Post on 20-Feb-2021
13
BAB II
Resistensi Watmuri Diaspora Dari Perspektif Teori Gerakan Perlawanan
Teori yang dipakai sebagai pisau analisis pada penelitian ini yakni teori
gerakan perlawanan James Scott. James C. Scott lahir di Mount Holly-New Jersey
pada tahun 1936. Tahun 1976 ia Menerima gelar sarjana dari Williams College dan
gelar MA dan Ph.D dari Yale University. Kariernya meningkat menjadi seorang guru
besar ilmu politik dan mengajar di University of Yale. Penelitiannya menyangkut
ekonomi politik masyarakat agraris, teori hegemoni dan perlawanan dan politik petani
Asia Tenggara. Dua buku terkait perlawanan petani Asia Tenggara yang ia tulis yakni
The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia
yang diterbitkan tahun 1976 dan Perlawanan Kaum Tani tahun 1993. Temuannya
mengungkapkan bagaimana petani sebagai kaum subordinat menolak sistem
dominasi dari elit modal dan elit politik.1
Moral ekonomi yang terbentuk pada masyarakat petani di Asia Tenggara
yakni hubungan patron-klien. Patron secara etimologis berarti seseorang yang
memiliki kekuasaan (power) sedangkan klien berarti bawahan. Pola hubungan patron-
klien tentu menempatkan klien pada posisi lebih rendah dan patron pada kedudukan
lebih tinggi. Patron sebagai komunitas yang mempunyai kekuasaan diharapkan dapat
melindungi klien-kliennya jika sewaktu-waktu mengalami perubahan pasar yang
mengancam sosial ekonomi petani subsisten. Akan tetapi, harapan kaum tani
ternihilkan oleh sikap eksploitatif petani kaya yang mengambil keuntungan dari
1http://www.goodreads.com/author/show/11958.James_C_Scott
14
perubahan pasar yang dikuasai kapitalistik pascakolonial. Negara sebagai tempat
perlindungan turut berkonspirasi dengan petani kaya dengan menaikan pajak yang
makin tinggi sehingga tergoyahlah moral ekonomi petani. Penindasan dan
ketidakadilan yang dialami petani menyebabkan mereka berontak karena hubungan
patron-klien tidak lagi sebagai hubungan yang saling melindungi melainkan
pengambilan keuntungan.2
2.1. Resistensi dan Definisinya
Resistensi pada dasarnya menjelaskan terjadinya perlawanan oleh orang-orang
yang mengalami ketidakadilan.3 Perlawanan dapat berupa konflik, demonstrasi atau
penyampaian aspirasi melalui surat-menyurat pada pihak-pihak terkait untuk
menyuarakan keluhan yang mereka rasakan. Apapun bentuknya, resistensi adalah
pernyataan sikap yang diaplikasikan melalui tindakan untuk melawan segala bentuk
ketidakadilan.
Resistensi secara leksikal berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia adalah
penentangan atau perlawanan.4 Henry A Landsberger mengemukakan gerakan protes
merupakan reaksi kolektif melawan kedudukan rendah yang rentan terhadap
ketidakadilan baik yang berhubungan dengan status sosial, ekonomi maupun politik.5
Sedangkan menurut Peter Burke, suatu kelompok yang simpati tehadap situasi sosial
2James C Scott, Perlawanan Kaum Tani (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), 14.
3Aldfathri Adlin, Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realita (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 176.
4http://kbbi.web.id/resistensi> .
5Henry. A, Lansberger, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Trans. Aswab Mahasin
(Jakarta: CV. Rajawali, 1981), 24-25.
15
dan menampakan dirinya dalam perdebatan politik seperti demonstrasi atau
pemberontakan disebut gerakan.6 Latarbelakang bangkitnya perlawanan tidak lepas
dari keresahan masyarakat terhadap otoritarian kaum elit politik maupun pemilik
modal yang merampas hak masyarakat. Ini yang bagi Sidney Tarrow, gerakan protes
merupakan tantangan kolektif sejumlah orang yang memiliki tujuan dan solidaritas
yang sama untuk melawan kelompok elite dan penguasa. Gerakan-gerakan itu
tumbuh untuk menyusun aksi mengacau atau melawan yang berakar pada rasa
solidaritas atau identitas kolektif dan dilakukan atas dasar tuntutan yang sama.7 Di
satu sisi gerakan-gerakan sosial merefleksikan ketidakmampuan lembaga-lembaga
dan mekanisme kontrol sosial untuk mereproduksi kohesi sosial, di sisi lain gerakan-
gerakan sosial menjadi upaya masyarakat untuk menanggapi situasi-situasi krisis
dengan jalan mengembangkan kepercayaan bersama sebagai dasar-dasar solidaritas
untuk bangkit dan melawan.8
Gamson menegaskan dorongan protes kolektif merupakan orientasi kolektif
yang tercipta dalam satu tekad bersama bahwa partisipasi dalam suatu gerakan akan
memberikan hasil dan berarti dalam pencapaiannya.9 Mereka yang berpartisipasi
dalam suatu gerakan adalah golongan orang-orang marginal yang akan bersedia untuk
melawan jika hasilnya akan menguntungkan mereka kelak. Bagi Sing, situasi
6Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2003),134-135.
7Sidney Tarrow,Power in Movement: Social Movement Collective Action and Mass Politics in
the Modern State. (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 4. 8Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial dan Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Posso:
studi sosiologis terhadap gerakan jemaat Eli Salom Kele’i di Poso (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014), 56.
9Gamson, Talking Politics (Cambridge: University of Cambridge Press, 1992), 7.
16
ketimpangan dan dominasi sosial jika terus dijalankan dan dipertahankan oleh
institusi dan lembaga-lembaga sosial maka perlawanan dan pemberontakan akan
bangkit untuk menolak sistem dominasi tersebut.10
Sementara itu, studi Scott atas perlawanan tani di Asia Tenggara menunjukan
geramnya kaum tani yang ditindas oleh penguasa terkait tingginya biaya sewa tanah
yang dibebani oleh tuan tanah kaya dan pajak oleh negara. Dua kewajiban yang harus
dibayar oleh kaum tani dianggap begitu memberatkan mereka. Akan tetapi demi
memenuhi kebutuhan subsisten, para petani rela menjual tanah dan bekerja pada tuan
tanah kaya. Hal ini menyebabkan hak atas tanah mulai terlepas dari tangan-tangan
petani lahan kecil karena dikuasai oleh petani kaya yang memiliki modal. Sulitnya
mempertahankan tanah dan memutuskan untuk menjualnya kepada tuan tanah kaya
tentu tidak lepas dari perubahan pasar global pascakolonial menuju modernisasi.
Pasar mulai dikuasai oleh paham kapitalistik yang membangkitkan munculnya klas-
klas dalam masyarakat. Bagi yang memiliki modal dapat bertahan dan yang tidak
tentu akan sulit untuk mengembangkan usahanya sedangkan petani lahan kecil hanya
mengembangkan usaha tani untuk memenuhi kebutuhan keluarga bukan mencari
keutungan sebanyak-banyaknya. Ketika petani menjual tanah dan bekerja pada tuan
tanah kaya atau menjadi penyewa tanah maka di sinilah terjadi ketimpangan sosial.
Pola hubungan patron-klien tidak untuk melindungi melainkan menindas dengan
memberikan harga sewa yang terlampau tinggi. Negara sebagai tempat perlindungan
bahkan memberikan pajak yang begitu memberatkan petani. Latarbelakang tersebut
10
Rajendra. Sing, Gerakan Sosial Baru (terj). (Yogyakarta: Resist Book, 2010). 19.
17
yang menyebabkan kaum tani di Asia Tenggara berontak oleh karena elit politk dan
pemilik modal telah merusak moral ekonomi petani.11 Dinamika tersebut yang bagi
Scott resistensi petani adalah respon masyarakat atas penindasan dan ketidakadilan
bagi kaum marginal.
2.2. Sifat dan Karakteristik Gerakan Perlawanan
Scott menggambarkan resistensi dalam dua cara yaitu pelawanan yang bersifat
sungguh-sungguh dan perlawanan yang bersifat insidental.12 Perlawanan yang
sungguh-sungguh sifatnya: sistematis, terorganisasi dan kooperatif berprinsip atau
tanpa pamrih, mempunyai akibat-akibat revolusioner atau mengandung gagasan dan
tujuan meniadakan dominasi penindasan. Sedangkan resistensi yang bersifat
insidental cenderung tidak terorganisasi, tidak sistematis dan individualistis, bersifat
untung-untungan dan berpamrih serta tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner.
Resistensi yang bersifat insidental biasanya dilakukan secara perorangan dan
diwujudkan melalui aksi-aksi pembangkangan atau tindakan-tindakan yang
menimbulkan kekacauan karena tidak terorganisir secara baik. Sebagai pelengkapnya
Scott menggunakan istilah perlawanan publik atau terbuka dan perlawanan tertutup
atau yang dilakukan secara individual.13 Perlawanan terbuka yakni perlawanan yang
terjadi berdasarkan proses mobilisasi partisipan, diatur dalam agenda-agenda yang
terarah dan memiliki tujuan dan sasaran yang tepat. Sedangkan perlawanan tertutup
11
James C Scott, The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia (London: Yale University 1976), 8.
12Scott, Perlawanan Kaum, 305.
13Scott, The Moral Economy of the, 52-55.
18
berupa pembangkangan secara sembunyi-sembunyi dan dilakukan atas nama
individu.
Peter Burke membedakan sifat-sifat gerakan perlawanan sebagai berikut:14
1). Suatu gerakan dapat bertahan lama bergantung pada daya pendukungnya,
tentang siapa yang bergerak, siapa pemandunya dan mengapa orang-orang bersedia
untuk berpartisipasi dalam suatu gerakan. Daya dukung yang memadai menentukan
kualitas gerakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
2). Gerakan mudah dihancurkan atau ditransformasikan oleh generasi
berikutnya. Di Indonesia gerakan-gerakan perlawanan baik yang dipelopori oleh
mahasiswa maupun organisasi kemasyarakatan banyak mengalami jalan buntu karena
berhadapan dengan kekuasaan pemerintah. Contoh misalnya perjuangan mama
Yosepha sebagai aktivis perempuan asli suku Amugme yang bangkit melawan
pertambangan PT Freeport di Mimika-Papua. Perlawanan mereka tidak menghasilkan
dampak positif untuk menghentikan pertambangan sebab yang dilawan ialah
pemerintah yang memiliki power dan kekuasaan. Adakalanya ketika perjuangan tidak
mencapai hasil yang signifikan akan cenderung redup.
Sementara itu, Douglas dan Waskler mengemukakan ada 4 model-model
perlawanan: pertama, perlawanan terbuka, perlawanan yang dapat dilihat seperti
perkelahian, demonstrasi, konflik. Kedua perlawanan tersembunyi, biasanya
diwujudkan dengan perilaku mengancam. Ketiga, perlawanan agresif, perlawanan
14
Burke, Sejarah dan Teori, 132-133.
19
yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu. Keempat, perlawanan defensif,
perlawanan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.15
Karakteristik dari gerakan perlawanan oleh Tarrow yakni pertama, solidaritas
dan perasaan bersama, senasib dan rasa memiliki. Biasanya bangkitnya perasaan
bersama dapat digunakan untuk memahami partisipasi individu yang tergabung
dalam gerakan perlawanan. Kedua, konflik sebagai fokus aksi kolektif. Konflik
diartikan sebagai para pelaku yang sama mencoba untuk melakukan kontrol pada satu
objek yang sama. Di satu sisi pemerintah memperjuangkan sumber daya hutan untuk
kesejahteraan masyarakat, di sisi lain masyarakat melihatnya sebagai ancaman
terjadinya eksploitasi berlebih yang merusak alam. Ketiga, keberhasilan pada satu
pihak berkemungkinan besar merugikan pihak yang lain. Keempat, mengedepankan
bentuk-bentuk protes.16
2.3. Faktor-faktor Munculnya Gerakan Perlawanan
Scott menggambarkan transformasi tanah menjadi komoditas yang dijual telah
mempunyai efek mendalam bagi petani. Kontrol terhadap tanah semakin lepas dari
tangan-tangan masyarakat pedesaan, petani secara progresif kehilangan hak-hak
kebebasan, hak- hak guna hasil dan menjadi penyewa serta petani yang bekerja pada
tuan tanah kaya. Nilai-nilai yang diproduksi semakin diukur oleh fluktuasi pasar yang
15
Jack D. Douglas & Waksler C. Frances, dalam Santoso. Teori-Teori Kekerasan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), 11
16Tarrow, Power In Movement, 76-77.
20
tidak menentu.17 Studi Scott menunjukan hilangnya hak kaum tani atas tanah
disebabkan oleh perubahan pasar yang dikuasai kapitalistik. Pemilik lahan kecil
sering bergantung pada elit bertanah misalnya untuk urusan pembelian benih,
peralatan, transportasi dan pemasaran serta kadang-kadang kebutuhan kredit. Dengan
begitu pemilik lahan kecil akan berhutang pada pemilik lahan besar yang lama
kelaman kehilangan tanahnya karena tidak mampu membayar hutang pada elit
bertanah.18 Setelah kehilangan tanah sudah tentu mereka akan mengabdi dan bekerja
pada tuan tanah atau menyewa tanah untuk bercocok tanam demi mencukupi
kebutuhan subsisten mereka. Tingginya biaya sewa dan pajak menggerakan para
petani berontak karena ketidakadilan tersebut telah merusak moral ekonomi petani
yang mengolah tanah untuk kelangsungan hidup keluarganya bukan untuk mencari
keutungan sebesar-besarnya.19
Scott menjelaskan petani dalam dua tipologi yaitu: a) Petani adalah pencocok
tanam yang tinggal di pedesaan, fokus usahanya demi pemenuhan ekonomi keluarga
dan terus berputar pada periodik siklus tanam dan panen. b) Petani adalah masyarakat
yang menggantungkan hidupnya pada pengelolaan hasil pertanian.20 Tipologi ini
menerangkan secara jelas akan pentingnya tanah bagi para petani sebagai lahan
komoditi. Barangsiapa mengancam atau mengubah pola yang telah terbentuk sejak
17
Scott, The Moral Economy of the, 7 18
Scott, Perlawanan Kaum, 35 19
Scott, Perlawanan Kaum, 49 20
Scott, The Moral Economy, 165-167
21
dahulu tentu akan membangkitkan perlawanan untuk menentang pihak-pihak
tersebut.
Situmorang mengemukakan bangkitnya gerakan perlawanan dipengaruhi oleh
tinggi tidaknya sekelompok masyarakat merasakan dampak negatif dari aktifitas
perusahaan mengelola sumber daya alam.21 Pengelolaan sumber daya alam yang
mengabaikan dampak ekologis akan membangkitkan resistensi masyarakat. Bagi
Arif Budiman pembangunan yang dianggap berhasil ternyata tidak memiliki daya
kelestarian yang memadai.22 Berbagai kasus yang terjadi di Indonesia misalnya
lumpur lapindo, limbah industri yang mencemarkan air dan lingkungan, pengundulan
hutan oleh kebijakan pembangunan kehutanan yang mengabaikan rehabilitasi hutan
dan berbagai kerusakan lingkungan lainnya adalah efek dari pembangunan yang
kurang terkontrol secara baik. Borrong menegaskan, kerusakan lingkungan terjadi
sebagai akibat dari pengelolaan sumber-sumber daya yang tidak mempedulikan
etika.23 Kerusakan alam sebagai akibat dari pandangan bahwa sumber daya alam
sebagai kumpulan sumber daya untuk manusia yang dapat dipakai secara bebas untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Pandangan demikian jika tidak ditindaklanjuti akan
mempengaruhi makluk hidup yang menempati bumi. Selain itu, munculnya gerakan
perlawanan tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor yang mempengaruhi
kemunculan dan perkembangannya.
21
Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial: Studi Beberapa Perlawanan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 104
22Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996), 6-7. 23
Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 33.
22
2.3.1 Faktor Ekonomi Politik
Pemerintah Indonesia mulai memberi perhatian pada sektor kehutanan akhir
tahun 1960-an ketika rezim orde baru menghadapi masalah ekonomi. Hutan menjadi
stigma bagi keuntungan dan devisa negara sementara sektor tradisional masyarakat
dianggap konservatif, statis sehingga harus diubah agar seluruh masyarakat dapat
berkembang lebih maju. Aksentuasinya mengarah pada pengelolaan sumber daya
hutan demi mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar hutan sehingga
dikeluarkanlah UU pokok kehutanan dan pertambangan serta UU Investasi tahun
1967 yang memberikan peluang bagi investor untuk menanamkan modal di
Indonesia. Peraturan no. 21 tahun 1970 tentang pengusahaan hutan merupakan
instrument legal untuk memulai pemanfaatan hutan dengan model HPH (hak
pengusahaan hutan).24
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentangTata
Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan
Penggunaan Kawasan Hutan, HPH berubah namanya menjadi IUPHHK-HA Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam. Cara kerjanya tetap sama
yakni ijin untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan produksi yang kegiatannya
terdiri atas pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan
pemasaran hasil hutan kayu. Jangka waktu IUPHHK-Ha pada hutan produksi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan pemerintah RI Pasal 34 ayat (1) huruf a
24
Abdul Wahib Situmorang, Dinamika Protes Kolektif Lingkungan Hidup Di Indonesia 1968-2011 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 2-4.
23
diberikan paling lama 55 (lima puluh lima) tahun. IUPHHK dalam hutan alam dapat
diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 5 (lima) tahun oleh menteri
kehutanan.25 Akan tetapi kebijakan pemerintah mengelola sumber daya hutan untuk
pengembangan ekonomi dan kesejahteraan dinilai merugikan masyarakat lokal.
Dalam kerja HPH, hutan menjadi sepenuhnya hak pengusaha sedangkan masyarakat
tidak berhak atas hutannya sendiri. Sistem eksploitasi hutan oleh HPH bahkan tidak
terkontrol secara baik oleh pemerintah sehingga menyebabkan kerusakan hutan yang
berujung pada deforestasi (pengundulan). HPH melakukan pengrusakan namun tidak
dikenakan sanksi dari pemerintah, sebaliknya jika masyarakat yang melakukan
pengrusakan maka pemerintah dengan cepat mengambil tindakan bahkan sampai
pada menjadikan kawasan hutan sebagai area konservasi. Salah satu kewajiban utama
negara yang merupakan cerminan dari hakekat keberadaannya ialah melindungi
warga negaranya agar tetap aman. Perlindungan tersebut pada intinya bertujuan
memberi jaminan agar warga negara tidak saja mengalami rasa aman dalam
kehidupannya dan bebas dari rasa takut tetapi merasakan iklim politik yang terbuka
sehingga dapat mengekspresikan diri dan hak asasinya secara leluasa dan merdeka.
Jaminan terhadap pengungkapan diri tersebut merupakan modal utama dalam
mengurus kepentingan diri dan masyarakatnya sehingga mereka bisa bertahan dan
25
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/19756/node/545/pp-no-34-tahun-2002-tata-hutan-dan-penyusunan-rencana-pengelolaan-hutan,-pemanfaatan-hutan-dan-penggunaan-kawasan-hutan
24
berkembang.26 Pada konteks ini, jika pemerintah melakukan monopoli pada hak
rakyat atas hutan ulayat yang diakui secara turun-temurun apakah negara telah sesuai
dengan hakekatnya? Demikian yang dikemukakan oleh Scott, faktor ekonomi pada
akhirnya mengarah pada untung dan rugi. Siapa yang diuntungkan dan pihak mana
yang dirugikan. Tentu kedua aspek ini akan menggambarkan kecenderungan dari dua
sosok yang berbeda yakni yang diuntungkan adalah pihak yang memiliki kekuasaan
dan yang rugi ialah masyarakat yang marginal.27 Atas dasar ketidakadilan yang
berkaitan dengan untung rugi inilah yang membangkitkan resistensi, karena pada
dasarnya yang disebut keadilan ialah kedua pihak sama-sama menikmati hasil yang
sama untuk tujuan kemakmuran.
2.3.2. Faktor Budaya
Secara empiris citra lingkungan masyarakat adat bersifat mistis karena selain
bertalian dengan kehidupan di alam nyata juga erat kaitannya dengan pemeliharaan
keseimbangan hubungan dengan alam gaib. Masyarakat yang menghargai adat-
istiadat akan melihat alam sebagai kesatuan kosmos yang tidak boleh dimanfaatkan
secara berlebihan. Jika dalam pemanfaatannya menyebabkan kerusakan pada
lingkungan maka akan menimbulkan berbagai bencana baik banjir, tanah longsor,
kekeringan dan lain sebagainya. Bencana-bencana itu akan dilihat sebagai
pengejawantahan dari kemarahan roh-roh penjaga alam. Bagi Elliade perjumpaan
26
Dewan Pengurus YLBHI,Demokrasi Antara Represi Dan Resistensi Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1993 (Jakarta:Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1994), 224.
27Scott, The Moral Economy, 167
25
dengan yang sakral dirasakan seperti bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat dasyat
menggetarkan, sangat berbeda, transenden dan suci. Tidak hanya batu, pohon, tetapi
bagi mereka yang memiliki pengalaman religius, seluruh alam dapat mengungkapkan
dirinya sebagai sakralitas kosmik.28
Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat lokal menjiwai dan
mempengaruhi sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungannya. Ia memberi
tuntutan kepada manusia untuk berprilaku yang serasi dan selaras dengan irama alam
semesta sehingga tercipta keseimbangan hubungan antar manusia dengan alam
lingkungannya.29 Kendati tampak tidak rasional dan tidak logis namun secara faktual
perilaku terhadap alam dengan sikap yang bercorak mistis dan magis kadangkala
menciptakan kelestarian dan keberlanjutan yang harmonis dengan lingkungan hidup.
Masyarakat desa yang masih melestarikan adat-istiadat warisan leluhur kadangkala
ditemukan kesejukan lingkungan yang dikelilingi oleh hutan yang menghijau.
Filosofi alam yang dibangun baik tentang air, gunung, batu dan hutan menjadi dasar
melindungi alam dari keserakahan. Air melambangkan darah, hutan sebagai pori-pori
atau urat nadi, tanah sebagai daging dan batu sebagai tulang adalah kelengkapan yang
berhubungan satu sama lainnya.30 Merusak atau menghancurkan salah satu dari
28
Mircea. Eliade,The Sacred And The Profane, trans. Wiliam R. Trask (San Diego
New York – London: A Harvest/HBJ Book, 1959), 8-11. 29
Ibid, 6-7 30
Penjelasan dalam wawancara wartawan Net News dengan mama Aleta Baun yang diunggah pada sosial media (facebook) tanggal 25 Januari 2017 tentang perlawanan masyarakat Molo-NTT menentang pertambangan.
26
unsur-unsur itu akan menyebabkan ketidakseimbangan pada makluk hidup yang
bergantung pada alam.
Kendati demikian, pada masyarakat adat pasti menemui filosofi tentang
tempat, benda, hewan, pohon yang dianggap mengandung unsur kesakralan yang
memiliki kekuatan dibalik elemen-elemen itu. Bagi Emile Durkheim seluruh
keyakinan manusia baik yang religius (agama suku) maupun Beragama (diakui oleh
negara) tentu membagi dunia mereka dalam dua elemen terpisah yakni yang sakral
dan yang profan. Ciri-ciri yang sakral yakni superior, berkuasa, terlarang, suci
sedangkan profan lebih pada kebiasaan sehari-hari, tidak memiliki kekuatan dan
tampak biasa.31 Menentukan area, benda maupun hewan sebagai dewa bersama
memberi kesan pelestarian bagi objek tersebut. Hal ini tidak saja berhubungan dengan
agama bersama yang diciptakan masyarakat lebih dari itu yakni upaya melestarikan
alam dan lingkungan hidup yang dapat memberikan dampak positif bagi manusia di
bumi.
Untuk meminimalisir penggunaan hutan dari ancaman kerusakan, masyarakat
kadangkala mengembangkan local knowledge atau pengetahuan lokal. Pengetahuan
ini tumbuh dan berkembang dalam budaya atau kelompok etnik tertentu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsisten sesuai kondisi lingkungan yang ada.
Mereka mengumpulkan informasi terhadap kondisi alam untuk memecahkan masalah
produksi pertanian dan disampaikan secara oral dari generasi ke generasi sehingga
31
Emile Durkheim, The Elementary Forms Of Religious Life : Sejarah Bentuk-Bentuk Agama Yang Paling Dasar (Jogjakarta: IRCisod, 2011), 167-169.
27
terjadi pemahaman yang mendalam terhadap sumber daya lokal dan proses-proses
yang berlangsung.32 Pengetahuan lokal memberikan kesan positif bagi masyarakat
dalam memanfaatkan hutan secara bijaksana sehingga minim dari kerusakan. Jika
sewaktu-waktu hutan masyarakat dikelola berdasarkan pembangunan kehutanan
maka rehabilitasi (pemulihan) menjadi kewajiban pengelola agar tidak mengancam
masyarakat sekitar hutan yang bergantung terhadapnya. Apabila kewajiban tersebut
tidak terealisasi maka akan membangkitkan resistensi sebab hutan yang rusak akan
berdampak bagi masyarakat yang berada di sekitarnya.
2.3.3. Faktor Ekologi
Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos berarti rumah atau tempat tinggal
atau tempat hidup atau habitat dan logos yakni ilmu, studi atau kajian. Secara harfiah
ekologi berarti ilmu tentang makluk hidup dalam rumahnya atau ilmu tentang habitat
makluk hidup.33 Menurut Haskarlianus Pasang ,ekologi mencakup; a) pengetahuan
mengenai hubungan antara organisme dan lingkungannya, b) studi atau telaah
mengenai hubungan antara organisme dengan lingkungan mereka.34 Secara umum
ekologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makluk hidup dan lingkungannya. Ekologi menaruh perhatian pada cara-cara
bagaimana semua aspek alam mengadakan interaksi satu sama lain. Inti ekologi ialah
32 Sulistyaningsih, Perlawanan Petani Hutan: Studi Atas Resistensi Berbasis Pengetahuan
Lokal (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), 15. 33
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Djambatan, 1991).19.
34Haskarlianus Pasang, Mengasihi Lingkungan (Jakarta: Literatur Perkantas, 2011), 83.
28
manusia menyesuaikan diri dengan sistem alam, tidak eksploitatif, tidak merusak
sehingga ekosistem terpelihara.35
Bagi steward, kajian ekologi umumnya memposisikan manusia dan
lingkungan dalam satu ekosistem yang tidak dapat dipisahkan dan saling
ketergantungan. Perubahan lingkungan akan mempengaruhi pola hidup manusia dan
makluk hidup lainnya oleh karena itu, pengelolaan hasil alam baik untuk bercocok
tanam, pertambangan, perkebunan skala besar dan berbagai bentuk pembangunan
kehutanan lainnya mesti mempertimbangkan dampak yang akan timbul dikemudian
hari.36 Alam dieksploitasi secara berlebihan akan berbuntut pada ketidaseimbangan
ekosistem yang ada.
Selain itu, Penggunaan ekologi dalam perencanaan pembangunan memiliki
dua tujuan yakni meningkatkan mutu pencapaian pembangunan serta
memperhitungkan pengaruh aktivitas pembangunan pada daerah sumber daya yang
akan dieksploitasi. Pertimbangan terhadap prinsip-prinsip ekologi yang tepat akan
membantu minimnya dampak dari pembangunan terhadap lingkungan dan manusia.
Pembangunan acapkali membawa tingkat perubahan yang bervariasi terhadap
lingkungan sehingga pembangunan yang ditentukan oleh batasan-batasan ekologi
akan menghindari dampak bagi masyarakat di sekitarnya.37
35
Raymond F Dasmann dkk, trans. Idjah Soemarwoto, Prinsip Ekologi Untuk Pembangunan Ekonomi (Jakarta: Gramedia, 1977), 2.
36 Julian, H Steward, Theory Of Culture Change: The Methodology Of Multiliniar Evolution
(Urbana: University Of Illinois Press. 1955), 39-42. 37
Raymond F Dasmann dkk, trans. Idjah Soemarwoto, Prinsip Ekologi, 26.
29
AMDAL atau analisis mengenai dampak lingkungan sangat penting dalam
mengelola sumber daya hutan. Analisis tersebut merupakan hasil studi yang
terintegrasi dari rencana kegiatan pembangunan meliputi komponen ekologis, sosio-
ekonomis dan budaya. Langkah awal dari prosedur tersebut adalah penyusunan PIL
(penyajian informasi lingkungan) atau PEL (Penyajian Evaluasi lingkungan) yang
mendeskripsikan apakah suatu proyek berpengaruh bagi lingkungan, selanjutnya
dilakukan SEL (studi evaluasi lingkungan). AMDAL maupun SEL meliputi: kajian
secara mendalam tentang dampak lingkungan potensial dari suatu kegiatan yang
direncanakan. AMDAL dirumuskan sebagai suatu analisis mengenai dampak
lingkungan dari suatu proyek yang meliputi evaluasi dan pendugaan dampak proyek,
prosesnya maupun sistem proyek terhadap lingkungan yang berlanjut ke lingkungan
hidup manusia.38 Pendugaan dampak dapat di definisikan sebagai aktivitas untuk
menduga dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang akibat suatu aktivitas
manusia (proyek). Dampak yang diduga menjadi ukuran untuk membedakan antara
lingkungan yang tanpa proyek dan lingkungan dengan proyek.39 Oleh karena itu,
sebelum menjalankan suatu proyek sangat penting bagi setiap pemegang ijin
melakukan AMDAL di lokasi pembangunan.
Dari sudut ekologis ada dua faktor mekanis yang menjadi penyebab bencana.
Pertama, faktor kekacauan ekosistem yaitu bencana yang disebabkan oleh manusia
38
Goltenboth Friedhelm dkk, Ekologi Asia Tenggara: Kepulauan Indonesia(Jakarta:Salemba Teknika, 2012), 488.
39Gunarwan Suratmo, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2004), 5.
30
misalnya kesalahan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan penataan lingkungan
atau tata ruang yang mengakibatkan terjadinya kerusakan alam. Kedua deforestasi
atau pengundulan hutan yang menyebabkan perubahan iklim global sebagai dampak
banyaknya emisi gas karbon dioksida (C02) dan gas buangan yang tidak terhisap oleh
tumbuhan karena pohon-pohon yang terus berkurang.40 Diantara kedua aspek ini,
deforestasi merupakan ancaman yang tampak terasa oleh masyarakat sekitar hutan.
Mengapa? hutan yang dipenuhi pohon-pohon besar adalah aset penyimpan air bagi
kesuburan tanah sekaligus pemberi oksigen bagi makluk hidup, dapat dibayangkan
ketika yang berdiri hanya sisa-sisa dari tumbangan pohon tentu akan memberikan
pengaruh besar bagi para para petani juga manusia yang berada di sekitar hutan.
resiko yang dialami masyarakat dari suatu pembangunan yang tidak efektif justru
pemicu bangkitnya perlawanan-perlawanan. Oleh karena itu, sebelum menjalankan
suatu proyek pembangunan di pedesaan yang harus didahulukan yakni mengetahui
sistem sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat setempat agar tidak menimbulkan
berbagai keluhan di kalangan masyarakat.
2.4. Kesimpulan
Perlawanan sosial oleh James Scoot mengungkapkan ketidakadilan yang
dialami subordinat (kaum tani) dari kelompok superordinat (elit modal dan negara).
Tingginya pajak dan biaya sewa tanah menekan keberadaan kelompok tani dalam
mempertahankan hidup. Negara sebagai perlindungan warga yang bernaung di
40
Fachruddin M Mangunjaya, Hidup Harmonis Dengan Alam: Esai-Esai Pembangunan Lingkungan, Konservasi Dan Keanekaragaman Hayati Indonesi(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) 15.
31
dalamnya justru tidak menunjukan sikap keberpihakan sehingga bangkitlah
perlawanan. Bagi scott, protes individu atau kelompok yang menyebar dalam
kekerasan maupun pemberontakan adalah rentetan dari cara petani untuk mandiri dan
keluar dari pemaksaaan dan penindasan para penguasa. Perubahan pasar yang
bercorak kapitalistik menyebabkan elit modal dan elit politik mengambil keuntungan
sebanyak-banyaknya dari kelemahan kaum tani. Bangkitnya perlawanan kaum tani
adalah cara mereka mengekspresikan diri atas berbagai ketimpangan yang dialami.
Tujuan yang diharapkan yakni kembalikan moral ekonomi petani yang dihancurkan
oleh para penguasa agar mereka secara leluasa dapat mengembangkan diri untuk
hidup secara adil.
Indonesia ketika menghadapi ketimpangan ekonomi pada rezim orde baru,
berbagai upaya dilakukan untuk keseimbangan perekonomian negara. Salah satu
kebijakan yang tampak terlaksana yakni pembangunan berbasis sumber daya alam.
Paradigma UUD 1945 pasal 33 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat” menjadi kekuatan negara mengembangkan
pembangunan tersebut. Seiring jalannya kebijakan itu, berbagai resistensi masyarakat
bangkit melawannya karena faktanya pembangunan kehutanan tidak mensejahterakan
masyarakat melainkan memuaskan para penguasa. Kembalikan tanah dan hutan ke
tangan masyarakat lokal jika ingin meretas munculnya protes-protes kolektif. Lebih
dari itu, pemerintah mesti sejalan dengan harapan masyarakat yang menuntut
32
keadilan. Pembangunan yang efektif ialah suatu proyek yang tidak mengabaikan
sosial budaya, ekonomi dan dampak ekologi bagi masyarakat di sekitar hutan. Pada
akhirnya masyarakat yang akan menuai berbagai kerugian dan dampak dari suatu
proyek jika terjadi kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, pemegang ijin proyek
mesti melakukan AMDAL sebelum mengadakan suatu pembangunan serta
mengetahui sosial budaya masyarakat setempat agar tidak menguntungkan elit modal
dan merugikan masyarakat lokal.