Post on 30-Dec-2015
description
Usulan proposal
A. Judul : Pembagian Waris Etnis Tionghoa di Pangkal Pinang Ditinjau
dari Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
B. Latar Belakang Masalah
Luasnya bentang antara Marauke sampai dengan Sabang
menjadikan negara Indoesia sebagai negara dengan jumlah penduduk
terbanyak ke-4 di dunia. Hal ini ditandai dengan banyaknya suku, agama,
dan ras yang ada di negara ini (majemuk). Sebagai salah satu negara bekas
jajahan tentu Indonesia tak hanya di diami oleh penduduk asli (pribumi),
ada golongan Eropa dan ada juga golongan Timur asing (Tionghoa, Arab,
dan sebagainya) yang berdomisili membaur dengan penduduk pribumi.
Namun pasca kemerdekaan golongan Eropa tidak lagi mendiami
nusantara, yang tersisa hanya golongan etnis Tionghoa dan Arab.
Etnis Tionghoa, yang dulu sering disebut Chinese overseas atau
Tionghoa perantauan tersebar dimana-mana. Jumlahnya kira-kira 23 juta
jiwa, lebih dari 80% diantaranya berada di Asia Tenggara, hal ini
disebabkan karena Asia Tenggara dekat dengan Tiongkok dan selain pada
waktu itu perdagangan Asia Tenggara banyak dipengaruhi orang
Tionghoa.1 Sejak abad ke- 7 etnis Tionghoa sudah mulai masuk dan
mewarnai kehidupan di nusantara. Banyak budaya dan kesenian yang
merupakan akulturasi antara budaya asli dengan budaya Cina. Kesenian
cokek, lenong dan lain-lain merupakan salah satu contoh dari sekian
1 Leo Suryadinata (a), Negara dan Etnis Tionghoa (Kasus Indonesia), Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2002, hlm.1.
1
2
banyak kesenian yang merupakan akulturasi dari budaya Cina. Misalnya
dalam hal bahasa seperti kata becak diambil dari kata bhe-chia, kue dari
koe, dan lain-lain.2 Makanan seperti bakmie, bakpao, bakwan dan lain-lain
merupakan makanan adaptasi dari cina.
Orang Tionghoa di Indonesia berjumlah sekitar 6 juta jiwa, dan
mewakili 3 persen penduduk Indonesia. ini berarti orang Tionghoa sebagai
minoritas di negara ini, namun bukan minoritas homogen. Secara budaya,
masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat dibagi menjadi kalangan
peranakan berbahasa Indonesia dan kalangan totok berbahasa Tionghoa,
dan yang peranakan yang berbahasa Indonesia lebih banyak jumlahnya.
Dalam hal agama, sebagian besar orang Tionghoa menganut agama
Budha, Tridarma, dan agama Konghucu, namun banyak pula yang
beragama Khatolik dan Kristen. Belakangan ini jumlah etnis Tionghoa
yang memeluk agama Islam pun bertambah.3
Orientasi politik masyarakat Tionghoa di Indonesia terdiri dari
mereka yang pro-Jakarta, pro-Beijing, pro-Taipe, atau yang sama sekali
tidak memiliki orientasi politik, tetapi yang terbesar adalah kelompok yang
pro-Jakarta. Secara hukum mereka diklasifikasikan sebagai warga negara
Indonesia (WNI), dan warga negara Asing (WNA). WNA ini kemudian
dibagi lagi kedalam warga negara republik rakyat Cina (RRC) dan yang
disebut orang Tionghoa tanpa kewarganegaran (yakni warga negara
2 http://eprints.undip.ac.id/15954/1/Willy_Yuberto_Andrisma.pdf di akses 20 maret 2013 Jam 12.30 WIB.3 Leo Suryadinata (b), Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.1.
3
Taiwan atau mereka yang tidak memegang kewarganegaraan RRC
maupun Taiwan.4 Bahkan mereka yang sudah meng-Indonesiakan nama
mereka sering kali memandang diri mereka sebagai anggota dari
peranakan Tionghoa atau keturunan Tionghoa, yang pada kenyataannya
adalah subdivision dari masyarakat Tionghoa Indonesia. Dalam hal
ekonomi, banyak yang kaya tetapi lebih banyak yang miskin, namun
sebagai minoritas diperkotaan orang Tionghoa tergolong kelas menengah
di Indonesia. Hal ini tercermin dari banyaknya orang Tionghoa yang
berwiraswasta. orang Tionghoa yang sukses adalah mereka yang masih
belum berbaur karena mereka masih memiliki etos imigran dan
wiraswasta, berbahasa Tionghoa dan mampu menggunakan jaringan
perdagangan etnis yang umunnya ditangan orang Tionghoa.
Minoritas yang heterogen ini sering dianggap sebagai minoritas
yang homogen, baik oleh pemerintah Indonesia maupun oleh masyarakat
pribumi.5 Kehadiran minoritas Tionghoa ini dirasakan di Indonesia karena
perdagangan dan aktivitas ekonomi lainnya, keterkaitannya dengan apa
yang dilihat sebagai budaya asing, dan hubungan etnisnya dengan
Tiongkok. Tidak ada keraguan bahwa minoritas Tionghoa memiliki
pengaruh yang melampui kekuatan jumlah mereka, walaupun mereka
belum mengendalikan ekonomi negara. Akhir-akhir ini mereka dianggap
sebagai kapitalis dan konglomerat yang mengeruk kakayaan negara tanpa
4 Leo Suryadinata (b), Ibid, hlm. 2.5 Leo Suryadinata (a), Op,cit. hlm.18.
4
patriotisme, efek persepsi negatif ini bisa dilihat pada kerusuhan
tahun1998.
Masalah yang sangat kompleks bagi kaum Tionghoa adalah
masalah identitas, pada masa kolonial terdapat tiga orientasi sosio politik
yang besar diantara para Tionghoa lokal, yaitu yang berorientasi ke
Tiongkok (kelompok Sin Po), yang percaya bahwa orang Tionghoa lokal
adalah bangsa Cina, mereka yang beroreintasi ke Hindia belanda (Chung
Hwa Hui), yang memahami posisi mereka sebagai kawula Belanda sambil
melanjutkan kehidupan sebagai Tionghoa peranakan, dan mereka yang
menyebut diri sebagai sebagai anggota bangsa Indonesia yang akan
datang.6
Pluralisme yang terjadi menurut hukum perdata diakibatkan oleh
karena politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan pasal
131 IS (Indische Staatsregeling) yang pokok isinya sebagai berikut:7
Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur asing ( Arab,
Tionghoa dan sebagainya), jika ternyata kebutuhan kemsyarakatan
mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa
Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun
dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu
peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-
aturan yang berlaku dikalangan mereka, dan boleh diadakan
6 Leo Suryadinata (b) Op,Cit, hlm.197 Achmad Ichsan, Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, hlm 53.
5
penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan
kemasyarakatan mereka (ayat 2).
Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) Perundangan-
undangan yang berlaku di negeri Belanda (asas konkordasi).
Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam Undang-
undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum sekarang yang
berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat (ayat 6).
Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula Hukum Perdata beserta
hukum Acara Perdata dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab
undang-undang, yaitu dikodisir.
Orang Indonesia asli dan atau orang Timur asing, sepanjang mereka
belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa
Eropa, diperbolehkan “menundukkan diri” (overwerpen) pada hukum
yang berlaku baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu
perbuatan tertentu saja (ayat 4).8
Celakanya, sampai saat ini bangsa Indonesia tetap mengakui dan
memberlakukan pasal 131 IS (Indische Staatsregeling ) tersebut agar tidak
terjadi kekosongan hukum atas hal tersebut. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam pasal I aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945,
yang berbunyi : Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undand-undang
Dasar ini.9
8 http://eprints.undip.ac.id/15954/1/Willy_Yuberto_Andrisma.pdf di akses 20 maret 2013 Jam 12.30 WIB.9 Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Pasal I Aturan Peralihan.
6
Sebagai salah satu bagian dari keberagaman suku bangsa,
masyarakat Tionghoa mempunyai kebiasaan tersendiri yang sebagian
besar berbeda dengan suku asli (pribumi), karena pada dasarnya sifat
kekerabatan masyarakat Tionghoa sangat kental, untuk itu dalam
kehidupan keseharian adat istiadat masih banyak dilaksanakan, seperti
perayaan Cap Goh Meh, Imlek, dan hari-hari besar lainnya.10 Keadaan ini
kemudian terjadi dalam hal pewarisan, menurut pasal 131 Indische
Staatsregelling hukum mengenai pewarisan yang berlaku untuk golongan
Tionghoa adalah hukum perdata. Namun pada kenyataannya hal ini sering
kali dikesampingkan, sebagaiman telah diatur di dalam buku II Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, karena system kekerabatan pada etnis
Tionghoa yang masiih dipegang teguh.
Etnis Tionghoa yang sudah menjadi bagian dari masyarakat
Indonesia tetap memegang teguh tradisi leluhur hal ini ini tercermin dalam
hal pembagian waris, karena seringkali yang digunakan adalah adat
Tionghoa sendiri. seperti yang telah diketahui pembagian waris dalam adat
Tionghoa kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan berbeda. Anak
laki-laki memiliki posisi yang lebih tinggi dalam keluarga, sedangkan
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pembagian waris antara anak
laki-laki dan perempuan adalah sama. Tentu saja hal ini menimbulkan
konsekuensi hukum yang menyertainya.
10 http://eprints.undip.ac.id/15954/1/Willy_Yuberto_Andrisma.pdf di akses 20 maret 2013 Jam 12.30 WIB.
7
Hukum waris yang dipergunakan di Indonesia untuk setiap warga
negara Indoensia, yaitu :11
Pada dasarnya hukum adat berlaku untuk setiap orang Indonesia aslli,
dimana telah dijelaskan berbeda dari bermacam-macam daerah serta
masih ada kaitannya dengan ketiga macam sifat kekelaurgaan, Yaitu
sifat kebapakan, sifat keibuan dan sifat kebapak-ibuan.
Peraturan warisan dari hukum agama Islam mempunyai pengaruh
yang mutlak bagi orang orang Indonesia asli di berbagai daerah.
Hukum warisan dari agama Islam pada umumnya diperlukan bagi
orang-orang Arab.
Hukum warisan Burgerlijk wetboek (buku II litel 12 s.d 18 pasal-pasal
830 s.d 1130) diperlukan bagi orang Tionghoa.
Sistem lingkungan kekeluargaan yang bersifat kebapakan
seseorang istri dari pernikahannya adalah diputuskan dari hubungan
kekeluargaan dengan orang tuanya, nenek moyangnya saudara sekandung,
saudara sepupu, dan lain,lain dari sanak kekeluargaannya. Dengan
meninjau uraian kalimat diatas, maka dapat dipahami peraturan hukum
warisan di Indonesia terdiri dari tida macam yaitu, hukum adat, hukum
agama Islam dan hukum Burgerlijk Wetboek.
Perbedaan ketiga macam sifat kekeluargaan yang terdapat pada
orang-orang Indonesia asli, dipandang pada keseluruhannya serta di
bedakan dari sifat kekeluargaan yang terdapat pada orang-orang Indonesia
11 Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta,2006, hlm.9.
8
berwarganegaraan asing, misalkan orang-orang Tionghoa dan Eropa lebih
tunduk pada hukum Burgerlijk Wetboek.12 Maka dari sini akan jelas
terlihat adanya persamaan sifat dari kekeluargaan dan warisan diantara
orang-orang Indonesia asli, di bandingkan dengan sifat kekeluargaannya
dan warisan diantara orang-orang Tionghoa dan Eropa.
Letak perbedaan yang utama adalah dengan adanya pasal 1066
Burgerlijk Wetboek, dimana pasal ini tidak ada dalam hukum adat di antara
orang-orang Indonesia asli. Pasal 1066 Burgerlijk Wetboek menetapkan
adanya hak mutlak dari masing-masing para ahli waris apabila pada suatu
saat menuntut pembagian dari harta warisannya, sedangkan pada hukum
adat untuk orang-orang Indoneisa asli kadang-kadang harta warisan itu
masih utuh dan tidak menjadi suatu keharusan untuk di bagi-bagikan pada
ahli warisnya.
Etnis Tionghoa di Indonesia seharusnya lebih mengacu pada
Burgerlijk Wetboek yang sudah mengatur dengan jelas mengenai
pewarisan. Namun pada kenyataannya orang-orang Tionghoa cenderung
untuk menggunakan hukm adat dalam hal pewarisan, sedangkan menurut
Burgerlijk Wetboek hukum adat hanya di berlakukan bagi penduduk
Indonesia asli (pribumi).
Prinsipnya bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur
hubungan antar perseorangan (privat), maka aturan hukum waris
digolongkan ke dalam serangkaian hukum perdata. Dengan demikian
apabila yang digunakan dalam pembagian harta waris adalah hukum adat
12 Oemarsalim, Ibid, hlm.8.
9
maka disebut sebagai hukum perdata adat. Dalam Burgerlijk Wetboek
peraturan mengenai pewarisan terdapat dalam buku II dan diatur dalam
beberapa bagian, yaitu : bagian satu, ketentuan-ketentuan umum dari pasal
830 sampai dengan pasal 851, bagian kedua, pewarisan para keluarga
sedarah yang sah dan suami atau istri yang hidup terlama, pasal 852-861,
dan bagian ketiga, pewarisan bila ada anak-anak di luar kawin pasal 862-
873.
Hukum waris merupakan masalah yang sangat penting, maka
Mayers sendiri mengatakan bahwa tidak ada hukum warisan dalam arti
yang sebenarnya, jika harta warisan dapat atau tidak dipisahkan. Bahwa
sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di dunia ini memiliki kondisi
kekelurgaan yang berbeda-beda, dari inilah keadaan warisan suatu
masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya
dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada kekayaan
dalam masyarakat13
Uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas, menimbulkan
ketertarikan untuk meneliti dan menganalisa tentang pembagian waris
dalam adat Tinghoa di kota Pangkal Pinang dengan judul “Pembagian
Waris Etnis Tionghoa di Pangkal Pinang Ditinjau dari Pasal 830
Kitab Undang-undang Hukum Perdata”.
C. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
13 Oemarsalim, Ibid, hlm.4.
10
1. Bagaimana efektivitas pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata terhadap pembagian waris etnis Tionghoa di kota Pangkal
Pinang ?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa waris pada etnis Tionghoa di kota
Pangkal Pinang ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Mengetahui tentang adat istiadat etnis Tionghoa yang sudah
menjadi bagian dari masyarakat Indonesia khususnya etnis
Tionghoa yang ada di kota Pangkal Pinang.
b. Mengetahui tentang system pembagian waris dalam etnis Tionghoa
berdasarkan hukum adat dan system kekerabatan Tionghoa.
c. Mengetahui tentang system pembagian waris yang terdapat dalam
Kitab undang-undang Hukum Perdata, hukum adat dan
pengaplikasiannya dalam kenyataan yang ada di masayarakat
khususnya masyarakat yang termasuk dalam golongan Timur
asing.
2. Manfaat penelitian
Penulisan skripisi ini di harapkan mempunyai manfaat, sebagai
berikut :
a. Bagi golongan Tionghoa
11
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi golongan Tionghoa
dalam hal pembagian harta waris baik sacara kebiasaan adat
maupun dalam hukum acara perdata.
b. Bagi masyarakat umum.
Penelitian ini diharapkan bisa memperkenalkan lebih dalam kepada
masyarakat luas mengenai etnis Tionghoa secara lebih dalam,
memahami ataupun lebih mengetahui bagaimana bentuk dari suatu
struktur kekeluargaan/kekerabatan dari adat Tionghoa beserta
perubahan-perubahan dan perkembangan khususnya dalam hal
pembagian waris masyarakat Tionghoa. dan menghilangkan
kecenderungan pengkotak-kotakan suku, agama, dan ras dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tercipta Indonesia
yang damai.
c. Bagi kalangan akademisi
Penulisan skripsi ini seyogyanya diharapkan bisa memberikan
sumbagan ilmu pengetahuan, gambaran, dan refrensi mengenai
realitas yang dialami etnis Tionghoa dalam hal pembagian waris
dalam kaitannya dengan hukum perdata dan hukum adat.
d. Bagi peneliti
Penelitian yang dilakukan memberikan realitas mengenai etnis
Tionghoa, sehingga dapat melatih dan mengasah kemampuan
peneliti dalam mengkaji dan menganalisa teori-teori dengan
12
penerapan teori dan peraturan yang terjadi dimasyarakat. Hasil
penelitian yang diperoleh dapat memberikan pengetahuan
mengenai sinkronisasi teori dengan praktek yang hidup di
masyarakat.
E. Landasan Teori
Masalah pewarisan adalah masalah yang sangat kompleks karena
mewariskan berarti mengambil alih kedudukan sipewaris. Masalah yang
kemudian kerap muncul adalah terjadinya perebutan kuasa oleh para ahli
waris yang pada umumnya memperebutkan harta-harta yang ditinggalkan
oleh sang pewaris (sengketa waris). Di Indonesia sendiri, masalah hukum
waris diatur dalam hukum perdata, hukum adat, dan hukum Islam. Dimana
masing-masing bidang hukum tersebut sudah menempatkan obyeknya
pada posisi yang berbeda-beda.
Hal yang membuat rumit ialah karena tidak ada definisi yang
mutlak mengenai hukum perdata, masing-masing sarjana dengan literature
yang ditulisnya mempunyai definisi yang berbeda-beda mengenai hukum
perdata. Kebanyakan para sarjana menganggap hukum perdata sebagai
hukum yang mengatur kepentingan perseorangan (privat) yang berberda
dengan hukum pidana yang mengatur kepentingan umum (public).14 Hal
ini sejalan dengan apa yang di ungkapkan R. Subekti yang menyatakan
hukum perdata adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-
kepentingan perseorangan.15
14 Wijono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Jakarta, 1979, hlm.11.15 R. Subekti, Pokok-pokok dari Hukum Perdata, Intermesa, Jakarta, 1975, hlm.9.
13
Hukum perdata Indonesia yang di dasarkan pada Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, merupakan salinan dari Burgerlijk Wetboek
Belanda yang sebelumnya meniru Code Civil Perancis. Secara yuridis
formil kedudukan Burgerlijk Wetboek tetap sebagai undang-undang sebab
Burgerlijk Wetboek tidak pernah dicabut kedudukannya sebagai undang-
undang. Namun pada waktu sekarang Burgerlijk Wetboek bukan lagi
sebagi Ktab Undang-undang Hukum Perdata yang bulat dan utuh seperti
keadaan yang diundangkan semula. Meningat beberapa materi didalamnya
sudah disingkirkan sesuai dengan perkembangan masyarakat.16 Untuk
melaksanakan hukum perdata di Indonesia, kita terpaksa masih harus
mengikuti penggolongan-penggolongan penduduk Indonesia menurut
ketentuan pasal 131 Indische Staatsregelling jo pasal 163 Indische
Staatsregelling. Berdasarkan pasal 131 Indische Staatsregelling jo pasal
163 Indische Staatsregelling, maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
berlaku bagi:17
- Orang-orang Belanda
- Orang-orang Eropa yang lain
- Orang Jepang, dan orang-orang lain yang tidak termasuk dalam
kelompok satu dua yang tunduk pada hukum yang mempunyai asas-
asas hukum keluarga yang sama
16 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 27.17 J. Satrio, Hukum Waris, PT. Alumni, Bandung, 1992, hlm. 6.
14
- Orang-orang yang lahir di Indonesia, yang sah ataupun diakui secara
sah dan keturunan lebih lanjut dari orang-orang yang termasuk
kelompok 2 dan 3
Selanjutnya berdasarkan Staatsregelling. 1924 : 557 dinyatakan
berlaku untuk golongan Tionghoa di seluruh Indonesia, ketentuan tersebut
berlaku sejak 1 maret 1925.18
Hukum perdata dapat dibedakan atas hukum yang bersifat
pelengkap (aanvullend) dan hukum yang bersifat memaksa (dwingend
recht) berdasrkan ketentuan berlakunya atau ketentuan mengikatnya.
Hukum yang bersifat pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang
boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang
berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana hanya berlaku
sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri
kepentingannya. Sedangkan hukum yang bersifat memaksa adalah
peraturan-peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau
disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-
peraturan hukum mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan
menaatinya.19
Dengan memperhatikan pasal-pasal yang mengatur tentang warisan
dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum perdata maka pasal-pasal
tersebut merupakan hukum yang bersifat pelengkap. Karena orang-orang
yang berkepentingan dapat menyimpangi dan mengadakan perjanjian
18 J. Satrio, Ibid, hlm. 6.19 Riduan Syahrani, Op,Cit, hlm.37.
15
sendiri mengenai apa-apa yang hendak disepakati berdarkan kesepakatan
bersama.
Hukum perdata menurut doktrin-doktrin ilmu pengetahuan hukum,
para sarjana dibagi menjadi 4 dibagi bagian, yaitu:
- Hukum peorangan/pribadi (personenrecht)
- Hukum keluarga (familierecht)
- Hukum kekayaan (vernomogensrecht)
- Hukum waris (erfrecht)20
Bersumber dari doktrin diatas di simpulakan bahwa hukum waris
merupakan suatu bagian tersendiri dari hukum perdata.21 Di dalam buku II
Kitab Undan-undang Hukum perdata, hukum waris diatur bersama-sama
dengan hukum benda pada umumnya. Hal ini disebabkan karena Kitab
Undang-undang Hukum perdata yang pada dasarnya sama dengan
Burgerlijk Wetboek Belanda, dengan perubahan-perubahan sedikit disana-
sini, merupakan hasil jiplakan dari Code Civil Prancis. Dalam pasal 584
Kitab Undang-undang Hukum perdata (pasal 584 BW, pasal 711 CC)
ditetapkan bahwa : Hak milik atas suatu benda tak dapat diperoleh dengan
cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena
kadaluarsa, karena pewarisan baik menurut undang-undang maupun
wasiat.
Mr. A. Pitlo mendefinisikan hukum waris adalah suatu rangkaian
ketentuan-ketentuan, dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang,
20 Riduan Syahrani, Op,Cit, hlm. 27.21 J. Satrio, Op,Cit, hlm, 1.
16
akibat-akibatnya didalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari
beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli
waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan
pihak ketiga.22 Dari pendapat Mr. A. Pitlo tersebut dapat disimpulkan
bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya
bagi para ahli warisnya.
J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris mendifinisikan Pewaris
adalah “orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta
kekayaan”. Ahli waris adalah mereka-mereka yang menggantikan
kedudukan sipewaris dalam bidang hukum kekayaan, karena
meninggalnya sipewaris. Sedangkan Warisan adalah kekayaan yang
berupa kompleks aktiva dan pasiva sipewaris yang berpindah kepada
sipewaris. Kompleks aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama
beberapa orang ahli waris disebut boedel. 23
Pewarisan dapat terjadi karena di tunjuk oleh undang-undang
disebut pewarisan ab-intestato dan para ahli warisnya disebut ahli waris
ab-intestaat, atau berdasarkan kehendak sipewaris (testamen) disebut
pewarisan ad-testamento dan ahli warisnya disebut testamentair.24
Testamen atau wasiat adalah kehendak pewaris mengenai apa yang
dikehendaki agar terjadi dengan hartanya setelah ia meninggal dunia.
22 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum kelurga, hukum pembuktian, Menurut kitab Undang-undang Hukum perdata, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm.7.23 J. Satrio, Op,cit, hlm. 8.24 J. Satrio, Op,Cit, hlm. 8-9.
17
Hukum waris adat memiliki kekhasan tersendiri, yaitu tidak
mengenal adanya pembagian waris yang ditentukan. Semua dikembalikan
pada asas musyawarah mufakat, kelayakan, kepatutan, dan juga kebutuhan
masing-masing ahli waris. Kemufakatan itulah yang menjadi dasar hukum
pembagian waris adat.25
Secara umum dikatakan bahwa hukum adat waris adalah hukum
adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang system, dan asas-asas
hukum waris, tentang harta warisan itu dialihkan penguasaannya dan
pemiliknya dari sipewaris kepada ahli waris. Dengan kata lain hukum adat
waris sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu
generasi kepada keturunannya.
R. Soepomo mengatakan bahwa hukum adat waris membuat
aturan-aturan yang mengatur proses penerusan serta mengoperkan barang-
barang yang tidak berwujud (in-materil) dari suatu angkatan manusia
kepada keturunannya.26
Selain mengenal sistem pembagian waris, di dalam hukum adat
waris juga di kenal asas-asas dalam pembagian harta warisan, adapun asas-
asas yang terdapat dalam hukum waris adat adalah sebagai berikut :
Asas Kerukunan
Asas kerukunan adalah asas dalam pembagian warisan dimana para
ahli waris tidak memperhitungkan jumlah harta yang diterimanya, tetapi
25 Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm. 6.26 ES. Ardinarto, Mengenal Adat Istiadat Hukum Adat di Indonesia , LPP UNS dan UNS Press, Jakarta, 2009, hlm.85.
18
mengutamakan kerukunan diantara para ahli waris. Berapapun jumlah
yang diterima tidak masalah, asalkan rukun. Disini bisa saja seorang ahli
waris memberikan bagiannya kepada ahli waris lain yang lebih
membutuhkan.
Asas Persamaan Hak
Asas persamaan hak adalah dimana semua ahli waris mendapatkan
pembagian yang sama besarnya, baik itu anak lelaki atau perempuan, anak
sulung atau bungsu semuanya mempunyai hak yang sama.
Asas Segendong Sepikul atau Satu Banding Dua
Asas ini dipengaruhi oleh hukum waris Islam (An-NisaI IV : 11)
yaitu bagian wanita separo dari bagian pria. Namun Mahkamah Agung RI
sering membuat surat edaran kepada semua pengadilan negeri supaya tidak
lagi memutuskan pembagian warisan dengan asas segendong sepikul
karena tidak sesuai dengan asas keadilan.27
Orang Indonesia asli yang tunduk pada hukum adat semata-mata
karena sebagian besar adalah pemeluk agama Islam, karena itu pengaruh
warisan yang terdapat dalam hukum agama Islam selalu ditaati. Maka dari
itu khusus orang-orang Tionghoa dan Eropa (warga negara Indonesia)
memiliki peraturan tersendiri, bahwa harta warisan pada umumnya harus
secepat mungkin dibagi-bagikan. Terkecuali jika ada persetujuan bulat dari
orang-orang yang memiliki hak atas harta warisan tersebut, maka harta
warisan itu tidak perlu secepatnya dibagi-bagikan.
27 ES. Ardinarto, Ibid, hlm. 91.
19
Bagi masyarakat Tionghoa pembagian harta wariasan telah
berlangsung sejak turun-temurun, jika orang tua telah usia lanjut atau jika
bapak meninggal terlebih dahulu, warisan sementara dipegang/dikelola ibu
dan setelah ibu meninggal warisan tersebut dibagi-bagikan kepada semua
anak lelaki, yang perempuan biasanya tidak mendapat warisan, apalagi
bagi perempuan yang sudah berumah tangga karena statusnya punya
suami, terkecuali ada wasiat dari Bapak/Ibu sebelum meninggal itu sudah
ditentukan berapa haknya dan jika punya anak angkat di keluarga
Tionghoa berhak juga mendapat warisan. Jika warisan sedikit, biasanya
dengan musyawarah, warisan tersebut diberikan kepada anak sibungsu.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan sebuah langkah yang sangat penting,
karena merupakan sebuah proses yang akan digunakan dalam
menyelesaikan suatu maslah yang akan di teliti. Metode penelitian memuat
langkah-langkah yang akan diambil dan dianggap efisien, efektif dalam
mengumpulkan, mengolah, dan menganalisa data dalam rangka menjawab
masalah yang akan diteliti. Adapun metode yang akan digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Sifat penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat
deskriptif analisis, yaitu bentuk penelitian yang terbatas untuk
20
mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya,
sehingga hanya bersifat sekedar mengungkapkan fakta serta bersifat
analisis yang dimaksudkan untuk memberi data seakurat mungkin
tentang suatu keadaan atau gejala-gejala lainnya. 28
Dikatakan deskriptif analisis, karena penelitian ini diharapkan
mampu memberi gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh
mengenai segala hal yang berhubungan dengan pembagian waris pada
etnis Tionghoa di kota Pangkal Pinang. Sedangkan istilah analitis
mengandung pengertian mengelompokkan, menghubungkan,
membandingkan dan memberi konspirasi aspek-aspek dari
pelaksanaan pembagian waris pada etnis Tionghoa kota Pangkal
Pinang.
2. Metode pendekatan
Metode yang digunakan adalah metode pendekatan yang bersifat
Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris, di mana data-data di
kumpulkan dari sumber-sumber peraturan-peraturan hukum yang
berlaku kemudian di kaitkan dengan data lapangan. Pendekatan yang
bersifat yuridis kemudian mempergunakan sumber data sekunder
dengan tujuan untuk menganalisa pelaksanaan pembagian waris pada
etnis Tionghoa di kota Pangkal Pinang. 29
Metode yuridis normative adalah Pendekataan yang membahas
objek penelitian yang menitik beratkan pada ketentuan perundang-
28 Abdulkadir Muhamad, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 50.29 Soerjono Soekanto, Pengantar Pnenelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2008, hlm.51
21
undangan yang berlaku. pendekatan normatif dalam penelitian ini
mengacu pada pada peraturaan perundang – undangan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai pembagian
waris.30
Metode yuridis empiris adalah pendekatan yang
mempergunakan sumber data primer, yakni data yang langsung
diperoleh dari responden yang digunakan untuk mengetahui gambaran
pelaksanaan pelaksanaan pembagian waris pada etnis Tionghoa di kota
Pangkal Pinang.
3. Sumber data
a. Sumber data primer
Sejumlah data atau fakta yang diperoleh secara langsung melalui
suatu penelitian lapangan dengan cara wawancara secara tersusun
atau spontan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penulisan
penelitian ini.
b. Sumber data sekunder
Semua bahan hukum yang bersifat menjelaskan bahan hukkum
primer, berupa pendapat para ahli sarjana serta literatur-literatur
yang relevan dengan penelitian. Bahan hukum yang digunakan
dalam menulis dan menganalisa maslah dalam penelitian ini, antara
lain :
30 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penulisan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 15.
22
1) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer Yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sehubungan dengan itu,
maka bahan hukum primer yang digunakan adalah :
i. Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia
ii. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
iii. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
2) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yang memebrikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, diantaranya berasal dari karya
para sarjana, jurnal, data yang diperoleh dari instansi atau
lembaga-lembaga terkait, serta buku-buku kepustakaan yang
dapat menunjang penelitian ini.
3) Bahan hukum tersier
Yaitu bahan hukum yang menunjang bahan hukum sekunder,
seperti kamus, ensiklopedia, indeks komulatif, bahan yang
berasal dari internet, dan lain-lain.31
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data adalah cara mendapatkan data yang
kita inginkan. Dengan ketepatan teknik pengumpulan data, maka data
31 Amirudin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003, hlm. 32.
23
yang diperoleh akan sesuai dengan yang diinginkan. Dalam penelitian
ini teknik yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Penelitian lapangan (field research)
Untuk memperoleh data primer dilakukan dengan penelitian
lapangan untuk menjadi objek penelitian teknik yanmg digunakan
adalah wawancara tidak terarah atau tidak terstruktur. intinya
adalah, bahwa seluruh wawancara tidak didasarkan pada suatu
sistem atau daftar pertanyaan yang diterapkan sebelumnya.
Pewawancara tidak memberikan pengarahan yang tajam, akan
tetapi semuanya diserahkan kepada yang diwawancarai, untuk
memberikan penjelasan menurut kemauannya masing-masing.32
b. Studi kepustakaan (library research)
Yaitu teknik pengumpulan data sekunder yang dilakukan melalui
dokumen-dokumen, buku-buku, dan peraturan perundang-
undangan atau tulisan-tulisan yang terdapat dalam surat kabar,
catatan kuliah, dan bahan bacaan ilmiah yang mempunyai
hubungan dengan masalah yang di analisa.33
5. Teknik analisa data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif,
yaitu dari data yang diperoleh setelah itu disusun secara sistematis
kemudian dianalisa secara kualitatif guna mencapai kejelasan terhadap
32 Soerjono Soekanto Op,cit, hlm.228.33 Soerjono Soekanto, Op,Cit, hlm.201.
24
permasalahan yang akan dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa
yang diyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga
perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari secara utuh.
Pengertian analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan
dan kajian secara logis dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan
cara berpikir deduktif-deduktif dan mengikuti tata tertib dalam
penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka
hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan
menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan
jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.34
G. Sistematika penullisan
Sistematika penulisan merupakan langkah untuk memberikan
gambaran yang jelas mengenai penulisan skripsi, maka penulis membagi
penulisan skripsi ini menjadi 4 bab. Adapun sub-sub bab dalam penulisan
ini sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah
yang ingin diutarakan, tujuan dan maksud penelitian, manfaat
penelitian, kerangka teori, metode penelitian yang digunakan,
dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan pustaka
34 Soerjono Soekanto, Op,Cit, hlm.250.
25
Bab ini akan berisikan tinjauan umum mengenai hukum waris
perdata, penjelasan mengenai hukum waris adat Tionghoa,
sistem kekerabatan pada etnis Tionghoa, serta adat istiadat etnis
Tionghoa.
BAB III Pembahasan
Bab ini akan berisikan pembahasan tentang efktivitas pasal 830
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Terhadap Pembagian
Waris Etnis Tionghoa di Pangkal Pinang, tentang cara
penyelesaian sengketa waris pada etnis Tionghoa yang ada di
Kota Pangkal Pinang.
BAB IV Penutup
Bab IV yang merupakan bab terakhir, dimana dalam bab ini
berisikan tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan
jawaban dari pokok-pokok permasalahan yang diajukan.
Sedangkan saran merupakan sumbangsih pemikiran hasil
penelitian dalam upaya mengatasi permasalahan yang ada.
H. Daftar pustaka
Buku-buku :
Abdulkadir Muhamad, Hukum Dan Penelitian Hukum, 2000, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Achmad Ichsan, Hukum Perdata,1969. Pembimbing Masa, Jakarta.
Ali afandi, Hukum Waris, Hukum kelurga, hukum pembuktian, Menurut kitab Undang-undang Hukum perdata, 1989, PT. Bina Aksara, Jakarta.
26
Amirudin Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, 2003, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris, 2009, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
ES. Adinarto, Mengenal Adat Istiadat Hukum Adat di Indonesia, 2009, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta.
J. Satrio, Hukum Waris, 1992, P.T Alumni, Bandung.
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa (Kasus Indonesia), 2002, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia, 2005, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, 2006, Rineka Cipta, Jakarta.
R. Subekti, Pokok-pokok dari hukum Perdata, 1975, Intermesa, Jakarta..
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, 2006, P.T Alumni, Bandung.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penulisan Hukum, 1982, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soerjono Soekanto, Pengantar Pnenelitian Hukum, 2008, UI-Press, Jakarta.
Wijono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, 1979, Sumur Bandung, Jakarta.
Perundang-undangan : Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Data Elektronik : http://eprints.undip.ac.id/15954/1/Willy_Yuberto_Andrisma.pdf.di
akses 20 maret 2013 Jam 12.30 WIB.
27