekurangan dalam penyeleng-
garaan pembangunan AMPL di
Indonesia.
Dengan upaya yang keras dari
Pokja AMPL Nasional, draf pertama
Kebijakan AMPL Berbasis Lembaga
dapat tersusun pada Maret 2003. Pada
Mei 2003 dilakukan revisi pada konsep
pertama, pada Juni 2003 konsep per-
tama direvisi untuk kedua kali. Konsep
kedua tersusun pada November 2004.
Konsep ketiga pada Desember 2004.
Konsep ketiga revisi pertama pada
Desember 2004 dan revisi kedua pada
April 2005. Konsep terakhir dari
Kebijakan Pembangunan AMPL
Berbasis Lembaga, telah dikonsul-
tasikan kepada pejabat eselon 1 diKementerian Lingkungan Hidup,
Ditjen PMD Depdagri, dan Ditjen Bina
Bangda Depdagri.
Dengan makin intensifnya kegiatan
implementasi Kebijakan Nasional
AMPL Berbasis Masyarakat di daerah,
perhatian Pokja AMPL Nasional ter-
hadap kebijakan berbasis lembaga
menjadi kurang. Dan sampai saat ini
belum ada rencana untuk melanjutkan
kegiatan perbaikan atau upaya-upaya
lanjutannya.
Adopsi dan Implementasi Kebi-jakan AMPL
Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999
yang disempurnakan dengan UU No.
32 tahun 2004, pembangunan
pelayanan dasar termasuk di dalamnya
sektor air minum dan penyehatan
lingkungan merupakan kewajiban
daerah, baik provinsi maupun kabu-
paten. Sedangkan kewajiban pemerin-
tah pusat dibatasi hanya pada aspek
pembinaan, pengawasan, dan bantuan
teknis saja.
Hal tersebut sudah diantisipasioleh pemerintah pusat (kelompok
kerja lintas departemen) dengan
berusaha meningkatkan kapasitas
daerah dalam pengelolaan air minum
dan penyehatan lingkungan, khusus-
nya yang dikelola berbasis masyarakat.
Upaya ini dijabarkan dalam bentuk
fasilitasi kebijakan kepada daerah
secara bertahap. Asumsinya adalah
apabila daerah telah memahami kebi-
jakan, kemudian mengadopsinya,
diharapkan dapat memiliki kemam-
puan dalam pengelolaan sektor AMPL
sesuai dengan tujuan kebijakan itu
sendiri, yaitu yang menekankan pada
aspek keberlanjutan baik teknis, pem-
biayaan, sosial, institusi, dan ling-
kungan.
Dalam perkembangannya, proses
adopsi dan implementasi kebijakan
berjalan secara evolutif, sejalan dengan
teori Gunn yang menyatakan bahwa;
implementation as an evolutionary
process. Juga sejalan dengan Bardach
(1977) yang menyatakan bahwa; imple-mentation as a political game: imple-
mentation is a game of "bargaining,
persuasion, and maneuvering under
conditions of uncertainty.
Ketika mulai diujicobakan, pada
saat itu sedang bersamaan dengan
proses pelaksanaan UU No. 22 tahun
1999, di mana peranan kabupa -
ten/kota sangat dominan, sedangkan
peranan provinsi tidak begitu jelas
didefinisikan. Uji coba kebijakan, oleh
karena itu langsung ke kabupaten;
yaitu Kabupaten Solok, KabupatenMusi Banyuasin, Kabupaten Subang
dan Kabupaten Sumba Timur.
Pada putaran berikutnya di tahun
2004, ketika UU No. 32 tahun 2004
sebagai revisi UU No. 22 tahun 1999
diberlakukan, implementasi kebijakan
mulai melibatkan provinsi, tetapi fokus
masih di tingkat kabupaten. Kabu-
paten yang difasilitasi meliputi Kabu-
paten Sawahlunto Sijunjung, Bangka
Selatan, Lebak, Kebumen, Lombok
Barat, Pangkep, dan Gorontalo.
Pada tahun 2005, ketika perananprovinsi sudah lebih jelas, peranan
provinsi ditingkatkan untuk men-
dampingi kabupaten. Provinsi yang
didampingi adalah wilayah kerja
sebelumnya, yaitu provinsi-provinsi
Sumatera Barat, Bangka Belitung,
Banten, Jawa Tengah, NTB, Sulawesi
Selatan, dan Gorontalo yang masing-
masing provinsi mendampingi 3 kabu-
paten di wilayahnya.
Sampai dengan tahun 2009, telah
dilakukan fasilitasi adopsi dan imple-
mentasi Kebijakan AMPL Berbasis
Masyarakat di 9 provinsi dan 70 kabu-
paten/kota, yang langsung dilakukan
Pokja AMPL Nasional melalui WAS-
POLA. Sedangkan melalui proyek lain,
telah mencakup 4 provinsi melalui
CWSHP-ADB, 3 provinsi baru melalui
WES-UNICEF.
Leadership dalam Perubahan
Kebijakan
Perubahan kebijakan atau refor-
masi kebijakan memerlukan pe-ngawalan, yaitu individu yang memili-
ki komitmen penuh untuk melakukan
perubahan. Persyaratan tersebut
diperlukan karena reformasi kebijakan
adalah proses yang penuh tantangan,
terutama dalam merubah cara pan-
dang dan cara pikir yang telah diyakini
sebagai kebenaran. Dalam perkem-
bangannya, upaya reformasi kebijakan
pembangunan AMPL di Indonesia
mengalami banyak tantangan, teruta-
ma dari pelaku kuncinya sendiri.
LAPORAN UTAMA08PercikJuni 2009
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
11/140
Hanya dengan upaya yang keras dan
sungguh-sungguh saja, kalau sekarang
telah tersusun Kebijakan Nasional
AMPL Berbasis Masyarakat.
Pada awalnya, kelompok kerja
WASPOLA - yang kemudian lebih tepat
disebut Pokja AMPL - merupakan
sekelompok individu yang berasal dari
berbagai departemen yang dipimpin
oleh Bappenas. Mereka terikat secara
historis karena terlibat dalam pemba-
ngunan air bersih -istilah ini kemudian
menjadi air minum- khususnya Proyek
Inpres. Pada tahap awal, figur yang
menonjol dan aktif dalam kelompok
kerja adalah Medrilzam, seorang staf
Bappenas yang ditugaskan menjadi
koordinator kegiatan-kegiatan WAS-
POLA.
Kegiatan yang dilakukan adalah
rapat-rapat, lokakarya, dan pelatihan
bagi anggota kelompok kerja, baik
dilakukan di dalam negeri maupun
luar negeri. Medrilzam -saat itu stafBiro Perkotaan dan Perdesaan- telah
berhasil menanamkan fondasi refor-
masi kebijakan sektor air minum (saat
itu air bersih) dan penyehatan ling-
kungan. Sampai dengan tahun 2002,
WASPOLA dan kelompok kerja yang
didukung WSP-EAP berhasil melaku-
kan berbagai ujicoba dan melakukan
studi-studi lapangan untuk mem-
perkaya khasanah kebijakan yang se-
dang dikembangkan. Sejalan dengan
itu, secara pelan terus membangun
pola pikir dan cara pandang baru ter-
hadap pembangunan air minum dan
penyehatan lingkungan yang berbasis
masyarakat.
Ketika Medrilzam mengakhiri
tugasnya di Biro Permukiman Perko-
taan Bappenas, Basah Hernowo seba-
gai atasannya yang selama itu men-
dukung Medrilzam, turun tangan lang-
sung menangani kegiatan terkait de-
ngan kegiatan pengembangan kebi-
jakan. Di tangan Basah Hernowo -saat
itu sebagai Kabag Permukiman pada
Biro Permukiman dan Perkotaan, sam-
pai akhirnya menjabat Direktur Per-
mukiman dan Perumahan Bappenas-
kegiatan dilanjutkan. Pada periode
Basah Hernowo-lah kebijakan disele-
saikan, dengan langsung melakukan
pengeditan akhir secara internal di
Bappenas.
Pada awal tahun 2004, pena-
nganan kegiatan WASPOLA dan
kelompok kerjanya diserahkan kepadaOswar Mungkasa yang telah aktif sejak
tahun 2003. Oswar Mungkasa adalah
staf Direktorat Permukiman dan
Perumahan Bappenas dengan posisi
terakhir sebagai Kasubdit Drainase
dan Persampahan. Pada periode ini,
dilakukan perubahan besar. Kelompok
kerja yang tadinya dikenal sebagai
kelompok kerja WASPOLA lebih
didudukkan sebagaimana mestinya,
sebagai Kelompok Kerja AMPL.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
selanjutnya sepenuhnya berada dalamkendali Pokja AMPL. Kegiatan
WASPOLA lebih intensif melakukan
pendampingan daerah dalam rangka
meningkatkan kapasitas pemerintah
daerah dalam pengelolaan pemba -
ngunan AMPL berbasis masyarakat.
Diseminasi kebijakan giat dilakukan,
pelatihan-pelatihan dilakukan baik
secara nasional maupun regional. Pada
kurun ini, lahir majalah Percik yang
terbit tiga bulanan dengan fokus
mewartakan informasi bagi para
pelaku AMPL di Indonesia.Periode ini merupakan periode
ekstensifikasi Pokja AMPL, melalui
media yang dimilikinya berusaha men-
jangkau semua stakeholder pemba -
ngunan AMPL. Patut dicatat sebagai
capaian penting, selain hasil tersebut
di atas adalah newsletter AMPL,
Percik Yunior, publikasi elektronik
berupa CD/DVD, dan terbentuknya
Jejaring AMPL. Jejaring ini meru-
pakan sebuah wadah bagi para pelaku
yang peduli AMPL di Indonesia, terdiri
dari lembaga dan individu, yang sepa-
kat untuk bahu-membahu bersinergi
dalam mengusung keberlanjutan pem-
bangunan AMPL di Indonesia.
Ketiga orang di atas merupakan
figur kunci dalam proses reformasi
pembangunan AMPL khususnya yang
berbasis masyarakat. Tetapi hasil yang
dicapai bukan semata-mata jerih
payah mereka, karena anggota kelom-
pok kerja lain yang berasal dari
departemen terkait juga sangat berpe-
ran. Beberapa nama perlu dicatat disi-ni, dari Departemen Pekerjaan Umum,
antara lain Handi B. Legowo, Bambang
Purwanto, Joko Mursito, Andreas
Suhono, Purnama, Endang Setia-
ningrum, Essy Assiah, Savitri Rus-
dyanti, Rina Agustin, Nina Indrasari,
Muria Istamtiah, Tamin MZ Amin, dan
Susmono. Dari Departemen Kesehatan
antara lain Abdullah Munthalib,
Hening Darpito, Hartoyo, Suprapto,
Sutjipto, Djoko Wartono, Ismail Malik,
Zainal Nampira, Upi Pimanih, Atje
LAPORAN UTAMA09PercikJuni 2009
Waspola memancing kepekaan berpikir para peserta pelatihan AMPL.Foto: Dok. Waspola
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
12/140
Hayati, dan Wan Alkadri. DariDepartemen Dalam Negeri antara lain
Djohan Susmono, Ivan Rangkuti, Pipip
Rip'ah, Rewang Budiyana, Veronica
Dwi Utari, Frida Ariyanti, Togap
Siagian, Rheidha Pambudhi, Helda
Nusi, dan Indar Parawansa. Dari KLH
diantaranya Wiryono, Chairudin,
Ratna Kartikasari. Dari Bappenas
dicatat antara lain Sujana Rohyat,
Arum Atmawikarta, Utin Kiswanti,
Pungkas AB, Virgiyanti, Salusra
Widya, Maraita Listyasari, dan
Nugroho Tri Utomo.Orang-orang tersebut di atas meru-
pakan pengawal kegiatan reformasi
kebijakan. Mereka adalah orang-orang
yang ditugaskan untuk meluangkan
waktu, tenaga, dan sumber dayanya
untuk mengawal kegiatan-kegiatan
yang berkaitan dengan proses refor-
masi kebijakan pembangunan AMPL
di Indonesia.
Dukungan orang-orang kunci pada
tahap awal merupakan kunci keber-
hasilan adopsi kebijakan pada tingkat
nasional. Melalui proses konsultasi,
para anggota kelompok kerja mem-
berikan masukan kepada Komite
Pengarah Pusat (CPC=Central Project
Committe) terdiri dari Direktur
Jenderal Cipta Karya Departemen
Pekerjaan Umum, Departemen Dalam
Negeri terdiri dari Direktorat Jenderal
Pembangunan Daerah dan Direktorat
Jenderal Pengembangan Masyarakat
dan Desa, Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan DepartemenKesehatan, Departemen Keuangan,
dan Kementrian Lingkungan Hidup,
yang dipimpin oleh Deputi Sarana dan
Prasarana Bappenas.
Komite pengarah tersebut memberi
arahan dalam rapat yang diseleng-
garakan tiap semester kepada kelom-
pok kerja antar departemen yang ter-
diri dari pejabat eselon 2 ke bawah.
Kelompok kerja yang dipimpin oleh
Direktur Permukiman dan Perumahan
Bappenas inilah yang sehari-hari terli-
bat secara aktif dalam berbagai
kegiatan yang dilakukan dengan
difasilitasi oleh satu sekretariat proyek
yang dinamai WASPOLA.
Ekstensifikasi Pokja dalam
Implementasi Kebijakan AMPL
Ketika proyek WASPOLA mulai
digulirkan, kegiatan yang dilakukan
terbatas pada hal-hal yang sifatnyaintroduksi pada pentingnya reformasi
kebijakan. Beberapa aktifitas
dilakukan dengan frekuensi yang tidak
tinggi. Rapat kelompok kerja, seminar,
lokakarya dilakukan dengan jadwal
yang relatif jarang.
Inisiatif kegiatan lebih cenderung
dilakukan oleh WSP-EAP melalui
sekretariat WASPOLA. Baru pada
tahun 2003 menjelang peralihan ke
WASPOLA 2, kegiatan lebih intensif
dilakukan, khususnya dalam kegiatan
peningkatan kapasitas Pokja AMPL
Daerah. Seiring dengan itu, eksistensi
Pokja AMPL Nasional semakin ber-
kibar, dan sekretariat WASPOLA lebih
memposisikan diri sebagai pendukung
dari kegiatan Pokja.
Setelah sukses dengan ujicoba di
empat kabupaten di 4 provinsi pada
tahun 2002/2003, implementasi kebi-
jakan dikembangkan ke 7 provinsi di 7kabupaten/kota pada tahun 2004,
kemudian dikembangkan lagi menjadi
9 provinsi di 49 kabupaten/kota pada
tahun 2006. Tahun 2005 tidak ada
penambahan provinsi, namun kabu-
paten/kota bertambah menjadi 24.
Tidak berhenti disini, daerah lain pun
disasar melalui kemitraan dengan
proyek AMPL yang sedang maupun
akan berjalan, misalnya WSLIC-2,
ProAir, CWSHP, WES UNICEF, dan
PAMSIMAS.
LAPORAN UTAMA10PercikJuni 2009
WASPOLA 2 merupakan kelanjutan dari
Proyek WASPOLA--yang kemudian
disebut WASPOLA 1-yang telah
berhasil dilaksanakan pada kurun waktu 1998-
2003. WASPOLA 1 fokus pada dukungan teknis
dalam penyusunan kebijakan untuk mengantisi-
pasi masalah rendahnya akses dan tingkat
pelayanan, yang menyebabkan buruknya kondisi
kesehatan lingkungan, terutama untuk
masyarakat miskin di Indonesia. WASPOLA 1
fokus pada pengelolaan air minum dan penye-
hatan lingkungan (AMPL) berbasis masyarakat
inovasi pendekatan dan metodologi penerapan
pendekatan tanggap kebutuhan dan partisipatif.
Durasi proyek WASPOLA 2 mulai 2004 sampai
2009.
Tujuan Umum
Untuk meningkatkan akses masyarakat
Indonesia, terutama masyarakat miskin ter-
hadap pelayanan air minum dan penyehatan
lingkungan yang layak.
Tujuan Khusus
Untuk meningkatkan kapasitas pemerintah
Indonesia dalam melaksanakan kebijakan dan
meneruskan proses reformasi kebijakan sektor
AMPL, dan mendorong penerapan pendekatan
tanggap kebutuhan dan partisipasi.
Komponen Kegiatan
Penerapan Kebijakan
Penerapan kebijakan meliputi kegiatan
dalam operasionalisasi kebijakan yang telah
dikembangkan pada WASPOLA 1. Kebijakan
Nasional AMPL Berbasis Masyarakat perlu
diadopsi dan diimplementasikan oleh para pe-
ngelola pembangunan AMPL.
Reformasi Kebijakan
Komponen ini merupakan jawaban ter-
hadap kebutuhan yang lebih luas dan proses per-
baikan yang menerus, sebagai tanggapan ter-
hadap pengalaman periode sebelumnya dan
perubahan dalam berbagai aspek. Fokus kompo-
nen ini adalah perbaikan aspek penyehatan
lingkungan, baik pada kebijakan berbasis
masyarakat maupun berbasis lembaga, serta
kebijakan air minum berbasis lembaga.
Manajemen Pengetahuan
Komponen ini menjawab kebutuhan dalam
hal mendapatkan dan menyebarkan informasi
untuk memfasilitasi perencanaan dan peman-
tauan sektor AMPL, serta untuk mendukung
pengembangan kapasitas yang berkelanjutan.
Kegiatan yang tercakup dalam komponen ini
antara lain keterkaitan dengan stakeholder lain
termasuk proyek lain, donor, LSM, swasta, dan
perguruan tinggi yang berpotensi dalam per-
tukaran pembelajaran. Studi, penerapan pen-dekatan yang inovatif, dan pelatihan-pelatihan
terkait juga tercakup dalam komponen ini.
WASPOLA 2
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
13/140
LAPORAN UTAMA1 1PercikJuni 2009
Ada kesepakatan pada tingkatpengambil keputusan nasional, bahwa
daerah harus memiliki kemampuan
dalam pengelolaan AMPL, khususnya
yang berbasis masyarakat , karena
diyakini akan meningkatkan kinerja
pembangunan, khususnya keberlan-
jutan sarana yang dibangun. Sampai
saat ini, daerah-daerah baik mitra
langsung maupun melalui proyek lain,
telah diperkenalkan kepada substansi
Kebijakan Nasional AMPL Berbasis
Masyarakat.
Sebagian besar telah mengikutipelatihan-pelatihan dalam materi-
materi yang dibutuhkan untuk menjadi
pengelola AMPL berbasis masyarakat.
Pelatihan-pelatihan yang telah
diberikan, diantaranya pembentukan
kelompok kerja, metodologi partisi-
patif, dasar fasilitasi, teknik
penyusunan rencana strategis, komu-
nikasi dan CLTS. Hasil dari pelatihan
tersebut adalah terbentuknya Pokja
AMPL Daerah, tersusunnya rencana
strategis AMPL daerah dan berlang-
sungnya fasilitasi kebijakan pada
tingkat daerah.
Sejalan dengan upaya perluasan
wilayah dampingan, di tingkat pusat
pun kegiatan Pokja AMPL Nasional
semakin luas. Kegiatan pengembangan
Jejaring AMPL adalah salah satu
kegiatan yang mendapat sambutan
luas dari stakeholderAMPL nasional.
Dalam konteks ini, WASPOLA menem-
patkan diri sebagai bagian dari jejaring
ini, sekaligus menjadi back up bagi
Pokja AMPL nasional dalam melaku-kan kegiatannya.
Jalan Masih Panjang
Luas wilayah menjadi tantangan
Mengingat jumlah kabupaten dan
provinsi di Indonesia yang demikian
besar, sekitar 500 kabupaten/kota dan
33 provinsi, maka yang dilakukan oleh
kelompok kerja dan sekretariat
WASPOLA baru mencapai 11 persen
kabupaten dan 20% provinsi.
Diperlukan upaya-upaya terobosan
yang dapat meningkatkan akselerasiadopsi dan implementasi kebijakan,
supaya pencapaian daerah dapat
menyeluruh di Indonesia. Walaupun
secara nasional seluruh stakeholder
telah mengadopsi dan mengimplemen-
tasikan kebijakan, ini karena mereka
terlibat langsung dalam proses pe-
nyusunan, tetapi pada tingkat daerah
hal tersebut memerlukan pengujian.
Secara teori, apabila logika kebi-
jakan dapat diterima oleh sebagian
besar daerah, baik daerah yang sudah
mengenal kebijakan cukup lamamaupun daerah yang baru, maka pe-
luang penerapan kebijakan secara luas
cukup tinggi.
Permasalahan kritis berikutnya
adalah masalah efisiensi fasilitasi kebi-
jakan dalam rangka meningkatkan
keberhasilan adopsi dan implementasi
kebijakan. Apakah model fasilitasi
yang selama ini berlangsung dapat
diteruskan setelah proyek WASPOLA
berakhir? Apakah sumber daya yang
ada dapat mendukung kegiatan seru-
pa? Atau perlu dicari model lain yang
lebih efisien dari segi biaya tanpa me-
ngurangi kualitas hasil yang diperoleh?
Persoalan klasik: dana tidak pernah
mencukupi.
Pemerintah juga memiliki komit-
men untuk mencapai target milenium
(MDGs) yang harus dipenuhi pada
tahun 2015, yaitu melayani separuh
penduduk yang belum memiliki akses
terhadap air minum dan sanitasi.
Berdasarkan national action plan
bidang air minum dan sanitasiDepartemen Pekerjaan Umum 2004,
untuk sub sektor air minum diperlukan
peningkatan pelayanan sampai dengan
88% dari 74% pada tahun 2015.
Sedangkan untuk sub sektor sani-
tasi (air limbah) harus mencapai 75%
dari 54% pada tahun 2015. Adapun
perkiraan dana yang diperlukan untuk
memenuhi target tersebut adalah Rp
42 triliun untuk air minum dan sekitar
Rp 43 triliun untuk sanitasi. Artinya
diperlukan dana investasi sekitar Rp
8,5 triliun pertahunnya sampai dengantahun 2015.
Kesenjangan pendanaan ini dapat
dipenuhi melalui berbagai skema pen-
danaan, seperti pinjaman luar negeri,
investasi swasta, dan penggalian
potensi masyarakat. Banyak program
telah dirancang oleh pemerintah, baik
melalui dana sektoral maupun pin -
jaman. Namun demikian, investasi
baru ini perlu optimalisasi dengan
lebih memperhatikan aspek keberlan-
jutan sarana yang dibangun. Tanpa itu,
investasi baru tidak akan memberikankontribusi terhadap peningkatan akses
yang berkelanjutan karena investasi
yang lama sudah rusak atau tidak
dipergunakan.
Perhatian terhadap sektor masih
perlu dipacu
Besaran belanja pemerintah untuk
sektor AMPL merupakan bagian dari
komponen perumahan dan fasilitas
umum sebesar Rp 2,3 triliun. Ini meru-
pakan proporsi yang sangat kecil dari
belanja pemerintah pusat, yaitu 0,3%
dari Rp 266 triliun. Bila dibandingkan
dengan sektor jalan sebesar Rp 10,8
triliun, maka sektor air minum dan air
limbah sangat kecil dalam jumlah yang
menunjukkan juga kecilnya prioritas
sektor ini.
Rendahnya prioritas pembangunan
AMPL ini bukan saja pada tingkat
pemerintah pusat, tetapi juga pada
tingkat pemerintah daerah.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh
proyek WASPOLA tahun 2005, tentang
Pembangunan Air Minum danPenyehatan Lingkungan Pasca
Desentralisasi yang dilakukan di 10
kabupaten (Musi Banyuasin, Solok,
Subang, Sumba Timur, Lamongan,
Bandung, Takalar, Kuningan,
Lumajang, dan Sikka), alokasi dana
sektor air minum dan sanitasi di sepu-
luh daerah studi sepanjang tahun
2003-2005 berkisar antara 0.01% sam-
pai 1.37% dari total belanja APBD.
Data tersebut diperkuat dengan
temuan studi review pembiayaan sek-
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
14/140
LAPORAN UTAMA12PercikJuni 2009
tor AMPL di daerah WASPOLA yangdilakukan oleh WSP-EAP World Bank,
yang menyimpulkan bahwa anggaran
pemerintah untuk sektor AMPL ren-
dah sekali, seperti ditampilkan padatabel di bawah ini. Michel Camdesus
dalam catatannya pada World Panel on
Financing Water Infrastructure (2003)
melihat bahwa penempatan prioritasyang rendah oleh pemerintah terhadap
pendanaan sektor air minum dan sani-
tasi merupakan isu yang utama. Di
samping itu, sektor AMPL masih
menghadapi isu internal yang masih
belum terselesaikan, seperti kebi-
ngungan masalah sosial, lingkungan,
komersial, masalah politis, kelemahan
manajemen dan ketidakjelasan tujuan
pengelolaan, ketidakcukupan kerangka
kebijakan, kurangnya transparansi,
ketiadaan badan regulasi, dan resisten-
si terhadap prinsip cost recovery. *National Project Coordinator
Lokakarya Sinergi Rencana PelaksanaanProgram Waspola Facility(Waspofa) dan Serah
Terima Waspola 2
Program Water Supply andSanitation Formulation and
Action Planning (Waspola) 2
berakhir Juni 2009. Program yang
diinisiasi Pemerintah Indonesia,
didanai AusAID dan difasilitasi WSP
Bank Dunia telah berlangsung sejak
1998 dengan fokus penyusunan
Kebijakan Nasional Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis
Masyarakat.
Kegiatan ini berakhir pada tahun
2003 dan disebut sebagai Waspola 1.
Kemudian dilanjutkan dengan Waspola2 hingga tahun 2009 dengan fokus pada
implementasi kebijakan dan pe-
ningkatan kapasitas.
Waspola merupakan kerja terpadu
yang melibatkan Departemen
Pekerjaan Umum, Departemen
Kesehatan, Departemen dalam Negeri,
Kemeterian Lingkungan Hidup,
Departemen Keuangan dibawah koor-
dinasi Bappenas. Keterpaduan
diwadahi melalui Kelompok Kerja AirMinum dan Penyehatan Lingkungan
(Pokja AMPL) yang kemudian dengan
fasilitasi Waspola diaplikasi di kabu-
paten/kota dan provinsi.
Sampai saat ini telah terbentuk 63
Pokja AMPL kabupaten/kota dan 13
Pokja AMPL provinsi. Untuk itulah,
berbagai pihak mempunyai harapanbesar program Waspola setelah
berakhirnya Waspola 2 terus berlanjut
untuk melanjutkan daerah-daerah
yang belum mendapatkan akses air
minum dan sanitasi secara baik.
Menandai keberlanjutan program
Waspola, pada Kamis, 25 Juni 2009
Perwakilan Waspola menyerahkan tanda mata kepada pejabat dari Departemen terkait.
Foto: Stela Vendredi
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
15/140
LAPORAN UTAMA13PercikJuni 2009
diselenggarakan Lokakarya Sinergi
Rencana Pelaksanaan Program
WaspolaFacility (Waspofa) dan Serah
Terima Waspola 2, di Jakarta.
Lokakarya diselenggarakan sebagai
upaya mendapatkan masukan bagi
penyusunan desain Waspofa atau
Waspola 3 yang merupakan kelanjutan
Waspola 2. Lokakarya kemudian dilan-
jutkan dengan penyerahan simbolis
hasil Waspola 2 kepada pemerintah
Indonesia yang diwakili Deputi Sarana
dan Prasarana Bappenas Dedy Supriadi
Priatna.
Lokakarya sehari tersebut dihadiri
wakil dari Bappenas, Departemen
Keuangan, Departemen Pekerjaan
Umum, Departemen Kesehatan,
Departemen Dalam Negeri dan difasili-tasi sekretariat Waspola.
Lokakarya menyepakati beberapa
hal tetapi yang terpenting adalah pe-
ngelolaan Waspofa dilaksanakan
melalui mekanisme on budget, tetapi
dengan dua tipe pelaksanaan yaitu
Bank Dunia sebagai pelaksana dan
pemerintah sebagai pelaksana.
Seperti halnya pada pelaksanaan
program Waspola sebelumnya, pelak-
sanaan Waspofa diperlukan komite
pengarah (steering committee) yang
terdiri dari tiga pihak yaitu Pemerintah,
AusAID, dan Bank Dunia. Sementara
kegiatan persiapan yang akan
dilakukan adalah penyelesaian persetu-
juan antara Pemerintah dengan
AusAID, penyelesaian persetujuan
hibah antara Bank Dunia dengan
Pemerintah Indonesia, dan kesepa-
katan mekanisme penganggaran.
Deputi Sarana dan Prasarana
Bappenas Dedy Supriadi Priatna dalam
sambutannya mengatakan Waspola
adalah suatu program yang bagus dan
penting untuk dilanjutkan pada
Waspola 4 dan seterusnya. Ke depan
harus lebih ditingkatkan koordinasi
dan sinkronisasi antardepartemen,
tuturnya.
WaspolaFacility
Hasil lokakarya adalah berupa
kelanjutan Waspola 2 dengan nama
Waspola 3 atau Waspofa. Besaran dana
dari AusAID sebesar 10 juta dolar
Australia dan pengelolaan Waspofa
dilakukan melalui dua mekanisme
Bank Dunia dan Bappenas.
Pada kesempatan serah terima
Waspola 2, Direktur Perumahan dan
Permukiman Bappenas Budi Hidayatmemaparkan bagaimana program
Waspola Facility sebagai kelanjutan
Waspola 2. Waspofa, paparnya, mem-
punyai tujuan umum adalah
meningkatkan akses masyarakat
Indonesia khususnya masyarakat
miskin terhadap layanan AMPL yang
cukup berkelanjutan.
Sementara tujuan khususnya,
memperkuat kapasitas pemerintah
dalam pengelolaan AMPL melalui fasi-
litas yang fleksibel yang dapat men-
dukung kebutuhan terkait denganpengembangan kebijakan, pelaksanaan
kebijakan dan pengelolaan sektor
AMPL, ungkap Budi.
Budi Hidayat melanjutkan,
lokakarya ini mengamanatkan, perlu-
nya memelihara momentum kegiatan
agar tidak terjadi stagnasi yang terlalu
lama. Perlu disiapkan rencana kerja 6
bulan pertama, diantaranya terpenting
adalah persiapan administrasi, penilai-
an kebutuhan, dan penyiapan Rencana
Kerja tahun pertama. Amanat lain
adalah secepatnya disediakan kantor
untuk kegiatan Waspofa dan segera
merekrut tim inti untuk menyelesaikan
proses persiapan proyek, tuturnya.
Pada lokakarya itu, peserta ber-
kesempatan mendengarkan tanggapan
dan masukan dari lembaga donor dan
departemen terkait. Pelaksana tugas
regional Team LeaderWSP-EAP Isabel
Blackett memberikan apresiasi yang
baik kepada Waspola. Waspola benar-
benar memprakarsai perubahan yang
berkelanjutan. Ada proyek-proyek WESterkait yang berkembang dari pe-
ngaruhnya, terangnya.
Sementara Direktur Fasilitas
Penataan Ruang dan Lingkungan
Hidup Departemen Dalam Negeri
Sofyan Bakar melihat persoalan AMPL
sangat kurang mendapat tanggapan
dari pemerintah daerah. Dengan
adanya Musrenbang diharapkan sektor
AMPL masuk Renstra dinas-dinas
terkait, tuturnya. Bowo Leksono
Sebelum acara serah terima Waspola 2, diawali santap malam. Foto: Bowo Leksono
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
16/140
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
17/140
liki potensi, potensi itu akan berkem-
bang apabila mereka diberdayakan,
biarkan mereka mengambil keputus-
annya sesuai dengan latar belakang
dan kemampuannya, jangan biarkan
mereka berketergantungan, oleh kare-
nanya meskipun mereka mengelu-
arkan waktu untuk pembangunan
tidak harus dibayar, kalau toh harus
dibayar hanya untuk jenis pekerjaan
tertentu dan diputuskan oleh mereka
sendiri karena pada dasarnya segala
bentuk bantuan adalah untuk mem-bantu mereka dalam menyelesaikan
permasalahannya sendiri, walaupun
prosesnya cukup panjang yang penting
keberlanjutan terjadi.
Kedua madzhab pembangunan air
minum dan sanitasi di atas terlaksana
di Indonesia dengan dua macam hasil,
yaitu sarana tidak berkelanjutan dan
jadi monumen dari hasil madzhab per-
tama, sedang hasil madzhab yang
kedua sarana berkelanjutan dan tetap
dinikmati masyarakat walaupun
proyek tersebut telah berakhir puluhan
tahun.
Kesadaran Kritis
Ternyata kita telah banyak berbuat
dan berinvestasi untuk pembangunan
air minum dan sanitasi. Ternyata
banyak sarana yang tidak berfungsi
dan hanya menjadi monumen.
Ternyata peningkatan jumlah hutang
untuk pembangunan air minum dan
sanitasi dengan pendekatan proyek
berbanding lurus dengan meningkat-nya jumlah monumen hasil pemba-
ngunan yang tidak berkelanjutan,
karena jumlah tersebut terakumulasi
dengan proyek sebelumnya. Demikian
pula di kalangan LSM denganplatform
charity semakin besar jumlah bantuan
juga berbanding lurus dengan monu-
menplus ketergantungannya.
Water and Sanitation Policy
Formulation and Action Planning
(WASPOLA), sebuah kerjasama
Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Australia yang difasilitasi
oleh WSP-World Bank merupakan
proyek dalam rangka reformasi kebi-
jakan sektor air minum dan sanitasi
dalam rangka menanggapi berbagai
persoalan ketidakberlanjutan pemba-
ngunan air minum dan sanitasi.
Serangkaian kajian, studi dan pem-
belajaran proyek-proyek air minum
dan sanitasi dari berbagai sumber
pembiayaan di Indonesia dan penga-
laman dari negara lain dilakukan
untuk menemukenali persoalan men-
dasar dan merunut ulang tahapan
demi tahapan yang dilaksanakan sela-
ma ini untuk mengambil pembelajarandan yang terpenting apa yang harus
kita lakukan serta kebijakan mana
yang harus direformasi.
WASPOLA merupakan komitmen
Pemerintah Indonesia untuk meng-
hasilkan pembangunan sektor air
minum dan sanitasi yang efisien dan
berkelanjutan. WASPOLA merupakan
kerja terpadu yang melibatkan
Departemen Pekerjaan Umum,
Departemen Kesehatan, Departemen
D a la m N eg er i , K em e nt er ia n
Lingkungan Hidup, Departemen
Keuangan di bawah koordinasi
Bappenas.
Rute Panjang Menuju Kesamaan
Pandang
Serangkaian lokakarya, puluhan
pertemuan koordinasi dan bahkan
ratusan kali, dengan melibatkan berba-
gai pemangku kepentingan telah dilak-
sanakan untuk mencari bentuk,
menyamakan persepsi, membedah
pengalaman gagal dan pengalaman
sukses dalam pembangunan air minum
dan sanitasi serta memetakan faktor-
faktor yang mempengaruhi keberlan-jutan proyek.
Serangkaian kegiatan tersebut pada
akhirnya mengerucut pada kesepa-
katan perlunya melakukan reformasi
kebijakan pembangunan bidang air
minum dan sanitasi. Berdasarkan
intensitas permasalahannya disepakati
pentingnya melakukan reformasi kebi-
jakan untuk pembangunan air minum
dan sanitasi berbasis masyarakat ter-
lebih dahulu dan segera ditindaklan-
juti reformasi kebijakan pembangunan
LAPORAN UTAMA15PercikJuni 2009
Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunan AMPL. Berbeda dengan dulu karena bersifat
proyek yang datangnya dari pusat. Foto: Dok. Waspola
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
18/140
air minum dan sanitasi berbasis lem-baga.
Perjalanan panjang selama lima
tahun dari tahun 1998-2002 pada
akhirnya telah menghasilkan draf kebi-
jakan dengan nama Kebijakan
Nasional Pembangunan Air Bersih dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis
Masyarakat, sementara kebijakan
berbasis lembaga masih dalam peng-
godogan lebih lanjut. Lamanya waktu
yang dilalui menunjukkan betapa pen-
tingnya sektor ini sekaligus betapa
banyaknya persoalan yang harusdirunut dan ditata, serta disepakati ke
dalam satu paradigma sampai meng-
hasilkan rumusan kebijakan.
Langkah strategis untuk
meningkatkan leverage kinerja tim
pemerintah dalam penanganan
WASPOLA akhirnya sepakat untuk
membentuk kelembagaan Kelompok
Kerja Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan (Pokja AMPL) yang selan-
jutnya menjadi garda depan dalam
upaya operasionalisasi kebijakan
dalam skala luas. Kelembagaan terdiri
dari tim pengarah dengan anggota
pejabat eselon 2 dari semua departe-
men tekait dan tim teknis dari pejabat
eselon 3 masing-masing.
Perdebatan penggunaan istilah "air
bersih" atau "air minum" merupakan
salah satu rute yang harus dilewati oleh
pemangku kepentingan yang ter-
gabung dalam Pokja AMPL. Salah satu
kesamaan pandang yang disepakati
adalah "air minum" yang menjadi
mandat dalam rangka pemenuhanlayanan dasar air minum. Fakta bahwa
kualitas air yang dihasilkan masih dalam
taraf air bersih memang dipahami,
namun tidak mengurangi keinginan ter-
hadap upaya meningkatkannya menjadi
berkualitas air minum.
Pada tahun 2003 draf kebijakan
dengan tajuk Kebijakan Nasional
Pembangunan Air Bersih dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis
Masyarakat telah diubah secara final
m en ja di K eb ij ak an N as io na l
Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis
Masyarakat dan sampai sekarang telah
populer dengan sebutan Kebijakan
Nasional AMPL-BM.
Untuk memastikan kebijakan ini
dapat dipahami dan dapat diopera-
sionalkan di daerah, maka pada
November 2002-April 2003 dilakukan
uji coba fasilitasi di empat kabupaten,
yaitu Kabupaten Solok, Kabupaten
Musi Banyuasin, Kabupaten Subang
dan Kabupaten Sumba Timur. Uji coba
ini telah menghasilkan beberapa
masukan penting sebelum kebijakan
difinalkan, salah satunya adalah di-
tambahnya satu butir kebijakan yang
sebelumnya tidak ada yaitu pemba-
ngunan AMPL yang "berorientasi pada
pemulihan biaya".
Pekerjaan Besar Baru Dimulai
Perjalanan panjang selama limatahun dengan hasil tersusunnya
Kebijakan Nasional AMPL-BM, ketika
kebijakan ini telah disepakati untuk
dioperasionalkan di daerah justru
pekerjaan yang sebenarnya baru dimu-
lai dan memerlukan upaya besar untuk
memastikan kebijakan ini diterima
oleh daerah, diadopsi dan dioperasio-
nalkan ke dalam mekanisme dan
pelaksanaan pembangunan di daerah.
Sikap sinis, pesimis dan keraguan
dari pejabat daerah ketika kebijakan
ini diperkenalkan oleh fasilitator men-
jadi tantangan pertama yang harus
dilalui. Apa yang dilakukan oleh
pemerintah pusat dalam fasilitasi
pelaksanaan kebijakan merupakan
advokasi untuk membongkar paham
bahwa pembangunan dengan
mengedepankan peran masyarakat
dan berorientasi pada proses jauh lebih
terjamin keberlanjutannya dibanding
dengan pembangunan yang berorien-
tasi target. Bermacam ragam peneri-
maan daerah pada awal perkenalan
kebijakan dari negatif sampai positif
dan ragu-ragu.
Salah Persepsi
Berapa besar dana yang
dialokasikan pusat?
Siapa yang akan melaksanakan
proyek nanti, pusat atau daerah?
Kalau hanya kebijakan saja kami
tidak membutuhkan, yang kamibutuhkan proyek.
Biasanya pemerintah pusat kalau
sosialisasi kebijakan selalu diikuti
proyek.
Ini kan kebijakan pusat, kami
yang harus melakukan tentu ada
dananya kan, mana dananya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas
merupakan pertanyaan klasik yang
harus dijawab dengan arif oleh fasilita-
tor sambil meyakinkan kembali bahwa
program ini bukan proyek fisik,
LAPORAN UTAMA16PercikJuni 2009
Masyarakat sendiri yang mengelola dan merawat sarana AMPL, bukan pemerintah.
Foto: Dok. Waspola
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
19/140
kegiatan ini terbatas pada bantuan tek-
nis. Bahkan ada beberapa pemerintahdaerah setelah mengikuti diseminasi
kebijakan, walaupun telah dijelaskan
program ini merupakan bantuan tek-
nis, dalam melayangkan surat per-
mintaan untuk difasilitasi mengajukan
syarat dimana pemerintah daerah mau
menyiapkan alokasi dana operasional
dengan catatan pemerintah pusat
menyiapkan alokasi dana miliaran
rupiah untuk proyek. Kendala ini
memberikan pembelajaran bahwa
untuk pelaksanaan kebijakan nasional
AMPL-BM di daerah, yang pertamaharus dilakukan adalah menata mind-
set pejabat dan staf teknis mengenai
konsep kebijakan dan pembangunan
AMPL yang berkelanjutan.
"Bagaimana mungkin masyarakat
harus kontribusi tunai untuk pemba-
ngunan, untuk kebutuhan sehari-hari
saja tidak cukup. Nanti dulu, ini bukan
Jawa, disini kondisi orang miskin beda
dengan miskin di Jawa".
Sikap penolakan seperti ini juga
dihadapi oleh fasilitator dan tidak
tanggung-tanggung ini disampaikan
oleh pimpinan daerah. Bahkan ada
salah seorang anggota DPRD yang
mendapat undangan dari Bappeda
untuk acara lokakarya mengenai kebi-
jakan AMPL-BM menanyakan kepada
fasilitator, "Besok ada uang honornya
(uang duduk) tidak?". Setelah dije-
laskan oleh fasilitator bahwa kegiatan
ini tidak menyiapkan uang honor,
mereka mengatakan besok tidak
datang kalau tidak ada uang duduknya
walaupun acara tersebut dilakukan diruang rapat DPRD.
Pelan tapi Pasti
Keinginan pada setiap pelaksanaan
kegiatan lokakarya di daerah adalah
untuk meyakinkan dan melalui proses
partisipatif, bahwa "ini milik Anda,
bukan milik saya atau milik pemerin-
tah pusat" artinya manfaat atau keluar-
an yang dihasilkan setiap lokakarya
yang akan memiliki kepentingan
adalah daerah sendiri. Senantiasa
d i t e k a n k a n b a h w a p e m b a -
ngunan/layanan air minum dan sani-tasi dasar adalah merupakan urusan
wajib yang harus dilakukan oleh dae-
rah sebagaimana amanat undang-
undang otonomi daerah.
Lambat laun akhirnya mulai dipa-
hami oleh sebagian pemangku ke-
pentingan daerah dan mereka mulai
merasakan manfaat dari acara loka-
karya yang mengurai kondisi layanan
air minum dan sanitasi dasar dengan
segala permasalahannya. Mereka
mulai melihat dari sisi manfaatnya,
bahwa dengan peta masalah yang dite-mukan menjadi dasar alat justifikasi
untuk usulan kegiatan dan program
dari dinasnya.
"Lalu, apa nanti peran pusat untuk
mengatasi permasalahan sarana tidak
berfungsi? Mestinya pemerintah harus
bertanggung jawab karena proyek-
proyek yang tidak berfungsi itu seba-
gian besar proyek yang datangnya dari
pusat".
Masih harus tetap diyakinkan,
bahwa di era otonomi peran pusat ter-
batas, pemerintah pusat hanya ter-
batas memberikan bantuan teknis,
arahan dan pedoman untuk dijadikan
dasar pijak pembangunan di daerah,
kalau toh masih ada dukungan pro-
gram air minum dan sanitasi hal terse-
but bersifat terbatas, porsi besar harus
menjadi tanggung jawab daerah.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan
pada langkah awal dimaksudkan agar:
Pemerintah daerah menemu-
kenali isu dan permasalahan pem-
bangunan dan layanan AMPL didaerahnya.
Memiliki kepedulian untuk
melakukan upaya pemecahan
masalahnya.
Memahami dan menerima kebi-
jakan nasional AMPL berbasis
masyarakat sebagai konsep pen-
dekatan.
Menyusun rencana kerja konkrit
dalam rangka mengatasi per-
masalahan keberlanjutan AMPL.
Melangkah ke Pemikiran Strate-
gikHasil pelaksanaan kebijakan pada
tahap awal agak sulit untuk diukur dan
dipastikan apakah setelah fasilitasi
berakhir daerah masih tetap konsisten
menindak lanjuti? Inilah pertanyaan
keraguan WASPOLA, terlebih laju
mutasi pejabat ke dinas lain yang tidak
terkait dengan AMPL sangat tinggi.
Ada tiga hal penting yang menjadi per-
timbangan dalam hal ini, yaitu output
yang mengindikasikan keberlanjutan
pasca pendampingan, pendekatan pen-
dampingan yang mengindikasikan alihperan dan pilihan kegiatan penguatan
kapasitas yang menjawab isu konteks-
tual.
Renstra AMPL
Mulai tahun 2005 fasilitasi pelak-
sanaan kebijakan menetapkan ter-
susunnya rencana strategis pemba-
ngunan AMPL (Renstra AMPL) daerah
menjadi salah satu keluaran utama
dari serangkaian penguatan kapasitas.
Renstra AMPL dimaksudkan sebagai
instrumen untuk mengarahkan peren-
canaan AMPL dapat tertuang dalam
RPJMD. Pokok-pokok kebijakan dan
program selanjutnya dijadikan acuan
m a s in g- m as in g S KP D d al am
penyusunan rencana kerja.
Bagi daerah yang telah menyusun
Renstra SKPD terkait AMPL, Renstra
AMPL dijadikan acuan dalam
melakukan review terhadap Renstra
SKPD. WASPOLA mengenalkan pen-
dekatan penyusunan renstra dengan
proses partisipatif yang melibatkanseluruh elemen sejak lokakarya identi-
fikasi isu dan permasalahan AMPL,
kajian keberhasilan dan kegagalan
proyek AMPL, proses penyiapan/draf
renstra, lokakarya finalisasi renstra,
dialog publik sampai dengan kerangka
regulasinya.
Pendekatan Fasilitasi
Dari tahun 2004 sampai dengan
berakhirnya WASPOLA-2 tahun 2009,
pendekatan fasilitasi mengalami
LAPORAN UTAMA17PercikJuni 2009
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
20/140
pergeseran strategi dari penangananlangsung di tingkat kabupaten berubah
berbasis provinsi dan pada akhirnya
pendekatan fasilitasi provinsi berbasis
demand. Cara ini ditempuh dengan
pertimbangan strategik bahwa jumlah
kabupaten di Indonesia banyak dan
tidak sebanding dengan tenaga fasilita-
tor dari pusat.
Tesis yang digunakan adalah
bahwa provinsi pada dasarnya meru-
pakan kepanjangan pusat, dengan
memperkuat provinsi maka provinsi
akan dapat menggantikan peran pusat.
B e r da s a r k e m a n d ir i a n d a nprakarsanya mereka melakukan
pengembangan daerah dalam pelak-
sanaan kebijakan di daerahnya.
Tesis ini terbukti berjalan, setidak-
t id ak ny a m en je la ng W AS PO LA
berakhir justru provinsi mulai
mengembangkan sayapnya dengan
menambah daerah layanan fasilitasi
kebijakan di kabupaten lain di wilayah-
nya, demikian pula demand untuk
penguatan kapasitas tematik juga
meningkat.
Penguatan KapasitasTema penguatan kapasitas untuk
peningkatan pemahaman kebijakan
dan pengetahuan metodologi pelak-
sanaan pembangunan AMPL Berbasis
Masyarakat, dan pendampingan
penyusunan rencana kerja mulai
diarusutamakan untuk memastikan
AMPL berada dalam salah satu priori-
tas. Kerangka strategis penguatan ka-
pasitas ini digambarkan pada bagan di
samping.
Bagaikan Bongkar PasangPuzzleTidak segampang teori dan ucapan,
tantangan dan kendala yang menjadi
Pekerjaan Rumah WASPOLA dan
harus disikapi secara arif antara lain:
Pergantian pimpinan daerah dan
pejabat teknis di lingkungan dinas
teknis di daerah
Iklim politik sangat dinamis di
daerah, suksesi pimpinan daerah juga
mempengaruhi tingkat intensitas per-
hatian terhadap kegiatan pelaksanaan
kebijakan. Tidak jarang ditemui sela-
ma proses fasilitasi para Kepala
Bappeda mengalami pergantian lebih
tiga kali, bahkan di provinsi Sulawesi
Tenggara mengalami pergantian
sebanyak 4 kali, artinya upaya untuk
memperkenalkan kembali kebijakan
nasional dan pelaksanaan kebijakan
harus dilakukan sebanyak 4 kali oleh
Pokja AMPL dan WASPOLA. Dampak
nyata dari pergantian ini adalah fluk-
tuasi ketersediaan alokasi dana opera-
sional Pokja AMPL daerah.
Pergantian anggota kelompokkerja AMPL akibat pindah tugas kare-
na mutasi jabatan
Mutasi jabatan merupakan isu
nasional dan fenomena nyata, hal ini
diluar jangkauan WASPOLA. Namun
demikian kondisi ini sangat mempe-
ngaruhi kinerja Pokja AMPL. Sebagian
besar anggota pokja AMPL yang telah
mendapatkan pelatihan mengenai
pelaksanaan kebijakan telah pindah
tugas. Pengganti yang mengisi posisi
LAPORAN UTAMA18PercikJuni 2009
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
21/140
keanggotaan pokja terpaksa harusdiberi sentuhan pengetahuan dan
pemahaman dari awal, yang berarti
upaya dobel bahkan tripel karena
banyak pokja daerah yang pada saat ini
merupakan generasi ketiga.
Salah satu upaya strategik yang
dilakukan oleh Kelompok Kerja AMPL
Nasional melalui kegiatan WASPOLA
adalah menjadikan forum nasional
untuk review kemajuan pelaksanaan
kebijakan menjadi kegiatan utama
yang dilakukan setiap tahun.
Beragam Tanggapan dan Inisiatif
Daerah
Tanggapan dan inisiatif daerah
akan banyak bergantung pada dukung-
an politis dan jiwa championship
Kelompok Kerja AMPL Daerah. Dari
hasil pemantauan dan rekaman hasil
lokakarya nasional review kemajuan
tahunan, dapat dipetakan sebagai
berikut:
Pelaksanaan kebijakan merupakan
tugas karena SK pokja (bussiness as
usual) dilakukan atas dorongan dari
WASPOLA. Rasa bahwa AMPL meru-
pakan gerakan yang harus mereka
gulirkan masih terbatas pada wacana.
Pelaksanaan kebijakan telah diteri-
ma sebagai mandat yang harus
digulirkan oleh Pokja AMPL dan mere-
ka melakukan serangkaian upaya,
tetapi masih dihadapkan pada tantang-
an klasik antara lain kurangnya du-
kungan dari pengambil kebijakan
anggaran.
Pelaksanaan kebijakan telahdijadikan arus utama oleh Pokja AMPL
maupun pengambil kebijakan daerah.
Contoh konkrit klasifikasi ini terjadi di
Provinsi Jawa Tengah, Sumatera
Barat, Banten, Bangka Belitung, keti-
ka:
- Renstra AMPL telah dijadikan
acuan pembangunan sektor
AMPL dan dilengkapi kerangka
regulasi daerah.
- Pokja AMPL menjadi bagian dari
rantai pengambilan keputusan
pembangunan AMPL.- Tercipta inisiatif daerah untuk
mengembangkan kemitraan de-
ngan berbagai pihak.
- Tercipta dukungan konkrit
provinsi kepada kabupaten/kota
dengan memberikan dana stimu-
lan kepada yang telah menyusun
Renstra AMPL untuk menerap-
kan pembangunan AMPL Ber-
basis Masyarakat.
- Pelaksanaan kegiatan penilaian
kondisi sanitasi sehat di lingkung-
an perkantoran yang notabeneharus dapat menjadi contoh peri-
laku bersih dan sehat bagi
masyarakat.
Contoh spesifik lainnya di tingkat
kabupaten, antara lain Pokja AMPL
memfasilitasi penyiapan RPJM Desa
sebagai cara operasionalisasi Renstra
AMPL Daerah di Kabupaten Rote Ndao,
NTT; kemitraan Pokja dengan lembaga
international, universitas dan perguruan
tinggi dalam rangka operasionalisasi
Renstra di Kabupaten Serang, Banten;
pengembangan strategi komunikasi dan
media promosi AMPL di kabupaten
Kebumen, Jawa Tengah; pengembangan
desa binaan untuk penerapan pendekatan
AMPL-BM di Kabupaten Gorontalo;
pengembangan sistem pengelolaan data
AMPL di Kabupaten Bangka; modifikasi
pendekatan DAK air minum agar benar-
benar berbasis masyarakat di Kabupaten
Pekalongan; dan masih banyak contoh
lain di daerah.
Bola Telah BergulirApa yang dilakukan oleh WASPOLA
dalam upaya membangun paradigma
pembangunan AMPL yang berkelanjutan,
melalui tangan Pokja AMPL Nasional dan
jiwa championship koordinatornya, telah
ditangkap oleh lembaga lain yang peduli
dengan program AMPL baik dari dalam
negeri maupun internasional.
Lembaga-lembaga international yang
telah menjalin kemitraan untuk program
AMPL yang berkelanjutan antara lain
Unicef melalui program WES, Plan
International melalui program WATSAN,Kfw dan GTZ melalui program ProAir,
USAID melalui program ESP dan masih
banyak antrian panjang yang meminta
dukungan Pokja Nasional untuk difasili-
tasi.
Perjuangan Belum Selesai
Tidak ada kata selesai dalam upaya
pengguliran paradigma pembangunan
AMPL yang berkelanjutan. Yang jelas
harus ada sentuhan dan pengawalan di
semua tingkatan dari tingkat desa sampai
tingkat nasional dan ini merupakan tan-tangan ke depan Pokja Nasional AMPL.
Tingkat desa:
Bagaimana masyarakat meman-
dang dan me-nempatkan AMPL
sebagai program prioritas pada saat
Musrenbangdes.
Tingkat kecamatan:
Bagaimana sektor AMPL yang telah
diusulkan oleh desa/kelurahan tetap
terjaga dan tetap sebagai program
prioritas ketika Musrenbangkec.
Tingkat kabupaten/kota:
Bagaimana AMPL tetap diposisikan
sebagai program prioritas dalam
Renja SKPD, konsultasi dengan tim
anggaran, sampai pelaksanaan
Rakorbang.
Tingkat provinsi:
Bagaimana sektor AMPL menjadi
program prioritas, pokja AMPL
diberdayakan, verifikasi RAPBD
untuk memastikan AMPL menjadi
program prioritas.
Tingkat Nasional:
Bagaimana pengarusutamaan pem-bangunan AMPL BM dapat ditetap-
kan sebagai kebijakan pada setiap
pelaksanaan program AMPL
bersumber dana pusat.
Pokja AMPL:
Bagaimana Pokja AMPL di
Kabupaten dan Provinsi serta Pusat
sendiri berdaya dan diberdayakan
dalam arus utama pembangunan
AMPL.
LAPORAN UTAMA19PercikJuni 2009
* Koordinator Pelaksana
Kebijakan WASPOLA
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
22/140
Sejak tahun 2004 ketika Kebi-
jakan Nasional AMPL-BM
(Kebijakan AMPL) dilak-
sanakan oleh daerah, sejak saat itu
pula kegiatan advokasi "Pusat ke
Daerah" dilaksanakan sadar atau tidak
oleh Pokja Nasional AMPL danWASPOLA. Betapa tidak saat dimana
hampir sebagian besar proyek/pro-
gram yang datang ke daerah selalu
diiringi dengan berbagai stimulus,
Pokja Nasional dan WASPOLA datang
tanpa iming-iming kecuali sebatas
penguatan kapasitas (technical assis-
tance).
Setiap kali Pokja Nasional dan
WASPOLA ke daerah selalu saja per-
tanyaan pertama yang ditanyakan
adalah "berapa besar kemungkinan
daerah akan mendapatkan dana" jika
terlibat dalam pelaksanaan kegiatan
Kebijakan AMPL. Dengan sabar dan
disertai langkah-langkah sistematis,
perlahan tapi pasti Pokja Nasional dan
WASPOLA mampu memberikan pen-
jelasan rasional kepada daerah.
Berulang kali disampaikan dan
dijelaskan dalam berbagai lokakarya
bahwa sektor AMPL bukan lagi kewe-
nangan (kewajiban) pemerintah pusat
tapi sudah kewajiban daerah sepenuh-
nya, pemerintah pusat berperan hanyasebagai perumus dan penyampai
norma, panduan, standar dan modul
(NPSM) bagi daerah. Segala hal yang
menyangkut pencerahan dan per -
ubahan paradigma baru pembangunan
disampaikan oleh Pokja Nasional dan
WASPOLA kepada daerah dengan
berbagai cara dan kesempatan.
Sampai dengan tahun 2009
sebanyak 9 (sembilan) provinsi dan
lebih dari 60 (enam puluh) kabupa -
ten/kota telah mengoperasionalkan
Kebijakan AMPL dengan hanya
melalui skema technical assistance
tanpa disertai stimulus apapun. Fakta
capaian seperti ini memang masih sa -
ngat jarang terjadi dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia. Salah satu
rahasia pencapaian ini adalah kemam-
puan personal dan lembaga PokjaNasional AMPL dan WASPOLA dalam
melakukan advokasi kepada daerah
secara baik, walaupun sekali lagi pada
awalnya perilaku dan kegiatan
advokasi ini sama sekali tidak disadari.
Jika kita melihat kerangka advokasi
kebijakan secara tradisional maka apa
yang dilakukan oleh Pokja Nasional
dan WASPOLA sebenarnya sudah
mempunyai kesesuaian dengan
kerangka yang ada. Ada 3 (tiga) proses
kerangka advokasi kebijakan yakni a)
proses legislasi dan juridiksi, b) proses
politik dan birokrasi, dan c) proses
sosialisasi dan mobilisasi.
Kebijakan AMPL walaupun baru
sebatas ditandatangani 5 (lima) eselon
satu (dirjen/deputi), berarti sudah
memenuhi aspek proses legislasi,
sudah juga memenuhi aspek prosespolitik dan birokrasi karena telah
melakukan upaya-upaya lobi, negosiasi
dan mediasi dengan berbagai pihak di
tingkat Pemerintah Pusat, paling tidak
pada 5 (lima) ditjen/deputi (Deputi
Sarana dan Prasarana Bappenas, Ditjen
PMD, Ditjen Bangda, Ditjen Cipta
Karya dan Ditjen P2PL).
Terakhir, Kebijakan AMPL sudah
memenuhi proses sosialisasi dan
mobilisasi yang ditunjukkan dengan
capaian berbagai daerah yang telah
Mengembangkan Strategi AdvokasiOperasionalisasi Kebijakan Nasional AMPL-BM
LAPORAN UTAMA20PercikJuni 2009
Lokakarya adalah kesempatan bagi Tim Waspola untuk menjelaskan bahwa sektorAMPL adalah bukan kewenangan Pusat tapi kewajiban bagi daerah.
Foto: Dok. Waspola
7/31/2019 Satu Dekade WASPOLA. Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi Khusus Juni 2009.
23/140
mengoperasionalkan Kebijakan AMPLberupa keberadaan Pokja AMPL dan
Dokumen Renstra Pembangunan
AMPL Daerah.
Kiranya ke depan, Pokja Nasional
dan WASPOLA atau dengan mitra lain
perlu mengembangkan strategi
advokasi yang lebih terencana dan
efektif, baik yang diarahkan kepada
Daerah, Donor maupun kalangan
internal Pemerintah Pusat. Hanya de-
ngan memiliki strategi ini keberlanjut-
an dan keberhasilan operasionalisasi
Kebijakan AMPL-BM dapat te