Post on 07-Dec-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toxoplasma gondii merupakan salah satu parasit yang menginfeksi
hampir 25% dari populasi dunia. Berdasarkan pemeriksan serologis pada
manusia, prevalensi toksoplasmosis di Indonesia berkisar antara 2%-63%.
Di Amerika, ribuan bayi lahir setiap tahun dengan toksoplasmosis
kongenital, karena ibunya pertama kali terkena infeksi Toxoplasma semasa
hamil. Infeksi dapat terjadi pada fetus melalui jalur transplasental atau saat
persalinan spontan. Bila seorang ibu hamil terkena toksoplasmosis, maka
resiko terjadinya toksoplasmosis kongenital pada bayi yang dikandungnya
berkisar antara 30-40%1.
Toksoplasmosis kongenital memiliki variasi manifestasi klinis
yang luas, mulai dari hidrops fetalis dan kematian perinatal, hingga ukuran
kecil untuk masa kehamilan, prematuritas, jejas perifer di retina, ikterik
persisten, prematuritas, trombositopenia, pleositosis LCS, dan trias
korioretinitis, hidrosefalus, dan kalsifikasi serebral.1
Prevalensi dari toxoplasmosis sangatlah beragam sesuai usia dan
lokasi geografis. Di Amerika Serikat 50-85% wanita pada usia asuh
memiliki resiko tinggi terhadap toxoplasmosis akut selama kehamilan.
Dalam periode satu tahun, telah dilakukan skrining terhadap IgG spesifik-
toxoplasma pada bayi baru lahir dengan prinsip bahwa IgG dari ibu dapat
melewati plasenta, maka prevalensi dari IgG spesifik tersebut pada bayi
baru lahir mencerminkan seroprevalensi dari ibu. Telah ditemukan 17%
dari 90.000 spesimen dari bayi baru lahir memiliki IgG terhadap T.
gondii mengindikasikan bahwa 83% ibu memiliki resiko tinggi terhadap
infeksi akut.2
1
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memahami
mengenai definisi, etiologi, patomekanisme, diagnosis, penatalaksanaan,
dan pencegahan terhadap penyakit toxoplasma kongenital.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Toksoplasmosis adalah suatu penyakit zoonosis yang biasanya
ditularkan dari hewan baik hewan peliharaan misalnya anjing, kucing,
burung ataupun dari hewan ternak misalnya babi, sapi, kambing, domba
dan sebagainya. Parasit ini dijumpai secara kosmopolitan di seluruh
dunia1.
Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii, merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke
manusia. Parasit ini merupakan golongan Protozoa yang bersifat parasit
obligat intraseseluler. Toksoplasmosis menjadi sangat penting karena
infeksi yang terjadi pada saat kehamilan dapat menyebabkan abortus
spontan atau kelahiran anak yang dalam kondisi abnormal atau disebut
sebagai kelainan kongenital seperti hidrosefalus, mikrosefalus, iridosiklisis
dan retardasi mental.1
Toxoplasma gondii adalah suatu protozoa parasit intraseluler yang
dapat menyebabkan infeksi pada fetus dan sering timbul pada bayi baru
lahir sebagai penyakit yang bersifat lokal ataupun general, berbentuk bulan
sabit, dengan panjang 4-7μm, dan memiliki nukleus tunggal yang terletak
sentral.2
Organisme ini muncul dalam tiga bentuk: oosit, tropozoit, dan kista
(bradizoit). Oosit diekskresikan melalui feses kucing, dan apabila
termakan akan menginvasi mukosa gastrointestinal dan sirkulasi darah
dalam bentuk tropozoit, kemudian organisme ini akan membentuk kista
yang akan bertahan di berbagai organ tubuh. Pada jaringan, organisme ini
terletak intraseluler, dan sering ditemukan pada otak, otot rangka, dan otot
jantung.2
3
B. Epidemiologi
Kejadian toxoplasmosis telah dilaporkan dari beberapa daerah di
dunia ini yang geografiknya sangat luas. Survei terhadap kejadian ini
memberi gambaran bahwa toxoplasmosis pada suatu daerah bisa
sedemikian hebatnya hingga setiap hewan memperlihatkan gejala
toxoplasmosis.3
Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai daerah geografik,
seperti pada ketinggian yang berbeda di daerah rendah prevalensi zat anti
lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tinggi. Prevalensi zat anti
ini juga lebih tinggi di daerah tropik. Pada umumnya prevalensi zat anti T.
gondii yang positif meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan
antara pria dan wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi
dari makan tinja kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung
tinja kucing, yang merupakan instrumen penyebaran secara mekanis dari
infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa secara praktis juga penting dalam
penyebarannya.3
Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah
sebagai berikut:
1. kucing 35-73 %,
2. babi 11-36 %,
3. kambing 11-61 %
4. anjing 75 %
5. ternak lain kurang dari 10 %.3
Di Indonesia prevalensi zat anti T. gondii yang positif pada
manusia berkisar antara 2% sampai 63%. Risiko toksoplasmosis
kongenital bergantung pada saat didapatnya infeksi akut ibu. Transmisi T.
gondii meningkat seiring dengan usia kehamilan (15-25% dalam trimester
I, 30-54% dalam trimester II, 60-65% dalam trimester III), sebaliknya
derajat keparahan penyakit kongenital meningkat jika infeksi terjadi pada
awal kehamilan. Tanda-tanda infeksi saat persalinan ditemukan pada 21-
4
28% dari mereka yang terinfeksi pada trimester II, dan kurang dari 11%
pada trimester III. Ringkasnya, 10% mengalami infeksi berat.3
C. Etiologi
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler,
terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi
bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit). Bentuk takizoit menyerupai bulan
sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran
panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti
yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti
mitokondria dan badan golgi. Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes
perantara seperti burung dan mamalia termasuk manusia dan kucing
sebagai hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam
berbagai jaringan tubuh. Takizoit juga dapat memasuki tiap sel yang
berinti.4
Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah
telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran
kecil hanya berisi beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron
berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan
seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot bergaris. Di otak
bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti
bentuk sel otot.4
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron.
Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah
menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas
membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista
tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda
residu. Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida,
berkembang biak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara
bergantian.1
Daur hidup T. gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel
dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes
5
definitif seperti kucing. Siklus ekstraintestinal pula di dalam tubuh hospes
perantara seperti manusia, kambing dan domba. Pada siklus
ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja kucing belum bersifat
infektif. Setelah mengalami sporulasi, ookista akan berisi sporozoit dan
menjadi bentuk yang infektif. Manusia dan hospes perantara lainnya akan
terinfeksi jika tertelan bentuk ookista tersebut.4
Di dalam ileum, dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit
bebas. Sporozoit-sporozoit ini menembus mukosa ileum dan mengikuti
aliran darah dan limfa menuju berbagai organ tubuh seperti otak, mata,
hati dan jantung.4
Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista setelah berada
dalam sel organ-organ tersebut. Pseudokista tersebut berisi endozoit atau
yang lebih dikenal sebagai takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan
membelah takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk
kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya
ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).4
D. Patomekanisme
Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara. Pada
toksoplasmosis kongenital, transmisi toksoplasma kepada janin terjadi
melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil. Pada
toksoplasmosis akuista, infeksi dapat terjadi bila makan daging mentah
atau kurang matang ketika daging tersebut mengandung kista atau
trofozoit T. gondii. Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh
bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan
sumber lain untuk penyebaran T. gondii.5
Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila
ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering
terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan
dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara dokter hewan,
mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang
yang menangani daging mentah seperti juru masak. Juga mungkin
6
terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita
toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T.
gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laroratorium pada orang yang bekerja
dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan T. gondii yang hidup.
Infeksi dengan T. gondii juga dapat terjadi waktu mengerjakan autopsi.5
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses
yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang
organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel
inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan
retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling
besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya
infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang
menyebar di jaringan otot dan saraf, yang sifatnya menetap tanpa
menimbulkan peradangan lokal.5
Infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya darah ibu yang
mengandung parasit tersebut ke dalam plasenta, sehingga terjadi keadaan
plasentitis yang terbukti dengan adanya gambaran plasenta dengan reaksi
inflamasi menahun pada desidua kapsularis dan fokal reaksi pada vili.
Inflamasi pada tali pusat jarang dijumpai. Kemudian parasit ini akan
menimbulkan keadaan patologik yang manifestsinya sangat tergantung
pada usia kehamilan.5
E. Gambaran Klinis
Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala
klinisnya, toksoplasmosis dapat dikelompokkan atas: toksoplasmosis
akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis
dapatan maupun kongenital, sebagian besar asimtomatis atau tanpa gejala.
Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronik atau laten.
Gejalanya nampak sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan
penyakit lain. Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena
jarang menimbulkan gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil
7
mendapat infeksi primer, ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan
anak dengan toksoplasmosis kongenital. Gejala yang dijumpai pada orang
dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling
sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan
rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala.4
Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjar
getah bening daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas dapat
disertai demam, mialgia dan malaise. Bentuk kelainan pada kulit akibat
toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip kelainan kulit pada
demam titus, sedangkan pada jaringan paru dapat terjadi pneumonia
interstisial.4
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-
macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya
baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Ada
gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad klasik yang terdiri dari
hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrad sabin
yang disertai kelainan psikomotorik. Toksoplasmosis kongenital dapat
menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian
penderitanya karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting
dan juga pada sistem saraf penderita.5
Manifestasi klinis toksoplasmosis kongenital termasuk strabismus,
korioretinitis, ensefalitis, mikrosefalus, hidrosefalus, retardasi psikomotor,
kejang, anemia, ikterus, hipotermia, trombositopenia, diare, dan
pneumonitis. Trias karakteristik yang terdiri dari hidrosefalus, kalsifikasi
serebral, dan korioretinitis berakibat retardasi mental, epilepsy, dan
gangguan penglihatan. Hal ini merupakan bentuk ekstrim dan paling berat
dari penyakit ini.5
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa,
misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan
sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau
8
dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis pada remaja dan dewasa
biasanya akibat infeksi kongenital. Akibat kerusakan pada berbagai organ,
maka kelainan yang sering terjadi bermacam-macam jenisnya.4
Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama
kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat
sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan
kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan
korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari
anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai hepatosplenomegali, ikterus,
limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata.4
F. Diagnosis
Diagnosis dari infeksi T. gondii paling sering ditegakkan dengan
menggunakan pemeriksaan serologi yang dapat menunjukkan antibodi
yang spesifik terhadap T. gondii. Pada pemeriksaan ini dilakukan
pemeriksaan terhadap antibodi IgG, IgM, IgA, dan IgE.2
Antibodi IgG biasanya muncul dalam 1-2 minggu setelah infeksi
dan mencapai puncak setelah 1-2 bulan. Serum IgG perlu diambil dalam
jarak 3 minggu untuk menentukan perubaan dari titer antibodi untuk
evaluasi infeksi selama kehamilan. IgG dapat mendeteksi infeksi 3-4 bulan
sebelumnya.2
Pada antibodi IgM, titer akan menjadi negatif dalam beberapa
bulan setelah infeksi. Namun, dalam beberapa kasus, antibodi IgM masih
dapat ditemukan dalam fase kronik. Walaupun IgM yang persisten dinilai
tidak memiliki arti klinis yang relevan, pasien tersebut perlu tetap
dipertimbangkan sebagai bentuk dari infeksi kronis. Interpretasi dari hasil
IgM positif dinilai masih memiliki tingkat positif palsu yang relatif tinggi.2
Saat ini, antibodi IgA dinilai terbukti lebih sensitif untuk deteksi
infeksi dibandingkan dengan antibodi IgM pada fetus baru lahir. Diagnosis
9
serologik pada bayi baru lahir dengan toksoplasmosis kongenital dan
antibodi IgM negatif, dapat ditentukan dengan keberadaan antibodi IgA
dan IgG.2
Terkadang dilakukan pemeriksaan antibodi IgE pada infeksi akut
toksoplasmosis kongenital. Namun, tidak seperti tes antibodi IgA, deteksi
IgE dinilai tidak terlalu penting untuk penegakkan diagnosis infeksi T.
gondii pada bayi baru lahir. IgE memiliki waktu seropositivitas yang lebih
pendek dibaningkan dengan antibodi IgM atau IgA, namun IgE berguna
untuk mengidentifikasi infeksi yang kemungkinan baru saja terjadi.2
Terdapat berbagai tes serologis yang bermakna untuk antibodi
terhadap T.gondii seperti tes Sabin-Feldman, Indirect Fluorescent
Antibody (IFA), dan ELISA. IFA dan ELISA digunakan untuk mengukur
kadar antibodi IgM. Sama seperti infeksi kongenital lainnya, positif palsu
dari titer antibodi IgM dapat juga disebabkan oleh faktor rheumatoid, oleh
karena itu tes Hemaglutinasi Indirek dan Fiksasi Komplemen harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosa, namun tes-tes tersebut lebih sulit
untuk diinterpretasi. Deteksi antibodi IgA terhadap P30, protein mayor
permukaan dari T.gondii, dilaporkan baru-baru ini lebih sensitif daripada
deteksi antibodi IgM anti-P30 dalam mengidentifikasi infeksi kongenital
pada infant.2
Pada tahun pertama, titer antibodi pada bayi yang tidak terinfeksi
akan menurun dengan waktu paruh kurang lebih 30 hari. Pada bayi yang
terinfekasi, titer antibodi dapat turun pada beberapa bulan pertama, namun
akan meningkat kembali sampai level yang tinggi. Antibodi IgM anti-
Toxoplasma dapat muncul pada waktu lahir maupun pada bulan-bulan
selanjutnya. Titer antibodi Toxoplasma yang negatif pada usia 6 bulan
sampai 1 tahun secara esensial menyingkirkan diagnosa toxoplasmosis
kongenital. IgG spesifik dalam serum bayi berasal dari ibu menurun 50%
setiap bulan, tetapi dapat menetap sampai bayi berumur 1 tahun. IgG mulai
mulai disintesa pada umur 3 bulan pada bayi yang mendapat pengobatan.6
10
Ketika gejala-gejala dan bukti serologis infeksi Toxoplasma
terdeteksi selama kehamilan, infeksi pada fetus sudah dapat ditegakkan.
Diagnosa pada fetus yang spesifik dilakukan dengan deteksi antibodi IgM
anti-Toxoplasma dan dengan isolasi parasit dari darah fetus atau cairan
amnion pada usia kehamilan 20-26 minggu. Pada ibu hamil dengan
infeksi, infeksi fetus sebelum usia kehamilan 20 minggu sulit untuk
ditegakkan karena respon imunologis fetus yang masih rendah, namun tes
PCR, yang memiliki target genom B1 dari T.gondii, dapat mendiagnosa
secara lebih akurat infeksi pada fetus sebelum usia kehanilan 20 minggu.6
Ultrasonografi antenatal juga dapat berguna untuk mengidentifikasi
kelainan-kelainan pada fetus yang terinfeksi. Sekitar 36% fetus dengan
kelainan dapat diidentifikasi. Kelainan yang paling sering dijumpai adalah
dilatasi ventrikular simetris yang bilateral. Abnormalitas lain yang dapat
dideteksi pada saat antenatal meliputi kalsifikasi intrakranial, peningkatan
ketebalan plasenta, hepatomegali, dan asites.6
Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan biopsi
jaringan, isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan
DNA parasit. Pada pasien dengan suspek toxoplasmosis, pemeriksaan
serologi dan pencitraan baik Computed Tomography (CT) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan untuk membuat diagnosis.
Terapi empirik untuk toxoplasmosis cerebral harus dipertimbangkan untuk
pasien yang terinfeksi HIV. Biopsi dicadangkan untuk diagnosis pasti atau
untuk pasien yang gagal dengan terapi empirik.6
G. Penatalaksanaan
Pada wanita yang diketahui mengalami toksoplasmosis dalam
kehamilan perlu dilakukan pengobatan secaran rutin. Pengobatan sejak
awal diduga dapat mencegah perkembangan proses infeksi dan proses
11
kecacatan pada anak, meskipun efisiensi dari pengobatan ini masih
diperdebatkan. Bentuk penatalaksanaan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sebelum usia kehamilan 30 minggu.
Apabila toksoplasma tidak terdeteksi dalam cairan amnion
dan hasil pemeriksaan USG normal, maka dapat dilakukan
pemberian Spiramicyn 9 juta IU per hari hingga
melahirkan.7
Apabila toksoplasma terdeteksi dalam cairan amnion dan
hasil pemeriksaan USG normal, maka dapat dilakukan
pemberian pyrimethamine 50 mg per hari dan sulfonamid 3
mg per hari, bersama dengan asam folat.7
Apabila hasil pemeriksaan USG terdapat mikroklasifikasi
serebral atau hidrosefalus, maka sebaiknya dipertimbangkan
untuk dilakukan terminasi kehamilan.7
b. Setelah usia kehamilan lebih dari 30 minggu.
Karena resiko transmisi melalui plasenta tinggi, maka dapat
diberikan pyrimethamine dan sulfonamid.7
c. Saat proses melahirkan.
Perlu segera dilakukan pemeriksaan dengan USG
transfontanella dan pemeriksan oftalmologi. Apabila
pemeriksaan klinis dan tes serologi ditemukan negatif, maka
tidak perlu dilakukan pengobatan. Apabila tes serologi positif,
maka sebaiknya dilakukan pengobatan dengan pyrimethamine
dan sulfonamid selama 12 bulan.7
Pada bayi baru lahir dengan infeksiToxoplasma, dapat
diberikan kemoterapi anti-Toxoplasma kombinasi yang terdiri
dari pyrimethamine 1mg/kgBB per hari selama 2 bulan
dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 2 hari selama 10 bulan,
sulfadiazine 50 mg/kgBB per hari, serta asam folat 5-10 mg 3
kali seminggu untuk mencegah efek samping dari
pyrimethamine.7
12
Selain pemberian obat-obatan, follow up yang teratur juga
diperlukan untuk mendeteksi manifestasi penyakit lebih awal,
melakukan terapi tambahan atau modifikasi terapi bila
diperlukan, dan menentukan prognosa. Hitung darah lengkap
1-2 kali per minggu untuk pemberian dosis pyrimethamine
harian dan 1-2 kali per bulan untuk pemberian dosis
pyrimethamin tiap 2 hari dilakukan untuk memonitor efek
toksik dari obat. Diperlukan pula pemeriksaan pediatrik yang
lengkap, meliputi pemeriksaan perkembangan saraf setiap
bulan, pemeriksaan oftalmologi setiap 3 bulan sampai usia 18
bulan kemudian setiap tahun sekali, serta pemeriksaan
neurologis tiap 3-6 bulan sampai usia 1 tahun.7
H. Pencegahan
Toksoplasmosis dapat dicegah dengan menjaga higienitas diri dan
makanan. Makanan yang dikonsumsi terutama daging harus benar-benar
masak (pada suhu 116 derajat celcius). Tangan harus dicuci sebelum dan
setelah menyentuh makanan. Buah-buahan dan sayur-sayuran harus dicuci
bersih. Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi
dengan kotoran kucing. Jika ada kotoran kucing, maka harus dibersihkan
untuk menghindari maturasi sel-sel telur toxoplasma gondii. Sewaktu
berkebun, harus memakai sarung tangan untuk menghindari transmisi
toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan manusia.8
Pada wanita hamil sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada
trimester pertama. Pencegahan dengan tindakan abortus artefisial yang
dilakukan selambatnya sampai kehamilan 21-24 minggu, mengurangi
kejadian toksoplasmosis kongenital kurang dari 50 %, karena lebih dari 50
% toksoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer pada trimester
terakhir kehamilan.8
13
I. Prognosis
Bayi yang terinfeksi toxoplasma sejak lahir apabila tidak dirawat
akan memiliki prognosa yang buruk. Pada beberapa kasus yang tidak
mendapatkan perawatan, didapatkan perkembangan menjadi korioretinitis,
kalsifikasi serebral, serangan kejang, dan retardasi psikomotor. Kini,
manfaat dari diagnosa dini pada periode antenatal, terapi antenatal, dan
terapi setelah bayi lahir sudah terbukti dalam menurunkan frekuensi dari
sekuele neurologis mayor.8
14
BAB III
KESIMPULAN
Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii,
merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia.
Toksoplasmosis menjadi sangat penting karena infeksi yang terjadi pada saat
kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan atau kelahiran anak yang dalam
kondisi abnormal atau disebut sebagai kelainan kongenital seperti hidrosefalus,
mikrosefalus, iridosiklisis dan retardasi mental.
Trias karakteristik yang terdiri dari hidrosefalus, kalsifikasi serebral, dan
korioretinitis berakibat retardasi mental, epilepsy, dan gangguan penglihatan. Hal
ini merupakan bentuk ekstrim dan paling berat dari penyakit ini. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan, isolasi T gondii dari
cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.
Pengobatan sejak awal diduga dapat mencegah perkembangan proses
infeksi dan proses kecacatan pada anak, meskipun efisiensi dari pengobatan ini
masih diperdebatkan. Manfaat dari diagnosa dini pada periode antenatal, terapi
antenatal, dan terapi setelah bayi lahir sudah terbukti dalam menurunkan frekuensi
dari sekuele neurologis mayor.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Serranti D, Buonsenso D, Valentini P. Congenital Toxoplasmosis
Treatment. 2011. European Review for Medical and Pharmacological
Sciences. 15:193-198.
2. Nazan D. Congenital Toxoplasma Gondii Infection. 2008. Marmara
Medical Journal. 21(1):089-101.
3. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in
Relation to Toxoplasma in the Food Chain.
4. Gandahusada, S., Ilahude, H.H., dan Pribadi, W. Parasitologi Kedokteran.
Edisi ke-3. FKUI. 2003.
5. Chahaya, I. Epidemiologi “ Toxoplasma Gondii ”. Digital Library
Universitas Sumatera Utara. 2003.
6. Hiswani. Toksoplasmosis Penyakit Zoonosis yang Perlu Diwaspadai. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan. 2005;43-50.
7. Robert-Gnansia E. Congenital Toxoplasmosis. Institut Européen des
Génomutations. 2003.
8. Rorman E, Zamir C, Rilkis I, Ben-David H. Congenital Toxoplasmosis-
prenatal aspects of Toxoplasma gondii infection. Reproductive
Toxicology. 2006; 21:458-472.
16