Post on 02-Mar-2019
"RISĀLATA 'L- BADĪ‘IYYAH FĪ THARĪQATI 'N-NAQSYABANDIYYATI 'L-‘ĀLIYAH"
KARYA SYEKH ABDALLAH DIHLAWI: SUNTINGAN TEKS,
ANALISIS STRUKTUR, DAN ISI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh NURHAYATI
C0202002
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2006
"RISĀLATA 'L-BADĪ ‘IYYAH FĪ THARĪQATI 'N-NAQSYABANDIYYATI 'L-‘ĀLIYAH" KARYA
SYEKH ABDALLAH DIHLAWI: SUNTINGAN TEKS,
ANALISIS STRUKTUR, DAN ISI
Disusun oleh
NURHAYATI C0202002
Telah disetujui oleh Pembimbing
Pembimbing
Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag. NIP 131 895 875
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Indonesia
Drs. Henry Yustanto, M.A. NIP 131 913 433
"RISĀLATA 'L-BADĪ ‘IYYAH FĪ THARĪQATI 'N-NAQSYABANDIYYATI 'L-‘ĀLIYAH" KARYA
SYEKH ABDALLAH DIHLAWI: SUNTINGAN TEKS,
ANALISIS STRUKTUR, DAN ISI
Disusun oleh
NURHAYATI
C0202002
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sasatra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada tanggal: 22 Juli 2006
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Drs Henry Yustanto, M.A. (…………………….. )
NIP 131 913 433
Sekretaris Drs. Hanifullah Syukri, M.Hum. (………………………)
NIP 132 231 674
Penguji I Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag. (………………………)
NIP 131 895 875
Penguji II Dr. H. Bani Sudardi, M.Hum. (………………………)
NIP 131 841 883
Dekan,
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Uneversitas Sebelas Maret Surakarta
Prof. Dr. Maryono Dwirahardjo, S.U. NIP 130 675 167
PERNYATAAN
Nama : Nurhayati
NIM : C0202002
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul "Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘Āliyah Karya Syekh Abdallah Dihlawi: Suntingan teks, Analisis Struktur, dan Isi" adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 22 Juli 2006
Yang membuat pernyataan,
Nurhayati
MOTTO
ان مع العسریسرا. فان مع العسریسرا
"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan".
(Alquran dan Terjemahnya, Q.S. Al- Insyirāh: 5-6)
Bagaimanapun, suatu hal pasti akan berlalu
dan suatu hari, kita pun akan tersenyum, menyadari
bahwa kita pernah melewatinya (M.M)
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini penulis persembahkan kepada:
• Ayah dan Bundaku tercinta
• Adindaku tersayang, Dik Aah
• ☺Mas Hanafiku yang selalu di hati
• Almamater Universitas Sebelas Maret Surakarta
KATA PENGANTAR
Al-hamdu li 'l- Lāhi rabbi 'l- `ālamīn, segala puji dan syukur penulis
panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya,
terutama nikmat iman, Islam, dan ilmu, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tulisan ini dengan lancar. Selawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya.
Karya ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Maryono Dwiraharjo, S.U. selaku Dekan Fakultas Sasra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Drs. Henry Yustanto, M.A. selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang dengan penuh
perhatian dan kesabaran memberikan petunjuk, arahan, dan motivasi yang
sangat luar biasa berharga bagi penulis.
4. Dra. Hesti Widyastuti, M.Hum. selaku pembimbing akademik penulis selama
masa studi.
5. Pimpinan dan staf Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Fakultas Sastra dan Seni Rupa,
Perpustakaan Islam Surakarta, Perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Surakarta yang telah memberikan kemudahan dalam mendapatkan
sumber data dan buku-buku referensi untuk penyelesaian skripsi.
6. Ayah dan bundaku yang entah sampai kapan aku dapat membalas setiap
tetesan air mata, leleran keringat, dan lantunan doa yang telah terangkai.
7. (orang lain boleh saja datang dan pergi, tapi yang namanya sahabat akan
selalu dihati….dan buatku mereka adalah matahari yang sebenarnya, mereka
akan selalu ada dan tak akan pernah pergi ~M.M~) Sahabat-sahabatku tercinta
dan tersayang penghuni kos "Danone" (Fungani, Diah, Ummi, Iswati) yang
selalu menemaniku baik suka maupun duka, serta terima kasih untuk setiap
motivasi, keluh kesah dan sharing kita yang membuat kita agak sedikit
dewasa.
8. Teman-teman seperjuangan pecinta filologi sejati Mbak Fathilah, Mbak
Innatul, Mbak Sarah, Dimas Gendut, Ika, Mursini, Endang Rina, Nur
Rohmah, Puji, terima kasih atas kekompakan dan kerja samanya.
9. Rekan-rekan mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2002, I luv U all
10. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Semoga Allah swt membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Akhirnya, penulis berharap karya tulis ini akan bermanfaat bagi para pembaca.
Surakarta, Juli 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman
Lembar Persetujuan……………………………………………………........ ii
Lembar Pengesahan ………………………………………………………… iii
Lembar Pernyataan………………………………………………………..... iv
Motto………………………………………………………………………... v
Persembahan……………………………………………………………….... vi
Kata Pengantar……………………………………………………………..... vii
Daftar Isi……………………………………………………………………... ix
Daftar Tabel………………………………………………………………….. xi
Abstrak……………………………………………………………………….. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………...... 1
B. Pembatasan Masalah………………………………………..... 9
C. Rumusan Masalah ………………………………………….... 9
D. Tujuan Penelitian …………………………………………..... 9
E. Manfaat Penelitian………………………………………….... 10
F. Sistematika Penulisan…..……………………………........ .... 11
BAB II LANDASAN TEORI
A. PenyuntinganTeks ...………………………………………… 12
B. Sastra Kitab…………....……… ……………………………. 14
C. Struktur Teks Sastra Kitab ….....……………………………. 15
D. Tasawuf dan Tarekat …………...…………………………… 16
E. Tarekat Naqsyabandiyah ........................................................ 22
F. Kerangka Pikir ........………………..…………………....... 25
BAB III METODE PENELITIAN
A. Sumber Data…….. ……………………………………….. 26
B. Metode Penelitian…………………... ……………………. 26
C. Teknik Pengumpulan Data………….……………….......... 28
D. Teknik Pengolahan Data…………….……………………. 29
BAB IV SUNTINGAN TEKS
A. Inventarisasi Naskah………………………………………. 31
B. Deskripsi Naskah …………………………………………. 32
C. Ikhtisar Isi Teks……………………………………………. 40
D. Kritiks Teks………………………………………………… 41
E. Suntingan Teks ..…………………………………………… 49
F. Daftar Kata-kata Sukar…………………………………….. 57
BAB V TAREKAT NAQSYABANDIYAH
A. Struktur Teks RBTNA…..………………………………… 62
B. Tarekat Naqsyabandiyah….………………………………. 82
BAB VI PENUTUP
A. Simpulan ……………………..…………………………... 97
B. Saran ………………………..……………………………. 98
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. 99
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1 Lakuna ………………………………………………………... 43
Tabel 2 Adisi…………………………………………………………… 43
Tabel 3 Ditografi………………………………………………………. 43
Tabel 4 Substitusi……………………………………………………… 44
Tabel 6 Ketidakkonsistenan kata adalah……………………………….. 44
Tabel 7 Pedoman Transliterasi ………………………………………… 48
Tabel 8 Kosa Kata Arab Istilah Tasawuf………………………………. 75
Tabel 9 Kosa Kata Arab bukan Istilah Tasawuf……………………….. 76
ABSTRAK
Nurhayati. C0202002. 2006. "Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati'l-‘Āliyah" Karya Syekh Abdallah Dihlawi: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Isi. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimanakah suntingan teks Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati'l-‘Āliyah? (2) Bagaimanakah struktur teks dan kandungan teks Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati'l-‘Āliyah?
Tujuan penelitian ini adalah (1) menyediakan suntingan teks RBTNA yang baik dan benar, baik dalam arti mudah dibaca karena telah ditransliterasikan dari huruf Arab ke dalam huruf Latin, benar dalam arti kebenaran isi teks dapat dipertanggungjawabkan. (2) Mendeskripsikan struktur teks Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati'l-‘Āliyah yang meliputi struktur penyajian teks, gaya penyajian, pusat penyajian, gaya bahasa dan mengungkapkan kadungan teks Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati'l-‘Āliyah. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode filologis, metode struktural dan analisis isi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati'l-‘Āliyah dengan nomor kode ML 479 F. Teknik pengumpulan data dengan teknik pustaka. Teknik pengolahan data yang digunakan adalah tahap reduksi data, tahap penyajian data, dan tahap penarikan simpulan
Dari hasil analisis dapat disimpulkan beberapa hal: (1) Naskah Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati'l-‘Āliyah merupakan naskah tunggal, sehingga metode yang sesuai untuk menyunting teks adalah metode standar. Setelah dilakukan kritik terhadap teks ini, maka ditemukan beberapa kesalahan salin tulis antara lain: 5 buah lakuna, 3 buah adisi, 1 buah ditografi, 5 buah substitusi, dan ketidakkonsistenan dalam penulisan kata adalah. (2) Teks Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati'l-‘Āliyah menggunakan struktur penyajian eksposisi yang sistematis terdiri dari pendahuluan, isi, penutup; gaya penyajiannya menggunakan bentuk interlinier dengan penggunaan kalimat bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu; pusat penyajiannya menggunakan metode orang pertama (Ich-Erzählung) yaitu teks yang dituturkan sendiri oleh pengarang; dari segi gaya bahasanya memiliki 4 buah gaya bahasa yaitu terdiri dari 29 kosa kata Arab istilah tasawuf dan 14 kosa kata Arab bukan istilah tasawuf, kata-kata khusus, sintaksis dengan penggunaan kata dan, maka, bagi, sarana retorika terdiri dari gaya penguraian, penguatan, hiperbola, gaya retorika, penyimpulan, dan bahasa kiasan. Secara garis besar teks Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati'l-‘Āliyah berisi tentang ajaran Tarekat Naqsyabandiyah yang berupa zikir Tarekat Naqsyabandiyah, 3 jalan yang harus ditempuh salik untuk sampai kepada Allah Taala (ma'rifatullah), dan saran kepada salik agar memilih dan mentaati guru (syekh).
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia memiliki aneka jenis bahan peninggalan budaya masa
lampau. Peninggalan itu ada yang berupa karya sastra dalam bentuk naskah-naskah
kuno. Menurut Edwar Djamaris naskah merupakan suatu peninggalan tertulis nenek
moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan. Tulisan pada kertas itu biasa
dipakai pada naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan yang berbahasa Jawa, lontar
banyak dipakai pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali, kulit kayu dan rotan
biasa digunakan pada naskah-naskah berbahasa Batak (1997:3).
Naskah adalah produk masa lampau hasil sastra lama warisan nenek moyang,
dan isi naskah itu bermacam-macam, seperti sejarah, hukum, bahasa, sastra, filsafat,
moral, obat-obatan, dan banyak pula di antaranya yang mengungkapkan ajaran
agama seperti agama Islam. Sebagian naskah dapat digolongkan dalam karya sastra,
dalam pengertian khusus, seperti cerita-cerita dongeng, hikayat, cerita binatang,
pantun, syair, guridam, dan sebagainya (Edwar Djamaris, 1997:4-5). Informasi yang
terkandung dalam naskah-naskah tersebut kesemuanya memiliki nilai khusus yang
tak ternilai harganya sebagai bentuk peninggalan budaya bangsa Indonesia.
Usaha untuk menggali informasi dalam naskah-naskah lama perlu mendapat
perhatian yang khusus dan saksama. Naskah sebagai produk masa lampau warisan
dari nenek moyang yang bernilai tinggi, dalam perjalanan waktunya telah mengalami
perubahan dan kerusakan, baik karena faktor waktu maupun karena ulah manusia.
Kemusnahan naskah atau hilangnya naskah dari bumi Indonesia disebabkan
oleh hal-hal yang tidak disengaja. Kemusnahan naskah di Indonesia yang beriklim
tropis disebabkan karena kerusakan alas naskah (seperti kertas) karena tidak dapat
bertahan terhadap iklim. Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis membuat
naskah-naskah kurang bertahan lama dibandingkan naskah-naskah yang ada di
negara barat. Iklim di Indonesia yang panas dan lembab lebih mempercepat
kemusnahan naskah. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kemusnahan naskah
dapat juga terjadi karena ulah serangga (kutu, ngengat) yang mungkin saja membuat
naskah rusak, sehingga tidak dapat dipakai lagi karena tidak terbaca isinya (Sri
Wulan Rujiati Mulyadi, 1994:79). Oleh karena itu, usaha penyelamatan terhadap
naskah-naskah lama melihat kondisi naskah yang memprihatinkan dan kandungan
teks yang dinilai penting harus mendapat perhatian yang lebih dari berbagai pihak.
Buah karya sastra yang berasal dari zaman masuknya Islam berupa kitab-
kitab agama yang telah di golongkan tersendiri ke dalam kesusastraan kitab (Siti
Baroroh Baried, et. al., 1994:23). Sastra Kitab mempunyai corak khusus di antaranya
meliputi teks-teks yang berhubungan dengan renungan mistik, kumpulan doa-doa
dan mantra-mantra yang berhubungan dengan Islam, risalah-risalah tentang teologi
Islam dan buku-buku daktik yang berhubungan dengan etika Islam (moral) (Siti
Chamamah Soeratno, et. al, 1982:151). Ditinjau dari segi isinya, sastra kitab
mempunyai kegunaan untuk penanaman ajaran dan akidah Islam, serta menguatkan
iman dan meluruskan ajaran yang sesat (Siti Chamamah Soeratno, et. al., 1982:209).
Naskah Aneka Karangan merupakan salah satu naskah Melayu yang
termasuk dalam kategori Sastra Kitab, karena teks dari naskah ini mengandung
ajaran agama (fikih dan tasawuf). Naskah Aneka Karangan ini tercatat di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, dengan nomor ML 479. Menurut
Katalogus Koleksi Naskah Melayu yang ditulis oleh Amir Sutaarga et.al, naskah
Aneka Karangan berisi delapan teks (1972:315-316). Untuk membedakan antara satu
teks dengan teks yang lain, maka setiap teks akan diberikan kode huruf Latin dari A
sampai H, sehingga terdapat delapan teks dengan nomor ML 479A--H:
1) Jamah dan ayat-ayat yang dibaca di dalamnya (ML 479 A).
2) Adab berdzikir dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu (ML 479 B).
3) Perbedaan mazhab Imam Syafii dan Imam Hanafi (ML 479 C).
4) Hukum warisan (fikih) (ML 479 D).
5) Hukum nikah ajaran Syekh Abdulmufti As Samalawi (ML 479 E).
6) Tarekat Naqsyabandiyah dan kitab Syekh Abdullah (ML 479 F).
7) Hukum menyembelih dan ijmak ulama (ML 479 G).
8) Ijmak mengenai hakim dan Tauliyah (ML 479 H).
Dalam naskah ini, antara teks satu dengan teks yang lain tidak berhubungan.
Dari kedelapan teks tersebut, hanya teks Tarekat Naqsyabandiyah dan kitab
Syekh Abdullah saja yang akan diteliti. Hal tersebut dikarenakan karena keterbatasan
dari peneliti. Alasan yang mendasari hanya diambilnya teks Tarekat Naqsyabandiyah
dan kitab Syekh Abdullah yaitu :
1. Kedelapan teks yang terdapat dalam katalog Amir Sutaarga baru sebagian yang
telah diteliti maupun yang masih dalam proses penelitian oleh peneliti lain.
Adapun teks yang sudah teliti adalah teks perbedaan mazhab Imam Syafii dan
Imam Hanafi (ML 479 C) oleh Innatul Khoiriyah, sedangkan teks yang masih
dalam penelitian oleh peneliti lain adalah teks hukum nikah ajaran Syekh
Abdulmufti As Samalawi (ML 479 E) oleh Siti Sarah, dan teks hukum
menyembelih dan ijmak ulama (ML 479 H) oleh Moh. Dimas Ash`ari. Selain itu,
berdasarkan pemeriksaan daftar skripsi di berbagai perguruan tinggi dan
Direktori Edisi Naskah Nusantara, teks Tarekat Naqsyabandiyah dan kitab Syekh
Abdullah belum pernah digarap secara filologis. Jika dilihat dari segi kondisi
pernaskahan di Indonesia, naskah ini harus segera diselamatkan karena faktor
usianya yang sudah mencapai 160 tahun lebih. Teks Tarekat Naqsyabandiyah dan
kitab Syekh Abdullah merupakan warisan budaya bangsa yang harus dipelihara
dan dilestarikan dari kemusnahan. Usaha yang dapat dilakukan dalam rangka
penyelamatan naskah di antaranya adalah dengan menyediakan terbitan suntingan
naskah yang mudah dibaca dan dipahami oleh masyarakat karena sudah
ditransliterasi dari huruf Arab (Melayu/Pegon) ke dalam huruf Latin. Sementara
itu, dari segi kandungan isinya, teks ini mengandung ajaran rohani yang penting
karena berisi tentang ajaran agama Islam terkait dengan konsep ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah.
2. Teks Tarekat Naqsyabandiyah dan kitab Syekh Abdullah merupakan teks yang
lengkap. Lengkap berarti dimulai dengan basmalah dan diakhiri dengan tamat
serta terdapat kolofon di dalamnya (sesuai dengan struktur sastra kitab) jika
dibandingkan dengan teks yang lain yang masih dalam satu naskah, seperti teks
ijmak mengenai hakim dan tauliyah.
3. Sumber tertulis (naskah manuskrip) yang menunjukkan perkembangan Tarekat
Naqsyabandiyah Mujaddidiyah pada awal abad ke-18 M tidak begitu banyak
diketahui. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Martin van Bruinessen,
"Kita kurang banyak mengetahui mengenai abad kedelapan belas dibandingkan
dengan abad ketujuh belas atau abad ke sembilan belas; secara umum
demikianlah yang sebenarnya, dan begitu pula yang sebenarnya mengenai tarekat
Naqsyabandiyah" (Bruinessen, 1992:64). Martin van Bruinessen hanya
menemukan satu sumber tertulis mengenai perkembangan Tarekat
Naqsyabandiyah pada abad ke-18, yaitu sebuah risalah pendek berbahasa Arab
dalam sebuah naskah kumpulan risalah pendek dari Museum Nasional Jakarta
(Ms. A, fol 162a-164b). Adapun teks Tarekat Naqsyabandiyah dan kitab Syeh
Abdullah yang berbahasa Melayu juga merupakan teks yang ditulis pada abad
ke-18. Oleh karena itu, penelitian terhadap teks Tarekat Naqsyabandiyah dan
Kitab Syekh Abdullah sangat perlu dilakukan.
Pemberian judul Tarekat Naqsyabandiyah dan kitab Syekh Abdullah dalam
katalog Amir Sutaarga bukan merupakan judul asli dari teks. Judul teks Tarekat
Naqsyabandiyah dan kitab Syekh Abdullah mengandung kelemahan yang di
antaranya adalah:
1. Judul yang diberikan oleh Amir Sutaarga pada pemberian nama Syekh Abdullah
adalah salah, karena sumber-sumber tertulis mengenai silsilah guru
Naqsyabandiyah tidak ditemukan adanya nama guru Naqsyabandiyah yang
bernama Syekh Abdullah dari Dihlawi (India), melainkan menyebutkan nama
Syekh Abdallah Dihlawi. Nama Syekh Abdullah yang diberikan oleh Amir
Sutaarga semata-mata hanya sebatas membaca teks tanpa mempelajari lebih jauh
tentang silsilah guru Tarekat Naqsyabandiyah. Adapun kutipannya berbunyi:
…makasanya minta kepada kami berulang-ulang beberapa kali oleh setengah kekasihan aku bahwa aku pindah kitab imam yang alim lagi wali Allah yang ahli 'sh-Shūfī, dan yaitu Syekh Abdallah Dihlawi nama negerinya. Wa kāna fī kitābi 'l- mazkūri mubayyinan li tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah dan adalah dalam // kitab yang tersebut menyata(kan) bagi Tarekat Naqsyabandiyyah yang tinggi (RBTNA: 1-2).
2. Jika dibaca lebih teliti lagi, di dalam pendahuluan teks penyalin menerangkan
dengan jelas tentang judul teks. Judul teks tersebut adalah "Risālata 'l-Badī‘iyyah
fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘Āliyah" (selanjutnya disingkat RBTNA)
artinya Risalah yang indah dalam tarekat Naqsyabandiyah. Adapun keterangan
dalam pendahuluan yang menyiratkan sebagai judul karangan berbunyi, "Dan aku
akan kitab ini seperti kitab yang mustaqal pada bahasa Jawi. Wa sammaituhu
risālata 'l-badī‘iyyah fī tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah. Dan aku namai
akan dia Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘Āliyah.
Artinya risalah yang indah pada menyatakan Tarekat Naqsyabandi." (RBTNA:2-
3).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa deskripsi yang diberikan oleh
Amir Sutaarga mengenai judul teks tidak sesuai dengan judul asli teks. Oleh karena
itu, keterangan judul teks yang diberikan oleh Amir Sutaarga perlu disesuaikan
dengan judul asli teks, yaitu "Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'l-Naqsyabandiyyah
'l-‘Āliyah". Teks ini berisi tentang konsep ajaran Tarekat Naqsyabandiyah.
Dalam penelitian ini, inventarisasi naskah hanya dilakukan melalui studi
katalog saja. Adapun studi lapangan tidak dilakukan karena keterbatasan peneliti.
Berdasarkan hasil studi katalog diketahui bahwa teks RBTNA termasuk naskah
tunggal. Hasil studi katalog yang telah dilakukan di antaranya:
1. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat yang ditulis oleh Amir
Sutaarga, et.al pada tahun 1972.
2. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A yang ditulis oleh Edi S
Ekadjati dan Undang A Darsa, tahun 1999.
3. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4 yang ditulis oleh TE
Behrend, tahun 1998.
4. Malaische en Minangkabausche Hansshriften in de Leidsche Universiteis-
Bibliotheek oleh Van Ronkel, tahun 1921.
5. Malay Manuscripts a Bibliographical Guide oleh Joseph H Howard, tahun
1966.
6. Direktori Edisi Naskah Nusantara oleh Edi S Ekadjati (penyunting), tahun
2000.
7. Katalog Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari oleh Achadiati Ikram,
Tjiptaningrum F Hassan, dan Dewaki Kramadibrata yang terbit pada tahun
2002.
8. Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts oleh Joan de Lijster
Streef dan Jan Just Witkam yang diterbitkan di Leiden oleh Legatum
Warnerianum in Leiden University Library, tahun 1998.
Dari katalog-katalog tersebut diatas, teks RBTNA hanya tercantum dalam
Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat dalam naskah Aneka Karangan
ML 479 pada halaman 315-316.
Penelitian ini difokuskan pada masalah suntingan teks, analisis struktur, dan
isi. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul "Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-
Naqsyabandiyyati 'l-Āliyah" Karya Syekh Abdallah Dihlawi: Suntingan teks,
Analisis Struktur, dan Isi.
B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada suntingan teks, analisis struktur dan isi teks
RBTNA. Masalah yang dibahas meliputi:
1. Suntingan teks yang dibatasi pada ejaan yang berlaku, yaitu Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD) dengan mempergunakan pedoman transliterasi Arab-
Latin.
2. Analisis Struktur yang dibatasi pada struktur teks yaitu struktur penyajian teks,
gaya penyajian, pusat penyajian, gaya bahasa dan analisis isi yang dibatasi pada
kandungan teks RBTNA.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah suntingan teks RBTNA?
2. Bagaimanakah struktur teks RBTNA dan kandungan teks RBTNA?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menyediakan suntingan teks RBTNA yang baik dan benar, baik dalam arti
mudah dibaca karena telah ditransliterasikan dari huruf Arab ke dalam huruf
Latin, benar dalam arti kebenaran isi teks dapat dipertanggungjawabkan karena
telah dibebaskan dari segala macam kesalahan yang terjadi pada waktu
penyalinannya sehingga akan didapatkan sebuah teks yang mendekati aslinya.
2. Mendeskripsikan struktur teks RBTNA yang meliputi struktur penyajian teks, gaya
penyajian, pusat penyajian, gaya bahasa dan mengungkapkan kadungan teks
RBTNA.
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan dapat memberi manfaat baik teoretis maupun
praktis.
1. Manfaat Teoretis
a. Turut memperkaya hasil-hasil penelitian, terutama dalam bidang filologi.
b. Sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti lain, baik itu di bidang filologi
maupun peneliti ilmu lain, dalam hal ini ilmu agam Islam, sehingga dapat
memberikan kontribusi berupa referensi dalam bidang filologi dan agama.
2. Manfaat Praktis
a. Memperkenalkan keberadaan teks RBTNA kepada masyarakat
b. Membantu melestarikan peninggalan budaya rohani bangsa Indonesia.
c. Memberi tambahan wawasan bagi pembaca dalam pengembangan ajaran
agama Islam terkait dengan masalah Tarekat Naqsyabandiyah.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab pertama, pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang masalah
yang menguraikan tentang hal-hal yang menjadi alasan peneliti untuk melakukan
penelitian; pembatasan masalah yang berisi masalah-masalah yang akan dibahas
yang meliputi suntingan teks yang dibatasi pada ejaan yang berlaku, analisis struktur
yang dibatasi pada struktur teks; perumusan masalah yang meliputi bagaimana
suntingan teks, struktur penyajian teks dan kandungan teks RBTNA; tujuan
penelitian adalah menyediakan suntingan teks yang baik dan benar, mendeskripsikan
struktur teks dan mengungkap kandungan teks RBTNA; manfaat penelitian yang
meliputi manfaat teoretis dan manfaat praktis; sistematika penulisan.
Bab kedua, landasan teori. Bab ini berisi tentang langkah-langkah dalam
melakukan penyuntingan teks, pengertian Sastra Kitab, menjelaskan tentang struktur
teks Sastra Kitab, menjelaskan tentang tasawuf dan tarekat, menjelaskan tentang
Tarekat Naqsyabandiyah.
Bab ketiga, metode penelitian. Bab ini berisi tentang sumber data yang
dipakai dalam penelitian ini dan asalnya; metode yang dipakai dalam penelitian ini
yaitu metode filologi, metode struktural, dan analisis isi; teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini yaitu teknik kepustakaan; teknik pengolahan data yang meliputi
tahap reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan yang dilakukan dengan
cara induktif.
Bab keempat, suntingan teks. Bab ini berisi inventarisasi naskah yang
dilakukan melalui studi katalog; deskripsi naskah; kritik teks; ikhtisar isi teks;
suntingan teks; daftar kata sukar untuk membantu pembaca memahami teks.
Bab kelima, Tarekat Naqsyabandiyah. Bab ini berisi tentang struktur teks
RBTNA dan Tarekat Naqsyabandiyah. Struktur teks RBTNA meliputi struktur
penyajian, gaya penyajian, pusat penyajian, dan gaya bahasa.
Bab keenam, penutup. Bab ini berisi simpulan dan saran. Simpulan meliputi
hasil penelitian yang merupakan tujuan dari penelitian ini menyangkut suntingan
teks, struktur dan kandungan teks RBTNA.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penyuntingan Teks
Filologi dipakai untuk menyebut ilmu yang berhubungan dengan studi teks,
yaitu studi yang dilakukan dalam rangka mengungkapkan hasil budaya masa lampau
yang tersimpan di dalamnya. Konsep tersebut bertujuan mengungkapkan hasil
budaya masa lampau sebagaimana yang terungkap dalam teks (Siti Baroroh Baried,
et. al, 1994:4). Ini berarti bahwa sebagai salah satu disiplin ilmu, filologi memiliki
objek penelitian yang berupa teks yang bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa
lampau yang berupa naskah. Naskah merupakan objek konkrit filologi dan pada
hakikatnya yang dituju dari naskah bukanlah fisik naskah tersebut, melainkan teks
yang tersimpan di dalam naskah.
Penyuntingan teks merupakan kegiatan utama dalam filologi yang bertujuan
untuk mendapatkan kembali teks yang mendekati asli dan untuk membebaskan teks
itu dari segala macam kesalahan yang terjadi pada waktu penyalinannya sehingga
teks itu dapat dipahami sebaik-baiknya. Cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan
itu adalah dengan membetulkan segala kesalahan, mengganti bacaan yang tidak
sesuai, menambah bacaan yang ketinggalan, dan mengurangi bacaan yang kelebihan
(Edwar Djamaris, 1997:21)
Penyuntingan teks memerlukan metode yang tepat dan sesuai dengan kondisi
naskah yang disunting. Penyuntingan teks dengan menggunakan metode yang tepat
dan sesuai dengan objek yang diteliti akan menghasilkan suntingan yang baik dan
benar. Baik dalam arti mudah dibaca dan pahami, sebab sudah ditransliterasikan dan
ejaannya sudah disesuaikan dengan ejaan bahasa sasaran. Benar dalam arti kebenaran
isi teks dapat dipertanggungjawabkan, sebab sudah dibersihkan dari kesalahan-
kesalahan (Sholeh Dasuki, 1999:60).
Kegiatan menyunting teks meliputi: 1) inventarisasi naskah, 2) deskripsi
naskah, 3) perbandingan naskah, 4) dasar-dasar penentuan naskah yang akan
ditransliterasi, 5) singkatan naskah, dan 6) tranliterasi naskah. Inventarisasi naskah
dapat ditempuh dengan mengumpulkan seluruh informasi mengenai naskah, baik dari
katalogus naskah atau dari berbagai perpustakaan universitas, museum atau
perorangan yang diketahui memiliki atau menyimpan naskah. Langkah selanjutnya
adalah membuat uraian atau deskripsi naskah secara terperinci. Dalam uraian
tersebut dijelaskan mengenai judul naskah, keadaan naskah, kertas, watermarek
(kalau ada), catatan lain mengenai isi naskah, serta pokok-pokok isi naskah.
Perbandingan naskah perlu dilakukan, apabila naskah merupakan naskah jamak
sehingga diperlukan dasar-dasar penentuan naskah yang akan ditransliterasi dan
singkatan naskah untuk memudahkan pengenalan isi naskah (Edwar Djamaris,
1977:23-30). Langkah terakhir dalam penelitian filologi adalah transliterasi naskah.
Transliterasi adalah penggantian jenis tulisan, huruf dari abjad satu ke abjad yang
lain. Istilah ini dipakai dengan pengertian sama pada penggantian jenis tulisan
naskah. Dalam melakukan transliterasi, perlu diketahui pedoman yang berhubungan
dengan pemisahan dan pengelompokan kata, ejaan, dan pungtuasi. Berdasarkan
pedoman, transliterasi harus memperhatikan ciri-ciri teks asli sepanjang hal itu dapat
dilaksanakan karena penafsiran teks yang bertanggungjawab sangat membantu
pembaca dalam memahami isi teks (Siti Baroroh Baried, et. al, 1994:63-64).
Penyuntingan teks selalu disertai dengan kegiatan kritik teks. Kritik teks
diartikan sebagai pengkajian terhadap kandungan teks yang tersimpan dalam naskah
untuk mendapatkan teks yang paling mendekati aslinya (constitutio textus) (Bani
Sudardi, 2003a:55). Inilah tugas utama filologi, yaitu melalui kritik teks memurnikan
teks. Teks yang sudah bersih dari kesalahan-kesalahan dan telah tersusun kembali
seperti semula yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk
kepentingan berbagai penelitian dalam bidang ilmu-ilmu lain (Siti Baroroh Baried,
et. al. 1994:61).
B. Sastra Kitab
Dalam khazanah kesusastraan Indonesis lama Melayu terdapat karya yang
bercorak Islam. Liaw Yock Fang dalam bukunya Sejarah Kesusasatraan Melayu
Klasik menyebutkan bahwa terdapat sejumlah karya sastra yang dikenal dengan
sebutan "sastra keagamaan" (1991:286).
Menurut Rolvink, kajian tentang Al Quran, tafsir, tajwid, arkanul-Islam,
usuluddin, fikih, ilmu sufi, ilmu tasawuf, tarekat, zikir, rawatib, doa, jimat, risalah,
wasiat dan kitab tib (obat-obatan, jampi-jampi), semuanya dapat digolongkan ke
dalam Sastra Kitab (Fang, 1993:41). Sastra Kitab mencakup bidang yang amat luas
sekali, termasuk di dalamnya ilmu kalam, ilmu fikih dan ilmu tasawuf. Jenis sastra
ini biasanya disadur dan diterjemahkan dari bahasa Arab oleh orang Indonesia yang
tinggal di Mekah dan Madinah (Fang, 1991:286). Menurut Siti Baroroh Baried, et.al
yang dimaksud dengan Sastra Kitab adalah naskah-naskah yang berisi keagamaan,
tasawuf, dan mistik Islam (1994:23).
Sastra tasawuf merupakan bagian terpenting dalam Sastra Kitab. A. John
berpendapat bahwa sastra tasawuf memainkan peranan yang sangat penting dalam
perkembangan agama Islam di nusantara karena 1) para ahli tasawuf (sufi) dapat
menyesuaikan ajaran Islam kepada tingkat pemahaman masyarakat setempat, 2)
ajaran tasawuf mempunyai daya tarik yang lebih. Menerima ajaran tasawuf dan
memasuki tarekatnya berarti memasuki suatu keluarga besar yang saling tolong
menolong. Atas jasa para pengikut tarekat maka Islam di Nusantara menjadi
berkembang melalui ajaran mistik mereka. Oleh karena itu, maka pada paruh abad
pertama ke-17, ada empat tarekat yang berkembang luas di Aceh, yaitu tarekat
Qadariyah, Naqsyabandiyah, Syattariyah, dan Suhrawardi (Fang, 1993:41).
C. Struktur Teks Sastra Kitab
Sastra Kitab sebagai salah satu ragam sastra Islam mempunyai corak yang
khusus yang tampak dalam stuktur penceritaan dan pemakaian bahasa. Adapun yang
dimaksud dengan struktur di sini adalah struktur narasi. Struktur narasi Sastra Kitab
adalah struktur penyajian teks, yang sama halnya dengan struktur penceritaan dalam
sastra fiksi yang berupa plot dan alur (Siti Chamamah Soeratno, et. al.,1982:152).
Sastra Kitab mempunyai ciri-ciri khusus. Ciri-ciri khusus dalam Sastra Kitab
tersebut meliputi struktur penyajian teks, gaya penyajian, pusat penyajian, dan gaya
bahasa. Struktur penyajian Sastra Kitab pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu
1) pendahuluan, 2) isi, dan 3) penutup. Pada umumnya struktur penyajian teks pada
Sastra Kitab adalah alur lurus, yaitu masalah-masalah yang disajikan diuraikan
secara berurutan sesuai dengan urutan kronologinya (Siti Chamamah Soeratno, et.
al., 1982:209-210)
Pendahuluan dalam Sastra Kitab dimulai dengan doa pembuka karangan yang
biasanya berupa basmalah dan selawat untuk Nabi Muhammad untuk keluarga dan
sahabatnya dalam bahasa Arab disertai terjemahannya dalam bahasa Melayu secara
interlinier. Isi dibentangkan sesuai dengan masalah yang dibahas. Sesudah
pembentangan isi yang menjadi masalah, karangan ditutup dengan doa kepada Tuhan
dan salawat nabi beserta keluarganya dan sebagai penutup digunakan kata "tamat"
yang berarti selesai atau sempurna (Siti Chamamah Soeratno, et. al., 1982:156-157)
Sastra Kitab sebagai ragam sastra Islam mempunyai gaya bahasa yang khusus
yang terlihat dalam istilah-istilah khusus dari lingkungan agama Islam yang berupa
istilah-istilah kata Arab dan ungkapan-ungkapan khusus dalam kalimat-kalimat
bahasa Arab. Pemungutan istilah dan kosa kata Arab tersebut disesuaikan dengan
pokok isi uraian sastra kitab tersebut. Bila ajaran tasawuf yang dikemukakan, maka
kosakata dan istilah pun diambil dari lapangan tasawuf (Siti Chamamah Soeratno, et.
al., 1982:211).
D. Tasawuf dan Tarekat
1. Tasawuf
Istilah tasawuf secara etimologis dikatakan beberasal dari beberapa kata-kata
yang berbeda-beda. Istilah-istilah tersebut antara lain:
a. Berasal dari kata Ibnu Sauf, yaitu seorang Arab yang hidup sebelum Islam
datang dan bertapa di sekitar Kakbah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan,
berasal dari kata Sufah yang digunakan sebagai nama surat ijazah orang naik
haji, berasal dari kata sophia (bahasa Yunani) yang berarti kebijaksanaan (Bani
Sudardi, 2003b:14).
b. Diambil dari kata Sawf yang artinya bersih, atau Shafaa yang berarti bersih. Ada
juga yang berpendapat kata tasawuf diambil dari Shuffah yaitu suatu kamar
disamping masjid Nabi Muhammad di Madinah yang disediakan untuk sahabat-
sahabat nabi yang miskin, tapi kuat imannya, yang makan minum mereka
ditanggung oleh orang-orang yang mampu dalam kota Madinah. Ada juga yang
mengambil sandaran kalimat tasawuf ini dari shaff yaitu baris-barisan saf ketika
sembahyang, sebab orang-orang yang kuat imannya dan murni kebatinannya
ketika sembahyang memilih saf yang pertama. Ada juga yang mengambil
sandaran kata tasawuf dari saufanah yaitu sebangsa buah-buahan kecil berbulu-
bulu yang banyak tumbuh di padang pasir tanah Arab, sebagaiman pakaian
kaum sufi yang berbulu-bulu seperti buah tersebut (Barmawie Umarie, 1966:9
dan Hamka, 1993:79).
Tasawuf berarti membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan
kebanyakan makhluk, berjuang dalam memerangi hawa nafsu untuk mendekati sifat-
sufat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, mamakai barang yang
penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat memegang tegung janji Allah dan
mengikuti contoh Rasulullah (Al Junaid dalam Hamka, 1993:84).
Tasawuf dapat pula diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan
kesempurnaan rohani. Kecintaan dan kesempurnaan rohani yang dapat dirasakan
dalam dunia rohani, dunia yang tidak dapat di raba dan dirasa melalui pancaindra,
tetapi dapat dirasa dengan kelezatan perasaan yang halus, dunia yang ghaib, serta
berpadu dengan arti cinta dan kesempurnaan (Abubakar Aceh, 1992:28).
Bani Sudardi (2003b:13) berpendapat bahwa tasawuf dapat dikatakan sebagai
paham yang berusaha membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang tercela dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Tasawuf lebih menekankan ibadah berdasarkan
kecintaan terhadap Tuhan daripada ibadah yang semata-mata memenuhi hukum
fikih. Penekanan terletak pada batin manusia, bukan dari kegiatan lahirnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas tasawuf dapat diartikan secara
sederhana sebagai paham yang mementingkan kepentingan rohaniah yang berusaha
membersihkan hati dari bermacam-macam godaan kesenangan duniawi dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan
rohani.
Tasawuf atau sufisme adalah nama yang biasanya dipergunakan untuk
menyebut mistik Islam. Mistik telah disebut sebagai arus besar kerohanian yang
mengalir dalam semua agama, yang dalam pengertian luas dapat diartikan sebagai
kesadaran terhadap "Kenyataan Tunggal" yang mungkin disebut "Kearifan",
"Cahaya" atau "Nihil" atau bisa disebut sebagai cinta kepada Yang Mutlak
(Schimmel, 2000:1-2).
Tasawuf tidak tersusun dari praktik dan ilmu, tetapi merupakan akhlak, dan
siapa yang yang melebihimu dalam nilai akhlak maka melebihimu dalam tasawuf.
Maksudnya ialah bertindak sesuai dengan perintah dan hukum Allah, yang dipahami
dalam pengertian rohaninya yang dalam tanpa mengingkari bentuk-bentuk luarnya
(Schimmel, 2000:17).
Karakter khas yang terdapat di dalam tasawuf ialah mengenai adanya
pembagian agama ke dalam tingkatan-tingkatan tertentu. Tingkatan-tigkatan tersebut
meliputi 1) syariat, 2) tarekat, 3) hakikat dan 4) makrifat. Syariat adalah hukum-
hukum dasar dalam menjalankan agama yang oleh para pengikut tasawuf dipakai
dalam pedoman lahiriah seperti menjalankan salat atau puasa. Tarekat berarti jalan
yang ditempuh oleh para pengikut tasawuf dengan menjalankan ibadah sekhusyuk-
khusuknya. Di dalam tarekat diharuskan ada guru yang membimbing dan sering kali
dalam pelaksanaan peribadatannya terdapat banyak variasi (misalnya dalam tata cara
zikir dan doa). Oleh karena itu, dalam perkembangannya menjadi suatu aliran khas
yang namanya dinisbatkan kepada pemimpin awalnya. Pada tingkatan hakikat timbul
suatu kesadaran dan kemampuan dalam diri seorang sufi terhadap realitas gaib yang
sebelumnya tidak diketahui. Pada tingkatan ini seorang sufi dituntut untuk
mengekang nafsu agar tidak tergelincir kepada jalan kesesatan. Tingkatan tertinggi
dalam tasawuf adalah makrifat, yaitu realitas hakiki yang menjadi tujuan utama.
Seorang sufi senantiasa memusatkan perhatiannya untuk mencapai realitas tertinggi,
yakni Allah. Pada tingkatan tertinggi ini sufi merasa bermesra-mesraan dengan Allah
melalui pengalaman batinnya (Bani Sudardi, 2003b:6-7)
Model jalan mistik dalam tasawuf memiliki perwujudan yang bervariasi, yang
pada umumnya bahwa jalan menuju Tuhan diibaratkan manusia sebagai perantau
yang melakukan perjalanan atau perpindahan. Dalam Islam, jalan mistik ibarat jalan,
maka sering disebut dengan "tarekat" (thariqat dalam bahasa Arab) yang dalam
pengamalannya melalui tingkatan-tingkatan yang dinamakan dengan maqam. Orang
mistik yang mengerjakannya dinamakan salik (Romdon, 1995:32-33).
2. Tarekat
Secara etimologi tarekat (thariqat dalam bahasa Arab) berasal dari kata Arab
"Tariqatun" jamaknya "tharaiq" (Ahmad Fuad Said, 2005:1) yang berarti:
1. jalan atau cara (al-kaifiah)
2. metode atau sistem (al-uslub)
3. mazab, aliran, haluan (al-mazab)
4. keadaan (al-halah)
5. pohon kurma yang tinggi (an-nakhiah ath-thawilah)
6. tiang tempat berteduh, tongkat atau gagang payung (amadul midzhallah)
7. yang mulia terkemuka dari kaum (syariful qaum)
8. gores atau garis pada sesuatu (al-khath fi as-syi`i)
Istilah 'tarekat' memiliki banyak pengertian. Tarekat bisa berarti 'jalan',
terutama tradisi kesufian, atau 'organisasi persaudaraan sufi'. Istilah tarekat diartikan
sebagai organisasi persaudaraan sufi, sehingga tarekat dalam pengertian ini berarti
pengorganisasian ajaran isoteris (khusus kesufian) yang terpusat pada hadirnya
pembimbing (mursyid). Makna ini dekat dengan kata kata sirath yang berarti 'jalan
jembatan', syari`at (jalan menuju sumber air), sabil (jalan). Kata 'suluk' juga
mengandung makna jalan, cara atau prosedur yang harus ditempuh seseorang atau
kelompok orang untuk mencapai tujuannya. Secara terminologis, ringkasnya paling
tidak memiliki tiga arti diatas, yaitu jalan lurus, praktek tasawuf dan persaudaraan
sufi (Lubis, 2005:3).
Tarekat juga berarti tasawuf, apabila tasawuf dipandang sebagai jalan
spiritual menuju Tuhan. Sang penempuh jalan spiritual (salik) harus menempuh jalan
tersebut (suluk) dibawah pimpinan seorang guru terpercaya (syekh, mursyid, atau pir
dalam bahasa Persia) yang dalam pengembaraannya melalui tingkatan-tingkatan
yang disebut maqam (Schimmel, 2000:101). Ini berarti tarekat adalah nama khusus
bagi sekumpulan latihan kejiwaan (riyadhah al-nafs) dan ritual spiritual yang
memandu seseorang atau sekelompok orang yang menapaki jalan khusus dalam
rangka mendekatkan diri kepada Tuhan (Lubis, 2005:3)
Tarekat adalah jalan atau cara pelaksanaan teknis untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan dengan bimbingan seorang mursyid. Mursyid menunjuk kepada
hubungan penurunan ilmu tarekat dari satu guru kepada guru tarekat yang lainnya.
Adapun tujuan tarekat adalah mempertebal keimanan dalam hati sedemikian hingga
tidak ada yang lebih indah dan dicintainya selain dari Allah, dan kecintaannya itu
melupakan dirinya dan dunia ini seluruhnya. Perjalanan kepada tujuan itu harus
dilandasi rasa ikhlas dan bersih dari segala amal dan niatnya yang dilakukan dengan
cara memperbanyak zikir kepada Allah (Abubakar Aceh, 1992:64).
Pusat kegiatan tarekat di dunia Islam dikenal antara lain dengan nama ribath,
zawiyah, tekke, darqah. Anggota tarekat dapat dibedakan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah mereka yang bermukim dalam ribat serta memusatkan
perhatian sepenuhnya pada ibadah. Kelompok kedua adalah mereka yang tinggal di
luar ribath dan tetap melakukan pekerjaan sehari-hari, namun pada waktu tertentu
berkumpul di ribath untuk mengikuti pelatihan spiritual tertentu. Murid yang
menjadi tingkat lanjutan tertentu biasanya diberi ijazah dan diperbolehkan keluar dari
ribath yang kemudian biasanya mendirikan ribath baru di tempat lain dengan cara
menjadi mursyid bagi murid-muridnya. Dengan cara inilah pengikut tarekat semakin
banyak dan menyebar hingga membentuk suatu jaringan yang signifikan (Lubis,
2005:4-5).
E. Tarekat Naqsyabandiyah
Penyelenggaraan tarekat merupakan salah satu perkembangan yang menarik
dalam perkembangan di Nusantara kita. Melalui pengikut tarekat, Islam di Indonesia
berkembang pesat, oleh karena itu pada paruh abad ke-17 berkembanglah beberapa
aliran tarekat, di antaranya tarekat Naqsyabandiyah yang berkembang di daerah Aceh
(Fang, 1994: 41).
"Naqsyabandiyah" menurut Syekh Najmuddin Amin Al Kurdi dalam
kitabnya Tanwirul Qulub berasal dari dua kata dalam bahasa Arab, yaitu "naqsyi"
yang berarti "ukiran atau gambar" yang dicap pada sebatang lilin atau benda lainnya,
dan kata "band" yang berarti "bendera atau layar besar". Jadi, Naqsyabandiyah dapat
diartikan sebagai ukiran atau gambar yang terlukis pada suatu benda, melekat, tidak
terpisah lagi, seperti tertera pada sebuah bendera atau spanduk besar (Ahmad Fuad
Said, 2005:5)
Orang yang memberi tarekat Naqsyabandiyah adalah Syekh Bahauddin
Naqsyabandi, berasal dari tradisi Asia Tengah yang merupakan keturunan Yusuf
Hamdhani (Shcimmel, 2000:462). Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa
"naqsyiban" merupakan nama sebuah negeri di Turkistan, tempat lahir Syeh
Bahauddin. Selanjutnya Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif dalam kitabnya ayātu
'l-Baiyinaat halaman 23 menyatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah ialah tarekat
Nabi Muhammad yang diajarkan dan diasuh oleh Bahauddin Naqsyabandi dan
diamalkan oleh murid-muridnya. Syekh Bahauddin mengajarkan kepada murid-
muridnya untuk mengamalkan tiga ilmu, yaitu tauhid, fikih dan tasawuf. Berbeda
nama tarekat berarti berbeda orang yang melaksanakannya, sehingga berbeda pula
wirid yang datang dari nabi Muhammad yang dipakai mereka (Ahmad Fuad Said,
2005:6).
Aliran-aliran tarekat diketahui banyak jenisnya, namun terdapat perbedaan
yang khas dalam pelaksanaan peribadatannya. Ibadah yang membedakan antara
aliran-aliran tarekat adalah zikir.
Amalan pokok paling mendasar bagi penganut tarekat Naqsabandiyah adalah
zikir untuk mengingat Allah. Menurut Ahmad Fuad Said zikir itu terbagi menjadi
dua, yaitu zikir qalbi (hati) dan zikir lisan (lidah). Zikir dengan lidah ialah menyebut
Allah dengan berhuruf dan bersuara. Zikir dengan hati ialah mengingat atau
menyebut Allah dalam hati, tidak berhuruf dan tidak bersuara (2005:17). Penganut
Tarekat Naqsyabandiyah memilih zikir qalbi, karena peranan hati dalam kehidupan
sangat menentukan. Hati adalah tempat iman, sumber pancaran cahaya dan penuh
dengan rahasia. Jika hati baik, niscaya anggota tubuh yang lain akan menjadi baik,
jika hati buruk maka buruklah anggota badan yang lain (Ahmad Fuad Said, 1996:53).
Pelaksanaan zikir dalam Tarekat Naqsyabandiyah adalah dengan zikir qalbi.
Adapun zikir qalbi terbagi menjadi dua, yaitu zikir Ismu Zat dan zikir Nafi Isbat.
Zikir Ismu Zat yaitu zikir dengan menyebut nama zat Allah yaitu Allāh Allāh. Zikir
Nafi Isbat adalah zikir dengan mengucap Lā ilāha illa 'l-Lāh. Variasi lain yang
diamalkan oleh pengikut Tarekat Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya
adalah zikir Lathaif. Melalui zikir ini, orang memusatkan kesadarannya, yakni
membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas, berturut-turut pada
tujuh titik halus (Bruinessen, 1992:80-81). Ketujuh tempat tersebut adalah: 1) latifatu
'l-qalbi yang merupakan sentral dan rohaniah manusia dan merupakan induk dari
lathifah-lathifah lainnya yang terletak dua jari di bawah susu kiri dan satu jari arah
ke kiri (hati sanubari manusia sendiri), 2) latifatu 'r-Ruh terletak dua jari di bawah
susu kanan dan satu jari arah ke kanan, 3) latifatu 's-Sirri terletak dua jari di bawah
susu kiri dan satu jari arah ke kanan, 4) latifatu 'l-Khafi terletak dua jari di bawah
susu kanan dan satu jari ke arah dalam dari susu kanan, 5) latifatu 'l-Akhfa yang
terletak di tengah-tengah dada kita, 6) latifatu 'n-Natika terletak di ubun-ubun dan
berhubungan dengan otak jasmani, 7) latifatu kullu 'l-Jasad yaitu menzikirkan
seluruh latifah-latifah dan seluruh anggota badan serta ruas-ruasnya dari ujung
rambut sampai ujung kuku (Djamaan Nur, 2004: 264-268).
Latihan mistik lain yang terdapat dalam Tarekat Naqsyabandiyah di samping
amalan yang berupa zikir adalah muraqabah. Muraqabah ini berarti menjaga atau
merasa dirinya selalu diawasi oleh Allah dalam segala sikap dan hukum Allah. Sikap
batin ini timbul dengan membangkitkan kepekaan rasa pada kesenantiasaan Allah
melihat segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia (Al-Qusyairy, 2002:286).
F. Kerangka Pikir
Naskah RBTNA merupakan salah satu hasil sastra lama warisan nenek
moyang yang di dalamnya menyimpan sejumlah informasi penting. Usaha
penyelamatan dan penggalian informasi terhadap naskah RBTNA sangat perlu
dilakukan mengingat kondisi naskah dan kepentingan isinya yang memuat ajaran
agama. Adapun usaha yang dapat dilakukan adalah dengan menerbitkan suntingan
teks yang mudah dibaca dan mudah dipahami oleh masyarakat dengan
mentransliterasikannya dari huruf Arab Melayu ke dalam huruf Latin.
Teks RBTNA termasuk dalam kategori sastra kitab. Stuktur teks Sastra kitab
mempunyai kekhasan tersendiri dibanding dengan sastra fiksi pada umumnya.
Pengkajian teks RBTNA adalah dengan mendeskripsikan struktur teks sebagaimana
struktur teks sastra kitab.
Dalam rangka interpretasi teks maka analisis terhadap kandungan teks perlu
dilakukan untuk mengungkap dan memahami teks. Dengan demikian, isi
(kandungan) naskah dapat dibaca dengan mudah dan dapat menambah wawasan
pembaca tentang ajaran Tarekat Naqsyabandiyah yang termuat dalam teks RBTNA.
Naskah RBTNA
Suntingan Teks RBTNA
Analisis Struktur Teks RBTNA Analisis isi
Pelestarian terhadap hasil budaya bangsa
dan tambahan wawasan bagi pembaca
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah RBTNA dengan nomor kode
ML 479 F (huruf F menunjukkan urutan nomor teks yang terdapat dalam deskripsi
naskah Aneka Karangan), yang berada pada halaman 98–108. Naskah RBTNA
ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab-Melayu. Naskah ini diperoleh dari
Perpustakaan Nasional Jalan Salemba Raya 28 A Jakarta.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara kerja yang bersistem untuk memulai
pelaksanaan suatu kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
(Sangidu, 2004:13). Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, yaitu
penelitian yang data-datanya bukan berdasarkan angka-angka tetapi berdasarkan
konsep-konsep, kategori-kategori, dan bersifat abstrak. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1. Metode Filologis
Berdasarkan inventarisasi naskah yang dilakukan dengan studi katalog, dapat
diketahui bahwa naskah RBTNA merupakan naskah tunggal. Penyuntingan
naskah dalam penelitian ini akan menggunakan metode penyuntingan naskah
tunggal. Adapun metode penyuntingan naskah yang digunakan peneliti untuk
menyunting naskah RBTNA adalah metode edisi strandar. Metode edisi standar
yaitu menyunting teks dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan
ketidakajegan. Ejaannya disesuaikan dengan ejaan yang berlaku dalam bahasa
sasaran (Bahasa Indonesia). Tulisan-tulisan yang rusak, salah atau kosong
sepanjang masih dapat direkonstruksi sedapat mungkin diperbaiki. Pembetulan
dilakukan atas dasar pemahaman yang sempurna sebagai hasil dari perbandingan
dengan naskah-naskah yang sejenis dan sezaman (Siti Baroroh Baried, 1994:68).
Setiap perbaikan yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan dengan memberi
penjelasan mengenai kesalahan-kesalahan teks yang dicatat khusus, misalnya
memberikan penjelasan di dalam pengantar suntingan, memakai catatan kaki
(footnote) agar dapat diperiksa dan diperbandingkan dengan bacaan naskah
sehingga masih memungkinkan penafsiran lain oleh pembaca, sehingga
pertanggungjawaban atau setiap perbaikan yang dilakukan oleh penyunting akan
memberikan tambahan bobot atau kualitas keilmiahan yang menurut pertimbangan
keilmiahan dirasa lebih tepat (Sholeh Dasuki, 1999:61).
2. Metode Struktural
Naskah Aneka Karangan teks RBTNA termasuk ke dalam kategori Sastra
Kitab. Pengkajian teks RBTNA adalah dengan menggunakan metode deskriptif.
Metode deskriptif yaitu memberikan uraian yang menjadi masalah, menganalisa,
dan menafsirkan data yang ada. Mendeskripsikan struktur (struktur Sastra Kitab)
di sini dengan menggunakan pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang berusaha
menafsirkan dan menganalisis karya itu sendiri sebagai suatu totalitas. Dalam
rangka interpretasi teks maka digunakan analisis isi yang berusaha mengungkap,
memahami teks. Analisis isi merupakan strategi untuk menangkap pesan suatu
karya sastra. Analisis ini digunakan apabila hendak mengungkap, memahami dan
menangkap pesan karya sastra. Dengan demikian, isi (kandungan) naskah dapat
dibaca dengan mudah dan diketahuai oleh para pembaca.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang digunakan peneliti dalam
mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penelitian. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library reseach), yaitu penelitian yang
menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Jenis penelitian
dengan menggunakan studi pustaka akan lebih tepat jika menggunakan teknik simak
dan catat sebagai teknik pengumpulan datanya. Teknik simak adalah metode yang
berupa penyimakan atau dilakukan dengan menyimak. Teknik simak tersebut
digunakan untuk mengumpulkan data tertulis. Setelah dilakukan penyimakan,
kemudian data dicatat dengan teknik catat. Teknik catat dilakukan untuk mencatat
bentuk-bentuk kesalahan salin-tulis yang terdapat di dalam teks RBTNA.
D. Data
Data dalam penelitian ini berupa kosa kata tertentu di dalam teks RBTNA
yang termasuk ke dalam kesalahan salin-tulis yang terjadi pada waktu penyalinannya.
Bentuk-bentuk kesalahan yang biasa terjadi dalam penulisan naskah lama di
antaranya seperti lakuna, adisi, ditografi, transposisi, subtsitusi, dan lain-lain.
E. Teknik Analisis Data
Dalam analisis data digunakan jalinan sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Pada tahap ini data yang masih mentah dipilih untuk disederhanakan
kemudian digolongkan, dibuang yang tidak perlu, diorganisasikan sehingga
kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Data kualitatif dapat
disederhanakan dan ditransformasikan melalui ringkasan atau uraian singkat.
Misalnya, dalam penelitian ini data-data yang termasuk ke dalam bentuk
kesalahan salin-tulis dalam naskah dipilih untuk kemudian digolong-golongkan
sesuai dengan bentuk kesalahan salin-tulis.
b. Penyajian Data
Data yang telah disederhanakan dan ditransformasikan tersebut dianalisis
berdasarkan acuan-acuan ilmiah yang sesuai dengan pokok permasalahan.
c. Penarikan Simpulan
Berdasarkan reduksi data dan penyajian data, penarikan simpulan dari
keseluruhan hasil penelitian terhadap naskah diambil secara induktif. Penarikan
simpulan secara induktif adalah penarikan kesimpulan dengan berfikir
berdasarkan pengetahuan yang bersifat khusus ke pengetahuan yang bersifat
umum. Selain itu, penarikan kesimpulan harus diuji kembali (verifikasi) dimulai
dari pengumpulan data, reduksi data, dan penyajian data agar diperoleh
simpulan yang tepat.
Ketiga komponen tersebut merupakan tiga hal utama yang jalin-menjalin pada
saat, sebelum, selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar.
Aktivitas ketiga komponen berbentuk interaksi dengan proses siklus, sehingga dapat
dibuat skema sebagai berikut:
( Miles, 1992: 20 )
PENGUMPULAN DATA
PENYAJIAN DATA REDUKSI DATA
PENARIKAN KESIMPULAN
BAB IV
SUNTINGAN TEKS
A. Inventarisasi Naskah
Inventarisasi naskah merupakan kegiatan mendaftar semua naskah yang ada.
Kegiatan ini dapat ditempuh dengan dua cara. Cara yang pertama dapat ditempuh
melalui studi katalog, yaitu dengan mengumpulkan seluruh informasi mengenai
naskah dari semua katalogus naskah yang ada. Cara yang kedua yaitu dengan studi
lapangan. Studi lapangan dapat dilakukan dengan cara terjun ke lapangan langsung
untuk mengumpulkan seluruh informasi mengenai naskah dari berbagai
perpustakaan, museum atau perorangan yang diketahui memiliki atau menyimpan
naskah. Dalam penelitian ini, inventarisasi naskah hanya dilakukan melalui studi
katalog. Berdasarkan hasil studi katalog diketahui bahwa teks RBTNA termasuk
naskah tunggal. Hasil studi katalog yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Katalogus Koleksi naskah Melayu Museum Pusat yang ditulis oleh Amir
Sutaarga, et.al pada tahun 1972.
2. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 5A yang ditulis oleh Edi S
Ekadjati dan Undang A Darsa, tahun 1999.
3. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4 yang ditulis oleh TE Behrend,
tahun 1998.
4. Malaische en Minangkabausche Hansshriften in de Leidsche Universiteis-
Bibliotheek oleh Van Ronkel, tahun 1921.
5. Malay Manuscripts a Bibliographical Guide oleh Joseph H Howard, tahun
1966.
6. Direktori Edisi Naskah Nusantara oleh Edi S Ekadjati (penyunting), tahun
2000.
7. Katalog Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari oleh Achadiati Ikram,
Tjiptaningrum F Hassan, dan Dewaki Kramadibrata yang terbit pada tahun
2002.
8. Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts oleh Joan de Lijster Streef
dan Jan Just Witkam yang diterbitkan di Leiden oleh Legatum Warnerianum in
Leiden University Library, tahun 1998.
Dari hasil inventarisasi naskah melalui studi pada kedelapan katalog-katalog
tersebut di atas, teks RBTNA hanya tercantum dalam Katalogus Koleksi Naskah
Melayu Museum Pusat dalam naskah Aneka Karangan ML 479 pada halaman 315-
316.
B. Deskripsi Naskah
Tahap kedua yang harus dilalui dalam rangka kerja penelitian filologi adalah
membuat uraian atau deskripsi naskah. Deskripsi naskah berarti menguraikan hal-
hal mengenai naskah dan pokok-pokok isi naskah secara terperinci untuk
mengetahui keadaan naskah dan sejauh mana isi naskah. Deskripsi naskah dalam
penelitian ini meliputi; 1) judul naskah, 2) nomor naskah, 3) tempat penyimpanan
naskah, 4) asal naskah, 5) keadaan naskah, 6) ukuran naskah, 7) tebal naskah, 8)
jumlah baris pada setiap halaman naskah, 9) huruf, aksara, tulisan, 10) cara
penulisan, 11) bahan naskah, 12) bahasa naskah, 13) bentuk teks, 14) umur naskah,
15) identitas pengarang kitab, dan penyalin, 16) fungsi sosial teks, dan 16) catatan-
catatan lain.
Berikut ini akan disajikan deskripsi naskah teks RBTNA secara terperinci:
1. Judul Naskah
Teks RBTNA merupakan salah satu dari delapan teks yang terdapat pada
naskah Aneka Karangan. Menurut Katalogus Koleksi Naskah Melayu yang
dikarang oleh Amir Sutaarga et.al, teks RBTNA diberi judul Tarekat
Naqsyabandiyah dan Kitab Syekh Abdullah. Pemberian keterangan oleh Amir
Sutaarga tersebut dinilai kurang sesuai karena mengandung beberapa kelemahan.
Adapun alasan kurang sesuainya pemberian judul oleh Amir Sutaarga telah
dikemukakan pada latar belakang masalah. Berdasarkan hasil pembacaan yang
lebih teliti, pada bagian pendahuluan teks RBTNA ditemukan sebuah keterangan
yang memuat keterangan judul teks. Keterangan judul teks berbunyi:
Dan aku akan kitab ini seperti kitab yang mustaqal pada bahasa Jawi. Wa sammaituhu risālata 'l-badī‘iyyah fī tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah. Dan aku namai akan dia Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘Āliyah artinya risalah yang indah pada menyatakan tarekat Naqsyabandi // yang tinggi (RBTNA:2-3).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa penyalin naskah (Haji
Abbas) memberikan judul kitab salinannya pada bahasa Melayu dengan judul
yang cukup jelas pada pendahuluan teks. Oleh karena itu judul teks yang
diberikan oleh Amir Sutaarga perlu disesuaikan dengan judul asli teks yaitu,
"Risālata 'l- Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘Āliyah".
2. Nomor Naskah
Teks RBTNA bernomor naskah ML 479 F. ML merupakan singkatan dari
Melayu, kode koleksi naskah Melayu di Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, terdaftar dengan nomor ML 479, huruf F merupakan tambahan dari
peneliti yang menunjukkan urutan nomor teks yang terdapat dalam naskah Aneka
Karangan.
3. Tempat Penyimpanan Naskah
Naskah RBTNA tersimpan sebagai salah satu koleksi naskah Melayu yang
berada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jalan Salemba Raya 28A,
Jakarta, Indonesia.
4. Asal Naskah
Di dalam naskah RBTNA tidak terdapat keterangan yang menyatakan tentang
asal naskah.
5. Keadaan Naskah
Keadaan naskah RBTNA masih utuh dan lengkap, artinya tidak terdapat
lembaran-lembaran naskah yang hilang atau rusak, menggunakan kertas impor
(deskripsi naskah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, penyunting
Fathmi), tulisan masih jelas terbaca, ditulis dengan menggunakan tinta warna
hitam dan merah. Naskah RBTNA merupakan naskah yang telah dijilid.
Penjilidan masih dalam keadaan baik (utuh) dan dijilid dengan menggunakan
karton berwarna coklat tua.
6. Ukuran Naskah
a. Ukuran lembaran naskah
p x l : 16 x 22,5 cm
b. Ukuran lembaran teks
p x l : 9 x 15,5 cm
7. Tebal Naskah
Naskah Aneka Karangan memiliki jumlah halaman keseluruhan 150 halaman
dan tidak terdapat halaman yang kurang maupun kosong. Naskah RBTNA
berjumlah 10 halaman mulai dari halaman 98 sampai dengan halaman 108.
8. Jumlah Baris pada Setiap Halaman Naskah
Pada naskah RBTNA, jumlah baris pada setiap halaman adalah 19 baris.
9. Huruf, Aksara, dan Tulisan
a. Jenis tulisan
Jenis tulisan yang dipakai adalah Arab Melayu (Jawi/ Pegon).
b. Ukuran huruf
Ukuran huruf yang dipakai pada naskah RBTNA relatif berukuran
sedang (medium).
c. Bentuk huruf
Bentuk huruf yang dipakai pada naskah RBTNA memakai bentuk tegak.
d. Keadaan tulisan
Keadaan tulisan pada naskah RBTNA masih cukup baik dan jelas untuk
dibaca. Ada beberapa tulisan yang sulit dibaca karena tidak jelas. Pada
tulisan-tulisan yang salah, terdapat tulisan yang dicoret oleh pengarang
karena salah tulis. Kata-kata yang tertulis dengan tinta warna merah pada
hasil print-out kurang jelas tulisannya.
e. Jarak antar huruf
Jarak antar huruf pada naskah RBTNA termasuk renggang.
f. Goresan Pena
Goresan pena dalam teks RBTNA tampak tebal.
g. Warna tinta
Warna tinta yang digunakan pada naskah RBTNA adalah tinta warna
hitam dan merah. Tinta merah hanya dipakai untuk menulis kata-kata khusus
seperti kata-kata tumpuan dan kalimat zikir, selebihnya kata-kata yang lain
menggunakan tinta warna hitam.
h. Pemakaian tanda baca
Peneliti tidak menemukan tanda baca standar seperti tanda titik ataupun
koma dalam naskah RBTNA. Di dalam naskah terdapat kata-kata tumpuan
yang berfungsi sebagai pembatas antarkalimat dan antaralenia, misalnya kata
dan, maka, kemudian daripadanya, adapun.
10. Cara Penulisan
a. Penempatan tulisan pada lembar naskah
Cara penulisan pada lembar naskah RBTNA yaitu teks ditulis dari arah
kanan ke kiri, cara seperti ini mengikuti cara penulisan huruf Arab. Penulisan
teks pada lembaran naskah secara bolak-balik. Kedua sisi halaman pada
setiap lembar naskah ditulisi semua. Cara penulisan seperti ini biasanya
disebut dengan istilah recto dan verso.
b. Pengaturan ruang tulisan
Pengaturan ruang tulisan pada naskah RBTNA terbentuk secara bebas,
tidak ada pembatas, misalnya garis yang mengatur ruang tulisan. Pada
halaman terakhir pada naskah RBTNA ruang tulisan dibuat berbeda dengan
halaman-halaman sebelumnya. Pengaturan ruang tulisan pada halaman
terakhir (halaman 108) tulisan diatur sedemikian rupa hingga membentuk
segitiga.
c. Penomoran naskah
Penomoran naskah pada naskah merupakan tambahan orang lain dengan
menggunakan pensil yang ditulis di pojok kanan atas.
11. Bahan Naskah
Bahan naskah adalah kertas. Kertas naskah sudah berwarna kecoklat-coklatan
karena dimakan usia. Watermark kertas tidak tampak dengan jelas karena bahan
naskah yang lapuk, sehingga kapan tahun pembuatan kertas dan kertas buatan
mana tidak dapat diketahui secara pasti.
12. Bahasa Naskah
Bahasa yang digunakan dalam naskah RBTNA adalah bahasa Melayu klasik,
misalnya terdapat pemakaian kosa kata seperti memaca, dulapan, mengata, dan
lain-lain, yang menunjukkan gejala ejaan yang menandai kurun waktu tertentu.
Selain itu, di dalam teks banyak digunakan istilah Arab, misalnya shalla 'l-Lāhu
‘alaihi wa sallam, muhammadu 'r-Rasūlu 'l-Lāh, wa 'l-Lāhu ‘alamu bi 'sh-
shawāb, subhānahu wa ta‘āla, dan lain-lain.
13. Bentuk Teks
Bentuk teks yang digunakan pada teks RBTNA adalah bentuk prosa.
14. Umur Naskah
Berdasarkan kolofon dan keterangan pada pendahuluan naskah, naskah
RBTNA selesai ditulis pada tahun 1258 H. Keterangan pada pendahuluan teks
tersebut berbunyi:
Falammā kānat hijratu 'n-Nabiyyi shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, samāniyata wa 'l-khamsīna wa 'l-mi’ataini ba‘da 'l-alfi faqad thalaba ilainā mirāran ba‘dhu 'l-ahibbā’i an naqla kitāba 'l-imāmi 'l- ‘ālimi 'l- walī ahli 'sh-Shūfī wa huwa 'sy-Syaikhu ‘Abdallah Ad-Dihlawi ilā lisānu 'l-Jāwi. Adapun kemudian dari itu maka tatkala adalah hijratu 'n-
Nabiyyi shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam dua ratus lima puluh dulapan tahun kemudian daripada seribu tahun….(RBTNA:1). Adapun keterangan pada kolofon berbunyi, "Wa kanā 'l-farāgha min rasmi
hazihi 'r-Risālah fī Makkati 'l-Musyarafah ‘āma 'l-mazkur. Dan adalah selesai
daripada mengarang risalah ini dalam negeri Mekah yang mulia dalam tahun
yang telah tersebut"(RBTNA:10). Kalimat dalam tahun yang telah tersebut
mengacu keterangan pada pendahuluan teks, yaitu keterangan tahun 1258 H.
Tahun 1258 H = 1842 M. Jika dihitung sejak naskah selesai ditulis sampai
sekarang (2006) maka umur naskah RBTNA mencapai164 tahun.
15. Identitas Penyalin Naskah
Naskah RBTNA ini merupakan salinan dari kitab karangan Syekh Abdallah
Dihlawi dari India. Hal tersebut dinyatakan di dalam teks yang berbunyi:
…makasanya minta kepada kami berulang-ulang beberapa kali oleh setengah kekasihan aku bahwa aku pindah kitab imam yang alim lagi wali Allah yang ahli 'sh-Shūfī, dan yaitu Syekh Abdallah Dihlawi nama negerinya. Wa kāna fī kitābi 'l- mazkūri mubayyinan li tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah, dan adalah dalam // kitab yang tersebut menyata(kan) bagi Tarekat Naqsyabandiyah yang tinggi (RBTNA:1).
Kolofon yang berbunyi, "Qāla 'l-mu’allifu 'l-kharij ‘Abbas Al Asyi. Telah
mengata oleh mualif yaitu Haji Abbas namanya, Aceh nama negerinya. Wa kāna
'l-farāgha min rasmi hazihi 'r-Risālah fī Makkati 'l-Musyarafah ‘āma 'l-mazkur.
Dan adalah selesai daripada mengarang risalah ini dalam negeri Mekah yang
mulia dalam tahun yang telah tersebut" (RBTNA:10), dapat diketahui bahwa
kitab ini disalin dan sekaligus milik Haji Abbas dari Aceh yang tinggal di
Mekah.
16. Fungsi Sosial Teks
Fungsi sosial teks RBTNA adalah untuk sarana dakwah. Selain sebagai
sarana dakwah, teks RBTNA juga berfungsi untuk meningkatkan dan
mempertebal keimanan khususnya bagi para penganut Tarekat Naqsyabandiyah
karena berisi tentang ajaran Tarekat Naqsyabandiyah.
17. Catatan Lain
Catatan yang dapat ditambahkan pada deskripsi naskah RBTNA adalah
nomor mikrofilm naskah ini. Naskah RBTNA bernimor mikrifilm Rol 429. 06,
665. 06.
B. Ikhtisar Isi Teks
Halaman I Pendahuluan terdiri dari:
1 A1: a. Basmalah
1 b. Hamdalah, puji-pujian kepada Allah.
1
1
1
2
2-3
3
B1:
C1:
c. Selawat atas nama Nabi Muhammad Shalla 'l-Lāhu
‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabat.
Kata Ammā ba‘du yang berarti 'adapun kemudian dari itu'.
a. Latar belakang penyalinan kitab
c. Motivasi penyalinan kitab
d. Judul teks
e. Harapan penyalinan kitab
II Isi terdiri dari:
3-4
4-6
6-7
A2: Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah:
a. Penjelasan bagi sālik sebelum mengamalkan zikir
Tarekat Naqsyabandiyah.
b. Penjelasan mengenai zikir lathaif
c. Penjelasan mengenai zikir nafi isbat
7
8-10
10
d. Penjelasan zikir khafi dan zikir dengan jahar
e. Penjelasan kepada sālik tentang jalan untuk sampai
kepada Allah Taala (ma`rifatullah)
f. Saran
III Penutup terdiri dari:
10
A3: Identitas penyalin naskah:
a. Nama penyalin
b. Tempat selesainya menyalin naskah
c. Waktu selesainya menyalin naskah
d. Doa
e. Kata Tamma
D. Kritik Teks
Dalam pelaksanaan tugas seorang filolog, bagian yang terpenting dari
pekerjaannya adalah kritik teks. Menurut Sholeh Dasuki, kritik teks adalah suatu
kegiatan menilai teks sebagaimana adanya. Kegiatan kritik teks ini dilakukan karena
dilatarbelakangi oleh adanya tradisi salin-menyalin teks yang memungkinkan
timbulnya salin tulis, dan melalui kritik teks kita mendapat teks (bacaan) yang benar
yaitu bacaan yang mendekati aslinya (1992:177). Tujuan kritik teks adalah
menelusuri kembali suatu naskah dalam keadaan seasli mungkin, dengan jalan
membandingkan dengan naskah-naskah sejenis dalam segi dan aspeknya, mulai dari
bentuk tulisan, ejaan, leksikologi, morfologi, sintaksis sampai kepada isi ceritanya
(Yuliana Agussalim, 1995:13)
Kegiatan kritik teks sangat memperhatikan kelainan bacaan yang ada dalam
teks. Kelainan bacaan tersebut disebabkan oleh perubahan yang dilakukan oleh
penyalin. Perubahan-perubahan itu merupakan kesalahan salin tulis baik sengaja
maupan tidak disengaja. Kegiatan salin-menyalin teks tersebut menyebabkan korupsi
atau rusak bacaan tidak dapat dihindari (Darusuprapto, 1984: 7).
Bentuk-bentuk kesalahan yang biasa terjadi dalam penulisan naskah lama,
dinamakan dengan istilah-istilah filologi sebagai berikut:
1. Lakuna, yaitu pengurangan huruf atau suku kata, kata, frasa, klausa, kalimat, dan
paragraf.
2. Adisi, yaitu penambahan huruf atau suku kata, kata, frasa, klausa, kalimat, dan
paragraf.
3. Ditografi, yaitu perangkapan huruf atau suku kata, kata, frasa, klausa, kalimat,
dan paragraf.
4. Substitusi, yaitu penggantian huruf atau suku kata, kata, frasa, klausa, kalimat,
dan paragraf.
5. Transposisi, yaitu perpindahan letak huruf atau suku kata, kata, frasa, klausa,
kalimat, dan paragraf.
Dalam naskah RBTNA ditemukan empat bentuk kesalahan yaitu lakuna,
adisi, ditografi, dan substitusi. Selain ketiga bentuk kesalahan diatas ditemukan pula
bentuk kesalahan ketidakkonsistenan penulisan kata adalah. Perincian kesalahan
salin tulis dari masing-masing kasus dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 1 Lakuna
No. Hlm / Baris Naskah Latin Edisi
menyata menyatakan میات 1 / 2 1
sililah silsilah سلیلة 15 / 3 2
ampuan ampunan امفون 7 / 4 3
ثلید 3 / 5 4 lidanya lidahnya
mathluwī mathlūbī مطلوى 6 / 7 5
Tabel 2 Adisi
No. Hlm / Baris Naskah Latin Edisi
adapat dapat ا دا فت 9 / 3 1
لھثكمل 15 / 4 2 kamilislihī kamislihī
dishditashawwur ditashawwur د ص د تصور 7 / 8 3
Tabel 3
Ditografi
No. Hlm / Baris Naskah Latin edisi
ada adalah adalah اداد لة 9 / 4 1
Tabel 4 Substitusi
No. Hlm / Baris Naskah Latin edisi
1
2
3
4
5
2 / 7
2 / 16
3 / 1
6 / 2
6 / 14
عن
البد بقیة
یا
قالب
سیاءل
‘an
'l-badabaqiyah
Yā
qālab
saya’alu
min
'l-badī‘iyyah
Lā
kullu 'l-jasad
as’alu
Selain kesalahan seperti lakuna, ditografi, adisi, substitusi, dan transposisi,
terdapat pula ketidakkonsistenan penulisan kata adalah. Adakalanya kata adalah
ditulis dengan tulisan اد الة, namun kadang pula ditulis اد لة. Ketidakkonsistenan dalam
penulisan kata adalah yang menggunakan tulisan اد لة terdapat pada beberapa bagian
saja, sedangkan penulisan kata adalah yang lain menggunakan tulisan اد الة. Berikut
ini adalah rinciannnya.
Tabel 6 Ketidakkonsistenan Kata adalah
No. Hlm / Baris Tulisan Edisi
adalah اد لة 13 / 2 ,9 / 2 1
E. Suntingan Teks
Menyunting merupakan kegiatan menyiapkan naskah siap cetak untuk
diterbitkan dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan bahasa.
Bahasa disini sudah menyangkut ejaan, diksi, dan struktur (KBBI:871).
Suntingan teks yang disediakan dalam penelitian ini adalah suntingan teks
RBTNA yang mendekati asli dan telah dibebaskan dari segala macam kesalahan
yang terjadi pada waktu penyalinannya, sehingga teks RBTNA dapat dipahami
sebaik-baiknya. Suntingan teks RBTNA dilakukan dengan mentransliterasikannya
dari huruf Arab ke dalam huruf Latin agar mudah dibaca dan dipahami oleh
masyarakat luas. Setiap perbaikan yang dilakukan oleh penyunting diberi penjelasan
pada pengantar suntingan, memakai catatan kaki (footnote) agar dapat diperiksa dan
diperbandingkan dengan bacaan naskah, sehingga memungkinkan penafsiran lain
oleh pembaca. Dengan demikian kebenaran isinya dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Dalam transliterasi teks RBTNA disajikan dengan menggunakan tanda-tanda
sebagai berikut.
1. Tanda garis miring dua ( // ), digunakan untuk menunjukkan pergantian
halaman.
2. Kata, frase atau kalimat yang diberi angka (1, 2, 3,……), di kanan atas
dapat dilihat didalam catatan kaki.
3. Angka (1, 2, 3,.….), yang terdapat pada sisi pias kanan teks, menunjukkan
halaman naskah
4. Tanda kurung dua [ ], menunjukkan penghilangan huruf atau suku kata
oleh penyunting
5. Tanda kurawal { }, menunjukkan skolia atau kekurangan teks yang
tercatat pada pias teks.
6. Tanda hubung ---, menunjukkan teks tidak dapat dibaca oleh penyunting .
Pedoman ejaan yang digunakan dalam suntingan RBTNA ini adalah sebagai
berikut.
1. Ejaan dalam suntingan ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah dalam
Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
2. Kosa kata yang berasal dari bahasa Arab yang sudah diserap dalam Bahasa
Indonesia disesuaikan dengan EYD.
3. Kosa kata arkhais dan kosa kata yang menunjukkan ciri khas bahasa asal
(Melayu) ditulis miring.
4. Istilah-istilah dan kosa kata dalam bahasa Arab yang belum diserap ke
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan pedoman transliterasi dan ditulis
miring.
5. Penulisan kata ulang disesuaikan dengan EYD.
Pedoman transliterasi yang digunakan dalam suntingan teks RBTNA adalah
sebagai berikut.
1. Huruf ain ( ع ) yang terletak di tengah dan disukunkan, diedisikan
menjadi (k) pada kosa kata yang telah diserap dalam bahasa Indonesia,
dan ( ) ‘ jika terdapat pada kosakata yang belum diserap.
2. Kata-kata bahasa Arab yang belum diserap dalam bahasa Indonesia
diedisikan dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Tasydid ّ dilambangkan dengan huruf rangkap.
Misalnya : عر و جل ‘azza wa jalla
b. Tanda maddah (panjang) alif ( ا ), wawu ( و ), dan ya ( ي ) sebagai
penanda vokal panjang diedisikan memberi garis datar di atasnya.
Misalnya: ā, ī, ū
c. Kata sandang ( ا ل )yang diikuti huruf qomariah diedisikan dengan /al-/,
apabila terletak di awal kalimat. Apabila terletak di tengah kalimat atau
frase maka diedisikan dengan /'l-/, sedangkan kata sandang ( ا ل ) yang
diikuti huruf syamsyiah diedisikan menjadi huruf syamsyiah yang
mengikutinya.
3. Huruf-huruf pendiftong, yaitu ( ا و( dan ai ( ا ي ) ditulis dengan vokal (au)
untuk ا و dan vokal (ai) untuk ا ي
4. Ta marbuthah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, dan
dhammah, ditransliterasikan (t) atau (h), untuk hamzah ( ء ) mati di
transliterasikan dengan huruf (k). Misalnya: رحمة - rahmat
5. Suku kata akhir yang hidup atau mendapat harakat fatkah, kasrah, dan
dhammah, pada akhir kalimat ditransliterasikan mati mengikuti huruf
konsonan yang mengikutinya. Misalnya: الرحیم 'r-Rahīm.
Pedoman transliterasi yang digunakan dalam suntingan teks RBTNA
mengacu pada pedoman transliterasi yang disusun oleh Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang menjadi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta) nomor 6. Namun, karena tidak semua fonem tercakup
dalam sistem transliterasi IAIN Syarif Hidayatullah, maka ditambah dan dilengkapi
dengan beberapa fonem-fonem untuk bahasa Melayu.
Tabel 7 Pedoman transliterasi
Huruf Nama Latin Huruf Nama Latin
ghain gh غ alif a ا
fa f ف ba b ب
qaf q ق ta t ت
kaf k ك sa s ث
lam l ل jim j ج
mim m م ha h ح
nun n ن kha kh خ
wau w و dal d د
ha h ه zal z ذ
’ hamzah ء ra r ر
ya y ي zain z ز
g ک sin s س
c چ syin sy ش
ng غ shad sh ص
ny پ dhad dh ض
p ف tha th ط
zha zh ظ
‘ ain ع
Sumber: Heijer, Johannes den. 1992:5-6
Suntingan Teks
Bismi 'l- Lāhi 'r-Rahmāni 'r-Rahīm. Al-hamdu li 'l-Lāhi rabbi 'l-‘ālamīn.
Artinya segala puji-pujian tertentu bagi Allah Taala Tuhan seru alam. Wa 'sh-
shalātu wa 's-salāmu ‘alā Muhammadin wa ‘alā ālihi wa shahbihi ajma‘īn. Dan
rahmat Allah dan salam-Nya atas Muhammad dan atas segala keluarganya dan
sahabatnya sekalian mereka itu.
Ammā ba‘du. Falammā kānat hijratu 'n-Nabiyyi shalla 'l-Lāhu ‘alaihi
wa sallam, samāniyata wa 'l-khamsīna wa 'l-mi’ataini ba‘da 'l-alfi faqad
thalaba ilainā mirāran ba‘dhu 'l-ahibbā’i an naqla kitāba 'l-imāmi 'l- ‘ālimi 'l-
walī ahli 'sh-Shūfī wa huwa 'sy-Syaikhu ‘Abdallah Ad-Dihlawi ilā lisānu 'l-Jāwi.
Adapun kemudian dari itu maka tatkala adalah hijratu 'n-Nabiyyi shalla 'l-Lāhu
‘alaihi wa sallam dua ratus lima puluh dulapan tahun / kemudian daripada seribu
tahun, makasanya minta kepada kami berulang-ulang beberapa kali oleh
setengah kekasihan aku bahwa aku pindah kitab imam yang alim lagi wali Allah
yang ahli 'sh-Shūfī, dan yaitu Syekh Abdallah Dihlawi nama negerinya. Wa kāna
fī kitābi 'l-mazkūri mubayyinān li tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah. Dan
adalah dalam // kitab yang tersebut menyata(kan)1 bagi Tarekat Naqsyabandiyah
yang tinggi.
Famtasaltu wa‘atamadtu ilā 'l-Lāhi ta‘āla rājiyān li 's-Sawābi mina 'l-
Lāhi 'l-karīmi yaumi 'l ma’ab. Maka aku ikut dan aku pegang diri kepada Allah
Taala hal keadaan aku harap bagi pahala daripada Allah Taala yang amat murah
1 Tertulis میات
pada hari kiamat. Li qaulihi shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, "Izā māta ibnu
Ādama inqatha‘a ‘amaluhu illā min2 salāsatin ‘ilmun muntafa‘un wa waladun
shālihun yad‘ūlahu wa shadaqatun jāriyatun". Artinya karena sabda Nabi Shalla
'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, "Apabila mati anak Adam, niscaya putuslah amalnya
melainkan daripada tiga perkara; pertama ilmu yang memberi manfaat, kedua
anak yang saleh yang memintak doa baginya, ketiga sedekah jariyah yakni
waqaf".
Wa ja‘altu hāza 'l-kitāba ka 'l-kitābi mustaqal fī lisāni 'l-Jāwī. Dan aku
akan (menjadikan)3 kitab ini seperti kitab yang mustaqal pada bahasa Jawi. Wa
sammaituhu risālata 'l-badī‘iyyah4 fī tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah.
Dan aku namai akan dia Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati
'l-‘Āliyah artinya risalah yang indah pada menyatakan Tarekat Naqsyabandi //
yang tinggi.
Wa 'l-Lāhi as’alu5 an yanfa‘a bihi kamā nafa‘a bi ashli hazā 'l-kitābi wa
an yaj‘alahu khālishān li wajhi 'l-karīmi 'l-wahhābi wa sababān li 'l-fawzi
yauma 'l-ma’ab. Dan kepada Allah Taala aku pohon akan bahwa memberi
manfaat ia seperti barang yang telah memberi manfaat bagi pohon kitab ini dan
bahwa menjadi oleh Allah Taala akan dia tulus ikhlas bagi Zat yang mulia lagi
2 Tertulis عن
3 Merupakan edisi dari penyunting
4 Tertulis البد بقیة
5 Tertulis سیاءل
yang baik pemberian dan jalan bagi kemenangan pada hari kiamat. Yā ikhwānī,
hai segala saudaraku, jikalau kamu [a]dapat6 kesalahan pada ibaratnya, maka
hendaklah engkau perbaiki akan dia serta engkau murāja‘ah kepada pohon kitab
ini.
Ketahui olehmu hai sālik, barang siapa masuk tarekat ini, hendaklah
mengucap selawat pada mula-mula lima kali, dan dihadiah akan dia kepada roh
Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, dan kepada roh segala guru-guru yang
empunya sil(s)ilah7 yang sampai isnad-nya kepada Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi
wa sallam, dan hendaklah menyampang diri dengan wasitah mereka itu kepada
Tuhan ‘Azza wa jalla. Setelah itu, maka mengucap istigfar dua puluh lima kali;
yaitu, "Astaghfiru 'l-Lāha rabbī min kulli zanbin wa atūbu ilaih"; // kemudian
maka memaca Fatihah sekali; kemudian maka memaca surat Al Ikhlas tiga kali.
Setelah sudah yang demikian itu, maka hendaklah dihadir akan rupa syekh yang
tempat diambil talkin daripadanya diseru di hadapannya dengan hati serta minta
tolong daripadanya dan minta daripada Allah Taala akan faidhu 'l-mahabbati wa
'l-maghfirah yakni limpah kekasihan dan ampu(n)an8. Setelah itu maka dimulai
bagi lathīfah qalbu, serta menunduk kepala sedikit kepadanya, dan makna
lathīfah itu tempat nur, dan [ada] adalah9 di dalam lathīfah itu tempatnya di
6 Tertulis ا د ا فت
7 Tertulis سلیلة
8 Tertulis امفون
9 Tertulis اداد لة
bawah susu kiri kadar dua jari, hal keadaannya cenderung kepada pihak kiri
sedikit kadar dua jari jua, hendaklah dimula-mula hazhah {yakni d.s.d.y.k}10
tatkala itu akan mafhum ismu zat, yaitu Allah; dan adalah mafhumnya Zat Allah
Subhānahu wa ta‘āla dengan tiada misal seperti firman Allah Taala, "Laisa
kamislihī11 Syai’un"12, artinya tiada seperti baginya suatu jua pun, dan hendaklah
tatkala itu dipelihara daripada segala khawatir dan daripada berpikir-pikir
daripada barang yang telah lalu dan yang lagi akan datang, dan lagi hendaklah
tatkala itu tawajuh kepada hati, dan hati tawajuh kepada // mafhum zat yang
wājibbu 'l-wujūd; dan mengata tatkala itu dengan lisānu 'l-khayāl, "Allāh Allāh"
hal keadaan bertemu lida(h)nya13 dengan langit-langit. Dan apabila zahir
padanya berkerap-kerap zikir dalam hati, maka hendaklah berpindah kepada
lathīfatu 'r-Ruh, dan adalah tempatnya pada bawah susu kanan kadar dua jari,
maka berhadap kepadanya pula dan menyebut pula, "Allāh Allāh" dengan lisānu
'l-khayāl jua. Kemudian dari itu maka berpindah kepada lathīfah Sir, dan adalah
tempatnya berbetulan susu kiri kadar dua jari, hal keadaannya cenderung kepada
tengah dada kita, maka disebut di sana, "Allāh Allāh" jua. Kemudian dari
padanya lalu berpindah ia kepada lathīfah khafī dan berhadap kepadanya pula,
dan adalah tempatnya berbetulan susu kanan kadar dua jari, hal keadaannya
10 Merupakan sisipan pada bagian samping kanan teks
11 Tertulis لھثكمل
12 Q S Asy-Syura: 11
13 Tertulis ثلید
cenderung ia kepada tepat dada jua, maka disebut di sana, "Allāh Allāh" jua
seperti dahulunya. Kemudian maka berpindah kepada lathīfah akhfā, dan adalah
tempatnya pada tengah dada kita, hendaklah berhadap kepadanya serta disebut,
"Allāh Allāh" seperti yang tersebut dahulu jua. Setelah itu maka berpindah
berhadap kepada lathīfah Nafs, dan adalah tempatnya pada dahi kita, maka
disebut, // "Allāh Allāh" pula di sana. Setelah itu maka berhadap kepada lathīfah
kullu 'l-jasad14 yaitu sekalian tubuhnya, dan disebut disana pula, "Allāh Allāh"
dengan lisānu 'l-khayāl jua hingga zahir bergerak-gerak segala lathīfah yang
tersebut itu.
Ketahui olehmu hai sālik, bahwasannya segala lathīfah yang tersebut
dinamai akan dia lathīfah yang tawajuh. Adapun zikir yang kedua itu zikir nafi
dan isbat, dan adalah tarekatnya bahwa bertemu / lida(h) dengan langit-langit
seperti yang dahulu; kemudian maka dimulai dengan lisānu 'l-khayāl daripada
pusat kita kalimat, "Lā" serta dipanjang akan dia hingga sampai kepada hotak
kita; kemudian maka dihela daripadanya serta didatang kalimat, "Ilāha" kepada
bahu kanan kita; kemudian maka dimulai daripadanya kalimat, "Illā 'l-Lāh",
serta dipalunya ke dalam hati sanubari; dan lagi hendaklah dimula makna
kalimat itu yaitu, "Lā15 maqshūda illā 'l-Lāh", artinya tiada yang dimaksud
melainkan Allah Taala yang wājibbu 'l-wujūd dengan tiada misal. Dan apabila
berzikir dengan nafi dan isbat, tatkala menahan nafas hendaklah melepas akan
14 Tertulis قالب
15 Tertulis یا
nafasnya dengan ke asal jua seperti tiga kali atau lima sekira-kira kuasa. Setelah
berzikir beberapa kali, yakni // sekira-kira kuasa maka mengucap, "Muhammadu
'r-Rasūlu 'l-Lāh", dan jangan dipanjang menahan nafas yakni sekira-kira tiada
zahir baginya khafaqān, dan apabila sudah berzikir beberapa kali, yakni sekira-
kira kuasa bersamaan berzikir dengan ismu zat atau dengan yakni nafi dan isbat,
maka mengata dengan lidah khayāl, "Ilāhī anta maqshūdī wa ridhāka mathlūbī16
ā‘tinī mahabbaka wa maghfiratak", yakni hai Tuhanku, Engkau itu maksud aku,
dan ridha-Mu itu tentunya aku beri oleh-Mu akan daku kekasihan Engkau, dan
ampun Engkau.
Ketahui olehmu hai sālik, bahwasannya zikir yang tersebut, yakni zikir
ismu zat dan zikir nafi dan isbat, semuanya dikerjakan dengan khafi. Adapun jika
berzikir dengan jahar maka mengucap dengan lidah serta sahih lafaz-nya, dan
serta dimula hazhah makna zikir dan serta tawajuh kepada hati, dan hati itu
tawajuh kepada Zat Subhānahu wa ta‘āla, dan apabila nyata bagi orang yang
berzikir itu kaifiat dan jamiyah, maka hendaklah memelihara akan dia, dan
apabila tiada nyata baginya kaifiat dan jamiyah, maka hendaklah berulang-ulang
zikir hingga nyata keduanya.
Ketahui olehmu hai sālik, kata ulama // ahli 'sh shūfī, bahwasannya jalan
sampai kepada Allah Taala itu tiga perkara, pertama berzikir dengan syaratnya
seperti yang telah tersebut; kedua murāqabah, yaitu tawajuh kepada Allah
Subhanahu wa ta‘āla dan tawajuh kepada hati dan hilang segala khawatir
16 Tertulis مطلوى
daripadanya; ketiga berlazim bersahabat seorang, dan adalah bersahabatnya itu
memberi balas kepada kaifiat dan jamiyah, dan memelihara akan dia dengan
[dish]ditashawwur17 akan rupanya, serta dipelihara akan dia pada dari aku yakni
pendapat dalam hati inilah hasil mafhum kitab karangan Syekh Abdallah Ad-
Dihlawi yang tempat hamba nukil wa 'l-Lāhu ‘alam. Kata Syekh Tajuddin Al
Hindi Al-‘ārifi bi 'l-Lāhi qaddasa 'l-Lāhu sirrah, "Bermula jalan kepada Allah
Taala atas Tarekat Naqsyabandi itu tak dapat tiada daripada salah suatu daripada
tiga tarekat. Tarekat yang pertama; bahwa berzikir ia dengan kalimat tayibbah;
yaitu, "Lā ilāha illā 'l-Lāh muhammadu 'r-Rasūlu 'l-Lāh" dengan menahan nafas
serta memelihara akan bilangan yang kamil yaitu tiga kali atau lebih; dan apabila
sampailah bilangan dua puluh esa kali; pada hal tiada nyata bagi orang yang
berzikir itu bekas zikir, yaitu dalil atas tiada dikabul akan zikirnya; maka
hendaklah / ketika itu dimasuk pada permulaan zikir pula. Adapun kaifiyat //
zikir itu; bahwa engkau jadi akan lidah bertemu dengan langit-langit, dan engkau
bertemu bibir dengan bibir, dan gigi dengan gigi, serta / menahan akan nafas
kita; dan engkau mula dengan kalimat, "Lā" daripada pusat dan engkau naik
akan dia hingga sampai hotak dan engkau sampai kepadanya, maka engkau hela
daripadanya dengan kalimat, "Ilāha" hingga sampai kepada bahu kanan,
kemudian maka dihela daripadanya dengan kalimat, "Illā 'l-Lāh" kepada pihak
kiri, serta engkau lutar dalam hati sanubari dengan kuat sekira-kira nyata
bekasnya dan hangatnya kepada sekalian tubuhnya; dan engkau hela,
17 Tertulis د ص د تصور
"Muhammadu 'r-Rasūlu 'l-Lāh" daripada pihak kiri kepada pihak kanan dan kiri,
yakni antara kanan dan kiri. Setelah itu maka engkau kata dengan hati pula,
"Ilāhī anta maqshūdī wa ridhāka mathlūbī". Tarekat yang kedua yaitu tawajuh
dan murāqabah, yaitu bahwa engkau tawajuh kepada mafhum ismu 'l-mubārak
yaitu lafaz "Allāh" dengan tiada wasitah, dan engkau mula hazhah akan dia
dalam khayāl, dan engkau tawajuh dengan sekalian madrak yakni pendapatnya
kepada hati sanubari. Tarekat yang ketiga itu bertambatnya engkau dengan syekh
yang kamil-mukamil yang sampai kepada maqām musyāhadah"; inilah kehasilan
// kata Syekh Tajuddin.
Dan jika engkau kehendaki lebih daripada yang tersebut itu, maka lazim
olehmu akan sendirimu mutalaah kepada kitab yang panjang-panjang pada ilmu
ini, dan lagi hendaklah engkau ambil daripada syekh yang mursyid, dan tiada
hasil ilmu melainkan dengan syekh jua, karena bahwasannya barang siapa tiada
syekh yakni guru, maka yaitu setan syekhnya wa 'l-Lāhu a‘lamu bi 'sh-Shawāb".
Qāla 'l-mu’allifu 'l-kharij ‘Abbas Al Asyi. Telah mengata oleh mualif
yaitu Haji Abbas namanya, Aceh nama negerinya. Wa kanā 'l-farāgha min rasmi
hazihi 'r-Risālah fī Makkati 'l-Musyarafah ‘āma 'l-mazkur. Dan adalah selesai
daripada mengarang risalah ini dalam negeri Mekah yang mulia dalam tahun
yang telah tersebut. Al-lāhumma 'ghfirlanā wa li wālidainā wa li jami‘i 'l-
muslimīn. Hai Tuhanku, ampun oleh-Mu bagi kami, dan bagi dua ibu bapa kami,
dan bagi sekalian orang Islam. Amīn yā rabba 'l-‘ālamīn. Tamma.
F. Daftar Kata Sukar a. Kata-kata Arab dalil
hazhah
ikhlas
isbat
:
:
:
:
pendapat yang dikemukakan da dipertahankan sebagai
suatu kebenaran
pelan-pelan
dengan hati yang bersih (jujur); tulus hati
penyungguhan; penetapan; penentuan
ismu zat : nama zat
ismu 'l-mubarak : nama yang mendapat berkah
isnad : menisbatkan
jahar
jamiyah
kadar
:
:
:
dengan mengeraskan suara
kumpulan; bersama terus
lebih kurang; kira-kira
kaifiat : keadaan menurut sifatnya; sifat (tabiat) yang asli; cara
yang khusus (baik).
kamil-mukamil : sangat sempurna, baik sekali.
khafi
khafaqān
:
:
yang tersembunyi; tidak tampak.
berdebar, berdetak hati
lafaz : lafal
lathīfah qalbu
lathīfah akhfā
lathīfah khāfi
:
:
:
halus hati
halus yang lebih tersembunyi
halus yang tersembunyi
lathīfah Nafs
lathīfah Ruh
:
:
halus jiwa
halus ruh
Lathīfah Sir
lisānu 'l-khayāl
:
:
halus rahasia
lisan khayal
mafhum : sudah paham (mengerti, tahu)
madrak
mualif
:
:
keadaan merasakan, mencapai, mengenal, menginsafi
yang diperoleh melalui pancaindra, akal dan batin
yang mengarang; penyusun
mubarak
murāja‘ah
murāqabah
mursyid
mustaqal
:
:
:
:
:
mendapat berkah
mengulang kembali; memeriksa
mawas diri kepada Allah Subhanahu wa ta‘ala
orang yang menunjukkan jalan yang benar; guru agama;
yang baik hidupnya; yang berbakti kepada Tuhan
barasal dari
mutalaah : hal menelaah (memeriksa, mempelajari, menyelidiki)
dengan baik-baik
nafi : penolakan; penampikan; pengingkaran; ingkar
sahih : sah; benar; sempurna; tiada cela (dusta, palsu); sesuai
dengan baik-baik.
sālik
sedekah
syekh
:
:
:
para penempuh jalan rohani
pemberian sesuatu kepada yang berhak menerimanya
guru sufi
talkin : mengajarkan; memberi tahu
tashawwur : menggambarkan guru
tawajuh
tayibbah
:
:
selalu menghadap Tuhan
baik; bagus
wājibbu 'l-wujūd : wujud yang wajib
wakaf
wasitah
:
:
benda bergerak atau tidak bergerak untuk kepentingan
umum sebagai pemberian yang ikhlas
pengantar jalan
b. Kata-kata Arkhais berlazim
didatang
:
:
melazimkan; mengharuskan
dimasukkan
dihela
dimasuk
dimula
:
:
:
menghela, menarik nafas
dimasukkan
dimulai
dipanjang : menjadikan panjang
dulapan
dua puluh esa
:
:
delapan
dua puluh satu
hotak : otak
kehasilan : hasil; kesimpulan
kekasihan
lutar
:
:
kasihan
melontarkan; melempar
makasanya : makanya
memaca : membaca
memintak : memanjatkan doa; berdoa
mengata : mengatakan; berkata
menyampang : menolong; meminta bantuan
pohon : memohon
tamma : tamat
c. Istilah Arab Bismi 'l- Lāhi 'r-Rahmāni 'r-
Rahīm
: dengan nama Allah Yang maha Pengasih
lagi Maha Penyayang
Al-hamdu li 'l- Lāhi rabbi 'l-
‘ālamīn
: segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam
Ammā ba‘du : adapun kemudian dari pada itu
samāniyata wa 'l-mi’ataini
ba‘da 'l-alfi
: 1258
Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam : semoga selawat dan salam tetap kepadanya
Yā ikhwānī : hai, saudaraku
‘Azza wa jalla : Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia
Faidhu 'l-mahabbah wa 'l-
maghfirah
Astaghfiru 'l-Lāha rabbī min
kulli zanbin wa atūbu ilaih
:
:
limpahan kasih dan ampunan
aku mohan ampun kepada Allah Tuhanku
dari tiap-tiap dosa dan aku berserah diri
kepada-Nya
Subhānahu wa ta‘āla : Maha Suci Allah dan Maha Tinggi (Mulia)
Laisa kamislihi syai’un : tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia
Lā maqshūda illā 'l-Lāhu : tidak ada yang dimaksud kecuali Allah
Ilāhī anta maqshūdī wa ridhāka
mathlūbī ā‘tinī mahabbaka
wa maghfiratak
: ya Tuhanku Engkau yang aku kehendaki
dan ridha-Mu yang aku tuntut,
karuniailah oleh-Mu akan daku dan
pengenalan Engkau
wa 'l-Lāhu a‘lamu bi 'sh-shawab : hanya Allah yang tahu yang kebenarannya
Lā ilāha illā 'l-Lāh muhammadu
'r-Rasulu 'l-Lāh
Al-‘ārifi bi 'l-Lāhi qaddasa 'l-
Lāhu sirrah
:
:
tidak ada Tuhan selain Allah Muhammad
utusan Allah
semoga Allah mensucikan kebenarannya
Al-lāhumma 'ghfirlanā wa
liwalidainā wa li jami‘i 'l-
muslimin
: ya Allah kami mohon ampun dan kedua
orang tua kami dan bagi sekalian orang
Islam
Amīn yā rabba 'l-‘ālamīn : amin wahai Tuhan semesta alam
Sumber : Ahmad Warson Munawwir. 1984. Al-Munawwir Kamus Besar Arab-Indonesia. (Edisi Tahun 1997).
Yogyakarta: Pustaka Progresif Pustaka Wahana Mengenal Diri dan Ilahi. Mahmud, Dato Paduka Haji. 2003. Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Bandar Sri Begawan: Dewan
Bahasa dan Pustaka Brunai. Solihin, M dan Rosihan Anwar. 2002. Kamus Tasawuf. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi III. Jakarta: Balai Pusataka. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Quran. 1971. Al Quran dan Terjemahnya. Jakarta:
Departemen Agama Republik Indonesia.
BAB V
TAREKAT NAQSYABANDIYAH
A. Struktur Teks RBTNA
Struktur teks Sastra Kitab mempunyai kekhasan tersendiri. Struktur disini
adalah struktur penyajian teks seperti halnya pada struktur penceritaan dalam fiksi
yang berupa alur atau plot (Siti Chamamah Soeratno, et. al., 1982:152). Struktur teks
yang diungkap dalam penelitian ini adalah struktur penyajian teks RBTNA, gaya
penyajian teks RBTNA, pusat penyajian teks RBTNA, dan gaya bahasa teks
RBTNA.
1. Struktur Penyajian teks RBTNA
Ditinjau dari segi strukturnya, teks RBTNA terbagi atas tiga bagian yang
masing-masing bagian merupakan unsur-unsur yang berkesinambungan. Teks
RBTNA terdiri dari: I. Pendahuluan, II. Isi, dan III. Penutup. Adapun penjelasan
masing-masing adalah sebagai berikut:
I. Pendahuluan terdiri dari:
A1: a. Basmalah
Sebagian besar karya sastra Kitab, permulaan penulisan diawali
dengan bacaan basmalah. Teks RBTNA pada permulaan penulisan diawali
dengan bacaan basmalah, yaitu "Bismi 'l- Lāhi 'r-Rahmāni 'r- Rahīm"
(RBTNA:1).
b. Hamdalah
Bacaan hamdalah, yaitu pujian terhadap Allah Taala sebagai pencipta
alam."Al-hamdu li 'l- Lāhi rabbi 'l- ‘ālamīn. Artinya segala puji-pujian
tertentu bagi Allah taala Tuhan seru alam (RBTNA:1).
c. Selawat atas Nabi Muhammad saw, keluarga, dan sahabat.
Bacaan selawat merupakan doa, dan biasanya diperuntukkan untuk
Nabi Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Di dalam teks RBTNA
terdapat juga bacaan selawat atas Nabi Muhammad saw, keluarga dan para
sahabat. Adapun kutipannya berbunyi, "Wa 'sh-shalātu wa 's-salāmu ‘alā
Muhammadin wa ‘alā ālihi wa shahbihi ajma‘īn. Dan rahmat Allah dan
salam-Nya atas Muhammad dan atas segala keluarganya dan sahabatnya
sekalian mereka itu" (RBTNA:1).
B1: Kata Ammā ba‘du, yang berati 'adapun kemudian daripada itu'. Kata itu
merupakan ungkapan tetap untuk menyudahi bacaan pembukaan.
C1: a. Latar belakang penyalinan kitab
Teks RBTNA disalin oleh penyalin atas permintaan seseorang pada
tahun 1258 H/1842 M, namun tidak disebutkan atas permintaan siapa.
Permintaan tersebut adalah agar penyalin menyalin sebuah kitab milik
Syekh Abdallah Dihlawi dari India. Kitab yang disalin merupakan kitab
yang di dalamnya memuat ajaran tentang Tarekat Naqsyabandiyah dan di
sini tidak dijelaskan judul kitab yang disalin oleh penyalin. Syekh Abdallah
Dihlawi merupakan salah seorang ahli dibidang kesufian. Beliau juga
merupakan salah satu guru dari Tarekat Naqsyabandiyah.
...maka tatkala adalah hijratu 'n-Nabiyyi shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam dua ratus lima puluh dulapan tahun kemudian daripada seribu tahun, makasanya minta kepada kami berulang-ulang beberapa kali oleh setengah kekasihan aku bahwa aku pindah kitab imam yang alim lagi wali Allah yang ahli 'sh-Shūfī, dan yaitu Syekh Abdallah Dihlawi nama negerinya. Wa kāna fī kitābi 'l-mazkūri mubayyinān li tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah. Dan adalah dalam // kitab yang tersebut menyata(kan) bagi Tarekat Naqsyabandiyah yang tinggi. (RBTNA:1-2).
b. Motivasi penyalinan kitab
Motivasi penyalinan kitab adalah kesanggupan penyalin untuk
menyalin teks dengan mengharap ridha dari Allah Taala. Penyalin menyalin
teks dari kitab Syekh Abdallah Dihlawi dengan dasar sebuah hadis nabi.
Hadis nabi tersebut berisi tentang tiga amalan yang tidak putus pahalanya
hingga manusia mati. Tiga perkara tersebut adalah ilmu yang bermanfaat,
anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya, dan amal jariyah yakni
wakaf. Hal ini ditulis dan dijelaskan dengan bahasa Arab yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Adapun kutipannya sebagai
berikut.
Famtasaltu wa‘atamadtu ilā 'l-Lāhi ta‘āla rājiyān li 's-Sawābi mina 'l-Lāhi 'l-karīmi yaumi 'l ma’ab. Maka aku ikut dan aku pegang diri kepada Allah Taala hal keadaan aku harap bagi pahala daripada Allah Taala yang amat murah pada hari kiamat. Li qaulihi shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, "Izā māta ibnu Ādama inqatha‘a ‘amaluhu illā ‘an salāsatin, ‘ilmin muntafa‘un wa waladun shālihun yad‘ūlahu wa shadaqatun jāriyatun". Artinya karena sabda Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, "Apabila mati anak Adam, niscaya putuslah amalnya melainkan dari pada tiga perkara; pertama ilmu yang memberi manfaat, kedua anak yang saleh yang memintak doa baginya, ketiga sedekah jariyah yakni waqaf (RBTNA:2).
c. Judul teks
Penyalin memberi judul karangannya dengan judul ”Risālata 'l-
Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah". Judul tersebut
terdapat di dalam pendahuluan teks dan kutipannya berbunyi, "Dan aku
akan kitab ini seperti kitab yang mustaqal pada bahasa Jawi. Wa
sammaituhu risālata 'l-badī`iyyah fī tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-
‘āliyah. Dan aku namai akan dia Risālata 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-
Naqsyabandiyyati 'l-‘Āliyah artinya risalah yang indah pada menyatakan
Tarekat Naqsyabandi // yang tinggi" (RBTNA:2-3).
d. Harapan penyalinan kitab
Harapan penyalinan kitab adalah penyalin memohon kepada Allah
Taala agar tulisan yang disalin memberi manfaat bagi orang lain sebagaimana
hadis nabi, bahwa karyanya merupakan salah satu ilmu yang bermanfaat bagi
orang lain, sehingga memberikan jalan kemudahan baginya pada hari kiamat
kelak. Harapan penulisan teks RBTNA tertera pada kutipan berikut ini.
Wa 'l-Lāhu yas’alu an yanfa‘a bihi kamā nafa‘a bi ashli 'l-hazā 'l-kitābi wa an yaj‘alahu khālishān li wajhi 'l-karīmi 'l-wahhābi wa sababān li 'l-fawzi yauma 'l-ma’ab. Dan kepada Allah Taala aku pohon akan bahwa memberi manfaat ia seperti barang yang telah memberi manfaat bagi pohon kitab ini dan bahwa menjadi oleh Allah Taala akan dia tulus ikhlas bagi Zat yang mulia lagi yang baik pemberian dan jalan bagi kemenangan pada hari kiamat (RBTNA:4). Selain itu, apabila di kemudian hari terdapat kesalahan pada karangan
yang telah disalin, maka orang yang lebih ahli atau orang yang mengetahui
kesalahan penyalin hendaklah memperbaikinya. Adapun kutipannya adalah
sebagai berikut.
Yā ikhwānī, hai saudaraku, jikalau kamu [a]dapat kesalahan pada ibaratnya, maka hendaklah engkau perbaiki akan dia serta engkau murāja‘ah kepada pohon kitab ini (RBTNA:4).
II. Isi terdiri dari:
A2: Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah
a. Penjelasan bagi salik sebelum mengamalkan zikir Tarekat Naqsyabandiyah
Syarat bagi salik sebelum mengamalkan zikir Tarekat Naqsyabandiyah
dimulai dengan mengucap selawat sebanyak lima kali; mengucap istigfar;
yaitu, "Astaghfiru 'l-Lāha rabbī min kulli zanbin wa atūbu ilaih" (Aku mohon
ampun kepada Allah Tuhanku dari tiap-tiap dosa, dan aku berserah diri
kepadanya) sebanyak dua puluh lima kali; membaca surat Fatihah sekali;
surat Al Ikhlas tiga kali; menghadirkan rupa Syekh (guru) yang menjadi guru
dan memohon limpahan karunia serta memohon ampun kepada Allah Taala.
Semua hal yang harus dilakukan oleh salik dijelaskan secara urut dan
terperinci. Lebih jelasnya terdapat dalam kutipan berikut ini:
Hai sālik, barang siapa masuk tarekat ini hendaklah mengucap selawat pada mula-mula lima kali. Dan akan dihadiah akan dia kepada roh Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam dan kepada ruh segala guru-guru yang empunya sil(s)ilah yang sampai isnad-nya kapada Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam dan hendaklah menyampang diri dengan wasitah mereka itu kepada Tuhan ‘Azza wa jalla. Setelah itu maka mengucap istigfar dua puluh lima kali yaitu, "Astaghfiru 'l-Lāha rabbī min kulli zanbin wa atūbu ilaih",// kemudian maka memaca Fatihah sekali kemudian maka memaca surat Al Ikhlas tiga kali. Setelah surat yang demikian itu maka hendaklah dihadir akan rupa syekh yang tempat diambil talkin daripadanya diseru dihadapannya dengan hati serta minta tolong
daripadanya dan diminta daripada Allah Taala akan faidhu 'l- muhabbah wa 'l- maghfirah yakni limpah kekasihan dan ampunan (RBTNA:3-4).
b. Penjelasan tentang zikir lathaif (zikir ismu zat).
Zikir lathaif dilaksanakan dengan menyebut asma Allah yang paling
tinggi yaitu, "Allāh Allāh". Zikir lathaif ini terdiri dari tujuh tempat pada
tubuh manusia. Adapun ketujuh tempat tersebut adalah lathīfah qalbu,
lathīfatu 'r-Ruh, lathīfah Sir, lathīfah khafī, lathīfah akhfā, lathīfah Nafs, dan
lathīfah kullu 'l-jasad.
c. Penjelasan tentang zikir nafi isbat
Adapun ajaran zikir di dalam Tarekat Naqsyabandiyah selain zikir
lathaif adalah zikir nafi isbat. Zikir nafi isbat terdiri atas bacaan perlahan
disertai dengan pengaturan nafas. Bacaan zikir ini adalah kalimah, "Lā ilāha
illā 'l-Lāh" dengan pengaturan nafas. Zikir ini bermakna bahwa tidak ada
Tuhan yang patut disembah melainkan Allah, sesuai dengan kutipan dibawah
ini.
Adapun zikir yang kedua itu zikir nafi dan isbat, dan adalah tarekatnya bahwa bertemu lida(h) dengan langit-langit seperti yang dahulu; kemudian maka dimulai dengan lisānu 'l-khayāl daripada pusat kita kalimat, "Lā" serta dipanjang akan dia hingga sampai kepada hotak kita; kemudian maka dihela daripadanya serta didatang kalimat, "Ilāha" kepada bahu kanan kita; kemudian maka dimulai daripadanya kalimat, "Illā 'l-Lāh", serta dipalunya ke dalam hati sanubari; dan lagi hendaklah dimula makna kalimat itu yaitu, "Lā maqshūda illā 'l-Lāh" (RBTNA:7).
d. Penjelasan zikir khafi dan zikir dengan jahar.
Zikir khafi merupakan zikir yang dikerjakan dengan hati (sir). Zikir
lathaif (ismu zat) dan zikir nafi isbat termasuk ke dalam zikir khafi oleh
karena itu pelaksanaanya harus dilaksanakan sir (tidak bersuara), sedangkan
jika melaksanakan zikir dengan jahar, maka lafal zikir harus benar dan jelas.
Hal tersebut dijelaskan pada teks RBTNA yang berbunyi:
Ketahui olehmu hai sālik, bahwasannya zikir yang tersebut, yakni zikir ismu zat dan zikir nafi dan isbat, semuanya dikerjakan dengan khafi. Adapun jika berzikir dengan jahar maka mengucap dengan lidah serta sahih lafaz-nya, dan serta dimula hazhah makna zikir dan serta tawajuh kepada hati, dan hati itu tawajuh kepada Zat Subhānahu wa ta‘āla (RBTNA:7).
e. Penjelasan mengenai jalan untuk sampai kepada Allah Taala (ma'rifatullah)
Jalan ma'rifatullah dapat ditempuh melalui 3 jalan. Ketiga jalan
tersebut dijelaskan oleh Syekh Abdallah Dihlawi yang meliputi zikir,
muraqabah, dan keharusan untuk bersahabat dengan orang yang menjadi
guru dengan mentashawwur rupanya dikala sedang beribadah. Guru akan
memberikan balasan terhadap kaifiat dan jamiyah.
Ketahui olehmu hai sālik, kata ulama // ahli sufi, bahwasannya jalan sampai kepada Allah taala itu tiga perkara, pertama berzikir dengan syaratnya seperti yang telah tersebut; kedua murāqabah yaitu tawajuh kepada Allah Subhanahu wa ta‘āla, dan tawajuh kepada hati dan hilang segala khawatir daripadanya; ketiga berlazim bersahabat seorang, dan adalah bersahabatnya itu memberi balas kepada kaifiat dan jamiyah, dan memelihara akan dia dengan [dish]ditashawwur akan rupanya, serta dipelihara akan dia pada dari aku yakni pendapat dalam hati inilah hasil mafhum kitab karangan Syekh Abdallah Ad-Dihlawi yang tempat hamba nukil wa 'l-Lāhu ‘alam (RBTNA:7-8).
Jalan untuk sampai kepada Allah Taala juga dijelaskan oleh Syekh
Tajuddid. Adapun menurut Syekh Tajuddin, jalan ma'rifatullah dapat
ditempuh melalui 3 jalan. Ketiga jalan tersebut meliputi zikir dengan kalimat
tayibbah, muraqabah dan tawajuh, dan tertambatnya hati seorang salik
dengan guru (syekh) untuk mencapai maqam musyahadah, yaitu tingkatan
tertinggi dalam mencapai kebahagiaan. Kutipannya adalah berikut ini.
Kata Syekh Tajuddin Al Hindi Al-‘ārifi bi 'l-Lāhi qaddasa 'l-Lāhu sirrah, "Bermula jalan kepada Allah Taala atas Tarekat Naqsyabandi itu tak dapat tiada daripada salah suatu daripada tiga tarekat. Tarekat yang pertama; bahwa berzikir ia dengan kalimat tayibbah; yaitu, "Lā ilāha illā 'l-Lāh muhammadu 'r-Rasūlu 'l-Lāh" dengan menahan nafas serta memelihara akan bilangan yang kamil yaitu tiga kali atau lebih.... Tarekat yang kedua yaitu tawajuh dan murāqabah, yaitu bahwa engkau tawajuh kepada mafhum ismu 'l-mubārak yaitu lafaz "Allāh" dengan tiada wasitah, dan engkau mula hazhah akan dia dalam khayāl, dan engkau tawajuh dengan sekalian madrak yakni pendapatnya kepada hati sanubari. Tarekat yang ketiga itu bertambatnya engkau dengan syekh yang kamil-mukamil yang sampai kepada maqām musyāhadah"; inilah kehasilan // kata Syekh Tajuddin (RBTNA:8-10).
f. Saran
Saran pada teks RBTNA berisi himbauan kapada salik untuk menelaah
kitab-kitab lain apabila menginginkan yang lebih dari yang telah dibaca.
Selain itu, bagian terpenting dari pengamalan ajaran ini adalah untuk
mengambil guru (mursyid) agar tidak sesat di kemudian hari. Hal tersebut
diuraikan di dalam teks, bahwa barang siapa yang tidak mengambil guru
maka setan adalah gurunya.
Dan jika engkau kehendaki lebih daripada yang tersebut itu, maka lazim olehmu akan sendirimu mutalaah kepada kitab yang panjang-panjang pada ilmu ini, dan lagi hendaklah engkau ambil daripada syekh yang mursyid, dan tiada hasil ilmu melainkan dengan syekh jua, karena bahwasannya barang siapa tiada syekh yakni guru, maka yaitu setan syekhnya wa 'l-Lāhu a‘lamu bi 'sh-Shawāb (RBTNA:10).
III. Penutup terdiri dari:
A3: Identitas penyalin naskah
a. Identitas penyalin naskah
Identitas penyalin teks adalah Haji Abbas Al Asyi dari Aceh.
Kutipannya berbunyi, "Qāla 'l-mu’allifu 'l-kharij ‘Abbas Al-Asyi. Telah
mengata oleh mualif yaitu Haji Abbas namanya, Aceh nama negerinya"
(RBTNA:10).
b. Tempat selesainya menyalin naskah
Teks RBTNA selesai disalin di Mekah Al Musyarafah, sebagaimana
yang disebutkan di dalam kolofan, "Wa kanā 'l-farāgha min rasmi hazihi 'r-
Risālah fī Makkati 'l-Musyarafah ‘āma 'l-mazkur. Dan adalah selesai daripada
mengarang risalah ini dalam negeri Mekah yang mulia dalam tahun yang
telah tersebut" (RBTNA:10).
c. Waktu mengenai selesainya menyalin naskah
Waktu mengenai selesainya menyalin teks dijelaskan dengan
keterangan yang berbunyi, "Falammā kānat hijratu 'n-Nabiyyi shalla 'l-Lāhu
‘alaihi wa sallam, samāniyata wa 'l-khamsīna wa 'l-mi’ataini ba‘da 'l-alfi
….maka tatkala adalah hijratu 'n-Nabiyyi shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam
dua ratus lima puluh dulapan tahun kemudian daripada seribu tahun"
(RBTNA:1).
d. Doa
Doa penutup dalam teks RBTNA berbunyi, "Al-lāhumma 'ghfirlanā wa
li wālidainā wa li jami‘i 'l-muslimīn. Hai Tuhanku, ampun oleh-Mu bagi
kami, dan bagi dua ibu bapa kami, dan bagi sekalian orang Islam. Amīn yā
rabba 'l-‘ālamīn” (RBTNA: 10).
e. Kata Tamma
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dibuat skema struktur teks
RBTNA. Skema struktur RBTNA adalah sebagai berikut:
I II III
A1 (a-b-c)-B1-C1 (a-b-c-d) A2-(a-b-c-d-e-f) A3 (a-b-c-d-e)
Struktur teks RBTNA menggunakan alur lurus, yaitu teks diuraikan secara berurutan
dan sistematis dari pendahuluan, isi dan kemudian penutup. Kata-kata atau kalimat
yang menggunakan bahasa Arab diartikan secara interlinier.
Ditinjau dari sudut tujuannya, teks RBTNA termasuk dalam karangan
eksposisi. Eksposisi merupakan bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu
objek sehingga memperluas pengetahuan pembaca. Jenis karangan ini tidak
bermaksud mempengaruhi atau mengubah sikap dan pendapat pembacanya.
Eksposisi mempunyai tiga bagian utama, yaitu pendahuluan, tubuh eksposisi, dan
penutup. Teks RBTNA memiliki struktur penyajian yang memuat pembukaan, isi,
dan penutup sesuai dengan tiga bagian utama dalam eksposisi. Hal terpenting dalam
eksposisi adalah isi dan kesimpulan hanya bersifat semacam pendapat. Teks RBTNA
berisi informasi tentang ajaran Tarekat Naqsyabandiyah.
2. Gaya Penyajian Teks RBTNA
Setiap karya sastra mempunyai gaya penyajian tersendiri yang dapat
membedakannya dengan karya sastra lain. Gaya penyajian yang dipergunakan oleh
pengarang pada teks RBTNA sama seperti halnya karya ilmiah yang sistematis
dengan gaya memaparkan gagasan dengan menggunakan dalil-dalil dari Alquran
dan hadis.
Gaya penyajian teks RBTNA menggunakan bentuk interlinier. Pembukaan
teks RBTNA diawali dengan bacaan basmalah; hamdalah; puji-pujian kepada Allah
swt dan selawat kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, dan segenap sahabatnya
(dijelaskan dalam bahasa Arab dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu). Hal
ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Bismi 'l- Lāhi 'r-Rahmāni 'r-Rahīm. Al-hamdu li 'l-Lāhi rabbi 'l-‘ālamīn. Artinya segala puji-pujian tertentu bagi Allah taala Tuhan seru alam. Wa 'sh-shalātu wa 's-salāmu ‘alā Muhammadin wa ‘alā ālihi wa shahbihi ajma‘īn. Dan rahmat Allah dan salam-Nya atas Muhammad dan atas segala keluarganya dan sahabatnya sekalian mereka itu (RBTNA:1). Sesudah pembukaan, kemudian diikuti uraian dalam bahasa Arab yang
kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Perhatikan kutipan berikut ini.
Ammā ba‘du. Falammā kānat hijratu 'n-Nabī shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, samāniyata wa 'l-khamsīna wa 'l-mi’ataini ba‘da 'l-alfi faqad thalaba ilainā mirāran ba‘dhu 'l-ahibbā’i an naqla kitāba 'l-imāmi 'l- ‘ālimi 'l- walī ahli 'sh-Shūfī wa huwa 'sy-Syaikhu ‘Abdallah Ad-Dihlawi ilā lisānu 'l-Jāwi. Adapun kemudian dari itu maka tatkala adalah hijratu 'n-Nabiyyi shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam dua ratus lima puluh dulapan tahun kemudian daripada seribu tahun, makasanya minta kepada kami berulang-ulang beberapa kali oleh setengah kekasihan aku bahwa aku pindah kitab imam yang alim lagi wali Allah yang ahli 'sh-Shūfī, dan yaitu Syekh Abdallah Dihlawi nama negerinya (RBTNA:1). Wa kāna fī kitābi 'l-mazkūri mubayyinan li tharīqati 'l-naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah. Dan adalah dalam // kitab yang tersebut menyata(kan) bagi Tarekat Naqsyabandiyyah yang tinggi. Famtasaltu wa‘atamadtu illa 'l-Lāhi ta‘ala rājiyan li 's-Sawābi mina 'l-Lāhi 'l-karīmi yaumi 'l ma’āb. Maka aku ikut dan aku pegang diri kepada Allah Taala hal keadaan aku harap bagi pahala daripada Allah Taala yang amat murah pada hari kiamat (RBTNA:1-2).
Untuk memperkuat suatu uraian, dikuatkan dengan menggunakan dasar
sebuah hadis nabi dan kutipan ayat suci Alquran yang ditulis dalam bahasa Arab
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Seperti terlihat pada
kutipan berikut ini.
Li qaulihi shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallama, "Izā māta ibnu Ādama inqatha‘a ‘amaluhu illā ‘an salāsatin, ‘ilmin muntafa‘un wa waladun shālihun yad‘ūlahu wa shadaqatun jāriyatun". Artinya karena sabda Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, "Apabila mati anak Adam, niscaya putuslah amalnya melainkan dari pada tiga perkara; pertama ilmu yang memberi manfaat, kedua anak yang saleh yang memintak doa baginya, ketiga sedekah jariyah yakni waqaf (RBTNA:2) Setelah itu maka dimulai bagi lathīfah qalbu, serta menunduk kepala sedikit kepadanya, dan makna lathīfah itu tempat nur, dan ada di dalam lathīfah itu tempatnya di bawah susu kiri kadar dua jari, hal keadaannya cenderung kepada pihak kiri sedikit kadar dua jari jua, hendaklah dimula-mula hazhah tatkala itu akan mafhum ismu zat, yaitu Allah, dan adalah mafhumnya Zat Allah Subhānahu wa ta‘āla dengan tiada misal seperti firman Allah taala, "Laisa kamislihī syaiun", artinya tiada seperti baginya suatu jua pun (RBTNA:4).
Pada bagian isi teks, untuk memulai suatu uraian tentang suatu pokok
bahasan diawali dengan kalimat "Ketahui olehmu hai salik". Seperti tampak pada
kutipan berikut ini.
Ketahui olehmu hai sālik, barang siapa masuk tarekat ini, hendaklah mengucap selawat pada mula-mula lima kali, dan dihadiah akan dia kepada roh Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, dan kepada roh segala guru-guru yang empunya sil(s)ilah yang sampai isnad-nya kepada Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, dan hendaklah menyampang diri dengan wasitah mereka itu kepada Tuhan ‘Azza wa jalla (RBTNA:3).
Pada bagian akhir uraian, disarankan kepada salik untuk menelaah kitab-kitab
lain apabila menginginkan yang lebih dari yang telah dibaca. Di samping itu,
disarankan pula untuk mengambil guru (syekh) agar tidak sesat di kemudian hari.
3. Pusat Penyajian Teks RBTNA
Pusat penyajian pada teks RBTNA menggunakan metode orang pertama (Ich-
Erchählung). Teks dituturkan sendiri oleh diri tokoh atau penulis teks. Hal tersebut
dapat dilihat pada kutipan di berikut ini.
makasanya minta kepada kami berulang-ulang beberapa kali oleh setengah kekasihan aku bahwa aku pindah kitab imam yang alim lagi wali Allah yang ahli 'sh-Shūfī, dan yaitu Syekh Abdallah Dihlawi nama negerinya. Wa kāna fī kitābi 'l-mazkūri mubayyinan li tharīqati 'l-naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah. Dan adalah dalam // kitab yang tersebut menyata(kan) bagi Tarekat Naqsyabandiyyah yang tinggi. Famtasaltu wa‘atamadtu illa 'l-Lāhi ta‘ala rājiyan li 's-Sawābi mina 'l-Lāhi 'l-karīmi yaumi 'l ma’āb. Maka aku ikut dan aku pegang diri kepada Allah taala hal keadaan aku harap bagi pahala daripada Allah taala yang amat murah pada hari kiamat (RBTNA:1-2).
Kata aku dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa pengarang mewakili dirinya
sendiri sebagai penulis. Walaupun demikian konsep-konsep pemikiran yang
tertuang dalam teks RBTNA merupakan hasil pembacaan dari kitab karangan
Syekh Abdallah Dihlawi.
4. Gaya Bahasa Teks RBTNA
a. Kosa kata
Sastra Kitab sebagai ragam sastra Islam mempunyai gaya bahasa khusus yang
terlihat dalam istilah-istilah khusus dari lingkungan agama Islam. Istilah-istilah
khusus tersebut berupa kosa kata Arab dan ungkapan-ungkapan khusus dalam
kalimat-kalimat bahasa Arab. Pemungutaan istilah dan kosa kata Arab tersebut
disesuaikan dengan pokok isi uraian sastra kitab tersebut. Apabila ajaran tasawuf
yang dikemukakan, maka kata-kata dan istilahya pun diambil dari lapangan
tasawuf. Di dalam teks RBTNA terdapat kosa kata Arab yang merupakan istilah
tasawuf dan kosa kata istilah Arab biasa yang bukan istilah tasawuf. Adapun
rinciannya adalah sebagai berikut.
Tabel 8 Kosa Kata Arab Istilah Tasawuf dalam Teks RBTNA
NO KOSA KATA NO KOSA KATA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
doa
isbat
ismu zat
ismu 'l-mubarak
ikhlas
kamil-mukamil
khafi
lathīfah qalbu
lathīfah akhfā
lathīfah khāfī
lathīfah Nafs
lathīfatu 'r-Ruh
lathīfah Sir
lisānu 'l-khayāl
madrak
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
maqām
murāqabah
mursyid
musyahadah
nafi
sālik
syekh
talkin
tarekat
tashawwur
tawajuh
wājibbu 'l-wujūd
wasitah
zikir
Tabel 9 Kosa Kata Arab Biasa bukan Istilah Tasawuf dalam Teks RBTNA
NO KOSA KATA NO KOSA KATA
1
2
3
4
5
6
7
jahar
jamiyah
kadar
kaifiyat
hazhah
khafaqān
lafaz
8
9
10
11
12
13
14
mafhum
mualif
mustaqal
mutalaah
sahih
tayibbah
wakaf
b. Ungkapan
Ungkapan merupakan ucapan-ucapan khusus yang sudah tetap atau sudah
menjadi formula khusus. Dalam teks RBTNA dipergunakan ungkapan-ungkapan
khusus dalam bahasa Arab sebagai berikut.
(Nabi Muhammad) Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam (RBTNA: 1, 2, 3), yang
berarti "Semoga selawat dan salam tetap kepadanya". Ungkapan tersebut
diucapkan sesudah menyebut Nabi Muhammad.
(Allah) Taala (RBTNA:3,4), yang berarti "Allah Mahatinggi". Ungkapan
tersebut diucapkan sesudah menyebut Allah.
(Allah) ‘Azza wa jalla RBTNA:3), yang berarti "Allah Yang Mahaperkasa
lagi Mahamulia". Ungkapan tersebut diucapakan setelah menyebut nama Allah.
(Allah) Subhānahu wa ta‘āla (RBTNA:4,7,8), yang berarti " Maha suci Allah
dan Mahatinggi". Ungkapan ini diucapkan sesudah menyebut Allah.
(Syekh Tajuddin Al Hindi) Al-‘ārifi bi 'l-Lāhi qaddasa 'l-Lāhu sirrah,
(RBTNA:8), yang berarti "Semoga Allah mensucikan rahasianya". Ungkapan
tersebut diucapkan bagi orang-orang yang menghasilkan sesuatu (fatwa dan
sebagainya) dan diakui keilmuannya.
Yā ikhwānī (RBTNA:3), yang berarti "Hai saudaraku". Ungkapan tersebut
diucapkan sebagai sapaan kepada sesama orang Islam.
Wa 'l-Lāhu ‘alam (RBTNA:8), yang berarti "Hanya Allah yang tahu".
Ungkapan tersebut diucapkan pada bagian akhir selesainya suatu pokok uraian
dari seorang ulama.
c. Sintaksis
Teks RBTNA merupakan teks yang termasuk dalam kategori Sastra Kitab,
oleh karena itu banyak mendapat pengaruh sintaksis Arab. Pengaruh sintaksis
Arab pada teks RBTNA dapat dilihat dalam pemakaian kata penghubung dan
yang dipakai pada awal kalimat. Dalam bahasa Melayu kata dan tidak pernah
dipakai untuk membuka kalimat. Pemakaian kata wa (و ) secara etimologis
berarti dan yang dalam struktur sintaksis bahasa Arab dapat dipakai di awal
kalimat. Pemakaian kata dan pada teks RBTNA tidak berfungsi sebagai kata
penghubung, melainkan sebagai kata tumpuan. Hal ini dapat dilihat dalam
kutipan teks RBTNA berikut ini.
Wa ja‘altu hāza 'l-kitāba ka 'l-kitābi mustaqal fī lisāni 'l-Jāwī. Dan aku akan (menjadikan) kitab ini seperti kitab yang mustaqal pada bahasa Jawi. Wa sammaituhu risālata 'l-badī‘iyyah fī tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘āliyah. Dan aku namai akan dia Risālatu 'l-Badī‘iyyah fī Tharīqati 'n-Naqsyabandiyyati 'l-‘Āliyah artinya risalah yang indah pada menyatakan Tarekat Naqsyabandi // yang tinggi. Wa 'l-Lāhu yas’alu an yanfa‘a bihi kamā nafa‘a bi ashli 'l-
hazā 'l-kitābi wa an yaj‘alahu khālishan li wajhi 'l-karīmi 'l-wahhābi wa sababan li 'l-fawzi yauma 'l-ma’ab. Dan kepada Allah Taala aku pohon akan bahwa memberi manfaat ia seperti barang yang telah memberi manfaat bagi pohon kitab ini dan bahwa menjadi oleh Allah Taala akan dia tulus ikhlas bagi Zat yang mulia lagi yang baik pemberian dan jalan bagi kemenangan pada hari kiamat (RBTNA:2-3).
Adapun selain penggunaan kata wa (و ) sintaksis dalam teks RBTNA juga
mempergunakan kata lī ( ل ى ). Kata lī ( ل ى ) sebagai penunjuk kepunyaaan adalah
pinjaman dari bahasa Arab yang menunjukkan arti "milik". Misalnya, "Al-hamdu
li 'l-Lāhi rabbi 'l-‘ālamīn. Artinya segala puji-pujian tertentu bagi Allah Taala
Tuhan seru alam" (RBTNA:1)
Disamping pemakaian kata wa (و ) dan lī ( ل ى ), teks RBTNA juga memakai
pemakaian kata maka (ف ) dalam bahasa Arab. Kata maka (ف ) secara etimologis
berarti maka, dan dalam bahasa Arab dapat dipakai diawal kalimat. Kata maka
dalam bahasa Melayu dapat digunakan sebagai kata tumpuan yang berada diawal
kalimat. Misalnya, "Famtasaltu wa‘atamadtu ilā 'l-Lāhi ta‘āla rājiyan li 's-
Sawābi mina 'l-Lāhi 'l-karīmi yaumi 'l ma’ab. Maka aku ikut dan aku pegang diri
kepada Allah Taala hal keadaan aku harap bagi pahala daripada Allah Taala yang
amat murah pada hari kiamat" (RBTNA:2).
d. Sarana Retorika
1) Gaya penguraian
Gaya penguraian pada teks RBTNA menggunakan gaya yang menguraikan
suatu gagasan secara terperinci serta urut. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipan di bawah ini.
Ketahui olehmu hai sālik, barang siapa masuk tarekat ini, hendaklah mengucap selawat pada mula-mula lima kali, dan dihadiah akan dia kepada roh Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, dan kepada roh segala guru-guru yang empunya sil(s)ilah yang sampai isnad-nya kepada Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, dan hendaklah menyampang diri dengan wasitah mereka itu kepada Tuhan ‘Azza wa jalla. Setelah itu, maka mengucap istigfar dua puluh lima kali; yaitu, "Astaghfiru 'l-Lāha rabbī min kulli zanbin wa atūbu ilaih"; // kemudian maka memaca Fatihah sekali; kemudian maka memaca surat Al-Ikhlas tiga kali (RBTNA:3-4).
Uraian diatas menjelaskan secara jelas dan terperinci serta urut mengenai syarat
bagi salik yang akan mengamalkan amalan Tarekat Naqsyabandiyah yang
dimulai dengan mengucap selawat sebanyak lima kali; mengucap istigfar;
yaitu,: "Astaghfiru 'l-Lāha rabbī min kulli zanbin wa atūbu ilaih" sebanyak dua
puluh lima kali; membaca surat Al Fatihah sekali; membaca surat Al Ikhlas tiga
kali.
Gaya penguraian pada teks RBTNA banyak mempergunakan sarana retorika
enumerasi (penjumlahan) yang ditandai dengan polysindeton. Polysindeton
merupakan suatu gaya dengan cara beberapa kata, frase, atau klausa yang
berurutan dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan kata penghubung
(Gorys Keraf, 1990:131). Misalnya:
Setelah itu maka mengucap istigfar dua puluh lima kali; yaitu, "Astaghfiru 'l-Lāha rabbī min kulli zanbin wa atūbu ilaih"; // kemudian maka memaca Fatihah sekali; kemudian maka memaca surat Al Ikhlas tiga kali (RBTNA:3-4). Kemudian maka dimulai dengan lisānu 'l-khayāl daripada pusat kita kalimat, "Lā", serta dipanjang akan dia hingga sampai kepada hotak kita; kemudian maka dihela daripadanya serta didatang kalimat, "Ilāha" kepada bahu kanan kita, kemudian maka dimulai daripadanya kalimah "Illā 'l-Lāh (RBTNA:7).
Kata penghubung kemudian maka pada kutipan di atas menunjuk pada gaya
penguraian yang memaparkankan gagasan secara urut dan terperinci.
2) Penguatan Sarana retorika pada teks RBTNA yang menyangatkan dan
menegaskan atau menguatkan pernyataan disesuaikan dengan penggunaan
kata dan lagi.
kemudian maka dimulai daripadanya kalimah "Illā 'l-Lāh", serta dipalunya ke dalam hati sanubari dan lagi hendaklah dimula makna kalimat itu yaitu, "Lā maqshūda illā 'l-Lāh" ….Dan jika engkau kehendaki lebih daripada yang tersebut itu, maka lazim olehmu akan sendirimu mutalaah kepada kitab yang panjang-panjang pada alam ini, dan lagi hendaklah engkau ambil daripada syekh yang mursyid, dan tiada hasil ilmu melainkan dengan syekh jua karena bahwasannya barang siapa tiada syekh yakni guru, maka yaitu syetan syekhnya wa 'l-Lāhu a‘lamu bi 'sh-Shawāb (RBTNA:7-8).
Kata dan lagi pada kutipan di atas menunjukkan penguatan terhadap
pernyataan sebelumnya.
3) Hiperbola
Hiperbola merupakan sarana retorika yang melebih-lebihkan sesuatu
hal atau keadaan, yang berfungsi sebagai penyangatan atau penegasan suatu
pernyataan. Dalam teks RBTNA terdapat hiperbola sebagaiman kutipan di
bawah ini.
Dan jika engkau kehendaki lebih daripada yang tersebut itu, maka lazim olehmu akan sendirimu mutalaah kepada kitab yang panjang-panjang pada alam ini, dan lagi hendaklah engkau ambil daripada syekh yang mursyid, dan tiada hasil ilmu melainkan dengan syekh jua karena bahwasannya barang siapa tiada syekh yakni guru, maka yaitu setan syekhnya wa 'l-Lāhu a‘lamu bi 'sh-Shawāb (RBTNA:10).
Kalimat di atas mengandung hiperbola yang melebih-lebihkan sesatu. Di
dalam kalimat "barang siapa tiada syekh yakni guru, maka yaitu setan
syekhnya" menyatakan maksud, bahwa orang yang tidak mempunyai guru,
maka setan adalah gurunya.
4) Gaya retorika
Gaya retorika yang digunakan pada teks RBTNA menggunakan gaya
seorang ahli pidato yang sedang memberi khotbah kepada pendengar (salik),
yaitu memberikan penjelasan tentang suatu persoalan dengan gaya
berkhotbah. Seperti misalnya tampak pada kutipan berikut.
Ketahui olehmu hai sālik, kata ulama // ahli 'sh shūfī, bahwasannya jalan sampai kepada Allah Taala itu tiga perkara, pertama berzikir dengan syaratnya seperti yang telah tersebut; kedua murāqabah, yaitu tawajuh kepada Allah Subhanahu wa ta‘āla dan tawajuh kepada hati dan hilang segala khawatir daripadanya; ketiga berlazim bersahabat seorang, dan adalah bersahabatnya itu memberi balas kepada kaifiat dan jamiyah, dan memelihara akan dia dengan [dish]ditashawwur akan rupanya, serta dipelihara akan dia pada dari aku yakni pendapat dalam hati inilah hasil mafhum kitab karangan Syekh Abdallah Ad-Dihlawi yang tempat hamba nukil wa 'l-Lāhu ‘alam (RBTNA:7-8).
Pada bagian isi teks, untuk memulai suatu uraian tentang suatu pokok
bahasan selalu diawali dengan kalimat "Ketahui olehmu hai salik". Kalimat
"Ketahui olehmu hai salik" menandakan bahwa pengarang memposisikan diri
sebagai orang yang akan memberikan penjelasan kepada salik.
5) Penyimpulan
Sarana retorika ini berupa gaya penyimpulan suatu uraian dengan kata
maka…..maka…., yaitu penyimpulan suatu uraian sebelumnya. Hal ini dapat
dicontohkan pada kutipan dibawah ini.
Adapun jika berzikir dengan jahar maka mengucap dengan lidah serta sahih lafaz-nya, dan serta dimula hazhah makna zikir dan serta tawajuh kepada hati, dan hati itu tawajuh kepada Zat Subhānahu wa ta‘āla, dan apabila nyata bagi orang yang berzikir itu kaifiat dan jamiyah, maka hendaklah memelihara akan dia, dan apabila tiada baginya kaifiat dan jamiyah, maka hendaklah berulang-ulang zikir hingga nyata keduanya (RBTNA:8). Dan jika engkau kehendaki lebih daripada yang tersebut itu, maka lazim olehmu akan sendirimu mutalaah kepada kitab yang panjang-panjang pada alam ini, dan lagi hendaklah engkau ambil daripada syekh yang mursyid, dan tiada hasil ilmu melainkan dengan syekh jua karena bahwasannya barang siapa tiada syekh yakni guru, maka yaitu syetan syekhnya wa 'l-Lāhu a‘lamu bi 'sh-Shawāb (RBTNA:10).
Pada kutipan diatas, kata maka menandai suatu kesimpulan dari pernyataan
sebelumnya.
6) Bahasa kiasan
Pada teks RBTNA, terdapat bahasa kiasan yang berupa perbandingan atau
perumpamaan (simile), yaitu membandingkan suatu hal dengan kata
pembanding: seperti, misalnya, umpama, laksana atau kata-kata semacam itu.
Berikut ini adalah kutipannya.
Dan adalah ada di dalam lathīfah itu tempatnya di bawah susu kiri kadar dua jari, hal keadaannya cenderung kepada pihak kiri sedikit kadar dua jari jua, hendaklah dimula-mula hazhah tatkala itu akan mafhum ismu zat, yaitu Allah, dan adalah mafhumnya Zat Allah Subhānahu wa ta‘āla dengan tiada misal seperti firman Allah Taala, "Laisa kamislihī syaiun", artinya tiada seperti baginya suatu jua pun (RBTNA:4).
B. Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat adalah jalan atau sistem untuk menuju keridhaan Allah semata-mata.
Adapun ikhtiar menempuh jalan tersebut bernama suluk, sedangkan orangnya disebut
salik (Barmawie Umarie, 1966:97). Pelaksanaan teknis yang dilaksanakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah harus dengan bimbingan seorang mursyid. Mursyid
menunjuk kepada hubungan penurunan ilmu tarekat dari satu guru kepada guru
tarekat yang lainnya. Berbeda tarekat berarti berbeda orang yang melaksanakannya,
sehingga berbeda pula wirid yang dipakai mereka.
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu nama tarekat yang besar di
Indonesia. Nama Naqsyabandiyah diambil dari pendiri tarekat ini, yaitu Syekh
Bahauddin Naqsyabandi, seorang penduduk asli Bukhara. Tarekat ini berdiri pertama
kali di Asia Tengah dan meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Pada abad
ke-10 H/16M, Tarekat Naqsyabandiyah sampai di India yang dipimpin oleh Ahmad
Sirhindi (972-1033H/1564-1624M) yang dikenal sebagai Mujaddid-i Alf-i Tsani
(Pembaharu Milenium Kedua). Pusat Naqsyabandiyah Sirhind (di Punjab)
mengalahkan pamor pusat Naqsyabandiyah di Asia Tengah. Pada permulaan abad
ke-13H/19M, salah seorang Syekh Naqsyabandiyah yang berasal dari Delhi yang
bernama Syekh Abdallah Dihlawi (di India lebih di kenal dengan nama sufinya, Syah
Ghulam Ali) memiliki murid yang tersebar di berbagai negara seperti Roma, Suriah,
Bagdad, Mesir, Cina, Ethiophia (Nizami, 2003:219-220). Khalifah Mujaddidi India
dari Abdallah Dihlawi (w. 1240) inilah yang dalam sejarahnya bertanggungjawab
atas pengaruh Tarekat Naqsyabandiyah yang dicapai di Mekah dan Madinah. Syekh
Abdallah ini merupakan khalifah dari kepala dari Mirza Mazhar Jan-i Janan
(Bruinessen, 1996:65).
Teks RBTNA merupakan salah satu teks yang berisi tentang Tarekat
Naqsyabandiyah yang mendapat pengaruh dari guru Naqsyabandiyah yang bernama
Syekh Abdallah Dihlawi. Hal tersebut dinyatakan dalam teks melalui pernyataan
yang berbunyi:
Adapun kemudian dari itu maka tatkala adalah hijratu 'n-Nabiyyi shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam dua ratus lima puluh dulapan tahun kemudian daripada seribu tahun, makasanya minta kepada kami berulang-ulang beberapa kali oleh setengah kekasihan aku bahwa aku pindah kitab imam yang alim lagi wali Allah yang ahli 'sh-Shūfī, dan yaitu Syekh Abdallah Dihlawi nama negerinya (RBTNA:1).
Teks RBTNA disalin oleh seorang dari Indonesia (Aceh) bernama haji Abbas Asyi
yang tinggal di Mekah pada tahun 1258H/1842M. Adapun ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah yang terdapat dalam teks RBTNA ini adalah sebagai berikut.
1. Zikir Tarekat Naqsyabandiyah
Dalam teks RBTNA, pertama-tama dipaparkan urutan kegiatan yang harus
dilaksanakan seorang salik pengikut Tarekat Naqsyabandiyah sebelum melaksanakan
amalan zikir Naqsyabandiyah. Adapun urutannya diawali dengan mengucap selawat
sebanyak lima kali. Selawat tersebut akan dihadiahkan kepada roh Nabi Muhammad
Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam dan roh seluruh guru yang sampai isnad-nya kepada
Nabi Muhammad Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, dari beliau akan sampai kepada
Allah. Apabila selawat sebanyak lima kali sudah selesai dilakukan, maka dilanjutkan
dengan mengucap istigfar yaitu, "Astaghfiru 'l-Lāha rabbī min kulli zanbin wa atūbu
ilaih" (RBTNA:3). Tahap selanjutnya yaitu membaca Fatihah sekali kemudian
membaca surat Al Ikhlas sebanyak tiga kali. Langkah selanjutnya adalah
menghadirkan rupa Syekh (guru) tempat diambilnya pelajaran (ajaran) serta
memohon limpahan karunia dan ampunan dari Allah taala.
Ketahui olehmu hai sālik, barang siapa masuk tarekat ini, hendaklah mengucap selawat pada mula-mula lima kali, dan dihadiah akan dia
kepada roh Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, dan kepada roh segala guru-guru yang empunya sil(s)ilah yang sampai isnad-nya kepada Nabi Shalla 'l-Lāhu ‘alaihi wa sallam, dan hendaklah menyampang diri dengan wasitah mereka itu kepada Tuhan ‘Azza wa jalla. Setelah itu, maka mengucap istigfar dua puluh lima kali; yaitu, "Astaghfiru 'l-Lāha rabbī min kulli zanbin wa atūbu ilaih"; // kemudian maka memaca Fatihah sekali; kemudian maka memaca surat Al Ikhlas tiga kali. Setelah sudah yang demikian itu, maka hendaklah dihadir akan rupa syekh yang tempat diambil talkin daripadanya diseru di hadapannya dengan hati serta minta tolong daripadanya dan minta daripada Allah Taala akan faidhu 'l-mahabbati wa 'l-maghfirah yakni limpah kekasihan dan ampu(n)an (RBTNA:3).
Zikir artinya mengingat kepada Tuhan yang dalam tarekat mengingat kepada
Tuhan tersebut dibantu dengan ucapan untuk menyebut nama Allah atau sifatnya,
atau kata-kata untuk senantiasa mengingatkan kepada Tuhan (Abubakar Aceh,
1990:278). Amalan pokok paling mendasar bagi penganut Tarekat
Naqsyabandiyah adalah zikrullah (mengingat Allah). Adapun zikir dalam Tarekat
Naqsyabandiyah itu terbagi menjadi dua, yaitu zikir khafi (hati) dan zikir lisan
(lidah). Zikir dengan lisan ialah menyebut Allah dengan berhuruf dan bersuara. Zikir
dengan hati (khafi) ialah mengingat atau menyebut Allah dalam hati, tidak berhuruf
dan tidak bersuara (Ahmad Fuad Said, 2005:15-17).
Tarekat Naqsyabandiyah memilih zikir dengan khafi (hati) karena peranan hati
sangat menentukan dalam kehidupan. Hati merupakan tempat iman dan sumber
pancaran cahaya yang penuh dengan rahasia. Jika hati baik maka niscaya anggota
tubuh yang lain baik pula, namun jika hati buruk maka buruklah anggota tubuh yang
lainnya.
Pelaksanaan zikir dalam Tarekat Naqsyabandiyah adalah dengan zikir qalbi
(khafi). Adapun zikir qalbi terbagi menjadi dua, yaitu zikir ismu zat dan zikir nafi
isbat. Zikir ismu zat yaitu zikir dengan menyebut nama Zat Allah yang hakiki, yaitu
Allāh Allāh. Zikir nafi isbat adalah zikir dengan mengucap Lā ilāha illā 'l-Lāh
sembari memusatkan perhatian kepada Allah dengan pengaturan nafas.
a. Zikir Ismu Zat
Zikir ismu zat yaitu zikir dengan menyebut nama Zat Allah yang paling tinggi
diantara asma-asma Allah yaitu Allāh Allāh. Praktek zikir dalam Tarekat
Naqsyabandiyah mengenal adanya tingkatan zikir yang lebih tinggi diantaranya
terdapat pelajaran mengenai zikir lathaif. Zikir lathaif dilaksanakan dengan
menyebut nama zat Allah yang paling tinggi yaitu Allāh Allāh. Zikir lathaif
berhikmah menghancurkan sifat mazmumah yang ada pada diri manusia dan
sekaligus menjadi sarang iblis. Ketujuh tempat tersebut adalah:
1) Lathīfah qalbu
Lathīfah qalbu merupakan sentral dan rohaniah manusia dan merupakan
induk dari latifah-latifah lainnya. Lathīfah qalbu terletak di bawah susu kiri
selebar dua jari, cenderung kepada pihak kiri sedikit, kira-kira dua jari yang
merupakan hati sanubari manusia. Melalui lathīfah ini menjelmalah kedekatan
seorang salik kepada Allah Subhānahu wa ta‘āla, bahwa tidak ada yang serupa
dengan Allah, sebagaimana firman Allah swt QS Asy Syura:11.
)11:لشورى1(لھ شیىءكمثلیس …….
"…….Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS Asy Syura:11).
Di dalam teks RBTNA hal tersebut dinyatakan dalam kutipan berikut ini, yaitu:
Setelah itu maka dimulai bagi lathīfah qalbu, serta menunduk kepala sedikit kepadanya, dan makna lathīfah itu tempat nur, dan ada di dalam lathīfah itu tempatnya di bawah susu kiri kadar dua jari, hal keadaannya cenderung kepada pihak kiri sedikit kadar dua jari jua, hendaklah dimula-mula hazhah tatkala itu akan mafhum ismu zat, yaitu Allah, dan adalah mafhumnya Zat Allah Subhānahu wa ta‘āla dengan tiada misal seperti firman Allah taala, "Laisa kamislihī syaiun", artinya tiada seperti baginya suatu jua pun (RBTNA:4)
Kedekatan seorang salik kepada Allah adalah dengan menghadapkan diri
dan membulatkan hati hanya kepada Allah semata. Dengan demikian,
penglihatan dan pendengaran batinlah yang senantiasa terpancar dari lubuk hati,
sehingga yang terdengar dan terlihat adalah Allah. Oleh karena itu, ilham dari
Allah (yang merupakan Nur Ilahi) terbit dari hati orang yang sedang berzikir,
sehingga hatinya selalu hadir bersama Allah (Djamaan Nur, 2004:264–265).
Lafal zikir pada lathifah qalbu adalah "Allāh Allāh", dengan keadaan lidah
bertemu dengan langit-langit. Hal tersebut terdapat dalam kutipan teks RBTNA
yang berbunyi:
Dan hendaklah tatkala itu dipelihara segala khawatir dan daripada berpikir-pikir daripada barang yang telah lalu dan yang lagi akan datang, dan lagi hendaklah tatkala itu tawajuh kepada hati, dan hati tawajuh kepada // mafhum zat yang wājibbu 'l-wujūd, dan mengata tatkala itu dengan lisānu 'l-khayāl, "Allāh Allāh" hal keadaan bertemu lida(h)nya dengan langit-langit (RBTNA:4-5).
2) Lathīfah Ruh
Lathīfah Ruh terletak di bawah susu kanan kira-kira dua jari ke arah kanan,
berhubungan dengan paru-paru dengan lafaz zikir Allāh Allāh (Djamaan Nur,
2004:265). Hal ini dinyatakan di dalam teks RBTNA yang berbunyi:
Dan apabila zahir padanya berkerap-kerap zikir dalam hati maka hendaklah berpindah kepada lathifatu 'r-Ruh. Dan adalah tempatnya pada bawah susu kanan kadar dua jari maka berhadap kepadanya pula dan menyebut pula Allāh Allāh dengan lisanu 'l-khayal jua"(RBTNA:5).
3) Lathīfah Sir
Lathīfah Sir terletak berbetulan susu kiri kadar dua jari, cenderung kepada
tengah dada kita dengan lafaz zikir Allāh Allāh. Di dalam teks RBTNA hal
tersebut dinyatakan dengan kutipan yang berbunyi, "Kemudian dari itu maka
berpindah kepada lathīfah Sir. Dan adalah tempatnya berbetulan susu kiri kadar
dua jari hal keadaannya cenderung kepada tengah dada kita maka disebut di sana
Allāh Allāh jua" (RBTNA:5).
4) Lathīfah khafī
Lathīfah khafī terletak berbetulan susu kanan kadar dua jari, cenderung
tepat dada, dengan lafal zikir Allāh Allāh. Menurut teks RBTNA keterangan
tentang lathīfah khafī dinyatakan dalam kutipan berikut yang berbunyi,
"Kemudian dari padanya lalu berpindah ia kepada lathīfah khafī, dan berhadap
kepadanya pula. Dan adalah tempatnya berbetulan susu kanan kadar dua jari hal
keadaannya cenderung ia kepada tepat dada jua. Maka disebut di sana Allāh
Allāh jua seperti dahulunya" (RBTNA:5)
5) Lathīfah akhfa
Lathīfah akhfa bertempat di tengah dada dengan lafaz zikir Allāh Allāh.
Keterangan mengenai lathīfah akhfa dijelaskan dalam teks RBTNA, "Kemudian
maka berpindah kepada lathīfah akhfa. Dan adalah tempatnya pada tengah dada
kita hendaklah berhadap kepadanya serta disebut Allāh Allāh seperti yang
tersebut dahulu jua" (RBTNA:5)
6) Lathīfah Nafs
Lathīfah Nafs terletak pada dahi, dengan lafaz zikir Allāh Allāh,
sebagaimana kutipan dalam teks RBTNA, "Setelah itu maka berpindah berhadap
kepada lathīfah Nafs dan adalah tempatnya pada dahi kita maka disebut // Allāh
Allāh pula di sana." (RBTNA:5).
7) Lathīfah kullu 'l-jasad
Lathīfah terakhir yang disebutkan di dalam teks RBTNA adalah Lathīfah
kullu 'l-jasad, yaitu seluruh anggota badan. Pada lathīfah ini, lafal zikir yang
harus diucapkan adalah lafal zikir Allāh Allāh dengan lisan khayal, sebagaimana
kutipan berikut ini, "Setelah itu maka berhadap kepada lathīfah kullu 'l-jasad
yaitu sekalian tubuhnya, dan disebut disana pula Allāh Allāh dengan lisānu 'l-
khayāl jua hingga zahir bergerak-gerak segala lathīfah yang tersebut itu"
(RBTNA:5).
Zikir lathaif ini merupakan pokok dan mendasari zikir-zikir yang lain. Zikir lathaif
inilah yang merupakan senjata ampuh untuk membasmi sifat buruk pada ketujuh
tempat-tempat yang tersebut di atas. Dengan zikir ini, salik memusatkan kesadaran
(dan membayangkan nama Allah ) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh.
b. Zikir Nafi Isbat
Zikir nafi isbat artinya, 1) menafikan segala yang terupa yang dapat
dibesarkan, yaitu dengan kalimat, "Lā ilāha" yang berarti "Tiada Tuhan", 2)
mengisbatkan Allah yang menjadi sesembahan, yaitu dengan kalimat, "Illā 'l-Lāh"
yang berarti "Melainkan Allah". Jadi, "Lā ilāha illā 'l-Lāh" berarti tidak ada Tuhan;
melainkan Allah (Barmawie Umarie, 1966:24)
Zikir nafi isbat terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas,
mengucap kalimat, "Lā ilāha illā 'l-Lāh", yang dibayangkan dan digambarkan
seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Kata "Lā" digambar dari daerah
pusar terus ke atas sampai ke ubun-ubun. Kata "Ilāha" turun ke kanan dan berhenti
di ujung bahu kanan. Kata "Illā" dimulai dan turun melewati bidang dada, sampai
kejantung, dan kearah jantung inilah kata terakhir "Allāh" dihujam sekuat tenaga
(Bruinessen, 1996:80). Pada waktu kalimat, "Lā ilāha illa 'l-Lāh" diucapkan,
hendaklah orang yang berzikir menghayati makna, bahwa tiada Tuhan yang berhak
disembah, tiada Tuhan yang berhak dituju dan tiada Tuhan yang berhak dicintai,
kecuali Allah swt (Djamaan Nur, 2004:269).
Teks RBTNA juga menjelaskan hal yang serupa mengenai zikir nafi isbat.
Pada zikir ini keadaan lidah bertemu dengan langit-langit, kemudian memulai zikir
dengan kalimat "Lā" dari pusar ditarik lurus ke atas sampai ke otak kita, kalimat
"Ilāha" ditarik dari otak ke bahu kanan, kalimat "Illā 'l-Lāh" dari bahu kanan ke
arah hati sanubari, kemudian dari hati sanubari dimaknai kalimat, "Lā maqshūdi
illa 'l-Lāhu" yang artinya tiada yang dimaksud melainkan Allah Taala.
Ketahui olehmu hai sālik, bahwasannya segala lathīfah yang tersebut dinamai akan dia lathīfah yang tawajuh. Adapun zikir yang kedua itu zikir nafi dan isbat, dan adalah tarekatnya bahwa bertemu lida(h) dengan langit-langit seperti yang dahulu; kemudian maka dimulai dengan lisānu 'l-khayāl daripada pusat kita kalimat, "Lā" serta dipanjang akan dia hingga sampai kepada hotak kita; kemudian maka dihela daripadanya serta didatang kalimat, "Ilāha" kepada bahu kanan kita; kemudian maka dimulai daripadanya kalimat, "Illā 'l-Lāh", serta dipalunya ke dalam hati sanubari; dan lagi hendaklah dimula makna
kalimat itu yaitu, "Lā maqshūda illā 'l-Lāh", artinya tiada yang dimaksud melainkan Allah Taala yang wājibu 'l-wujūd dengan tiada misal (RBTNA:6).
Pelaksanaan zikir nafi isbat dilaksanakan sebanyak tiga atau lima kali zikir
dengan menahan nafas, sekuasanya bagi orang yang berzikir. Sesudah berzikir
beberapa kali dengan sekuasanya beberapa kali, kemudian dilanjutkan dengan
mengucap, "Muhammadu 'r-Rasūlu 'l-Lāh". Apabila zikir yang demikian tadi
sudah dilaksanakan beberapa kali, atau sekuasa bagi orang yang berzikir baik
dengan zikir ismu zat ataupun zikir nafi isbat, kemudian dilanjutkan dengan
mengucap, "Ilāhī anta maqshūdī wa ridhāka mathlūbī a‘tinī mahabbaka wa
maghfiratak".
Dan apabila berzikir dengan nafi dan isbat, tatkala menahan nafas hendaklah melepas akan nafasnya dengan ke asal jua seperti tiga kali atau lima sekira-kira kuasa. Setelah berzikir beberapa kali, yakni // sekira-kira kuasa maka mengucap, "Muhammadu 'r-Rasūlu 'l-Lāh", dan jangan dipanjang menahan nafas yakni sekira-kira tiada zahir baginya kh.f.q.a.n., dan apabila sudah berzikir beberapa kali, yakni sekira-kira kuasa bersamaan berzikir dengan ismu zat atau dengan yakni nafi dan isbat, maka mengata dengan lidah khayāl, "Ilāhī anta maqshūdī wa ridhāka mathlūbī ā‘tinī mahabbaka wa maghfiratak" (RBTNA:7).
Zikir khafi merupakan zikir yang dikerjakan dengan hati (sir). Zikir lathaif
(ismu zat) dan zikir nafi isbat termasuk ke dalam zikir khafi oleh karena itu
pelaksanaanya harus dilaksanakan dengan sir (tidak bersuara), sedangkan jika akan
melaksanakan zikir dengan jahar, maka lafal zikir harus benar dan jelas. Apabila
zikir dengan jahar tersebut sesuai dengan kaifiat dan jamiyahnya, maka hendaklah
dipelihara zikirnya, namun jika sesuai dengan kaifiat dan jamiahnya hendaklah
zikir tersebut diulang-ulang hingga sesuai dengan kaifiat dan jamiyah. Hal tersebut
dijelaskan pada teks RBTNA yang berbunyi:
Adapun jika berzikir dengan jahar maka mengucap dengan lidah serta sahih lafaz-nya, dan serta dimula hazhah makna zikir dan serta tawajuh kepada hati, dan hati itu tawajuh kepada Zat Subhānahu wa ta‘āla. Dan apabila nyata bagi orang yang berzikir itu kaifiat dan jamiyah, maka hendaklah memelihara akan dia, dan apabila tiada baginya kaifiat dan jamiyah, maka hendaklah berulang-ulang zikir hingga nyata keduanya (RBTNA:7)
3. Ma`rifatullah
Bagi sufi, tiap jiwa yang bersih akan dapat mencapai ma`rifatullah. Salah
satu jalan untuk mencapai ma`rifatullah adalah dengan membersihkan diri
sebersih-bersihnya, serta menempuh tingkat-tingkat pendidikan sufi, yang
dinamakan maqamat (Abubakar Aceh, 1992:69-70).
Maqam adalah sebuah istilah dunia sufistk yang harus diperjuangkan dan
diwujudkan oleh seorang salik dengan melalui beberapa tingkatan. Pencapaian
tingkatan tersebut melalui pencarian yang tak mengenal lelah, beratnya syarat, dan
beban kewajiban yang harus dipenuhi. Seseorang tidak akan mencapai suatu
tingkatan dari tingkatan sebelumnya selama dia belum memenuhi ketentuan-
ketentuan, hukum-hukum, dan syarat-syarat maqam yang hendak dilangkahi atau
sedang ditingkatkannya (Al-Qusyairy, 2002:57-58).
Dalam teks RBTNA, untuk mencapai tingkat kebahagiaan dapatditempuh
melalui tiga perkara. Jalan untuk sampai kepada Allah Taala tersebut dikemukakan
oleh Syekh Abdallah Dihlawi melalui zikir, muraqabah, dan keharusan seorang
salik untuk bersahabat dengan orang yang menjadi guru dengan mentashawwur
rupanya dikala sedang beribadah. Guru akan memberi balasan terhadap kaifiat dan
jamiyah.
Jalan untuk menuju ma`rifatullah juga dijelaskan oleh Syekh Tajuddin
seorang guru Tarekat Naqsyabandiyah. Menurut Syekh Tajuddin jalan untuk
sampai kepada ma`rifatullah meliputi:
a. Zikir dengan kalimat tayibbah
Zikir yaitu suatu kegiatan ibadah yang dilakukan untuk selalu mengingat dan
meyakini kebesaran Allah. Syekh Nuruddin mengatakan bahwa kalimah tayib
mempunyai tiga arti, yaitu: 1) tiada Tuhan selain Allah, 2) tiada yang dikasihi
dan dikehendaki selain Allah, 3) tidak ada sesuatu (maujud) selain Allah (dalam
Ahmad Daudy, 1983:195).
Zikir dengan kalimat tayib dalam teks RBTNA adalah zikir dengan kalimat
"Lā ilāha illā 'l-Lāh muhammadu 'r-Rasūlu 'l-Lāh" yang diucapkan tiga kali atau
lebih dengan menahan nafas secara terus menerus. jika zikir tersebut usauim
dilaksanakan sebanyak dua puluh satu kali, sedangkan orang yang melaksanakan
zikir belum merasakan bekas zikirnya, maka zikir yang telah diamalkan tidak
akan dikabulkan permohonannya oleh Allah. Oleh karena itu, orang yang
mengamalkan zikir hendaklah mengulang zikirnya hingga terasa bekas zikirnya.
Adapun kaifiyat zikir itu jadikan lidah bertemu dengan langit-langit, bibir
bertemu dengan bibir, gigi bertemu dengan gigi, serta dengan menahan nafas.
Setelah itu, dilanjutkan memulai zikir dengan kalimat, "Lā" dari pusar ditarik
lurus ke atas hingga ke otak, kemudian menghela kalimat "Ilāha" yang ditarik
dari otak ke bahu kanan, selanjutnya menghela kalimat "Illa 'l-Lāh" dari bahu
kanan ke arah hati sanubari pada pihak kiri hingga hangatlah seluruh tubuh
orang yang menerjakan zikir. Selanjutnya menghela kalimat, "Muhammadu 'r-
Rasūlu 'l-Lāh" dari pihak kiri kepada pihak antara pihak kanan dan kiri, setelah
itu dilanjutkan dengan mengucap dalam hati kalimat, "Ilāhī anta maqshūdī wa
ridhāka mathlūbī".
b. Muraqabah dan tawajuh
Muraqabah menurut arti katanya adalah senantiasa untuk tetap memelihara
maksud, sedangkan makna istilahnya adalah keabadian memandang dengan hati
pada Allah yang diposisikan sebagai Zat yang selalu mengawasi manusia dalam
segala sikap dan hukumnya. Sikap batin ini timbul dengan membangkitkan
kepekaan rasa pada kesenantiasaan Allah melihat diri manusia dalam segala
gerak dan diamnya (Al-Qusyairy, 2002:268).
Muraqabah juga berarti menjaga atau merasa dirinya selalu diawasi sehingga
membentuk sikap yang selalu awas pada hukum-hukum Allah. Orang yang
selalu mengawasi dirinya terhadap apa-apa yang telah lampau, memperbaiki di
saat sekarang, berarti selalu berada di jalan yang benar, mengadakan kontak
yang baik dengan Allah swt sambil menjaga hati, sehingga orang akan
mengetahui bahwa ia dekat dengan Allah swt. Allah swt adalah Zat Maha
Pengawas dan Zat Mahadekat dengan hati manusia. Ini berarti Allah swt
mengetahui keadaan, melihat segala perbuatan dan mendengar ucapan manusia.
Hal ini sesuai dengan teks RBTNA, bahwa muraqabah yaitu tawajuh kepada
Allah Subhanahu wa ta‘āla, dan tawajuh kepada hati dan hilang segala khawatir
daripadanya (RBTNA:8).
Latihan mistik muraqabah hanya diajarkan kepada murid yang tingkatannya
lebih tinggi (kepada mereka yang telah menguasai zikir lathaif). Latihan ini
berupa pengendalian diri melalui teknik-teknik konsentrasi dan meditasi
(Bruinessen, 1996:82).
Tawajuh berarti menyatukan atau mengkonsentrasikan seluruh indra zahir
dan indra batin untuk munajat, berzikir kehadirat Allah swt. Berzikir kepada
Allah dengan mengosongkan rohaniah dari segala sesuatu, sehinggga yang ada
hanya Allah swt saja. Mentawajuhkan rohaniah kehadirat Zat Allah swt dengan
segala sifat kebesaran dan keagungan-Nya yang Mahasempurna seraya berzikir,
baik dengan zikir ismu zat ataupun zikir nafi isbat (Djamaan Nur,2004:277).
c. Bertambatnya salik dengan syekh (guru) untuk mencapai maqam musyahadah.
Syekh atau guru dalam tarekat mempunyai kedudukan yang penting dalam
tarekat, karena guru merupakan perantara dalam ibadah antara murid dengan
Tuhan. Untuk mencapai jalan kebahagian kapada Tuhan, maka salik harus
memilih dan mentaati guru. Pekerjaan memilih dan mentaati guru merupakan
hal yang terpenting dalam amalan Tarekat Naqsyabandiyah karena guru akan
membimbing salik dalam mencapai tujuan tersebut. Pekerjaan ini wajib bagi
salik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sebagaimana yang telah di
terangkan oleh Syekh Tajuddin Naqsyabandi, bahwa seorang murid yang tidak
mengambil seorang guru yang tetap, maka setanlah gurunya. Guru selalu hadir
pada waktu murid mengerjakan ibadah, mengerjakan zikir, dan bertolong-
tolongan satu sama lain dalam segala kebajikan (Abubakar Aceh, 1990:128).
Hal ini sesuai dengan informasi yang terdapat dalam teks RBTNA, "Dan tiada
hasil ilmu melainkan dengan syekh jua, karena bahwasannya barang siapa tiada
syekh yakni guru, maka yaitu setan syekhnya wa 'l-Lāhu a‘lamu bi 'sh-Shawāb
(RBTNA:10).
Bertambatnya seorang murid terhadap guru akan membawa murid untuk
sampai kepada maqam musyahadah. Maqam musyahadah merupakan tingkatan
bahwa seeorang seolah-olah dalam taraf berpandang-pandangan dengan Allah,
dimana seorang salik telah mendapat kasyaf yakni tiada hijab antara dia dengan
Allah (Djamaan Nur, 2004:282).
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan terhadap naskah RBTNA yang telah dipaparkan
dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut.
1. Naskah RBTNA merupakan naskah tunggal, sehingga metode yang paling
sesui untuk mengadakan suntingan teks adalah metode standar, yaitu
menerbitkan suntingan teks dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil
dan ketidakajegan, ejaannya disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku. Setelah dilakukan kritik terhadap teks RBTNA, maka ditemukan
beberapa kesalahan salin tulis antara lain: 5 buah lakuna, 3 buah adisi, 1 buah
ditografi, 5 buah substitusi, dan ketidakkonsistenan dalam penulisan kata
adalah.
2. Struktuk teks RBTNA dapat dilihat dari struktur penyajian, gaya penyajian,
pusat penyajian, dan gaya bahasa. Dilihat dari struktur penyajiannya, teks
RBTNA berstruktur sistematis terdiri dari pendahuluan, isi, penutup. Adapun
dilihat dari gaya penyajiannya, teks RBTNA menggunakan bentuk interlinier
dengan penggunaan kalimat bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Melayu. Di samping itu, pusat penyajian teks RBTNA menggunakan
metode orang pertama (Ich-Erzählung) yaitu teks yang dituturkan sendiri oleh
pengarang atau diri tokoh. Dari segi gaya bahasa teks RBTNA memeiliki 4
buah gaya bahasa yaitu: (1) kosa kata yang terdiri dari kosa kata Arab istilah
tasawuf 29 buah kata dan kosa kata Arab bukan istilah tasawuf sebanyak 14
buah; (2) ungkapan terdapat 7 buah kata-kata khusus; (3) sintaksis yang
terdapat dalam teks RBTNA adalah penggunaan kata dan, maka, bagi; (4)
sarana retorika terdiri dari gaya penguraian, penguatan, hiperbola, gaya
retorika, penyimpulan, dan bahasa kiasan.
3. Bardasarkan analisis isi terhadap teks RBTNA, dapat diketahui bahwa teks
RBTNA berisi tentang ajaran Tarekat Naqsyabandiyah yang berupa: (1) zikir
Tarekat Naqsyabandiyah yaitu zikir khafi (zikir lathaif dan zikir nafi isbat)
dan zikir dengan jahar atau lisan, (2) jalan untuk sampai kepada Allah Taala
(ma'rifatullah) yaitu zikir dengan kalimat tayibbah, muraqabah dan tawajuh,
bertambatnya salik dengan syekh (guru) untuk mencapai maqam
musyahadah, dan saran kepada salik agar memilih dan mentaati guru (syekh)
B. Saran
Penelitian ini baru menghadirkan suntingan teks, analisis struktur sastra kitab,
dan isi. Oleh karena itu, perlu adanya kajian dari berbagai disiplin ilmu lain seperti
sejarah, sosiologi, agama, interteks dan sebagainya sehingga akan terkuak rahasia
yang ada di dalam naskah ini (ML 479 F) khususnya. Diharapkan pula ada penelitian
terhadap naskah lainnya yang masih belum diteliti (ML 479 A, ML 479 B, ML 479
D, ML 479 H) karena masih banyak nilai-nilai budaya warisan leluhur yang belum
tergali.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar Aceh. 1990. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo: Ramadhani.
1992. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Solo: Ramadhani.
Achadiati Ikram, Tjiptaningrum F.Hassan, dan Dewaki Kramadibrata. 2002. Katalog Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Adit Rosadi dan Moh. Suhud. 1960. Pelajaran Membaca dan Menulis Huruf Arab Melayu. Bandung: Peladjar.
Ahmad Daudy. 1983. Allah dan Manusia: dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. Jakarta: Rajawali Press.
Ahmad Fuad Said. 1996. Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah. Jakarta: PT. Alhusna Zikra
.. 2005. "Thariqat Naqsyabandiyyah: Sejarah, Amalan, dan Dalil-dalilnya" makalah Seminar Nasional Tasawuf. 29 Januari 2005. Surakarta: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta.
Ahmad Warson Munawwir. 1984. Al-Munawwir Kamus Besar Arab-Indonesia.(Edisi Tahun 1997). Yogyakarta: Pustaka Progresif Pustaka Wahana Mengenal Diri dan Ilahi.
Al-Qusyairy, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin. 2002. Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian dan Ilmu Tasawuf (edisi terjemahan Ma`ruf Zariq dan Ali Abdul Hamid Balthayj). Jakarta: Pustaka Amani.
Amir Sutaarga, et. al. 1972. Katalogus Koleksi Naskah Museum Pusat. Jakarta: Proyek Inventaris dan Dokuman Kebudayan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Bani Sudardi. 2003a. Penggarapan Naskah. Surakarta: Badan Penerbit Sastra Indonesia.
. 2003b. Sastra Sufistik Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia. Surakarta: Tiga Serangkai.
Barmawie Umarie. 1966. Systematik Tasawwuf. Solo: AB. Sitti Syamsijah.
Behrend, TE dan Titik Pudjihastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara. Jilid 3A. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Behrend, TE (penyunting). 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara. Jilid 4. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Bruinessen, Martin van. 1996. Tarikat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologi. Bandung: Mizan.
Djamaan Nur. 2004. Tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah Pimpinan Prof. Dr. H. Saidi Kadirun Yahya. Medan: USU Press
Edi S Ekadjati dan Undang A Darsa. 1999. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 5A. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Edi S Ekadjati (Penyunting). 2000. Direktori Edisi Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Edwar Djamaris. 1977. "Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi" dalam Bahasa dan Sastra no. 1 th. III. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
. 1997. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jilid I. Jakarta: Erlangga.
. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jilid II. Jakarta: Erlangga.
Gorys Keraf. 1990. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia
Hamka. 1993. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas
Heijer, Johannes den. 1992. Pedoman Transliterasi Bahasa Arab. Jakarta: INIS
Howard, Joseph H. 1996. Malay Manuscripts a Bibliographical Guide. Kuala Lumpur: University of Malaya library.
Lubis, Nur A Fadhil. 2005. "Sejarah dan Perkembangan Tarekat di Indonesia" makalah Seminar Nasional Tasawuf. 29 Januari 2005. Surakarta: Sekolah Tinggi Agam Islam Negeri Surakarta.
Mahmud, Dato Paduka Haji. 2003. Kamus Bahasa Melayu Nusantara. Bandar Sri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka Brunai
Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif (edisi terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-Press.
Nizami, Khaliq Ahmad. "Tarekat Naqsyabandiyyah" dalam Sayyed Hossein Nasr (ed.). 2003. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi. Bandung: Mizan.
Romdon. 1995. Tasawwuf dan Ilmu Kebatinan. Yogyakarta: LESFI
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Schimmel, Annemarie. 2000. Dimensi Mistik dalam Islam (edisi terjemahan oleh Sapardi Djoko Damono, et. al.). Jakarta: Pustaka Firdaus.
Sholeh Dasuki. 1999. "Metode Penyuntingan Teks dalam Filologi" dalam Haluan
Sastra Budaya. Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.
Siti Baroroh Baried, et. al. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Siti Chamamah Soeratno, et. al. 1982. Memahami Karya-karya Nuruddin Arraniri. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Solihin, M dan Rosihan Anwar. 2002. Kamus Tasawuf. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sri Wulan Rujiati Mulyadi. 1994. Kodikologi Melayu. Jakarta: Universitas Indonesia.
Streef, Joan de Lijster dan Jan Just Witkam. 1998. Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts. Leiden: Legatum Warnerianum in Leiden University Library.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Balai Pusataka.
Van Ronkel. 1921. Malaische en Minangkabausche Hansshriften in de Leidsche Universiteis-Bibliotheek. Leiden: Boekhandel en Drukerij voorhen E. J. Brill
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Quran. 1971. Al Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia.