Post on 02-Jan-2016
REFERAT
MENINGITIS PURULENTA
Pembimbing : Dr. Afaf, Sp.A
Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Kesehatan Anak
RSUD KOJA
DISUSUN OLEH :
ANINDITA JUWITA PRASTIANTI
03.008.031
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
SEPTEMBER 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Meningitis purulenta (dalam sinonimnya “meningitis piogenik” atau meningitis bakterial
akut {non-TB}) termasuk dalam kegawatdaruratan medis dengan inflamasi meningen sebagai
bentuk respon imun tubuh terhadap infeksi bakterial. Bila tidak ditangani, mortalitasnya sampai
100%, meskipun sudah diobati dengan antibiotik terkini dan menggunakan perawatan Pediatric
Intensive Care Unit (PICU). Insiden kematian sampai 5-10% (1). Di dunia, resiko timbul sequel
neurologis pada pasien mencapai 20% (2). Diagnosis sedini mungkin dan penanganan tepat sangat
diperlukan.
Meningitis purulenta terutama menyerang anak usia <2 tahun, dengan puncak angka
kejadian pada usia 6-18 bulan (3). Penyebab utama meningitis pada anak adalah Haemophilus
influenzae tipe B (Hib) dan Streptococcus pneumoniae (invasive pneumococcal diseases/IPD).
Insidens meningitis purulent di negara maju sudah menurun sebagai akibat keberhasilan
imunisasi Hib dan IPD (4). Kejadian meningitis purulenta oleh Hib menurun 94%, dan insidensi
penyakit invasif oleh S. pneumoniae menurun dari 51,5-98,2 kasus/100.000 anak usia 1 tahun
menjadi 0 kasus setelah 4 tahun program imunisasi nasional PCV7 dilaksanakan (5,6). Di
Indonesia, kasus tersangka meningitis purulenta sekitar 158/100.000 per tahun, dengan etiologi
Hib 16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000, angka yang tinggi apabila dibandingkan dengan
negara maju (7).
Sekuele neurologis merupakan komplikasi meningitis purulenta yang paling sering
terjadi. Komplikasi ini mencapai sekitar 50%-65% di Negara berkembang. Keterlambatan
diagnosis dan terapi, serta berbagai kendala di negara berkembang merupakan faktor yang
mempunyai kontribusi dalam menimbulkan sekuele (8). Beberapa sekuele terjadi pada awal
penyakit dan sebagian menetap sehingga menimbulkan gangguan perkembangan akibat
disabilitas. (8,9). Pada tulisan ini, penulis akan membahas mengenai meningitis purulenta yang
menyerang anak-anak.
BAB II
MENINGITIS PURULENTA
DEFINISI
Meningitis purulenta (dalam sinonimnya “meningitis piogenik” atau meningitis bakterial
akut {non-TB}) . Meningitis sendiri adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan
pada meninges atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang
belakang yang terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater yang dapat disebabkan oleh
beberapa etiologi (infeksi dan non infeksi) (10).
Meningitis purulenta adalah infeksi SSP pada meningen yang menyerang anak (usia 0-14
tahun) dengan penyebab utama bakteri non spesifik (Haemophilus influenzae tipe B (Hib),
Streptococcus pneumonia, N. Meningitidis, etc) yang ditandai dengan demam dengan awitan
akut (>38,5ºC rektal atau 38ºC aksilar) disertai dengan satu atau lebih gejala kaku kuduk,
penurunan kesadaran, dan tanda Kernig atau Brudzinski (3,10) dengan kriteria laboratorium
apabila biakan liquor cerebro spinalis (LCS) positif atau biakan negatif namun jumlah sel
>10/mm3 , protein >0,6 g/l, perbandingan kadar glukosa dalam LCS dan darah <0,5 dan
morfologi sel PMN >60% (11).
Gambar 1 : eksudat hijau pada otak bayi (infant)
Source : http://tulane.edu/som/departments/pathology/neuropg5_id4.cfm
ANATOMI (12,13)
LAPISAN SELAPUT OTAK/ MENINGES
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi arachnoidea
dan piamater.
1.Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan
suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang
melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah
untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di
antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di
antara bagian-bagian otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam
tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal
darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium
terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke
crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana
duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri
membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing
hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli terbentang seperti tenda
yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior. Tentorium melekat di
sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan processus
clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat
lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam
dua lamina dura.
Gambar 2 : Lapisan-lapisan selaput otak/meninges
Source : http://hallingwellnesscenter.com/clients/564/images/meninges-of-the-brain-picture_1.jpg
2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi
spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis
dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu
anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-
sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi arachnoidea).
Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae
lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus melalui villi.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang
secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga
tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran
rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak
yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang berbatasan
dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid
di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung
dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek ventral
dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah cerebrum terdapat
rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi menjadi cisterna
chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, dan
cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis,
parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).
3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di
seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah corpus
callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis,
dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk
membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di
atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.
LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS) (12, 13)
Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket pelindung dari
air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur komposisi ion, membawa keluar
metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe), dan memberikan beberapa
perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan (volume venosus volume cairan
cerebrospinal).
Komposisi dan Volume
Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal rata-ratanya
yang lebih penting diperlihatkan pada tabel.
Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal
LCS terdapat dalam suatu system yang terdiri dari spatium liquor cerebrospinalis
internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan antara keduanya melalui
dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan apetura medial dari
ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada orang dewasa, volume cairan cerebrospinal
total dalam seluruh rongga secara normal ± 150 ml; bagian internal (ventricular) dari
system menjadi kira-kira setengah jumlah ini. Antara 400-500 ml cairan cerebrospinal
diproduksi dan direabsorpsi setiap hari.
4. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air;
perubahan yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan. Takanan
meningkat bila terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya, pada tumor),
volume darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal (pada hydrocephalus)
karena tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku dari tulang yang tidak dapat
menyesuaikan diri terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.
5. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis
ke dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus
quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum melalui
foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system
ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan memasuki
rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas konveksitas otak ke
dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam
pembuluh-pembuluh kecil di piamater atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan
melalui jonjot arachnoid ke dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah –
kebanyakan di atas konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus
ada untuk mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan
cerebrospinal yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan produksi dan
reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.
Gambar 3 : Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis
Copyright © 1998, Lynne Larson
EPIDEMIOLOGI
Di US, sebelum pemberian rutin vaksin conjugate-pneumococcal, insidens dari
meningitis purulenta ± 6000 kasus per tahun; dan sekitar setengahnya adalah pasien anak. N.
meningitidis menyebabkan 4 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Sedangkan
S.pneumoniae menyebabkan 6,5 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Angka ini menurun
setelah pemberian rutin dari vaksin conjugate-pneumoccal pada anak. Insidens dari meningitis
purulenta pada neonatus sekitar 0,15 kasus per 1000 bayi lahir cukup bulan dan 2,5 kasus per
1000 bayi lahir premature. Hampir 0,32 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 2003 (13,14)
Di Indonesia, kasus tersangka meningitis purulenta sekitar 158/100.000 per tahun,
dengan etiologi Hib 16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000, angka yang tinggi apabila
dibandingkan dengan negara maju (7). Kejadian meningitis purulenta oleh Hib menurun 94%, dan
insidensi penyakit invasif oleh S. pneumoniae menurun dari 51,5-98,2 kasus/100.000 anak usia 1
tahun menjadi 0 kasus setelah 4 tahun program imunisasi nasional PCV7 dilaksanakan (5,6).
ETIOLOGI
Etiologi berdasarkan usia (14) :
Risk and/or Predisposing Factor Bakterial Pathogen
Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (group B streptococci)
E coli K1
Listeria monocytogenes
Age 4-12 weeks S agalactiae
E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitides
Age 3 months to 18 years N meningitidis
S pneumoniae
H influenza
Age 18-50 years S pneumoniae
N meningitidis
H influenza
Age older than 50 years S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Immunocompromised state S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Intracranial manipulation, including
neurosurgery
Staphylococcus aureus
Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli, including
P aeruginosa
Basilar skull fracture S pneumoniae
H influenzae
Group A streptococci
CSF shunts Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes
Neonatus (usia bayi 0-28 hari kehidupan)(15)
Bakteri biasanya terdapat dalam flora vagina maternal (ibu). Flora enteric gram negative
dan Streptokokus grup B (SGB) adalah pathogen yang dominan. Pada bayi prematur yang
menerima pemberian antibiotik multipel, pemberian Nutrisi Parenteral Total (hiperalimentasi),
dan pada bayi newborn yang sempat melalui proses pembedahan, Stafilokokus epidermidis dan
Candida jarang menyebabkan meningitis namun memiliki frekuensi yang lebih tinggi pada
neonates. L monocytogenes adalah pathogen lain yang diketahui merupakan etiologi namun juga
jarang (15).
Meningitis SGB awitan cepat muncul 7 hari pertama dalam kehidupan bayi sebagai
akibat kolonisasi bakteri dari maternal dan tidak adanya antibody protektif pada neonates.
Biasanya sering dihubungkan dengan komplikasi obstetric. Penyakit ini seringkali terdapat pada
bayi berat lahir rendah (BBLR) atau premature. Patogen ini didapatkan sebelum dan saat proses
persalinan (15).
Meningitis awitan lambat muncul setelah usia bayi 7 hari. Penyebabnya didapatkan saat
perinatal maupun pathogen nosokomial di Rumah Sakit. Strep. agalactiae (SGB) serotype III
merupakan 90% causa dari meningitis awitan lambat. Penggunaan alat bantu nafas pada
perawatan juga meningkatkan resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa dan proteus.Peralatan
medis invasive (spuit untuk injeksi) dapat menjadi media untuk S. epidermidis, bacterioides, dan
Citrobacter (80-90% menimbulkan abses) (15). Bakteri E.coli sering menjadi etiologi meningitis
pada C.(16).
Infants (usia 0-1 tahun) dan anak-anak
Pada anak yang usianya diatas 4 minggu, S. pneumonia dan N. meningiditis (USA)
merupakan etiologi yang paling sering. Haemophillus Influenzae tipe B (HiB) hampir tidak
menjadi etiologi yang utama setelah pemberian vaksin dirutinkan pada suatu Negara (15).
1. Streptococcus pneumonia :
S pneumoniae adalah bakteri gram positive, berbentuk seperti lancet, diplokokus
merupakan penyebab pertama meningitis purulenta. Bakteri ini merupakan flora normal
pada saluran pernapasan bagian atas. Penularannya melalui kontak langsung. Periode
inkubasinya 1-7 hari, dan biasanya muncul pada musim dingin (di Negara 4 musim) atau
dengan diawali infeksi virus. Patogen ini dapat menyebabkan meningitis dengan tuli
sensorineural, hidrosefalus, dan sekuele SSP lain. Prolong fever juga merupakan gejala
yang sering muncul.
Gambar 4 : Streptococcus pneumonia
Source : http://genome.microbio.uab.edu/strep/info/strep5.gif
Antibiotik yang adequate dapat mengeradikasi organisme nasofaring pada 24 jam
pertama kehidupan. Namun, Pneumococci seringkali resisten terhadap berbagai golongan
antibiotic; pada seluruh belahan dunia. Jumlah insiden yang resisten penisilin antara 10-
60%. Penelitian multisenter dari pneumococci yang di isolasi dari CSF memiliki
resistensi penisilin sebesar 20% dan ceftriakson sebesar 7%.
Pneumococci yang resisten penisislin disebabkan karena adanya gangguan pada
enzim untuk pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penisilin. Ini menyebabkan
inhibitor Beta laktamase tidak ampuh. Pneumococci resisten penisilin juga biasanya
resisten terhadap trimetropim, sulfametoksazol, tetrasiklin, kloramfenikol, dan makrolid.
Dalam hal ini, sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime dan ceftriakson) masih dapat
mengeradikasi pneumokok resisten penisilin.
Sekarang, biakan pneumococci masih mempan terhadap vancomisin dan beberapa
variasioxazolidinones. Beberapa antibiotic dari golongan fluorokuinolon seperti
levofloksasin masih dinilai efektif terhadap pneumococci dan dapat menembus SSP.
2. Neisseria meningitides :
N meningitides adalah bakteri gram negative, berbentuk seperti ginjal,
intraselular. Pada Negara berkembang, serotype B, C, dan Y, serta W-135 menyerang
anak-anak. Grup A dari bakteri ini telah menimbulkan epidemic meningitis meningokok
di beberapa bagian dunia, termasuk dalam barak militer.
Gambar 5 : Neisseria meningitides
Source : www.bioquell.com
Saluran pernapasan atas (SPA) biasanya terdapat flora normal meningokok ini.
Transmisinya melalui kontak langsung dengan droplets terinfeksi dan sekret pernapasan,
biasanya dari carrier asimptomatik. Masa inkubasinya kurang dari 4 hari (range : 1-7
hari)
Kebanyakan kasus menyerang anak usia 6-12 bulan, dan kemudian pada remaja.
Kemerahan atau rash pada kult berupa ptechiae dan purpura sering menjadi tanda
meningitis ini. Mortalitas sangat tinggi pada pasien dengan gejala fullminan. CSF juga
dapat normal dalam jumlah sel (normoselular). Kematian muncul dalam 24 jam setelah
masuk Rumah Sakit dengan gejala berprognosis buruk yakni : hipotensi, shock,
neutropenia, usia tua, ptekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC,
asidosis, adanya organism didalam leukosit pada sediaan apus, LED rendah, dan C-
Reactive Protein yang tinggi (CRP).
3. Haemophilus influenzaetype b (Hib) :
Hib adalah gram negative pleomorfik dengan bentuk batang yang bervariasi
dalam bentuk. Dari coccobasiller sampai batang panjang. Meningitis Hib muncul primer
pada anak yang belum di imunisasi dengan vaksin Hib; 80-90% kasus menyerang pada
anak usia 1 sampai 3 bulan. Pada usia 3 tahun terdapat antobodi didapat pada anak yang
belum di imunisasi terhadap kapsul poliribofosfat Hib, yang sangat protektif.
Gambar 6 : Haemophilus influenzaetype b (Hib)
Source : http://www.nhs.uk/Conditions/hib/PublishingImages/B220877-
Haemophilus_influenzae_bacteria_342x198.jpg
Tranmisi melalui droplets terinfeksi dan sekret respirasi. Masa inkubasi kurang
dari 10 tahun. Mortalitas kurang dari 5%. Gejala yang paling parah muncul pada
beberapa hari pertama penyakit. Bakteri ini resiten terhadap penisilin, kurang lebih dalam
30-35% kasus merupakan Hib resisten penisilin. 30% memiliki sekuele yang lama.
Pemberian deksametason sebagai pengobatan awal mengurangi morbiditas dan sekuele.
4. Eschecheria Coli (16)
Merupakan bakteri gram negative, fakultatif anaerob, berbentuk batang yang
merupakan flora normal usus. Meningitis E. coli mayoritas disebabkan oleh strain E.coli
K1. Meningitis E.coli sering muncul pada anak dengan trauma kepala,
immunocompromized, riwayat operasi di kepala, dan Shunt CSF, yang merupakan port de
entry bakteri. Infeksi pada bayi terjadi saat persalinan, saat bayi di rumah sakit, atau di
rumah. Bayi BBLR dan prematur merupakan faktor resiko.
Infeksi dari E. coli seringkali menyebabkan septicemia di usia 1-2 hari pertama
kehidupan pada bayi baru lahir. Bila dibiarkan lebih dari 2 hari maka bayi dapat dengan
mudah terkena meningitis. Terhitung 20% kasus meningitis pada neonates merupakan
akibat E.coli, tapi hanya 2% dari golongan umur yang lain. Pada Negara berkembang,
E.coli menjadi penyebab utama meningitis.
5. Listeria monocytogenes
L. monocytogenes menyebabkan meningitis pada bayi yang baru lahir, anak
dengan imunocompromized,dan wanita hamil. Penyakit ini sering dihubungkan dengan
higienitas makanan (susu dan keju). Kebanyakan kasus disebabkan sertipe Ia, Ib, dan
IVb. Tanda dan gejala pada meningitis listerial ini seringkali sulit didiagnosis. Pada
pemeriksaan lab, pathogen ini mirip dengan difteri dan steptokokus hemolitikus.
Organisme lain
S. epidermidis dan Stafilokok koagulase negative sering menyebabkan meningitis pada
pasien hidrosefalus yang menggunakan shunt CSF atau yang melalui operasi bedah saraf. Anak
dengan imunitas rendah dapat terinfeksi meningitis pseudomonas, Serratia proteus, dan difteri
PATOGENESIS
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1. Hematogen: oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsillitis, endokarditis,
pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan kuman yang positif
pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak karena dapat terjadi
bacterimia sebelum meningitis (17,18). Mungkin juga terdapat kolonisasi bakteri yang
asimptomatik dan kronis, dan menimbulkan invasi cepat bakteri di kemudian hari. Infeksi
virus yang menyebabkan ISPA dapat meningkatkan patogenitas bakteri yang
menyebabkan meningitis (18) .
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) : yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.
4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena: Aspirasi cairan amnion yang terjadi
pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan
lahir dan infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria. (17)
Gambar 7 : portal of entry of meningitis bacteria
Source : medical-dictionary.thefreedictionary.com/bacterial%2Bmeningitis
Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen. Saluran
napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses
terjadinya meningitis purulenta melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap sebagai
berikut : 1.) Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi), 2.) Bakteri
menembus rintangan mukosa. 3.) Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar
dari sel fagosit dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia. 4.) Bakteri masuk ke
dalam cairan serebrospinal. 5.) Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal. 6.)
Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak. (18)
Gambar 8 : Tahap interaksi bakteri-host dalam pathogenesis meningitis bakteri
Source : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12728265
Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui semua
tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang berbeda-beda, dan
masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih dari tahap-
tahap tersebut. Terjadinya meningitis bakterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor, yaitu
host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan yang menunjang (19).
1. Faktor Host - Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis9telah
dibuktikan :
- Bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis dibandingkan dengan wanita. Pada
neonates sepsis menyebabkan meningitis, laki-laki dan wanita berbanding 1,7 : 1
- Bayi dengan berat badan lahir rendah dan premature lebih mudah menderita
meningitis disbanding bayi cukup bulan
- Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama kehamilan,
adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah terjadinya sepsis dan
meningitis
- Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari leukosit, defisiensi
beberapa komplemen serum, seperti C1, C3. C5, rendahnya properdin serum,
rendahnya konsentrasi IgM dan IgA ( IgG dapat di transfer melalui plasenta pada
bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit atau sama sekali tidak di transfer melalui plasenta),
akan mempermudah terjadinya infeksi atau meningitis pada neonates. Rendahnya
IgM dan IgA berakibat kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri gram
negatif.
- Defisiensi kongenital dari ketiga immunoglobulin ( gamma globulinemia atau
dysgammaglobulinemia), kekurangan jaringan timus kongenital, kekurangan sel B
dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya meningitis
- Keganasan seperti system RES, leukemia, multiple mieloma, penyakit Hodgkin
menyebabkan penurunan produksi immunoglobulin sehingga mempermudah
terjadinya infeksi.
- Pemberian antibiotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah terjadinya
infeksi
- Malnutrisi
2. Faktor Mikroorganisme :
- Penyebab meningitis purulenta terdiri dari bermacam-macam bakteri.
Mikroorganisme penyebab berhubungan erat dengan umur pasien.
o neonatal : bakteri penyebab utama adalah golongan enterobacter terutama
Escherichia Coli disusul oleh bakteri lainnya seperti Streptococcus grup B,
Streptococcus pneumonia, Staphylococuc sp dan Salmonella sp.
o 2 bulan sampai 4 tahun : Haemophillus influenza type B disusul oleh
Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitides.
o 4 tahun ke atas : yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia, Neisseria
meningitides. Bakteri lain yang dapat menyebabkan meningitis purulenta
adalah kuman batang gram negative seperti Proteus, Aerobacter, Enterobacter,
Klebsiella Sp dan Seprata Sp.
3. Faktor Lingkungan
Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan sosial
ekonomi rendah memgang peranan penting untuk mempermudah terjadinya infeksi. Pada
tempat penitipan bayi apabila terjadi infeksi lebih mudah terjadi penularan. Adanya
vektor binatang seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu predisposisi, untuk terjadinya
leptospirosis.
PATOFISIOLOGI (14,18, 19)
Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis purulenta,
yaitu suatu proses yang kompleks, komponen – komponen bakteri dan mediator inflamasi
berperan menimbulkan respons peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan
perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran
darah otak, yang dapat mengakibatkan tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada
bakteriemia atau embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan saraf
pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat – tempat yang lemah, yaitu di
mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi
bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera setelah bakteri berada dalam
cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh
karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan serebrospinal
melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid.
Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan
dinding sel atau komponen – komponen membran sel (endotoksin, teichoic acid) yang
menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di selaput otak
(meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam skema tersebut di bawah, sehingga
timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada waktu lisis akan melepaskan
lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif akan melepaskan teichoic acid (asam
teikoat).
Gambar 9 : Respon imun host yang akhirnya menyebabkan neuronal injury
Source : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12728265
Produk – produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan makrofag di
susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator inflamasi seperti
Interleukin – 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF). Mediator inflamasi berperan dalam
proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial, yang
selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis bakterial dapat juga
terjadi syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh karena
proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopressin
endogen sistem supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini
menyebabkan hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine meskipun osmolaritas
serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu mengantuk, iritabel dan
kejang.
Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal dan terjepit
pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini menyebabkan herniasi dari
gyri parahippocampal, cerebellum, atau keduanya. Perubahan intrakranial ini secara klinis
menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran dan refleks postural. Pergeseran ke kaudal dari
batang otak menyebabkan lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika tidak diobati,
perubahan ini akan menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat dan progresif
menyebabkan henti nafas dan jantung.
Gambar 10. Patofisiologi Molekuler Meningitis purulenta (17)
Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak yang juga
disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan adanya penurunan
autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat lain adalah penurunan
tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh karena penurunan tekanan darah
sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan
autoregulasi serebral dan vaskulopati. Kelainan – kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan
pada sel saraf sehingga menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan gangguan fungsi
metabolik yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan
penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme anaerob,
keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan berakibat timbulnya
hipoglikorakia.
Ensefalopati pada meningitis purulenta dapat juga terjadii akibat hipoksia sistemik dan
demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis purulenta adalah peradangan pada selaput
otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan – bahan toksis bakteri. Peradangan selaput otak
akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot – otot
tertentu untuk mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku
kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual, muntah,
iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala – gejala tersebut dapat juga disebabkan
karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai dnegan distorsi dari nerve roots, makan
timbul hiperestasi dan fotofobia.
Pada fase akut, bahan – bahan toksis bakteri mula – mula menimbulkan hiperemia
pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid, dan selanjutnya
merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah hingga
mempermudah adesi sel fagosit dan sel polimorfonuklear, serta merangsang sel
polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah melalui tight junction dan
selanjutnya memfagosit bakteri bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam ruang
subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak tempat CSS
diabsorpsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna basalis dan sekitar
serebelum.
Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit bakteri,
secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan histiosit yang
jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam minggu
ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan dalam proses organisasi eksudat,
sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan –
perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan
hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi
maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga
mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan
adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang
menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan trombus
dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah, sehingga keadaan
tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya infark.
Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau deserebrasi,
buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari pertama dirawat tidak
mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol, kejang menetap lebih dari 4 hari
dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama dirawat dengan penyakit yang sudah
berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang
fokal dan kejang yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah
otak yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat sering
menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks serebri.
Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia, invasi kuman
akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan fungsi motorik berupa
paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II; selain itu juga
menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental dan gangguan
tingkah laku; gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena proses
infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau
arakhnoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid
menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan
subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam
yang lama, kejang dan muntah.
Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain barrier)
menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS terganggu atau hidrosefalus
akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.
Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi dan penetrasi
toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan vaskulitis; kelainan saraf
kranial pada meningitis purulenta disebabkan karena adanya peradangan lokal pada perineurium
dan menurunnya persediaan vaskular ke saraf cranial, terutama saraf VI, III dan IV, sedang
ataksia yang ringan, paralisis saraf kranial VI dan VII merupakan akibat infiltasi kuman ke
selaput otak di basal otak, sehingga menimbulkan kelainan batang otak.
Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke mastoid, sehingga
timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif. Kelain saraf
kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan tetapi dapat juga disebabkan karena
infark yang luas di korteks serebri, sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal
yang timbul disebabkan oleh trombosis arteri dan vena di korteks serebri akibat edema dan
peradangan yang menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk
prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan retardasi mental.
MANIFESTASI KLINIS (18, 20)
Onset dari meningitis akut memiliki 2 pola awal yang dominan. Yang paling
membahayakan namun tidak memiliki gejala yang begitu jelas adalah yang timbul mendadak
dengan shock yang timbul cepat, purpura, DIC, kematian dan koma dalam 24 jam. Yang lainnya
adalah meningitis akan berlangsung selama beberapa hari, dengan gejala demam, disertai gejala
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) maupun traktus gastrointestianal (GIT) , disertai gejala
SSP non spesifik seperti letargi dan iritabilitas(18)
Gejala dan tanda meningitis purulenta berhubungan dengan penemuan tidak khas tanda-
tanda infeksi sistemik dan iritasi menigeal. Gejala dan tanda yang tidak khas antara lain demam,
anoreksia, nafsu makan yang berkurang, sefalgia, gejala ISPA, mialgia, atralgia, takikardia,
hipotensia, dapat pula timbul kelainan kulit seperti pada meningitis N. Meningiditis, Petechia
dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus). Terdapat tanda rangsang meningeal seperti
nuchal rigidity, nyeri punggung, kernig sign dan brudzinski sign. Pada anak dengan usia yang
lebih muda dari 12-18 bulan, tanda kernig dan brudzinski tidak sealalu tampak. Demam, pusing,
dan rigiditas nuchal hanya terdapat pada 40% orang dewasa dengan meningitis purulenta.
Peningkatan tekanan intra cranial (TIK) diketahui dengan adanya sakit kepala, vomitus, Moaning
cry /Tangisan merintih (pada neonatus), penonjolan (bulging) dari fontanela atau pelebaran
sutura, Crack pot sign. pernafasan Cheyne Stokes,paralisis okulomotor (ptosis, anisokor) dan
paralisis N. abducens, hipertensi dengan bradikardia, apnoe atau hiperventilasi, postur
dekortikasi atau deserebrasi, stupor, coma, dam tanda herniasi otak. Papiledema jarang pada
meningitis. Tanda neurologis fokal biasanya disebabkan obstruksi vascular. Neuropati N.
Kranialis pada mata, otot oculomotor, fasialis, dan auditorik juga dapat timbul akibat adanya
inflamasi. Secara keseluruhan 10-20% anak dengan meningitis purulenta memiliki tanda
neurologis fokal.
Kejang (fokal maupun generalisata) yang diakibatkan cerebritis, infark, atau gangguan
elektrolit dapat muncul pada 20-30% pasien dengan meningitis. Kejang yang muncul dalam hari
ke 1 sampai 4 biasanya memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan kejang yang
muncul sampai lebih dari hari ke-4 dan sulit ditangani.
Gangguan status mental dapat timbul secara umum pada pasien dengan meningitis dan
disebabkan oleh peningkatan TIK, cerebritis atau hipotensi, manifestasi klinis dapat timbul
iritabilitas (rewel), letargi, stupor, dan koma. Pasien dengan koma memiliki prognosis yang
buruk. Manifestasi lain yang dapat timbul adalah fotofobia dan tache cerebrale.
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan sebagai
diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal untuk
mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada meningitis purulenta, pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis
dan menentukan etiologi dengan didapatkan jumlah sel 100-10.000/mm3 dengan hitung jenis
predominan polimorfonuklear (neutrofilik dominan 75-90%), protein 200-500 mg/dl, glukosa
<40 mg/dl. CSF keruh didapatkan bila leukosit CSF lebih dari 200-400/mm3. Hitung leukosit
CSF <250mm3 daapat puncul pada meningitis purulenta akut; pleositosis dapat tidak ada pada
pasien dengan sepsis dan meningitis dan memiliki prognosis yang buruk. Pleositosis dengan
dominan limfosit dapat muncul pada meningitis purulenta dini. Pleositosis neutrofil dapat
muncul pada meningitis viral akut. Pewarnaan gram positif hasilnya pada 70-90% pasien dengan
meningitis purulenta yang tidak berobat.
Apabila telah mendapat antibiotik oral sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak spesifik
atau hasilnya negative dari pemeriksaan kultur atau gram pada 20-50% kasus. Pada kasus berat,
pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan pemberian antibiotik empirik (penundaan
2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali identifikasi bakteri, itupun jika antibiotiknya
senstitif). Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan berhati-hati.
Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya herniasi.
Pleositosis dengan neutrofil predominan, protein yang meningkat, dan penurunan kadar
glukosa pada CSF dapat bertahan selama beberapa hari setelah pemberian antibiotic intravena.
Maka dari itu, meskipun hasil kultur negatif tidak ditemukan bakteri, namun diagnosis presumtif
masih dapat ditegakkan. Beberapa klinisi melakukan lumbal pungsi untuk mencari antigen
bakteri pada anak yang sebelumnya sudah diberikan antibiotic, namun pemeriksaan ini lebih
canggih lagi.
Lumbal pungsi traumatik mungkin dapat menyulitkan diagnosis meningitis. Mengulang
kembali lumbal pungsi pada daerah intervertebra yang lebih luas rongganya akan mengurangi
resiko perdarahan, namun biasanya tetap terdapat sel darah merah.
Interpretasi leukosit CSF dan konsentrasi priotein dipengaruhi oleh lumbal pungsi yang
traumatik, meskipun kadar glukosa, pewarnaan gram, dan kultur tidak ikut terpengaruh.
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala peningkatan
tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.
Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau curiga ada
komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak). Pada pemeriksaan
elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.
Tabel 2. Gambaran Cairan Serebrospinal pada meningitis berdasarkan etiologinya (14)
DIAGNOSIS
Diagnosis meningitis purulenta tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan tanda
saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya tanda
rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis TBC dan
meningitis aseptic. Hampir semua penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya
dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan CSF melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap
pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal (17)
Dalam pemeriksaan CSF dapat ditemukan bakteri causa dengan melakukan gram stain
dan kultur, pleositosis neutrofil, peningkatan protein (100-500 mg/dL dengan normalnya 20-45
mg/dL), penurunan kadar glukosa atau glukosa serum (dibawah 40 mg/dL pada glukosa CSF dan
dibawah 50 mg/dL pada glukosa serum dengan normalnya diatas 50 mg/dL pada glukosa CSF
dan >75mg/dL pada glukosa serum.), dan leukositosis dengan kisaran 10-10.000/mm3, dengan
PMN yang dominan. Normalnya leukosit <5/mm3 dan >75% merupakan limfosit(18).
Kontraindikasi untuk lumbal pungsi pada pasien meningitis purulenta adalah adanya
peningkatkan TIK (selain penonjolan fontanela) seperti adanya palsi N. III dan N. VI disertai
hilangnya kesadaran, atau hipertensi dengan bradikardia dan kelainan respirasi; gangguan
kardiopulmoner yang membutuhkan resusitasi segera untuk shock atau ketika pungsi lumbar
malah meningkatkan beban kardiopulmoner. Dan infeksi kulit di lokasi pungsi lumbal akan
dilakukan. Bila lumbal pungsi ditunda, maka terapi antibiotic empiris perlu dilakukan. CT scan
dapat dilakukan untuk mencari adanya abses pada cerebri atau tidak dan terapi harus tetap
dilakukan walaupun terdapat abses. Lumbal pungsi dilakukan setelah TIK menurun. Kultur
darah harus selalu dilakukan pada pasien suspek meningitis, dan 80-90% kasus kultur darah
dapat menunjukan bakteri kausa (18).
DIAGNOSIS BANDING (18)
Selain S.pneumoniae dan N.meningitidis, Hib banyak mikroorganisme lain yang dapat
menyeluruh di SSP dengan manifestasi klinis yang sama. Organisme ini antara lain bakteri atipik
seperti M.tuberculosis, Nocardia spp, Treponema pallidum (Sifilis), jamur (Histoplasma) dan
infeksi oportunistik (Candida, Cryptococcus, dan Aspergillus), parasit seperti Toxoplasma
Gondinii dan penyebab Cysticercosis, serta virus. Infeksi fokal dari SSP seperti abses otak dan
abses parameningeal (empiema subdural, abses epidural dan cranial) juga dapat disalahkelirukan
dengan meningitis. Penyakit non infeksi, antara lain keganasan, sindrom kolagen vascular, dan
eksposur dengan racun atau zat toksik.
Untuk menentukan penyebab spesifik dari infeksi SSP dapat difasilitasi dengan
pemeriksaan teliti dari CSF dengan pewarnaan spesifik (karbol fusin Kinyon untuk micobacteria,
Tinta india untuk jamur), sitologi, deteksi antigen (Cryptococcus), serologi (sifilis, arbovirus),
kultur virus (enterovirus), dan PCR pada herpes simpleks dan enterovirus. Pemeriksaan
diagnotik lain yang bernilai antara lain kultur darah, CT dan MRI dari otak, tes serologi, serta
biopsy otak.
Meningitis virus akut adalah yang paling sulit dibedakan dengan meningitis bakterial.
Meskipun dari klinis memiliki gejala lebih ringan dibandingkan meningitis purulenta, namun
beberapa anak dengan meningitis purulenta juga mungkin memiliki gejala dan tanda yang lebih
ringan, sementara meningitis viral kadang lebih berat. Sehingga pemeriksaan CSF sangat
diperlukan
KOMPLIKASI (13, 17, 19)
Komplikasi dini dari meningitis purulenta dapat terjadi syok septik, termasuk DIC,
koma, kejang (30-40% pada anak) , edema serebri, septic arthritis, efusi pericardial , atau anemia
hemolitik. Sedangkan komplikasi lanjut dapat terjadi gangguan pendengaran samapi tuli,
disfungsi saraf kranial, kejang multipel, paralisis fokal, efusi subdural, hidrocephalu, defisit
intelektual, ataksia, Buta, Waterhouse-Friderichsen syndrome, dan gangren periferal
Kejang merupakan komplikasi yang penting dan sering terjadi hampir 1 dari 5 pasien.
Insidens lebih tinggi pada usia kurang dari 1 tahun, mencapai 40%. Pasien meninggal akibat dari
iskemik yang difus pada susunan saraf pusat atau dari komplikasi sistemik. Walaupun dengan
terapi antibiotik yang efektif, komplikasi neurologis tetap terjadi pada 30% pasien. Edema
serebral sering terjadi pada meningitis purulenta. Komplikasi ini merupakan penyebab penting
kematian. Kelumpuhan saraf kranial dan efek dari terganggunya aliran darah otak, seperti infark,
merupakan penyebab dari peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus tertentu, pungsi lumbal
atau insersi drain ventrikular diperlukan untuk mengurangi efek dari peningkatan ini.
Padainfark serebri, sel endotelial bengkak, proliferasi ke dalam lumen pembuluh darah
dan sel yang terinflamasi menginfiltrasi dinding pembuluh darah. Nekrosis fokal pada dinding
arteri dan vena memicu terjadinya trombosis. Trombosis vena lebih sering terjadi dibandingakan
arteri.
Kerusakan parenkim otak dapat menyebabkan defisit sensoris dan motoris, serebral palsi,
Learning disabilities, retardasi mental, buta kortikal, kejang. Serebritis dapat terjadi juga.
Inflamasi biasanya meluas sepanjang ruang perivaskuler sampai ke parenkim otak. Biasanya,
seribritis merupakan akibat dari penyebaran infeksi langsung, baik akibat infeksi otorhinologik
ataupun meningitis atau melalui penyebaran hematogen dari fokus infeksi ekstrakranial.
Ventrikulitis adalah Infeksi pada system ventrikel primer atau sekunder dengan
penyebaran mikroorganisem dari ruang subaraknoid karena pasang surut CSS atau migrasi
kuman yang bergerak. Komplikasi sering terjadi pada neonates, pernah dilaporkan sampai 92%
pada bayi dengan meningitis purulenta. Apabila ventrikulitis disertai obstruksi aquaductus Sylvii,
maka infeksinya menjadi stempat (terlokalisasi) seperti abses, dengan peningkatan tekanan
intracranial yang cepat dan dapat menyebabkan herniasi. Pada ventrikulitis perlu pengobatan
dengan antibiotic parenteral secara massif, irigasi dan drainase secara periodic.
Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap ada setelah 72 jam
pemberian antibiotic dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun-ubun besar tetepa membonjol,
gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang fokal atau umum, timbul kelainan neurologis
fokal atau muntah-muntah. Diagnosis ditegakkan dengan transiluminasi kepala atau pencitraan.
Transiluminasi kepala dinyatakan positif bila daerah translusen asimetri, pada bayi berumur
kurang dari 6 bulan daerah trasnlusen melebihi 3cm, dan pada bayi berumur 6 bulan atau lebih
daerah trasnslusen melebihi 2 cm. selanjutnya efusi subdural mempunyai 4 kemungkinan: a.
kering sendiri, bila jumlahnya sedikit; b.menetap atau bertambah banyak; c. membentuk
membrane yang berasal dari fibrin; d. menjadi empiema.
Pengobatan efusi subdural masih controversial, tetapi biasanya dilakukan tap subdural
apabila terdapat penenkanan jaringan otak, demam menetap, kesadaran menurun tidak membaik,
peningkatan tekanan intracranial menetap, dan empiema. Dilakukan tap subdural tiap 2 hari
(selang sehari) sampai kering. Kalau dalam 2 minggu tidak kering dikonsulkan ke Bagian Bedah
Saraf untuk dikeringkan. Kalau lebih dari 2 minggu tidak kering akan terbentuk membrane yang
berasal dari fibrin dan dapat menghalangi pertumbuhan otak. Membrane akan membentuk
neovaskular yang ujungnya menempel di korteks serebri dan dapat merupakan focus iritatif akan
timbulnya epilepsy di kemudian hari. Pengeluar cairan satu kali tap maksimal 30ml pada kedua
sisi. Cairan yang keluar pada permulaan berwarna xantokrom, setelah tap beberapa kali menjadi
kuning muda.
Pada pasien meningitis bakterial kadang disertai gangguan cairan dan elektrolit dengan
hipervolemia (edema), oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena
SIADH, sekresi ADH berlebihan. Diagnosis ditegakkan dengan meninmbang ulang pasien,
memeriksa elektrolit serum, mengukur volume dan osmolaritas urin dan mengukur berat jenis
urin. Pengobatan dengan restriksi pemberian cairan, pemberian diuretic (furosemid). Pada pasien
berat dapat diberikan sedikit natrium.
Komplikasi lain adalh tuli. Kira-kira 5-30% pasien meningitis bakterial mengalami
komplikasi tuli terutama apabila disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan oleh
karena infeksi telinga tengah yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli sensorineural. Tuli
sensorineural lebih sering disebabkan oleh karena sepsis koklear daripada kelainan N.VIII.
Gangguan pendengaran dapat dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan BAEP. Biasanya
penyembuhan terjadi pada akhir minggu ke-2, tetapi yang berat menetap.
TATA LAKSANA
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya
kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum antibiotik yang
diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan penilaian klinis menunjukkan pungsi
lumbal mungkin berbahaya, dapat ditunda hingga bayi stabil. Pungsi lumbal yang dilakukan
beberapa hari pengobatan awal berikut masih menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun
hasil kultur bisa negatif (21).
Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus dengan meningitis rentan untuk
mengalami hiponatremia akibat SIADH. Perubahan ini elektrolit juga berkontribusi terhadap
timbulnya kejang, terutama selama 72 jam pertama penyakit. Peningkatan tekanan intrakranial
sekunder akibat edema serebral jarang pada bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat untuk
memastikan oksigenasi yang memadai dan stabilitas metabolisme (21).
MRI dengan gadoteridol, ultrasonografi, atau CT scan dengan kontras yang dibutuhkan
untuk menggambarkan kelainan intrakranial. Pediatric Academic Societies merekomendasikan
bahwa MRI dengan kontras harus dilakukan untuk neonatus dengan komplikasi meningitis 7-10
hari setelah memulai pengobatan untuk memastikan bahwa tidak ada penyulit yang
terjadi. Semua bayi yang baru lahir sembuh dari meningitis harus dinilai auditory evoked
potential untuk skrining adanya ketulian. Pada bayi dan anak-anak, Manajemen meningitis
bakteri akut melibatkan kedua terapi antimikroba yang tepat dan terapi suportif. Semua pasien
harus evaluasi audiologic setelah selesai terapi.
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan memeriksa tanda-
tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan jenis yang dan volume cairan,
risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup untuk menjaga
tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan
yang memadai. Meskipun menghindari SIADH adalah penting, mengurangi hidrasi pasien dan
risiko penurunan perfusi serebral sama-sama penting juga. Dopamin dan agen inotropik lain
mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang memadai (21).
Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang
dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian
fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian diberikan dosis rumatan 4-
5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut kejang belum berhenti
dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau 1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya
5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat digunakan
langsung phenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya dosis maintenance.
TERAPI ANTIBIOTIK (21)
Neonatus
Antibiotik harus diberikan segera setelah terdapat akses vena pada pasien dengan
meningitis bakteri. Secara konservatif, pengobatan antimikroba awal atau inisial terdiri dari
ampisilin dan kombinasi aminoglikosida (ampisilin dan cefotaxime juga). Jika S pneumoniae
dicurigai, vankomisin harus ditambahkan. Terapi empiris awal untuk penyakit late-onset pada
bayi prematur harus mencakup agen antistaphylococcus dan seftazidim, amikasin, atau
meropenem.
Ampisilin memiliki cakupan yang baik untuk coccus gram-positif, termasuk
streptococcus grup B, enterococcus, L monocytogenes, beberapa strain dari E coli, dan jenis H
influenzae B. Ampisilin juga dapat mencapai kadar yang adekuat dalam likuor cerebrospinal
(LCS). Aminoglikosida (misalnya, gentamisin, tobramycin, amikasin) mempunyai aktivitas yang
baik terhadap hampir kebanyakan basil Gram-negatif, termasuk P. aeruginosa dan Serratia
marcescens. Namun, aminoglikosida hanya dapat mencapai kadar marginal pada cairan LCS dan
ventrikel, bahkan ketika meninges meradang.
Beberapa generasi ketiga sefalosporin mencapai kadar yang baik dalam LCS dan telah
muncul sebagai agen efektif terhadap infeksi gram negatif. Seftriakson berkompetisi dengan
bilirubin untuk pengikatan oleh albumin, dan dosis terapeutik ceftriaxone menurunkan cadangan
albumin dalam serum bayi baru lahir sebesar 39%, dengan demikian, ceftriaxone dapat
meningkatkan risiko ensefalopati bilirubin, terutama pada bayi baru lahir beresiko
tinggi. Seftriakson juga menyebabkan sludging (lumpur) empedu. Tidak satupun dari
sefalosporin memiliki aktivitas terhadap L. monocytogenes dan enterococcus dan, karenanya,
tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk pengobatan awal.Kombinasi ampisilin dan
sefalosporin generasi ketiga diperlukan.
Jika patogen terbukti menjadi bakteri yang rentan ampisilin dengan low minimum
inhibitory concentration (MIC) ampisilin, maka ampisilin dapat dilanjutkan sendiri. Cefotaxime
dan seftriakson juga mempunyai aktivitas yang baik terhadap kebanyakan S.pneumoniae resisten
penisilin. Baik vankomisin dan cefotaxime harus diberikan pada pasien dengan meningitis S.
pneumoniae sebelum hasil uji resistensi antibiotik tersedia.
Di antara aminoglikosida, gentamisin dan tobramycin telah digunakan secara ekstensif
dalam kombinasi dengan ampisilin. Meskipun kekhawatiran kadarnya pada LCS, agen ini telah
terbukti efektif bila dikombinasikan dengan antibiotik beta laktam-untuk pengobatan meningitis
yang disebabkan oleh organisme seperti streptococcus grup B dan enterococcus yang sensitif.
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus S, anaerob, atau P. aeruginosa mungkin
memerlukan antimikroba lainnya, seperti oksasilin, methicillin, vankomisin, atau kombinasi dari
seftazidim dengan aminoglikosida. Penetrasi LCS dan keamanan agen antimikroba harus
menentukan penggunaan.
Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan, namun
pengobatan selama 10 hari - 21-hari biasanya cukup untuk infeksi Streptococcus grup B. Waktu
yang lebih lama dibutuhkan untuk mensterilkan LCS dengan meningitis oleh bacil gram negatif,
dan biasanya diperlukan pengobatan selama 3-4 minggu .8
Lumbal pungsi ulangan diindikasi pada keadaan tidak adanya perbaikan klinis atau
meningitis yang disebabkan oleh strain S pneumonia yang resisten atau dengan basil enterik
gram negatif. Pada neonatus dengan meningitis basil gram negatif, pemeriksaan CSS selama
pengobatan diperlukan untuk memverifikasi kultur steril.Pemeriksaan ulang terhadap CSS
untukpemeriksaan kimia dan kultur harus dilakukan 48-72 jam setelah memulai pengobatan;
specimen lebih lanjut diperlukan bila tidak didapatkan sterilitas ataupun perbaikan klinis.8
Antibiotic Admin-
istration
Route
Dose for birth
weight < 2000g
and age 0-7 d
Dose for birth
weight >2000g
and age 0-7 d
Dose for birth
weight < 2000g
and age >7 d
Dose for birth
weight >2000g
and age >7 d
Penicillins
Ampicillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h
Penicillin-G IV 50,000 U q12h 50,000 U q8h 50,000 U q8h 50,000 U q6h
Oxacillin IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h
Ticarcillin IV, IM 75 mg q12h 75 mg q8h 75 mg q8h 75 mg q6h
Cephalosporins
Cefotaxime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q6h
Ceftriaxone IV, IM 50 mg once
daily
50 mg once daily 50 mg once
daily
75 mg once daily
Ceftazidime IV, IM 50 mg q12h 50 mg q8h 50 mg q8h 50 mg q8h
Tabel 3 Dosis antibiotik untuk meningitis purulenta pada neonatus berdasarkan berat badan dan usia (mg/kg/dosis atau U/kg/dosis untuk dosis tertinggi
diantara rentang dosis) dan interval pemberian (21)
Antibiotic Admin-
istration
Route
Desired
Serum level
(mcg/mL)
Initial dose
for birth
weight <
2000g and
age 0-7 d
(mg/kg /
dose)*
Initial dose
for birth
weight
>2000kg and
age 0-7 d
(mg/kg /
dose)*
Dose for
birth
weight <
2000g and
age >7 d
(mg/kg /
dose)*
Dose for
birth
weight
>2000g and
age >7 d
(mg/kg /
dose)*
Aminoglycosides
Amikacin † IV, IM 20-30
(peak), < 10
(trough)
7.5 q12h 10 q12h 10 q8h 10 q8h
Gentamicin † IV, IM 5-10 (peak),
< 2.5
(trough)
2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h 2.5 q8h
Tobramycin † IV, IM 5-10 (peak),
< 2.5
(trough)
2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h 2.5 q8h
Glycopeptide
Vancomycin* † IV, IM 20-40
(peak), < 10
(trough)
15 q12h 15 q8h 15 q8h 15 q6h
*Dose stated is highest within dosage range.
† Serum levels must be monitored when patient has kidney disease or is receiving other
nephrotoxic drugs; adjust doses accordingly.
Tabel 4. Antibiotik untuk meningitis purulenta pada neonatus yang membutuhkan dosis
berdasarkan kadar serum.
Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untuk neonatus
dengan meningitis purulenta sebagai berikut (23)
Umur 0-7 hari
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV atau
- Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari
setiap 12 ajm IV.
Umur >7 hari
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV atau
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau
- Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.
Bayi dan anak
Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah
penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen umum: S
pneumoniae, N meningitidis, dan H. influenzae.
Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) practice guidelines for bakterial
meningitis tahun 2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone atau cefotaxime dianjurkan
bagi mereka yang dicurigai meningitis bakteri, dengan terapi ditargetkan berdasarkan pada
kepekaan patogen terisolasi. Kombinasi ini memberikan respon yang adekuat terhadap
pneumococcus yang resisten penisilin dan H. Influenza tipe B yang resisten beta-laktam. Perlu
diketahui, Ceftazidime mempunyai aktivitas yang buruk terhadap penumococcus dan tidak dapat
digunakan sebagai substitusi untuk cefotaxime atau ceftriaxone.
Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis yang lebih
tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf pusat. Cefotaxime atau
ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka. Namun, bila S.pneumonia terisolasi
mempunya MIC yang lebih tinggi untuk cefotaxime, dosis tinggi cefotaxime (300 mg/kg/hari)
dengan vankomisisn (60 mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan
Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang resisten
sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh karena resiko kejang lebih
rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon (linezolid), masih dalam penelitian. Fluorokuinolon
dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat menggunakan antibiotik jenis lain atau
gagal pada terapi sebelumnya
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih vankomisin
dan rifampisin untuk kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga direkomendasikan pada pasien
dengan meningitis meningococcal yang alergi beta-laktam.
Penilaian LCS pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya relaps atau
rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B dapat menetap pada sekret nasofaring walopun
setelah terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien harus diberikan Rifampisin 20 mg/kg
dosis single selama 4 hari bila anak dengan resiko tinggi tinggal di rumah ataupun pusat
penitipan anak. N.meningitidis dan S.pneumoniae biasanya dapat di eradikasi dari nasofaring
setelah terapi meningitis berhasil.
Antibiotic Dose (mg/kg/d) IV Maximum Daily Dose Dosing Interval
Ampicillin 400 6-12 g q6h
Vancomycin 60 2-4 g q6h
Penicillin G 400,000 U 24 million q6h
Cefotaxime 200-300 8-10 g q6h
Ceftriaxone 100 4 g q12h
Ceftazidime 150 6 g q8h
Cefepime* 150 2-4 g q8h
Imipenem † 60 2-4 g q6h
Meropenem 120 4-6 g q8h
Rifampin 20 600 mg q12h
*Minimal experience in pediatrics and not licensed for treatment of meningitis.
† Caution in use for treatment of meningitis because of possible seizures.
Tabel 5 : Dosis antibiotik pada bayi dan anak dengan meningitis purulenta (21)
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan anak
dnegan meningitis purulenta sebagai berikut (24):
Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-300
mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur
dan resistensi.
Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of bakterial
meningitis adalah sebagai berikut : (21)
N meningitidis - 7 hari
H influenzae - 7 hari
S pneumoniae - 10-14 hari
S agalactiae - 14-21 hari
Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu
L monocytogenes - 21 hari atau lebih
Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis purulenta yang
menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema
serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan meningitis H.infulenzae tipe B yang
mendapat terapi deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens gejala sisa
neurologis dan audiologis, dan juga terbukti memperbaiki gangguan pendengaran. Oleh karena
itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason pada kasus meningits oleh H.influenza
tipe B 10 – 20 menit sebelum atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 – 0,6 mg/kg
setiap 6 jam selama 2-4 hari.
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP. Oleh
karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan kasus, resiko dan
manfaatnya.
Bedah
Umumnya tidak diperlukan tindakan bedah, kecuali jika ada komplikasi seperti empiema
subdural, abses otak, atau hidrosefalus
PENCEGAHAN (22)
Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan sesuai jadwal merupakan
pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat, seperti istirahat yang cukup, tidak kontak
langsung dengan penderita lain juga dapat membantu. Bila hamil, resiko meningitis oleh bakteri
Listeria (listeriosis) dapat dikurangi dengan memasak daging dengan benar, hindari keju yang
terbuat dari susu tanpa pasteurisasi. Berikut beberapa vaksin untuk tiga bakteri penyebab
meningitis: Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae and Haemophilus influenzae type
b (Hib):
Vaksin Meningococcus
Terdapat dua macam vaksin untuk Neisseria meningitidis yang tersedia di America
Serikat. Vaksin Meningococcus polisakarida (Menomune®). Vaksin Meningococcus conjugate,
Menactra® and Menveo®. Vaksin Meningococcus tidak dapat mencegah semua tipe penyakit,
namun dapat memberikan proteksi orang-orang yang dapat sakit jika tidak diberi vaksin. Vaksin
meningococcus conjugate di rekomendasikan rutin untuk orang berusia 11 – 18 tahun dan anak
serta dewasa yang mempunyai resiko tinggi.
Vaksin Pneumococcal
Terdapat dua tipe dari vaksin pneumococcus yang tersedia : Vaksin polisakarida dan
konjugasi. Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®), yang diproduksi akhir tahun
2000, merupakan vaksin pertama yang digunakan untuk anak-anak usia kurang dari 2 tahun.
PCV13 (Prevnar 13®), diproduksi awal tahun 2010, menggantikan PCV7. Vaksin
pneumococcus sebagai pencegahan penyakit pada anak-anak usia 2 tahun atau lebih dan dewasa
sudah digunakan sejak tahun 1977. Pneumovax®, 23-valent polysaccharide vaccine (PPSV) di
rekomendasikan untuk dewasa usia 65 tahun atau lebih, untuk usia 2 tahun atau lebih yang
mempunyai resiko tinggi penyakit Pneumococcus (termasuk penyakit sel sabit, infeksi HIV, atau
kondisi imunokompromais, dan untuk usia 19-64 tahun yang merokok dan mempunyai asma.
Vaksin Hib
Vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) mempunyai efektivitas yang tinggi melawan
meningitis purulenta oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin Hib dapat mencegah
can prevent pneumonia, epiglottitis, dan infeksi serius lainnya yang disebabkan oleh bakteri Hib.
Vaksin ini di rekomendasikan untuk semua anak usia kurang dari 5 tahun di Amerika Serikat,
dan biasa diberikan pada bayi mulai usia 2 bulan. Vaksin Hib dapat dikombinasikan dengan
vaksin lainnya.
PROGNOSIS
Prognosis pasien meningitis purulenta tergantung dari banyak faktor, antara lain:
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir yang menderita
meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai DIC mempunyai prognosis yang
kurang baik. Apabila pengobatan terlambat ataupun kurang adekuat dapat menyebabkan
kematian atau cacat yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap
antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat dan
pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat diturunkan. Walaupun
kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram negatif masih sulit diturunkan, tetapi
meningitis yang disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan
meningokok angka kematian dapat diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele
Meningitis purulenta 9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan
setelah pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan
dengan temuan klinis pada saat itu. (17, 20)
BAB III
KESIMPULAN
Meningitis Purulenta pada anak adalah kegawatdaruratan yang membutuhkan keahlian
dalam pemeriksaan, Diagnosis yang tepat, dan manajemen sedini mungkin. Progam vaksinasi
yang baru telah ada untuk mengubah epidemiologi di dunia. Kemajuan dalam anamnesis dan
teknik pemeriksaan bertujuan untuk menegakkan diagnosis meningitis purulenta serta
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Antibiotik, steroid dan terapi supportive masih digunakan,
dan penelitian lebih lanjut dibutuhkan terutama untuk menentukan terapi adjuvant yang
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. V. P. Novelli, M. Peters, and S. Dobson, “Infectious diseases,” in Care of the Critically
Ill Child, A. J. Macnab, D. J. Macrae, and R. Henning, Eds., pp. 281–298, Churchill Livingstone,
London, UK, 1999.
2. K. Edmond, A. Clark, V. S. Korczak, C. Sanderson, U. K. Griffiths, and I. Rudan,
“Global and regional risk of disabling sequelae from bacterial meningitis: a systematic review
and meta-analysis,” The Lancet Infectious Diseases, vol. 10, no. 5, pp. 317–328, 2010.
3. Novariani M, Herini ES, SY Patria. Faktor risiko sekuele meningitis bakterial pada anak.
Sari Pediatri 2008; 9:342-7.
4. Golnik A. Pneumococcal meningitis presenting with a simple febrile seizure and negative
blood-culture result. Pediatrics 2007; 120:c428-33.
5. Suchat A,Robinso K,Wenger JD. Bacterial Meningitis in The United States in 1995:
Active Surveillance Team, N Engl J Med 1997;337(14):970-6.
6. Black S,Shinefield A, Fireman B the Northern California Kaiser Permanente Vaccine
Study Center Group. Efficacy, safety and immunogenicity of heptavalent pneumococcal
conjugate vaccinein children.Pediatr Infect Dis J,2000;19:187-95.
7. Gessner BD, Sutanto A, Linehan M, Djelantik IGG, Fletcher T, Gerudug K, dkk.
Incidences of vaccine-preventable Haemophilus influenzae type B pneumonia and meningitis in
Indonesian children: hamlet-randomised vaccine-probe trial. Lancet 2005; 365:43-52.14.
Karande S. Febrile seizure: a review for family
8. Urowayino OE, Afolabi LF, Chinyere EK, Olufunmilayo GA. Neurological sequelae in
children with pyogenic meningitis in a tertiary centre in Lagos (Nigeria), African J Neurol Sci,
2004; 23:31-8
9. Farag HF, Abdel-Fattah MM, Youssri AM. Epidemiological, clinical and prognostic
profile of acute bacterial meningitis among children in Alexandria, Egypt. Indian J Clin.
Microbiol 2005; 23:95-101.
10. Rosman NP, Peterson DB, Kaye EM, Colton T. Seizure in bacterial meningitis,
prevalence, patterns, pathogenesis and prognosis, Pediatr Neurol 1985;1:278-85.
11. Bashir HE, Laundy M, Booy R. Diagnosis andtreatment of bacterial meningitis, Archs
Dis Child 2003; 88:615-20.
12. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository .usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf. Accessed Sept
2013.
13. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
14. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Sept, 2013. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview . Accessed Sept ,2013.
15. Martha LM. Pediatric Bacterial Meningitis. Updated: Aug 7, 2013. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview#aw2aab6b2b4. Accessed at Sept 2013
16. George K. E. coli meningitis. Available at “http://www.meningitis.org/disease-info/types-
causes/ecoli . accessed at : Sept 2013
17. Saharso D. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
18. Kliegman, Stanton, St Geme, Schor, Behrman. Nelson Textbook of PEDIATRIC 18 th
edition. Part XXVII The Nervous System, Central Nervous System Infection. Philadelphia :
2011. H 2089-2090
19. Kim KS, PATHOGENESIS OF BACTERIAL MENINGITIS: FROM
BACTERAEMIATO NEURONAL INJURY. 376 . MAY 2003. VOLUME 4. Available at :
www.nature. com/reviews/neuro
20. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian
Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9
21. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. Septth, 2013. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed Septth, 2013.
22. CDC. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August 6th, 2009
Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/ prevention.html . Accessed Septst, 2013
23. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.
24. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1.
Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.