Post on 01-Feb-2018
1 Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
2 Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
3 Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
4 Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
5 Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
6 Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
7 Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
8 Universitas Indonesia
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
9 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Perilaku homoseksual bukanlah suatu hal yang baru dalam sejarah kehidupan manusia
karena perilaku ini sendiri sebenarnya telah muncul pada abad-abad sebelumnya,1 dan
belakangan ini menjadi bagian dari kajian para kaum intelektual. Homoseksualitas telah
dikaji dari berbagai sudut pandang, namun dapat dikatakan bahwa penelitian tentang
homoseksualitas berangkat dari satu pijakan yang sama, yaitu melihat homoseksual
sebagai liyan. Identitas homoseksual bersifat tersembunyi dan tertekan karena
homoseksualitas tidak dibenarkan dan sangat bertentangan dengan aturan-aturan
heteroseksual yang selama ini berlaku di masyarakat.
I.1.1. Wacana Pemerintah
Selain karena kelompok homoseksual dilihat sebagai liyan, berbagai macam wacana
tentang homoseksualitas juga melatarbelakangi lahirnya penelitian homoseksual. Dalam
wacana pemerintah, homoseksualitas dipolitisasi oleh kuasa untuk memarginalkan
kelompok ini karena homoseksual dianggap sebagai penyebab utama mewabahnya
penyakit HIV/AIDS. Misalnya saja, di Amerika pada era pemerintahan Presiden Ronald
Reagan dan di Inggris pada pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher, HIV dan
AIDS digunakan sebagai kuasa untuk merepresi kelompok homoseksual tidak hanya
karena mereka dianggap sebagai komunitas yang berpotensi menyebarkan penyakit ini,
melainkan juga secara tidak langsung merupakan dalih bagi kepentingan untuk
menghilangkan komunitas ini.2 Padahal, jika kaitannya dengan penyakit HIV dan AIDS,
1 Dalam “Homosexuality and Gay Liberation: Alternate Lifestyle or Immorality?”, disebutkan bahwa banyak
pemimpin pada zaman Yunani dan Romawi Kuno adalah homoseksual, begitu pula pemikir-pemikir besar seperti Socrates dan Plato. http://gospelway.com/morality/homosexuality.php 2 Disebutkan dalam Weeks bahwa baik pemerintahan Presiden Ronald Reagan di Amerika Serikat, maupun
Pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher di Inggris, sama-sama memusuhi komunitas homoseksual karena komunitas ini berhubungan dengan penyakit AIDS dan HIV. (Weeks, Jeffrey. 2000. “The Challenge of Lesbian and Gay Studies”. hal 8). Disebutkan pula dalam sumber yang berbeda, bahwa pada 1980-an, ketika penyakit AIDS memakan banyak korban, pemerintahan Reagan mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk menanggulangi situasi ini. Korban terbanyak adalah kaum homoseksual sehingga semakin diyakini bahwa penyakit AIDS berhubungan erat dengan homoseksualitas. (Kinanti, Ruth Sih. 2001. Representasi Homoseksualitas dalam Angels in Amerika. hal 25).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
10 Universitas Indonesia
tidak tertutup kemungkinan penyakit ini bisa saja diidap dan disebarkan oleh
heteroseksual.3
I.1.2. Wacana Agama
Wacana pemerintah tentang HIV/AIDS bukan satu-satunya cara untuk merepresi
kelompok ini karena identitas homoseksual menjadi semakin terpojok dan tertekan lagi
karena dihakimi berdasarkan sudut pandang agama. Wacana agama menyebutkan bahwa
homoseksual adalah hal yang ditentang dan dilarang atau, dengan kata lain, homoseksual
adalah sebuah dosa, sehingga orang akan berusaha untuk menghindarinya agar tidak
terjerumus ke dalam “dosa” tersebut dan “menghakimi” kaum homoseksual atas nama
agama.
Ketakutan, kebencian, dan kekhawatiran yang tidak rasional4 terhadap kelompok
homoseksual ini akhirnya muncul, sehingga kelompok ini dianggap patut untuk ditakuti
dan dilenyapkan bila perlu.5 Kathryn Woodward (1997) dalam “Concepts of Identity and
Difference” menyebutkan bahwa hal ini terjadi akibat dari pemahaman akan identitas yang
mengacu pada paham essensialis dan non- essensialis yang ia jabarkan ke dalam sepuluh
konsep pengertian menurut Michael Ignatieff. Salah satunya menyebutkan bahwa identitas
terkait dengan kondisi sosial dan material, dalam arti bahwa kelompok masyarakat yang
ditabukan atau dianggap musuh akan menjadi pihak yang secara sosial terasingkan dan
secara material dirugikan (hal.12).
I.1.3. Wacana Akademik
Persoalan homoseksual ini cukup kompleks karena mencakup aspek-aspek lain yang lebih
dari sekadar aspek keagamaan, dalam arti bahwa persoalan ini melibatkan manusianya itu
sendiri sebagai mahluk yang memiliki keterkaitan dengan aspek kultural, biologis, dan
sosiologis sehingga tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang keagamaan saja. Padahal,
3Menurut data penelitian yang diperoleh dari “Fact Sheet:The HIV/AIDS Epidemic in the United States”,
February 2012, disebutkan bahwa dari 24 kota yang terkena penyakit AIDS, ditemukan sebanyak 2% heteroseksual yang terinfeksi HIV. Data ini menunjukkan bahwa tidak hanya homoseksual, tetapi juga heteroseksual berpotensi terkena penyakit ini, khususnya mereka yang tidak berpendidikan, berpendapatan rendah, dan yang tidak bekerja. http://www.kff.org/hivaids/upload/3029-22.pdf 4“Fact Sheets: Sexual Orientation and Identitiy” menyebutkan bahwa kebencian seperti ini disebut sebagai
homophobia, yakni suatu ketakutan atau kebencian yang irasional terhadap kaum homoseksual akibat dari prasangka yang terkonstruksi secara sosial dan kultural (www.siecus,2000). 5 Homoseksual tercatat tujuh kali lipat lebih sering menjadi korban kekerasan, baik kekerasan fisiologis
maupun kekerasan psikologis, daripada heteroseksual (ibid.,hal 2).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
11 Universitas Indonesia
berdasarkan pada sejumlah penelitian ilmiah, seseorang dengan orientasi seksual seperti ini
disinyalir lahir dari beberapa faktor, antara lain faktor dari dalam dirinya (genetik) dan
faktor di luar dirinya (lingkungan, pilihan), meskipun ini juga tidak sepenuhnya bisa
dikatakan sebagai hal yang akurat (“Fact Sheet: Sexual Orientation and Identity”, 2000).
Seorang Psikiater Keminatan Psikosomatik6 mengatakan bahwa penelitian terhadap
penyebab keadaan homoseksual sering kali dikaitkan dengan tiga hal, yaitu apakah itu
merupakan keinginan sendiri, pengaruh lingkungan, atau genetik, dan dalam makalahnya
ia berargumen bahwa hal ini berhubungan dengan kondisi pranatal dan anatomi otak.7
Oleh karena kompleksitas persoalan homoseksual ini demikian unik, maka
ketertarikan para peneliti atau para akademisi untuk mengetahui lebih dalam tentang
masalah ini sudah tak terhitung jumlahnya dan salah satunya dilakukan melalui penelitian
ini. Bingkai kajian budaya terpusat pada masyarakat dengan segala seluk beluknya yang
dikaitkan dengan apa yang menjadi isu dari suatu persoalan budaya, di antaranya identitas,
ras, seksualitas, dan kelas sosial.8 Pada dasarnya, inti kajian budaya ini, antara lain, adalah
untuk lebih menaruh perhatian pada komunitas atau kelompok masyarakat yang
termarginalkan atau kelompok minoritas, dan kelompok homoseksual termasuk salah
satunya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian mengenai kelompok
homoseksual memang telah banyak dilakukan oleh para akademisi, sosiolog, antropolog,
dokter, atau para peneliti dari berbagai bidang kajian ilmu lainnya. Penelitian yang
dilakukan tentang persoalan ini menghasilkan sejumlah pemikiran, teori, dan perspektif
yang beragam sifatnya, bergantung pada tujuan dari masing-masing penelitian, dan dari
6 Dr. Andri, seorang Psikiater Keminatan Psikosomatik yang juga seorang dosen di Divisi Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran UKRIDA, anggota The Academy of Psychosomatic Medicine. 7 Kutipan yang terkait dengan keterangan ini diperoleh dari sebuah makalah yang ditulis oleh Dr. Andri dan
telah dipresentasikan pada Seminar Awam “Homoseksual, Is it OK?”, Minggu, 15 Maret 2009, di Auditorium Museum Bank Mandiri, Jakarta, sebagai berikut: “Hipotesis neurohormonal mengatakan bahwa orientasi seksual ditentukan oleh hormon yang bekerja di otak pada masa perkembangan pranatal. Kondisi neuroanatomi yang berbeda juga dapat diperlihatkan pada homoseksual dibandingkan dengan heteroseksual. Pada otak terdapat suatu daerah yang disebut interstitial nucleus of anterior hypothalamus ketiga (INAH-3) yang jika daerah tersebut lebih besar, maka ketertarikan individu itu kepada perempuan lebih besar, jika lebih kecil maka ketertarikan kepada laki-laki lebih besar. Penelitian menunjukkan bahwa heteroseksual mempunyai daerah ini sampai 2-3 kali lebih besar dibandingkan homoseksual.” (Andri, 2009. http://www.kabarindonesia.com) 8 Hall, dalam Chris Barker yang berjudul Cultural studies Theory and Practice, mengatakan bahwa kajian
budaya merupakan sebuah formasi diskursif, yakni formasi dalam bentuk ide, citra dan praktek yang dikaji secara terbuka sehingga menghasilkan sebuah pengetahuan dan sikap terkait dengan isu-isu dalam masyarakat (2000, hal.6).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
12 Universitas Indonesia
sisi mana persoalan homoseksualitas ini dilihat. Sejauh ini, penelitian yang dimaksud
banyak berkaitan dengan penyebab terjadinya kondisi homoseksual9 dan bagaimana
moralitas mereka terkait dengan identitas seksualitas seperti ini.10
Selain itu, Jeffrey
Weeks, dalam artikelnya “The Challenge of Lesbian and Gay Studies”, menyebutkan
bahwa penelitian terkait juga dengan penyakit HIV dan AIDS karena penyakit ini muncul
sebagai isu sosial yang disinyalir disebabkan oleh kelompok homoseksual.
“Gay studies, especially concerning identity and sexual behavior,
has been an indispensable basis for intellectual work around AIDS,
and for understanding the social aspects of the epidemic. At the
same time, the impact of AIDS has shifted much of the work in
lesbian and gay studies, redirecting it in large towards enquiries
which could illuminate the epidemiology, representations and social,
political, cultural and personal consequences of the syndrome. In
many ways lesbian and gay studies came of age in its work around
the epidemic.” (2000, p.10)
Studi tentang gay, khususnya yang menyangkut identitas dan
perilaku seksual, telah menjadi fondasi penting yang melandasi
kajian intelektual seputar penyakit AIDS untuk memahami aspek-
aspek sosial terkait dengan penyakit tersebut. Dampak AIDS, pada
saat yang sama, telah banyak menggeser fokus kajian studi gay dan
lesbian ke penelitian-penelitian yang akan dapat menyumbang
kepada epidemiologi, representasi dan konsekuensi-konsekuensi
sosial, politis, kultural dan pribadi dari sindrom ini. Dalam berbagai
cara, studi tentang gay dan lesbian berkembang di seputar penyakit
tersebut (2000, hal.10).
Sejumlah penelitian memang sudah banyak dilakukan, namun belum ada
penjelasan atau definisi yang benar-benar akurat tentang homoseksualitas karena untuk
memahami kelompok ini selalu diperlukan sebuah diskusi yang bersifat terbuka. Suatu
penjelasan tentang homoseksual bergantung pada sudut pandang tertentu, dalam arti bahwa
pijakan-pijakan yang melandasi persoalan ini menentukan bagaimana dan dari sudut mana
persoalan ini dipandang.
“At its most basic, lesbian and gay studies is a standpoint
perspective. It is a perspective developed from a particular
9 Salah satu penelitian terkait hal ini saya paparkan pada halaman 6 , yaitu penelitian dari seorang Psikiater
Keminatan Psikosomatik. 10
Homoseksualitas dalam hubungannya dengan moralitas seringkali dilihat dari perspektif agama, misalnya dalam artikel “Homosexuality and Gay Liberation : Alternate Lifestyle or Immorality?” yang mempersoalkan homoseksual sebagai sesuatu yang moral atau imoral dan bagaimana agama (dalam hal ini Kristiani) menjawab persoalan tersebut. http://gospelway.com/morality/homosexuality.php
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
13 Universitas Indonesia
position, a particular history of a different culture, which is
committed to the understanding of societal hostility towards
homosexuality. It is concerned with the power of heterosexual
privilige; it is concerned with understanding the ways in which a
hierarchy of sexual values and sexual power is
constructed...”(2000, p.9).
Pada dasarnya, studi tentang lesbian dan gay adalah studi yang
berlandaskan pada suatu perspektif, yakni perspektif yang
berkembang dari satu posisi tertentu, sejarah tertentu dari suatu
kebudayaan yang berbeda, yang bertujuan untuk memahami sikap
negatif masyarakat terhadap homoseksualitas. Studi ini juga
menaruh perhatian pada kuasa heteroseksual serta pemahaman
akan bagaimana hirarki nilai-nilai seksual dan kuasa seksual
dikonstruksi (2000, hal.9).
Singkatnya, kutipan di atas menyatakan bahwa studi homoseksual merupakan
sebuah studi perspektif, yaitu bahwa studi tentang gay dan lesbian ini berkembang dari
perspektif budaya yang menyoroti latar belakang sejarah ketidakadilan kehidupan
kelompok ini di tengah konstruksi kuasa heteroseksual atas nilai-nilai seksualitas di
masyarakat. Oleh karena itu, studi ini berkomitmen untuk bisa menyeimbangkan cara
pandang masyarakat tentang homoseksualitas agar tidak mendiskreditkan identitas seksual
mereka, meskipun masih ditemui ketimpangan perspektif mengenai hal ini. Bagaimanapun
banyaknya penelitian terhadap homoseksual ini telah dilakukan, tetap saja hasilnya tidak
dapat dianggap sebagai sebuah temuan yang pasti. Setiap hasil penelitian memberikan
kontribusi besar bagi studi tentang homoseksual, sehingga pengetahuan mengenai
kelompok ini selalu mengalami perkembangan. Satu hal yang dapat dipastikan adalah
bahwa penelitian dan studi tentang homoseksual sama-sama menyadari akan perlunya
pluralitas dalam masyarakat yang tidak hanya berupa keberagaman latar belakang sosial
dan budaya manusia tetapi juga perbedaan orientasi seksualnya.11
I.2. Permasalahan
Penelitian tentang representasi homoseksual dalam serial TV remaja Glee ini dirasakan
perlu untuk dilakukan karena kaum homoseksual, bila dipetakan berdasarkan
keberadaannya di lingkungan masyarakat, ternyata terbagi ke dalam beberapa lingkungan
11
Para peneliti homoseksual dalam kurun waktu tiga puluh tahun, baik itu dari bidang sejarah, antropologi, sosiologi maupun bidang lainnya, mencoba untuk membuka cara pandang kita dalam memahami homoseksualitas sebagai bagian dari realitas kehidupan supaya tidak terjadi pengucilan terhadap kelompok ini hanya karena identitas seksualitas mereka yang berbeda (Weeks, Jeffrey. 2000. “The Challenge of Lesbian and Gay Studies” 2000. Sandfort, Theo et al. (ed.) Lesbian and Gay Studies An Introductory, hal. 7)
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
14 Universitas Indonesia
tertentu. Salah satunya adalah keberadaan homoseksual di lingkungan sekolah. Hal ini
menjadi penting karena, sejauh ini, pemetaan identitas homoseksual berdasarkan
keberadaannya di lingkungan tertentu belum terlihat pada penelitian sebelumnya. Oleh
sebab itu, penelitian representasi homoseksual (teen gay) di lingkungan sekolah dalam
serial TV remaja Glee dilakukan untuk lebih mendalami persoalan ini, yang dilihat dari
teks serial TV dalam menyajikan wacana homoseksual remaja. Berdasarkan pada
penjelasan di atas, diperoleh rumusan masalah penelitian yaitu bagaimana representasi
remaja homoseksual di lingkungan sekolah dibangun dalam serial TV Glee dan wacana
tentang homoseksualitas apa yang dihasilkan oleh representasi tersebut.
I.3. Tujuan Penelitian
Homoseksual dilihat sebagai kelompok yang termarginalkan akibat adanya hubungan
kekuasaan antara penindas dan yang tertindas. Hubungan kekuasaan ini telah
menyebabkan kelompok homoseksual tertindas dimanapun keberadaannya, termasuk
salah satunya keberadaan homoseksual di lingkungan sekolah. Peneliti berasumsi bahwa
kaum homoseksual, khususnya gay di lingkungan sekolah (SMA) yang sebagian besar
merupakan homoseksual usia remaja, kerap mengalami berbagai bentuk penindasan baik
secara fisiologis, psikologis, maupun sosiologis, tidak hanya karena seksualitasnya,
melainkan juga karena karakternya yang dianggap di luar batas kewajaran, namun di dalam
ketertindasannya mereka tetap dapat bercitra positif. Oleh karena itu, guna meninjau lebih
jauh tentang hubungan kekuasaan dalam konteks remaja homoseksual di lingkungan
sekolah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan hipotesis
tersebut melalui tinjauan kritis atas representasi homoseksual dalam serial TV Glee.
I.4. Tinjauan Literatur
Telah disinggung sebelumnya bahwa studi tentang homoseksualitas yang didasarkan pada
penelitian-penelitian terdahulu, memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan
studi ini. Bahkan hingga kini, informasi mengenai homoseksualitas selalu mengalami
perkembangan karena penelitian-penelitian yang dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu,
sehingga dengan sendirinya, berbagai teori, pemikiran, dan perspektif tentang isu ini pun
lahir. Satu hal barangkali yang menjadi perhatian adalah, bahwa penelitian tentang
homoseksualitas tidak bisa dilihat dari satu aspek tertentu saja tanpa melihat aspek-aspek
lain yang turut berperan serta didalamnya, oleh karena itu, penelitian terhadap
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
15 Universitas Indonesia
homoseksualitas hendaknya selalu disikapi secara terbuka. Terkait dengan keterangan
tersebut, penelitian tentang representasi homoseksual dalam serial TV remaja Glee ini pun
sifatnya tidak lebih dari sekadar menambahkan atau mengembangkan informasi mengenai
homoseksualiatas dari penelitian-penelitian sejenis yang sudah ada.
Berdasarkan pada tinjauan literatur yang telah dilakukan, diperoleh tiga penelitian
tentang homoseksualitas yang ditinjau dari tiga aspek penelitian yang berbeda. Penelitian
tentang homoseksualitas yang pertama, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Magdalena
Surjaningsih Halim dari Universitas Katolik Atma Jaya, yang menyoroti proses identitas
“gay” dalam diri seorang pria homoseksual, didukung oleh penambahan variabel konsep
diri. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode penelitian kualitatif karena sifat
penelitiannya lebih bertujuan untuk mengungkapkan dan menggambarkan berbagai
keunikan dari suatu kasus dan bukan untuk membuat suatu peramalan atau pembuktian.
Sampel penelitian berjumlah empat orang dan penelitiannya sendiri dilaksanakan di Jakarta
dari bulan Desember 2004 sampai dengan Februari 2005, dengan menggunakan metode
pengukuran wawancara terstruktur. Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa setiap
pria homoseksual yang memiliki latar belakang yang beragam dan keunikan tersendiri
menjalani proses yang berbeda-beda untuk menemukan jati diri dan identitas
homoseksualnya. Apa yang terjadi pada masing-masing individu, pada akhirnya, akan
memberikan pengaruh dan kemampuan yang berbeda dalam mencapai suatu tahap
pengungkapan identitas seksualnya. Adanya konsep diri yang positif dapat membantu
perkembangan seorang pria homoseksual untuk mencapai tahapan tersebut, dan juga
sebaliknya, dapat mengembangkan konsep diri individu tersebut, sementara pria
homoseksual yang belum mencapai tahap pengungkapan identitas homoseksual tersebut
(coming out process), memiliki kecenderungan untuk tetap dapat merasa puas dengan diri
mereka sendiri secara umum, tetapi tidak merasa puas dengan aspek diri mereka dalam
suatu lingkungan sosial atau masyarakat. Penelitian ini berangkat dari keunikan cara
pandang seorang pria homoseksual terhadap dirinya sendiri dalam suatu lingkungan atau
masyarakat. Ada yang mampu mengakui identitas seksualnya dan ada juga yang tidak.
Dalam penelitian ini, dikatakan bahwa tidak sedikit pria homoseksual yang mampu
mengakui keberadaannya secara terbuka di masyarakat dan menjadikannya seorang
homoseksual sepenuhnya, sementara yang lainnya memilih untuk menyembunyikannya
karena banyaknya kecaman dan tentangan dari suatu lingkungan yang luas akibat dari
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
16 Universitas Indonesia
homoseksualitas merupakan preferensi seksual yang memang berlawanan dengan
heteroseksual (http://lib.atmajaya.ac.id).
Penelitian tentang homoseksualitas yang berikutnya dilakukan oleh Ariyanto,
alumni Universitas Indonesia, dalam tesis S2 nya. Penelitiannya mengangkat wacana
heteroseksualitas di Indonesia sebagai suatu produksi pengetahuan yang dibangun secara
terus menerus sehingga membentuk sebuah ideologi bahwa heteroseksualitas itu sudah
final, sah dan tidak bisa digugat atau dipersoalkan lagi. Menurutnya, wacana
heteronormativitas ada karena adanya “konspirasi” kuasa-pengetahuan dan pendisiplinan
dengan menjaga dan menghukum, yang pada akhirnya episteme seperti ini menjadi
kebenaran yang diakui meski telah melahirkan banyak tindakan kekerasan terhadap
homoseksual. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa episteme seksualitas di Indonesia
yang tidak menawarkan adanya multiepisteme seksualitas telah melahirkan kekerasan,
penindasan, dan tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak minoritas. Usul yang diajukan
terkait hasil penelitiannya adalah perlunya membangun epistemologi marginal sebagai
epistemologi alternatif sebagai syarat terbentuknya negara yang demokratis.
Homoseksualitas juga diteliti oleh Ruth Sih Kinanti, yang juga merupakan alumni
Universitas Indonesia, dalam tesis S2 nya, mengenai representasi homoseksualitas dalam
Angels in America. Alasan yang melatarbelakangi penelitiannya dapat dikatakan serupa
dengan penelitian-penelitian tentang homoseksualitas pada umumnya dalam tinjauan
literatur ini, yakni adanya berbagai bentuk wacana yang menempatkan kelompok
homoseksual pada tempat tersisih dan berada di luar kehidupan masyarakat. Metodologi
yang digunakan dalam penelitiannya dilakukan secara bertahap, yaitu pengumpulan
informasi, seleksi informasi, dan menentukan korpus penelitian, sedangkan metode
analisisnya adalah dengan menyusun informasi yang diperoleh dan menggambarkannya.
Secara garis besar, dengan mengacu pada queer theory, penelitiannya menguraikan tentang
heteroseksual sebagai pihak yang menguasai, membuat konstruksi homoseksualitas
sebagai pihak yang dikuasai berdasarkan perilaku seksual yang tidak umum, tidak normal,
berdosa, dan tidak masuk akal, sehingga homoseksual ditempatkan pada tempat tersisih
dan tidak dapat digolongkan pada kategori seksual yang dibuat oleh masyarakat.
Berdasarkan kondisi ini, resistensi dilakukan oleh kelompok homoseksual dengan
membuat representasi homoseksualitas tandingan, yakni melalui bidang sastra sebagai
bentuk perjuangan mereka. Perjuangan yang dilakukan tersebut memunculkan wacana-
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
17 Universitas Indonesia
wacana dalam artikel surat kabar, dan jurnal, baik yang dikeluarkan oleh organisasi gay
maupun yang anti-gay. Wacana-wacana tersebut, menurut penelitiannya, diinternalisasi
oleh tiga drama pendek, yaitu As Is, Safe Sex, dan The Way We Live Now, yang kemudian
dibongkar oleh Angels in America. Ketiga drama pendek yang bertemakan gay tersebut
menampilkan representasi homoseksual sebagai yang liyan, yang berdosa dan yang
mencemari, sementara drama Angels in America, yang dibuat pada dekade yang sama
dengan ketiga drama sebelumnya, menampilkan representasi homoseksual yang berbeda,
yakni lebih berani menampilkan kehidupan, sikap dan kemauan kelompok homoseksual
menuju era queer culture. Era ini dimulai pada 1990 ketika kelompok homoseksual
menampilkan homoseksualitas mereka sebagai identitas seksual. AIDS dan agama
dipolitisasi oleh heteroseksual dalam merepresentasikan homoseksual. Sebaliknya, hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa drama Angels in America merepresentasikan
homoseksualitas baru, yakni sebagai identitas seksual yang diakui dan menjadi
penyelamat, serta dipandang mulia.
Apabila merujuk pada ketiga penelitian sebelumnya yang telah diuraikan di atas,
dapat dilihat bahwa aspek penelitian yang digali tentang homoseksual ditinjau dari sudut
yang berbeda-beda, namun tetap mengacu pada satu landasan berpikir yang sama, yakni
homoseksual sebagai kelompok yang liyan dan termarginalkan akibat wacana-wacana
dominan yang dikonstruksi oleh heteroseksual mengenai homoseksual. Apa yang telah
dilakukan oleh ketiga peneliti sebelumnya dalam meneliti homoseksualitas bisa menjadi
rujukan yang dapat digunakan dalam penelitian ini karena masing-masing saling
bersinggungan, namun dalam penelitian ini, variabel konsep diri seorang homoseksual
dalam memandang dirinya sendiri dinilai lebih dapat diterapkan dalam menginterpretasi
teks tokoh homoseksual dan homoseksualitas dalam serial TV Glee secara visual guna
melihat keterkaitannya dengan produksi wacana kuasa-pengetahuan yang dibangun oleh
serial TV ini.
I.5. Landasan Teori
Untuk menjawab permasalahan, teori yang dijadikan landasan adalah teori wacana
Foucault yang berkaitan dengan konsep wacana sebagai bentuk dari relasi kuasa. Merujuk
pada teori wacana Foucault dan relevansinya dengan penelitian ini adalah, serial TV
remaja Glee menghasilkan wacana homoseksualitas di lingkungan sekolah yang dibangun
melalui representasi hubungan kekuasaan antara heteronormativitas dan homoseksual
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
18 Universitas Indonesia
dalam serial TV tersebut.12
Ketertindasan yang dialami kelompok homoseksual remaja di
lingkungan sekolah adalah akibat dari kebenaran heteronormativitas dalam mewacanakan
homoseksual sebagai orientasi seksual yang menyimpang dan menyalahi aturan, sehingga
menimbulkan praktik pemilah dalam sistem pendidikan yang menempatkan
homoseksualitas di bawah sistem biner, yaitu antara benar dan salah.
Representasi homoseksual dalam serial TV remaja Glee muncul sebagai sebuah
wacana yang pembentukannya tidak lepas dari peran bahasa yang memproduksi makna
homoseksualitas. Hall dalam Representation: Cultural Representations and Signifying
Practices, mengatakan bahwa representasi sangat erat hubungannya dengan bahasa dan
makna yang dilihat dari cara bahasa bekerja dalam memproduksi makna melalui tiga
pendekatan yang terdiri dari reflective approach, intentional approach, dan
constructsionist approach. Dalam reflective approach, makna diasumsikan berada pada
suatu objek, individu, gagasan, atau bahkan pada suatu peristiwa dalam kehidupan nyata,
dan bahasa dalam kaitannya dengan pendekatan ini berfungsi sebagai sebuah cermin yang
merefleksikan makna sebenarnya dari elemen-elemen tesebut. Misalnya, gambar bunga
dua dimensi, melalui bahasa, akan tetap dimaknai sebagai bunga yang sebenarnya
(tanaman bunga) dan bukan bunga yang bermakna lain. Dalam pendekatan berikutnya,
yaitu intentional approach, makna diproduksi oleh si pembicara atau si pengarang yang
memang dilakukan dengan sengaja, dalam arti bahwa bahasa di sini berfungsi sebagai
saluran untuk menyampaikan makna sesuai dengan yang dikehendaki atau dimaksudkan
oleh kedua penghasil makna tersebut. Lalu, dalam pendekatan yang ketiga, yakni
constructionist approach, makna dibangun atas sifat makna yang tidak pernah tetap
(fixed), dalam arti bahwa bahasa berfungsi sebagai sebuah sistem, termasuk konsep dan
tanda dalam lingkup budaya yang membangun makna tersebut, sehingga makna menjadi
representasi kultural. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa produksi makna melalui
bahasa bergantung pada banyak aspek (1997, hal.24-25).
Keberadaan homoseksual dimanapun lingkungannya terkait juga dengan aspek
karakter, karena homoseksual, khususnya gay, memiliki sifat-sifat yang beragam (maskulin
dan feminin) meskipun jenis kelaminnya adalah laki-laki. Keterkaitan ini dapat dijelaskan
melalui teori gender yang dikemukakan oleh Raewyn Connell, yang secara garis besar
12
“Foucault used the word representation in a narrower sense...what concerned him was the production of knowledge (rather than just meaning) through what he called discourse...relations of power not relations of meaning...” ( Hall, Stuart. (ed.) Representation Cultural Representations and Signifying Practices, hal. 43.).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
19 Universitas Indonesia
menyatakan bahwa maskulinitas dan feminitas harus dilihat dalam konteks gender dan
bukan generalisasi karakter berdasarkan dikotomi dua jenis kelamin antara laki-laki dan
perempuan yang selama ini telah dikonstruksikan sebagai karakter yang fixed. Kondisi ini
terlihat dalam representasi homoseksual dalam serial TV Glee, sehingga teori ini peneliti
gunakan sebagai salah satu unsur penunjang penelitian.
Merujuk pada penjelasan di atas, kajian atas representasi homoseksual dan wacana
homoseksualitas dalam serial TV Glee akan dilakukan dengan berlandaskan pada teori
representasi berupa tiga pendekatan yang telah disebutkan di atas, terkait dengan bahasa
sebagai elemen yang memproduksi makna. Relevansi antara wacana, dan representasi yang
didukung oleh teori gender akhirnya menjadi penting untuk ditinjau lebih jauh dalam
penelitian ini.
I.7. Metodologi
Metode penelitian yang digunakan adalah metodologi visual dengan melihat film atau
serial TV Glee sebagi sebuah teks berdasarkan cognitive style (how people process and
understand messages) menurut McLuhan.13
Sehubungan dengan penelitian ini, Cognitive
style McLuhan dilakukan dengan menggunakan rasio dalam memahami teks pada serial
TV Glee, yang meliputi auditory sense ratio dan visual sense ratio, atau dengan kata lain,
melihat gambar (adegan) dan mendengarkan percakapan (dialog) dalam serial TV tersebut.
Metode analisis dalam penelitian ini adalah kajian atas strategi representasi oleh film dan
wacana yang dihasilkan oleh teks serial TV Glee. Analisis wacana dalam serial TV
tersebut, mengacu pada teori representasi, teori maskulinitas dan feminitas Conell, serta
teori wacana Foucault. Jawaban bagi permasalahan ini akan disimpulkan dalam tesis ini.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa langkah penelitian yang harus ditempuh,
yakni penting bagi peneliti untuk terlebih dahulu merumuskan masalah, lalu mengadakan
studi pustaka guna memperoleh gambaran umum tentang persoalan yang akan dianalisis.
Selanjutnya peneliti mencari atau mengumpulkan data dan informasi yang bisa diperoleh
13
McLuhan menyatakan bahwa manusia memiliki potensi untuk dapat mencerna sebuah pesan atau informasi melalui setiap indra yang dimilikinya. McLuhan menyebutnya “sense ratio”, yang melibatkan semua indera untuk bekerja sama agar dapat mencerna suatu pesan di balik tanda-tanda yang muncul. Ketika seluruh indera ini dihadapkan pada sebuah tanda, maka dengan sendirinya indera-indera ini akan saling merespon untuk mencerna pesan tersebut. Bagaimana sebuah pesan itu dimaknai bergantung pada tanda yang dimunculkan dalam representasi melalui media, serta bagaiman rasio indera kita menerimanya. “This sequence thus shapes how a message is processed cognitively. As McLuhan so aptly put it, “the medium is the message” (Danesi, Marcel & Perron, 1999, hal. 276 – 277).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
20 Universitas Indonesia
dari berbagai macam sumber juga menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan, terlebih
lagi jika penelitian menyangkut analisis wacana. Gillian Rose, dalam Visual
Methodologies,(2001, hal. 142) mengatakan bahwa wacana diartikulasikan melalui
serangkaian bentuk teks, baik teks verbal maupun teks visual (non-verbal), dan praktik
yang amat luas, sehingga pada tahap ini, ketelitian diperlukan untuk menentukan data dan
informasi apa saja yang relevan dengan topik penelitian, namun dengan catatan bahwa
pengumpulan data dan informasi tersebut tetap harus dibatasi. Batasan pengumpulan data
dan informasi ini masuk ke dalam tahap seleksi, ketika data dan informasi yang terkumpul
tersebut tidak semuanya digunakan. Sehubungan dengan penelitian ini, serial TV Glee,
yang terdiri dari sejumlah episode, dikatakan sebagai data yang paling utama, namun
adegan-adegan yang dipertunjukkan pada tiap episode tetap ditentukan melalui seleksi agar
mendapatkan adegan yang nantinya dapat menjawab permasalahan. Adegan-adegan yang
telah diseleksi tersebut terdiri dari gambar (visual) dan percakapan (verbal) yang harus
diinterpretasi melalui suatu proses yang bertahap.
Panofsky, dalam Gillian Rose (2008, hal.144), memaparkan tiga jenis interpretasi
visual yang termasuk dalam Iconography,14
yaitu primary (pre-iconographic), secondary
(iconographic) dan intrinsic (iconological). Pada tahap primary, adegan dalam setiap
episode Glee hanya dilihat sebagai teks yang harus dibaca secara seksama guna
menangkap tanda-tanda yang dipertunjukkan. Lalu pada tahap secondary, tanda-tanda
dibalik tiap adegan serial TV tersebut memiliki makna simbolik yang harus dilihat terkait
dengan representasi homoseksual. Selanjutnya tahap intrinsic, yakni menginterpretasi
keseluruhan adegan, berikut tanda dan makna simboliknya berdasarkan konteks
homoseksual di Amerika. Merujuk pada keterangan ini, peneliti akan menggunakan
metode tersebut dalam menyusun, menganalisis, dan menginterpretasi sehingga pada
akhirnya dapat tercapai suatu rumusan terbaik dari keseluruhan proses penelitian berupa
kesimpulan.
I.8. Sistematika Penyajian
Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab pertama menyajikan Pendahuluan, yang
terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori, 14
Menurut Panofsky, metode Iconography bukan termasuk ke dalam metode ala Foucault, namun karena sama-sama berhubungan dengan intertekstualitas, antara Iconography dan analisis wacana terdapat suatu persamaan sehingga istilah Iconography kini dapat mengacu pada pendekatan terhadap suatu imaji secara visual.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
21 Universitas Indonesia
metodologi dan sistematika penyajian. Bab kedua berisikan penjelasan mendalam tentang
wacana homoseksualitas dan seksualitas di Amerika. Bab ketiga adalah bab yang berisikan
tinjauan teori, bab keempat merupakan analisis wacana homoseksualitas dalam serial TV
Glee, dan yang terakhir Bab kelima berisi kesimpulan dari seluruh proses penelitian.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
22 Universitas Indonesia
BAB 2
WACANA HOMOSEKSUALITAS DI AMERIKA
Pada bab sebelumnya telah diuraikan secara garis besar tentang rancangan penelitian
terkait isu homoseksualitas dalam serial TV remaja Amerika Glee. Pada bab ini akan
diulas mengenai wacana homoseksualitas di Amerika lebih mendalam karena merupakan
unsur penunjang penting dalam melakukan analisis selain teori representasi, konsep
wacana dan seksualitas Foucault, serta teori gender Conell yang akan disinggung pada bab
berikutnya.
2.1. Homoseksual dalam Konteks Amerika
Sebagian besar masyarakat di Amerika menanggapi fenomena homoseksual ini sebagai
persoalan moralitas karena penjelasan sering kali dikaitkan dengan perspektif agama, yang
sudah barang tentu tidak bisa diperdebatkan secara ilmiah. Pendapat yang beredar selama
ini adalah gay dan lesbian memiliki nilai religiusitas yang dangkal atau jiwa yang sesat,
sehingga yang dibutuhkan adalah bimbingan rohani. Dengan kata lain, persoalan
homoseksual sama dengan penyimpangan moral yang bertentangan dengan ajaran agama.
Selama ini, kelompok homoseksual, yang ingin membebaskan dirinya dari segala
bentuk diskriminasi di Amerika, hanya menginginkan agar suara mereka mengenai
persamaan hak sebagai manusia diakui, didengar, dan direalisasikan oleh siapapun yang
menjadi oposisi. Keberadaan mereka di masyarakat tidak lebih berbeda dari mereka yang
heteroseksual karena kehidupan yang mereka jalani pada dasarnya sama. Hal ini yang
selalu ingin mereka tekankan, sehingga tidak seharusnya mereka diasingkan dari
kehidupan bermasyarakat hanya karena identitas seksualitas mereka. Kelompok
homoseksual di Amerika menganggap bahwa kehidupan homoseksual yang mereka jalani
merupakan sebuah gaya hidup (alternate lifestyle) dan bukan merupakan suatu perbuatan
yang berkaitan dengan moralitas, sehingga tidaklah mendasar apabila perbedaan orientasi
seksual menjadikan mereka sebagai manusia yang tidak bermoral.
Sebelumnya, perilaku homoseksual diasumsikan sebagai penyakit kejiwaan yang
bisa disembuhkan dengan terapi medis atau dengan pemahaman mendalam mengenai
kerohanian. Setelah menyadari bahwa persoalan homoseksual lebih kompleks daripada
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
23 Universitas Indonesia
yang diperkirakan selama ini, perubahan terhadap paradigma inipun diberlakukan. Di
Amerika sendiri, homoseksualitas tercatat sebagai salah satu penyakit kejiwaan sebelum
akhirnya dihapus dari daftar tersebut pada 1973 oleh The American Psychiatric
Association.15
Menurut informasi yang peneliti peroleh dari “Good and Gay?: A Moral Context
for Homosexuality”, secara tersirat disampaikan bahwa moralitas lebih terkait dengan
akhlak manusia, yang bergantung pada pembentukan karakter yang diperoleh dari
lingkungan sekitarnya. Biasanya, ini bermula dari lingkungan keluarga, sekolah, dan
kemudian masyarakat. Dengan kata lain, pengalaman hiduplah yang menentukan
moralitas seseorang itu baik atau buruk, yang tercermin dari baik atau tidaknya
hubungannya dengan sesama manusia. Tentu saja, jika pertanyaan “apakah mungkin
seorang Gay memiliki moral yang baik?” ditanyakan pada seorang pemuka agama, maka
jawabannya bisa “mungkin” atau “tidak”.16
Tingginya pengetahuan seseorang tentang nilai-nilai agama belum tentu bisa
dikatakan bahwa ia memiliki moral yang baik.17
Homoseksual selalu berada dalam konteks
moralitas karena paradigma tentang moralitas adalah sama dengan agama. Nilai-nilai yang
terkandung dalam agama, khususnya kitab suci, disepakati sebagai divine law,yakni hukum
yang berisikan kebenaran hakiki mengenai bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupan. Apa yang terdapat dalam kitab suci diyakini sebagai suara Tuhan, sehingga jika
ada salah satu nilai yang dilanggar, maka dipastikan hukumannya adalah dosa dan dinilai
tidak bermoral.
Dapat dikatakan bahwa masyarakat Amerika, yang mayoritas menganut agama
Kristen, memahami konteks homoseksual dari sudut pandang agama. Ajaran agama yang
dianut menjadikan mereka yang heteroseksual membenarkan homoseksualitas sebagai
15
http://www.siecus.org/pubs/fact/fact0006.html, 2000. “Fact Sheet : Sexual Orientation and Identity” 16
http://www.republicoft.com/2007/03/21/good-and-gay-a-moral-context-for-homosexuality/ 17
Saya menemukan hal yang cukup menarik berkaitan dengan keterangan ini, yaitu pada penelitian Setia Yuwana, mahasiswa pascasarjana program studi Antropologi U.I., yang ditulis dalam tesis S2nya berjudul Homoseksualitas di Kalangan Warok, Warokan, Sinoman dengan Gemblak di Desa Somoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang yang berprofesi sebagai warok, warokan, sinoman dan gemblak (para penari yang mengiringi reog Ponorogo) di desa Somoroto. Salah satunya adalah dengan Kontaro, salah satu pengiring tersebut. Berikut kutipannya berdasarkan keterangan Kontaro: “Ketertarikan Kontaro pada sesama jenis kelamin diawali ketika ia rajin belajar membaca Al Quran di masjid besar di kampungnya. Teman-temannya banyak yang mengajak tidur bersama di lantai mesjid maupun di rumah. Bermula dari sekedar berciuman, berpeluk mesra, akhirnya timbul niat untuk melampiaskan nafsu syahwatnya” (1994, hal. 171).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
24 Universitas Indonesia
tindakan amoral yang harus diluruskan dengan bimbingan rohani, meskipun pada
kenyataannya tidaklah semudah itu untuk bisa mengembalikan homoseksual ke “jalan yang
benar”.18
Tidak banyak yang menyadari bahwa homoseksual adalah persoalan kompleks
yang membutuhkan negosiasi dan pengertian yang mendalam tentang identitas mereka.
Pemahaman masyarakat Amerika mengenai homoseksualitas yang dihubungkan dengan
perspektif agama menyebabkan munculnya homofobia yang “membenarkan” diri mereka
memperlakukan kaum homoseksual dengan tidak baik dan tanpa adanya rasa saling
menghormati serta penghargaan terhadap perbedaan sama sekali.19
Bagaimanapun juga, telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya bahwa
banyaknya kasus homoseksual yang diangkat ke permukaan melalui media
mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran pada pandangan masyarakat, meskipun
masih saja terjadi perdebatan di arena ini. Masyarakat Amerika dalam konteks kekinian
terlihat lebih terbuka terhadap adanya kelompok homoseksual tersebut, yang ditandai
dengan diberlakukannya kebijakan yang melindungi kelompok homoseksual dari
diskriminasi berbasis orientasi seksual. Dari lima puluh negara bagian di Amerika Serikat,
sembilan di antaranya telah memberlakukan kebijakan ini.20
Dalam Vivanews disebutkan
bahwa Presiden Barack Obama menyatakan dukungannya untuk persamaan hak-hak kaum
18 Dalam artikel “Homosexuality and Gay Liberation : Alternate Lifestyle or Immorality?” yang diperoleh
dari situs http://gospelway.com/morality/homosexuality.php dipertanyakan apakah perilaku homoseksual merupakan tindakan yang bermoral atau tidak. Merujuk pada artikel ini, pertanyaan tersebut dijawab dengan berlandaskan pada ajaran agama (kitab suci), yang secara jelas menyalahkan tindakan homoseksual karena setiap pernyataan yang berasal dari perspektif agama diyakini sebagai kebenaran tunggal. Dikatakan bahwa homoseksualitas bertentangan dengan perintah Tuhan karena dianggap sebagai tindakan yang menyerupai perilaku binatang, sehingga sudah barang tentu homoseksualitas dalam perspektif agama adalah tindakan amoral. The New Testament morally opposes homosexuality...homosexuality is contrary to nature, a violation of the natural order ordained by God...for man to join to a man violates God’s order in marriage and sexual mating just as surely as joining to an animal... 19 Dari sumber yang saya peroleh, yaitu “37 responses to discussions : Should Gay be a moral issue or a legal
one?” terdapat beberapa tanggapan responden tentang diskriminasi terhadap homoseksual (gay), yang sebagian besar bernada membela kelompok ini karena, menurut mereka, homoseksualitas bukanlah isu yang berkaitan dengan moralitas.http://blogs.clarionledger.com/jmitchell/2010/06/04/discussion-should-gay-rights-be-a-moral-issue-or-a-legal-one/
20 “Only nine states in the U.S. have legislation protecting lesbian and gay people against discrimination
based on sexual orientation” (www.siecus,2000). Menurut kutipan ini, disebutkan bahwa hanya sembilan negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan kebijakan untuk melindungi kaum homoseksual dari segala bentuk diskriminasi berbasis orientasi seksual.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
25 Universitas Indonesia
homoseksual atau gay di Amerika Serikat. Kendati mendukung hak gay, Obama memilih
netral dalam isu pernikahan sesama jenis (Armandhanu, 2011).21
Pemerintah Amerika diharapkan untuk tidak sekadar memberikan perlindungan dan
ruang bagi mereka untuk bergerak, melainkan juga mengakui keberadaan mereka
sepenuhnya sebagai warga negara dan bagian dari masyarakat. Jeffrey Levi, mantan
direktur The National Gay & Lesbian Task Force, menyatakan pendapatnya terkait
keterangan ini: “We are no longer seeking just a right to privacy or a right to protection
from wrong. We also have a right...to see government and society affirm our lives”
(Citizen, 5/1997. dalam “Homosexuality and Gay Liberation: Alternate Lifestyle or
Immorality?”) Selain itu, legitimasi undang-undang pernikahan sesama jenis seperti yang
telah diberlakukan di beberapa negara di Eropa22
merupakan salah satu tujuan Gay Rights
Movement. Bercermin pada keadaan ini, rupanya negara Amerika Serikat yang selama ini
dipahami sebagai negara maju dalam segala hal dan bebas dalam berpikir serta bertindak
tidak demikian adanya jika menyangkut homoseksualitas.
2.2. Dampak Konteks Sejarah Gerakan Sosial Homoseksual di Amerika terhadap
Film
Secara umum, dapat dikatakan bahwa cukup banyak film yang mengangkat masalah
homoseksual, khususnya mengenai gay, ke permukaan, sehingga dapat pula disimpulkan
bahwa isu homoseksualitas yang mungkin saja sebelumnya tabu telah mengalami suatu
pergeseran karena cukup sering diperbincangkan oleh khalayak luas. Hal ini ditandai
dengan maraknya film dan serial TV dengan tema gay, bahkan karya sastra seperti halnya
novel, juga banyak mengangkat tema ini. Selain itu, masyarakat Amerika pun lebih
21
Sebelum berlangsungnya kampanye pemilihan presiden A.S. tahun ini, disebutkan bahwa Presiden Obama memilih netral dalam persoalan pernikahan sejenis, namun hal menarik yang saya temukan terkait keterangan ini adalah di koran Seputar Indonesia, tertanggal 12 Mei 2012, terdapat kolom berita yang menyatakan Presiden Amerika Serikat Barack Obama mendukung perkawinan homoseksual melalui Wapres Joseph Biden, yang mengatakan bahwa Obama tidak ada masalah soal perkawinan antara sesama jenis. Lalu di kolom koran yang sama, tertanggal 14 Mei 2012, rivalnya dari Partai Republik, yakni Mitt Romney, menganggap pernyataan Obama sebagai “angin segar” untuk memenangkan dukungan masyarakat Amerika yang menentang homoseksual. Di sini terlihat jelas bahwa homoseksualitas tidak hanya menjadi isu politik untuk kepentingan pemilihan presiden, tetapi juga dipolitisasi untuk kepentingan tersebut. 22
“Dutch government legalized the same sex marriage policy in 2001, Belgium ini 2003 , and Spain in 2005.” (Reksodirdjo. 2006. hal. 33). Ketiga negara di Eropa yang disebutkan dalam kutipan telah lebih dahulu melegalkan pernikahan sesama jenis, sehingga hal ini pula yang ingin diwujudkan oleh aktivis homoseksual di Amerika melalui gerakannya. “The ultimate goal is legalized homosexual marriage” (http://gospelway.com/morality/homosexuality.php)
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
26 Universitas Indonesia
permisif23
dalam menanggapi persoalan homoseksualitas, yang berarti bahwa, baik secara
langsung maupun tidak, mereka mulai menerima fakta adanya sekelompok orang yang
memiliki orientasi seksual berbeda dengan orang kebanyakan yang heteroseksual.
Pergeseran ini juga disebabkan oleh gerakan-gerakan sosial, di antaranya Gay
Liberation, New Social Movement, dan American Gay Rights Movement di Amerika.
Selain menyebabkan terjadinya pergeseran pandangan, kelompok homoseksual yang
tergabung dalam gerakan-gerakan sosial tersebut juga menyuarakan persamaan hak dan
penghormatan atas perbedaan identitas seksualitas mereka di tengah masyarakat
heteroseksual yang mengusung heteronormativitas, seperti yang tertera dalam kutipan
berikut:“Gay men and lesbians joined women and ethnic minorities claiming the equal
citizenship and respect they were denied in what they now defined as „heterosexist‟,
„homophobic‟ culture”(Segal, 1997, hal.206-207). Meskipun demikian, tidak bisa
dipungkiri pula bahwa akan selalu terdapat pro dan kontra berkaitan dengan isu ini.
Keberadaan tokoh remaja gay dalam serial TV Glee, yang diproduksi kurang lebih
pada pertengahan 2010 hingga 2012, juga menandakan bahwa homoseksual sedang
menjadi sorotan di tengah masyarakat Amerika.
2.3. Serial TV Glee dan Konteks Homoseksual di Lingkungan Sekolah di Amerika
Serial TV remaja Amerika Glee mengankgkat isu seputar homoseksualitas tetapi tidak
tergolong film gay yang benar-benar terfokus pada kehidupan gay seperti halnya film layar
lebar Brokeback Mountain. Serial TV ini merupakan drama kehidupan manusia sehari-hari
yang, di antara para tokoh sentral yang disorot, terdapat tokoh remaja gay, sehingga di
permukaan, tampak tidak monoton menonjolkan kehidupan remaja gay tersebut.
Glee adalah serial TV produksi Ryan Murphy Productions, 20th Century Fox
Television yang ber-genre drama komedi. Serial TV ini terdiri dari tiga seasons dan kali
pertama ditayangkan di Star World, salah satu stasiun TV internasional yang hanya dapat
23
Soal permisif ini, menurut Newburn dalam Permissiveness: accounts, discourses and explanations dimaknai oleh dua kelompok, yaitu “conservative – historians” dan “liberal – historians”. Secara sederhana dikatakan bahwa dua istilah ini tidak merujuk pada pengertian permisif sebagai “baik” dan “tidak baik”, atau “setuju” dan “tidak setuju,” melainkan lebih kepada cara dua kelompok ini menyikapi keberadaan kelompok homoseksual. Dengan kata lain, “conservative-historians” jelas menyikapinya dengan menyatakan tidak setuju, sedangkan “liberal-historians” mencoba untuk berpikir dan bersikap terbuka pada keberadaan kelompok homoseksual ( 1997, hal. 105).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
27 Universitas Indonesia
diakses melalui sistem televisi berbayar (cable TV).24
Ryan Murphy, produser serial TV
ini, dan Kurt Hummel, remaja homoseksual dalam serial TV tersebut, yang diperankan
oleh Chris Colfer, adalah sama-sama homoseksual (gay) dalam kehidupan nyata. Ada
semacam wacana yang hendak dibangun melalui film ini yang mengangkat remaja
homoseksual di lingkungan sekolah melalui media TV. Film ini dikemas dalam bentuk
serial TV yang mengangkat isu homoseksualitas dengan Chris Colfer sebagai salah satu
pemeran tokoh sentral tetapi tampak seperti tidak menonjolkan gay sebagai tema cerita,
melainkan kehidupan para siswa Glee club.
Glee mengisahkan tentang sekelompok siswa SMA Mckinley High School yang
merasa tidak memiliki potensi untuk menjadi terkenal seperti halnya siswa-siswa lain di
sekolah mereka, khususnya yang tergabung di dalam kelompok pemandu sorak
(cheerleader) dan American foot-ball. Akhirnya, mereka yang tidak populer ini (the
loosers) memutuskan untuk membentuk sebuah kelompok paduan suara dengan cara
masuk menjadi anggota Glee Club, yaitu klub yang diasuh oleh guru bahasa Spanyol
mereka yang bernama William Schuester.
Para siswa loosers ini sebenarnya terdiri dari lima orang, yakni Rachel, Mercedes,
Tina, Artie dan Kurt, namun seiring dengan bertambahnya episode, tokoh lainnya
bermunculan, di antaranya Finn, Santana, Britney, Puck, Quinn, Laura, dan Sam,
kemudian di season ke dua dan ke tiga muncul tokoh Blain, serta tokoh-tokoh lain yang
memainkan peran kecil. Masing-masing tokoh memiliki sifat khasnya sendiri tetapi tetap
mencirikan siswa SMA yang serba labil dalam berpikir, bertindak, dan berkata-kata.
Konsep serial TV ini adalah drama komedi yang dikemas dengan unsur musikal karena
memang pada dasarnya yang hendak ditonjolkan oleh film ini adalah musik dan lagu,
namun bernada sindiran terhadap isu sosial yang terjadi di Amerika, khususnya dalam
konteks lingkungan sekolah di Amerika. Alur ceritanya sederhana namun merefleksikan
kehidupan siswa SMA sehari-hari di lingkungan sekolah.
Dalam hubungannya dengan topik penelitian, homoseksualitas, Kurt dan tokoh
homoseksual lainnya akan menjadi fokus utama karena representasi homoseksual terlihat
dari penyajian tokoh-tokoh homoseksual tersebut. Selama bersekolah di SMA Mckinley,
Kurt hampir setiap hari mendapatkan perlakuan tidak baik dari orang-orang di sekitar
24
Di Indonesia, Glee di Star World bisa ditonton jika berlangganan TV kabel seperti Indovision, Yes TV, Aora TV dan beberapa TV kabel lainnya.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
28 Universitas Indonesia
lingkungan sekolahnya, khususnya dari siswa-siswa yang tergabung dalam football club,
karena identitas seksualnya dan juga karena ia adalah salah satu anggota Glee Club.25
Keterangan di atas merupakan sedikit gambaran jalan cerita serial TV tersebut yang
merefleksikan keadaan remaja homoseksual di lingkungan sekolah di Amerika. Sejak
terjadinya berbagai pergolakan tentang isu homoseksualitas dan gerakan sosial kelompok
homoseksual dalam menyuarakan aspirasinya, terjadi pergeseran pandangan dan penerapan
regulasi baru di dalam sistem pendidikan sekolah terkait isu ini. Berdasarkan pada
informasi yang diperoleh dari Culture Facts, April 4, 2003, disebutkan bahwa terdapat
2,8% laki-laki dan 1,4% perempuan yang mengakui diri mereka sebagai homoseksual (gay,
lesbian) dan biseksual, sehingga kebijakan baru dianggap perlu untuk diterapkan supaya
dapat meminimalisasi diskriminasi berbasis orientasi seksual, khususnya dalam sistem
pendidikan di Amerika, “Since the early 1990‟s, homosexual activist organizations have
been working for greater access to public schools with the stated purpose of making them
a safer place for young people who have become involved in homosexual behavior.”
(www.16.org/profamily/school_liability_report )
Hal senada dengan penjelasan sebelumnya juga disebutkan oleh Stuart Biegel,
dalam bukunya The Right To be Out: Sexual Orientation and Gender Identity in America‟s
Public Schools, yakni bahwa penerapan peraturan yang menjamin kenyamanan dan
keamanan para siswa sekolah, terutama yang memiliki identitas seksual berbeda,
merupakan hal penting untuk diberlakukan, mengingat bentuk diskriminasi berbasis
orientasi seksual sangat mungkin terjadi di lingkungan sekolah yang dilakukan
antarsiswa.26
2.4. Homoseksualitas dan seksualitas dalam Konteks Serial TV dan Media
non-TV
Televisi saat ini merupakan salah satu perangkat media yang memainkan peran penting
dalam kehidupan masyarakat karena hampir seluruh masyarakat di dunia pada umumnya
memiliki TV. Dapat dikatakan TV adalah salah satu bentuk akses untuk membuka
25
Dalam film ini, Glee Club identik dengan loosers, sehingga mereka yang tergabung dalam klub ini biasanya mendapatkan perlakuan yang tidak baik (bullied), bukan hanya karena Kurt seorang homoseksual. 26
Isu seksualitas, di antaranya homoseksualitas, biseksualitas dan transeksualitas, merupakan arena pertentangan di wilayah publik yang selalu menuai kontroversi, sehingga diperlukan suatu jaminan berupa perubahan terhadap iklim hukum dan iklim budaya dalam menyikapi isu tersebut agar dapat meminimalisasi segala bentuk diskriminasi berbasis orientasi seksual yang berujung pada kekerasan antar siswa di lingkungan sekolah. (Biegel, 2010 /http://www.h.net.org/reviews/showrev.php?id=32448)
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
29 Universitas Indonesia
cakrawala pengetahuan dan juga sekaligus akses untuk memproduksi pengetahuan, seperti
yang telah diuraikan sebelumnya terkait wacana dan pengetahuan.
Dalam konteks kehidupan manusia sekarang ini, TV menjadi salah satu perangkat
yang masuk ke dalam skala prioritas karena, disadari atau tidak, TV telah memberikan
dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, yang menyebabkan terjadinya
perubahan pada dimensi sosiologis masyarakat, dan cara pandang masyarakat terhadap suatu
fenomena sosial pun menjadi berubah. Perubahan ini terjadi karena TV telah menjadi
penggerak yang berpotensi membentuk kembali persepsi masyarakat melalui tayangan
(program TV) yang disajikannya (Danesi, Marcel & Perron, 1999. hal. 274). Perilaku, gaya
hidup, pola pikir, dan kepribadian, merupakan beberapa aspek dalam ruang lingkup
kehidupan manusia yang dinilai bisa berubah akibat dari dampak yang diberikan oleh TV
begitu kuat. Kuatnya dampak TV terhadap kehidupan manusia menyebabkan masyarakat
pada akhirnya tidak bisa lepas dari kebiasaannya menonton TV sehingga, menurut Danesi
dan Perron dalam Analyzing Cultures An Introduction & Handbook, hal ini disebut sebagai
“TV Culture”, yaitu terjadinya “cultural change” dalam kaitannya dengan perubahan
kehidupan manusia, termasuk pembangunan kesadaran seseorang melalui tayangan film,
iklan, berita, dan tayangan lainnya (1999, hal.274).
Terkait dengan banyaknya tayangan dalam dunia pertelevisian, dapat dipastikan isu-
isu yang diangkat ke permukaan melaui media TV ini menjadi beragam sifatnya, namun
dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka ada baiknya meninjau beberapa isu yang
biasa diangkat dalam serial TV.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang diperoleh dari buku Danesi dan Perron, isu-
isu yang biasa diangkat dalam tayangan TV dari 1960-an sampai dengan awal 1990-an
berkisar pada isu ras, moralitas dan seksualitas, termasuk homoseksualitas. Isu-isu ini bisa
dilihat, misalnya, dalam serial TV Star Trek (1968) yang mengangkat isu ras; lalu The Odd
Couple (1970), yang mengangkat isu moralitas; All in the Family (1971), yang mengangkat
isu homoseksualitas (gay) untuk pertama kali; Roots (1977), yang juga mengangkat isu ras
seperti halnya Star Trek, kemudian L.A. Law (1991), yang mengangkat isu homoseksualitas
(lesbian) untuk pertama kali; dan Seinfeld (1992), yang mengangkat isu seksualitas (1999,
hal.274-275).
Berbeda dengan itu, menurut Robert Bocock dalam Choice and Regulation: Sexual
Moralities, di Inggris persoalan homoseksual menjadi isu pada media TV muncul pada
1957, seiring dengan banyaknya masyarakat yang mulai membuka cara pandang mereka
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
30 Universitas Indonesia
terhadap kelompok homoseksual. Sejumlah serial TV yang mengangkat isu homoseksualitas
dengan pesat memasuki arus pertelevisian Inggris sehingga menimbulkan pertentangan
antara dua kubu, yaitu “Conservatism” dan “Liberalism”. Kubu “Conservatism”
menghendaki agar diterapkan sebuah peraturan yang membatasi isu homoseksualitas dalam
media, termasuk di dalamnya TV, teater, cinema, majalah, video, dan internet, sementara
kubu “liberalism” lebih mentolerir diangkatnya isu homoseksualitas ke dalam media massa
baik TV maupun non-TV (1997, hal.90-92).
Isu homoseksualitas dalam media non-TV, misalnya surat kabar, cenderung
mengkritisi kelompok homoseksual dibandingkan dengan media massa lainnya. Hal ini,
menurut Newburn (1997, hal.92), disebabkan oleh adanya dewan pers dan kebebasan pers
dalam menyampaikan berita, sehingga surat kabar dengan mudah dapat mengkritisi baik
atau buruknya suatu isu, begitu pun halnya dengan isu homoseksualitas dalam cerita-cerita
fiksi seperti novel. Isu homoseksualitas yang diangkat ke dalam novel cenderung lebih
terbuka atau vulgar dalam penyajiannya, sehingga barangkali sifat “terbuka” inilah yang
menyebabkan cerita mengenai homoseksualitas didramatisasi agar pesan yang ingin
disampaikan tentang isu sangat kompleks ini dapat tersampaikan kepada pembaca.27
Dalam media TV, isu seksualitas, apapun orientasinya, sedikit mengalami kesulitan
dalam hal tayang karena regulasi dalam media TV terkait hal penyiaran telah diatur
sedemikian rupa agar tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan, misalnya di Indonesia
oleh Komisi Penyiaran, sehinggga dengan kondisi yang demikian, media TV memiliki
batasan-batasan tertentu dalam menayangkan atau memberitakan sebuah isu. Dengan kata
lain, media TV secara tidak langsung mengutamakan adanya keseimbangan dalam
menayangkan acara-acaranya, termasuk acara yang berkaitan dengan isu homoseksualitas,
supaya tetap memperoleh slot tayang, yang berarti bahwa isu seksualitas boleh tayang tetapi
27
Dalam novel yang mengangkat isu homoseksual seperti Gaya Gay karya Dann Julian dan Lelaki Terindah karya Andrei Aksana, terlihat detil hubungan antar sesama jenis yang seharusnya “ditabukan”, namun kenyataannya tidak demikian, sehingga sikap seperti ini disimpulkan sebagai tujuan yang memang hendak disampaikan oleh penulis tentang homoseksualitas. Diharapkan agar pembaca, paling tidak, dapat menangkap essensi tentang perilaku ini. Homoseksualitas disikapi sebagai fenomena kompleks yang berproses. Oleh karena itu, setiap bab dalam kedua novel ini tampak ditulis bertahap sesuai dengan proses terjadinya hubungan homoseksual tersebut. Misalnya, dalam Gaya Gay, bab pertama dimulai dengan “Jelous Guy”, lalu bab berikutnya “Malam Pertama”, “G.I. Jane”, “First Lunch”, “Primavera”, “Malam Jahanam” dan seterusnya (Julian, 2011). Kemudian, dalam Lelaki Terindah, bab pertama diawali dengan “When We Met..”, lalu “And Love has just begun...”, “The night we fell in love...”, “A story inside a story...”, “Struggling for what we believed...” dan seterusnya (Aksana, 2004).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
31 Universitas Indonesia
tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang telah diatur oleh Komisi Penyiaran.28
Bagaimanapun juga, seluruh pergolakan yang terjadi, termasuk pro dan kontra tentang
homoseksualitas dalam media baik TV maupun non-TV, pada intinya merupakan persoalan
yang dihubungkan dengan moralitas seksual di wilayah publik.
28
Kutipan Pasal 49 dari Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia tentang isu homoseksual/lesbian menyebutkan bahwa: “Lembaga penyiaran dapat menyiarkan program yang memberitakan, membahas, atau mengandung muatan cerita tentang homoseksualitas dan lesbian, dengan (salah satu) ketentuannya sebagai berikut : Program tersebut tidak boleh mempromosikan dan menggambarkan bahwa homoseksualitas dan lesbian adalah suatu kelaziman yang dapat diterima oleh masyarakat.” (Kep. Komisi Penyiaran Indonesia No. 009/SK/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia. Diperoleh dari http://diskominfo.kaltimprov.go.id)
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
32 Universitas Indonesia
BAB 3
TINJAUAN TEORI
REPRESENTASI, WACANA, SEKSUALITAS, DAN GENDER
Bab ini akan mengulas tentang teori-teori yang digunakan peneliti dalam melakukan
analisis wacana homoseksualitas dalam serial TV Glee.
3.1. Representasi
Representasi merupakan salah satu konsep dari aliran posmodernisme selain, di antaranya,
kritik ideologi, anti-positivisme (ketidakpercayaan pada pola pikir ilmiah), pendekatan
semiotik, dan analisis wacana. Teori ini, seperti yang telah disebutkan pada bab
sebelumnya, berkaitan erat dengan bahasa sebagai medium yang menjembatani kita dalam
memaknai sesuatu, memproduksi, dan mengubah makna. Seluruh proses dan produk yang
memberikan tanda khusus pada makna disebut dengan representasi karena representasi
memperlihatkan baik proses maupun produk dari tanda tersebut. Representasi juga bisa
diartikan sebagai sebuah proses pembentukan makna yang berasal dari suatu ideologi yang
bersifat abstrak menjadi bentuk konkret, misalnya ke dalam bentuk dialog, tulisan, video,
film, fotografi, dan sebagainya, sehingga dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Adapun representasi tidak pernah
lepas dari cara pandang karena cara pandang inilah yang memberikan makna terhadap
sebuah tanda, contohnya pandangan masyarakat yang menganut sistem matrilineal dalam
memandang laki-laki dan perempuan akan berbeda dengan pandangan masyarakat yang
menganut sistem patrilineal dalam memandang laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain,
representasi terletak pada bagaimana sistem kekerabatan merepresentasikan perempuan
tersebut (Astuti, Fuji dan R.M. Soedarsono, 2006, hal. 2.). Contoh lainnya adalah
pandangan seseorang tentang perempuan, anak-anak, atau laki-laki, akan dengan mudah
terlihat dari caranya memberi hadiah ulang tahun kepada teman-temannya yang laki-laki,
perempuan, dan anak-anak. Produksi makna dibalik cara pandang inilah yang menjadi
representasi, yakni hal-hal praktis yang digunakan untuk mewakili cara pandang tersebut
(Hasan, 2011, hal.67).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
33 Universitas Indonesia
Hall menyatakan melalui teori representasinya, bahwa representasi mengambil
dimensi praktik pemaknaan yang diproduksi dalam pikiran melalui bahasa, yakni nilai-
nilai, norma, budaya, ideologi, dan kepentingan, dalam pembentukan sebuah diskursus.
Pembentukan diskursus tersebut akan memerankan dua sistem representasi, yaitu mental
representation dan representasi yang bergantung pada perangkat tanda dan bahasa yang
merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Pengertian mental representation bergantung
pada sistem konsep dan bentuk gambar yang dapat mewakili atau merepresentasikan dunia,
yang dapat merujuk pada pemikiran di luar atau di dalam kepala (Hall, Stuart dalam Hasan,
2011, hal. 66-68).
Dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, Hall
mengatakan bahwa representasi dalam hubungannya dengan bahasa adalah suatu produksi
makna yang dilihat dari cara bahasa bekerja, yaitu melalui tiga pendekatan yang terdiri dari
reflective approach, intentional approach, dan constructsionist approach. Dalam reflective
approach, makna diasumsikan berada pada suatu objek, individu, gagasan atau bahkan
pada suatu peristiwa dalam kehidupan nyata, dan bahasa dalam kaitannya dengan
pendekatan ini berfungsi sebagai sebuah cermin yang merefleksikan makna primer dari
elemen-elemen tesebut. Dalam pendekatan berikutnya, yaitu intentional approach, makna
diproduksi oleh penghasil makna (pembicara atau pengarang) yang memang dilakukan
dengan sengaja, dalam arti bahwa bahasa berfungsi sebagai sebuah saluran untuk
menyampaikan makna sesuai dengan yang dikehendaki atau dimaksudkan oleh si
penghasil makna tersebut. Lalu, dalam pendekatan yang ketiga, yakni constructionist
approach, makna dibangun atas dasar kesadaran terhadap sifat makna yang tidak pernah
tetap (fixed), dalam arti bahwa bahasa berfungsi sebagai sebuah sistem, termasuk konsep
dan tanda dalam lingkup budaya yang membangun makna tersebut, sehingga makna
menjadi sebuah representasi. Representasi yang dimaksud terkait pendekatan ini tidak
lepas dari tanda yang memiliki dimensi materi, antara lain berupa suara/verbal (sound),
citra (image), dan tanda (mark), sehingga representasi merupakan sebuah praktik yang
menggunakan objek material untuk menghasilkan makna (1997, hal.24-25).
Selain hubungan antara representasi dan bahasa, Hall juga menaruh perhatian pada
hubungan representasi dan media. Representasi melalui media, dalam kaitannya dengan
representasi atas yang liyan, ditangkap oleh Hall sebagai sebuah kejanggalan, karena
representasi melalui media, menurutnya, memberikan citra buruk kepada kaum minoritas,
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
34 Universitas Indonesia
khususnya dalam hal ini, kaum kulit hitam. Ras kulit hitam selalu dilihat melalui imaji-
imaji yang ditampilkan negatif secara visual oleh media. Adanya citra ras kulit hitam
dalam media juga memperlihatkan sebuah representasi yang didasarkan pada perbedaan
melalui tanda-tanda yang dipahami secara inter-tekstual (Hall, Stuart. (ed.), 1997, hal.
232.). Makna pada suatu citra tidak akan berarti tanpa ada konteks yang memberi makna
tersebut, dan makna mengenai suatu citra tidak hanya berdasarkan pada satu konteks,
melainkan terakumulasi dari satu teks ke teks yang lain.
Penting untuk diketahui bahwa hubungan antara representasi dan media juga terkait
dengan regulasi, yang bisa berupa kebijakan pemerintah tentang media, atau bahkan
berupa reproduksi makna, sehingga produksi regulasi tampak sebagai sesuatu yang biasa.
Oleh karena itu, regulasi adalah suatu proses yang dinamis karena merupakan sebuah arena
pertarungan makna, yang juga melibatkan norma-norma, bentuk-bentuk subjektivitas dan
identitas (Thompson, Kenneth. (ed.), 1997, hal. 3). Penjelasan ini sedikit banyak
memberikan gambaran bahwa cara kerja representasi adalah seolah-olah menunjukkan
bagaimana dunia ini berjalan dengan sesungguhnya, khususnya yang bersinggungan
dengan regulasi dan representasi liyan melalui media. Terkait dengan hal ini, Ibnu Hamad
dalam penelitiannya mengenai wacana dan media menyebutkan bahwa produksi isi media
sebagai kegiatan pembentukan wacana, yakni produksi isi media, tidak semata-mata
merupakan suatu kegiatan merepresentasikan realitas, tetapi justru bersifat
mengonstruksikan realitas. Hal ini dikarenakan media dianggap tidak lagi secara murni
melaporkan atau menampilkan apa adanya mengenai suatu realitas, melainkan konstruksi
atas suatu realitas yang bisa berupa ide, orang, benda, atau peristiwa ke dalam struktur
cerita yang bermakna (Hamad, Ibnu. 2008, hal. 338).
3.2. Konsep wacana Foucault
Michel Foucault juga termasuk salah satu pelopor postmodernisme yang menentang
aturan-aturan yang menurutnya bersifat menindas. Ia melihat cara kerja representasi dari
sudut yang lebih mendekati hubungan kekuasaan. Disadari atau tidak, hubungan kekuasaan
terjadi di mana saja karena Foucault melihat hubungan ini tidak hanya terjadi dalam ruang
lingkup besar seperti negara, melainkan terjadi juga dalam ruang lingkup kecil seperti di
dalam keluarga, sehingga ini adalah hubungan kekuasaan yang telah mendominasi
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
35 Universitas Indonesia
kehidupan manusia sehari-hari.29
Dalam proyeknya, Foucault mencoba untuk memahami
cara manusia berpikir dan memahami dirinya sendiri dalam ruang lingkup sosial
budayanya sehingga menimbulkan sebuah “makna bersama” (shared meaning)
berdasarkan periode yang berbeda-beda. Setiap periode menghasilkan produk pengetahuan
dalam bentuk “makna bersama” yang berbeda pula. Adanya “makna bersama” yang
berbeda ini disimpulkan sebagai suatu produksi pengetahuan daripada sebatas produksi
makna yang berkaitan erat dengan hubungan kekuasaan pada setiap periode dan pada
setiap tataran, atau dengan kata lain, pengetahuan terbentuk dalam suatu ruang waktu
tertentu (Hall, Stuart. (ed.), 1997, hal. 43). Oleh karena itu, Foucault cenderung
menggunakan istilah wacana daripada bahasa, mengingat wacana sendiri adalah bentuk
hubungan kekuasaan yang beroperasi melalui bahasa terkait periodisasi tersebut, dan
bahwa wacana merupakan suatu hal yang penting secara sosiologis karena cara kita
berbicara dan berpikir tentang dunia pada prinsipnya telah membentuk cara kita
berperilaku, sehingga hasilnya berimbas pada dunia yang kita ciptakan dari pemikiran dan
perilaku tersebut. Foucault sangat tertarik pada bagaimana suatu pemikiran dan perilaku
yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi kehidupan sosial yang dikatakan
sebagai formasi diskursus/wacana (discourse formation) (Johnson, Allan G. hal. 90. dalam
Risna W. Rizal. 2006, hal. 15). Pengetahuan yang memproduksi makna dalam bentuk
wacana sebagai hasil dari formasi diskursus/wacana tersebut diartikan oleh Foucault
sebagai sebuah sistem representasi (discourse as a system of representation) (Hall, Stuart.
(ed.), 1997, hal. 44).
Foucault, dalam Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep
Ideologi dari Plato hingga Bourdieu (2003, hal.109), menyebutkan bahwa diskursus atau
wacana merupakan suatu upaya untuk melepaskan diri dari ketertindasan karena wacana
dianggap tidak menggambarkan realitas di dunia, sehingga manusia berupaya melepaskan
ketertindasannya dari hubungan kekuasaan tersebut. Foucault juga melihat bahwa wacana
merupakan hal yang tidak bisa hilang dari lingkup masyarakat bagaimanapun kerasnya
upaya manusia itu untuk dapat membebaskan diri dari suatu hubungan kekuasaan. Manusia
29
Terkait dengan keterangan Foucault tersebut, para kritikus kontemporer menyatakan bahwa representasi, baik secara eksplisit maupun implisit, memiliki muatan politik. Politik tidak harus berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan, tetapi merujuk pada semua jenis hubungan kekuasaan. (Childers&Hentzi.1995. The Columbia Dictionary of Modern Literary and Cultural Criticism. New York : Columbia University Press. hal. 260. Dalam Ruth Sih Kinanti. 2001. Representasi Homoseksual dalam Angels in America. hal. 58).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
36 Universitas Indonesia
hanya bisa menyadari bahwa diskursus atau wacana akan selalu berada di tengah-tengah
masyarakat dan akan selalu memberikan dampak pada kesadaran manusia sebagai sebuah
sistem yang, suka atau tidak, harus diterima. Setiap wacana yang terbentuk, seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, terkait dengan periodisasi, sehingga bisa dipastikan bahwa
diskursus atau wacana yang muncul mengusung kebenarannya masing-masing dan tidak
dapat diartikan sebagai suatu kebenaran mutlak. Dengan sendirinya, diskursus atau wacana
bukanlah representasi dari realitas yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena beragamnya
pola pikir manusia dalam memaknai suatu kebenaran sehingga menghasilkan berbagai
diskursus atau wacana tersebut. Masih dalam Takwin, Foucault menyatakan hubungan
antara kuasa dan ketertindasan manusia merupakan hubungan yang memunculkan berbagai
persepsi sebagai suatu proses menuju perkembangan peradaban manusia dari waktu ke
waktu. Peradaban dimaksud berhubungan juga dengan pentingnya menyadari keberadaan
yang “liyan”, yakni kesadaran akan hal-hal yang “diasingkan” baik itu berupa benda,
orang, suku, dan budaya. Kesadaran ini penting karena yang “liyan” pada hakikatnya bisa
membantu manusia untuk bisa lebih memahami dan menghargai hidup dengan menyadari
bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidaklah homogen, sehingga merupakan hal
yang wajar apabila kita bersanding dengan pihak-pihak lain yang memiliki pola pikir dan
gaya hidupnya sendiri-sendiri.
Dalam pemikiran Foucault, disebutkan pula bahwa pengetahuan dan hubungannya
dengan kuasa menghasilkan praktik-praktik pemilah yang membedakan antara baik dan
buruk, benar dan salah, tinggi dan rendah, boleh dan tidak boleh, haram dan halal, dan
sebagainya (Takwin, 2003, hal.111). Praktik pemilahan yang disebutkan oleh Foucault
akan diulas lagi dalam penjelasan berikutnya, dikaitkan dengan seksualitas.
3.3. Konsep Seksualitas Foucault
Seksualitas dalam pandangan Foucault erat kaitannya dengan kekuasaan karena seks telah
diatur dengan sedemikian rupa agar menjadi suatu hal yang ditabukan, sehingga ia
menyebutkan bahwa manusia sejak dulu hingga sekarang adalah kaum Victorian. Pada
zaman itu, seksualitas, diartikan sebagai sesuatu yang “dipingit rapi” dan
“dirumahtanggakan”, dalam arti bahwa seksualitas tidak boleh hadir dalam bentuk
tindakan dan wicara. Seksualitas begitu ditekan dalam bentuk larangan yang juga sekaligus
berfungsi sebagai hukum untuk meniadakannya, sehingga seksualitas dapat dikatakan telah
masuk ke dalam suatu hubungan kekuasaan.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
37 Universitas Indonesia
Larangan bahwa seksualitas tidak boleh hadir dalam tindakan dan wicara, menurut
Foucault, bukanlah sesuatu yang dengan serta merta terjadi begitu saja, namun merupakan
larangan yang memang dibentuk. Seksualitas akhirnya dilihat secara berbeda, dalam arti
bahwa ia dilihat melalui sebuah aturan baru yang diwacanakan.
“Bukankah pewacanaan seks itu disusun sesuai dengan tugas
meniadakan, dari realitas, bentuk-bentuk seksualitas yang tidak
tunduk pada ekonomi ketat reproduksi : menolak berbagai kegiatan
tanpa hasil, mengutuk kenikmatan menyimpang, mengecilkan atau
mengeluarkan berbagai kegiatan yang tidak bertujuan meneruskan
generasi? Di sepanjang sekian banyak wacana, telah dilipatgandakan
hukuman legal bagi penyimpangan kecil-kecilan; keganjilan seksual
disisipkan pada kategori penyakit jiwa; sejak anak-anak hingga
lanjut usia, telah ditetapkan suatu norma perkembangan seksual dan
secara cermat telah diberi ciri segala penyimpangan yang mungkin
ada;...” (Foucault, 2008, hal. 57).
Foucault mengatakan bahwa, hingga abad ke-18, terdapat tiga hal yang dianggap
menguasai kegiatan seksual, yaitu hukum agama, ajaran pastoral Kristen (tokoh agama),
dan hukum perdata. Ketiga elemen ini menetapkan aturan tentang seksualitas dengan
caranya masing-masing, sehingga terjadi suatu pemisahan antara yang halal dan haram.
Pemisahan ini muncul karena seksualitas dilihat sebagai sebuah isu yang perlu diatur agar
tidak menyebabkan penyimpangan-penyimpangan yang menyalahi norma-norma yang
telah ditetapkan. Norma-norma yang telah ditetapkan ini merupakan normativitas
heteroseksual yang dianggap sah, baik, dan memang sepatutnya diterapkan dalam
kehidupan manusia, sehingga muncul pemilah antara yang boleh dan tidak.30
Hukum
agama, ajaran pastoral dan hukum perdata telah bertindak sebagai kuasa yang
mewacanakan norma-norma seksualitas agar terpusat pada kegiatan yang tidak melanggar
hukum.
Aturan-aturan yang mengatur seksualitas sejak dulu hingga memasuki konteks
zaman modern tidak pernah berubah, bahkan menjadi semakin luas, dalam arti bahwa yang
mengatur seksualitas tidak hanya terpusat pada tiga elemen tersebut di atas, tetapi sudah
masuk pada tataran negara, misalnya seksualitas yang diatur di dalam sebuah konstitusi.
30
Heteroseksual menjadi satu bentuk seksualitas yang berorientasi pada kegiatan prokreasi dan dinaturalisasikan sebagai norma-norma yang sah. Tujuan prokreasi adalah untuk memaksimalkan kekuatan, efisiensi, ekonomi tubuh, hubungan pernikahan, dan heteroseksualitas. Foucault tidak setuju dengan pandangan bahwa heteroseksual dianggap paling baik ( Foucault dalam Reksodirjo, 2006, hal. 33).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
38 Universitas Indonesia
Hal ini menandakan bahwa seksualitas tidak lagi berada di wilayah pribadi karena telah
bersinggungan dengan wacana-wacana kuasa yang dikonstitusikan di wilayah publik.31
Berkaca pada keterangan di atas, pada dasarnya hubungan antara kekuasaan dan seks
menghasilkan suatu wacana tentang seksualitas yang tidak pernah berhenti.
“Saya kira kita semua sepakat untuk mengatakan bahwa wacana
tentang seks, sejak tiga abad yang lalu sampai sekarang, cenderung
semakin banyak jumlahnya daripada semakin langka; walaupun
wacana itu mengandung berbagai tabu maupun larangan, secara
lebih mendasar telah membuat segala penyimpangan seksual jadi
kokoh dan melembaga.” (Foucault, 2008, hal. 75).
Foucault berpendapat bahwa seksualitas dikungkung oleh dunia barat dalam bentuk
hubungan kekuasaan yang, di antaranya, memiliki ciri-ciri pokok berikut: yaitu hubungan
negatif, instansi aturan, siklus larangan, logika sensor, dan kesatuan perangkat (agen).
Hubungan negatif dalam hal ini merupakan hubungan negatif antara kekuasaan dan seks,
yakni segala sesuatu yang terkait dengan seks dan seksualitas hanya dilihat sebagai hal
yang negatif. Dalam instansi aturan, kekuasaan menentukan seks dengan menempatkannya
di bawah sistem biner, yaitu halal-haram, boleh-terlarang, positif-negatif, yang kemudian
diperjelas dalam bentuk aturan berdasarkan hubungannya dengan hukum. Kekuasaan atas
seksualitas yang telah diatur secara hukum dianggap sebagai kebenaran. Adanya siklus
larangan dalam hubungan antara kekuasaan dengan seks adalah kekuasaan bertindak untuk
memfungsikan hukum larangan berupa ancaman, sementara logika sensor merupakan
logika kekuasaan atas seks untuk menabukannya atau menghilangkannya. Kekuasaan atas
seks tidak lepas dari kesatuan perangkat yang diterapkan di segala tataran, yang terlihat
baik dalam ruang lingkup yang besar maupun yang kecil. Agen yang bertindak sebagai
kesatuan perangkat di sini, menurut Foucault, adalah mereka yang membuat aturan itu dan
menerapkannya, mulai dari lingkup keluarga sampai dengan negara, yakni seorang ayah,
guru, pemerintah, lembaga sensor, dan bentuk kuasa lainnya. Aturan dibuat untuk
diterapkan dengan tujuan “menundukkan”, sehingga terjadi hubungan superior dan
inferior, yakni kekuasaan pembuat aturan di satu pihak dan di pihak lain adalah yang harus
mematuhi aturan itu.
Foucault berpandangan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas
terkait dengan wacana, dengan kekuasaan dan pengetahuan memainkan peran di dalamnya.
31
Contohnya, di Indonesia, seksualitas diatur dalam undang-undang pornografi.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
39 Universitas Indonesia
Akan tetapi, wacana dalam hubungannya dengan relasi kuasa, harus pula dilihat sebagai
sesuatu yang tidak stabil karena sifatnya yang tidak berkesinambungan, sehingga wacana
tentang kekuasaan bukanlah hal yang hakiki. Wacana harus dibayangkan sebagai unsur-
unsur nalar yang dapat bermain dalam aneka ragam strategi (Foucault, 2008, hal. 130-131).
“Wacana menyampaikan dan menghasilkan kekuasaan; wacana
memperkokohnya tetapi sekaligus mengikisnya, memaparkannya,
membuatnya rentan dan memungkinkannya untuk dihambat” (Foucault, 2008, hal. 131).
Dengan kata lain, dalam wacana relasi kuasa, tidak selalu terjadi hubungan
mendominasi dan didominasi, namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu
hubungan yang terkait dengan bentuk-bentuk pengetahuan yang bersifat periodikal
(melihat perubahan dari masa ke masa dalam satu ruang waktu tertentu) dalam berbagai
tataran sosial. Barangkali bisa dikatakan disinilah letak kompleksitas sebuah wacana
tentang seksualitas yang dibentuk namun dapat juga berubah.
3.4. Konsep Gender Connell
Gender sering disalahartikan dengan seks (jenis kelamin), sehingga konsep gender perlu
diperjelas supaya terlihat perbedaannya antara gender dan seks. Menurut Webster‟s New
World Dictionary, gender tidak selalu berhubungan dengan jenis kelamin, “...gender is not
necessarily correlated with sex” (1975, hal. 581), lalu gender juga diartikan sebagai
kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral)
yang menegaskan bahwa gender bukanlah sesuatu yang biologis dan juga bukan kodrat
Tuhan (Hasan, 2011, hal.230). Gender merupakan perbedaan tingkah laku antara laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial. Perbedaan ini tidak dapat dikatakan
sebagai kodrat karena sifatnya dibentuk melalui proses sosial dan budaya yang panjang.
Perempuan telah dikenal sebagai sosok feminin, yakni lemah lembut, emosional dan
keibuan, sementara laki-laki dikenal sebagai sosok maskulin, yakni kuat, rasional, jantan,
dan perkasa.
Raewyn Connell menyebutkan bahwa maskulinitas selama ini dipahami sebagai
karakter yang sudah fixed oleh Tuhan sebagai kodrat laki-laki sehingga maskulinitas tidak
mungkin mempengaruhi karakter perempuan dan begitu juga sebaliknya. Pemahaman yang
demikian tentang maskulinitas telah mendominasi pemahaman masyarakat tentang laki-
laki. Oleh karena itu, Connell menyebutnya dengan istilah hegemonic masculinity, ia juga
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
40 Universitas Indonesia
berargumentasi bahwa gender tidak bisa lagi dilihat hanya sebatas perbedaan generalisasi
karakteristik antara laki-laki dan perempuan seperti yang telah disebutkan di atas, namun
harus juga melihat keterkaitan antara keduanya sebagai dua aspek yang dapat
dipertukarkan, dalam arti bahwa ada laki-laki yang memiliki sifat-sifat feminin dan ada
pula perempuan yang memiliki sifat-sifat maskulin, sehingga gender dapat berubah dari
waktu ke waktu. Konsep gender seharusnya mampu mengedepankan fakta bahwa terdapat
keberagaman dalam sifat-sifat laki-laki dan perempuan alih-alih membuat dikotomi hanya
berdasarkan dua jenis kelamin tersebut. Connell juga dengan tegas menyebutkan bahwa,
maskulinitas terkait dengan gender dan terdapat pluralitas dalam maskulinitas yang berarti
bahwa karakter maksulin tidak bisa disebut tunggal, melainkan beragam. Keberagaman
dalam sifat laki-laki (khususnya), menurut Connell dapat mengarah pada bentuk kekerasan
karena maskulinitas tidak hanya berupa karakter yang terkait dengan hubungan personal
dan sosial, namun berhubungan juga dengan kekuasaan yang berakibat pada penindasan
terhadap laki-laki (http://www.raewynconnell.net/p/masculinities_20.html). Dalam sumber
yang berbeda (Alami, 2010), disebutkan bahwa Connell dan peneliti lain yang sependapat
dengannya, mengusulkan agar konsepsi tentang gender perlu diubah agar tidak lagi dilihat
sebagai perbedaan isu antara laki-laki dan perempuan yang bersifat dikotomis, melainkan
harus lebih dilihat sebagai relasi gender (gender relations) yang tidak hanya
mencerminkan hubungan personal dan sosial, tetapi juga hubungan kekuasaan dan
simbolik.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
41 Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS WACANA HOMOSEKSUALITAS DALAM ADEGAN DAN DIALOG
SERIAL TV GLEE
4.1. Pengantar
Bab empat ini akan menunjukkan bagaimana serial TV remaja Amerika Glee membangun
wacana homoseksualitas yang ditinjau secara kritis atas representasi homoseksual yang
ditampilkan dalam setiap season nya. Serial TV remaja Glee terdiri dari tiga season yang
masing-masingnya dibagi lagi ke dalam dua puluh dua episode, sehingga secara
keseluruhan episode dalam serial TV ini berjumlah enam puluh enam episode. Episode-
episode tersebut dilihat sebagai teks, baik secara verbal maupun visual, karena pada
prinsipnya teks inilah yang akan menunjukkan bagaimana homoseksual direpresentasikan.
Kajian atas representasi homoseksual dan wacana homoseksualitas dalam serial TV Glee
dilakukan dengan berlandaskan pada teori representasi berupa tiga pendekatan terkait
dengan bahasa sebagai elemen yang memproduksi makna, yaitu reflective approach,
intentional approach dan constructionist approach, dan didukung juga dengan konsep
wacana dan seksualitas Foucault serta konsep gender Connell.
Pada dasarnya, sejak film seri ini tayang perdana, dapat dikatakan bahwa di antara
isu yang diangkat, homoseksualitas merupakan isu yang paling disorot. Representasi
homoseksual dalam serial TV ini ditampilkan melalui tiga pendekatan yang disebutkan di
atas, yaitu tanda yang merefleksikan realitas tentang homoseksual (reflective approach),
tanda yang dihasilkan sesuai maksud penghasil makna (intentional approach) dan tanda
yang dilihat berdasarkan konteks homoseksual di Amerika serta dalam konteks sekolah di
Amerika (constructionist approach). Akan tetapi, elemen bahasa dalam serial TV ini boleh
dikatakan sebagai elemen paling kuat dalam memproduksi makna homoseksualitas,
sehingga representasi terbentuk dari bahasa tersebut. Melalui tanda-tanda itulah akan
terlihat representasi homoseksual seperti apa yang ditampilkan dalam serial TV ini dan
wacana apa yang dibangun. Dengan demikian, untuk menjawab permasalahan,
pembahasan akan diuraikan berdasarkan serangkaian episode pada tiap musimnya.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
42 Universitas Indonesia
Glee adalah serial TV remaja Amerika yang mengisahkan tentang sekelompok
siswa underdog dari Mckinley High School. Para tokoh sentralnya adalah Kurt, Rachel,
Mercedes, Artie, Tina, Finn, Quinn, Santana, Brittany, Puck, dan penambahan tokoh baru
di season ke dua dan ke tiga, yaitu Sam, Blaine, Rory serta Joe. Popularitas adalah
segalanya bagi para siswa underdog tersebut agar bisa diakui dan diterima oleh lingkungan
sekolahnya sehingga mereka memutuskan untuk membentuk kelompok paduan suara
dengan mendaftarkan diri sebagai anggota klub Glee di bawah asuhan guru bahasa Spanyol
mereka, Mr. William Schuester. Kelompok paduan suara klub tersebut diberi nama The
New Direction namun perjuangan mereka untuk mencapai puncak popularitas di McKinley
High tidaklah mudah meskipun telah mengikuti berbagai macam kejuaraan paduan suara.
Pada awalnya, tokoh yang masuk klub Glee hanya Kurt, Rachel, Mercedes, Tina dan Artie,
tetapi seiring dengan bertambahnya jumlah episode, tokoh-tokoh lainnya bermunculan
seperti yang telah disebutkan di atas. Keinginan mereka masuk klub Glee berangkat dari
kesadaran mereka yang merasa tidak memiliki potensi untuk menjadi terkenal seperti
halnya siswa-siswa lain di sekolah mereka, khususnya yang tergabung di dalam kelompok
pemandu sorak (cheerleader) dan kelompok American foot-ball. Tokoh-tokoh ini
digambarkan unik dengan ciri khasnya masing-masing namun tetap mencerminkan siswa-
siswa SMA seperti gambaran remaja pada umumnya, yaitu serba labil dalam berpikir,
bertindak, dan berkata-kata. Serial TV ini menyajikan cerita yang menekankan pada
kehidupan siswa-siswa di lingkungan sekolah. Hal yang menonjol dari serial TV ini juga
terletak pada muatan musik dan lagu serta sindiran-sindiran yang dilihat sebagai kritik
sosial dalam konteks Amerika.
Dalam hubungannya dengan topik penelitian, yakni homoseksualitas, tokoh Kurt,
khususnya, dan tokoh siswa homoseksual lainnya akan menjadi fokus utama karena
mereka merupakan tokoh sentral yang merepresentasikan homoseksual dalam konteks
Amerika, walaupun tokoh Kurt dapat dikatakan lebih sering disorot. Selama bersekolah di
SMA Mckinley, Kurt hampir setiap hari mendapatkan perlakuan tidak baik dari orang-
orang di sekitar lingkungan sekolahnya, khususnya dari siswa-siswa yang tergabung dalam
football club, karena identitas seksualnya dan juga karena ia adalah salah satu anggota
Glee Club. Seiring dengan bertambahnya jumlah episode dari satu season ke season
berikutnya, akan semakin tampak isu homoseksualitas diblow up, walaupun terdapat juga
isu-isu lain yang disinggung, seperti isu perempuan, etnis minoritas dan ras (kulit hitam),
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
43 Universitas Indonesia
oleh kerena itu keterkaitan antara homoseksualitas dengan isu-isu sosial lainnya boleh
dikatakan sebagai letak keunikan serial TV Glee tersebut.
4.2. Wacana Homoseksualitas dalam Serial TV Glee Season Pertama
Glee season pertama terdiri dari 22 episode, yaitu episode Pilot, Showmance, Acafellas,
Preggers, The Rodes Not Taken, Vitamin D, Throwdown, Mashup, Wheels, Ballads,
Hairography, Mattress, Sectionals, Hell-o, The Power of Madonna, Home, Bad
Reputation, Laryngitis, Dream on, Theatricality, Funk, dan yang terakhir Journey to
regionals. Sepintas, apabila dilihat dari judul-judul yang merupakan teks verbal per
episodenya dalam season pertama ini, sama sekali tidak tampak menunjukkan adanya
homoseksualitas yang diangkat ke permukaan. Serial TV ini tidak akan dianggap
mengedepankan homoseksualitas sebagai tema sentral, namun akan berbeda maknanya
apabila teks dalam serial TV ini dibaca secara menyeluruh, yaitu melalui rasio auditoris
dan visual, karena produksi makna dibalik tanda akan terlihat lebih jelas.
Dalam episode pilot, adegan diawali dengan tokoh Kurt yang dimasukkan ke bak
sampah oleh sekelompok siswa yang tergabung ke dalam foot ball club. Provokator
tindakan ini adalah tokoh Puck, ia dan teman-temannya bisa dikategorikan sebagai siswa
yang populer di sekolah Mckinlley High. Belum disebutkan pada awal episode satu ini
bahwa Kurt adalah siswa yang homoseksual karena identitasnya akan diketahui nanti pada
episode-episode berikutnya. Namun, setelah melihat lebih lanjut, peneliti menangkap
adegan awal ini sebagai sebuah tanda yang diniatkan oleh si penghasil makna (intentional
approach) untuk menyatakan bahwa tokoh homoseksual (Kurt) adalah orang yang masuk
ke dalam kelompok yang termarginalkan dan merupakan inti dari persoalan yang hendak
disampaikan melalui serial TV ini, karena pada akhirnya akan diketahui bahwa yang
mendapatkan perlakuan tidak baik tersebut adalah seorang homoseksual. Dalam episode
ini, selain Kurt, muncul tokoh-tokoh underdog yang lain, yakni Mercedes, Rachel, Tina
dan Arti yang mendaftarkan diri masuk Glee club agar menjadi populer. Dengan kata lain,
populer dalam hal ini dimaknai sebagai tidak termarginalkan. Kelima siswa-siswa tersebut
di atas juga ditangkap sebagai tanda yang merepresentasikan kelompok-kelompok
termarginalkan karena mereka tergabung dalam gerakan sosial kelompok minoritas yang
menuntut keadilan hak,32
yakni tokoh Kurt yang homoseksual, Mercedes yang berkulit
32
Lihat bab 2
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
44 Universitas Indonesia
hitam, Tina yang asia, Artie yang cacat, dan Rachel yang dibesarkan oleh orang tua yang
homoseksual (memiliki dua orang ayah yang gay). Representasi ini bisa terlihat pada
keterangan berikut : First Kids to sign up Glee Club: 1.) Mercedes, 2). Kurt, 3). Tina,
4).Rachel, 5.)Arti (Glee 1, episode 1).
Berhubung Glee club ini dimasuki oleh siswa-siswa yang underdog, maka dengan
sendirinya sebutan Glee sendiri memiliki makna terpinggirkan, tidak populer dan atau
kelompok untuk pecundang. Adegan awal tersebut di atas telah memperlihatkan adanya
hubungan antara penindas dan yang tertindas, sehingga hubungan seperti ini disebut
sebagai hubungan kekuasaan yang bisa terjadi di mana saja,33
dan dalam kaitannya dengan
serial TV ini, hubungan kekuasaan yang demikian akan banyak ditemukan dalam konteks
sekolah. Tidak lama setelah adegan “dibuangnya” tokoh Kurt ke bak sampah,34
pengenalan
terhadap isu homoseksualitas terlihat juga saat tokoh Rachel yang berjalan di koridor
sekolah pada hari pertamanya menjadi siswa sekolah menengah atas tiba-tiba berkata
tentang dirinya yang bukan seorang homofobia karena ia dibesarkan oleh orang tua yang
gay (Glee 1, episode 1). Adanya tokoh Rachel yang memiliki dua ayah yang gay, dicermati
sebagai suatu pembenaran bahwa tidaklah menjadi masalah bagi sepasang orang tua yang
homoseksual untuk berumahtangga, membesarkan anak dan terikat dalam pernikahan.
Seperti yang telah disebutkan pada bab 2, bahwa legitimasi pernikahan sesama jenis masih
menjadi isu yang kontroversial dalam konteks homoseksual di Amerika, meskipun
beberapa negara bagian sudah melegalkannya. Pembenaran ini, menurut Foucault,
merupakan sebuah produksi makna yang diperlihatkan dalam adegan tersebut sebagai
suatu „kebenaran‟. Adegan-adegan yang disajikan pada awal episode merupakan
representasi melalui intentional approach karena tujuannya adalah untuk mengenalkan isu
apa yang akan menjadi sorotan dalam serial TV ini sesuai dengan maksud penghasil
makna, yang dalam hal ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film
tersebut.
Selain itu, terdapat adegan yang memperlihatkan homoseksualitas menjadi
persoalan yang diangkat dalam serial TV ini ketika guru bahasa Spanyol yang juga
sekaligus pelatih Glee club mereka, William Schuester, dengan berbagai cara yang bersifat
persuasif, meminta kelompok siswa football untuk ikut serta mendaftar sebagai anggota
33
Foucault melihat cara kerja representasi dari sudut yang lebih mendekati hubungan kekuasaan. 34
Saya menangkap bahwa adegan tokoh Kurt dibuang ke bak sampah terinspirasi oleh penyanyi fenomenal Lady Gaga yang pernah mendapatkan perlakuan serupa (bullied). (Lihat catatan kaki no 52)
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
45 Universitas Indonesia
klub Glee karena menyadari kurangnya peserta dalam klubnya, namun kenyataan yang
diterima adalah klub tersebut sudah sangat dikenal dengan klub pecundang sehingga tidak
ada satupun peserta yang mau mendaftar. Mereka bahkan mengolok-mengolok klub
tersebut dengan mengarang sebuah nama, yaitu dengan mendaftarkan nama “Gaylord
Weiner”. Adapun tokoh Finn yang merupakan salah satu orang dari klub football akhirnya
mau mendaftar karena “hasutan” Mr. Schuester, yang terpaksa melakukannya guna
mendapatkan Finn yang memiliki kualitas suara yang bagus untuk kelompok paduan
suaranya.35
Puck yang provokator dan senang melakukan bullying merupakan sahabat
terdekat Finn dan sama-sama merupakan angota klub football. Ketika ia mengetahui Finn
mendaftar sebagai anggota klub Glee, ia menganggap klub tersebut bukan klub yang
normal dan penuh dengan homoseksual (Glee 1, episode 1). Olok-olok dengan
menyebutkan kata “gay” dalam nama “Gaylord Weiner” tersebut, lalu juga tokoh Finn
yang populer memutuskan untuk ikut klub yang dianggap “homo”, mengindikasikan
bahwa homoseksualitas bukan saja persoalan seksualitas, tetapi juga menjadi persoalan
penting dalam lingkungan remaja sekolah di Amerika.
Dalam episode Showmance, adegan kembali diawali dengan dimasukkannya Kurt
ke bak sampah oleh para siswa football yang populer, tetapi yang menarik dari adegan ini
adalah perkataan yang dilontarkannya sebelum ia “rela” dimasukkan, yaitu “One day,
you‟ll all work for me” (Glee, episode 2). Jika perkataan Kurt dikaitkan dengan konsep
diri seorang homoseksual, seperti yang dilakukan pada penelitian Magdalena Surjaningsih
Halim,36
maka itu menandakan bahwa tokoh Kurt cukup memiliki kepercayaan diri dan
optimistis dalam memandang dirinya sendiri sebagai seorang homoseksual, meskipun ia
belum sepenuhnya come out, 37
yakni bahwa memiliki orientasi seksualitas yang berbeda
bukan tolak ukur untuk menilai kualitas manusia dan untuk bisa berada di tengah-tengah
masyarakat. Homoseksualitas sebagai isu juga semakin terlihat pada dialog antara tokoh
Quinn dan Finn, Quinn protes dengan masuknya Finn menjadi anggota Glee club, karena
ia sudah dikira gay oleh banyak orang di sekolahnya, “People think you‟re gay now Finn,
and you know what that means to me? You‟re a gay beard!” (Glee 2, episode 2). “Gay
beard” yang diucapkan oleh tokoh Quinn, dalam konteks homoseksual di Amerika,
35
Mr. Schuester mengatakan bahwa sebungkus serbuk sejenis obat terlarang yang ditemukannya bersal dari Finn, dan apabila ia tidak ikut bergabung dengan Glee, maka ia akan dilaporkan ke kepala sekolah. Padahal serbuk tersebut milik Mr. Schuester yang diperoleh dari koleganya. 36
Lihat tinjauan literatur pada bab 1 37
Menyatakan secara terbuka bahwa dirinya adalah homoseksual.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
46 Universitas Indonesia
khususnya di lingkungan sekolah, adalah istilah untuk seorang homoseksual yang
menyembunyikan seksualitasnya dengan menjalin hubungan antar lawan jenis agar
dianggap “normal” dan tidak menyimpang dari aturan heteroseksual. Menjadi “gay beard”
merupakan salah satu cara kelompok homoseksual menekan identitas seksualnya supaya
diakui oleh lingkungan sekitarnya. Selain ucapan yang dilontarkan tokoh Quinn tersebut,
pada saat latihan paduan suara, Mr. Shuester memberikan sebuah lagu disko untuk
dinyanyikan, namun tokoh Mercedes protes dan mengatakan lagu tersebut kuno, dan Kurt
menyetujuinya dengan mengatakan lagunya terlalu “gay”. Melihat gambaran ini, ada ironi
yang muncul dalam tokoh Kurt dengan melabel “gay” pada sebuah lagu, sementara dirinya
adalah seorang gay. Jika kembali pada konsep diri, ketika berada di tengah-tengah
kelompok heteroseksual, Kurt akan menyangkal identitasnya, jadi ia cukup merasa yakin
dengan seksualitasnya yang berbeda sebagai individu tetapi tidak yakin saat berada di
lingkungan heteroseksual. Kondisi ini merupakan tanda adanya pergulatan dalam diri
homoseksual yang selalu dihadapkan pada situasi untuk “memilih” sebuah orientasi
seksual kecuali ia sudah melakukan proses coming out . Hal ini pada kenyataannya
merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan oleh kelompok homoseksual jika seksualitas
harus dijadikan suatu opsi akibat dari heteronormativitas yang sudah dikonstruksikan dan
diterapkan sedemikian rupa dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga nilai-nilai
heteroseksual ini diinternalisasi sebagai sebuah kebenaran, dan oleh karena itu yang
banyak terjadi adalah penyangkalan yang terpaksa atas orientasi seksualitas pada diri
homoseksual. Kebenaran heteronormativitas yang demikian mengakar di masyarakat,
disebutkan dalam teori Foucault sebagai sebuah “makna bersama” yang dianggap sebagai
suatu produksi pengetahuan yang erat kaitannya dengan kekuasaan, dan dalam hal ini,
kekuasaan untuk memarginalkan kelompok homoseksual. Isu yang tidak bisa disikapi
secara terbuka bisa dikatakan menjadikan kelompok homoseksual menuntut keadilan dan
pengakuan akan keberadaan mereka melalui gerakan-gerakan sosial mereka yang
diperjuangkan hingga saat ini.
Dalam episode ini, terdapat pula adegan antara Mr. Schuester dan istrinya, Terry,
yang melontarkan kata „gay‟ ketika mencoba membeli dan melihat-lihat isi rumah idaman
mereka yang baru, “This is where our daughter or our gay son will sleep.” (Glee 1,
episode 2). Dialog-dialog lain juga menyebut kata „gay‟ yang semakin menguatkan adanya
isu homoseksualitas dalam serial TV ini. Adegan lain adalah ketika tokoh Rachel dan Finn
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
47 Universitas Indonesia
dipanggil oleh kepala sekolah karena diadukan oleh Sue Sylvester, pelatih kelompok
pemandu sorak Cheerios, yang telah menuduh kedua siswa tersebut menggunakan mesin
fotokopi miliknya. Sue mengatakan, “Gay parents are rebellious, there is a study on this.”
(Glee 1, episode 2). Kelakuan Rachel yang demikian dianggap sebagai hasil didikan orang
tua homoseksual secara implisit menunjukkan bahwa pernikahan sesama jenis masih
menjadi polemik di Amerika karena adanya aturan heteroseksual dan agama yang
melarang pernikahan sesama jenis. Berdasarkan sudut pandang keagamaan, selain
dilarangnya pernikahan pasangan sesama jenis, pasangan homoseksual yang mengangkat
seorang anak dianggap tidak akan memberikan perkembangan dan pertumbuhan yang baik
karena norma yang selama ini berlaku adalah seorang anak akan tumbuh dan berkembang
dengan baik apabila lahir dari pasangan heteroseksual, yakni memiliki figur lengkap
seorang ayah dan ibu. Terkait dengan teori Foucault, hal ini juga merupakan sebuah
produksi „kebenaran‟ yang telah dimaknai “secara bersama” oleh heteroseksual dengan
tujuan “mengharamkan” pernikahan sejenis. Paradigma inilah yang hendak ditentang oleh
kelompok homoseksual yang gigih memperjuangkan legalitas pernikahan sesama jenis
agar merata di Amerika, serta secara tidak langsung menyatakan bahwa membesarkan anak
dan mendidiknya dengan baik merupakan hal yang mungkin untuk dilakukan tanpa harus
melahirkan dari pasangan heteroseksual. Apa yang dinyatakan dan diserukan oleh
kelompok homoseksual tentang legalitas pernikahan sesama jenis dan pola pengasuhan
anak tersebut juga merupakan suatu produksi „kebenaran‟ tentang homoseksualitas.
Pada episode Acafellas, film diawali dengan adegan tokoh Mercedes yang
menginginkan seorang kekasih dalam hidupnya setelah melihat banyak teman-teman di
sekolahnya yang berpacaran. Kepedulian dan perhatian Kurt pada Mercedes ditanggapi
oleh Mercedes sebagai sesuatu yang istimewa. Tokoh Rachel dan Tina yang telah
mengetahui seksualitas Kurt berniat memberitahukan Mercedes akan hal tersebut, tetapi
Mercedes memilih untuk tidak memercayainya (Glee 1, episode 3). Tersembunyinya
identitas seksualitas seorang homoseksual menunjukkan kendala yang selalu harus mereka
hadapi untuk bisa berada di tengah-tengah masyarakat heteroseksual yang menimbulkan
ketidaknyamanan bagi diri mereka sendiri, khususnya bila dihadapkan pada situasi yang
melibatkan persoalan cinta karena kemungkinannya sangat kecil untuk bisa menyukai
lawan jenis. Mereka memiliki keinginan untuk bisa mengekspresikan perasaannya dengan
nyaman kepada sesama jenis tanpa harus diatur oleh norma-norma heteroseksual yang
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
48 Universitas Indonesia
selama ini dianggap benar dan sah. Aturan-aturan inilah yang cenderung menahan
sebagian besar kelompok homoseksual untuk come out, meskipun pada prinsipnya mereka
menyadari bahwa mereka memiliki hak asasi yang sama dengan heteroseksual. Merujuk
pada keterangan ini, diceritakan bahwa tokoh Mercedes mendekati Kurt agar bisa menjalin
hubungan yang lebih dekat dengannya, tetapi Kurt menolak, yang ditandai dengan
pergulatan dalam dirinya antara mengakui seksualitasnya dan menyangkalnya di depan
Mercedes.
KURT: Haven‟t I made it clear? I‟m in love with someone else.38
MERCEDES: Rachel?
KURT: Yes, for several years now.(Glee 1, episode 3)
Perkataan Kurt pada dialog terakhir, yang disertai dengan adegan memalingkan
muka saat mengatakannya, menunjukkan ia masih takut dan malu untuk mengakui
seksualitasnya kepada Mercedes, dalam arti bahwa yang ditakutkan selama ini oleh
homoseksual adalah normativitas heteroseksual tersebut. Proses coming out memang
bukan perkara mudah bagi kelompok homoseksual yang hidup di antara masyarakat
heteroseksual, dan semua bergantung pada individu itu sendiri untuk melakukannya atau
tidak. Konsep diri akhirnya menjadi sangat penting bagi kelompok homoseksual untuk bisa
merasakan kenyamanan sebagai individu seutuhnya, setidaknya mereka tidak merasa
sebagai liyan bagi dirinya sendiri. Apa yang dialami tokoh Kurt merefleksikan keadaan
yang demikian, dan dibutuhkan pemicu untuk dapat mengakui seksualitas dirinya yang
bisa saja datang dari faktor dirinya sendiri atau di luar dirinya. Tokoh Mercedes dapat
dikatakan sebagai pemicu tersebut. Ketika mengetahui Kurt “menyukai” Rachel, ia sempat
kecewa namun akhirnya ia bisa menerima dan mendukung pilihan Kurt. Saat mengetahui
hal yang sebenarnya tentang seksualitas Kurt, Mercedes meminta Kurt untuk mau terbuka,
namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keterbukaan bagi homoseksual bukanlah
hal yang sangat mudah untuk dilakukan.
KURT: Mercedes, I lied to you, I don‟t like Rachel. I‟m gay.39
MERCEDES: Why didn‟t you tell me?
KURT: Because I hadn‟t told anyone before.
38
Saat mengatakan itu, Kurt selalu melihat ke arah Finn, tapi tiba-tiba muncul Rachel di hadapannya sehingga Mercedes menangkap dengan setengah percaya bahwa yang dimaksudkan Kurt adalah Rachel. 39
Kurt menangis ketika mengakui hal ini pada Mercedes yang menandakan betapa sulitnya bagi homoseksual untuk menyatakan secara terbuka tentang seksualitasnya.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
49 Universitas Indonesia
MERCEDES: You shouldn‟t be ashamed of who you are Kurt, you
should tell people, especially the kids in Glee. The whole point of
the club is to express what‟s really inside you, remember?
KURT: I can‟t, I‟m just not that confident I guess.(Glee 1, episode
3)
Adegan dan dialog di atas, jika meninjau konsep seksualitas Foucault, terkait dengan
aturan yang telah menentukan hukum seks dengan menempatkannya dalam sistem biner,
yaitu halal-haram, benar-salah, boleh-terlarang, serta adanya hukum larangan berupa
ancaman. Sehingga, homoseksual mengalami kesulitan untuk memposisikan
seksualitasnya karena orientasi seksualnya secara hukum termasuk yang dilarang, dan
apabila dilanggar, ancaman berupa sanksi hukum ataupun sosial menjadi konsekuensinya.
Tokoh Kurt pada episode 4, yaitu Preggers, masih belum mau membuka dirinya
kepada siapapun termasuk ayahnya sendiri. Episode ini diawali dengan Kurt berlatih
menari dengan temannya, Tina dan Brittany,40
di kamarnya yang kemudian dipergoki oleh
ayah Kurt, yang mulai curiga akan kelakuan anaknya tersebut. Kurt tampak mengenakan
pakaian yang sangat ketat dan menari seperti perempuan. Penyangkalan masih tetap
dilakukan oleh Kurt, meskipun tanda-tandanya sudah jelas terlihat, seperti pakaian yang
dikenakannya, dan tarian yang dilakukannya. Gambaran ini menyiratkan kembali bahwa
membuka diri bagi seorang homoseksual adalah hal yang sangat sulit karena, disadari atau
tidak, akan timbul konsekuensi yang harus dihadapi oleh mereka di tengah dominasi
wacana dominan heteroseksual mengenai homoseksual (Glee 1, episode 4). Kurt terlanjur
mengatakan kepada ayahnya bahwa ia masuk tim football, dan oleh karena itu, ia
mendatangi Finn untuk meminta saran. Finn tampak telah mengetahui seksualitas Kurt,
tetapi Kurt terus berusaha menyangkalnya dengan membuktikan bahwa ia mampu bermain
football. Football dilihat sebagai cabang olahraga yang merepresentasikan laki-laki
maskulin, sehingga Kurt ingin membentuk citranya agar terlihat sebagai laki-laki maskulin
melalui olahraga tersebut (Glee 1, episode 4). Puck melihat Finn dan Kurt sedang berbicara
berdua di lapangan beberapa menit menjelang pertandingan. Puck berasumsi bahwa Kurt
dan Finn adalah pasangan homoseksual, dan melakukan protes keras terhadap masuknya
Kurt menjadi anggota tim. “So, are you an item41
now or...? He doesn‟t belong here.”
(Glee 1, episode 4). Dari adegan ini, ada asumsi bahwa apabila dua orang sesama jenis
terlihat sedang berdua meskipun mereka sama sekali bukan merupakan pasangan
40
Lagu yang mengiringi tarian mereka adalah lagu Beyonce, Put a Ring on it. 41
Istilah item dalam bahasa gaul di kalangan remaja Amerika berarti sepasang kekasih.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
50 Universitas Indonesia
homoseksual, akan dianggap sebagai pasangan homoseksual. Dengan kata lain, bukan
merupakan hal yang wajar bagi sesama jenis untuk tampil berdua di publik, akan tetapi
asumsi seperti ini bersifat sangat kultural karena tidak semua menganggapnya demikian,
kecuali kalau tanda-tandanya terlihat dengan jelas.42
Adegan berikut terjadi di ruang
locker, saat Puck melakukan protes keras terhadap Kurt (Glee 1, episode 4). Puck
menyebut nama Lance Bass pada dialognya yang merupakan representasi seorang
homoseksual. Sebelum bubar, Lance Bass adalah salah satu anggota boysband N‟SYNC
yang populer pada era 1990an setelah NKOTB (New Kids on the Block) yang secara
realitas memang seorang homoseksual. Tokoh Puck pada Glee season pertama ini
disajikan sebagai tokoh yang pada awalnya sangat kontra terhadap keberadaan
homoseksual sebagaimana bisa dilihat pada dialog-dialognya yang lain, yang kerap
melontarkan kata-kata yang sifatnya bullying terhadap homoseksual (Glee 1, episode 4).
Pada catatan kaki, telah disebutkan bahwa walaupun terjadi pro dan kontra dalam
kelompok football tentang keberadaan Kurt dan tariannya, keunikan Kurtlah yang ternyata
membawa kemenangan bagi tim football McKinlley High. Peneliti menangkap tanda ini
sebagai sebuah citra positif homoseksual sebagai kaum termarginalkan tetapi mampu
mengekspresikan keunggulan kualitasnya atas kelompok heteroseksual. Olahraga football
yang sangat dilihat sebagai olahraga maskulin disisipi unsur feminin43
yang menyiratkan
secara tidak langsung bahwa apapun bisa terjadi dan bisa dilakukan oleh manusia tanpa
memandang orientasi seksualnya walaupun gambaran football seperti itu merupakan hal
yang kemungkinan besar tidak bisa terjadi di kehidupan nyata.44
Citra positif dapat
membawa perubahan pada konsep diri seorang homoseksual di lingkungan heteroseksual
agar menjadi lebih optimistis dalam memandang dirinya karena mereka merasa bisa
melakukan apa saja, meskipun secara seksual mereka berbeda.
KURT: Dad, I told you, I told you.
BURT: I‟m really proud of you Kurt.
42
Misalnya di Indonesia, secara kultural, tidak ada asumsi umum yang langsung menganggap pasangan sejenis yang tampil di publik adalah pasangan homoseksual. 43
Dua karakter inilah yang pada prinsipnya ingin ditekankan oleh Connell, bahwa terdapat keragaman karakter pada diri laki-laki. Seluruh pemain dalam tim football tersebut adalah laki-laki, namun karakteristik masing-masing laki-laki yang memainkan permainan tersebut belum tentu sama. Contohnya adalah tokoh Finn dan Kurt yang sama-sama laki-laki, tetapi karakternya berbeda, yakni Finn maskulin dan Kurt feminin. 44
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hamad bahwa gambaran seperti ini merupakan produksi isi media sebagai kegiatan pembentukan wacana melalui film serial TV yang bersifat mengkonstruksikan realitas ke dalam struktur cerita yang bermakna (lihat bab 3).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
51 Universitas Indonesia
KURT: Dad, I have something to say, I‟m glad you‟re proud of me,
but I don‟t want to lie anymore. Being a part of football and Glee
club have really showed me that I can be anything and what I am
trying to say is... I‟m gay.
BURT: I know.
KURT: Really?
BURT: I know since you were three. What you wanted for your
birthday was a pair of sensible heels. I guess I‟m not totally in love
with the idea but...if that‟s who you are, there‟s nothing I can do
about it, and I love you just as much, ok? Thanks for telling me
Kurt. You‟re sure right?
KURT: Yes, I‟m sure. (Glee 1, episode 4)
Representasi sikap yang terbuka dan menerima, tercermin pada tokoh Burt, yang mencoba
menyikapi homoseksualitas Kurt dengan bijaksana. Seperti yang telah dijelaskan dalam
bab 2, bahwa permisif bukan persoalan setuju dan tidak setuju, namun lebih pada
menyikapi persoalan homoseksualitas secara terbuka, selain karena isu ini memang sangat
kompleks sifatnya. Homoseksualitas juga tidak dapat dengan mudah dikatakan sebagai
persoalan nature or culture, karena untuk dapat menjawabnya, dibutuhkan keterlibatan
banyak aspek. Ada yang menjadi homoseksual karena pengaruh lingkungan dan ada pula
karena faktor biologis, seperti tercermin pada tokoh Kurt, yang telah menyadari orientasi
seksualnya sejak berusia tiga tahun. Kesadaran akan orientasi seksualnya bisa dilihat dari
hadiah ulang tahun yang dimintanya, yaitu berupa sepasang sepatu berhak tinggi. Hadiah
tersebut secara tidak langsung merepresentasikan orientasi seksualnya yang telah terdeteksi
sejak dini. Bagaimanapun juga, yang dapat dipastikan adalah bahwa tidak ada jawaban
yang akurat mengenai penyebab terjadinya homoseksual, namun yang perlu disadari
adalah adanya perbedaan orientasi seksual sebagai satu aspek penting untuk disikapi secara
bijaksana selain perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan.45
Citra positif
homoseksual di lingkungan heteroseksual juga tercermin dalam adegan dan diaolog tokoh
Kurt pada episode 8 berikut. Finn mencoba menyiram wajah Kurt dengan slushie hanya
untuk menunjukkan solidaritasnya dengan teman-temannya di tim football, meskipun
dengan perasaan terpaksa. Kurt, yang mengetahui keterpaksaan Finn, dengan sukarela
menyiram dirinya sendiri agar Finn tetap diterima oleh teman-teman timnya.
KURT: It‟s called taking one for the team. Now get out of here and
think about wether or not your friends in the football club would
have ever done that for you.(Glee 1, episode 8)
45
Dalam bab 3, diuraikan bahwa Foucault sangat menekankan kesadaran akan adanya perbedaan pada setiap tatanan kehidupan, termasuk orientasi seksual yang berbeda.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
52 Universitas Indonesia
Pada season pertama ini, dapat dikatakan bahwa kata “gay” dan hal-hal yang
mengarah pada sifat gay terdapat di sebagian besar dialog yang diucapkan para tokoh,
meskipun adegan secara visual yang mengarah pada hubungan antar gay masih minim
terlihat. Misalnya, pada episode 5, The Rodhes not Taken, yaitu dialog yang diucapkan
oleh April Rodhes, tokoh perempuan yang berperan sebagai teman lama Mr. Schuester,
yang sama-sama merupakan alumni SMA McKinlley. Ketika bertemu kembali dengan Mr.
Schuester, ia mengatakan pada Mr. Schuester kalau teman kencannya yang bernama Vinny
telah berselingkuh dengan Ralph, seorang laki-laki pemilik restoran cepat saji “Ralph had
an affair with Vinny” (Glee season 1, episode 5). Berdasarkan cerita April, Vinny adalah
laki-laki yang ia sukai ketika masih remaja, tetapi tanpa disangka Vinny akhirnya
berselingkuh dengan Ralph. Kemudian, ada lagi ketika tokoh Rachel membacakan satu
baris dari sebuah drama kepada Finn, “I‟m sleeping with him”(Glee 1, episode 5) yang
merupakan baris kesukaan Mr. Ryerson, salah satu guru di sekolah tersebut. Ini secara
implisit mengindikasikan bahwa ia adalah seorang homoseksual. Lalu, tokoh Puck yang
tiba-tiba menyeletuk pada teman-temannya tentang hubungan tokoh boneka Bert dan
Ernie46
yang lebih dari sekadar teman satu kamar, “I bet you guys thought Bert and Ernie
are just roomates”(Glee 1, episode 5) karena mereka selalu tampil berdua sehingga
menurut Puck, dua tokoh boneka tersebut adalah pasangan homoseksual.
Pada episode 6 dan 7, yaitu Vitamin D dan Throwdown, tanda verbal berupa kata
“gay” dalam dialog antar tokoh tidak ditemukan, tetapi pada episode 6 terdapat adegan
tokoh Kurt yang memilih masuk kelompok perempuan ketika Mr. Schuester membagi
murid-muridnya ke dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan, untuk mengerjakan
proyek sebuah lagu, meskipun akhirnya Kurt diminta oleh gurunya untuk kembali ke
kelompok laki-laki. Adegan ini ditangkap sebagai penekanan bahwa perbedaan manusia
terletak pada faktor biologis, yakni jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, dan
bukan pada orientasi seksual. Seorang homoseksual tetap dilihat berdasarkan jenis
kelaminnya, walaupun ia sepenuhnya menyadari sifat-sifat yang dimilikinya. Ada
homoseksual laki-laki yang tetap dengan maskulinitasnya, dan ada pula yang cenderung
mengarah pada sifat feminin, seperti tokoh Kurt. Menurut konsep gender Connell, apa
yang dilakukan oleh tokoh Mr. Schuester merupakan pembedaan berdasarkan jenis
46
Tokoh boneka yang sangat populer di acara anak-anak Sesame Street yang selalu dipasangkan berdua pada saat tayang.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
53 Universitas Indonesia
kelamin antara laki-laki dan perempuan yang bersifat dikotomis, padahal perlu disadari
bahwa sifat seseorang itu beragam yang justru bisa bertolak belakang dengan jenis
kelaminnya, seperti halnya tokoh Kurt menggambarkan seorang homoseksual laki-laki
(gay), tetapi memiliki karakter feminin, sehingga perbedaan dikotomis jenis kelamin laki-
laki dan perempuan perlu dibedakan dengan maskulinitas dan feminitas.
Telah disinggung sebelumnya bahwa diangkat pula sedikit isu kelompok minoritas
dalam serial TV ini, yang bisa ditemui pada episode Throwdown. Dalam perjuangannya,
kelompok homoseksual bergabung dengan gerakan kelompok sosial yang terdiri dari
kelompok perempuan, etnis minoritas dan ras kulit hitam karena merasa menjadi bagian
dari kelompok yang terpinggirkan atau yang liyan. Seperti halnya perempuan, kelompok
ini dianggap sebagai warga kelas dua, yang bisa dilihat pada dialog berikut ketika pelatih
pemandu sorak Cherioos, Sue Sylvester, memanggil nama siswa-siswa anggota Glee yang
tergolong minoritas dengan sebutan yang merepresentasikan hal tersebut yaitu wheels, gay
kid, asian, other asian, Aretha dan Shaff (Glee 1, episode 7). Isu minoritas ini juga terlihat
pada episode 9, Wheels, yaitu pada ucapan tokoh Mercedes saat lagu yang dipilih oleh Mr.
Schuester selalu lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi kulit putih. Mercedes menyebut
Vanilla dan chocolate yang merepresentasikan kulit putih dan kulit hitam (Glee 1, episode
9). Masuknya isu minoritas dalam serial TV ini membentuk satu keterkaitan yang saling
berhubungan karena homoseksualitas sendiri merupakan bagian dari kelompok minoritas
tersebut, sehingga makna itu yang tampaknya ingin disampaikan oleh serial TV ini, yaitu
bahwa homoseksualitas dan minoritas merupakan satu isu.
Di episode 8, Mash Up, terlihat homoseksualitas kembali diangkat melalui dialog-
dialog berikut. Kepemimpinan Finn sebagai kapten tim dipertanyakan sejak ia
memutuskan untuk masuk klub Glee. “Questioning your leadership Finn, like for instance,
you choose to join that homo explosion.” Lalu Azimio, teman satu tim football, merasa
sangat keberatan dengan keputusan Finn yang bergabung dengan Glee club yang
kegiatannya hanya bernyanyi. “Is he working on a coming out of the closet speech or
something?” (Glee 1, episode 8). Sebutan homo explosion, working on a coming out of the
closet speech, dan olok-olok homoseksual lainnya yang terdapat dalam season pertama ini
dari satu episode ke episode lainnya mengarah pada tindakan bullying yang sering diterima
oleh kelompok homoseksual dan tidak menutup kemungkinan diterima juga oleh yang
mentolerir atau menerima keberadaan mereka. Kondisi ini menandakan tingkat kekerasan
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
54 Universitas Indonesia
yang mereka terima sudah demikian parah hanya karena orientasi seksual mereka yang
berbeda dari heteroseksual, dan di Amerika sendiri kekerasan ini bisa terjadi di lingkungan
manapun baik kekerasan yang bersifat fisiologis maupun psikologis, termasuk di sekolah.
Merujuk pada keterangan ini, terdapat adegan dalam episode ini yang mencerminkan hal
tersebut, yaitu Kurt dan teman-temannya di klub Glee sering kali mendapatkan perlakuan
yang tidak baik seperti dibuang ke bak sampah dan di slushie47
setiap kali berpapasan
dengan kelompok siswa yang populer, sementara Kurt mendapat perlakuan lebih dari itu
karena ia seorang homoseksual. Perlakuan berlebihan yang diterima Kurt menandakan
bahwa bullying sepertinya adalah sesuatu yang wajar dan boleh dilakukan di sekolah oleh
heteroseksual ke homoseksual, tetapi dalam konteks serial TV ini ada hal lain yang ingin
dikonstruksikan dan disampaikan lewat perlakuan tersebut. Peneliti melihat bahwa
perlakuan bullying yang diterima Kurt bukan karena semata-mata ia seorang homoseksual
tetapi karena ia juga anggota Glee club. Disini terlihat ambiguitas pada makna Glee, Glee
club dalam konteks serial TV ini merepresentasikan homoseksual karena sudah dari awal
episode telah di sebutkan bahwa Glee dicap sebagai klub homo explosion sehingga secara
tidak langsung bullying terhadap Kurt dan para anggota klub Glee tetap menunjukkan
kekerasan terhadap homoseksual di lingkungan sekolah yang memang merupakan isu yang
ingin ditekankan dalam film ini.
Kelompok homoseksual menyadari akan seksualitasnya di lingkungan masyarakat
heteroseksual dan konsekuensi yang mereka terima akibat dari orientasi seksualitas mereka
yang berbeda. Tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisiologis dan psikologis tetapi juga
diskriminasi, dan terkadang bentuk diskriminasi yang diterima bisa secara langsung
maupun tidak langsung. Contohnya, ayah Kurt merasa bahwa anaknya didiskriminasi
karena seksualitasnya sehingga lagu Defying Gravity untuk penyanyi solo tidak diberikan
kepada anaknya, melainkan kepada Rachel (Glee 1, episode 9). Setelah melalui
serangkaian perdebatan antara ayah Kurt dengan kepala sekolah, akhirnya disepakati lagu
tersebut dilombakan antara Kurt dan Rachel untuk menentukan siapa yang lebih layak
menyanyikannya. Kualitas vokal Kurt dan Rachel saat menyanyikan lagu tersebut sama-
sama baik, namun Kurt memilih untuk terdengar sumbang pada bagian akhir lagu tersebut
dengan harapan agar ia kalah setelah ia mengetahui ayahnya menerima telepon gelap yang
mengatakan anaknya adalah seorang gay.
47
Istilah Slushie adalah minuman sejenis blended drink yang digunakan oleh kelompok siswa populer untuk menyiram wajah para siswa-siswa Glee club.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
55 Universitas Indonesia
BURT: I got a call telling my son is a fag.
KURT: It‟s ok dad, I got that a lot of time.
BURT: I don‟t want you to get hurt.
KURT: They gave the part to Rachel. I blew the „F‟, I wanted to
lose.
BURT: What? After I stood up my neck for you?
KURT: Dad, I‟ve known who I was since I was five, I adapted,
being different made me stronger. By the end of the day it‟s gonna
get me out of this cow town. You will never have to deal with that.
BURT: I can handle myself, I can handle just fine.
KURT: No, you can‟t. Not with this, that phone call yesterday was
just the beginning, especially when I get up in front of thousands of
people just to sing a girl‟s song. When I saw you, the night after you
got the call, and were so hurt and so upset, it just kills me. I‟m not
saying I‟m gonna hide inside the closet, I‟m proud of who I am.
(Glee 1, episode 9)
Dari petikan baris dialog di atas, Amerika, yang bisa dikatakan negara maju dalam segala
hal, pada kenyataannya belum modern dalam hal berpikir, mengingat pro dan kotra
terhadap keberadaan homoseksual masih kental terlihat dan terasa. Perasaan tertekan,
kekerasan, dan perlakuan diskriminatif yang diterima oleh kelompok homoseksual,
sebagaimana disebutkan di atas, pada akhirnya dirasakan sebagai sebuah konsekuensi yang
harus mereka terima dalam masyarakat, dimanapun lingkungannya. Ini adalah serangkaian
bentuk konsekuensi yang harus diterima kaum homoseksual akibat wacana
homoseksualitas yang diciptakan oleh mereka yang memiliki kuasa atau kepentingan agar
homoseksualitas tidak hadir dalam tindakan dan wicara. Seperti yang dikemukakan oleh
Foucault dalam konsep seksualitasnya, yakni larangan tentang seksualitas tidak dengan
serta merta terjadi begitu saja, namun karena memang telah dibentuk sebagai sebuah aturan
yang diwacanakan.
Pada episode 10, Ballad, adegan yang ditampilkan adalah adegan Mr. Schuester
menugasi siswa-siswa klubnya untuk menyanyikan sebuah lagu bertemakan balada, yaitu
cerita yang disampaikan lewat lagu. Sebelumnya, Mr. Schuester meminta mereka untuk
menyanyikannya berpasangan, dan nama-nama setiap pasangan ditentukan melalui undian.
Tokoh Finn, yang mendapatkan nama Kurt pada undian tersebut, terpaksa berpasangan
dengan Kurt, yang justru senang dengan hasil undian tersebut. Sebaliknya, Finn merasa
ragu berpasangan dengan laki-laki dan meminta pertimbangan lain kepada Mr. Schuester
tetapi ditolak (Glee 1, episode 10). Adegan ketika Finn berpasangan dengan Kurt saat
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
56 Universitas Indonesia
berlatih menyanyikan lagu balada memperlihatkan kecanggungan yang terjadi kala seorang
heteroseksual dihadapkan pada seorang homoseksual dalam situasi yang melibatkan
perasaan emosional. Finn mencoba untuk melakukannya tetapi tetap terasa sangat berat
untuk dilakukan. Kekawatiran terhadap asumsi-asumsi negatif akibat heteronormativitas
yang begitu kuat melekat dalam sistem nilai-nilai moral di masyarakat heteroseksual tidak
memberikan ruang bagi homoseksual untuk bergerak bebas menjadi dirinya sendiri. Akibat
dari asumsi ini, dalam hubungannya secara emosional, perasaan mereka dianggap sebagai
hal yang tidak wajar karena berpasang-pasangan yang dinilai baik, sah, dan benar adalah
pasangan antara laki-laki dan perempuan, walaupun dalam kasus Kurt dan Finn, bernyanyi
berpasangan hanyalah sebuah tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa klub.
KURT: Finn, sing to me everything you feel.
FINN: ok, I...I... can‟t sing to a dude.
KURT: You have to try.
KURT: I can‟t, ok! I can‟t! (Glee 1, episode 10)
Meninjau adegan ini, peneliti melihat ada unsur kesengajaan penghasil makna
(intentional approach) dalam memasangkan Kurt dan Finn berdua di episode ini guna
menunjukkan bahwa kesulitan bagi seorang homoseksual untuk berada di tengah
lingkungan heteroseksual tidak hanya terletak pada pengungkapan jati dirinya, tetapi juga
terletak pada pengungkapan perasaannya, seperti yang pernah disinggung sebelumnya pada
adegan Kurt dan Mercedes pada episode awal. Oleh karena itu, untuk lebih menunjukkan
kesulitan tersebut, pada episode ini, pengungkapan perasaan suka Kurt terhadap Finn
ditandai hanya melalui pikirannya yang berbicara, seolah-olah yang bisa dilakukan seorang
homoseksual hanya mengungkapkan perasaannya kepada dirinya sendiri.
KURT: Ok, I‟ll admit it, I‟m madly in love with Finn, I‟ve been
since the first time we met. I don‟t know why I find stupidity
charming. (Glee 1, episode 10)
Petikan baris di atas menggambarkan ungkapan perasaan Kurt pada dirinya sendiri, namun
di saat yang sama penggalan kalimat I find stupidity charming yang ditujukan kepada
tokoh Finn48
kembali menandakan citra positif sekaligus merepresentasikan seorang
homoseksual yang pandai secara intelektual. Sifat positif dan kecerdasan intelektual juga
terlihat pada adegan ketika Finn meminta saran dari Kurt tentang cara berpakaian yang
fashionable karena ia mengetahui bahwa Kurt memiliki pengetahuan dan selera yang
48
Finn digambarkan sebagai tokoh yang secara intelektual tidak terlalu cerdas.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
57 Universitas Indonesia
tinggi tentang busana. Saran tentang cara berbusana tidak hanya diminta oleh Finn, tetapi
juga oleh pacarnya, Quinn, yang pernah melakukan hal serupa (Glee 1, episode 11).
Pada episode 11, yaitu Hairography, terkait dengan petikan baris di atas, terdapat
adegan saat tokoh Quinn dan Kurt, bekerja sama untuk mencegah agar Finn dan Rachel
tidak saling berhubungan dengan cara membuat Rachel terlihat konyol dalam berbusana.
Mereka melakukan itu karena memiliki tujuan yang sama, yaitu memisahkan Rachel dari
Finn, karena baik Quinn maupun Kurt sama-sama menyukai Finn, dan mereka tahu Rachel
pun menyukai Finn. Perbedaannya adalah Quinn dan Rachel yang perempuan tidak
memiliki batasan untuk bisa menyatakan perasaannya terhadap Finn, sementara bagi Kurt
batasan-batasan itu ada, sehingga bagaimanapun juga, ia tetap hanya bisa
menyembunyikan dan menyangkalnya, namun dengan catatan tindakannya itu harus
memberikan kepuasan bagi dirinya sendiri. Tindakan yang dilakukan Kurt yang bekerja
sama dengan Quinn untuk menjatuhkan Rachel ditangkap oleh peneliti sebagai suatu
bentuk resistensi homoseksual terhadap batasan-batasan yang diterimanya akibat dari
heteronormativitas yang menyatakan bahwa hubungan yang legal dan yang akan selalu
dikukuhkan adalah hubungan antar lawan jenis dan bukan sesama jenis. Ini terlihat pada
baris dialog berikut ketika Rachel menyadari perlakuan yang diterimanya dari Kurt adalah
jebakan karena Kurt menyukai Finn.
RACHEL: You set me up!
KURT: Well, you should be thanking me, your fantacy of running
off with Finn was nothing but a fairy tale.
RACHEL:You like him.. yeah, that‟s, that‟s what this is, and you
were just trying to eliminate the competition.
KURT: I was just helping him understand that you are not a viable
second choice.
RACHEL: You think I‟m a second choice?
KURT: A distant second.
RACHEL: You think I‟m living in a fairytale? If I were second or if
I were the fiftieth, I will still be ahead of you because I‟m a girl!
(Glee 1, episode 11)
Pada satu sisi, nilai-nilai heteroseksual yang menyatakan bahwa pasangan yang sah adalah
antara laki-laki dan perempuan juga terlihat pada baris terakhir yang diucapkan Rachel di
atas, sehingga homoseksual tampak seperti orang yang tidak memiliki harapan untuk bisa
memperoleh pasangan. Meskipun demikian, di sisi lain, yang terjadi anatara tokoh Kurt
dan Rachel pada adegan dan dialog di atas, tidak seluruhnya memperlihatkan hubungan
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
58 Universitas Indonesia
antara heteroseksual sebagai penindas dan homoseksual sebagai yang tertindas, karena
justru Rachel yang „dijebak‟ oleh Kurt. Kurt disajikan sebagai tokoh yang mengunggulkan
homoseksualitas dan tidak menerima begitu saja segala bentuk penindasan, sehingga
menurut Foucault, dalam relasi kuasa, tidak selalu terjadi hubungan mendominasi dan
didominasi, dalam hal ini antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.
Berada di tengah lingkungan heteroseksual merupakan sebuah tantangan besar bagi
kelompok homoseksual untuk bisa mengekspresikan dirinya, khususnya bagi remaja
homoseksual yang berada di lingkungan sekolah. Meskipun memiliki orientasi seksual
yang berbeda, mereka tetap seperti remaja pada umumnya yang memiliki jiwa yang labil,
dan masih dalam tahap pencarian jati diri. Salah satu proses pencarian jati diri yang
dilakukan oleh remaja biasanya terletak pada keinginan mereka untuk diakui oleh khalayak
luas di lingkungan mereka sendiri. Supaya dapat memperoleh status atau pengakuan
tersebut, cara yang ditempuh adalah melalui organisasi atau bergabung dengan klub-klub
sekolah, seperti tokoh Kurt yang bergabung dengan klub Glee.
Keterkaitan antara homoseksualitas dan minoritas kembali diperlihatkan pada
episode 12, Matress, yakni ketika sekolah McKinlley High tampak ingin memberikan
kesan bahwa sekolah mewadahi eksistensi kelompok siswa minoritas sebagai bentuk
toleransi terhadap keberagaman dengan menunjukkan tanda-tanda seperti tokoh Rachel
yang mengikuti setiap klub yang ada di sekolah tersebut, mulai dari Moslem Student Union
sampai dengan Black Student Union. Bahkan, Rachel mempunyai keinginan untuk
mendirikan klub untuk homoseksual yang disebut dengan Gay-Lesb-All, yang merupakan
singkatan dari The Gay Lesbian Alliance, meskipun pada adegan ini gagasan Rachel
dianggap konyol oleh Kurt, yang ditandai dengan tidak tertariknya Kurt untuk
mendengarkan penjelasan Rachel lebih jauh. Peneliti melihat ketidaktertarikan Kurt
terhadap ide tersebut memiliki makna bahwa homoseksualitas tidak perlu dibesar-besarkan
di lingkungan sekolah dengan membentuk klub karena hanya akan semakin menampakkan
homoseksual sebagai the other. Ketidaktertarikan Kurt juga menunjukkan sebuah sikap
yang tidak mau didominasi, apapun kepentingannya. Klub Glee yang ada di sekolah
McKinlley High merepresentasikan wadah perbedaan tersebut yang ditunjukkan pula oleh
kegigihan tokoh Mr. Schuester dalam memperjuangkan klub asuhannya agar keberadaan
klub dan siswa-siswanya diakui, baik di lingkungan sekolahnya sendiri maupun di luar
lingkungan sekolah. Secara implisit, kegigihan tokoh Mr. Schuester menunjukkan suatu
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
59 Universitas Indonesia
tindakan yang mampu menyikapi keberadaan kelompok siswa yang tergolong minoritas
secara terbuka tanpa membeda-bedakan. Gambaran sekolah McKinlley High dan klub
Glee adalah representasi sekolah yang menerapkan kebijakan toleransi terhadap perbedaan,
termasuk perbedaan orientasi seksual.
Dalam konteks sekolah di Amerika sendiri, kebijakan agar menghargai perbedaan,
terutama terhadap homoseksual di lingkungan sekolah, masih menjadi persoalan yang
diperdebatkan. Terjadi pro dan kontra antara pihak sekolah dan orangtua mengenai
perlunya penerapan kebijakan tersebut karena persoalan yang justru disorot dan dianggap
memprihatinkan adalah persoalan seksualitas seorang homoseksual, dan bukan kekerasan
yang kerap dialami oleh homoseksual tersebut. Kebijakan ini sedang diperjuangkan oleh
para aktivis homoseksual agar regulasi tentang kekerasan terhadap homoseksual di sekolah
dapat direalisasikan, sehingga hal ini dinilai penting untuk diimplementasikan di
lingkungan sekolah mengingat kekerasan berbasis orientasi seksual sangat mungkin terjadi
di kalangan siswa.49
Melalui representasi klub Glee yang mewadahi perbedaan, tampaknya
film ini sangat ingin menekankan toleransi terhadap perbedaan tersebut yang bisa dilihat
dari ucapan tokoh Quinn, “Sometimes people just need to learn more about diversity. I
learn that in Glee club”.(Glee 1, episode 12). Dari ucapan tokoh Quinn tersebut, tersirat
makna bahwa tampaknya dalam konteks Amerika sendiri, mengakui dan menghargai
perbedaan dapat dikatakan masih belum bisa diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan
masyarakatnya sehari-hari karena perlakuan diskriminatif masih begitu kental terasa,
terutama bagi kelompok homoseksual. Sebagai contoh dapat dilihat dari bentuk
diskriminasi yang mereka terima pada hal-hal tertentu, antara lain, homoseksual tidak
diperbolehkan bekerja pada bidang pendidikan, terutama yang berhubungan dengan anak-
anak, homoseksual tidak diperbolehkan bergabung dengan satuan militer, pasangan
homoseksual tidak diperbolehkan mengadopsi anak, dan homoseksual tidak diperkenankan
membentuk organisasi masyarakat. Amerika, sebagai negara multikultural, menyerukan
toleransi terhadap keberagaman, namun tidak memiliki sikap yang jelas tentang kaum
homoseksual, sehingga peneliti melihat bahwa perbedaan orientasi seksual yang hingga
saat ini masih menjadi perdebatan belum sepenuhnya ditolerir dengan baik. Kata
„diversity‟ sepatutnya dimaknai lebih dari sekadar toleransi terhadap suku, agama, ras, dan
antar golongan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan orientasi seksual telah
49
Lihat Bab 2 pada bagian Serial TV Glee dan konteks homoseksual di lingkungan sekolah di Amerika.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
60 Universitas Indonesia
menjadi bagian dari aspek-aspek tersebut yang juga membutuhkan sikap toleransi. Oleh
karena itu, sikap multikultural hendaknya diterapkan sejak anak mengenyam pendidikan di
bangku sekolah agar segala macam bentuk perbedaan dapat disikapi dengan baik. Dalam
konsep wacana Foucault, keterangan ini menunjukkan bahwa wacana homoseksualitas di
Amerika telah diciptakan oleh negara sebagai kuasa dan juga sekaligus
mengkomunikasikannya kepada masyarakat.
Pada episode 13, Sectionals, cerita ditekankan pada keseriusan para siswa klub
Glee dalam berlatih untuk memenangkan kejuaraan paduan suara antar sekolah yang juga
menggambarkan bahwa status yang jelas dibutuhkan untuk bisa diakui sebagai „somebody‟
karena selama ini mereka merasa sebagai „nobody‟. Lalu pada episode 14, yaitu Hell-o,
diceritakan bahwa siswa Glee memenangkan kejuaraan sectionals, tetapi walaupun telah
memenangkannya, mereka merasa sebagai pecundang karena harus menghadapi kenyataan
bahwa kemenangan tersebut tidak cukup untuk menaikkan status mereka mejadi populer
dan diakui. Gambaran ini boleh jadi merepresentasikan bahwa kelompok yang
termarginalkan akan tetap dilihat sebagai liyan jika berada di lingkungan yang mayoritas,
baik itu mayoritas dari segi ras, etnisitas, maupun seksualitas. Apapun bentuk pencapaian
yang dicapai, kelompok minoritas atau yang liyan tetap dipandang karena perbedaannya
dan bukan karena kualitasnya sebagai individu. Tanda-tanda homoseksualitas kembali
ditampakkan pada episode 14 ini melalui adegan tokoh Santana dan Britney yang
bergandengan tangan dan mengatakan akan mempertontonkan hubungan intim mereka
pada saat Finn mentraktir mereka makan malam. Hal ini ditangkap sebagai ungkapan
bahwa jumlah siswa homoseksual di lingkungan sekolah perlu mendapat perhatian (Glee 1,
episode 14). Selain itu, kata gay dilontarkan pula oleh pelatih rival McKinlley High, Ms.
Cocron yang mengira Mr. Schuester adalah gay karena dianggap tidak begitu tertarik
ketika diajak berhubungan intim. Padahal ketidaktertarikannya adalah karena ia baru saja
bercerai dari istrinya, Terry (Glee 1, episode 14).
Episode 15, yaitu The Power of Madonna, menekankan soal pentingnya melihat
persamaan yang dimiliki oleh manusia alih-alih mempermasalahkan perbedaan. Madonna
sendiri dimaknai sebagai ikon yang menggambarkan kekuatan lewat lagu-lagunya yang
menjunjung tinggi persamaan hak untuk hidup yang seharusnya bisa dirasakan oleh setiap
individu apapun statusnya, termasuk seksualitasnya, Mr. Schuester mengungkapkan hal ini
kepada siswa-siswa Glee asuhannya (Glee 1, episode 15). Madonna yang dijadikan tokoh
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
61 Universitas Indonesia
panutan juga dimaknai sebagai representasi dari isu perempuan yang tidak kalah penting
untuk diperhatikan selain homoseksualitas dan minoritas. Merujuk pada keterangan ini,
peneliti melihat adanya hubungan antara isu perempuan, ras dan homoseksualitas yang
diperlihatkan pada episode ini, yaitu saat tokoh Kurt dan Mercedes menawarkan bantuan
untuk menata rambut tokoh Ms. Sue Sylvester agar terlihat seperti Madonna setelah dihina
oleh Mr. Schuester.50
Masing-masing tokoh mewakili satu isu yang bisa dikatakan bahwa
perbedaan dapat membawa suatu perubahan yang baik selama toleransi dan sikap saling
menghargai dijunjung tinggi.
KURT: I think I can help, Mercedes is black, I‟m gay, we can make
a culture. We have to start respecting each other as individuals,
really see each other. (Glee 1, episode 15)
Adegan bantuan tokoh Kurt dan Mercedes sebagai bagian dari kelompok minoritas yang
berbeda generasi dengan tokoh Sue Sylvester menunjukkan suatu bentuk peradaban yang
berhubungan dengan pentingnya menyadari keberadaan yang liyan, sehingga melalui
intentional approach, homoseksualitas dan isu-isu lainnya dibuat bersinggungan dalam
film seri ini. Foucault menyatakan bahwa hubungan antara kekuasaan dan ketertindasan
manusia merupakan hubungan yang memproduksi berbagai pengetahuan sebagai suatu
proses menuju perkembangan peradaban manusia dari waktu ke waktu. Peradaban yang
dimaksud adalah kesadaran manusia akan hal-hal yang „diasingkan‟, baik itu berupa benda,
suku, budaya, agama, dan orang.
Selanjutnya pada episode 16, Home, kembali diperlihatkan adegan tokoh Santana
dan Brittany yang bergandengan tangan. Tanda ini nantinya akan mengarah pada
terungkapnya seksualitas Santana, yang ternyata menyukai sesama jenis (lesbian) dalam
Glee season tiga. Homoseksualitas juga diangkat lagi pada episode ini melalui adegan Kurt
yang kecewa karena ayahnya lebih suka berbincang-bincang dengan Finn daripada dengan
dirinya sejak ayahnya bertemu dan jatuh cinta kepada ibu Finn. Kurt merasa bahwa ia tidak
dilihat sebagai seorang remaja laki-laki pada umumnya yang juga menginginkan jalinan
komunikasi yang baik dengan ayahnya, meskipun ia seorang gay (Glee 1, episode 16).
Peneliti melihat bahwa seorang laki-laki homoseksual yang memiliki sifat-sifat feminin
50
Sue Sylvester digambarkan sebagai tokoh yang keras dan suka melontarkan sindiran-sindiran yang sifatnya cenderung menghina kepada siapapun, khususnya kepada Mr. Schuester. Ia paling senang menghina rambut Mr. Shuester, tetapi ketika rambutnya dihina balik oleh Mr. Schuester, ia terdiam. Situasi inilah yang dilihat oleh Kurt dan Mercedes sehingga mereka memutuskan untuk membantu menata rambutnya.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
62 Universitas Indonesia
seperti tokoh Kurt, ternyata tidak dapat mewakili „laki-laki‟ sehingga obrolan seputar
„dunia laki‟laki‟ dianggap mustahil untuk diperbincangkan dengannya. Dengan demikian,
terlihat sangat sulit sekali bagi seorang remaja homoseksual seperti Kurt, yang dibesarkan
oleh orangtua heteroseksual yang bertolak belakang dengan karakter anaknya, dalam
menjalin komunikasi yang bersifat „laki-laki‟. Selain itu, ditunjang pula oleh norma-norma
heteroseksual yang sudah demikian mengakar dalam masyarakat, sehingga terasa sulit
untuk diubah meskipun komunikasi yang terjalin adalah hubungan antara orang tua dan
anak. Namun jika berhadapan dengan seorang anak yang homoseksual, tetap saja ia dilihat
berdasarkan orientasi seksualnya yang mencirikan bahwa mereka tetap liyan, sekalipun di
mata seorang heteroseksual yang mentolerir keberadaannya. Penjelasan lainnya mengenai
hal ini berhubungan dengan konsep gender Connell, adegan ayah Kurt yang kesulitan
mengobrol dengan Kurt karena karakternya yang feminin menunjukkan bahwa
maskulinitas selama ini telah disematkan sebagai karakter laki-laki yang dikodratkan oleh
Tuhan. Dalam arti bahwa laki-laki dengan karakter feminin bertentangan dengan kodrat
Tuhan, sehingga tidak mungkin mengajak laki-laki dengan karakter seperti ini untuk
terlibat dalam perbincangan laki-laki. Persepsi inilah yang ingin diubah oleh Connell
melalui teorinya yang menyatakan bahwa maskulinitas bukanlah karakter tunggal, namun
selama ini karakter yang demikian telah menghegemoni di tengah masyarakat sebagai
karakter yang hanya dimiliki oleh laki-laki, padahal memungkinkan bagi laki-laki untuk
memiliki karakter baik maskulin maupun feminin, begitu pula perempuan. Maskulinitas
dan feminitas bukanlah jenis kelamin sehingga karakter-karakter ini dapat dipertukarkan.
Oleh sebab itu, maskulinitas bukan termasuk atribut personal, melainkan lebih pada aspek
sosial.
Dalam episode 17, yaitu Bad Reputation, cerita ditekankan pada siswa Glee yang
sangat menginginkan popularitas di lingkungan sekolahnya melalui pencitraan. Pencitraan
ini dilakukan oleh mereka dengan menciptakan reputasi buruk, dengan harapan agar
mereka terkenal dan memperoleh pengakuan di lingkungan sekolah karena memenangkan
kejuaraan menyanyi sectionals tampaknya tidak sedikitpun mendongkrak popularitas
mereka dan sebutan pecundang masih melekat pada diri mereka. Disini, peneliti
menangkap bahwa pemaknaan terhadap seseorang atau kelompok memberikan pengaruh
yang sangat kuat terhadap sebuah reputasi sehingga sangat sulit untuk mengubah label
tersebut. Keadaan seperti ini, menurut Benny H. Hoed, merupakan realitas sosial yang
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
63 Universitas Indonesia
terjadi dalam kehidupan sosial kita sehari-hari dari zaman ke zaman yang dilakukan tanpa
sadar dalam memberikan makna tertentu pada hal, lembaga, gagasan atau orang. Istilah
lainnya disebut dengan label sosial, yakni semacam “cap sosial” yang diberikan suatu
lembaga atau kelompok masyarakat kepada realitas sosial budaya yang sifatnya tidak
terbatas, sehingga kata bisa juga bertindak sebagai medianya (Hoed, Benny H. 2011, hal.
175-176).
Lalu, pada episode 18, Laryngitis, adegan diawali dengan tokoh Puck, yang
mendapat perlakuan yang sama ketika ia melakukan bullying terhadap Kurt, yakni dibuang
ke tempat sampah karena ia mulai kehilangan reputasinya sebagai siswa populer sejak
bergabung dengan klub Glee. Di satu sisi ia kehilangan reputasi, tetapi di sisi lain, ia mulai
melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya ia mencoba untuk
lebih menghargai perbedaan, mengingat ia sendiri adalah orang Yahudi yang dikatagorikan
sebagai bagian dari kelompok minoritas di sekolah tersebut. Lain halnya dengan tokoh
Puck, yang ingin mengubah cara pandangnya, Kurt dalam episode ini malah melakukan hal
sebaliknya, yakni mencoba menyangkal seksualitasnya kembali dengan berusaha menjadi
seorang heteroseksual dengan tujuan menyenangkan ayahnya. “My dad is the most
important thing to me, and I feel I might be loosing him because of my sexuality.”(Glee 1,
episode 18). Penyangkalan ini dilakukan karena ia belum dapat menerima kenyataan
bahwa ayahnya senang dengan keberadaan Finn. Kurt mengubah total penampilannya, dari
flamboyan menjadi sangat „laki-laki‟, dalam arti bahwa ia ingin mengubah dirinya dan
citranya menjadi laki-laki heteroseksual seperti yang dikonstruksikan atau dihegemonikan
selama ini di masyarakat, yaitu jantan, baik dari segi penampilan maupun perilaku. Ia
berpakaian persis seperti ayahnya yang sangat bertolak belakang dengan dirinya yang
fashionable, yakni mengenakan kemeja, celana jeans, topi, dan bersepatu bot. Tidak hanya
itu saja, Kurt pun mencoba menjalin hubungan dengan Brittany,51
dengan harapan agar ia
dipandang sama dengan Finn dan diterima oleh ayanhnya. Lagu yang dibawakannya di
klub Glee pun merepresentasikan penyangkalannya, yakni dengan menyanyikan lagu
Mellencamp dengan suara yang dipaksakan terdengar laki-laki. Tanda-tanda ini terlihat
51
Ketika memaksakan menjalin hubungan dengan Britney, Kurt membawanya ke rumah dan memasang tanda di pintu kamarnya yang berbunyi, “Do not disturb under any circumstances, I’m making out with a girl.” Ia juga menggandeng tangan Brittany dan memperlihatkan perilakunya yang demikian secara terbuka di sekolahnya sambil berteriak, “Hey guys, just holding Britney’s hands!” (Glee 1, episode 18)
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
64 Universitas Indonesia
jelas mencirikan laki-laki yang „sah‟ dan „benar‟, disini pula terlihat konsep diri tokoh Kurt
dalam memandang dirinya mulai goyah.
BURT: Kurt, I‟ve been dealing in sort of a month with you being
gay and everything, and now you‟re telling me that‟s not the case?
You know this thing with you is going to be hard.
KURT: This thing with me? You mean being gay?
BURT: Yeah, being gay. Look, I will fight to death for your right to
love whoever you want, but when you were a little baby in my arms,
did I dream about taking you to baseball games and talking about
girls? Yeah, I did. A lot of fathers do.
KURT: I had no idea how disappointing I was. Just seeing you with
Finn, how easy it is, it breaks my heart.
BURT: Is that why you were pretending to date that daffy
cheerleader and dressing differently, and singing Mellencamp?
(Glee 1, episode 18)
Kondisi yang demikian menjelaskan bahwa konsep diri seorang homoseksual dalam
memandang dirinya pada kenyataannya tidak cukup menjadi jaminan untuk bisa
menentang nilai-nilai heteroseksual yang begitu dominan di masyarakat. Persoalan
seksualitas homoseksual bagaikan sebuah kondisi „tarik-ulur‟ di tengah normativitas
heteroseksual yang memungkinkan kembali terjadinya penyangkalan terhadap
seksualitasnya sendiri. Selain itu, menurut Connell, kondisi ini juga disebabkan lagi oleh
pandangan dikotomis bahwa laki-laki adalah maskulin dan perempuan adalah feminin,
padahal Connell mengatakan maskulinitas bukan berarti laki-laki, begitu juga sebaliknya.
Maskulinitas harus dilihat berdasarkan relasinya dengan gender dan bukan relasinya
dengan jenis kelamin. Apa yang terjadi pada tokoh Kurt yang tiba-tiba mengubah
penampilannya berhubungan dengan maskulinitas yang dihubungkan dengan jenis kelamin
sebagai bentuk dari masculinity hegemony, sehingga ia menganggap laki-laki yang „benar‟
adalah dengan menjadi „laki-laki maskulin‟.
Pada episode 19, Dream on, siswa klub Glee digambarkan tertekan dan pesimis
akan masa depan mereka karena keberadaan mereka di klub tersebut dianggap telah
menjelaskan sepenuhnya tentang masa depan seperti apa yang akan mereka hadapi. Begitu
menjadi anggota klub Glee, mereka sudah dijuluki dengan berbagai macam pelabelan
sehingga hal ini dinilai sebagai citra yang sulit untuk diubah.
Mr. SCHUESTER: Remember high school? You got labels once
you enter your freshmen year, geek, punk, queer. I‟ve seen what
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
65 Universitas Indonesia
these kids want in Glee club, no labels, no preconsumption, and their
true spirits.(Glee, episode 19)
Merujuk pada keterangan dan kutipan di atas, situasi ini ditangkap sebagai cermin dari
lingkungan sekolah yang ada dalam konteks Amerika. Begitu memasuki tahun ajaran
pertama sebagai siswa SMA, pelabelan sudah harus diterima oleh mereka yang tergolong
„berbeda‟ atau dipandang sebagai „the other‟. Akibatnya, bullying atau tindak kekerasan
terhadap siswa-siswa baru tersebut, baik fisiologis maupun psikologis, kerap harus mereka
hadapi dan terima. Terkait dengan pelabelan tersebut, Benny H. Hoed, mengutarakan pula
bahwa pemberian label sosial berpotensi menghasilkan pemahaman yang belum tentu
benar, sehingga sifatnya dianggap tidak mendidik (Hoed, Benny H. 2011, hal. 176-177).
Menyambung penjelasan sebelumnya, label sosial berdampak pada timbulnya
kekerasan yang tampak direpresentasikan pada episode berikutnya, yaitu episode 20,
Theatricality. Kurt dan teman satu klubnya,Tina, menerima perlakuan kasar dari dua orang
siswa klub foot ball, yaitu Azimio dan Karofsky, yang mendorong mereka hanya karena
mereka berdua sedang berjalan di koridor sekolah sambil mengenakan kostum yang aneh
sebagai tanda ekspresi diri mereka terhadap ikon fenomenal Lady Gaga (Glee 1, episode
20).52
Kekerasan ini timbul sebagai keterkaitan seksualitas Kurt dengan konsep pemikiran
Lady Gaga yang pro LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, dan Questioning).
Kekerasan yang diterima Kurt pada adegan ini dimaknai sebagai suatu protes keras
kelompok heteroseksual tertentu terhadap pemikiran kontroversial Lady Gaga yang gencar
52
Mereka berpakaian ‘aneh’ sebagai bentuk ekspresi mereka terhadap ikon Lady Gaga dan sekaligus merupakan tugas klub yang diberikan oleh Mr. Shuester untuk mengadaptasi gaya theatrical ala Gaga. Saya pun memperoleh informasi yang menjelaskan hubungan antara ikon Lady Gaga dan bullying dalam tulisan Dr. Nova Riyanti Yusuf, SPKJ, yang menerangkan bahwa harus dibedakan terlebih dahulu antara nyentrik dan bejat jika berbicara soal Lady Gaga, karena ‘keanehan’ Lady Gaga berawal dari latar belakang hidupnya yang boleh dikatakan tidak mudah. Lady Gaga semasa kecil dianugerahi bakat yang luar biasa dalam hal memainkan musik dan mencipta lagu sejak usia 4 tahun dan berhasil masuk Tisch School of Arts pada usia 17 tahun, sehingga ia dicap sebagai evangelist karena upayanya mengubah dunia sedikit demi sedikit dengan mendirikan yayasan Born This Way. Namun dibalik kesuksesannya, ia pernah melalui proses hidup sebagai remaja korban bullying yang terus menerus dihina oleh teman-teman sekolahnya sampai pernah merasakan diceburkan ke tong sampah oleh teman-teman sekolah Katoliknya. Latar belakangnya yang demikian, membuat Lady Gaga memahami perasaan menjadi ‘orang aneh’ atau tidak diterima oleh kelompok tertentu, dan menurut pengakuannya, Bullying membekas seumur hidup, sehingga ia merangkul siapa saja yang merasakan kesulitan mengakui jati dirinya, termasuk LGBTQ. Dampak yang mengerikan dari bullying adalah dapat menjurus pada tindakan bunuh diri yang bukan hanya sebuah episode dalam serial TV Glee tetapi juga merupakan sebuah realitas nanar di Indonesia berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak pada 2010, yakni 2.399 kasus kekerasan fisik, psikologis dan seksual. Dalam tulisannya, Dr. Nova Riyanti Yusuf juga menghimbau agar terminologi lesbian, gay, bisexual, transgender dan questioning lebih diperhatikan agar mereka tetap menjadi bagian dari hak universal yang tidak lagi membedakan. (2012, hal. 8)
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
66 Universitas Indonesia
menyerukan persamaan hak asasi bagi kaum homoseksual yang selama ini selalu berada
pada posisi tertindas. Tidak semua heteroseksual mampu bersikap permisif dalam
menyikapi perbedaan orientasi seksual karena dianggap telah menyalahi aturan dan kodrat
yang telah digariskan oleh Tuhan, maka dari itu terdapat dua kubu yang mewakili sikap
mereka terhadap perbedaan tersebut, yakni Conservative dan Liberal. Tokoh Azimio yang
gemar melakukan kekerasan terhadap Kurt dapat dikatagorikan sebagai bagian dari kaum
heteroseksual yang berasal dari kubu Conservative, karena sepanjang cerita dari season
yang pertama sampai dengan season yang ke tiga, boleh dikatakan bahwa karakter yang
dimilikinya digambarkan secara konsisten sebagai seorang homophobic, yaitu pembenci
homoseksual.
Setelah kekerasan pertama, Kurt menerima kekerasan berikutnya dari siswa yang
sama dan karena alasan yang sama pula sehingga menyebabkan kostumnya rusak. Kurt
meminta Finn untuk memberitahukan rekan-rekan tim foot ball nya agar menghentikan
kekerasan tersebut, tetapi sebelumnya di toilet sekolah, ketika Finn sedang berias diri
untuk tampil theatrical, ia menerima semacam peringatan dari Azimio dan Karofsky
tentang pilihannya berada di klub Glee dan tinggal bersama Kurt dan ayahnya (Glee 1,
episode 20). Sejak awal, klub Glee telah diidentikkan sebagai klub yang terdiri atas
sekelompok homoseksual, sehingga bagi seorang heteroseksual yang memutuskan untuk
bergabung dengan klub tersebut, secara otomatis diberi label sosial sebagai biseksual oleh
lingkungan McKinley High. Apapun bentuk kegiatan yang dilakukan oleh klub Glee,
dinilai menjurus ke hal-hal yang bersifat feminin, sehingga feminin disini disamakan
dengan gay, padahal kenyataannya, gay tidak selalu berarti feminin. Tokoh Finn adalah
seorang heteroseksual, namun ia berias diri karena tuntutan tugas klubnya, sehingga
karakternya tidak bisa disebut feminin hanya karena ia memakai make up. Namun, yang
perlu dilihat disini adalah, kegiatan „berdandan‟ yang dilakukannya telah dianggap sebagai
kegiatan yang hanya dilakukan oleh perempuan. Oleh sebab itulah, ia mendapat perlakuan
yang tidak baik dari tokoh Azimio dan Karofsky karena para bullyers ini hanya melihatnya
secara dikotomis, bahwa berdandan bukanlah kegiatan laki-laki. Jadi, menurut Connell,
maskulinitas dan feminitas yang dilihat secara dikotomis dapat memicu terjadinya
kekerasan pada laki-laki, baik itu heteroseksual maupun homoseksual. Bagaimanapun,
walaupun seorang gay, ia tetap harus dilihat sebagai seseorang yang berjenis kelamin laki-
laki yang belum tentu berkarakter feminin.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
67 Universitas Indonesia
Setelah kejadian yang dialami oleh Finn di toilet sekolah, di rumah, Kurt
memintanya untuk menasehati Azimio dan Karofsky supaya menghentikan kekerasan
terhadap dirinya. Sebaliknya, Finn malah menilai tindakan Kurt berlebihan dan berharap
agar Kurt berbaur dengan mengatakan, “Why can‟t you just work harder at blending in?”
(Glee 1,episode 20). Ucapan Finn mencerminkan bagaimana heteroseksual menyikapi
homoseksualitas. Meskipun sudah jelas bahwa pokok persoalannya adalah kekerasan yang
diterima oleh homoseksual akibat dari kebencian yang irasional terhadap keberadaan
mereka, tetap yang dinilai salah adalah seksualitasnya sehingga diasumsikan bahwa sudah
seharusnya kelompok homoseksual patuh dan tunduk pada aturan heteroseksual. Pola pikir
Finn juga mencerminkan sikap yang kurang terbuka pada keberadaan homoseksual, yang
barangkali bisa dikatakan karena pengaruh dari lingkungan tempat mereka tinggal, yaitu
Ohio. Jika meninjau petikan dialog yang diucapkan oleh tokoh Finn, dapat disimpulkan
bahwa Ohio merupakan salah satu negara bagian di Amerika yang belum sepenuhnya
mentolerir keberadaan kelompok homoseksual, seperti halnya New York yang belum lama
ini telah melegalkan pernikahan sesama jenis. Dalam episode ini diperlihatkan pula adegan
tokoh Burt, ayah Kurt, yang berargumentasi tentang pola pikir Finn yang dinilainya tidak
memahami bagaimana menyikapi homoseksualitas. Argumentasi ini terjadi ketika Kurt
mendekorasi kamar yang akan ditempati mereka berdua menurut seleranya sebagai hadiah
kejutan untuk Finn, tetapi Finn malah sangat keberatan dengan itikad baik Kurt karena,
menurutnya, dekorasi kamar tersebut sama sekali tidak nyaman untuk dirinya yang
heteroseksual (Glee 1, episode 20).
BURT: I know what you meant! What? You think I didn‟t use that
word when I was yout age? You know some kid gets locked in
practice, we‟d tell him to stop being such a fag, shake it off, we
meant it exactly the way you meant it! That being gay is wrong, that
it is some punishable offense. (Glee 1, episode 20)
Perkataan Burt yang menyiratkan bahwa pemberian label sosial terhadap kelompok
tertentu, selalu dilakukan dengan penuh kesadaran karena label diberikan dengan tujuan
untuk membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lain, sehingga hal seperti inilah
yang dianggap memicu munculnya istilah liyan terhadap satu kelompok tertentu. Penilaian
Burt mengenai cara pandang Finn terhadap homoseksual juga mencerminkan bahwa
homoseksualitas akan selalu menjadi sebuah pertarungan makna karena homoseksual
dimaknai berdasarkan suatu perspektif yang terbentuk berdasarkan pengalaman, dan
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
68 Universitas Indonesia
akibatnya ada yang pro dan kontra terhadap isu tersebut. Benny H. Hoed mengatakan
bahwa sifat penafsiran pada sebuah teks atau tanda adalah mengikuti waktu dan
pengalaman atau pengetahuan penafsirnya (Hoed, Benny H. 2011, hal 153). Perdebatan
antara Finn dan Burt juga terjadi karena wacana atau „kebenaran‟ tentang homoseksualitas
dipahami secara berbeda. Foucault mengatakan bahwa wacana dihasilkan dari berbagai
periode historis, sehingga „kebenaran‟ nya tidak pernah tunggal. Seperti halnya yang
terjadi pada tokoh Finn ketika pengalaman yang dialaminya dengan Burt telah mengubah
cara ia memaknai homoseksual. Ia pun berbalik membela Kurt ketika ia hendak dibully
lagi oleh Azimio dan Karofsky dengan mengatakan, “You‟re not hitting anyone.” kepada
Azimio dan Karofsky (Glee 1, episode 20). Adegan ini juga memperlihatkan kembali citra
positif homoseksual yang ditandai dengan ungkapan terima kasih Finn kepada Kurt yang
secara tidak langsung mengajarinya untuk lebih bijaksana dalam menilai seseorang tanpa
harus melihat seksualitasnya. Begitu pula tokoh-tokoh klub Glee yang lain, yang mulai
melihat segala sesuatu terkait homoseksualitas dari sudut pandang yang lebih terbuka, atau
barangkali bisa dibilang bersifat „membela‟ kelompok homoseksual. Adegan ini juga
memperlihatkan bahwa sikap heteroseksual yang tidak melihat perbedaan dapat
mengembalikan konsep diri yang positif terhadap homoseksual agar dapat menerima
keberadaan dirinya kembali.
Selanjutnya, pada episode 21, Funk, cerita lebih ditekankan pada persaingan antara
Carmel High dan McKinlley High dalam hal mempertunjukkan kepiawaian mereka
menyanyi sambil menari untuk memperebutkan kejuaraan di tingkat regional yang akan
disajikan pada episode terakhir. Carmel High dan McKinlley High merepresentasikan dua
kelompok, yaitu the winners dan the loosers, karena memang yang selalu digambarkan
memenangkan perlombaan adalah kelompok paduan suara Vocal Adrenalin dari Carmel
High, sementara untuk mencapai pencapaian itu bagi kelompok paduan suara New
Directions53
dari McKinlley High membutuhkan proses yang tidak mudah.
Di episode terakhir dari season pertama ini, yaitu episode 22 , Journey to regionals
menekankan pada kegiatan lomba paduan suara yang diikuti oleh tiga sekolah, dan dua di
antaranya adalah Carmel High dan McKinlley High. Singkatnya, McKinlley High
menempati posisi terakhir. Mereka belum berhasil memenangkan kejuaraan tersebut, yang
semakin menampakkan bahwa serial TV ini ingin memperlihatkan segala sesuatunya tidak
53
Nama kelompok paduan suara para anggota klub Glee.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
69 Universitas Indonesia
pernah mudah bagi siswa-siswa klub Glee, dan perjuangan mereka untuk diakui tidak
berhenti pada tahap ini, sehingga serial TV Glee tetap berlanjut pada season dua dan tiga.
Hal ini pula ditangkap sebagai isi produksi media yang produktif dalam membangun
wacana homoseksualitas melaui representasi homoseksual dalam serial TV remaja
tersebut.
4.3. Wacana Homoseksualitas dalam Serial TV Glee Season ke-dua
Pada Glee season ke - dua, jumlah episode yang ditayangkan sama dengan season pertama,
yaitu berjumlah dua puluh dua episode. Adapun judul-judul tersebuat antara lain Audition,
Britney Brittany, Grilled Cheesus, Duets, The Rocky Horor Glee show, Never been
kissed,The Substitute, Furt, Special Education, A Very Glee Christmas,The Sue Sylvester
Shuffle, Silly Love Songs, Come Back, Blame it on the Alcohol, Sexy, Original Song, Night
of Neglect, Born This Way, Rumours, Prom Queen, Funeral, dan New York. Seperti season
sebelumnya, judul-judul tersebut di atas secara keseluruhan tampak tidak
merepresentasikan homoseksualitas, namun dapat dikatakan beberapa di antara judul –
judul itu mulai menampakkan seksualitas sebagai isu dari serial TV ini, yakni Never been
Kissed, Sexy, dan Born This Way. Dua judul yang pertama terlihat dari kata kissed dan
sexy, yang mengarah pada kegiatan dan sifat yang melibatkan seksualitas, sedangkan yang
terakhir terkait dengan pemahaman terhadap ikon fenomenal Lady Gaga, yang menjunjung
tinggi perbedaan dan pro-homoseksual. Tanda-tanda dari judul-judul ini menandakan
bahwa homoseksualitas dalam serial TV ini semakin diangkat dan diperlihatkan disamping
tanda-tanda visual yang juga semakin banyak terlihat, dan oleh karena itu, guna
menangkap isu tersebut secara menyeluruh, tidak bisa dilihat hanya dari judul episodenya
saja, namun dilihat juga melalui setiap episode yang disajikan dalam season yang ke dua
ini.
Pada episode 1, yaitu Audition, adegan diawali dengan seorang reporter sekolah
yang bernama Jacob Ben Israel, yang membawa poster besar dengan tulisan “Glee‟s Big
Gay Summer” ketika mewawancara Mr. Schuester dan para siswa klub Glee. Season ke
dua ini secara tidak langsung merepresentasikan tahun ke dua para siswa klub Glee di
McKinley High setelah season yang pertama. Dilihat dari tulisan poster tersebut, klub Glee
masih diidentikkan dengan klub gay dan masih dilihat sebagai klub untuk para pecundang.
Tidak hanya itu saja, reporter tersebut juga menyebutkan lagu-lagu yang dibawakan klub
Glee sebagai lagu-lagu “100% gay”, dan hanya seorang drag queen (banci) yang mau
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
70 Universitas Indonesia
mendengarkan lagu-lagu mereka. Ketika mewawancarai Kurt pun, temanya masih seputar
seksualitas. Klub Glee yang sering dihubungkan dengan seksualitas merupakan suatu
kekecewaan yang besar bagi para anggota klub, khususnya bagi Kurt, karena seksualitas,
bagaimanapun juga, secara tidak langsung mengarah pada citra dirinya, dan ini bukanlah
citra yang positif. Kurtpun melampiaskan kekecewaannya pada Jacob agar berhenti
menyudutkan dirinya dan klubnya serta menyerukan kepada para pengguna media internet
agar menghentikan segala bentuk bullying di dunia maya yang ditujukan kepada dirinya
(Glee 2, episode 1). Begitu Kurt selesai mengatakan kekecewaannya, tiba-tiba Azimio
datang dan melempar slushie ke wajahnya. Situasi yang dialami Kurt menggambarkan
kondisi homoseksual yang hampir setiap saat mendapatkan kekerasan, tidak hanya di
dunia nyata tetapi juga di dunia maya berupa kekerasan psikologis. Bullying, khususnya
terhadap remaja homoseksual dalam konteks sekolah di Amerika, memang termasuk
sangat memprihatinkan karena seiring dengan perkembangan teknologi, kekerasan tersebut
telah menembus batas ruang dan waktu, dalam arti bahwa kekerasan terhadap homoseksual
semakin banyak yang bersifat psikologis. Homoseksual tidak dilihat sebagai individu yang
memiliki hak yang sama dengan heteroseksual sehingga segala tindakan yang bersifat
kekerasan seakan-akan dibenarkan. Dalam serial TV ini, slushie yang dilemparkan ke
wajah Kurt dan kekerasan lainnya sebagai bentuk bullying ternyata tidak mendapatkan
tindakan khusus dari pihak sekolah, yang menunjukkan sebuah ironi jika ditafsir dari
kebijakan sekolah yang mewadahi dan mentolerir perbedaan tetapi tidak bertindak ketika
bullying atau kekerasan terjadi. Dalam episode ini tampak isu perempuan dan ras
disinggung kembali agar terhubung dengan homoseksualitas sebagai bagian dari kelompok
minoritas seperti pada season pertama, dengan menyajikan tokoh Beiste, seorang football
coach perempuan yang menggantikan posisi pelatih football di season sebelumnya. Beiste
adalah gambaran sosok perempuan yang tidak ideal menurut pandangan tentang
perempuan pada umumnya. Dimensi fisiologis tokoh Beiste digambarkan bertubuh besar,
seperti laki-laki, dan tidak cantik, terlebih lagi ia seorang pelatih football yang memang
secara realitas dianggap melawan kodrat, sehingga tokoh inipun digolongkan ke dalam
kelompok outsider, sesuai dengan apa yang direpresentasikan oleh klub Glee (Glee 2,
episode 1). Gambaran tokoh Beiste juga merupakan kondisi yang dijelaskan oleh Connell
dalam teorinya bahwa maskulinitas dan feminitas adalah dua karakter yang dapat
dipertukarkan, sehingga perempuan bisa saja memiliki karakter maskulin, dan label
outsider adalah bentuk kekerasan sosiologis yang diterimanya karena karakternya.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
71 Universitas Indonesia
Sementara itu, isu ras dilihat dari penekanan kata “Asian”, yang sering dilontarkan
untuk tokoh Tina dan Mike Chang yang orang asia, di antaranya Asian summer camp,
Asian couple, Asian kiss. Peneliti menangkap bahwa serial TV ini ingin menunjukkan
adanya persamaan antara homoseksual, perempuan dan kelompok minoritas lainnya jika
menyangkut konstruksi sosial masyarakat terhadap kelompok minoritas tersebut, yakni
segala bentuk penilaian yang dianggap sah dan benar telah melalui kesepakatan sosial
tingkat tinggi sehingga aturan-aturan itulah yang dianggap ideal dan digunakan sebagai
landasan untuk membuat penilaian terhadap liyan.
Pada episode 2, Britney Brittany, terlihat adegan Finn yang di bully lagi oleh
Azimio dan Karaofsky karena keberadaannya di klub Glee. Seragam berupa jaket tim
football McKinlley yang sedang dikenakan Finn tiba-tiba diambil dan dirobek menjadi dua
untuk menandakan bahwa, dengan masuk klub Glee, Finn telah menjadi biseksual.
Kemudian dalam adegan yang berbeda, tokoh Karofsky secara implisit mengatakan Finn
seorang gay karena berpacaran dengan Rachel, sehingga siapapun yang bergabung dengan
klub tersebut dipastikan menjadi homoseksual dan layak mendapatkan perlakuan kasar
oleh mereka yang menganggap dirinya „normal‟(Glee 2, episode 2). Glee telah mendapat
label sosial sebagai tempat berkumpulnya homoseksual sehingga hal positif dalam bentuk
apapun seakan-akan tidak berarti sama sekali. Orientasi seksual yang tidak sesuai dengan
aturan-aturan yang berlaku memberikan dorongan yang sangat besar bagi heteroseksual
dan homofobik untuk bisa berbuat sewenang-wenang.
Walaupun hanya sepintas, sosok selebriti, yaitu penyanyi Britney Spears,
dihadirkan pula dalam episode ini. Bila dicermati, sosoknya terkait dengan isu perempuan
dan seksualitas, dan menurut apa yang disajikan dalam episode ini, ia merepresentasikan
perempuan yang kuat, sensual, tapi tidak terlalu berhasil dalam hidupnya, sehingga bagi
klub Glee, ia bukan termasuk tokoh panutan yang baik. Ironisnya, para siswa Glee berikut
pelatihnya, Mr. Schuester, membawakan satu lagu Britney Spears pada sebuah acara di
sekolah, yang kemudian menimbulkan kerusuhan akibat lagu yang dibawakannya bejudul
Toxic.54
Tokoh Sue menyebut kerusuhan yang ditimbulkan oleh lagu Toxic tersebut
sebagai a Britney Spears sex riot. Pada intinya, jika ditinjau lebih jauh, apa yang ingin
54
Toxic adalah salah satu lagu Britney Spears yang bernada sensual dan dianggap mampu menimbulkan hasrat seksual.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
72 Universitas Indonesia
ditekankan dalam serial TV ini adalah seksualitas yang selalu menjadi isu di lingkungan
pendidikan dan atau di lingkungan sekolah.
Berikutnya, pada episode 3, Grilled Cheesus, cerita ditekankan pada nilai-nilai
spiritual yang sebetulnya bisa dilihat dari judul episode tersebut. Apabila dilihat secara
visual, maka akan bisa ditangkap makna dibalik kata Grilled Cheesus, yaitu berawal dari
adegan tokoh Finn yang merasa lapar, lalu mencoba untuk membuat roti keju bakar, tetapi
hasilnya sedikit hangus di bagian pinggir roti, dan bagian hangus tersebut membentuk
siluet Yesus. Siluet Yesus pada roti keju tersebut akhirnya disebut oleh Finn sebagai
Grilled Cheesus, cheese untuk keju dan akhiran sus untuk Yesus. Terlihat bahwa
religiusitas merupakan isu penting bagi homoseksual dalam episode ini karena
homoseksualitas selama ini memang selalu dihubungkan dengan masalah moral dan
agama. Seseorang yang menjadi homoseksual dianggap menyimpang dari hukum Tuhan
yang menyatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa, yang mengakibatkan kebingungan
bagi homoseksual untuk menentukan pijakan mereka jika berhubungan dengan religiusitas
karena agama dinilai tidak memberikan ruang bagi mereka. Sederhananya, homoseksual
menjadi sulit untuk memiliki keyakinan kepada Tuhan sebagaimana heteroseksual karena
aturan-aturan keagamaan dinilai telah memberi stigma dan menolak keberadaan mereka.
Merujuk pada keterangan ini, ketika Finn mengusulkan kepada teman-teman klub Glee nya
untuk mengusung lagu bertemakan spiritual sebagai tugas klub mereka, Kurt langsung
merasa keberatan. Penyampaian usul dari Finn tersebut terdengar seperti orang yang
hendak membuka identitas seksualnya, yang merupakan salah satu contoh unsur humor
yang disajikan dalam serial TV ini.
FINN: Mr. Schue, I have something to say, something happen to me,
and I can‟t really get into it, but it‟s shaken me to my core.
PUCK: Oh my God! He‟s coming out.
FINN: Why, yes. There‟s a man who‟s sort of recently come into my
life, and that man is Jesus Christ.
PUCK: That‟s way worse.
FINN: And I know they‟re others who dig him, so why don‟t we pay
a tribute to him in music, you know, pay tribute to Jesus.
KURT: Sorry, uh, but if I wanted to sing about Jesus, I‟d go to
church, and the reason I don‟t go to church is because most churches
don‟t think very much of gay people, or women, or science.(Glee 2,
episode 3)
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
73 Universitas Indonesia
Apabila ucapan Kurt pada bagian “Most churches don‟t think very much of gay people, or
women, or science”, dikupas lebih jauh, dapat dikatakan bahwa, gereja dalam
pandangannya, telah mendiskreditkan homoseksual, karena dalam agama, tertera jelas
bahwa homoseksual adalah pelanggaran. Lalu, gereja mendiskreditkan perempuan, karena
perempuan dijadikan warga kelas dua yang tidak sebanding dengan laki-laki, kemudian
gerejapun mendiskreditkan ilmu pengetahuan karena dianggap melanggar kebesaran Tuhan
dan ketentuan alam, contohnya ilmuwan Galileo Galilei yang dijadikan tahanan rumah
oleh gereja hingga akhir hayatnya, hanya karena mengatakan bahwa matahari mengitari
bumi serta bumi itu bulat dan tidak datar (Bellis, 2012). Oleh karena itu, Kurt
mengatakan bahwa Tuhan itu seperti Santa Clause bagi orang dewasa karena mereka
mempercayai sesuatu yang tidak ada.
KURT: ... but I don‟t believe in God. I think God is a kind of, like
Santa Clause for adults. Otherwise, God‟s kind of a jerk, isn‟t he? I
mean, he makes me gay and then has his followers going around
telling me it‟s something that I chose, as if someone would choose
to be mocked every single day of their lives and right now I don‟t
want a heavenly father, I want my real one back.55
(Glee 2, episode
3)
Teman-teman Kurt yang lain mempertanyakan spiritualitas Kurt yang tidak mempercayai
Tuhan hanya karena seksualitasnya, dan terlihat mudah bagi heteroseksual untuk
mempertanyakan hal. Anggapan seperti ini juga dipertanyakan dalam episode ini melalui
dialog antara tokoh Sue dan Ms. Pillsbury, guru Bimbingan Penyuluhan McKinlley High.
Ms. Pillsbury: Don‟t you think that‟s just a little bit arrogant?
SUE: It‟s as arrogant as telling someone how to believe in God, and
if they don‟t accept it, no matter how openhearted or honest their
dissent, they‟re going to hell? Well, that doesn‟t sound very
Christian, does it? (Glee 2, episode 3)
Jelas bahwa, berdasarkan kutipan dialog di atas, persoalan religiusitas merupakan hal yang
kompleks dalam konteks kaum homoseksual karena mereka dinilai tidak lebih dari
sekualitasnya saja, yang disamakan dengan tindakan imoral, padahal seksualitas dan moral
hendaknya dipahami sebagai dua hal yang berbeda. Dapat dikatakan wajar bagi tokoh Kurt
untuk berpikir demikian dan mempertanyakan Tuhan karena dalam konsep seksualitas
55
Disini deceritakan ayah Kurt terkena serangan jantung dan sedang dirawat di rumah sakit.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
74 Universitas Indonesia
Foucault disebutkan bahwa hukum agama dan ajaran pastoral Kristen adalah dua dari tiga
hal yang dianggap telah menguasai dan mengatur seksualitas. Selain itu, meminta
seseorang untuk berkeyakinan menurut representasi dalam dialog tersebut dianggap
sebagai sebuah pemaksaan. Dengan kata lain, seseorang yang tidak menganut satu ajaran
tertentu, bagaimanapun baiknya moralitasnya, tetap dinilai tidak bermoral.
Pada episode 4, yaitu Duets, diceritakan ada tokoh baru bernama Sam yang
bergabung dengan klub Glee. Begitu melihatnya, Kurt langsung berasumsi bahwa ia juga
seorang gay hanya dengan melihat gaya rambutnya, sehingga ia mulai tertarik untuk
mengajaknya bernyanyi duet sebagai bagian dari tugas klub Glee, namun keinginanya
tidak terpenuhi karena secara tidak langsung Finn dan ayahnya „melarang‟ Kurt untuk
berduet bersama Sam. Melalui pendekatan yang persuasif, Kurtpun mengurungkan niatnya
berduet dengan Sam (Glee 2, episode 4). Gambaran ini memperlihatkan kuasa
heteronormativitas terhadap homoseksual, yakni seorang laki-laki homoseksual jika
berduet dengan laki-laki heteroseksual, akan meninggalkan dampak buruk yang dapat
merusak reputasi dan citra para heteroseksual, sehingga terlihat jelas bahwa kepentingan
heteroseksual berada di atas kepentingan homoseksual, atau dengan kata lain,
heteroseksual benar dan homoseksual salah. Secara tersirat, homoseksual diharapkan untuk
bisa lebih memahami bahwa seksualitas yang berbeda masih sulit disikapi dengan baik
oleh sebagian besar heteroseksual, terlebih lagi bila berhubungan dengan lingkungan
sekolah, yang barangkali boleh dikatakan belum semua sekolah menetapkan kebijakan
khusus terkait isu ini. Pemahaman remaja yang masih dangkal tentang homoseksualitas
juga menjadi pertimbangan penting mengapa persoalan ini masih sulit dipahami di
kalangan remaja sekolah.
Pada episode 5, The Rocky Horror Glee Show, yang dimunculkan kali pertama
adalah sepasang bibir perempuan dengan latar gelap yang sedang menyanyikan sebuah
lagu. Berdasarkan pada judul episode dan gambar sepasang bibir tersebut, cerita pada
episode ini tampaknya sedikit mengadaptasi cerita musikal The Rocky Horror Show yang
pernah dimunculkan pada tahun 1975, yakni teater musikal khusus dewasa yang para
pemainnya mengenakan kostum „menyeramkan‟ dan dikemas secara komedi tetapi
mengedepankan unsur seksualitas dalam penyajiannya, sehingga materi pada acara tersebut
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
75 Universitas Indonesia
dianggap tidak layak untuk kalangan yang masih di bawah umur.56
Peneliti melihat bahwa
dimasukkannya adaptasi cerita musikal tersebut pada episode ini adalah untuk
mempertegas bahwa serial TV Glee ini lekat dengan isu seksualitas dan kelompok yang
dilihat sebagai liyan. Refleksi dari keterangan ini terlihat dari petikan dialog Mr. Schuester
berikut.
Mr. SCHUESTER: When I was younger, and they started midnight
shows of Rocky Horror, it wasn‟t for envelope pushers, it was for
outcasts, people on the fringes who had no place left to go, but were
searching for some place, any place where they felt like they
belonged. Sound familiar? The truth is, with that perspective, Rocky
Horror is the perfect show to put on for this club. (Glee 2, episode 5)
Oleh karena itu, Rocky Horror sendiri merepresentasikan klub Glee yang terdiri dari siswa-
siswa underdog yang masih berusaha mencari sense of belonging nya. Menariknya adalah
ketika tokoh Mr. Schuester menyebut kata outcasts, kamera menyorot wajah tokoh Kurt
yang menandakan bahwa outcasts yang dimaksud lebih tertuju kepada kelompok
homoseksual yang juga sekaligus merupakan isu dari serial TV ini.
Tiga episode selanjutnya, yaitu episode 6, 7, dan 8, yang berjudul Never been
kissed, The Substitute, dan Furt, menekankan pada masalah bullying yang terus menerus
dialami oleh tokoh Kurt. Kurt yang sedang berjalan-jalan di koridor sekolah selalu
didorong dengan sangat keras oleh Karofsky yang tampaknya paling memiliki masalah
dengan seksualitas Kurt sejak season pertama. Mr. Schuester yang kebetulan melihat
kejadian bullying tersebut mencoba melakukan pendekatan kepada Kurt, tetapi pendekatan
yang dilakukan oleh Mr. Schuester dirasakan tidak cukup untuk dapat menghentikan
bullying yang dialaminya, begitu pula ketika tokoh Sue Sylvester menjabat sebagai kepala
sekolah sementara di McKinley High, iapun tidak bisa berbuat banyak dalam menangani
56
A story of creation, love, hate, adventure, and, most of all, sex; the story begins in Denton, Ohio as Brad Majors and Janet Weiss, after getting engaged (Dammit Janet), travel to see "the man who began it," but wind up at the castle of Dr. Frank-N-Furter, a transvestite alien from the planet of Transsexual in the galaxy of Transylvania (Sweet Transvestite). And they meet Riff Raff, Magenta, and Columbia which leads to "doing the Time Warp again!" They discover they have been there on a "special night." Frank's creation is to be born! As Rocky has been revealed (Sword of Damocles / I Can Make You A Man), rebel Eddie, Frank's last-recent creation, ponders in on his motorcycle (Hot Patootie-Bless My Soul) whom Frank kills. In comes Dr. Everett Von Scott, he's come for Eddie (Eddie's Teddy) which results in the discovery of Eddie's deceased body. Frank chases Janet and Brad and Dr. Scott chase Frank (Planet Schmanet Janet), which results in everybody (but Frank) getting frozen. Enter the floor show (Rose Tint My World / Don't Dream It / Wild & Untamed Thing) which then turns into the horrifying death of both Frank and Columbia die and the castle's blasting off! Brad, Janet, and Dr. Scott survive and leave with torn clothes and battered bodies. Written by Max. (http://www.imdb.com/title/tt0073629/plotsummary)
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
76 Universitas Indonesia
kekerasan tersebut, karena untuk merumuskan aturan atau kebijakan baru mengenai
kekerasan terhadap homoseksual di sekolah, bukan hal yang mudah dan harus melibatkan
school board dalam pelaksanaannya (Glee 2, episode 8). Dengan kata lain, gambaran ini
menjelaskan bahwa masalah bullying terhadap remaja homoseksual di sekolah belum
direspon dengan baik oleh pihak-pihak yang berwenang.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa kebijakan tentang kekerasan
terhadap siswa homoseksual masih menjadi persoalan yang mengundang pro dan kontra
dalam konteks sekolah di Amerika. Pada episode ini, kebijakan mengenai kekerasan
terhadap siswa homoseksual yang seharusnya diterapkan di sekolah-sekolah tidak
diperlihatkan secara langsung namun direpresentasikan melalui penyajian sekolah All
Boys School Dalton Academy, yang menerapkan kebijakan „zero- tolerance harassment
policy‟. Kebijakan yang diterapkan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi siswa
homoseksual, melainkan bagi seluruh siswa, baik heteroseksual maupun homoseksual.
Kekerasan dalam bentuk apapun dan kekerasan karena alasan apapun sepatutnya tidak
dibenarkan terjadi di lingkungan sekolah yang seharusnya aman dari segala bentuk
kekerasan. Siswa homoseksual membutuhkan jaminan dari pihak sekolah akan
keselamatan dan keamanan diri mereka melalui kebijakan yang jelas secara hukum, namun
justru yang terjadi adalah pro dan kontra mengenai kebijakan tersebut yang menyebabkan
siswa homoseksual merasakan ketidaknyamanan dalam lingkungan sekolahnya sendiri.
Kondisi seperti ini disajikan melalui tokoh Kurt, yang berkunjung ke sekolah Dalton
Academy dan bertemu dengan tokoh Blaine yang juga gay. Blaine menerangkan soal
kebijakan anti-kekerasan terhadap siswa yang telah diterapkan di sekolahnya. Kurt merasa
aman di sekolah tersebut dan berharap seandainya semua sekolah menerapkan hal yang
sama. Ini juga yang disampaikan oleh Kurt kepada ayahnya ketika Karofsky tidak henti-
hentinya melakukan bullying terhadap dirnya (Glee 2, episode 8). Berkaitan dengan
keterangan ini, diperlihatkan juga bahwa ternyata tokoh Karofsky adalah seorang
homoseksual yang termasuk ke dalam kelompok homoseksual yang closeted atau tertutup
mengenai seksualitasnya. Hal ini diketahui dari tanda visual yang ditunjukkan melalui
reflective approach, yaitu adegan Karofsky mencium Kurt dengan paksa setelah melalui
pertengkaran yang hebat antara keduanya, Gambaran ini juga menunjukkan bahwa terdapat
dua jenis homoseksual, yaitu homoseksual yang terbuka dan yang tertutup mengenai
seksualitasnya. Adegan dua homoseksual (gay) yang berbeda karakter ini juga menegaskan
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
77 Universitas Indonesia
teori Connell tentang keragaman karakter dalam diri laki-laki meskipun sama-sama
homoseksual. Tokoh Kurt adalah gay yang feminin, sementara tokoh Karofsky adalah gay
yang maskulin, sehingga hal ini menjelaskan bahwa gay tidak bisa digeneralisasikan
sebagai laki-laki feminin.
Pada episode 9 dan 10, Special Education dan A Very Glee Christmas, cerita
ditekankan pada tokoh Kurt, yang sudah pindah dari McKinley High ke Dalton Academy
akibat dari bullying yang diterimanya. Dalam dua episode ini juga ditampilkan tokoh Kurt
yang mulai menyukai tokoh Blaine, semenjak menjalin persahabatan dengannya. Beberapa
tanda visual memperlihatkan hubungan ini, seperti berlari berpegangan tangan dan berduet
bersama. Di sekolah ini juga Kurt menemukan segala sesuatunya berbeda dari sekolah
lamanya, tidak hanya dari kebijakan anti kekerasan yang diterapkan di sekolah tersebut,
tetapi juga kelompok paduan suara yang dimasukinya, sangat jauh berbeda dari klub Glee.
Keberadaan Kurt di kelompok paduan suara Dalton Academy, The Warblers, tidak
dipandang sama seperti keberadaannya ketika berada di klub Glee, karena segala
sesuatunya diputuskan secara sepihak oleh para senior, misalnya dalam memilih lagu apa
yang akan dinyanyikan di sebuah kompetisi. Pada prinsipnya, yang ingin ditekankan pada
dua episode ini adalah rasa aman dan nyaman yang selama ini dicari oleh kelompok
homoseksual yang sekaligus mencerminkan tidak meratanya pemahaman mengenai
pentingnya menerapkan kebijakan anti-kekerasan terhadap siswa homoseksual di sekolah-
sekolah dalam konteks Amerika, karena dalam realitasnya, yang lebih dipersoalkan adalah
seksualitas seseorang alih-alih kekerasan itu sendiri. Dalam teori Foucault, sekolah
bertindak sebagai kesatuan perangkat (agen) yang bertindak sebagai pembuat aturan dan
menerapkannya, namun karena persoalannya adalah homoseksualitas, maka yang terjadi
adalah sekolah melihatnya sebagai penyimpangan seksualitas yang menyalahi peraturan
sehingga dilihat sebagai representasi negatif (hubungan negatif) yang tidak boleh
diberlakukan di sekolah, maka dari itulah, kekerasan berbasis orientasi seksual tidak
ditanggapi dengan baik. Dengan kata lain, telah terjadi pengabaian terhadap regulasi
tersebut.
Kemudian pada episode 11, yakni The Sue Sylvester Shuffle, seperti pada episode-
episode sebelumnya pada season pertama, dikedepankan pentingnya menghargai satu sama
lain, yang ditandai dengan „dipaksanya‟ klub Glee dan klub Football berbaur dalam
memenangkan pertandingan football. Tujuannya adalah untuk membuat mereka,
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
78 Universitas Indonesia
khususnya anggota klub football, memahami bagaimana rasanya berada di klub Glee yang
selalu dibully, direndahkan, dan dipandang sebagai klub pecundang yang penuh dengan
homoseksual, atau dengan kata lain memahami bagaimana rasanya dipandang sebagai
liyan. “You guys are so afraid of being called geeks, or losers or gay that you settle for
being nothing”(Glee 2, episode 11). Homoseksual dan segala label sosial sangat ditakuti
oleh siswa-siswa sekolah menengah atas di Amerika karena identik dengan pecundang,
yang sebenarnya merupakan ketakutan yang tidak rasional.
Episode 12, The Silly Love Songs memperlihatkan bagaimana seorang
homoseksual mengungkapan rasa sukanya terhadap sesama jenis, namun seperti yang
terlihat pada episode ini, tidak semua homoseksual merasa nyaman dengan membuka
seksualitasnya di wilayah publik karena mereka menyadari konsekuensinya berada di
tengah-tengah masyarakat heteroseksual. Kuasa heteronormativitas memaksa mereka
memilih untuk tetap closeted dan „berpura-pura‟ menjadi heteroseksual agar bisa survive.
Kondisi ini terlihat pada adegan Blaine, yang menyatakan rasa sukanya kepada seorang
laki-laki gay bernama Jeremiah, yang bekerja di sebuah toko baju, tetapi ditolak karena
ketidaknyamanan dan kekhawatiran akan seksualitasnya yang terbongkar.
JEREMIAH: What the hell were you doing?
BLAINE: What?
JEREMIAH: I just got fired, you can‟t just bust a groove in
somebody elses working place.
BLAINE: But they loved it.
JEREMIAH: Well, my boss didn‟t. Neither did I, no one here knows
I‟m gay. Blaine let‟s just be clear here, you and I got coffee twice,
we‟re not dating. If we were, I get arrested cause you‟re under age.
(Glee 2, episode 12)
Gambaran di atas semakin menandakan bahwa segala sesuatunya tidak pernah mudah bagi
homoseksual untuk mengekspresikan dirinya dan atau bahkan untuk menjadi dirinya
sendiri sebagai individu dengan semua hak universal yang dimilikinya di tengah
lingkungan heteroseksual.
Pada episode 13, yaitu Come back, ditekankan pentingnya membangun citra bagi
seorang siswa sekolah menengah atas supaya bisa dikenali dan mendapatkan
penghormatan dari lingkungan sekolahnya. Homoseksualitas tidak terlalu diperlihatkan
secara visual dalam episode ini, namun secara verbal terlihat dari kata „lesbian‟ dalam
istilah lesbian Bieber hair, yang ditujukan untuk model rambut selebriti Justin Bieber.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
79 Universitas Indonesia
Selanjutnya, episode 14, yakni Blame it on the Alcohol, mengedepankan banyaknya lagu
remaja dewasa ini yang mengagungkan kebiasaan minum minuman beralkohol sehingga
menjadi suatu persoalan tersendiri dalam konteks sekolah menengah atas di Amerika.
Akan tetapi dibalik persoalan minuman beralkohol tersebut, homoseksualitas sebagai isu
tetap diperlihatkan pada episode ini melalui adegan Rachel yang mencium Blaine ketika
para anggota klub Glee sedang berpesta minuman keras di kediaman Rachel sambil
memainkan permainan spin the bottle.57
Kemudian terdapat adegan Blaine, yang tidur di
kamar Kurt karena mabuk. Blaine tiba-tiba meragukan seksualitasnya karena ciuman
Rachel ketika ia mabuk dan perdebatan yang ia alami dengan Kurt saat ia mengakui
keraguannya tersebut (Glee 2, episode 14). Perdebatan antara Kurt dan Blaine menandakan
bahwa seksualitas bagi seorang homoseksual merupakan hal yang sangat kompleks jika
menyangkut keyakinan akan identitas seksualnya, terlebih lagi bagi homoseksual yang
belum sepenuhnya menyadari orientasi seksualnya. Namun, pada akhirnya tokoh Blaine
sepenuhnya yakin bahwa ia memang seorang homoseksual ketika ia dicium oleh Rachel
untuk kedua kalinya. Tentu saja tampak begitu mudah bagi seorang homoseksual untuk
menyadari seksualitasnya melalui adegan seperti itu dalam serial TV walaupun secara
realitas belum tentu benar adanya, namun yang bisa ditangkap dalam adegan ini adalah
seorang homoseksual akan merasa yakin dengan seksualitasnya jika dihadapkan pada
perempuan yang berfungsi sebagai indikator dalam menentukan orientasi seksualitasnya.
Dalam arti bahwa apabila seorang laki-laki „merasakan‟ sesuatu pada saat dicium, maka ia
seorang heteroseksual, apabila sebaliknya, maka ia seorang homoseksual.
Berikutnya, episode 15, yang berjudul Sexy, menekankan sex education in high
school yang dinilai perlu untuk diterapkan, mengingat sebagian besar remaja sekolah
menengah atas telah mengenal dan melakukan kegiatan tersebut, yang tercermin pada
tokoh Quinn yang hamil pada usia sekolah (Glee season 1). Selain itu, konsep seksualitas
Foucault dalam hubungannya dengan pendidikan seks di sekolah, masuk ke dalam
kekuasaan yang menentukan hukum seks dengan menempatkannya di bawah sistem biner,
yakni benar dan salah. Pemisahan antara benar dan salah ini muncul karena seksualitas
dilihat sebagai sebuah isu yang perlu diatur supaya tidak menyimpang dan menyalahi
norma-norma yang telah ditetapkan. Hukum seks yang ditempatkan di bawah sistem biner
tersebut kemudian diperjelas dalam bentuk aturan pendidikan seks yang dianggap benar,
57
Permainan tersebut mengharuskan korban yang kena tunjuk untuk mencium orang yang memutar botol.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
80 Universitas Indonesia
yaitu hubungan seks antar heteroseksual, sehingga sama sekali tidak menaruh perhatian
pada homoseksual yang sebenarnya membutuhkan juga pendidikan seks di sekolah,
mengingat jumlah siswa homoseksual yang tergolong tidak sedikit. Situasi ini tercermin
pada ucapan tokoh Blaine berikut ini.
BLAINE: You know, Dalton doesn‟t even have sex education
classes, and the ones that do, almost never discuss what sex is like
for gay kids. (Glee 2, episode 15)
Pada episode ini juga diperlihatkan tokoh homoseksual perempuan, yaitu Santana yang
mulai menyadari dan yakin tentang seksualitasnya karena ketertarikannya secara seksual
pada sesama jenis (Brittany) lebih besar daripada ketertarikannya kepada lawan jenis (Glee
2, episode 15). Tanda-tanda lesbian ini telah disajikan melalui reflective approach
beberapa kali pada episode-episode sebelumnya antara Santana dengan Brittany, seperti
berpegangan tangan dan melakukan kontak fisik, meskipun Santana masih
menyangkalnya. Disajikannya tokoh lesbian dalam serial TV ini juga memperlihatkan
bahwa homoseksualitas dan jumlah siswa homoseksual yang cukup banyak perlu menjadi
perhatian penting dalam konteks sekolah di Amerika.
Pada episode 16, yakni Originals, digambarkan para siswa klub Glee yang
menghadapi regionals. Rival mereka di kejuaraan menyanyi tersebut adalah kelompok
paduan suara The Warblers (Dalton Academy) dan Aural Intensity. Singkatnya, pada
season ke dua ini, predikat juara akhirnya diraih oleh para anggota klub Glee setelah kalah
pada season sebelumnya, berkat lagu yang dibawakannya sebagai lagu hasil ciptaan
mereka sendiri yang berjudul Looser like me. Lagu tersebut memiliki makna ganda yaitu
yang pertama bermakna „pecundang seperti saya‟ dan makna yang ke dua bisa bermakna
„pecundang menyukai saya‟ sehingga secara umum disimpulkan bahwa makna lagu
tersebut adalah kelompok yang selalu dibully dan dilihat sebagai pecundang justru
memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa bangkit dan bertahan hidup, dan bahkan
disukai. Hal menarik lainnya yang ditangkap dalam episode ini adalah homoseksualitas
yang menjadi bahan perbincangan pada saat penjurian.
SISTER MARY CONSTANCE: That Dalton Academy, is it a gay
school or a school that just appear gay?
ROD REMINGTON: Could I add a dash of Rod to this lady soup?
My hairdresser is a gay and for fifteen years he‟s been with his
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
81 Universitas Indonesia
partner, also a hairdresser. I see no reason why they shouldn‟t be
allowed to marry and have a family of beautiful wigs.
SISTER MARY CONSTANCE: I liked the duets that the Dalton
boys sang.
TAMMY JEAN ALBERTSON: Oh boys shouldn‟t do a duet, the
last thing we need is to send a message to children that “gay is
okay”! It is not legitimate lifestyle, and last time I checked, it‟s not
in the constitution. (Glee 2, episode 16)
Perdebatan tersebut di atas merefleksikan pro dan kontra terhadap keberadaan
homoseksual yang memang masih berlangsung hingga saat ini, sehingga homoseksual
masih sulit untuk diakui dan diterima sebagai individu yang sama dengan heteroseksual.
Bahkan dalam penjurianpun terlihat diskriminasi terhadap homoseksual. Simbol
keagamaan yang bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh penganut ajaran nasrani
juga ditampilkan pada tokoh Sister Mary Constance yang mengenakan jubah biarawati
tetapi bersifat liberal dalam menyikapi homoseksualitas (Glee 2, episode 16). Seperti yang
sudah disinggung sebelumnya bahwa secara realitas, agama telah memberikan stigma
kepada kaum homoseksual, sehingga kemungkinannya sangat kecil bagi seorang biarawati
untuk dapat menyikapi homoseksualitas secara terbuka.
Dalam episode 17, A Night of Neglect, disamping menyajikan persoalan
homoseksual yang berkaitan dengan episode-episode sebelumnya pada season pertama dan
ke dua, cerita pada episode ini juga memperlihatkan pentingnya sikap saling menghargai di
lingkungan sekolah. Para siswa klub Glee yang bisa dibilang telah memenangkan
kejuaraan paduan suara baik di tingkat sectional dan regional tetap tidak dihargai oleh
lingkungan sekolahnya. Pertunjukkan yang digelar untuk menggalang dana pun tidak
mendapat sambutan yang baik dari para penonton. Mereka direndahkan dan dihina pada
saat pertunjukkan. Dengan kata lain, mereka dibully dengan berbagai macam cara, baik
individual maupun kolektif. Teknologi pun memainkan peran dalam kaitannya dengan
bullying seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada episode pertama, yaitu Audition,
dan juga tercermin pada dialog berikut.
JACOB: Technology has allowed us to be brutally cruel without
suffering any consequences. In the past, if I wanted to tell someone
they sucked, I‟d have to say it to their face which would usually
result in them kicking me in the groin (Glee 2, episode 17).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
82 Universitas Indonesia
Gambaran ini menunjukkan bahwa peran teknologi berdampak negatif apabila
berhubungan dengan bullying, karena teknologi malah memperluas tindakan kekerasan
tersebut di wilayah publik, meskipun identitas pelaku kekerasan tersembunyi. Namun, hal
inilah yang justru membuat masyarakat semakin tidak peka dengan konsekuensi yang
sangat mungkin bisa terjadi jika menyakiti seseorang secara psikologis. Pengaruhnya bisa
berimbas pada tindakan-tindakan ekstrem yang dapat membahayakan bagi orang yang
dibully ataupun bagi orang yang melakukan bullying tersebut.
Pada Episode 18, yaitu Born This Way, Lady Gaga kembali dijadikan tokoh
panutan yang menginspirasi para siswa Glee karena ikon ini mewakili status outsider yang
disandang oleh para siswa tersebut. Oleh karena itu, inti dari episode ini adalah pentingnya
menjadi diri sendiri meskipun berbeda dari segi fisiologis, psikologis, ataupun orientasi
seksual. Pada episode ini, tokoh homoseksual lainnya, yakni Santana dan Karofsky,
digambarkan semakin menyadari orientasi seksualitasnya sehingga memutuskan untuk
bekerja sama membentuk tim anti-bullying movement yang disebut dengan bullywhip
dengan tujuan untuk menciptakan situasi sekolah yang kondusif, khususnya bagi siswa
homoseksual. Karofsky dengan tulus meminta maaf kepada Kurt yang telah ia bully
selama ini dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi karena mereka memiliki identitas
seksualitas yang sama. Permintaan maaf ini membuat Kurt pindah lagi ke McKinley High
dan bergabung kembali dengan klub Glee. Apa yang direpresentasikan dalam episode ini
melalui tokoh Santana dan Karofsky adalah homoseksual yang mencoba untuk berdamai
dengan seksualitasnya, meskipun mereka belum siap untuk membuka identitas mereka di
wilayah publik (coming out).
Selanjutnya, pada episode 19, Rumours, cerita ditekankan pada berita yang bersifat
gosip. Saat wartawan sekolah, Jacob Ben Israel, mencari berita untuk dimasukkan ke
dalam surat kabar sekolah Muckcracker dengan mewawancarai para anggota Glee, apa
yang disampaikan melalui wawancara tersebut ternyata berbeda dengan yang diberitakan
di surat kabar sekolah sehingga menimbulkan salah pengertian. Misalnya, tokoh Sam yang
tertangkap berkomunikasi dengan Kurt, langsung diasumsikan sebagai gay. Lalu
penggunaan kata playing for another team, yang dilontarkan Santana langsung
dipersepsikan sebagai orang yang masuk ke dalam kelompok homoseksual. Hal ini
menunjukkan bahwa suatu isu atau fakta sangat mungkin untuk diputarbalikkan jika
disampaikan melalui media, khususnya terkait homoseksual. Dapat dikatakan bahwa surat
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
83 Universitas Indonesia
kabar Muckcracker tersebut merupakan media non-TV yang merepresentasikan
homoseksualitas di kalangan siswa McKinley High yang secara tajam mengkritisi dan
menyatakan secara terbuka tentang isu tersebut, sehingga apa yang ditangkap oleh
pembaca berita diharapkan sesuai dengan yang diberitakan. Media non-TV menurut
Newburn (1997, hal. 92) memang lebih mampu membentuk opini publik dibandingkan
media TV, karena adanya kebebasan pers dalam mencari serta menyampaikan berita yang
terkesan tidak disensor sehingga mudah dipercaya sebagai sebuah fakta. Surat kabar
bahkan mampu mengonstruksikan realitas yang semakin menguatkan opini publik tentang
kebenaran suatu isu. Hal inilah yang menyebabkan salah pengertian antara yang
memberitakan dan yang diberitakan seperti yang direpresentasikan oleh tokoh Sam dan
Santana tersebut.
Pada episode 20, yakni Prom Queen, bullying terhadap tokoh Kurt masih disajikan
meskipun kekerasan tersebut sudah berkurang pada episode ini. Bullying tersebut
ditunjukkan melalui penobatannya sebagai prom queen berdasarkan hasil pemerolehan
suara yang dilakukan secara diam-diam oleh seluruh siswa McKinley High sebagai lelucon
dengan tujuan agar Kurt bersanding dengan Karofsky yang telah lebih dulu dinobatkan
sebagai prom king, padahal Kurt sama sekali tidak mencalonkan dirinya. Gelar Prom
Queen yang diperoleh Kurt merupakan olok-olok yang secara tidak langsung menyatakan
bahwa Prom King and Queen McKinley High adalah sepasang gay, dan ini sangat
menyakitkan bagi Kurt secara psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa homoseksual akan
selalu menjadi yang tertindas bila berhadapan dengan kebencian yang irasional dari para
homofobik. Heteronormativitas yang telah melabel negatif kelompok homoseksual secara
implisit „membenarkan‟ penindasan tersebut. Kurt disandingkan dengan Karofsky dan
diberi gelar prom queen karena ia dilihat sebagai laki-laki yang feminin, sehingga
feminitas itulah yang membuatnya diolok-olok seperti tercermin dalam adegan tersebut.
Hal ini pula yang disebut oleh Connell tentang kekerasan yang ditimbulkan oleh
keragaman karakter laki-laki, khususnya laki-laki dengan karakter feminin, karena
dianggap kontras dengan anggapan bahwa karakter laki-laki seharusnya „maskulin‟.
Pada episode 21, Funeral, cerita ditekankan pada pemakaman adik pelatih
Cheerios, Sue Sylvester, yang meninggal karena penyakit pnemonia sehingga tidak banyak
ditemukan isu seksualitas pada episode ini, namun adiknya yang digambarkan mengidap
downsyndrome jelas mewakili kelompok outsider, seperti halnya para siswa klub Glee.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
84 Universitas Indonesia
Episode terakhir dari season ke dua ini, yaitu episode 22, dengan judul New York,
menceritakan para anggota Glee yang baru menginjakkan kakinya di New York dalam
rangka mengikuti kejuaraan paduan suara tingkat nasional, tetapi di akhir cerita mereka
masih belum berhasil memenangkannya. Dapat dikatakan bahwa episode ini khususnya,
dan episode-episode sebelumnya, sangat lekat dengan seksualitas. Ditinjau dari judulnya
sendiri, yakni New York, memiliki makna sebagai kota yang disukai kelompok
homoseksual, karena di kota inilah belum lama ini pernikahan sesama jenis diperbolehkan
dan dilegalkan. Meskipun demikian, masyarakat kota New York belum semua dapat
dikatakan menyikapi homoseksualitas secara terbuka, contohnya ketika petugas hotel
mengatakan setiap tim paduan suara yang akan berkompetisi akan dipisah berdasarkan
orientasi seksualnya, dan bukan berdasarkan jenis kelaminnya (Glee 2, episode 22), yang
makin memperlihatkan pemilah antara yang „benar‟ dan yang „salah‟.
4.4. Wacana Homoseksualitas dalm Serial TV Glee Season ke-tiga
Glee season ke tiga terdiri dari dua pulu dua episode yang judul-judulnya adalah The
Purple Piano Project, I am Unicorn, Asian F, Pot o‟ Gold, The First Time, Mash off, I
Kissed a Girl, Hold on to Sixteen, Extraordinary Merry Christmas, Yes or No, Michael,
The Spanish Teacher, Heart, On My Way, The Big Brother, Saturday Night Glee-ver,
Dance with somebody, Choke, Prom-asaurus, Props, Nationals dan terakhir Good Bye,
yang merupakan season finale dari seluruh episode dalam serial TV Glee. Seperti pada
season pertama dan ke dua, selain I Kissed a Girl, judul-judul episode di atas masih tidak
menampakkan adanya isu seksualitas yang diangkat apabila tidak dikaji secara visual, oleh
karena itu, aspek visual tidak pernah lepas dalam kaitannya dengan analisis serial TV ini.
Episode pertama, yaitu The Purple PianoProject, mengawali tahun ke tiga para
siswa Glee di sekolah McKinley High. Adegan diawali lagi dengan wawancara dengan
siswa klub Glee oleh tokoh Jacob Ben Israel, tetapi menariknya, dalam wawancaranya kali
ini, Jacob tidak menanyakan masalah seputar seksualitas, sehingga terlihat semacam twist
yang hendak disajikan dalam episode pertama ini yang tidak sama dengan dua episode
pertama pada dua season sebelumnya. Tokoh Blaine diceritakan pindah ke McKinley High
dari Dalton Academy agar bisa lebih dekat dengan Kurt, dan berawal dari kepindahan
Blaine tersebut ke McKinley High pada season ke tiga ini, akan banyak ditemukan adegan
yang memperlihatkan kedekatan Blaine dan Kurt sebagai sepasang homoseksual. Cerita
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
85 Universitas Indonesia
dalam episode ini juga menekankan pada kurangnya perhatian pihak sekolah terhadap
bidang kesenian, karena kesenian dianggap tidak memberikan masa depan yang baik bagi
siswa sekolah. Kesenian sendiri dalam serial TV ini direpresentasikan oleh klub Glee, yang
secara implisit berarti siswa yang mengikuti pelajaran kesenian seperti menyanyi dan
menari akan berakhir dengan memperoleh label sosial sebagai pecundang atau gay.
Seperti pada beberapa episode pada season sebelumnya, Tokoh Kurt pada season
ke tiga ini kembali direprsentasikan sebagai tokoh homoseksual yang memiliki citra positif
skaligus memberikan inspirasi bagi siswa McKinley High. Pada episode 2, I am Unicorn,
diceritakan Kurt mencalonkan diri sebagai ketua OSIS di McKinley High dengan tujuan
untuk membawa perubahan pada iklim sekolah tersebut, khususnya yang terkait dengan
kekerasan terhadap siswa di lingkungan sekolah atau bullying. Kurt menilai bahwa segala
macam bentuk kekerasan di sekolah sudah tidak dapat ditolerir lagi mengingat bullying
dapat berdampak buruk pada fisiologis dan psikologis korban. Telah disinggung pula
sebelumnya bahwa keadaan ini juga yang sedang diperjuangkan oleh para aktivis
homoseksual yang ingin mewujudkan lingkungan sekolah yang aman bagi siswa LGBTQ
di Amerika.
KURT: ... But if I win, I think I can make a huge difference at this
school, not just me, but also kids like me. Things can actually
change for them. So whatever it takes, I‟m winning. (Glee 3, episode
3)
Dalam kampanyenya, Kurt menggunakan simbol unicorn yang menyimbolkan kebanggaan
bahwa dirinya berbeda, meskipun sebelumnya ia sempat tidak menyetujui penggunaan
simbol tersebut dan memilih untuk lay low, dalam arti bahwa ia tidak mau terlalu
menonjolkan orientasi seksualnya agar bisa memperoleh dukungan yang banyak dari siswa
yang mayoritas heteroseksual. Pada awalnya, Kurt menganggap simbol unicorn justru
malah semakin mempertegas perbedaan seksualitasnya sebagai homoseksual sehingga
dikahawatirkan mengurangi citranya sebagai pemimpin jika terpilih, namun kepercayaan
dirinya bangkit ketika ayahnya mengungkapkan bahwa tanduk unicorn lah yang membuat
hewan tersebut istimewa dan sekaligus membedakannya dari kuda biasa (Glee 3, episode
2). Bisa dilihat disini bahwa, pada prinsipnya, seorang homoseksual menyadari kontroversi
yang melekat pada dirinya sebagai individu yang „menyimpang‟ dari normativitas
heteroseksual, namun ia bersedia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tempat ia
berada dengan memaknai simbol tersebut dari sudut pandang yang lebih positif. Pada
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
86 Universitas Indonesia
pidato kampanye Kurt pada episode 6, ia dengan tegas mengecam bullying di sekolah-
sekolah, dan salah satu program anti-kekerasan yang dikemukakannya adalah menghapus
permainan dodgeball yang dinilai brutal.58
Program anti-kekerasan yang dikemukakan oleh
Kurt juga merupakan sebuah citra positif homoseksual yang dilakukan demi kepentingan
orang banyak agar tercipta kondisi sekolah yang aman dari segala bentuk kekerasan atau
ketertindasan antar siswa.
Lima episode pertama pada season 3 ini juga mengangkat homoseksualitas yang
dialami tokoh homoseksual lainnya selain Kurt, yaitu Santana. Digambarkan disini bahwa
tokoh Santana telah menyadari dengan pasti akan seksualitasnya, namun memilih untuk
menyembunyikan identitasnya. Pada awalnya, ia sangat mengalami kesulitan untuk
beradaptasi dengan identitasnya tersebut, sehingga ia cenderung bertingkah laku kasar
secara verbal, yakni senang mengolok-olok orang lain, yang sebenarnya hanya
memperlihatkan kalau ia sedang menutupi ketidaknyamanannya. Tokoh Finn, yang merasa
kesal karena selalu diolok-olok oleh Santana, membuka seksualitas Santana di sekolah
sampai akhirnya diketahui luas oleh publik. Hal ini tentu saja membuat Santana sangat
terpukul, namun pada episode 7, ia akhirnya bisa menerima keterbukaan tersebut berkat
dukungan teman-temannya di klub Glee. Melihat representasi dari adegan-adegan ini,
peneliti dapat mengatakan bahwa dukungan atau pengaruh lingkungan yang baik dapat
mendongkrak keyakinan seorang homoseksual untuk bisa lebih terbuka terhadap dirinya
sendiri. Pada awalnya seorang homoseksual mengalami kesulitan untuk berdamai dengan
dirinya sendiri karena merasa telah melakukan „kesalahan‟ dengan „memilih‟ menjadi
homoseksual. Selama ini, homoseksualitas memang sering kali dihubungkan dengan
penyimpangan seksualitas karena seseorang dianggap dengan penuh kesadaran „memilih‟
menjadi homoseksual, yang pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Penilaian sepihak
yang bersifat menyudutkan, serta aturan-aturan yang mengatur seksualitas secara hukum,
disinyalir menjadi penyebab sulitnya homoseksual berdamai dengan dirinya sendiri
sehingga memicu konflik internal dalam diri homoseksual tersebut. Klub Glee yang
direpresentasikan sebagai tempat yang mewadahi dan mentolerir keberagaman, secara
tersirat pula direpresentasikan sebagai tempat dalam skop kecil yang mampu menerapkan
58
Berdasarkan pengamatan peneliti secara visual pada episode 6, Dodgeball adalah sejenis permainan yang dimainkan oleh dua tim dengan saling melempar bola ke tubuh lawan hingga dapat menyebabkan rasa sakit. Pemicu permainan ini bisa saja dilatarbelakangi oleh kebencian terhadap kubu lawan, sehingga permainan tersebut tidak bisa dinilai sebagai cabang olahraga yang bersaing dengan sehat.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
87 Universitas Indonesia
kebijakan multikulturalisme dengan baik. Klub ini tidak hanya menerima kelompok
minoritas, tetapi juga merangkul kaum homoseksual, sehingga hal ini pula yang dilihat
oleh peneliti sebagai sebuah sindiran terhadap negara Amerika yang multikultural, namun
masih belum secara maksimal menerapkan kebijakan tersebut, terutama yang menyangkut
homoseksualitas. Sangatlah penting bagi kelompok homoseksual untuk memperoleh
jaminan bahwa mereka diterima, diakui, dan dilindungi sepenuhnya sebagai warga negara
dan bukan sebagai warga kelas dua. Dialog antara Finn dan Santana di bawah ini mewakili
kondisi yang telah diuraikan di atas, yaitu bahwa klub Glee tidak memandang siapapun
yang masuk menjadi anggotanya sebagai warga kelas dua.
FINN: Glee‟s about learning how to accept yourself for who you
are, no matter what other people think, and that‟s the what this
music is all about.59
SANTANA: So wait, I don‟t even get a say in this? Not cool.
FINN: Everybody in this room knows about you, and we don‟t
judge you for it, we celebrate it because it‟s who you are. Look, I
know not everybody outside of this room is as accepting and cool,
but we‟re doing this assignment this week so that you know in this
rotten, stinkin‟ mean world that we live in, you at least have a
group of people who will support your choice to be whoever you
wanna be, that‟s it. (Glee 3, episode 7)
Pernah disinggung sebelumnya bahwa menjadi diri sendiri bagi seorang
homoseksual merupakan perkara yang tidak mudah karena harus berhadapan dengan
berbagai macam konsekuensi yang sebagian besar berseberangan dengan nilai-nilai yang
diyakininya. Tidak dipungkiri kecaman, hinaan, hujatan, dan kekerasan akan selalu
diterima oleh mereka selama wacana mengenai kebenaran aturan heteroseksual diproduksi
terus menerus tanpa dibarengi sikap yang jelas terhadap keragaman seksual, sebagaimana
dikemukakan oleh Ariyanto dalam penelitiannya.60
Jika dikaitkan dengan konsep
seksualitas Foucault „kebenaran‟ aturan heteroseksual diproduksi dengan tujuan
pendisiplinan terhadap berbagai penyimpangan seksualitas agar tidak melanggar dengan
cara menjaga dan menghukum, sehingga lahirlah berbagai macam bentuk kekerasan
tersebut. Oleh karena itu, perlu suatu pengertian yang mendalam bahwa adanya hak-hak
kelompok minoritas yang diakui dan pendewasaan pola pikir terhadap kelompok
59
Tema lagu yang ditugasi untuk klub Glee di episode tersebut adalah membawakan lagu yang bertemakan perempuan (Ladies for ladies) sebagai apresiasi untuk keberanian Santana menerima identitas seksualitasnya. 60
Lihat tinjauan literatur di bab 1.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
88 Universitas Indonesia
homoseksual khususnya akan sangat membantu mengurangi segala bentuk penindasan dan
kekerasan.
Setelah proses coming out, Santana mendapat perlakuan kurang baik di lingkungan
sekolahnya, dan juga dari neneknya. Apa yang telah diperbuat Santana diasumsikan
sebagai suatu pilihan yang telah ia buat, sehingga dianggap mudah untuk dibuat „normal‟
kembali, begitu pula neneknya yang lebih mementingkan pendapat banyak orang sehingga
tidak mau lagi mengakui keberadaan cucunya (Glee 3, episode 7). Adegan antara Santana
dan lingkungan sekolahnya, serta Santana dan neneknya, mencerminkan bahwa seseorang
menjadi homoseksual masih dilihat dari satu sisi, yaitu sebagai suatu pilihan yang dibuat
dan bukan kondisi yang terjadi karena banyak faktor. Lingkungan sekolahnya serta
neneknya, bila meninjau konsep seksualitas Foucault, telah bertindak sebagai instansi
aturan dan kesatuan perangkat (agen) yang membuat aturan dan menerapkannya sebagai
bentuk larangan terhadap „pilihan homoseksual‟. Perlu adanya pemahaman bahwa tidak
ada penjelasan yang pasti mengenai penyebab seseorang menjadi homoseksual, meskipun
telah lahir berbagai macam persepsi dan teori yang berasal dari sejumlah penelitian,
sehingga boleh dibilang bahwa yang sangat dibutuhkan pada tahap ini adalah sikap dan
pola pikir yang terbuka.
Tokoh baru anggota klub Glee muncul pada episode 4, Pot o‟ Gold, yang bernama
Rory Flanigan asal Irlandia yang datang untuk bersekolah di Amerika. Ia dikira
Leprechaun oleh Brittany, tetapi menurut olok-olok Santana, Leprachaun tidak lebih dari
sekelompok gay yang pekerjaannya membetulkan hak sepatu dan memenuhi tiga
permintaan. Ucapan tokoh Santana memperlihatkan bahwa gay masih dilihat dari satu
sudut, yaitu sebagai „laki-laki yang tidak maskulin‟ karena bekerja membetulkan sepatu,
yang jelas bertentangan dengan teori Connell. Rory juga sering di bully karena logat
Irlandianya yang dianggap aneh oleh siswa McKinley High, sehingga tidak seorang pun
yang mau berteman dengannya, dan ketika ia berkenalan dengan Finn dan memintanya
menjadi temannya, Finn merasa aneh karena tidak umum bagi seorang laki-laki meminta
laki-laki lain jadi temannya. Bisa dipahami bahwa homoseksualitas merupakan isu besar
bagi kaum laki-laki heteroseksual di Amerika karena hubungan antara laki-laki dengan
laki-laki dinilai sebagai hubungan yang tidak umum walaupun bukan dalam konteks
homoseksual. Bahkan hal sederhana seperti meminta seorang laki-laki menjadi teman
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
89 Universitas Indonesia
dianggap sudah mengarah pada hubungan homoseksual. Dengan kata lain, kekhawatiran
laki-laki heteroseksual terhadap label gay merupakan sebuah kondisi kultural di Amerika.
Pada episode 5, The First Time, digambarkan tokoh Kurt, yang merasa tidak cukup
sensual untuk menarik perhatian kekasihnya, Blaine, sehingga ia merasa satu-satunya cara
untuk menarik perhatiannya adalah dengan melakukan hubungan seksual. Mengamati
judulnya dan isu seksualitas yang disorot secara visual, dapat disimpulkan bahwa yang
ingin ditekankan disini adalah tentang kegiatan hubungan seksual. Dalam konteks remaja
di Amerika, virginity bukan suatu hal yang harus dipertahankan sampai waktunya
menikah, namun lebih pada waktu yang paling tepat untuk melakukannya, dan bila sudah
memasuki usia remaja dewasa, hubungan seksual menjadi sah untuk dilakukan. Ini
merupakan sebuah tanda yang bersifat kultural karena bergantung pada iklim norma-norma
yang berlaku di satu tempat, walaupun di Amerika sendiri banyak juga seruan bahwa
hubungan seksual lebih baik dilakukan setelah menikah terlebih dahulu, tetapi pada
umumnya tidak selalu demikian. Sederhananya, menurut aturan heteronormativitas yang
berlaku adalah bahwa hubungan seksual yang baik, sah, dan benar itu dilakukan antara
laki-laki dan perempuan dewasa, baik dewasa secara fisik maupun psikis. Namun pada
episode ini, disajikan lain, yakni hubungan seksual yang baik dan benar adalah dilakukan
antara sepasang individu dewasa tanpa harus menyebut jenis kelamin tertentu secara
spesifik, yang berarti baik homoseksual maupun heteroseksual boleh melakukannya kalau
sudah cukup umur. Inilah yang ditampilkan secara visual pada episode The First Time
melalui adegan intim antara tokoh Blaine dan Kurt.61
Di satu sisi, adegan yang
dipertontonkan tersebut telah melanggar kebenaran heteronormativitas yang menyatakan
hubungan seksual yang sah adalah antar lawan jenis, namun di sisi lain, dalam hal tayang,
hubungan antar sesama jenis masih tersangkut regulasi penyiaran yang melarang
ditayangkannya hubungan sesama jenis secara vulgar, sehingga pelanggaran terhadap
regulasi penyiaran tidak mungkin dilanggar. Hal ini yang disebut oleh Foucault sebagai
logika sensor, yaitu logika kekuasaan atas seks untuk menabukannya atau
menghilangkannya. Logika kekuasaan atas seks ini terkait dengan isu seksualitas dalam
media TV yang masih di bawah pengaturan komisi penyiaran, yang berarti bahwa isu
seksualitas boleh ditayangkan, tetapi tidak boleh melampaui batasan-batasan yang telah
ditentukan atau dengan kata lain, harus melalui sensor. Maka dari itu, adegan hubungan
61
Adegan yang ditampilkan tidak vulgar, namun cukup jelas untuk menerangkan hubungan yang terjadi antara kedua tokoh homoseksual tersebut adalah hubungan seksual.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
90 Universitas Indonesia
seksual antar sesama jenis hanya bisa ditampilkan secara simbolis dan membiarkan
penonton menginterpretasikannya sendiri.
Episode 8, Hold on to sixteen, dan episode 9, Extraordinary Christmas, tidak
banyak mengangkat seksualitas pada adegan-adegannya, kecuali sisipan kata „gay‟ yang
disisipkan pada ucapan Santana, yaitu „Little gay elf dentist‟ dan sebutan tokoh Sue pada
tokoh Blaine, yang ia sebut „other gay‟. Episode 8 juga mengisahkan kembalinya tokoh
Sam ke McKinley High setelah sempat pindah mengikuti orang tuanya ke Kentucky. Sam
diminta kembali ke Mckinley High setelah dibujuk oleh Finn dan Rachel sehubungan
dengan perlunya penambahan anggota klub untuk mengikuti kejuaraan sectionals. Sebelum
kembali ke McKinley High, Sam bekerja sebagai penari „striptease‟ laki-laki di sebuah bar
khusus perempuan, dan ia ingin menggunakan kepiawaiannya yang mengarah ke gerakan
sensual tersebut untuk memenangkan sectionals. Sensualitas dianggap lebih menjual oleh
Sam namun ditentang keras oleh Blaine, yang merasa tidak nyaman dengan gerakan
tersebut karena dinilai terlalu „murahan‟. Meninjau adegan ini, penolakan tokoh Blaine
yang gay terhadap gerakan sensual menjadi persoalan tersendiri bagi homoseksual karena
menjadi homoseksual bukan berarti harus sensual. Tokoh Sam yang diceritakan menari di
sebuah bar perempuan pun secara implisit ditangkap oleh peneliti sebagai sebuah
kontradiksi. Biasanya perempuan di media TV selalu direpresentasikan sebagai tokoh yang
menampilkan sensualitas dan menjadi objek tontonan laki-laki, tetapi disini justru
sebaliknya, yaitu laki-laki yang malah ditampilkan sensual dan menjadi objek tontonan
perempuan.
Episode 10, yaitu Yes or No, terlihat seperti sebuah peralihan sementara dari isu
seksualitas yang memang menjadi sorotan utama serial TV ini karena yang disajikan
adalah cerita tentang tokoh Mr. Schuester, yang ingin melamar Ms. Pilsbury, namun yang
mendapat perhatian dalam episode ini tetap para siswa klub Glee, yang dengan segala
kekurangannya mampu menyalurkan kekurangan tersebut menjadi sesuatu yang sangat
positif. Dengan kata lain, klub ini tidak hanya dilihat sebagai representasi tempat yang
mewadahi dan menghargai perbedaan, tetapi juga tempat yang mampu membawa
perubahan terhadap pola pikir yang bersifat narrow minded melalui lagu-lagu yang
dibawakannya sebagai sebuah saluran untuk menyampaikan suatu pesan. Istilah lainnya,
klub Glee direpresentasikan sebagai penyelamat kelompok minoritas dari ketertindasan.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
91 Universitas Indonesia
Selanjutnya, pada episode 11 yang berjudul Michael, bisa dilihat dari judulnya
bahwa yang menjadi ikon pada episode ini adalah penyanyi legendaris Michael Jackson
(MJ). Apabila ditinjau lebih jauh, hubungannya dengan Glee club adalah „keunikan‟ yang
dimiliki MJ, seperti gaya berpakaiannya, kehidupannya, termasuk operasi plastik yang
sering dilakukannya, dapat dikatakan outside the box dan bisa dikategorikan outsider. MJ
juga semasa hidupnya menyerukan soal anti-kekerasan melalui beberapa lagunya
sebagaimana yang diperjuangkan Kurt, dan teman-teman klubnya. Ironi menarik yang
justru terjadi pada episode ini adalah anti kekerasan yang menjadi simbol Glee hampir
goyah karena peristiwa yang dialami tokoh Blaine ketika Blaine dan teman-teman klubnya
mengadakan adu tari dengan pihak Dalton Academy di sebuah basement yang gayanya
mengadaptasi gaya MJ di video klip lagu Bad. Tokoh baru dari Dalton Academy yang
bernama Sabastian Smythe melempar slushie ke wajah Blaine, yang sebenarnya ditujukan
untuk Kurt karena rasa cemburu. Kecemburuan Sabastian sudah dimulai sejak episode 5,
yaitu The First Time, ketika kali pertama berkenalan dengan Blaine, yang telah memiliki
pacar Kurt. Para siswa Glee hendak melakukan aksi balas dendam akibat kelakuan
Sabastian terhadap Blaine, namun dicegah oleh Mr. Schuester yang mengingatkan tentang
anti-kekerasan yang selalu mereka junjung tinggi. Pada prinsipnya, pertikaian antara tokoh
Sabastian dengan klub Glee adalah konflik antar tiga individu homoseksual yang wajar dan
bisa terjadi juga pada heteroseksual bila menyangkut masalah cinta. Jadi, peneliti
menangkap bahwa makna yang ingin disampaikan melalui representasi ini adalah sebuah
konflik yang biasa terjadi di kalangan remaja tanpa harus memandang seksualitas. Jadi,
homoseksual atau tidak, mereka tetaplah remaja seperti remaja pada umumnya. Akhirnya,
aksi balas dendam tidak jadi dilancarkan melalui kekerasan karena bertolak belakang
dengan prinsip anti kekerasan yang dikampanyekan oleh Kurt.
Lalu, pada episode ini pun, diceritakan juga tentang Kurt, yang bercita-cita
melanjutkan kuliah di New York. Ia mengajukan permohonan sebagai finalis NYADA
(New York Academy for Dramatic Arts), dan hasilnya ia diterima sebagai finalis tersebut
melalui surat yang dikirimkan padanya. Ayahnya merasa sangat bangga pada pencapaian
anaknya tersebut setelah apa yang dialaminya selama ini (Glee 3, episode 11). Gambaran
ini menunjukkan bahwa menjadi individu dengan orientasi seksualitas yang berbeda bukan
penghalang untuk tetap menjalankan hidup sebagaimana mestinya. Seorang homoseksual
ataupun heteroseksual pada prinsipnya sama-sama mampu untuk meraih kesuksesan
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
92 Universitas Indonesia
karena kesuksesan tersebut bukan ditentukan oleh orientasi seksual melainkan kualitas
individu itu sendiri. Bila dicermati lebih jauh, segala macam label negatif yang ditujukan
kepada homoseksual pada dasarnya adalah pelabelan sepihak akibat dari wacana
heteronormativitas yang diproduksi terus menerus tentang homoseksual yang selalu dinilai
berdasarkan penyimpangan seksualitasnya.
Homoseksualitas tidak terlalu diangkat pada episode 12, yakni The Spanish
Teacher, tetapi menariknya disini adalah dihadirkan bintang tamu Ricky Martin yang
berperan sebagai guru bahasa Spanyol bernama David Martinez. Berdasarkan informasi
yang diperoleh, Ricky Martin adalah seorang homoseksual di kehidupan nyata yang telah
melakukan proses coming out pada 2010. Kehadirannya pada episode ini ditangkap sebagai
sebuah ikon yang menginspirasi homoseksual lainnya yang masih menyembunyikan
identitasnya agar memiliki kekuatan untuk come out.62
Selain itu, candaan tokoh Puck
yang mengatakan bahwa laki-laki heteroseksual yang senang membersihkan alat
reproduksinya berarti adalah seorang gay juga terdapat pada episode ini. Candaan tersebut,
apabila ditinjau lebih jauh, mengandung makna bahwa seorang laki-laki „sejati‟ tidak akan
terlalu memusingkan kebersihan karena biasanya yang menaruh perhatian lebih pada
kebersihan adalah kaum perempuan, dan gay selama ini dilihat sebagai laki-laki „feminin‟
sehingga tidak dianggap sebagai laki-laki „sejati‟. Kembali lagi dikaitkan dengan teori
Connell bahwa laki-laki harus dilihat sebagai individu yang memiliki karakter beragam
dan tidak bisa dengan begitu saja menilai laki-laki dengan karakter feminin itu bukan laki-
laki. Selanjutnya, pada episode 13 yang berjudul Heart, dua ayah tokoh Rachel yang gay
dihadirkan dalam rangka memberikan ucapan selamat kepada anaknya yang berencana
menikahi Finn. Melalui representasi tersebut, episode ini ingin membangun persepsi bahwa
orang tua homoseksual tidak berbeda dari orang tua heteroseksual bila menyangkut soal
perhatian kepada anak. Selain itu, persepsi yang juga ingin dibangun adalah bahwa dua
orang ayah homoseksual mampu membesarkan anak perempuan tanpa adanya figur
seorang ibu. Di samping itu, pada episode ini juga diperlihatkan hubungan antara tokoh
Santana dan Brittany yang semakin intim, yang ditunjukkan dengan ciuman yang mereka
lakukan di publik sekolah, namun kelakuan mereka dipergoki Mr. Figgins, kepala sekolah
McKinley High. Mr. Figgins disajikan sebagai tokoh yang cukup liberal, tetapi karena
62
“Ricky Martin finally came out to the world as a “fortunate homosexual man”. Ia juga mengatakan kelegaannya menjadi diri sendiri, yaitu “I am blessed to be who I am.” Semigran, Aly. (2010).
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
93 Universitas Indonesia
keluhan siswanya, ia meminta agar Santana dan Brittany tidak melakukannya di depan
umum, khususnya di lingkungan sekolah.
Mr. FIGGINS: Teen lesbians! I must see you in my office right
now!
SANTANA: This is such bull crap! Why can‟t Brittany and I kiss in
public? „Cause we‟re two girls?
Mr. FIGGINS: Please don‟t make this about your sapphic
orientation. This is about Public Displays of Affection. PDA simply
has no place in the sacred halls of McKinlley High. We‟ve had
complaints.
SANTANA: About us? When?
Mr. FIGGINS: Most recently, yesterday, 12:16 pm.
SANTANA: Oh that? Our lips barely even grazed and by the way,
did you get any complaints about that hideous display that started at
12:17 pm? And lasted for several uncomfortabale minutes?63
Mr. FIGGINS: Believe me, I‟d rather see you and Santana kiss than
that so-called Finchel, but if a student files a complaint for a
religious reasons...
SANTANA: Oh, great! So it was some Bible thumper that
complained.
Mr. FIGGINS: Ms. Lopez, I‟m sorry, but I‟m trying to keep this
school from turning into a voltile powder keg.
SANTANA: I‟m sorry too, „cause all I want is to be able to kiss my
girlfriend, but I guess no one can see that because there‟s such an
insane double standard at this school. You should be able to love
whoever you want. (Glee 3, episode 13)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bab 1 bahwa, selama ini, agama diyakini
sebagai tolak ukur untuk mengukur moralitas seseorang, sehingga jika terjadi
penyimpangan moral berarti religiusitas seseorang dinilai rendah, dan menjadi
homoseksual termasuk salah satu dari penyimpangan moral tersebut. Disiniliah letak
kuatnya sebuah relasi kuasa dalam memproduski wacana homoseksual melalui kata
„agama‟, karena agama dengan jelas melarang hubungan sejenis. Bahkan dalam penelitian
Ruth Sih Kinanti, disebutkan bahwa agama (dan AIDS) selalu dijadikan alat politik untuk
mereprsentasikan homoseksualitas.64
Akan tetapi, berbeda dengan itu, serial TV ini ingin
menyajikan sesuatu yang justru kontradiktif terhadap persepsi yang telah dibangun selama
ini tentang homoseksual melalui kacamata agama. Dalam episode Heart ini, diceritakan
beberapa siswa dari klub Glee (Mercedes, Quinn, dan Sam) bergabung dengan kelompok
yang disebut dengan The God Squad yang misinya adalah menyanyi berdasarkan
63
Yang dimaksud disini adalah ciuman yang dilakukan antara Finn dan Rachel. 64
Lihat bab 1, pada bagian tinjauan literatur.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
94 Universitas Indonesia
permohonan dari pemohon dengan cukup membayar sepuluh dollar. Salah satu tokoh yang
tergabung dalam kelompok ini adalah tokoh baru yang baru dimunculkan pada episode ini
yang bernama Joe. Tokoh Joe disini digambarkan sangat religius, bahkan dapat dikatakan
seorang Kristen yang taat. Saking taatnya, tokoh Joe disebut oleh teman-temannya dengan
sebutan teen Jesus. Saat Santana meminta The God Squad menyanyikan lagu untuk
kekasihnya, Brittany, Joe tampak bingung karena yang biasa memesan lagu dari kelompok
ini adalah pasangan heteroseksual. Permohonan Santana akhirnya didiskusikan oleh
mereka dalam forum tertutup (Glee 3, episode 13). Twist seperti ini hanya bisa ditemukan
dalam tayangan TV karena fakta-fakta sosial yang disajikan seluruhnya bersifat
representasi dari sebuah wacana yang ingin dibangun melalui TV sebagai teks sosial.
Belum tentu dalam realitas, seseorang setaat tokoh Joe akan mempertimbangkan dan
memutuskan satu hal yang sedemikian kompleks, seperti homoseksualitas, dengan mudah
karena bagaimanapun, agama, jika dikaitkan dengan homoseksual, merupakan hubungan
yang sangat pelik. Meskipun demikian, yang harus dilihat disini adalah kontradiksi makna
homoseksualitas dalam sudut pandang agama yang dipersepsikan berbeda, dan ini
tercermin pada baris dialog tokoh Quinn, yang mengatakan “Jesus never said anything
about gay people. That‟s a fact” (Glee 3, episode 13). Dengan menyebut kata „Jesus‟ dalam
dialog tersebut, terlihat semacam pembenaran bahwa menjadi gay tidak dipermasalahkan
oleh agama, sehingga melalui episode ini, diharapkan agar penganut ajaran nasrani lebih
membuka pikiran terhadap kaum homoseksual. Ini pula yang disebut Foucault sebagai
formasi diskursus/wacana, yaitu suatu pemikiran dan perilaku yang terjadi di masyarakat,
dalam hal ini, para tokoh dalam film tersebut, dapat mempengaruhi kehidupan sosial,
dengan kata lain bahwa pemikiran dan perilaku tersebut adalah pengetahuan yang
melahirkan wacana baru tentang wacana homoseksualitas dalam konteks agama.
Pada season tiga ini, para tokoh homoseksual disajikan sudah tidak lagi takut untuk
mengekspresikan keberadaan dirinya sebagai individu, bahkan tokoh Karofsky yang telah
sadar akan perbuatannya pada Kurt mengekspresikan rasa sukanya kepada Kurt, yang
kemudian ditolak karena Kurt telah bersama Blaine. Namun Kurt menjanjikan sebuah
persahabatan yang baik pada Karofsky. Dikisahkan, sejak orientasi seksual Karofsky mulai
diketahui, ia memutuskan untuk pindah dari McKinley High ke sekolah lain. Karofsky
menyatakan rasa sukanya pada Kurt di sebuah restoran pada hari Valentine, yang tanpa
disadari terlihat oleh salah satu temannya di tempat ia bersekolah. Walaupun Karofsky dan
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
95 Universitas Indonesia
Kurt menyangkal, tampaknya hal itu dimaknai berbeda oleh teman Karofsky tersebut.
Dalam kasus ini, khususnya bagi pasangan homoseksual, terlihat berdua di publik justru
semakin menambah tekanan yang harus mereka hadapi untuk tetap lay low agar tidak
mendapatkan „sanksi sosial‟.
Terkait dengan episode sebelumnya, pada episode 14, On My Way, tokoh Karofsky,
yang terpergok oleh temannya berdua dengan Kurt, mendapat perlakuan yang tidak baik
oleh teman-teman sekolahnya. Ia mendapati lokernya penuh dengan tulisan Fag, dan
homo, bahkan tertulis juga di dunia maya melalui akun Twitter dan Facebook nya.
Perasaan tertekan dan tertindas yang amat sangat menyebabkan Karofsky berniat
mengakhiri hidupnya dengan menggantung dirinya di kamar tidurnya, namun beruntung
nyawanya masih bisa tertolong oleh ayahnya yang tiba tepat waktu, dan iapun dirawat di
rumah sakit. Hal ini merupakan representasi dari apa yang mungkin bisa terjadi pada
homoseksual, khususnya homoseksual remaja, akibat di bully karena seksualitasnya.
Tingkat kematangan psikologis seorang remaja yang masih tergolong labil menyebabkan
keputusan untuk bunuh diri dirasakan sebagai sebuah alternatif yang paling tepat. Tidak
hanya menjadi korban bullying di sekolah, remaja homoseksual juga mendapatkan
perlakuan yang sama dari anggota keluarganya yang tidak mau membuka pikiran untuk
mau memahami seksualitas mereka. Keadaan ini tercermin dalam dialog antara Karofsky
dan Kurt di rumah sakit ketika Kurt datang untuk menjenguknya. Adegan ini juga
menampilkan kembali citra positif homoseksual yang menaruh kepedulian yang sangat
tinggi terhadap sesamanya tanpa perasaan dendam walaupun Kurt pernah di bully oleh
Karofsky.
KAROFSKY: ... and the same thing happen to me, I couldn‟t even
take it for a week. My best friend telling me he doesn‟t want to talk
to me again, my mom telling me I have a desease and maybe I can
be cured. I don‟t know what to do, I can‟t go back to that school.
KURT: Then go to another school. I‟m not going to lie to you, it‟s
not going to be easy, and there‟ll be some days when life just sucks.
(Glee 3, episode 14)
Usaha bunuh diri Karofsky menggemparkan seluruh warga McKinley High karena
Karofsky pernah mengenyam pendidikan di sana sebelum pindah, dan secara implisit kasus
ini merupakan tamparan keras bagi pihak McKinley High yang selama ini sedikit „menutup
mata‟ pada isu homoseksualitas di kalangan remaja. Kontribusi amal yang dilakukan oleh
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
96 Universitas Indonesia
siswa-siswa Dalton Academy untuk Lady Gaga‟s Born This Way Foundation juga
ditampilkan pada episode ini yang ditangkap sebagai seruan keras terhadap kekerasan atau
bullying terhadap homoseksual. Berkaca pada representasi tersebut di atas, homoseksual
dan bullying di kalangan remaja sekolah bukan hanya merupakan pekerjaan rumah bagi
pihak sekolah, melainkan juga bagi pihak keluarga dan pihak-pihak terkait lainnya,
terutama para orang tua yang memiliki anak-anak remaja yang homoseksual. Berkaca pada
kondisi ini pula, sesuai dengan usul yang diajukan dalam penelitian Ariyanto, yakni
membangun aturan yang mengedepankan keragaman seksualitas sepatutnya dijadikan
pertimbangan agar tidak terjadi penindasan sepihak oleh heteronormativitas.
Sama halnya dengan episode 12, episode 15, The Big Brother, juga tidak terlalu
mengangkat seksualitas karena pada episode ini yang diceritakan adalah kedatangan kakak
Blaine, seorang bintang iklan, ke McKinley High untuk mengajarkan seni acting. Namun
seperti hampir di setiap episode yang disajikan, selalu ada kata „gay‟ yang dilontarkan oleh
para tokoh sentral serial TV ini, yakni seperti ucapan pembukaan “Ladies and Gays” yang
dilontarkan oleh tokoh Sue Sylvester ketika memperkenalkan kakak Blaine kepada seluruh
anggota klub Glee. Lalu pada episode 16, Saturday Night Glee-ver, tokoh Puck
mengatakan, “two dudes in one bed, it‟s like confirmed gay”. Pada episode 16, juga
disinggung mengenai harapan marriage equality bagi kelompok homoseksual. Selain itu,
meskipun sepintas, dihadirkan pula tokoh laki-laki yang ingin bertransformasi menjadi
perempuan atau trans seksual, yang bernama Wayde a.k.a Unique dari Carmel High, yang
tergabung dalam klub paduan suara Vocal Adrenalin. Ia akan berpenampilan seperti
perempuan kalau sudah bernyanyi di atas panggung dengan mengenakan rok dan sepatu
berhak tinggi. Dapat dikatakan bahwa dihadirkannya tokoh trans seksual dalam serial TV
ini adalah untuk menekankan perbedaan antara homoseksual dan trans seksual yang
barangkali kerap diartikan sama. Tokoh Wayde atau Unique datang ke McKinley High
untuk meminta saran dari Kurt dan Mercedes tentang busana yang harus ia kenakan pada
saat kompetisi, apakah sebagai laki-laki atau perempuan, walaupun hatinya lebih memilih
sebagai perempuan. Berhubung The New Direction ingin menjatuhkan Vocal Adrenalin,
Kurt dan Mercedes menyarankan Wayde agar tampil sebagai perempuan, dan atas usul Sue
Sylvester, Wayde diminta mengenakan sepatu berhak tinggi sebagai strategi mereka untuk
menjatuhkan Vocal Adrenalin. Wayde adalah lead vocal kelompok Vocal Adrenalin,
sehingga Vocal Adrenalin diharapkan kalah apabila Wayde mengenakan sepatu berhak
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
97 Universitas Indonesia
tersebut. Kurt dan Mercedes pada akhirnya menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah
salah dan berniat membujuk Wayde untuk tetap berpenampilan laki-laki, namun Wayde
justru menerima saran pertama mereka untuk tampil sebagai perempuan dan mengenakan
sepatu tersebut. Berdasarkan pengamatan peneliti, perbedaan antara homoseksual dan trans
seksual secara visual pada tokoh Kurt dan Wayde adalah terletak pada cara mereka
memandang dirinya sendiri. Seorang homoseksual tidak mengubah penampilan luarnya
menjadi laki-laki atau perempuan, meskipun secara psikologis dan dari segi karakter,
homoseksual (gay) terbagi ke dalam gay yang maskulin dan feminin, sementara seorang
transeksual mengubah penampilan luarnya, bahkan bila memungkinkan, mengubah jenis
kelaminnya, karena merasa terlahir dengan jenis kelamin yang salah. Contohnya adalah
tokoh Wayde tersebut, yang memiliki sifat-sifat dan jiwa seorang perempuan tetapi
terperangkap dalam tubuh laki-laki, begitupun sebaliknya.
Pada dua episode berikutnya, yaitu episode 17, Dance with somebody, merupakan
episode a tribute to Whitney Houston dalam rangka mengenang almarhumah Whitney
Houston setelah kematian tragis yang menimpanya, meskipun tetap disajikan persoalan
homoseksual seputar tokoh Kurt dan Blaine. Lalu pada episode 18, Choke, diceritakan
sebelumnya tentang tokoh Kurt, yang diterima sebagai finalis untuk masuk NYADA, dan
episode ini, merupakan sambungan dari cerita sebelumnya, yaitu tentang audisinya yang
dilakukan bersama dengan tokoh Rachel. Audisi Kurt berjalan dengan baik, sedangkan
Rachel tidak. Di tengah-tengah audisi, ia lupa sebagian lirik lagunya, sehingga bisa dilihat
melalui adegan ini bahwa homoseksual direpresentasikan unggul sementara heteroseksual
tidak. Episode ini juga sedikit menyinggung lagi isu perempuan dalam kaitannya dengan
kekerasan di rumah tangga yang direpresentasikan oleh tokoh Beiste, yang mengalami
kekerasan fisik oleh suaminya. Secara implisit, episode ini menyerukan stop kekerasan
dalam rumah tangga oleh pihak laki-laki dan sekaligus mengingatkan bahwa
homoseksualitas dan perempuan mewakili isu kelompok minoritas yang kerap menjadi
korban kekerasan. Pada episode 19, Prom-asaurus, dikisahkan pesta prom terakhir para
siswa McKinley High, khususnya bagi siswa senior yang tergabung dalam klub Glee,
seperti tokoh Rachel, Finn, Kurt, Santana, Quinn, dan Puck. Akan tetapi, yang menarik
dari episode ini adalah kekasih Santana, yakni Brittany, menobatkan dirinya sebagai Prom
King, tetapi tidak memperoleh satu vote pun karena ia dilihat sebagai perempuan, sehingga
ia dianggap tidak layak mendapat gelar Prom King, meskipun dalam hal ini, sebagai
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
98 Universitas Indonesia
seorang lesbian, ia memposisikan dirinya sebagai „laki-laki‟. Berdasarkan gambaran ini,
bisa dikatakan bahwa, bagaimanapun seorang homoseksual memposisikan dirinya,
perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetap dilihat berdasarkan jenis kelaminnya dan
bukan posisinya.
Episode 20, yaitu Props, merupakan sambungan dari isu yang dikemukakan pada
episode 16, yakni Kurt diminta oleh Sue Sylvester untuk mau berpenampilan seperti
Wayde karena, dengan penampilan „perempuan‟ tersebut, Vocal Adrenalin berhasil
memenangkan kompetisi. Menurut Sue, apa yang dilakukan Wayde dianggap sebagai the
unique factor. Kurt dengan tegas menolak usul tersebut karena ia menyadari sepenuhnya
tentang dirinya sendiri, yakni bahwa menjadi gay tidak perlu mengubah penampilan. Kurt
mengatakan,“Being gay doesn‟t mean you cross dress”. (Glee 3, episode 20). Hal ini juga
ikut menegaskan bahwa gay tidak bisa digeneralisasikan sebagai laki-laki feminin, dan
menjadi bagian dari klub Glee yang terdiri dari beragam perbedaan itulah yang dinilai
sebagai the unique factor.
Pada episode 21, Nationals, untuk kedua kalinya kelompok paduan suara klub
Glee, The New Direction, mengikuti lomba paduan suara tingkat nasional dan akhirnya
berhasil memenangkan kejuaraan tersebut dengan menempati posisi pertama, mengalahkan
juara bertahan Vocal Adrenalin. Terlihat memang ini yang dikehendaki sebelum season
finale, yaitu kemenangan klub Glee pada season terakhir dari seluruh rangkaian episode
yang disajikan sejak season pertama. Ditampilkan disini, setelah memenangkan lomba
tingkat nasional tersebut, para anggota klub Glee akhirnya mendapatkan penghormatan dan
penghargaan dari lingkungan sekolahnya yang selama ini memandang mereka tidak lain
hanya siswa minoritas yang tergabung dalam klub dengan label „homo‟ dan identik dengan
pecundang. Pencapaian ini merupakan kesuksesan besar bagi siswa klub Glee tersebut
karena, selain piala kemenangan, penghormatan dan pengakuan terhadap keberadaan
mereka pun mampu mereka peroleh melalui perjuangan panjang. Dengan kata lain, serial
TV ini menyampaikan bahwa segala sesuatu sangat mungkin untuk dicapai oleh siapapun,
apapun statusnya, baik homoseksual, perempuan, etnis minoritas, ras kulit hitam maupun
penyandang cacat.
Pada episode terakhir dari season tiga dan juga dari seluruh season, yaitu episode
22, dengan judul Good bye, merupakan cerita kelulusan para tokoh siswa senior Glee, yang
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
99 Universitas Indonesia
dimulai dengan tokoh Kurt yang bercerita tentang pengalamannya sejak pertama masuk
McKinley High hingga lulus.
KURT: When I first got to McKinley, I was afraid to make eye
contact. I didn‟t talk about my politics, I didn‟t share what was in
my heart. I was in the closet and those days I was tossed into the
dumpster, but McKinley has made me stronger, the most socially
conscious fashion forward peson, and perhaps I have played some
small parts for making it possible for tadpole gays in Lima to be
themselves in public, not a bad legacy for a person who pretends to
be in lust with Rachel Berry so he wouldn‟t have to date Mercedes
Jones. (Glee 3, episode 22)
Dialog Kurt di atas merepresentasikan proses seorang remaja homoseksual dalam mencari
kekuatan untuk terbuka dengan seksualitasnya dan karakternya meskipun harus
berhadapan dengan konsekuensi berada di lingkungan heteroseksual, yaitu berupa
penindasan. Namun, perjalanan panjang yang dialaminya sebagai seorang remaja
homoseksual di sekolah tersebut justru membentuk dirinya sebagai pribadi yang tangguh
dan mampu memberikan inspirasi bagi siapapun yang berada di posisi yang sama dengan
dirinya. Tokoh Kurt tidak hanya membawa citra positif bagi dirinya sendiri, melainkan
juga bagi lingkungan sekolahnya. Ketika mengungkapkan hal ini, diperlihatkan kondisi
McKinley High yang lebih kondusif, dan diperlihatkan pula sepasang remaja homoseksual
junior yang sedang berjalan melintasi koridor sekolah tanpa harus merasa takut di bully
seperti yang dialami Kurt sebelumnya. Situasi sekolah yang aman seperti ini juga peneliti
tangkap sebagai sindiran dan seruan kepada sekolah- sekolah agar mampu menciptakan hal
yang sama, terutama agar lebih memperhatikan siswa-siswa yang tergolong minoritas.
Kurt juga menyatakan terima kasihnya kepada seluruh teman-temannya di klub Glee,
terutama Mr. Schuester dan teman-temannya yang laki-laki karena telah menerima
keberadaan dirinya dengan baik tanpa memandang seksualitasnya.
KURT: I want to mostly thank the men in the room who have truly
inspired me, who never saw me for the things that made us different,
you only saw me for the ways it was the same. Because in this room,
it doesn‟t matter if you‟re gay or straight, what matters is that we‟re
friends. (Glee 3, episode 22)
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
100 Universitas Indonesia
Bagi perempuan, barangkali tidak akan terlalu sulit jika menjalin persahabatan dengan
laki-laki homoseksual karena perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan tidak
akan mengundang prasangka-prasangka buruk di masyarakat yang sebagian besar kontra
dengan homoseksual. Oleh karena itu, Kurt, lebih mengkhususkan rasa terimakasihnya
kepada teman-temannya yang laki-laki. Pada kenyataannya, sangat sulit bagi laki-laki
heteroseksual untuk mau berteman dengan laki-laki homoseksual karena kekhawatiran
yang irasional terhadap label gay. Akan tetapi, berbeda dengan para laki-laki yang berada
di klub Glee yang justru sangat terbuka dalam menerima dan memahami seksualitasnya,
sehingga boleh dikatakan bahwa keberadaan Kurt di klub Glee membuka cara pandang
mereka terhadap homoseksual. Bagaimanapun juga, yang ingin ditekankan di sini adalah
lingkungan sekolah memang sepatutnya menjadi tempat terjalinnya hubungan pertemanan
yang baik tanpa harus mempermasalahkan perbedaan. Singkat cerita, seluruh tokoh yang
lulus berakhir dengan akhir yang baik dan memiliki tujuan untuk melanjutkan hidup ke
level berikutnya.
Secara garis besar, serial TV Glee menunjukkan adanya hubungan kekuasaan yang
terjadi dalam konteks remaja dan lingkungan sekolah di Amerika dalam kaitannya dengan
homoseksual dan kelompok minoritas. Dapat dikatakan demikian karena cara kerja dari
representasi yang terlihat dalam setiap episodenya adalah menentang aturan-aturan yang
bersifat menindas akibat hubungan kekuasaan yang telah mendominasi kehidupan manusia
sehari-hari, terutama mengenai seksualitas dan karakter yang diatur agar tidak melanggar
hukum. Seperti yang dinyatakan oleh Foucault, bahwa seksualitas ditempatkan dalam
hukum di bawah sistem biner, yaitu benar-salah, halal-haram, boleh-terlarang, positif-
negatif, yang diperjelas ke dalam bentuk aturan yang disebut dengan heteronormativitas
tersebut, begitu pula dengan maskulinitas dan feminitas pada homoseksual. Sistem biner
telah mengakibatkan lahirnya tindakan kekerasan atau penindasan di lingkungan sekolah
dalam bentuk bullying terhadap kelompok minoritas, khususnya siswa homoseksual, yang
sangat gencar diserukan dalam serial TV ini.
Peran TV sebagai teks sosial juga merupakan aspek yang tidak bisa diabaikan
dalam mengonstruksikan realitas, sehingga TV memiliki kekuatan yang mampu
membangun kesadaran dan membentuk persepsi terhadap suatu isu melalui elemen verbal
dan non-verbal dalam tayangan-tayangannya. Serial TV Glee sendiri termasuk ke dalam
salah satu tayangan yang telah memproduksi makna tentang homoseksualitas melalui
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
101 Universitas Indonesia
representasi homoseksual pada setiap season nya sehingga terbangunlah wacana tentang
isu tersebut, yang secara tidak langsung membentuk kembali kesadaran dan persepsi kita
tentang homoseksual.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
102 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN
Diangkatnya homoseksualitas ke permukaan melalui film bertujuan untuk
membangun kesadaran serta memberikan gambaran pada khalayak luas tentang bagaimana
kelompok homoseksual direpresentasikan dan diwacanakan. Kelompok ini kalau
dipetakan, terbagi ke dalam beberapa kelompok homoseksual yang dilihat dari
keberadaannya di lingkungan tertentu, misalnya keberadaan homoseksual di lingkungan
pekerjaan, atau keberadaan homoseksual di lingkungan rumah tangga. Merujuk pada
keterangan ini, sehubungan dengan latar sekolah yang disajikan dalam serial TV remaja
ini, maka kelompok homoseksual yang disorot dalam serial TV Glee adalah keberadaan
homoseksual di lingkungan sekolah. Homoseksual remaja dalam konteks sekolah di
Amerika sangat identik dengan kekerasan atau bullying yang menunjukkan terjadinya
hubungan kekuasaan di lingkungan sekolah antara penindas dan yang tertindas.
Remaja homoseksual direpresentasikan sebagai yang paling ditindas oleh sistem
kekuasaan di lingkungan sekolah. Hal ini boleh jadi disebabkan homoseksualitas dinilai
sebagai isu yang paling kontroversial dibandingkan isu lainnya, sehingga seksualitas
dilihat lebih ditonjolkan. Isu remaja dan homoseksualitas di sekolah berangkat dari
pengetahuan yang berkembang dalam konteks Amerika tentang remaja homoseksual yang
sering kali menerima kekerasan akibat kebencian irrasional heteroseksual terhadap
homoseksual. Berbeda dengan itu, serial TV ini menyajikan representasi kekerasan
tersebut dari sudut lain, yaitu bahwa kekerasan terhadap remaja homoseksual tidak hanya
dilakukan oleh para remaja heteroseksual yang homofobik, melainkan bisa juga dilakukan
oleh sesama homoseksual yang berada dalam fase „penyangkalan‟, seperti yang
direpresentasikan oleh tokoh Karofsky yang ingin disebut „normal‟ dengan melakukan
bullying terhadap tokoh Kurt. Tidak hanya itu saja, pandangan dikotomis yang menyatakan
bahwa maskulinitas adalah karakter laki-laki dan feminitas adalah karakter perempuan,
telah menjadi pemicu kekerasan di kalangan laki-laki. Feminitas dalam karakter laki-laki
dianggap „melawan‟ kodrat Tuhan sehingga laki-laki dengan karakter feminin lebih
cenderung mengalami kekerasan, bahkan secara umum, dapat dikatakan bahwa kekerasan
terjadi karena keragaman karakter yang dimiliki oleh laki-laki tanpa memandang orientasi
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
103 Universitas Indonesia
seksualnya. Namun, dalam serial TV ini, representasi kekerasan karena keragaman
karakter tersebut dialami oleh laki-laki homoseksual (gay) yang memiliki karakter feminin.
Kebijakan anti-kekerasan terhadap kekerasan berbasis orientasi seksual di
lingkungan sekolah masih merupakan pro dan kontra, sehingga belum ada kebijakan
sekolah yang menjamin keselamatan dan keamanan remaja homoseksual dari kekerasan
tersebut (bullying). Hal ini karena pokok permasalahan tidak difokuskan pada kekerasan
yang dialami homoseksual, melainkan pada penyimpangan seksualitasnya. Perhatian pihak
sekolah pada kekerasan terhadap remaja homoseksual, khususnya terhadap remaja
homoseksual laki-laki (gay) dengan keragaman karakternya juga menjadi penting karena
maskulinitas dan feminitas selama ini dilihat sebagai atribut personal dan bukan sebagai
relasi gender, sehingga perlu dikembangkan kesadaran akan pemahaman tersebut. Oleh
karena itu, kondisi ini semakin memperlihatkan bahwa kuasa heteroseksual atas nilai-nilai
seksualitas dan pandangan dikotomis tentang maskulinitas dan feminitas merupakan
hubungan kekuasaan yang menimbulkan kekerasan antar siswa tersebut, siapapun
pelakunya, heteroseksual ataupun homoseksual. Representasi remaja homoseksual yang
kerap menjadi korban kekerasan disajikan dalam serial TV ini sebagai bentuk perlawanan
terhadap aturan-aturan yang bersifat menindas.
Representasi homoseksual dalam film seri ini tetap disajikan sebagai yang
tertindas, namun bercitra positif yang memperlihatkan bahwa di dalam ketertindasannya,
homoseksual merupakan individu yang kuat, unggul dengan kualitas diri yang sangat baik,
alih-alih pesakitan atau pendosa yang selama ini selalu diwacanakan. Selain itu,
homoseksual di sini juga direpresentasikan membawa perubahan positif bagi dirinya,
sesamanya dan lingkungannya menuju peradaban yang mengedepankan kesadaran
terhadap perbedaan orientasi seksual sebagai bagian dari keberagaman, dan bukan sebagai
sesuatu yang berada di luar normativitas. Dengan kata lain, masyarakat harus bisa
menerima dan menghargai sebuah pilihan. Disamping itu, ditekankan pula kesadaran
terhadap pentingnya menyadari keberadaan kelompok minoritas dimanapun
lingkungannya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak bersifat homogen, sehingga
sangatlah wajar apabila terdapat sekelompok individu dengan pola pikir dan gaya hidupnya
masing-masing. Begitu juga dengan maskulinitas dan feminitas sebagai bentuk keragaman
karakter dalam masing-masing individu. Kesadaran ini penting dalam kaitannya dengan
hubungan kekuasaan agar bisa lepas dari segala macam bentuk ketertindasan. Penelitian ini
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
104 Universitas Indonesia
akhirnya telah membuktikan bahwa kekerasan terhadap remaja homoseksual yang terjadi
di lingkungan sekolah tidak hanya disebabkan oleh seksualitasnya tetapi juga karena
karakter di luar normal yang dimilikinya, namun kekerasan tersebut justru menjadikan
homoseksual sebagai pihak yang bercitra positif. Dengan demikian, wacana
homoseksualitas yang dihasilkan oleh representasi homoseksual dalam serial TV Glee
adalah wacana homoseksualitas yang bertolak belakang dengan kondisi homoseksual yang
selalu diposisikan tertindas dan bercitra negatif.
Sejumlah penelitian tentang homoseksualitas telah berkontribusi besar terhadap
perkembangan studi homoseksualitas yang diharapkan dapat membuka wawasan dan
mendewasakan pola pikir masyarakat tentang kelompok homoseksual. Sebuah penelitian
bertujuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau mengembangkannya berdasarkan
penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Begitu pula harapan peneliti ketika
melakukan penelitian ini, meskipun belum bisa dikatakan telah menghasilkan sesuatu yang
baru karena adanya keterbatasan dalam pelaksanaannya, namun diharapkan penelitian ini
dapat membangun kontinuitas dari penelitian sejenis yang telah ada, terutama yang
berkaitan dengan kesadaran terhadap keragaman seksual dan keragaman karakter. Secara
garis besar sumbangan yang diberikan melalui penelitian ini adalah menyikapi
homoseksualitas dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dengan menyikapinya sebagai
salah satu bentuk pluralitas yang ada di masyarakat disamping bentuk pluralitas lainnya
seperti etnisitas, ras dan agama. Selain itu, perlu disadari pula bahwa orientasi seksual dan
karakter yang berbeda tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai kualitas seseorang,
apakah itu homoseksual ataupun bukan. Dengan kata lain, homoseksual harus dilihat
sebagai individu yang memainkan peran yang sama di masyarakat alih-alih dilihat sebatas
seksualitasnya. Dengan mengubah cara pandang atau cara kita menyikapi homoseksualitas
tersebut, maka diharapkan supaya anggapan homoseksual sebagai liyan dan segala macam
bentuk penindasan dapat dihilangkan, atau paling tidak dapat diminimalisasi. Lingkungan
pendidikan adalah tempat yang baik untuk memulai suatu perubahan dengan menekankan
pada pentingnya kesadaran untuk menghargai keberagaman termasuk keragaman
seksualitas dan karakter alih-alih menghakiminya, karena penindasan dalam bentuk apapun
dan atas kepentingan apapun tentunya tidak dibenarkan.
Peneliti menyadari bahwa terdapat keterbatasan dalam penelitian ini karena waktu
penelitian yang amat sangat terbatas, mengingat objek yang diteliti adalah serial TV yang
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
105 Universitas Indonesia
secara keseluruhan terdiri dari enam puluh enam episode. Pada prinsipnya, serial TV Glee
ini adalah drama musikal komedi yang mengangkat isu-isu sosial walaupun
homoseksualitas merupakan isu yang paling disorot, tetapi sehubungan dengan
keterbatasan waktu penelitian serta banyaknya jumlah episode, maka peneliti membatasi
penelitian hanya pada aspek isu sosial, yakni homoseksualitas. Peneliti melihat ada dua
aspek penting dalam film seri ini yang tidak dapat peneliti garap sepenuhnya. Dua aspek
penting tersebut adalah aspek musikalitas, dan aspek komedi, karena dua aspek ini dapat
dikatakan merupakan aspek yang juga menonjol dalam film dan memiliki keterkaitan
dengan isu sosial yang diangkat pada setiap episodenya. Oleh karena itu, dua aspek ini
membuka peluang bagi peneliti-peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lebih
lanjut atas serial TV ini.
.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
106 Universitas Indonesia
Referensi
Andri. (2009). Psikobiologi Orientasi seksual, Fokus Pada Homoseksual. Makalah
dipresentasikan pada Seminar Awam “Homoseksual, is it OK?”, Auditorium
Museum Bank Mandiri, Jakarta. Oktober 23, 2011. http://www.kabarindonesia.com
Aksana, Andrei. ( 2004). Lelaki Terindah. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama
Alami, Athiqah Nur. (2010). Mengapa Gender Menjadi Isu Penting dalam Hubungan
Internasional? Januari 9, 2013.
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/176-mengapa-gender-menjadi-
isu-penting-dalam-hubungan-internasional
Armandhanu, Denny. (2011, Juni 24). Obama Dukung Hak-hak Kaum Homoseksual tapi
Obama Memilih Diam Ketika ditanya Soal Perkawinan Sesama Jenis. Vivanews,
Juli 20, 2011. http://dunia.news.viva.co.id/news/read/228989-obama-dukung-hak-
hak-kaum-homoseksual
Ariyanto. (2005). Membongkar Kebenaran Rezim Kuasa Kasus Homoseksual di Indonesia
(Tesis S2). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI.
Astuti, Fuji & R.M. Soedarsono. (2006). Perempuan dalam Seni Pertunjukan
Minangkabau: Suatu Tinjauan Gender. Akademika, Jurnal Kebudayaan, hal.2
Bocock, Robert. (1997). “Choice and Regulation: Sexual Moralities”. Kenneth Thompson
(ed.). Media and Cultural Regulation. London: Sage Publications
Barker, Chris. (2000). Cultural studies Theory and Practice. London: Sage publications
Biegel, Stuart. (2010). The Right to Be Out : Sexual Orientation and Gender Identity in
America‟s Public Schools. Desember 11, 2011. http://www.h-
net.org/reviews/showrev.php/id=32448
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
107 Universitas Indonesia
Childers & Hentzi. (1995). The Columbia Dictionary of Modern Literary and Cultural
Criticism. New York: Columbia University Press dalam Ruth Sih Kinanti. (2001).
Representasi Homoseksualitas dalam Angels in America (Tesis S2). Program
Pascasarjana, Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra, UI.
Connell, Raewyn. (n.d.). Masculinities. Januari 9, 2013.
http://www.raewynconnell.net/p/masculinities_20.html
Danesi, Marcel dan Paul Perron. (1999). Analyzing Cultures an Introduction and
Handbook. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press
Fact Sheet : Sexual Orientation and Identity. (n.d.). November 24, 2011.
http://www.siecus.org/pubs/fact/fact0006.html
Foucault, Michel. (2008). La Volonte de Savoir Histoire de la Sexualite. (Rahayu S.
Hidayat, penerjemah) Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Foucault, Michel. (1980). Herculine Barbin: Being the Recently Discovered Memoirs of a
Nineteenth – Century French Hermaphrodite. Sussex: Harvester Press. dalam
Wisnu Adihartono Reksodirjo. (2006). Wacana Homoseksualitas dalam Perspektif
Kontemporer: Suatu Kajian Filsafat dan Hubungan Internasional terhadap
Homoseksualitas di Belanda (Tesis S2). Program Studi Kajian Wilayah Eropa,
Hubungan Internasional Eropa. UI.
Good and Gay?: A Moral Context for Homosexuality. (March 21, 2007). Oktober 23,
2011. http://www.republicoft.com/2007/03/21/good-and-gay-a-moral-context-for-
homosexuality/
Guralnik, David B. (ed.). 1973. Webster‟s New World Dictionary of the American
Language. New York and Cleveland : The World Publishing Company
Halim, Magdalena Surjaningsih. (2005). Proses Pembentukan Identitas dan Konsep Diri
pada Kaum Gay (Homoseksual). Oktober 2, 2012. http://lib.atmajaya.ac.id
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
108 Universitas Indonesia
Hall, Stuart (ed.). (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying
Practices. London: Sage Publications
Hamad, Ibnu. (2008). “Wacana dan Media : Pergulatan antara Representasi dan
Konstruksi”. Dwi Puspitorini et al (ed.). Kajian Wacana dalam Konteks
Multikultural dan Multidisiplin. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI
Hasan, Sandi Suwardi. (2011). Pengantar Cultural Studies: Sejarah,Pendekatan
Konseptual, & Isu menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut. Depok: Ar-ruzz
Media
Hoed, Benny H. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu
Homosexuality and Gay Liberation: Alternate Lifestyle or Immorality?. (n.d.). November
24, 2011. http://gospelway.com/morality/homosexuality.php
Homosexual in public schools. (n.d.). Desember 11, 2011.
www.16.org/profamily/school_liability_report.pdf
Julian, Dann. (2011). Gaya Gay. Jakarta: P.T. Pustaka Sinar Harapan
Jhonson, Allan G. (1995). The Blackwell Dictionary of Sociology: a user‟s guide to
sociological language 2nd ed. Blackwell Publishers Ltd. dalam Risna W. Rizal.
(2006). Homoseksualitas dalam Konstruksi Sosial Masyarakat Jepang: Suatu
Kajian Perkembangan Wacana Sosial dari Jaman Edo ke Meiji hingga Dewasa ini
(skripsi S1). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI.
Keputusan Komisi Penyiaran Indonesia, No. 009/sk/KPI/2004 tentang Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia. (n.d.).
Februari, 2012. http://diskominfo.kaltimprov.go.id
Kinanti, Ruth Sih. (2001). Representasi Homoseksualitas dalam Angels in America
(Tesis S2). Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. UI.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
109 Universitas Indonesia
Mitchell, Jerry. (2010). Discussion: Should Gay Rights be a Moral Issue or a Legal One?
Oktober 23, 2011. http://blogs.clarionledger.com/jmitchell/2010/06/04/discussion-
should-gay-rights-be-a-moral-issue-or-a-legal-one/
Newburn, Tim. (1997). “Permissiveness: accounts, discourses and explanations”. Kenneth
Thompson (ed.). Media and Cultural Regulation. London: Sage Publications
Nugroho, Irawan. (12 Mei, 2012). Perkawinan Sejenis Jadi Isu Poltik Obama. Seputar
Indonesia, hal.11.
Nugroho, Irawan. (14 Mei, 2012). Romney Terbantu Isu Pernikahan Gay. Seputar
Indonesia, hal. 10.
Reksodirdjo, Wisnu Adihartono. (2006). Wacana Homoseksualitas dalam Perspektif
Kontemporer: Suatu Kajian Filsafat dan Hubungan Internasional terhadap
Homoseksualitas di Belanda (Tesis S2). Program Studi Kajian Wilayah Eropa,
Hubungan Internasional Eropa. UI.
Rizal, Risna W. (2006). Homoseksualitas dalam Konstruksi Sosial Masyarakat Jepang:
Suatu Kajian Perkembangan Wacana Sosial dari Jaman Edo hingga Dewasa ini
(Skripsi S1). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI.
Rocky Horor Picture, The. (n.d.). November 30, 2012.
http://www.imdb.com/title/tt0073629/plotsummary
Rose, Gillian. (2001). Visual Methodologies. London: Sage Publications
Sandfort, Theo, et al. (ed.). (2000). Lesbian and Gay Studies An Introductory,
Interdisciplinary Approach. London : Sage Publications.
Segal, Lynne. (1999). “Sexualities”. Kathryn Woodward (ed.) Identity and Difference.
London: Sage Publications
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013
110 Universitas Indonesia
Semigran, Aly. (2010). Did Ricky Martin‟s Boyfriend Urge Him to Come Out? December
11, 2012. http://www.ivillage.com/ricky-martin-boyfriend/1-a-129941
Takwin, Bagus.(2003). Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato
hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra
Weeks, Jeffrey. (2000). “The Challenge of Lesbian and Gay Studies”. Theo Sandfort et al
(ed.). Lesbian and Gay Studies An Introductory, Interdisciplinary Approach.
London: Sage Publications
Woodward, Kathryn (ed.). (1997). Identity and Difference. London: Sage Publications
Yusuf, Nova Riyanti. (7 Mei 2012). “Paranoia Gaga”. Seputar Indonesia, hal. 8.
Yuwana, Setia. (1994). Homoseksualitas di Kalangan Warok, Warokan, Sinoman dengan
Gemblak di Desa Somoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo.(Tesis S2).
Program Studi Antropologi, FIB, UI.
Presentasi homoseksual..., Ni Made Widisanti Swetasurya, FIB UI, 2013