Post on 13-Nov-2021
INDONESIAAP K RED
BADAN PENGELOLA
REPUBLIK INDONESIAD
ASOSIASI AHLI PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIABADAN PENGELOLA REED+KEMENTERIAN KEHUTANAN
JAKARTA
KERJASAMA
Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI
Jakarta, 18-19 November 2014
PROSIDINGPROSIDINGISBN 978-602-73376-0-2
KEMENTERIANKEHUTANAN
Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI
Jakarta, 18-19 November 2014
PROSIDINGISBN 978-602-73376-0-2
Editor:Prof. Dr. Ir. Deddy Hadriyanto, M. AgrProf. Dr. Ir. Hermansah, MS, M.ScProf. Dr. Ir. Agus Kastanya, MSDr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.ScDr. Ir. Markum, M.ScIr. Agus Susatya, M.Sc, Ph.DDr. Ishak Yassir, S.Hut, M. ScDr. Ir. Sabaruddin, M.Sc
Penyusun :Yayan Hadiyan S.Hut, M.ScMuhammad Farid, S.Hut, M. ScKestri AriyantiSumardi S.Hut, M.Sc
Alamat:Jl. Argo No. 1, Bulaksumur Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Telp. (0274) 512102, 901420 Email : apik.indonesia@yahoo.co.id
Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK)
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
i
Prosiding Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI Jakarta, 18-19 November 2014
KERJASAMA ASOSIASI AHLI PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIA
BADAN PENGELOLA REED+ KEMENTERIAN KEHUTANAN
JAKARTA
INDONESIA
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
ii
Prosiding Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari,
18-19 November 2014, Jakarta Indonesia
@Tahun 2015 Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia)
Editor:
Prof. Dr. Ir. Deddy Hadriyanto, M. Agr
Prof. Dr. Ir. Hermansah, MS, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Agus Kastanya, MS
Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc
Dr. Ir. Markum, M.Sc
Ir. Agus Susatya, M.Sc, Ph.D
Dr. Ishak Yassir, S.Hut, M. Sc
Dr. Ir. Sabaruddin, M.Sc
Penyusun :
Yayan Hadiyan S.Hut, M.Sc
Muhammad Farid, S.Hut, M. Sc
Kestri Ariyanti
Sumardi S.Hut, M.Sc
Design dan Tata letak:
Edy Wibowo
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak,
microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau
keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut :
Sitasi:
Hadriyanto, D. et all (EDS). 2015. Mitigasi Dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola
Hutan Dan Lahan Lestari, 8-9 November 2014. Jakarta Indonesia
Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia. Yogyakarta.
ISBN 978-602-73376-0-2
Diterbitkan oleh:
Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia Jl. Argo No. 1, Bulaksumur Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta
Telp. (0274) 512102, 901420 Email : apik.indonesia@yahoo.co.id
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
iii
KATA PENGANTAR
Hutan sebagai common property adalah sumberdaya bersama yang memiliki fungsi penting
baik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Pengelolaan hutan yang selama ini diterapkan masih belum
sepenuhnya bersifat berkelanjutan dan diikuti dengan terjadinya degradasi fungsi, baik secara
ekonomi maupun ekologi. Fungsi hutan menjadi bagian yang sangat penting dalam perubahaan
iklim, karena level carbon dan gas rumah kaca di atmosphir sangat bergantung pada kesetimbangan
pengikatan dan emisi karbon di ekosistim hutan. Urgensi dari pengurangan emisi untuk menjaga
kesetabilan konsentrasi GRK di atmosfer telah mendorong berbagai pemikiran penanganannya,
baik terkait upaya mitigasi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Berbagai kebijakan
pemerintah terkait penanggulangan perubahan iklim telah dilahirkan untuk mendorong penanganan
yang terintegrasi berbagai sektor. Salah satunya adalah REDD+ (Pengurangan Emisi dari
Deforestasi, Degradasi Hutan, Peran Konservasi, Peningkatan Serapan Karbon dan Pembangunan
Kehutanan yang Berkelanjutan), yang menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya
menurunkan emisi karbon sektor kehutanan sebagai mandat COP ke 13 di Bali.
Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia) merupakan
kumpulan mereka yang perhatian dan turut berpartisipasipasi untuk menghimpun, membina,
mengembangkan, dan mengamalkan IPTEK di bidang perubahan iklim dan kehutanan serta
memberikan masukan ilmiah kepada pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia baik di
tingkat nasional dan internasional terkait dengan kebijakan perubahan iklim dan kehutanan.
Asosiasi ini juga merupakan jejaring dari beberapa perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga
diklat serta lembaga swadaya masyarakat di 7 region di Indonesia : region Sumatera, Jawa, Bali
Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Memandang pentingnya persoalan mitigasi, adaptasi dan tata kelola hutan dan lahan, dalam
konteks penanganan perubahan iklim di Indonesia, Apik berkejasama dengan BP-REDD+ telah
melaksanakan Seminar Nasional dengan tema “Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju
Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari ”.
Seminar tersebut telah mejadi sasrana berbagi informasi status perkembangan kebijakan
perubahan iklim Internasional dan Nasional, berbagi informasi status penelitian adaptasi dan
mitigasi penanganan perubahan iklim dan kehutanan di Indonesia, dan telah merumuskan masukan
terkait kebijakan, strategi dan rencana aksi penanganan perubahan iklim ke depan, khususnya
menyongsong implementasi REDD+ di Indonesia.
Pada kesempatan ini, diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian
Kehutanan dan Bp REDD+ yang telah membantu baik operasional maupun pendaaan atas
penyelenggaraan Seminar Nasional tersebut.
Yogyakarta, Agustus 2015
Ketua Umum,
ttd.
Dr. Sastyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
iv
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
ADAPTASI....................................................................................................... 1
1 ADAPTASI SPESIES TANAMAN PADA KONDISI EKSTRIM BESERTA
ADAPTASI PENDEKATAN PENANAMANNYA UNTUK ANTISIPASI
PERUBAHAN IKLIM ........................................................................................... 3
2 MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN MERESPON DAMPAK PERUBAHAN
IKLIM: GENDER PERSPEKTIF ................................................................................... 17
3 ADAPTASI JENIS-JENIS POHON PIONIR PADA HUTAN RAWA GAMBUT
YANG TERDEGRADASI BERAT DI OGAN KOMERING ILIR, SUMATERA
SELATAN .................................................................................................................... 29
4 BIODIVERSITAS DAN PERAN MASYARAKAT ADAT DALAM PERUBAHAN
IKLIM DI REGION PAPUA ......................................................................................... 39
5 WHAT DID DRIVE EXTREME DROUGHT EVENTS IN 2014? ................................... 55
6 STRATEGI ADAPTASI DAN MITIGASI DALAM MENGHADAPI BENCANA
PESISIR AKIBAT PERUBAHAN IKLIM ..................................................................... 61
7 ARBORETUM DESA : AKSI LOKAL KONSERVASI JENIS TANAMAN
HUTAN MENDUKUNG PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM ................................ 71
8 STATEGI USAHA PERTANIAN PETANI KARET DALAM MENGHADAPI
PERUBAHAN IKLIM DI NAGARI MUARO SUNGAI LOLO KEC. MAPAT
TUNGGUL SELATAN KAB. PASAMAN - SUMBAR .................................................. 81
9 MENGGALI DAN MENEGAKKAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT
ARFAK UNTUK MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM 1 ............................................ 87
10 KEKUATAN KEARIFAN LOKAL DALAM RESTORASI EKOSISTEM TAMAN
NASIONAL GUNUNG MERAPI .................................................................................. 93
MITIGASI .................................................................................................... 101
11 ALIRAN KARBON DAN ENERGi PADA BERBAGAI TUTUPAN LAHAN
SULAWESI TENGAH ................................................................................................ 103
12 ESTIMASI POTENSI CADANGAN DAN SERAPAN KARBON DI PROVINSI
BENGKULU DENGAN MENGGUNAKAN DATA MODIS ........................................ 109
13 STUDI POTENSI BIOMASSA ATAS DAN BAWAH PERMUKAAN TANAH
PADA PSP KPHP UNIT IV DAN KPHL UNIT XIV UNTUK MENDUKUNG
SISTEM MRV STOK KARBON HUTAN DI MALUKU .............................................. 131
14 PERHITUNGAN STOK KARBON PADA DAERAH KAPUR DAN KARST DI
PAPUA BARAT: STRATEGI UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN REDD+ .............. 143
15 UPAYA PENURUNAN EMISI CO2 SEKTOR KEHUTANAN DI PROPINSI NUSA
TENGGARA BARAT ................................................................................................. 151
16 PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN
TROPIS DATARAN RENDAH ................................................................................... 161
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
vi
17 POTENSI SERAPAN KARBON PADA BERBAGAI JENIS TEGAKAN HASIL
REHABILITASI HUTAN POLA HUTAN KEMASYARAKATAN: STUDI KASUS
HKM KAB. REJANG LEBONG BENGKULU ............................................................. 169
18 PERUBAHAN POPULASI DAN BIOMASA TEGAKAN DALAM KAITANNYA
DENGAN AKUMULASI CARBON DI KAWASAN HUTAN HUJAN TROPIS
ULU GADUT PADANG SUMATRA BARAT ............................................................. 175
19 REVIEW : VARIASI KANDUNGAN BIOMASA PADA BERBAGAI EKOSISTIM
DI SUMATRA ............................................................................................................ 185
20 ANALISIS PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SEBAGAI UPAYA MITIGASI
PERUBAHAN IKLIM DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DI SUMATRA UTARA ............................................................................................... 199
21 THE IMPACTs OF FOREST CONCESSIONS ON DEFORESTATION IN
INDONESIA ............................................................................................................... 209
22 PENAKSIRAN BESARNYA STOK KARBON DAN PENURUNAN EMISI
MELALUI PENERAPAN METODE REDUCED IMPACT LOGGING CARBON
(RIL-C) ....................................................................................................................... 221
23 ESTIMASI EMISI LANGSUNG NITRUS OKSIDA (N2O) ASAL APLIKASI
PUPUK NITROGEN AN-ORGANIK PADA PERKEBUNAN SAWIT DI LAHAN
GAMBUT ................................................................................................................... 231
24 MODEL ALOMETRIK PENDUGAAN BIOMASSA DAN KARBON TEGAKAN
HUTAN JENIS KERUING (Dipterocarpus sp) PADA HUTAN ALAM PRODUKSI
DI KALIMANTAN TENGAH ..................................................................................... 237
25 KUANTIFIKASI MASSA KARBON PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI
LANGKAT, SUMATERA UTARA .............................................................................. 245
26 ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) BERDASARKAN
TINGKAT KEBUTUHAN OKSIGEN, ABSORBSI KARBON DIOKSIDA DAN
PENGENDALI IKLIM MIKRO DI WILAYAH PERKOTAAN ..................................... 251
27 PENELITIAN PENDAHULUAN TENTANG KONDISI UDARA DI BALI
SEBAGAI INDIKASI PERUBAHAN IKLIM ............................................................... 265
28 EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN DI KABUPATEN POHUWATO PROVINSI
GORONTALO ............................................................................................................ 269
29 POTENSI KARBON HUTAN NAGARI SIMANCUANG PROVINSI SUMATERA
BARAT SEBAGAI UPAYA MENDUKUNG SISTEM MRV ........................................ 275
30 ESTIMASI NILAI TEGAKAN DI RTHKP KOTA BANJAR BARU .............................. 287
31 ADAPTASI DAN MITIGASI PEMANASAN GLOBAL MELALUI HUTAN JATI
RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA ..................................................... 311
32 MODEL PENGHITUNGAN CADANGAN KARBON HUTAN RAKYAT
BERSERTIFIKAT SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU ................................... 319
33 PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT MELALUI
PROGRAM KULIAH KERJA NYATA MAHASISWA (KUKERTA) ........................... 337
34 KAJIAN KEGIATAN REDD+ DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN IKLIM ............... 343
35 PENGEMBANGAN PARAMETER FRAKSI KARBON YANG HILANG ..................... 359
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
vii
TATA KELOLA .......................................................................................... 366
36 TANTANGAN PELIBATAN MASYARAKAT DALAM MENGELOLA
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) DI BENGKULU
UTARA ...................................................................................................................... 367
37 TATA KELOLA KPHP LAKITAN, MANDIRI DENGAN KEMITRAAN
MASYARAKAT ........................................................................................................ 377
38 PERANAN BALAI DIKLAT KEHUTANAN DALAM MITIGASI PERUBAHAN
IKLIM ........................................................................................................................ 387
39 PENGARUH BIOREMEDIASI DAN FITOREMEDIASI MERKURI (Hg)
TERHADAP PENINGKATAN UNSUR HARA TANAH PADA LAHAN PASCA
TAMBANG EMAS ..................................................................................................... 395
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
185
19 REVIEW : VARIASI KANDUNGAN BIOMASA PADA BERBAGAI
EKOSISTIM DI SUMATRA
A review: the variation of biomass content in various ecosystems in sumatra
Agus Susatya1)
dan Asep Sukmana2)
1)Jurusan Kehutanan UNIB 2BPK Aek Nauli, Sumatra Utara
ABSTRACT
Sumatra has been known to have various ecosystem regimes. Laumonier (1992) classified Sumatra island into 38
main floristic sectors based on geomorphology, temperature, rain fall, and plant diversity. These various floristic
sectors will play important roles in dealing to climate change adaptation and mitigation schemes. Therefore, the
review of the information on the biomass /carbon balance and the method to estimate biomass on various
ecosystems is a pivot step to carry out many program related to adaptation and mitigation. Data accessed from
various sources showed that above ground biomass on lowland, lower mountain, upper mountain, peat, mangrove
forests, and agroforesty is 131-360 ton/ha, 175-1279 ton/ha, 165-867 ton/ha, 94-348 ton/ha, 3-78 ton/ha, and 10-
216 ton/ha. The use of remote sensing methods seemly provides overestimated values of carbon reserves. The
method to estimate biomass mainly used allometric models developed by Brown (1997), Ketterings et al., (2001),
and default values from IPCC 2003. For mixed forest, only three allometric models developed based on local
ecosystem are available. There is a significant gap between the available allometric models and the need to
estimate biomass across various floristic sectors. Futhermore studies on the carbon sequestration on degraded and
deforested ecosystems should also be carried out in the near future.
Keywords: biomass, carbon, ecosystem, floristic sector, allometric,
ABSTRAK
Sumatra memiliki keragaman ekosistim yang tinggi. Laumonier (1992) membagi menjadi 38 sektor floristik
utama berdasarkan geomorphologi, suhu, curah hujan, dan flora. Terkait dengan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim, maka sangat penting untuk mengetahui kandungan biomasa dan metode pendugaan
biomasa di Sumatra. Dari berbagai artikel, didapatkan bahwa kandungan biomasa atas tanah untuk hutan
dataran rendah berkisar 131-360 ton/ha, hutan pegunungan bawah berkisar antara 175-1279 ton/ha,
pegunungan bagian atas berkisar antara 165-867 ton/ha, gambut berkisar 94-348 ton/ha, mangrove berkisar
3-78 ton/ha, dan agroforestry antara 10-216 ton/ha. Metode yang digunakan menggunakan model alometrik
dari Brown (1997), Ketterings et. al. (2001) dan nilai default IPCC 2003. Untuk hutan daratan (mixed forest),
hanya ada tiga kelompok model alometrik yang dibangun berdasarkan ekosistim di Sumatra. Ada
kesenjangan yang besar antara alometrik yang tersedia dengan kebutuhan pendugaan nilai biomasa di
berbagai ekosistem yang ada di Sumatra. Untuk masa depan, perlu dibangun model alometrik setempat yang
sesuai dengan ekosistimnya.
Kata kunci : biomasa, karbon, ekosistem, sektor floristik, alimetrik.
1. PENDAHULUAN
Kajian komprehensif klasifikasi ekologi di Sumatra dilakukan oleh Laumonier
(1992) dengan membagi Sumatra menjadi enam sektor utama floristik. Sektor utama
florsitic I mencakup daerah kawasan pesisir timur laut yang meliputi Riau, Jambi, dan
Sumatra Selatan. Sektor II meliputiSibolgadan bagian barat dan utara NAD. Sektor III
meliputi Asahan, Langkat, (Sumatra Utara) dan Langsa (NAD). Sektor IV adalah bagian
ujung tenggara Sumatra yang mencakup Lampung, Sektor V adalah sektor floristik
Sumatra Barat, sedangkan sektor VI adalah sektor floristik Bengkulu barat daya. Lebih
jauh Laumonier membagi lagi sektor utama menjadi 38 sektor eco-floristic dengan
menambahkan variasi elevasi (WWF Indonesia, 2010). Sektor floristic ini mencerminkan
keragaman ekosistim yang mempunyai struktur dan fungsi yang sangat berbeda satu
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
186
dengan yang lain. Terkait dengan masalah adaptasi, mitigasi perubahan iklim, terutama
REDD+, tentunya sangatlah penting untuk bisa mengetahui besaran biomasa atau karbon
yang tersimpan di dalam masing-masing ekosistim, dan juga bisa mengetahui bagaimana
kemampuan dari ekosistim yang ada dalam menyerap karbon (sequestration). Di dalam
konteks ini, maka keberadaan nilai pendugaan karbon atau biomasa dan metode pendugaan
biomasa menjadi penting sebagai bagian scientific evidences yang dapat digunakan untuk
membangun kebijakan mitigasi yang lebih baik. Tulisan ini berusaha untuk menyajikan
apa yang telah dilakukan oleh berbagai pihak terkait dengan pendugaan biomasa dan
model alometriknya di Sumatra. Data dan informasi dikumpulkan dari berbagai artikel
yang bisa diakses melalui internet, maupun data yang tersedia dari penulis.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
Wetland Internasional secara makro dengan menggunakan default biomasa IPCC
2003 (350 ton/ha) memperkirakan bahwa hutan daratan Sumatra seluas 12.8 juta ha
mempunyai cadangan karbon sebesar 2.1 gigaton/ha. Sedangkan hutan gambut yang
mempunyai luas 7.2 juta ha, mengandung karbon sebesar 21 giga ton/ha. Secara terperinci,
cadangan karbon di atas ditampilkan di dalam 8 Propinsi yang ada di Sumatra, namun
tidak dalam per satuan ekosistim yang ada (WWF Indonesia, 2010). Miettinen dan Liew
(2009) dengan menggunakan nilai default IPCC 2003/2006 untuk hutan daratan dan nilai
besaran dari Komiyama (2005) untuk hutan mangrove (302 ton/ha) menampilkan perkiraan
berdasarkan ecosystem secara global di Sumatra. Mereka memperkirakan hutan mangrove,
gambut, dataran rendah (<750 m dpl), Pegunungan bagian bawah (lower montane, 750-
1500 m dpl), Pegunungan bagian atas (upper montane, >1500 m dpl), mosaik pegunungan,
dan mosaik dataran rendah masing masing-masing mempunyai kandungan biomasa di atas
permukaan tanah sebesar 105, 668, 1928, 1222, 70, 139, dan 137 ton/ha (Tabel 1).
Penelitian yang dilakukan berbagai pihak memperlihatkan bahwa variasi yang
sangat besar dari satu sektor utama floristic ke sektor florsitic lainnya (Grafik 1, dan 2).
Grafik 1 memperlihatkan bahwa estimasi kandungan biomasa yang lebih terperinci di
berbagai tipe ekosistim dan sektor floristic utama di Sumatra. Grafik 1 juga
memperlihatkan bahwa nilai dugaan biomasa ternyata jauh lebih kecil dibandingan dengan
hasil pendugaan oleh Mittenen dan Liew (2009). Untuk ekosistim yang masuk dalam
kategori hutan dataran rendah estimasi biomas berkisar dari 210-200 ton/ha untuk Aceh
(sektor floristic utama II), 320-400 ton/ha (Jambi, I), 131 ton/ha (Siberut), 141 ton/ha
(Bengkulu, V), 195 ton/ha (lampung,V), dan 178 ton/ha (Lampung, IV) (Grafik 1). Nilai-
nilai di atas jauh di bawah nilai dari Miettenen dan Liew (2009) sebesar 1928 ton/ha.
Untuk hutan pegunungan bawah, perkiraan biomasa berkisar antara 150 ton ha (NAD, II)
sampai dengan 1279 ton/ha (Batang Gadis, SUMUT, IV) (Grafik 1), sedangkan nilai dari
Miettenen dan Liew (2009) sebesar 1222 ton/ha. Variasi hasil estimasi cadangan biomass
mencerminkan beragamannya, iklim, jenis tanah, umur, struktur dan komposisi, tingkat
pengaruh manusia, dan metode pendugaan biomasa. Dari berbagai ekosistim, ternyata
formasi hutan pantai boleh dikatakan terlupakan. Formasi ini paling sedikit mendapatkan
perhatian, karena kawasannya tidak begitu luas, dan paling dahulu dikonversi menjadi
peruntukan lain. Formasi ini sebetulnya punya fungsi strategis terkait dengan mitigasi
perubahan iklim dan bencana. Hutan pantai lebih banyak ditemukan di pantai bagian barat
Sumatra, sedangkan kandungan biomassanya sebetulnya relatif lebih tinggi dibandingkan
formasi hutan dataran rendah. Data dari Suwarno (2012) memperlihatkan bahwa berat
biomasanya mencapai 283.42 ton/ha, dan nilai ini lebih tinggi dari hutan dataran rendah di
Lampung (Hairah et al.,. 2006, Prasetyo et al., 2012)(Tabel 1).
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
187
Untuk tipe ekosistim hutan lahan basah (gambut dan mangrove), perbandingan
hasil penelitian Mittenen dan Liew (2009) dengan yang lainnya menunjukkan perbedaan
yang besar. Hasil perkiraan Mittenen dan Liew untuk hutan rawa dan manrove masing-
masing adalah 668 ton/ha dan 105 ton/ha, sedangkan untuk hutan gambut di Jambi berkisar
antara 212 – 348 ton/ha (Krisnawati dan Imanuddin 2011), sedangkan di Sumatra Selatan
berkisar antara 223-254 ton/ha biomasa (Merang Project, 2014)(Grafik 1).
Pola berbanding antar lokasi di Sumatra dan perbandingan dengan nilai Miettenen
dan Liew (2009) untuk hutan mangrove mempunyai pola yang sama dengan formasi hutan
gambut. Tidak seperti hutan daratan, di hutan mangrove pendugaannya harus mengikuti
spesies, karena ekosistim hutan mangrove mempunyai zonasi, yang biasanya didominasi
oleh satu jenis saja. Hasil estimasi biomasa dari mangrove mempunyai nilai yang jauh
lebih kecil (7-78 ton/ha) dari nilai dari Miettenen dan Liew (105 ton/ha. Telaah lebih
terperinci dengan membanding di berbagai lokasi memperlihatkan bahwa nilai dugaan
berat biomasa tidak begitu beda jauh baik Mangrove di Siberut (Bismark et al., 2008),
Bengkulu (Afrianto, 2014) , Riau (Khaijiran et al., 2013), dan Sumatra Utara (Onrizal dan
Mansor (2010) (Grafik 2). Perbedaan di atas menunjukkan bahwa metode penggunaan citra
satelit oleh Miettenen dan Liew (2009) memberikan hasil dugaan yang lebih tinggi (over
estimated). Yang sangat menarik dari data di atas adalah bahwa jenis-jenis Rhizophora dan
Bruguiera mempunyai nilai yang kurang dari 25 ton/ha di semua lokasi (Grafik 2). Hasil
pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kedua jenis ini sering menjadi korban
penebangan, sebaliknya jenis Sonneratia alba kurang disukai untuk ditebang, sehingga
nilai biomasanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan keduanya. Temuan dari Onrizal
dan Mansor (2010) lebih lanjut memperlihatkan pengelolaan mangrove oleh masyarakat
jauh lebih baik dibandingkan oleh instansi terkait dalam konteks kandungan biomasanya.
Nilai dugaan biomasa di agroforestry juga sangat beragam tergantung komposisi
dan struktur vegetasi yang ada, intensitas pengelolaan, dan umur. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa agroforestry berbasis karet dengan umur lebih dari 15 thn mempunyai
nilai biomasa berkisar 165-216 ton/ha (Grafik 2). Nilai ini sesungguhnya sama dengan
nilai biomasa di ekosistim hutan alam (Alfaidzin. 2013). Sedangkan agroforestry yang
berbasis kopi mempunyai nilai kurang dari 30 ton/ha (Prasetyo et al., 2012), dan jauh lebih
kecil dari nilai biomasa agroforestry yang berbasis karet. Sistim agroforestry di atas
merupakan sebagian dari sistim agroforesty di Sumatra yang sangat beragram, dimana
struktur dan komposisinya tergantung kepada lokasi dan latar belakang sosial dan budaya.
Sebagai contoh, di Sungai Penuh, Jambi agroforestry dibangun berbasis Kayu Manis,
sedangkan secara tradisional di Bengkulu sistim agroforestry mencakup ladang, rimbo
mudo, rimbo tua, dan hutan. Pada dasarnya sistim agroforestry di Sumatra yang ada
merupakan hasil evolusi lanjut dari sistim perladangan berpindah. Oleh karena itu, nilai
dugaan biomasa agroforestry di suatu tempat, tidak serta merta dapat digunakan untuk
pendugaan biomasa di sistim yang sama di tempat lainnya.
Dari artikel yang terkumpul, ternyata analisis tentang berapa besar penambahan
biomas (biomass increament), yang juga mencerminkan berapa banyak karbon di atmosfer
yang dapat diikat oleh ekosistim hutan tidak banyak dijumpai. Walaupun menggunakan
method berbeda, nilai kemampuan daya serap bersih ekosistim di berbagai tempat di
Sumatra tidak jauh berbeda. Krisnawati dan Imanuddin (2011) di hutan gambut
mendapatkan bahwa penambahan biomass diperkirakan sebesar 7.09 ton/ha/thn.
Sedangkan di hutan dataran rendah Bengkulu, Susatya (2011), dan Yuliarti (2012)
mendapatkan bahwa nilai daya serap karbon masing-masing sebesar 2.46 ton/ha/thn dan
2.0-10.0 ton/ha/thn. Krisnawati dan Imanuddin (2011), Susatya (2011), dan Yuliarti (2012)
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
188
masing masing dalam perhitungannya menggunakan persamaan yang dibangun oleh
Brown (1997), Kato et al., (1978), dan menggunakan MODIS.
Metode perhitungan biomass ternyata sangat beragam, dari yang menggunakan
model-model yang dibangun oleh Yamakura et al.,(1986), Brown (1997), Brown et al,
(1998), Kettering et al.,(2001), Arifin (2001), Komiyama (2005) atau nilai default dari
IPCC 2003/2006 (Tabel 1). Metode yang dikembangkan oleh Brown (1997) dan Brown
dkk (1998) secara luas digunakan untuk menduga berat biomasa. Metode Brown dibangun
berdasarkan data yang sebagian besar dikumpulkan dari hutan di Amerika latin dan tengah.
Adapun model moist forest dari Asia Tenggara berasal dari data dari Hutan Semenanjung
Malaysia, Sarawak, Kambojo dan Kalimantan Timur. Adapun formasi hutannya adalah
hutan pengunungan bawah (hill forest), lowland mixed dipterocarp-dense stocking, dan
mixed Dipterocarp dense dan medium dense stocking forests. Sedangkan IPCC 2003 dan
2006 (IPCC, 2003, 2006) nilai defaultnya dalam berbagai regim curah hujan didapatkan
dari data yang sebagian besar berasal dari hasil inventarisasi hutan Amerika Selatan.
Disamping model dari Brown, model allometric yang luas dipakai di Sumatra
adalah model yang dibangun oleh Kettering et al.,(2001). Model ini yang boleh jadi adalah
yang pertama dibangun berdasarkan ekosistim hutan daratan di Jambi. Namun penggunaan
model ini perlu hati-hati, karena model alometriknya dibangun berdasarkan hutan sekunder
dataran rendah, yang didominasi tanaman karet, tumbuhan pioner seperti Mallotus sp.
Croton sp. dan Macaranga, dan tanaman buah-buahan, Artocarpus, Parkia, dan
Pittecelobium (Kattering et al.,.2001). Tentunya penggunaan model ini untuk formasi
hutan lain bisa memberikan nilai lebih rendah dari nilai sebenarnya
Metode pendugaan karbon dengan alometrik yang dibangun sendiri berdasarkan
data dari ekosistim di Sumatra sangatlah sedikit. Dari artikel yang terkumpul model
alometrik yang dibuat tersendiri hanya ada untuk Eucalytus grandis di Sumatra Utara
(Onrizal dan Mansor, 2010). Lebih lanjut, Bismark et al.,(2008) menggunakan metode
konvensional dengan memanfaatkan hasil perkalian volume dan berat jenis kayu untuk
menduga berat biomass. Krisnawati et al.,(2012) telah menggumpulkan model alometrik di
Seluruh Indonesia. Dari total 370 model alometrik di Indonesia, 78 (21%) diantaranya
berasal dari Sumatra. Lebih lanjut dari 78 model, hanya 3 kategori model yang berasal dari
hutan campuran (mixed) yaitu dari hutan dataran rendah Jambi dan Mentawai, Sumatra
Barat, serta satu model yang berasal dari hutan gambut Sumatra Selatan. Sisanya,
kebanyakan model dari Sumatra dibangun berdasarkan satu jenis pohon saja seperti Acacia
mangium, Pinus merkusii, dan Hevea brasiliensis(Tabel 2). Tentunya data di atas
memperlihatkan bahwa masih ada kesenjangan yang besar antara model alometrik yang
tersedia dengan beragamnya ekosistim yang ada. Kesenjangan ini diperparah jika kita
memasukkan model alometrik yang digunakan di lahan agroforestry.
Dari artikel yang terkumpul ada dua hal yang menarik. Pertama adalah hampir
semua model yang ada dibangun berdasarkan diameter lebih besar dari 5 cm, sehingga
pohon dengan diameter < 5 cm diabaikan. Ditinjau dari berat biomasa, pohon dengan
diameter kecil akan mempunyai berat yang kecil pula, akan tetapi dari segi laju penyerapan
karbon, secara teoritis pohon dengan diameter yang kecil jauh lebih besar dibandingkan
dengan pohon yang lebih tua. Lebih lanjut, Brown (1997) menyatakan bahwa pohon
dengan diameter kurang dari 10 cm mempunyai kontribusi sebesar 30 % dari total biomas.
Alometrik yang dibangun dengan variable bebas (X) berupa diameter, boleh jadi tidak
tepat untuk pohon dengan diameter yang kecil. Hal ini disebabkan karena pohon yang kecil
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
189
akan cenderung tumbuh meninggi dahulu daripada menambah diameter, sehingga model
yang berbasis diameter bisa tidak cocok.
Kedua adalah kenyataan dari artikel yang ada dan monograph alometrik
(Krisnawati et al., 2012), ternyata belum banyak yang mencoba untuk menduga dinamika
biomasa (karbon) di ekosistim yang sedang mengalami rehabilitasi (recovery). Banyak
data yang tersedia tentang emisi karbon ke atmosfer akibat degradasi dan deforestasi suatu
ekosistim, tetapi tidak banyak data yang tersedia berapa besar ekosistim yang sama juga
menyerap karbon udara dalam proses recovery. Secara teoritis, ekosistim yang terdegradasi
dan terdeforestasi mempunyai cadangan karbon yang menyusut, tetapi laju pengikatan
karbon relatif akan naik.
3. KESIMPULAN
Hasil review memperlihatkan variasi kandungann biomasa atas tanah pada berbagai
ekosistim. Hasil perbandingan antara nilai pendugaan per propinsi dengan pendugaan
dengan skala regional (Miettenen dan Liew, 2009) pada berbagai ekosistim
memperlihatkan nilai yang jauh berbeda, dimana nilai pendugaan dengan citra satelit
cenderung lebih besar. Metode pendugaan yang digunakan kebanyakan menggunakan
model alometrik Brown (1997) dan Katterings et al (2001) atau nilai default IPCC
2003/2006. Terkiat dengan itu, perlu kehati-hatian dalam penggunaan model, karena model
tersebut dibangun dari ekosistim yang mungkin berbeda. Perlu disusun model allometrik
berdasarkan sektor floristic utama. Hal ini disebabkanada kesenjangan yang lebar antara
model yang tersedia dengan kebutuhan pendugaan kandungan biomasa di berbagai sektor
floristik tersebut. Lebih lanjut, perlu juga dibangun alometrik pada pohon dengan diameter
kecil, dan juga pendugaan kemampuan ekosistim di dalam mengikat karbon kembali
(sequestration).
ACKNOWLEDGMENT
Terima kasih Ibu Nur Masripatin dan Jajarannya di BP REDD+, Pengurus APIKI
Nasional, dan untuk pak Asep Sukmana, BPK Aek Nauli, dan Mak Baroroh (UM Sumatra
Barat) atas sharing data dan pengalaman.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, E., Jaya, S.I.N., Saleh, M.B., dan B. Kuncahyo.2013. Biomass estimation using ALOS
PALSAR for identification of lowland forest transition ecosystem in Jambi. JMHT vol
XIX (2):145-155. DOI: 10.7226/JTFM 19.2.145
Afrianto, H. 2014. Estimasi stok karbon pada hutan mangrove di kawasan TWA Pantai Panjang
dan Pulau Baai Bengkulu. Skripsi S1. Jurusan Kehutanan, UNIB
Alfaizin. 2013. Studi komposisi, struktur, biomasa, cadangan karbon, pada berbagai umur
agroforestry berbasis karet di kecamatan Tebo Tengah, Kab. Tebo Jambi. Tesis S2 P.I.
Kehutanan. UGM
http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&
typ= html&buku_id=66330&obyek_id=4
Arifin, J. 2001.Estimasi cadangan karbon pada berbagai sistim penggunaan lahan di Kec.
Ngantang, Malang. Skripsi Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian UNIBRAW.
.Aththorick, A.T., Setiadi, D., Purwanto, Y. and E. Guhardja. 2012. Vegetation stand structure and
above ground biomass, after sifting cultication practices of Karo people in Leuser
Ecosystem, North Sumatra. Biodiversitas 13 (2):92-97
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
190
Bismark, M. Subiandono, E., dan N.M. Heriyanto. 2008. Keragaman dan potensi jenis serta
kandungan karbon hutan mangrove di Sungai Subelen, Siberut. Sumatra. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 5 no:3:297-306.
Bismark, M, Heriyanto N.M. dan S. Iskandar. 2008. Biomass dan Kandungan Karbon pada hutan
Produksi di Cagar Biosfer Pulau Siberut. Sumatra Barat . Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam Vol 5 no:5:397-407
Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests: A primer. FAO,
Roma.
Brown, S., A. J. R. Gillespie, and A. E. Lugo, 1998. Biomass estimation methods for tropical
forests with applications to forest inventory data. Forest Science 35:881-902.
Cifor. 2009. Defining baseline for REDD Ulu Masen, Aceh. Bogor.
http://www2.cifor.org/carbofor/publications/REDDworkshop/07.REDDUluMasen.pdf/8
Nov 2014
Gunawan, H. 2012. Peatswamp forests and carbon sorage in Riau Biosphere Reserve. With initial
results from reforestation experiments. Prosiding Semirata BKS-PTN B. MIFA. 2012.
Universitas Negeri Medan. Pg 493-495
Hairah, K., Rahayu, S., dan Berlian. 2006. Layanan lingkungan agroforestry berbasis kopi
cadangan karbon dalam biomasa pohon dan bahan organik tanah (Studi kasus dari
Sumber jaya, Lampung Barat. Agrivita.28:296-309.
IPCC 2003, 2003. IPCC. Good practice guidance for Land use, land use change and Forestry.
EditedJim Penman, Michael Gytarsky, Taka Hiraishi, Thelma Krug, Dina Kruger,Riitta
Pipatti, Leandro Buendia, Kyoko Miwa, Todd Ngara, Kiyoto Tanabe and Fabian Wagner.
Published: IGES, Japan.
IPCC 2006, 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the
National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K.,
Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.
Kato, R., Ogawa, H., and Y. Takadi. 1978. Plant biomass and growth increament studies in Pasoh
Forest. Mal. Nat. J. 30 (2): 211-224.
Ketterings, Q.M., Coe, R., Van Noordwijk, M., Ambagau, Y., and C.A. Palm. 2001. Reducing
uncertainity in the use of allometric biomass equations of Predicting above-ground tree
biomass in mixed secondary forest. Forest ecology and Management 146: 199-209.
Khairijan, Fatonah, S, dan A.P. Rianti. 2013. Profil diomass dan kerapatan tegakan hutan mangrove
di Marina Station, Kecamatan Dumai Barat. Prosiding Semirata FMIPA UNILA 2013
Komiyama, A. 2005. Common allometric equations for estimating tree weight of mangroves.
Journal of tropical ecology 4: 471-477
Krisnawati, H and Imanuddin, R..2011. Carbon stock estimation of above ground pools based on
forest inventory (permanent sample plot) data. A case study in peatswamp forest in
Jambi. Workshop on tropical wetland ecosystem of Iindonesia. Science needs to address
climate change adaptation and mitigation. Bali 2011
Krisnawati, H., Adinegoro, W.C., dan R. Imanuddin .2012. Allometric models for estimating tree
biomass at various forest ecosystem types in Indonesia. Research and Development
Center for Conservation and Rehabilitation. Forest Research and Development Agency.
FORDA
Laumonier, Y. 1992. Sumatra, lingkungan dan pembangunan: yang lalu, sekarang, dan yang akan
datang.BIOTROP special publication No:46. Bogor: SEAMEO-BIOTROP
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
191
Lestari, P. 1998. Nutrient stocks in four stages of low land rain forest at Pasir Mayang, Jambi
Central Sumatra. Biotropia 11:22-41
Merang REDD Pilot Project.2014. http://redd-atabase.iges.or.jp/redd/download /project?id=59.
15September 2014
Miettinen, J., and S.C. Liew.2009. Estimation biomass distribution in Peninsular Malaysia and in
the islands of Sumatra, Java, Borneo based on multi-resolution remote sensing landcover
analysis. Mit. Adapt. Strategy Glob. Change 14:357-373. DOI 10.1007/s11027-004.9169-
6
Onrizal, Hartono R, Basuki
, R.B., dan C. Kusmana, 2009. Simpanan karbon biomasa hutan tanaman
Eucalyptus grandis di Sumatra Utara. http://onrizal.wordpress.com/2009/03/10/simpanan-
karbon-biomassa-hutan-tanaman-eucalyptus-grandis-di-sumetera-utara/
Onrizal, Mansor, M. 2010. Carbon reserve at mangrove forest in North Sumatra. A paper presented
at ATBC International symposium 19-23 July 2010. Bali
Prasetyo, A., Hikmat, A., dan B. Prasetyo.2012. Pendugaan perubahan cadangan karbon di
Tambling Wildlife Nature Conservation, TNBBS. Media Konservasi Vol 16 (2012): 87-
91.
Sukmana, A. 2011.Potensi Simpanan karbon pada hutan dataran tinggi di zona rimba Taman
nasional Batang Gadis. Tesis S2. Program studi ilmu Kehutanan. UGM.
Susatya, A. 2011. Carbon pools and spacial variations of carbon sequestration capability of Taba
Penanjung Protection Forest, Bengkulu. 309-317. Proceeding International Seminar on
Natural resources, climate change, and food security in developing countries. ISNAR
C2FS. Surabaya
Suwarno, B. 2012. Potensi karbon hutan Pantai Ujung Lancang (Laguna). Tesis S2. Program studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. UNIB
Tresnawan, H. dan U. Rosalina. 2002. Pendugaan biomass di atas tanah di ekosistim hutan primer
dan hutan bekas tebangan. Studi Kassus hutan dusun Aro, Jambi. Jurnal Managemen
Hutan Tropika VII no:1:15-29
WWF Indonesia. 2010. Sumatra’s forests, their wildlife and climate in windows in time: 1985,
1990, 2000, and 2009. WWF Indonesia Jakarta
Yamakura, T, Hagihara, A, Sukarjo, S, and H. Ogawa. 1986. Above ground biomass of tropical
rain forest stand in Indonesian borneo. Vegetation 68:71-82
Yuliarti, E. 2012. Estimasi, Potensi, Cadangan, dan Serapan Karbon di Propinsi Bengkulu dengan
menggunakan data MODIS. Tesis Pascasrjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan UNIB.
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
192
a. b. Hutan dataran rendah
c. Hutan dataran tinggi bagian bawah
c. Hutan dataran tinggi
d. Hutan gambut
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
193
Gambar 1: Nilai estimasi biomasa di atas tanah (ton/ha) di berbagai ekosistim. Angka romawi di dalam kurung merujuk
sektor floristik utama berdasarkan Laumonier (1992). Sumber data lihat tabel 1.
a.
Mangrove
Hutan Sekunder
b. Agroforestry
Gambar 2: Nilai estimasi biomasa di atas tanah (ton/ha) di berbagai ekosistim. Angka romawi di dalam kurung merujuk
sektor floristik utama berdasarkan Laumonier (1992). Sumber data lihat tabel 1.
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
194
Tabel1: Estimasi berat biomasa (ton/ha), metode pendugaan, dan sumber pustakanya.
No Propinsi Ekosistim Biomasa (ton/ha)
Metode Pustaka
1 NAD intact forest (0-500 m dpl) 210,00 Default IPCC Cifor (2009)
Ulu Masen Disturbed forest (0-500 m dpl) 180,00 Landsat ETM &7
Intact forest (500-1000 m dpl) 200,00
Disturbed forest (500-1000 m dpl) 150,00
Intact forest (1000-1500 m dpl) 190,00
Disturbed forest (1000-1500 m dpl) 140,00
Intact forest (> 1500 m dpl) 180,00
Disturbed forest (>1500 m dpl) 130,00
2 SUMATRA UTARA
Mangrove (community forest) 78.39 Komiyama (2005) Onrizal dan Mansor (2010)
Mangrove (conservation forest) 22,39
Leuser, Karo Submantane (800-1400 m dpl)
5 thn 16.00 Brown (1997) Aththorik et al., (2012)
10 thn 121.00 Brown (1997)
20 thn 97.00 Brown (1997)
30 thn 291.00 Brown (1997)
Hutan Primer 663.00 Brown (1997)
Toba Platau Ecalyptus grandis (1600-1700 mpl 129.52 allometric model Onrizal dkk (2009)
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
195
Batang Gadis Dataran Tinggi
600-900 m dpl 1279.00 Kettering et al (2001) Sukmana (2011)
900-1200 m dpl 799.00 Kettering et al (2001)
1200-1500 m dpl 986.00 Kettering et al (2001)
> 1500 m dpl 1128.00 Kettering et al (2001)
3 JAMBI
Pasir Mayang lowland (70-100m dpl) 320-400.00 Yamakura et al (1986) Lestari (1998)
Batang hari-Muara Jambu Lowland
Secondary forest 260.15 Kettering et al (2001) Achmad dkk (2013)
Rubber agroforesty 205.29
Batang hari-tanjung Jabung lowland
hutan primer 348.02 Brown (1997) Tresnawan dan Rosalina (2002)
hutan bekas tebangan (4 thn) 221.39 Brown (1997)
hutan bekas tebangan (2 thn) 189.26 Brown (1997)
Batang Hari Peat Swamp forest 212.30-230.32 Brown (1997) Krisnawati dkk (2012)
Tebo Agroforesty karet tua (50 thn) 216.75
Alfaidzin (2013)
agroforestry karet sedang (35-50 thn) 189.24
Agroforestry karet muda (15-35 thn) 165.14
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
196
RIAU
Peat Swamp forest
Mixed 94.25 Brown et al., (1998) Gunawan (2012)
logged over 71.50 Brown et al.,(1998)
Disurbed 26.75 Brown et al.,(1998)
Mangrove
Rhizophora apiculata 24.67 Komiyama (2005) Khairijan et al., (2013)
SUMATRA BARAT
Siberut Mangrove
volume x berat jenis Bismark et al., (2008)
R. apiculata 24.78 volume x berat jenis
R. mucronata 17.14 volume x berat jenis
B. Gymnorhiza 7.11 volume x berat jenis
Lowland
Hutan primer 131.92 Brown et al., (1998) Bismark et al., (2008)
Hutan habis pembalakan (4thn) 97.55 Brown et al., (1998)
Hutan habis tebangan (1 thn) 70.39 Brown et al. (1998)
BENGKULU Mangrove
Bengkulu Soneratia alba 78.54 Komiyama (2005) Afrianto (2014)
Bengkulu Rhizophora apiculata 15.07
Bengkulu Bruguiera 2.54
Kaur Hutan Pantai 283.42 kato et. al (1978) Suwarno (2012)
Bengkulu Tengah Hutan primer (lowland)(420 m dpl) 148.50 kato et. al (1978) Susatya (2011)
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
197
SUMATRA SELATAN PSF
Dense forest 254.00 Brown (1997) Merang Project (2014)
Medium dense forest 223.00 Brown (1997)
Forest regrowth 70.00 Brown (1997)
Secondary forest 108.00 Brown (1997)
LAMPUNG lowland
Lampung Barat Hutan 195.00 Kattering et. al (2001) Hairah et al.(2006)
Agroforestry multistrata 18-20.00 kattering et.al (2001)
Agroforestry monokultur 10.00 Arifin (2001)
Lowland
Tambling hhutan primer 178.44 kattering et.al (2001) Prasetyo et. al, (2012)
hutan sekunder 81.65 kattering et.al (2001)
semak belukar 10.29 kattering et.al (2001)
agroforestry kopi tua 63.69 Arifin (2001)
agroforestry kopi muda 27.42 Arifin (2001)
agroforestry coklat 14.04 Arifin (2001)
SUMATRA Mangrove 105.00 IPCC 2006 Miettinen and Liew (2009).
Peatswamp forest 668.00 citra satelit
Lowland 1928
Lower montane 1222.00
Upper montana 70.00
Mountain mosaic 139.00
Lowland mosaic 137.00
Prosiding Seminar Nasional
Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014
198
Tabel 2: Jumlah model allometrik di Sumatra (sumber: Krisnawati dkk. 2012)
No Propinsi Ekosistim Jenis Jml model Referensi
1 Jambi DLF mixed 6 3
2 Sumsel PSF Mixed 2 2
PF Schima wallichii 1 1
PF Acacia crassicarpa 1 1
PF Acacia mangium 31 2
3 Riau PF Acacia mangium 1 1
Mangrove Bruguiera sexangular 8 1
Bruguiera sp 1 1
Rhizophora apiculata 8 1
Rhizophora mucronata 7 1
4 Sumatra Barat Mentawai mixed dataran rendah 1 1
5 Sumut PF Eucalyptus grandis 9 1
PF Pinus merkusii 1 1
6 Bengkulu PF Hevea brasiliensis 1 1
Total Sumatra 78 (21%) 19 (17%)
Total Indonesia 370 112
Catatan. DLF (dry land forest), PSF (Peat swamp forest), PF (Production forest). Referensi adalah jumlah penelitian yang
telah dilakukan