Post on 03-Feb-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam ilmu kedokteran forensik, salah satu masalah yang sering muncul
adalah menentukan kematian pada orang yang telah diduga mati.1 Penentuan
kematian bisa ditinjau dari segi medis, hukum, dan etika.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang
kesehatan pasal 117, seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung
sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau
apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan.2
Menurut PP No.18 tahun 1981, bab I pasal 1G menyebutkan bahwa,
“Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran
yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan, dan atau denyut jantung
seseorang telah berhenti.3
Penentuan kematian manusia dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu
manusia sebagai individu dan sebagai kumpulan dari berbagai macam sel.
Definisi mati adalah berhentinya secara permanen fungsi berbagai organ-
organ vital (paru-paru, jantung, otak) sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai
tanda berhentinya konsumsi oksigen.4 Seorang individu yang telah kehilangan
seluruh fungsi otaknya, termasuk batang otak, secara irreversibel, dinyatakan
telah mati.5
Penentuan kematian pada seseorang diperlukan kriteria diagnostik yang
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, penentuan
kematian sering ditegakkan berdasarkan kombinasi dari beberapa
pemeriksaan pada tubuh jenazah. Perubahan-perubahan yang terjadi antara
lain penurunan suhu tubuh, pembentukan lebam mayat, terjadinya kaku
mayat, terjadinya pembusukan, terjadinya adiposera dan mumifikasi, serta
terjadinya perubahan-perubahan biokimiawi. Perubahan-perubahan pada
darah dan waktu pengosongan lambung juga dapat menentukan waktu
perkiraan kematian.4
1
Pemeriksaan yang dibuat saat penyidikan membantu untuk menilai
perubahan pada tubuh sebagai informasi tambahan yang berguna untuk
memperkirakan kapan kematian terjadi.5
Penentuan pasti kematian mempunyai arti penting dalam Ilmu
Kedokteran, khususnya dalam memberikan informed consent yang pasti
kepada keluarga korban dan memastikan bahwa keluarga setuju jika ingin
dilakukan donor organ. Seorang dokter perlu mengetahui berbagai
pemeriksaan yang berguna untuk membantu penyidik. Salah satunya adalah
pemeriksaan untuk menentukan kepastian kematian seseorang yang telah
diduga mati.
B. PERUMUSAN MASALAH
a. Apakah kematian itu?
b. Bagaimana cara mendiagosis kematian secara medis?
c. Bagaimana sudut pandang kematian yang dilihat dari segi hukum?
d. Bagaimana sudut pandang kematian yang dilihat dari segi etika?
C. TUJUAN PENULISAN
a. Tujuan Umum
i. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang mati yang
ditinjau dari segi medis, hukum, dan etika.
b. Tujuan Khusus
i. Mengetahui definisi dari mati.
ii. Mengetahui cara mendiagnosis kematian secara medis.
iii. Mengetahui sudut pandang kematian dari segi hukum.
iv. Mengetahui sudut pandang kematian dari segi etika.
2
D. MANFAAT PENULISAN
a. Manfaat Teoritis
i. Untuk menambah pengetahuan di bidang ilmu kedokteran forensik
terutama tentang penentuan kematian secara medis, hukum, dan etika.
b. Manfaat Aplikatif
i. Bagian Ilmu Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
1. Sebagai dasar untuk memberikan penilaian referat yang dibuat oleh
mahasiswa.
2. Memperkaya arsip referat-referat bagian forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Diharapkan referat ini bisa
berguna untuk masa yang akan datang.
ii. Mahasiswa
1. Memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh Program
Pendidikan Profesi Dokter.
2. Menambah pengetahuan mahasiswa mengenai cara mendiagnosis
kematian yang dilihat berdasarkan segi medis, hukum, dan etika.
iii. Masyarakat
1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hal-hal apa
saja yang dapat menentukan kematian pada seseorang yang diduga
mati.
iv. Penulis lain
1. Sebagai bahan penulisan lanjutan yang serupa bagi penulis lain.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI KEMATIAN
Kematian yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia
No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal 117 berbunyi: “Seseorang
dikatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi, dan sistem pernapasan
terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila ada kematian batang
otak telah dapat dibuktikan”.2
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh
mayat. Perubahan tersebut dapat timbul pada saat meninggal atau beberapa
menit kemudian, misalkan kerja jantung dan peredaran darah berhenti,
pernapasan berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata hilang, kulit
pucat dan relaksasi otot. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti
kematian berupa lebam mayat (hipostatis atau lividitas pasca mati), kaku
mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan, mumifikasi, dan
adiposera.1
B. ISTILAH-ISTILAH KEMATIAN
Mati dapat didefinisikan secara sederhana dengan terhentinya
kehidupan secara permanen, dilihat dari berfungsinya berbagai organ vital
(otak, jantung, dan paru-paru) sebagai kesatuan yang utuh yang ditandai
dengan konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat dijelaskan
dalam thanatologi, dikenal beberapa istilah berikut:
1. Kematian somatik atau kematian klinis
Terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan,
yaitu sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular, dan sistem pernapasan
yang menetap. Secara klinis tidak ditemukan refleks – refleks, EEG
mendatar, nadi yang teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada
4
gerakan pernapasan dan suara pernapasan tidak terdengar pada
auskultasi1,3
2. Kematian seluler atau molekuler
Merupakan kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa
saat setelah kematian somatik. Daya tahan hidup masing-masing organ
atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada
tiap organ atau jaringan tidak bersamaan. Penentuan mati seluler ini
penting terutama dalam hal transplantasi organ. Otak dan jaringan saraf
lainnya akan kehilangan fungsinya setelah kira-kira 4 menit terhitung
dari saat terjadinya kematian somatik, sedangkan jaringan otot akan
kehilangan fungsinya atau mengalami kematian seluler 4 jam, dan
kornea masih dapat dimanfaatkan untuk kepentingan transplantasi bila
jaringan kornea tersebut diambil dalam jangka waktu 6 jam setelah
seseorang dinyatakan mati somatik. Darah pun masih dapat dipakai
untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati. 1,3
3. Kematian suri
Terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan yaitu sistem saraf
pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernapasan yang ditentukan
dengan alat kedokteran sederhana, dimana proses vital turun ke tingkat
yang paling minimal untuk mempertahankan kehidupan, sehingga
tanda-tanda kliniknya seperti sudah mati. Sering ditemukan pada orang
yang mengalami acute heart failure, tenggelam, kedinginan, anastesi
yang terlalu dalam, dan sengatan listrik. 1,3
4. Kematian serebral
Merupakan kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible, kecuali
batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya, yaitu
sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan
alat. Untuk dapat memastikan bahwa aktivitas otak telat berhenti secara
tepat dan cepat, yaitu bila dikaitkan dengan kepentingan transplantasi,
ialah dengan melakukan pemeriksaan dengan elektroensefalografi,
dimana akan terlihat mendatar selama 5 menit. 1,3
5
5. Kematian batang otak
Terjadinya kerusakan seluruh isi neural intracranial yang irreversible,
termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak
maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat hidup
lagi. Tanda yang didapatkan pada mati otak adalah :
o Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap
komando atau perintah).
o Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak
sedang berada dibawah pengaruh obat-obatan curare.
o Tidak ada reflek pupil.
o Tidak ada reflek kornea.
o Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan.
o Tidak ada reflek menelan atau batuk ketika tuba endotracheal
didorong ke dalam.
o Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yang
dimasukkan ke dalam lubang telinga.
o Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang
cukup lama walaupun PCO2 sudah melampaui wilayah ambang
rangsangan napas (50 torr).6
Tes klinik ini baru boleh dilakukan paling cepat 6 jam setelah onset koma
serta apneu dan harus diulangi lagi paling cepat sesudah 2 jam dari tes
pertama.4
C. Kematian Menurut Medis
Diagnostik kematian dapat ditegakkan jika jantung dan paru sudah
berhenti selama 10 menit, namun pada prakteknya seringkali terjadi
kesalahan diagnostik sehingga perlu dilakukan konfirmasi dengan cara
mengamati selama waktu tertentu. Kebiasaan yang berlaku di Indonesia
adalah mengamati selama 2 jam.
6
Untuk menentukan apakah paru – paru sudah berhenti bernapas, perlu
dilakukan pemeriksaan:
1. Auskultasi
Tes ini perlu dilakukan secara hati-hati dan lama, selain itu perlu juga
dilakukan auskultasi pada daerah laring.
2. Tes Winslow
Dilakukan dengan meletakkan gelas berisi air diatas perut atau dada.
Bila permukaan air bergoyang, berarti masih ada gerakan napas.
3. Tes Cermin
Dilakukan dengan meletakkan kaca cermin didepan mulut dan hidung.
Bila basah berarti masih bernapas.
4. Tes Bulu Burung
Dengan meletakkan bulu burung didepan hidung. Bila bergetar berarti
masih bernapas. 1
Untuk menentukan jantung masih berfungsi, perlu dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut:
1. Auskultasi
Auskultasi dilakukan di daerah precardial selama 10 menit secara
terus menerus.
2. Tes Magnus
Dilakukan dengan mengikat jari tangan sedemikian rupa sehingga
hanya aliran darah vena saja yang terhenti. Bila terjadi bendungan
berwarna sianotik, berarti masih ada sirkulasi.
3. Tes Icard
Dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan dari campuran 1 gr zat
fluoresceins dan 1 gr natrium bicarbonat di dalam 8 ml air secara
subkutan. Bila terjadi perubahan kuning kehijauan berarti masih ada
sirkulasi darah.
4. Incisi Arteria Radialis
Bila terpaksa dapat dilakukan pengirisan pada arteria radialis. Bila
keluar darah secara pulsasif, berarti masih ada sirkulasi darah. 1
7
a. Tanda Kematian Tidak Pasti
1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi,
palpasi, dan auskultasi).
2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak
teraba.
3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya,
karena mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak
kebiruan.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah
menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat
orang menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat setelah
kematian disebut relaksasi primer. Hal ini menyebabkan pendataran
daerah-daerah yang tertekan, misalkan daerah belikat dan bokong
pada mayat yang terlentang.
5. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit
yang masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air. 1
b. Tanda Pasti Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh
mayat. Perubahan tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau
beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung dan peredaran darah
berhenti, pernafasan berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata hilang,
kulit pucat, dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan
pasca mati yang jelas yang memungkinkan diagnosa kematian lebih pasti.
Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa lebam
mayat (hipostatis atau lividitas pasca mati), kaku mayat (rigor mortis),
penurunan suhu tubuh, pembusukan, mumifikasi, dan adiposera.4
a) Penurunan suhu (algor mortis)
8
Pada saat sesudah mati, terjadi karena adanya proses pemindahan
panas dari badan ke benda-benda di sekitar yang lebih dingin secara
radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi. Penurunan suhu badan
dipengaruhi oleh:
1. Suhu udara : makin besar perbedaan suhu udara dengan suhu tubuh
jenazah, maka penurunan suhu tubuh jenazah makin cepat.
2. Pakaian: makin tebal pakaian makin lambat penurunan suhu
jenazah.
3. Aliran udara dan kelembapan: aliran udara mempercepat
penurunan suhu jenazah. Sedangkan udara yang lembab
merupakan konduktor yang baik, sehingga penurunan suhu lebih
cepat.
4. Keadaan tubuh korban : apabila tubuh korban gemuk, yang berarti
mengandung banyak jaringan lemak, maka penurunan suhu
jenazah lambat. Jika tubuh korban berotot sehingga permukaan
tubuhnya relatif lebih besar, maka penurunan suhu tubuh jenazah
lebih lambat daripada korban yang kurus.
5. Aktifitas : apabila sesaat sebelum meninggal korban melakukan
aktifitas yang hebat, maka suhu tubuh waktu meninggal lebih
tinggi.
6. Sebab kematian : bila korban meninggal karena peradangan
(sepsis), suhu tubuh waktu meninggal malah meningkat.1
Perkiraan saat kematian dapat dihitung dari pengukuran suhu jenazah perrektal
(Rectal Temperature / RT). Saat kematian (dalam jam) dapat dihitung rumus
PMI (Post Mortem Interval) berikut.7
Formula untuk suhu dalam oCelcius
PMI = 37o C - RTo C +3
Formula untuk suhu dalam oFahrenheit
PMI = 98,4 o F - RT o F
1,5
9
Kurva berbentuk sigmoid pada grafik penurunan suhuPada saat mendekati suhu keliling, kurva akan menjadi sangat datar
Suhu Awal
Suhu Keliling
37 OC
28 OC
0 3 6 9 12 15 Jam
Apabila korban meninggal di dalam air, maka penurunan suhu jenazah
tergantung pada:
1. Suhu air
2. Aliran air
3. Keadaan air
b) Lebam mayat ( livor mortis )
b) Lebam Mayat
Lebam mayat terjadi akibat terkumpulnya darah pada jaringan kulit dan
subkutan disertai pelebaran pembuluh kapiler pada bagian tubuh yang letaknya
rendah atau bagian tubuh yang tergantung. Keadaan ini memberi gambaran
berupa warna ungu kemerahan.10
Setelah seseorang meninggal, mayatnya menjadi suatu benda mati
sehingga darah akan terkumpul sesuai dengan hukum gravitasi. Lebam mayat
mulai tampak 15 – 20 menit setelah kematian yang pada awalnya berupa
bercak. Dalam waktu sekitar 4 jam, bercak ini semakin meluas yang pada
akhirnya akan membuat warna kulit menjadi gelap.4
Pembekuan darah terjadi dalam waktu 4-8 jam setelah kematian. Lebam
mayat ini bisa berubah baik ukuran maupun letaknya tergantung dari
perubahan posisi mayat. Karena itu penting sekali untuk memastikan bahwa
mayat belum disentuh oleh orang lain. Posisi mayat ini juga penting untuk
menentukan apakah kematian disebabkan karena pembunuhan atau bunuh diri.4
10
Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah
akibat gaya tarik bumi, mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna
merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh
yang tertekan alas keras.4
Darah tetap cair karena adanya fibrinolisin yang berasal dari endotel
pembuluh darah. Maka pada saat penekanan atau perubahan posisi mayat
sebelum 4 jam, warna lebam akan menghilang dan kembali lagi.4
Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh bertimbunnya sel-sel darah
merah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu
kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan
tersebut. 4
Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian, memperkirakan
sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracunan CO
dan CN, warna kecoklatan pada keracunan anilin, nitrat, nitrit, sulfonal. Pada
keracunan fosfor, lebam mayat berwarna biru gelap.11
Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah,
maka keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah
akibat trauma (ekstravasasi). Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan
kemudian disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar
pada lebam mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang.4
11
Perbedaan antara lebam mayat dengan memar4
LEBAM MAYAT LUKA MEMAR
Lokalisasi
dan
Letak
Bagian tubuh
terendah
Epidermal, karena
pelebaran
pembuluh darah
yang tampak
sampai permukaan
kulit
Sembarang tempat
Subepidermal,
karena ruptur
pembuluh darah
yang letaknya bisa
superfisial atau
lebih dalam
Ditekan Biasanya hilang Tidak hilang
Pembengkakan Tidak ada Sering ada
Incisi Bintik-bintik darah
intravascular
Bintik – bintik darah
extravascular
Tanda intra vital Tidak ada Ada
c) Kaku mayat ( rigor mortis )
Kaku mayat akan terjadi setelah tahap relaksasi primer. Keadaan ini
berlangsung setelah terjadinya kematian tingkat sel, dimana aktivitas listrik
otot tidak ada lagi. Otot menjadi kaku. Fenomena kaku mayat ini pertama
sekali terjadi pada otot-otot mata, bagian belakang leher, dada, abdomen
bagian atas dan terakhir pada otot tungkai. 4
Akibat kaku mayat ini seluruh mayat menjadi kaku, otot memendek dan
persendian pada mayat akan terlihat dalam posisi sedikit fleksi. Keadaan ini
berlangsung selama 24-48 jam pada musim dingin dan 18-36 jam pada
musim panas. 4
Kelenturan otot setelah mati masih dipertahankan karena metabolisme
tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang
menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi
ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin miosin tetap lentur.
12
Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi,
aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. 4
Faktor – faktor yang mempengaruhi kaku mayat: 4
1. Keadaan lingkungan. Keadaan kering dan dingin, kaku mayat lebih
lambat terjadi dan berlangsung lebih lama dibanding dengan
lingkungan yang panas dan lembab.
2. Usia. Pada anak-anak dan orangtua, kaku mayat lebih cepat terjadi
dan berlangsung tidak lama. Tetapi biasanya pada bayi prematur, tidak
ada kaku mayat.
3. Cara kematian. Pada pasien dengan penyakit kronis, dan sangat kurus,
kaku mayat cepat terjadi dan berlangsung tidak lama. Pada pasien
yang mati mendadak, kaku mayat lambat terjadi dan berlangsung lebih
lama.
4. Kondisi otot. Terjadinya kaku mayat lebih lambat dan berlangsung
lebih lama pada kasus di mana otot dalam keadaan sehat sebelum
meninggal.
Keadaan yang mirip pada rigor mortis: 4
1. Heat stiffening
2. Freezing ( cold stiffening )
Kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan
lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar
bunyi pecahnya es dalam rongga sendi. Jika mayat dipindahkan ke
suhu yang lebih tinggi, maka kekakuan tersebut akan hilang.
3. Cadaveric spasm ( instantenous rigor )
Bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap.
Penyebabnya karena habisnya cadangan glikogen dan ATP yang
bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi
yang hebat. Kepentingan dari segi mediko – legal : 4
13
Pada kasus bunuh diri, mungkin alat yang digunakan untuk
tujuan bunuh diri masih berada dalam genggaman.
Pada kasus tenggelam, tangan menggenggam erat benda yang
diraihnya.
Korban pembunuhan yang menggenggam robekan pakaian si
pembunuh.
Korban meninggal sewaktu mendaki gunung tinggi.
d) PEMBUSUKAN (DECOMPOSITIN/PUTREFACTION)
Pembusukan adalah suatu keadaan dimana bahan-bahan organik tubuh
mengalami dekomposisi baik yang disebabkan oleh karena adanya aktivitas
bakteri maupun karena autolisis. 4
Proses pembusukan pada jenazah disebabkan oleh pengaruh enzim
proteolitik dan mikroorganisme. Pada umumnya proses pembusukan dimulai
18 sampai 24 jam setelah seseorang meninggal. 4
Alat-alat dalam tubuh yang mengalami pembusukan dapat dibagi menjadi :
Jenis yang cepat membusuk : jaringan otak, lambung dan usus, uterus
yang hamil atau post partum, hati, limpa, laring, trachea.
Jenis yang lambat membusuk : jantung, paru, ginjal, dan diafragma.
Jenis yang paling lambat membusuk : prostat dan uterus yang tidak
hamil.
e) MUMIFIKASI
Mumifikasi adalah proses pengeringan dan pengisutan alat-alat tubuh
akibat penguapan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan.
Adapun syarat untuk terjadi mumifikasi adalah : 4
Suhu udara harus tinggi
Udara harus kering
Harus ada aliran udara yang terus menerus
14
Proses mumifikasi yang lengkap terjadi dalam waktu 1 - 3 bulan, dan
jenazah yang mengalami mummifikasi ini dapat bertahan lama sekali. Gejala-
gejala yang tampak adalah : 4
Tubuh menjadi kurus kering dan mengkerut
Warna cokelat muda sampai cokelat kehitaman
Kulit melekat erat pada jaringan dibawahnya
Susunan anatomi alat-alat tubuh masih baik
f) ADIPOCERE (SAFONICATION)
Adipocere adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat mengalami hidrolisis
dan hidrogenasi pada jaringan lemaknya, dan hidrolisis ini dimungkinkan
oleh karena terbentuknya lesitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh
Clostridium welchii, yang berpengaruh terhadap jaringan lemak. Dengan
demikian akan terbentuk asam-asam lemak bebas (asam palmitat, sterat,
oleat), pH tubuh menjadi rendah dan ini akan menghambat bakteri untuk
pembusukan. Tubuh yang mengalami adipocere akan tampak putih kelabu,
perabaan licin dengan bau yang khas, yaitu campuran bau tanah, keju,
amoniak, manis dan tengik. 4
Adipocere terjadi karena adanya proses hidrogenisasi dari asam lemak tak
jenuh menjadi asam lemak jenuh, dan asam lemak jenuh ini bereaksi dengan
alkali membentuk sabun yang tidak larut. 4
Gejala-gejala yang tampak adalah : 4
Tubuh berwarna putih sampai putih kekuningan
Bila diraba terasa seperti sabun
Pada pemanasan akan meleleh
Berbau tengik
c. Penentuan Saat Kematian
Sampai sekarang belum ada cara yang dapat dipakai untuk
menentukan dengan tepat saat kematian seseorang, jadi selalu masih ada
range hanya saja makin sempat range ini makin baik. Perlu diingat bahwa
15
saat kematian seorang korban terletak diantara saat korban terakhir dilihat
dalam keadaan masih hidup dan saat korban ditemukan keadaan mati. 4
Adapun tanda-tanda yang dapat dipakai untuk memperkirakan saat
kematian ialah : 4
Penurunan suhu mayat
Lebam mayat
Kaku mayat
Proses pembusukan
Hal-hal lain yang ditemukan baik pada pemeriksaan di tempat kejadian
maupun pada waktu melakukan otopsi
Yang dapat ditemukan pada pemeriksaan di tempat kejadian : 4
A. Pemeriksaan setempat dalam ruangan :
Tanggal pada surat pos atau surat kabar
Keadaan sisa makanan yang ditemukan, apakah masih baik atau sudah
membusuk
Derajat koagulasi susu dalam botol
B. Pemeriksaan entomologi pada mayat.
Keadaan parasit pada tubuh korban, misalnya kutu. Kutu pada mayat dapat
hidup 3-6 hari. Bila semua kutu mati, berarti korban sudah mati lebih dari
6 hari dari saat kematian.
C. Pemeriksaan setempat di ruang terbuka
Tanaman/rumput dibawah jenazah bila tampak pucat (warna chlorofil atau
hijau daun menghilang), berarti jenazah ada di tempat tersebut lebih dari 8
hari. Perlu diingat di tempat kejadian bahwa tempat korban pada waktu
mendapat serangan tidak selalu sama dengan tempat jenazah ditemukan.
16
D. MATI MENURUT HUKUM
Penentuan Kematian menurut hukum di Indonesia dituangkan dalam
peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia No.37 tahun 2014 tentang
penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor yang berisi: 12
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Penghentian terapi bantuan hidup (with-drawing life supports) adalah
menghentikan sebagian atau semua terapi bantuan hidup yang sudah
diberikan pada pasien.
2. Penundaan terapi bantuan hidup (with-holding life supports) adalah
menunda pemberian terapi bantuan hidup baru atau lanjutan tanpa
menghentikan terapi bantuan hidup yang sedang berjalan.
3. Intensive Care Unit, yang selanjutnya disingkat ICU adalah suatu instalasi
di rumah sakit dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang
ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang
menderita penyakit akut, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam
nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang
diharapkan masih reversibel.
Pasal 2
Pengaturan penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor bertujuan untuk:
A. memberikan kepastian hukum; dan
B. memberikan perlindungan kepada pasien dan keluarga pasien, tenaga
kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan.
17
Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan meliputi:
a. Penentuan mati batang otak pada seseorang yang diketahui proses
kematiannya di fasilitas pelayanan kesehatan
b. penghentian terapi bantuan hidup;
c. penundaan terapi bantuan hidup; dan
d. pemanfaatan organ donor
BAB II
PENENTUAN KEMATIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Penentuan kematian seseorang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan atau di luar fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Penentuan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menjunjung
tinggi nilai dan norma agama, moral, etika, dan hukum.
Pasal 5
(1) Penentuan kematian di fasilitas pelayanan kesehatan harus dilakukan oleh
tenaga medis.
(2) Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dokter.
(3) Dalam hal tidak ada tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penentuan kematian dapat dilakukan oleh perawat atau bidan.
Pasal 6
Penentuan kematian di luar fasilitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan oleh
tenaga medis atau tenaga kesehatan lainnya yang memiliki kewenangan.
18
Pasal 7
Penentuan kematian seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria
diagnosis kematian klinis/konvensional atau kriteria diagnosis kematian mati
batang otak.
Bagian Kedua
Penentuan Kematian Klinis/Konvensional
Pasal 8
(1) Kriteria diagnosa kematian klinis/konvensional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 didasarkan pada telah berhentinya fungsi sistem jantung sirkulasi dan
sistem pernafasan terbukti secara permanen.
(2) Proses penentuan kematian klinis/konvensional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai standar profesi, standar pelayanan, dan standar
operasional prosedur.
Bagian Ketiga
Penentuan Mati Batang Otak
Pasal 9
(1) Penentuan seseorang mati batang otak hanya dapat dilakukan oleh tim dokter
yang terdiri atas 3 (tiga) orang dokter yang kompeten.
(2) Anggota tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melibatkan dokter
spesialis anestesi dan dokter spesialis syaraf.
(3) Dalam hal penentuan mati batang otak dilakukan pada calon donor organ,
maka tim dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan
dokter yang terlibat dalam tindakan transplantasi.
(4) Masing-masing anggota tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan
pemeriksaan secara mandiri dan terpisah.
(5) Diagnosis mati batang otak harus dibuat di ruang rawat intensif (Intensive
Care Unit).
19
Pasal 10
(1) Pemeriksaan seseorang mati batang otak dilakukan pada pasien dengan
keadaan sebagai berikut:
a. koma unresponsive/GCS 3 atau Four Score 0;
b. tidak adanya sikap tubuh yang abnormal (seperti dekortikasi, atau
deserebrasi); dan
c. tidak adanya gerakan yang tidak terkoordinasi atau sentakan epileptik.
(2) Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan pemeriksaan mati batang
otak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. terdapat prakondisi berupa koma dan apnea yang disebabkan oleh
kerusakan otak struktural ireversibel akibat gangguan yang berpotensi
menyebabkan mati batang otak; dan
b. tidak ada penyebab koma dan henti nafas yang reversibel antara lain karena
obat-obatan, intoksikasi, gangguan metabolik dan hipotermia.
Pasal 11
Prosedur pemeriksaan mati batang otak dilakukan sebagai berikut:
a. memastikan arefleksia batang otak yang meliputi:
1. tidak adanya respons terhadap cahaya;
2. tidak adanya refleks kornea;
3. tidak adanya refleks vestibulo-okular;
4. tidak adanya respons motorik dalam distribusi saraf kranial terhadap
rangsang adekuat pada area somatik; dan
5. tidak ada refleks muntah (gag reflex) atau refleks batuk terhadap rangsang
oleh kateter isap yang dimasukkan ke dalam trakea.
b. memastikan keadaan henti nafas yang menetap dengan cara:
1. pre – oksigenisasi dengan O2 100% selama 10 menit;
2. memastikan pCO2 awal testing dalam batas 40-60 mmHg dengan memakai
kapnograf dan atau analisis gas darah (AGD);
20
3. melepaskan pasien dari ventilator, insuflasi trakea dengan O2 100%, 6
L/menit melalui kateter intra trakeal melewati karina;
4. observasi selama 10 menit, bila pasien tetap tidak bernapas, tes dinyatakan
positif atau berarti henti napas telah menetap.
c. bila tes arefleksia batang otak dan tes henti napas sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b dinyatakan positif, tes harus diulang sekali lagi dengan
interval waktu 25 menit sampai 24 jam.
d. bila tes ulangan sebagaimana dimaksud pada huruf c tetap positif, pasien
dinyatakan mati batang otak, walaupun jantung masih berdenyut.
e. bila pada tes henti napas timbul aritmia jantung yang mengancam nyawa maka
ventilator harus dipasang kembali sehingga tidak dapat dibuat diagnosis mati
batang otak.
Pasal 12
Penetapan waktu kematian pasien adalah pada saat dinyatakan mati batang otak,
bukan saat ventilator dilepas dari mayat atau jantung berhenti berdenyut.
Pasal 13
(1) Setelah seseorang ditetapkan mati batang otak, maka semua terapi bantuan
hidup harus segera dihentikan.
(2) Dalam hal pasien merupakan donor organ, terapi bantuan hidup diteruskan
sampai organ yang dibutuhkan diambil.
(3) Pembiayaan tindakan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan
kepada penerima donor organ.
21
BAB III
PENGHENTIAN ATAU PENUNDAAN TERAPI BANTUAN HIDUP
Pasal 14
(1) Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat
penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-
sia (futile) dapat dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.
(2) Kebijakan mengenai kriteria keadaan pasien yang terminal state dan tindakan
kedokteran yang sudah sia-sia (futile) ditetapkan oleh Direktur atau Kepala
Rumah Sakit.
3) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan
kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim
dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik.
(4) Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup harus
diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga pasien atau yang
mewakili pasien.
(5) Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya tindakan yang
bersifat terapeutik dan/atau perawatan yang bersifat luar biasa (extra-
ordinary), meliputi:
a. Rawat di Intensive Care Unit;
b. Resusitasi Jantung Paru;
c. Pengendalian disritmia;
d. Intubasi trakeal;
e. Ventilasi mekanis;
f. Obat vasoaktif;
g. Nutrisi parenteral;
h. Organ artifisial;
i. Transplantasi;
j. Transfusi darah;
k. Monitoring invasif;
22
l. Antibiotika; dan
m. Tindakan lain yang ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran.
(6) Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi
oksigen, nutrisi enteral dan cairan kristaloid.
Pasal 15
(1) Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan pasien untuk
penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.
2) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan
kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi dengan tim
dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik.
(3) Permintaan keluarga pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam hal:
a. pasien tidak kompeten tetapi telah mewasiatkan pesannya tentang hal ini
(advanced directive) yang dapat berupa:
1. pesan spesifik yang menyatakan agar dilakukan penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup apabila mencapai keadaan futility
(kesia-siaan)
2. pesan yang menyatakan agar keputusan didelegasikan kepada seseorang
tertentu (surrogate decision maker)
b. pasien yang tidak kompeten dan belum berwasiat, namun keluarga pasien
yakin bahwa seandainya pasien kompeten akan memutuskan seperti itu,
berdasarkan kepercayaannya dan nilai-nilai yang dianutnya.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
bila pasien masih mampu membuat keputusan dan menyatakan keinginannya
sendiri.
(5) Dalam hal permintaan dinyatakan oleh pasien sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), maka permintaan pasien tersebut harus dipenuhi.
23
(6) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan
rekomendasi tim yang ditunjuk oleh komite medik atau komite etik, dimana
keluarga tetap meminta penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup,
tanggung jawab hukum ada di pihak keluarga.
BAB IV
PEMANFAATAN ORGAN DONOR
Pasal 16
(1) Penyelenggaraan pemanfaatan organ donor dilakukan dengan penerapan dan
penapisan teknologi kesehatan.
(2) Penerapan dan penapisan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai norma agama, moral, dan etika.
(3) Pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah donor dinyatakan mati batang otak.
(4) Selain organ sebagaimana dimaksud ayat (1) pemanfaatan dapat dilakukan
dalam bentuk jaringan dan/atau sel.
Pasal 17
(1) Organ yang berasal dari mayat dapat diperoleh atas persetujuan calon donor
sewaktu masih hidup.
(2) Tata cara pelaksanaan donor organ dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Mayat yang tidak dikenal atau tidak diurus keluarganya dapat langsung
dimanfaatkan untuk donor organ, jaringan dan sel.
(2) Pemanfaatan organ, jaringan, dan/atau sel dari mayat yang tidak dikenal atau
tidak diurus keluarganya harus atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa
hidupnya, persetujuan tertulis keluarganya dan/atau persetujuan dari penyidik
Kepolisian setempat.
24
(3) Persetujuan dari penyidik Kepolisian setempat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan dalam hal tidak diketahui adanya persetujuan tertulis orang
tersebut semasa hidupnya/persetujuan tertulis keluarganya tidak
dimungkinkan.
(4) Dalam hal mayat tersebut berhubungan dengan perkara pidana, pemanfaatan
organ dari mayat hanya dapat dilakukan setelah proses pemeriksaan mayat
yang berkaitan dengan perkara selesai.
(5) Pemanfaatan organ dari mayat harus dilakukan pencatatan dan pelaporan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
(1) Pengambilan organ dari donor kadaver hanya dilakukan segera setelah calon
donor kadaver dinyatakan mati batang otak.
(2) Sebelum pengambilan organ dari donor kadaver sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib memperoleh persetujuan dari keluarga terdekat donor lebih
dahulu.
E. MATI MENURUT ETIKA
Melihat sekilas mengenai hukum yang mengatur tentang donor organ di
Amerika Serikat dan beberapa Negara Asia berasumsi bahwa manusia yang
mati batang otak sama saja dengan matinya individu tersebut, dan faktanya
tidak ada individu yang diberi kebebasan untuk menyuarakan pendapat mereka
terhadap permasalahan ini.
Seorang individu yang telah kehilangan seluruh fungsi otaknya, termasuk
batang otak, secara irreversible, dinyatakan telah mati. Bila kita berpikir
bahwa masyarakat harus memikirkan hidup dan mati mereka hanya
berdasarkan kepada aturan hanya karena persepsi masyarakat lebih
mendominasi dibanding persepsi individu dimana persepsi masyarakat
terutama masyarakat barat tidak ada yang namanya mati. Bahkan, di Amerika
yang masyarakatnya menjunjung hak asasi atau kebebasan juga tidak diberikan
pilihan kecuali menerima dikatakan sebagai orang mati.
25
Tiga puluh tahun ini telah diperkenalkan kembali mengenai arti dari mati
dan kriteria mati pada manusia. Kemajuan teknologi mengembangkan definisi
dari mati dan sekarat. Terdapat tiga tanda mati klasik dari mati, yaitu hilang
kesadaran, henti nafas, dan yang lebih pentingnya berhenti/hilangnya fungsi
jantung. Sebelumnya terdapat ketidakpastian tiap hasil dari pemeriksaan dan
tidak memberikan hasil yang memuaskan atau penting. Jika terdapat kegagalan
dari nafas, jantung, dan hilangnya kesadaran maka dua yang lainnya akan
menyertai setelahnya. Teknologi medis sekarang ini telah mampu memutus
tiga hal tersebut. Ventilator mekanik pun mampu menunjang fungsi pernafasan
dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan. Fungsi jantung pun dapat
diperbaiki bahkan setelah beberapa saat fungsinya berhenti seperti dengan
ditemukannya jantung buatan dan teknik transplantasi jantung. Kemajuan
teknologi ini telah mengajak kita mengevaluasi ulang fungsi dan peran dari
jantung dan pernafasan untuk memahami lebih dalam mengenai hidup dan mati
manusia.
Diperlukannya untuk meyakinkan suatu akhir hidup manusia pada era
kemajuan teknologi medis yang telah menyanggah pandangan lama tentang
hidup, kematian dan proses kematian itu sendiri.Telah dijelaskan dalam bahwa
suatu individu dikatakan mati bila adanya kematian otak yang irreversibel.
Melanjutkan pembahasan mengenai seperti isu-isu seperti yang di atas, agar
dapat diterima masyarakat dengan baik.
CONTOH KASUS
1. Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat,
pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat
bantu pernafasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan
zat psikotropika secara berlebihan. Oleh karena tidak tega melihat penderitaan
sang anak, maka orang tuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian
alat bantu pernafasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke
pengadilan dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orang tua
ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat
26
bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian
penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernafas spontan walaupun masih
dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12
Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
2. Laki-laki 22 tahun asal Swedia, Sasha Eliasson pada 2008 mengalami
kecelakaan, korban kemudian dibawa ke rumah sakit. Korban dirawat selama
beberapa hari dan berada dalam kondisi koma. Setelah beberapa kali
pemeriksaan kemudian dokter yang merawat memutuskan korban telah
meninggal. Beberapa menit kemudian setelah perawat melepas alat-alat bantu
nafas, secara tiba-tiba pasien bernafas spontan. Dokter kemudian menyatakan
pasien mengalami mati suri. Setelah ditelusuri lebih lanjut, diketahui korban
mengkonsumsi obat-obat psikotropika ketika mengemudi.
Pada orang mati suri kemungkinan belum mati otak, tapi henti jantung.
Peredaran darah berhenti tapi otaknya masih berfungsi. Dokter Manfaluthy
menuturkan untuk menentukan kematian perlu menilai dari denyut jantung dan
pembuluh darah serta fungsi otak. Secara fisik tidak adanya reaksi pupil
terhadap sinar, karena kalau sudah mengalami mati otak maka reaksi pupilnya
negatif, pupil akan melebar dan saat diberi sinar tidak bereaksi. Manfaluthy
menjelaskan seharusnya jika otak kekurangan oksigen 3 menit saja maka bisa
terjadi kerusakan permanen di otak. Namun nyatanya pada orang dengan mati
suri kondisi ini bisa kembali lagi ke normal, denyut jantung ada lagi dan tidak
mengalami kerusakan otak.
Sementara menurut Kepala Departemen Bedah Saraf RS Mayapada
Tangerang, Dr Roslan Yusni Hasan, SpBS, mati suri dalam dunia kedokteran
adalah istilah untuk kondisi seperti mati yang belum benar-benar mati.
Aktivitas sel-sel tubuh dan bahkan organ sebenarnya masih ada, tetapi sangat
minimal. "Jadi kalau kondisinya naik sedikit atau membaik lagi, ya hidup lagi.
Itu sebenarnya seperti tidur yang sangat dalam sampai detak jantungnya pun
hampir tidak terdeteksi," kata Dr Roslan saat dihubungi detikHealth.
27
Dalam keadaan mati suri, menurut Dr. Roslan masih memiliki aktivitas di
tingkat sel meski sangat minimal dan tidak terdeteksi secara kasat mata. Paling
tidak, bagian paling vital dalam tubuh manusia yakni batang otak masih aktif
dalam kondisi ini.
Aktivitas batang otak dalam kondisi mati suri bisa diamati dengan
Electroencephalography (EEG). Meski denyut jantung tidak teraba dan
nafasnya sudah berhenti, seseorang baru dikatakan benar-benar mati kalau
grafik EEG sudah flat atau datar yang artinya tidak ada aktivitas lagi di batang
otak.
28
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah kami lakukan, maka kami mengambil
kesimpulan bahwa penentuan kematian dapat ditentukan dari segi medis, hukum
dan etika. Dari segi medis penentuan kematian pada seseorang diperlukan suatu
kriteria diagnostik yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Penentuan
kematian secara medis terdiri dari tanda kematian pasti dan tak pasti. Tanda
kematian tidak pasti berupa berhentinya pernafasan, berhentinya sirkulasi, kulit
pucat, tonus otot yang menghilang, dan pengeringan kornea. Sedangkan tanda
kematian pasti berupa penurunan suhu tubuh, pembentukan lebam mayat,
terjadinya kaku mayat, terjadinya pembusukan, terjadinya adiposera dan
mumifikasi, serta terjadinya perubahan-perubahan biokimiawi.
Sementara dari segi hukum menurut Undang-Undang Republik Indonesia
No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 117, seseorang dinyatakan mati
apabila fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah
berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat
dibuktikan. Penentuan kematian batang otak menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan
Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor Bab 2 bagian Ketiga dapat diputuskan
dengan adanya arefleksia batang otak dan keadaan henti nafas.
Pada era globalisasi ini penentuan kematian yang ada dalam masyarakat
didasarkan dari segi medis dan hukum. Era sebelumnya menganut paham bila ada
29
berhentinya pernafasan atau fungsi sirkulasi seseorang sudah dapat dikatakan
mati. Namun pada era sekarang penentuan kematian dapat ditegakkan bila sudah
terjadinya kematian batang otak yang dapat diperiksa melalui beberapa
pemeriksaan sederhana namun dapat memastikan adanya kematian dalam diri
seseorang.
Gabungan dari ketiga komponen diatas sudah dapat menentukan kematian
seseorang. Sehingga diharapkan ketiga komponen ini dapat digunakan dalam
praktek sehari-hari seorang dokter atau tenaga medis untuk dapat memutuskan
kematian seseorang bila jauh dari fasilitas kesehatan yang memadai.
30