Post on 07-Aug-2015
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Mata adalah struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari yang
paling luar ke paling dalam, lapisan – lapisan itu adalah (1) sklera/ kornea; (2) koroid/badan
siliar/iris; dan (3) Retina. 10
Gambar 1. Struktur mata
Retina adalah selapis tipis sel yang terletak pada bagian belakang bola mata. Retina
merupakan bagian mata yang mengubah cahaya menjadi sinyal saraf. Retina memiliki sel
fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) yang menerima cahaya. Ketika retina menyerap
cahaya, molekul fotopigmen berdisosiasi menjadi komponen retinen dan opsin menyebabkan
penutupan saluran-saluran Na+ gerbang zat perantara kimiawi sehingga terjadi hiperpolarisasi
membran (potensial reseptor) yang mana menurunkan pengeluaran transmitter inhibitorik
sehingga neuron bipolar tidak mengalami inhibisi atau, dengan kata lain, mengalami eksitasi,
mengakibatkan terjadinya potensial aksi di sel ganglion yang merambat sampai ke korteks
pengelihatan di lobus oksipitalis otak untuk persepsi penglihatan. 10,13
Retina manusia terdiri atas sepuluh lapis12. Urutan lapisan-lapisan tersebut adalah:
1. Epitel pigmen retina
2. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar. (sel batang dan sel kerucut)
2
3. Membran limitans eksterna - Lapisan yang membatasi bagian dalam fotoreseptor dari
inti selnya
4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, merupakan susunan lapis inti sel kerucut dan sel
batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapatkan metabolisme dari kapiler
koroid.
5. Lapisan pleksiform luar, pada bagian makula ini dikenal sebagai "Lapisan serat
Henle" (Fiber layer of Henle), merupakan lapisan aseluler dan tempat sinapsis sel
fotoreseptor dengan sel bipolar dan horizontal.
6. Lapisan inti dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller.
Lapisan ini mendapatkan metabolisme dari arteri retina sentralis.
7. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapis aseluler tempat sinaps sel bipolar, sel
amakrin dan sel ganglion.
8. Lapisan sel ganglion merupakan lapisan yang terdiri dari inti sel ganglion dan
merupakan asal dari serabut saraf optik.
9. Lapisan serabut saraf, merupakan lapisan akson sel ganglion menuju ke arah saraf
optik.
10.Membran limitans interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca.
3
Gambar 2. Lapisan-lapisan retina
Warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan iskemia dan
merah pada hiperemia. Pembuluh darah dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika,
arteri retina sentral masuk ke dalam retina melalui papil saraf optik yang akan
memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan sel batang
mendapatkan nutrisi dari lapisan koroid.12
Gambar 3. Layar belakang mata, Fundus okuli.
4
BAB III
RETINOPATI DIABETIK
III.1 Definisi
Retinopati diabetik adalah Komplikasi diabetes mellitus pada pembuluh darah retina
yang diklasifikasikan menjadi retinopati diabetes nonproliferatif dan retinopati diabetes
proliferatif.14
III.2 Epidemiologi
Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang perlu diwaspadai di
Indonesia. Gambar 4 memperlihatkan proyeksi epidemi diabetes sedunia untuk tahun 2010.
Terlihat berdasarkan benua, proyeksi angka penyandang diabetes paling tinggi diantara empat
benua lainya. Di Indonesia sendiri telah dilakukan beberapa penelitian kuantitatif tentang
penderita diabetes, antara lain di Padang, Jakarta, dan Manado. Hasil penelitian menunjukan
kisaran penderita diabetes antara 1,4-2,3%. Penelitian di Koja tahun 1982 mendapatkan angka
1,7% , di Kayuputih (Jakarta Timur) pada tahun 1992 sebesar 5,7% dan daerah Abadijaya
(Depok I) terdapat penderita diabetes sebesar 13,6% pada tahun 2001. Dengan demikian
terlihat angka prevalensi diabetes selalu meningkat dati waktu-waktu.15
Gambar 4. Global Project for Diabetic Epidemic: 2000-2010
5
Prevalensi diabetes melitus untuk Indonesia cukup besar menurut RISKESDAS;
sebesar 14,7% populasi di kawasan urban terancam diabetes dan 7,2% populasi rural
terancam diabetes. Jika diproyeksikan sebanyak 8,2 juta penduduk di kawasan kota dan 5,5
juta penduduk di kawasan desa di Indonesia mengalami diabetes yang artinya terjadi
penambahan jumlah retinopati diabetik yang signifikan.15
Sekitar 40% dari kasus DM berisiko mengalami retinopati diabetes dan 8%
diantaranya terancam mengalami risiko kebutaan. Di Amerika Serikat, retinopati diabetes
merupakan penyebab utama dalam beberapa kasus legal blindness di usia produktif.
Prevalensi retinopati diabetes adalah 3,4% atau diproyeksikan sekitar 4,1 juta orang terancam
retinopati diabetes dengan 0,75% terancam kebutaan.15
Diabetes melitus tipe 1 (Insulin-Dependent Diabetes Melitus;IDDM). Juvenile onset,
biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun. Mayoritas pasien belum terkena retinopati selama 5
tahun pertama setelah terdiagnosis; 95% pasien diabetes tipe 1 menderita retinopati setelah 15
tahun). 72 % akan berkembang menjadi retinopati diabetes proliferatif.14
Diabetes mellitus tipe 2 ( Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus; NIDDM). adult
onset, biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Sekitar 60% pasien dengan diabetes tipe 2
sudah mengalami retinopati diabetes saat penyakit diabetes terdiagnosis. 30% diantaranya
akan berkembang menjadi retinopati diabetes dalam 5 tahun mendatang.14
III.3 Etiologi
Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi dinyakini bahwa
hiperglikemia kronis yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.16 Hal
ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda paling
sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa diperoleh pada diabetes tipe 2,
tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit sulit ditentukan secara tepat.17
Perubahan abnormalitas pada sebagian besar hematologi dan biokimiawi telah
dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:16
1. Adhesi trombosit yang meningkat.
2. Agregasi eritrosit yang meningkat.
3. Abnormalitas lipid serum.
6
4. Fibrinolisis yang tidak sempurna
5. Abnormalitas dari sekresi hormon pertumbuhan
6. Abnormalitas serum dan viskositas darah
Beberapa faktor risiko penyebab retinopati diabetik antara lain: lamanya menderita
diabetes, kadar gula darah tidak tekontrol, hipertensi, nefropati diabetik, kehamilan, dan
faktor lain seperti merokok, obesitas, dan kadar kolesterol tinggi.
III.4 Klasifikasi
Retinopati diabetik dikelompokan sesuai dengan standar Early Treatment Diabetic
Retinopathy Study (ETDRS) yang tampak pada tabel 1.25
Tabel 1. Sistem Klasifikasi Retinopati DM berdasarkan ETDRS.
Klasifikasi Retinopati DM Tanda pada pemeriksaan mata
Derajat 1 Tidak terdapat retinopati DM
Derajat 2 Hanya terdapat mikroaneurisma
Derajat 3 Retinopati DM nonproliferatif dengan derajat
ringan – sedang yang ditandai oleh
mikroaneurisma dan satu atau lebih tanda:
dilatasi vena, perdarahan, hard exudates, soft
exudates, intraretinal microvascular
abnormalities (IRMA)
Derajat 4 Retinopati DM nonproliferatif dengan derajat
sedang-berat yang ditandai oleh : perdarahan
derajat sedang-berat, mikroaneurisma, IRMA
Derajat 5 Retinopati DM proliferatif yang ditandai oleh
neovaskularisasi dan perdarahan vitreous.
7
III.5 Patofisiologi
Hiperglikemia kronis mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi
perubahan fisiologi dan biokimiawi melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu
terbentuknya reactive oxygen intermediates ( ROIs), dan advanced glycation endproducts
( AGEs), ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang
pelepasan faktor vasoaktif seperti nitrit oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1
(IGF-1), dan endotelin.
Kedua hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang mengikat glikosilasi dan
ekspresi aldolase reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi
sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi endotel.
Ketiga Hipergilkemia mengaktivasi transduksi sinyal protein kinase C intraseluler yang
akan mengaktifkan vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain
diaktivasi oleh protein kinase C intraseluler. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel
pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis
dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut mengakibatkan gangguan sirkulasi,
hipoksia, inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang
berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang lemah membran
basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit.
Akibatnya terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.9
1. Retinopati diabetik nonproliferatif
Retinopati diabetik nonproliferatif merupakan bentuk yang paling umum dijumpai,18
cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetensi pembuluh yang terkena.17
Disebabkan oleh penyumbatan dan kebocoran kapiler. Mekanisme perubahannya adanya
perubahan endotel vaskular ( penebalan membran basalis dan hilangnya perisit) dan gangguan
hemodinamik pada sel darah merah dan agregasi trombosit.17 Disini perubahan mikrovaskular
pada retina terbatas pada lapisan dalam retina, tidak melebihi membran dalam.16
8
Karakterikstik pada jenis ini adalah dijumpai mikroaneurisma multipel yang dibentuk
oleh kapiler-kapiler yang membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik, vena
retina mengalami dilatasin dan berkelok-kelok, bercak perdarahan dalam retina.16,17
Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan dan berbentuk nyala api karena lokasi didalam
lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan berbentuk titik-titik
atau bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson yang berorientasi
vertikal.17
Retinopati diabetik prepoliferatif merupakan stadium paling berat dari retinopati diabetik
nonproliferatif. Pada keadaan ini terdapat penymbatan kapiler mikrovaskular dan kebocoran
plasma yang berlanjut, disertai iskemik pada dinding retina ( cotton wool spot, infark pada
lapisan serabut saraf). Hal ini menimbulkan area nonperfusi yang luas dan kebocoran darah
atau plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari stadium ini adalah cotton wool spot,
perdarahan bercak, intraretinal microvaskular abnormal (IRMA), dan rangkain vena yang
seperti manik-manik. Bila satu dari keempatnya dijumpai ada kecenderungan untuk menjadi
progresif, dan bila keempatnya dijumpai maka berisiko untuk menjadi retinopati proliferatif
dalam satu tahun.19
Edema makula pada retinopati diabetik nonproliferatif merupakan penyebab tersering
timbulnya gangguan penglihatan.18 Edema ini terutama disebabkan oleh rusaknya sawar
darah-retina bagian dalam endotel kapiler retina sehingga terjadi kebocoran cairan dan
plasma. Edema ini bersifat difus dan lokal. Edema ini tampak sebagai retina yang menebal
dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat retina sehingga terbentuk eksudat kuning
kaya lemak berbentuk bundar disekitar mikroaneurisma dan paling sering berpusat di bagian
temporal makula.17
2. Retinopati diabetik proliferatif
Retinopati diabetik proliferatif merupakan penyulit mata yang paling parah pada
diabetes melitus. Pada jenis ini iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang
pembentukan pembuluh-pembuluh halus (neovaskularisasi) yang sering terletak pada
permukaan diskus dan tepi posterior zona perifer disamping itu neovaskularisasi iris atau
rubeosis iridis juga dapat terjadi. Pembuluh-pembuluh baru yang rapuh ini berproliferasi dan
menjadi meninggi apabila korpus vitreum mulai bekontraksi menjauhi retina dan darah yang
keluar dari pembuluh tersebuh menyebabkan terjadinya perdarahan masif sehingga
menimbulkan penurunan pengelihatan mendadak.17
9
Di samping itu jaringan neovaskularisasi yang meninggi ini dapat mengalami fibrosis
dan membentuk pita-pita fibrovaskular rapat yang menarik retina dan menimbulkan kontraksi
terus-menerus pada kopus vitreum. Hal ini dapat menyebabkan pelepasan retina akibat traksi
progresif, ablasio retina traksi atau apabila terjadi robekan retina terjadi ablasio retina
regmentogenosa. Pelepasan retina dapat didahului atau ditutupi perdarahan korpus vitreum.
Apabila kontraksi korpus vitreum telah sempurna pada mata, maka retinopati proliferatif
cenderung masuk ke stadium involusional. 17
III. 6 Manifestasi klinis
a. Gejala klinis subjektif yang dijumpai dapat berupa:20-21
1. Sukar membaca
2. Penglihatan kabur
3. Penglihatan menurun tiba-tiba pada satu mata
4. Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
5. Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip
Gambar 5. Perbedaan penglihatan normal dengan penglihatan pada retinopati diabetik
b. Gejala klinis objektif yang ditemukan pada retina.21
1. Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena
dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah
terutama pada polus posterior.
10
Gambar 6. Mikroaneurisma pada retinopati diabetik( garis merah).
2. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma di polus posterior.
Gambar 7. Perdarahan pada retinopati diabetik
3. Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambaranya khusus yaitu
ireguler, kekunung-kuningan. Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan
bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Gambar. 8. Hard exudate
11
4. Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan gambaran
iskemik pada retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak
berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi
daerah nonperfusi.
Gambar 9. Soft exudate
5. Neovaskularisasi terletak pada permukaan retina. Tampak sebagai pembuluh darah
yang berkelok-kelok, berkelompok, dan ireguler. Mula-mula terletak pada jaringan
retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal dan badan kaca. Pecahnya
neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina,
perdarahan preretinal dan perdarahan badan kaca.
Gambar 10. Neovaskularisasi
6. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula
sehingga mengganggu tajam pengelihatan.
III.7 Deteksi Dini Retinopati DM
12
Pada tahun 2010, The American Diabetes Association7 menetapkan beberapa
rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati DM. Pertama, orang dewasa dan anak
berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM tipe I harus menjalani pemeriksaan mata
lengkap oleh dokter spesialis mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis DM ditegakkan.
Kedua, penderita DM tipe II harus menjalani.pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis
mata segera setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan II
harus dilakukan secara rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata. Keempat, frekuensi
pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil pemeriksaan menunjukkan
hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila ditemukan tanda retinopati progresif. Kelima,
perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak trimester
pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan karena risiko terjadinya dan/atau
perburukan retinopati DM meningkat, dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh tentang
risiko tersebut.7,9
III.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan awal untuk mendeteksi retinopati diabetik yaitu, pemeriksaan
fundus dengan oftalmoskop, menggunakan slitlamp dengan lensa kontak atau lensa +78
dioptri. Untuk membantu mendeteksi awal edema makula pada retinopati diabetik
nonproliferatif dapat digunakan stereoscopic biomicroscopic menggunakan lensa +90
dioptri.18 Disamping itu angiografi fluoresens juga sangat bermanfaat dalam mendeteksi
kelainan mikrovaskular pada retinopati diabetik. Dijumpai kelainan pada elektroretinografik
juga memiliki hubungan dengan keparahn dan dapat membantu memperkirakan
perkembangan retinopati.23
III.8 Penatalaksanaan
Terapi terkini yang baik untuk retinopati diabetik ada dua macam, yaitu terapi
sistemik dan terapi okuler. Terapi sistemik dapat dilakukan dengan mengontrol gula darah ,
pengendalian tekanan darah, mengatur lipid. Terapi okuler terdiri atas terapi laser
fotokoagulasi, vitrektomi, dan terapi farmakologis.15
13
Fokus pengobatan bagi retinopati diabetes nonproliferatif tanpa edema makula adalah
dengan pengobatan terhadap hiperglikemia, penyakit sistemik lain, dan pemeriksaan rutin tiap
6 -12 bulan. Terapi laser argon fokal terhadap titik-titik kebocoran retina pada pasien yang
secara klinis menunjukan edema makula bermakna dapat memperkecil risiko penurunan
penglihatan. Sedangkan mata dengan edema makula diabetik yang secara klinis tidak
bermakna biasanya hanya dipantau secara ketat tanpa laser.17 Namun demikian pada penderita
retinopati DM nonproliferatif berat dapat dianjurkan menjalani fotokoagulasi panretina laser,
jika berisiko tinggi untuk berkembang menjadi retinopati DM proliferatif, kemudian penderita
dievaluasi tiap 3-4 bulan pascatindakan.
Untuk retinopati diabetik proliferatif biasanya diindikasikan untuk pengobatan
fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan kemungkinan
perdarahan masif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara menimbulkan regresi dan
pada sebagian kasus menghilangkan pembuluh-pembuluh darah baru tersebut. Kemungkinan
fotokoagulasi panretina laser argon ini bekerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari
retina yang mengalami iskemik. Teknik ini berupa pembentukan luka-luka bakar laser dalam
jumlah sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur di seluruh retina, tidak mengenai bagian
sentral yang dibatasi oleh diskus dan pembuluh darah retina bagian temporal utama. 17,22
Fotokoagulasi panretina laser argon membutuhkan 1200-1500 laser spot dan dapat dilakukan
dalam dua hingga empat sesi. Masing- masing sesi mempunyai waktu 10-20 menit dan
masing-masing sesi diulang hingga 2-4 minggu sehingga terapi ini sangat memakan waktu
dan rasa nyeri pada pasien, selain itu perlu dilakukan evaluasi tiap 2-4 bulan setelah tindakan.
Efek samping lainnya adalah timbulnya jaringan parut retina yang permanen sehingga
menimbulkan skotoma dan menurunkan lapang pandang perifer, gangguan pengelihatan
warna, dan gangguan pengelihatan malam.15
Namun, laser fotokoagulasi mempunyai keterbatasan, yaitu tidak dapat menjamin
bahwa tidak terjadi penurunan visus lebih lanjut ( biasanya perbaikan visus tidak begitu
sering terjadi, paling tidak menetap), dapat menyebabkan komplikasi yang menimbulkan
kerusakan permanen pada jaringan retina . Dibutuhkan strategi terapi lain karena pendekatan
sistemik dengan mengendalikan metabolik cukup sulit dilakukan. Selain itu, sekalipun terapi
laser ini dilakukan pada banyak pasien, namun pasien tetap mengalami penurunan visus
14
sehingga perlu dipikirkan terapi lain yang kurang invasif dan dapat ditoleransi oleh pasien-
pasien diabetes, khususnya retinopati diabetes.15
Peran bedah vitrektomi untuk retinopati diabetik proliferatif masih tetap berkembang,
sebagai cara untuk mempertahankan atau memulihakan pengelihatan yang baik. Disamping
itu, saat ini berkembang terapi dengan injeksi anti-VEGF intravitreal. Peranan penting VEGF
dalam retinopati diabetik adalah sebagai mediator dari neovaskularisasi dan merusak dari
sawar darah-retina. Mengingat peran penting tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai
pemakaian anti-VEGF, yaitu ranibizumab, pada terapi edema makula diabetik dan retinopati
diabetik. 15
III. 9 Prognosis
Pada mata yang mengalami edema makular dan iskemik yang bermakna memiliki
prognosis yang lebih buruk dengan atau tanpa terapi laser, daripada mata dengan edema dan
perfusi yang baik.17
BAB IV
RINGKASAN
15
Retinopati diabetik adalah komplikasi diabetes mellitus pada pembuluh darah retina
yang diklasifikasikan menjadi retinopati diabetes nonproliferatif dan retinopati diabetes
proliferatif.14
Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi dinyakini bahwa
hiperglikemia kronis menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimiawi yang akhirnya
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.16
Retinopati diabetik dikelompokan sesuai dengan standar Early Treatment Diabetic
Retinopathy Study (ETDRS).25
Gejala klinis yang ditemukan dapat berupa subjektif dan objektif, dimana pada gejala
subjektif terdapat penglihatan kabur, sukar membaca, penglihatan menurun tiba-tiba pada
satu mata, melihat bintik gelap, dab cahaya kelap-kelip.20-21 Sedangkan pada gejala subjektif
di temukan mikroaneurisma, perdarahan pada retina, dilatasi pembuluh darah, hard exudate,
soft exudate, neovaskularisasi, dan edema retina.23
Pemeriksaan penunjang untuk dapat mendeteksi awal retinopati diabetik adalah
pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop, menggunakan slitlamp dengan lensa kontak atau
lensa 78 dioptri. Sedangkan untuk deteksi awal edema makula dapat menggunakan
stereoscopic biomicroscopic. Angiografi fluoresens juga bermanfaat utuk deteksi kelainan
mikrovaskular.17
Terapi terkini yang baik untuk retinopati diabetik ada dua macam, yaitu terapi
sistemik dan terapi okuler. Terapi sistemik dapat dilakukan dengan mengontrol gula darah ,
pengendalian tekanan darah, mengatur lipid. Terapi okuler terdiri atas terapi laser
fotokoagulasi, vitrektomi, dan terapi farmakologis.
DAFTAR PUSTAKA
16
1. Wild s, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalance of diabetes: estimates
for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2004;2007;27: 1047-53.
2. Noble J, Chaudray V. Diabetic retinopathy. CMAJ. 2010;182(15): 1646.
3. Fong DS, Aiello L, Gardner TW, King GL, Blankenship G, Cavallerano JD. Diabetic
retinopathy. Diabetes care. 2003;26(Suppll): S99-102.
4. Wong Ty, Yau J, Rogers S, Kawasaki R, Lamourex EL, Kowalski J. Global prevalence
of diabetic retinopathy. Diabetes care: Pooled data from population studies from the
United States, Australia, Europe, and Asia. Prosiding The Association for Research in
Vision and ophlatmologi Annual Meeting; 2011.
5. Soewondo P, Soegondo S, Suastika K, Pranoto A, Soeatmadji DW, Tjokroprawiro
A.The DiabCare Asia 2008 study – Outcomes on control and complications of type 2
diabetic patients in Indonesia. Med J Indones. 2010;19(4):235-43.
6. Paulus YM, Gariano RF. Diabetic retinopathy: A growing concern in an aging
opulation. Geriatrics. 2009;64(2):16-26.
7. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes - 2010. iabetes
Care. 2010;33(Suppl1):S11-61.
8. Fong DS, Aiello L, King GL, Blankenship G, Cavallerano JD, Ferris FL. Retinopathy
in diabetes. Diabetes Care. 2004;27(Suppl1):S84-7.
9. Garg S, Davis RM. Diabetic retinopathy screening update. Clinical Diabetes.
2009;27(4):140-5.
10. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2001. Penerbit EGC: Jakarta. hal
161.
11. Anatomi mata. http://id.wikipedia.org/wiki/Retina.
12. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. 2003. Penerbit Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta. Hal 9-10, 218-9.
13. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2001. Penerbit EGC: Jakarta. hal
171.
14. Friedman, Kaiser. The Massachussets Eye and Ear Infirmary Illustrated Manual of
Ophtalmology.2004.Saunders.Pensylvania.
15. Andayani G. Pengangan Terkini Retinopati Diabetik: Retina dari Pedriatik hingga
Geriatrik. 2011. Penerbit Info JEC. hal 155-7
16. Basic and Clinical Science Course. Retina and Vitreous. Section 12. America-
Academy of Opthalmologi. United States.1997. page 71-86.
17
17. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi Umum. Edisi 14. 2000. Penerbit Widya
Medika: Jakarta. Hal 211-4
18. Nema HV. Textbook of Opthalmology. Edition 4. 2002. Medical Publisher. New
Delhi. Page 249-51.
19. Freeman WR. Practical Atlas of Retinal Disease and Therapy. Edition 2. Hongkong
Lippincott-Raven. 1998. Page 199-213.
20. Diabetic Retinopathy. http:// www. Kellog.umich.edu/patientcare/conditions/ diabetic.
Retinopathy.html.
21. Diabetic Retinopati. http://www . Apagrafix.com/patiented/DiabeticRetinopathy
22. Elkington AR, Khaw PT. Petunjuk Penting Kelainan Mata. 1995. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.hal 162-165.
23. Viswanath K, McGavin DM. Diabetic Retinopathy: Clinical Findings and
Management. Community Eye Health [internet] 2003 [cited 2012 Des 29]; 16(46):21-
23. Available from: http:// www.cehjournal.org/0953-6833/16
24. The Diabetes Control and Complication Trial/Epidemiology of Diabetes Intervension
and Complication Research Group. Retinopathy and Nephropathy in Patient with tipe 1
diabetes for four years after a trial of intervensive therapy. N Eng J Med 2000; 342,
381-9.
25. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) Research Group. Fundus
photograhic risk factor for progresion diabetic retinopathy: report number 12.
Opthalmology. 1991;98:823-33.
18