Post on 07-Mar-2019
1
POTRET KOTA SEMARANG, JAKARTA, DAN MASYARAKAT
DALAM CITYBOOKS
Mursidah
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
mursidah@ui.ac.id
Abstrak
Sejak 2010 Citybooks menampilkan potret-potret unik kota dunia di situs web
www.Citybooks.eu. Potret kota tampil dalam bentuk cerpen dan puisi yang dapat dibaca sebagai
teks web dan e-book atau didengarkan sebagai buku audio dalam bentuk podcast dan MP3. Kota
juga tampil dalam 24 foto dan video pendek. Lewat perjalanan virtual kita bisa berpetualang dan
‘berdialog’ dengan kota dan masyarakatnya. Hingga 2016 ada 24 kota dunia diangkat ke dalam
Citybooks, yang dapat dijangkau oleh publik internasional. Multimedia merupakan sarana paling
efisien untuk menjangkau khalayak luas.
Dua kota besar di Indonesia – Semarang dan Jakarta -- yang turut ambil bagian dalam
Citybooks dibahas dalam penelitian ini. Penelitian dibatasi pada karya cerpen dan puisi, dengan
pendekatan sosiologi sastra. Karya sastra dilihat sebagai gambaran kenyataan sosial dari sebuah
masyarakat.Walaupun kenyataan imajiner tidak dapat diidentikkan sebagai fakta, namun karya
sastra merupakan refleksi estetis si penulis terhadap kenyataan hidup dan dapat merupakan
sebuah “refleksi realitas” yang lebih besar dan universal.
Fokus penelitian adalah bagaimana teks-teks sastra dalam Citybooks “memotret” realitas
sosial kota Semarang dan Jakarta. Latar belakang budaya, perspektif, dan ketertarikan yang
berbeda dari penulis lokal dan Internasional, menghasilkan “potret-potret” unik dari Semarang
dan Jakarta.
Citybooks dibuat atas inisiatif deBuren ,lembaga bersama Belanda dan Flandria (Belgia),
yang juga bekerja sama dengan lembaga mitra di kota yang akan diangkat. DeBuren berperan
sebagai patron yang mendanai, menerbitkan dan mendistribusikan potret-potret kota dalam
Citybooks. Dalam penelitian ini juga dibahas sejauh mana peran deBuren dalam penerbitan
Citybooks, dan sejauh mana pengaruh sang patron ke dalam produk buku kota Semarang dan
Jakarta.
.
Kata kunci: Citybooks, sosiologi sastra, refleksi realitas, deBuren, patron.
Pendahuluan
Citybooks.eu adalah sebuah situs dalam ranah maya yang memuat cerita kota-kota dunia.
Melalui jaringan internet Citybooks memungkinkan kita mengunjungi kota-kota tanpa harus ke
luar rumah. Buku kota diterbitkan oleh deBuren, lembaga kerjasama Flandria (Belgia) dan
Belanda yang bergerak dalam hal budaya dan sastra. Buku kota bisa diakses lewat situs web
www.Citybooks.eu. Sejak awal berdirinya Citybooks(2010)hingga 2016 sudah ada 24 kota
2
dunia diangkat dan dipublikasikan oleh deBuren. Sebuah kota ditampilkan melalui karya sastra,
fotografi , dan video. Lima penulis, seorang fotografer, dan seorang sineas videoterlibat dalam
menampilkan sebuah kota. Dua penulis internasional dan tiga penulis lokal menuliscerita pendek
atau serangkaian puisi tentang kota tersebut. Kota juga ditampilkan dalam 24 fotodan 24 film
kota satu menit. Semua karya dapat diunduh secara gratis.
Cerita pendek dan puisi dalam Citybooks dapat dibaca sebagai teks web dan e-book, juga
bisa didengarkan sebagai buku audio dalam bentuk podcast dan MP3. Setiap buku kota tersedia
dalam bahasa Belanda, Perancis, Inggris, dan dalam bahasa lokal dari kota yang diangkat.
Internet memungkinkan kita ‘melintas’ batas geografi tanpa berpindah tempat. Akses tersebut
dimanfaatkan Citybooks untuk mempermudah interaksi antara penulis, karyanya dan publik yang
lebih luas.
Citybooks sudah mengangkat kota-kota dari Afrika, Jerman, Belanda, Belgia, Polandia,
Macedonia, Albania, Spanyol, Portugis, Georgia, Armenia, Rumania, Indonesia dan Italia. Dua
kota dari Indonesia yang diangkat dalam Citybooks adalah Semarang (2013) dan Jakarta (2015).
(www.Citybooks.eu)
Foto Laman Citybooks Semarang dan Jakarta
Edisi khusus dan terbatas Citybooks Semarang (2013) dan Jakarta (2015) dalam bentuk cetak.
3
Penelitian ini membahasCitybooks edisi kota Semarang dan Jakarta dengan pendekatan
sosiologi sastra. Korpus penelitian dibatasi pada gambaran kota dalam bentuk karya sastra, yaitu
cerita pendek dan puisi. Karya foto dan video tidak akan diteliti. Teks-teks akan dikaji dalam
kaitannya dengan aspek-aspek sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan
sosiologi umum dilakukan untuk melihat sosial sastra dan masyarakat sebagai dokumen sosial,
sebagai potret kenyataan (Wellek dan Warren 1989:110).
Sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan
aspek-aspek kemasyarakatan yang beragam, antara lain pengarang, teks sastra, pembaca, institusi
dan lembaga yang terkait dengan karya sastra. Karena itulah karya sastra perlu dipelajari dalam
konteks yang luas. Karya sastra bukanlah sebuah fenomena produk kreatifitas yang tersendiri,
karenakarya tersebut lahir melalui proses yang panjang dan kompleks.
Sebagai sebuah hasil kreatifitas yang unik dari pengarangnya, karya sastra merupakan
sebuah dunia yang menampilkan kembali hasil ‘rekaman’ si pengarang, melalui proses
pengolahan terhadap pengalaman, kesan, kegelisahan, dan lain sebagainya dari dunia yang
dihadapi. Melalui kerangka imaji karya pengarang lahir, sebagai bentuk refleksi estetisnya.
Refleksi estetis seorang pengarang mengandung “refleksi realitas” yang dapat bersifat individual,
namun seringkali bersifat lebih besar dan universal.
Rene Wellek dan Austin Warren mengklasifkasikan hubungan antara sastra dan
masyarakat secara deskriptif (bukan normatif) sebagai berikut:
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang terkait adalah
dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi
pengarang.
2. Isi karya sastra, tujuan, hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang
berkaitan dengan masalah sosial.
3. Masalah pembaca dan dampak karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau
tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial. (Wellek & Warren,
1989: 111).
Penelitian ini membatasi diri padakajian karya sastra dalam Citybooks Semarangdan
Jakarta. Karya foto dan video tidak akan dibahas dalam penelitian ini. Pertama-tama penelitian
akan difokuskanpada aspekkeduadari klasifikasi di atas. Cerpen dan puisi dalam kedua buku
kota itu dianalisis, untuk melihat bagaimana realitas sosial kedua kotaditampilkan dalam “potret-
4
potret” Citybooks. Sejauh manapermasalahan sosial dalam teks mencerminkan realitas yang ada.
Di samping itu peneliti juga akan mengkaji aspek institusi sastra yang terkait dengan penerbitan
buku kota ini, yang oleh Wellek & Warren masuk ke dalam kategori pertama. Institusi yang
dimaksud adalah deBuren, lembaga bersamaBelanda dan Flandria (Belgia) yang terutama
bergerak mempromosikan karya sastra Belanda. Citybooks didirikan deBuren sejak 2010,
sebelumnya lembaga ini mempromosikan karya sastra Belanda dalam bentuk radio buku. Untuk
proyek Citybooks, deBuren ‘memesan karya’, mendanai, dan mempublikasikan buku kota dalam
situs webnya. Dalam hal teknis institusi ini juga bekerja sama dengan mitra internasional di kota
yang akan diangkat ke dalam Citybooks.
Laurenson (1972) dalam Pengantar Sosiologi Sastra mengungkapkan bahwa aspek
patronase penting dalam sosiologi sastra, karena lembaga patron membentuk hubungan tukar-
menukar yang tidak sama. Sang patron memberi si pengarang suatu keuntungan protektif dan
material tertentu yang memungkinkan karya sastranya diproduksi dan didistribusikan. (Faruk,
1994: 55). Bentuk-bentuk patronase pada masa kini, misalnya penulis yang menulis untuk
televise, fotografer yang dipekerjakan oleh surat kabar, dan bagi sastrawan bisa juga berbentuk
perlindungan dan dana dari pemerintah atau yayasan swasta yang bekerja sama dengan lembaga
sastra atau seni tertentu yang bekerja sama dengan penguasa lokal. (Faruk, 1994: 57). Institusi
deBuren dalam hal penerbitan buku kota berperan sebagai patron bagi para sastrawan dan
seniman yang ambil bagian di dalam terbitannya. Dalam penelitian ini juga akan dikajiperan
deBuren dalam penerbitan Citybooks, sejauh mana pengaruh sang patron berimplikasi ke dalam
produk buku kota Semarang dan Jakarta.
Ada lima teks pada setiap edisi Citybooks yang diteliti, sehingga ada sepuluh teks untuk
kedua buku kota (Semarang dan Jakarta). Penulis internasional yang terlibat -- seperti telah
disebutkan sebelumnya-- berjumlah dua orang pada masing-masing kota. Mereka adalah penulis
dari Belanda dari Belgia (bagian Flandria). Tentu saja mereka menuliskaryanya dalam bahasa
Belanda. Namun Citybooks memfasilitasi penerjemahan semua karya, sehingga bisa dinikmati
dalam empat bahasa. Berikut adalah daftar penulis dan karya mereka. Untuk kepentingan
penulisan makalah ini, selanjutnya judul karya akan diacu dalam bahasa Indonesianya. Untuk
edisi kota Semarang dan Jakarta, bekerja sama dengan mitra setempat, diterbitkan juga edisi
buku cetak dalam jumlah terbatas, untuk kepentingan peluncuran buku kedua kota tersebut.
Untuk memudahkan analisis teks dan pengacuan pada teks, peneliti menggunakan buku cetak.
5
Semarang (2013)
1 Meisje van vroeger
Terjemahan: Daun lontar dan kebenaran
Bouke Billiet
2 Anak Emas Candra Dewi Dian Puspitasari
3 Negen brieven aan Maria M.
Terjemahan: Sembilan surat kepada Maria M.
Gustaaf Peek
4 Kisah-kisah kecil Semarang – Puisi Triyanto Triwikromo
5 Lee Hwa Tubagus P. Svarajati
Jakarta (2015)
1 Pertemuan Akidah Gauzillah
2 Engelen in Jakarta
Terjemahan: Malaikat di Jakarta
Annelies Verbeke
3 Yang tertinggal di Batavia, 1920 Sihar Ramses Simatupang
4 Wat doe ik hier?
Terjemahan: Sedang apa aku di sini?
Ruth San A Jong
5 Akhir yang terakhir Veronica B. Vonny
Potret Semarang dan Jakarta dalam Citybooks.
Tentunya sulit membuat sebuah edisi kota yang mewakili gambar kota tersebut secara
menyeluruh. Semarang dan Jakarta adalah dua kota besar yang secara geografis begitu luas,
dengan beragam aspek yangkompleks dan mencakup banyak sisi kehidupan.
Empat cerpen dan satu rangkaian puisi yang diangkat dalam buku kota
Semarangmemiliki benang merah yang sama, yaitu berkaitan dengan etnis Cina/ Tionghoa di
kota tersebut.
Laksamana Cheng Ho/ Zheng He sebagai penjelajah samudra di awal abad ke-15 yang menjadi
tokoh besar di Semarang, muncul dalam dua cerpen. Surat ke-5 dari “Sembilan surat kepada
Maria.M” karya Gustaaf Peek, bercerita tentang tokoh tersebut yang dianggap sebagai pahlawan
di semarang. Sajak kedua “Kisah-kisah kecil Semarang-Puisi” karyaTriyanto Triwikromo,
mengekspresikan jejak-jejak Cheng Ho. Kedatangan penjelajah Tiongkok ini dalam realita
memang penting dalam sejarah Semarang. Tujuh ekspedisi besar Cheng Ho mengarungi
samuderamenuju wilayah-wilayah di Asia, Afrika dan beberapa kepulauan di Nusantara, dan
kemudian laksamana ini singgah lama di Semarang memberi catatan penting bagi kota tersebut.
Cerpen “Lee Hwa” karya Tubagus P. Svarajati mengangkat kisah keluarga Tionghoa, Lee
Hwa(ibu dari Pho Seng Jap, nama aseli penulis Tubagus P. Svarajati). Lee Hwa (lahir tahun 1930
6
dan berusia 82 tahun) merepresentasikan sejarah orang Cina di Semarang. Lee Hwa tidak
mengetahui persis dari mana kedua orangtuanya berasal, tapi dengan runtun dia mampu
menceritakan perjalanan hidupnya. Ia menggambarkan situasi pemukiman di Pecinan saat ia
kecil dulu – kampong sempit dengan gang-gang kecil, pemukiman orang Belanda (yang kini
merupakan situs Kota Lama), perjuangan orangtuanya mengatasi kesulitan ekonomi keluarga,
dan pada akhirnya bersyukur dengan keberhasilan usaha kopi orangtuanya, Goan Lian-Hian
Nio. Sejarah berdirinya Pecinan, gejolak saat pendudukan Jepang, dan masa setelah Republik
Indonesia berdiri, yang dituturkan dalam cerpen ini menjadi ringkasan sejarah keluarga Tionghoa
ini. Tema tentang perjalanan hidup manusia (jodoh, kelahiran, dan kematian) dipercayai oleh
etnis Cina sebagai takdir, begitu juga keberadaan etnis Tionghoa yang beranak-pinak di
Semarang.
Satu (dari lima) cerita “Daun lontar dan kebenaran” karya Bouke Billiet,mengangkat
periode pemerintahan Soeharto yang melarang hal-hal berbau Cina. Di bagian cerita Bouke
Billiet yang lain juga diangkat peran ‘gula’ dalam sejarah Semarang:
Sebenarnya menurutku tidak perlu gula, tapi karena perasaan simpati etnis-historis aku selalu
menambahkan satu sendok kecil gula pada makanan dan minumanku: (…) Gulalah yang
membangun kota ini. Kewirausahaan orang Tionghoa, dan gula. (Billiet, 2013: 33)
Cerpen “Anak Emas” karya Candra D.D. Puspitasari tidak mengisahkan tentang orang
Tionghoa, tetapi ada penyebutan daerah Pecinan, nama kantor dagang Cina dan nama
perusahaan Cina NV Kwee Kian Gwan.
Emilie termenung sejenak, dilihatnya aliran Kali Semarang yang berseberangan dengan
Westerwalstraat. Di atas permukaan sungai terdapat perahu-perahu yang didayung ke
daerah Pecinan. (…)
Di sebelah tenggara jembatan, berjajar beberapa bangunan bergaya Belanda, salah
satunya kantor dagang milik Oei Tiong Ham, Si Raja Gula, konglomerat asal Semarang
yang kekayaannya mencapai 200 juta gulden. (Puspitasari, 2013: 67)
Kelima teks Citybooks Semarang secara umum menampilkan potret masyarakat Cina yang
berperan penting dalam sejarah perekonomian di Semarang, terutama dalam hal perdagangan.
Kota Jakarta ditampilkan dalam empat cerpen dan satu rangkaian puisi naratif berbentuk
surat. Kelima teks memperlihatkan Jakarta sebagai kota urban yang hiruk pikuk. Dalam
“Malaikat di Jakarta” karya Annelies Verbeke, tokoh Aku/Annelies melihat, mendengar, dan ikut
merasakan sulitnya pergulatan hidup tokoh Soni dan tokoh-tokoh lain (kelas ekonomi bawah).
7
Tidak hanya kepadatan lalu lintas, hiruk pikuk kota, namun juga persoalanhidup tokoh-tokoh
urban yang rumit terpotret dalam buku kota Jakarta.
Dalam cerpen “Pertemuan” karya Akidah Gauzillah para pengemis, pengamen anak-
anak, pedagang kaki lima menjadi dekor dalam latar tempat(depan museum Fatahillah), sebagai
potret kaum urban yang berjuang hidup. Pergulatan masyarakat kelas bawah ini oleh si penulis
diparalelkan dengan kerja rodi di masa kolonialisme.Cerpen “Sedang apa aku di sini?” karya
Ruth San A Jongmenampikan hiruk pikuk kota Jakarta dari sudut pandang tokoh Hendri, lelaki
tua dari Suriname (71 tahun) yang memaksakan diri datang ke Jakarta untuk memenuhi
kerinduannya menengokSemarang, tanah air nenek moyangnya. Namun bekal yang tidak cukup
mamaksanya hanya tinggal di Jakarta. Perasaan terasing, pusing berada di ‘dunia’ yang hektik,
keadaan fisik yang tidak memungkinkannya berada di keramaian, keriuhan lalu lintas dan
tempat-tempat yang begitu jauh untuk dikunjungi. Meskipun secara fisik ia tidak jauh
berbedadari orang-orang yang ditemuinya, tapi ia sulit berkomunikasi (kendala bahasa). Dunia
yang dalam angannya begitu dekat, ternyata asing.
Dalam cerpen“Yang tertinggal di Batavia, 1920” karya Sihar Ramses Simatupang
ditampilkan potret batin tokoh yang menyimpan banyak kegalauan, karena identitas perkawinan
campuran orang tuanya, dan keberadaan sang ayah yang menghilang. Sedangkancerpen “Akhir
yang terakhir” karya Veronica B. Vonny mengisahkan tentang misteri pembunuhan yang
dikaitkan dengan cerita masa lalu, tergambar struktur cerita yang hiruk pikuk dan tidak gamblang
mewarnai cerita.
Warisan budaya kolonial
Citybooks edisi Semarang dan Jakarta menampilkan wajah kedua kota yang tidak lepas dari
bingkai masa lalu, terutama sejah kolonial. Warisan budaya kolonial Belanda muncul di hampir
setiap cerita dan puisi: kota tua, gedung-gedung peninggalan masa kolonial, sejarah dan kisah
masa lalu. Sejarah, terutama sejarah kolonial, hampir di semua teks menginspirasi penulis dalam
karyanya.
Dalam buku kota Semarang, masalah penulisan sejarah/ arsip diangkat oleh Bouke Billiet
dalam “Daun lontar dan kebenaran”. Tokoh Aku memetakan masalah dengan mengajukan
pertanyaan retoris di setiap awal dari kelima ceritanya: “Kau tahu masalahnya apa?” Di setiap
bagian tokoh Aku berganti profesi dan berkonfrontasi dengan masalah.Masalah arsip menjadi
8
amat fundamental. Sumber tertulis arsip prakolonial (daun lontar) yang hilang (tak bertahan lama
atau dijual atau lenyap), arsip kolonial pun demikian (Gedung Pakpak tahun 1945 di Semarang,
yang menyimpan arsip kota kolonial terbakar). Kota tua Semarang yang nyaris punah:
‘Kehancuran telah mencapai titik kritis. Atap-atap rusak, air sekarang masuk dari atas dan dari
bawah. Antara sekarang dan tujuh tahun lagi sebagian besar warisan ini tidak lagi bisa
direnovasi.’ (Bouke Billiet, 2015: 37). Begitu juga pada karya-karya yang lain kota tua (baik di
Semarang dan di Jakarta) dan gedung-gedung peninggalan kolonial Belanda digambarkan dalam
keadaan yang memprihatinkan.Janji-janji pemerintah dan orang-orang yang berkepentingan
untuk merenovasi gedung-gedung itu selalu terkalahkan oleh kepentingan kapitalisme, atau
prioritas yang lain.
Warisan budaya dalam bentuk kisah masa lalu hadir di “Anak Emas” karya Candra D.D.
Puspitasari: relasi antara majikan (orang Belanda) dan bawahan/ karyawan (orang Indonesia)
berlatar Semarang, 1935. Pola hubungan kolonial masih sama, dikotomi majikan,berkuasa,
pintar, berpendidikan tinggi, berfisik ideal (tokoh Emilie) versus bawahan, bersikap merendah,
tidak berpendidikan (tokoh Sandiman, sopir Emilie). Emilie yang terpikat pada Sandiman
berupaya menaikkan ‘kelas sosial’ Sandiman dengan menjadi guru bagi Sandiman: mengajar
membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, dan berbagai ilmu. Pada akhirnya Sandiman
menjadi administratur, mendapat kepercayaan (dari ayah Emilie), dan menikah dengan Emilie.
Dalam buku kota Jakarta yang menarik adalah dua cerita, “Pertemuan” (Akidah
Gauzillah) dan “Akhir yang terakhir” (Veronica B. Vonny) mengangkat cerita yang berkaitan
dengan kisah masa lalu yang sama, yaitu kematian Pieter Erberveld yang dijatuhi hukuman mati
dengan cara yang begitu sadis oleh gubernur Jan Pieterszoon Coen.
Sedangkan “Yang tertinggal di Batavia, 1920” karya Sihar Ramses Simatupang
terinspirasi oleh pameran lukisan di Erasmushuis. Sebuah cerita fiksi tentang rahasia seorang
publik yang hadir di pameran tersebut dengan sang pelukis dan kisah dalam lukisan tersebut. Di
balik rahasianya ada kisah hubungan laki-laki Belanda dan wanita Indonesia di masa lalu. Kisah
cinta, perjuangan sia-sia dari sepasang kekasih, merupakan “warisan” yang menarik ketiga
penulis lokal Jakarta untuk dilahirkan kembali dalam cerita yang baru. Peneliti tidak melihat
pandangan kritis dalam cerita yang diangkat dari masa lalu. Kisah cinta yang merupakan tema
universaldan merupakan kisah manusia lintas masa menjadi bingkai potret Jakarta. Ini
merupakan posisi ‘aman’ yang dipakai para penulis untuk tidak menyentuh masa kolonialisme
9
yang perlu dilihat kembali secara kritis. Misalnya, J.P Coen sebagai gubernur Batavia yang
kejam, terutama terhadap kaum pribumi yang berani menentang kebijakan VOC, tidak
disebutkan dalam kisah.
Potret kekinian: perjuangan masyarakat ekonomi lemah
Potret kekinian kota Semarang dilihat “Daun lontar dan Kebenaran” adalah sisa-sisa janji dan
harapan yang tidak pernah terpenuhi, utamanya dalam pemeliharaan warisan budaya. Potret
sabung ayam di kota tua menampilkan kehidupan masyarakat kecil yang terpisah jauh dari kisah
masa lalu. Gedung-gedung tanpa makna buat mereka.
Kita tak mungkin tertarik pada zaman dulu tanpa menjadi melankolis. Kalau aku berjalan
di kota yang sudah tiada, rasa sedih menimpaku. Lalu aku sangat menyayangkan, bahwa
kita semua terkunci dalam hidup kita sendiri, dipenjarakan di tempat tertentu dan di
waktu tertentu. Maksudku: ada begitu banyak dunia tapi aku tidak hidup di sana. Orang
yang membaca, bepergian atau memandang sekeliling dengan cara tertentu, melihat
banyak dunia lain dan itu sudah tentu merupakan pemerkayaan, tapi juga setiap kali
merupakan konfrontasi dengan ketidakmampuan sendiri.(Billiet, 2015: 35)
Potret perjuangan masyarakat ekonomi lemah digambarkan oleh Gustaaf Peek dalam
“Sembilan surat kepadaMaria M.” ketika ia mengunjungi pasar Pecinan. Ditampilkan seorang
perempuan yang berjuang mencari nafkah sebagai penggendong. Bagian lain dari teksnya
mengangkatshopping mall, antara lain disoroti hubungan antar majikan dan bawahan dalam
kehidupan modern:
Kalangan atas sekarang menyuruh penjaga anak mereka memakai seragam perawat.
Mereka menggendong dan menenangkan anak-anak kecil beberapa langkah di belakang
orang tua mereka. (Peek: 133)
Dalam cerpen “Malaikat di Jakarta” (Annelies Verbeke), Annelies/ tokoh Aku mendengar
perjuangan tokoh Soni (pemandu), yang sejak berusia enam tahuntinggal di sebuah stasiun tanpa
orang tua. Lika liku kehidupannya yang berat, tapi di sisi lain ia menolong banyak orang. Soni
juga membawa Annelies ke tempat-tempat warga yang terkena musibah kebanjiran, juga ke
pasar burung, ke tempat-tempat lain (museum, café, Pecinan, beragam pasar). Annelies juga
mendengar kisah kehidupan yang sulit dari tokoh lainnya. Sebagian besar tokoh yang
ditampilkan dalam cerpennya adalah masyarakat ekonomi lemah yang berjuang demi
kelangsungan hidupnya.
10
Skandal percintaan masa lalu dikaitkan dengan kekinian dalam “Pertemuan” karya
Akidah Gauzillah dan “Akhir yang terakhir” karya Veronica B. Vonny, yaitu kisah asmara Sara
Specx (anak angkat J.P. Coen) dan Pieter Erberveld. Cerpen pertama dihubungkan dengan
skandal artis Mulan dengan Dani (berkaitan dengan Maia). Potret kehidupan masyarakat urban
yang dekat dengan cerita gosip para selebriti menginspirasi penulis. Cerita skandal masyarakat
kelas atas menjadi ‘barang komoditi’ dan menjadi konsumsi masyarakat ekonomi lemah. Latar
pengamen anak-anak yang menyanyikan lagu “Di setiap ada kamu mengapa jantungku berdetak
(…)” juga merupakan ironi dari perjuangan masyarakat ekonomi lemah. Anak-anak yang
seharusnya bersekolah, tapi mencari nafkah. Mereka juga menyanyikan lagu dewasa, bercanda,
tertawa gembira. Mungkin ini cara mereka merelatifkan sulitnya kehidupan yang mereka harus
jalani.
“Energi pagi selaras matahari yang baru saja terbit menghampirinya duluan, disusul
pandangan anak-anak kecil berpakaian kumal yang mungkin bersiap pergi mengamen
entah di mana saja. Kehidupan menjadi sistematika langsung manusia untuk kerja rodi
demi secuil survival dan kesempatan eksistensi. Kolonialisme itu barangkali hanya
sekedar berganti corak warna dan utopia kemerdekaan selamanya hiburan untaian-
untaian idealism yang selalu bertepuk sebelah tangan.” (Gauzillah, 2016: 55)
Peran deBuren sebagai patron
Lembaga deBuren yang mendanai penerbitan Citybooks dan yang melakukan seleksi atas
penulis-penulis yang akan dilibatkan dalam edisi sebuah kota, berperan penting dalam sistem
patronase. Lembaga tersebut merupakan patron yang membentuk hubungan tukar-menukar.
Karya-karya sastra tentang kota ini bisa diproduksi, diwadahi, diterbitkan, dan didistribusikan
oleh deBuren. Sebagai patron lembaga itu berfungsi sebagai mediator antara sastrawan dan
publiknya. DeBuren memungkinkan pendanaan bagi kerja para sastrawan yang terlibat, berbagai
urusan administrasi, akomodasi yang diperlukan penulis internasional menetap di suatu kota,
penerbitan, dan distribusi. Sang patron membuat regulasi dan aturan menyangkut batasan tulisan,
mungkin tema umum, deadline pengumpulan naskah, dan sebagainya. Batasan naskah terkait
dengan faktor kapital dan keberlangsungan lembaga itu. DeBuren mendanai penerjemahan karya
ke dalam bahasa Internasional (Inggris, Perancis, Belanda), agar karya-karya sastra tersebut
menjangkau khalayak dunia.
11
Interfensi deBuren sebagai patron tidak terjadi secara langsung ke dalam produk
sastrawan. Dari wawancara tertulis peneliti kepada deBuren, lembaga tersebut menyeleksi
penulis dengan bantuan mitra lokal, dan memberikan kerangka teknis (jumlah 4000 kata untuk
cerpen dan 300 larik untuk puisi dan deadline), juga aspek penting bagi sebuah edisi citybooks.
DeBuren meminta“Warisan budaya” menjadi aspek penting dari cerita kota Semarang dan
Jakarta.
Dari penelitian terhadap teks, terlihat bahwa para penulis memang berupaya
menggunakan warisan budaya sebagaisumber inspirasi tulisan mereka. Kota tua, gedung-gedung
bersejarah kolonial menjadi latar tempat dari hampir seluruh teks. Masa lalu dihidupkan dalam
kekinian. Namun, kerangka asmara dan cinta digunakan sebagaikerangka cerita banyak penulis.
Penulis Belanda dan Flandria (Belgia) mendapat kesempatan dua minggu untuk mengeksplorasi
kota. Kehidupan sosial yang berbeda justru menarik perhatian mereka untuk diangkat dalam
cerita. Peneliti melihat penulis lokal sudah tidak berjarak lagi dengan permasalahn sosial sehari-
hari. Mereka tidak ‘melihat’ apa yang penulis luar ‘lihat’. Hal ini membuat potret kota menjadi
unik.
Hubungan patron dengan seniman yang mendapat proyek tampaknya menimbulkan
‘keengganan’ atau rasa ‘sungkan’ dari penulis lokal untuk menulis karya yang kritis terhadap
masa kolonial. Sikap etis secara tidak langsung membatasi penulis untuk bebas menulis tentang
kota dan masa lalunya.
Kesimpulan
Dua edisi Citybooks yang mengangkat kota Semarang dan Jakarta memperlihatkan potret-potret
kota dan masyarakatnya yang berbeda. Kedua kota dalam Citybooks tak bisa lepas dari
kerangka masa lalu. Masa lalu memberi identitas pada kekinian setiap kota. Kota semarang
dengan peran kelompok etnis Tionghoa dalam sejarah perkembangan kota. Kota Jakarta yang
begitu luas dan yang sejak dulu sudah merupakan kota urban, diwarnai dengan hiruk pikuknya.
Kelompok masyarakat urban kelas ekonomi lemah berjuang mencari nafkah, melampaui
kewajaran, namun mereka tetap tampil gembira dalam keberadaannya. Kesengsaraan hidup
diekspresikan dengan cara yang ringan, penuh canda dan tawa oleh para tokoh. Kesengsaraan
tidak membuat hidup para tokoh menjadi ‘pahit’, mereka tetap berjiwa pahlawan. DeBuren
12
sebagai parton yang memungkinkan terbitnya buku kota ini membuka akses bagi jaringan sastra
Internsional yang tidak dibatasi pada buku cetak, tempat terbit, jumlah eksemplar buku, hal-hal
yang menjadi media karya sastra. Lewat situs web yang bisa diakses dari segala penjuru dunia,
Citybooks membuka sekat-sekat sastra. Karya sastra menjangkau pulik yang begitu luas dengan
cara yang cepat. Di masa yang akan datang karya sastra akan semakin terlepas dari material
kertas, terutama terkait dengan aspek lingkungan hidup. Citybooks bisa menginspirasi kita untuk
membuat situs-situs web lainnya yang menstimulasi, mendukung penerbitan dan distribusi
karya-karya sastra agar bisa dinikmati khalayak luas, dari berbagai penjuru dunia.
Daftar Pustaka
Primer:
Billiet, Bouke. (2013). “Meisje van vroeger”/”Daun Lontar dan Kebenaran” dalam Semarang.
Brussel: Citybooks.
Gauzillah, Akidah. (2015). “Pertemuan.” Jakarta. Brussel: Citybooks.
Jong, Ruth San A. (2015). “Wat doe ik hier?”/”Sedang apa aku di sini?”. Jakarta. Brussel:
Citybooks.
Puspitasari, Candra Dewi Dian .(2013). “Anak Emas” dalam Semarang.Brussel: Citybooks.
Peek, Gustaaf .(2013). “Negen brieven aan Maria M.”/ “Sembilan Surat Kepada Maria M.”,
dalam Semarang.Brussel: Citybooks.
Simatupang, Sihar Ramses. (2015). “Yang tertinggal di Batavia, 1920”, Jakarta. Brussel:
Citybooks.
Svarajati, Tubagus P. (2013). “Lee Hwa.” Semarang.Brussel: Citybooks.
Triwikromo, Triyanto. (2013). “Kisah-kisah kecil Semarang-Puisi.”Semarang.Brussel:
Citybooks.
Verbeke, Annelies. (2015). “Engelen in Jakarta.”/”Malaikat di Jakarta”. Jakarta.Brussel:
Citybooks.
Vonny, Veronica B. (2015). “Akhir yang terakhir”, Jakarta.Brussel: Citybooks
Sekunder:
Damono, Sapardi Djoko.(1978). Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Depdikbud.
Faruk.(1994).Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Luxemburg, Jan Van. (1984).Pengantar Ilmu Sastra, diindonesiakan oleh Dick Hartoko.
Jakarta: Gramedia
Wellek, Renne dan Austin Warren. (1989).Teori Kesusastraan, diindonesiakan oleh Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia.
www.citybooks.eu