Post on 02-Mar-2019
. . . . . ..
· .
0
• • • , '
0
t ::: _ ' '
•
. . . . . '. .. .......".<· : :· : .'.'> . . : . . . .". : .... . . . . . : . . . ··:·.>::...,:..._ .::.;..\··:···. " 'Editor · Pro[··or. Komaruddin Hidayat . ..... . ·.. . . . " .. ..·.-: .:. ..' ' . . . . . . ..: . . . ..
' ' ' o • t . .. . 1
. .
o . \ • : ' I o I ' •
0 0
D
Menghidupi Filantropi Islam
AMELIA FAUZIA
engan setengah berlari kecil saya berjalan menuju gedung rektorat
IAIN, memenuhi panggilan rektor yang pada waktu itu (tahun
2001) dijabat oleh Azyumardi Azra, untuk ikut menyambut seorang
tamu. Tapi rupanya, pesan itu terlambat sampai ke kantor Pusat Bahasa
dan Budaya (PBB), tempat di mana saya beraktivitas. Ketika sampai di
rektorat saya diberitahu kalau tamu sudah pulang dan pertemuan sudah
bubar. Saya hanya diberi dua lembar kertas dengan tulisan yang berjudul
Isla mic Philanthropy for S ocialjustice , yaitu sebuah abstrak untuk callfor
propos al penelitian tentang praktik filantropi di masyarakat Muslim .
Agak mengerenyit saya baca tulisan singkat itu sambil kembali ke
kantor, dan langsung mencari kamus dan melihat arti kata philanthropy
itu. Istilah filantropi berasal dari bahasa Yunani, dari kata philos (berarti
cinta) dan, antropos (berarti manusia ), yaitu aktivitas yang didasari atas
kecintaan kepada manusia. Padanan kata philanthropy adalah charity.
Setelah membaca bolak balik call for research proposal itu sampai
beberapa kali dan search di dunia maya yang kala itu masih langka, saya
simpulkan padanan kata filantropi dalam bahasa Indonesia kira-kira
adalah kedermawanan (sosial).
Rupanya studi filantropi sudah berkembang pesat di belahan Barat,
khususnya di Am.erika Serikat. Filantropi didefinisikan sebagai segala
406
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
aktivitas privat (non-pemeri ntah) dalam hal memberi dan melayani se
cara sukarela yang ditujukan untuk kebajikan bersama. Dan, filantropi
Islam berarti aktivitas filantropi yang didasari oleh nilai dan ajaran Is
lam , dan/atau dilakukan oleh Muslim. Ketika mendalarni lagi bentuk
dan akti vitas yang dianggap sebagai praktik filantropi Islam, muncullah
zakat, wakaf, dan sedekah yang prinsipnya memang kegiatan berderma.
Ternyata, begiru banyak kegiatan filantropi atau kedermawanan yang
muncul dari tradisi Islam, dan biasanya dikategorikan sebagai sedekah
atau kebajikan. Bahkan dalam Hadis, sedekah iru banyak sekali ragam
dan contohnya termasuk menyingkirkan paku dari jalan, dan tersenyum
juga adalah sedekah. Praktik kedermawanan bi!ia juga dalam bentuk pe
layanan (5ervice) atau biasa disebut aktivitas kerelawanan ( volunteer ing),
di mana pelakunya disebut relawan. Kederrnawana n iru tidak hanya
menyangkut memberikan sesuaru yang keliha tan (materiel) tapi juga
immaterial, seperti memberikan tenaga, wakru, pelayanan, memberikan
pikiran, ilmu, doa, dan semua yang mengindikasikan pemberian .1
Ketika digali lebih dalam, dok'.1:rin tentang filantropi iru mengakar
kuat dalam Islam, bahkan terlembagakan dalam zakat, wak.af, dan lem
baga kedermawanan lain. Doktrin ini bisa dilihat dari Al-Qyr'an yang
menyebutkan bahwa keclermawan an iru adalah tancla dari keimanan.2
Begitu juga jelas disebutkan dalam beberapa Hadis, bahwa "sedekah
adalah bukti keimanan" ( al-shadaqat burhan) 3 termasuk Hadis yang cu
kup terkenal bahwa tidaklah beriman seseorang Muslim yang ticlur de
ngan perut kenyang, seclangkan tetangganya kelaparan. Tenyata, wila
yah studi filantropi Islam itu begitu kaya, namun tidak terlihat menarik
ketika dilabeli sebagai studi tentang zakat, seclekah, clan wak.a£
Bagi peneliti sosial dan kajian Isla mic studies di akhir tahun 90-an
di Indonesia, subjek kajian tentang zakat, sedekah, clan wakaf, bukan
lah isu yang seksi . Topik zakat clan wakaf sangat lekat clengan kajian
hukum, ujung-ujungnya fikih, di mana kajiannya cenclerung konserva-
1 Dalain \V.F. llchman, S.N . Katz, and E.L Q!ieen, Eds., Philanthropy in the World's
Traditions, (Bloomington: Indiana University Press , 1998) bisa dilihat beragam tradi si yang
dimakn ai sebagai g iving atau filantropi. 2 Misalnya, Qli.al-Baqarah, l77 dan al-Ma'un, 1-7. 3 Shahih M uslim, Hadis No. 432, 2253, 2254 , dan 2255.
407
BAGIAN KETIGA
tif, "hitam-putih", boleh-tidak, clan halal-haram. Merupakan kesalah
pahaman jika melihat zakat hanya menjadi subjek dalam bidang studi
syariah saja, dan karenanya tidak bisa terkoneksi dengan studi filamropi
yang sudah berkembang di luar Indonesia. Wajar jika teman··teman do
sen dari pusat-pusat studi yang ada di kampus tidak ada yang tertarik
untuk mengajukan proposal penelitian tentang filantropi ini. Tapi saya,
sebagai .peneliti sejarah sosi melihat isu ini dengan berbeda. Studi fi.
lantropi Islam itu bukan kajian normatif, tapi lebih pada kajian historis
dan sosiologis.
Semakin saya dalami, semakin isu filantropi ini mena rik, karena
yang sebenarnya diteliti adalah fenomena praktik sosial keagamaan ma
syarakat, bukan kajian hukum. Misalnya, faktor apa yang melatarbela
kangi masyarakat berwakaf? Mengapa mayoritas wakaf adalah masjid
dan berbeda di Timur Tengah clan Abad Pertengahan di mana bentuk
wakaf begitu progresif, misalnya banyak yang dalam bentuk hotel, pasar,
rumah sakit, perkebunan? Berapa banyak l\1uslim yang menun aikan za
kat, clan ke mana mereka menyalurka nnya, dan apa motif sosial mereka?
ltulah cuplikau awal bagaimana saya mengenal tema filantropi di tahun
2001, yang kemudian menjadi penelitian yang saya pimpin di enam ne
gara dibiayai oleh the Ford Foundation, clan kemudian menjadi pilihan
topik studi Ph.D. saya di Universitas Melbourne kemudian.
Mudah bagi saya masuk pada wilayah kajiau filantropi, bukan saja
karena basis saya adalah sejarah sosial, tapi juga karena saya pernah
nyantri dan hidup dalam lingkungan Muhammadiyah yang rajin ber
amal sosial. Tradisi filantropi berakar kuat dalam pesantren, <la.lam du
nia santri, juga dalam organisasi sosial Muhammadiyah. Tidak hanya
itu, tradisi filantropi, berde rma, berbuat kebajikan itu juga kuat di dunia
akadem_;k. lntelektualitas itu dibangun dari banyak akar tradisi, salah
satunya ·adalah tradisi filantropi. Tanpa saya sadari, langkah saya belajar
di pesantren, menjadi pondasi penting bagi keilmuan saya ke depan clan
bagi studi tentang filantropi.
Bukan , lni Pesantren Modern!
Lulus dari SDN Situgintung sebagai juara kclas, banyak yang me
nyayangkan sa:ya kenapa masuk pesantren, yang kesannya terbelakang,
408
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
ilmunya ketinggalan zaman, santrinya pada kudisan, dan tempatnya di
pedesaan, jauh dari Jakarta. Ayah tak pemah memaksa saya. Kakak
kakak saya j uga pada sekolah di SMP dan SMA. Yang saya ingat, saya
duduk di depan kaca dan ngomong sendiri, saya mau pilih SMP atau
pesantren . Saya mantap memutuskan ketika itu dengan pertimbanga n
sederhana: kalau di SMP saya hanya akan dapat ilmu "dunia", tapi kalau
di pesantren saya dapat dua ilmu, "ilmu dunia" dan "ilmu akhirat".
"llmu dunia" dan "ilmu akhirat" ini secara tidak langsung saya da
pati dari dua dunia pendidikan yang beda. Pagi saya pakai baju seragam
putih clan rok merah selutut, clan siang pakai baju seragam putih, rok
hijau selut:ut dan kerudung putih . Pagi saya bersekolah di SD negeri,
di bagian utara lapangan Situgintung, Kelurahan Rempoa, dan siang
hari di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, di bagian timur lapang
an yang sama. Dua dunia dan ilmunya ini bisa saya pelajari tanpa ada
clash. Dan di depan kaca itu saya membayangkan di pesantren akan ada
ustadz dan ustadzah yang baik seperti yang mengajar saya di madrasah
Ibtidaiyah selama ini. Walau madrasah muridnya hanya puluhan, hidup
dari sumbangan donatur dari para pegiat Muhammadiyah- termasuk.
orang tua saya-, gurunya mendapat bayaran yang seadanya, tapi empat
orang guru madrasah itu memiliki semangat voluntarisme yang tinggi.
Ikhlas rnengajar, sabar rnenghadapi anak-anak unik yang kebanyakan
dari kelas buruh, yang sebagian tidak sanggup mem bayar uang bayar
an bulanan Rp 500 itu. Ibu Suhartini, yang pu'nya toko Aida di depan
kampus IAIN Ciputat, selalu membawa permen untuk dibagikan di
sekolah. Ustadz Syarifuddin juga tetap ceria dan semangat memimpin
upacara bendera dengan menggelegar walau murid yang berbaris hanya
terdiri dari dua puluh sampai tiga puluh peserta .
Saya mengkhayal pesantren akan sama menyenangkannya dengan
madrasah lbtidaiyah. Di MI, setiap upacara Senin, saya selalu menda -
pat tugas. Kadang, menjadi komandan upacara, menjadi pembawa aca
ra, menjadi pembaca naskah Pancasila, atau ·pengibar bendera. Tentu
keaktifan peran saya ini karena saya dianggap jauh memiliki keter am
pilan dan wawasan yang didapat dari bersekolah di SD, dibanding te
man-teman saya yang hanya belajar di madrasah. Ustadz Munji, kepala
sekolal1,juga sangat sabar dan bijak. Di kelas tiga saya pernah protes ke
409
BAGIAN KETIGA
beliau-di ruang kepala sekolah yang kecil, gelap dan lembab itu-bah
wa madrasah jangan kalah sama SD clan karenanya pelajaran olahraga
jangan hanya senam, tapi sekali-kali juga berenang. Usul saya itu dite··
rima! Dan Ustadz Munji yang mengantar kami murid madrasah bere
nang di Kolam Renang Tirta Maya di Sawangan, kolam renang umum
yang cukup ramai, campur antara laki-laki clan perempuan, clan belum
ada pakaian renang yang tertutup full body di zaman itu. Ustadz hanya
perintah-perintah saja di tepi kolam menyuruh kami berenang. Ia tidak
terlihat jengah, mungkin karena badan kami kecil-kecil clan kami di
anggap seperti anak sendiri olehnya. Waiau setelah itu tidak pernah ada
lagi pelajaran berenang dari madrasah, program berenang yang satu
satunya itu membuat saya bangga sekali menjadi murid ibtidaiyah . Ar
tinya, madrasah Ibtidaiyah saya lebih keren dibanding SD negeri ya ng
olahraganya harrya senam dan lari keliling lapangan. Dan, kesimpulan
saya, sekolah agama termasuk pesantren itu tidak kalah majunya dengan
sekolah negeri. Kesimpulan yang sebenarnya ingin membesarkan hati,
karena dalam setiap lomba-lomba di tingkat kecamatan clan provinsi
saya tahu madrasah jarang ikut clan tidak kompetitif.
Bekal juara di SD clan Ml, membuat saya mudah masuk pesantren.
Pilihannya adalah Pondok Pesantre n Darunnajah terletak di Ulujami
Jakarta Selatan, karena relatif masih di Jakarta, dan ini adalah pesantre.n
modern yang ada sekolah madrasah tsanawiyahnya. Dan, itu menjadi
jaw aban saya kepada yang mencibir clan menyayangkan pilihan sekolah
saya. Yang saya tidak tahu, ayah saya mpanya adalah salah satu anggota
yayasan clan merupakan kawan akrab Ustadz Mahrus, pemimpin pon
dok. Di pesantren, saya tidak diperlakukan istimewa, bahkan tidak ada
yang talm-termasuk saya sendiri-kalau ayah juga terlibat di yayasan
clan cukup membantu pondok di masa masa awal-walau kemudian
hari karena kekritisannya, di tahun 2000-an, nama ayah dihilangkan
dari pengurus yayasan.
Pesantren: Tradisi Filantropi yang Mengakar Kuat
Hari petama di pesantren penuh kesibukan membeli barang
barang di kopera si termasuk kasur busa yang terlihat bagus tapi kalau
ditiduri melempes clan panas, ember, gilesan untuk mencuci pakaian,
410
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
peralatan makan, dan lainnya. Seminggu pertama saya sulit tidur dan
ketakutan karena cerita-cerita seram yang beredar dan hampir setiap
hari menyaksikan santri kesurupan atau kesetanan dan pingsan, dan me
nangis minta ditengok atau ingin pindah sekolah. Tadinya, di pesan
tren saya kira tidak ada setan lagi, karena penuh dengan orang mengaji,
banyak kiai, ustadz, dan doa-doa. Tapi ternyata tidak. Justru lebih ba
nyak cerita seram dibandingkan waktu saya tinggal di rumah terpencil
di tengah kebun kosong, yang hanya berjarak 50 meter dengan kubur
an Poncol yang dianggap angker itu. Cerita ayah untuk menenangkan
enam anak-anaknya (yang masih usia SD dan SMP) ketika kami pin
dah ke Cirendeu dari Kompleks IAIN Ciputat masih sangat lekat di
ingatan. Awalnya kami selalu ketakutan dan jika tidur selalu mimpi
hantu, setan, dan sejenisnya. Suatu sore, ayah panggil kami semua untuk
ngobrol di beranda rumah. Masing-masing ditanya, pernahkah kami
melihat langsung pocong, setan atau tengkorak? Semua menggeleng
kan kcpala. Berceritalah ayah bahwa dunia makhluk-makhluk seperti
itu memang ada, kita percaya, tapi kita hidup di dunia manusia. Merck.a
tidak akan mengganggu jika kita tidak mengganggu. Ending-nya ayah
bilang, kalau ketemu tengkorak, jangan takut, suruh saja sekalian ker
ja membantu kita mencangkul kebun kita yang luas4 yang tak terurus
ini. Kan lumayan kita tidak perlu menggajinya ... Kalimat-kalimat itu
begitu temgiang clan berusaha menjadi pelawan rasa takut di awal ke
hidupan di pondok.Alhamdulillah berhasil. Saya betah, malas pulang ke
rumah, d an hanya ditengok sebulan sek.ali-lebih sering oleh sepupu
untuk mengantarkan uang bayaran sekolah.
Pesantren Darunnajah menyebut dirinya sebagai pesantren mo
dern, dengan gedung tembok yang dianggap modern, sistem sekolah
formal, organisasi santri, dan segudang aktivitas ekstrakurikuler untuk
santri. Tentu saja, aktivitas kepondokan tetap ada, di antaranya shalat
jemaah lima waktu, mengaji kitab kuning, muhadarah (belajar pidato),
shalawatan dan yasinan malam Jumat. Suasana pertemanan segera tum-
4 Rumah tcrletak di tengah kebun seluas sckitar 2.500m2·di mana pembeliannya dilakukan
sedikit-sedikit dari penduduk lokal yang merupakan suku Betawi. Kebun dipenuhi pohon
jambu klutuk, jambu air, dan b(.rbagai pohon besar, membuat suasana rumah segi::r, asri,
tapi juga gelap dan menakutkan di malam hari.
411
BAGIAN KETIGA
huh, selai.n juga kekeluargaan , persaudaraan sesama santri yang men-·
jad ikan pondok sebagai rumah kedua.5 Cerita pendirian Darunnajah
tak jauh beda dengan pondok-pondok lain, yang bermula ada kiai yang
memiliki ilmu agama dan mengajarkannya, memiliki idealisme untuk
berdakwah, lalu menyedekahkan atau mewakafkan tanah, murid-rnurid
berdatangan untuk belajar, clan masyarakat membantu. untuk mendiri
kan bangunan pondok.6 Dari proses pendirian saja, bisa dill.hat bahwa
pesantren sarat dengan nilai-nilai kerelawanan, kebajikan, ikhlas meng··
ajarkan ilmu, aktivitas wakaf dan sedekah, yaitu aktivitas filantropi. Di
kebanyakan pesantren tradisional, kiai/nyai clan santri adalah donatur
sekaligus juga pengelola clan penerima sumbangan.7 Jika pesantren di
pedesaan kental dengan suasana bersah aja, di mana kiai mengajar tanpa
digaji, bahkan memberikan akomodasi seadanya yang gratis buat santri,
santri membalasnya dengan sei.khlasnya menyumbangkan waktu dan
tenaga untuk pondok, clan sesekali membawa buah tangan untuk kiai,
pesantren modern di kota besar seperti Darunnajah , memiliki sistem
layaknya sekolah biasa. Ada pendaftaran, test masuk, clan bayaran bu
lanan sekolah, bahkan ada uang pembangunan yang lazim diminta di
sekolah-sekolah swasta . Hanya saja, tradisi kesederhan aan, keikhiasan,
kerelawanan, reciprocity (sating membalas pembcrian), tetap mengakar
kuat. Walaupun digaji, guru-guru ini digaji sekadarnya, bahkan kami
santri sering merasa terenyuh mendengar cerita-cerita selentingan be
rapa mereka digaji.
Dalam tradisi pesantren modern, wakaf clan sedekah menjadi pola
fondrais ing utama bagi pesantren, di mana pesantren juga mengambil
bentuk organisasi non-profit modern, yaitu bentuk yayasan atau yaya-
5 Lagu hymne Darunnajah-yang sama dengan hymne semua pesantren yang berk.ibla t
kc Pondok Gontor-menyebutk an peran dan rasa santri terhadap pond ok layaknya ihu.
"Studi tentang pesantren yang paling tua.yaitu F.Fokkcns, "De Priesterscilool" and Anon ,
"Priesters en Pricsterscholen,"TNI, vol. 17 (1855), p. 10-17, scdikit mcngulas kehidupan
kescderhanaan clan voluntarismenya .Rujukan ten tang pesanrren yang cukup terkenal adalab
Zarnakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang PandanganHidup Kiai, (Jakarta: Lern baga Penclitian ,Pcndidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1982) dan Perhimp:.inan
Pengembangan Pmmtren dan masyarakat (P3M ),Dirtktori Pesantrenl(Jakarta ; P3M, 1986),
sclintaJ saja memperlihatkan kcsukarelawan an dan unsur kedermawanan di pesantren . 7 Lihat satu sub bagian berjudul Pesantren and PhJanthropy dalam Amelia Fau:z ia, Faith
and the State, A History of Islamic Philan thropy in Ind onesia, Leiden & Boston , Brill, 2013.
412
MENGHIDUPI Fll.ANTROPI ISLAM
san wakaf, untuk lebih menguatkan bahwa pesantrcn bukanlah milik
pribadi kiai, tapi milik umat.8 Bagi pesantren modern seperti ini, buda
ya reciprocity ini scmakin mcnurun, terlebih pesantren yang dianggap
masuk sebagai lembaga pendidikan kelas menengah, seperti pesantren
Darunnajah, di mana saya belajar clan mondok selama enam tahun
(1984-1990).
Darunnajah ketika itu dianggap sebagai salah satu pesantren pionir
di Jakarta. Pionir karena sistem pesantren yang berbasis di pedesaan,
bisa survi'!le dalam kehidupan perkotaan modern, apalagi mejadi salah
satu sekolah Islam favorit di Jakarta di tahun '80 clan '90-an.. Sema
ngat clan tradisi filantropinya tetap kuat di pesantren, yaitu menekan
kan kesederhanaan, kemandirian, dan keikhlasan. Walau tidak gratis,
Pesantr.::n Darunnajah tetap saja mengetengahkan kesederhanaan, dan
senantiasa menekankan bahwa biaya yang di.tarik pesantren ini cukup
murah dibandingkan dengan biaya hidup di Jakarta,9 dan ada subsi
di silang bagi anak yatim yang menempuh pendidikan secara gratis.
Buat santri yang berasal dari kelas menengah atas, tinggal di pesantren
Darunnajah atau pesantren sejenis di Jakarta, tentu penderitaan juga.
Tinggal berhimpitan di kamar dengan minimal 20 santri, cukup satu
kasur dan satu lemari untuk menyimpan pakaian seadanya; makan ha
ms antri cukup lama, menu makanan paling umum adalah tempe dan
sayur kol, makan pagi biasanya hanya sayur kol dan kerupuk merah; to
ilet dan kamar mandi selalu antri, kondisinya seadanya, kurang terawat,
dan sering kehabisan air, kalau mau mandi nyaman hams bangun jam
setengah empat pagi tapi berjuang melawan ketakutan dengan suasana
kamar mandi yang gelap, scram, tedetak di pojokan tanah pondok; tiap
hari ada tugas membersihkan kamar, dan lingkungan asrama, member
sihkan kamar mandi seminggu sckali; pake baju diirit karena nyucinya
juga harus antri, rebutan jemuran dan antri seterikaan; mau ngomong
susah karena harus pake bahasa Arab atau lnggris, clan hidup penuh
8 Tradisi ini dimulai oleh Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, png menjadi panutan
dalam sistem pendidikan pesantren modern.Fauzia, Faith and the State, 122.
• Bayaran bulanan pondok memang lebih murah jika dihitung biaya SPP sekolah, uang
rnakan, transpo t, dan akomodasi diJakarta.Bayaran yang saya ingat di masa akhir di pondok
(tahun 1989) itu sebesar Rp. 27.500 per bulan untuk asrama dan sekolah.
413
BAGIAN KETIGA
disiplin dari hangun tidur sampai tidur lagi. ltu makna keseharian dari
kesederhanaan, kemandirian, clan keikhlasan. Karenanya, di awal tahun
ajaran ham, hanyak santri ham yang tidak hetah clan suka kesurupan,
stres menghadapi hidup seperti itu.
Di Darunnajah, tradisi filantropi dibangun melalui cerita tentang
wakaf clan sumhangan, clan Hadis-Hadis tentang keistimewaan bcrder
ma. Biasanya cerita itu diulang setiap ada tamu (minimal satu hulan
satu tamu penting yang semua santri diminta untuk ikut menghormati),
setiap tahun ketika acara orientasi santri ham, dan setiap ketika ada
orang tua wali murid datang. Belum lagi doa-doa yang cukup panjang
clan diamini oleh seluruh santri sebagai ucapan terima kasih ditujukan
kepada para donatur itu. Karenanya para santri sangat akrab clan hafal
dengan istUah wakaf dan sumhangan. Misalnya, sejarah Darunnajah,
dimulai dengan 5 hektar kurang tanah wakaf yang diberikan oleh Us
tadz Manaf (mertua Ustadz Mahrus Amin). Masjid dan semua asrama
dihangun dengan pembiayaan dari sumbangan. Bangunan masjid dan
gedung sekolah pertama itu malah dibangun masih denga n cara gotong
royong santri yang seadanya. Sumbangan yang cukup besar terdengar
adalah dari Rahithah Alam al-lslamiyah, di mana hangunannya disehut
Gedung Rahithah.Justm di pesantren modern tradisi zakat tidak bt:gitu
mengena di hati, karena akhir Ramadhan dan Idul fitri adalah wak
tu liburan di mana pesantren kosong. Paling Ustadz Mahrus sekadar.
mengingatkan santri supaya nanti membayar zakat, tapi pembayaran
zakat dilakukan di mmah masing-masing, sesuai dengan tradisi keluar
ga. Jadi kalau pesantren tradisional lekat dengan pembayaran zakat dan
fitrah yang diberikan ke kiai, pake "salam tempel'', di Damnnajah tradisi
itu tidak ada. Zakat dan sedekah inilah yang membiayai hidup pesan
tren traisional. Dan, jangan dianggap remeh sumbangan serta zakat
ini. Dalam penelitian untuk disertasi saya, saya herkunjung beberapa
kali ke Pondok Berjan atau nama resminya Pesantren An-Nawawi di
Purworejo. Dal.am sebuah perhelatan haul pemimpin tarekat, yaitu kiai
Nawawi, sekitar 10.000 orang hadir, kebanyakan dari anggota tarikat
Naqsabandiyah. Mereka ini masing-masing memheri sedekah clan za
kat (haik yang diherikan dalam kotak amal), maupun herupa salam tern-
414
--
MENGHIDUPI FILANTROPI !SLAM
pel kepada kiai.10 Saking banyaknya amplop, kiai butuh asisten untuk
menghitungnya selama satu dua hari. Dan, santri memiliki panitia sen
diri yang mengedarkan kotak amal clan melaporkan hasil pendapatan
fundraising di akhir perhelatan. Pola zakat dan sedekah seperti ini tidak
dimiliki oleh pesantren modern seperti Darunnajah, dengan pondok
yang dipagar terpisah dari masyarakat clan ma mk harus lapor petugas
keamanan. Dengan keterlibatan masyarakat yang scdemikian rupa, dan
kuatnya tarekat, wajar saja jika pondok Berjan menolak bantuan dari
Timur Tengah yang menurut mereka berorientasi Wahabi. Hal ini ber
beda dengan Darunnajah yang sangat terbuka dengan segala bantuan
dari Ti!D.ur Tengah, pernah ada dari Raja Fahd juga, termasuk bantuan
berupa beasiswa untuk belajar di beberapa u niversitas, seperti Al-Azhar
Cairo.
Beasiswa merupak.an kata yang juga cukup akrab di telinga para
santri Darunnajah clan didapat salah satunya dari tamu yang clatang ke
ponclok. Dari tahun 1984 sampai 1990, tamu asing datang hampir sela
lu dari Timur Tengah, clenga.n jubah clan sorban panjang, clan memberi
kan pic.lato dalam bahasa Arab di masjid. Ada sebuah piclato entah dari
siapa yang begitu berkesan-mungkin karena bahasa Arabnya mudah
saya cerna-sehingga saya punya cita-cita •.mtuk bisa sekolah ke Timur
Tengah. Apalagi penguasaan bahasa Arab saya cukup leading"di pondok
dan lebih bagus dari bahasa lnggris.
T.radisi filantropilah yang mendatangkan para tamu itu, dengan
berbagai alas'l.11 mereka untuk berderma. Tradisi ini membcntuk kos
mologi santri tentang adanya dunia lain, clunia ilmu pengetahuan yang
penuh harapan, jauh di sana, clan harus dicapai dengan belajar lebih giat
fagi. Konstruksi ini yang dibangun di pesantren, di bawah kepemim
pinan k!ai sebagai seorang "broker sosial" jika meminjam istilah yang
dipakai Geertz clan Horikoshi, 11 yang menjadi penghub ng bagi ko-
to U11Jo1ya, yang paling tahu perkiraan jumlah pengunjung adalah ibu pengasuh yang
bertanggung jawab di dapur.Dengan cara menghirung jumlah piring berisi hidangan nasi
dan lauk makan siang yang d.isediakan dan dihabisk.an oleh pengunjung. Itu pun jumlah
minimal, karena banyak pengunjung yang rid.tic bemasil masuk ke area utama haul sehingga
rocmbdi makan'.ln dari penjual yang bertebaran . Fauzia, Faith and the Stau, h. 124. 11 Cuiturclbrokerd:ili.rn konteks kiai Darunnajah, tidak jelas apakah seperti temu.an Hiroko
Horikoshi, Kiai dan Perubuhan Sosial,Jakarta, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
415
BAGIAN KETIGA
rnunitas kecilnya kepada dunia lain di luar sana. Dan, kiai ini rnelakukan
interpretasi clan memilihkan dunia apa yang baik dihubungkan dengan
dunia santri di bawahnya . Tradisi filantropi ini secara tidak langsung
telah berperan sebagai jembatan bagi -santri untuk melihat dunia-wa
lau dunia yang hanya satu warna saja yang dipilihkan oleh kiai. Dalam
teori Social Capital-nya Robert Putnam, inilah fungsi fi.lantropi seba
gai elemen bonding (mengikat) clan bridging (menghubungkan); para
donatur datang berawal dari adanya ikatan kesamaan agama (Islam),
yang akhirnya rnenghubungkan dunia Asia dengan tapi dari dunia Ti
mur Tengah) yang jauh berbeda budaya. Elemen bonding clan bridging
ini mendorong aktivitas filantropi di b<:rbagai konteks sosial.Walaupun
dalam teorinya Putnam bilang bahwa elemen bonding itu lebih bersifat
eksklusif karena lahir dari kesamaan tertentu, misalnya sentimen agama,
sentimen etnis, dan elemen bridging itu lebih bersifat lnklusif, misalnya
fandraising palang merah indonesia yang siapa pun dan apa pun agama
clan kebangsaannya bisa berderma, sepertinya pemisahan bonding clan
bridging ini sulit dilakukan karena relasi sosial sudah sangat terbuka.
Entah para santri memahami pidato-pidato atau tidak, tapi setidaknya
tradisi filantropi yang dibawa berupa pesan untuk berderma dan melan
jutkan sekolah ke luar negeri itu sudah tertanam baik dalam kepala saya
ketika kelas enam di Darunnajah.
Tradisi kedermawanan dalam keseharian yang dilakukar1 santri sc
cara tidak sadar cukup kuat mengakar, mungkin ka.rena santri hidup·
layaknya anak yatim (itu yang dirasakan sebagai santri dahulu, artinya
jauh dari orangtua), yang ada adalah sesama santri lain sehingga mem
bentuk solidaritas yang kuat untuk saling menolong. Santri senior ber
fungsi sebagai kakak (clan memang dipanggil kakak sebelum memang
gil nama), clan kiai berfungsi sebagai pengasuh, seperti orang tua angkat
yang mengasuh anak-anak yang tidak ada orang tuanya. Menolong itu
dipaharrµ sebagai suatu kegiatan yang dilakukan sebagai keharusan,jika
Masyarakat, 1987, atau seperti temuan Cliffort Geertz, "The Javanese Kiai: 'Ihe Changing
Role of a Cultural Broker", Comparative Studies in Society and History, (2): 250-256, 1959.
Barn pada tahun 2006-ke atas Pesantren Darunnajah agak terbuka dengan tamu-tam u asing
dari "Barat",termasuk perdana menteri lnggr is Tony Blair dan membuka diri pada program
pertukaran guru/pelaj;i.r dengan sebuah sekolah Katolik di London.
416
MENGHIDUPI Fil...ANTROP! ISLAM
memang mampu, dan dilakukan segera kapan pun itu. Kejadian-kejadi
an kecil di lingkungan pondok sepertinya mengonstruksi demikian. Mi
salnya, pemah ada scorang santri yang kesurupan clan mengamuk pada
jam 2 malam. Suasana malam saja sudah gelap dan seram, apalagi di
tambah dengan ada yang kesurupan. Situasi mencekam dan kegaduhan
terjadi di asrama, dan ending-nya biasanya adalah Ustadz l\!Iahrus yang
datang, membawa sabuk yang dianggap sakti oleh santri itu, menenang
kan santri kesurupan sehingga ia tidur lagi, dan semua kembali tenang.
Di kalangan santri pinjam meminjam uang sudah bias a,sharing ber
bagi makanan, sudah menjadi waktu yang ditunggu-tunggu-mungkin
lebih pas di kalangan santri perempuan yang sering dibawakan makan -
an oleh orangtua nya. Sepertinya ti.dak mungkin kalau tidak berbagi, wa
lau ada juga satu dua kasus yang di luar kebiasaan. Ada lagi tradisi me
minjam yang sepertinya tidak jelas apa itu minjam atau mencuri, gosob.
Ini hiasanya terjadi untuk kasus sendal jepit, benda yang cukup krusial
untuk digunakan ke kamar mandi clan ke masjid. Awalnya mungkin
meminjam sebentar, tapi jadi keterusan. Apalagi santri yang kehilangan
sandal akan mengambil sandal lain. Gosob sendal jepit ini cukup parah,
sampai ada kebiasaan unt:uk menuliskan nama di sendal jepit agar tidak
tertukar dan/atau tidak dipakai orang-walau tetap hilang juga .... Dan
ada kebiasaan meletakkan sendal jepit di tempat-tempat yang tersem
bunyi di sekitar pintu masjid pula. Santti berpikir, "'ulima ridho-hu"12
maksudnya sudah tahu bahwa yang punya pasti akan meridhai walau
pun k.ita pakai tanpa permisi, singkatnya pasti dibolehkan. Tentu saja,
jika. ketahuan atau sendal kita hilang, tetap ada perasaan jengkel, apalagi
kalau harus nyeker dari masjid ke asrama dengan jalan yang becek. Ber
lama-lama mengaji di masjid pun menjadi tidak khuryuk karena kha
watir sendal hilang ....
Selain tradisi memakai sendal orang seenakriya, lebih banyak tradisi
kebaikan di pesantren yang membahagiakan tentunya. Salah satunya
"ngerjain'' ketika ada yang ulang tahun. Walaupun sering santri itu dibu
at nangis terlebih dahulu, di ujung kita semua bilang ini sandiwara saja
clan ramai-ramai. menyanyikan lagu Seiamat Ulang Tahun (dalam baha-
12 lni istilah yang digunakan di pesantren di Jawa Tengah.
417
BAGIAN KETJGA
sa Indonesia atau nggris), plus memberi kado sekadarnya. Ulang tahun
menjadi momen pemberian itu biasa di berbagai kultur (dan mungkin
tidak disebut filantropi dalam definisi yang strik). Di Darunnaja.h ada
dua ulang ta.hun di mana saya sangat terkesan. Pertama, ulang ta.hun
ketika kelas empat (kelas satu Aliyah), di mana saya mendapat surpri
se kiriman hadia.h dari ayah. Yang membuat terkesan adala.h ada kartu
nama ayah terselip, dan di situ ada kata-kata ini., "Liez, ca.h ayu .... Kamu
adalah anak yang diharapkan meneruskan cita-cita orang tua. Gantung
kanlah cita-citamu setinggi langit.... Papa.h berdoa semoga cita-cita
mu tercapai. Ttd., Ridlo Masduki" . Terkesan sekali dengan kartu kecil
itu, sampai saya simpan bertahun-tahun ba.hkan selepas di pondok, clan
menjadi pengingat bahwa saya belajar di pesantren harus sungguh
sungguh karena menjadi harapan orang tua. Dan, ada beberapa sahabat
yang pa.ham dengan kartu kecil itu dan selalu memanggil saya dengan
nama Mbak Liez. Nama yang diberi oleh mba.h, yaitu Lieza. Narna itu
juga lama-lama digunakan karena ayah kalau ke pondok selalu mencari
saya melalui pengumuman dengan nama itu "al-i'lan, li-tahdur ukhtz.
na Liza min Ciputat ila baiti al-Mudhir, al-an" (pengumuman, Saudari
Lieza ditunggu di rumah direktur sekarang). Saya tidak ingat pembe
rian kadonya apa, mungkin kue ulang tahun. Tapi justru kartu kecil itu
yang saya ingat. Ulang ta.hun kedua yang teringat, saya pulang dari se
kolah dan melihat kasur saya di tingkat dua ( bunk-bed'} super berantak
an ... pada.hal seingat saya pagi sebelum berangkat saya rapihkan karena
ini adala.h hari spesial.Dengan kesal clan sedih saya naik ke atas tempat
tidur clan merapikan kasur yang super kacau itu. Tiba-tiba, dari benda
benda tak jelas berantakan muncul kado kecil beserta ucapan selamat
ulang ta.hun dari Stety Fauzia.h ... langsung terenyuh dan meleleh hati
ini rasanya. Dan, kemudian muncul lagu selamat ulang ta.hun dari ka
wan-kawan sekamar yang diam-diam suda.h memantau.
Waktu kelas enam (kelas tiga Aliyah), saya tinggal di karnar de
kat dengan rumah Ustadz Mahrus, di mana di belakangnya ada dapur
umum. Malam hari kami suka menanti-nanti santri putra yang berkun··
jung ke dapur untuk membuat nasi goreng dari nasi makan malam yang
tersisa. Sambil menggoda mereka yang berjalan sambil tersipu-sipu-
biasanya santri kelas enam juga- kami berharap siapa tahu dapat jatah
418
MENGH\DUPl F\LANTROP\ \SLJ\!IA
nasi goreng. Walau dekat dapur, santri putri tidak memiliki leluasa ke
sana dibandi.ng santri putra. Stety yang biasanya sering menggoda dan
menitipkan salam dari santri putri lain ke santri putra melalui relawan
nasi goreng ini .. .!
Ada sebuah kejadian yang mungkin kalau dikategorikan katego
ri penerima manfaat filantropi menurut Al-Q.!U'an masuk pada orang
yang butuh bantuan tapi tidak dapat mengatakannya. 13 Di awal tahun,
ada seorang santri di kamar baru yang saya tempati, yang menurut san
tri lain merniliki kebiasaan yang aneh. Ketika tidur, ia tetap saja meng
gunakan jilbabnya. Padahal kebiasaan di kamar para santri selalu me
lepas jilbab bahkan menggunakan k.aus pendek atau daster layaknya di
rumah. Anaknya cantik, putih, sopan, baik rambutnya panjang hitam,
tapi selalu ia ikat kuncir kuda. Sesekali ia pakai kaus pendek, tapi ke
tika tidur tetap saja berkerudung. Beberapa kali ada yang bertanya, dia
jawab, lebih enak begitu. Suatu ketika, keti.ka ia sudah tidur, beberapa
santri yang penasaran mendekat dan dengan mudah menyingkap dan
melihat rambutnya. Setelah beberapa saat kami bergidik menyaksikan
kutu rambut yang berjalan di helai-helai rambutnya, dari yang gendut
kenyang darah, yang sedang, sampai kutu-kutu kecil, berseliweran tanpa
ada kekhawatiran cliciduk. Terbukalah rahasianya, bahwa ia malu punya
problem kutu rambut dan khawatir kutu ini akan menyebar ke tem
pat lain ketika ia tidur. Keesokan harinya, kami diam-diam membeli
peditok (racun kutu rambut) dan serit (sisir rambut untuk menjaring
kutn), dan pma-pura menawarkan kepadanya, dan seterusrtya memban
tu dia keramas dan menggunakan serit. Kami sekamar sangat puas clan
senang bisa membantu santri ini keluar clari problemnya, orang yang
butuh bantuan, tapi ia malu mengatakannya. Dalam masyarakat hal ini
sering terjadi, karenanya approach pember.ian zakat clan bantuan harus
lebih sensitif, tidak merenclahkan, clan dapat dengan jell melihat siapa
yang butuh ban tuan. Para santri tidak pemah belajar khusus tentang ini,
tapi dalam keseharian praktik ini terbangun di pondok.
Masa enam tahun di pondok dilalui cukup menyenangkan. Banyak
11 Al·Q}lr'an surah adz-Dzaariyaat (51]: 19 yarig berbunyi: Dan dalam hartamu, ada halt.
bagi orang yang meminta dan yang tidak. meminta.
419
BAGIAN KETIGA
sesuatu yang dipelajari, tapi secara tidak sadar ada tradisi filantropi yang
terbawa kuat, clan menjadi landasan ketika masuk pada komunitas keil
muan yang lebih besar clan beragam, yaitu IAlN.
IAIN: Memberi llrnu, Ikhlas Beramal
Mahasiswa-termasuk dosen dan staf IAIN-dahulu di tahun '90-
an sering menyebut, baik secara serius maupun bercanda, istilah "ikhlas
beramal". lni adalah motto Kementerian Agama, mungkin dibuat ta
hun '50-an ketika kementerian ini dibentuk.Canclaan ini juga masih
sering saya dengar-juga saya pakai-saat ini setelah rnenjadi dosen di
kampus UIN Jakarta. Biasany, istilah ini keluar ketika merujuk. suatu
kondisi kekurangan, misalnya gaji yang kecil, fasilitas tidak memadai,
harus kerja lembur tapi tidak dibayar, clan sejenis itu. Arah penggunaan
istilah ini sebenarnya lebih positif, untuk mengatakan bahwa "sudahlah
kita terima saja, toh kita bekerja di IAIN ini adalah amal ibadah". Dari
Kementerian Agama yang terbatas itu, lahirlah ADIA, IAIN, STAIN,
dan kemudian UIN, yang punya cita-cita tinggi clan bisa berhasil di
antaranya ka:rena motto "ikhlas beramal". Tidak akan ada, dosen seperti
Azyumardi Azra yang melakukan transformasi dari IAIN kc UlN jika
tidak ada Harun Nasution, yang ikhlas beramal membesarkan pascasar
jana IAIN Jakarta, yang menjadi mentor clan menciptakan intelektual
Muslim. Harun Nasution juga melahirkan Komaruddin Hiclayat, yang
berupaya memperkuat UIN dengan menuliskan narasi tradisi intelek
tual santri (buku ini) untuk dibaca clan menjadi inspirasi para santri.
Azyumarq.i mencari mahasiswa potensial, menclorong clan membantu
mereka bisa studi di universitas terbaik di clunia, berharap mereka akan
kembali lagi untuk membangun IAIN: ikhlas beramal.
lkhlas beramal itu sebenarnya motto yang memiliki nilai filantro
pi yang sangat kuat. Bahwa kita bekerja, mengajar, berkiprah di JAIN,
adalah melakukan sesuatu kebajikan untuk orang lain, untuk lembaga,
untuk masyarakat umum, tanpa terlalu mengharapkan balasan dari ma
nusia. Berharap ini menjadi amal ibadah dan mendapat balasan dari
Tuhan. Dalam studi filantropi clan antropologi, unsur atau fakto.r ini di-
420
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
sebut "the third party ",14 pihak ketiga. Bahwa aktivit2.s memberi itu bu
kan sekadar ada dua pihak yaitu pemberi dan pen.erima, tapi ada pihak
kctiga, yaitu Tuhan, yang menjadi motivasi dan tujuan orang melakukan
kegiatan derma.
Kira-kira, suasana seperti itulah IAIN di tahun '90-an. Kadang
mahasiswa, termasuk saya rnengatakan-antara miris dan bangga
bahwa biaya kullah di IAIN adalah biaya kuliah termurah di Jakarta.
Dengan dosen, mahasiswa yang berlatar belakang santri, sepertinya
kekurangan ini menjadi tidak masalah, bahkan menjadi pemicu untuk
kerja. kera.s. Dan tradisi filantropi ini memang biasanya muncul dari
.kemiskinan, kekurangan, hal ini menjadi salah satu jawaban mengapa
misalnya di Amerika Seri.Ir.at banyak sekali lernbaga filantropi diban
dingkan dengan di negara-negara Eropa. Nah kekurangan ini di IAIN
menjadi tidak masalah karena mengingatka.n para mahasiswa-dosen
seperti halnya kekurangan yang dialami di pesantren dahulu: tidur
seadanya, kelas seadanya, gaji tetap mungkin tidak ada, dan lain-lain.
Dosen sebagian besar berasal dari santri, clan mahasiswa, juga sehagian
besar dari santri,15 tidak melihat kekurangan itu sebagai negati£ Yang
mena.rik adalah, bahwa kekurangan ini dengan intervensi the third party
beiubah menjadi kekuaran positif untuk melakukan perub an. Hal ini
dirnungkinkan salah satunya karena konteks politik Orde Baru yang
memarginalkan Islam politik ketika itu, sehingga malah ada 5emangat
"Islamisasi" hidden di hati pegiat IAIN di awal tahun '90-an yang bisa
mengubah kondisi kekurangan menjadi semangat untuk perubahan.
Itulah IAIN!
Keinginan unruk perubahan itu juga dipahami oleh mahasiswa
IAIN ketika itu, bahwa apa yang ada di kampus tidaklah cukup untuk
melakukan perubahan, untuk mendapatkan cita-cita yang lebih tinggi.
Basis cita-cita yang sudah dicanangkan di pesantren masih sangat kuat
14 "The thirdparty "misalnya menjadi tema utama dalam konferensi The Ethics of Religious
Giving in Asia: Historical and Ethnograpic Explorations, 9-10 Oct 2014, di Asia Research ·
Institute, National University of Singapore.
15 Saya ingat, di kdas saya, hanya ada dua mahasiswa yang tidak berasal dari latar belakang
pesanrren a<a:i madrasah sehingga kesuli ta n mengikuti mata kuliah yang terkait dengan
bahasa Arab-(seperti Nahwu, Balaghagh).
421
BAGIAN KETIGA
membekas clan semakin kuat. Salah satunya adalah kesadaran bahwa
bahasa merupakan ilmu bantu yang sangat penting untuk menggapai
cita-cita itu. Sejak tahun pertama kuliah sampai tahun ketiga, kursus
bahasa merupakan aktivitas "sambilan"saya setelah kuliah: kursus baha
sa Inggris clan kemudian bahasa Belanda. Untuk mencari tempat kursus
yang baik, saat itu tidaklah mudah, sehingga saya cukup berkawan akrab
dengan angkot, metromini, kopaja, clan kowanbisata, u ntuk bisa kursus
bahasa lnggris di LIA Slipi dan bahasa Belanda di Erasmus Huis (Ku
ningan), atau mendapat berkah kedermawanan kawan-kawan kursus
yang sudah kerja yang punya mobil untuk ditebengin sampai tcmpat
tertenru. Di semester akhir kuliah, saya sempat ambil program TOEFL
secara mandiri, dan juga sudah mengantongi sertifikat internasional
membaca bahasa Belanda level 1. Dua bahasa itu, plus bahasa Arab,
membawa saya dapat menulis skripsi dengan baik, di bawah bimbingar.
Dr. Badri Yatim, dan "bimbingan'' Profesor Sartono Kartodirdjo, seja
rawan nomor satu Indonesia ketika itu yang saya ka.gumi dan dengan
modal nekat saya wawancarai. Skripsi saya bukan tentang filantropi,
tapi gerakan Ratu Adil, di mana kuriositas studi "new history" atau seja
rah sosial begitu membuat saya terkesima. Tapi skripsi saya dibungkus
dengan nilai kebaikhatian dari banyak orang, khususnya Prof. Sartono
itu, yang mau saja menerima mahasiswa IAIN Jakarta yang tidak di
kenalnya, clan apalagi mengkritik argumennya, untuk "dibimbing" dan
alhamdulillah dapat cum laude.
Ada situasi di kampus yang memhuat kenyamanan stu<li saya agak ·
terganggu, yaitu ketika mahasiswa atau dosen lain mengetahui bahwa
saya adalah anak seorang dosen di Fakultas Adah juga, yaitu Drs. H.
Ridlo Masduki (ketika itu belum Dr. clan profesor). Salah satu "dok
trin'' yang saya dapat dari Darunnajah adalah bahwa bukanlah seorang
pemuda kalau dia sesumbar (clan bergantung pada) ayah saya, tetapi
seorang pemuda adalah yang berani bilang inilah (dada) saya: Laisa
alfota nian yaqulu kana aby, walakinn al-Jata man yaqulu ha anadza) .
Alasannya sederhana, karena saya tidak mau nilai A saya dianggap ka rena ada hubungannya dengan Ayah saya, clan bukan karena jerih payah
saya sendiri. Penyembunyian identitas ini gagal kerik-_a di semester agak
atas, ayah clan ib saya rajin membuat acara yang melibatkan mahasiswa
422
'
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
·1
1
dan sering kali menjadi donatur kegiatan mahasiswa, khususnya HMI. I
Ayah dan ibu dari sisi ekonomi memang lumayan berkecukupan, tapi ·1
tetap saja anak-anaknya dididik disiplin dan tidak mendapat fasilitas
layaknya orang yang berkecukupan. Sepatu butut, naik angkot, uang ja
jan yang standar, dan seterusnya sehingga saya juga terdorong untuk
menjadi guru privat untuk mendapat tambah:m bell buku. Sering kali
acara buka puasa bersama di rumah, salah satu acara yang pasti dipe
nuhi mahasiswa-sekalian perbaikan gizi katanya-di mana makanan
pasti ludes dibawa pulang pula, walau agak malu-malu. Ayah hampir
sehlu memberi sumbangan untuk segala macam proposal kegiatan ma
hasiswa (yang penting mau pun tidak), clan ibu juga menjadi favorit bagi
pengurus Kohati (ini saya dengar belakangan) karena sering menspon
sori kursus membuat makanan clan keterampilan lainnya di rumah (clan
lagi-lagi, hasilnya bisa dibawa pulang mahasiswa). Ibu clan ayah sangat
dermaw.n, bahka n kami anak-anaknya sampai iri hati pada orang lain!
Mungkin doktrin filanrropi ayah clan ibu saya itu adalah bahwa pem
berian ke anak clan keluarga adalah kewajiban, bukan kedermawanan.
Dan, itu sudah cukup ditunaikan. Malah kedisiplinan menjadi prinsip
pendidikan mereka yang lebih kelihatan di mata anak-anaknya, sedang
kan di mata orang lain nilai kedermawanan jauh lebih terHhat. Hidden
protest (meminjam dari James Scott) sering dilakukan kakak-kakak saya
misalnya dengan tidak mau membantu bekerja di warung kelontong
dan rumah makan Soto Sokaraja milik ibu. Kata mereka "enakan jadi
pembantu sekalian, kerja digaji; sedangkan kita anak-anaknya, kerja le
bih berat, 5ering dimarahin clan nggak dikasih uang pula ...". lni hal
yang baru bisa saya pahami ketika sudah berkeluarga, dan menyelami
makna mendidik clan mendisiplinkan anak. Dengan kedermawanan
orang tua ini, ketidaknyamanan tentang identitas sebagai anak dosen
ini tidak tt'rlalu penting lagi ditutupi, bahkan saya senang ketika men
jadi mediator untuk permintaan sumbangan, atau menjadi tuan rumah
suatu kegiatan. Lagi pula, identitas "ha anadza" ini sudah solid, ketika
nilai-nilai saya dari semester ke semester sudah ajek bagus-bagu.> semua.
Keunggulan kampus IAIN Jakarta di antar-anya adalah aktivitas
kemahasiswaan, yang saya benar-benar bisa menyelami keragamanan,
mendapat wawasan, mendapat teman clan jaringan, dan belajar membu-
42.3
BAGIAN KETIGA
at proposal dan helajar herdehat-walau saya tidak suka herdehat. Or
ganisasi yang cukup memheri hanyak pengaruh dalam perkemhangan
diri saya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cahang Ciputat,
Lemhag;a Studi Sejarah Kehudayaan Islam (LS2KI) herhasis di jurus
an Sejarah Kehudayaan Islam fakultas Adah, dan kelompok penci.nta
alam dan lingkungan Kemhaga lnsani Ihnu Batutah (RANITA). Saya
pernah menjadi pengurus di ketiga organisasi itu, untuk masa/tahun
yang tidak hersamaan, dan untuk satu periode saja. Saya cukup exci
ted dengan LS2KI karena hisa ketemu dan mendatangkan orang-orang
seperti Taufik Ahdullal1, Anhar Gonggong, dan mendiskusikan buku
huku sejarah terharu. HMI henar-henar organisasi yang saya ikuti dari
semester satu dan memhuat saya melek dengan dunia politik--dan itu
saya tidak suka.Walau tentu saja, ada kawan-kawan HMI seangkatan di
Fakultas Adah yang memhentuk jaringan dan kemudian hari hertemu
lagi ketika sama-sama menjadi dosen di UIN.
Ujung dari heragam aktivitas organisasi ini adalah mencari keder
mawanan orang lain supaya kegiatan hisa herjalan. Lagi-lagi, kederma
wanan menjadi unsur penting hagi dunia IAIN Ciputat. Justru karena
organisasi ini herhasis kerelawanan, non-profit, idealisme, mereka yang
aktif di organisasi tersortir hukan orang yang mencari duit-sebagai tu
juan utama-tapi kalau mencari makan gratis ketika ada acara itu her
kahlah .... Dan, mungkin juga karena para mahasiswa dan aktivis kam
pus ini para mantan santri, sudah cukup kenyang dengan kekurangan
dan karenanya punya idealisme dan cita-cita yang tinggi untuk dikejar.
Sa.ya helajar menulis proposal kegiatan, memhuat surat permohonan,
dan jalan kaki menghadapi orang maupun perusahaan untuk mencari
sumhangasponsor untuk memhiayai idealisme yang dimiliki mahasis
wa di Ciputat. Sepertinya, proses "helajar" ini yang memhuat saya cukup
lihai memhuat proposal kegiatan KKN, proposal skripsi, proposal studi
S-2, dan surat permohonan heasiswa, plus hagaimana strategi mendapat
rekomendasi dari orang hehat.
Ada satu organisasi yang mengajari saya hal lain-hukan persaing
an dan perdehatan-tapi teamwork solidaritas dan kecintaan akan ling
kungan, yaitu organisasi pecinta alam Ranita. Solidaritas itu bisa diben
tuk, walau tentu saja, .orang yang memiliki potensi solidaritas lebih hesar
424
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
akan survive. Belum tentu santri lebih solider dari yang lain, tapi santri
punya kecenderungan tahan banting karena sudah biasa "menderita".
Sebenarnya, sebagai santri saya nggak menderita-menderita sangat
mondok di Darunaajah. Kata orang, itu adalah pesantren moden1, dan
makanannya mewah. Tapi tentu saja ada "penderitan"lain yang jika di
teorikan seperti relative depriviation. ltulah konteks yang dialami santri
di mana ia dikasihani dan. "menderita"walau nyantri di pondok modern
di Jalr..arta. Kembali, solidaritas itu adalah basis dari filantropi, karena so
lidaritas itu memiliki empati. Dalam Ranita, uniknya, solidaritas itu le
bih diperkuat lagi untuk menjalankan misi kecintaan lingkungan hidup.
Di sini muncul kata cinta,philos. Organisasi yang ketika dilihat dari luar
lebih banyak iseng dan jalan-jalan, naik gunung, temyata mengandung
n.ilai -nilai yang dalam.
Di Ranita saya bertemu dengan tradisi pencinta alam dari luar
lr..ampus IAIN Jakarta. Dari yang sekuler, cuek, preman, sampai yang
agamis, itu ada. Kelompok pecinta alam pada tahun '90-an itu meng
anggap karni cukup aneh-walau mereka tidak r.aerendahkan karena
terbiasa melihat yang aneh bahkan lebih aneh lagi dari kami. Karena
terkait dengan agama, justru mereka apresiasi. An.eh rnisalnya ada seke
lompok pecinta al.am yang mau subuh-subuh di kaki Gunung Semem
berwudhu di Danau Ranu Kumbolo, ata.u malam-malam sempat-sem
patnya turun ke air dari. posko Kandang Badak di Gunung Gede untuk
wudhu melaksanakan shalat Isya. ltu pemah saya lakukan. Sebetulnya,
yang justru terjad.i adalah kegiatan pccil1.ta alam itu menciptakan peng
alaman kesulitan (kehabisan air minum, tcrsesat, kehabisan makanan di
gunung, kondisi jalan terjal dan sangat sulit, badai, air bah) yang mela
tih jiwa solidaritas clan kedermawanan, clan spi.ritualitas. Dalam latih
an, memang kondisi kesulitan ini sering dikonstruksi, diciptakan oleh
senior, misalnya harus berjalan kaki (padahal ada kendaraan yang ber
f>liweran), berhaus-hausan bahkan minum air sungai (padahal suka ada
tukang es dan warung). Latihan-latihan ini sebenarnya lebih banyak
melatih jiwa, spiritualitas, bukan fisik. Karenanya di Raruta, tidak per
nah ditemui kasus-kasus terkait moralitas, tidak pernah dalam sejarah
nya (semoga tetap begitu). l\1ungkin hal ini juga dikonstruk dari cita
cita Ranita itu sendiri yang cukup idealis. Bayangkan saja, sekelompok
425
BAGIAN KETIGA
mah2siswa yang terinspirasi dengan lbnu Batutah, seorang pengembara
Muslim, ilmuwan pula, sepertinya akan jauh dari kekhawatiran p:ira
orangtua yang takut anak gadisnya kenapa-kenapa di atas gunung sa.na.
IAIN Ciputat di tingkat kegiatan mahasiswanya memiliki tradisi yang
mendorong intelektualitas, bahkan kegiatan pecinta alam saja tidak le
pas dari intrvensi virtual intelektual Muslim, sekelas Ibnu Batutah ....
Sebenarnya yang dikhawatirkan ayah clan ibu saya bukan urusan
moralitas, tapi kekhawatiran kalau anaknya hilang di gunung! Suatu
ketika, saya ikut ekspedisi ke Rakata tua (sisa gunung Krakata u
yang pernah meletus clan tenggelam di 1888) bersama polda l.Vletro
Jaya. Ekspedisi ini penuh idealisme untuk menyambut 17 Agustus
tahun (mungkin) 1994. Bersama tiga orang kawan laki-laki dari
Ranita, kami menempuh berbagai kondisi dengan sekitar 15 anggota
Brimob dan beberapa pecinta alam dari kelompok lain: terdampar di
Pulau Sanghiyang tidak ada kapal, menghadapi badai di tengah laut,
terombang-ambing kapal yang mati mesinnya di tengah laut, ketegangan
menangkap pencuri batu apung-maklum sama Brimob!, kehabisan air
minum, makan mi instan dengan air asin, minum dari air batang pisang,
dan sejenisnya. Akhirnya kami bisa berdiri tegak di atas Krakatau Tua
di depan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia raya dan
berdoa. Di atas puncak sana, masih saja ritual, keindonesiaan dan ke
islaman dan kemanusiaan tidak hilang. Setelah kembali, baru saya sadar
bahwa ayah saya mencari-cari sampai menginterogasi ketua Ranita,
karena khawatir kehilangan saya. Senang juga mendengarnya ....
Nilai solidaritas dan kedermawanan dibuktikan dengan berha:>ilnya
Ranita membuat menara rock climbing pertama di IAIN di tahun 1994
itu, sampai mendatangkan pertama kalinya Menteri Pemuda clan Olah
raga (Menpora) ke kampus IAIN. Di balik upayafundraising clan min
ta sumbangan, ada kolaborasi cinta antara ketua panitia (saya) dengan
ketua Ranita, Amir Maruf, yang menjadi tambatan hati saya. Pertaut
an hati ini teruji dengan solidaritas dan kedermawanan yang romantis,
bertahan kuat sampai saat ini dan semoga sampai akhir hayat.
426
MENGHIDUPJ FILANTROPI ISLAM
Universalitas Filantropi : Dari Ciputat ke Leiden dan Melbourne
Bagi Ilchman dan banyak pengkaji filantropi lainnya, fi.lantropi dan
beragam aktivitas kedermawanan adalah fonomena universal, aktivitas
yang mirip-rnirip, dilakukan di budaya lain dengan nama yang lain.
Aktivita 5 ini begitu lekat dengan konteks geografi, kultur yang mem
bentuknya. 16 .Misalnya, jika dalam Islam ad. zakat, maka dalam Kristen
Protestan ada tithe atau persepuluhan. Muslim di daerah pedesaan me
miliki tradisi berderma kepada atau melalui guru/tokoh agama, dan itu
juga yang ada dalam tradisi Buddha. Pemberia.n sedekah jika di masjid
selalu ada kotak amal, di kuil-kuil di Jepang, hampir semua memiliki se
macam kotak amal yang besar. Praktiknya hampir sama. Selain itu, akti
vitas generosity tidak melulu dalam bentuk pemberian benda, tapi sering
kali dalam bentuk yang abstrak, misalnya memberi nasihat , memberi
restu, memberi informasi, yang nilainya bisa jauh dari yang materiel.
Pemberian jenis ini, menjadi motor penggerak bagi dunia intelektual,
di mana saja, dalam kasus ini di Ciputat, di Leiden dan di Melbourne.
Sebagai mahasiswa sejarah Islam dan menulis tentang Indonesia,
saya bercita·-cita untuk melanjutkan studi ke Universitas Leiden. Ba
nyak tangan Tuhan yang membantu saya memenuhi cita-cita ini. Se
::elah menempuh pendidika n calon dosen beberapa bulan, hampir saja
saya berangY...at ke tempat lain. Tapi dosen tamu dari INIS (Indonesian
Netherlands Cooperation in Islamic Studies) di fakultas Adah yaitu Jo
han Hendrik Meulema n tahu cita·-cita saya untuk belajar ke Leiden
dan membantu saya mewujudkannya. Bantuan Amir sangat krusial di
saat-saat menentukan ini, termasuk menemani menghadap Prof M.
Atho' Muz<lhar-yang dikenal killer--tapi ternyata baik dan memberi
saya restu untuk mundu.r dari program lain untuk mendaftar ke Leiden.
Dengan modal IELTS (dapat nilai 7 tanpa belajar), sertifikat internasi
onal bahasa Belanda, proposal Ratu Adil, plus rekomendasi dari Johan
1'1euleman, tidak lama sa.ya dapat kabar bahwa saya bisa berangkat ke
Leiden dalam waktu kurang dari dua bulan . Dengan bantuan banyak
pihak, <lalam waktu kurang dari satu bulan , saya clan Amir mempersi-
16 Ilchrn an, et c.I.
427
BAGIAN KETIGA
apkan pernikahan, yaitu satu hari sebelum saya berangkat ke Leiden.
Pilihan hidup itu kadang tidak enak. Tapi pilihan ini dapat diambil atas
kebaikan hati suami yang mendo:rong saya pergi belajar di Leiden.
Di Leiden, segera saya beradaptasi clan menemukan kebajikan
kebajikan dan bentuk filantropi yang sebagian agak serupa. Ada ko
munitas Indonesia yang menawarkan kehangatan dan menghilangkan
kerinduan akan makanan, bahasa, clan senda gurau ala Indonesia, clan
membantu menunaikan zakat di penghujung Ramadan; ada komunitas
Muslim dari Maroko dan Turkey, dengan modal agama sebagai pin
tu masuk, menawarkan kehangatan makanan clan persahabatan; acia
orang-orang Belanda yang sesekali mengundang makan, memberikan
pelukan persahabatan. Di Leiden ada festival jalanan, hiburan musik
gratis di area openmarket, toko-toko barang bekas (seperti baju, sepatu,
farniture), clan pasar barang bekas yang cukup terkenal di Groeneoord
halen yang menjadi surga bagi pendatang sementara seperti kami para
mahasiswa. Ada juga lembaga charity yang sudah mapan, toko barang
bekas milik lembaga amal, rumah penampungan alms houses yang sudah
ada dari tahun 1600, clan gereja yang memiliki asrama clan gedung yang
sering dipakai untuk acara mahasiswa. Waktu tahun 1997 itu pernah
pula ada mahasiswa Indonesia Muslim yang tinggal menumpang di
akomodasi yang disediakan gereja, gratis pula.
Saya mendapat dukungan clan bantuan untuk studi dari banyak
orang lain lagi. Ada orang-orang Belanda yang mau menjadi respon
den clan saya wawancarai untuk paper tentang khitanan di Belanda, ada
Nico Kaptein yang banyak memfasilitas penelitian tesis, ada Dick van
Der Meij yang mengajari hanacaraka, ada Azyumardi Azra yang mem
beri masukan tesis, ada Merle Ricklefs yang mau datang ke Leiden clan
saya wawancarai tentang mesianisme Jawa sekaligus membaca tesis saya,
ada orang-orang Indonesia yang membantu mengecek bahasa lnggTis
tesis saya yang masih berantakan tanpa bayaran, clan kebaikan hati para
pengajar clan staf lain yang membuat studi menjadi lebih nyarnan wa
laupun tetap berat. Adapun di Ciputat Amir berkutat dengan klliiah
S-2, mengajar di S-1, clan mengembangkan bisnis Komputer Kafe yang
bisa membawanya menengok saya dua kali, membelikan saya notebook
kcren clan hp untu dipakai di Leiden.
428
MENGHIDUPI FILANTROPI !SLAM
Kebajikan, kedermawanan itu ada di mana-mana, dilakukan oleh
siapa saja. Dal.am studi filantropi modern, kedermawanan sering kali
dilihat terlembagakan dan pemberian ditujukan bagi orang lain. Tapi
studi antropologi melihat bahwa kedermawanan ini begitu luas, dan
memasukkan generosity yang diberikan oleh pasangan hidup seseorang,
yang sering kali tidak dianggap ( neglected). Kebajikan da.n pemberian
bantuan termasuk motivasi berperan penting dalam dunia intelektual.
lni bisa dilihat dalam kata pengantar dan acknowledgment dalam buku,
laporan atau artikel, termasuk dari pencrbit kelas dunia. Bahkan un
tuk jurnal tertentu mereka membuat aturan bagaimana a.tau di mana
meletakkan pengakuan atas kontribusi dan bantuan orang/lembaga da
lam penelitian atau penulisan karya mereka. Membaca acknowledgment
menjadi menarik karena dari situ terlihat genealogi serta "sumbangan"
intelektual dari siapa clan dari lembaga apa yang mengitari penulis.
Ucapan terima kasih yang ditulis oleh penulis kelas dunia, biasanya "ka
wan-kawan"mereka juga ilmuwan dari universitas dan lembaga-lemba
ga keilmuan mapan juga . Dan tentu saja, dari orang terdekat mereka!
Secara tidak sadar, para intelektual melakukan tradisi generosity, dan
dunia intelektual itu berutang budi pada tradisi filantropi. Saya pernah
mendengar sebuah joke, tentang siapa yang paling banyak utangnya di
dunia? Jawabnya adalah ilmuwan. Coba lihat pengantar buku mereka,
sering sekali bilang "saya berutang kepada ..." yang dalam bahasa Ing
gris menggunakan istilah seperti "owe" dan "be indebted'..M aka saya pun
ikut melakukan tradisi itu, di mana dalan1 satu halaman tesis saya (se
telah halaman judul) ada tulisan seperti ini "I dedicate this thesis to my
husband, Amir Ma'rt/; who helped and inspired me in so many ways."
Berrnodal ijazah cumlaude saya kembali ke Ciputat denga:i niat
ingin mengabdikan diri setelah mendapat beasiswa, namun birokrasi
tidak semudah itu untuk memfasilitasi niat mulia. Saya ditolak di Fa
kultas Adah. Azyumardi-lah yang memfasilitasi saya, termasuk mem
berikan tempat untuk berkiprah, yaitu dengan SK pendidan Pusat Ba
hasa clan Budaya (PBB), di mana saya dan JM Muslimin masuk dalam
kepengurusan pusat tersebut. PBB dikepalai oleh Drs. Murni Djamal,
Iv1A, mantan pejabat di lingkungan Kementerian Agama yang lulus S-2
dari McGill University._ Beragam kegiatan seminar dan penelitian sosial
42S
BAGIAN KETIGA
llagamaan, pembuatan jurnal Kultur dan aktivitas lain membuat PBB
ini beranjak besar, memberi berbagai pelayanan bahasa, sekaligus juga
menjadi salah satu pusat studi yang independen, mampu mencari dana
sendiri, bahkan memfasilitasi banyak dosen-dosen muda melakukan
penditian.
Di sinilah perkenalan saya dengan te;.na filantropi seperti
yang disampaikan di awal tulisan. Saya dan kawan-ka:wan di PBB
memberanikan diri untuk membuat proyek penelitian ini, dan tidak
tanggung-tanggung, di enam negara, yaitu Indonesia, India, Mesir,
Tanzania, Turki, dan lnggris, di mana IAIN Jakarta menjadi global
koordinatornya. Saya menghor ati kebijakan Pak Murni Djamal
dan Abdullahi Ahmed an-Nairn yang mendoro:ig dan memberi saya
kesempatan untuk menjadi direktur proyek ini. Proyek filantropi
menghasilkan beberapa buku, seminar, konferens, di enam negara itu clan
yang paling penting adalah mendorong adanya kebijakan munculnya
praktik filantropi yang lebih strategis untuk perubahan masyarakat
Muslim sendiri. Studi fi.lantropi ini membuat saya memiliki passion
yang lebih dalam dan concern karena belum ada studi komprehensif
tentang sejarah filantropi Islam, minimal di Indonesia. Dan passion itu
adalah untuk studi S-3 di Melbourne University, dibimbing oleh Merle
Ricklefs!
Beasiswa dari Australian Development Scholarship (ADS)17 mu
dah didapat dengan ijasah cumlaude dari universitas Leiden dan nama
besar Merle Ricklefs serta Azyumadi Azra yang merekomendasi saya.
Terlebih lagi, surat rekomendasi dari mantan pembimbing S-2, Nico
Kaptein, ternyata sangat menyentuh dan kuat. Statemen pertarna di su
rat itu di luar kebiasaan dan dugaan, dia rnenulis terjernahannya seperti
ini: "Dengan berat hati saya rnerekornendasikan Amelia Fauzia untuk
mendapat beasiswa studi dari ADS, karena Amelia seharusnya belajar
di Universitas Leiden di bawah bimbingan saya, tapi karena alasan ke
luarga Amelia mengundurkan diri dari beasiswa ini dan meminta saya
untuk mendul$ung re:i.cananya untuk belajar ke Universitas Melbour
ne." Lagi-lagi; banyak tangan-tangan malaikat yang mernberi saya ke-
17 Saat ini nama ADS diub h menjadi Australia Awards.
430
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
mudahan untuk studi fi.lantropi.
Masa empat tahun setengah di Melbourne, merupakan masa yang
kaya untuk belajar filantropi dan mengalami praktik filantropi itu sen
diri. Dengan tekad ikut membesarkan Elkana dan Farhan di Melbour
ne, Amir meninggalkan Komputer Kafe, dan mewakafkan semua aset
yang ada termasuk meja clan perlengkapa n kursus komputer (berikut
pelayanan teknisi selama setahun) ke scbuah pesantren di Panmg, yang
baru kita kcnal, rapi memiliki semangat clan manajemen yang cukup
baik. Kita tidak ernah menengok lab komputer itu sampai sekarang,
bahkan Amir tidak pernah mendatang: pesantren itu secara langsung,
hanya saya yang mengurusnya. Terpengaruh oleh studi filantropi, hibah
komputer ini kita sebut sebagai wakaf, clengan harapan membuka mata
juga bahwa wakaf itu tidak mesti bentuknya ta nah clan bangunan sa
ja.18 Episode Melbourne sangat menyenangkan, karena beasiswa ADS
sai;igatfamily friendly clan memungkinkan kami sekcluarga untuk ting
gal clan sekolah atau bekerja di Melbourne. Selain itu, kami sekeluarga
bukan saja menjadi bene'volent atau penerima manfaat filantropi clan ke
dermawanan dari orang lain, tapi kami juga berkesempatan melakukan
hal yang sama.
Seperti pernah disebutkan sebelurnnya, dalam praktik filantropi, se
lalu ada minimal dua pihak yang terlibat, yaitu donatur clan penerima.
Ada juga organisasi intermediari, perantara, yang menerima clan menya
lurkan bantuan atau biasa disebut sebagai lembaga charity atau lembaga
filantropi. Kalau di Indonesia dalam konteks zakat disebut Lembaga
Amil Zakat. Di Australia, jenis organisasi yang mengelola filantropi
juga beragam: ada yang solid dengan bentuk yayasan non-profit, sering
disebut lembaga charity seperti Oxfam, ada yang bentuknya organisa
si network volunteer (yang paling besar ada Australia volunteering, dan
Australia Volunteer lnternational-AVI),ada organisasi charity bersifat
keagamaan, ada pula berupa organisasi non ·-profit berbasis keanggota-
L i Go:.raka n wakaf yang cukup mengemuka acialah wakaf produktif . Sebenarnya istilah
wakaf mdah sd1.arusnya produ.kt if.Tapi karen a pada praktiknya tidak produktif, kata ini
clis.,m atka n setela.h k ara wakaf.Lihat perdebarar, mengenai istilah ini di Amelia Fauzia, Emi
ll niiah clan Uswr.run Hasa n ah , 'Wakaf Produktif di DKI J;;.karta", Badan Wakaf lndonesia
dan Lembaga Penelitian UIN Jakarta , 2012.
431
BAGIAN KETIGA
an yang mengelola langsung dananya dalam bentuk kegiatan, misalnya
CERES (Community Environment Park). Nyemplung di studi filan
tropi membuat saya akrab clan mengalami langsung praktik filantropi
di Australia, khususnya di Kota Melbourne, kota yang sangat menye
nangkan untuk keluarga, tapi cukup berat bagi mahasiswa karena terlalu
banyak festival clan keindahan yang menggoda untuk dikunjungi.
Sekolah merupakan salah satu lembaga yang bisa memfasilitasi
kegiatan kedermawanan. Childcare clan TK-nya Elka dan Farhan, the
Harnet House, memiliki program working bee, beberapa k.ali dalam
setahun. Istilah working bee (arti letterlijknya adalah lebah pekerja)
ini adalah kerja bakti! Jauh-jauh ke Melbourne, ternyata di sini juga
ada kerja bakti. Orang Indonesia merasa kerja bakti tidak keren, clan
berangsur meninggalkan kegiatan ini kecuali di kampung, padahal itu
adalah bentuk kerja sosial yang memperkuat kerekatan sosial, dan sa
lah satu bentuk filantropi tentunya. Sebagai orang yang terlatih kerja
bakti di pondok dahulu, (bahkan yang cukup menyenangkan adalah
menguras kolam kamar mandi yang seperti kolam renang kecil), saya
dan Amir senang melakukan working bee ini. Para orang tua berkumpul,
dikoordinasi oleh sekolah untuk melakukan apa saja yang bisa mercka
lakukan, misalnya mengecat pagar, mencabut rumput liar, dan membuat
permainan anak di taman. Bentuk lai n pun bisa, misalnya ada orang tua
murid yang bersedia menjadi relawan bidang teknisi komputer untuk
hari Jumat atau Sabtu. Kegiatan kerja bakti ini secara tidak langsung ·
menguatkan- -kalau bahasa UIN-silaturahmi sehingga secara tidak
langsung membentuk komunikasi clan menguatkan civil society. Ya, teo
ri yang cukup mengemuka, aktivitas filantropi itu menjadi tanda adanya
kelompok atau aktivitas civil society, karena aktivitas ini memperkuat
kemandirian kelompok masyarakat clan membentuk organisasi yang
menjadi penyangga clan penyeimbang antara masyarakat clan negara.
Contoh lain adalah kegiatan-kegiatankerelawanan yang diseleng·
garakan oleh Moreland Primary School, Sekolah Dasar di mana Elka
clan Farhan belajar. Cukup unik di sini, bahwa orang t:ua diajak untuk
berpartisipasi langsung dalam pendidikan j tidak hanya sekadar rnem
bantu pekerjaan rumah (yang jarang sekali ada). Bentuk partisipasi di
antaranya adalah i:ienjadi asisten guru di sekolah, di kelas anaknya lang-
432
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
sung. Ini menjadi pengalaman berharga, melihat secara langsung pendi
dikan di Australia, di mana guru sangat terhuka, egaliter, santai, tapi juga
sangat dihormati dan tegas. Ketika ada seorang guru yang akan pensiun,
Elka dan kawan-kawannya ribut berpikir apa yang mereka mau berikan.
Terpikir saya, kalau di Indonesia kita ada lagu tentang guru, misalnya
Hymne Guru, Terima kasihku Guru. Akhirnya saya mengkoordinasi dan
mengajari anak-anak lagu ini "terima kasihku, kuucapkan, pada guruku
tulus ...."Pada saat upacara senin pagi yang dibarengi dengan perpisah
an dengan Sue (bcgitu nama gum itu dipanggil, tanpa ms. atau mrs.),
sa:ya mengiringi anak-anak Indonesia me:nyanyi dengan petikan gitar.
Kami mendapat apresiasi tinggi, dan rupanya banyak anak Australia
yang mau belajar menyanyi Indonesia, dan akhirnya seminggu sekali
saya mengajar Indonesian Choir di Moreland Primary School. Salah
satu yang saya ajari dan tampilkan di sekolah adalal1 lagu Rasa Sayange.
Selain karena lagu ini riang, karena ketika itu ada ribut-ribut dengan
negara tetangga Malaysia tentang lagu itu, ehm.
Walaupun kami suka rnelakukan kegiatan 'lJolunteer, membayar
zakat, berderma ke Indonesia, pernah menjadi anggota CERES,
kehidupan kami di Melboume cllimp saja. Pada tahun kedua,
kehid.upan cukup nyaman, karena Amir bekerja fall-time, sehingga
cukup untuk berjalan-jalan dan menabung. Tetapi di tahun pertama,
kehidupan lr..ami sangat sulit, bahkan untuk sekadar .membeli. burger di
McD. Yang banyak menolong kami untuk melengkapi peralatan rumah,
termasuk keperluan belajar anak-anak adalah "street charity".Ini istilah
saya sendiri, yang sebenarnya adalah ada hari di mana orang boleh
membu.ang sampah yang besar··besar (seperti furniture, gorden, baju,
perlengkapan dapur, dan elektronik), di pinggir jalan di depan rumah
mereka. Biasanya, "sampah" ini dibiarkan saja selama dua minggu
supaya dimanfaatkan oleh yang membutuhkan-baru terakhir digaruk
oleh mobil sampah. Kami sering berjalan sekadar iseng, atau serius
berputar mencari barang-barang yang kami butuhkan. Alhamdul/iah,
dua komputer di 1umah, printer, tape recorder, CDplayer, pemanas, meja
belajar, dan buku cerita, kami dapat dari pinggir jalan ini. Bagi orang
orang ini, elektronik dan kompu.ter cukup empat tahun saja, termasuk
pedengkapan furnitur yang perlu diperbarui, dan alasan lainnya yang
433
BAGIAN KETIGA
membuat benda-benda yang masih bagus ini dibuang di pinggir jalan.
Cara membuangnya juga sangat rapi, sampai-sampai biasanya kalau
TV, masih ada remote control clan panduannya, begitu juga komputer,
diletakkan dengan rapi CD asli program Windows-nya. :Mereka
yang membuang ini sadar, masih banyak orang-orang yang dhuafa,
termasuk mahasiswa, yang membutuhkan barang--barang tersebut,
tapi tidak mau meminta-minta. Mungkin ini seperti kelompok yang
disebut sebelumnya "bagi yang meminta clan bagi mereka yang tidak
meminta" . Artinya, kelompok orang dhuafa tapi yang tidak meminta
minta ini juga ada di berbagai budaya dan periode, termasuk pada masa
Nabi Muhammad di Jazirah J\.rab, di Indonesia, bahkan di Australia.
Dalam kajian ekonomi, mereka ini yang ada di garis bawah kelompok
middle class, memiliki pekerjaan tetap, tidak termasuk orang miskin yang
mendapat bantuan, tapi sebenarnya masih berkekurangan. Mungki.n ini
seperti profesi guru dan pegawai negeri di Indonesia.
Dengan kehidupan yang kaya dengan tradisi filantropi di atas, saya
menulis disertasi. Tidak berbeda dengan ketika melakukan studi di
Ciputat clan di Leiden, banyak kemudahan clan keblljikan yang dila
kukan orang lain sehingga saya mendapat manfaat . Bab-bah disertasi
diberi komentar oleh para ahli Islam atau Indonesia. Yang paling ber
kontribusi adalah Merle Ricklefs, yang tetap memberikan bimbingan
sekalipun sudah resign dari Universitas Melbourne. Tujuh mahasiswa
Ph.D. termasuk saya, masih dibimbingnya sampai selesai Ph.D., tanpa
embel-embel honor dari universitas. Ini tradisi filantropi..Tradisi ini se
perti yang dilakukan oleh kiai, yang mengajar, tanpa dibayar. Jadi, "kiai"
Ricklefs, semoga menjadi amal jariyah .... Dan apa yang dilakukan oleh
Merle juga menjadi tradisi yang cukup kuat di para Indonesianis terma
suk mahasiswa bimbingannya. Kebajikan biasanya berbuah kebajikan .
Memilih topik filantropi bukan hal yang mudah, karena belum
pernah dilakukan oleh para lndonesianis sebelumnya. Belum lagi harus
berkali-kali menjelaskan, bahwa studi saya bukan studi syariah tentang
zakat dan wakaf, tapi studi sejarah sosial dan sejarah gerakan sosial ke
agamaan. Walau memang saya mencari sumber data primer tentang
praktik filantropi itu dari banyak Hadis dan fikih, selain juga dari arsip
kolonial, manuskrip, _wawancara sejarah lisan, dan observasi. Yang le-
434
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
bih menantang dari data adalah menemukan argumen. Setiap bertemu
bimbingan, Merle bertanya, "what is your argument?' Pertanyaan yang
membuat momok dan pusing tujuh keliling selama tiga tahun setengah,
clan akhirnya di tahun terakhir mulai menampakkan hasil. Awalnya saya
membangun argumen bahwa Muslim menggunakan aktivitas filantropi
(seperti zakat, sedekah, wakaf, dan segudang kegiatan kedermawanan
lain) untuk perubahan sosial dan politik. Mudah mencari pembuktian
bahwa filantropi digunakan untuk perubahan sosial (seperti yang di
lakukan oleh Muhammadiyah), tapi untuk perubahan politik, data itu
menjadi abu·-abu. Argumen itu juga terlalu standar, tidak ada yang baru
dari s.isi teori dan temuan. Hasil pergumulan dengan data dan disku
si intensif dengan l\1erle, akhirnya saya melihat bahwa ada kontestasi
antara negara dan civil society sepanjang sejarah Indonesia dala.m pe
ngelolaan fila ntropi Islam. ltulah. argumen utama disertasi dan alham
dulillah lulus dengan baik, dan disertasi akhirnya bisa terbit di E.J. Brill,
Leiden, di tahun 2013, setelah di<lorong clan dibantu khususnya oleh
\1erle Ricklefs .
Mendorong Filantropi Indonesia: Potensi Sangat Besar
Selesai studi di Melbourne tahun 2008, saya kembali mengajar di
UIN Ciputa.t dan ikut terlibat dalam upaya reformasi praktik filantropi
di Indonesia. Saya senang bisa membantu kawan-ka,wan pegiat zakat
seperti Forum Zakat (FOZ) clan pegiat filantropi pada umumnya di
Indonesia, tidak hanya sekadar menuliskan mt:reka sebagai bahan ka
jian tapi terlibat dengan mereka dalam memperkuat gerakan filantro
pi Islam. Saya juga pernah berbicara sebagai saksi ahli di Mahkamah
Konstitusi (2011) untuk mendukung Judicial Review Undang-Undang
Zakat yang dilakukan oleh teman-teman dari organisasi pegiat zakat,
seperti Dompet Dhuafa clan Rumah Zakat. Ini merupakan positioning
yang sebenarnya sulit karena saya ini dosen di bawah Kementerian
Agama, dan judicial re'uiew ini secara ddak Jangsung mengkritisi dan
berbeda posisi dengan Kementerian Agama yang waktu itu berusaha
mcngambil alih semua pembayaran zalr.at untuk desentralisasi di bawah
negara. Cita-cita zakat dikelola dengan lebih baik clan bisa lebih efektif
pendayagun aannya ini bagus, tapi sentralisasi bukanlah cara yang tepat
435
BAGIAN KETIGA
untuk itu karena akan mematikan civil society. Jadi, clisertasi saya ten
tang kontestasi anta.ra civil society dan nega.ra dalam pengelolaan filan
tropi Islam itu saya alami langsung dalam proses judicial review di atas.
Aktivitas kedermawanan zakat, sedekah, dan wakaf berimplikasi pada
tiga hal, pertama adanya pengumpulan dana clan aset yang climanfaat
kan oleh organisasi sosial dan komunitas untuk menolong, keclua men
ciptakan mang publik untuk menclorong kebajikan sosial, clan ketiga
adalah menciptakan dan memperkuat civil society. Selain itu, aktivitas
kedermawanan yang suka rela itu ada faktor "thirdparty ",faktor Tuhan,
faktor keikhlasan, faktor kemanusiaan, faktor hati, dan faktor abstrak
lainnya yang tidak mudah memaksa pembaya.ran serta pengelolaannya
hanya ke satu lembaga saja yaitu pemerintah. Justru aspek filantropi itu
akan hilang jika dikelola oleh nega.ra.
Sekalipun judicial review itu dikabulkan sebagian, dan pemerin
tah tetap bersikukuh bahwa pengelolaan zakat hanya boleh dilakukan
oleh Baznas dan unit di bawahnya, ternyata pada praktiknya, u ndang
undang ini dan aturannya tidak mudah mengubah praktik kederma
wanan yang ada di masyarakat. Sudah tiga tahun berlalu da.ri keputLsan
undang-undang di tahun 2011, dan tidak ada pembahan bera.rti dari
praktik berzakat di Indonesia yang mendorong masyarakat secara wka
rela membayarkan zakat mereka ke badan pemerintah. Hal ini karena
zakat itu melekat pada tradisi, di mana akar tradisi ini panjang, di an
taranya melekat pada aktivitas keagamaan keseharian termasuk juga di
pesantren. Masya.rakat sudah terbiasa berzakat dengan beragam cara,
ada yang pakai salam tempel dititipkan ke kiai, ada yang autodebet ke
lembaga yang dianggap amanah, ada yang diberikan dalam aca.ra open
house, ada yang disalurkan untuk proyek-proyek pengentasan kemiskin
an, ada yang dibuat gedung sekolah, dan lainnya. Transformasi memang
perlu dilakukan, tapi harus strategis, bottom-up, dan mengontekskan
perubahan tradisi.
Keterlibatan dalam advokasi itu menyenangkan, karena itu yang
menjadi idealisme saya melakukan proyek penelitian filantropi Islam
clan studi Ph.D. saya. Praktik zakat, sedekah, clan wakaf justru rnenja-·
di pendorong bagi perkernbangan geraka n filantropi ketika dibungkus
dalam studi filantropi yang masuk pada ranah kajian sejarah dan kajian
436
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
sosial atau kajian-kajian empiris lainnya. Secara tidak langsung, studi
ini mendorong profesionalisme pengelolaan zalr.at dan wakaf, termasuk
semangat transparansi clan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pub
lik, clan mendorong keterlibata n perempuan dalam kegiatan filantropi.19
Upaya advokasi yang saya lakukan untuk gerakan "filantropi untuk
keadilan sosial", tidaklah mudah. Hasil survey penelitian filantropi yang
dilakukan saya clan kawan-kawan di PBB atau kemudian berganti nama
menjadi CSRC (Center for the Study of Religion and Culture) menye
butkan bahwa besarnya derma masyarakat Muslim dalam satu tahun itu
(data tah un 2004) minimal ada.lah 19,3 triliun rupiah (di luar hitungan
wakaf). Bayangkan, bahwa potensi filantropi yang begitu besar clan me
limpah seperti air hujan seakan turun ke bumi, membanjiri sebentar tapi
kemudian hilang tak berbekas. Masyarakat miskin tetap miskin, tidak
berubah, tetap menjadi peminta-minta. Banyak organisasi amil zakat
yang t·erpaku pada pemberian santunan (rnisalnya korban banjir, korban
kebakaran , clan seterusnya) , tanpa secara serius melakukan upaya bagai
mana supaya mengurangi banjir dan mengurangi kcbakaran sehingga
tidak ada bncana.Inilah pentingnya strategicphilanthropy atau strategic
gi•uing. Gerakan socialjustice philanthropy ini mengupayakan perubahan
bahwa organisasi filantropi perlu memikirkan upaya program jangka
panjang yang lebih efektif untuk mengurangi kemisk:inan.
Upaya di atas sulit karena di Indonesia minim contoh. Oleh kare
nanya di kampus , saya bersama Prof.Jamhari , Emi llmiah, Prof. Koma
ruddin Hidayat, serta kawan-kawan lain, membuat organisasi kederma
wanan Islam yang kami beri nama SocialTrust :Fund.Dengan membawa
misi socialjustice philanthropy, Jembaga non-struktural ini berkembang
cukup cepat dan di tahun pertama sudah mendapat grant dari the Ford
Foundation, kemudian dari Global Fund for Community Foundation,
dari Mayapada group (Dt.Taher), termasuk juga dari lembaga filantropi
nasionaJ di Indonesia seperti Dompet Dhuafa, CSR seperti Eka Tjip
ta foundation, dan organisasi lokaJ seperti Darma Wanita cabang illN
19 Amelia Fauzia, "Religious Practices: Zakar (Almsgiving): Indonesia."Encyclopedia
of Women & I>lamu Cultures. General Editor Suad Joseph . Brill Online, 2013.Refr.rence .
http ://www .paulyonline .brill.nl/ entries/ encyclopedi:i-of-womc n-and-Islamic-cultures/
religious-practiccs-zakat-almsgiving-indonesia-COM_001 464.
437
BAGIAN KETIGA
Jakarta! Dalam sebuah pertemuan pemberian beasiswa di rektorat, saya
cukup surprise mendengar Direktur Dompet Dhuafa mengucapkan te
rima kasih kepada UIN Jakarta khususnya kepada saya yang menjadi
pionir melakukan studi tentang filantropi karena secara tidak langsung
telah membuat zakat clan organisasi pengelola zakat menjadi diterima
oleh masyarakat dunia. Ringkasnya, zakat booming karena kajian filan
tropi, yang telah mengenalkan zakat di kajian filantropi dunia. Memang
itulah yang terjadi. Kalau sebelumnya agak sulit menjelaskan praktik-·
praktik kedermawanan yang beragam ini, kini dengan isitlah filamropi
Islam, masyarakat internasional lebih mudah memahami fenomena za
kat, wakaf clan sedekah. Selain itu, kajian filantropi menggulirkan pen
tingnya lcmbaga filantropi non-pemerintah yang berbasis NGO atau
yayasan, clan pentingnya studi :6.lantropi dilakukan. Kajian filantropi
berhasil menjadi trendsetter dalam perubahan kebijakan publik.
Proyek penelitian filantropi bisa berhasil membawa diskursus a1.<a
demik clan gerakan filantropi di Indonesia karena dikelola oleh kelom
pok santri di UIN Jakarta; yang memiliki akar kuat tradisi filantropi Is
lam tapi bisa melihat universalitas tradisi itu dalam diskursus akademik
disandingkan dengan tradisi lain di dunia. Studi filantropi menunjuk
kan bahwa filantropi itu adalah fenomena universal yang bisa ditemui
di berbagai periode historis dan berbagai peradaban .w Ide filantropi bisa
diterima di Indonesia dan dunia Islam karena menggunakan bar1asa
santri yang dipahami oleh dua dunia, dunia keilmuan "bara t" clan dunia
"Islam". Penolakan kalangan Islam clan kecurigaan bahwa proyek. filan -
tropi ini adalah agenda "Barat", menjadi hilang. Kekhawatiran bahwa
proyek filantropi sangat sensitif dan be.rhenti setelah peristiwa 9/11 ter
nyata salah. arena proyek clan gerakan ini bisa menggunaka .n tradisi
filantropi Islam itu sendiri untuk melakuka.n perubahan .
Praktik filantropi Islam buka n sekadar aktivitas, tapi ia mengakar di
tradisi yang kuat, tradisi langit clan bumi yang kaya. Begitu juga seorang
santri, padanya juga melekat akar kekayaan tradisi Islam, terrnasuk tra
disi kedermawanan itu sendiri. Ke mana pun santri menjadi, bawah sa
darnya akan tetap membawa tradisi ini.
20 llchman, et al.
438
MENGHIDUPI FILANTROPI ISLAM
iUi bihi nasta'in ala umur al-dunya wa al-din.
Leiden, 15 Desembet 2015
Bib\iogratl
Fauzia, Amelia. 1998. " The Ratu Adil Movement and the Searchfar Justi
ce". Thesis. Leiden University. p. ii.
:Friedman, Lawrence ]. and Mark D. MacGarvie (Eds.). 2003. Charity,
Philanthropy , and Civility in American History. Cambridge Univer
sity Press.
McCarthy; Kathleen D. 2003.American C:•eed: Philanthropy and the Rise
of Civil Society 1700-1865. Chicago: University of Chicago.
Payton, R.L. 1988. Philanthropy: Voluntary ./iction far the Public Good.
New York: American Council on Education/McMillan.
Putnam, Robert D. 2000. Bowling Alont: The Collapse and Revival of
American Community.N ew York: Simon & Schuster.
https://www.oxfam.org.au.
http://www.volunteeringaustralia.org.
http://www.australianvolunteers.com.
http://www.ceres.org.au.
439