Post on 17-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom Cushing merupakan istilah yang digunakan untuk
menyatakan keadaan akibat peningkatan konsentrasi glukokortikoid di
sirkulasi darah. Sindrom Cushing ditandai peningkatan berat badan secara
cepat, obesitas sentral, hipertensi, wajah kemerahan (plethora), kelemahan
otot proksimal, gangguan toleransi glukosa atau diabetes melitus, penurunan
libido atau impotensi, depresi atau psikosis, osteopenia atau osteoporosis,
mudah timbul memar (bruising), hiperlipidemia, gangguan menstruasi, striae
keunguan dengan luas lebih dari 1 cm, infeksi bakteri atau oportunistik,
jerawat dan hirsutism (Guyton, 2013).
Berdasarkan penelitian dan survey Hernaningsih terhadap rumah sakit
di Indonesia tentang Sindrom cushing pada tahun 2000-2001, hasil
menyebutkan bahwa kejadian Sindrom cushing terjadi pada 200 orang dewasa
berusia 20-30 tahun, resiko terkena sindrom cushing mencapai 10 persen.
Dalam penelitian secara global didapat hasil sedikitnya 1 dari tiap 5 orang
populasi dunia berkemungkinan terkena kelainan ini tanpa membedakan jenis
kelamin. Namun sumber lain mengatakan rasio kejadian antara wanita dan
pria untuk sindrom Cushing adalah sekitar 5:1 berhubungan dengan tumor
adrenal atau pituitary (Hernaningsih, 2005).
Peran tenaga medis dan paramedis terhadap pasien dengan sindrom
cushing meliputi beberapa upaya yang terdiri dari upaya promotif yaitu upaya
untuk mencegah timbulnya penyakit atau kondisi yang memperberat sindrom
cushing yang meliputi pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan primer merupakan upaya yang dilaksanakan untuk mencegah
timbulnya penyakit pada individu-individu yang sehat. Pencegahan primer
adalah pengendalian melalui jalur kesehatan (medical control) yakni,
1
pendidikan kesehatan mulai dari gaya hidup, gizi, faktor lingkungan, cara
pengobatan, serta pemeriksaan kesehatan awal, berkala & khusus seperti
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium rutin (Price, 2011).
Sedangkan pencegahan sekunder merupakan upaya perawat untuk
menemukan tanda dan gejala sindrom cushing sedini mungkin, mencegah
meluasnya penyakit, dan mengurangi bertambah beratnya penyakit, di
antaranya pengawasan dan penyuluhan untuk klien sindrom cushing, agar
klien tersebut benar-benar mengetahui cara pengobatan dan cara mengurangi
gejala yang bisa dimunculkan dari sindrom cushing ini (Price, 2011).
Berdasarkan angka kejadian yang ada dan kegawatan yang
dimunculkan oleh sindrom cushing, tenaga medis di sini dituntut terutama
untuk dapat melakukan tindakan kuratif terutama pencegahan,
penanggulangan maupun perawatan dalam proses penyembuhan sindrom
cushing. Dari permasalahan di atas, disusunlah referat ini sebagai pengetahuan
dan referensi penalataksanaan terhadap pasien sindrom cushing.
B. Tujuan
a. Untuk memenuhi tugas pembuatan referat pada blok Endokrin dan
Metabolisme 2014.
b. Untuk mengetahui definisi dan epidemiologi pada sindrom cushing.
c. Untuk mengetahui etiologi patomekanisme pada sindrom cushing.
d. Untuk mengetahui patofisiologi dan penegakan diagnosis pada sindrom
cushing.
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan dan prognosis dari sindrom cushing.
2
BAB II
ISI
A. Definisi
Kortisol plasma berlebihan menyebabkan suatu keadaan yang disebut
dengan sindrom cushing, dimana aldosteron berlebihan menyebabkan
aldosteronisme, dan androgen adrenal berlebihan menyebabkan virilisme
adrenal. Sindrom ini tidak dijumpai dalam bentuk murni tetapi bisa
mempunyai gambaran yang tumpang tindih (Sudoyo, 2009).
Kumpulan gejala yang disebabkan oleh hiperadrenokortisisme akibat
neoplasma korteks adrenal atau adenohipofisis, atau asupan glukokortikoid
yang berlebihan. Bila terdapat sekresi sekunder hormon adrenokortikoid yang
berlebihan akibat adenoma hipofisis dikenal sebagai sindrom cushing
(Dorland, 2011). Suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik
gabungan dari peninggian kadar glikokortikoid dalam darah yang menetap
(Price, 2006).
B. Epidemiologi
Berdasarkan Literatur Eropa, insiden sindrom Cushing diperkirakan
mencapai 1-3 kasus per juta penduduk per tahun, sedangkan angka prevalensi
obesitas hampir 40 kasus per juta penduduk. Catatan, prevalensi
hiperkortikolisme diperkirakan setara dengan 2-5% pada pasien diabetes dan
hipertensi dengan kontrol yang buruk. Cushing disease banyak terjadi pada
perempuan daripada laki laki dengan rasio 3:1. Sindrom cushing merupakan
kondisi yang sangat jarang terjadi pada anak-anak, dengan puncak pada orang
dewasa dalam 3 atau 4 dekade. Sindrom Cushing akan mengakibatkan
kematian jika tidak ditangani, ia bertanggung jawab untuk meningkatkan
angka morbiditas dan mortalitas, karena komplikasi kardiovaskular, infeksi
dan gangguan kejiwaan (Castinetti, 2012).
3
C. Etiologi
Sindrom cushing disebabkan oleh peningkatan produksi cortisol oleh
kelenjar adrenal. Pada kebanyakan kasus penyebabnya hiperplasia adrenal
bilateral oleh tumor non-endokrin. Penyebab hipersekresi ACTH hipofisis
masih diperdebatkan. Beberapa penelitian berpendapat bahwa defek adalah
adenoma hipofisis, dan beberapa laporan dijumpai tumor lebih dari 90%
dengan hiperplasia adrenal bergantung hipofisis. Di samping itu, sindrom
cushing dapat disebabkan hipotalamus atau pusat-pusat saraf lebih tinggi,
menyebabkan pelepasan Corticotropin Releasing Hormon (CRH) yang tidak
sesuai dengan kadar kortisol yang beredar. Konsekuensinya tubuh akan
membutuhkan kadar kortisol lebih tinggi untuk menekan sekresi ACTH ke
rentang normal. Defek primer ini menyebabkan hiperstimulasi hipofisis
mengakibatkan hiperplasia atau pembentukan tumor. Penyebab lainnya karena
faktor eksogen seperti penggunaan glucocorticoid dan ACTH dalam jangka
panjang (Sudoyo, 2009).
D. Patogenesis
Secara umum penyebab dari sindrom Cushing adalah kelebihan
sekresi hormon kortisol dalam darah. Namun penyebab dari berlebihnya
sekresi hormon kortisol tersebut dapat berbeda-beda.
Tabel 1. Penyebab sindrom cushing
4
Segala kondisi yang menyebabkan peningkatan sekresi dari hormon
kortisol adalah penyebab terjadinya sindrom cushing. Sindrom cushing ini
dapat diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan penyebabnya yaitu eksogen dan
endogen. Pada umumnya sindrom cushing disebabkan oleh penyebab eksogen
yaitu administrasi glukokortikoid jangka lama (disebut juga sindrom cushing
iatrogenik). Biasanya terapi steroid ini diberikan untuk penyakit asma atau
reumatoid artritis dan terapi imunosupresi setelah transplantasi organ.
Penyebab eksogen lainnya adalah administrasi ACTH namun lebih jarang
ditemukan (Kumar, 2009).
Sindrom Cushing juga dapat disebabkan oleh penyebab endogen di
mana terjadi kelainan pada sekresi kortisol dalam tubuh kita sendiri. Penyebab
endogen sindrom Cushing ini bisa dibagi menjadi 2 macam yaitu ACTH-
dependent (kelainan terdapat pada kelenjar pituitari) dan ACTH-independent
(kelainan terdapat pada kelenjar adrenal) seperti dapat dilihat pada tabel di
atas (Kumar, 2009).
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ACTH-secreting pituitary
adenoma adalah penyebab tersering sindrom cushing yang disebabkan
penyebab endogen. Pada kebanyakan kasus adenoma yang terjadi adalah
mikroadenoma (<10mm). ACTH-secreting pituitary adenoma bertanggung
jawab atas 70% kasus sindrom cushing endogen dan sering juga disebut
cushing disease (Kumar, 2009).
Sekresi dari ACTH ektopik oleh sel tumor non pituitari terjadi pada
sekitar 10% kasus sindrom cushing endogen. Pada sebagian besar kasus,
tumor yang menyebabkan hal ini adalah karsinoma paru sel kecil (SCLC).
Varian ini biasa terjadi pada usia antara 40 sampai 50 tahun. Neoplasma
adrenal primer seperti adenoma adrenal dan karsinoma adrenal merupakan
penyebab tersering pada sindrom Cushing ACTH-independent. Secara
biokimia tanda yang bisa dilihat adalah peningkatan kortisol serum namun
ACTH rendah. Hiperkortisolisme pada karsinoma biasanya lebih parah
daripada adenoma atau hiperplasia (Kumar, 2009).
5
ACTH berlebihan yang dihasilkan dalam keadaan ini menyebabkan
rangsangan yang berlebihan terhadap sekresi kortisol oleh korteks adrenal dan
disebabkan oleh penekanan pelepasan ACTH hipofisis; Kadar ACTH yang
tinggi pada penderita ini berasal dari neoplasma dan bukan dari kelenjar
hipofisisnya; Sejumlah besar neoplasma dapat meyebabkan sekresi ektopik
ACTH; Jenis sidrom cushing yang disebabkan oleh sekresi ACTH yang
berlebihan hipofisis atau ektopik, seringkali disertai hiperpigmentasi.
Hiperpigmentasi disebabkan oleh sekresi peptida yang berhubungan dengan
ACTH dan kerusakan bagian-bagian ACTH yang memiliki aktivitas
melanotropik. Pigmentasi terdapat pada kulit dan selaput lendir (Kumar,
2009).
Gambar 1. Penyebab sindrom cushing
1. Kelainan hipotalamus
Kelainan anatomis atau fisiologis
↓
Sekresi CRH meningkat
6
↓
Sekresi ACTH meningkat
↓
Produksi hormon adrenokortikal meningkat
Produksi glukokortikoid meningkat Produksi aldosteron meningkat
2. Adenoma adrenal
Hiperplasia atau adenoma
↓
Peningkatan hormon kortisol
↓
Sindrom cushing
3. Neoplasma di bagian tubuh lain (ACTH ektopik)
Neoplasma di bagian tubuh selain adrenal
↓
Sekresi ACTH
↓
Menyebabkan hiperplasi adrenal
↓
Pelepasan kortisol berlebih
4. Konsumsi glukokortikoid jangka panjang
Konsumsi glukokortikoid jangka panjang dan dosis besar
↓
Menekan kemampuan aksis hipotalamus-hiposisis untuk melepas CRH &
ACTH
↓
7
Atrofi adrenal
↓
Respon stress
↓
Peningkatan sekresi ACTH
E. Patofisiologi
Penyebab terjadinya hipersekresi ACTH hipofisis masih
diperdebatkan. Beberapa peneliti berpendapat bahwa defek adalah adenoma
hipofisis, pada beberapa laporan dijumpai tumor-tumor pada lebih 90% pasien
dengan hiperplasia adrenal tergantung hipofisis. Di samping itu, defek bisa
berada pada hipothalamus atau pada pusat-pusat saraf yang lebih tinggi,
menyebabkan pelepasan CRH (Corticotropin Relasing Hormone) yang tidak
sesuai dengan keadaan kortisol yang beredar. Konsekuensinya akan
membutuhkan kadar kortisol yang lebih tinggi untuk menekan sekresi ACTH
ke rentang normal. Defek primer ini menyebabkan hiperstimulasi hipofisis,
menyebabkan hiperplasia atau pembentukan tumor. Pada waktu ini tumor
hipofisis menjadi independen dari pengaruh pengaturan sistem saraf pusat dan
atau kadar kortisol yang beredar. Pada serangkaian pembedahan, kebanyakan
individu yang hipersekresi ACTH hipofisis menderita adenoma (diameter
<10mm, 50% adalah 5mm atau kurang), tetapi bisa dijumpai makroadenoma
(>10mm) atau hiperplasia difusa sel-sel kortikotropik (Ruswana, 2005).
Tumor nonendokrin bisa mensekresi polipeptida yang secara biologik,
kimiawi, dan immunologik tak dapat dibedakan dari ACTH dan CRH dan
menyebabkan hiperplasia bilateral. Kebanyakan dari kasus ini berkaitan
dengan primitive small cell (Oat Cell) tipe dari karsinoma bronkogenik atau
tumor timus, pankreas, ovarium, kanker. Medulla tiroid, atau adenoma
Bronkus. Timbulnya sindrom cushing bisa mendadak, terutama pada pasien
dengan kangker. Paru, pasien tidak memperlihatkan gambaran klinis.
Sebaliknya pasien dengan tumor karsinoid atau feokromositoma mempunyai
8
perjalanan klinis yang lama dan menunjukkan gambaran Cushingoid yang
tipikal Hiperpigmentasi pada penderita sindrom Cushing hampir selalu
menunjukkan tumor ekstra adrenal, di luar kranium atau dalam kranium
(Ruswana, 2005).
Tumor atau neoplasma adrenal unilateral dan kira-kira setengahnya
adalah ganas (maligna). Pasien kadang-kadang mempunyai gambaran
biokimia hipersekresi ACTH hipofisis, individu ini biasanya mempunyai
mikro atau makronudular kedua kelenjar nodular mengakibatkan hiperplasi
nodular. Penyebabnya adalah penyakit autoimun familial pada anak-anak atau
dewasa muda (disebut displasia korteks multinodular berpigmen) dan
hipersensitivitas terhadap gastric inhibitory polypeptide, mungkin sekunder
terhadap peningkatan ekspresi reseptor untuk peptida di korteks adrenal.
Penyebab terbanyak sindrom cushing adalah iatrogenik pemberian steroid
eksogen dengan berbagai alasan (Ruswana, 2005).
Pada sindrom cushing, hipersersekresi ACTH berlangsung secara
episodik dan acak serta menyebabkan hipersekresi kortisol dan tidak terdapat
irama sirkadian yang normal. Inhibisi umpan-balik ACTH (yang disekresi dari
adenoma hipofisis) oleh kadar glukokortikoid yang fisiologis tidak ada; jadi,
hipersekresi ACTH terus menetap walaupun terdapat peningkatan sekresi
kortisol dan menyebabkan berlebihan glukokortikoid kronis. Sekresi ACTH
dan kortisol yang berlangsung episodik menyebabkan kadarnya tidak menentu
di dalam plasma; yang suatu saat dapat berada dalam batas normal. Tetapi,
hasil pemeriksaan kecepatan produksi kortisol; kortisol bebas dalam urin atau
kadar kortisol secara multipel yang diambil dari contoh darah di waktu-waktu
tertentu selama 24 jam memastikan adanya hipersekresi kortisol. Sebagai
tambahan, karena tidak adanya variabilitas diurnal, kadar ACTH dan kortisol
dalam plasma tetap meninggi sepanjang hari. Keseluruhan peningkatan
sekresi glukokortikoid ini menyebabkan terjadinya manifestasi-manifestasi
sindroma Cushing; tetapi, biasanya sekresi ACTH dan β-LPH tidak cukup
meningkat sehingga dapat menyebabkan hiperpigmentasi (Ruswana, 2005).
9
1. Abnormalitas sekresi ACTH
Walaupun terdapat hipersekresi ACTH, respons terhadap stres
tidak ada, stimulasi-stimulasi seperti hipoglikemia atau tindakan
pembedahan gagal untuk meningkatkan sekresi ACTH dan kortisol lebih
lanjut. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya supresi fungsi
hipotalamus dan sekresi CRH oleh hiperkortisolisme, yang menyebabkan
hilangnya kontrol hipotalamus pada sekresi ACTH (Ruswana, 2005).
2. Efek kortisol yang berlebihan
Kortisol yang berlebihan tidak hanya menghambat fungsi
hipotalamus dan hipofisis yang normal, mempengaruhi pelepasan ACTH,
tirotropin, GH dan gonadotropin, tetapi juga mempengaruhi semua sistim
akibat efek sistemik glukokortikoid yang berlebihan (Ruswana, 2005).
3. Androgen yang berlebihan
Sekresi androgen oleh adrenal juga meningkat pada sindrom
cushing dan derajat berlebihnya androgen paralel dengan ACTH serta
kortisol. Jadi kadar DHEA sulfat dan androstenedion dalam plasma
meningkat dalam tingkat sedang pada sindrom cushing; konversi perifer
hormon-hormon ini menjadi testosteron dan dihidrotestosteron
menyebabkan kelebihan androgen. Pada wanita hal ini menyebabkan
hirsutisme, akne dan amenorea. Pada pria pasien sindrom cushing, supresi
LH oleh kortisol akan menyebabkan penurunan sekresi testosteron oleh
testis, menyebabkan menurunnya libido dan impotensi. Peningkatan
sekresi androgen adrenal tidak cukup untuk mengkompensasi terjadinya
penurunan produksi testosteron gonadal (Ruswana, 2005).
F. Penegakan Diagnosis
1. Diagnosis Hiperkortisolisme (Sindroma Cushing)
i. Kortisol bebas dalam urin dan deksametason semalaman
10
Dugaan adanya hiperkortisolisme diketahui dengan melakukan
uji supresi dengan deksametason 1 mg semalaman disertai pengukuran
kadar kortisol bebas dalam contoh urin yang dikumpulkan selama 24
jam dengan metode pemeriksaan pada pasien yang dirawat jalan. Bila
uji supresi semalaman normal (kortisol plasma < 5 µg/dL 10,14
µmol/L]), diagnosis tersebut mungkin dapat disingkirkan, bila kadar
kortisol bebas dalam urin juga normal, kemungkinan adanya sindroma
cushing dapat disingkirkan (Nieman, 2008).
Gambar 2. Evaluasi diagnosis sindroma cushing dan prosedur-
prosedur untuk menentukan penyebabnya
Bila kedua uji tersebut memberikan hasil abnormal, terdapat
hiperkortisolisme dan diagnosis adanya sindroma Cushing dapat
dipastikan bila keadaan-keadaan yang menyebabkan hasil positif palsu
dapat disingkirkan (Nieman, 2008).
ii. Uji deksametason dosis rendah selama 2 hari
Pada pasien dengan hasil yang meragukan atau dalam nilai
batas, dilakukan uji supresi deksametason dosis rendah selama 2 hari.
Respons normal terhadap uji ini berupa kadar 17-hidroksi-
kortikosteroid yang kurang dari 4 mg/24 jam (11,2 pmol/24 jam) (atau
1 mg/gram kreatinin [0,3 mmol mol kreatinin)) dan kadar kortisol
11
bebas kurang dari 25 µg/24 jam (69 nmol/24 jam), dan kortisol plasma
kurang dari 5 µg/dL (0,14 µmol/L). Respons yang normal
menyingkirkan kemungkinan adanya sindroma cushing; hasil supresi
yang abnormal sesuai dengan diagnosis, karena insiden respons
terjadinya hasil positif palsu dapat disingkirkan (Nieman, 2008).
2. Diagnosis Banding Hiperkortisolisme
Sejumlah faktor yang dapat menyulitkan diagnosis sindroma
cushing. Hal ini mencakup hasil negatif palsu pada pasien-pasien
sindroma Cushing, dan yang lebih sering, hasil positif palsu yang terjadi
pada individu-individu yang tidak mengalami kelainan tersebut (Piliang,
2007).
i. Respons negatif palsu
Jarang terjadi pada sindroma cushing. Pada pasien-pasien ini,
supresi normal sekresi glukokortikoid dengan deksametason dosis
rendah dapat disebabkan oleh keterlambatan bersihan deksametason
sehingga lebih tinggi dari kadar plasma yang biasa. Tetapi, adanya
peningkatan kadar kortisol bebas dalam urin akan memastikan
diagnosis. Hormonogenesis periodik atau episodik pada sindroma
Cushing juga menyebabkan kesulitan diagnosis. Pada pasien-pasien
yang termasuk dalam kekecualian ini, hiperkortisolisme mungkin
terjadi secara siklik, dengan periodisitas yang reguler selama berhari-
hari sampai berminggu-minggu, atau dalam episode yang tidak teratur;
jadi sekresi kortisol dapat normal atau mendekati nilai di antara siklik
atau episode. Dengan terjadinya sekresi kortisol spontan yang
bervariasi, pada suatu saat fungsi adrenal mungkin normal, dan
pemberian deksametason selama fase sekresi yang normal mungkin
menyebabkan hasil uji supresi yang normal. Pada pasien-pasien ini,
evaluasi dibutuhkan untuk memastikan diagnosis (Piliang, 2007).
12
ii. Respons positif palsu
Hasil positif palsu lebih sering terjadi pada (Piliang, 2007):
a. Penyakit-penyakit akut atau kronis:
Terutama pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit,
penyakit akut atau kronis dapat meningkatkan sekresi
glukokortikoid. Pasien dapat mungkin mengalami peningkatan
kortisol plasma dan kortisol bebas urin dan sering kali tidak dapat
disupresi dengan uji deksametason 1 mg semalaman. Bila diduga
terjadi sindroma Cushing, evaluasi diagnosis harus diulangi bila
keadaan stres akut telah teratasi.
b. Obesitas
Obesitas merupakan masalah bandingan yang paling sering
dijumpai pada sindroma cushing. 17-Hidroksikortikosteroid di urin
sering meningkat; lebih lanjut, sekitar 15% pasien-pasien yang
gemuk, kadar kortisol dalam plasma tidak tersupresi secara
adekuat sebagai respons terhadap uji supresi deksametason 1 mg
semalaman. Pada obesitas sederhana, ekskresi kortisol bebas dalam
urin normal, seperti juga suprebilitas yang normal dari
kortikosteroid dalam urin pada uji supresi dengan dosis rendah
selama 2 hari.
c. Keadaan tinggi estrogen
Kehamilan, terapi dengan estrogen dankontrasepsi oral
meningkatkan CBG sehingga akan meningkatkan kadar kortisol
total dalam plasma sampai 40-60 µg/dL (1,1-1,7 µmol/L). Uji
supresi, 1 mg, semalaman mungkin abnormal; tetapi, kadar
kortisol bebas dalam urin normal, dan terdapat supresibilitas yang
normal dari steroid-steroid urin pada uji dosis, rendah selama 2
hari.
13
d. Obat-obatan
Berbagai jenis obat, terutama fenitoin, fenobarbital dan
primidon, menyebabkan hasil positif palsu pada uji deksametason
dosis rendah tetapi kadar kortisol bebas dalam urin normal.
e. Alkoholisme
Sejumlah pasien-pasien alkoholisme mempunyai gambaran
klinis dan biokimia sindroma Cushing (sindroma pseudo-cushing
yang diinduksi oleh adanya alkohol) disertai dengan peningkatan
kadar basal kortisol dalam plasma, variasi diurnal yang abnormal,
peningkatan jumlah produksi kortisol, peningkatan ekskresi
kortikosteroid urin, dan supresibilitas dengan deksametason yang
abnormal. Abnormalitas-abnormalitas ini akan kembali normal
bila penggunaan alkohol dihentikan.
f. Depresi
Depresi endogen sering menyebabkan peningkatan sekresi
kortisol disertai dengan peningkatan kadarnya dalam plasma, tidak
adanya variasi diurnal, peningkatan kortisol bebas dalam urin,
peningkatan 17-hidroksikortikosteroid urin dan gagalnya
supresibilitas dengan deksametason. Dinamika steroid yang
abnormal akan pulih kembali bila keadaan psikologis kembali
normal. Pasien-pasien ini dapat dibedakan dengan sindroma
cushing sejati, karena pasien-pasien yang hanya mengalami
depresi akan tetap menunjukkan respons kortisol yang normal
terhadap hipoglikemia yang diinduksi oleh insulin, sedangkan
pasien-pasien dengan sindroma cushing tidak. Di samping itu,
pasien depresi biasanya mempertahankan respons normal terhadap
uji deksametason dosis rendah 2 hari.
14
3. Diagnosis Banding Sindroma Cushing
Bila terdapat sindroma cushing, hipersekresi ACTH hipofisis
(sindrom cushing) harus dibedakan dengan sindroma ACTH ektopik dan
tumor-tumor primer di adrenal (Nieman, 2008).
i. Prosedur-prosedur:
Pengukuran kadar basal ACTH plasma dan uji supresi
deksametason dosis tinggi akan menegakkan diagnosis yang tepat
pada kebanyakan keadaan, walau cukup sering ada pengecualian-
pengecualian.
ii. Hasil:
a. Sindrom cushing
Pasien-pasien sindrom cushing mempunyai kadar ACTH
dalam plasma yang normal atau meningkat sedang, dan adanya
kadar yang dapat dideteksi konsisten dengan adanya hiperplasia
adrenokortikal bilateral. Kadar ACTH plasma pada sindrom
cushing berkisar dari 40 sampai 200 pg/mL (8,844,4 pmol/L), dan
sekitar 50% pasien mempunyai nilai-nilai yang konsistensi dalam
batas-batas normal. Pasien-pasien sindrom cushing khas
mempertahankan keadaan supresibilitas sekresi ACTH; yaitu,
sekresi kortisol dapat disupresi sampai di bawah 50% kadar basal
dengan uji deksametason dosis tinggi.
b. Sindroma ACTH ektopik
Pada sindroma ACTH ektopik, kadar ACTH plasma sering
sangat meningkat (500-10.000 pg/mL [111-2222 pmol/L]) dan
berbeda di atas 200 pg/mL (44,4 pmol/L) pada 65% pasien. Tetapi,
karena pada kadar yang rendah overlap dengan kisaran tersebut
terlihat pada sindrom cushing, uji supresi dengan deksametason
harus dilakukan juga. Karena kontrol sekresi ACTH tidak ada,
sekresi kortisol secara klasik tidak tersupresi dengan deksametason
15
dosis tinggi. Sebagai tambahan, pada sebagian besar pasien secara
minis terbukti adanya tumor primer.
c. Tumor-tumor adrenal
Tumor-tumor adrenal yang berfungsi secara otonom mensekresi
glukokortikoid, dan hasil supresi pada aksis hipotalamushipofisis
yang normal menimbulkan kadar ACTH plasma yang tidak dapat
dideteksi (< 20 pg/mL [2.2 pmol/L]) dan tidak terjadi supresi
steroid dengan pemberian deksametason dosis tinggi.
iii. Uji-uji lain:
Uji CRH pada sindroma Cushing di mana kebanyakan pasien
dengan sindrom cushing berespons terhadap CRH, sementara pasien
dengan sindroma ACTH ektopik tidak. Namun, beberapa pengecualian
telah dilaporkan pada kedua kelompok, dan jadi kegunaan klinis utama
prosedur ini masih belum jelas. Uji metapiron dan uji stimulasi ACTH
tidak cukup adekuat membedakan berbagai jenis penyebab sindroma
cushing dan mempunyai sedikit kegunaan diagnostik.
G. Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus sindrom cushing merupakan kasus iatrogenik
akibat administrasi glukokortikoid jangka panjang. Oleh karena itu, untuk
penatalaksanaannya adalah memberikan terapi secara hati-hati dengan
pengawasan atau menghentikan terapi glukokortikoidnya (kumar, 2009).
Pada pasien dengan adenoma pituitari ataupun adenoma adrenal,
adenoma dapat diangkat (operasi) setelah diagnosis ditegakkan. Biasanya
pasien akan membutuhkan terapi replacement steroid paska operasi tidak
peduli di mana lokasi adenomanya. Pada pasien yang diangkat kedua kelenjar
adrenalnya, replacement dapat dilakukan dengan hidrocortison & prednisolon
(kumar, 2009).
Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3
tahun setelah diagnosis karena terjadi metastasis. Metastasis tersering terjadi
16
di hati dan paru. Obat utama untuk karsinoma adrenal adalah mitotan. Obat ini
menekan produksi kortisol dan menurunkan kadar kortisol dalam darah dan
urin. Obat ini biasa diberikan 3-4 kali sehari dengan dosis ditingkatkan
bertahap 8-10 g perhari (kumar, 2009).
Operasi menghilangkan tumor
↓
Selama perawatan paska operasi, lakukan perawatan pengganti kortisol dan
bisa ditambah dengan radiasi
↓
Jika tidak berhasil, adrenalektomi bilateral parsial atau bahkan total (untuk
hentikan tingginya tingkat kolesterol)
↓
Diikuti pemberian steroid adrenal untuk mencegah gejala insufisiensi
↓
Dapat diberikan pula obat yang dapat menghambat steroidogenesis, seperti
metirapon, ketokonazol, dan aminoglutemid atau yang menghambat
sekresi ACTH, seperti anatagonis serotonin dan inhibitor transaminase-
GABA dapat pula diberikan bila pembedahan tidak dapat dilakukan
Ringkasan terapi yang ada:
1. Inhibitor steroidogenesis adrenal melalui penghambatan fungsi sitokrom
P450. Prevalensi yang tinggi pada gastrointestinal (GI) mempunyai efek
samping untuk membatasi utilitas fungsi sitokrom P450. Hal tersebut akan
meningkatkan kadar ACTH yang kemudian mengatasi penghambatan
enzim yang membatasi produksi kortisol (kumar, 2009).
a. Ketokonazol telah ditemukan untuk menghambat beberapa enzim
P450, termasuk 17,20-liase, 11 β-hidroksilase, dan 17 α-hidroksilase.
Pada dosis 600-1200 mg perhari, baik digunakan sendiri atau pada
dosis yang lebih tinggi dengan steroid (biasanya deksametason 0,5 mg
17
BID), obat ini telah efektif dalam mengontrol kadar kortisol.
Ketokonazol tetap obat yang paling umum untuk pengobatan medis
sindrom cushing. Efek samping termasuk ginekomastia (13% laki-
laki), GI upset (8%), edema (6%), ruam (2%), dan transaminase tinggi
(15%). Transminitis, ketika itu terjadi dalam waktu 60 hari dari
dimulainya pengobatan. Hepatotoksisitas biasanya sembuh setelah
penghentian terapi dan kerusakan hati yang parah jarang terjadi
(1/15.000). Meskipun terdapat kemampuan untuk mengendalikan
sekresi glukokortikoid yang berlebihan pada beberapa pasien, namun
tingkat pertahanan tersebut sangat khas dan tidak ada penghambatan
pertumbuhan tumor kortikotrop yang terjadi (kumar, 2009).
b. Metirapon bekerja dengan menghambat P450c11. Sebagai terapi
tunggal (250-750 mg TID), normalisasi kadar kortisol plasma terjadi
sampai dengan 75% dari pasien. Seperti agen lain di kelas ini,
ketergantungan dosis efek samping sering membatasi utilitas klinis.
Efek samping ini termasuk ruam kulit (4%), pusing dan ataksia (15%),
mual (5%), edema (8%), hipokalemia, dan memburuknya jerawat atau
hirsutisme pada 70% wanita yang diobati karena penghambatan
aldosteron biosintesis dan akumulasi prekursor aldosteron dengan
aktivitas mineralokortikoid lemah. Dari catatan, metirapon tidak
tersedia secara komersial di Amerika Serikat, tetapi dapat diperoleh
dari produsen (Novartis, Basel, Swiss) untuk kepentingan tertentu
(kumar, 2009).
2. Modulator reseptor memblokir efek dari kortisol pada tingkat reseptor
tanpa mengurangi tingkat kortisol. Di kelas ini, hanya mifepriston secara
klinis yang tersedia (kumar, 2009).
Mifepriston (RU-486) adalah glukokortikoid, androgen, dan
reseptor progesterone antagonis kompetitif, menghalangi umpan balik
negatif pada tingkat hipotalamus-hipofisis. Mifepriston (khas dosis 6-25
mg/kg/hari) memiliki efek antagonis hiperkortisolemis di tingkat reseptor
18
sehingga tidak mengubah ACTH plasma dan kadar kortisol serum dan
benar-benar dapat menyebabkan peningkatan. Sementara mifepriston
mungkin efektif dalam pertentangan efek hiperkortisolisme, pasien sering
mengalami hipokalemia, terkait dengan aktivitas mineralkortikoid
kelebihan kortisol, yang memerlukan spironolakton. Gagal jantung
reversibel juga telat dilaporkan karena sodium dan retensi cairan. Sebuah
studi retrospektif meneliti 20 pasien dengan hiperkortisolisme, termasuk
empat pasien dengan sindrom cushing yang diobati mifepriston dengan
median dosis awal 600 mg/hari (300-600 mg/hari) dan median dosis
maksimal 700 mg/hari (600-1200 mg/hari) (kumar, 2009).
Sementara tanda-tanda klinis hiperkortisolisme meningkat pesat
dalam tiga dari empat pasien (75%), dua pasien mengalami hipokalemia
berat, dan satu pasien hipertensi dikembangkan. Selain itu, pengobatan
mifepriston menyebabkan peningkatan ACTH dan kadar kortisol akibat
perubahan umpan balik negatif pada pasien dengan cushing disease.
Faktor lain yang harus dipertimbangkan ketika menggunakan RU-486
adalah bahwa sulit untuk menilai remisi pasien karena kadar kortisol dan
ACTH tetap tinggi bahkan pada pasien klinis hipoadrenal. Dengan
demikian, pasien yang dirawat mifespirstone memerlukan evaluasi dekat
dan sering untuk bukti klinis insufisiensi adrenal (kumar, 2009).
H. Prognosis
Prognosis terhadap sindrom cushing bervariasi, tergantung tipe
penyakit yang diderita pasien. Pada kasus tumor kelenjar adrenal, tindakan
bedah (adrenalectomy) dapat mengatasi tumor yang belum menyebar. Namun
bilamana telah terjadi penyebaran sel tumor kelenjar adrenal maka prognosis
yang lebih buruk dapat terjadi (pada kasus tumor ganas). Sindrom cushing
akibat aktifitas kelenjar hipofise yang berlebihan memiliki prognosa yang
baik, namun penderita sindrom cushing dalam jangka waktu lama memiliki
predisposisi terhadap penyakit-penyakit lain seperti diabetes mellitus, infeksi
19
saluran urin, penyakit ginjal, hipertensi, dan pankreatitis. Penderita sindrom
cushing memiliki prognosa yang baik bilamana substitusi kortisol yang sesuai
tetap terjaga dengan baik. Umumnya, terapi terhadap penderita sindrom
cushing diberikan dalam jangka waktu cukup lama dengan senantiasa
melakukan monitoring terhadap kadar kortisol tubuh.
BAB III
20
KESIMPULAN
Sindrom cushing merupakan suatu kondisi peningkatan konsentrasi
glukokortikoid di sirkulasi darah. Sindrom cushing ini diklasifikasikan menjadi 2
berdasarkan penyebabnya yaitu eksogen dan endogen. Penyebab eksogen yaitu
administrasi glukokortikoid jangka lama sedangkan penyebab endogen terjadi
kelainan pada sekresi kortisol dalam tubuh kita sendiri.
Resiko terkena sindrom cushing ini mencapai 10 persen. Bahkan dalam
penelitian secara global didapat hasil sedikitnya 1 dari tiap 5 orang populasi dunia
berkemungkinan terkena kelainan ini tanpa membedakan jenis kelamin. Oleh karena
itu tenaga medis dituntut untuk dapat melakukan tindakan kuratif pada sindrom
cucshing terutama pencegahan, penanggulangan maupun perawatan dalam proses
penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
21
Castinetti, Frederic. et al. 2012. Cushing’s disease. Orphanet Journal of Rare Diseases. 7:41.
Dorlan, W. A. Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta : EGC
Findling, J.W., Raff, H., 2001, Diagnosis and Differential Diagnosis of Cushing’s Syndrome. Endocrinology and Metabolism Clinic. 30 : 3.
Guyton dan Hall. 2013. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Saunders.
Grua, J. R, Nelson DH. 1991. ACTH-producing pituitary tumors. EndocrinolMetab. 20:319.
Hernianingsih Yetti, Sidarti Soehita. 2005. SINDROMA CUSHING. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. Vol. 12 : 23-30.
Kumar, et al. 2009. Robbins and Cotran : Pathologic Basis of Disease 8th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier.
Nieman, Lynnette K. Et al. 2008. The Diagnosis of Cushing's Syndrome: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinol Metab; 93(5):15261540.Available\at:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2386281/. (Diakses tanggal 9 Oktober 2014)
Piliang, Sjafri dan Chairul Bahri. 2007 Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Ruswana Anwar,2005. Kelainan-Kelainan Adrenokortikal. Bandung : Sub Bagian Fertilitas dan Endokrinologi Reproduksi Bagian Obstetri dan Ginekologi.
Sudoyo, AW, et al. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sylvia A. Price. 2011. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit. Jakarta : EGC.
Wiliam G.H., Dluhy R.G. 2005. Disease of the Adrenal Cortex, in Harrison’s Principles of Internal Medicine . Vol II ed 16 th. Boston : McGraw – Hill.
22