Post on 30-Nov-2015
REFERAT PSIKIATRI
GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA
Pembimbing :
Dr. Elliyati D Rosadi, Sp.KJ (KAR)
Disusun oleh :
Karina s a (030 06 135 )
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA PERIODE oktober – November 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA2012
KATA PENGANTAR
1
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan ijin-Nya maka tugas pembuatan referat dengan judul “Gangguan
Stres Pascatrauma” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Pembuatan referat
ini merupakan salah satu tugas wajib yang harus dikerjakan dalam rangka
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Jiwa.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Elliyati D Rosadi, Sp.KJ (KAR) selaku pembimbing referat
2. dr. Tony Setiabudhi selaku Project Manager
3. Dokter-dokter spesialis kesehatan jiwa.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran senantiasa penulis terima dengan tangan terbuka
untuk kesempurnaan referat ini. Penulis berharap semoga apa yang disajikan
dalam referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, november 2012
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
BAB II. GANGGUAN STRES PASCATRAUMA ....................................
Definisi ...................................................................................... 3
Epidemiologi ............................................................................. 4
Etiologi ...................................................................................... 4
Gambaran Klinis dan Diagnosa............................................... 7
Perjalanan Penyakit dan Prognosa ........................................ 11
Diagnosis Banding .................................................................. 12
Penatalaksanaan ...................................................................... 13
BAB III. KESIMPULAN ........................................................................... 17
BAB IV. PENUTUP .................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 20
BAB I
3
PENDAHULUAN
Gangguan Stres Pascatraumatik merupakan gangguan mental pada
seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam
kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai
contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan
yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam
seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau
musibah pesawat jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup
kemungkinan akan mengalami gangguan stres.
Supaya pasien dapat diklasifikasikan sebagai penderita gangguan stres
pascatraumatik, mereka harus mengalami suatu stres emosional yang besar
yang akan traumatik bagi setiap orang.
Gangguan stres pascatraumatik terdiri dari :
Pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang
membangunkan ( waking thought ).
Penghindaran yang yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan
penumpukan responsivitas pada penderita tersebut.
Kesadaran berlebihan ( hyperararousal ) yang persisten.
Gejala penyerta yang sering dari gangguan stres pascatraumatik adalah depresi,
kecemasan dan kesulitan kognitif (sebagai contohnya, pemusatan perhatian
yang buruk). Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi
keempat (DSM IV), lama gejala minimal untuk gangguan stres pascatraumatik
adalah satu bulan.
Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma
untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Gangguan
sangat mungkin terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami
gangguan ekonomi atau menarik diri secara sosial. Gangguan Stres Pasca
Trauma termasuk dalam gangguan cemas. Gangguan cemas disebabkan oleh
situasi atau obyek yang sebenarnya tidak membahayakan yang mengakibatkan
4
situasi atau obyek tersebut dihindari secara khusus atau dihadapi dengan
perasaan terancam. Perasaan tersebut tidak berkurang walaupun mengetahui
bahwa orang lain menganggap tidak berbahaya atau mengancam.
Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan,
ketakutan, penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi
dan berfikir, gejala-gejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat,
sesak napas, jantung berdebar, serta dapat pula ditemui gejala gangguan
persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan mungkin terdapat gejala yang
lain.
5
BAB II
GANGGUAN STRES PASCATRAUMA
Definisi
Gangguan Stress Pasca Trauma / Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
dapat didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara
ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami
suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang mengancam
kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih,
kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan
yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila
sudah berat dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan
sosial.
Gangguan Stress Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :
1. Pengalaman trauma yang muncul kembali dalam mimpi atau pikiran-pikiran
waktu terjaga.
2. Emosi yang tumpul dalam kehidupan atau hubungan interpersonal
3. Terdapat gejala-gejala otonom yang tidak stabil, depresi dan gangguan
kognitif (seperti kesukaran konsentrasi)
Gangguan tersebut timbul apabila mengalami stres emosional / trauma
psikologik yang besar yang berada di luar batas - batas pengalaman manusia
yang lazim.
Gangguan stres pascatraumatik dapat terjadi dengan segera, hal ini dapat
dilihat langsung pada bencana alam, pengalaman seseorang terhadap reaksi
dari trauma tersebut merespon kejadian yang baru dialaminya di luar kontrol
dirinya, menangis, hilang ingatan sesaat, menjerit-jerit, histeria dan sebagainya.
Gangguan stres pascatraumatik juga dapat disebabkan oleh stres ringan yang
pada awalnya, akan tetapi stres berlangsung secara kontinu, stres tersebut
berlangsung sampai berminggu-minggu, bulan dan bahkan tahunan.
6
Epidemiologi
Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada masyarakat umum
diperkirakan dari 1 sampai 3 persen dimana 0,5 % untuk pria dan 1,2 % pada
wanita, anak-anak juga mengalami gangguan tersebut. Sebagai contoh peristiwa
perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai
tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa
bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah
pesawat jatuh.
Walaupun gangguan stres pascatraumatik dapat tampak pada setiap usia,
gangguan ini paling menonjol pada dewasa muda, karena sifat situasi yang
mencetuskannya. Tetapi, anak-anak dapat mengalami gangguan stres
pascatraumatik.
Trauma untuk pria biasanya akibat pengalaman peperangan dan trauma
untuk wanita paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Gangguan
sangat mungkin terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami
gangguan ekonomi atau menarik diri secara sosial.
Penelitian terhadap korban yang selamat dalam kamp NAZI menemukan
bahwa 97% dari korban masih terganggu dengan kecemasan sampai 20 tahun
setelah ia dibebaskan dari kamp tersebut. Banyak dari mereka yang
membayangkan trauma hukuman mati di dalam mimpi mereka dan merasa takut
bahwa sesuatu dapat terjadi pada pasangan atau anak-anak saat tidak terlihat
(Krystal, 1968)
Suatu survei yang menyangkut veteran Vietnam disebutkan bahwa 15%
dari veteran tersebut mengalami gangguan stres paca-traumatik sejak
kepulangan mereka (Centers Disease Control, 1988), sementara penelitian lain
menyebutkan bahwa reaksi stres terhadap horor perang juga ditemukan pada
Perang Dunia I yang disebut dengan shell shock sindrom dan combat fatigue
pada Perang Dunia II
7
Etiologi
Stresor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres
pascatraumatik. Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stres
pascatraumatik setelah suatu peristiwa traumatik. Walaupun stressor diperlukan,
namun stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Faktor-faktor yang
harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual, faktor psikososial
sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma.
Penelitian terakhir pada gangguan stres pascatraumatik sangat
menekankan pada respon subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang
beratnya stresor itu sendiri. Walaupun gejala gangguan stres pascatraumatik
pernah dianggap secara langsung sebanding dengan beratnya stresor, penelitian
empiris telah membuktikan sebaliknya. Jika dihadapkan dengan trauma yang
berat, sebagian orang tidak akan mengalami gangguan stres pascatraumatik.
Sebaliknya peristiwa yang mungkin tampaknya biasa atau kurang berbahaya
bagi kebanyakan orang mungkin dapat menyebabkan gangguan stres
pascatraumatik pada beberapa orang karena arti subjektif dari peristiwa tersebut.
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan
penting dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu :
1. Adanya trauma masa anak-anak
2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial
3. Sistem pendukung yang tidak adekuat
4. Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
5. Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi
6. Persepsi lokus kontrol eksternal
7. Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan.
Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari
trauma psikis yang parah telah menemukan aleksitimia, yaitu ketidakmampuan
untuk mengidentifikasi atau mengungkapakan keadaaan perasaan sebagai ciri
yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada masa anak- anak, biasanya
8
dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika trauma terjadi pada masa
dewasa, regresi emosional sering kali terjadi. Mereka tidak mampu
menenangkan dirinya jika dalam keadaan stres.
BAGAN STRES DAN STRES PASCA TRAUMA
Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stres pascatraumatik menyatakan bahwa
orang yang terkena stres pascatraumatik tidak mampu memproses atau
merasionalkan trauma yang mencetuskan gangguan.
Mereka terus mengalami stres dan berusaha untuk tidak mengalami
kembali stres dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial
mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode
mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti.
Model perilaku dari gangguan stres pascatraumatik menyatakan bahwa
gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma
(stimulus yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, melalui pembiasaan klasik
dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma).
9
Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien mengambangkan pola
penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak
dibiasakan.
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah
mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan.
Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan
penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan
(undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan
menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia
luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan
ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya.
Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stres pascatraumatik adalah bahwa
otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh
trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-
ganti.
Faktor biologis
Teori biologis tentang gangguan stres pascatraumatik telah
dikembangkan dari penelitian praklinik dari model stres pada binatang dan dari
pengukuran variable biologis dari populasi klinis dengan gangguan stres
pascatraumatik. Banyak system neurotransmitter telah dilibatkan dalam
kumpulan data tersebut. Model praklinik pada binatang tentang
ketidakberdayaan, pembangkitan, dan sensitisasi yang dipelajari telah
menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamine, opiat endogen, dan reseptor
benzodiazepine dan sumbu hipotalamus, hipofisis adrenal. Pada populasi klinis,
data telah mendukung hipotesis bahwa system noradrenergik dan opiat
endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal, adalah hiperaktif pada
sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stres pascatrauamtik.
Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan
responsivitas system saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian
kecepatan denyut jantung dan pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur
10
yang abnormal (sebagai contohnya, fragmentasi tidur dan peningkatan latensi
tidur).
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Gambaran klinis utama dari gangguan stres pascatraumatik adalah
pengalaman ulang peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan
kekakuan emosional dan kesadaran yang berlebihan yang hampir tetap.
Gangguan mungkin tidak berkembang sampai berbulan-bulan atau bertahun-
tahun setelah peristiwa. Pemeriksaaan status mental seringkali mengungkapkan
rasa bersalah, penolakan dan penghinaan. Pasien mungkin juga
menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik. Ilusi dan halusinasi
mungkin ditemukan. Tes kognitif mungkin mengungkapkan bahwa pasien
memiliki gangguan daya ingat dan perhatian.
Gejala penyerta dapat berupa agresi, kekerasan , pengendalian impuls
yang buruk dan depresi. Berbagai ciri anti sosial mungkin ditemukan termasuk
penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol dan obat, perasaan bersalah yang
menonjol, insomnia, ilusi dan halusinasi, disosiasi, serangan panik, agresi,
kekerasan dan gangguan daya ingat serta gangguan memusatkan perhatian
(konsentrasi).
Kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan stres pascatraumatik ditulis
untuk memperjelas beberapa kriteria dalam DSM-III-R.
Pertama DSM-III-R menggambarkan stresor di luar rentang pengalaman
manusia pada umumnya. Karena kriteria adalah tidak jelas dan tidak dapat
dipercaya, DSM-IV memperjelas artinya (Kriteria A).
Dalam DSM-IV, kriteria B menyebutkan, seperti dalam DSM-III-R, bahwa
pasien secara menetap mengalami kembali peristiwa traumatik.
Kriteria C dan D pada DSM IV tetap sama dengan DSM-III-R, mereka
menyebutkan penghindaran persisten terhadap situasi tertentu dan peningkatan
kesadaran pada pasien.
DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang (reexperiencing),
menghindar dan kesadaran yang berlebihan (hiperarousal) harus berlangsung
11
lebih dari 1 bulan. Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan,
diagnosis yang tepat mungkin adalah gangguan stres akut. Kriteria diagnostik
DSM-IV untuk gangguan stres pascatraumatik yang memungkinkan klinisi
menentukan apakah gangguan adalah akut (jika berlangsung kurang dari tiga
bulan ) atau kronis (jika gejala berlangsung tiga bulan atau lebih). DSM-IV juga
memungkinkan klinisi menentukan bahwa gangguan adalah dengan onset
lambat jika onset gejala adalah enam bulan atau lebih setelah peristiwa stres.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stres Pascatraumatik :
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini terdapat :
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu
kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian
atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau
ancaman kepada integritas fisik diri atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak
berdaya atau horor.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau
lebih) cara berikut :
1. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang
kejadian, termasuk angan pikiran atau persepsi.
2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi
kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman
kembali pengalaman, ilusi, halusinasi dan episode kilas balik
disosiatif, termasuk yang terjadi saat terbangun atau saat
terintoksikasi).
12
4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda
internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu
aspek kejadian traumatik.
5. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek
kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma
dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma),
seperti yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini :
1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau
percakapan yang berhubungan trauma
2) Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang
yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma.
3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam
aktivitas yang bermakna
5) Rentang afek yang terbatas
6) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum
trauma ) yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut :
1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3) Sulit berkonsentrasi
4) Kewaspadaan berlebihan
5) Respon kejut yang berlebihan
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Sebutkan jika :
Akut : jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan
Kronis : jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih
13
Sebutkan jika :
Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam bulan
setelah stressor
Tabel dari DSM- IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disoerder, ed 4. Hak cipta American Psychiatric Association, Washington 1994.
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stres Akut
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini ditemukan :
1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu
kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian
atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau
ancaman kepada integritas diri atau orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak
berdaya atau horor.
B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang
menakutkan, individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1. perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas
emosi
2. penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada
dalam keadaan tidak sadar)
3. derelisasi
4. depersonalisasi
5. amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek
penting dari trauma)
C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu
cara berikut : bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang
rekuren, atau suatu perasaan hidupnya kembali pengalaman atau
penderitaan saat terpapar dengan mengingat kejadian traumatik
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma
(misalnya, pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
14
E. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit
tidur, iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut
yang berlebihan, dan kegelisahan motorik).
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain,
menganggu kemampuan individu untuk mengerjakan tugas yang
diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan
kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga
tentang pengalaman traumatic.
G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu
dan terjadi dalam 4 minggu setelah traumatik
H. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu
eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya.
Perjalanan penyakit dan Prognosis
Gangguan stres pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu
setelah trauma, dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala
dapat berfluktuasi dengan berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama
periode stres. Kira-kira 30% pasien piulih secara lengkap, 40% terus menderita
gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah
atau menjadi buruk.
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi
gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik,
dukungan sosial yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau
berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih
banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam
usia pertengahan. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu
15
gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan
efek stresor tertentu.
Tersedinya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan,
keparahan dan durasi gangguan stres pasca traumatik. Pada umumnya, pasien
yang mendapat dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak mengalami
gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parah.
Diagnosis Banding
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik
dengan kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama
trauma.
Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau
mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol dan
gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya.
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan
gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik
sampai efek zat hilang.
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis
sebagai gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat.
Klinisi harus mempertimbangkan gangguan stres pascatraumatik pada pasien
yang menderita gangguan nyeri (pain disorder), penyalahgunaan zat, gangguan
kecemasan lain, dan gangguan mood.
Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari
gangguan mental organik dengan mewawancarai pasien tentang peristiwa
traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini.
Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan
atau berpura-pura juga harus dipertimbangkan.
Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dari gangguan
stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau
bahkan saling berhubungan sebab akibat.
16
Gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar,
kesadaran berlebih otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien
gangguan stres pascatraumatik.
Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stres
pascatraumatik dalam berita populer, klinisi harus juga mempertimbangkan
kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura – pura.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya Gangguan Stres
Pascatrauma
Terdapat tiga pendekatan terapetik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan
kecemasan yaitu :
1. Manajemen krisis
2. Psikoterapi
3. Farmakoterapi
Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :
1. Peredaan gejala
2. pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka
pendek
3. Suportif (dukungan)
Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien
ketakutan akan pengalaman ulang trauma. Rekosntruksi peristiwa traumatik
dengan abreaksi dan katarsis yang menyertai mungkin bersifat terapeutik.
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik adalah
terapi perilaku, terapi kognitif dan hipnosis. Banyak klinisi menganjurkan
psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan
17
pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka
pendek dari psikoterapi menekan risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah
kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan seringkali merugikan kepatuhan. Ahli
terapi harus mengatasi penyangkalan pasien tentang peristiwa traumatik,
mendorong mereka untuk santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber stress.
Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan medikasi jika dilakukan.
Dukungan dari lingkungan (seperti teman-teman dan sanak saudara) harus
disediakan. Pasien harus didorong untuk mengingat dan melepaskan perasaan
emosional yang berhubungan dengan peristiwa traumatik dan merencanakan
pemulihan di masa depan.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti suatu model
intervensi krisis dengan dukungan, pendidikan, dan perkembangan mekanisme
mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress pascatraumatik telah
berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama dapat diambil. Pertama
adalah pemaparan dengan peristiwa traumatik melalui teknik pembayangan
(imaginal technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti
pada terapi implosif, atau bertahap. Seperti pada desensitisasi sitematik.
Pendekatan kedua adalah mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan kognitif
untuk mengatasi stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif.
Beberapa data awal menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan
stress adalah efektif lebih cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik
pemaparan adalah lebih lama.
Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga
telah dilaporkan efektif pada kasus gangguan stres pascatraumatik. Keuntungan
terapi kelompok adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan
mendapatkan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok telah
berhasil pada veteran Vietnam. Terapi keluarga seringkali membantu
mempertahankan suatu perkawinan melalui periode gejala yang mengalami
eksaserbasi. Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah
cukup parah atau jika terdapat risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.
18
Farmakoterapi
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena
ditakutkan akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk
meredakan anxietas.
1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan
gangguan stress pascatrauma.
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan gejala hyperarousal
daripada penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan rasa bersalah dari
yang selamat. Fluvoxamine tampaknya lebih efektif.
Digunakan pula paroxetine sampai 60 mg untuk 12 minggu. Disamping itu
dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis sampai 400 mg/hari.
3. Benzodiazepin
Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan
umum. Pada gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika
diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika
mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah
dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama
mana pendekatan terapetik psikososial diterapkan.
Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzodiazepin
dalam gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari
semua pasien tidak berespon, dan dpat terjadi toleransi dan ketergantungan.
Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan
obat dan dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.
4. Obat-obat lainnya
19
Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas
noradrenergik, telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus
terbuka.
Selain itu juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari
alfa-agonis Guanfacine pada wanita muda.
Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga berguna untuk kasus
gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone.
Dosis 60 mg/hari atau lebih dapat efketif, trauma untuk gejala hyperarousal.
Sebagai tambahan, Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan
berguna untuk melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan gangguan
stress pascatrauma.
Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan
stress pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan Risperidone
gangguan stress pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik yang jelas dan
mimpi-mimpi buruk.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada
pasien dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat
controlled studies dengan opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma.
Ada beberapa laporan mengenai kegunaan Thymoleptics-lithium
Carbamazepine dan Valproat dalam gangguan stress pascatrauma.
20
BAB IV
KESIMPULAN
Gangguan Stres Pascatraumatik adalah gangguan cemas yang terdiri dari :
1. Pengalaman tentang trauma melalui mimpi dan pikiran yang datang runtun
beruntun
2. penghindaran terhadap trauma dan
3. kesadaran berlebihan yang persisten sifatnya
Prevalensi gangguan stres pascatraumatik pada masyarakat umum yaitu
0,5% untuk pria dan 1,2% untuk wanita. Anak-anak dapat mengalami gangguan
tersebut.
Etiologi dari gangguan stres pascatraumatik antara lain :
1. Stresor
2. Faktor psikodinamik
3. Faktor biologis
4. Stresor merupakan penyebab utama dalam perkembangan gangguan stress
pascatrauma.
DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman ulang, menghindar, dan
kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari satu bulan.
Bagi pasien yang gejalanya ditemukan kurang dari satu bulan, diagnosis
yang tepat adalah gangguan stress akut.
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik
memungkinkan klinisi menentukan apakah gangguan adalah akut (jika gejala
berlangsung kurang dari tiga bulan) atau kronis (lebih dari tiga bulan).
Manfaat Imipramin dan Amitriptilin, dua obat Trisiklik, dalam pengobatan
gangguan stress pascatraumatik didukung oleh sejumlah uji coba klinisi
terkontrol baik.
21
Obat lain yang mungkin berguna dalam pengobatan gangguan stress
pascatraumatik adalah Serotonin-Specific Reuptake Inhibitors (SSRI), Mono-
Amine Oxidase Inhibitors (MAOI), dan anti konvulsan (carbamazepin). Clonidin
dan Propanol dianjurkan.
Intervensi psikodinamika untuk gangguan stress pascatraumatik adalah
terapi perilaku, terapi kognitif, dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan
psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan
pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan.
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien
ketakutan akan pengalaman ulang trauma.
Psikoterapi setelah peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model
intervensi krisis dengan dukungan pendidikan, dan perkembangan mekanisme
mengatasi dan penerimaan peristiwa.
Jika gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan
psikoterapi utama dapat diambil.
Pertama adalah pemaparan engan peristiwa traumatic melalui teknik
pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan invivo. Pemaparan dapat
menjadi kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap, seperti pada
desentisasi sistemik.
Pendekatan kedua adalah dengan cara mengajarkan kepada pasien
metode pelaksanaan stress, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif
untuk mengatasi stress.
22
BAB IV
PENUTUP
Keadaan stres, konflik-konflik yang kompleks menjadikan pencetus stres
bagi individu maupun masyarakat sendiri. Secara subyektif kecemasan itu bagi
kebanyakan orang adalah perasaan yang tidak enak, yang perlu secepat-
cepatnya dihalaukan.
Secara objektif kecemasan itu merupakan suatu pola psikobiologik
dengan fungsi pemberitahu (alarm) adanya bahaya, dengan mengakibatkan
suatu perencanaan tindakan yang efektif, ialah suatu usaha penyesuaian diri
terhadap trauma psikis, krisis dan konflik. Apabila perencanaan dalam
penyesuaian diri ini berjalan dengan baik maka kecemasan akan berkurang,
tetapi apabila perencanaan ini berlangsung tidak baik kecemasan bahkan akan
bertambah hebat.
Untuk itu dalam menghadapi kecemasan orang dapat mengadakan reaksi
sebagai berikut : secara sadar menghadapinya dan berusaha meniadakan atau
memperkecil kekuatannya dengan jalan rasionalisasi.
Secara tidak sadar orang dapat menghadapinya dan berusaha meniadakan atau
memperkecil kekuatannya dengan jalan rasionalisasi
Secara tidak sadar orang dapat menempuh 2 jalan :
a. Dengan menggunakan mekanisme pembelaan, yang kita lihat pada reaksi
fobik dan reaksi obsesi.
b. Dengan menggunakan mekanisme konversi.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Gabbard GO : Anxiety Disorders : The DSM IV Edition, American Psychiatric
Press, Washington, 1994
2. Kaplan, Sadock : Synopsis of Psychiatry, 7th Edition, William & Wilkins,
Baltimore, 1993
3. Ibrahim A. S : Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, PT. Dian
Ariesta,Jakarta, 2003
4. Andreasen. N.C and Black. D.W, 2001, “Introductory Textbook of Psychiatry.
3rd ed, British Libarry, USA: 335-342.
5. http: // med linux.blogspot.com/2007/08/gangguan Stres Pasca Trauma.html
6. http://psiko-indonesia.blogspot.com/2007/01/ gangguan Stres Pasca
Trauma.html
7. http:// www.pulih.or.id/?lang=&page=self
24
25