Post on 12-May-2019
SATU
Bandara Juanda Surabaya
Setelah turun dari pesawat dan menuju ruang pengambilan barang di Bandara
Juanda, Surabaya, perasaanku sedikit lega. Ini merupakan pengalaman pertamaku naik
pesawat. Perasaan senang, takut, dan tegang menerpaku selama satu jam penuh dalam
pesawat sampai akhirnya aku bisa menapakkan kaki ke bumi lagi dengan selamat.
Aku tak langsung menghampiri bus Damri yang telah parkir di tepi jalan dengan
seorang kondektur yang berteriak-teriak nyaring memanggil calon penumpang yang
akan dibawanya ke terminal Bungurasih, terminal induk di kota Surabaya.
Aku ingin beristirahat sejenak sambil mengisap rokok yang baru saja kubeli di
Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, satu setengah jam yang lalu dan sama sekali
belum aku buka.
Kulihat sebuah kursi di halaman luar ruang tunggu yang kosong dengan seorang
laki-laki separuh baya dengan sebatang rokok di jari tangan kanannya lantas aku segera
menuju ke kursi kosong itu dan langsung duduk setelah terlebih dahulu menyapa laki-
laki itu.
Aku buka satu bungkus rokok yang ada di kantong dan segera aku hisap
sebatang. Aku begitu menikmati setiap hisapan demi hisapan sambil melepas lelah
dengan ditemani satu kaleng minuman ringan. Suasana yang benar-benar nikmat duduk
santai sambil memperhatikan orang-orang yang tampak sibuk lalu-lalang dihadapanku.
Jam tanganku tepat menujukn pukul 15.45 waktu Banjarmasin, aku tak mau
kehabisan bus Dampri. Segera aku bangun dan menuju ke sebuah bus yang telah
terparkir dengan seorang kondektur yang berteriak-teriak menyebutkan “ Bungurasih”
berulang-ulang. Segera aku naik dan mencari tempat duduk dan aku dapati barisan kursi
paling belakang masih kosong, segera aku menghampiri dan duduk disalah satu kursi di
barisan kursi paling belakang itu.
[1]
Sekitar sepuluh menit bus itu telah penuh terisi penumpang, namun ternyata
masih ada satu kursi disebelah kiriku yang masih kosong. Dalam hati kau berfikir wah
asik nih tempat duduknya jadi longgar.
Belum sempat aku menggesar pantatku ke sebelah, datang seorang gadis muda
berjilbab unggu dengan tas rangsel di punggungnya. Gadis itu berjalan menuju ke
arahku dan sepertinya menuju ke kursi yang kosong disampingku.
Ternyata benar ia duduk di kursi itu dan tak kusanggka ia tersenyum padaku,
senyum yang sangat manis selaras dengan raut wajahnya yang cantik, putih dan bersih.
Aku hanya bisa membalas senyum tanpa berani bersuara, aku hanya sedikit menggeser
pantatku kearah kanan untuk member ruang kepada gadis itu agar bisa duduk dengan
lega tanpa harus menyentuh badanku.
Bus itu kemudian melaju meninggalkan bandara dengan tenang dan laju
kecepatan yang tidak terlalu cepat. Setiap perjalanan pandanganku tampak mengarah
pada jendela, aku menikmati semua pemandangan yang aku lalui, benar-benar kota
Surabaya dengan potensi keindahan kotanya yang manapjubkan.
Mataku mulai terasa mengantuk setelah lama pandanganku tertuju pada
keindahan kota Surabaya. Sempet mataku mulai tertutup karena tidak tahan lagi
menahan kantuk, namun aku sangat terkejut setelah ada seseorang yang menyenggol
bahuku seraya berkata, “Mas, baru pertama kali ya ke Surabaya? Sepertinya Mas agak
serius memandangi keluar.” Ternyata dia gadis yang duduk di sebelahku tadi.
“Iya, Mbak, tapi sebenarnya dulu saya sudah pernah ke Surabaya bersama kedua
orang tuaku, namun waktu itu aku masih sangat kecil kira-kira berumur delapan tahun,
jadi saya belum mengerti tempat ini dan tentu sudah lupa dengan suasana disini.“
“Oh begitu ya, terus sekarang sendirian?” tanya gadis itu lagi.
“Iya, Mbak, sekarang saya sendiri saja“
“Oya kita belum berkenalan, nama saya Suci lengkapna Suci Atmasari, saya asli
orang Banjarmasin“ gadis itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya,
akupun segera menyambut uluran tangan gadis itu
“Saya Muhammad Amir, biasa dipanggil Amir, dan saya dari pelaihari“
“Terus tujuanmu datang ke Surabaya ini apa,? Sendirian lagi, ya kalalu boleh
tau“
[2]
“Saya sendiri sebenarnya juga tidak tau kenapa saya sampai nekat ke Surabaya
ini sendirian“
“Loh ko’ bisa begitu, memangnya kamu ada teman atau saudara di Surabaya ?“
Tanya gadis itu dengan ekspresi wajah serius.
“Ada sih mbak, dia seorang kerabat dari keluarga ibu saya, tapi saya tidak tau
alamat rumahnya, saya cuma punya nomor telepon tetangganya.“
“Terus sudah dihubungi nomor itu ?“ Tanya gadis itu lagi
“Belum sih mbak, rencana nanti kalau sudah diterminal baru saya nyari wartel
untuk nelfon nomornya“
“Jadi kamu tidak ada handphone ya,,,”
“Iya Mbak, hanphone saya sudah saya jual untuk tambahan biaya ke Surabaya“
“Wah nekat betul kamu ini, memangnya apa masalah apa sih ko’ kamu jadi
senekat ini ?,,“
“Maaf Mbak, saya belum bisa cerita maslah itu, karena itu sangat pribadi, oya
Mbak sendiri ada perlu apa di Surabaya ?“
“Oh ya sudah kalau belum bisa cerita, aku mahasiswi di akademi kebidanan di
Mojokerto. oya ini pake saja handphone saya dan segera hubungi nomor itu“
“Alhamdulillah, makasih Mbak“
Segera aku sambut handphone yang ditawarkan oleh gadis itu dan segera aku
hubungi nomor yang diberikan oleh ibuku. Namun sepertinya tidak ada yang
mengangkat. Aku terus mencoba berulang kali namun tak jua ada yang mengangkat.
Aku menjadi sedikit khawatir karena hari semakin sore dan aku masih belum tau harus
kemana, satu-satunya orang yang bisa menunjukan dan mengubungkan aku dengan
kerabat keluarga ibuku pun belum bisa aku hubungi. Sore itu di dalam bus Damri itu
aku tanpak kebingungan.
“Kenpa Mas, gak bisa nyambung ya,,?“ Tanya gadis itu.
“Iya Mbak, tidak ada yang mengangkat“
Segera aku kembalikan handphone gadis itu dan mengucapkan terimakasih.
“Terus sekarang kamu mau kemana?, terminal Bungurasih sudah dekat“ Tanya
gadis itu padaku.
“Ya belum tau sih Mbak“
[3]
“Bagai mana kalau Mas ikut saya aja lagian ini hari sudah mau gelap, Mas juga
baru sekali ini sendirian ke Surabaya, pastinya belum tau jalan, iya kan?“
“Iya sih Mabak, tapi terimakasih, saya bisa tidur di masjid untuk mala mini“
“Ya terserah Mas sih, eh kita sudah sampai, ayo turun“
“Sudah sampai ya Mbak ?“
“Iya sudah sampai, semua penumpang dari bandara turun di terminal ini, ini
adalah terminal sentral di Surabaya, dari terminal sinilah baru semua penumpang
menyebar mencari bus untuk tujuan mereka masing-masing termasuk saya“ jelas gadis
itu.
Kami berduapun segera turun. Aku memandangi suasana terminal itu, benar-
benar terminal yang ramai dan dipadati oleh orang yang lalu-lalang menunggu bus yang
akan mengantarkan mereka ke tujuan mereka masing-masing. Termasuk Mbak Suci
yang sedang menunggu bus untuk mengantarkannya ke tujuannya. Sekian banyak orang
yang ada di terminal itu, seperinya hanya aku yang tidak mempunyai tujuan, hanya aku
yang bingung harus naik bus yang mana, hanya aku yang bingung harus melanjutkan
perjalanan kemana, ditambah lagi hari semakin gelap dan mendekati waktu magrib.
Disore itu aku masih bersama mbak Suci, kami duduk di kursi panjang di terminal itu.
“Mas Amir, gimana udah ada tujuan, ini coba dihubungi lagi nomornya“ Tanya
gadis itu seraya menyeahkan handphonenya.
“Oh iya Mbak“
Segera aku menghubungi nomor itu, dan lagi-lagi tidak ada yang mengangkat. Aku
mencobanya berulang kali, namun hasilnya tetap sama tidak ada yang mengangkat.
“Belum bisa nyambung ya Mas ?“ Tanya gadis itu.
“Iya nih masih belum diangkat“ kembali kau menyerahkan handphone gadis itu
seraya kembali mengucapkan terimakasih.
“Gimana dengan tawaran saya tadi ? lebih baik Mas ikut dengan saya dulu, ya
setidaknya beristirahat untuk mala mini“ tawaran gadis itu lagi.
“Saya sangat mengucapkan terimakasih atas tawaran Mbak, tapi maaf sepertinya
saya kurang enak sama Mbak terlalu merepotkan dan juga saya gak enak kalau harus
menginp di tempat Mbak “
[4]
“Tidak apa-apa dan Mas sama sekali tidak merepotkan saya dan juga di kost
saya banyak temenya, kami menyewa satu rumah dengan jumlah kamar ada empat dan
penghuninya juga ada empat orang termasuk saya, ya sih semuanya cewe, tapi nanti
bisa saya jelaskan kemereka“
Aku tidak bisa menjawabnya, aku hanya diam dan mencoba berfikir langkah apa
yang akan aku ambil.
“Oya sepertinya busnya masih lama datangnya, hari semakin sore, kita nyari
makan dulu yuk, sekalian siap-siap untuk sholat magrib“ ajakan gadis itu.
“Oh iya Mbak, boleh juga, saya juga udah laper“
Kemudian kami berdua beranjak dari duduk dan berjalan menuju sebuah warung
makan yang masih berada dikawasan terminal itu. Kami segera memesan makanan dan
segera melahapnya.
Aku sangat menikamati makanan itu, lagian aku sudah sangat lapar, seharian
baru satu kali makan sewaktu masih di rumah Pelaihari tadi pagi.
“Gimana Mas, coba difikirkan baik-baik, dari pada Mas gak tau harus kemana
dan tidur dimana mala mini, mending istirahat di tempat saya, nah besok pagi baru mas
hubungi lagi nomor itu atau langsung mencari tempat tinggal yang mas mau.“ kembali
gadis itu menawarkan tempat tinggal untuk aku beristirahat mala mini.
“Baik lah Mbak kalau itu tidak mengganggu Mbak dan teman-teman.“
“Tentu saja tidak, nanti saya yang jelaskan ke teman-temanku , oya tu sudah
Adzan, ayo kita sholat magrib dulu, didekat sini ada mushola“
“Iya mbak ayo“
Kami segera menuju ke mushola setelah membayar semua makan dan ternyata
gadis itu mentraktir ku makan sore itu. Benar-benar gadi yang baik hati. Walau baru
kenal dia sudah mentraktir dan juga memberi tumpangan untuk beristirahat. Aku sama
sekati tidak menyangka bertemu dengan gadis sebaik dia.
Tidak terlalu lama berjalan akhirnya kami menemukan mushola itu. Kami segera
ambil air whudu dan sholat magrib berjamaan bersama orang-orang yang ada di
mushola itu. Usai sholat kami kembali menuju ke ruang tunggu bus jurusan Mojokerto.
[5]
Sekitar lima belas menit kami menunggu akhirnya bus itu datang. Segera kami
naik dan beberapa orang juga tampak naik kedalam bus itu. Alhamdulillah kami bisa
duduk bersebelahan sehingga bisa berbincang-bincang selama perjalanan.
Bus melaju dengan tenang dan dengan kecepatan yang sedang. Tampaknya
malam itu cuaca lagi mendung dan tak berapa lama hujan turun cukup deras. Malam itu
sangat dingin, namu aku tampak menikamati perjalan itu, perjalan dimalam hari dalam
bus dengan deburan air hujan. Itu adalah hal pertama yang kualamai karena memang di
Banjarmasin jarang sekali ada bus besar dan sama sekali aku tidak pernah naik bus jika
bepergian.
Bus terus melaju, namun kini dengan kecepatan yang semakin melambat.
Derasnya hujan membuat supir bus harus ekstra hati-hati dan harus memperlambat laju
bus yang dibawanya.
“Mas dingin ya..?“ Tanya gadis itu.
“ Ah iya Mbak“
“Mas gak bawa jaket ya ?“
“Tidak Mbak, Cuma bawa rompi aja“
Sebenarnya aku bawa jaket, tapi aku laruh di dalam tas, dan entah kenapa aku malah
bilang tidak bawa jaket, semua itu sepontan aku ucapkan.
“Kalau gitu pake saja jaket saya“ gadis itu melepas jaket yang dikenakan dan
menyerahkannya padaku.
“Ah jangan Mbak, tidak usah, nanti malah mbak yang kedinginan“
“Enggak saya masih mengenakan pakaian lengan panjang dan cukup tebal,
sudah ini pake“ paksa gadis itu padaku.
“Iya Mbak terimakasih“
Segera kau pakai jaket berwarna coklat muda milik gadis itu. Benar-benar
hangat dan yang membuat aku terlena adalah bau harum parfum gadis itu sangat jelas
dapat aku rasakan oleh hidungku. Seperti aku menciup aroma harum tubuh gadis itu.
Namun perasaan itu segera aku tepis setelah aku mulai sadar bahwa aku mulai berfikir
yang tidak karuan.
“Gimana udah enakan, udah gak dinginkan?“
[6]
“Iya Mbak , pian baik banget sih mbak sama saya, kan kita baru beberpa jam
saja kenal, apa Mbak gak takut kalau ternyata aku bukan pria baik-baik?“
“Pertama saya melihat Mas, sepertinya saya tau Mas itu pria baik-baik dan juga
saya liat dari garak-gerik, bahasa tubuh dan cara Mas berbicara itu semua menunjukan
bahwa Mas adalah pria baik-baik.“
“Apa Mbak yakin ?”
“Sejauh ini cuku yakin, ya gak tau juga sih nanti.“ jawab gadis itu dengan
senyum manisnya.
“Terimakasih Mbak sudah banyak membantu, saya tak tau harus bagaimana
membalas semua kebaikan Mbak“
“Sudah gak usah dipikirkan, itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai manusia
untuk saling membantu terhadap sesamanya yang lagi perlu bantuan”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Dalam hati aku bersyukur bertemu dengan
Mbak Suci yang begitu tulus membantuku. Karena cape seharian dalam perjalanan aku
merasa sangat mengantuk dan tidak berapa lama aku tertudur dengan pulas sampi tidak
terasa lagi kalau aku sedang ada dalam bus yang melaju cukup kencang karena hujan
mulai reda.
--ooo--
[7]
DUA
Satu Rumah dengan Mahasiswi yang Cantik-Cantik
Aku sedikit terkejut saat Mbak Suci membangunkanku. Aku perlu waktu
beberapa detik untuk menyadari bahwa aku sedang berada dalam bus.
“Mas kita sudah sampai di terminal Mojokerto, ayo turun“
“Sudah sampai ya Mbak, wah saya ketiduran“
Kami segera turun dan lagi-lagi biaya karcis bus itu sudah dibayar oleh Mbak
Suci. Setelah turun kami langsung menunggu bus lagi untuk menuju ke kost Mbak Suci.
Dan ternyata kali ini kami sedang menunggu bus mini. Artinya sudah dekat tempat yang
kami tuju.
Sekitar lima menit menunggu, akhirnya datang bus mini berwarna kuning
dengan tulisan Mojokerto-Mojosari. Kami segera naik ke bus itu dan lagi-lagi kami
mendapatkan tempat duduk bersebelahan.
“Kita sudah dekat ya Mbak ?”
“Iya kita sudah dekat dan jangan tidur dulu ya“
“Iya Mbak“
Bus melaju dan dalam perjalanan aku memandang kearah jendela. Aku
menikamati pemandangan malam di kota itu. Terus bus melaju dan semakin lama
ternyata pemandangan daerah itu semakin sepi, tampak seperti daerah pinggiran. Dalam
remang-remang malam dan karena sinar lamu jalan aku bisa melihat area persawahan
disepanjang jalan yang dilalui bus itu.
Setelah sekitar lima belas menit, area persawahan itu berubah menjadi area
perumahan yang cukup padat dan ramai.
“Karcis” terdengar seorang konektur muda mendekat dan menyodorkan karcis.
“Kampus Akbid bang dua orang“ Mbak Suci menjawab ke kondektur bus itu.
[8]
“Mbak gak usah, saya aja yang bayar, Mbak tadi sudah banyak membayarkan
saya“
“Sudah gak usah, biar saya aja“ gadis itu menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan
ke kondektur bus itu dan kondektur bus itu menyerahkan kembalian sepertinya dua
belas ribu rupian seraya meyerahkan dua karcis kepada Mbak Suci. Ternyata biaya
untuk satu orang sebesar empat ribu rupiah. Aku rasa cukup murah untuk sejauh yang
aku rasakan.
Setelah sekitar sepuluh menit bus berhenti di depan sebuah Universitas yang
cukup megah. Mbak Suci mengajakku turun.
“Mas kita sudah sampai, ayo turun“
“Iya Mbak“
Segera kau mengangkat tas dan turun dari bus.
“Kita jalan ya, gak jauh ko’ ke pangkalan ojek“
“Iya mbak“
Aku berjalan mengikuti langkah Mbak Suci, sekitar lima menit kami berjalan,
akhirnya kami sampai pada sebuah pangkalan ojek. Kami naik ojek menelusuri
pemukiman yang cukup padat. Sekitar lima belas menit akhirnya kami sampai pada
sebuah rumah dengan pagar besi berwarna kuning.
Rumah yang cukup besar dan bersih serta rapi. Segera Mbak Suci membuka
pagar rumah dan mempersilahkanku masuk. Segera aku melangkah menuju teras rumah.
Sepanjang langka aku melihat deretan bunga-bungan yang tersusun rapi. Ya benar saja
kan semua penghuni rumah ini cewe, jadi wajar saja klau banyak bunga dan juga rumah
tampak rapi dan bersih.
Mbak Suci mengetuk pintu, dan tak berapa lama keluar seorang gadis membuka
pintu. Gadis yang cantik dan bersih, gadis dengan mengenakan pakaian tidur berwarna
krem dengan rambut terurai sebahu. Mataku terpelalak melihat pemandangan itu,
namun aku berusaha bersikap wajar walau dalam hati akau menahan pandanganku agar
tidak merusak hatiku.
“Eh Mbak Suci sudah datang, loh ini siapa Mbak?” Tanya gadis itu.
“Oya Na, kenalkan ini Mas Amir, kami bertemu saat di bandara, nanti aku
ceritakan, Mas ini temen satu rumah saya namanya Tresna, akrab dipanggil Na “
[9]
“Saya Amir Mbak“ seraya aku meyodorkan tangan kananku
“Aku Trisna“ seraya gadis itu menyambut dan menjabat tanganku
“Ayo Mbak, Mas masuk“ Tresna mempersilahkan masuk
“Oya Na, Meri sama Nita kemana, ko’ sepi?“
“Tadi mereka keluar Mbak katanya mau beli nasi goreng”
“Oh tolong sms sekalian beli jajanan gitu“
“Iya Mbak“
“Oya Mas silahkan duduk dulu, saya buatkan teh hangat dulu dan saya siapkan
kamar untuk Mas istirahat“
“Iya Mbak terimakasih“
Aku duduk di sofa ruang tamu. Padanganku tertuju pada seisi ruangan itu.
Benar-benar ruangan yang bersih dan tersusun dengan rapi. Tidak terlalu lama datang
mbak Suci degan secangkir teh hangat dan satu kaleng biscuit.
“Ini Mas diminum teh hangatnya dan ini ada roti silahkan dimakan“
“Iya Mbak makasih, duh saya jadi gak enak udah ngerepotin mbak“
“Gak papa, gak repot ko’ , Mas santai dulu ya, saya siapkan kamar buat Mas
istirahat. Mas tidur di kamar saya aja, biar saya tidur dengan Tresna“
Aku hanya tersenyum tanda setuju. Kupadangi Mbak Suci melangkah menuju
sebuah kamar. Sempat terbesik dibenakku bahwa dia adalah gadis yang begitu cantik
sampai aku merasa jatuh hati padanya. Namun aku segera menyadarkan diri bahwa aku
tak seharusnya punya pikiran terhadap orang yang telah banyak membantuku.
“Mas kamarnya sudah siap, silahkan barang-barangnya dibawa kekamar“
“Iya Mbak” seraya aku bangkit dan membawa tas rangselku menuju kamar
dengan diantar gadis itu.
“Di kamar ada kamar mandi dan toilet, jadi silahkan kalau mau mandi“
“Iya mbak terimakasih”
“Oke saya keluar ya, dan jangan tidur dulu, saya sudah meminta Meri untuk
membeli jajanan dan nanti aku kenalkan dengan semua penghuni rumah ini“
“Iya Mbak saya mandi dulu, oya ini jaket Mbak, terimakasihya Mbak”
“Oh iya sama-sama Mas”
[10]
Gadis itu kemudian keluar kamar setelah menyambut jaket yang ku berikan dan
menutup pintu.
Aku merasa badanku sangat tidak nyaman dan lengket, karena itu aku segera
mandi. Air yang sangat ingin aku rasakan mengalir keseluruh tubuhku. Walau dingin
aku merasa segar olehnya. Setelah mandi aku langsung mengganti pakaianku.
Jam tangan menunjukan pukul 20.30, aku segera sholat Isya’. Namun aku
bingung kemana arah kiblatnya. Aku keluar kamar untuk menanyakan arah kiblat pada
Mbak Suci, namun diruang tamu aku tidak mendapatinya. Sebenarnya aku mendengar
ada suara wanita disebuh kamar di dekat televisi, namun sepertinya aku tidak berani
untuk menghampiri kamar itu.
Sesaat aku berdiri di depan kamar Mbak Suci dengan perasaan bingung. Aku
terkejut ketikan ada dua waita lagi masuk dari pintu depan yang langsung bertanya dan
memandangku serius.
“Hai kamu siapa“ tanya salah satu wanita itu.
Belum sempat aku menjawab, Mbak Suci keluar dari kamar dan menjawabnya.
“Eh kamu sudah pulang Nin, kenalkan ini Mas Amir, tadi aku yang bawa dia
kami bertemu di bandara dan sementara ini dia menginap di rumah kita“
“Oh aku Nina mas“ wanita itu mengulurkan tangan kanannya.
“Saya Amir mbak“ seraya aku sambut uluran tangan wanita itu. Dan wanita
yang satunya juga memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangan kanannya.
“Aku Meri mMas“
“ Amir“
Aku hanya tersenyum pada mereka berdua. Benar-benar empat wanita penghuni rumah
yang sangat cantik dan ramah.
“Oya mbak Suci, arah kiblat kemna ya ?“
“Oh mari saya tunjukan“
Mbak Suci melangkah masuk ke kamar yang sementara aku tempati dan aku
lihat dia membuka lemari pakaiannya dan mengeluarkan sajadah dari dalam lemari itu
serta langsung memposisikannya kearak kiblat.
“Ayo Mas silahkan“
“Ya terimakasih Mbak“
[11]
Kemudian Mbak Suci keluar kamar dan kembali menutupkan pintu kamar itu.
Aku segera mengambil air wudhu dan sholat Isya’. Usai sholat aku duduk di ranjang
kamar itu sambil memperhatikan suasana kamar itu. Kamar yang sangat rapi, bersih dan
harum khas wanita. Aku merasa termanjakan di dalam kamar itu.
Sesaat aku melamun terdengar pintu kamar di ketuk. Aku segera bangkit dan
membuka pintu. Aku sedikit kaget, kulihat Mbak Suci berdiri di depan pintu kamar
dengan mengenakan baju tidur warna putih sangat tipis dan bagian celana bawahnya
sangat pendek di atas lutut sehingga aku dengan leluasa dapat melihat pahanya yang
sangat putih dan mulus.
Astagfirullah, dalam hati aku beristigfar dan berusaha bersikap biasa dan tidak
memperhatikan pemandangan itu.
“Mas ayo kita ngobrol-ngobrol sebentar di ruang tamu sambil makan jajanan.
Tadi Meri dan Nina membawa jajanan“
“Iya Mbak “
Sebenarnya aku tak sanggup jika harus berlama-lama dengan Mbak Suci yang
mengenakan pakaian seperti itu, tapia aku tidak bisa menolak ajakannya, aku takut
Mbak Suci yang baik hati telah menolongku merasa kecewa dan tersinggung jika aku
menolak ajakannya. Namun aku akan berusaha untuk menahan diri, walau aku akui itu
akan sangat berat karena aku adalah pria muda dan normal.
Segera aku mengikuti langkah Mbak Suci ke ruang tamu. Kulihat Nbak Nina,
Meri dan Trisna sudah ada di ruang tamu. Alangkah terkejutnya aku semua wanita di
hadapanku malam itu mengenakan baju tidur yang semuanya membuat aku tebelalak.
Mungkin bukan hanya aku, semua lelaki kalau melihat pemandangan itu pastinya akan
merasakan hal yang sama denganku.
Aku mulai berfikir macam-macam. Aku merasa ini hal yang pertama aku
rasakan, ada dalam satu rumah dengan empat wanita yang baru saja aku kenal dan
semuanya mengenakan pakaian yang menggoda iman. Ya Allah lindungilah hambamu
ini dari hal-hal yang Engkau haramkan.
“Ayo Mas duduk, ini ada jajanan silahkan dimakan, pasti Mas laparkan, jangan
sungkan-sungkan di sini dan anggap saja rumah sendiri, kami juga sudap menganggap
Mas sebagai keluarga kami?“ ucap Mbak Nina dengan senyum ramahnya.
[12]
“Iya Mbak terimakasih“ seraya aku duduk desofa itu.
Malam itu kami ngorol dan kami saling berbagi cerita. Mbak Suci adalah
mahasiswi calon bidan dan sudah semester lima dan juga adalah mahasiswi dari
Banjarmasin. Mbak Suci ternyata hanya sendiri di Surabaya, sama sekali tidak ada
keluarga. Mbak Nina adalah mahasiswi satu kampus juga dengan mbak Suci dan juga
sudah masuk semester lima. Mbak Nina asli orang Mediun. Sedangkan Mbak Tresna
dan Mbak Meri adalah mahasiswi satu kampus namun baru masuk semester tiga dan
keduanya dari daerah Tuban, masih kawasan Jawa Timur. Keempat mahasiswi itu
adalah seorang perantauan pula sama sepertiku. Mereka hidup dan kuliah sendiri, tak
ada keluarga yang menemani mereka.
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 22.00, aku segera pamitan untuk
pergi tidur. Merekapun sagat mengerti akan kecapeanku. Semuanya mempersilahkan
aku untuk beristirahat.
Aku segera melangkahkan kaki menuju kamar. Aku tutup pintu kamar itu dan
segera aku rebahkan badanku ke ranjang. Hem benar-benar kamar yang nyaman.
Aku malah susah tidur, mataku terasa susah terpejam. Pikiranku melayang-
layang tak jelas. Tatkala aku memikirkan langkah apa yang akan aku tempuh besok,
namun terkadang pula ke empat mahasiswi tadi terbayang-bayang dalam pikiranku
malam itu. Aku bangkit dan aku mencoba mencari sesuatu yang dapat menghangatkan
badanku. Malam itu tersa dingin sekali, dan aku melihat ada selimut yang terlipat rapi
disamping bantal. Segera aku buka selimut itu dan aku bungkuskan ke badanku. Terasa
hangat dan terlebih bau harum yang sangat jelas tercium oleh hidungku. Bau khas
wanita, semua itu membawaku tertidur lelap.
Keesokan harinya aku terbangun pukul 06.12 segera aku bangun dan sholat
subuh, setelah itu mandi. Usai mandi aku merapikan kamar termasuk selimut itu.
Setelah terlihat rapi aku keluar kamar dan menuju teras untuk menghirup udara segar,
namun ternyata udara luar masih sangat dingin. Aku merasa tetap ingin di luar untuk
menikmati suasana luar.
Rumah yang tidak terlalu jauh dari jalan raya, karena itu denga jelas
pandanganku bisa jauh ke jalan itu. Aku melihat dipagi itu jalur lalulintas yang sudah
[13]
cukup padat. aku ingin sekali mendekat ke jalan itu, ingin lebih jelas dan lebih leluasa
menyaksikan kesibukan daerah itu, daerah yang untuk pertama kalinya aku datangi.
Aku langkahkan kaki menuju ke jalan raya dengan kedua tanganku bersilang
kedada karena menahan rasa dingin yang sepertinya merasuk dalam tubuhku sampi
dengan terasa ke tulang.
Aku berdiri tepat di bawah pohon yang cukup rindang di tepi jalan.
Pandanganku kesana-kemari menyaksikan lalu-lalang mobil dan tiba-tiba mataku tertuju
pada sebuah kios kecil bertuliskan “ WARTEL ANI “. Aku teringan pada nomor telefon
yang diberikan oleh ibuku. Segera aku merogoh-rogoh kantong celanaku mencari
secarik kertas dimana aku tulis nomor itu. Akhirnya aku menemukan kertas itu dan
segera aku menyebrang jalan menuju wartel itu.
Aku sedikit kecewa ternyata wartel itu belum buka. Aku mencoba menunggu
watrel itu buka. aku melihat ada sebuah kursi panjang di samping wartel itu. Segera aku
menuju ke kursi itu dan beristirahat sambil kembali menghisap rokok.
Benar-benar nikmat merokok di udara yang dingin itu. Ya aku adalah seorang
perokok aktif. Sebenarnya orang tuaku sangat melarang keras aku merokok walau
ayahku sendiri seorang perokok, namun entah kenapa aku jadi ikut-ikutan merokok.
Mungkin karena terpengaruh oleh pergaulan dan lingkungan pertemanaku sehingga aku
jadi seorang perokok.
Semua bermula dari waktu itu aku bersetatus sebagai karyawan sebuah pabrik
tidak jauh dari rumah orang tuaku. Di pabrik itu aku sebagai teknisi listrik. Jam kerjaku
juga tidak hanya pada siang hari. Aku dan rekan kerja mempunyai jam kerja tiga sift,
pagi, sore dan malam. Pada saat sift malam itulah aku sering dan mulai merokok.
Karena teman yang semuanya perokok dan juga udara dingin yang membuat aku mulai
mengenal rokok. Walau dalam peraturan perusahaan karyawan dilarang merokok disaat
jam kerja, namun aku dan teman-teman karena sebagai tekisi jadi sangat memungkinkan
dan memiliki akses kerja tidak hanya di dalam ruangan. Kami lebih sering berada di
luar ruangan, dan saat kami di luar ruangan itulah kami dengan leluasa bisa merokok.
Hal itu terus berlanjut sampai dengan aku benar-benar menjadi seorang perokok
aktif dan memberanikan diri dengan terang-terangan merokok di rumah dan di hadapan
kedua orang tuaku. Tapi ternyata tidak seperti yang aku bayangkan, ternyata orang
[14]
tuaku sama sekali tidak marah dan tidak melarang namun hanya berpesan kalau sudah
berani merokok ya harus mencari sendiri mencari uang sendiri dan tidak minta rokok
pada orang tua. Mungkin karena waktu itu aku sudah bekerja jadi aku merasa bisa
melakukan itu.
Aku terkejut saat ada suara keras yang masuk dalam telingaku. Seperti sebuah
suara benturan dan aku segera menolehkan kepala kebelakang. Ternyata suara itu
berasal dari wartel dan aku melihat ada seorang laki-laki muda sedang berdiri di depan
pintu wartel dan membuka pintu itu. Aku senang, ternyata wartel itu sudah buka. Segera
aku bangun dari duduk dan menghampiri laki-laki itu.
“Mas wartel sudah buka ya?” tanyaku pada laki-laki itu.
“Iya Mas, sebentar ya“ jawab laki-laki itu.
Aku hanya tersenyum padanya. Laki-laki itu langsung masuk ke dalam sebuah ruangan
kecil dengan satu unit komputer di di dalamnya. Sepertinya laki-laki itu sedang
menyalakan alat-alatnya.
“Mas mau nelfon ya? silahkan telfon sudah siap mas“
“Iya Mas terimakasih“
Aku segera melangkah masuk dan masuk pada box 1. Segera aku menghubungi
nomor itu dengan harapan besar ada yang menggangkatnya. Aku sedikit murung saat
lama tak juga ada yang mengangkat. Kemudian aku mencoba mengulangnya lagi dan
tidak terlalu lama ternyata ada mengangkat telfonku itu.
“Hallo“
Terdengar suara seorang wanita, aku tak tau apa itu suara gadis atau suara ibu-ibu, tapi
yang jelas suara itu sangat lembut dan merdu.
“Hallo Mbak, maaf saya mengganggu, saya mau tanya apa ini dengan tetangga
bapak Anton? saya Amir ingin berbicara dengan beliau, apa mbak bisa bantu saya untuk
menghubungkan ke beliau?“
“iya mas benar saya tetangga bapak Anton, tapi sayangnya bapak Antonya sudah
pindah rumah sekitar satu bulan yang lalu“
“begitu ya, em apa mbak tau beliau pindah ke mana?“
[15]
“wah maaf Mas saya tidak tau, oya Mas minta maaf ya ini saya buru-buru mau
berangkat kuliah dan di rumah tidak ada orang, jadi kalau mas pengen jelasnya nanti
telfon lagi“
“Oh iya Mbak, nanti saya telfon lagi, terimakasih ya mbak“
“Ok sama-sama“
Aku kembali khawatir denga keadaan itu. Ternyata orang satu-satunya yang bisa
aku tuju telah pindah rumah dan parahnya lagi tetanggnya pun tak tau beliau pindah
kemana.
Setelah membayar biaya telefon itu aku segera keluar dan menuju sebuah pohon
rindang di seberang jalan. Aku duduk sebentar di bawah pohon itu sambil mencoba
berfikir langkah apa yang akan aku ambil selanjutnya.
Aku mulai mencoba sedikit kebingungan, namun aku berfikir bahwa nanti bisa
aku telfon lagi nomor itu. Walau gadis itu tidak tau dimana pak Anton pindah, mungkin
keluarga atau tetangga yang lain pasti tau, toh gadis tadi dia bilang ingin berangkat
kuliah artinya dia adalah seorang mahasisw dan itu artinya bisa jadi kurang
memperdulikan kalau ada tetangganya yang pindah rumah. Selain itu aku juga bisa
minta alamat gadis itu untuk lebih jelas menanyakan langsung pada keluarga atau
tetangganya yang lain perihal kepindahan pak Anton.
Semangatku mulai bangkit, setelah mantap aku beranjak kembali kerumah para
mahasiswi yang cantik-cantik dan juga baik hati itu. Aku juga merasa tidak enak sudah
terlalu lama keluar rumah tanpa pamit.
Sesampainya di pagar rumah itu, Mbak Suci menyapaku,,
“Mas dari mana aja, saya cari-cari gak ketemu, Mas membuat saya khawatir“
“Maaf Mbak tadi saya ke sebrang, ke wartel di seberang jaan itu“
“Oh begitu, kanapa gak bilang dulu jadi saya gak khawatir, terus gimana bisa
nyambung?“
“Iya Mbak maaf, sudah nyambung tadi, tapi ternyata orang yang saya cari sudah
pindah rumah dan parahnya lagi orang yang aku telfon tidak tau pindahnya kemana“
“Begitu ya, terus langkah apa yang akan kamu ambil selanjutnya?“
“Belum tau pasti sih, tapi yang jelas aku nanti akan nelfon lagi dan minta alamat
rumah orang yang aku telfon tadi dan aku akan kesana untuk menayakan pada tetangga
[16]
yang lain kemana pak Anton pindah rumah, mungkin diantara para tetangga ada yang
tau.“
“Lha kenpa tadi gak sekalian ditanya alamatnya“
“Tadi orang yang saya telfon sedang buru-buru mau berangkat kuliah, jadi gak
sempet aku tanyakan Mbak“
“Oh begitu, ya sudah ayo masuk itu sarapan sudah siap dan sebelum bisa
menemukan orang yang Mas cari, Mas boleh tinggal dulu di rumah ini“
“Terimakasih Mbak, saya gak mau merepotkan Mbak terlalu lama, saya akan
mencoba nyari tempat tinggal sambil mencari alamat pak Anton“
Mbak Suci hanya tersenyum padaku, senyum yang sangat manis dan menawan.
Aku sempet berfikir andai dia adalah kekasihku, mungkin aku adalah laki-laki paling
bahagia di bumi ini. Namun itu hanya fikirku dan aku hanya tersenyum dalam hati.
Kami melangkah masuk rumah dan menuju ke dapur. Aku melihat ada dua
piring nasi goreng yang masih panas dan dua gelas teh yang sepertinya masih hangat.
“Mbak, yang lain kemana ko’ sepi?“
“Mereka sudah pada berangkat kuliah“
“Sepagi ini? terus Mbak sendiri kenapa belum berangkat?“
“Biasanya gak sepagi ini sih, tapi hari ini mereka ada janji dengan teman-
temannya yang lain untuk ngerjin sesuatu. Kalau saya nanti siang baru ada kuliah. Ayo
kita sarapan, maaf cuma ada nasi goreng.“
“Iya Mbak terimakasih, ini sudah sangat cukup Mbak“
Kemudian kami sarapan bersama dalam satu rumah hanya berdua, duduk
bersebelahan di ruang dapur dan makan nasi goreng yang sama minumnyapun sama.
Aku mulai tersenyum sendiri saat melamun dan membayangkan bahwa kami adalah
sepasang suami istri yang sedang sarapan bersama di rumah kami . Alangkah konyolnya
lamunanku itu.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?“
Sontak aku terkejut Mbak Suci menanyakan itu, ternyata tanpa aku sadari aku terlalu
menghayati lamunanku itu sampai tersenyum sendiri.
[17]
“Ah gak papa Mbak, aku gak nyangka aja akan bertemu dengan Mbak yang
begitu baik hati mau menolong saya. Saya gak tau bagaimana membalas semua
kebaikan Mbak kepada saya ini.“
“Sudahlah jangan difikirkan anggap ini adalah kewajibanku sebagai sesama
manusia yang wajib saling tolong-menolong.“
“Terimakasih Mbak, seumur hidup saya tidak akan melupakan semua kebaikan
Mbak kepada saya.“
Usai sarapan aku diajak nonton televisi di ruang tamu, karena memang tak ada
sesuatu yang bisa kami kerjakan pagi itu. Mbak Suci juga setelah jam dua siang baru
ada kuliah. Karena itu lah kami berdua hanya bersantai berdua di ruang tamu.
“Oya Mas katanya mau cerita kenapa mas bisa sendirian ke Surabaya?“
Aku kembali terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku tak menyanggka bahwa
Mbak Suci bisa sebesar itu rasa ingin tahunya tentang aku. Aku berfikir gak ada
salahnya cerita dengan dia, toh dia juga sangat baik padaku dan gak ada alasan aku
untuk menolak berbagi cerita dengannya.
“Oke saya akan cerita, tapi Mbak harus janji gak akan ngetawain ceritku ya.“
“Loh kenapa saya harus ngetawain Mas?“
“Ya mungkin itu sedikit menggelikan.“
“Oya, jadi semkin penasaran nih“
“Tu kan senyum-senyum, janji dulu jangan ketawa nanti.“
“Iya deh janji.“
Aku mulai menceritakan semua yang terjadi sampai dengan aku harus nekat sendirian
pergi ke Surabaya.
Semua berawal dari masalah cinta. Saat itu aku bersetatus sebagai karyawan
sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan dan aku sebagai karyawan
teknisi listrik sesuai dengan latar belakang pendidikanku D3 teknik Listrik.
Saat yang bersamaan aku telah lama menjalin hubungan percintaan dengan
seorang wanita yang dulunya adalah teman satu kampus. Namanya Andini yang akrab
akrab dipanggil Dini. Namun kusus aku memanggilnya mamah dan dia memanggilku
papah. Ya mungkin karena sudah lama pacaran jadi kami lebih suka memanggil seperti
itu. Aku berpacaran dengan dia mulai semester dua saat kuliah. Kami adalah mahasiswa
[18]
dan mahasiswi satu universitas dan sefakultas. Kami saling kenal, akrab dan akhirnya
saling mencintai.
Hubungan kami berjalan dengan baik sampai dengan lulus dan sampi degan
kami mendapatkan pekerjaan masing-masing di tempat yang berdeda. Aku sebagai
karyawan perusahaan dan dia bekerja di kantor PLN di Bnajarmasin.
Walau kami terpisah jarak sekitar 62 KM namun hubungan kami baik-baik saja.
Bahkan saat bertemu semakin mesra. Seminggu sekali kami bertemu. Terkadang aku
yang ke rumahnya dan terkadang juga dia yang ke rumahku. Kami sudah sangat dekat
dan saling mencintai. Kedua orang tua kami pun tampaknya setuju dengan hubungan
kami. Namun tidak dengan kaka perempuan Dini, dia sepertinya kurang setuju dengan
hubunga kami, sebut saja kak Nia. Kak Nia sebenarnya adalah wanita yang baik. Dia
belum menikah dan bekerja di kantor PLN juga sebagai sekertaris. Umurnya 27 Tahun
empat tahun lebih tua dari aku dan Dini.
Hubungan kami semakin hari semakin serius, sampai dengan aku mengutarakan
bahwa aku ingin melamar Dini. Aku sudah mempertimbangkan seumanya, umur kami
sudah 23 tahun dan aku juga sudah punya penghasilan ya walau tidak terlalu besar
namun dengan dua juta lima ratus ribu rupiah perbulan aku rasa cukup untuk berumah
tangga, belum lagi tunjangan yang aku peroleh sekitar tiga ratus ribu rupiah
perbulannya. Jadi ditotal kira-kira sekitar dua juta delapan ratus ribu rupiah
perbulannya, ditambah lagi gaji Dini. Kami merasa itu sudah cukup. Dia sangat setuju
dan bahagia mendengar keinginanku untuk melmarnya dalam waktu dekat dan orang
tuaku juga setuju saja dengan pilihanku.
Sepakat kami menentukan bulan depan untuk melamar Andini. Semua telah
dipersiapkan. Tiga minggu sebelum hari lamaran tiba itulah sebagai awal
permasalahannya. Andini menelfon dengan suara terisak-isak karena menangis. Aku
bingung ada apa, apa yang terjadi. Andini mulai cerita bahwa kakak perempuanya dan
kedua orang tuanya telah menjodohkannya dengan laki-laki lain. Seorang laki-laki dari
keluarga kaya raya dan memiliki banyak perusahaan di seluruh kota di Indonesia.
Semua itu membuatku shock dan terpuruk. Aku bingung harus bagaimana, apa
yang harus aku berbuat. Mendengar anak seorang pengusaha kaya-raya dengan
[19]
memiliki banyak perusahaan membuat hatiku ciut dan minder. Mulai saat itu aku benar-
benar merasa dalam masalah besar.
Aku tak mau hanya tinggal diam, aku mencoba untuk menjelaskan hubungan
kami kepada orang tua dan kakaknya yang memang sudah aku tau bahwa dia kurang
setuju akan hubungan kami itu.
Hari itu hari munggu dan hari itu adalah hari libur perusahaan. Aku datang ke
rumah Andini bermaksud untuk menjelaskan akan keseriusanku kepada orang tua dan
keluarganya.
Sesampainya di rumah Andini aku terkejut. Banyak mobil mewah di halaman
rumahnya. Aku penasaran dan segera mengetuk pintu rumah.
Tidak begitu lama pintu dibuka, dan ternyata yang membuka pintu dan berdiri di
hadapanku adalah kak Nia.
“Ada perlu apa kamu ke sini ? Andidni hari ini sudah dilamar orang. Orang yang
kaya gak seperti kamu yang miskin“
Aku terkejut mendegar bahwa Andini telah dilamar hari itu dan terlebih hatiku
seperti disayat saat mendengar kata-kata miskin dari kak Nia. Entah kesalahan dan dosa
apa yang telah aku perbuat pada kak Nia sampai dia begitu membenciku.
“Maaf Kak saya mau ketemu dengan Andini“
“Kamu pulang saja, di dalam Andini sedang bersama calon suami dan
mertuanya. Dalam waktu dekat Andini akan menikah“
“Tapi Kak kami saling mencintai dan tolong ijinkan aku untuk bertemu dengan
Andini“
“Saling mencintai?, apa hidup itu akan kenyang hanya dengan saling
mencintai?“ jawab Nia dengan sinis dan dengan senyum meremehkan.
Aku hanya bisa diam mendengar itu. Aku sadari hidup perlu uang dan harta kalau mau
bahagia.
“Siapa Nia?“ terdengar suara ibu-ibu dari dalam rumah, sepertinya itu adalah
suara ibu Emi, ibunya Andini dan kak Nia.
“Gak siapa-siapa mah“
Sesaat kemudian ibu Emi datang dan sepertinya terkejut melihat aku bediri di depan
pintu luar.
[20]
“Eh nak Amir, ada apa nak“
“Ibu saya ingin bertemu dengan Andini ibu, tolomg ijin saya bertemu degan
Andini“
“Kamu mungkin sudah tau apa yang sedang terjadi sekarang ini nak, tapi ibu
akan bilang langsung pada kamu banwa Andini sudah dilamar orang, jadi kami mohon
maaf padamu nak“
“Tapi kami saling mencintai ibu“
“Ibu tau, tapi perlu kamu ketahui, keluarga calon suami Andini adalah teman
baik kami dan kami akan sangat tidak enak kalau kami menolak lamaran mereka,
semoga kamu mengerti maksud ibu. Ibu tau kalian saling mencintai dan ibu juga tau
kamu adalah pria baik, tapi sekali lagi maafkan kami, mungkin Andini bukan jodohmu”
”Tapi ibu saya ingin sekali bertemu dengan Andini sekarang“
“Ya sudah, Nia panggil adikmu ke sini“
“Tapi mah,,?”
“Supah panggil saja adikmu sekarang” tegas bu Emi.
“Iya mah“
Kemudian kak Nia melangkah masuk rumah, sedangkan Bu Emi masih berdiri
di hadapanku. Aku hanya bisa diam dan meruduk dengan suasana hati yang kalut.
“Mas Amir“ Andini menyapa dengan kepala merunduk.
“Andini, kenapa jadi seperti ini?“
Belum sempat Andini menjawab ibu Emi meyuruh kami mencari tempat untuk
ngobrol, tempat yang tersembunyi agar tamu rumah itu tidak tau. Kamipun menuju
taman belakang rumah.
“Maafkan aku Mas, karena kedua orang tua dan semua keluarga, aku terpaksa
menerima lamaran itu dan dalam waktu dekat kami akan menikah Mas.“
“Tapi bagaimana dengan aku, kamu bilang tadi terpaksa, apa kamu akan bahagia
dengan pernikahan yang terpaksa?“
“Mungkin kita tidak jodoh Mas. Aku sangat mencintai Mas, tapi kita tidak bisa
menikah. Masalah bahagia atau tidak akan aku tanggung mas, aku tidak mau membuat
orang tuaku sedih dengan menolak perjodohan ini. Semoga mas Amir mengerti“
“Aku tidak bisa menjalani hidup tanpa mu sayang“
[21]
“Begitu juga denganku Mas, tapi mau tidak mau ini lah kenyataannya, ini lah
yang terjadi pada kita, pada cinta kita. Maafkan aku Mas, sebaiknya Mas pulang dan
untuk mas tau cinta ini tetap untuk mas dan mas akan selalu ada dalam hati Andini.
Sekali lagi maafkan Andini dan keluarga Andini Mas. Andini berdo’a agar Mas
mendapatkan pengganti Andini, mendapatkan istri yang lebih baik dari Andini. Amin.
Selamat tinggal Mas“
Andini bangkit dan menjauh dariku, terus aku pandangi langkahnya.
“Andini aku tidak akan tinggal diam, aku tidak rela kamu menikah dengan pria
lain” teriakku pada Andini.
Seketika andini berhenti dan berbalik memandangku.
“Mas, Andini memang mencintai mas, tapi perlu Mas tau Andini tidak hanya
perlu cinta tapi Andini juga perlu harta untuk hidup bahagia. Andini yakin Mas tidak
bisa memenuhi itu, jadi sadarlah lah Mas, sadarlah bahwa kita tidak akan bisa bersama.
Maafkan aku Mas.
Aku terkejut dengan yang apa aku dengar barusan, wanita yang sangat aku cintai
dan waita yang telah berjanji untuk hidup bersama tega mengucapkan kata-kata itu. Aku
benar-benar kecewa, aku meyesal telah mengenalnya. Aku tidak percaya Andini bisa
berfikir seperti itu, aku tak percaya seorang wanita yang aku banggakan ternyata tak
jauh berbeda dengan wanita kebanyakan yang hanya mencari dan menilai kebahagiaan
hanya dengan harta semata.
Aku tak kuasa membendung air mata. Aku hanya bisa diam dan hanya bisa
melihat Andiri berlari menjauh dariku sampai denga hilang dari pandanganku.
Karena semua sudah sangat jelas, akhirnya aku pulang dengan membawa
kenyataan pahit dan kesakitan hati karena putus cinta.
Setelah hari itu hatiku sangat sakit dan aku merasa adalah laki-laki tak berguna.
Hari terus berlalu. Satu minggu kemudia datang undangan pernikahan padaku.
Alangkah terkejutnya aku setelah tau bahwa itu adalah undangan pernikahan Andini.
Bagai tersambar petir saat itu, airmataku pun dengan derasnya mengalir.
Hari itu adalah hari Minggu dan juga adalah hari pernikahan Andini. Aku tetap
menghadiri undangan itu dengan mebawa sebuah kado untuk kedua pengantin.
[22]
Kado itu berisi kalung dan cincin emas, serta uang tunai sebesar satu juta rupiah
dan secarik kertas dengan goresan tinta ucapan selamat atas pernikaha tertanda Amir.
Semua itu aku beli dari uang persiapan untuk melamarnya. Semua aku belikan emas
yang merupakan niat awalku untuk meminang Andini dan uang satu juta rupiah adalah
mahar yang telah aku rencanakan untuk Andini. Tapi ternyata itu semua bukan lah
menjadi cincin tunangan dan uang mahar, namun hanya sebagai kado semata. Aku iklas
memberikan semua itu untuk wanita yang sangat aku cintai.
Dengan hati yang tersiksa dan badan gemetar aku serahkan kado itu pada Andini
dan terlebih aku harus bersalaman dengan laki-laki itu, laki-laki yang akan meyentuh
tubuh wanita yang sangat aku cintai. Itu terasa sangat sakit bagiku.
Satu bulan setelah pernikahan itu aku mulai sedikit bisa bangkit setelah dilanda
keterpurukan. Belum selesai masalah itu datang lagi masalah baru. Kali ini masalah
pekerjaan. Ternyata perusahaan bangkrut dan semua karyawan dirumahkan untuk waktu
yang tidak jelas. Selama dirumahkan karyawan tidak mendapatkan gaji.
Karena itu aku jadi nganggur dan itu membuatku semakin bosan. Satu minggu
sudah aku menganggur dan akhirnya aku putuska untuk mengadu nasib di daerah lain.
Selain untuk pengalaman dan mencari perubahan, tujuanku untuk merantau adalah
untuk melupakan Andini.
Aku pilih pergi ke Surabaya namun aku sama-sekali tak memiliki saudara di
sana. Ada kerabat ibuku yang tinggal di Surabaya, tapi ibuku tak tau almatnya. Terakhir
ibuku berkomunikasi tiga tahun yag lalu lewat telefon, itupun telefon tetangganya.
Namanya Pak. Anton, dia adalah kerabat lama dari keluarga ibuku. Lantas aku diberi
nomor telefon itu.
Sebenarnya kau masih mempunyai keluarga dari ayahku. di daerah Tuban, tapi
aku tidak mau kesana karena aku ingat waktu itu aku masih kecil dan bersama orang
tuaku aku diajak ke Tuban. Waktu itu daerahnya sangat sepi dan merupakan sebuah
pedesaan dan juga aku kurang mengenal mereka. Jadi karena itu lah aku lebih ingin ke
Surabaya saja untuk mencari pengalaan di kota.
Sapai degan suatu hari aku berpamitan dan pergi ke bandara degan penerbangan
pukul 14.00. berangkatlah aku dengan semangat. Sampai akhirnya aku berada di rumah
ini.
[23]
“Begitu mbak ceritanya“
“Wah tragis juga ya ceritamu, cinta terkadang memang indah dan terkadang juga
menyedihkan“
“Iya Bbak karena itu lah aku ingin merubah nasib dan membuktikan bahwa saya
bisa medapatkan apa yang aku mau”
“Wah aku suka semangat mu Mas“
“Oya Mbak maaf umur Mbak berpa sih?“
“Umur saya 24 tahun, kenapa Mas“
“Umur saya baru 23 tahun, jadi Mbak jangan panggil Mas ya“
“Loh kenapa memangnya, benar saya lebih tua dari situ, tapi saya cewe dan situ
cowo jadi manggilnya Mas aja, Mas gak keberatan kan?“
“Oh begitu ya, sama sekali gak kebertan Mbak panggil saya Mas dan saya
panggil pian Mbak, lucu ya, hehe“
“Iya tapi yang penting saling menghormati“
Aku tersenyum dan Mbak Suci membalas senyumku dengan ciri khasnya
senyum manis dengan lesung pipi yang begitu indah, yang ternyata baru aku sadari hari
itu. Benar-benar wanita yang cantik ada bersamaku.
“Oya Mas sudah jam 12.30 nih, saya keluar sebentar ya, Mas tuggu rumah
sebentar ya?“
“Oh iya Mbak,“ seraya aku melihat jam tanganku dan ternyata benar sudah jam
12.30. tak terasa waktu begitu berlalu dengan cepat.
Aku segera bangkit untuk mengambil air wudhu dan sholat zhuhur, sedangkan
mbak Suci pergi keluar. Setelah sholat aku kembli ke ruang tamu menonton TV sambil
menunggu mbak Suci pulang.
Tiga puluh menit aku menunggu akirnya Mbak Suci pulang dengan membawa
sebuah kantongan plastik cukup besar. Ternyata Mbak Suci pergi membeli makanan,
nasi lalapan, berbagai cemilan dan minuman ringan. Semua itu dia beli untuk
menjamuku. Aku benar-benar merasa tidak enak atas semua kebaikannya.
Semua yang dibeli disiapkan di meja makan. Kemuadian mbak Suci mengajakku
makan bersama. Lagi-lagi masih berdua makan bersama. Suasana yang romantis
buatku.
[24]
Setelah makan Mbak Suci pergi mandi dan siap-siap untuk berangkat ke kapus.
Jam menujukan tepat pukul 02.00 Mbak Suci pamit pergi ke kampus dan dia memintaku
untuk tetap di rumah sampai peghuni rumah yang lainya pulang.
Aku mengantarnya sampai ke depan pagar rumah dan terus aku pandangi dia
yang melaju dengan motor metiknya sampai jauh dan tak terlihat lagi.
Aku kembali masuk kedalam rumah dan duduk di shofa ruang tamu. Aku
bingung mau ngerjakan apa siang itu. Aku merasa bosan sendirian di rumah tanpa ada
yang dikerjakan. Namun aku harus tetap di rumah sesuai pinta Mbak Suci.
Satu jam berlalu, akhirnya Mbak Trisna pulang, tak berpa lama Mbak Meri dan
Mbak Nina juga pulang. Setelah terlebih dulu kami ngobrol di ruang tamu, aku pamit ke
kamar untuk sholat Asyar, karena waktu telah menunjukan pukul 16.00. mereka bertiga
juga ke kamar masing-masing setelah terlebih dulu menutup dan mengunci pintu depan
Sepertinya mereka akan istirahat.
Segera aku mengambil air wudhu dan sholat Asyar. Setelah sholat aku merasa
sangat mengantuk. Kemudian aku rebahkan badanku ke ranjang. Terasa nyaman dan tak
terlalu lama aku langsung tertidur pulas.
Aku terkejut dan sontak terbangun saat aku rasakan ada seserang yang
menggoyang badanku. Saat aku membuka mata terihat olehku wajah Mbak Suci dan ia
tersenyum padaku.
“Maaf Mas saya membangunkan, sudah jam enam sore, apa gak sebaiknya mas
mandi dulu“
“Astagfirullah, saya ketiduran mbak“ jawabku seraya melihat jam taganku.
“Buruan mandi ge“ tambah Mbak Suci.
“Iya mbak terimakasih sudah membangunkan“
Aku segera bangun dan menuju kamar mandi, sedangkan Mbak Suci langsung
keluar kamar dan menutup pintu. Usai mandi dan ganti baju aku masih tetap di kamar.
Aku baru sadar dan ingat bahwa aku belum menelfon nomor itu lagi. Aku benar-benar
tidak menyangka ketiduran sampai senja.
Tak berapa lama terdengar adzan Magrib, segera aku menganbil air wudhu dan
sholat Magrib. Usai sholat aku keluar kamar. Kemudian aku menuju ke ruang tamu. Di
ruang tamu para gadis penghuni rumah itu berkumpul sambil menonton TV.
[25]
“Mas sini gabung“ sapa Mbak Nina
“Iya terimakasih, oya Mbak saya mau keluar sebentar ya“
“Kemana mas ?“ Tanya mbak Suci
“Mau ke wartel di depan Mbak“
“Mau nelfon ya?, sudah pake handphone saya aja ne,,” sahut Mbak Suci seraya
Menyerahkan hangphonenya.
“Iya Mbak terimakasih, saya pinjam sebentar ya Mbak“ seraya aku menyambut
hanphone itu dan aku bawa keluar rumah.
Segera aku menelfon nomor itu, dan tak terlalu lama telfonku diangkat.
Terdengar suara wanita, dan sepertinya itu adalah suara wanita pagi tadi, seorang
mahasiswi.
“Mbak ini saya yang nelfon tadi pagi“
“Oh iya, maaf mas ternyata keluarga saya belum pulang, Mas mau nanyakan
alamat baru pak Anton kan?“
“Iya Mbak“
“Memangnya mas sekarang posisi ada di mana?“
“Sebentar saya lupa ini daerah mana ya.“
“Loh memangnya Mas dari mana dan sekarang dimana.“
“Ah saya baru ingat saya sekarang ada di Mojokerto, saya dari Banjarmasin
Mbak. Kemarin malam saya baru sampai di sini.“
“Lha sekarang Mas di tempat siapa?“
“Saya di rumah seseorang yang memberikan tumpangan menginap untuk saya“
“Oh begitu. Oya Mas Mojokerto itu dekat dengan rumah saya, jadi bagaimana
kalau besok pagi Mas ke rumah saya aja. Nanti bisa tanya dengan tetangga yang lain,
kalau ketemu langsung bisa jelas Mas, gimana?“
“Memangnya alamat rumah Mbak sekarang dimana?”
“Rumah saya di Mojosari, Mas naik bus atau angkot jurusan Mojosari dan turun
di pasar Legi, terus naik bejak minta antar ke rumah pak. Muji gitu“
“Ok insya Allah besok sekitar jam delapan saya ke rumah Mbak. Terimakasih
dan maaf sudah merepotkan mbak “
“Gak papa mas“
[26]
“Ok sampai ketemu besok“
Sambungan aku putus. Aku sedikit lega karena akan segera menemukan titik terang
arah tujuanku.
Segera aku masuk ke dalam rumah dan menjelaskan semuanya ke Mbak Suci,
termasuk rencana besok untuk pergi ke Mojosari sekaligus mengatakan bahwa besok
pagi akau akan pamit dan meminta ijin untuk menginap satu malam lagi di rumah ini.
“Iya Mas gak papa, besok kalau Mas belum bisa menemukan rumah pak Anton,
Mas bisa ke sini lagi untuk menginap. Dengan senang hati kami akan menyambut Mas,
iyakan temen-temen?“
“Iya mas santai aja.“ sahut mbak Trisna dan yang lainnya.
“Terimakasih Mbak“
Aku benar-benar merasa tertolong oleh ke empat mahasiswi itu, sudah cantik-
cantik baik hati pula. Terimakasih ya Allh Engkau telah menolong hambau ini.
Waku terus berlalu, tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 08.30, kami
makan malam bersama dan setelah itu aku pamit ke kamar untuk sholat dan langsung
tidur, dan malam itu aku tidur nyeyak sekali.
Pukul 04.30 aku bangun pada keesokan harinya. Segera sholat dan langsung
mandi. Usai mandi aku merapikan kamar. Setelah semua terlihat rapi aku segera keluar
kamar menuju teras depan rumah. Aku ingin menghirup udara dingin itu lagi. Walau
dingin tetapi itu terasa sangat segar dan nyaman.
Tak ketinggalan sambil santai menikmati udara dingin,sebatang rokok aku
nikmati. Sampai tak terasa waktu telah menunjukan pukul 06.30 pagi. Aku segera
masuk kedalam rumah setelah terdengar olehku Mbak Suci memanggilku dari dalam
rumah, meminta untuk masuk ke dalam rumah dan sarapan bersama.
Usai sarapan pagi aku segera mengambil semua barangku dari kamar Mbak
Suci. Tak lupa kembali aku memperhatikan kamar itu, mencoba mencari apa ada yang
kurang rapi. Setelah yakin bahwa kamar itu telah rapi, segera aku keluar kamar dengan
barang-barangku, kemudian aku tutup pintu kamar itu.
Aku melangkah menuju ruang tamu dan di ruang tamu semua mahasiswi calon
bidan itu telah menungguku. Aku segera berpamitan dengan mereka, terutama Mbak
Suci yang telah banyak membantuku. Aku mengucapkan terimakasih kepada mereka
[27]
semua atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan padaku. Mereka semua sangat
membantu dan menolongku.
“Mas nanti kalau belum ketemu dan beluk ada tempat tinggal Mas ke sini lagi ya
dan ini nomor handphone saya, simpanya“ pinta Mabk Suci seraya memberikan secarik
kertas yang berisi catatan nomor telepon.
“Iya Mbak terimakasih atas semua bantuannya, saya gak tau nanti bagaimana
membalas semua kebaikan Mbak.“
“Sudah jangan dipikirkan, yang penting Mas baik-baik aja dan jangan lupakan
kami itu sudah cukup“
“Saya tidak akan melupan Mbak-Mbak semua. Ok saya pamit ya Mbak.
Assalamualaikum.“
Waaluikumsalam “ jawab semua mahasiswi itu.
Seera aku melangkahkan kaki meuju tukang ojek yang telah menungguku. Mbak
Suci telah memanggilkan ojek itu untuk mengantarku ke jalan raya menuju Mojosari.
Setelah sekitar 15 menit perjalanan akupun sampai di jalan raya dan tak jauh
dari kampus dimana Mbak Suci dan teman-teman satu rumahnya berkuliah.
“Berapa pak? “
“Sudah dibayar Mas sama Mbaknya tadi?“
Aku kembali merasa sangat banyak berhutang pada Mbak Suci, karena aku yakin yang
membayar ojek ku ini adalah Mbak Suci.
“Terimakasih pak“
Tukang ojek itu langsung pergi meninggalkan aku. Aku berdiri di tepi jalan
menunggu bus yang akan membawaku ke Mojosari.
Tak lama terlihat sebuah bus mini berwarna kuning mendekat. Segera aku
lambaikan tanganku. Bus itu berhenti tepat di depanku. Segera kau naik dan duduk di
kursi samping kanan nomor tiga dari kursi supir kearah belakang.
Aku sangat menikmati perjalanan itu. Maklum baru di ini aku bepergian naik
bus, di Kalimantan sama sekali tak pernah aku bepergian naik bus. Pandangaku terus
tertuju pada jalanan yang tampak dipadati oleh kendaraan, sampai aku merasa ada yang
ganjil. Aku merasakan ada sesutau yang tidak seperti biasanya. Astagfirullah ternyata
jam tangan tidak ada di lenganku. Sepertinya jam itu tertinggal di kamar Mbak Suci.
[28]
Aku baru ingat saat mandi jam itu aku lepas dan aku taruh di atas lemari rias di kamar
itu. “Ah biarlah cuma jam tangan biasa aja, toh gak enak juga masa cuma jam tangan
itu aku kebali utuk mengambilnya.” Aku merasa sungkan setelah banyak bantuan Mbak
Suci terhadapku.
“Mas karcis“ seorang kondektur menghampiriku.
“Oh iya, ke Mojosari turun di pasar legi mas“
“Tiga ribu mas“
Segera aku bayar karcis itu dengan uang pas sebesar tiga ribu rupiah.
Bus itu terus melaju dengan tenang. Meliuk-liuk dan menyalip mobil dan
kendaraan di depannya. Benar-benar supir yang mahir dalm mengemudiakan busnya.
Tak lama kemudian bus yang sepi penumpang itu berhenti pada sebuah pasar
yang tampak sangat ramai dan dipenuhi dengan took-toko pakaian di bagian depannya.
“Mas sudah sampai pasar legi“ kata kondektur terhadapku.
“Iya terimakasih “
Segera aku turun dari bus, dan saat aku turun dari bus, terlihat olehku banyak
sekali penumpang yang masuk, sepertinya bus itu akan dipenuhi oleh penumpang dari
pasar itu.
Kemudian aku melangkah menuju sebuah warung kecil. Aku duduk dan
memesan teh hangat. Segera pelayan warung itu membuatkan teh yang aku pesan. Aku
beristirahat sejenak sambal merokok dan minum teh hangat sambil pandanganku
mencari-cari tukang becak.
Setelah cukup lama aku beristirahat dan telah aku temukan seorng tukang becak
yang sedang parkir menuggu penumpang tak jauh dariku, segera aku bangun dan setelah
membayar warung itu aku menghampiri tukang becak itu dan meminta tolong untuk
mengantarku ke rumah pak Muji.
Sepertinya tukang becak yang sudah terlihat tua itu mengenal betul pak Muji dan
segera memutar becaknya dan mempersilahkan aku naik. Segera becak di ayun dengan
kaki-kaki lincahnya dan tenaga tuanya. Sepertinya tukang becak ini masih sangat kuat
mengayun becaknya walau dengan usia yang tak lagi muda. Aku sedikit takut waktu
melaju dengan becak itu, karena memang baru pertama kalinya aku naik becak.
[29]
Becak itu terus melaju dengan santai menelusuri pinggiran jalan raya yang padat
dan kemudian masuk kedalam sebuah gang kecil. Menelusuri jalanan tanah dan
berkerikil, melewati sebuah perumahan sederhana dan masih tampak kuno namun
tersusun dengan rapi dan bersih.
Sebuh perumahan yang sangat kental dengan khas Jawa kuno, dari bentuk rumah
dan material yang digunakan, semuanya masih mencirikan perumahan kuno. Masih
banyak aku dapati rumah dari bambu, namun banyak juga yang sudah mengunakan
tembok alias rumah ala modern.
--ooo—
[30]
TIGA
Mahasiswi itu Bernama Fera
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya pak tua itu
memberhentikan becaknya di depan sebuah rumah cukup mewah dengan pagar rumah
yang tertutup rapat. Sebuah pemandangan yang kontras, sebuah rumah cukup megah
berada di tengah-tengah perumahan sederhana.
“Nah sudah sampai, ini rumah pak Muji tapi biasanya beliau jarang sekali di
rumah. Yang ada di rumah cuma anak terakhir beliau dan dua orang pembantu“
“Iya pak terimakasih“ segera aku turun dan membayar ongkos jasa becak itu.
Segera aku langkahkan kaki menuju pagar besi rumah itu dan memencet bel
yang ada didekat pintu pagar itu. Lama sekali tak ada seorangpun yang keluar dari
dalam rumah. Berulang kali aku memencet bel itu namun tetap saja tak ada yang keluar.
Kemudian aku mencoba menunggu dan duduk di sebuah gorong-gorong tak jauh dari
pintu pagar rumah itu.
Tak begitu lama datang seorang bapak dan seoarang ibu. Keduanya turun dari
becak dan melangkah menuju rumah dan menghampiriku.
“Mas sedang menunggu siapa atau mau ketemu siapa?“ tanya bapak itu
“Maaf pak apa benar ini rumah bapak Muji?” seraya aku bangkit dari dudukku
“Iya benar, Mas ini siapa, dan bapak Muji lagi tidak ada di rumah.“
“Saya sebenarnya ingin mencari alamat rumah pak Anton, dan saya di kasih ibu
saya nomor telepon rumah ini, dan waktu saya hubungi yang angkat seorang mahasiswi,
dan saya disuruh datang ke rumah ini.“
“Oh begitu, iya mungkin yang akat telepon Mas itu non Fera, anak pak Muji,
oya ayo masuk, non Fera tadi keluar dan sebentar lagi pulang“
“Iya pak terimakasih“ oh jadi namanya Fera.
[31]
Bapak itu membukakan pintu pagar dan mempersilahkan aku masuk bersama
ibu yang datang bersamanya. Saat diajak masuk kedalam rumah aku lebih memilih
duduk di kursi teras saja. Dan merekapun mempersilahkan.
“Mas ini diminum, maaf saya tinggal dulunya ada pekerjaan di belakang“
“Iya Pak silahkan“
Tak berapa lama datang seorang gadis berambut panjang, hitam dan lurus. Gadis
itu memakai kaos putih dan celana jens ketat berwarna hitam, langsing dan memiliki
kulit putih bersih dengan wajah yag cantik dan manis. Gadis itu melangkah masuk dan
menghampiriku.
“Maaf apa Mas ini yang nelfon aku mencari alamat rumah pak Anton?“
“Oh iya Mbak itu saya“ seraya aku bangkit dari kursi.
“Perkenalkan saya Fera Mas,“ seraya gadis itu mengulurkan tangan kanannya.
“Amir Mbak “ dengan cepat aku sambut tangan itu, tangan yang begitu lembut
saat menyentuh kulit tanganku.
“Silahkan duduk, oya jangan panggil Mbak, panggil saja Fera Mas“
“Oh iya, oya dari mana tadi Fera?“
“Dari rumah temen Mas. Udah lama Mas di sini?“
“Belum terlalu lama.“
Akhirnya kami ngobrol banyak pagi itu di teras rumah megah dengan taman
yang dipenuhi bungan-bungan yang tersusun rapi. Aku juga menceritakan tujuanku
datang ke rumah itu yang tak lain ingin mencari informasi di mana alamat baru bapak
Anton.
Sepertinya gadis itu serius ingin membantu. Aku di ajaknya ke rumah tetangga-
tetangga sebelah, namun sekian banyak orang yang aku tanya, mereka sama sekali tidak
begitu tau di mana pak Anton pindah, tapi yang aku tau dari kebanyakan mereka adalah
bahwa pak Anton pindah ke Jakarta, tapi tidak tau alamat lengkapnya dimana.
Aku sedikit murung karena bingung harus kemana dan berbuat apa. Waktu terus
berjaan dan tak terasa terdengar adzan. Segera aku pamit untuk ke mushola sebentar.
Usai sholat Zduhur, aku kembali ke rumah Fera dan teryata Fera telah
mempersiapkan makan siang. Dia mengajakku makan siang bersama di rumah itu.
[32]
Selesai makan kami kembali ngobrol. Dan aku kembali menceritakan maksud
dan tujuanku datang ke Surabaya ini yang tak lain adalah untuk mencari pekerjaan dan
pengalaman merantau dan belajar hidup mandiri.
“Oh jadi tujuan Mas datang dari Kalimantan itu untuk mencari kerja ya Mas,
memangnya Mas mau pekerjaan apa?“
“Ya untuk sekarang ini pekerjaan apa saja yang penting halal, ya untuk
nyambung hidup“
“Bagaimana kalau besok Mas temui kaka saya di Jakarta, disana mungkin kaka
saya bisa bantu Mas mencari pekerjaan, lagian kata orang-orang tadi pak Anton kan
juga di Jakarta ya siapa tau bisa bertemu disana.“
“Wah boleh juga itu“
“Ini alamat rumah kaka saya di Jakarta dan ini nomor teleponnya.“ Fera
mengambil kertas dan polpen di bawah meja dan menuliskan alamat dan nomor telepon
kakanya, kemudian meyerahan padaku.
“Nanti saya akan telepon dulu kaka saya dan akan saya jelaskan tentang Mas.
Dan untuk malam ini Mas bisa nginap di rumah saya, di sini ada banyak kamar
kosong.“
“Apa tidak merepotkan?“
“Ah tidak Mas, sama sekali tidak merepotkan“ jawab Fera dengan senyum
manisnya.
“Baiklah terimaksih banyak ya, oya orang tuamu di mana?“
“Orang tuaku seorang pembisnis Mas, jadi jarang sekali ada di rumah. Sekarang
ini mereka ada di Bandung“
“Begitunya, lha kamu tinggal sama siapa aja di rumah“
“Saya tinggal dengan dua orang pembantu dan juga kaka laki-laki saya Mas tapi
kaka laki-laki saya sudah tiga hari ini ada di Bali, lagi liburan bersama keluarga
pacarnya, mungkin lusa baru pulang.“
Kamipun terus ngobrol, ternyata Fera sangat enak diajak ngobrol, walau baru
kenal tapi sudah nyambung denganku. Waktu terus berjalan, jam dinding menunjukan
pukul 15.00.
“Oya, Mas pasti cape, ayo saya anter ke kamar, Mas bisa istirahat disana.“
[33]
“Iya, boleh juga“
Kemudian aku diantar ke kamar yang pertama dari ruang tamu, ya itu adalah
kamar tamu. Kemudian Fera mempersilakan aku masuk. Segera aku merebahkan badan
ke ranjang dan langsung tertudur pulas.
Pukul 17.00 aku terbangun, segera aku bangkit dan keluar kamar. Rumah
tampak sepi, tak ada orang di ruang tamu. Kemudian aku keluar rumah dan taman aku
dapati Fera sedang duduk dan membaca buku.
“Fera,“
“Iya Mas ada apa, sudah bangun ya“
“Maaf saya mau mandi dimana ya“
“Oya mas kamar mandi belakang lagi di kuras dan dibersihkan Pak Mat, jadi
Mas mandi di kamar Fera aja, ayo saya antar“
“Wah nanati saja nunggu kamar mandi belakang aja“
“Gak usah mas, masih lama itu, gak papa mandi di kamar Fera aja, Mas bawa
handuk? “
“Iya bawa, benar gak papa?“
“Iya gak papa, ayo“
Kamipun kembali masuk ke rumah dan setelah aku mengambil handuk yang aku simpan
di dalam tas, segera akau mengikuti langkah Fera menuju kamarnya.
Saat pintu kamar di buka, hidungku langsung dimanjakan dengan aroma harum
kamar itu. Untuk yang kedua kalinya aku dimanjakan harunya kamar wanita.
“Ayo Mas masuk, itu kamar mandinaya, dan ada sabun cair silah mas pake“
“Iya terimakasih“
Segera aku masuk ke kamar mandi itu, sedangkan Fera keluar kamar. Usai
mandi aku langsung pamit untuk ke Mushola yang tak jauh dari rumah Fera. Usai sholat
aku langsung kembali ke rumah itu dan ternyata Fera sudah menunggu di teras dan
ingin ngajak ngobrol denganku.
Dalam obrolan itu Fera mengatakan bahwa dirinya telah menghubungi kaknya
yang di Jakarta dan ternyata kakanya sedang mencari karyawan laki-laki. Ya dikatakan
bahwa kakanya itu punya usaha bengkel las yang cukup besar di Jakarta. Fera juga
[34]
memberikan nomor handphone pribadinya agar kalau ada apa-apa aku bisa
mneghubunginya.
Wktu menjelang magrib dan aku merasa belum batal, aku pamit ke kamar dan
sholat magrib di kamar. Usai sholat aku, Fera dan kedua pembantunya mengajakku
makan malam bersama. Usai makan aku dan Fera kembali ngobrol di ruang tamu.
Diceritakan bahwa Fera adalah mahasiswi Universitas swasta di Mojokerto dan
mengambil jurusan ekonomi. Fera sudah masuk semester lima dan sebentar lagi masuk
semester enam. Umurnya kini sudah 21 tahun, dua taun lebih muda dariku.
Dia juga bercerita padaku tentang kisah asmaranya dengan seorang pria teman
kampusnya. Diceritakan pada awalnya mereka sangat bahagia, namun sekitar lima bulan
tiga bulan yang lalu kenyataan pahit datang padanya. Orang tua kekasihnya
melarangnya berpacaran dengan Fera. Dalam benakku entah kenapa bisa begitu, aku
lihat Fera adalah gadis cantik, baik dan dari keluarga yang berada. Namun itu ternyata
semua itu dikarenakan masalah lama diantara kedua orang tua mereka. Entah masala
apa. Fera enggan menceritakannya.
Dijeaskan pula bahwa pia itu adalah kekasih pertamanya, dan kini kekasihnya
itu telah pergi jauh. Orang tuanya memintanya pindah kuliah ke Semarang. Sejak itu
lah Fera tak mau lagi berpacaran, ia masih terlalu sayang degan mantan kekasihnya itu.
Terlebih saat mendengar kabar bahwa mantan kekasihnya itu telah menikah di
Semarang. Menikah dengan wanita pilihan kedua orang tuanya.
Benar-benar tragis, cerita itu membuat aku teringat dengan Andini, mantan
kekasihku yang juga dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan pria pilihan mereka.
Aku mengerti betul apa yang dirasakan Fera saat itu, karena memang aku juga
merasakan hal yang sama.
Aku hanya bisa mengatakan bahwa semua adalah kehendak Allah, sebesar
apapun cinta kita kalau Allah belum menjodohkan maka tak akan bisa kita
mendapatkannya. Mendengar itu Fera hanya tersenyum padaku.
“Sudahlah Mas, aku juga sudah mulai bisa melupakannya, sudah malam Mas
Fera pamit tidur dulunya.“
“Iya, oya aku mau ambil air whudu, dimana ya?“
“Oya dibelakang ada kran Mas bisa di situ, ayo fera antar“
[35]
Kami berjalan menuju belakang, setelah mengambil air whudu aku langsung masuk
kamar dan Fera masuk kamarnya.
Segera aku sholat dan setelah itu langsung tidur, malam itu aku kembali tertidur
degan pulas. Seperti mendapat semangat baru akan mendapatkan pekerjaan di Jakarta,
kota metropolitan dan terlebih itu akan menjadi pengalaman pertaaku pergi ke Jakarta.
--ooo--
[36]
EMPAT
Kereta itu Membawaku ke Jakarta
Keesokan harinya setelah sholat, mandi, dan sarapan, sekitar pukul 07.00 aku
pamit kepada Fera dan keduaa pembantunya. Bermodalkan alamat dan tempat-tempat
yang harus aku datangi agar bisa sampai ke Jakarta pemberian Fera aku mantapkan hati
dan berangkat ke Jakarta seorang diri dan untuk yang pertama kalinya.
Awalnya aku naik bus mini dari Mojosari menuju terminal Mojokerto.
Sesampainya di terminal Mojokerto aku merasa tak asing lagi karena aku pernah ke
terminal itu sewaktu bersama Mbak Suci. Dan dari terminal Mojokerto aku naik bus
menuju Mediun.
Sesampainya di Madiun atas saran Fera aku naik kereta api menuju ke Jakarta,
segera aku menuju stasiun dan memesan tiket kereta ekonomi. Waktu itu harga tiket
ekonomi dari Mediun ke stasiun Jatinegara Jakarta Tumur adalah sebesar empat puluh
dua ribu rupiah dan keberangkatan kereta pukul 15.00. saat aku lihat jam besar di
satsiun menunjukan pukul 11.45, artinya aku harus menunggu tiga jam lagi. Kemudian
aku mencari mushola untuk beristirahat sambil menunggu waktu zduhur.
Waktu zduhur telah tiba segera aku sholat dan setelah itu kembali ke ruang
tuggu stasiun. Jam itu masih menunjukan pukul 13.00. aku menunggu sambil
menikmati rokok dan ditemani minuman ringan yang aku beli dari terminal Mojokerto.
Selama menunggu aku teringat dengan orang rumah, ibu, bapak, dan dua adikku.
Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adikku masih sekolah di SMA dan
SMP. Keduanya perempuan dan saat itu sama-sama kelas tiga. Orang tuaku adalah
seorang pengusaha warung makan dan Alhamdulillah memiliki tempat usaha sendiri.
Walau tidak terlalu besar tapi Alhamdulillah dua tahun terakhir ini usahanya lancar dan
memiliki banyak pelanggan.
[37]
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu dan aku mendengar penguman bahwa
kereta tujuan Jakarta sebentar lagi datang. Aku dan penumpang lainpun bersiap-siap
untuk mengantri di pinggir rel.
Tak berapa lama kemudian datang kereta itu dan behenti di hadapanku dan para
penumpang lainya. Sebagian penumpang turun dan sepertinya lebih banyak yang masuk
dari stasiun itu.
Aku naik berdesak-desakan dengan penumpang lainnya, masuk lewat pintu kecil
dan sempit. Dengan susah payah akhirnya aku bisa masuk dalam gerbong nomor tujuh,
dan sepanjang pandanganku terhadap gerbong itu tak satupun ada kursi kosong. Aku
dan beberapa penumpang lainya harus berdiri dan menunggu ada penumpang lain yang
turun nanatinya sehingga ada kursi kosong. Ini adalah pengalaman pertamaku naik
kereta api karena memang di Kalimantan sama sekali tidak ada transportasi kereta.
Walau berdiri dan berdesak-desakan, tapi aku merasa sangat senang bisa
merasakan bagaimana rasanya naik kereta api. Kereta itu melaju dengan kencang,
sesekali berhenti untuk mendahulukan kereta lain melewati jalurnya. Ya kereta kelas
bisnis dan eksekutif lebih didahulukan dari pada kelas ekonomi yang aku tumpangi itu.
Itu aku tau dari penumpang di sebelahku. Seorang laki-laki tua yang dengan tas rangsel
berwarna hitam. Laki-laki tua itu banyak bercerita padaku tentang kejamnya kota
Jakarta. Ya dia adalah seorang perantauan yang bekerja sebagai tukang angkat barang di
pasar minggu. Dikatakan bahwa tiga bulan sekali dia puang ke kampungnya di daerah
Jombang. Aku banyak tau tentang kehidupan Jakarta darinya.
Aku merasa sangat senang saat mengetahui bahwa laki-laki tua itu akan turun di
stasiun Jatinegara. Ya setidaknya aku tidak akan salah turun karena memang sama
sekali aku tidak tau dimana dan seperti apa stasiun Jati Negara yang mengharuskan aku
turun di situ. Kereta terus melaju degan kencang dan aku masih berdiri.
“Karcis-karcis“ Seoang petugas berjalan memeriksa karcis para penumpang.
Akupun meyodorkan karcisku dan petugas itu merobek salah satu bagian dari karcisku
dan memintaku untuk menyimpan baik-baik karcisku karena nanti aka nada
pemeriksaan lagi.
Aku mulai kesemutan setelah sekian lama berdiri, sudah berdesak-desakan
ditambah lagi dengan lalu-lalang para pedagang asongan. Ya ternyata begitulah rasanya
[38]
naik kereta kelas ekonomi, sudah berdiri masih juga harus terganggu dengan para
pedagang asongan. Namun aku sangat menikmati perjalanan itu, perjalanan pertamaku
menuju kota metropolitan dengan kereta api yang tidak akan pernah aku jumpai di
Banjarmasin..
Hari semakin gelap, dan aku masih tetap berdiri dan sama sekali belum ada kursi
kosong. Beberapa kali kereta berhenti disatasiun sepanjang perjalanan yang dilalui
namun itu hanya menaikan penumpang, tidak ada penumpang yang turun.
Kereta terus melaju dengan kencang dan tenang. Sampai dengan larut malam
dan kereta berhenti di stasiun Semarang. Stasiun yang sangat besar. Di stasiun itu lah
banyak penumpng yang turun dan akhirnya aku dan penumpang lain yang tadinya
berdiri bisa mendapatkan tempat duduk. Dengan menarik nafas dalam aku merasa lega,
seperti otat-otot kakinya yang tadi terasa tegang kini bisa lebih releks dan nyaman.
Beberpa saat kereta kembali melaju, dalam fikirku ternyata jauh juga jarak dari
Surabaya ke Jakarta. Kereta yang melaju kenjang sekalipun sudah malam belum juga
sampai. Karena rasa lelah akhirnya aku tertidur.
Aku terbangun saat petugas pemeriksa karcis membangunkanku dan
menanyakan karcis padaku. Denga setengah sadar aku merogoh kantongku mencari
karcis itu dan tak perlu waktu lama aku menyerahkan karcis itu dan petugas kembali
merobek salah satu bagian dan menyerahkan kembali bagian karcis yang lainnya
padaku.
Pandangaku tertuju pada jendela dan alangkah terkejutnya aku saat menyadari
bahwa matahari mulai muncul. Aku segera menyakan ini daerah mana pada orang
disebelahku da ternyata Jakarta dan Jatinegara masih cukup jauh. Aku benar-benar sadar
bahwa jarak yang aku tempuh sangatlah jauh.
Kereta terus melaju dengan cepatnya, sampai dengan matahari telah cukup
tinggi menerangi alam. Kira-kira saat itu sekitar jam 09.00 dan kereta mulaimelambat.
Kereta memasuk kawasan pemukiman dan ternyata telah sampai pada sebuah stasiun
dengan plang besar bertuliskan “ STASIUN JATINEGARA “ aku menyadari aku telah
sami pada tujuanku.
Kereta berhenti dan aku siap-siap untuk turun dari kereta. Bersama laki-laki tua
itu aku berdesak-desakan menuju pintu keluar.
[39]
Aku langkahkan kakiku mengiringi laki-laki tua itu menuju keluar stasiun. Dan
kamipun berdiri di tepi jalan yang dipenuhi dengan para sopir taxi bemo, dan para
tukang ojek yang semuanya langsung meyerbu para calon penumpang yang keluar dari
pintu stasiun Jatinegara. Mereka berebut untuk mendapatkan penumpang dengan gaya
bahasa Jakarta, mereka menghampiri kami dan menyakan arah tujuan kami.
Ternyata laki-laki tua itu cukup pandai menghindar dari serbuan itu. Aku
merasakan semua itu seperti paksaan. Dan itu membuatku sedikit takut. Bahasa mereka
seperti preman yang memaksa.
Laki-laki tua itu mengajakku berjalan menjauh dan menghampiri sebuah halte
tak jauh dari stasiun. Dikatakan bahwa kami akan menunggu bus jurusan terminal Pulo
Gadung. Aku ikut saja, karena aku sama sekali tak tau arah tujuan di daerah itu.
“Memangnya adik mau ke mana“ Tanya laki-laki tua itu.
“Saya mau ke sini pak“ seraya memperlihatkan sebuah alamat dalm searik kertas
yang diberi oleh Fera itu.
“Iya kita ke terminal Pulo Gadung dulu, nah nanti kita berpisah di sana dan
kamu bisa naik ojek atau bemo untuk ke alamat itu. Alamat itu tidak terlalu jauh dari
terminal Pulo Gadung“
“Iya Pak terimakasih banyak“
Tak lama sebuah bus datang dan segera kami dan beberapa penumang lain
berebut naik ke dalam bus. Bus melaju dengan sangat lambat, karena memang lalu-
lintas sangat padat. sepanjang perjalanan, mataku tertuju pada gedung-gedung yang
menjulang tinggi. Ada rasa sidikit kurang percaya bahwa aku sedang berada di Jakarta,
untuk seorang kampung sepertiku pengalaman itu sangatlah membanggakan, karena
memang jarang dan bahkan belum ada teman dan orang-orang se kampong denganku
pernah menjajakan kakinya di Jakarta. Mereka hanya mengenal Jakarta dari TV. Sedang
aku telah benar-benar menjajakkan kaiku di tanah Jakarta, dan aku tau Jakarta bukan
haya dari TV tapi langsung dari mata dan tubuhku yang telah meraskan udara Jakarta
yang terkenal akan kekejaman dan kekerasannya.
Aku tak memungkiri pernyataan itu, sejak aku langkahkan kaiki keluar dari
satsiun Jatinegara aku sudah bisa merasakan akan kerasnya hidup di Jakarta. Orang-
[40]
orang yang berebut penuang tadi telah menggambarkan padaku betapa hidup di Jakarta
itu tidaklah gampang.
Awalnya aku minder, namun dengan tekat dan keyakinan aku terus melangkah,
melangkah jauh untuk lebih mengenal kota Jakarta dan berharap bisa merubah nasib di
kota itu. Semua itu aku lakukan untuk membuktikan bahwa aku mampu, mampu untuk
bertahan di dunia keras sekalipun, dan sebagai pembuktian bahwa sebenarnya aku
mampu memenuhi kebutuhan hidup Andini jika waktu itu aku diberi kesempatan untuk
bisa hidup bersamanya. Ya aku benar-benar mengerti bahwa kedua orang tua dan
kakanya itu melihat harta dari pria yang akan menikahi Andini. Malanglah nasibku
harus merelakan kekasih yang paling aku cintai menikah denga pria lain. Walau begitu
aku masih sangat mencintainya dan ingin membuktikan kepada keluarganya bahwa aku
mampu. Terlebih aku ingin membuktikan terhadap ucapan Andini yang menyakitkan
itu, bahwa aku bisa memberikan semua harta yang dia inginkan.
Cita–cita itulah yang menguatkan langkahku untuk lebih maju dan berusaha
keras di tanah perantauan. Bus terus melaju menelusuri kota Jakarta yang padat dan
panas.
Bus mulai melambat memasuki sebuah terminal, ya kami telah sampai di
terminal Pulo Gadung Jakarta Timur. Segera aku dan laki-laki tua yang bersamaku itu
turun. Kami kemudian berpisah dan tak lupa aku mengucapkan banyak terimakasih
telah banyak membantuku.
Kini aku benar-benar sendiri di kota keras itu, dan juga aku masih dihadapkan
dengan para pencari penumpang yang sangat memaksa, namun sepertinya aku mulai
paham bagaimana menghindarinya, seperti yang dilakukan oleh laki-laki tua tadi. Aku
menuju sebuah warung kecil dan beristirahat disana sambil memesan makanan. Perutku
sangat lapar, dari kemarin siang belum makan nasi, aku hanya makan roti selama di
kereta.
Namun ternyata aku harus benar-benar dihadapkan dengan kerasnya kota Jakarta
secara langsung. Saat aku duduk di warung itu datang tia orang laki-laki
menghampiriku. Dua orang laki-laki itu berbadan besar dan berkulit hitam, serta kedua
lengannya bertato denan gambar tengkorak, sedangkan yang satunya berkulit agak putih
dan agak kurus serta bertato golok didadanya. Ketiga laki-laki itu sepertinya sedang
[41]
melihatku tajam dan semakin mendekatiku. Aku mulai sadar dan yakin aka ada sesuatu
yang buruk hari itu. Aku teringat cerita akan ganasnya preman-preman Polo Gadung
yang tidak segan-segan melukai mangsanya.
“Hai sepertinya lu bukan orang sini, ya lu musti tau ini daerah gue, jadi lu musti
kasih dwet ke gue! Kata seorang laki-laki yang agak kurus padaku
“Maaf benar saya bukan orang sini dan saya kira tidak ada peraturan yang
mengharuskan saya untuk memberikan uang kepada Anda.
Tiba-tiba ketiga orang itu tertawa terlakak-lakak dan secara cepat seorang yang
berbadan agak kurus itu mendekapku dan meletakkan sebuah belati ke leherku. Aku
mencoba untuk tenang dan menguasai situasi.
“Heh bocah ingusan, lu jangan sebut-sebut peraturan, karena ini adalah daerah
gue jadi lu musti ikut aturan gue, kalau tidak pisau ini akan merobek leher lu. Sekarang
keluarkan semua uang yang lu punya, cepet”
Laki-laki itu semakin erat menyegapku dan sepertinya ia serius akan
ancamannya itu. Aku melihat dua orang temannya yang memiliki badan lebih besar itu
geram dan memain-mainkan kepalan tangannya di hadapanku.
“Dengar, aku tidak punya kewajiban untuk memberimu uang sepeserpun”
“Jadi lu nantang kami?”
“Dasar bodoh, tentu kalian tau apa maksudku, begitu aja masih nanya, dasar
preman bodoh”
“Bangsat” teriak laki-laki itu dengan keras, sontak semua orang yang ada di
warung itu menjauh, mereka hanya bisa diam tanpa mampu berbuat apa-apa.
Dengan menyebut nama Allah dalam hati ku tahan nafasku di dada sebelah kiri
dan aku keraskan otot-otot lenganku. Dan belum sempat pria itu menusukkan belatinya
aku berhasil memukul dadanya dengan kepalan tangan kananku, pukulanku terasa
sangat keras sehingga pria itu jatuh tersengkur di tanah dan belatinya terpental jauh.
“Bangsat” kembali teriang pria itu dan sepertinya ia merasakan sakit pada
bagian dadanya.
Kemudian aku mengambil posisi dan memasang kuda-kuda, karena aku yakin
kedua temannya itu pasti akan menyerangku. Dan benar tak berapa lama kedua laki—
laki bertubuh besar itu maju dan menyerangku secara bersamaan.
[42]
Aku berhasil membaca gerakan mereka dan dengan cepat aku melompat dan
memutar badanku kebelakang serta melayangkan tendangan kaki kananku kearah kedua
preman itu, dan “Prak” tendanganku tepat mengenai rahang salah satu dari kedua
preman itu, dan akau sadar masih ada satu lagi yang siap memukulku, dalam lompatan
itu aku melihat kepalan tangan kanan yang begitu besar mendekati kewajahku, namun
dengan sigap aku dapat mengelak, pukulanya meleset dan itu membuatnya kehilangan
keseimbangan dan setelah kedua kakiku menyentuh tanah dan posisi preman itu di
samping, segera aku keraskan otot lengan kananku dan dengan kepalanku itu aku
layangkan ukulan yang sangat keras kearah preman itu dan kembali terdengar suara
“Prak” sangat keras, ternyata pukulanku tepat mengenai bagian telinga kanan preman
itu. Seketika mereka berdua tersungkur di tanah dengan darah mulai bercuran dari
mulut, hudung dan telinga mereka.
Preman yang terkena tendangan berbalikku itu ternyata masih bisa bangun,
sedangkan yang satunya sepertinya pingsan. Kemuadia preman itu kembali ingin
meyerangku. Dengan cepat ia layangkan pukulannya, namun bagiku itu masih terlalu
lambat dan aku bisa dengan mudah mengelak, dan aku tidak ingin membuang waktu,
lansung aku melancarkan serangan balik dengan memukul bagian belakang lehernya
dan seketika preman itu jatuh dan pingsan.
Aku melihat masih ada satu lagi, ya preman dengan tato golok di dadanya itu
berdiri dan mendekat kearahku dengan membawa belatinya. Semakin dekat dan
semakin ia mempercepat langkahnya dan menghunuskan belatinya kearah dadaku. Lagi-
lagi gerakan yang masih terlalu lambat sehingga dengan mudah aku bisa mengelak dan
kembal aku layangkan pukulan kearah wajahnya, namun kali ini aku gunakan kepalan
tangan kiriku dan preman itu jatuh tersungkur ditanah, namun masih sadar.
Segera aku jongkok dan mengatakan pada preman itu.
“Segera pergi dari sini, atau aku patahkan lehermu”
“Baika gue akan pergi”
“Bawa kedua temanmu itu”
Kemudian preman itu bangkit dengan langkah yang tertatih-tatih dan dengan
wajah yang berlumuran darah. Preman itu berusah menyadarkan kedua temannya. Dan
[43]
tak berpa lama kedua temannya itu sadar, kemudian mereka dengan susah payah
bangkit dan berjalan menjauh.
Setelah aku pastikan mereka tak terlihat lagi, aku kembali kewarung itu untuk
menyantap makanan yang telah aku pesan. Dan orang-orang itu masih melihatku
dengan tatapan tajaam. Aku sama sekali tak menghiraukan mereka.
“Sepertinya kamu bukan orang sini?” Tanya seorang Bapak pemilik warung itu.
“Iya Pak saya dari Banjarmasin”
“Hati-hati dengan para preman itu, pasti mereka akan mengadukan kejadian tadi
ke teman-teman mereka, dan kamu harus ingat bahwa kepala preman disini sangat
kejam, tidak ada yang berani membantahnya, bahkan polisi pun enggan kalau harus
berurusan dengannya.”
“Terimakasih Pak atas nasehatnya”
“Oya bagaimana kamu bisa dengan mudah melumpuhkan ketiga preman itu,
padahal badan mereka jauh lebih besar dari badanmu?”
“Dulu saya pernah belajar silat dan ilmu tenaga dalam dengan paman saya, tapi
saya rasa itu tidak penting, saya hanya menggunakan keterampilan itu saat terdesak
saja”
Akupun segera menyantap makanan yang telah disiapkan oleh Bapak pemilik
warung itu.
Usai makan aku langsung menuju sebuah bemo ( kendaraan beroda tiga ) aku
meminta mengantarkanya pada alamat yang aku tuju. Sopir bemo itu ternyata orang
Jawa, dan sangat ramah. Bemo melaju dengan sangat lambat, ya namanya kendaraan
tua, namun aku menikmatinya karena lagi-lagi itu adalah penagalaman pertam aku naik
bemo.
Kendraan itu membawaku menelusuri perumahan padat dan sedikit kumuh di
bantaran sebuah sungai yang airnya sangat kotor, hitam pekat, sampah dimana-mana
dan bau busuk yang sangat menyengat hidung. Terus bemo itu melju dan melewati
deretan bedakan pemotongan ayam. Aku melihat banyak sekali orang-orang yang
sedang memotong ayam.
[44]
Bemo itu kemudian berhenti dipertigaan dengan sebuah plang jalan bertuliskan “
Jl. Kayu Manis blok B “, dan tak berapa lama bemo kembali melaju. Ya itu adalah jalan
sesuai dengan alamat yang aku tuju, tinggal mencari nomor rumah 134 di blok C.
Sopir bemo itu dengan sabarnya mengantarkan dan mencarikan alamat rumah
yang aku cari itu. Sampai dengan berhenti pada sebuh rumah dengan nomor 134.
Rumah yang cukup megah.
“Nah ini mas rumah yang mas cari, coba di cocokan dengan alamat yang mas
bawa?“
“Iya Pak benar, alamatnya cocok“
Segera aku turun dan membayar ongkos bemo itu dan tak lupa mengucapkan
terimakasih. Awalnya aku ingin menelpon terlebih dulu tapi sejak turun dari kereta aku
sama sekali tak menemukan telepon umum ataupun wartel. Jadi aku berfikir langsung
saja datang ke rumahnya, toh Fera juga sudah memberitahunya dan pasti kakanya sudah
tau bahwa aku akan datang.
--ooo--
[45]
LIMA
Tukang Las Listrik
Segera aku melangkah mendekati rumah itu, sebuah rumah mewah dengan
diiding berwarna hijau muda dan pagar besi berwarna kuning. Aku ketuk-jetuk pagar
besi itu berulang kali namun tak ada yang keluar dari rumah. Kemudian aku perhatikan
ternyata pagar itu tak di kunci. Aku memutuskan langsung masuk. Dengan sedikit ragu
aku langkahka kakiku masuk ke halaman rumah itu dan menuju pntu rumah, segera aku
ketuk pintu itu dan tak berapa lama keluar seorang ibu muda dengan menggendong
seorang balita.
“Ya mencari siapa ya?“ Tanya ibu itu
“Maaf ibu, apa benar ini rumah kakanya Fera Mojosari?“
“Iya benar saya kaka iparnya, kamu siapanya Fera?“
“Ceritanya sedikit panjang tapi yang jelas saya di suruh datang ke Jakarta ini
untuk menemui kakanya dan Fera juga sudah menghubungi dan menjelaskan terkait
kedatangan saya kepada kakanya“
“Oh begitu, ayo silahkan masuk, Mas Hendra tadi keluar dan sebentar lagi
pulang, silahka tunggu di dalam“
“Iya ibu terimakasih“
Akupun masuk ke dalam rumah dan menggu di ruang tamu. rumah yang mewah
dengan lampu tengah yang megah, penatan perabotan yang sangat rapi dan memiliki
nilai dan nuansa seni.
“Mas ini di minum“ ibu itu membawakan segelas teh hangat dan satu kaleng roti
biscuit.
“Terimakasih ibu“
Sambil menunggupun kami berbincang-bincang, dan aku menjelaskan maksud
dan tujuan ku datang ke Jakarta ini termasuk bagai mana aku bisa mengenal Fera.
[46]
Sepertinya ibu itu sangat serius mendengarkan ceritaku, apa lagi aku katakana bahwa ini
adalah pengalaman pertamaku menginjakkan kakiku di Jakarta.
Tak lama kemudian suami ibu itu pulang, ya itu adalah kaka laki-laki Fera.
Kami segera berkenalan. Namanya pak Hendra, dan aku menjelaskan lagi maksud dan
tujuanku datang ke rumah itu, dan juga tentang perkenalanku dengan Fera.
“Oh jadi kamu ya yang diceritakan Fera kemarin, iya Fera sudah nelpon dan
menjelaskan semua tentang kamu, dan benar saya lagi butuhkan karyawan laki-laki
untuk kerja di bengkel las saya, apa kamu bisa ngelas? “
“Alhamdulillah saya pernah kursusu las listrik Pak, tapi yang pastinya saya
belum mahir dan masih perlu belajar“
“Iya gak papa, yang penting kamu punya dasar teorinya dan untuk kemahiran
bisa belajar sambil jalan“
“Bagaimana kalau sekarang saya langsung menunjukan kamu tempat kerja
kamu?“
“Iya boleh pak“
Aku dan pak Hendara menuju ke bengkel las itu dengan sebuah mobil sedan
berwarna hitam milik pak Hendra. Kami melewati perumahan yang padat dan kumuh.
Ya perumahan yang berada di bantaran sungai yang tadi aku lewati. Terus mobil melaju
sampai dengan masuk pada jalan raya yang tampak sedikit lebih bersih melewati
bangunan pertokoan yang tersusun rapi sampai pak Hendra menghentikan mobilnya
tepat di depan sebuah bangunan dua lantai dengan sebuah plang bertuliskan
“BENGKEL LAS HENDARA“.
Ya itu adalah bengkel las milik pak Hendara dan disitulah nanatinya aku akan
bekerja. Sebuah bengkel las yang cukup besar dan tampak rapi.
Kemudian pak Hendra mengajakku turun dari mobil dan meuju bengkel las itu.
Sebuah bengkel yang aku lihat ada lima karyawan laki-laki yang sedang sibuk dengan
mesin lasnya.
Kemudian pak Hendara mengajakku masuk kedalam ruanggan disebelah kanan.
Ya itu adalah ruangan administrasi. Tampak dua wanita muda sedang sibuk dimejanya
masing-masing dan salah satu dari mereka tampak sibuk dengan satu unit komputer di
mejanya.
[47]
Benar-benar sebuah bengkel las dengan penataan ruang yang cukup efektif. Pada
lantai bawah memiliki dua ruangan. Satu ruangan luas untuk mengelas dan menyusun
hasil pekerjaan, sedangkan satu ruangan lagi, ruangan yang lebih kecil adalah ruang
kerja pak Hendra dan dua karyawatinya sebagai tenaga administrasi.
Pak Hendra meminta semua karyawn untuk beristirahat sebentar dan aku
diperkenalkan kepada mereka semua. Semua karyawan adalah parau perantauan dari
Mojosari dan semunya adalah para pemuda tetangga Fera. Lain halnya dengan dua
karyawatinya, mereka semua asli gadis Jakarta.
Anto, Ardi, Samsul, Joko, Aslam, Bunga dan Novi adalah nama-nama mereka.
Satu persatu aku berkenalan dengan mereka. Dengan senyum mereka semua menyapaku
dan sejak hari itu mereka adalah teman-teman baruku.
Untuk awal aku masuk kerja pak Hendra memintaku untuk membantu ke lima
karyawan lasnya, aku bisa membantu mereka mengangkatkan material, memotong dan
menggerenda material serta mencat. Dengan senang hati aku akan melakukan semua itu.
Pak Hendra juga menyediakan tempat tinggal untukku, ya di lantai dua bengkel itu
adalah tempat tinggalku dan kelima karyawan laki-lakinya.
Di lantai dua ada delapan ruangan yang telah dirubah menjadi kamar dan dapaur
Masing-masing kamar dihuni satu orang. Begitu juga denganku, aku mendapatkan
kamar sendiri. Fasilitasnya juga cukup lengkap dengan dua kamar mandi dan toilet,
masing-masing kamar juga disediakan kipas angin, lemari pakaian dan diruang tengah
disediakan sebuah TV 21”. Dapur juga lengkap dengan perabotan memasaknya. Benar-
benar tempat yang nyaman.
Dan untuk awal masa kerjaku pak Hendra memberika gaji sebesar satu juta
rupiah padaku. Aku sangat bersyukur untuk itu. Kini aku tak khawatir lagi hidup di
Jakarta.
Setelah semua jelas, pak Hendra langsung pulang, sementara aku langsung
diantar ke kamarku oleh Aslam. Aku letakkan semua barang-barangku di kamar.
Kemudian aku pamit keluar sebentar.
Semua karyawan kembali bekerja, sedangkan aku jalan-jalan keluar sambil
mencari warung makan. Karena sesuai dengan perintah pak Hendara bahwa besok aku
baru masuk kerja.
[48]
Terus aku berjalan dan akhirnya menemukan warung makan rames. Segera aku
singgah dan memesan makanan. Tak berapa lama terdengar suara azdan, dan usai
makan aku langsung mencari mushola untuk sholat Zduhur.
Usai sholat aku tak langsung kembali ke bengkel, aku memilih berjalan-jalan
dulu menikmati dan mengenal lingkungan baruku dan juga sambil menunggu waktu
Asyar.
Terus aku berjalan menelusuri perumahan itu, perumahan yang sangatlah padat,
hiruk pikuk kesibukan masyarakatnya tampak jelas dimataku.
Pandanganku mulai tertuju pada segerombol pemuda dan orang tua di ujung
pertigaan jalan, disebuah pos kampling itu aku melihat orang-orang hanya duduk-duduk
dengan kartu domino ditangan mereka, dan juga cepitan pakaian di tangan dan telinga
mereka. Aku mulai mengamati dan berkomentar dalam hati, di Jakarta yang keras dan
sesibuk ini kenapa masih juga ada orang-orang yang hanya santai main kartu tanpa
bekerja.
Aku terus mengamati aktifitas di pos itu, dan tak beberapa lama datang seorang
ibu menghampiri gerombolan orang itu dan sepertinya ibu itu sedang berbicara serius
dengan salah satu pemain kartu, dan sepertinya itu bukanlah keadaan yang baik, sang
ibu dengan bahasa khas Jakarta sedang marah-marah dengan laki-laki separuh baya itu.
Seketika sang laki-laki itu berdiri dan berjalan meninggalkan kelompoknya sambil
mengomel. Ibu itu kemudian mengiringi di belakangnya. Namun sepertinya para laki-
laki yang lain tak memperdulihan hal itu, mereka malah tertawa-tawa dan salah satu dari
penonton duduk dan megambil kartu untuk menggantikan laki-laki tadi yang pergi.
Aku mulai berfikir apa ini yang dikatakan banyak orang bahwa kehidupan di
Jakarta itu acuh tak acuh, dan semacam kehidupan yang tak beraturan. Ya mungkin itu
benar atau bisa jadi salah, karena yang aku lihat saat itu adalah sebagian kecil di kota
Jakarta yang luas.
Aku kembali berjalan dan melupakan kejadian yang baru saja aku saksikan itu.
Terus aku langkahkan kakiku untuk berusaha mengenal kehidupan Jakarta walau
diawali dari Jakarta bagian pinggiran dan di perumahan padat dan kumuh tak jauh dari
bantaran sungai yang kotor penuh dengan sampah dan bau busuk yang menyengat
hidung.
[49]
Terus aku menelusuri perkampungan padat itu, telah banyak aku melihat dan
sedikit memahami budaya masyarakat Jakarta timur itu, sampai aku tak menyadari aku
telah jauh berjalan meninggalkan bengkel. Segera aku berjalan kembali ke mushola dan
benar tak berapa lama setelah sampai di mushola suara adzan berkumandang. Segera
aku mengambil air wudhu dan sholat berjamaah di mushola itu. Aku tersenyum saat
mengetahui di Jakarta yang sangat sibuk itu dan di mushola itu ternyata masih banyak
jamaahnya.
Usai sholat Asyar aku segera kembali ke bengkel dan sesampainya di bengkel
aku berbincang-bincang dengan semua karyawan sambil sedikit-sedikit aku membantu
mereka sebisaku. Aku juga bercerita bahwa aku pernah ikut kursus las listrik dan
mereka mengatakan padaku bahwa mereka dengan senang hati akan melajariku dalam
bekerja. Aku tersenyum dan merasa sangat senang bertemu dengan orang-orang yang
baik hati selama ini. Aku sama sekali tak menyangka akan bertemu dengan orang-orang
yang dengan tulus menolongku, dari turun bandara sampai dengan aku sampai Jakarta.
Ada Mbak Suci dan tiga temannya, Fera, pak Hendra dan para karyawannya. Aku
sangat bersyukur pada Allah telah memudahkan jalanku sejauh ini.
--ooo—
[50]
ENAM
Kisah Pahit Bunga
Keesokan harinya, setelah sholat Subuh dan mandi aku bersama Anto dan
Syamsul berada di dapur untuk menyiapkan sarapan dan sekaligus makan siang. Aku
sudah diberitahu semua peraturan dan tata cara di rumah itu. Walau sebuah bengkel las
namun pada lantai dua kami tetap menyebutnya sebagai rumah.
Diantara peraturan itu adalah masak dikerjakan dua orang bergantaian setiap
harinya, dan untuk membeli belanjanya kami iuran setiap minggunya. Hari itu adalah
giliran Anto dan Syamsul untuk memasak, sedangkan aku dapat giliran lusa bersama
Aslam, namun aku ikut dengan mereka berdua di dapur tak lain adalah untuk melihat
sperti apa budaya mereka memasak dan masakan apa yang mereka sukai dan terlebih
adalah aku juga belajar memasak hari itu.
Setelah semua siap, kami sarapan bersama dan setelah sarapan kami langsung
siap-siap utuk memulai bekerja. Ya hari itu adalah hari pertamaku bekerja di bengkel
itu. Semua berjalan dengan baik, walau awalnya aku terlihat kaku, namun dengan
kesabaran para temen-temen yang dengan senang hati membantu dan mengajariku
teknik-teknik ngelas. Ternyata tidak lah terlalu memerlukan waktu terlalu lama untuk
aku memahami semua teknik yang diajarkan, berbekal pengalaman mengelasku waktu
mengikuti pelatihan las listrik di BLK beberapa tahun yang lalu membuatku dengan
mudah memahami semua yang diajarkan oleh teman-teman.
Waktu terus berlalu, tidak terasa sudah satu bulan aku di Jakarta dan tentunya
sudah satu bulan aku bekerja di bengkel las itu. Hari itu aku mendapatkan gaji
pertamaku. Gaji itu sebagian aku belikan beberapa barang kebutuhan dapur dan sisanya
aku gunakan untuk membeli beberpa pakaian.
Waktu terus berlalu, dan aku semakin dekat dan semakin mengenal semua
karyawan di bengkel las itu. Aslam dan teman-teman laki-lakinya memiliki karakter
yang hampir sama, begitu juga dengan Novi. Mereka adalah sosok yang ceria dan suka
bercanda ria. Namun lain lagi dengan Bunga. Ia adalahgadis Jakarta yang dingin dan
[51]
pendiam, tak banyak bicara dan suka menyendiri. Namun begitu kami semua bisa saling
menjaga.
Sore itu, Polo Gadung diguyur hujan, semua karyawan telah selesai bekerja,
Aslam dan yang lain sudah naik ke lantai dua, Novi juga sudah dijemput oleh acarnya
yang membawa mobil sedan berwarna puti. Sedangkan aku melihat Bungan masih di
meja kerjanya dengan sebuah laptop yang masing menyala di depannya.
Sore itu aku ingin sekali ngobrol dengan Bunga. Aku memberanikan diri untuk
mendekati dan mencoba untuk bertanya sesuatu padanya.
“Bungan masih nunggu jemputan ya?”
“Eh Mas Amir, iya nih bokap gue masih ada kesibuka jadi belum bisa jemput”
Ya Bungan setiap hari diantar dan jembut oleh ayahnya dengan sebuah mobil
kijang tua milik ayahnya. Ayahnya adalah seorang karyawan perusahaan asing.
“Boleh saya temenin?”
“Oh iya tentu, malahan gue seneng ada yang nemenin”
“Em maaf sebelumya, saya perhatikan kamu sedikit berbeda dengan temen-
temen yang lain, kamu sepertinya dingin dan pendiam”
“Iya itulah gue, gue gak suka banyak bicara dan gue juga suka sendiri”
“Terus apa aku mengganggu kamu?”
Seketika Bunga berhenti dengan laptopnya dan memandangku serius
“Tidak, gue sama sekali gak terganggu, gue seneng Mas Amir nemenin gue
nunggu jemputan. Sebenarnya dulu gue gak separah ini pendiamnya. Ada sesuatu yang
membuatku begini, sesuatu itu sepertinya telah merenggut keceriaanku”
“Kalau boleh tau apa itu, ya kalau Bungan mau berbagi cerita dengaku”
Sesaat Bungan hanya diam dan merunduk, sepertinya dia sedang memikirkan
sesuatu.
“Baiklah gue akan cerita, tapi Mas musti janji gak bakalan cerita ma yang lain”
“Insya Allah”
“Ada masalah yang membuatku terasa tersiksa dan membuat keceriaanku terasa
hilang. Dulu sekitar dua tahun yang lalu gue hidup bahagia karena seminggu lagi gue
bakalan menikah dengan laki-laki yang teramat gue sayangi. Waktu itu gue baru lulus
kuliah dan gue dilamar oleh pacar gue, kami pacaran sejak kuliah kira-kira tiga tahun
[52]
kami pacaran. Semua keluarga juga setuju dengan hubungan kami. Saat itu gue benar-
benar merasa bahagia.
Namun ternyata itu hnaya sesaan, seminggu sebelum pelangsungan pernikahan
kami dihadapkan kenyataan yang teramat pahit, bahkan untuk dikenangpun terasa
menusuk hati. Tepatnya saat itu adalah hari Sabtu sore pukul 16.30 telfon ku bordering
dan Mas Ridha menelfonku, ya Mas Ridha adalah calon suami gue, dia bialang mau
datang kerumah untuk mengantarkan sesuatu. Namun sore itu perasaan gue gak enak,
seperti ada sesuatu buruk yang akan terjadi.
Ya sore itu adalah sore dan hari yang kelam buat gue, setelah pukul 20.00 Mas
Ridha tak kunjung datang, tak ada kabar sama sekali, nomor handphonenya juga mati.
Malam itu gue bener-bener bingung dan takut.
Terus gue menunggu, sampai dengan terdengar kabar dari rumah sakit bahwa
Mas Ridha mengalami kecelakaan dan pihak rumah sakit masih melakukan pertolongan
darurat di ruang IGD. Sontak goe terkejut, terasa tubuh gue lemas setelah mendengar
berita itu, berita yang dibawa oleh calon mertua gue. Kami sekeluargapun langsung
menuju rumah sakit malam itu.
Diperjalanan gue gak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan Mas Ridha, terus
gue berdoa dengan iringan linangan airmata. Sesampanya di rumah sakit kembali gue
harus merasakan goncangan batin dan tubuh gue benar-benar lemas, gue tak mampu
lagi berdiri, gue sekarat setelah mendapat kabar bahwa Mas Ridha telah mennggal
dunia, Mas Ridha telah mengi meninggalkan gue untuk selama-lamanya.
Tiga bulan lamanya setelah itu gue benar-benar tak sanggup untuk menjalani
hidup ini. Geu belum bisa menerima kenyataan itu, semua sedih, keluarga gue juga
sedih meliat keadaan gue seperti itu. Sampai dengan suatu hari gue diajak oleh Novi
untuk bekera sebagai tenaga administrasi di bingkel ini, dan gue terima tawaran itu.
Sekarang gue sudah mulai bisa melupakan Mas Ridha, namun sampai sekarang
gue belum bisa mengembalika keceriaan gue.
Itulah sebabnya gue sampa sekarang ini suka sendiri dan suka diam dan bersikap
dingin pada semua orang. Bukan berarti gue gak peduli, tapi ini adalah masalah gue,
gue juga gak mau begini terus, terus berada dalam keterpurukan karena kenangan pahit
masa silam.
[53]
Tapi hari ini gue sedikit merasa bisa berubah, saat Mas Amir memintaku untuk
cerita, jujur masalah gue ini hanya Novi dan Mas Amir yang tau.”
Sungguh teragis, tubuhku bergetar hebat saat mendengar cerita Bunga, ternyata
masih ada cerita sedih dari cerita cintaku bersama Andini. Aku melihat Bunga menangis
saat menceritakan kenyataan pahit yang telah ia alamai. Akupun merasa sangat terharu
dan simpati padanya. Aku mencoba memberikan semangat dan dorongan agar Bunga
bisa hidup lebih baik dan menatap masa depan yang cerah
“Bungan, aku mengerti perasaanmu tapi semua adalah kehendak Allah, manusia
hanya bisa berencana, dan tetap Allahlah yang menentuknnya”
“Gue tau itu, dan gue juga terus berusaha agar bisa lebih baik dan benar-benar
menerima kenyataan itu”
“Bunga, kamu masih muda, kamu juga winita baik dan cantik, jalanmu masih
panjang dan raihlah masa depanmu yang cerah dan penuh kebahagiaan, jangan siasiakan
hari-hari berhargamu dengan hanya diam dan menyendiri. Janganlah kamu
menenggelamkan semangat besarmu, semangat untuk membahagiakan dirimu, orang
tua dan keluargamu. Bunga kamu masih punya banyk waktu untuk itu, bangkit dan
raihlah impianmu”
Bunga memandangiku serius, matanya berkaca-kaca, entah apa yang ia pikirkan,
aku tidak tau apakah semangatnya kembali bangkit atau malah tersinggung dengan
ucapanku.
“ Bungan itu Bokap mu sudah datang”
Sontak Bungan mengalihkan pandangannya kea rah jalan, dan terlihat olehnya
sebuah mobil kijang tua berwarna hitam.
“Iya Mas benar itu bokap gue, oya terimakasih ya, Mas Amir sudah menemani
gue sore ini, dan makasih juga Mas sudah memberikan semangat ke gue.” Ucap Bunga
dengan senyum.
Bungapun bangkit setelah mengusap airmata di pipinya dengan jari-jari
lentiknya dan setelah menutup laptopnya, Bunga beranjak menuju ke mobil Kijang tua
itu dan langsung hilang dari pandanganku.
[54]
TUJUH
Semangat Baru
Pagi itu adalah pagi yang cerah, usai Sholat Subuh aku berjalan keluar untuk
menghirup udara pagi yang cukup dingin. Hari itu aku belum memiliki rencana apa-apa.
Sedangkan Syamsul dan teman-teman yang lain berencana untuk berlibur dan jalan-
jalan ke Ancol karena kabarnya aka nada konser band di sana.
Sebenarnya mereka mengajakku, namun sepertinya hari itu aku merasa ingin di
rumah saja. Hari itu adalah hari minggu dan seperti biasa aktifitas bengkel libur dihari
itu. Sering kali pada hari minggu para karyawan bepergian untuk jalan-jalan.
Pukul 09.15 semua sudah pergi dan hanya aku yang tinggal di rumah. Terasa
sunyi dan sepi. sepanjang hari mungkin aku hanya akan duduk dan nonton TV saja di
rumah.
Setelah sarapan aku langsung menuju ruang tamu dan menyalakan TV, aku
mencari siaran film kartun. Ya aku sangat suka meninton film kartun, apa lagi yang
lucu-lucu, seharian aku akan betah jika ditemani film itu gumamku.
Tidak terlalu lama terdengar suara seseorang sedang membuka dan menutup
kembali pintu samping. Aku berfikir mungkin itu adalah Syamsul tapi kenapa mereka
jam segini sudah pulang, apa mereka tdak jadi jalan-jalan.
Segera aku bangun dari sofa untuk melihat kebawah siapa yang datang, dan
alangkah terkejutnya aku saat membalikkan badanku dan terlihat olehku seorang gadis
berambut lurus, berkulit putih dan memiliki mimic wajah manis dengan lesung pipi
yang menawan.
“Mas Amir”
“Eh Bunga, ada apa kesini?”
[55]
“Di rumah lagi suntuk, jadi gue pikir mungkin baiknya jalan ke sini, eh yang lain
pada kemana?”
“Yang lain pada pergi jalan-jalan, eh ayo sini”
“Mas gak jalan?”
“Enggak, lagi males aja jalan”
“OH, tapi gue gak ganggu kan?”
“Ah, ya enggak lah, ayo duduk, bentarnya aku ambilkan minum dulu”
Hari itu Bunga tampak berbeda, wajahnya lebih cerah dari biasanya.
“Nih minumnya dan ni juga ada sedikit biscuit”
“Makasih, oya makasih ya kamaren Mas udah kasih semangat ke gue, sekarang
gue bisa lebih ceria dan hati gue mulai terbuka untuk menatap masa depan.”
“Ah biasa aja, aku yakin ko’ kamu pantas mendapatkan yang terbaik”
Kamipun ngobrol sambil nonton TV, baru hari itu aku melihat Bungan begitu
ceria, canda tawa lepas sepanjang obrolan dapat aku saksikan dari seorang Bunga yang
dulunya pendiam dan bermimik wajah serius. Dan hari itu semua tampak berbeda,
Bunga begitu menikmati suasana ceria.
Tak terasa hari sudah siang dan jam didnding menunjukan pukul 14.00, Bunga
berpamitan untuk pulang, dan aku juga harus Sholat Dzuhur. Usai Sholat aku makan
siang dan setelah itu tidur siang.
Dari raut wajanya, aku yakin Bunga telah berubah, Bunga telah menemukan
sesuatu yang dapat membangkitkan semangat dan harapannya. Sesuatu belum dapat ku
ketahui dank u mengerti, dia bilang semua itu karena ucapanku kemarin, tapi apapun itu
aku merasa senang melihat Bunga tersentuk seperti layaknya gadis lain sebayanya.
Waktu terus berlalu, aku, Anto, Syamsul, Bunga, dan semua karyawan tampak
begitu semangat dalam menjalani hari-hari kerja. Canda tawa selalau mewarnai setiap
hari-hari kerja kami, sampai dengan tidak terasa tiga tahun aku telah berada di Jakarta, 4
tahun sudah aku bekerja di bengkel la situ, dan 4 tahun pula aku mengenal mereka,
mereka adalah teman-teman yang baik di kota Jakarta yang kurang baik bagi orang kecil
sepertiku. Air mataku menetes saat menyadari harus berpisah dengan mereka. Aku telah
mengambil keputusan untuk kembali ke Kalimantan setelah apa yang menjadi tujuanku
[56]
telah tercapai. Walau walau aku tidak bisa menemukan orang yang kau cari, tapi aku
telah mendapatkan apa yang aku cari walau tanpa bantuan orang itu.
Aku telah memutuskan untuk membangun usaha di tanah kelahiranku.
Bermodalkan tabungan hasil kerjaku selama berada di Jakarta itulah yang akan aku
pergunakan untuk membangun usaha yang sejak lama telah aku angankan.
Minggu pagi, dan itu adalah hari dimana jadwalku libur. Tidak seperti biasanya
hari libur aku habiskan menonton TV di rumah, hari itu aku manfaatkan untuk jalan-
jalan menelusuri kota Jakarta. Itu juga karna saran dari semua teman-teman kerjaku,
mereka bilang alangkah baiknya berjalan-jalan menelusuri sudut Jakarta sebelum pergi
meninggalkannya.
Hari itu aku ditemani Bunga. Awalnya aku menolak, aku ingin pergi sendiri
saja, tapi Bunga memaksa mau menemani dan aku juga tidak bisa dan tak punya alasan
untuk menolaknya, toh dia juga sedang libur dan dia ingin sekali jalan bersamaku, yah
mungkin untuk yang terakhir kalinya.
Pukul 09.00 kami berangkat, kami berboncengan motor milik Bunga, ya kini
bunga tak lagi diantar dan dijemput Ayahnya. Kini bungan lebih sukan berangkat dan
pulang kerja sendiri denga motornya.
Jalan kami telusuri, melewati perkampunga yang padat dan sedikit kumuh. Terus
kami menelusuri jalan itu sampai dengan keluar dari perumahan padat menuju jalan
raya dipertengaha kota. Kami berhenti pada sebuah tempat yang begitu indah, sebuah
tempat dengan taman bunga yang terhampar luas dengan deretan tenda-tenda penjual
makanan dan minuman yang tersusun rapi. Tak membuang waktu, kamipun segera
menghampiri salah satu tenda dengan seorang ibu setengah baya sedang membersihkan
meja-meja di tendanya itu. Kamipun duduk dan memesan dua gelas jus mangga dan dua
mangkok bakso.
Setelah beberapa menit, semua yang kami pesan telah siap di dean kami.
Menikmati suasana taman dengan makanan dan minuman itu terasa sangat nikmat
ditambah lagi obrolan kami yang penuh dengan canda taw aria. Aku benar-benar
melihat Bunga sebagai seorang gadis yang begitu ceria, senyumnya begitu manis, sorot
matanya begitu tajam, tutur katanya begitu indah.
[57]
Terus kami ngobrol seraya menikmati indahnya suasana taman itu. Angin yang
berhembus dengan lembutnya terasa menerpa tubuh kami dan berlahan menelusup
sampai ke hati kami. Hari itu benar-benar hari yang indah bagiku. Betapa tidak, aku bisa
bercanda tawa dengan gadis yang begitu cantik dan manis. Aku sempat berfikir
seandainya Bungan ada kekasihku, mungkin hari itu akan akan lebih bahagia lagi.
Setelah bertahun-tahun aku hidup tanpa cinta. Bukan tanpa alas an, semua itu sangat
menyiksaku. Andini, wanita yang sangat aku cintai kini telah menjadi istri orang. Hati
ini teriris dan sangat pedih sangat mengingat terakhir kali aku bertemu dengannya di
pesta resepsi pernikahannya, itu sangat menyesakkan dadaku.
“Mask ko’ melamun sih,,,,”
“Eh maaf, bukan melamun, lagi menikamati suasana yang sejuk ini”
“Mas, gue mau tanya serius boleh gak?”
“Tanya serius, maksudnya?”
“Boleh gak dulu?”
“Em,, boleh deh, emangnya mau tanya tentang apa?”
“Mas sekarang apa punya kekasih?”
Aku sangat terkejut dengan pertanyaan yang diajukan Bunga, aku tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Aku malah melihat raut wajahnya yang menatapku dengan
serius.
“Mas, kenapa malah bengong, dijawab dong”
“Ah, maaf kenapa kamu tanayain itu?”
“Emangnya gue gak boleh Tanya masalah itu ya?”
“Buknnya gitu, ya sedit aneh aja”
“Apanya yang aneh, itu biasa kale dan mohon dijwab ya”
“Sebenarnya tidak ada dan juga lagi belum pengen punya kekasih”
“Oh begitu ya,,,,”
Aku perhatikan wajah Bunga langsung berubah, Bunga sedikit murung dan
terlihat tidak bersemangat. Entah apa yang ada difikiranya namun yang jelas aku bisa
melihat bahwa ada sesuatu yang dia sembunyikan dari ku.
“Oya Mas, besok jam berapa berangkat?”
[58]
“Besok penerbangan jam 2 siang, dan mungkin aku berangkat ke Bandara jam 9
pagi, kenapa?”
“Tidak apa-apa Mas, maaf ya besok gue gak bisa anterin Mas ke Bandara”
“Iya gak papa”
“Oya Mas, ini ada sesuatu untuk Mas” seraya Bung menyodorkan sebuah
kantongan plastik warna putih yang dia ambil dari dalam tasnya.
“Apa ini?”
“Ini sebagai kenang-kenangan buat Mas, Cuma jaket Mas dan mudah-mudahan
Mas suka.”
“Aduh makasihya udah repot-repot gini”
“Tapi Mas suka gak dengan model jaketnya”
“Oh sangat suka, apa lagi dari kamu, pastinya aku suka banget”
“Ah Mas bisa aja deh”
Senyum Bunga kembali dapat aku rasakan, wajah yang tadinya sempat murung
dan terlihat tidak bersemangat, kini berubah ceria kembali. Senyum yang begitu manis
dia lepaskan tapa beban sedikitpun. Akupun tersentum saat melihatnya begitu ceria.
Waktu terus berlalu dan tidak terasa sudah jam 02.00 sing. Kamipun segera
pulang, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan untuk kepulangank besok.
Setelah Bungan mengantarku ke rumah, dia langsung pamit pulang. Au kemabali dapat
merasakan sesuatu yang aneh darinya. Seperti dia enggan untuk berhenti menatapku.
Terlihat berat Bunga meangkahkan kakinya menjauh dariku. Entah apa yang sedang
terjadi padanya. Yang jelas waktu itu aku berfikir mungkin berat baginya untuk
berpisah dengan teman kerja yang telah bersamanya selama 4 tahun. Akupun merasa
begitu Bunga, aku juga berat meninggalkan kalian, kalian adlah teman-teman yang baik.
Tapi ini harus aku lakukan, aku harus kembali ke tanah kelahiranku, dan aku harus
segera menata kembali kehidupanku, aku harus mewujudkan cita-citaku.
[59]
DELAPAN
Secarik Kertas di Dalam Jaket Itu
Senin pagi jam 08.00, semua teman-teman dan juga pak Hendra telah berada di
bengkel, kamipun saling meminta maaf atas semua kesalahan yang mungkin terjadi
diantara kami. Dan setelah aku berpamitan, segera aku masuk ke dalam taxi berwarna
putih yang telah menungguku sejak 30 menit yang lalu. Lambaingan tangan mereka
semua memaksaku meneteskan air mata, terlebih Bunga yang jelas dapatku lihat
kesedihannya dari raut wajahnya.
Taxi terus meluncur meninggalkan bengkel itu, menelusuri jalan perumahan
padat dan sedikit kumuh sampai masuk pada jalan raya yang lebar dan tampak lebih
bersih.
Setelah sampai di bandara dan usai mengurus semua berkas penerbangan, latas
aku duduk di ruang tunggu dengan ditemani satu kaleng minuman ringan. Masih dua
jam lagi penerbangannya dan aku tak tau harus melakukan apa selagi menggu. Aku
tampak mulai bosan menunggu dan aku masih tak tau harus melakukan apa selagi
menggu.
Tak berapa lama aku baru ingat bahwa Bunga memberiku jaket, dan enth kenapa
aku ingin sekali memakainya hari itu. Lantas aku buka tas rangselku dan ku cari jaket
berwana coklat muda dengan ukiran desain elegan itu. Cukup dalam aku merogoh tasku
dan cukup lama aku mencari akhirnya bisa ku raih jaket itu. Langsung aku memakainya
dan tercium jelas dihidungku bau toko pada jaket itu. Dalam hati aku mengucapkan
terimakasih pada Bunga. Aku sempat berfikir sedang apa sekarang dia, apa Bunga sedih
aku pergi?,,,, yah mungkin biasa aja, toh aku juga bukan apa-apanya Bunga an gak ada
alasan buat dia sedih atas kepergiannku.
[60]
[61]
30 menit berlalu, aku merasa sedikit ada sesuatu jang membuetku tidak nyaman.
Rasa itu kurasakan dari kantong jaket sebelah kanan, dan segera aku rokoh saku itu dan
tak hayal aku dapati sebuah amplop kecil, cukup tebal. Aku penasaran apa isi amplom
itu. Segera aku bka amplom itu dan ku dapati secarik kertas yang dilipat kecil.
Segera aku buka lipatan kertas itu, sepertinya sebuah surat. Ya itu adalah sebuah
surat untukku dari Bunga karena tertulis dengan jelas “ Buat Mas Amir” pada bagian
atas dan “Dari Bunga” pada bagian akhirnya.
Segera aku baca isi surat itu dan alangkah terkejutnya aku setelah memahami
isis surat itu. Tak sadar airmataku menetes, dadaku sesak, darahku terasa mengalir
deras, dan aku merasa bumi yang kupijak bergoncang dengan kerasnya. Aku tak tau
harus berbuat apa, aku bingung harus memutuskan apa.
Bersambung...........................
“Selimut Cinta” masih dalam perampungan, dan saya memohon dukungannya untuk
segera merampungkannya. Saya selaku penulis mengucapkan terimakasih kepada Anda
yang telah berpartisipasi pada karnya novel amatir saya. Novel amatir pertama saya
berjudul “Ternyata Khairina” dapat Anda temukan di
aktivitasshodiq.wordpress.com