Post on 04-Mar-2018
1
REPRESENTASI BUDAYA MATRILINEAL-MARITIM DALAM SASTRA
LISAN MINANGKABAU, KABA ANGGUN NAN TONGGA1
Mina Elfira
Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
minaelfira@yahoo.com
Abstrak
Makalah ini menganalisis bagaimana laut dikonstruksikan dalam sastra Minangkabau, dikenal
sebagai masyarakat matrilineal terbesar didunia. Sebagai bahan analisis adalah sastra lisan Kaba
Anggun Nan Tongga (KAT) yang dikenal secara baik di daerah Minangkabau bagian pesisir.
Argumen utama makalah ini yaitu keterkaitan yang kuat hubungan antara teks tersebut dengan
kondisi sosial, budaya masyarakat penghasilnya. Dengan mengunakan pendekatan sosiologi
sastra, makalah memperlihatkan bahwa kebudayaan adalah ranah sharing codes yang
implementasinya sangat tergantung pada lokasi dan kondisi tempat, sebagaimana terlihat pada
sastra lisan pesisir KAT. Perbedaan lokasi menjadikan perbedaan dalam mengimplementasikan
konsep Alam takambang jadi guru, yang menjadi salah satu ideologi adat Minangkabau. KAT
sangat kuat merepresentasikan nilai-nilai matrilineal-maritim yang dianut oleh masyarakat
Minangkabau pesisir. Laut dalam KAT direpresentasikan sebagai ruang berpetualang yang
memerdekan dan sarana inisiasi untuk mendapatkan derajat hidup.
Kata kunci: Minangkabau, matrilineal, maritim, sosiologi sastra, Kaba Anggun Nan Tongga,
Pendahuluan
Minangkabau ranah nan den cinto
Pusako bundo nan dahulunyo
(Minangkabau ranah yang kucintai
Pusaka bunda yang dahulunya)
Penelitian ini menganalisis bagaimana laut dikonstruksikan dalam sastra lisan Minangkabau,
grup etnik terbesar keenam di Indonesia. Sebagai sebuah teritori budaya Minangkabau
1 Makalah ini didasarkan pada data dari penelitian Budaya maritim dalam sastra (Tommy Christomy, ketua
peneliti),2014
2
sesungguhnya luasnya melampaui wilayah provinsi Sumatera Barat. Menurut sumber yang
didasarkan pada Tambo Alam Minangkabau secara geografi Minangkabau membentang meliputi
sebagian besar Sumatra Barat, sebagian Riau, Bengkulu, dan Jambi (Hakimy, 1997:19).
Orang-orang Minangkabau mengunakan terminologi adat untuk merujuk baik ke sejarah lisan
yang memuat asal alam Minangkabau, dan peribahasa-peribahasa yang memberikan pedoman-
pedoman dan aturan-aturan perihal seremoni-seremoni, cara bersikap, dan relasi-relasi
kekerabatan matrilineal (Kato, 1982:33-34). Sejak adat mencakup seluruh masyarakat
Minangkabau, ia juga menjadi ideologi hegemoni, yang melegitimasi dan menstrukturisasi
kehidupan politik dan seremonial di kampung (Sanday:2002).
Dalam kajian akademik, khususnya kajian Minangkabau, maupun masyarakat awam
Minangkabau dikenal dengan identitas tiga karakter yang yang tampak seperti berkontradiksi.
Pada satu sisi Minangkabau dikenal sebagai masyarakat matrilineal yang terbesar didunia.
Implikasi dari nilai nilai matrilineal, sistim kekerabatan dan waris melalui garis ibu, kaum
perempuan Minangkabau mendapatkan kedudukan sebagai penerus keturunan, pemilik harta
waris, manajer rumah van Reenen: 1996, and Sanday:2002, Elfira: 2015. Petikan syair lagu di
atas secara implisit menjelaskan kuatnya posisi perempuan dalam masyarakat Minangkabau
Begitu pentingnya kedudukan perempuan dalam masyarakat Minangkabau, yang di Indonesia
dikenal dengan sebutan suku Minang, dapat terlihat dari sebutan perempuan Minangkabau
sebagai limpapeh rumah gadang (pilar utama rumah gadang2).
Namun disisi lain Minangkabau juga dikenal sebagai salah satu masyarakat yang dikenal fanatik
dalam melaksanakan syariah Islam di Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di
dunia. Nilai-nilai Islam adalah patriarki dan patrilineal. Kontradiksi karakter yang kedua yaitu
kuatnya kesadaran untuk mempertahankan adat istiadat, namun diikuti juga kuatnya keinginan
untuk memodernisasi Minangkabau. Kontradisksi yang ketiga adalah karakter orang-orang
Minangkabau Minangkabau juga dikenal sebagai orang-orang yang masih terikat kuat dengan
kampun halamannya, namun juga dikenal dengan budaya pai marantau (pergi merantau).
2 Rumah adat yang besar, biasanya dipergunakan pula sebagai tempat keluarga garis ibu tinggal.
3
Awalnya marantau ini ini berarti pergi keluar kampung atau keluar nagari. Nagari, yang
berasal dari bahasa Sansekerta, dalam Alam Minangkabau dikenal sebagai teritori terkecil yang
memiliki otoritas penuh dan independen Diasumsikan bahwa kolonial Jawa-Hindu mengunakan
kata ini sekitar abad 12 yang merujuk pada kerajaan-kerajaan kecil, yang didirikan pada waktu
itu (Westernenk, 1981: 1-2). Nagari pertama adalah Pariangan Padang Panjang, yang berlokasi
di lereng bagian selatan Gunung Merapi (Westernenk, 1981: 2).
Secara geografis, politis dan kesejarahan Alam Minangkabau mengenal pembagian darek dan
pasisia, tanah asa tanah asal) dan tanah rantau. Darek (darat) adalah wilayah yang berlokasi di
dilereng Gunung Merapi (gunung berapi dekat Bukit Tinggi). Daerah darek dibagi menjadi tiga
luhak (daerah), dikenal sebagai Luhak nan Tigo (Luhak yang tiga): Tanah Data (Tanah Datar)
(Luhak nan Tuo- Luhak yang tua), Agam (Luhak nan Tangah-Luhak yang tengah) dan Lima
Puluh Koto (Luhak nan Bungsu-Luhak yang bungsu). Daerah darek ini juga diakui sebagai tanah
asa tanah asal) dari Minangkabau. Sedangkan Pasisia merujuk pada dataran rendah di bagian
barat dari Bukit Barisan. Area ini dibagi menjadi tiga teritori, beberapa darinya pada masa lalu
memainkan peran penting dalam bidang ekonomi dan politik: Tiku-Pariaman (area utara),
Padang (area pusat), Bandar Sepuluh dan Indrapura (area selatan).
Rantau ,yang arti literalnya garis sungai atau garis pantai, asalnya merujuk pada teritori di luar
Luhak nan Tigo, kemudian, ‘rantau’ merujuk ke area diluar Alam Minangkabau yang secara
sosio-kultural dipengaruhi oleh Minangkabau. Sekarang rantau merujuk ke daerah di luar alam
Minangkabau, baik yang secara sosio-kultural dipengaruhi oleh Minangkabau ataupun tidak.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa daerah darek terletak di pegunungan sedangkan
daerah pasisia berhadapan dengan laut. Perbedaan lokasi ini menjadikan perbedaan dalam
mengimplementasikan konsep Alam takambang jadi guru, yang menjadi salah satu ideologi adat
Minangkabau. Hal ini juga terlihat dalam karya-karya sastra mereka. Masyarakat pasisia yang
hidupnya berhubungan dengan laut banyak menghasilkan karya-karya sastra dengan latar laut.
Menarik untuk melihat bagaimana laut direpresentasikan dalam sastra Minangkabau. Sebagai
bahan analisis adalah salah satu folklor Minangkabau, Kaba Anggun nan Tongga (selanjutnya
4
disingkat dengan KAT), walaupun dalam menganalisis KAT dikaitkan dengan kaba lain yang
dikenal oleh masyarakat Pasisia seperti Kaba Malin Kundang.
Kaba Anggun Nan Tongga: Sastra lisan Minangkabau Pasisia
Kaba Anggun Nan Tongga, sebagaimana Kaba Cindur Mato dan Kaba Malin Deman, juga
sangat popular di kalangan masyarakat Minangkabau hingga kini dan juga memiliki beberapa
versi. Menurut Muhardi, Museum Nasional Jakarta menyimpan tiga versi naskah KAT yaitu
Kaba si Tungga (nomor inventarisai VDW 210 danVDW 211) dan Cerita Sitong Magat Jabang
(nomor invetarisasi ML32). Selain itu, Nigel Phillips juga telah melakukan transkrip certa lisan
ini, berdasarkan dengan judul Anggun nan Tungga Magek Jobang (Phillips, 1981). Kaba
Anggun Nan Tongga yang asalnya sastra lisan juga telah dituliskan. Misalnya, Kaba Klasik
Minangkabau: Anggun Nan Tongga karya Ambas Mahkota dan diterbitkan oleh Penerbit Kristal
Multimedia, Bukittinggi. Cetakan pertama diterbitkan Maret 2003. Naskah ini disadur dari
bahasa Minangkabau ke bahasa Indonesia oleh Dra. Susi Susandra S.Pd. Namun naskah ini
diterbitkan pertama kalinya oleh C.V. Pustaka Indonesia, Bukittinggi tahun 1961 dalam bahasa
Minangkabau dengan judul Anggun nan Tungga.
Secara garis besar Kaba Anggun Nan Tongga berkisah tentang Anggun nan Tungga, anak dari
seorang ibu bernama Canto pomai dan seorang ayah yang bernama Datuk Bandaro Ijau. Nan
Tungga adalah seorang raja di daerah Tiku. Ia adalah seorang raja yang cakap secara fisik
maupun mental. Nan Tungga memiliki kemampuan bela diri yang tinggi sehingga ia disegani
oleh pihak kawan maupun lawannya. Nan Tungga juga dikisahkan melakukan perlayaran
bersama pembantu setianya Bujang Salamaik.
Dalam tradisi sastra Minangkabau, penceritaan Kaba Anggun nan Tungga dikenal dengan istilah
Basijobang. Sijobang adalah salah satu seni bercerita yang disampaikan oleh tukang kaba.
Sijobang ini berkembang di daerah Payahkumbuh dan sekitarnya (Phillips:1981). Berdasarkan
laporan penelitian yang dilakukan oleh Talha Bachmid dkk (2009) kesenian sijobang pernah
absen kurang lebih selama 20 tahun. Tukang sijobang yang tinggal kini hanya satu orang yaitu
5
Mardius yang dikenal dengan nama panggilan Mak Diuk yang berdomisili di Jorong Lareh nan
Panjang. Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota. Namun, kini seiring
dengan keinginan masyarakat Minangkabau untuk merestorasi kembali budaya Minangkabau
yang diimplementasikan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah ada kesadaran untuk
menghidupkan juga seni-seni tradisional yang sempat ‘menghilang’ dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Minangkabau. Salah satunya adalah seni bercerita yang disampaikan oleh tukang
kaba (sijobang atau basimalin). Sijobang dan basimalin mulai dipertunjukan kembali baik. Hal
yang menarik dari perubahan ini adalah adanya keinginan kuat pemerintah daerah mengangkat
kembali kesenian yang mungkin dianggap sebagai “seni identitas’ mereka. Selain itu sijobang
juga hadir kembali atas inisiatif perantau Minangkabau yang menghidupkan kembali kesenian ini
dalam usaha mereka untuk ‘kembali ke akar mereka’.
Sebagaimana Basimalin yang hanya menceritakan Kaba Malin Deman, basijobang hanya
mengisahkan Kaba Anggun Nan Tungga. Sijobang memiliki tujuh episode pokok:
1. Malaco ka Tanah Tiku
/Bertualang ke Tanah Tiku
2. Ka Koto Bintawai (Maalah kapa nan tujuah)
/Ke Kota Bintawai (Menghela kapal yang tujuh)
3. Mambaleh Jaso Intan (Maanta Intan pulang)
/ membalas Jasa Intan (Mengantar Intan Pulang)
4. Ka Koto Tanau (Malapeh Buruang Nuri)
Ke Kota Tanau (melepas Burung Nuri)
5. Nan Gondo Ka Gunuang
/ Nan Gondo ke Gunung
6. Ka Koto Indo Jati
/ Ke Kota Indo Jati
7. Mandugo ka Tiku
/Menduga ke Tiku
Ketujuh episode pokok ini dapat dapat dipecah menjadi dua belas episode (Bachmid: 2009).
Analisis mengunakan cerita yang dipakai dalam sijobang yang dipertunjukan oleh Mak Diuh
dalam episode “Mambaleh Jaso Intan “. Pertunjukan lisan itu sudah ditrankripkan teksnya oleh
Hanefi. Teks Mambaleh Jaso Intan Korong merupakan hasil laporan penelitian Talha Bachmid
6
dkk (2009). Teks tersebut berkisah tentang Anggun nan Tungga, seorang pemuda berasal dari
Tiku, daerah Pariaman. Anggun nan Tungga dikisahkan sedang berada di tepian Kuala Banda
Mua bersama pembantunya, Bujang Salamaik. Nan Tungga bermaksud untuk mengantar pulang
seorang gadis muda bernama Intan Korong, yang telah lama merantau meninggalkan kampung
halamannya, di barat Koto Pasisia. Nan Tungga melakukan itu sebagai balas jasa atas
pertolongan Intan yang telah menyelamatkan Nan Tungga dari sebuah peperangan di tengah laut
di daerah Sialang Batu Tapa, bagian benua Rum. Nan Tungga juga memberikan harta kekayaan
kepada Intan agar Intan dapat membantu keluarganya yang telah jatuh miskin. Walaupun
demikian, Nan Tungga yang telah jatuh cinta dengan Intan, berjanji akan menjemput kembali
Intan untuk tinggal bersamanya di kampong halaman nan Tungga, Tiku.
Penelitian terhadap sastra lisan Minangkabau sudah banyak dilakukan (Manan:1957, Jhons :
1958,Abdulah :1970, deJong: 1980, Junus, 1984,Phillips: 1981,Muhardi: 1986, Hasanuddin:
1993, Yususf: 1994, dan Elfira: 2007). Dalam kajian Minangkabau terdapat beberapa penelitian
yang dilakukan terhadap kaba-kaba Minangkabau sebagai sumber untuk mendapatkan gambaran
mengenai implementasi budaya matrilineal dalam kehidupan bermasyarakat Minangkabau.
Misalnya, Elfira (2007) mengunakan KCM untuk melihat peran perempuan dalam struktur
kepemimpinan pada Masyarakat Minangkabau. Namun sebagian besar peneliti bertumpu pada
KCM sebagai bahan analisis mereka dari pada KAT. Muhardi (1986) memang telah membuat
edisi dan kritik teks KAT. Penelitian KAT untuk melihat sejauh mana teks tersebut memuat
nilai-nilai budaya matrilineal-maritim. Permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini,
yaitu bagaimanakah representasi laut pada sastra lisan tradisional Minangkabau dalam kaitannya
dengan implementasi budaya matrilineal-maritim pada masyarakat Minangkabau. Dalam
menganalisis sastra lisan tersebut digunakan pendekatan sosiologi sastra.
Dalam kajian sosiologi sastra dikenal pendapat bahwa karya-karya satra adalah respon langsung
terhadap sesuatu yang terjadi di dunia nyata, oleh karena itu di dalam suatu karya satra dapat
ditemukan suatu konsep ideologi pada masanya. Karya satra itu sendiri juga dapat merupakan
ekspresi dari sebuah ideologi. Pendapat lainnya menyatakan bahwa karya sastra merupakan
bagian dari hasil budaya suatu masyarakat. Dasar dari pendapat tersebut karena karya sastra
7
tersebut mengandung ciri-ciri dari suatu budaya, sehingga ia merupakan refleksi dari dasar
pemikiran sejarah dari sesuatu hal (Belknap, 1990:185). Pendapat-pendpat tersebut di atas akan
menjadi landasan teori dari makalah ini.
Laut sebagai ruang inisisasi diri
Laut dalam KAT dipresentasikan sebagai ranah untuk memerdekakan diri. Memang laut juga
digambarkan sebagai ranah yang bisa membahayakan jiwa, sebagaimana terlihat dari nasib
kakak laki-laki Intan yang tengelam karena kapalnya karam. Namun bagi diri intan laut
memberikan kemungkinan untuk memerdekakan diri bagi Intan yang memilih untuk mengarungi
lautan dalam usaha untuk melarikan diri dari rumahnya. Hal ini ia lakukan untuk menghindari
diri dari kemarahan ibu kandungnya karena Intan secara tidak sengaja telah merusak alat tenun
ibunya. Karena ketakutan yang amat sangat kepada ibu kandungnya, seorang pedagang yang
kaya raya, Intan yang kala itu berumur tujuh tahun, kemudian menerima tawaran dari pemilik
sebuah kapal yang sedang merapat untuk pergi berlayar dengannya. Intan menjalani kehidupan
keras sebagai pekerja di kapal. Walaupun hidup diantara anak-anak kapal yang sebagian besar
laki-laki, Intan dapat menjaga kehormatan dirinya. Laut menjadi ranah Intan untuk menempa diri
dan juga untuk merubah nasib. Laut dalam KAT direpresentasikan sebagai ruang berpetualang
yang memerdekakan. Laut bagi Intan juga berfungsi sebagai “kawah candradimuka” tempat ia
menimpa diri menjadi perempuan Minangkabau yang siap menjalankan berbagai peran yang
diberikan adat kepadanya. Hal ini dapat kita lihat dari perubahan karakter Intan dari seorang
anak perempuan berusia tujuh tahun yang masih rapuh, lugu, penakut, kurang bijak tumbuh
menjadi seorang perempuan muda, berusia sekita tujuh belas tahun, Minangkabau yang tegar,
berani, dan cerdas serta bijak dalam bersikap. Sebagai contoh, Intan yang telah tiga kali berganti
majikan kapal sebelum bertemu nan Tungga, mampu menjalankan tugas yang diemban
kepadanya dengan sebaik-baiknya, seperti dipujikan nan Tongga kepadanya: “ Dek tantang
malah palayiaran, dek Intan malah malah nan ka obeh…nan tontu…godang tangah lauik
(Mengenai pelayaran, Intanlah yang mengerti, yang tahu…besar di tengah laut).” Selama kurang
lebih sepuluh tahun menjalani kehidupan di laut yang keras juga menjadi ranah bagi Intan untuk
melatih jiwa kepemimpinannya dan juga kemampuan untuk mencari nafkah. Karena
8
kepemimpinan dan kecerdasannyalah Intan pernah berhasil menyelamatkan nan
Tungga,sebagaimana terlihat dari kutipan di bawah ini:
O, gadih Intan Korong (O, gadis Intan Korong)
Dangakan malah dek Intan (Dengarkanlah wahai Intan)
Takalo masa daulu (Tak kala masa dahulu)
Kan takona bana dek Intan (Kan teringat benar oleh Intan)
Di Sialang Batu Tapa (Di Sialang Batu Tapa)
Di Sitambua Banua Ruum (Di Sitambua Benua Ruum)
Tigo bulan kito porang di situ (Tiga bulan kita berperang disitu)
Cokak to tumpuah jo dondang (Bertempur di perahu)
Tibo sampai minyak kariang (Hingga sampai minyak kering)
Ampia ka karam kito di situ (Hampir karam kita disitu)
Kan dek caro Intan (Hanya karena siasat Intan)
Disitu kusuik nan salosai (Disitu kusut terselesaikan)
Porang damai, sangketo putuih (Perang damai, sengketa putus)
Kutipan di atas memperlihatkan kepemimpinan dan kecerdasan Intan yang mampu
menyelesaikan persengketaan dan melerai peperangan. Karakter baru yang dimiliki Intan setelah
menempa diri di ranah laut adalah karakter yang diharapkan oleh adat Minangkabau.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa adat minangkabau memberikan peran penting kepada
kaum perempuan yaitu sebagai penerus keturunan, pewaris harta keluarga dan juga sebagai
limpapeh rumah gadang. Setelah menjalanai inisiasi diri di ruang laut Intan ‘baru” siap
mengambil dan menjalankan perannya pulang ke kampungnya agar dapat menghidupkan
kembali nagarinya, terutama keluarganya yang telah jatuh miskin.
Dalam KAT dapat juga dilihat bagaimana laut direpresentasikan sebagai ruang bertualang untuk
pembuktian diri, sebagaimana yang harus dijalani oleh Anggun nan Tungga. Bersama dengan
pembantu setianya, Bujang Salamaik, nan Tungga mengarungi lautan untuk merantau.
Sebagaimana telah disampaikan pada bagian latar belakang bahwa budaya merantau merupakan
salah satu karakter Minangkabau. Merantau dijadikan, terutama bagi kaum laki-laki, sebagai
‘kawah candradimuka’ dalam proses pendewasaan diri sebelum memangku tugas-tugas adat
sebagai laki-laki Minangkabau, seperti terlihat dari pantun di bawah ini:
Karatau madang dihulu (karatau madang dihulu)
Babuah babungo balun (berbuah berbunga belum)
Marantau bujang dahulu (merantau pemuda dahulu)
Di rumah paguno balun (dirumah berguna belum)
9
Dari pantun di atas secara implisit terlihat bahwa merantau terutama dipintakan dan dilakukan
oleh laki-laki yang masih muda dan belum menikah Tujuan merantau adalah untuk
mempersiapkan laki-laki memangku perannya yang telah ditentukan oleh adat, antara lain
sebagai pemuka kaumnya, penjaga waris dan juga mengurus para kamanakannya. Dengan
merantau diharapkan para pemuda tersebut dapat menimba ilmu pengetahuan, meningkatkan
jiwa kepemimpinan, dan juga kekayaan yag diperlukan untuk dapat menjalankan peran-peran
adatnya dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa hal menarik dalam KAT berkaiatan dengan
merantau. KAT memperlihatkan bahwa merantau tidak hanya dilakukan oleh kaum lelaki tetapi
juga kaum perempuan. Sebagaimana kita ketahui tokoh utama nan Tongga bertemu Intan yang
juga sedang merantau dalam upaya melarikan diri dari kekuasaan ibunya. KAT juga menunjukan
pula bahwa merantau dilakukan dengan melintasi ranah laut. Hal ini berbeda dengan kaba
Cindua Mato (KCM), kaba yang lahir di daerah darek Minangkabau. Dalam KCM, Cindua Mato
merantau dengan menyusuri hutan dan pegunungan. Sedangkan dalam KAT nan Tongga,
pemeran utama KAT, bertemu Intan saat di tengah laut. Alur kisah juga berpusat di daerah laut,
yaitu kisah petualangan nan Tongga. Laut sebagai ranah bertualang juga hadir dalam kaba
Malin Kundang (KMK). KMK, sebagaimana KAT, juga salah satu sastra lisan pesisir. KMK
mengisahkan seorang pemuda miskin yang pergi merantau mengarungi lautan untuk
meningkatkan derajat hidupnya. KMK memperlihatkan Malin Kundang yang sudah sukses
dirantau pulang ke kampong halamannya dengan melalui laut dengan kapal miliknyayang
megah tanda kesusksesannya. Berbeda dengan KCM yang memperlihatkan kedekatan ibu dan
anak laki-lakinya, Malin Kundang mengingkari keberadaan ibunya sehingga ia dikutuk menjadi
batu. Legenda tentang malin Kundang ini masih dapat ditemui di pantai Air manis dimana
terdapat tumpukan batu-batu yang berserekan yang dipercaya sisa bangkai kapal malin kundang
yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya.
Dapat dikatakan laut dalam KAT direpresentasikan sebagai ruang untuk unjuk eksistensi diri.
Sebagaimana telah diceritakan nan Tongga melakukam kegiatan pai marantau, pergi keluar
kampungnya untuk membesarkan kejayaan keluarga, mengembangkan kemampuan diri, dan
meningkatkan kehormatan diri, sebagaimana tersirat dari kutipan di bawah ini:
10
Sajak bona corai dari Tiku (Sejak meninggalkan Tiku)
Mulo batumpu di Piaman (mula berumpu di Pariaman)
Poi mambangkik batang tarondam (pergi untuk membngkitkan batang terendam)
Pai mangombang nan talipek (pergi untuk mengembangkan yang terlipat)
Poi mambangkik malu diri (pergi untuk membangkitkan kehormatan diri)
Karena daerahnya berada di pesisir pantai maka, berbeda dengan penduduk minangkabau darek,
merantau bagi ia adalah kegiatan mengarungi lautan.
Selain itu merantau juga adalah salah satu cara Anggun nan Tongga menjalani ‘inisiasi’
pembuktian diri supaya dianggap layak sebagai pewaris kerajaan, dengan melakukan
pertualangan bersama kapal lautnya. Dalam petualangan tersebut nan Tongga berkesempatan
mempergunakan bekal ilmu yang ia pelajari sebelum merantau. Dalam budaya Minangkabau,
sebelum merantau seorang pemuda dibekali dengan kemampuan bela diri, dan juga ilmu agama
sebagai bekal menghadapi masalah selama melakukan perantauan. KAT memperlihatkan
kemampuan bela diri dan kecerdikan nan Tongga menghadapi kawanan pelaut yang mengancam
dirinya. Nan Tongga juga dihadirkan dalam KAT sebagai laki-laki tampan, perkasa dan berbudi
luhur, serta bertutur kata bijak. Misalnya sikapnya yang egaliter dalam memperlakukan
pembantunya bujang salamaik. Dalam petualangan menyusuri daerah kekuasaannya Anggun nan
Tungga melakukan pekerjaan-pekerjaaan yang layak dilakukan sebagai seorang pemimpin,
diantaranya mengantarkan pulang Intan Korong. Laut bagi nan Tongga dijadikan sebagai sarana
inisiasi untuk mendapatkan derajat hidup, sebuah pengakuan dari masyarakatnya bahwa ia layak
jadi pemimpin karena kemampuannya bukan hanya semata karena garis keturunan.
Laut sebagai ruang pertunjukan nilai matrilineal maritim
Dalam KAT ditemukan implementasi nilai-nilai matrilini, seperti konsep tentang rumah, serta
kuatnya ikatan perempuan dengan rumahnya, seperti terlihat dalam salah satu kutipan dari
episode “Mambaleh jaso Intan Korong”:
Lua dari pado itu (Selain dari pada itu)
Rumah gadang sambilan ruang (Rumah gadang yang Sembilan ruang)
Kok sapuluah jo pandapuran (Kok sepuluh dengan dapur)
Saboleh jo anjuang tinggi (Sebelas dengan anjungan tinggi)
11
Duo boleh jo putrinyo (Dua belas dengan putrinya)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa perempuanlah yang sentral dalam rumah. Hal ini berseuaian
dengan adat matrilineal Minangkabau yang memperuntukan rumah untuk kaum perempuan.
Dalam kadat kebiasaan Minangkabau dahulunya yang tinggal di rumah gadang adalah ibu dan
anak-anak perempuannya. Sedangkan anak laki-laki yang sudah dewasa akan tinggal di surau
(mesjid). Tentu saja zaman telah berubah. Namun kini pun masih melekat kesadaran bahwa
perempuanlah yang memiliki rumah. Misalnya, berdasarkan penelitian Elfira (2013) di
Minangkabau rumah, baik dari warisan pusaka maupun orang tua, biasanya diwariskan kepada
pihak perempuan. Bahkan dalam suatu perkawinan, bila terjadi perceraian suamilah yang akan
meninggalkan rumah hasil perkawinan.
Nilai-nilai matrilineal juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa teks KAT mengambarkan
kuatnya peran kaum perempuan dalam keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari peran Andam Sari
Andam bergelar Sari Mulia, ibu Intan Korong, yang sangat mendominasi dibanding suaminya,
Ulak Sumano. KAT menunjukan bahwa Andam Sarilah yang berperan sebagai pemimpin dan
pencari nafkah utama keluarga. Ibu kandung Intan Korong ini yang dalam keadaan marah
bahkan mampu memukul Intan dengan tonggak besar hingga Intan terluka. Episode kaba ini
secara langsung menunjukan dampak implementasi nilai matrilineal yaitu power kaum
perempuan. Power yang kuat ini dipakai tidak saja untuk ‘memimpin’ dirinya maupun keluarga
dan kaumnya, tapi bisa juga untuk menindas. Teks juga menunjukan bahwa kaum perempuan
Minangkabau terlibat aktif tidak hanya dalam ranah domestik nmun juga dalam ranah publik.
Teks-teks sastra juga memperlihatkan bahwa kaum perempuan tidak hnya mampu memimpin,
tapi kepemimpinan mereka itu tampaknya diterima secara ‘natural’ bukan sebagai sesuatu
perkecualian.
Dapat dikatakan KAT lebih menonjolkan karakter perempuan androgini. A Feminist Dictionary
mendefinisikan androgini:” to refer to the state of a single individual, male or female, who
possesses both traditionally masculine and traditionally feminine virtues (Kramarae dan
Treichler,1985:49). Contoh dari hadirnya karakter androgini terlihat pada diri Intan Korong.
12
Diceritakan bagaimana seorang anak gadis, Intan Korong, mampu mengarungi lautan dan hidup
dintara para pelaut yang keras dan kasar tanpa harus kehilangan harga dirinya. Kehidupan laut
yang biasanya diidentikan dengan keras sehingga identik pula dengan laki-laki karena dianggap
hanya laki-lakilah yang mampu bertahan karena memiliki kekuatan fisik dan mental yang kuat,
bahkan kalau tidak bisa dibilang kasar dan kejam. Namun Intan memiliki pula kekuatan untuk
bertahan di lingkungan yang keras tersebut. Walaupun ia bertahan dengan bertumpu pada
kecerdikannya, tidak bisa dipungkiri dia memiliki kekerasan hati seperti yang biasanya
distereotipkan milik laki-laki.
Adat Minangkabau tidak hanya memuat nilai-nilai matrilineal tetapi juga dipengaruhi oleh nilai-
nilai Islam. Semenjak datang ke ranah Minangkabau Islam telah menjadi salah satu sentrifugal
adat Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari pepatah adat Minangkabau “ Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabulah yang berarti Adat minangkabau bersendikan syariat Islam yang
bertumpu pada Al Quran. Sedikit banyaknya nilai-nilai Islam yang cenderung patriarki juga telah
merasuk dalam kehidupan keseharian Minangkabau. Nilai-nilai tersebut terlihat pula dalam
KAT yang mengisahkan nan Tongga, seorang laki-laki, yang mewarisi kekuasaan untuk menjadi
raja. Nilai-niai Islam juga terlihat dari dalam keseharian hidup penduduknya yang menjalankan
salah satu syariat Islam, sholat, seperti terlihat dari kutipan di bawah ini:
Kotu mugorik lah datang (waktu maghrin telah tiba)
Badontang tabuih rang siak (berdentang bedug orang surau)
Manyauik tobuah di mudiak (menyaut bedug di mudik)
Tobuah diilia manyudahi (beduk di hilir menyudahi)
Urang barabuik lai ka surau (orang berbondong ke surau)
Nilai-nilai matrilineal dan Islam dalam KAT teramu dengan budaya maritim yang juga hadir
dalam kaba ini. Dalam artikelnya, The Maritime Cultural Landscape: On the concept of the
traditional zones of transport geography3, Christer Westerdahl berargumen:
The maritimity of people is conditional, i.e. a cultural factor. If you do not possess a
population attuned to maritime preoccupations, even if a current population is residing at
3 diunduh dari https://www.abc.se/~pa/publ/cult-land.htm, tanggal 11 Januari 2015
13
the sea shore, there is no maritime culture. On the other hand maritime (the transport
aspect) culture follows the boat and its crew, even inland. Basically the dependence and
the exploitation of the waters could be as fundamental in lakes and waterways as on the
sea itself
Dapat dikatakan bahwa KAT menampilkan budaya maritim di beberapa daerah di Minangkabau.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa judul episode KAT seperti malaco ka tanah Tiku dan
mandugo ka Tiku. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Tiku adalah nama daerah bagian
Pasisia Minangkabau yang memiliki pelabuhan besar tempat kapal-kapal berlabuh. KAT juga
menampilkan karakter dari budaya maritime sebagaimana terlihat dari judl episode maala kapa
nan tujuah (menghela kapal yang tujuh). Judul episode tersebut memperlihatkan kode budaya
kapal sebagai bagian penting dari kehidupan masyarakat pesisir Minangkabau, berbeda dengan
masyarakat Minangkabau yang berdomisili di daerah pegunungan. KAT mendeskripsikan
dengan jelas kapal yang menjadi benda penting bagi daerah pesisir:
Kini baitulah dek Buyuang (kini lakukanlah buyung)
Buyuang sentaklah galah di tobiang (buyung sentaklah galah di tebing)
Kombanglah layia katujuahnyo (Kembangkanlah ke tujuh layarnya)
Bukalah rantai baletong (bukalah rantai baletong)
Kito balaia nannyo kini (kita berlayar sekarang)…
Layia takambang angin tibo (layar terkembang angin tiba)
Kapa tadongak ka tangah lauik (kapal terdorong ke tengah laut)…
Kok diratok lai pulau nan tingga (kog diratapi pulau yang tinggal)
Dibilang pulau nan datang (dihitung pulau yang kan didatangi)
Dapat dikatakan bahwa kapal ditampilkan tidak hanya sekedar benda mati yang tidak bermakna,
namun menjadi ‘benda hidup” dengan segala fungsinya: sarana transportasi utama, alat pencari
nafkah, tempat tinggal, bahkan tempat untuk bersosialisasi.
KAT tidak hanya mendeskripsikan suasana kehidupan awak kapal, yang sebagian besar laki-
laki, namun juga kehidupan bandar tempat kapal berlabuh. Diperlihatkan penduduk yang berada
disekitar pinggir pantai bergantung pada laut untuk hidup. Anggun nan Tungga dikisahkan
sedang berada di tepian Kuala Banda Mua bersama pembantunya, Bujang Salamaik. Karena itu
KAT juga memberikan deskripsinya tentang kehidupan di tepian Kuala Banda Mua.
14
Situ tampak urang manjalo (disitu tampak orang menjala)
Bao jalo tu bajalin (bawa jala yang berjalin)
Sarato ikan nan banyak (serta ikan yang banyak)
Rang pulang dari lautan (orang pulang dari lautan)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa KAT memperlihatkan budaya maritime
daerah pesisir Minangkabau. Hal ini didasarkan pendapat Westerdahl bahwa suatu masyarakat
bisa dikatakan berbudaya maritim bila ada ketergantungandan eksploitasi terhadap wilayah air
yang dalam KAT adalah laut.
Kesimpulan
Sebagaimana telah disebutkan, pendekatan yang dipakai dalam menganalisis KAT adalah
sosiologi sastra berpendapat bahwa karya-karya satra dapat merupakan respon langsung
terhadap sesuatu yang terjadi di dunia nyata, dan ekspresi dari sebuah ideologi. Sehingga karya
sastra dapat mengandung ciri-ciri dari suatu budaya. Berdasarkan analisis terhadap Kaba Anggun
nan Tungga di dapat pula kesimpulan bahwa teks tersebut sangat kuat mempresentasikan
budaya lokal Minangkabau tempat teks tersebut dilahirkan. Analisis memperlihatkan ada
keterkaitan yang kuat hubungan antara teks tersebut dengan kondisi masyarakat penghasilnya.
Budaya matrilini-maritim yang dianut masyarakat pesisir Minangkabau terefleksi ke dalam karya
sastra. Dengan kata lain, teks-teks tersebut merupakan hasil dari produk budaya matriline-
maritim Minangkabau. Analisis juga memperlihatkan bahwa kebudayaan adalah ranah sharing
codes yang implementasinya sangat tergantung pada lokasi dan kondisi tempat, sebagaimana
terlihat pada sastra lisan pesisir KAT. Berbeda dengan masyarakat darek yang hidup di
pegunungan, masyarkat pasisia hidup di pesisir pantai dan menjadikan laut sebagai pusat
kehidupan mereka. Perbedaan lokasi menjadikan perbedaan dalam mengimplementasikan
konsep Alam takambang jadi guru, yang menjadi salah satu ideologi adat Minangkabau. Selain
itu,
15
Daftar Pustaka
Abdulah, Taufik1970,’Some Notes on the Kaba Tjindua Mato: An Example of Minangkabau
Traditional Literature’, Indonesia 9, 1-22
Bakhmid, Talha dkk, 2009, Laporan Hasil Penelitian Sijobang, Jakarta.
Belknap, RobertI. (ed.), 1990, Russianness, Ann Arbor : Ardis Publishers.
Christomy, Tommy dkk., 2014, Laporan Penelitian: Jejak Maritim dalam Sastra.
De Jong, P.E. de Josselin (1980) Minangkabau and Negeri Sembilan Socio-political Structure,
Den Haag: Martinus Nijhoff.
Elfira, Mina, 2007, ‘Bundo Kanduang: A Powerful or Powerless Ruler? Literary Analysis of
Kaba Cindua Mato (Hikayat Nan Muda Tuanku Pagaruyung)’ dalam jurnal Makara Seri
Sosial Humaniora Vol.11,No.1, Juni 2007.
Elfira, Mina, 2013, “Life in a Minangkabau Rumah Gadang (West Sumatra, Indonesia):
Continuity and Change” in Erich Lehner, Irene Doubrawa and Ikaputra (eds.) Insular
Diversity: Architecture, Culture, Identity in Indonesia, , Vienna, Austria: IVA-ICRA,
Institute for Comparative Research in Architecture.
Elfira, Mina, 2015, The lived experiences of Minangkabau Mothers and Daughters: Gender
Relations, Adat and Family in Padang, West Sumatra, Indonesia, Germany: Scholar Press,
2015.
Hasanuddin, W. S., 1993, Mitos dan Mitos Pengukuhan (Myth of Concern) dalam Kaba Cindua
Mato, Padang: Penelitian untuk Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta.
Johns, Anthony H., 1958, Rantjak dilabuah: A Minangkabau Kaba. Paper no.32, Ithaca, New
York: Southeast Asian program Cornell University.
Junus, Umar, 1984, Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Sebuah problema Sosiologi Sastra,
Jakarta: Balai Pustaka.
Hakimy, Idrus Dt. Rajo Penghulu, 1997, Pokok-pokok pengetahuan Adat Alam Minangkabau,
P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Kato, T., 1982, Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia, Ithaca,
New York: Cornell University Press.
Kramarae, Cheris, dan Paula A. Treichler, 1985, A Feminist Dictionary, London: Pandora Press.
Manan, M. Nur (1967), Tjerita-tjerita Rakjat Minangkabau: Suatu Analisa tentang Peranannya
dalam Pembinaan Kebudajaan Nasional Indonesia, Tesis Sardjana pendidikan Djurusan
Bahasa dan Sastera Indonesia, Fakultas Keguruan sastera IKIP Padang.
16
Muhardi, 1986, Kritik dan Edisi Teks Kaba Si Tungga, Master Thesis, Fakultas Sastra
Universitas Padjajaran.
Muhardi, 1989, Analisis Hubungan Penokohan Kaba Minangkabau dengan Karakteristik
Perwatakan Masyarakat Minangkabau, Padang: Penelitian IKIP Padang.
Phillips, N.G., 1981, Sijobang: Sung Narrative Poetry of West Sumatra, Cambridge: Cambridge
University Press.
Reenen, Joke van. 1996. Central Pillars of the House. Leiden: Research School CNWS.
Sanday, Peggy Reeves. 2002. Women at the Center: Life in a Modern Matriarchy. Ithaca, NY,
London: Cornell University Press.
Westenenk, L.C. (translated into Indonesian by Mahyudin Saleh, S.H.), 1981 (original book De
Minangkabausche Nagari published in 1915), Padang: Penerbitan dan Bursa Buku Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Andalas.
Westerdahl, Christer, The Maritime Cultural Landscape: On the concept of the traditional zones
of transport geography diunduh dari https://www.abc.se/~pa/publ/cult-land.htm, tanggal 11
Januari 2015.
Yusuf, M. 1994, Persoalan Tranliterasi dan edisi Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyuang, M.A.
thesis, the University of Indonesia.
https://www.abc.se/~pa/publ/cult-land.htm