Post on 25-Jun-2015
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TBC) adalah penyakit kronis menular yang masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World
Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TB Control 2003
menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai highburden countries terhadap
TBC. Indonesia tiap tahun terdapat 557.000 kasus baru TBC. Jumlah tersebut
berdasarkan pada 250.000 kasus (115/100.000) merupakan penderita TBC menular.
Dengan keadaan ini, Indonesia menempati peringkat ketiga jumlah penderita TBC di
dunia, setelah India (1.762.000) dan China (1.459.000). TBC telah membunuh tiga
juta orang pertahun. Diperkirakan, kasus TBC meningkat 5-6 persen dari total kasus.
TBC merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberkulosis. Kuman ini dapat menular lewat percikan ludah yang keluar saat batuk,
bersin atau berbicara. Umumnya kuman menyerang paru karena penularannya
melalui udara yang mengandung bakteri Mycobacterium tuberkulosis dan terhirup
saat bernapas.1
Berdasarkan Global Tuberculosis Control tahun 2009 (data tahun 2007)
menunjukkan bahwa pada tahun 2007 prevalensi semua tipe TBC sebesar 244 per
100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TBC, insidensi semua tipe
TBC sebesar 228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus semua tipe TBC,
Insidensi kasus baru TBC BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau
1
sekitar 236.029 kasus baru TBC Paru BTA Positif sedangkan kematian TBC 39 per
100.000 penduduk atau 250 orang per hari.2
Case Detection Rate kasus TBC untuk provinsi Kalsel tahun 2010 triwulan I
belum mencapai target yaitu 10,9 % dari target 17,5%. Case Detection Rate
menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.
Pada puskesmas S.parman Banjarmasin pada bulan januari sampai agustus 2010
terdapat 95 kasus suspek TBC dan 17 kasus TBC dengan BTA positif dengan kasus
baru di setiap bulannya. Rendahnya cakupan ini disebabkan karena pengembangan
pelayanan yang belum menyeluruh, juga disebabkan oleh faktor perilaku penderita,
masyarakat dan petugas yaitu kurangnya pengetahuan, sikap dan praktek dalam
pencegahan dan penularan TB, tidak teraturnya penderita minum obat yang bisa
mengakibatkan resistensi.2
Sejak tahun 1995, program pemberantasan TBC telah dilaksanakan dengan
Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy (DOTS) strategi
komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia
untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TBC, agar transmisi penularan
dapat dikurangi di masyarakat, merupakan pendekatan yang paling tepat saat ini dan
harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Program ini menekankan pada
diagnosis yang benar dan tepat dilanjutkan dengan pengobatan jangka pendek yang
efektif serta pengawasan, dan target angka keberhasilan pengobatan mencapai 85%.1
Sejak tahun 1996, pendekatan Strategi DOTS dalam Program
Penanggulangan TBC di Kalimantan Selatan telah dimulai, dimana diketahui bahwa
2
perkiraan prevalensi TBC di daerah ini berkisar antara 300-600 per 100.000
penduduk.3
Dalam rangka penanggulangan TBC, pemerintah telah berupaya keras
memenuhi sarana dan prasarana seperti sarana diagnosa, sarana pengobatan dan
pengawasan serta pengendalian pengobatan. Sejak tahun 1995/1996, setelah
dilakukan evaluasi bersama WHO, Indonesia mulai melaksanakan strategi DOTS
melalui pembentukan Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) dan Puskesmas
Pelaksana Mandiri (PPM). Strategi ini memberikan harapan tingkat kesembuhan
yang tinggi. Kegiatan yang dimaksud meliputi deteksi penderita melalui pemeriksaan
laboratorium, penentuan kategori pengobatan, pengawasan langsung menelan obat,
dan pengamatan pasien yang tidak patuh berobat. Selain itu juga dilakukan
pemantauan tingkat kesembuhan pada akhir fase awal. Namun, meskipun demikian
penderita TBC tetap saja meningkat dan cakupan pengobatannya masih rendah.4,5
Seiring dengan pembentukan gerdunas TBC, maka pemberantasan penyakit
tuberkulosis paru berubah menjadi program penanggulangan TBC. Tujuan jangka
pendek penanggulangan TBC adalah menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian penyakit TBC dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga
penyakit TBC tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.1
Kasus penyakit TBC sangat terkait dengan faktor perilaku dan lingkungan.
Faktor lingkungan, sanitasi dan higiene terutama sangat terkait dengan keberadaan
kuman, dan proses timbul serta penularannya. Faktor perilaku sangat berpengaruh
pada kesembuhan dan bagaimana mencegah untuk tidak terinfeksi kuman TBC.
Dimulai dari perilaku hidup sehat (makan makanan yang bergizi dan seimbang,
3
istirahat cukup, olahraga teratur, hindari rokok, alkohol, mengatasi stress),
memberikan vaksinasi dan imunisasi baik pada bayi, balita maupun orang dewasa.
Penderita dengan berperilaku tidak meludah sembarangan, menutup mulut apabila
batuk atau bersin, dan terutama kepatuhan untuk minum obat dan pemeriksaan rutin
untuk memantau perkembangan pengobatan serta efek samping.1
Dalam menyukseskan upaya pemberantasan TBC, maka peran petugas
kesehatan dalam surveillance dan pencatatan pelaporan yang baik merupakan suatu
keharusan. Peran kader serta masyarakat lainnya dapat berperan aktif melalui
kunjungan rumah bersama petugas kesehatan, tokoh masyarakat untuk melakukan
pendidikan di masyarakat melalui penyuluhan, konseling atau pemantauan secara
terpadu, terintegrasi dengan upaya-upaya lain termasuk peningkatan ekonomi
keluarga. Berdasarkan wawancara dengan petugas di Puskesmas S.parman
pemanfaatan kader kesehatan untuk menjaring pasien suspek TBC telah dilakukan
namun hasilnya belum optimal.1
Dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional, khusus dibidang
kesehatan, bentuk pelayanan kesehatan diarahkan pada prinsip bahwa masyarakat
bukanlah sebagai objek akan tetapi merupakan subjek dari pembangunan itu sendiri.
Pada hakekatnya kesehatan dipolakan mengikut sertakan masyarakat secara aktif dan
bertanggung jawab. Keikutsertaan masyarakat dalam meningkatkan efisiensi
pelayanan adalah atas dasar terbatasnya daya dan adaya dalam operasional pelayanan
kesehatan masyarakat akan memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat
seoptimal mungkin. Perilaku kesehatan tidak terlepas dari pada kebudayaan
masyarakat. Dalam upaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat harus pula
4
diperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat. Sehingga untuk mengikut sertakan
masyarakat dalam upaya pembangunan khususnya dalam bidang kesehatan, tidak
akan membawa hasil yang baik bila prosesnya melalui pendekatan dengan edukatif
yaitu, berusaha menimbulkan kesadaran untuk dapat memecahkan permasalahan
dengan memperhitungkan sosial budaya setempat.1
Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional
dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Program pemberantasan
penyakit menular mempunyai peranan penting dalam menurunkan angka kesakitan
dan kematian melalui penerapan teknologi kesehatan secara tepat oleh petugas
kesehatan yang didukung oleh peran serta aktif masyarakat, termasuk
penanggulangan penyakit TBC.3
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2004 pengetahuan
mengenai TBC di masyarakat masih rendah. Dari mereka yang menyatakan tahu cara
penularan TBC, hanya 11 persen yang menjawab dengan benar. Dari mereka yang
menyatakan tahu gejala dan tanda penyakit TBC, hanya 26 persen yang menjawab
dengan betul. Proporsi kecil dari masyarakat yaitu 19 persen yang mengetahui
adanya pemberian obat anti TBC gratis. Riwayat pernah diobati anti TBC pada anak
usia <15 tahun sebesar 4 persen dan dari mereka yang dapat diamati 70 persen
menunjukkan adanya jaringan parut/scar. Berdasarkan hasil dan kesimpulan survei
ini dapat disarankan untuk penanganan program TBC Nasional perlu
mempertimbangkan keragaman prevalensi TBC dan insidens TBC menurut kawasan.
Masih perlu upaya promosi dan advokasi yang lebih intens untuk meningkatkan
5
pengetahuan, sikap dan praktek masyarakat terhadap TBC. Masih diperlukan upaya
peningkatan kemitraan dengan berbagai sektor dalam upaya meningkatkan
penanggulangan pemberantasan penyakit TBC (lintas program, lintas sektor, lintas
wilayah, lintas profesi dan lintas institusi).2
I.2. Permasalahan
Dari uraian diatas diketahui bahwa angka kesakitan penyakit TBC masih cukup
tinggi, meskipun strategi DOTS telah dijalankan. Hal ini diperkirakan karena adanya
penderita yang tidak terdeteksi dan menjadi sumber penularan bagi masyarakat
lainnya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Tuberkulosis
II.1.1. Definisi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberkulosa tipe humanus. TBC paru merupakan penyakit infeksi
saluran nafas bagian bawah. Basil Mycobacterium tuberkulosa tersebut masuk secara
inhalasi ke jaringan paru melalui saluran nafas (droplet infeksius) sampai alveoli,
terjadilah infeksi primer6,7. Mycobacterium tuberkulosis dapat menyebabkan lesi
pada berbagai jaringan tubuh, namun yang sering terkena adalah jaringan paru8.
II.1.2. Etiologi dan Karakteristik Kuman TBC
Etiologi dari TBC adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk
batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga
disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TBC cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman atau tertidur lama
selama beberapa tahun.9
II.1.3. Patofisiologi
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan
7
menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan
cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran
limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini
disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah 4–6 mingg. Infeksi dapat dibuktikan dengan
terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.9
Proses setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya
respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya, reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian, ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dorman. Dalam suatu
keadaan tertentu, daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan
kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi
sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.9
TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau
status gizi yang buruk. Ciri khas dari TBC pasca primer adalah kerusakan paru yang
luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.4
8
II.1.4. Cara Penularan TBC
Sumber penularan TBC adalah penderita TBC BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi apabila droplet tersebut
terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TBC masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernapasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke
bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran
napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari paru. Derajat positif yang tinggi dari hasil pemeriksaan dahak, maka
semakin menular penderita tersebut. Hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat
kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut.10
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan berfariasi antara 1 - 2 %. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh)
orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi
penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari
keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %,
maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita
tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif.
9
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau
HIV/AIDS.9
Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi basil TBC
adalah 11:
1. Ada sumber penularan
2. Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi
cukup banyak dan terus menerus.
3. Virulensi (keganasan basil)
4. Daya tahan tubuh yang menurun yang memungkinkan basil TBC
berkembang biak. Keadaan ini sangat berhubungan dengan :
- faktor genetik
- faktor faali, jenis kelamin, usia
- faktor lingkungan : nutrisi, perumahan, pekerjaan
II.1.5. Klasifikasi TBC
Klasifikasi TBC dibagi menjadi 7:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam :
- TBC Paru BTA positif
10
- TBC Paru BTA negatif
2. TBC ekstra paru
TBC yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
- TBC ekstra paru ringan
- TBC ekstra paru berat
II.1.6. Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu7 :
1. Kasus baru
2. Kambuh
3. Pindahan
4. Lalai/ drop out/ default
5. Lain-lain
a. Gagal
b. Kronis
Selain itu, terdapat juga suspek penderita TBC atau TBC paru tersangka
dimana dalam hal ini sputum BTA (-), namun tanda-tanda lain mendukung atau juga
meragukan. Dalam 2-3 bulan, suspek TBC paru harus sudah dapat dipastikan apakah
termasuk TBC aktif atau bekas TBC atau tidak TBC. Dalam klasifikasi ini perlu
11
dicantumkan status bakteriologis, sputum BTA langsung, biakan sputum (kultur),
status radiologis, dan riwayat OAT. 12
II.1.7. Gejala - gejala TBC
Gejala Umum : Batuk terus menerus dan berdahak selama 2 minggu atau
lebih.9,10,12,14
Gejala Lain Yang Sering Dijumpai :9,10,12,14
1. Dahak bercampur darah.
2. Batuk darah.
3. Sesak napas dan rasa nyeri dada.
4. Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun.
5. Rasa kurang enak badan (malaise).
6. Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
7. Demam meriang lebih dari sebulan.\
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan anemis pada konjungtiva, gizi
kurang atau buruk (nampak kurus), demam, dan ronki basah. Dapat pula didapatkan
tanda-tanda efusi pleura. 12
Pada TBC paru, pemeriksaan sputum merupakan pemeriksaan sederhana
namun penting terutama hal ini dapat dikerjakan di puskesmas. Selain untuk
menegakkan diagnosis, juga dapat digunakan sebagai evaluasi pengobatan. Namun,
kadang tidak mudah untuk mendapatkan sputum, terutama jika pasien batuk non-
produktif atau tidak batuk. Dalam hal ini di anjurkan satu hari sebelum pemeriksaan
12
sputum, penderita di anjurkan minum air putih ± 2 liter dan diajarkan refleks batuk.
Dapat pula diberikan obat mukolitik ekspektoran. 12
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit didapat.
Kuman baru didapat jika bronkus yang terlibat penyakit terbuka ke luar sehingga
sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Di Indonesia, diperkirakan
terdapat 50% penderita BTA (+), namun kuman tersebut tidak ditemukan di sputum
mereka. Kriteria sputum BTA (+) adalah minimal ditemukan 3 batang kuman BTA
dalam 1 sediaan atau 5000 kuman dalam 1 mL sputum. 12
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat membantu penegakan diagnosis TBC
antara lain pemeriksaan radiologi, laboratorium, tes tuberkulin. 12
II.1.8. Diagnosis TBC
Diagnosis TBC paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS BTA hasilnya positif. Bila
hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto
rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang.
Hasil rontgen yang mendukung TBC, maka penderita di diagnosis sebagai penderita
TBC BTA positif. Hasil rontgen yang tidak mendukung TBC, maka dilakukan
pemeriksaan lain, misalnya biakan. Pada pemeriksaan sputum SPS, apabila
didapatkan tiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya
Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 - 2 minggu. Bila tidak ada perubahan,
namun gejala klinis tetap mencurigakan TBC, ulangi pemeriksaan dahak SPS .9,14
13
Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif.
Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemriksaan foto rontgen dada, untuk
mendukung diagnosis TBC. Bila hasil rontgen mendukung TBC, diagnosis
sebagai penderita TBC BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak
mendukung TBC, penderita tersebut bukan TBC.
Unit Pelayanan Kesehatan yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita
dapat dirujuk untuk difoto rontgen dada.
II.1.9. Komplikasi Pada Penderita TBC
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut6,13 :
Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
napas. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
Bronkiektasis dan Fibrosis pada paru.
Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.
Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah
sakit. Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA
negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan
dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak
diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat,
penderita harus dirujuk ke unit spesialistik.9,1
14
II.1.10. Perjalanan Alamiah TBC yang Tidak Diobati
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TBC akan
meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 %
sebagai kasus kronik yang tetap menular.7,14
II.1.11. Penatalaksanaan TBC
Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu
sendiri, pengontrolan efektif TBC adalah dengan mengurangi pasien TBC tersebut.
Ada dua cara yang dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi
dan imunisasi.9
Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka
pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan
penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan
pengawasan langsung.14,15
Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari
deteksi akan menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk
lebih dari 2 minggu bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus
didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini,
diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan
sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase
Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan.14,15
15
Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TBC, dokter akan memberikan obat
dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat
TBC yang biasanya digunakan adalah Isoniazid, Rifampicin, Pyrazinamide,
Streptomycin, dan Ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TBC yang
resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini.
Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta
perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecenderungan pasien berhenti
minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TBC biasanya gejala
TBC bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar
sembuh dari TBC diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan.
Efek negatif yang muncul jika berhenti minum obat adalah munculnya kuman TBC
yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar,
pengendalian TBC akan semakin sulit dilaksanakan.
DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TBC saat ini,
dengan tingkat kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak
tahun 1991 dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di
Indonesia sendiri DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan
87 persen pada tahun 2000. Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi
sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah.
Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di
bawah target WHO, 70 persen, sehingga usaha untuk mendeteksi kasus baru perlu
ditingkatkan.1,2,6
16
Tabel 1. Jenis, Sifat,dan Dosis OAT
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut 6,9,11:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu.
17
- Sebagian besar pasien TBC BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia adalah :
Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan
OAT4,7:
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
- Kasus baru dengan sputum BTA (+)
- Kasus baru dengan sputum BTA (-) namun Rontgen (+)
- Kasus baru dengan TB berat
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
- Kasus kambuh dengan sputum BTA (+)
- Kasus gagal dengan sputum BTA (+)
Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3
- Kasus BTA (-) dengan kelainan paru yang tidak luas
- TB ekstra paru selain kategori 1
Kategori 4 : TB kronis
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
18
Tabel 2. Dosis Kategori 1 Pengobatan TBC
BBPenderita (Kg)
TAHAP INTENSIF SELAMA 2 BULAN
TAHAP LANJUTAN SELAMA 4 BULAN
TIAP HARI TABLET 4 FDC
R150+H75+Z400+E275
TIAP HARI TABLET 2 FDC
R150+H75
3 X SEMINGGU TABLET 2 FDC
R150+H15030 -37
38 -54
55 -70
>71
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
Tabel 3. Dosis Kategori 2 Pengobatan TBC ( 2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
BERAT BADAN
TAHAP INTENSIF SELAMA 3 BULAN TAHAP LANJUTAN 3
X SEMINGGU SELAMA 5 BULANTIAP HARI
2 BULANTIAP HARI1 BULAN
30 -37
38 -54
55 -70
>71
2 tab 4 FDC+ 2 ml Strepto
3 tab 4 FDC+ 3 ml Strepto
4 tab 4 FDC+ 4 ml Strepto
5 tab 4 FDC+ 5 ml Strepto
2 Tab 4 FDC
3 Tab 4 FDC
4 Tab 4 FDC
5 Tab 4 FDC
2 Tab 4 FDC
+ 2 Tab Etambutol
3 Tab 4 FDC
+ 3 Tab Etambutol
4 Tab 4 FDC
+ 4 Tab Etambutol
5 Tab 4 FDC
+ 5 Tab Etambutol
19
II.1.12. Imunisasi
Pengontrolan TB yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi akan memberikan
kekebalan aktif terhadap penyaki TB. Vaksin TB, yang dikenal dengan nama BCG
terbuat dari bakteri Mycobacterium tuberculosis strain Bacillus Calmette-Guerin
(BCG). Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini
dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri Mycobakterium tuberculosis yang hidup
(live vaccine), karenanya bisa berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa
menginduksi antibodi seumur hidup. Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak
berpengaruh, karena itu vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di
Indonesia, diberikan sebelum berumur dua bulan.
Imunisasi TBC tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TBC. Tingkat
efektivitas vaksin ini berkisar antara 70-80 %, sehingga walaupun telah menerima
vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TBC ini. Efektivitas vaksin
yang tidak sempurna menimbulkan dua pendapat tentang imunisasi TBC. Pendapat
pertama adalah tidak perlu imunisasi. Amerika Serikat adalah salah satu di antaranya.
Amerika Serikat tidak melakukan vaksinasi BCG, tetapi mereka menjaga ketat
terhadap orang atau kelompok yang berisiko tinggi serta melakukan diagnosa
terhadap mereka. Pasien yang terdeteksi akan langsung diobati. Sistem deteksi dan
diagnosa yang rapi inilah yang menjadi kunci pengontrolan TBC di AS.14,15
Pendapat yang kedua adalah perlunya imunisasi. Pendapat ini berdasarkan
pada tingkat efektivitasnya 70-80 %, sehingga sebagian besar rakyat bisa dilindungi
dari infeksi kuman TBC. Negara-negara Eropa dan Jepang adalah negara yang
menganggap perlunya imunisasi. Bahkan Jepang telah memutuskan untuk melakukan
20
vaksinasi BCG terhadap semua bayi yang lahir tanpa melakukan tes Tuberculin, tes
yang dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi yang dihasikan oleh infeksi
kuman TBC Jika hasil tes positif, dianggap telah terinfeksi TBC dan tidak akan
diberikan vaksin. Kasus TBC yang jarang di Jepang, sehingga dianggap semua anak
tidak terinfeksi kuman TB, sehingga diputuskan bahwa tes Tuberculin tidak perlu
lagi dilaksanakan.9,10
Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang terus
meningkat namun tidak diiringi perkembangan ekonomi yang seimbang, sehingga
masih perlu melaksanakan vaksinasi BCG ini. Dengan melaksanakan vaksinasi ini,
jumlah kasus dugaan (suspected cases) jauh akan berkurang, sehingga memudahkan
kita untuk mendeteksi pasien TBC, untuk selanjutnya dilakukan terapi DOTS untuk
pasien yang terdeteksi. Kedua pendekatan, yaitu vaksinasi dan terapi perlu dilakukan
untuk memberantas TBc dari di Indonesia.9,14,15
II.2. Promosi Kesehatan
II.2.1. Definisi
Promosi kesehatan adalah proses memberdayakan masyarakat untuk
memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan
kesadaran, kemauan dan kemampuan, serta mengembangkan lingkungan sehat.15
Promosi mencakup aspek perilaku, yaitu upaya untuk memotivasi,
mendorong dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat
agar mereka mampu meningkatkan kesehatannya.15
21
Disamping itu promosi kesehatan juga mencakup berbagai aspek khususnya
yang berkaitan dengan aspek lingkungan atau suasana yang mempengaruhi
perkembangan perilaku yang berkaitan dengan aspek sosial budaya, pendidikan,
ekonomi politik dan pertahanan/keamanan.15
II.2.2. Penyuluhan TBC
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah
rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu
keadaan dimana individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup
sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatannya.16
Penyuluhan TBC perlu dilakukan karena masalah TB banyak berkaitan
dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah
meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan TBC.16
Penyuluhan TBC dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting
secara langsung ataupun menggunakan media.
Penyuluhan langsung bisa dilakukan :
- perorangan
- kelompok
Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media, dalam bentuk :
- bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk
- media masa, yang dapat berupa media cetak dan media elektronik
II.2.3. Tujuan
Tujuan Umum15
22
Tujuan umum dalam promosi penanggulangan TBC adalah meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam upaya penanggulangan TBC.15
Tujuan Khusus15
1. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan kemampuan penderita, keluarga dan
masyarakat tentang penyakit TBC dan upaya penanggulangannya.
2. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku PMO.
3. Meningkatkan jumlah penderita yang berobat teratur sampai sembuh.
4. Meningkatkan pengetahuan sikap dan praktek petugas kesehatan tentang
Promosi Penanggulangan TBC.
5. Meningkatkan peran aktif lintas sektor, LSM, kelompok potensial dalam
pelaksanaan promosi Penanggulangan TBC.
6. Meningkatkan dukungan politis dan dukungan dana dari para pengambil
keputusan/ pemimpin/ penyandang dana dalam Promosi Penanggulangan
TBC.
II.2.4. Sasaran dan Perilaku Sasaran yang Diharapkan
II.2.4.1. Sasaran
Yang dimaksud sasaran primer adalah kelompok sasaran yang diharapkan berubah
perilakunya dengan dilaksanakannya Promosi Penanggulangan TBC yaitu15 :
a. penderita TB dan keluarganya
b. masyarakat umum
Yang dimaksud sasaran sekunder adalah : kelompok sasaran yang dapat
mempengaruhi perubahan perilaku sasaran primer, misalnya :
a. Petugas kesehatan
23
b. Petugas Lintas Sektor terkait antara lain : sektor yang melaksanakan urusan
Dalam Negeri, Agama, Pendidikan nsional dan Instansai pemberdayaan
Perempuan
c. Kader /PMO
d. Lembaga Swadaya Masyarakat
e. Pengusaha/ sektor swasta
f. Kelompok Media Massa
g. Kelompok Profesi
II.2.4.2. Perilaku yang diharapkan
1. Bagi penderita TBC
- bersedia periksa ke sarana kesehatan sesuai anjuran petugas kesehatan
- minum obat secara teratur sampai dinyatakan sembuh oleh petugas kesehatan
2. Bagi keluarga penderita / PMO dan masyarakat
- mengawasi penderita minum obat setiap hari
- merujuk penderita ke puskesmas
- mengingatkan penderita untuk periksa ke petugas puskesmas dan periksa
dahak ulang ke laboratorium
- memahami gejala, cara penularan dan pencegahan TBC
II.2.5. Pola Pikir
Kerangka Pola Pikir
1. Input
Dalam hal ini termasuk masalah TBC dan Promosi Kesehatan, Tenaga
Penyuluh, Buku Pedoman, Media Promosi, dana APBD
24
2. Proses
Dalam hal ini termsuk strategi dalam advokasi, bina suasana, dan gerakan
masyarakat
3. Output
Berupa masyarakat yang mampu dan mandiri dalam penanggulangan TBC
4. Outcome
- Angka kesembuhan > 85 %
- Cakupan Penemuan > 70 %
5. Impact
Tuberkulosis tidak menjadi masalah kesehatan.
II.2.6. Strategi
Gerakan masyarakat adalah upaya proaktif untuk menumbuhkan dan
mengembangkan masyarakat agar mampu mempraktekkan upaya penanggulangan
TBC15.
Pendekatan ini ditujukan kepada semua kelompok sasaran baik penderita,
keluarganya, masyarakat umum, secara individu, kelompok maupun massal2.
Tujuannya agar kelompok sasaran meningkat pengetahuan, kesadaran,
kemauan dan kemampuannya sehingga dapat berperilaku positif dalam
penanggulangan TBC. Cara pelaksanaannya dapat dilakukan dengan penyuluhan
perorangan konseling, penyuluhan kelompok dan melalui berbagai media masa baik
cetak maupun elektronik2.
II.2.7. Pesan Pokok yang harus disampaikan adalah 15:
1. Penderita
25
- penyakit TBC, cara penularan, gejala dan pencegahannya
- pengobatan dan sembuh berobat
- patuh berobat akan sembuh
- akibat tidak patuh berobat
2. Keluarga penderita/ PMO
- penyakit TBC, cara penularan, gejala dan pencegahannya
- akibat tidak patuh berobat
- peran keluarga/ PMO
3. Masyarakat
- penyakit TBC, cara penularan, gejala dan pencegahannya
Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama yaitu tentang apa
itu TBC, tentang riwayat pengobatan sebelumnya, bagaimana cara pengobatan TBC,
pentingnya pengawasan langsung menelan obat, serta bagaimana penularan TBC.
Sedangkan hal-hal yang perlu dibahas dengan penderita pada kunjungan berikutnya
adalah cara menelan OAT, jumlah obat dan frekuensi menelan OAT, apakah terjadi
efek samping OAT, pentingnya dan jadwal pemeriksaan dahak ulang, arti hasil
pemeriksaan ulang dahak : negatif atau tetap positif, serta apa yang dapat terjadi bila
pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap16.
II.2.8. Indikator Keberhasilan Promosi dalam Penanggulangan TBC
Indikator Out Put dalam strategi Gerakan Masyarakat
a. Penderita mengetahui, menyadari dan mampu untuk mencegah dan mematuhi
pengobatan
26
b. Keluarga dan masyarakat lingkungannya mau dan mampu untuk mencegah,
menanggulangi dan mengawasi pengobatan penderita.
c. Adanya gerakan di masyarakat yang peduli dalam penanggulangan TBC
Indikator Out Come
Indikator angka out come dapat diukur dari :
1. angka kesembuhan > 85 %
2. cakupan penemuan penderita minimal 70 %
Indikator Impact
Indikator keberhasilan impact diukur dari :
- turunnya prevalensi TBC sehingga tidak merupakan masalah kesehatan lagi.
II.3. Penyuluhan TBC
II.3.1. Penyuluhan Langsung Perorangan
Cara penyuluhan langsung perorangan lebih besar kemungkinan untuk
berhasil dibandingkan dengan cara penyuluhan melalui media. Penyuluhan ini dapat
dilakukan di rumah, di puskesmas, posyandu, dan tempat-tempat lain sesuai dengan
kesempatan yang ada.16
Dalam penyuluhan langsung perorangan, unsur yang terpenting yang harus
diperhatikan adalah membina hubungan yang baik antara petugas kesehatan dengan
penderita16.
Penyuluhan ini dapat dianggap berhasil bila16 :
- penderita bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan
sebelumnya.
- Penderita datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatannya.
27
- Anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya.
II.3.2 Penyuluhan kelompok
Penyuluhan kelompok adalah penyuluhan TBC yang ditujukan kepada
sekelompok orang (sekitar 15 orang), bisa terdiri penderita TBC dan keluarganya16.
II.3.3 Penyuluhan massa
Penyakit menular termasuk TBC bukan hanya merupakan masalah bagi
penderita. Tetapi juga masalah bagi masyarakat, oleh karena itu keberhasilan
penanggulangan TBC sangat tergantung tingkat kesadaran dan partisipasi
masyarakat. Pesan-pesan penyuluhan TBC melalui media massa akan menjangkau
masyarakat umum16.
Penyampaian pesan TBC perlu memperhitungkan kesiapan unit pelayanan,
misalnya tenaga sudah dilatih, obat tersedia dan sarana laboratorium berfungsi. Hal
ini perlu dipertimbangkan agar tidak mengecewakan masyarakat yang datang untuk
mendapatkan pelayanan16.
II.4 Kader Kesehatan
II.4.1 Definisi Kader
Definisi kader menurut L. A. Gunawan adalah kader kesehatan dinamakan
juga promotor kesehtaan desa (prokes) adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dari
masyarakat dan bertugas mengembangkan masyaraka. Direktorat bina peran serta
masyarakat Depkes RI memberikan batasan kader yaitu kader adalah warga
masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat bekerja
secara sukarela.17
28
II.4.2 Tujuan Pembentukan Kader
Dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional, khusus dibidang
kesehatan, bentuk pelayanan kesehatan diarahkan pada prinsip bahwa masyarakat
bukanlah sebagai objek akan tetapi merupakan subjek dari pembangunan itu sendiri.
Pada hakekatnya kesehatan dipolakan mengikut sertakan masyarakat secara aktip dan
bertanggung jawab. Keikut sertaan masyarakat dalam meningkatkan efisiensi
pelayanan adalah atas dasar terbatasnya daya dan adaya dalam operasional pelayanan
kesehatan masyarakat akan memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat
seoptimal mungkin. Menurut Santoso Karo-Karo, kader yang dinamis dengan
pendidikan rata-rata tingkat desa teryata mampu melaksanakan beberapa hal yang
sederhana, akan tetapi berguna bagi masyarakat sekelompoknya meliputi:17
a. Pengobatan/ringan sederhana, pemberian obat cacing pengobatanterhadap
diare dan pemberian larutan gula garam, obat-obatan sederhan dan lain-lain.
b. Penimbangan dan penyuluhan gizi.
c. Pemberantasan penyakit menular, pencarian kasus, pelaporan vaksinasi,
pemberian distribusi obat/alat kontrasepsi KB penyuluhan dalam upaya
menanamkan NKKBS.
d. Peyediaan dan distribusi obat/alat kontasepsi KB penyuluhan dalam upaya
menamakan NKKBS.
e. Penyuluhan kesehatan dan bimbingan upaya keberhasilan lingkungan,
pembuatan jamban keluarga da sarana air sederhana.
f. Penyelenggaraan dana sehat dan pos kesehatan desa dan lain-lain.
29
Dengan terbentuknya kader kesehatan, pelayanan kesehatan yang selama ini
dikerjakan oleh petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat. Dengan
demikian masyarakat bukan hanya merupakan objek pembangunan, tetapai juga
merupakan mitra pembangunan itu sendiri. Selanjutnya dengan adanay kader, maka
pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dengan sempurna berkat adanya kader,
jelaslah bahwa pembentukan kader adalah perwujudan pembangunan dalam bidang
kesehatan.17
II.4.3 Tugas Kegiatan Kader
Tugas kegiatan kader akan ditentukan, mengingat bahwa pada umumnya
kader bukanlah tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanan
esehatan. Dalam hal ini perlu adanya pembatasan tugas yang diemban, baik
menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan. Adapun kegiatan pokok yang perlu
diketahui oleh dokter kader dan semua pihak dalam rangka melaksanakan kegiatan-
kegiatan baik yang menyangkut didalam maupun diluar Posyandu.17
II.4.4 Persyaratan menjadi Kader
Pembangunan dibidang kesehatan dapat dipengaruhi dari keaktifan
masyarakat dan pemuka-pemukanya termasuk kader, maka pemilihan calon kader
yang akan dilatih perlu mendapat perhatian. Secara disadari bahwa memilih kader
yang merupakan pilihan masyarakat dan mendapat dukungan dari kepala desa
setempat kadang-kadang bukan hal yang mudah. Namun bagaimanapun proses
pemilihan kader ini hendaknya melalui musyawarah dengan masyarakat, sudah
barang tentu para pamong desa harus juga mendukung. Dibawah ini salah satu
persaratan umum yang dapat dipertimbangkan untuk pemilihan calon kader yaitu:17
30
a. Dapat baca, tulis dengan bahasa Indonesia
b. Secara fisik dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai kader
c. Mempunyai penghasilan sendiri dan tinggal tetap di desa yang bersangkutan.
d. Aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial maupun pembangunan desanya
e. Dikenal masyarakat dan dapat bekerjasama dengan masyarakat calon kader
f. lainnya dan berwibawa
g. Sanggup membina paling sedik 10 KK untuk meningkatkan keadaan
h. kesehatan lingkungan
i. Diutamakan telah mengikuti KPD atau mempunayai keterampilan
Persyaratan kader kesehatan menurut dr. Ida Bagus adalah : 17
a. Berasal dari masyarakat setempat.
b. Tinggal di desa tersebut.
c. Tidak sering meninggalkan tempat untuk waktu yang lama.
d. Diterima oleh masyarakat setempat.
e. Masih cukup waktu bekerja untuk masyarakat disamping mencari nafkah
lain.
f. Sebaiknya yang bisa baca tulis.
Dari persyaratan-persyaratan yang diutamakan oleh beberapa ahli diatas
dapat disimpulkan bahwa kriteria pemilihan kader kesehatan antara lain, sanggup
bekerja secara sukarela, mendapat kepercayaan dari masyarakat serta mempunya
krebilitas yang baik dimana perilakunya menjadi panutan masyarakat, memiliki jiwa
pengabdian yang tinggi, mempunyai penghasilan tetap, pandai baca tulis, sanggup
membina masayrakat sekitarnya. Kader kesehatan mempunyai peran yang besar
31
dalam upanya meningkatkan kemampuan masyarakat menolong dirinya untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal. Selain itu peran kader ikut membina
masyarakat dalam bidang kesehatan dengan melalui kegiatan yang dilakukan baik di
Posyandu.17
32
BAB III
PENUTUP
Sampai sekarang permasalahan penyakit TB belum tuntas, tidak hanya di
Indonesia, juga di seluruh dunia. Deteksi dini penderita TB berguna untuk
menemukan, menekan dan mengobati dengan tuntas penderita TB agar tidak timbul
komplikasi. Hal ini juga diharapkan untuk mencegah penularan apabila telah
terdeteksi setidaknya untuk meningkatkan kewaspadaan bagi penderita suspek TB
dan masyarakat sekitar. Promosi kesehatan bertujuan untuk memberikan
pengetahuan, pengertian dan menumbuhkan kesadaran bagi penderita TB, keluarga
dan masyarakat mengenai penyakit TB, cara penularan, komplikasi dan pentingnya
pengobatan.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Hendrawati, PA. Hubungan Antara Partisipasi Pengawasan Minum Obat Keluarga Dengan Sikap Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Banyuanyar Surakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.2008
2. Departemen Kesehatan RI. Situasi Epidemiologi Tuberkulosis Indonesia : Angka Insiden, Prevalensi dan Kematian. 2010.
3. Azhar Z. Epidemiologi Tuberkulosis dalam Tuberkulosis Tinjauan Multidisiplin. Pusat Studi Tuberkulosis fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat-RSUD ULIN Banjarmasin. Edisi Pertama. 2001
4. Ditjen P2M dan PL Departemen Kesehatan RI. Laporan Asesmen Kinerja Program Pemberantasan TB Strategi DOTS di Propinsi Kalsel dan NTT. Kerjasama Jurusan Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan Subdit Pemeberantasan Tuberkulosis Paru
5. Girsang M. Pengobatan Standar Penderita TBC. CDK 2002;137:6-8
6. STOP TB Partnership Childhood TB Subgroup WHO. Chapter 1 : Introduction and Diagnosis of tuberculosis in children in Guidance for National Tuberculosis Programmes on the management of tuberculosis in children. Int J Tuberc Lung Dis 2006;10(10):1091-7.
7. Kusnindar. Masalah Penyakit tuberkulosis dan pemberantasannya di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1990, No. 63 hal. 8 –12.
8. Putra AE. Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Mengenai TB Paru Melalui Penyuluhan Kesehatan, Pengobatan dan Identifikasi Dini Penderita. Majalah Kedokteran Andalas 2003,;27 (1):21-
9. Aditama TY, Kamso S, Basri C. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2007.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis :Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI 2002.
11. Amin, Muhamad. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. 1990.
12. Amin Z, Asril B. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
34
ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hal.988-
1000.
13. WHO. Global tuberculosis control : epidemiology, strategy, financing : WHO
report 2009. Geneva, Switzerland : WHO Press.
14. Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB.Buku Ajar Respirologi.Jakarta:
Badan Penerbit IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). 2008.
15. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Pedoman Umum Promosi Penanggulangan Tuberkulosis. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.1992
16. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke-6. Jakarta. 2001
17. Zulkifli. Posyandu dan Kader Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 2003
35