Post on 28-Oct-2015
BAB I
PENDAHULUAN
Jamur yang bisa menyebabkan penyakit pada manusia antara lain adalah
dermatofita (dermatophyte, bahasa yunani, yang berarti tumbuhan kulit) dan jamur
serupa ragi candida albican, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur superficial
pada kulit, rambut, kuku, dan selaput lendir. Jamur lainnya dapat menembus jaringan
hidup dan menyebabkan infeksi dibagian dalam. Jamur yang berhasil masuk bisa tetap
berada di tempat (misetoma) atau menyebabkan penyakit sistemik (misalnya,
histoplasmosis).1
Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang
masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis
profunda jarang terdapat. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial terbagi 2:
kelompok dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus
dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada jaringan
yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan
kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya adalah dermatofita
yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita
termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus, yaitu microsporum,
trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik masih banyak sifat yang
sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat
makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies
epidermophyton, 17 species microsporum, dan 21 species trichophyton. Pada tahun-
tahun terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua
koloni yang berlainan “jenis kelaminnya”. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan
dermatofita dapat masuk kedalam family gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia
dan arthroderma yang masing-masing dihubungkan dengan genus microsporum dan
tricophyton. 2
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh
karena negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah
infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai
kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit
lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam
penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan identifikasi
laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. Pada masa kini
banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan antifungal
konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan
daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen penyebab. Prevalensi di Indonesia,
dermatosis akibat kerja belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah atau
pemimpin perusahaan walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dan
pekerja penebang kayu di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu lapis
menderita dermatitis kontak utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dan pekerja
pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja, sementara
Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82%. Sumamur (1986) memperkirakan bahwa
50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah dermatofitosis akibat kerja. Dari
data sekunder ini terlihat bahwa dermatofitosis akibat kerja memang mempunyai
prevalensi yang cukup tinggi, walaupun jenis dermatofitosisnya tidak sama. Dan
angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit
Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari persentase
terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 %
(Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis.3
BAB II
PEMBAHASAN
A.DERMATOFITOSIS
Definisi
DERMATOFITOSIS adalah setiap infeksi fungal superfisial yang
disebabkan oleh dermatofit dan mengenai stratum korneum kulit, rambut dan kuku,
termasuk onikomikosis dan berbagai macam bentuk tinea. Disebut juga
epidermomycosis dan epidermophytosis. 4
Jamur dermatofit dinamai sesuai dengan genusnya (mycrosporum,
trichophyton, dan epidermophyton) dan spesiesnya misalnya, microsporum canis, t.
rubrum). Beberapanya hanya menyerang manusia (antropofilik), dan yang lainya
terutama menyerang hewan (zoofilik), walau kadang bisa menyerang manusia.
Apabila jamur hewan menimbulkan lesi dikulit pada manusia, keberadaaan jamur
tersebut sering menyebabkan suatu reaksi inflamasi yang hebat (misalnya, cattle
ringworm).1
Etiologi
Berdasarkan sifat makro dan mikro, dermatofita dibagi menjadi: microsporum,
tricopyton, dan epidermophyton. Yang paling terbanyak ditemukan di Indonesia
adalah T.rubrum. dermatofita lain adalah: E.floccosum, T.mentagrophytes, M. canis,
M. gypseum, T.cocentricum, T.schoeleini dan T. tonsurans.5
1. Microsporum
Kelompok dermatofita yang bersifat keratofilik, hidup pada tubuh manusia
(antropofilik) atau pada hewan (zoofilik). Merupakan bentuk aseksual dari jamur.
Terdiri dari 17 spesies, dan yang terbanyak adalah: 6
SPECIES CLASSIFICATION (NATURAL RESERVOIR)
Microsporum audouinii Anthropophilic
Microsporum canis Zoophilic (Cats and dogs)
Microsporum cooeki Geophilic (also isolated from furs of cats, dogs, and
rodents)
Microsporum
ferrugineum
Anthropophilic
Microsporum gallinae Zoophilic (fowl)
Microsporum gypseum Geophilic (also isolated from fur of rodents)
Microsporum nanum Geophilic and zoophilic (swine)
Microsporum persicolor Zoophilic (vole and field mouse)
Tabel 2.1 Spesies Microsporum.
Koloni mikrosporum adalah glabrous, serbuk halus, seperti wool atau powder.
Pertumbuhan pada agar Sabouraud dextrose pada 25°C mungkin melambat atau
sedikit cepat dan diameter dari koloni bervariasi 1- 9 cm setelah 7 hari pengeraman.
Warna dari koloni bervariasi tergantung pada jenis itu. Mungkin saja putih seperti wol
halus yang masih putih atau menguning sampai cinamon.6
2.Epidermophyton
Jenis Epidermophyton terdiri dari dua jenis; Epidermophyton floccosum dan
Epidermophyton stockdaleae. E. stockdaleae dikenal sebagai non-patogenik,
sedangkan E. floccosum satu-satunya jenis yang menyebabkan infeksi pada manusia.
E. floccosum adalah satu penyebab tersering dermatofitosis pada individu tidak sehat.
Menginfeksi kulit (tinea corporis, tinea cruris, tinea pedis) dan kuku
(onychomycosis). Infeksi terbatas kepada lapisan korneum kulit luar.koloni E.
floccosumtumbuh cepat dan matur dalam 10 hari. Diikuti inkubasi pada suhu 25 ° C
pada agar potato-dextrose, koloni kuning kecoklat-coklata.
3.Tricophyton
Trichophyton adalah suatu dermatofita yang hidup di tanah, binatang atau
manusia. Berdasarkan tempat tinggal terdiri atas anthropophilic, zoophilic, dan
geophilic. Trichophyton concentricum adalah endemic pulau Pacifik, Bagian
tenggara Asia, dan Amerika Pusat. Trichophyton adalah satu penyebab infeksi
pada rambut, kulit, dan kuku pada manusia.8
NATURAL HABITATS OF TRICHOPHYTON SPECIES
Species Natural Reservoir
Ajelloi Geophilic
Concentricum Anthropophilic
Equinum zoophilic (horse)
Erinacei zoophilic (hedgehog)
Flavescens geophilic (feathers)
Gloriae Geophilic
Interdigitale Anthropophilic
Megnini Anthropophilic
Mentagrophytes zoophilic (rodents, rabbit) /
anthropophilic
Phaseoliforme Geophilic
Rubrum Anthropophilic
Schoenleinii Anthropophilic
Simii zoophilic (monkey, fowl)
Soudanense Anthropophilic
Terrestre Geophilic
Tonsurans Anthropophilic
Vanbreuseghemii Geophilic
Verrucosum zoophilic (cattle, horse)
Violaceum Anthropophilic
Yaoundei anthropophilic
Tabel 2.2 Spesies Trichophyton.
Insidensi
Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga
dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS, insidensi penyakit
jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi
antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak menggambarkan populasi umum.
Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk
negara tropis. Di Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya insiden
dermatomikosis belum ada. Di Denpasar, golongan penyakit ini menempati urutan
kedua setelah dermatitis. Angka insiden tersebut diperkirakan kurang lebih sama
dengan di kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman angka ini
mungkin akan meningkat dengan variasi penyakit yang berbeda.
Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan pada penderita dermatomikosis
yang dirawat di IRNA Penyakit Kulit Dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya
dalam kurun waktu antara 2 Januari 1998 sampai dengan 31 Desember 2002. Dari
pengamatan selama 5 tahun didapatkan 19 penderita dermatomikosis. Kasus
terbanyak terjadi pada usia antara 15-24 tahun (26,3%), penderita wanita hampir
sebanding dengan laki-laki(10:9). Dermatomikosis terbanyak ialah Tinea Kapitis,
Aktinomisetoma, Tinea Kruris et Korporis, Kandidiasis Oral, dan Kandidiasis
Vulvovaginalis.
Jenis organisme penyebab dermatomikosis yang berhasil dibiakkan pada
beberapa rumah sakit tersebut yakni: T.rubrum, T.mentagrophytes, M.canis,
M.gypseum, M.tonsurans, E.floccosum, Candida albicans, C.parapsilosis,
C.guilliermondii, Penicillium, dan Scopulariopsis. Menurut Rippon tahun 1974 ada
37 spesies dermatofita yang menyebabkan penyakit di dunia.9
Di luar seperti India, berdasarkan penelitian di India yang mengambil
sampel sebanyak 121 kasus (98 pria & 23 perempuan), dermatomikosis menempati
urutan pertama untuk kasus penyakit kulit, 103 kasus (70,5%), diikuti candidiasis
30 kasus (20,5%) dan pitiriasis versikolor. Di Amerika endemik dermatomikosis di
daerah Utara dan barat Venezuela, brasil, dan beberapa kasus di laporkan di
Columbia dan argentina. Di Eropa infeksi tinea adalah hal yang umum. Perkiraan
insidensi penyakit ini sekitar 10-20%. Di Eropa dermatomikosis merupakan
penyakit kulit yang menempati urutan kedua. Penyakit ini disebabkan oleh tinea
pedis, tinea corporis, tinea cruris, dan tinea rubrum. Tinea rubrum ditemukan pada
76,2% kasus dermatomikosis melalui pemeriksaan sampel di Eropa.
Onset usia terjadi pada anak kecil yang baru belajar berjalan (toddlers) dan
anak usia sekolah. Paling sering menyerang anak berusia 6-10 tahun dan juga pada
usia dewasa.9
Frekuensi infeksi pada spesies tertentu antara lain:
Sekitar 58% dermatofita yang terisolasi adalah trichophyton rubrum
27% Trichophyton mentagrophytes.
7% Trichophyton verrucosum.
3% Trichophyton tonsurans.
Kecil dari 1 % yang terisolasi: Epidermophyton floccosum, Microsporum audouinii,
Microsporum canis, Microsporum equinum, Microsporum nanum, Microsporum
versicolor, Trichophyton equinum, Trichophyton kanei, Trichophyton raubitschekii,
and Trichophyton violaceum.10
Klasifikasi
Dermatofitosis dibagi oleh beberapa penulis misalnya SIMONS dan
GOHAR ( 1954) menjadi dermatomikosis, trikomikosis, dan onikomikosis
berdasarkan bagian tubuh manusia yang terserang
Klasifikasi yang paling sering dipakai oleh para spesialis kulit adalah berdasarkan lokasi:
Tinea kapitis, tinea pada kulit dan rambut kepala.
Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jengggot.
Tinea kruris, dermatofita pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-
kadang sampai perut bagian bawah.
Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
Tinea unguium, tinea pada kuku kaki dan tangan.
Tinea facialis, tinea yang meliputi bagian wajah.
Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk 5 bentuk tinea
diatas.
Selain 6 bentuk tinea di atas masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu:
Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang kosentris dan
disebabkan oleh tricophyton concentricum.
Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh
tricophyton schoenleini: secara klinis antara lain berbentuk skutula dan berbau
seperti tikus (mousy odor).
Tinea fasialis ,tinea aksilaris,yang menunjukan kelainan.
Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif dari morfologinya.
Tinea incognito: dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah
diobati dengan steroid topical kuat. 2
Gejala Klinis
Tinea glabrosa atau dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunya morfologi
khas.penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas,terdiri atas macam-macam
efloresensi kulit (polimorfi).bagian tepi lesi lebih aktif lebih jelas tanda-tanda peradangan
dari pada bagian tengah.
a. Tinea Pedis
Tinea pedis adalah infeksi dermatofit pada kaki, terutama di selajari dan telapak kaki
Tinea pedis yang tersering adalah bentuk interdigitalis. Di antara jari IV
danjari V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis, dapat meluas ke
bawah jari (subdigital) dan telapak kaki. Kelainan kulit berupa kelompok vesikel.
Sering terjadi maserasi pada sela jari terutama sisi lateral berupa kulit putih dan
rapuh, berfisura dan sering disertai bau. Bila kulit yang mati dibersihkan, akan
terlihat kulit baru yang pada umumnya telah diserang jamur. Bentuk klinis ini
dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau
tanpa keluhan. Pada suatu ketika dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri
sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis dan erisipelas, dengan gejala-
gejala umum.
Bentuk lain ialah moccasin foot, tipe papuloskuamosa hiperkeratotik yang
menahun. Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit
menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian
tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.
Sering terdapat di daerah tumit, telapak kaki, dan kaki bagian lateral, dan biasanya
bilateral.
Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang
bula. Kelainan ini mula-mula terdapat di pada daerah sela jari, kemudian meluas
ke punggung kaki atau telapak kaki, dan jarang pada tumit. Lesi-lesi ini mungkin
berasal dari perluasan lesi daerah interdigital. Isi vesikel berupa cairan jernih yang
kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik berbentuk lingkaran
yang disebut kolaret. Infeksi sekunder dapat terjadi, sehingga dapat
menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang-kadang menyerupai erisipelas.
Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk menemukannya, sebaiknya
diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa untuk diperiksa secara sediaan
langsung atau untuk dibiak.
Gambaran klinis tinea manum umumnya berupa telapak tangan yang
hiperkeratotik, kulit kering, berskuama, biasanya unilateral. Inflamasi berupa
vesikel atau bula jarang ditemukan. Kelainan ini perlu dibedakan antara lain
dengan psoriasis, keratoderma palmaris, dermatitis kontak, dan infeksi jamur
nondermatofit.
b. Tinea unguium (dermatophytic onycomicosis, ringworm of the nail)
Trichophyton rubrum dan T. interdigitale adalah spesies yang sering
menyebabkan tinea unguium.
Tinea unguium merupakan kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi
jamur Dermatofita.Terdapat 3 bentuk klini menurut ZAIAS, yaitu:
1. subungual distalis, yang dimulai dari tepi distal atau disolateral kuku dan menjalar
ke proksimal. Pada bagian bawah kuku dapat ditemui sisa kuku yang rapuh. Jika
proses berlanjut kuku pada bagian distal akan hancur menjadi menyerupai kapur.
2. subungual proksimalis, dimulai dari pangkal kuku. Pada kelainan tipe ini,
didapatkan kuku bagian distal masih utuh sedangkan bagian proksimal sudah
rusak. Sering dijumpai pada kuku kaki.
3. leukonikia trikofita, kelainan kuku berupa keputihan di permukaan kuku. Kelainan
ini disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes
c. Tinea kruris (eczema marginatum, dhobie itch, ringworm of the groin)
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut ataupun menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat berbatas pada
daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan
perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.11
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah di tengahnya. Fluoresensi terdiri
atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfik). Bila menahun
dapat disertai bercak hitam dan bersisik. Erosi dan keluarnya cairan terjadi akibat
garukan. Dan tinea kruris merupakan bentuk klinis tersering di Indonesia.2
Dermatofit T rubrum menjadi penyebab yang paling umum untuk tinea cruris.
T rubrum menjadi dermatofit yang lazim 90% dari kasus tinea cruris, diikuti T
tonsurans ( 6%) dan T mentagrophytes ( 4%). Organisme lain, termasuk E floccosum
dan T verrucosum, menyebabkan suatu kondisi klinis yang serupa. Infeksi T rubrum
dan E floccosum lebih cenderung untuk menjadi kronis dan non-inflamatori,
sedangkan infeksi oleh T mentagrophytes sering dihubungkan dengan suatu presentasi
klinis merah, menyebabkan peradangan akut.12
Agen yang pada umumnya menyebabkan tinea kruris antara lain: T. rubrum,
T. interdigitale dan E. floccosum. 11
d. Tinea kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan
oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerahan,
alopesia dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat, yang disebut
kerion. Ada tiga bentuk tinea kapitis:
Gray patch ring-worm, merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh
genus microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan
papul merah yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak,
yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut
menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan terlepas dari
akarnya sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di
daerah tersebut terserang oleh jamur dan menyebabkan alopesia setempat. Tempat-
tempat terlihat sebagai gray patch, yang pada klinik tidak menunjukan batas daerah
sakit dengan pasti. Pada pemeriksaan lampu wood terlihat fluoresensi hijau
kekuningan pada rambut yang sakit, melampaui batas dari gray patch tersebut. Tinea
kapitis disebabkan oleh microsporum audouini biasanya disertai tanda peradangan,
hanya sesekali berbentuk kerion.2
Kerion, merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Microsporum canis
(Mulyono, 1986). Bentuk yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat. Lesi
berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan sebukan radang di
sekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang menetap.13
Black dot ring-worm, merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh
Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum (Mulyono, 1986). Gambaran
klinis berupa terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut
yang terinfeksi tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora
terlihat sebagai titik hitam. Diagnosis banding pada tinea kapitis adalah alopesia
areata, dermatitis seboroik dan psoriasis (Siregar, 2005). 13
f. Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, scherende flechte, kurap, herpes
sircine trichophytique)
Merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin).
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atu lonjong, berbatas tegas
terdiri dari eritema, squama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi. Daerah
tengah biasanya tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi
pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Dapat
terlihat sebagai lesi dengan tepi polisiklik, karena beberapa lesi kulit menjadi satu.
Tinea korporis yang menahun tanda radang yang mendadak biasanya tidak terlihat
lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan
kelainan pada sela paha. Dalalm hal ini disebut tinea korporis et kruris atau sebaliknya
tinea kruris et korporis. Bentuk menahun dari trichophyton rubrum biasanya dilihat
bersama-sama dengan tinea unguium.
Bentuk khas dari tinea korporis yang disebabkan oleh trichophyton concentricum
disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata dimulai dengan bentuk papul berwarna
coklat, yang perlahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari
dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian
tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran berskuama yang kosentris.
Bentuk tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea favosa atau
favus. Penyakit ini biasanya dimulai dikepala sebagai titik kecil di bawah kulit yang
berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk cawan (skutula)
dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya tembus oleh satu atau dua rambut
dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan membasah. Rambut
tidak berkilat lagi dan terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas keseluruh
kepala dan meninggalkan parut dan botak. Berlainan dengan tinea korporis yang
disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada usia akil balik. Biasanya
tercium bau tikus (mousy odor) pada para penderita favus. Tiga spesies dermatofita
yang menyebabkan favus, yaitu trichophyton schoenleini, trichophyton violaceum,
dan microsporum gypseum. Berat ringan bentuk klinis yang tampak tidak bergantung
pada spesies jamur penyebab, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat
kebersihan, umur, dan ketahanan penderita penderita.2
Pemeriksaan Penunjang
Mikroskopik langsung
Sediaan basah dibuat dengan meletakan bahan di atas gelas alas, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi 10% untuk rambut dan untuk kulit, dan
untuk kuku 20%. Setelah sedian dicampur dengan KOH, tunggu 15-20 menit untuk
melarutkan jaringan.untuk mempercepat pelarutan dilakukan pemanasan sediaan
basah di atas api kecil. Pada saat mulai keluar uap, pemanasan dihentikan. Untuk
melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sedian KOH,
misalnya tinta parker superchroom blue black.2
Kerokan kulit, kuku, dan epitel rambut diuji dengan KOH 10% dan sediaan
tinta Parker atau calcofluor -white.11
pemanasan untuk mempercepat proses akan tetapi jangan sampai beruap. Pada
sediaan kulit dan kuku dapat terlihat hifa ataupun artrospora. Pada sediaan rambut
dapat terlihat mikrospora dan makrospora.
Pemeriksaan dengan biakan diperlkan untuk menentukan spesies jamur. Media
yang digunakan adalah agar saboraud. Dapat ditambahkan antibiotic seperti
kloramfenikol untuk menghindari kontaminasi1
.
Kultur
Spesimen akan diinokulasi ke dalam media isolasi primer, seperti agar
sabouraud’s dextrose yang terdiri dari sikloheksimid (actidione) dan masa inkubasi
26-28o C selama 4 minggu. Pertumbuhannya signifikan pada banyak dermatofita.11
Diagnosa
Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas yaitu
bercak-bercak yang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain, sehingga
memberikan kelainan-kelainan yang polimorfik, dengan bagian tepi yang aktif serta
berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang. Gejala objektif ini selalu disertai
dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk maka papula-papula atau
vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosit dan bila
mengering jadi krusta dan skuama.Kadang-kadang bentuknya menyerupai dermatitis
(ekzema marginatum), tetapi kadang-kadang hanya berupa makula yang
berpigmentasi saja (Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai gejala-
gejala pioderma (impetigenisasi).3
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakan diagnosa terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain misalnya
pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan imunologik tidak diperlukan.2
Diagnosa Banding
Tinea pedis et manum harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya
batasnya tidak jelas, bagian tepi lebih aktif dari pada bagian tengah. Adanya vesikel-
vesikel steril pada jari-jari kaki dan tangan (pomfoliks) dapat merupakan reaksi id,
yaitu akibat setempat hasil reaksi antigen dengan zat anti pada tempat tersebut.
Efek samping obat juga dapat memberi gambaran serupa yang menyerupai
ekzem atau dermatitis, pertama-tama harus dipikirkan adanya suatu dermatitis kontak.
Pada hiperhidrosis terlihat kulit yang mengelupas (maserasi). Kalau hanya terlihat
vesikel-vesikel, biasanya terletak sangat dalam dan terbatas pada telapak kaki dan
tangan. Kelainan tidak meluas sampai di sela-sela jari. 2
Penyakit lain yang harus mendapat perhatian adalah kandidiosis,
membedakannya dengan tinea pedis murni kadang-kadang sangat sulit. Pemeriksaan
sediaan langsung dengan KOH dan pembiakan dapat menolong. Infeksi sekunder
dengan spesies candida atau bakteri lain sering menyertai tinea pedis, sehingga pada
kasus-kasus demikian diperlukan interpretasi bijaksana terhadap hasil-hasil
pemeriksaan laboraturium. Sifilis II dapat berupa kelainan kulit di telapak tangan dan
kaki. Lesi yang merah dan basah dapat merupakan petunjuk. Dalalm hal ini tanda-
tanda lain sifilis akan terdapat misalnya: kondiloma lata, pembesaran kelenjar getah
bening yang menyeluruh, anamnesa tentang afek primer dan pemeriksaan serologi
serta lapangan gelap dapat menolong.
Tinea unguium yang disebabkan oleh bermacam-macam dermatofita
memberikan gambaran akhir yang sama. Psoriasis yang menyerang kuku pun dapat
berakhir dengan kelainan yang sama. Lekukan-lekukan pada kuku (nail pits), yang
terlihat pada psoriasis tidak didapati pada tinea unguium. Lesi-lesi psoriasis pada
bagian lain badan dapat menolong membedakannya dengan tinea unguium. Banyak
penyakit kulit yang menyerang bagian dorsal jari-jari tangan dan kaki dapat
menyebabkan kelainan yang berakhir dengan distrofi kuku, misalnya: Paronikia, yang
etiologinya bermacam-macam ekzem/dermatitis, akrodermatitis perstans.
Tidak begitu sukar menentukan tinea korporis pada umumnya, namun ada
beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan diagnosa itu, misalnya dermatitis
seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea. Kelainan kulit pada dermatitis seboroika
selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya terlihat pada tempat-tempat
predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit , misalnya belakang
telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya. Psoriasis dapat dikenal pada kelainan kulit
pada tempat predileksinya, yaitu daerah ekstensor misalnya lutut, siku dan punggung.
Kulit kepala berambut juga sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan-lekukan
pada kuku dapat pula menolong menentukan diagnosa. Ptiriasis rosea distribusi
kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada bagian tubuh dan bagian proksimal
anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboraturiumlah
yang dapat memastikan diagnosanya. Tinea korporis kadang sukar dibedakan dengan
dermatitis seboroik pada sela paha. Lesi-lesi ditempat predileksi sangat menolong
dalm menentukan diagnosa. Psoriasis pada sela paha dapat menyerupai tinea kruris.
Lesi pada psoriasis lebih merah, skuama lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi
psoriasis pada tempat lain dapat membantu menentukan diagnosa.
Kandidosis pada daerah lipat paha mempunyai konfigurasi hen and chicken.
Kelainan ini biasanya basah dan berkrusta. Pada wanita ada tidaknya flour abus dapat
membantu pengarahan diagnosa. Pada penderita diabetes mellitus, kandidosis
merupakan penyakit yang sering dijumpai.
Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokasi di sela paha.
Efloresensi yang sama yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-
tanda khas dari penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu wood dapat menolong
dengan adanya floresensi merah (coral red).
Tinea barbe kadang sukar dibedakan dengan sikosis barbe, yang disebabkan
oleh piokokus. Pemeriksaan sediaan langsung dapat membedakan kedua penyakit ini.2
Pengobatan
Pengobatan dermatofitosis sering tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi
tunggal pada kulit dapat diterapi secara adekuat dengan antijamur topikal. walaupun
pengobatan topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan biasanya
membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Infeksi dermatofitosis yang kronik atau
luas, tinea dengan implamasi akut dan tipe "moccasin" atau tipe kering jenis t.rubrum
termasuk tapak kaki dan dorsum kaki biasanya juga membutuhkan terapi sistemik.
Idealnya, konfirmasi diagnosis mikologi hendaknya diperoleh sebelum terapi sistemik
antijamur dimulai. Pengobatan oral, yang dipilih untuk dermatofitosis adalah.2,11
Infeksi Rekomendasi Alternatif
Tinea
unguium(Onychomycosis)
Terbinafine 250
mg/hr 6 minggu
untuk kuku jari
tangan, 12 minggu
untuk kuku jari kaki
Itraconazole 200 mg/hr /3-5 bulan atau
400 mg/hr seminggu per bulan selama
3-4 bulan berturut-turut.
Fluconazole 150-300 mg/ mgg s.d
sembuh (6-12 bln) Griseofulvin 500-
1000 mg/hr s.d sembuh (12-18 bulan)
Tinea capitis Griseofulvin
500mg/day
(≥ 10mg/kgBB/hari)
sampai sembuh (6-8
minggu)
Terbinafine 250 mg/hr/4 mgg
Itraconazole 100 mg/hr/4mgg
Fluconazole 100 mg/hr/4 mgg
Tinea corporis Griseofulvin 500
mg/hr sampai
sembuh (4-6
minggu), sering
dikombinasikan
Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4
minggu Itraconazole 100 mg/hr
selama 15 hr atau 200mg/hr selama 1
mgg. Fluconazole 150-300 mg/mggu
selama 4 mgg.
dengan imidazol.
Tinea cruris Griseofulvin 500
mg/hr sampai
sembuh (4-6
minggu)
Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4
mgg Itraconazole 100 mg/hr selama
15 hr atau 200 mg/hr selama 1 mgg.
Fluconazole 150-300 mg/hr selama 4
mgg.
Tinea pedis Griseofulvin
500mg/hr sampai
sembuh (4-6
minggu)
Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4
mgg Itraconazole 100 mg/hr selama
15 hr atau 200mg/hr selama 1 mgg.
Fluconazole 150-300 mg/mgg selama
4 mgg.
Chronic and/or
widespread
non-responsive
tinea.
Terbinafine 250
mg/hr selama 4-6
minggu
Itraconazole 200 mg/hr selama 4-6
mgg. Griseofulvin 500-1000 mg/hr
sampai sembuh (3-6 bulan).
Tabel 2.3 Pilihan terapi oral untuk infeksi jamur pada kulit11
Pada pengobatan kerion stadium dini diberikan kortikosteroid sistemik sebagai
antiinflamasi, yakni prednisone 3x5 mg atau prednisolone 3x4 mg sehari selama dua
minggu, bersamaaan dengan pemberian grisiofulvine yang diberikan berlanjut 2
minggu setelah lesi hilang. Terbinafine juga diberikan sebagai pengganti griseofulvine
selama 2-3 minggu dosis 62,5-250 mg sehari tergantung berat badan.
Efek samping griseofulvine jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama
ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efek samping lain berupa gangguan
traktus digestifus yaitu: nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut bersifat fotosensitif
dan dapat mengganggu fungsi hepar.
Efek samping terbinafine ditemukan kira-kira 10% penderita, yang tersering
gangguan gastrointestinal diantaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diarea,
konstipasi, umumnya ringan. Efek samping lain berupa ganguan pengecapan,
persentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau keseluruhan setelah
beberapa minggu minum obat dan hanya bersifat sementara. Sefalgia ringan
dilaporrkan pula 3,3%-7% kasus.
Pada kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan ketokonazol sebagai
terapi sistemik 200 mg per hari selam 10 hari sampai 2 minggu pada pagi hari setelah
makan. Ketokonazol kontraindikasi untuk kelainan hepar.2
B. NON DERMATOFITOSIS
1. PITIRIASIS VERSIKOLOR
Defenisi
Pitiriasis versikolor yang disebabkan Malassezia furfur Robin (BAILLON 1889)
adalah penyakit jamir superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif,
berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi
badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher,
muka dan kulit kepala yang berambut.
Sinonim
Tinea versikolor, kromofitosis, dermatomikosis, liver spots, tinea flava, pitiriasis
versikolor flava dan panau.
Epidemiologi
Pitiriasis versikolor adalah penyakit universal dan terutama ditemukan di daerah
tropis.
Patogenesis
Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya pitiriasis
vesikolor ialah Pityrosporum orbiculareyang berbentuk bulat atau Pityrosporum
ovale yang berbentuk oval. Keduanya merupakan organisme yang sama, dapat
berubah sesuai lingkungannya, misalnya suhu, media, dan kelembaban.
Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi
menjadi patogen dapat endogen atau eksogen. Endogen dapat disebabkan diantaranya
oleh defisiensi imun. Eksogen dapat karena faktor suhu, kelembaban udara, dan
keringat.
Gejala Klinis
Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama
di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak
teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Becak-bercak tersebut berfluoresensi
bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun
jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga adakalanya penderita tidak
mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan
alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan
pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita.
Penyakit ini sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa
tua tidak luput dari infeksi. Menurut BURKE (1961) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi infeksi, yaitu faktor herediter, penderita yang sakit kronik atau yang
mendapat pengobatan steroid dan malnutrisi.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinis, pemeriksaan flurosensi, lesi kulit dengan
lampu Wood dan sedian langsung.
Gambaran klinis dapat dilihat pada judul “gejala klinis”, fluoresensi lesi pada kulit pada
pemeriksaan lampu Wood berwarna kuning keemasan dan pada sediaan langsung kerokan
kulit dengan larutan KOH 20% terlihat campuran hifa pendek dan spora-spora bulat yang
dapat berkelompok.
Diagnosis Banding
Penyakit ini harus dibedakan dengan dermatitis seboroika, eritramas, sifilis II,
aachromia parasitik dari Pardo-Costello dan Dominiquez, morbus hansen, ptiriasis alba, serta
vitiligo.
Pengobatan
Pengobatan harus dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat-obatan yang
dapat dipakai misalnya : suspensiselenium sulfide (selsun) dapat dipakai sebagai sampo 2-3
kali seminggu. Obat digosokkan pada lesi dan didiamkan 15-30 menit, sebelum mandi. Obat-
obat lain yang berkhasiat terhadap penyakit ini adalah salisil spiritus 10%; derivat-derivat
azol, misalnya mikonazol, klotrimazol, isokonazol dan ekonazol; sulfur presipitatum dalam
bedak kocok 4-20%; tolsiklat; tolnaftat dan haloprogin. Larutan tiosulfas natrikus 25% dapat
pula digunakan; dioleskan sehari 2 kali sehabis mandi selama 2 minggu. Jika sulit
disembuhkan ketokanazol dapat dipertimbangkan dengan dosis 1x200mg sehari selama 10
hari.
Prognosis
Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten.
Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu
Wood dan sediaan langsung negatif.
2. PITIROSPORUM FOLIKULITIS
Pitirosporum folikulitis (malasezia folikulitis) merupakan penyakit yang sudah
cukup lama dikenal didunia kedokteran, khususnya dikalangan para ahli kulit, oleh
karena klinisnya mirip acne vulgaris atau jerawat. Di daerah tropis penyakit ini
menarik perhatian para dokter kulit setelah di publikasikan di korea, filipina dan
Indonesia. Di indonesia telah diteliti oleh harjandi dkk. (2000) dan indrarini (2001)
Penyakit Pitirosporum folikulitis, merupakan penyakit jamur superfisial atau
mikosis superfisial yang termasuk golongan non-dermatofitosis yaitu disebabkan oleh
jenis jamur yang tidak dapat mengeluarkan zat yang dapat mencerna keratin kulit
tetapi hanya menyerang lapisan kulit yang paling luar dan Lebih sering terjadi pada
dewasa muda.
Pityrosporum folliculitis bukanlah infeksi. Weary dkk pertama kali
menjelaskan Pityrosporum folikulitis pada tahun 1969, dan kemudian pada tahun
1973, Potter dkk mengidentifikasi Pityrosporum folliculitis sebagai diagnosis klinis
dan histologis yang terpi.
DEFENISI
Pitirosporum folikulitis adalah penyakit kronis pada folikel polisebasea yang
disebabkan oleh spesies pitirosporum, berupa papul (Penonjolan kulit yang solid
dengan diameter < 1 cm) dan pustul folikular, yang biasanya gatal dan terutama
berlokasi dibatang tubuh, leher dan lengan bagian atas.
Pityrosporum folliculitis adalah suatu kondisi kulit yang berkembang karena
jamur dalam folikel rambut dan menyebabkan pruritus (gatal) yang papulopustules,
dengan bentuk menyerupai jerawat hanya saja pada pityrosporum folliculitis papulnya
berwarna lebih merah terang. Pustula ini terbentuk dari pertumbuhan berlebih dari
jamur penyebabnya.
SINONIM
Malasezia folikulitis
Etiologi
Jamur penyebab adalah spesies pityrosporum yang identik dengan malassezia
furfur, penyebab pitiriasis versikolor atau panu. Spesies ini sekarang disebut sebagai
malassezia setelah ditemukan 7 spesies, sehingga penyakit yang disebabkan oleh
jamur ini atau dihubungkannya yang dahulu dinamai pitirosporosis sekarang disebut
malaseziosis.
Jamur penyebab yang sekarang disebut sebagai Malassezia khususnya
Malassezia furfur, adalah agen patogen pada Pityrosporum folliculitis. M furfur juga
dikaitkan dengan penyakit kulit lainnya, termasuk dermatitis seboroik, folikulitis,
pityriasis versicolor, dan dermatitis atopik
GAMBARAN KLINIS
Mallassezia folikulitis atau pitirosporum folliculitis memberikan keluhan gatal
pada tempat predeleksi, klinis morfologi terlihat papul dan pustul perifolikuler,
berukuran diameter 2-3mm, dengan peradangan minimal. Bentuknya menyerupai
jerawat, karena gatal maka akan timbul juga erupsi papular.
Tempat predeleksinya yaitu dada, punggung dan lengan atas,. Kadang-kadang terdapat di
leher dan jarang dimuka.
Mallassezia folikulitis atau pitirosporum
folliculitis
Mallassezia folikulitis atau pitirosporum
folliculitis
Mallassezia folikulitis atau pitirosporum
folliculitis
Mallassezia folikulitis atau pitirosporum
folliculitis
PATOGENESIS
Spesies malassezia merupakan penyebab pitirosporum folliculitis dengan sifat
dimorfik(berada dalam dua bentuk atau struktur yang berbeda), lipofilik
( membutuhkan asam lemak yang ada dalam kulit berminyak untuk berkembang biak)
dan komensal.
Jamur Malassezia yang merupakan penyebab pitirosporum folliculitis ini
membutuhkan asam lemak bebas untuk bertahan hidup. Biasanya, mereka ditemukan
dalam stratum korneum dan folliculi pilar di daerah dengan peningkatan aktivitas
kelenjar sebaceous seperti dada dan punggung.
Bila pada hospes terdapat faktor predisposisi, maka spesies malassezia akan
tumbuh berlebihan dalam folikel, sehingga folikel dapat pecah. Dalam hal ini reaksi
peradangan terhadap produk, tercampur dengan asam lemak bebas yang dihasilkan
melalui aktifitas lipase.
Perluasan folikel rambut mengarah ke letusan putih pada kulit yang
mengelilingi folikel rambut. Letusan ini juga dapat tampak merah, ini tergantung pada
cuaca. Ketika folikel banyak terinfeksi oleh jamur, maka kulit akan tampak sebagai
ruam putih atau merah.
Pesatnya pertumbuhan dan multiplikasi dari jamur di wilayah folikel rambut
menyebabkan pengembangan ruam pada kulit. Kulit membentuk patch gatal dan
jerawatan.
DIAGNOSIS
Diagnosis Pitirosporum folikulitis didasarkan pada kecurigaan klinis dari
presentasi klasik papulopustules pruritus dalam pola folikuler ditemukan di punggung,
dada, lengan atas, dan, terkadang leher. serta jarang hadir pada wajah. Perbaikan atau
pengobatan lesi dengan terapi empirik antimycotic mendukung diagnosis klinis
Pityrosporum folliculitis. Di bawah lampu Wood, fluoresensi biru terang atau putih
yang diamati pada folikel di lokasi lesi. Diagnosa dengan biopsi juga dapat dilakukan,
yang kemudian seperti penyakit jamur umumnya di gunakan KOH 10%.
Gambaran Histologis:
Dilated folikel rambut dengan sumbat keratin mengandung spora jamur
Intra-dan perifollicular inflamasi infiltrat terdiri dari neutrofil, limfosit dan histiosit
Intra-dan perifollicular musin kolam Folikel rambut bisa pecah, menghasut reaksi tubuh
granulomatosa asing
Diagnosa banding atau penyakit yang mirip, meliputi:
Akne vulgaris (jerawat)
Folikulitis bakterial
Erupsi akne formis.
PENGOBATAN
Pengobatan dilakukan dengan mengunakan obat antijamur atau anti mikotik oral,
misalnya :
Ketokonazol 200 gr selama 2-4 minggu
Itrakonazol 200gr sehari selama 2 minggu
Flukonazol 150gr seminggu selama 2-4 minggu
Pengobatan dengan anti jamur topikal biasanya kurang efektif, walaupun dapat menolong.
3. PIEDRA
Piedra adalah infeksi jamur pada rambut, ditandai dengan benjolan/nodus sepanjang rambut.
Disebabkan oleh Piedreaia hortae (black piedra) dan Trichosporon beigelii (white piedra).
Sinonim : black piedra, white piedra, tinea nodosa, piedra nostros, trikomikosis
nodosa,chiqnon disease, Beigel disease.
Gejala Klinis :
Piedra hanya menyerang rambut kepala, janggut dan kumis tanpa memberi keluhan.
Krusta melekat erat sekali pada rambut yang terserang. Ukurannya dapat sangat kecil
sampai besar. Benjolan yang besar dapat mudah dilihat, diraba dan teraba kasar bila
rambut diraba dengan jari. Jika rambut disisir, maka akan terdengar suara metal (klik).
Piedra hitam menyerang rambut kepala di bawah kutikel, kemudian membengkak dan
pecah untuk menyebar di sekitar rambut (shaft) dan membentuk benjolan tengguli dan
hitam. Piedra ini ditemukan di daerah iklim tropis.
Piedra putih menyerang janggut dan kumis. Benjolan berwarna coklat muda dan tidak
begitu melekat pada rambut.
Diagnosis :
Piedra hitam : hasil KOH menunjukkan benjolan berukuran macam-macam dan
terpisah satu dengan yang lain. Benjolan berwarna tengguli hitam ini terdiri dari hifa
bersputum, teranyam padat dan di antaranya terdapat askus-askus. Dalam askus
terdapat 4-8 askospora.
Piedra putih : hasil KOH menunjukkan benjolan tidak begitu terpisah satu dengan yang
lainnya. Anyaman hifa mengelilingi rambut seperti selubung. Benjolan lebih mudah
lepas dari rambut dan berwarna kehijau-hijauan yang transparan.
Pengobatan :
memotong rambut yang terkena infeksi atau mencuci rambut dengan larutan sublimat
1/2000 setia hari. Obat anti jamur yang konvensional juga dapat dipakai.
4.TINEA NIGRA
SINONIM
Tinea nigra palmaris, keratomikosis nigrikans palmaris, kladosporiosis epidemika,
pitiriasis nigra, mikrosporosis nigra.1,2
DEFINISI
Tinea nigra adalah infeksi jamur kulit asimptomatik, superfisial, biasanya menyerang
kulit palmar (telapak tangan) disebabkan karena Hortae werneckii (dulu namanya
PhaeoanneIlomyces werneckii dan Exophiala werneckii)3.
ETIOLOGI
Umumnya disebabkan oleh Hortae werneckii (PhaeoanneIlomyces werneckii2,3,4
Exophiala werneckii1,2, Cladosporium werneckii1,5) yang merupakan jamur
dematiaceous seperti ragi.4 Arti dematiaceous adalah jamur kapang (mould/mold)
berwarna coklat.6 Dapat juga disebabkan oleh jamur dematiaceous yang lainnya
yaitu Stenella araguata. 1,2
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini jarang terjadi.3,6 Kasus tinea nigra terjadi secara sporadik dibeberapa
bagian belahan dunia terutama didaerah pantai negara-negara tropis dan subtropis
seperti misalnya : Kepulauan Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Asia, Afrika dan
Australia.2,7
Penyakit ini paling sering menyerang anak-anak dan dewasa muda, berumur kurang
dari 19 tahun, pada wanita 3 kali lebih sering dibandingkan pada pria dan hampir
sebagian besar infeksi dilaporkan terjadi pada individu imunokompeten.1,2,7
CARA PENULARAN
Jamur penyebab berada saprofit di tanah, limbah, sampah/tumbuh-tumbuhan busuk
dan humus.1,6
Juga tumbuh di kayu dan cat pada lingkungan lembab dan tirai kamar mandi.1
Lesi diduga terjadi melalui inokulasi langsung pada kulit yang sebelumnya
mengalami trauma minor.
Dapat terjadi autoinokulasi.
Dicurigai dapat penularan dari manusia ke manusia,8 yang biasanya jarang terjadi,3
tapi ada yang menyanggahnya.
PATOGENESIS
Faktor predisposisi adalah telapak tangan yang hiperhidrosis.6
Ada yang menyatakan tidak ada faktor predisposisi dan tidak ada hubungan dengan
kegagalan sistem imunologis, serta tidak ada hubungan dengan penyakit lain dan tidak
ada predisposisi genetik.1
Infeksi hanya terbatas pada stratum korneum dan biasanya tidak merangsang
timbulnya reaksi inflamasi.7
GEJALA KLINIS
Masa inkubasi 10-15 hari hingga 7 minggu, dapat beberapa tahun1,2,3 sampai 20
tahun.3
Lesi khas berupa satu makula berbatas jelas, berwarna coklat kehitaman, tidak
berskuama dan asimptomatik (tidak gatal, tidak nyeri).1,2,9,10
Lesi mula-mula kecil
kemudian dapat melebar secara sentrifugal atau bersatu dengan lesi lainnya
membentuk tepi yang tidak beraturan atau polisikllis.1,2,4,11
Pigmentasi tidak merata,paling gelap didapatkan pada bagian tepi.1,2,3,7,10
Tidak didapatkan eritema atau tanda-tanda inflamasi lain.6
Karena asimtomatis menyebabkan tidak terdiagnosis dalam waktu yang lama. 6
Lesi umumnya terbatas pada satu telapak tangan, namun dapat mengenai jari
tangan, telapak kaki, pergelangan tangan, dada dan leher, 1,3,4,10
wajah tidak pernah terkena.8
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis dan gambaran klinis yang khas. 1,2,10
Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20 % tampak miselium yang terdiri atas hifa
bercabang banyak, berukuran besar diameter sampai 6 μm, septa berdinding tebal,
berwarna kecoklatan, dan tampak budding cells berbentuk bulat memanjang. Bagian
akhir hifa biasanya hialin (tidak berwarna).1,2,10 Hasil pemeriksaan langsung ini
sudah dapat menyokong/ memastikan diagnosis tinea nigra.
Bila dilakukan kultur pada medium Sabouraud's dextrose agar (DA) dengan
sikloheksimid dan khlorampenicol3 tumbuh 7 sampai ± 14 hari. Mula-mula berwarna
putih, lembab dan seperti ragi (yeast) kemudian koloni menjadi hijau kecoklatan atau
hitam. Permukaannya kemudian sering menjadi abu-abu atau kehijauan. Permukaan
bawah koloni berwarna hitam.1,4,5,10
Pemeriksaan mikroskopik pada kultur dini tampak sel seperti ragi, sering bentuk dua-
dua (2 sel dipisahkan septum). Kemudian tampak hifa bersepta, berlekuk dan
berwarna gelap dan tumbuh konidia oval di sepanjang hifa. Pigmentasinya tidak
sama. 1,4,5,10
Pada pemeriksaan histopatologi dengan pengecatan hematoksilin eosin (HE) atau
GMS (Gomori methenamine silver) tampak penebalan stratum korneum dan
parakeratosis. Tampak hifa bercabang berwarna coklat di lapisan atas stratum
korneum. Stratum lusidum tidak terkena dan tidak ada tanda-tanda inflamasi. 1,2,10
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat dipakai untuk mempercepat identifikasi H.
werneckii. 11
DIAGNOSIS BANDING
Pitiriasis versikolor, Akral lentigo melanoma maligna, Junctional nevus, Sifilis
sekunder, Hiperpigmentasi pasca inflamasi, lesi pigmentasi Penyakit Addison’s,
bahan pewarna perak nitrat, Tattto, Pinta. 1,2,6,10
PENGOBATAN
Obat topikal :
Obat keratolitik : Salep Whitfield(=AAV II, berisi asidum salisilikum 6%, asidum
benzoikum 12% dalam vaselin album ) dioleskan pagi dan malam.3 Salep AAV I
(half strengh Whitfield ointment) tidak efektif. 10
Krim asam Undesilenik 2-3 minggu12
Krim Imidazol : mikonazol,3,10,11 klotrimazol11, ketokonazol3 dioleskan 2 x
sehari.
Krim Terbinafin3,11,13
Asam Retinoid14
Ciclopirox14
Obat topikal dilanjutkan selama 2-4 minggu sesudah sembuh klinis untuk
mencegah kambuh,3,6 , minimal 3 minggu pengobatan.6 Dianjurkan dikerok / dikupas
dengan penempelan cellophane tape (selotip) terlebih dahulu, baru diolesi obat
topikal.9
Obat oral
Indikasi obat oral adalah bila setelah pengobatan topikal yang adekuat tidak
sembuh.10
Obat yang dapat diberikan :
1. Ketokonazol 200 mg/ hari selama 3 minggu.9,10
2. Itrakonazol.7
Pengobatan dengan oral Griseofulvin tidak efektif.7
PENCEGAHAN
Tidak ada pencegahan khusus.1
PROGNOSIS
Baik. Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh lagi,
kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab.1,7 Resolusi spontan sangat jarang
terjadi.2 Bila tidak diobati oleh karena asimptomatik akan menjadi kronis.1
5.OTOMIKOSIS
Otomikosis ( dikenal juga dengan Singapore Ear ), adalah infeksi telinga yang
disebabkan oleh jamur, atau infeksi jamur, yang superficial pada kanalis auditorius
eksternus.6
Otomikosis ini sering dijumpai pada daerah yang tropis. Infeksi ini dapat
bersifat akut dan subakut, dan khas dengan adanya inflammasi, rasa gatal, dan
ketidaknyamanan. Mikosis ini menyebabkan adanya pembengkakan, pengelupasan
epitel superfisial, adanya penumpukan debris yang berbentuk hifa, disertai suppurasi,
dan nyeri.6,7
EPIDEMIOLOGI
Angka insidensi otomikosis tidak diketahui, tetapi sering terjadi pada daerah
dengan cuaca yang panas, juga pada orang-orang yang senang dengan olah raga air. 1
dari 8 kasus infesi telinga luar disebabkan oleh jamur. 90 % infeksi jamur ini
disebabkan olehAspergillus spp, dan selebihnya adalah Candida spp. Angka
prevalensi Otomikosis ini dijumpai pada 9 % dari seluruh pasien yang mengalami
gejala dan tanda otitis eksterna. Otomikosis ini lebih sering dijumpai pada daerah
dengan cuaca panas, dan banyak literatur menyebutkan otomikosis berasal dari negara
tropis dan subtropis. Di United Kingdom ( UK ), diagnosis otitis eksterna yang
disebabkan oleh jamur ini sering ditegakkan pada saat berakhirnya musim panas.8
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ali Zarei tahun 2006, Otomikosis
dijumpai lebih banyak pada wanita ( terutama ibu rumah tangga ) daripada pria.
Otomikosis biasanya terjadi pada dewasa, dan jarang pada anak-anak. Pada penelitian
tersebut, dijumpai otomikosis sering pada remaja laki-laki, yang juga sesuai dengan
yang dilaporkan oleh peneliti lainnya.9
Tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hueso,dkk, dari 102 kasus
ditemukan 55,8 %nya merupakan lelaki, sedangkan 44,2% nya merupakan wanita.3
ETIOLOGI
Faktor predisposisi terjadinya otitis eksterna, dalam hal ini otomikosis,
meliputi ketiadaan serumen, kelembaban yang tinggi, peningkatan temperature, dan
trauma lokal, yang biasanya sering disebabkan oleh kapas telinga ( cotton buds ) dan
alat bantu dengar. Serumen sendiri memiliki pH yang berkisar antara 4-5 yang
berfungsi menekan pertumbuhan bakteri dan jamur. Olah raga air misalnya berenang
dan berselancar sering dihubungkan dengan keadaan ini oleh karena paparan ulang
dengan air yang menyebabkan keluarnya serumen, dan keringnya kanalis auditorius
eksternus. Bisa juga disebabkan oleh adanya prosedur invasif pada telinga.
Predisposisi yang lain meliputi riwayat menderita eksema, rhinitis allergika, dan
asthma.8
Infeksi ini disebabkan oleh beberapa spesies dari jamur yang bersifat saprofit,
terutama Aspergillus niger. Agen penyebab lainnya meliputi A. flavus, A. fumigatus,
Allescheria boydii, Scopulariopsis, Penicillium, Rhizopus, Absidia, dan Candida
Spp. Sebagai tambahan, otomikosis dapat merupakan infeksi sekunder
dari predisposisi tertentu misalnya otitis eksterna yang disebabkan bakteri yang
diterapi dengan kortikosteroid dan berenang.9,10
Banyak faktor yang menjadi penyebab perubahan jamur saprofit ini mejadi
jamur yang patogenik, tetapi bagaimana mekanismenya sampai sekarang belum
dimengerti. Beberapa dari faktor dibawah ini dianggap berperan dalam terjadinya
infeksi, seperti perubahan epitel, peningkatan kadar pH, gangguan kualitatif dan
kuantitatif dari serumen, faktor sistemik ( seperti gangguan imun tubuh,
kortikosteroid, antibiotik, sitostatik, neoplasia ), faktor lingkungan ( panas,
kelembaban ), riwayat otomikosis sebelumnya, Otitis media sekretorik kronik, post
mastoidektomi, atau penggunaan substansi seperti antibiotika spectrum luas pada
telinga.3
Aspergillus niger dilaporkan sebagai penyebab paling terbanyak dari
otomikosis ini. Pada dua penelitian di Babol dan barat laut Iran, A.niger dilaporkan
sebagai penyebab utama. Ozcan dkk, dan Hurst melaporkanA.niger , juga sebagai
penyebab terbanyak otomikosis di Turki dan Australia. Tetapi, Kaur, dkk,
menemukan bahwa A.fumigatussebagai penyebab terbanyak diikuti denganA.niger.
Spesies Aspergillus lainnya yang dihubungkan dengan otomikosis
adalahA.flavus. Penicillum juga dilaporkan oleh Pavalenko. Jamur lainnya yang
berhubungan dengan terjadinya otomikosis adalah C.albicansdan C. parapsilosis. Pada
penelitian yang dilakukan Ali Zarei di Pakistan Tahun 2006, dijumpai A.niger sebagai
penyebab utama diikuti dengan A.flavus.9,10
Aspergillus niger, juga telah dilaporkan sebagai penyebab otomikosis pada
pasien immunokompromis, yang tidak berespon terhadap berbagai regimen terapi
yang telah diberikan. ( aspergillus otomikosis ).11
GEJALA KLINIS
Gejala klinik yang dapat ditemui hampir sama seperti gejala otitis eksterna
pada umumnyayakni otalgia dan otorrhea sebagai gejala yang paling banyak
dijumpai, kemudian diikuti dengan kurangnya pendengaran, rasa penuh pada telinga
dan gatal.2
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Tang Ho,et al pada tahun 2006,
yakni dari 132 kasus otomikosis didapati persentase masing- masing gejala
otomikosis sebagai berikut :
Simptom Jumlah Pasien ( n ) Persentase ( % )
Otalgia
Otorrhea
Kehilangan pendengaran
Rasa penuh pada telinga
Gatal
Tinnitus
63
63
59
44
20
5
48
48
45
33
23
4
gbr.6. tabel presentase masing-masing gejala otomikosis
Pada liang telinga akan tampak berwarna merah, ditutupi oleh skuama, dan
kelainan ini ke bagian luar akan dapat meluas sampai muara liang telinga dan daun
telinga sebelah dalam. Tempat yang terinfeksi menjadi merah dan ditutupi skuama
halus. Bila meluas sampai kedalam, sampai ke membran timpani, maka akan dapat
mengeluarkan cairan serosanguinos.12
Pada pemeriksaan telinga yang dicurigai otomikosis, didapati adanya
akumulasi debris fibrin yang tebal, pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih
dan panjang dari permukaan kulit, hilangnya pembengkakan signifikan pada dinding
kanalis, dan area melingkar dari jaringan granulasi diantara kanalis eksterna atau pada
membran timpani Terkadang otomikosis ini dapat menyebabkan perforasi pada
membran timpani, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini :
D ari hasil otoskopi didapatkan telinga kanan dengan perforasi 90 % dari pars
tensa. Membran timpani tampak kering. Bayangan keabuan dan massa putih dari
miselium tampak pada dinding anterior kanalis. Nanah kering kekuningan tampak
pada permukaan kulit pada dinding posterior kanalis.14
DIAGNOSA
Diagnosa didasarkan pada :
a. Anamnesis.
Adanya keluhan nyeri di dalam telinga, rasa gatal, adanya secret yang keluar dari telinga.
Yang paling penting adalah kecenderungan beraktifitas yang berhubungan dengan air,
misalnya berenang, menyelam, dan sebagainya.12
b. Gejala Klinik.
Yang khas, terasa gatal atau sakit di liang telinga dan daun telinga menjadi merah, skuamous
dan dapat meluas ke dalam liang telinga sampai 2/3 bagian luar. Didapati adanya akumulasi
debris fibrin yang tebal, pertumbuhan hifa berfilamen yang berwana putih dan panjang dari
permukaan kulit.12
c. Pemeriksaan Laboratorium
Preparat langsung : skuama dari kerokan kulit liang telinga diperiksa dengan KOH 10
% akan tampak hifa-hifa lebar, berseptum, dan kadang-kadang dapat ditemyukan
spora-spora kecil dengan diameter 2-3 u.12
Pembiakan : Skuama dibiakkan pada media Agar Saboraud, dan dieramkan pada suhu
kamar. Koloni akan tumbuh dalam satu minggu berupa koloni filament berwarna
putih. Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada ujung-ujung hifa dapat
ditemukan sterigma dan spora berjejer melekat pada permukaannya.12
DIAGNOSA BANDING
Otomikosis dapat didiagnosa banding dengan otitis eksterna yang disebabkan
oleh bakteri, kemudian dengan dermatitis pada liang telinga yang sering memberikan
gejala – gejala yang sama.12
PENATALAKSANAAN
Pengobatan ditujukan untuk menjaga agar liang telinga tetap kering , jangan
lembab, dan disarankan untuk tidak mengorek-ngorek telinga dengan barang-barang
yang kotor seperti korek api, garukan telinga, atau kapas. Kotoran-kotoran telinga
harus sering dibersihkan.15
Pengobatan yang dapat diberikan seperti :
Larutan asam asetat 2-5 % dalam alkohol yang diteteskan kedalam liang telinga
biasanya dapat menyembuhkan.4,15
Tetes telinga siap beli seperti VoSol ( asam asetat nonakueus 2 % ), Cresylate ( m-
kresil asetat ) dan Otic Domeboro ( asam asetat 2 % ) bermanfaat bagi banyak
kasus.16
Larutan timol 2 % dalam spiritus dilutes ( alkohol 70 % ) atau meneteskan larutan
burrowi 5 % satu atau dua tetes dan selanjutnya dibersihkan dengan desinfektan
biasanya memberi hasil pengobatan yang memuaskan.8
Dapat juga diberikan Neosporin dan larutan gentian violet 1-2 %.8
Akhir-akhir ini yang sering dipakai adalah fungisida topikal spesifik, seperti preparat
yang mengandung nystatin , ketokonazole, klotrimazole, dan anti jamur yang
diberikan secara sistemik.2,16
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan anti jamur tidak secara
komplit mengobati proses dari otomikosis ini, oleh karena agen-agen diatas tidak
menunjukkan keefektifan untuk mencegah otomikosis ini relaps kembali. Hal ini
menjadi penting untuk diingat bahwa, selain memberikan anti jamur topikal, juga
harus dipahami fisiologi dari kanalis auditorius eksternus itu sendiri, yakni dengan
tidak melakukan manuver-manuver pada daerah tersebut, mengurangi paparan dengan
air agar tidak menambah kelembaban, mendapatkan terapi yang adekuat ketika
menderita otitis media, juga menghindari situasi apapun yang dapat merubah
homeostasis lokal. Kesemuanya apabila dijalankan dengan baik, maka akan
membawa kepada resolusi komplit dari penyakit ini.3
KOMPLIKASI
Komplikasi dari otomikosis yang pernah dilaporkan adalah perforasi dari
membran timpani dan otitis media serosa, tetapi hal tersebut sangat jarang terjadi, dan
cenderung sembuh dengan pengobatan. Patofisiologi dari perforasi membran timpani
mungkin berhubungan dengan nekrosis avaskular dari membran timpani sebagai akibat
dari trombosis pada pembuluh darah. Angka insiden terjadinya perforasi membran yang
dilaporkan dari berbagai penelitian berkisar antara 12-16 % dari seluruh kasus
otomikosis. Tidak terdapat gejala dini untuk memprediksi terjadinya perforasi tersebut,
keterlibatan membran timpani sepertinya merupakan konsekuensi inokulasi jamur pada
aspek medial dari telinga luar ataupun merupakan ekstensi langsung infeksi tersebut dari
kulit sekitarnya.2
PROGNOSIS
Umumnya baik bila diobati dengan pengobatan yang adekuat. Pada saat terapi
dengan anti jamur dimulai, maka akan dimulai suatu proses resolusi ( penyembuhan )
yang baik secara imunologi. Bagaimanapun juga, resiko kekambuhan sangat tinggi,
jika faktor yang menyebabkan infeksi sebenarnya tidak dikoreksi, dan fisiologi
lingkungan normal dari kanalis auditorius eksternus masih terganggu.1,12
KESIMPULAN
Otomikosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur baik bersifat akut, sub akut, maupun
kronik yang terjadi pada liang telinga luar ( kanalis auditorius eksternus ).Gejala dari
otomikosis dapat berupa nyeri pada telinga, keluarnya secret ( otorrhea ), gatal, sampai
berkurangnya pendengaran.
Faktor predisposisi yang menyebabkannya meliputi ketiadaan serumen, kelembaban yang
tinggi karena sering beraktifitas dalam air seperti berenang, dan penggunaan kortikosteroid,
dan anti mikroba pada infeksi sebelumnya.Spesies yang paling terbanyak menyebabkan
infeksi ini adalah dari genus Aspergillum dan Candida. Pengobatan dengan menjaga
kebersihan telinga, mengurangi kelembaban dan faktor-faktor predisposisinya, dan
pemakaian anti fungal baik secara lokal maupun sistemik.
DEFENISI
Keratomikosis merupakan istilah umum yang dipakai untuk inflamasi yang
disebabkan oleh infeksi jamur (dan menyebabkan peradangan) pada kornea. Faktor
predisposisi antara lainnya adalah trauma, pemakaian kontak lensa, dan steroid
topikal. Trauma pada kornea yang memicu terjadinya keratomikosis, biasanya trauma
dengan tumbuhan atau benda-benda organik.3,4
INSIDEN
Menurut WHO (World Health Organization), penyakit kornea merupakan
antara penyebab utama penurunan visus dan kebutaan, dengan katarak menduduki
ranking pertama. Sedang di Asia keratomikosis khususnya, merupakan antara kausa
mayor kebutaan. Di China, insidens keratomikosis terus meningkat sejak 8 dekade
yang lalu. Manakala di daerah bersuhu rendah seperti di Inggris dan Amerika Serikat
Utara masih jarang terjadi keratitis akibat infeksi jamur, umumnya kurang dari 5%-
10% . Keratomikosis filamentosa didapati lebih sering terjadi di daerah Amerika
Serikat yang lebih hangat dan lebih lembab dari daerah lain di negara tersebut.4,5
Tipe Aspergillus merupakan tipe jamur penyebab keratomikosis tersering ditemukan
di seluruh dunia. Dari suatu studi di India, Aspergillus ditemukan terbanyak dengan
persentase 27-64%, diikuti Fusarium (6-32%) dan spesis Penicillium (2-29%).
Keratomikosis lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita dan pada pasien
dengan riwayat trauma okuler.4,5
ETIOLOGI
Secara ringkas dapat dibedakan :
1. Jamur berfilamen (filamentous fungi); bersifat multiseluler dengan cabang-cabang hifa.
jamur bersepta; Fusarium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp, Cladosporium sp,
Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
jamur tidak bersepta; Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
2.Jamur ragi (yeast)
jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas: Candida albicans, Crypococcus sp,
Rodotolura sp.
3.Jamur difasik pada jaringan hidup membentuk ragi sedang pada media perbiakan
membentuk miselium: Blastomices sp, Coccidiodidies sp, Histoplasma sp, Sporothrix sp.
PATOGENESIS
Fungi biasanya tidak menyebabkan keratitis mikroba karena normalnya, fungi
tidak dapat berpenetrasi ke dalam lapisan epitel kornea yang intak dan tidak masuk ke
dalam kornea lewat pembuluh darah limbus episklera. Defek pada epitel sering
diakibatkan oleh trauma (mis., pemakaian lensa kontak, benda asing, riwayat operasi
kornea). Organisme dapat berpenetrasi ke dalam membran Descement yang intak dan
masuk ke dalam stroma.. Ia membutuhkan cedera penetrasi atau riwayat defek epitel
untuk masuk ke dalam kornea. Setelah berada di dalam kornea, organisme dapat
berproliferasi.5,6,7
Organisme yang menginfeksi defek pada epitel sebenarnya merupakan
mikroflora normal yang terdapat pada konjungtiva dan andeksa. Fungi filamentosa
merupakan kausa tersering dari infeksi pasca trauma. Fungi filamentosa berproliferasi
di dalam stroma kornea tanpa melepaskan substansi kemotaktik, sehingga menunda
munculnya respon imun host/ respon inflamasi. Berbeda dengan fungi filamentosa,
Candida albicans memproduksi fosfolipase A dan lisofosfolipase pada permukaan
blastospora, untuk membantu ia masuk ke dalam jaringan. Fusarium solani, yang
merupakan fungus yang virulen, dapat menyebar di dalam stroma kornea dan
berpenetrasi ke dalam membrane Descemet. Trauma kornea akibat tumbuhan
merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya keratomikosis. Terutamanya, petani
yang tidak memakai alat proteksi diri, khususnya kaca mata. Trauma akibat
pemakaian lensa kontak juga adalah salah satu faktor resiko terjadinya
keratomikosis.6 Trauma kornea paling sering menyebabkan keratomikosis dan
merupakan factor resiko major tipe keratitis tersebut . 6,7,8
Seorang dokter harus mempertimbangkan besar kemungkinan suatu
keratomikosis jika pasien mempunyai riwayat trauma kornea, terutama adanya kontak
dengan tumbuhan atau tanah. Resiko trauma akibat pemakaian lensa kontak adalah
kecil, dan bukan merupakan faktor resiko major untuk keratomikosis. 5,6
Selain dari itu, kortikosteroid topikal diketahui dapat mengaktivasi dan
meningkatkan virulensi organisme jamur dengan menurunkan resistensi kornea
terhadap infeksi. Candida sp menyebabkan infeksi okuler pada hospes yang
mengalami imunodefisiensi dan pada kornea dengan ulkus kronik. Pemakaian
kortikosteroid yang semakin meningkat sejak 4 dekade yang lalu telah berimplikasi
sebagai suatu penyebab utama peningkatan insidensi keratomikosis. Tambahan,
pemakaian kortikosteroid sistemik dapat menekan respon imun hospes, sehingga
terjadi perdisposisi kepada keratomikosis. Faktor resiko lainnya termasuk operasi
kornea (mis., PK, keratotomi radial) dan keratitis kronik (mis., herpes simpleks,
herpes zoster, atau konjungtivitis vernal/alergi). 6
Jika pada hospes normal keratomikosis acapkali didahului oleh trauma, atau
pemakaian steroid, pada penderita AIDS kelainan ini dapat timbul secara spontan
tanpa faktor predisposisi pada kornea, dan dapat terjadi pada satu mata atau dua
mata.5,6
MANIFESTASI KLINIK
Pasien biasanya datang dengan keluhan rasa mengganjal, nyeri yang
bertambah berat, penglihatan menurun secara tiba-tiba, kemerahan pada mata,
lakrimasi berlebihan, dan fotofobia. Manakala tanda klinis yang dapat ditemukan
berupa injeksi konjungtiva, defek epitel, supurasi, infiltrasi stroma dan adanya reaksi
bilik mata depan. Manifestasi klinis yang lebih spesifik berupa adanya infiltrasi yaitu
bercak-bercak putih, lesi satelit, hipopion, dan plak endotel. 2
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut : 1
1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2. Lesi satelit.
3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa
di bawah endotel utuh.
4. Plak endotel.
5. Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
7. Lesi kornea yang indolen.
Reaksi di atas timbul akibat investasi jamur pada kornea yang memproduksi
mikotoksin, enzim-enzim serta antigen jamur sehingga terjadi nekrosis kornea dan
reaksi radang yang cukup berat. 5,6,7
Pasien dengan keratomikosis cenderung mengalami gejala dan tanda inflamasi
yang minimal pada periode awal dibanding dengan penderita keratitis bakteri dan
hampir tiada injeksi konjungtiva saat presentasi klinis. Keratomikosis filamentosa
sering bermanifestasi dengan infiltrasi putih-keabuan, lesi tampak kering dengan tepi
ireguler berawan atau dikenal dengan berbatas filamentosa. Lesi superficial mungkin
muncul sebagai elevasi dari permukaan kornea berwarna putih-keabuan, dengan
permukaan kering, kasar atau rasa berpasir yang dapat dirasakan saat melakukan
kerokan kornea. Kadang terdapat lesi satelit atau lesi multifokal, tetapi sangat jarang
terjadi. Plak endotel dan/atau hipopion dapat terjadi jika infiltrasi jamur cukup dalam
atau cukup luas. 6,7,8
DIAGNOSIS
Mata merah yang ditemukan saat inspeksi (biasanya bersifat unilateral),
seperti yang terdapat pada ulkus kornea serpiginosa. Dapat juga ditemukan hipopion.
Pemeriksaan slit lamp memperlihatkan infiltrasi stroma berwarna keputihan, terutama
keratomikosis yang disebabkan oleh Candida albicans. Infiltrasi dan ulkus menyebar
secara sangat perlahan. Lesi satelit, yaitu beberapa infiltrat kecil yang berdekatan,
berkelompok disekitar pusat lesi yang lebih besar. Lesi satelit ini merupakan
karakteristik untuk keratomikosis, tetapi tidak selamanya muncul pada infeksi
tersebut.5
Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya
dengan spatula Kimura).1 Semua pasien suspek keratomikosis hendaklah dilakukan
kerokan kornea.2 Kerokan diambil di daerah luar dari tepi ulkus dan pada daerah di
mana kultur bakteri memberikan hasil negatif.2,5 Sampel diambil dengan
menggunakan spatula platinum, silet surgikal, atau apusan kalsium alginate
terinokulasi di medium agar Sabouraud, dan dipertahankan pada suhu 25°C untuk
pertumbuhan fungi.2 Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH +
Tinta India.1 Pemeriksaan Gram dan Giemsa mempunyai 50% sensitivitas dalam
menegakkan diagnosa.6,7,8
Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan
Periodic Acid Schiff (memberi pewarnaan merah pada dinding sel serta septa dan biru
pada nukleus) atau Methenamine Silver (memberi pewarnaan hitam pada dinding sel).
Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan efluoresensi. Ultrasound B-scan
oftalmik dilakukan untuk membantu menyingkirkan endoftalmitis akibat jamur dari
diagnosa banding.7,8
DIAGNOSIS BANDING
1.Keratitis bakterialis
Secara klinis onset nyeri keratitis bakterialis sangat cepat disertai dengan
injeksio konjungtiva, fotofobia dan penurunan visus pada pasien dengan ulkus kornea
bakterial, inflamasi endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan hipopion sering ada.
Penyebab infeksi tumbuh lambat, organisme seperti mikrobakteri atau bakteri anaerob
infiltratnya tidak bersifat supuratif dan lapisan epitel utuh. Penggunaan kortikosteroid,
kontak lensa, graf kornea yang telah terinfeksi kesemuanya merupakan predisposisi
terjadinya infeksi bakterial.7,8
2. Keratitis viral
Dapat disebabkan oleh virus herpes simplex, varicella-herpes zoster atau adenovirus. Pasien keratitis akibat nfeksi herpes simplex sering datang dengan keluhan nyeri berat dan gambaran seperti infiltrat yang bercabang-cabang (keratitis dendritik). Tes sensitivitas pula menurun, bahkan pada infeksi herpes zoster bisa hilang sama sekali.8
3. Endoftalmitis
Didiagnosa bila inflamasi melibatkan kedua-dua bilik mata depan dan belakang. Tanda klasik pada endoftalmitis adalah penurunan visus, hiperemis konjungtiva, nyeri yang memberat, edema palpebra, dan hipopion. Kemosis konjugtiva dan edema kornea dapat ditemukan. Penyebab terjadi endoftalmitis bisa secara eksogen (mis. pasca operasi) atau endogen (penyebaran secara hematogen ; mis. jalur IV yang terinfeksi, atau dari organ tubuh lain yang terinfeksi).8
PENGOBATAN
Larutan nistatin dan amfoterisin B yang diberikan tiap jam.pemberian dapat
dijarangkan bila terjadi perbaikan.larutan digunakan amfoterisin B mengandung 1,0 mg per
ml larutan garam faal atau akua destilata.pada tahun-tahun akhir larutan derivat azol juga
dengan hasil cukup baik.
PROGNOSIS
Baik bila diagnosis dilakukan dini dan pengobatan cepat dan tepat.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Rippon J.W. Medical Mycology, Edisi ke 3. Philadelphia: WB Saunders Co, 1988.
2. Hay R.J. Ashbee H.R. Mycology. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths
C. editor. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke 8. Oxford : Wiley-Blackwell,
2010: 36.14 – 36.15.
3. Verma S & Heffernan MP. Superficial fungal infection : Dermatophytosis,
onychomycosis,Tinea nigra, Piedra. Dalam ; Wolff K, Goldsmith LA. Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS & Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
Edisi ke 7. New York : Mc Graw Hill 2008 : 1807 -1821
Adhy JUANDA Prof.dr.ilmu penyakit kulit dan kelamin FK.Universitas Indonesia hal 92-109
4. Crissey J.Th., Lang H., Parish L.C. Manual of Medical Mycology. Massachusetts:
Blackwell Science, 1995.
5. Larone D.H. Medically important fungi. A guide to identification. Edisi ke 2. New
York: Elsevier, 1987.
6. Richardson M.D and Warnock D.W. Fungal Infection. Edisi ke 3. Oxford: Blackwell
Scientific Publications, 2003.
7. Sutton D.A, Rinaldi M.G, Sanche S.E. Dematiaceous fungi. Dalam: Anaissie E.J,
McGinnis M.R, Pfaller M.A.editor. Clinical Mycology.Edisi ke-2. USA: Churchill
Livingstone Elsevier 2009: 334-335, 347.
8. Faergemann J.N. Pityriasis (Tinea) vesicolor, Tinea Nigra and Piedra. Dalam:
Jacobs PH and Nall L. editor. Antifungal Drug Therapy. New York : Marcel Dekker,
1990: 23-9.
9. Cemizares 0, Herman R.R.M. Clinical tropical Dermatology. Edisi ke 2. Boston:
Blackwell Scientific, 1992.
10. Sawitri, Zulkarnain I, Suyoso S. Tinea Nigra Palmaris, A case report. Dalam
Abstracts The 15th Congress of The Asia Pacific Society for Medical Mycology.
Bali, 1997: 114.
11. James WD, Berger TG & Elston DM. Andrews’Diseases of the skin. Clinical
Dermatology. Edisi ke 10 Philadelphia : Saunders Elsevier, 2006.
12. Clayton YM, Moore MK. Superficial fungal infection. Dalam : Harper J, Oranje A
dan Prose N editor. Textbook of Pediatric Dermatology edisi ke 2. Massachusetts :
Blackwell Publishing 2006 : 542-569.
13. Paller AS & Mancini AJ. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi ke 3.
Philadelphia : Elsevir Saunders, 2006.
14. Mendoza N, Arora A, Arias C.A, Hernandez C.A, Madkam V, Tyring S.K.
Cutaneous and Subcutaneous Mycosis. Dalam : Anaissie E.J., McGinnis M.R.,
Pfaller M.A. editor. Clinical Mycology. Edisi ke-2. USA : Churchill Livingstone
Elsevier 2009 : 509-523.
1. Susetio B. Penatalaksanaan infeksi jamur pada mata In: Cermin dunia kedokteran. [Online]. 1993 [Cited 2009 September 25] ; [screens] Available from :URL: http://www.kalbe.co.id
2. Singh D. Keratitis fungal. [Online]. 2008 June 12 [Cited 2009 September 25] ; [4 screens] Available from :URL: http://www.emedicine.medscape.com
3. Arora U, dkk. Fungal Profile and Susceptibility Pattern in Case of Keratomycosis. In JK Science Vol 8 no.1. Medical College Punjab. India. 2006 Hal : 39-41
4. Sutpin J.E, Dana M.R, et al. External disease and cornea. Section 8. In : Skuta G.L., Cantor L.B., Weiss J.S. Basic and clinical science course 2008-2009. San francisco, United states of america, American academy of ophthalmology; 2008. p.179-187.
5. Benvenuto A. Anatomi mata. [Online]. 2009 March 25 [Cited 2009 September 25] ; [2 screens]. Available from :URL: http://www.doctorology.net.6. Ilyas Sidarta. 2005.Ilmu penyakit mata.Ed ke 3. Jakarta : FK Universitas Indonesia. p.167 – 9
7. Lt Coll, SS. M, et al, Medical and Surgical Management of Keratomycosis. In : MJAFI vol 64 no.1. 2008. Hal 40-42.