Post on 20-Jan-2016
description
PENGANTAR
PSIKOANALISIS SASTRA
Oleh Aprinus Salam
Fakultas Ilmu Budaya UGM
1.Latar Belakang
Masalah terbesar umat manusia yang hingga hari ini tidak akan
pernah selesai dibicarakan, direnungkan, didiskusikan, dan dikaji dalam
berbagai perspektif adalah upaya manusia memahami hakikat diri dan alam-
kehidupannya. Manusialah problem terbesar berbagai bidang disiplin
keilmuan, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Studi kesusastraan
sebagai bagian dari ilmu-ilmu humaniora meletakkan masalah manusia dan
kemanusiaan sebagai fokus utama kajiannya.
Dalam mengkaji masalah manusia dan kemanusiaan tersebut, dalam
proses perkembangannya, tidak ada disiplin keilmuan yang berdiri sendiri.
Hampir dapat dipastikan setiap disiplin keilmuan memerlukan disiplin
keilmuan lain, disiplin keilmuan tersebut saling membutuhkan, saling
mengisi, saling melengkapi. Tidak terkecuali ilmu kesusastraan, studi
kesusatraan membutuhkan sosiologi, psikologi, filsafat, linguistik, sejarah,
ilmu-ilmu alam, dan sebagainya (Bdk. Wellek dan Warren 1993: 5-6).
Dalam hal ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa psikologi dalam
sejarahnya telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ilmu
kesusastraan, khususnya dalam menjelaskan proses kreativitas sastrawan,
dan yang lebih kemudian adalah proses hermeneutik dan resepsi pembaca
terhadap teks kesusastraan.
Seperti halnya kesusastraan, psikologi adalah disiplin keilmuan yang
sepenuhnya berkutat dengan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan.
Di dalam psikologi memang belum ada kesepakatan resmi yang dapat
dijadikan acuan bersama untuk semua paradigma psikologi. Hal tersebut
terjadi karena disiplin psikologi berkembang sesuai dengan paradigmanya
sendiri-sendiri yang secara umum dibagi ke dalam empat paradigma yang
paling dominan yaitu psikologi-psikoanalisis (untuk seterusnya disebut
psikoanalisis), psikologi-behaviorisme, psikologi-kognitif, dan psikologi-
humanistis. Setiap paradigma memiliki rumusan tersendiri tentang manusia.
Namun begitu, apapun paradigma dalam psikologi tersebut semuanya
terfokus pada manusia. Hal itu tampak dari sebuah definisi umum yang
ditawarkan oleh Miller (1974: 4) bahwa psikologi adalah ilmu yang
mencoba menjelaskan, meramal, mengontrol mental dan tingkah laku
manusia.
Psikoanalisis pada mulanya dikembangkan bukan dari seorang
psikolog, tetapi justru oleh seorang dokter atau lebih tepatnya dari disiplin
psikiatri yaitu Sigmund Freud (1856-1939). Akan tetapi, dalam prosesnya
psikoanalisis berintegrasi dalam paradigma psikologi. Persoalannya
mengapa justru psikoanalisis yang dianggap justru paling dekat dengan
studi kesusastraan? Karena, seperti diterangkan oleh Asch (1959: 17), dari
berbagai paradigma psikologi tersebut di atas, psikoanalisislah yang paling
tegas dan sistematis menjelaskan struktur jiwa manusia. Sigmund Freud
dianggap orang pertama yang merumuskan psikologi manusia secara
komprehensif tentang kepribadian manusia. Konsep ini tentu saja akan
memiliki relevansi dengan studi kesusastraan khususnya ketika karya sastra
dianggap sebagai struktur yang bermakna dari hasil kreativitas dan ekpresi
(struktur jiwa) manusia (sastrawan).
Pemikiran Freud hingga hari ini tidak pernah dilupakan dan
disepelekan. Sebagian besar buku-buku ilmiah masih membahas dan
mengutip pemikirannya. Dalam buku yang disunting Alexander Grinstein
(1975) disebutkan bahwa buku atau artikel yang membicarakan masalah
2
psikoanalisis sudah lebih dari 100.000 nomor, dalam 21 bahasa. Kita dapat
membayangkan berapa judul buku/artikel ditulis orang setelah 25 tahun
kemudian. Seorang yang biasanya menyerang Freud dengan keras, H.J.
Eysenck (1977: 221) secara sportif mengakui bahwa boleh dikata tidak ada
orang lain sebagai perorangan yang mampu memberi pengaruh demikian
besar atas pemikiran abad kita ini seperti Sigmund Freud. Fritjof Capra
(1997: 282), seorang filsuf fisika kenamaan, mengakui selain Marx, Freud
mempunyai kehidupan intelektual yang panjang dan kaya, dengan banyak
wawasan kreatif yang secara meyakinkan telah membentuk zaman kita.
Bertens (1979: ix-x) juga mengatakan bahwa teori psikoanalisis yang
dikembangkan Freud mempengaruhi seluruh kultur modern, dan di antara
para inovator lain barangkali pengaruh Freud termasuk yang paling besar
dalam membentuk kita sebagai orang modern.
Di dalam Apsanti Ds, Sri Widaningsih, dan Laksmi (1992: V;) dan
Apsanti (2000: 32-33) disebutkan bahwa psikoanalisis merupakan salah
satu bidang ilmu sosial yang berperan besar dalam perkembangan teori-
teori sastra modern, dan telah menghasilkan berbagai pendekatan yang
menarik seperti psikokritik yang dipelopori oleh Charles Mauron, pengikut
setia Freud, kajian arketip dan konsep ketaksadaran kolektif yang
dikembangkan Jung, pendekatan struktur ketaksadaran-bahasa Lacan,
pendekatan tematik, psikobiografi, psikoanalisis eksistensial, dan
sebagainya. Psikoanalisis juga telah bergabung dengan strukturalisme,
semiotik, feminisme, dan sosiologi sastra, dan telah menghasilkan aneka
ramuan pendekatan baru yang menarik dan penting, yang menjawab
tantangan keragaman bentuk karya sasta dewasa ini. I. A. Richards, seperti
dikutip Wellek dan Warren (1993: 5) secara tidak sengaja pernah
mengatakan bahwa ilmu-syaraf (disiplin awal Freud dalam
mengembangkan teori psikoanalisis) yang akan mendominasi di masa
depan dalam mengatasi persoalan-persoalan kesusastraan.
3
Hingga hari ini uraian masalah teori dan kritik psikoanalisis sastra
dalam bahasa Indonesia masih amat jarang dilakukan. Hal senada dikatakan
oleh Apsanti Ds. dkk. (1992:V) psikonalisis di bidang seni, khususnya
sastra, masih asing untuk sebagian besar ahli sastra kita. Pada tahun 1981,
Andre Hardjana pernah menulis "Psikologi dalam Kritik Sastra" sebagai
salah satu judul bab pada buku tersebut. Secara ringkas tulisan tersebut
membicarakan "asal-usul" teori psikologi masuk ke dalam studi sastra.
Hardjana juga membicarakan pengaruh teori interpretasi ala Freud dan
Jung. Akan tetapi, karena ditulis secara ringkas, tulisan Hardjana belum
cukup memadai untuk dijadikan acuan dalam memahami teori psikoanalisis
secara lebih komprehensif.
Berdasarkan uraian di atas, tampaknya keperluan untuk menulis
sebuah karya dalam orientasi psikoanalisis bukan suatu keinginan yang
tanpa alasan. Dengan demikian, walaupun dalam beberapa hal apa yang
dapat ditulis dalam pembicaraan ini mungkin bukan sesuatu yang lengkap
untuk keseluruhan teori psikoanalisis, tetapi paling tidak upaya ke arah itu
perlu dilakukan secara lebih serius. Namun demikian, tulisan apapun
tentang psikoanalisis dengan berbagai implikasi yang menyertainya
terhadap berbagai bidang keilmuan, tentu tidak dapat terhindar dari
kemungkinan keberpihakan atau hanya mengambil bagian-bagian tertentu
yang relevan dengan topik yang sedang dibicarakan. Dalam hal ini, penulis
mengambil "resiko" hanya membicarakan teori psikoanalisis yang relevan
dengan studi kesusastraan.
Sejak awal abad ke-20 ini, paling tidak ada empat teori sastra yang
menonjol yaitu strukturalisme-formalisme, sosiologisme, estetika resepsi,
dan semiotik, seperti dapat dilihat dari pembagian bab-bab dalam buku
Fokkema dan Ibsch (1998). Melihat pembagian bab-bab dalam Fokkema
dan Ibsch, tampaknya psikoanalisis sastra tidak mendapat tempat secara
eksplisit. Padahal dalam buku tersebut Fokkema dan Ibsch secara tidak
4
langsung menyebutkan peran psikoanalisis dalam studi sastra. Suleiman
(1980) secara lebih rinci mengedepankan enam pendekatan (teori) yang
dominan dalam kesusastraan kontemprer yaitu retorik, semiotik dan
struktural, fenomenologi, subjektif dan psikologis, sosiologi dan sejarah,
serta hermeneutik. Itulah sebabnya, Selden (1990) memasukkan pendekatan
psikoanalisis (Selden menggunakan istilah unconcious processes) dalam
kelompok pendekatan teori kritik subjektif.
Keterangan di atas ingin mengantarkan posisi psikoanalisis dalam
studi sastra. Seperti akan diuraikan lebih jauh, psikoanalisis ternyata sangat
membantu perkembangan teori sastra khususnya teori ekspresif, resepsi,
semiotik, dan sosiologi sastra, demikian pun sebaliknya. Pelitian ini
berjudul Prinsip-Prisip Dasar Psikoanalisis Sastra, tetapi dalam beberapa
kesempatan di dalam tesis ini menggunakan istilah psikoanalisis. Istilah
tersebut dipakai "dalam rangka" memayungi berbagai perbedaan yang
muncul berkaitan dengan terjadinya perbedaan konsep psikoanalisis dalam
perkembangan kemudian.
Berdasarkan judul penelitian, tesis ini tidak berambisi mencari
temuan yang orisinal dalam mengembangkan teori psikoanalisis sastra,
tetapi lebih-lebih suatu keinginan untuk menggaris-bawahi, dan jika
mungkin "mensintesiskan" secara lebih sistematis dan terpadu tentang
kemungkinan-kemungkinan teori psikoanalisis untuk keperluan studi sastra.
Berdasarkan hal tersebut persoalannya adalah sampai seberapa jauh
psikoanalisis, seperti yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh Freud
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap studi kesusastraan.
Bagaimana psikoanalisis melihat, memahami, dan menempatkan fenomena
kesastraan, baik sebagai ciptaan pengarang, sebagai teks, maupun dalam
hubungannya dengan pembaca? Namun demikian, tesis ini membatasi diri
hanya mendiskusikan, di samping terutama Freud, adalah para psikoanalis
yang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap teori tersebut yaitu
5
Jung, Lacan, dan Derrida. Beberapa pakar lain hanya disinggung sejauh
relevan dengan pembicaraan.
3. Tujuan Penelitian Psikoanalisis Sastra
Seperti layaknya sebuah penelitian, penelitian selalu dituntut untuk
memiliki tujuan tertentu yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tujuan yang paling sederhana untuk dijawab tentulah tujuan praktis. Seperti
diketahui, sebagian besar tesis, khususnya di UGM, bersifat terapan teori
tertentu atau sesuatu yang bersifat analisis terhadap data kesastraan tertentu.
Itulah sebabnya, menurut penulis tidak ada salahnya penulis mencoba
hanya berbicara tentang teori sastra, khususnya teori sastra psikoanalisis
dalam perspektif teoretiknya saja. Tujuan praktis lainnya, seperti juga telah
disinggung, tesis ini ingin menelusurulang teori psikoanalisis dalam
kaitannya dengan studi sastra. Dari penjelajahan ulang tersebut penelitian
ini diharapkan bermanfaat bagi mereka yang tertarik mendekati karya sastra
berdasarkan teori psikoanalisis, bahkan jika mungkin mengembangkannya
lebih jauh.
Untuk tujuan teoretik, uraian ini tidak memberikan suatu janji yang
muluk- muluk. Akan tetapi, paling tidak penelitian ini mencoba
mendeskripsikan prinsip- prinsip dasar teori psikoanalisis dari yang klasik
seperti yang dikembangkan oleh Freud hingga teori psikoanalisis
posstruktural dan catatan yang terkait dengan persoalan tersebut.
Bagaimanapun pembicaraan psikoanalisis yang membahas masalah tersebut
secara "lebih terapadu" dalam bahasa Indonesia masih amat terbatas.
Dengan demikian, pembicaraan ini diharapkan dapat menambah khazanah
teoretik studi sastra, khususnya teori psikoanalisis dalam bahasa Indonesia.
4. Tinjauan Pustaka
6
Seperti telah disinggung, penulis hanya membicarakan beberapa
tulisan psikoanalisis yang hanya berkaitan dengan kesusastraan. Dapat
diperkirakan bahwa orang pertama yang menganjurkan pendekatan
psikologis terhadap studi kesusastraan adalah I. A. Richards (1970, Cet. I,
1924). I. A Richards (1970: 17-23) memperkenalkan teori psikologi gestalt
dan teori psikoanalisis dalam studi sastra. Secara sekilas Richards
menjelaskan bahwa teori psikologi dapat membantu menjelaskan proses
kreatif seniman. Dengan teori psikoanalisis Richards telah mencoba
mengenalkan teori motif-motif ketaksadaran Freud khususnya dalam
menjelaskan proses kreatif dan bahasa puisi Coleridge. Dalam tulisan ini,
Richards masih dipengaruhi oleh wacara teoretik sastra pada waktu itu yaitu
teori sastra yang masih berorientasi pada maksud pengarang.
Tidak jauh berbeda dengan Richards, Daiches (1974, Cet. I, 1956)
dalam salah satu babnya berjudul "Criticism and Psychology" (340-357)
menyinggung perlunya psikologi dalam kritik sastra. Daiches mengatakan
bahwa psikologi masuk ke kritik sastra melalui dua cara yaitu teori yang
menjelaskan proses kreatif seniman, dan yang kedua upaya penjelaskan
hubungan prilaku seniman dengan kualitas karyanya. Dalam tulisan itu,
Daiches juga mengulas secara amat ringkas bahasan Freud tentang Hamlet
yakni uraian karakter tokoh Hamlet dalam roman karya Shakespeare,
sebuah penjelasan mengapa Hamlet dalam cerita tersebut memiliki
karakater ganda. Di bagian akhir tulisannya Daiches menyinggung secara
sekilas teori Jung. Akan tetapi, yang pasti, Daiches tidak bermaksud
membicarakan teori psikonalisis secara khusus dan terperinci. Daiches
hanya menyinggung serba sedikit teori psikologi dan psikoanalisis.
Pada tahun 1940-an, Rene Wellek dan Austin Warren (1993: 90-
108)1 menyebutkan bahwa "psikologi sastra" paling tidak memiliki empat
1Buku Rene Wallek dan Austin Warren yang berjudul Theory of Literature untuk pertama kalinya terbit pada tahun 1948 di Amerika Serikat. Buku
7
kemungkinan pengertian. Pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai
tipe atau atau pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga
studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra,
dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi
pembaca). Wellek dan Warren mengatakan bahwa pengertian yang paling
relevan dengan studi sastra adalah pengertian yang ketiga, sedangkan
pengertian pertama dan kedua merupakan bagian dari psikologi seni.
Alasan Wellek dan Warren adalah bahwa psikologi pengarang dan proses
kreatif memang sering dipakai dalam pengajaan sastra, tetapi sebaiknya
asal-usul dan proses penciptaan sastra tidak dijadikan pegangan untuk
memberikan penilaian.
Dalam penjelasan berikutnya Wellek dan Warren justru lebih banyak
membahas sejarah kedudukan dan proses kreatif sastrawan. Memang,
Wellek dan Warren menyinggung teori psikoanalisis yang dikembangkan
oleh Freud dan beberapa keberatan terhadap teori tersebut dengan alasan
banyak sastrawan atau penyair tidak bersedia "disembuhkan" atau
menyesuaikan diri dengan norma masyarakat. Alasan yang dikemukan oleh
para penyair dan sastrawan jika harus menyesuaikan diri dengan norma
masyarakat akan mematikan kreativitas. Sebagai contoh W.H. Auden
bahkan mengatakan bahwa seniman boleh tetap menjadi neorotik untuk
memperta hankan dorongan-dorongan kreatifnya.
Lebih lanjut Wellek dan Warren menyebutkan beberapa tokoh yang
mencoba memperbaiki teori Freud seperti Horney, Fromm, dan Kardiner.
Nama-nama yang disebut terakhir ini mencoba memperbaiki dan
mengintegrasikan teori Freud dengan teori Marxisme dan teori-teori
antropologi. Akan tetapi, Wellek dan Warren tidak menjelaskan lebih lanjut
perbaikan teoretik yang dimaksud oleh para neofreudian tersebut. Di
tersebut merupakan kumpulan tulisan dari kedua pengarang tersebut yang ditulis antara tahun 1941 hingga 1946.
8
samping itu, tulisan mereka belum sampai menjelaskan perkembangan lebih
jauh teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Lacan dan Derrida.
Namun demikian, Wellek dan Warren sempat menjelaskan lebih jauh
pengaruh C.G Jung yang mengembangkan teori psikoanalitis, yang dalam
hal ini disebut sebagai teori ketaksadaran kolektif yang bermuatan arketip,
dan sebagainya.
Di dalam salah satu karya Terry Eagleton (1983), terdapat sebuah
bab berjudul "Psychoanalysis" (151-193). Seperti dapat dilihat, Eagleton
secara eksplisit hanya menggunakan kata psikoanalisis, karena ada
perbedaan yang cukup mendasar dengan psikologi sastra. Dalam beberapa
hal psikologi sastra lebih dimaksudkan sebagai teori yang menjelaskan
perkembangan karakter tokoh yang mempengaruhi perkembangan plot
sebuah cerita. Sementara itu, psikoanalisis merupakan teori yang secara
khas yang bukan semata-mata mempersoalkan perkembangan psikologis
tokoh cerita. Dengan keterangan yang cukup ringkas dan padat Eagleton
menjelaskan teori psikoanalisis Freud, Lacan, dan Derrida. Akan tetapi,
Eagleton tidak secara khusus mempersoalkan resepsi yaitu hubungan antara
teks dan pembaca. Dalam keterangan yang tidak jauh berbeda, sebuah buku
yang disunting oleh Ann Jefferson dan David Robey (1987), Elizabeth
Wright menyumbang sebuah tulisan berjudul "Modern Psychoanalysis
Criticism" (1987: 145-165). Secara umum tulisan Wright tidak jauh berbeda
dengan tulisan Eagleton. Akan tetapi, Wright secara lebih luas
membicarakan beberapa gagasan Lacan tentang psikoanalisis struktur
ketaksadaran-bahasa dan juga menyinggung masalah-masalah yang
berkaitan dengan hubungan pembaca dan teks.
Karya psikoanalisis yang membicarakan kaitan pembaca dan teks
adalah karya Norman Holland yang terbit tahun 1975 (Wright, 1987: 148-
149; Selden, 1991: 129-130). Dalam buku ini Holland menjelaskan dalam
perspektif psikologi-id dan ego yang sebelumnya telah dikembangkan oleh
9
Ernst Kris yang ditulisnya pada tahun 1964 (Wright, 1987: 148). Dalam hal
ini Holland melihat hubungan imajinasi- id dan pertahanan-ego sebagai
makna terpenting dari kesusastraan yakni terjadinya transformasi keinginan
dan kebimbangan pembaca yang tidak disadari oleh pembaca terhadap
makna-makna yang dapat diterima oleh kebudayaan si pembaca.
Buku lain yang secara khusus membicarakan masalah psikoanalisis
dan sastra adalah karya Max Milner yang berjudul Freud et l'interpretation
de la litterature (1980) (terjemahan dalam bahasa Indonesia Freud dan
Interpretasi Sastra, oleh Apsanti Ds, dkk. 1992). Seperti segera diketahui
dari judul buku, buku Milner secara rinci hanya membicarakan teori
psikoanalisis Freud. Buku ini sama sekali tidak menyinggung
perkembangan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh para pengikut
Freud seperti Lacan atau Derrida.
Ada beberapa ahli sastra lain yang mengembangkan teorinya lebih
karena pengaruh teori Freud. Contoh yang paling menonjol yang perlu
disebutkan adalah J. Kristeva (1980, 1986). Sebagai seorang psikoanalis
Kristeva mengembangkan beberapa gagasan teori feminisme yang
bersumber dari Freud dan Lacan. Kristeva banyak mengadopsi teori Freud
yang berkaitan dengan filsafat feminis untuk keperluan-keperluan yang
sifatnya ideologis dan politis. Memang ada persoalan tersendiri ketika
Kristeva mengembangkan teori Freud yang patriakal tersebut. Akan tetapi,
walaupun penting dan menarik teori Kristeva tentang feminisme tidak
dibicarakan secara khusus dalam kajian ini. Teori Kristeva hanya akan
disinggung sebagian saja khususnya teori-teori intertekstual yang secara
langsung berhubungan dengan teori- teori psikoanalisis.
Beberapa buku lain yang sepantasnya perlu disinggung adalah karya
Holland dan Bleich (Selden, 1990: 218-221; 1991: 129-132). Kedua orang
ahli sastra ini mencoba menerapkan pendekatan psikologi sastra dalam
proses pembacaan. Dalam buku itu Holland menerapkan beberapa teori
10
psikoanalisis Freud terutama konsep "identitas pertama", khususnya ketika
anak-anak membaca karya sastra. Dalam hal ini Holland menekankan
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara identitas pembaca
dengan teks sastra. Berbeda dengan Holland, Bleich berargumen tentang
terjadinya pergeseran antara paradigma objektif ke paradigma subjektif
dalam menempatkan pemaknaan karya sastra. Yang dimaksud oleh Bleich
tentang pergeseran paradigma tersebut adalah bahwa pada dasarnya
pengetahuan itu bukan ditemukan, tetapi dibuat oleh manusia. Objek
pengamatan bisa berubah bukan karena objek itu sendiri, tetapi lebih-lebih
oleh laku pengamatan, oleh keperluan komunitas manusia itu sendiri.
Walaupun Bleich tidak secara ketat berpegang pada teori psikoanalisis,
tetapi dalam banyak hal ada kesenadaan khusus antara teori yang
dikembangkannya dengan psikoanalisis.
Tulisan Jauss (1974, 1982), Iser (1987, Cet I 1978), dalam batas-
batas tertentu dapat dikatakan buku/tulisan yang membicarakan psikologi
resepsi. Jauss membangun teori perubahan "selera pembaca" berdasarkan
konteks perubahan sejarah. Di samping itu, teori Jauss yang terkenal adalah
teori tentang horison harapan. Dalam hal ini Jauss menjelaskan adanya
perbedaan horison harapan pembaca yang dikondisikan dan disesuaikan
oleh situasi sosial, politik, dan budaya zaman orang yang membaca karya
sastra. Iser membangun teori yang dikenal dengan teori jenis-jenis
pembaca. Dalam hal ini, Iser membedakan pembaca implisit dan pembaca
nyata. Yang lebih penting dari itu adalah bahwa teori yang ditawarkan oleh
Jauss maupun Iser mengandaikan suatu konteks subjektivitas pembaca.
Walaupun tidak secara eksplisit buku tersebut dapat mengarah pada
pembicaraan psikoanalisis karena konteks subjektivitas pembaca sangat
berhubungan dengan teori-teori psikologi, psikoanalisis khususnya.
Pada tahun 1985 Darmanto Jatman mengeluarkan buku berjudul
Psikologi, Sastra, dan Masyarakat. Dari judul buku segera diketahui bahwa
11
buku ini membicarakan psikologi dan sastra secara agak "terpisah". Jatman
tidak membicarakan secara khusus kemungkinan psikologi sastra sebagai
satu acuan tersendiri yang utuh dan komprehensif. Buku ini membicarakan
kedudukan psikologi dalam sastra di tengah masyarakat, dan sebaliknya.
Ada tesis yang memakai teori psikoanalisis yaitu tesis I Nyoman
Suarjana yang berjudul Analisis Unsur-Unsur Bawah Sadar Novel Pabrik
Berdasarkan Teori Psikoanalisis (1998). Akan tetapi, dari judul tesis
tersebut dapat dipahami bahwa tesis tersebut tidak membicarakan
psikoanalisis sastra sebagai pembicaraan khusus, tetapi lebih pada praktik
teori psikoanalisis dalam mengkaji karya sastra. Tesis ini bergerak
sepenuhnya dalam teori psikoanalisis Freud, walaupun ada beberapa
kelemahan mendasar. Pertama, sesungguhnya istilah baku yang dipakai
dalam teori psikoanalisis bukan bawah sadar (the subconscious), tetapi
taksadar, ketaksadaran (unconcious). Memang, pada awalnya Freud sendiri
pernah beberapa kali memakai istilah subconcious sebagai pengaruh
psikologi yang berkembang pada abad ke-19. Akan tetapi, sejak Freud
menulis The Interpretation of Dreams pada tahun 1890 (diterbitkan pada
tahun 1900), Freud telah menggunakan kata unconcious (1983). Kedua,
tesis ini tanpa penjelasan dan analisis yang memadai hanya menjaring
unsur- unsur "bawah sadar" dalam novel Pabrik dengan cara mencocok-
cocokkan tanda- tanda yang secara eksplisit ditunjukkan oleh novel
tersebut.
Pada tahun 1998, Wright kembali mengeluarkan buku dengan judul
Psychoanalytic Criticism A Reappraisal. Walaupun pada dasarnya Wrigth
telah menulis masalah kritikisme psikoanalisis jauh sebelumnya dalam
berbagai tulisan (dalam Jeferson dan Robey, 1982; dan Wright, 1992),
namun tampaknya buku ini merupakan elaborasi dari berbagai tulisan
Wright yang relatif paling lengkap. Wright mengulas penerapan
perkembangan teori psikoanalisis terhadap karya sastra mulai dari periode
12
klasik (akhir abad ke-19) yang identik dengan teori psikoanalisis Freud,
kemudian psikologi-id ala Bonaparte, kritik psikonalisis posfreudian
(psikologi-ego) seperti yang diperlihatkan oleh Kris, Lesser dan Holland.
Setelah itu, Wright menjelaskan konsepsi psikoanalisis Jungian (psikologi
analitis) yang secara khusus dikenal dengan teori ketaksadaran kolektif.
Dalam bab-bab berikutnya Wright menjelaskan apa yang dimaksud dengan
teori psikoanalisis struktural, psikonalisis posstruktural, hubungan
psikoanalisis dengan ideologi dan feminisme (kritik psikoanalisis feminis).
Walaupun tidak secara khusus, dalam beberapa penjelasannya Wright
mempersoalkan hal-hal yang berkaitan dengan konteks resepsi pembacaan
karya sastra.
5. Kerangka Teori
Dalam sebuah tulisannya Culler ( 1983: 178) mengatakan bahwa pada
dasarnya sebuah penelitian psikoanalisis biasanya memilih sebuah cerita
sebagai model penjelasannya. Berdasarnya cerita yang akan dijelaskan
tersebut, kerangka teori yang relevan dimanfaatkan sejauh dapat
menjelaskan cerita yang akan diteliti tersebut. Namun demikian, kajian ini
secara khusus tidak membicarakan sebuah model cerita yang
mengeksplanasi teori psikoanalisis. Kajian ini hanya membicarakan
perkembangan teori psikoanalisis. Penyebutkan contoh sejauh pernah
dibicarakan oleh para pakar dalam menjelaslan praktik teori
psikoanalisisnya.
Tegasnya, penelitian ini justru bermaksud "merangkai", atau jika
mungkin "mensintesiskan" kerangka teori psikoanalisis sastra secara lebih
terpadu. Dengan demikian, secara keseluruhan tesis ini seperti "menulis
ulang" kerangka teori psikoanalisis untuk keperluan studi sastra. Dalam
subbab ini perlu dijelaskan "alur" fokus kerangka teori yang akan dibangun
tersebut.
13
Seperti telah disinggung pada penjelaskan sebelumnya, beberapa
buku awal yang mencoba memakai teori psikoanalisis lebih memfokuskan
dirinya pada penjelasan psikologis proses penciptaan karya sastra. Yang
dimaksud dengan psikoanalisis klasik adalah teori psikonalisis yang
sepenuhnya identik dengan teori yang dikembangkan oleh Freud,
khususnya yang berkaitan dengan teori id, ego, dan superego, konsep
represi, neorosis, teori mimpi, asosiasi bebas, insting seksual, maupun teori
kesadaran dan ketaksadaran. Dalam hal ini, perlu dijelaskan bahwa pada
periode pembentukan teori psikoanalisis hingga sampai pada bentuk yang
definitif, proses penemuan teori tersebut secara internal melalui tiga periode
yaitu periode pertama (1895-1905) yang disebut periode terbentuknya teori
psikoanalisis; periode kedua (1905-1920) yakni periode pendalaman teori
psikoanalisis; dan periode ketiga (1920- 1937) periode revisi teori
psikoanalisis (Bertens, 1979: xvi-xxxvii). Beberapa pengikut setia Freud,
seperti Kris memakai kerangka teori Freud walau dengan beberapa
"rumusan" baru yakni dengan mengembangkan teori psikologi-ego. (Lebih
rinci akan dibicarakan pada bab II dan III).
Pada periode internal kedua (1905-1920), teori psikoanalisis
menghadapi tantangan yang signifikan terutama teori yang dikembangkan
Jung. Dalam hal ini Jung memperkenalkan apa yang dimaksud dengan
ketaksadaran kolektif, amplifikasi, dan archetypal images. Dalam hal ini
sebetulnya Jung lebih layak untuk ditempatkan secara tersendiri mengingat
beberapa hal dari teori yang dikembangkannya sudah bergeser dari teori
Freud, bahkan dalam beberapa hal justru bertentangan. Akan tetapi, kajian
ini untuk sementara mengabaikan perbedaan tersebut dengan mencoba
melihat beberapa titik kesamaan yang masih dimungkinkan, khususnya
berkaitan dengan teori ketaksadaran.
Karya tahap berikut yang memberikan sumbangan berharga pada teori
psikoanalisis Freud adalah karya Lacan dan Derrida. Lacan
14
mengembangkan teori psikoanalisis karena pengaruh teori linguistik
struktural Saussure (1857-1913) dan struktur alisme Levi Strauss. Seperti
dijelaskan kemudian Lacan mengembangkan teori ketaksadaran bahasa, dan
secara "filosofis" masih termasuk dalam psikoanalisis struktural, seperti
dapat dilihat dalam buku Lacan. Sumbangan terpenting dari Lacan adalah
konsep hubungan bahasa dan ketaksadaran yaitu bahwa ketaksadaran
merupakan realitas yang terstruktur, atau ketidaksadaran itu terstruktur
seperti bahasa yang dapat ditemukan dalam karya seni maupun dalam
kehidupan sehari-hari (Lacan, 1977: 49,59). Dalam banyak hal teori yang
dikembangkan oleh Lacan menampakkan dirinya bahwa pada dasarnya
teori psikoanalisis, dari awalnya, telah memberi tanda- tanda ke arah teori-
teori posstruktural.
Sementara itu, sumbangan terpenting dari Derrida, yang secara tidak
langsung berguru kepada Lacan, adalah konsep tentang dekonstruksi yang
sebagian besar teori tersebut berangkat dari teori psikoanalisis. Seperti
diakui sendiri oleh Derrida, yang diperoleh Derrida dari pembacaannya atas
Freud tidak hanya dekonstruksi terhadap teks-teks Freud melainkan juga
suatu refleksi-diri atas aktivitas dekontruksi itu sendiri. Temuan Freud atas
ketaksadaranlah yang telah memberi jalan kepada penemuan teori
dekonstruksi tekstual maupun bagi dekonstruksi mode penemuan tersebut.
(Wright, 1998: 121). Dengan teori dekontruksi, Derrida memasuki satu
tahap tersendiri apa yang biasa disebut sebagai psikoanalisis posstruktural.
Istilah (psikoanalisis) posstruktural, dan dalam sisi lain pos-
modernisme, tentu tidak harus semata-mata dikaitkan dan berkat jasa
Derrida. Karena Ritzer (1997: 26), misalnya, mengakui bahwa teori yang
dikembangkan oleh Freud menjadi instrumen penting bagi tumbuhnya
posstrukturalisme, dan dalam banyak tema-tema posmodernisme kita akan
banyak menemukan teori Freud. Di antara teori-teori yang dikembangkan
Freud, yang membawa kita pada pemahaman posmodernis, karenanya telah
15
membuktikan kepada kita bahwa posmodernisme melihat kegagalan
masyarakat modern dalam memenuhi janji-janjinya, karena memarginalkan
fenomena- fenomena yang dalam perhatian dan interpretasi Freud justru
dianggap penting. Sebagai konsekuensi dari pernyataan tersebut teori
psikoanlisis tidak hanya mampu menjelaskan fenomena kegagalan
masyarakat modern beserta kesusastraannya, tetapi lebih jauh teori
psikoanalisis sangat antisipatif terhadap kecenderungan masyarakat
posmodern maupun fenomena kesusastraannya.
Pada sisi lain, penegasan Lowenthal penting dikemukakan.
Lowenthal mengatakan bahwa psikologi memberikan ikatan yang
memungkinkan estetika menjadi disiplin. Secara tegas Lowenthal
mengatakan bahwa "without a psychology of art, without the study of the
uncounscious stimulans that are involved in the psychological triangle of
writer, literature, and recipient, there is no poetic aesthetics" (dicatat
Holub, 1984: 46). Menurut Lowenthal, psikologi Freudian menjadi
penolong yang penting sekali untuk menangani sosiologi resepsi, untuk
mengkaji "the problem of the relationship between work and recipient, a
problem that until now has been repeatedly pushed into the backgroud."
Kajian ini tentu tidak membicarakan semua pasikologi resepsi yang
dikembangkan oleh para ahli tersebut. Dalam kesempatan ini hanya diambil
beberapa hal yang secara langsung berhubungan dengan teori psikoanalisis.
Berbagai kritik sastra, seperti dikatakan Culler (1983: 16) pada
akhirnya adalah suatu proyek yang secara keseluruhan meliputi penafsiran,
karena memilih fakta yang memerlukan penjelasan saja sudah termasuk
kegiatan penafsiran, sebab kegiatan itu sudah memperlihatkan
pengelompokan deskriptif dan pengorganisasian menjadi teori. Demikian
pula psikoanalisis, ujung-ujung dari pemahaman psikoanalisis terhadap
karya sastra adalah upaya-upaya memberi makna dalam berbagai konteks
dan relasinya, apakah dalam konteks karya sasra sebagai mimetik, sebagai
16
olah kreativitas sastrawan, makna karya sastra itu sendiri, maupun dalam
hubungannya dengan pembaca. Itu artinya, bagaimanapun juga
psikoanalisis menempatkan karya sastra sebagai satu satuan sistem tanda.
Bagi psikoanalisis karya sastra adalah sesuatu yang menandakan dan
sekaligus menyimbolkan sesuatu. Dalam tataran ini bagaimanapun juga
teori semiotik merupakan bagian yang inheren dan integratif dengan teori
psikoanalisis yang akan dibicarakan dalam kajian ini.
Berdasarkan pertimbangan praktis, kajian ini tentu tidak bermaksud
membahas berbagai polemik yang terjadi seputar beberapa perbedaan
semiotik seperti perbedaan perspektif antara konsep semiotik struktural
yang dibangun oleh Saussure dengan konsep semiologi pragmatis Peirce
(1839-1914). Kajian ini hanya mengambil titik-titik kesamaan teori
semiotik yang dikembangkan oleh kedua pelopor semiotik tersebut, yaitu
suatu teori yang menjelaskan bahwa pada dasarnya "kata-kata adalah tanda-
tanda", suatu teori yang menjelaskan bahwa sesuatu hal mewakili sesuatu
hal yang lain.
Dalam sebuah penjelasannya Freud (1979) mengatakan bahwa
sesungguhnya teori psikoanalisis lebih sebagai seni interpretasi. Itulah
sebabnya, Freud mengatakan bahwa psikoanalisis dapat dipahami dalam
tiga cara. Pertama, pada awalnya psikoanalisis memang merupakan sebuah
terapi atau suatu metode psikoterapeutik. Dalam hal ini, psikoanalsis
dipakai untuk mengobati pasien neorotis. Kata mengobati memang ada
kesan kata yang digunakan dalam pengertian medis, obat-obatan. Akan
tetapi, sebetulnya kata itu sepenuhnya digunakan dalam cakrawala bahasa,
yaitu percakapan analis dengan pasien.
Kedua, psikoanalisis dipahami sebagai metapsikologi. Sebagai
metapsikologi, psikoanalisis adalah suatu teori dinamis tentang naluri-naluri
yang didasarkan atas suatu topografi dan suatu pandangan ekonomis. Akan
tetapi, yang perlu digarisbawahi dalam konteks ini adalah "kerjasama" atau
17
dinamika antara naluri-naluri tapografis dan ekonomis melahirkan
"sublimasi" tertentu yaitu pemindahan energi psikis yang bersifat seksual ke
tujuan-tujuan yang lebih mulia, seperti kesenian, kesusastran, atau kegiatan-
kegiatan intelektual
Ketiga, bagaimanapun psikoanalisis adalah suatu cara penafsiran,
suatu herme neutika. Pemahaman ini dikembangkan oleh Freud terutama
berkaitan dengan tafsir mimpi. Psikoanalisis sebagai seni penafsiran inilah
yang membuka kemungkinan untuk menemukan makna baru yang
sebelumnya tidak disadari. (Lebih lanjut akan dijelaskan pada bab II). Dari
ketiga cara memahami psikoanalsis tersebut, Freud menegaskan bahwa
dalam pratiknya ketiga cara pandang tersebut berkerja bersama- sama,
sebagai satu kesatuan.
Psikoanalisis sangat berhubungan dengan fenomena kebahasaan
sebagai sistem tanda yang harus diinterpretasikan lebih lanjut. Seperti
diketahui, walaupun Freud (1953a) tidak secara eksplisit menyebut metode
tafsirnya adalah semiotik, tetapi cara kerjanya dalam menafsirkan mimpi,
misalnya, persis sama dengan cara kerja semiotik. Freud yakin bahwa
fenomena mimpi adalah suatu tanda yang menandakan sesuatu yang lain.
Secara panjang lebar Freud membuktikan teorinya tersebut bukan saja
terhadap mimpi sendiri dan para pasiennya, tetapi terhadap cerita Jensen
yang berjudul Gradiva.
Itulah sebabnya, sehubungan dengan keterangan tersebut, secara
eksplisit Zoest (1993: 140) dan Storey (1993: 85) menyebutkan bahwa dari
awalnya Freud adalah seorang semiotikus ketika untuk pertama kalinya
Freud tertarik mempelajari kesalahan ucapan (the slips of the tongue) pada
seorang manusia, yang mana kesalahan tersebut sebelumnya dianggap
kesalahan manusiawi belaka. Freud yakin bahwa apapun yang berkaitan
dengan fenomena kebahasaan manusia pastilah menandakan sesuatu yang
perlu ditafsirkan lebih jauh. Zoest secara eksplisit menyebutkan pada cara
18
kerja seperti itu disebut semiotika psikologi, bahwa pada dasarnya manusia
adalah makhluk semiotik. Dengan dan dalam berbahasa setiap manusia
memiliki dorongan semiotis, bukan saja dalam rangka kehadirannya
dipahami manusia lain, tetapi juga dalam rangka ia memahami orang lain.
Secara khusus, ide Freud yang berkaitan dengan karya sastra adalah
bahwa bagi Freud (1953b) teks sastra adalah sesuatu yang menampakkan
dirinya melalui proses yang rumit, melalui pertarungan yang panjang antara
alam id dan superego dalam alam tak sadar, dan teraktualisasikan dalam
ego. Proses-proses ketaksadaran tersebut menyingkapkan dirinya sendiri
dalam aksi-aksi, kata-kata, dan imaji-imaji mental yang maknanya dapat
dipelajari berdasarkan tafsir psikoanalisis. Salah satu yang mendorong
berbagai muatan dalam alam tak sadar ke kesadaran (ego) tersebut adalah
energi dinamis, utamanya faktor-faktor seksual. Akan tetapi, karena
dorongan tersebut ditekan oleh kebudayaan menyebabkannya tersimpan
dalam ketaksadaran sehingga ada saat-saat berbagai dorongan tak sadar
tersebut menampakkan dirinya dalam kehidupan sehari-hari, apakah berupa
mimpi, kelakar, atau bahkan pada sisinya yang lain adalah kerja-kerja mulia
yang menyebabkan berkembangnya peradaban, seperti karya seni,
arsitektur, kesusastraan, dan sebagainya.
6. Metode Penelitian
Kajian ini secara langsung mengarah pada satu penjelasan deskriptif
yang berkaitan dengan psikoanalisis yang sepenuhnya mengacu pada
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif mengisyaratkan metode kualitatif.
Bogdan dan Taylor (Moleong, 1995: 3) mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan metode kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang berdasarkan
dan menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis (atau lisan).
Secara umum seharusnya penelitian kualitatif menggunakan analisis
secara induktif. Akan tetapi, karena kajian ini tidak berangkat dari sebuah
19
hipotesis, di samping juga tidak bermasud menganalisis data-data mentah
yang masih perlu diolah, maka kajian ini ditulis secara deduktif dengan
melakukan beberapa sintesis terbatas. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
penulisan deduktif adalah tulisan lebih bersifat uraian yang tidak memfokus
pada satu titik persoalan yang mengarah pada pembuktian kebenaran
teoretik, tetapi lebih pada uraian-uraian yang menyebar dalam kerangka
persoalan inti yang coba dikembangkan. Sementara itu, yang dimaksud
dengan sintesis terbatas adalah upaya melakukan sintesis pada beberapa
konsep teoretik yang dianggap memiliki kesenadaan tertentu sesuai dengan
fokus pembica- raan secara keseluruhan.
7. Prinsip Dasar Teori Psikoanalisis Freud
Freud (lahir di Freiberg pada tahun 1856 dan meninggal di London
tahun 1939) memulai karir psikoanalitisnya pada tahun 1896, setelah
beberapa tahun Freud buka praktik dokter. Karena setelah beberapa tahun ia
menjadi dokter Freud tidak pernah merasa puas dengan cara ia mengobati
pasien, Freud berpikir untuk merubah cara pengobatan pasien. Jika selama
menjadi dokter ia mencoba melakukan terapi medis, Freud berpikir
melakukan semacam upaya psikoterapeutik untuk sebagian besar pasienya
yang ternyata lebih banyak mengalami tekanan jiwa. Terapi itu disebutnya
sebagai psikoanalisis.
Prinsip terapi yang dilakukan Freud adalah dengan cara mengajak
pasien bercakap-cakap, melakukan dialog secara terbuka dan prisip asosiasi
bebas (free association), dan itu mau tidak mau sepenuhnya dilakukan
lewat dan dalam bahasa. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan prinsip
asosiasi bebas adalah teknik memberikan beberapa kata rangsangan kepada
pasien dan pasien diharapkan memberikan reaksi spontas secara bebas
terhadap kata-kata rangsangan tersebut. Misalnya, kata "pintu" akan
menimbulkan kata reaksi "kunci", kata "ayah" akan menimbulkan kata
20
reaksi "jahat" dan sebagainya. Dengan memperlajari beberapa kata reaksi
tersebut, dapat diketahui masalah pasien yang barangkali oleh si pasien
sendiri tidak disadari. Akan tetapi, dalam beberapa hal cara ini belum
memuaskan Freud karena banyak aspek ketidaksadaran yang tidak terkorek
sehingga penyembuhannya pun kurang memuaskan. Dari cara asosiasi
bebas, Freud mencoba cara hipnotis yaitu teknik tertentu untuk menjadikan
pasien setengah sadar atau berkurang kesadarannya sehingga lebih mudah
untuk melihat alam ketidaksadaran pasien. Untuk cara ini Freud belajar
kepada Charcot di Paris selama satu tahun. Dala kesempatan itu Freud juga
berguru kepada Joseph Breuer, yang kebetulan juga guru Charcot. Akan
tetapi, cara hipnotis pun ternyata tidak memuaskan Freud karena eksplorasi
ketidaksadaran pasien tidak maksimal sehingga diagnosis yang diberikan
juga tidak memuaskannya.
Dalam proses lebih lanjut dari penelitiannya itulah Freud mulai
mempelajari mimpi, yaitu sesuatu yang secara naluriah terjadi karena ada
yang ditekan dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang ditekan tersebut
membutuhkan penyaluran secara "alami" sehingga Freud merasa yakin
mimpi pasti mewakili atau menandakan sesuatu. Berdasarkan kajian Freud
tentang mimpi ia menulis buku The Interpretation of Dreams (1890), yang
mana buku tersebut pada akhirnya diterbitkan pada tahun 1900.
Dalam buku tersebut, Freud memperkenalkan beberapa istilah
seperti kompleks Oidipus, insting seksual, resistensi, sehingga banyak
pembaca yang mempelajari secara serius sering salah paham dengan
penjelasan yang ditawarkan Freud tersebut. Itulah sebabnya, pada mulanya
teori psikoanalisis yang dikembangkan Freud sama sekali tidak menarik
perhatian, bahkan secara relatif tidak banyak yang membicarakannya. Freud
tidak pernah berputus asa, ia terus meneliti dan menulis.
Pengalaman Freud berhadapan dengan para pasiennya, yang sebagian besar
adalah pasien-pasien neorotis, menyebabkan Freud mengembangkan suatu
21
pendekatan yang berpusat pada subjek. Pendekatan ini menekankan pada
suatu interpretasi tentang manusia. Dengan demikian, terjadi pergeseran
besar dalam diri Freud yang sebelumnya cenderung positif-objektif menjadi
hermeneutis-subjektif. Pendekatan interpretatif inilah yang sekarang sering
dinamakan dengan hermeneutik. Sayang, waktu itu jika Freud menuliskan
pemikirannya lebih dianggap seagai fiksi daripada sebuah tulisan ilmiah.
Berdasarkan renungan, penelitian, dan pemikirannya berhadapan
dengan manusia (pasien) maupun masyarakat, pada akhirnya Freud
mencoba merumuskan apa yang dimaksud dengan pribadi manusia. Salah
satu penemuan Freud yang terbesar adalah konsep ketidaksadaran.
Memang, bukan berarti konsep ketaksadaran yang dikembangkan oleh
Freud seperti jatuh dari langit. Karena jauh sebelumnya dunia ilmu
pengetahuan sesungguhnya sudah mengenal apa itu kesadaran yaitu suatu
kehidupan psikis manusia. Akan tetapi, di tangan Freud pengertian itu
menjadi berubah ketika ia mengatakan bahwa ketidaksadaran dalam diri
manusia seperti gunung es yang justru sebagian terbesarnya ada di bawah
permukaan laut yang tidak dapat ditangkap dengan indera. Dalam hal ini
tampaknya namanya mengandung sesuatu yang negatif, tetapi realitasnya
sungguh positif. Konsep Freud tentang ketakdaran inilah merubah
pandangan kita tentang manusia. Namun begitu, Freud bukan berarti
seorang yang steril dari wacana keilmuan yang sedang berkembang pada
abad ke-19 itu. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam tradisi positif-
objektif dengan sejumlah prasangka ilmiah, psikoanalisis Freud semakin
menambah kayakinan bahwa tidak ada perbuatan-perbuatan yang tidak
mempunyai penyebab, semua prilaku yang mempengaruhi manusia ada
penyebabnya (the principle of psychic determinism) meskipun mungkin
dilakukan secara tak sadar, segala sesuatunya ada diterminasinya (Strean,
1979: 17).
22
Menurut Freud pada dasarnya pribadi/psike manusia (aparat psikis)
terdiri dari tiga segi yang penting yaitu apa yang disebutnya dengan segi
dinamis, ekonomis dan topografis (Wright: 1998: 9). Akan tetapi, Strean
(1979: 18-34) membagi ke dalam lima aparat yaitu struktural, topografis,
genetik, dinamis, dan ekonomis. Namun demikian, penulis cenderung
melihatnya ke dalam empat aparat, karena konsep struktur yang dimaksud
akan lebih sesuai jika dipahami sebagai stuktur aparat dalam konteks
topografis.
Dari segi dinamis manusia sesungguhnya mempunyai energi yang
diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu, sering kali juga tanpa disadari.
Istilah dinamis dapat pula dimaksudkan bahwa pada dasarnya psike
manusia terus berubah, melakukan dinamisasi internal dan eksternal sesuai
denga perkembangan kepribadian seseorang. Hal itu terjadi karena berbagai
perkembangan pengalaman seseorang dalam menghadapi realitas
kehidupannya. Segi dinamis ini juga mendeskripsikan konflik yang terjadi
dalam pikiran antara impulsi-impulsi tidak sadar yang berjuang mencapai
pelepasan berhadapan dengan kekuatan represi yang sedapat mungkin
memaksa dorongan tak sadar tersebut tidak muncul sebagai aktualitas
kesadaran.
Dari segi ekonomis, energi psikis itu hanya tersedia dengan kuantitas
yang sangat terbatas. Karena keterbatasan tersebut, tanpa disadari energi
psikis yang pada dasarnya bersifat dinamis tersebut mengolah sendiri untuk
mencukupi kebutuhan- kebutuhan diri manusia yang terus bertambah. Di
samping itu, segi ekonomis ini mempertimbangkan distribusi dan sirkulasi
energi atau eksitasi kejiwaan yang dihubungakan dengan ide-ide tertentu,
objek-objek tertentu, atau bagian-bagian tubuh tertentu. Cara kerjanya
melalui kompensasi dan pertukaran, persis berdasarkan perhitungan
ekonomi yang kita kenal.
23
Dari segi topografis manusia terdiri dari subsistem-subsistem menurus
sebuah metafora spasial. Pertama sistem prasadar, sadar, dan tak sadar.
Subsistem prasadar adalah bidang yang berhubungan dengan memori dan
segala yang dapat dimaksukkan melalui bahasa. Subsistem sadar adalah
bidang persepsi suatu bentuk kesadaran mengenai dunia eksternal, dan
subsisten taksadar adalah bidang penyensoran yang diambil dari
pengetahuan sadar dan prasadar. Kedua, secara struktural manusia memiliki
sistem id, ego, dan super-ego (hal ini akan diuraikan secara tersendiri).
Sementara itu, istilah genetis tidak dipahami dalam pengertian keturunann
atau biologis, tetapi lebih dipahami dalam asal-usul, atau kejadian, atau
fenomena men tal, yang secara keseluruhan berupa pengalaman, yang
dialami oleh manusia, yang secara keseluruhan membentuk pribadi dan
karakter manusia.
Hal yang perlu dipahami berkaitan dengan aparat psikis ini adalah
niat Freud untuk mensejajarkan teori psikonalisis dengan ilmu pengetahuan
alam pada umumnya. Artinya, dengan teori itu diharapkan psikonalisis
mampu mencari hukum-hukum umum yang berhubungan dengan gejala
psikis manusia. Freud yakin dengan rumusan teoretik itu psikoanalisis
memiliki sarana-sarana teknis untuk membongkar represi terhadap ingatan,
misalnya. Di samping itu, dengan rumusan teoretik seperti itu psikonalisis
mampu mempergunakan sarana itu sebagaimana halnya seorang ahli fisika
bekerja dengan berbagai eksperimennya (S.E. vol. XXIII: 196-197).
8. Id, Super-ego, Ego
Teori dasar Freud yang paling penting untuk dipahami adalah
teorinya tentang sistem psike topografis manusia yang terdiri dari id, ego,
dan super-ego. Id adalah suatu energi awal yang terdapat dalam diri
manusia yang selalu menuntut untuk dipuaskan/disalurkan. Energi ini
dinamakan prinsip kesenangan (pleasure principle). Tujuan dari prinsip
24
kesenangan ini adalah untuk membebaskan orang dari ketegangan, atau
paling tidak upaya-upaya mengurangi ketegangan, sehingga upaya-upaya
untuk mencapai kesenangan itu sekaligus untuk menghindari penderitaan.
Menurut Freud upaya untuk mendapatkan kesenangan itu adalah suatu
kecenderungan yang universal dalam diri setiap makhluk hidup, khsusunya
manusia.
Dalam hal ini, mengapa Freud menyebutnya sebagai energi awal,
karena proses untuk belajar menghindari penderitaan, untuk mendapatkan
kesenangan, sudah dimulai sejak bayi. Ketika bayi, banyak bayi terpaksa
belajar dari berbagai kegagalannya untuk mendapatkan kesenangan, karena
kehendak dan peraturan orang tua (represi kebudayaan), sehingga bayi
secara disadari atau tidak mengalami frustasi. Penderitaan bayi yang tidak
terpenuhi rasa senangnya akan reda dengan sendirinya jika keinginannya
terpenuhi. Tahap frustasi ini oleh Freud disebut proses primer. Frustasi
dalam proses primer ini akan selalu dibawa oleh bayi hingga ia menjadi
manusia dewasa. Freud juga yakin bahwa pengalaman-pengalaman yang
terjadi sejak bayi secara umum akan menjadi simpanan-simpanan yang
tetap dalam id. Itulah sebabnya, is sering mempertahankan sifat kekanak-
kakannyanya kelak sebagai manusia.
Akan tetapi, pada dasarnya id dengan prinsip kesenagannya itu tidak
pernah terpuasi. Sebagai naluri yang selalu ingin dipuaskan id tidak
memiliki nilai, etika, moral, dan dalam bentuknya yang lain sangat
irasional, asosial, serta mementingkan diri sendiri. Yang selalu dicapai id
adalah kesenangan dan kepuasan itu sendiri. Ada dua kemungkinan yang
dilakukan id, melakukan upaya-upaya untuk pemuasan maksimal, atau
menyerah kepada realitas ego. Artinya, dalam banyak hal id dapat dikontrol
oleh ego. Namun demikian, bagaimanapun juga id adalah suatu kenis
cayaan yang gelap dalam diri manusia, kita hanya dapat melihat gejala-
gejalanya saja.
25
Berkebalikan dengan id, super-ego adalah potensi atau energi rohani
yang mewakili alam ideal, realitas hati nurani, sesuatu yang bercita-cita ke
arah kesempurnaan. Super-ego adalah kekuatan moralitas dalam diri
manusia. Super-ego dipelihara oleh kebudayaan, lewat peran orang tua,
yakni ketika orang tua mengajarkan kepada anak tentang kebaikan,
kesalehan, mana yang baik dan mana yang buruk. Namun demikian, tidak
begitu berbeda dengan id, super-ego juga bekerja secara irasional. Lebih
jauh dapat dikatakan pada dasarnya super-ego mewakili ukuran- ukuran dan
cita-cita tradisional yang disampaikan orang tua, guru, ulama/pendeta,
polisi, dan sebagainya, kepada anak-anak. Dengan meletakkan perintah dan
kekuasaan orang tua dalam diri seorang anak, maka anak dapat menguasai
kelakuannya sesuai dengan keinginan orang tua (kebudayaan). Dalam hal
ini, walau super-ego dapat menghukum id (lewat aktualisasi ego), tetapi
kekuatan super-ego hanya bisa menghukum secara moral, tidak lebih dari
itu.
Ego adalah aktualitas kepribadian seseorang. Egolah yang mengatur
hubungan timbal balik antara seseorang dengan dunia. Dalam hal ini, ego
berkebalikan dengan id, jika id dikuasai prinsip kesenangan, ego justru
dikuasai prinsip kenyataan (reality principle). Namun demikian, ego bukan
hanya mengontrol id, tetapi juga mengatur super-ego. Jika ego mengalah
pada kekuatan id atau super-ego, maka akan terjadi ketidakseimbangan,
ketidakharmonisan. Akan tetapi, karena selalu ada tuntutan dari id dan
super-ego, menyebabkan manusia selalu dalam ketegangan. Pada dasarnya,
ego bukan berarti menghilangkan kemauan id, tetapi hanya menunda untuk
sementara waktu sambil mencari kenyataan. Proses ini disebut proses
sekunder yaitu upaya menemukan atau menghasilkan kenyataan dengan
cara-cara tertentu yang dikembangkan berdasarkan pikiran atau akal. Hal
inilah yang disebut dengan pemecahan soal atau pemikiran.
26
Perlu disebutkan bahwa pemikiran berkembang berdasarkan
keterangan-keterangan yang telah disimpan dalam sistem ingatan. Ingatan
diperkuat dengan membentuk asosiasi antara kenang-kenangan dan dengan
memperkembangkan suatu sistem penandaan yang dalam hal ini disebut
bahasa. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa keberadaan ego
merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungan, faktor genetis,
maupun proses-prose pertumbuhan secara wajar. Dapat disimpulkan bahwa
setiap orang memiliki potensi-potensi yang berbeda sesuai dengan
pengalaman-pengalamannya, pendidikan, maupun latihan-latihan.
Perlu digarisbawahi bahwa pada dasarnya tidak ada batas yang tegas di
antara ketiga sistem tersebut di atas. Nama-nama tersebut, tidak lebih hanya
sekadar nama- nama yang bisa jadi tidak berarti apa-apa jika dihadapkan
dalam diri manusia sesungguhnya. Nama-nama tersebut tidak lebih
penamaan itu sendiri berdasarkan suatu kecenderungan tentang berbagai
gejala manusia dan kemanusiaan. Dengan penamaan tersebut, paling tidak
ada upaya-upaya identifikasi agar usaha untuk memahami fenomana
manusia menjadi lebih mendekati "kepastian".
9. Dinamika Kepribadian Manusia
Menurut Freud, seluruh kegiatan dan aktivitas manusia digerakkan
oleh energi naluri (insticts). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan naluri
adalah suatu keadaan pembawaan yang menentukan arah proses-proses
rohaniah. Secara umum naluri memiliki sumber-sumber, maksud, tujuan,
dan dorongan-dorongan. Sumber-sumber naluriah antara lain bersifat
keperluan jasmaniah seperti rasa lapar, rasa haus, rasa kebutuhan seksual,
dan sebagainya. Karena kekuatan sumber naluriah ini manusia
mengarahkan aktivitasnya untuk mengatasi rasa lapar, haus, dorongan
seksual, dan sebagainya.
27
Dengan demikian, tujuan akhir dari kebutuhan naluriah itu adalah
meniadakan kebubuhan jasmaniah, yaitu jika lapas manusia akan makan,
jika haus manusia akan minum, dan seterusnya. Biasanya naluri manusia itu
bersifat konservatif karena tujuannya yang selalu sama dan berulang yaitu
untuk mengembalikan keadaan seseorang menjadi tenang karena
sebelumnya ada proses penegangan karena ada kebutuhan naluriah yang
belum terpenuhi. Freud mengatakan bahwa tempat naluri ada dalam id.
Itulah sebabnya, id sering dikatakan merupakan sumber asli dari energi
rohaniah.
Dalam hal ini, tentu saja naluri id tidak sepenuhnya dapat
memuaskan kebutuhahnnya karena id selalu dikontrol oleh super-ego dan
ego. Dalam kondisi tersebutlah id selalu mencari selah-selah alternatif
untuk memuaskan kebutuhannya, yaitu dengan fantasi atau perbuatan-
perbuatan tertentu. Jika penerobosan itu berhasil, maka rasionalitas dan ego
dalam keadaan terinternvensi. Gejala yang muncul ke permukaan adalah
gangguan bicara, menulis, mengingat, atau bahkan kehilangan
kontrol/hubungan dengan kenyataan.
Berkebalikan dengan id, ego tidak memiliki energi sendiri. Fungsi
ego justru pada rasionalitas dalam memuaskan id sehingga sebagian besar
kebutuhan id seolah tersalurkan. Proses-proses rasionalisasi tersebut
biasanya melalui proses identifikasi, yakni energi naluriah disediakan untuk
mengembangkan pikiran yang realistis (proses sekunder), yang diharapkan
menduduki tempat pada pemuasan keinginan secara khayal (proses primer).
Proses rasionalisasi ini adalah suatu pristiwa dinamis yang penting dalam
perkembangan kepribadian.
Dalam proses penyaluran id ke ego, seorang selalu mendapatkan
semacam ketakutan akan mendapatkan hukuman dari super-ego. Itulah
sebabnya, seorang anak untuk mendapatkan persetujuan dengan ukuran-
ukuran moral dari orang tuanya (kebudayaan) anak melakuan identifikasi
28
dengan ukuran moral tersebut. Akan tetapi, berlainan dengan identifikasi
dalam ego yang rasional dan realistis, dalam identifikasi terhadap super-ego
adalah identifikasi terhadap oarng tua yang "berkuasa". Seperti diketahui,
orang tua memiliki kekuasaan untuk menghukum dan memberikan
penghargaan kepada anak. Dalam konteks inilah super-ego juga dapat
memberikan penghargaan atau hukuman. Penghargaan dilakukan oleh ego-
ideal dan hukuman oleh hati-nurani. Dalam hal ini kekuatan ego-ideallah
yang mempu membawa manusia kekesempurnaan.
Id dan super-ego, walaupun sama-sama bekerja secara irasional,
merupakan kekuatan yang berlawanan. Jika super-ego sering memaksa ego
melihat atau memahami sesuatu bagaimana seharusnya dan bukan yang
sebenarnya, maka id memaksa ego untuk melihat dunia seperti yang
diinginkan oleh id. Itulah sebabnya, ego sering dikacaukan oleh kedua
kekuatan tersebut, sehingga tidak jarang karena dorongan yang terus
menerus ego sering bertindak irasional pula.
Dalam pelaksanaan tawar-menawar antara kekuatan id dan super-
ego, yang teraktualisasi dalam ego, tentu tidak seluruhnya berjalan dengan
lancar dan mulus. Hal tersebut terjadi karena setiap kekuatan memiliki
kateksis dan anti kateksisnnya sendiri-sendiri. Keberadaan kateksis (tenaga
pendorong) dan anti kateksis (tenaga penekan) ini ikut menentukan jalannya
proses tawar menawar di ataran dua kekuatan dalam diri manusia. Karena
pada tingkat lanjut akan berhubungan dengan sistem memori dalam diri
manusia. Artinya, mana yang perlu didorong untuk diingat-ingat dan boleh
dilakukan, dan mana yang ditekan dan harus dilupakan dalam kehidupan
manusia pada umumnya. Sebagai mana diketahui, energi ingatan manusia
pada dasarnya cukup lemah, apalagi jika berbagai ingatan selalu ditekan
dengan ingatan-ingatan baru sehingga lama-kelamaan jejak ingatan lama
semakin lemah dan terimbun-timbun. Dalam kasus ini jejak-jejak ingatan
29
yang tertimbum tersebut (kita menamaknanya lupa) dapat dihidupkan
kembali dengan mengulangi pengalaman.
Dalam proses tawar-menawar yang tidak berjalan dengan mulus
itulah dalam hal ini akan terjadi apa yang biasa disebut dengan frustasi.
Dalam hal ini frustasi dibagai dalam dua pengertian yaitu frustasi dalam
(internal frustration) dan frustasi luar (external frustration). Yang
dimaksud dengan frutasi dalam adalah suatu kegagalan yang disebabkan
rintangan dari dalam diri sendiri, sedangkan frustasi luar adalah keadaan
yang mengecewakan disebabkan ada kegagalan di luar kekuasaan orang
bersangkutan. Akan tetapi, karena proses kebudayaan yang selalu
merepresi, manusia lama kelamaan terbiasa frustasi sehingga sering tidak
lagi disadarinya. Berbagai keinginan dan kemauan yang tertekan tersebut,
secara tidak disadari mengalami peredaan terutama ketika manusia tidur,
misalnya dengan mimpi.
10. Psikoanalisis Freud dan Sastra
Berbagai keterangan di atas adalah upaya menjelaskan sosok
manusia. Dengan demikian, perlu diajukan pertanyaan, dengan identifikasi
sosok atau kerpibadian atau karakter manusia seperti itu, apa hubungannya
dengan sastra. Seperti diketahui, sastra adalah hasil kerja atau kreasi
manusia. Keniscayaan apapun yang terdapat dalam karya kesastraan tidak
dapat dilepaskan dari orang yang menciptakannya. Dalam pemahamanan
psikoanalisis Freud, kepribadian atau karakter manusia ikut menentukan
sosok keberadaan karya sastra. Demikian pula implikasi selanjutnya bahwa
proses pembacaan karya sastra, secara subjektif sangat dipengaruhi oleh
karakter atau kepribadiaan pembaca, penafsir.
Dari keterangan di atas, satu hal yang dapat disimpulkan adalah
bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang penuh dengan
kontradiksi. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kontradiksi adalah
30
bahwa pada dasarnya manusia adalah tempat bertarungnya dinamika id dan
super-ego dalam rangka memperebutkan kesadaran ego. Kontradiksi
tersebut terjadi terus menerus sepanjang hidup manusia. Kemenangan di
antara dua dinamika tersebut akan menentukan karakter atau kepribadian
manusia. Dalam posisi tersebut, karya sastra sebagai kerja kreasi manusia
ikut ditentukan seberapa jauh psikologi kontrakdiktif tersebut
mempengaruhi bentuk, jenis, dan sifat karya sastra.
Pada bab I telah disinggung bahwa salah satu teori psikoanalisis
Freud yang paling relevan dengan karya sastra adalah teorinya tentang tafsir
mimpi. Memang, pengertian Freud tentang mimpi sangat penting terutama
bila dihubungkan dengan keinginan (manusia/kemanusiaan) yang terlanjur
direpresi. Menurut Freud mimpi terjadi karena adanya dorongan taksadar
untuk mencari solusi/pemecahan masalah karena tidak dapat dipecahkan
dalam kehidupan sehari-hari. Karena berbagai kondisi sehingga manusia
dipaksa tidak mampu melaksanakan keinginannya dalam berbagai tindakan,
dorongan-dorongan berbagai keinginan tersebut baik keinginan sehari-hari,
atau keinginan waktu dulu, bahkan keinginan semasa kecil, menyatu dalam
berbagai tumpukan dalam alam ketaksadaran.
Berbagai tumpukan dalam alam taksadar tersebut bernegosiasi
dengan harapan pikiran, dan menemukan alternatif solusinya dengan
kepuasan khayali, tetapi penyensor yang terletak di batas antara tak sadar
dan prasadar tidak membolehkan dorongan keinginan tersebut hadir.
Sebagai penggantinya dorongan keinginan tersebut muncul dalam mimpi.
Dengan demikian, mimpi merupakan bentuk kompromi antara tuntutan
keinginan dengan kekuatan sensor (kateksis).
Dalam teorinya tentang tafsir mimpi yang dituangkan Freud dalam
bukunya The Interpretations of Dreams tersebut, Freud memfokuskan
perhatiannya pada bahasa khayalan yang ia sebut sebagai karya mimpi.
Karya mimpi tersebut mentransformasikan isi mimpi yang laten, -pikiran
31
mimpi yang dilarang-, ke dalam cerita mimpi yang dapat diingatnya. Isi
mimpi yang tersembunyiitu bagian demi bagian diceritakan memalui
jalinan asosiasi. Freud menjelaskan lebih jauh bahwa cara kerja mimpi
tersebut ada empat, yaitu pemadatan (condensation), penggantian
(displacement, pertimbangan perwujudan (considerilions of
representability), dan revisi sekunder (secondary revision).
Dalam hal tersebut di atas yang dimaksud dengan pemadatan adalah
bahwa pada dasarnya isi mimpi yang diceritakan lebih sedikit daripada
mimpi sebenarnya. Hal tersebut terjadi karena biasanya kita tidak dapat
menceritakan keseluruhan mimpi secara detil. Yang dapat diceritakan
tentang mimpi biasanya berupa ringkasan. Yang dimaksud dengan
penggantian adalah usaha yang dilakukan orang (dalam hal ini pasien
misalnya) dalam memceritakan mimpinya kepada analis dengan
menggantikan apa yang sebenarnya terjadi dengan sesuatu yang mirip
(dekat) dengan hal itu. Tidak jarang yang diceritakan tersebut melalui
citraan-citraan tertentu. Dalam hal ini orang yang menceritakan mimpi
tersebut sering menggunakan simbol- sombol yang berasal dari berbagai
sumber budaya. Sementara itu, yang dimaksud dengan revisi sekunder
adalah aktivitas-aktivitas tertentu yang mengganggu dalam karya mimpi.
11. Semiotik dan Psikoanalisis
Kajian atau studi sastra telah berkembang demikian pesat khususnya
pada abad ke-20. Sejauh ini kajian sastra meliputi tiga bidang yaitu teori
sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra (Wellek dan Warren, 1993: 38-39).
Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria yang berkaitan
dengan persoalan kesusastraan. Sementara itu, kritik sastra kadang kala
juga mencakup teori sastra, tetapi kritik sastra secara kongkret berhadapan
dengan karya sastra. Wellek dan Warren menyarankan untuk membedakan
teori dan kritik sastra sesuai dengan karakteristik yang terdapat dalam
32
dirinya. Sementara itu, sejarah sastra adalah upaya menempatkan karya
sastra dalam konteks dan zamannya berdasarkan teori dan kritik sastra.
Namun demikian, secara internal bidang-bidang studi sastra tersebut saling
melengkapi dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Teori sastra hanya dapat
disusun berdasarkan kritik sastra dan sejarah sastra. Demikian sebaliknya,
kritik sastra tidak akan jalan tanpa teori dan sejarah sastra. Sejarah sastra
menjadi "ahistoris" tanpa teori dan kritik sastra. Kerja sama tersebut
berjalan secara dialektis, saling mempengaruhi, dan saling melengkapi.
Abrams (1979:5-7) mengatakan bahwa sejarah perkembangan teori
tersebut paling tidak dapat dilacak berdasarkan orientasi dan situasi yang
membangun totalitas kesastraan yaitu elemen pengarang, pembaca,
semesta, dan karya sastra itu sendiri. Berdasarkan elemen dan situasi
kesastraan Abrams tersebut teori sastra berkembang berdasarkan paradigma
penekanan aspek situasi kesastraan. Teori strukturalisme-formalisme pada
umumnya dikaitkan dengan teori yang menekankan keutamaan elemen
karya sastra. Teori resepsi biasanya selalu dihubungkan dengan melihat
pentingnya pembaca. Sementara itu, teori semiotik lebih menekankan
keutamaan karya sastra dan pembaca. Teori sosiologis berkembang dengan
menekankan keutamaan kedudukan pengarang dan pembaca dalam
masyarakat. Akan tetapi, karena pada dasarnya studi yang dibicarakan
merupakan sesuatu yang saling bergantung, maka tidak tertutup
kemungkinan ada ketumpangtindihan di antara berbagai teori tersebut.
Teori strukturalisme-formalisme berkembang dengan variasi-variasi
tersendiri yang secara khusus biasa pula disebut teori strukturalisme
objektif. Demikian pula halnya teori resepsi, semiotik, dan sosiologisme
melahirkan varian-varian yang beraneka ragam. Akan tetapi, karena saling
bersentuhan dan "berintervensi" di antara teori-teori yang dikembangkan
tersebut menyebabkan pemilahan-pemilahan yang tegas dan pasti menjadi
tidak mungkin, bahkan bisa jadi tidak perlu.
33
Itulah sebabnya, dalam hal ini semiotik kadang-kadang berwajah
estetika resepsi, strukturalisme-formalisme, bahkan sosiologisme (Teeuw,
1984). Dalam kesempatan yang sama Fokkema dan Ibsch (1998: 105-108)
mengatakan bahwa sosiologisme juga cenderung bernapaskan teori
ekspresif karena sosiologisme cenderung melihat determinasi materi atas
pikiran dan melacak asal-usul yang melahirkan dan mempengaruhi pikiran
subjek (pengarang). Di samping berwajah ganda, kajian atau studi sastra
tidak mungkin berdiri sendiri sabagai satu satuan ilmu yang mandiri dan
tidak saling melengkapi dengan ilmu-ilmu lain. Teori stukturalime-
formalisme banyak berutang budi pada kajian linguistik struktural,
antropologi, dan filsafat bahasa. Kajian sosiologisme sastra terutama
berkembang berdasarkan studi- studi ilmu-ilmu atau teori-teori sosial,
sejarah, dan juga filsafat sosial. Kajian resepsi sangat terbantu oleh ilmu-
ilmu psikologi dan sosiologi. Semiotik berutang budi pada linguistik,
sosiologi, psikologi, dan filsafat, dan sebagainya.
Ada titik temu lain antara studi kesusastraan dengan psikoanalisis.
Titik temu tersebut adalah bahasa. Sebagai mana diketahui, studi
kesusastraan pada dasarnya adalah juga kajian kebahasaan seperti terdapat
dalam karya sastra, dalam perspektif apapun. Sementara itu, psikoanalisis
adalah studi kajian yang sepenuhnya dalam cakrawala bahasa. Merupakan
kenyataan jika Freud (1983: 73-74) dalam mengembangkan teori
psikoanalisisnya, berangkat dari perbincangan antara pasien dan analis,
tidak lebih dari hanya berbincang-bincang saja. Pasien dibiarkan berbicara
apa saja (tanpa sensor), analis mendengarkan pasien lalu mengatakan
sesuatu kepada pasien, dan membiarkan pasien mendengarkan. Demikian
pula halnya sastra, walaupun problem terbesar di dalam dirinya adalah
memahami dan memberi makna manusia dalam hubungannya dengan karya
sastra, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa semua mediasi yang terdapat
dalam persoalan kesusastraan adalah bahasa.
34
Hal penting dari semiologi Saussure adalah konsep tentang
hubungan penanda (signifie) dan petanda (signifiant). Seperti dijelaskan
oleh Saussure, hubungan penanda dan petanda tersebut tidak dapat
dipisahkan dan membentuk "tanda" itu sendiri. Hal penting dari hubungan
penanda dan petanda bersifat arbitrer (acak, bebas), baik secara kebetulan
maupun karena ditetapkan sebelumnya. Hubungan antara penanda dan
petanda tersebut tidak berhubungan secara alamiah (1996: 145- 148).
Barthes (1981: 38-39, 47-48) mengatakan bahwa tanda merupakan satuan
dasar bahasa yang tersusun berdasarkan dua relata yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu hubungan antara citra-bunyi (citra akustik) sebagai
penanda dan konsep sebagai petanda. Penanda merupakan aspek material
tanda yang secara langsung berkaitan dengan sebuah konsep (petanda).
Namun demikian, Saussure juga menjelaskan bahwa walaupun hubungan
penanda dan petanda itu arbitrer, ada kasus-kasus tertentu yang bersifat
simbolis tidak sepenuhnya merupakan arbitraritas yang sempurna, sebagai
contoh Saussure menyebutkan gambar timbangan sebagai simbol keadilan
tidak dapat digantikan dengan gambar kereta, atau gambar apapun (1996:
149).
Berbeda dengan semiotika Peirce yang mengembangkan konsep
semiotik dengan trikotomi ikon, indeks, dan simbol (Eco, 1979: 5, 15-16).
Peirce mengatakan bahwa hubungan antara ikon dan indeks bersifat
alamiah, tetapi untuk konsep simbol memang ada kesamaan dengan
Saussure yakni kesepakatan adanya hubungan alamiah dan arbitrer. Titik
persamaan itulah yang dipakai dalam kajian ini karena, seperti nanti akan
dijelaskan, lebih relevan dengan teori psikoanalisis dalam mengungkapkan
tanda-tanda yang bermakna dalam karya sastra. Seperti dikatakan Eco
(1979: 15-17) walaupun semiotika Peirce bisa lebih luas, karena semiotika
Peirce tidak menuntut kualitas keadaan yang menghasilkan penanda, tetapi
yang penting adalah bahwa pada akhirnya peristiwa semiotis adalah suatu
35
realitas dan peristiwa psikologis, suatu kejadian mental yang berhubungan
dengan pikiran manusia (Saussure), suatu peristiwa psikologis dalam
pikiran interpreter yang sebelumnya diperantarai oleh interpretan (Peirce).
Berdasarkan keterangan di atas, posisi kebahasaaan seperti apa yang
dipahami oleh psikoanalisis tersebut. Dalam hal ini Saussure (1996: 80-81)
memperkenalkan konsep langue, parole, dan langage. Langue adalah suatu
sistem tata bahasa yang praktis dalam setiap otak individu, atau lebih
tepatnya lagi di dalam otak sekumpulan individu. Karena langue tidak
lengkap dalam diri seorang individu, ia hanya hadir secara sempurna di
dalam massa. Langue hanya hadir sebagai hasil semacam kontrak di masa
lalu di antara para anggota masyarakat. Dalam hal ini hanya langue yang
dianggap fakta sosial. Menurut Saussure yang menjadi objek linguistik
adalah langue.
Langage adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan,
dan oleh karenanya dapat dibandingkan dengan tulisan abjad tuna rungu,
dengan ritus simbolis, dengan bentuk-bentuk sopan santun, dengan tanda-
tanda militer, dan lain-lain. Semenetara itu, yang dimaksud dengan parole
adalah manifestasi individu dari bahasa. Dalam perspektif Saussure parole
bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar.
Padahal fakta sosial selayaknya meliputi seluruh masyarakat dan menjadi
kendala terhadapnya dan bukan memberinya pilihan bebas. Kendala-
kendala tersebut biasanya berupa kendala gramatikal suatu bahasa. Dalam
konteks inilah biasa hadir langage. Dengan demikian, langue adalah
langage tanpa parole.
Dalam kesempatan ini penulis memberanikan diri untuk mengatakan
bahwa yang diteliti oleh psikoanalisis adalah gejala langage dan parole.
Ketika manusia mencoba mengkomunikasikan apa yang ada di dalam
dirinya, bagaimananpun juga menusia tersebut memiliki langue. Akan
tetapi, apa yang akan disampaikan tersebut, misalnya karya sastra, karena
36
dia merupakan suatu manifestasi individual, ia menjadi parole. Parole, di
dalam dirinya yang selalu mengalami keterbatasan individual, selalu
mengandung langage. Artinya, pada dasarnya manusia adalah mahkluk
sosial dan sekaligus individual, dua hal yang tidak dapat dipisahkan begitu
saja. Psikologi- psikonalisis menempatkan manusia dalam posisi tersebut
sebagai satu kesatuan. Itulah sebabnya, pembicaraan psikoanalisis secara
langsung akan menempatkan berbagai persoalan sastra dalam dua tataran,
yaitu tataran individual dan tataran sosial. Dalam tataran individual,
bagaimanapun menempatkan karya sastra sebagai fakta kemanusiaan,
sebagai hasil kerja seorang manusia yang bersifat individual. Sementara itu,
sastra pada tataran sosial adalah menempatkan karya sastra sebagai fakta
sosial yakni sastra yang bermediumkan bahasa.
12. Psikologi Analitis: Jung
Secara umum para teoris sastra tidak begitu memperhatikan Jung
(1875-1961) dibandingkan perhatian mereka kepada teori-teori psikonalisis
Freud. Padahal, dalam beberapa hal konsep psikologi analitis Jung sangat
menarik dan penting dalam memahami dan menafsirkan fenomena
kesastraan. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut terjadi. Pertama,
konsep ketaksadaran, yang sangat operatif dalam teori-teori kesastraan,
hampir identik dengan orisinalitas Freud sehingga teori Jung menjadi
"tenggelam" di bawah bayang-bayang Freud. Kedua, dibandingkan Freud,
Jung memang tidak intensif dalam menerapkan teori-teorinya terhadap
kesastraan sehingga buah pikiran Jung yang secara langsung berhubungan
dengan fenomena kesastraan relatif sedikit. Ketiga, Jung sendiri tampaknya
memang tidak memfokuskan proses dan pemikiran intelektualnya kepada
seni pada umumnya, atau sastra khususnya, tetapi secara umum lebih pada
eksplorasi psike dan kepribadian manusia itu sendiri dan persoalan-
persoalan religius. Di samping itu, ada kecenderungan teori-teori Jung
37
dianggap terlalu mistis sehingga kurang menarik perhatian teoris- teoris
modern. Itulah sebabnya, diskusi tentang teori-teori Jung yang berkaitan
dengan sastra tidak begitu kaya dan beragam.
Pembicaraan berikut akan membicarakan beberapa garis besar teori
psikologi analitis Jung. Dalam hal ini buku Jung yang secara khusus
membicarakan masalah psikologi dan sastra adalah Psychology and
Literature (1930, dalam Selden 1990). Setelah itu penulis mencoba
memberi beberapa ulasan penerapan teori Jung khususnya seperti yang
diterapkan oleh Bodkin (1934, dalam Selden, 1990).
Hal penting yang memayungi teori Freud dan Jung adalah eksplorasi
mereka terhadap aspek (alam) ketaksadaran yang terdapat dalam diri
manusia. Dengan konsep tersebut manusia menjadi paham bahwa
sesungguhnya manusia tidak sepenuhnya berkuasa atas dirinya, tetapi ada
alam lain yang justru tersembunyi, yang dinamis dan terus menerus
membayang-bayangi kesadaran manusia, yang dalam banyak hal justru
mengatus kehidupan manusia. banyak prilaku manusia yang tidak pernah
disadarinya, tetapi pada dasarnya merupakan implikasi lebih jauh dari
"intervensi" dari ketaksadaran manusia.
Seperti halnya Freud, Jung adalah sarjana kedokteran dan psikiatri.
Artinya, memang ada kesamaan latar belakang akademis mengapa kelak
Jung dan Freud dipertemukan dalam psikoanalisis. Jung yang dibesarkan
dalam tradisi Protestasn (bapak) dan Katolik (kakek) yang cukup taat,
memberi pengaruh yang cukup besar terhadap pengembangan lebih jauh
pemikiran-pemikirannya. Tidak mengherankan jika di masa tuanya, Jung
semakin tertarik dengan dimensi mistik religus. Jung memang pernah
mengatakan bahwa penememuan teoretik apapun yang berhasil dicapai
seorang manusia, pada akhirnya ditentukan pula oleh karakter dan
tempramen psikologis penyelidik, juga oleh perlawanan tipe-tipe dan
struktur kesadaran manusiawi (Cremer, 1986: 15). Dengan demikian, dapat
38
diperkirakan bahwa latar belakang kehidupan (psikologis) ini pula yang
kelak memisahkan Jung dan Freud.
Boleh dikata, secara akademis dan intelektual Jung mulai mendalami
dan mengembangkan teori-teorinya pada umur 28 (tahun 1902-1903,
sebelum pertemuannya dengan Freud). Yakni ketika Jung mulai mendalami
masalah-masalah occult (kegaiban), skizoprenia, dan masalah simbol-
simbol transformasi. Khususnya masalah occult, Jung melakukan
eksperimentasi tentang tes asosiasi kata-kata secara objektif, dan melakukan
penelitian masalah skizoprenia dengan cara-cara yang lebih subjektif.
Dengan memadukan cara penelitiannya, yang penting dari penyelidikan
Jung itu adalah temuannya yang berkaitan dengan sistem-sistem khayalan
yang kelihatannya tanpa arti dan bersifat khaotis dalam konstruksi-
konstruksi fantastis khususnya dari seorang skizopren. Seperti dicatat oleh
Cremers (1986: 7) Jung berusaha mengupas cerita pribadi yang tersembunyi
dan yang mempunyai arti tertentu. Dalam hal ini Jung berkesimpulan
bahwa dalam fantasi-fantasi pribadi seorang skizopren terdapat kemiripan
yang cukup meyakinkan dengan motif-motif dari mitologi. Temuan ini
merupakan titik tolak dari teorinya tentang alam tak-sadar kolektif dan
arketip-arketip. Akan tetapi, dapat diperkirakan bahwa istilah tak-sadar
yang dipakai Jung adalah istilah yang dipinjamnya dari Freud. Karena Jung
sendiri mengakui bahwa pada tahun 1903 ia membaca buku Freud yang
berkaitan dengan misteri dan analisis mimpi (Jung bertemu Freud untuk
pertama kalinya pada tahun 1907).
Penemuan lebih lanjut dari kerja Jung di atas adalah temuan yang
disebutnya psikologi kompleks atau kompleks-kompleks tak-sadar yang
diwarnai emosi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kompleks-kompleks
tak-sadar yang dipengaruhi emosi adalah kenyataan-kenyataan atau
keadaan-keadaan satu set asosiasi yang dipengaruhi emosi yang dikeluarkan
atau ditolak dari wilayah kesadaran karena isinya dianggap tabu, amoral,
39
dan sering bersifat seksual (Hall & Lindzey, 1970: 82). Dengan demikian,
kompleks menunjukkan satu set psikis yang diwarnai emosi dan yang
ditekan ke dalam ketaksadaran dan yang berfungsi sebagai zona tak-sadar
dari psike, dengan gaya atau daya efektif atau juga kekuatan energi yang
nampak sebagai aktivitas asimilasi dan asosiasi dan rupanya memiliki suatu
otonomi tertentu yang tidak dapat dipengaruhi oleh kesadaran (Cremers,
1986: 8).
Setelah bertemu Freud, Jung berkerja sama dengan Freud dari tahun
1907 hingga 1913. Pertemuan yang pada mulanya sangat mesrah dan
emosional tersebut pada akhirnya harus berakhir dengan perpisahan yang
pilu. Banyak dari teori Freud yang ditolak oleh Jung, terutama penekanan
Freud yang berlebihan pada aspek seksualitas. Di lain pihak, Freud melihat
Jung seperti "oidipus" yang ingin mengalahkan dan membunuhnya kelak, di
samping Freud menolak teori ketaksadaran kolektif sebagai warisan
filogenetis. Akan tetapi, kedua orang besar tersebut hingga akhir hayatnya
selalu saling menghargai. Dengan demikian, walau konsep ketaksadaran
secara orisinal memang ditemukan Freud, tetapi sesungguhnya Jung dari
berbagai penyelidikannya telah mengarah pada penemuan konsep
ketaksadaran. Menurut Jung alam tak-sadar merupakan sumber kekayaan
simbolisasi-simolisasi spontas, bersifat individual, dan bukan tempat
subtitusi dari isi seksual yang ditekan.
Dari teori ketaksadaran yang dirumuskan Jung, lebih jauh Jung
menemukan teori apa yang disebutnya ketaksadaran kolektif. Di bawah
ego, di dalam psike tak-sadar, kita akan menemukan yang sesuatu yang
lebih asli. Pada tingkat tertentu ketaksadaran memang bersifat individual
(pribadi), dalam arti hal tersebut berdasarkan pengalaman yang juga
individual yang ditekan oleh individu. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih
jauh, dalam alam ketaksadaran tersebut kita akan menemukan sesuatu yang
bersifat kolektif, sebab dimiliki oleh seluruh bangsa manusia dan terdapat
40
pada segala kebudayaan di dunia ini. Dalam alam tak-sadar kolektif itu
sudah terendap segala pengalaman psikis purba dari genus manusia, ras,
bangsa, keluarga, dan nenek moyang. Pengalaman kolektif tersebut
memperloleh bentuk pengungkapannya melalui simbol-simbol, gambaran
dan motif-motif yang diwarnai emosi, yang timbul secara sopontan dalam
mimpi-mimpi, fantasi-fantasi, khayalan-khayalan dan mite-mite/mitos-
mitos (Cremers, 1986: 12-13; Hall & Lindzey, 1970: 82-84). Walau
demikian, Jung dengan rendah hati mengatakan bahwa teorinya itu masih
berupa "hipotesis", yang akan dipertahannya hingga ada orang lain yang
memperoleh hipoteis yang lebih meyakinkan.
Berdasarkan eksplorasi terhadap ketaksadaran kolektif Jung
mengajukan teori baru dengan sebutan arketip. Yang dimaksud dengan
arketip adalah faktor strukturasi formal yaitu suatu struktur pembentuk atau
pengatur yang bersifat formal dan dinamis Hall & Lindzey, 1970: 84-85).
Secara umum arketip bersifat instingtif dan genetis, sesuatu yang dibawa
sejak lahir. Arketip merupakan satu pola apriori dari tingkah laku yang
bersifat formal, bukan suatu isi visual yang bersifat konkret material. Pola-
pola apriori tersebut bersifat univeral yang terdapat dalam diri manusia
secara potensial. Setiap saat arketip dapat diaktualkan dan diungkapkan
karena arketip merupakan sesuatu yang terendap dalam psike manusia
sebagai ahsil dari perkembangan sejarah pengalaman seluruh bangsa
manusia.
Setelah menemukan konsep arketip, Jung menemukan apa yang dia
sebuah konsep individuasi (individuation). Proses individuasi ini ditemukan
Jung setelah ia dengan berspekulasi untuk melakukan konfrontasi dengan
alam tak-sadar dirinya sendiri dan sejumlah pasiennya. Seperti telah
disinggung, Jung yakin bahwa penemuan teoretik apapun selalu diwarnai
oleh karakter psikologis penemunya. Tidak terkecuali teori-teori yang
ditemukan Jung, yang menyebabkanya menuju pada teori individuasi
41
tersebut. Teori ini barakar pada adanya dua sikap dasar manusia yaitu
intreversi dan ekstraversi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan introversi
adalah adanya pengaruh dominan dari subjek itu sendiri, sedangkan
ekstraversi pengaruh dominan lebih dari objek (dunia luar). Dua jenis sikap
dasar tersebut mendapat ramuannya secara khas dari apa yang disebut
empat fungsi kesadaran. Empat fungsi kesadaran tersebut adalah fungsi
pemikiran, perasaan, pengalaman indrawi, dan intuisi. Pada setiap orang
salah satu fungsi kesadaran tersebut akan menjadi dominan dengan
dukungan yang berbeda-beda terhadap fungsi kesadaran yang lain, dan
fungsi kesadaran yang tidak demikian berfungsi akan terpendam dalam
ketaksadaran. Ramuan antara sikap dasar dan fungsi kesadaran, dengan
derajat yang berbeda-beda tersebutlah yang mengolah seseorang menjadi
indiviual-individual yang individuasi.
Dengan demikian, individuasi adalah proses menjadi diri (sendiri),
realisasi diri. Individuasi adalah proses yang terjadi secara bertahap dan
terus menerus hingga seseorang dapat mendamaikan berbagai perlawanan
kompelementer dan kompensatoris antara keadaran dan ketasadaran di
dalam kepribadian setiap manusia (Hall & Lindzey, 1970: 100-101).
Dengan demikian, individuasi bersifat dinamis sehingga dalam prosesnya
seorang manusia dapat menuju pada kepribadian yang lebih matang.
Namun demikian, bukan berarti dari fungsi kesadaran yang ditekan tersebut
menjadi hilang, karena sebagai sesuatu yang dinami, keberadaanya taka
dapat diabaikan dan akan terus menerus mengganggu kehidupan manusia.
Lebih lanjut Jung mengatakan bahwa pada dasarnya proses individusi
merupakan interelaasi dan dialetika-integratif antara dua wilayah
ketaksadaran yakni ketaksadaran individual dan ketaksadaran kolektif
(Cremer, 1986: 18). Di waktu-waktu berikutnya, Jung selalu memperkuat
dan meyakinkan teori-teoriya dengan melakukan berbagai perjalanan, ke
tempat berbagai bangsa dan kebudayaan.
42
Dari berbagai perjalanannya itu pula yang semakin memantapkan
Jung terhadap teorinya tentang mimpi, yang membuatnya berbeda dengan
Freud. Jung yakin bahwa kesadaran tidak merupakan seluruh psike, karena
psike meliputi baik kesadaran dan ketaksadaran yagn sebenarnya jauh lebih
luas daripada kesadaran ego. Alam ketaksadaran bukan sekadar tong besar
bagi hal-hal pribadi yang ditekan, tetapi merupakan sahabat, penasihat,
pengantar, dan penunjuk bagi manusia, Itulah se babnya, Jung mengatakan
bahwa mimpi, melalui lambang-lambang (simbol-simbol), merupakan
reaksi spontan dari sistem psikis yang mengatur diri dan oleh karenanya
alam tak sadar dapat mengimbangi tekanan-tekanan sepihak yang berat
sebelah dari kesadaran (Cremers, 1986: 28; Hall & Lindzey, 1970: 107).
Berdasarkan teori tersebut Jung beranggapan bahwa karya sastra
sebagai akutalisasi ketaktasadaran manusia (melalui kesadaran) menjadi
penting karena secara taksadar mengakomodasi primordial images dan
archetypical images yang telah terbentuk lewat pengalaman-pengalaman
manusia terdahulu dan diwariskan secara tak-sadar kolektif terus menerus
yang menjiwai umat manusia dalam bentuk mitos- mitos, agama, mimpi,
fantasi, angan-angan, dan sastra. Dalam konteks inilah bentuk karya sastra
menjadi terus menerus juga diturunkan secara taksadar kolektif, misalnya
berkaitan dengan perwatakan tokoh-tokoh cerita, tema, plot dan pola jalinan
cerita, maupun berbagai deskripsi yang berkaitan dengan
cerita-cerita/motif-motif yang secara sadar atau tidak terjadi secara
berulang-ulang dalam berbagai bentuknya (semacam interteks). Sebagai
contoh adalah cerita-cerita tentang kematian, kelahiran, pengembaraan,
sorga dan neraka, keberadaan Tuhan atau para dewa, setan, perempuan
pembawa sial, laki-laki yang bengis, dan sebagainya. Kadang-kadang
seperti tak sadar pula pemaca seolah telah menganal bacaan sastra yang
sedang dihadapinya, karena berbagai cerita yang dihadapinya secara tak-
sadar telah ada mengendap dalam alam takasadarnya.
43
13. Psikoanalisis Struktural
Seperti telah disinggung pada pembicaraan awal (bab I), salah
seorang teoris yang telah memberikan sumbangan penting bagi teori
psikoanalisis adalah Jacques Lacan (1901-1981). Seperti halnya Freud,
Lacan adalah seorang yang mendalami ilmu kedokteran dan psikiatri. Akan
tetapi, secara khusus ia sesungguhnya amat tertarik dengan psikoanalisis
Freud yang pada waktu itu mulai menggejala di Prancis. Dalam
perkembangannya, psikoanalsis yang berkembangan di Prancis bagi Lacan
terlalu mengarah pada prinsip neorobiologis dan kecenderungan
medikalisasi, dan mengabaikan dimensi bahasa dan komunikasi verbal,
suatu hal yang menurut Lacan justru amat penting. Dalam hal ini sumber
isnpirasi penting bagi Lacan adalah tulisan Freud Masalah Analisa Awam
(1927), dan berangkat dari pemahaman itulah Lacan meneriakkan
pentingnya kembali pada psikoanalisis Freud.
Terkondisi situasi pemikiran Prancis pada waktu itu, Lacan
mengembangkan teori psikoanalisis dalam perspektif strukturalistis,
khususnya dari linguistik modern. Artinya, Lacan mencoba
mengembangkan suatu perspektif psikoanalisisi dengan
mengintegrasikannya dengan teori-teori linguistik strukrural. Menurut
Lacan penemuan Freud yang paling penting adalah terjadinya decentring
pada manusia. Di mata Lacan konsep Freud membuat manusia bergeser
dari pusatnya. Artinya, aspek kesadaran yang dimiliki manusia tidak lagi
dapat dilihat sebagai pusat manusia yang mutal dan otonom. Keberadaan
kesadaran yang tidak mutlak dan otonom itu membuat perubahan penting
dalam cara manusia memandang dirinya.
Bagi Lacan konsep ketidaksadaran Freud memperlihatkan kepada
kita suatu lapisan yang lebih dalam yang tidak terbayangkan sebelumnya,
suatu realitas tak- sadar yang anonim. Berdasarkan upaya integratif Lacan
44
antara psikoanlisis Freud dengan teori Saussure hubungan pendanda dan
petanda dan terutama kedudukan yang tidak disadaran terhadap kekuasaan
langue terhadap sistem komunikasi manusia, maka Lacan berkesimpulan
bahwa kekuasaan langue juga berlaku bagi ketaksadaran. Ketidaksadaran
merupakan logos yang mendahului manusia perseorangan. Manusia sadar
atau tidak sadar menyesuaikan diri dan patuh terhadap kekausaan langue.
Itulah sebabnya, akhirnya Lacan berksimpulan bahwa pada dasarnya
ketidaksadaran itu merupakan struktur dan manusia tidak mampu
menguasai struktur itu. Aspek terpenting dari ketidaksadaran yang
terstruktur adalah hasil dari bahasa itu sendiri.
Berangkat dari konsep tersebut Lacan percaya bahwa pada dasarnya
realitas ketaksadaran menguasai manusia (manusia telah tergeser dari
pusatnya). Dengan demikian, sesungguhnya ketika manusia berbicara,
menurut Lacan bukan manusia yang berbicara, tetapi justru manusia yang
dibicarakan karena karena ada sesuatu yang berbicara dalam diri manusia.
Konsep ini dapat diperkirakan bahwa Lacan secara tidak langsung
terpengaruh oleh pemikiran Levi-Strauss. Seperti diketahui, Levi-Strauss
dalam mengembangkan teori antropologi strukturalnya juga dipengaruhi
Saussure dan Freud. Dalam hal ini Strauss berkesimpulan bahwa hukum-
hukum linguistik memperlihatkan suatu taraf tak sadar. Manusia berbicara
dengan tidak pernah ragu-ragu, padahal manusia tidak pernah mengenal
hukum-hukum kebahasaan itu secara sadar. Dengan demikian, pada
daarnya ketika manusia berbicara ia dikuasi oleh sesuatu yang tidak sadar.
14. Psikoanalisis Pos-Struktural
Orang yang dianggap memberi kontribusi penting bagi teori
psikoanalisis, dan oleh karenanya kemudian disebut psikoanlisis pos-
struktural adalah J. Derrida. Tidak jauh berbeda dengan Lacan, memahami
konsep dan pemikiran Derrida sering terasa sulit dan membingungkan. Hal
45
tersebut disebabkan bukan saja Derrida sering menggunakan kata-kata yang
samar dan ambigu, tetapi lebih dari itu Derrida memang tidak
memaksudkan tulisannya agar dapat dibaca semua orang yang tidak secara
intensif memperlajari bidang yang sedang dibicarakan oleh Derrida. Itulah
sebabnya, kadang-kadang memahami Derrida tidak jarang merupakan suatu
penafsrian tersendiri yang tidak mustahil tidak persis seperti apa yang
dimaksudkan Derrida. Akan tetapi, hal tersebut tidak menutup
kemungkinan ada beberapa garis besar pemikirannya yang dapat dipahami
bersama, khususnya berkaitan seberapa jauh Derrida memberikan
sumbangan konseptual berkaitan dengan psikoanalisis pada umumnya.
Untuk sampai pada pembicaraan tersebut ada baiknya disampaikan
beberapa pokok pekiran Derrida.
Secara umum kerja Derrida dalam menuliskan pemikirannya, pada
mulanya, lebih banyak dalam rangka mengomentari tulisan-tulisan karya-
karya lain semisal Plato, Aristoteles, Kant, Hegel, Nietzsche, Husserl, F.
Saussure, Freud, Heidegger, maupun Levi-Strauss. Dalam rangka
mengomentari berbagai pikiran para pakar terebutlah Derrida tahap demi
setahap mencoba mengembangkan pemikirannya hingga pada satu tahap
penemuan pemikirannya sendiri yang khas. Dalam hal ini secara umum
pemikiran Derrida sering dikaitkan secara khas dengan konsep apa yang
biasa disebut dengan dekonstruksi. Proses penemuan dekonstruksi oleh
Derrida, seperti telah disinggung, dengan membongkar teks-teks para pakar
yang telah disebutkan tersebut, dengan mencoba menjelaskan atau
mengatakan apa yang tidak disebut oleh teks-teks yang diperlajarinya itu.
Derrida dapat dikatakan murid Lacan. Dalam hal ini, seperti
gurunya, Derrida secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh Heidegger.
Bahkan dalam beberapa hal pemikiran Derrida merupakan upaya
radikalisasi pemikiran Heidegger, walaupun bukan berarti Derrida
melanjutkan tradisi Heidegger karena dalam perkembangan lebih lanjut
46
pemikiran Derrida justru mengirik Heidegger khususnya berkiatan konsep
Heidegger tentang "kehadiran". Berbeda dengan "kehadiran" Heidegger,
bagi Derrida pandangan tentang kehadiran dapat dipahami dengan
mempelajari metafisika tentang tanda. Dala hal ini, tradisi metafisika tanda
menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Tanda mengganti apa yang tidak
hadir (Bertens, 1985: 494).
Berangkat dari keyakinan tersebut, Derrida mengatakan bahwa,
dengan demikian, kehadiran tidak merupakan suatu instansi yang
independen yang mendahului tuturan dan tulisan kita, dalam tanda yang
kita pakai. Kata-kata menunjukkan kepada kata-kata lain.
Posisi intelektual Derrida memang "rancu", dalam pengertian bahwa
ia sering menolak untuk digolong-golongkan apakah ia seorang strukturalis
atau pos-strukturalis. Akan tetapi, terlepas dari perdebatan tersebut ada
baiknya penjelas Sarup perihal keterpisahan Derrida dengan strukturalisme.
Sarup (1981: 43) menjelaskan kritik Derrida berhadap dengan
strukturalisme. Pertama, Derrida sangsi apakah hukum umum (bahasa)
tersbut memang ada. Kedua, Derrida mempertanyakan oposisi antara subjek
dan objek, yang mendasari kemungkinan adanya deskripsi yang objektif.
Bagi Derrida, deskripsi tentang suatu objek akan terkontaminasi oleh pola
keinginan subjek. Ketiga, Derrida mempertanyakan struktur oposisi duaan.
Derrida mengajak kita untuk tidak lagi berpikir tentang adanya persamaan
yang seimbang, dengan yang satu melengkapi yang lain. Dapat dipahami
argumen inilah yang memisalah Derrida dengan strukturalisme.
47
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp. London-New York: Oxford University Press.
Apsanti Djokosujatno. 2000. "Kedudukan Psikoanalisis dalam Pendekatan Sastra Modern". Dalam Rahayu S. Hidayat (penyunting) Psikoanalisis dan Sastra. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Asch, S.E. 1959. Social Psychology. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Barthes, Roland. 1981. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang.Bertens, Kees. 1979. "Psikoanalisa dan Lingkup Pengaruhnya". Dalam kata
pengantarnya untuk buku Sigmund Freud Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta: Gramedia.
Capra, Firtjof. 1997. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Diterjemahkan oleh M. Thoyibi. Yogyakarta: Bentang.
48
Culler, Jonathan. 1983. The Pursuit of Signs Semiotics, Literature, Decontruction. London: Routlege & Kegan Paul.
Daiches, David. 1974. (Cet. I, 1956). Critical Approaches to Literature. London: Longman.
Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory An Introduction. Oxford: Basil Blackwell.
Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
Eysenck, H.J. 1977. Uses and Abuses of Psychology. Harmondsorth: Penguins Books.
Fokkema, D.W. & Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia.
Freud, Sigmund. 1953a. The Interpretation of Dreams (1900). Sebagai bagian dari Standard Edition of the Complete Psychological Works (24 vols) (S.E). IV- V. London: Hogart Press and Institute of Psycho-Analysis.
Freud, Sigmund. 1953b. Civilization and its Discontents (1930). (S.E). XXI. London: Hogart Press and Institute of Psycho-Analysis.
Freud, Sigmund. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa. Diterjemahkan oleh K. Bertens. Jakarta: Gramedia.
Freud, Sigmund. 1983. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. Diterjemahkan oleh K. Bertens. Jakarta: Gramedia.
Grinstein, Alexander. (ed.). 1975. The Index to Psychoanalysis Writing. New York.
Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Holub, Robert C. 1984. Reception Theory A Critical Introduction. London and New York: Methuen.
49
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading A Theory of Aesthetic Response. London: The Johns Hopkins University Press.
Jatman, Darmanto. 1985. Sastra, Psikologi, dan Masyarakat. Bandung: Alumni.
Jauss, Hans Robert. 1974. "Literary History as Challenge to Literary
Theory" dalam Ralp Cohen, (ed.) New Directions in Literary History. London: Routledge & Kegan Paul.
Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception Brighton: Harverter Press.
Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language A Semiotic Approach to Literature and Art. Ed. Leon S. Roudiez. Oxford: Basil Blackwell.
Kristeva, Julia. 1986. Ed. Toril Moi. The Kristeva Reader. Oxford: Basil.
Lacan, Jacques. 1977. Ecrits: A Selection. London: Tavistock.
Miller, George A. 1974. Psychology and Comunnication. Washington, D.C.: Voice of America, USA.
Milner, Max. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra. Diterjemahkan oleh Apsanti Ds, Sri Widaningsih, Laksmi. Jakarta: Intermasa.
Moleong, Lexy J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Richards, I. A. 1970. (Cet. I. 1924). Principles of Literary Criticism. London: Routledge and Kegan Paul.
Ritzer, George. 1997. Postmodern Social Theory. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Saussure, Ferdinand de. 1996. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of Literary Texts. Lisse: The Peter De Ridder Press.
Selden, Raman. 1990. The Theory of Criticism From Plato to the Present A Reader. London and New York: Longman.
50
Selden, Raman. 1991. Paduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo, Penyunting Imran T. Abdullah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Storey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture. London: Harvester Wheatsheaf.
Suarjana, I Nyoman. 1998. Analisis Unsur-Unsur Bawah Sadar Novel Pabrik Berdasarkan Teori Psikoanalisis. Yogyakarta: Tesis S-2 Pasca Sarjana UGM Program Studi Sastra.
Suleiman, Susan R. and Crosman, Inge. (eds.). 1980. The Reader in the Text: Essays on Audience and Interpretation. Priceton: Princeton University Press.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Wright, Elizabeth. "Modern Psychoanalysis Criticism". Dalam Ann Jefferson and David Robey. 1987. Modern Literary Theory A Comparative Introduction. London: B.T. Batsford Ltd.
Wright, Elizabeth. 1992. Feminism and Psychoanalysis: A Critical Dictionary. Oxford: Blackwell.
Wright, Elizabeth. 1998. Psychoanalytic Criticism A Reappraisal. Cambridge: Polity Press.
Zoest, Aart van. 1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Diterjemahkan oleh Ani Soekowati. Jakarta: Sumber Agung.
51