Post on 23-Oct-2021
i
PEWUJUDAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL TETRALOGI
LASKAR PELANGI DAN NOVEL TRILOGI NEGERI 5 MENARA:
ANALISIS STILISTIKA
REALIZATION STYLE LANGUAGE IN THE NOVEL TETRALOGY
LASKAR PELANGI AND NOVEL TRILOGY NEGERI 5 MENARA:
ANALYSIS STILISTIKA
RAVIQA
P1200215301
PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
PEWUJUDAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL TETRALOGI
LASKAR PELANGI DAN NOVEL TRILOGI NEGERI 5 MENARA:
ANALISIS STILISTIKA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Bahasa Indonesia
Disusun dan diajukan oleh
RAVIQA
kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Raviqa
Nomor mahasiswa : P1200215301
Program Studi : Magister Bahasa Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan
tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, 10 Agustus 2017
Yang menyatakan
Raviqa
v
KATA PENGANTAR
“Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”
Puji dan syukur patut dipanjatkan ke hadirat Allah Swt berkat
rahmat-Nya sehingga tesis yang berjudul “Pewujudan Gaya Bahasa
dalam Novel Tetralogi Laskar Pelangi dan Novel Trilogi Negeri 5
Menara: Analisis Stilistika” ini dapat dirampungkan. Tesis ini disusun
sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Bahasa
Indonesia pada Program Studi Bahasa Indonesia Sekolah
Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Proses penyusunan tesis ini tidak terlepas dari berbagai
rintangan, mulai pengumpulan literatur, pengumpulan data,
pengolahan data sampai pada proses analisis data. Namun, berkat
semangat dan ketekunan yang dilandasi rasa tanggung jawab sebagai
mahasiswa akhirnya tesis ini terselesaikan.
Sebuah penelitian tentu tidak akan terlaksana tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sewajarnyalah penulis
menyampaikan terima kasih yang setinggi-tinggi kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Darwis, M.S. selaku Ketua Komisi
Penasihat yang telah membimbing dan memberikan motivasi
kepada penulis dalam penyusunan tesis ini. Beliau telah
membimbing sebagaimana tugas dan tanggung jawab seorang
vi
pembimbing, bahkan lebih daripada itu. Tidak terhitung banyakya
pengetahuan yang telah beliau berikan. Penulis mengucapkan
terima kasih.
2. Dr. Kaharuddin, M.Hum selaku anggota komisi penasihat yang
dengan ikhlas dan sabar membimbing penulis secara intensif mulai
dari proses penyusunan proposal sampai hasil penelitian. Terima
kasih atas setiap nasihat, baik yang berhubungan dengan
penyusunan tesis maupun berhubungan dengan hal-hal yang tidak
berhubungan dengan penyusunan tesis. Penulis mengucapkan
banyak terima kasih.
3. Dr. Hj. Asriani Abbas, M.Hum. selaku Ketua Program Studi Bahasa
Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang
telah memberikan memotivasi yang membangun kepada penulis.
4. Dr. H. Fatu Rahman, M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Hasanuddin yang telah memberikan motivasi
kepada penulis.
5. Kedua orang tua penulis, bapak Anton Mulyadi dan ibu Haniah
yang dengan ketulusan hati, siang dan malam mendoakan
kebaikan untuk anak-anaknya. Terima kasih telah menjadi orang
tua terhebat yang telah mencurahkan seluruh cinta, kasih sayang,
cucuran keringat, dan mungkin air mata. Tanpa kalian, penulis
(Raviqa) tidak akan menjadi apa-apa. Nenek Hj. Puttiri, Adik
Jazirah AM., Majida, AM., dan Muh.Aksa Arsyad. Kakak Ipar
vii
Muhaimin Baso dan cucu pertama dalam keluarga Muh.Abid
Arsyad Baso. Kalian adalah motivasi terbesar penulis. Semoga
kalian dalam lindungan kasih Allah SWT.
6. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) RI sebagai pemberi
beasiswa penuh Program Magister kepada penulis. Tanpa
beasiswa LPDP, penulis tidak akan melanjutkan pendidikan
Magister.
7. Dr. Ikhwan M.Said, M.Hum., Prof. Dr.Lukman, M.S., dan
Dr.Hj. Kamsinah, M.Hum serta dosen-dosen pengampu mata
kuliah Program Studi Bahasa Indonesia Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin lainnya. Terima kasih atas ilmu yang telah
diberikan, baik di dalam ruang kelas maupun di luar kelas, sejak
kuliah perdana sampai proses penyusunan tesis berakhir.
8. Drs. H. Hasan Ali, M.Hum. yang senantiasa memberikan motivasi
dan saran-saran kepada penulis. Beliau layaknya ayah bagi
penulis, sosok yang menjadi tempat mengadu segala hal yang
berkaitan dengan penyusunan tesis ini. Terima kasih atas setiap
nasihat yang telah diberikan kepada penulis sejak S1 hingga saat
ini. Terima kasih untuk kesempatan belajar sebagai asisten dosen.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih.
9. Dosen Dr. Gusnawaty Anwar, M.Hum, beliau adalah dosen
sekaligus ibu kedua penulis. Terima kasih telah menjadi tempat
viii
berkeluh kesah segala hal baik itu akademik, keluarga, maupun
asmara.
10. Teman-teman Program Studi Bahasa Indonesia Sekolah
Pascasarjana Universitas Hasanuddin angkatan 2015. Taufik, Nur
Sariati, Nur Rahma Alhaqq, Muhammad Nawir, Sutrisno, Andi.
Yusdianti Tenriawali, Sumiaty, Andi. Aryana, Harziko, Rima,
Susiati, Karim, Risman Iye, dan Asrifal Kamaluddin. Kalian telah
menjadi saudara beda ibu bagi penulis.
11. Mutahharah Nemin Kaharuddin, Amanda Pratiwi Ismail, Fauzan
Ahyar F., Andi. M. Yusuf, Muhammad Ali, Wahyuddin, La Ode
Ahmad Suherman, Nahliah Hasanuddin, dan teman-teman
program Magister angkatan 2015 lainnya. Kalian adalah teman dan
kakak terbaikku.
12. Teman berjuang sejak SD sampai jenjang perkuliahan, Hasniar
S.E, Nurul Ilmi, S.Gz, Fitriani R., S.P, Fadliah, S.Pt, , Fadliah, S.T,
dan Andi. Jusniati, Amd.Kep, Zulfiah, S.T. Belum saya temukan
persahabatan seindah persahabatan kita ini.
13. Teman-teman “Argumentasi 10”, terkhusus kepada Fitria
Ramadhani, S.S. dan Isnawati, S.S. Terima kasih atas perhatian
dan kepedulian kalian. Penulis bahagia telah mengenal kalian.
14. Teman-teman KKN Unhas Gel.85 dan HIMA LDPD Sul-Sel. Terima
kasih atas doa dan dukungan kalian.
ix
15. Pak Muhtar, Pak Mullar, dan Daeng Nai’ yang telah banyak
membantu penulis selama menempuh pendidikan di Pascasarjana
Unhas. Penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran untuk perbaikan di lain kesempatan. Namun demikian,
besar harapan penulis agar tesis ini dapat memberi manfaat kepada
siapa pun yang membacanya.
Sekian dan terimakasih
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Makassar, 10 Agustus 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ............................................................. iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
ABSTRAK ................................................................................................ xv
ABSTRACT .............................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 17
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 17
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 19
A. Hasil Penelitian yang Relevan ....................................................... 19
B. Landasan Teori ............................................................................. 26
1. Stilistika .................................................................................... 26
a. Sejarah Stilistika ................................................................. 27
b. Pengertian Stilistika ............................................................ 30
c. Tujuan Stilistika .................................................................. 35
d. Stilistika dan Kritik Sastra ................................................... 37
xi
2. Novel sebagai Objek Kajian Stilistika ....................................... 39
a. Ciri-ciri Novel ...................................................................... 40
b. Unsur-unsur Novel .............................................................. 42
3. Gaya Bahasa ........................................................................... 47
a. Pengertian Gaya Bahasa ................................................... 47
b. Jenis-jenis Gaya Bahasa .................................................... 49
4. Kata, Frasa, dan Klausa .......................................................... 77
5. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia ....................................... 78
C. Kerangka Pikir ............................................................................... 94
D. Definisi Operasional ...................................................................... 97
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 99
A. Jenis Penelitian ............................................................................. 99
B. Sumber Data ................................................................................. 99
C. Populasi dan Sampel .................................................................. 100
D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...................................... 101
E. Teknik Analisis Data .................................................................... 101
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 103
A. Hasil Penelitian ........................................................................... 103
B. Pembahasan ............................................................................... 107
1. Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Tetralogi Laskar
Pelangi dan Novel Trilogi Negeri 5 Menara ............................... 107
a. Gaya bahasa kiasan .............................................................. 107
1) Gaya bahasa simile ............................................................. 107
xii
2) Gaya bahasa personifikasi ................................................. 164
3) Gaya bahasa metafora ........................................................ 177
4) Gaya bahasa metonimi ....................................................... 196
5) Gaya bahasa sarkasme ...................................................... 198
6) Gaya bahasa antonomasia ................................................. 199
7) Gaya bahasa eponim .......................................................... 204
8) Gaya Bahasa Paronomasia ................................................ 206
b. Gaya bahasa retoris............................................................... 206
1) Gaya bahasa hiperbola ....................................................... 206
2) Gaya bahasa litotes ............................................................ 219
3) Gaya bahasa asidenton ...................................................... 220
4) Gaya bahasa polisindenton ................................................ 221
5) Gaya bahasa erotesis ......................................................... 223
6) Gaya bahasa koreksio ........................................................ 224
2. Persamaan dan Perbedaan Pewujudan Gaya Bahasa
dalam Novel Tetralogi Laskar Pelangi dan Novel Trilogi Negeri
5 Menara .................................................................................... 225
BAB V PENUTUP .................................................................................. 237
A. Simpulan ..................................................................................... 237
B. Saran........................................................................................... 241
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 243
LAMPIRAN............................................................................................. 247
xiii
DAFTAR SINGKATAN
NTLP : Novel Tetralogi Laskar Pelangi
NTNLM : Novel Trilogi Negeri Lima Menara
LP : Laskar Pelangi
SP : Sang Pemimpi
EDS : Edensor
MK : Maryamah Karpov
NLM : Negeri Lima Menara
RTW : Ranah Tiga Warna
RSM : Rantau Satu Muara
xiv
DAFTAR TABEL
1.1 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa simile
1.2 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa personifikasi
1.3 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa metafora
1.4 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa antonomasia
1.5 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa metonimi
1.6 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa eponim
1.7 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa hiperbola
1.8 : Tabel perbandingan pewujudan gaya bahasa erotesis
xv
ABSTRAK
RAVIQA. Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Tetralogi Laskar Pelangi dan Novel Trilogi Negeri 5 Menara: Analisis Stilistika (dibimbing oleh Muhammad Darwis dan Kaharuddin)
Penelitian ini bertujuan, yaitu (1) menjelaskan pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM dan (2) mengungkap persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan satuan-satuan lingual yang mengandung gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris yang terdapat dalam kedua novel berseri tersebut. Metode pengumpulan data, yaitu metode simak dengan teknik catat. Data dianalisis dengan metode deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan hal-hal berikut ini.(1) Dalam NTLP ditemukan delapan jenis gaya bahasa kiasan, yaitu (a) simile, (b) personifikasi, (c) metafora, (d) metonimi, (e) sarkasme, (f) antonomasia, (g) eponim, dan (h) paronomasia dan enam jenis gaya bahasa retoris yang terdiri atas (a) hiperbola, (b) litotes, (c) asidenton, (d) polisindenton, (e) erotesis, dan (f) koreksio. Adapun dalam NTNLM ditemukan enam jenis gaya bahasa kiasan, yaitu (a) simile, (b) personifikasi, (c) metafora, (d) metonimi, (e) antonomasia, dan (f) eponim dan dua jenis gaya bahasa retoris, yaitu (a) hiperbola dan (b) erotesis. Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui sembilan jenis kelas kata, yaitu (a) nomina, (b) verba, (c) adjektiva, (d) pronomina, (e) interogatif, (f) numeralia, (g) artikula, (h) konjungsi, dan (i) adverbia. (2) Analisis pewujudan gaya bahasa pada kedua novel berseri tersebut menunjukkan kesamaan pada penggunaan empat gaya bahasa yang paling dominan dengan persentase pada NTLP, yaitu (a) gaya bahasa simile 50%, (b) gaya bahasa personifikasi 11%, (c) gaya bahasa metafora 28%, dan (d) gaya bahasa hiperbola 11% sedangkan pada NTNLM, yaitu (a) gaya bahasa simile 33%, (b) gaya bahasa personifikasi 25%, (c) gaya bahasa metafora 21%, dan (d) gaya bahasa hiperbola 21%. Adapun perbedaan keduanya ialah dari segi keketatan dan kekreatifan pengarangnya. Analisis ini menunjukkan bahwa Andrea Hirata tampak bersimile lebih ketat daripada Ahmad Fuadi. Keketatan tersebut dapat dilihat berdasarkan intensitas penggunaan pilihan kata yang berkelas kata nomina fauna dan penggunaan kata yang menandai perbandingan. Di samping itu, Andrea Hirata mengungkap ide dan gagasannya melalui gaya bahasa yang kreatif daripada Ahmad Fuadi. Kekreatifan tersebut dapat dilihat berdasarkan variasi jenis gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris yang ditemukan dalam NTLP.
Kata Kunci : Pewujudan, gaya bahasa kiasan dan retoris, pilihan kata,
kelas kata
xvi
ABSTRACT
RAVIQA. Realization Style Language in the Novel Tetralogy Laskar Pelangi and Novel Trilogy Negeri 5 Menara: Analysis Stilistika (supervised by Muhammad Darwis and Kaharuddin)
The aims of study were (1) describes the realization of style in NTLP and NTNLM and (2) reveal similarities and differences in the realization of style in NTLP and NTNLM.
This research is a qualitative research. This research data in the form of units containing lingual style of figurative language and rhetorical style of language contained in the novel. Data collection methods, namely methods refer to the technical note. Data were analyzed with descriptive methods.
The results showed the following. (1) In NTLP found eight kinds of style of speech, namely (a) simile, (b) personification, (c) metaphor, (d) metonym, (e) sarcasm, (f) antonomasia, (g) the eponymous, and (h) paronomasia and six kinds of style rhetorical consisting of (a) hyperbole, (b) litotes, (c) asidenton, (d) polisindenton, (e) erotesis, and (f) koreksio. As in NTNLM found six kinds of style of figurative language, namely (a) simile, (b) personification, (c) metaphor, (d) metonym, (e) antonomasia, and (f) the eponymous, as well as two kinds of style rhetorical, that (a) The hyperbole and (b) erotesis. The literary style is realized through nine types of speech, namely: (a) nouns, (b) verb, (c) adjectives, (d) pronouns, (e) interrogative, (f) numeralia, (g) article, (h) conjunctions, and (i) adverbs. (2) Analysis of the realization of style on the second novel series shows the similarity in the use of four style that is most dominant in the percentage in NTLP, namely (a) the language style simile 50%, (b) style personified 11%, (c) the language style metaphor 28%, and (d) 11% hyperbolic language style while in NTNLM namely (a) the language style simile 33%, (b) style personified 25%, (c) the language style metaphor 21%, and (d) 21% hyperbolic language style. The difference in the two is that in terms of rigor and creativity of its author. This analysis indicates that Andrea Hirata looked bersimile tighter than Ahmad Fuadi. The stringency can be seen by the intensity of the use of the word classy choice of noun word fauna and use of the word mark comparison. In addition, Andrea Hirata reveal his ideas through creative style rather than Ahmad Fuadi. The creativity can be seen based on variations in the type of style language figurative language and rhetorical styles found in NTLP.
Keywords: realization, figurative language and rhetorical style, word choice, word class
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah karya sastra diciptakan sebagai bentuk ekspresi,
pengungkapan ide dan gagasan yang diperoleh dari pengalaman dan
penghayatan hidup pengarangnya. Karya sastra hadir sebagai hasil
perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra sebagai
karya fiktif memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya
sekadar cerita khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud
dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang
ada dalam pikirannya. Melalui karyanya, pengarang ingin mengungkapkan
masalah manusia dan kemanusiaan, penderitaan, perjuangan, kasih
sayang, kebencian, nafsu, dan segala sesuatu yang dialami manusia di
dunia ini. Karya sastra tersebut meliputi novel, cerpen, puisi, pantun, syair,
dan lain-lain.
Jika dicermati, perkembangan sastra Indonesia telah memasuki
angkatan 2000-an atau dikenal dengan istilah angkatan pascareformasi.
Lahirnya sastrawan angkatan 2000-an diprakarsai oleh Korrie Layun
Rampan. Pada tahun 2002, penerbit Gramedia menerbitkan sebuah buku
tebal tentang angkatan 2000-an. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis,
eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam angkatan 2000.
Lahirya angkatan 2000-an mempunyai benang merah dengan kondisi
1
2
sosial politik Indonesia pada tahun 1970, yaitu pergantian kekuasaan.
Runtuhnya sebuah rezim diktator membawa iklim perubahan yang cukup
ekstrim. Perubahan tersebut dapat dilihat pada semua bidang, termasuk
sastra. Hampir semua yang sudah terbangun pada angkatan sebelumnya
didobrak dengan dalih perubahan. Karya sastra yang bernafaskan
perubahan pun bermunculan dengan dalih kebebasan berekspresi.
Perbedaan angkatan 2000-an dengan angkatan sebelum 2000-an sangat
terlihat pada karya-karya sastra yang tercipta. Karya sastra angkatan
2000-an secara lebih bebas menyindir keadaan di sekitar kita, baik sosial,
budaya, politik, pendidikan, agama, lingkungan, jender maupun
seksualitas. Kebebasan tersebut dapat dilihat dari penggunaan bahasa
dalam karya sastra yang lebih terbuka.
Bahasa merupakan unsur terpenting dalam sebuah karya sastra.
Sebagai salah satu unsur terpenting tersebut, bahasa berperan sebagai
sarana pengungkapan dan penyampaian pesan dalam karya sastra.
Penggunaan bahasa dalam karya sastra berbeda dengan penggunaan
bahasa dalam wacana lain, misalnya dalam pidato-pidato, karya-karya
ilmiah, dan perundang-undangan. Dasar penggunaan bahasa dalam karya
sastra tidak hanya sekadar paham, tetapi yang lebih penting adalah
keberdayaan pilihan kata yang dapat mengusik dan meninggalkan kesan
terhadap sensitivitas pembaca. Bahasa dalam karya sastra adalah bahasa
yang telah dimanipulasi melalui gaya tertentu. Dengan kata lain, dapat
3
dikatakan bahwa bahasa dalam karya sastra adalah bahasa yang
bergaya.
Gaya bahasa dalam karya sastra sangat menentukan kualitas
karya tersebut. Gaya bahasa menjadi salah satu sarana kesusasteraan
yang sangat berperan dalam menentukan nilai seni dan estetika sebuah
karya sastra. Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa yang berbeda
dari bahasa sehari-hari oleh pengarang dalam mengungkapkan gagasan
yang ada dalam pikirannya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa cara
pengarang membungkus pikirannya dengan cara yang tidak biasa itulah
yang disebut gaya. Hal ini dapat dilihat dalam pengungkapan gagasan
atau ide yang dimuat dalam novel tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata dan Novel Tetraogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi.
Selanjutnya, gaya melibatkan pilihan, tanpa pilihan tidak mungkin
ada gaya (Junus,1989: 57). Kekuatan sebuah gaya bahasa ada pada
pilihan kata (diksi) baik kata, frasa maupun ungkapan. Strategi bergaya
bahasa itu diwujudkan melalui pilihan kata. Pilihan kata adalah
penggunaan kata secara tepat untuk mewakili pikiran dan perasaan yang
ingin dinyatakan dalam pola suatu kalimat. Kemampuan pengarang dalam
memilih kata pada karyanya sangat dipengaruhi oleh penguasaan bahasa
yang dimilikinya. Penguasaan bahasa yang dimaksudkan adalah
kemampuan mengolah dan memanipulasi kata sehingga tampil lain atau
berbeda dari penggunaan bahasa pada umumnya, yang pada akhirnya
4
muncul sebagai gaya yang mencirikan diri pengarang (ciri pribadi) atau
mencirikan sebuah kelompok (ciri sosial).
Setiap pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri dalam
menciptakan karya sastra yang dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan, kondisi sosial masyarakat, lingkungan tempat tinggal, dan
sebagainya. Gaya bahasa merupakan cap jempol pengarang. Middleton
Mury (dalam Rismayanti, 2015: 8) mengatakan bahwa “gaya itu
merupakan idiosyncracy (keiistimewahan, kekhususan) seorang penulis”.
Sejalan dengan itu, Buffon (dalam Junus, 1989: 20) berpendapat bahwa
“gaya adalah orang (penulis) itu sendiri”. Dengan mengatakan gaya
sebagai serangkaian ciri pribadi, pengarang dalam membuat karyanya
akan memperlihatkan penggunaan bahasa yang khas dengan ciri atau
karakteristik tersendiri yang berbeda dari pengarang lainnya. Pengarang
akan menurunkan tanda tangannya pada setiap karya sastra yang
ditulisnya. Di samping gaya sebagai ciri pribadi, konsep gaya menurut
Envikst (dalam Junus,1989: 31) adalah sebagai sekumpulan ciri kolektif.
Pemahaman tentang gaya sebagai sekumpulan ciri kolektif adalah
keberadaan gaya bersama yang dimiliki oleh dua orang pengarang atau
lebih. Jika dalam pengungkapan ciri pribadi yang ditonjolkan adalah
perbedaan antara pengarang yang satu dengan pengarang lainnya, maka
pada persoalan gaya sebagai ciri kolektif atau gaya sosial yang harus
dicari adalah sekumpulan teks yang ditekankan pada hakikat persamaan
(Junus, 1989: 34).
5
Sekaitan dengan penggunaan bahasa yang khas oleh pengarang,
pada penelitian ini akan dianalisis pewujudan gaya bahasa dalam tetralogi
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan trilogi Negeri 5 Menara karya
Ahmad Fuadi. Novel Tetralogi Laskar Pelangi (NTLP) adalah novel serial
dari empat buah novel, yaitu Laskar Pelangi (2005), Sang Pemimpi
(2006), Edensor (2007), dan Maryamah Karpov (2008) sedangkan Novel
Trilogi Negeri 5 Menara (NTNLM) adalah novel serial dari tiga buah novel,
yaitu Negeri 5 Menara (2009), Ranah 3 Warna (2011) dan Rantau 1
Muara (2013). Alasan pemilihan dua novel berseri tersebut berangkat dari
sebuah asumsi bahwa kedua novel berseri tersebut adalah novel yang
lahir pada era yang sama, yakni era 2000-an dan memiliki tema utama
yang sama, yakni pendidikan. Kesamaan keduanya terletak pada ide-ide
yang dituangkan dalam cerita yang banyak menyinggung perihal upaya
dan kerja keras tokoh dalam kisah demi mencapai cita-cita dan impian
masa kecil. Kedua karya tersebut banyak memotivasi generasi muda
melalui deskripsi kisah yang menggugah dan membangkitkan semangat.
Atas dasar kesamaan tersebut, cara atau strategi kedua pengarang dalam
mengungkapkan gagasan atau idenya dalam novel menjadi hal yang
sangat menarik untuk diteliti. Analisis pewujudan gaya bahasa pada dua
novel berseri tersebut sangat penting dilakukan untuk mengetahui
persamaan atau perbedaan kedua pengarang dalam membungkus
pikirannya. Hal ini akan terlihat melalui pilihan kata yang digunakan oleh
pengarang. Penelitian ini tidak berhenti pada upaya mengungkap jenis-
6
jenis gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang, melainkan sampai
pada analisis cara pengarang mewujudkan gaya bahasa tersebut
berdasarkan pilihan kata yang digunakannya.
Selanjutnya, alasan memilih kedua pengarang novel berseri
tersebut yakni kedua pengarang tersebut masuk ke dalam deretan nama-
nama pengarang yang banyak meraih penghargaan melalui prestasi yang
diperoleh dalam menulis novel. Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi adalah
pengarang yang mampu menggugah dunia kesusastraan Indonesia
dewasa ini. Penggambaran tema, tokoh, dan alur pada dua karya tersebut
sama. Tema yang diusung keduanya sangat menarik, yaitu seputar
kehidupan sehari-hari di sekitar penulis, mulai dari kisah sulitnya
memperoleh pendidikan sampai dengan usahanya meraih cita-cita.
Sebuah perjuangan di dalam dunia pendidikan serta kegigihan dalam
menjalani hidup, mereka kisahkan dengan bahasa yang memikat.
Tetralogi Laskar Pelangi mengisahkan perjuangan dan kegigihan
sepuluh anak Melayu Belitong yang dinamai Laskar Pelangi, yaitu Lintang,
Ikal, Mahar, Kucai, Trapani, A Kiong, Sahara, Syahdan, Harun, dan
Samson. Andrea Hirata memunculkan ide tentang semangat, perjuangan,
mimpi, dan cita-cita melalui potret-potret hidup Ikal dan kawan-kawannya
sejak duduk di bangku sekolah dasar sampai melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi. Kisahnya dimulai dari kehidupan di pedalaman Melayu di
Pulau Belitong hingga ke Prancis yang selanjutnya berakhir pada kisah
kehidupan dan pecarian A Ling, yaitu cinta sejati Ikal. Adapun, trilogi
7
Negeri 5 Menara berawal dari kisah tentang enam orang sahabat yang
bersekolah di Pondok Madani Ponorogo Jawa Timur. Mereka menamai
diri sebagai anggota Sahibul Menara yang terdiri atas Alif, Raja, Said,
Dulmajid, Atang, dan Baso. Mereka datang dari tanah kelahiran untuk
menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren. Semangat Alif bersama
anggota sahibul dalam mengejar cita-cita dikemas secara apik dalam
novel berseri ini. Ahmad Fuadi dalam karyanya mengisahkan secara
runtut mulai dari masuknya Alif bersama anggotanya ke pondok Madani,
kemudian melanjutkan perjalanannya mewujudkan mimpi menjadi
Habibie di sebuah perguruan tinggi di Bandung, sampai pada kisah
perjalanan Alif dalam pencarian besar seorang manusia, yakni minat,
belahan jiwa, dan makna hidup. Alif yang mulai bekerja tidak berhenti
untuk berusaha menggapai benua impiannya, Amerika, hingga dia benar-
benar menjadi mahasiswa George Washington University dan
dipertemukan dengan Dinara lalu menikah dengan belahan jiwanya itu.
Keberhasilan Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi dalam novel-novel
yang ditulisnya dapat dilihat dari penghargaan-penghargaan yang
diberikan kepada keduanya sejak novel pertama dari novel berseri itu
ditulis sampai novel terakhir. Novel Laskar Pelangi (buku pertama tetralogi
Laskar Pelangi) menjadi buku sastra Indonesia terlaris yang dibaca oleh
jutaan pembaca dan memperoleh penghargaan seperti Khatulistiwa
Literaly Award, Paramadina Award, dan Netpac Critics Award. Novel
Laskar Pelangi selain menjadi novel dengan penjualan terlaris di
8
Indonesia juga telah terjual laris di luar negeri seperti di Malaysia dan
Singapura. Novel ini juga telah digarap menjadi sebuah tontonan di dunia
perfilman di Indonesia pada tahun 2008 dengan judul yang sama dengan
judul novelnya. Film Laskar Pelangi diproduksi oleh Miles Films dan Mizan
Production, digarap oleh sutradara Riri Riza. Skenario adaptasi ditulis oleh
Salman Aristo dan dibantu oleh Riri Riza dan Mira Lesmana. Ketika
difilmkan, novel ini mendapat respon yang sangat baik dari penontonnya.
Hal ini menunjukkan bahwa isi dan amanat dari novel ini sangat
menggugah dan karakter para tokoh-tokohnya begitu erat dengan
kenyataan hidup sehingga membuat penontonnya terkesima.
Keberhasilan yang diperoleh Andrea Hirata pada novel pertama tetralogi
Laskar Pelangi juga diraih pada novel kedua, ketiga, dan keempat.
Kesuksesan yang diraih oleh Andrea Hirata, juga diraih oleh Ahmad
Fuadi melalui seri trilogi Negeri 5 Menara . Novel Negeri 5 Menara yang
sarat dengan nilai-nilai religiusitas dan pendidikan menjadikan novel
inspiratif karya Ahmad Fuadi ini sebagai novel dengan penjualan terlaris
pada tahun 2009 dengan jumlah kopian mencapai 170.000 eksamplar. Di
samping itu, novel Negeri 5 Menara juga mencatat rekor baru sebagai
buku lokal paling banyak dicetak sepanjang 36 usia penerbit Gramedia
pada tahun 2009, peraih penghargaan buku terfavorit Anugerah Pembaca
Indonesia 2010, dan menjadi nominasi Khatulistiwa Literary Award 2010.
Selain itu, sebuah film yang diadaptasi dari novel Negeri 5 Menara
berhasil digarap oleh Kompas Gramedia Production bersama Million
9
Pictures. Skenario ditulis oleh Salman Aristo yang juga penulis naskah film
Laskar Pelangi yang disutradarai oleh Affandi Abdul.
Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi mendayagunakan kemampuan
berbahasa yang dimilikinya dengan menggunakan jenis-jenis gaya bahasa
yang membungkus pikiran sehingga tampil dengan bahasa yang tidak
biasa. Konsep gaya sebagai bungkusan menurut Envikst (dalam Junus,
1898: 9) berawal dari pengertian dari Kenneth Burke dan Paul Goodman
yang melihat ada „tulisan yang bergaya‟ di samping tulisan kebanyakan
tidak bergaya. Perbedaan kedua tulisan tersebut terletak pada
bungkusannya. Tulisan yang bergaya adalah tulisan yang mengandung
ketidaklangsungan makna. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan
makna oleh Keraf (1990: 129) disebut juga figure of speech yang terdiri
atas gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa tersebut
meliputi personifikasi, simile, metafora, hiperbola, dan lain-lain. Gaya
bahasa ini digunakan oleh Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi dalam
mengungkapkan gagasan dan pikiran motivasi inspiratif mereka melalui
karyanya. Selanjutnya, pada penelitian ini akan dibandingkan wujud dari
jenis-jenis gaya bahasa yang digunakan dalam tetralogi Laskar Pelangi
dan trilogi Negeri 5 Menara. Wujud gaya bahasa tersebut menyangkut
pilihan kata yang digunakan dalam bergaya bahasa. Analisis terhadap
pilihan kata dalam bergaya bahasa yang digunakan kedua pengarang
tersebut dilakukan dengan mengklasifikasikan pilihan kata berdasarkan
kelas katanya.
10
Hal-hal yang telah dikemukakan sebelumnya menjadi latar
belakang dilakukannya penelitian secara lebih mendalam pada dua buah
novel dengan judul “Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel Tetralogi
Laskar Pelangi dan Novel Trilogi Negeri 5 Menara: Analisis Stilistika”.
Adapun yang menjadi persoalan pokoknya ialah mendeskripsikan jenis
gaya bahasa dan menganalisis pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan
NTNLM, serta mengungkap persamaan dan perbedaan pewujudan gaya
bahasa dari kedua novel berseri tersebut.
Beberapa contoh pemakaian gaya bahasa dalam novel Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata dapat dilihat berikut ini:
1. Gaya Bahasa Simile berdasarkan Pilihan Kata yang Berkelas Kata
Nomina Anggota Tubuh
(1) Wajahnya coreng moreng seperti emban bagi permaisuri. (LP: 2)
(2) Kepala Lintang berputar-putar seperti burung hantu. (LP: 12)
(3) Walaupun bola mata jenakanya telah menjadi kusam seperti kelereng diamplas namun intuisi kecerdasannya tetap tajam seperti alap-alap mengintai anak ayam. (LP: 470)
Berdasarkan contoh (1) sampai dengan (3) yang ditampilkan
tersebut, tampak penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan
adanya kata seperti. Contoh (1) menceritakan keadaan wajah yang penuh
dengan coret-coret yang tidak karuan dan ini diasosiasikan dengan bentuk
seperti emban. Wajah sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus
anggota tubuh sedangkan emban sebagai pembanding juga berkelas kata
nomina. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, kata
11
emban berarti inang pengasuh. Seorang emban pasti berpenampilan yang
sangat sederhana sehingga wajah coreng moreng diidentikkan dengan
wajah seorang emban permaisuri.
Pada contoh (2) kepala Lintang berputar-putar diibaratkan sebagai
burung hantu. Kata kepala sebagai terbanding berkelas kata nomina
khusus anggota tubuh sedangkan burung hantu sebagai pembanding juga
berkelas kata nomina. Burung hantu adalah salah satu jenis burung yang
memiliki kemampuan menggerakkan kepala secara berputar-putar.
Begitulah Lintang yang menggerak-gerakkan kepalanya secara berputar-
putar.
Berikutnya yakni contoh (3) bola mata yang diibaratkan kelereng
diamplas. Kata mata sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus
anggota tubuh sedangkan kelereng sebagai pembanding juga berkelas
kata nomina. Bola mata diibaratkan kelereng karena dilihat dari bentuknya
yang bulat. Selanjutnya, kelereng yang diamplas berarti bola mata yang
dalam keadaan lusuh dan usang itu diamplas atau digosok (dilicinkan)
dijadikan cerah kembali.
2. Gaya Bahasa Hiperbola berdasarkan Pilihan Kata yang Berkelas Kata
Nomina Anggota tubuh.
(4) Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. (LP: 23)
(5) Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin, jantungku berhenti berdetak sebentar kemudian berdegub kencang sekali dengan ritme yang kacau seperti kode morse meletup-letupkan pesan SOS. (LP: 209)
12
(6) Kurasakan seluruh tubuhku menggigil. Rangka badanku seakan runtuh dan setiap persendian di tubuhku seakan terlepas. (LP: 453)
Contoh (4) sampai dengan (6) menunjukkan adanya penggunaan
gaya bahasa hiperbola. Kata dada, jantung, rangka badan dan persendian
berkelas kata nomina anggota tubuh yang dihiperbolakan melalui bentuk
verba berkobar-kobar , berdetak, runtuh, dan terlepas. Bentuk dada
berkobar-kobar pada contoh (4) mendeskripsikan bahwa semangat yang
dimiliki pelaku dalam cerita itu begitu menggebu-gebu sehingga
dihiperbolakan dengan berkobar-kobar. Contoh (5) penghiperbolaan
digunakan untuk menyatakan sebuah keadaan tokoh aku yang sangat
menegangkan sehingga dilukiskan seolah-olah jantungnya berhenti
berdetak. Jantung yang berhenti berdetak adalah penanda hilangnya
nyawa seorang manusia. Adapun contoh (6) tokoh aku mengalami
perasaan yang kalut dan pedih digambarkan seolah-olah rangka
badannya akan runtuh dan persendiannya terlepas.
Selanjutnya, gaya bahasa dalam novel Negeri 5 Menara karya
Ahmad Fuadi dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
1. Gaya Bahasa Simile berdasarkan Pilihan Kata yang Berkelas Kata
Nomina Anggota Tubuh
(7) …aku melihat seorang laki-laki berbaju putih, bersorban Arafat, berdiri diam kami dihentikan Tyson tadi. Bagai elang mengancam ayam kampung, matanya tajam mengawasi kami (NLM:68)
(8) Mukaku centang perenang, rambut awut-awutan, dan badan kotor seperti kerbau dari kubangan. (NLM:137)
13
(9) Raja yang paling ekspresif, tampak mengayun-ayunkan tinjunya di udara sambil berteriak “Allahu Akbar!”. Mukanya seperti kepiting rebus dari keringat memercik dikeningnya yang lebar. (NLM:108)
Contoh (7) sampai dengan (9) tampak menggunakan gaya bahasa
simile yang ditandai dengan kata bagai dan seperti . Pada contoh (7) kata
mata, sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus anggota tubuh.
Demikian halnya kata rambut dan badan pada contoh (8), dan kata muka
pada contoh (9) sebagai terbanding yang berkelas kata nomina khusus
nomina anggota tubuh. Adapun kata elang, kerbau, dan kepiting sebagai
pembanding juga berkelas kata nomina, yakni nomina khusus binatang.
Pada contoh (7) mata yang dimaksudkan adalah mata para penjaga
pondok yang dengan ketat mengawasi para santri. Mata Tyson
diibaratkan elang yang memiliki kemampuan melihat secara tajam dan
jelas jika menghadapi mangsanya. Pada contoh (8) kata muka, rambut,
dan badan diibaratkan kerbau dari kubangan. Kerbau yang baru saja
keluar dari kubangan itu sangat kotor karena penuh lumpur. Hal ini
disamakan dengan muka Alif yang sedang kusut. Adapun contoh (9) kata
muka disamakan dengan kepiting rebus. Kepiting yang jika direbus akan
berubah warna menjadi kemerah-merahan. Muka Raja yang digambarkan
memerah ini mewakili perilaku Raja yang sangat ekspresif, penuh dengan
semangat yang berkobar-kobar. Begitulah tokoh Raja digambarkan
dengan muka yang merah layaknya kepiting rebus.
2. Gaya Bahasa Hiperbola berdasarkan Pilihan Kata yang Berkelas Kata
Nomina Anggota Tubuh
14
(10) Perawakannya pendek gempal. Menyerupai sang juara tinju kelas berat dunia Mike Tyson- tapi dengan ukuran lebih kecil. Gerakannya sigap dan memburu. Matanya tidak lepas menusuk kami (NLM:65)
(11) Sejurus kemudian, sebuah kepala muncul dari balik pintu dan membacakan giliran siapa yang harus masuk. “Alif Fikri…tafadhal”. Jantungku berdebur (NLM:201)
(12) Pelan-pelan aku merasa badanku semakin mengecil dan mengecil dan mengkerut hanya menjadi setitik debu yang melayang-layang di semesta luas yang diciptakanNya. (NLM:197)
Contoh (10) sampai dengan (12) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa hiperbola berdasarkan pilihan kata nomina
anggota tubuh seperti mata, jantung, dan badan yang dihiperbolakan atau
dilebih-lebihkan dengan verba menusuk, berdebur, dan melayang-layang.
Kata menusuk dalam KBBI V luring berarti mencocok dengan barang yang
runcing, sementara pada contoh (10) yang dimaksudkan adalah mata,
mata seolah-olah mampu menusuk layaknya benda tajam dan ini
dianggap sebagai bentuk yang berlebih-lebihan.
Contoh (11) kata berdebur dalam KBBI V luring berarti
mengeluarkan bunyi debur. Debur adalah tiruan bunyi barang besar jatuh
ke air, ombak memecah. Pada contoh (11), jantung yang berdebur juga
dianggap berlebih-lebihan karena suara detak jantung tidaklah sekeras
deruan ombak yang memecah.
Adapun contoh (12) badan yang semakin mengecil, mengkerut dan
bisa melayang seperti debu juga dianggap bergaya bahasa hiperbola.
Sekecil apapun tubuh manusia tidak akan mampu melayang-layang
dengan sendirinya tanpa bantuan alat khusus.
15
Selain contoh-contoh yang telah dipaparkan sebelumnya, juga
ditemukan contoh dengan bentuk hiperbola yang menarik .
(13) Leherku rasanya layu. (NLM :8) (14) Dimulai dengan ayunan ringan kepalanya kearah depan,
lalu ayunannya semakin berat sampai lehernya layu dan dagunya menyentuh dada. (NLM:69)
(15) Sayang, kumisnya kali ini tampak layu, kalah wibawa dengan kumis para kakak keamanan. (NLM:74)
Contoh (13) sampai dengan (15) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa hiperbola. Pernyataan leherku rasanya layu
pada contoh (13) mendeskripsikan sebuah keadaan badan, yaitu leher
yang dalam keadaan tidak sehat. Pilihan kata layu yang digunakan oleh
Ahmad Fuadi pada konstruksi tersebut menjadi tidak biasa. Jika kalimat
tersebut diutarakan dengan leherku rasanya lelah, tentu tidak akan
menghasilkan reaksi apa-apa dari pembaca. Kata layu yang berkelas kata
adjektiva yang menjelaskan nomina anggota tubuh seperti leher dan
kumis dikatakan berlebih-lebihan. Pada umumnya, kata layu hanya
diperuntukkan untuk tanaman seperti bunga yang sudah tidak segar lagi.
Berdasarkan contoh dalam NTLP dan NTNLM yang diuraikan
tersebut, terlihat Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi sama-sama
menggunakan bentuk gaya bahasa kiasan simile dan gaya bahasa retoris
hiperbola. Penggunaan gaya bahasa simile merupakan ciri pribadi gaya
kedua pengarang tersebut. Dengan begitu, jika keduanya memiliki ciri
pribadi yang sama berarti tidak ada ciri pribadi diantara keduanya karena
ciri pribadi didasarkan pada perbedaan. Yang terlihat jelas dalam kedua
novel berseri itu hanyalah ciri sosial atau ciri kelompok. Namun, dari
16
contoh yang ditemukan terlihat perbedaan dari segi cara bersimile
keduanya. Dalam NTNLM , Ahmad Fuadi tampaknya bersimile lebih ketat.
Keketatan Ahmad Fuadi dalam novelnya terlihat pada pola yang mulai
dibangun dengan penggunaan kata pembanding dengan wujud kelas kata
nomina khusus binatang. Jadi, pada beberapa contoh ditemukan wujud
gaya bahasa itu berkelas kata nomina dengan mengkhususkan pada
nomina binatang sedangkan dalam NTLP gaya bahasa simile yang
digunakan Andrea Hirata bersifat lebih longgar. Kelonggaran tersebut
terlihat pada penggunaan unsur pembanding yang tidak hanya
mengkhususkan pada kelas kata nomina binatang saja, tetapi juga
mengkhususkan pada kelas kata nomina yang lain.
Melalui penelitian ini akan diungkap persamaan dan perbedaan
gaya bahasa yang digunakan dalam dua novel berseri oleh dua orang
pengarang yang memiliki tema novel yang sama. Melalui penelitian ini,
jenis gaya bahasa dan cara mewujudkan gaya bahasa yang digunakan
oleh Andrea Hirata dalam NTLP dan Ahmad Fuadi dalam NTNLM akan
terlihat. Perbedaan jenis dan wujud gaya bahasa kedua pengarang akan
melahirkan ciri pribadi masing-masing. Adapun persamaan keduanya
akan melahirkan ciri sosial atau ciri kelompok.
17
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan
sebelumnya, terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM?
2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pewujudan gaya
bahasa dalam NTLP dan NTNLM?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian mempunyai tujuan tertentu dan ada sasaran yang
ingin dicapai. Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM.
2. Mengungkap persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa
dalam NTLP dan NTNLM.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik
manfaat secara teoretis maupun praktis.
1. Manfaat Teoretis
a. Memberi sumbangan yang bermakna bagi pengembangan studi
stilistika di Indonesia, khususnya di Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin. Studi stilistika di Indonesia perlu dikaji
secara lebih intensif, terutama pengkajian stilistika terhadap
18
kepengarangan sastrawan-sastrawan Indonesia untuk
menjelaskan perbedaan gaya pengarang yang satu dengan
pengarang lainnya (menyingkap ciri pribadi) dan persamaan
gaya pengarang yang satu dengan pengarang lainnya sebagai
ciri kolektif (menyingkap ciri sosial) berdasarkan aspek linguistik.
Disamping itu, penelitian ini juga bertujuan mengungkap nilai
estetika karya sastra berdasarkan fakta-fakta kebahasaan yang
sengaja dibuat berbeda dari yang biasa atau lazim.
b. Studi ini juga diharapkan dapat memberi manfaat untuk
meningkatkan apresiasi sastra di kalangan masyarakat.Telaah
linguistik sebuah novel diharapkan dapat memberikan masukan-
masukan yang berharga terhadap keperluan kritik sastra.
c. Memberi manfaat terhadap kepustakaan studi sastra yang
berorientasi linguistik. Kajian ini memerikan keunikan atau
kekhasan pewujudan gaya bahasa pada dua buah novel berseri
oleh pengarang yang berbeda.
2. Manfaat Praktis
a. Menumbuhkan minat peneliti lain untuk ikut menggali dan
melestarikan karya-karya sastra Indonesia secara stilistika.
b. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis khususnya dan
pembaca umumnya, serta pemerhati sastra mengenai analisis
stilistika pada karya sastra.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian pada novel dengan kajian stilistika telah banyak
dilakukan, baik dalam bentuk makalah penelitian, skripsi, tesis, maupun
disertasi. Begitu pun objek kajian novel Laskar Pelangi dan Negeri 5
Menara juga telah banyak dipilih karena kepopuleran dan nilai kualitas
yang tinggi dari kedua novel berseri tersebut. Hasil penelitian yang telah
diperoleh pada penelitian sebelumnya dapat menjadi referensi sekaligus
menjadi bahan perbandingan agar penelitian ini menjadi peneltian yang
berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Di antara penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah peneltian yang telah
dilakukan oleh Rahmawati (2012) dengan judul “Gaya Bahasa Andrea
Hirata dalam Dwilogi Padang Bulan: Kajian Stilistika”. Penelitian tersebut
berupaya menjelaskan gaya bahasa Andrea Hirata dalam novel dwilogi
“Padang Bulan” berdasarkan tiga fokus, yaitu pilhan leksikal, struktur
kalimat, dan langsung tidaknya makna. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya ialah sama-sama melihat
gaya bahasa. Perbedaannya terletak pada fokus gaya bahasa yang akan
diteliti. Penelitian sebelumnya, memfokuskan pada tiga gaya bahasa, yaitu
gaya bahasa berdasarkan pilihan leksikal, gaya bahasa berdasarkan
19
9
20
struktur kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna.
Adapun penelitian yang akan dilakukan ini, fokus pada analisis jenis gaya
bahasa dan wujud gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM. Jadi, berbeda
dengan penelitian sebelumnya yang telah meneliti gaya bahasa dari tiga
fokus penelitian pada sebuah novel dwilogi “Padang Bulan”, pada
penelitian ini akan dianalisis cara pengarang mewujudkan gaya bahasa
berdasarkan ketidaklangsungan makna pada dua novel berseri yang
bertema sama karya Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi.
Pada penelitian sebelumnya, terungkap bahwa pada gaya bahasa
berdasarkan pilihan leksikal dalam novel yang ditulis oleh Andrea Hirata,
pengarang memperlihatkan kemampuan sebagai seorang saintis
sekaligus sastrawan. Selanjutnya, gaya bahasa dalam struktur kalimat,
Andrea Hirata dalam novelnya memperlihatkan kekhususan dalam
mendeskripsikan secara detail latar maupun penokohan. Adapun gaya
bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna meliputi gaya bahasa
retoris dan gaya bahasa kiasan.
Adapun penelitian yang juga relevan dengan penelitian ini ialah
“Gaya Bahasa dalam Novel Khadijah Karya Sibel Eraslan Terjemahan
Ahmad Saefuddin dan Kawan-kawan: Tinjauan Stilistika”. Penelitian
tersebut ditulis oleh Rismayanti (2016). Penelitian ini menggunakan
tinjauan stilistika yang berfokus pada penelitian gaya bahasa kiasan
berdasarkan pilihan leksikal dan berupaya mengungkap karakteristik
kebahasaannya melalui gaya bahasa kiasan. Hubungan penelitian
21
tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan ini terletak pada
pengungkapan karakteristik kebahasaan seorang pengarang berdasarkan
pilihan leksikal. Perbedaannya, penelitian yang dilakukan Rismayanti
mengkhususkan pada gaya bahasa kiasan yang terdapat dalam novel
“Khadijah” sedangkan pada penelitian ini akan diteliti gaya bahasa kiasan
dan gaya bahasa retoris yang digunakan oleh Andrea Hiarata dan Ahmad
Fuadi dalam karyanya masing-masing. Hasil penelitian Rismayanti
menunjukkan bahwa ada lima belas bentuk gaya bahasa kiasan
berdasarkan pilihan leksikal yang ditemukan di dalam novel “Khadijah”
dan yang paling sering muncul, yaitu (a) gaya bahasa simile, (b) gaya
bahasa personifikasi, dan (c) gaya bahasa metafora. Kemudian pilihan
leksikal yang digunakan ada sebelas kelas kata dan yang paling dominan
digunakan ialah kelas kata nomina.
Objek utama penelitian ini adalah dua buah novel berseri dari dua
orang pengarang. Pengarang tersebut adalah pengarang novel dengan
tingkat popularitas karya yang tinggi sejak awal kemunculan karyanya
sampai sekarang. Penelitian tentang gaya bahasa pada novel-novel dari
kedua pengarang tersebut telah banyak dilakukan dengan fokus penelitian
yang berbeda-beda. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Dwi Jalu Prasetyo (2014) dengan judul “Studi Komparasi Novel Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata dan Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi
(Pendekatan Strukturalisme Robert Stanton)”. Hubungannya dengan
penelitian yang akan dilakukan ini, yaitu sama-sama menggunakan studi
22
komparatif. Namun, pendekatan yang digunakan berbeda. Pada penelitian
sebelumnya digunakan pendekatan strukturalisme Robert Stanton
sedangkan pada penelitian ini digunakan pendekatan stilistika. Penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya lebih fokus pada persamaan dan
perbedaan yang dibentuk oleh fakta cerita berupa alur, tokoh, latar,
sarana cerita berupa sudut pandang dan gaya bahasa, serta persamaan
dan perbedaan yang diajarkan melalui tema cerita dalam novel Laskar
Pelangi dan Negeri 5 Menara. Adapun penelitian ini, fokus pada upaya
mengungkap persamaan dan perbedaan kedua pengarang dalam dua
novel berseri berdasarkan cara pengarang mewujudkan gaya bahasa
tersebut melalui pilihan kata yang digunakan.
Penelitian relevan berikutnya yang menggunakan objek penelitian
yang sama dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang telah dilakukan
oleh Ganik Arianti (2011) dengan judul “Hubungan Intertekstual antara
Novel Negeri Lima Menara Karya A. Fuadi dan Laskar Pelangi Karya
Andrea Hirata”. Adapun tujuan penelitian yang dilakukan oleh Ganik
Arianti (2011) ini ialah mendeskripsikan struktur yang membangun novel
Negeri 5 Menara karya A. Fuadi dan novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata serta mendeskripsikan bentuk intertekstual yang terdapat dalam
kedua novel tersebut. Perbedaannya dengan penelitian yang akan
dilakukan ini terletak pada sudut pandang analisis yang akan dilakukan.
Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Ganik Arianti, kedua novel
tersebut (Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara) dianalisis berdasarkan
23
hubungan intertekstualnya sedangkan pada penelitian ini digunakan
analisis stilistika yakni analisis pada kedua novel berseri berdasarkan jenis
gaya bahasa dan cara gaya bahasa tersebut diwujudkan.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ganik Arianti
menunjukkan bahwa (1) struktur yang terjalin dalam novel Laskar Pelangi
dan Negeri 5 Menara memiliki aspek-aspek yang saling berkaitan dan
menguatkan satu sama lain. Aspek-aspek struktur tersebut secara padu
membangun peristiwa dan makna cerita novel. (2) Analisis bentuk
intertekstual dalam penelitian ini memasuki wilayah hipogram. Hipogram
merupakan karya sastra yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra yang
berikutnya. Hipogram tersebut meliputi tiga hal, yaitu (a) hipogram
ditemukan dalam penokohan yang terbagi menjadi dua, yaitu Ikal (LP)
ditransformasikan sebagai Alif (NLM) dan Lintang (LP) ditransformasikan
sebagai Baso (NLM), (b) hipogram ditemukan dalam sudut pandang, (c)
hipogram ditemukan dalam masalah pendidikan, yang dikhususkan pada
pendidikan yang berbasis religi. Dengan demikian, bentuk intertekstual
novel Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara dapat dilihat dari segi struktur
yang terdapat dalam setiap novel.
Penelitian yang relevan berikutnya ialah penelitian dengan judul
“Analisis Gaya Bahasa Hiperbola dan Personifikasi pada Novel Negeri 5
Menara Karya Ahmad Fuadi” oleh Inieke Kusuma Putri (2013). Hubungan
antara penelitian yang telah dilakukan oleh Ineke Kusuma Putri dan
penelitian yang akan dilakukan ialah keduanya sama-sama melihat gaya
24
bahasa. Namun, pada penelitian yang dilakukan oleh Inieke Kusuma Putri
bertujuan mendeskripsikan gaya bahasa dan makna gaya bahasa
hiperbola dan personifikasi yang terdapat dalam novel Negeri 5 Menara
karya Ahmad Fuadi. Adapun pada penelitian yang akan dilakukan ini,
tidak berhenti pada upaya mendeskripsikan jenis gaya bahasa yang
digunakan, melainkan sampai kepada upaya menganalisis cara gaya
bahasa tersebut diwujudkan. Disamping itu, fokus peneltian ini tidak hanya
pada gaya bahasa Ahmad Fuadi dalam satu novel saja, tetapi novel
pertama, kedua dan ketiga dari novel berseri trilogi Negeri 5 Menara
akan menjadi objek penelitian.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ineke Kusuma Putri
menunjukkan bahwa gaya bahasa hiperbola yang terdapat dalam novel
Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi sebanyak 37 buah dan gaya bahasa
personifikasi sebanyak tiga puluh buah. Adapun makna gaya bahasa
hiperbola dan personifikasi pada novel Negeri 5 Menara karya Ahmad
Fuadi hanyalah sebagai penegasan dan untuk memperindah gaya
bahasa. Sebagai bentuk penegasan dimaksudakan agar pembaca bisa
turut merasakan dan menciptakan imajinasi berdasarkan hiperbola dan
personifikasi yang ditulis oleh Ahmad Fuadi.Selain itu, penegasan pada
novel Negeri 5 Menara digunakan untuk menciptakan image dari penulis
itu sendiri agar muncul ciri khas kesusastraan atas karyanya.
Penelitian yang relevan berikutnya ialah penelitian yang dilakukan
oleh Eko Marini (2010) dengan judul penelitian “Analisis Stilistika Novel
25
Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”. Hubungan antara penelitian yang
telah dilakukan oleh Eko Marini dan penelitian ini ialah keduanya
menggunakan analisis yang sama, yaitu stilistika. Perbedaannya hanya
terletak pada salah satu objek penelitian. Pada penelitian yang akan
dilakukan, objeknya adalah dua novel berseri sedangkan pada penelitian
yang telah dilakukan oleh Eko Marini hanya salah satu dari novel berseri
tetralogi Laskar Pelangi yaitu novel pertama yang berjudul Laskar Pelangi.
Penelitian yang yang telah dilakukan oleh Eko Marini bertujuan
mendeskripsikan keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata,
kekhususan aspek morfologis dan sintaksis, dan pemakaian gaya bahasa
figuratif yang meliputi: idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonimia,
simile, personifikasi, dan hiperbola yang terdapat dalam novel Laskar
Pelangi sedangkan penelitian yang akan dilakukan bertujuan menganalisis
jenis-jenis gaya bahasa dan cara mewujudkan gaya bahasa pada kedua
novel berseri tersebut. Tidak berhenti di situ saja, pada penelitian yang
akan dilakukan ini juga akan diungkap persamaan dan perbedaan dari
kedua novel berseri tersebut. Perbedaan keduanya menunjukkan ciri
pribadi setiap pengarang. Adapun persamaan keduanya menjadi ciri
sosial atau ciri kolektif dari setiap pengarang.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian relevan yang telah
dipaparkan, dapat dikatakan bahwa penelitian dengan analisis stilistika
bukanlah penelitian yang baru. Telah banyak penelitian analisis stilistika
yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Selain itu,
26
penelitian dengan objek kajian novel Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara
juga telah dilakukan sebelumnya. Namun, penelitian yang akan dilakukan
ini adalah penelitian dengan analisis stilistika yang lebih mendalam
dengan ruang lingkup objek penelitian yang lebih luas. Pada penelitian ini,
analisis tidak hanya sampai pada pendeskripsian jenis-jenis gaya bahasa
melainkan sampai pada analisis pewujudan gaya bahasa berdasarkan
pilihan kata yang digunakan. Tidak hanya itu saja, berdasarkan analisis
pewujudan gaya bahasa pada dua novel berseri tersebut akan terungkap
persamaan atau perbedaan cara kedua pengarang mendayagunakan
kemampuan berbahasa yang dimilikinya melalui pilihan kata yang
digunakan dalam bergaya bahasa. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini
menjadi penelitian yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya
dan dianggap sangat penting untuk dilakukan.
B. Landasan Teori
1. Stilistika
Stilistika secara umum dikenal sebagai studi pemakaian bahasa
dalam karya sastra. Stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi
linguistik. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi potensi dan
kaidah yang terdapat dalam bahasa sehingga memberikan efek tertentu.
Berikut ini uraian lebih lengkap tentang stilistika.
27
a. Sejarah Stilistika
Benih-benih stilistika sudah ada sejak zaman Plato (427-347
SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Cikal bakal itu semacam kajian
linguistik tentang proses kreatif dalam kesusasteraan. Teori-teori
mengenai style telah dikembangkan. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu
aliran Platonik dan aliran Aristoteles. Aliran Platonik menganggap style
sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang
memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style. Adapun aliran
Aristoteles menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang
inheren, yang ada dalam setiap ungkapan. Dengan demikian, menurut
Keraf (1990: 112) aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang
memiliki gaya dan ada pula karya yang sama sekali tidak memiliki gaya.
Sebaliknya, aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki
gaya, tetapi ada karya yang memiliki gaya yang tinggi dan ada yang
rendah.
Sejarah perkembangan stilistika di dunia Barat tidak bisa
dilepaskan dengan sejarah perkembangan retorika. Secara etimologis
retorika berasal dari akar kata rhetor (Latin), berarti ahli berpidato. Jadi,
retorika adalah seni dan teori berbicara di depan publik. Dalam
pengertian luas retorika diartikan sebagai seni, teknik penguasaan
sekaligus penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan.Tujuannya
bukan semata-mata melukiskan gagasan tertentu, melainkan untuk
membangkitkan emosi, mendorong, memengaruhi agar pendengar
28
mengambil sikap pertentu. Atas dasar ciri-ciri persuasi ini, Hough dalam
(Ratna, 2016: 26) menyimpulkan bahwa “asal usul stilistika adalah
retorika bukan puitika”.
Zaman Plato dan Aristoteles sudah terlalu jauh dari zaman kita.
Pada tahun 1916 telah terbit sebuah buku hasil kerjasama sastrawan
dan ahli bahasa beraliran Formalisme Rusia dengan buku yang berjudul
The Study ini Theory of Puitics Language. Selanjutnya disusul oleh
tulisan Roman Jakobson pada tahun 1923. Ia menulis tentang puisi
Ceko yang menerapkan kriteria semantik modern dalam pengkajian
struktur dan pola puisi. Menurut Abrams dalam (Ratna, 2016: 37)
popularitas stilistika baru tampak pada tahun 1950-an untuk
menggantikan ciri-ciri subjektif dan impresif dengan ciri-ciri objektif
saintifik dalam analisis teks sastra.
Di Indonesia, analisis terhadap gaya atau style sastra telah
mulai diterapkan sejak tahun 1950-an. Sastra tidak lagi berbicara kaidah
tetapi lebih pada perkembangan, khususnya gaya bahasa. Dalam
rangka menemukan sejarah perkembangan stilistika di Indonesia,
penelusuran buku-buku yang dapat diimplikasikan baik terhadap gaya
bahasa maupun stilistika itu harus dilakukan. Buku pertama yang
berkaitan dengan gaya bahasa ditulis oleh Slametmuljana. Meskipun
tidak secara eksplisit menyebutkan gaya bahasa dan stilistika, tetapi
dikaitkan dengan judulnya yaitu Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra
(1956) dapatlah dikatakan bahwa buku tersebut mengawali studi
29
stilistika Indonesia. Menurut Slametmuljana dalam (Ratna, 20016: 39)
“perkembangan mengenai kata-kata berjiwa inlah yang disebut sebagai
stilistika”.
Adapun Panuti Sudjiman dalam bukunya yang berjudul Bunga
Rampai Stilistika (1993) secara jelas telah menyinggung makna stilistika,
yaitu mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra.
Secara singkat, stilistika mengkaji fungsi puitika suatu bahasa. Menurut
Sudjiman, stilistika menjembatani analisis bahasa dan sastra.
Selanjutnya, Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya
Bahasa (1990) sama sekali tidak menyinggung istilah stilistika tetapi
dilihat dari isinya secara keseluruhan mengarah pada pemahaman
stilistika yaitu tentang gaya bahasa. Namun, sepanjang buku yang ditulis
para ahli tersebut hanya buku Umar Junus yang dapat disebut sebagai
buku teks mengenai stilistika dan disajikan dalam satu kesatuan. Buku
tersebut berjudul Stilistik Suatu Pengantar (1989) diterbitkan oleh Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur.
Pembahasan ini hanya mengemukakan gaya bahasa dan
stilistika dalam bentuk buku yang sudah diterbitkan dengan maksud
mengetahui seberapa jauh stilistika menjadi pusat perhatian bagi kritikus
sastra Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir stilistika
sebagai ilmu interdisipliner mulai ditekuni oleh beberapa ahli bahasa. Ini
dibuktikan dengan meningkatnya jumlah penelitian tentang stilistika baik
berupa jurnal, makalah, skripsi, tesis, disertasi maupun buku.
30
b. Pengertian Stilistika
Secara etimologi stilistika berasal dari bahasa Inggris stylistic
yang berarti studi mengenai style „gaya bahasa‟ atau „bahasa yang
bergaya‟. Adapun secara istilah, stilistika (stylistics) adalah ilmu tentang
penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Style secara
umum adalah cara-cara yang khas dalam mengungkap sesuatu dengan
cara-cara tertentu sehingga tujuan yang dimaksudkan tercapai secara
maksimal.
Adapun beberapa pengertian stilistika menurut beberapa ahli.
Kridalaksana (2008: 227) memberikan batasan tentang stilistika, yaitu
(1) Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya
sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; (2)
penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Adapun menurut
Junus (1989: 17) bahwa hakikat stilistika adalah studi mengenai
pemakaian bahasa dalam karya sastra. Senada dengan pendapat
Junus, Ratna (2016:9) menyatakan bahwa stilistika merupakan ilmu
yang menyelidiki cara-cara penggunaan bahasa yang khas dalam karya
sastra sehingga menimbulkan efek-efek tertentu. Konsep kekhasan
penggunaan bahasa dalam karya sastra berhubungan dengan
penggunaan bahasa yang tidak biasa atau berbeda dari konstruksi
bahasa sehari-hari. Konsep ini dapat dibawa kepada konsep yang ada
pada estetik. Kekhasan penggunaan bahasa dalam karya sastra
tersebut adalah gaya yang berupaya dibangun oleh pengarang. Gaya
31
menghasilkan keindahan dalam karya sastra sekaligus merupakan
estetik. Dalam hubungan ini, Junus (1989: 14) mengungkapkan bahwa
ini akan berhubungan dengan metafora, simile atau perbandingan
karena ini dianggap mendatangkan keindahan kepada sesuatu
pengucapan bahkan bahasa. Pengucapan dan kumbang berdatangan
untuk menghisap madu bunga itu dianggap jauh lebih indah dan lebih
berseni dari pada ucapan dan pemuda berdatangan untuk memikat
gadis itu. Perbedaan antara keduanya adalah perbedaan bungkusan.
Bungkusan pertama dikatakan lebih indah, lebih berseni atau lebih
estetik dibandingkan dengan bungkusan kedua.
Lebih lanjut, Shipley (dalam Ratna, 2016:8) menjelaskan bahwa
stilistika (stylistics) adalah ilmu tentang gaya (style). Style berarti alat
berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang yang
berlapis lilin. Bagi mereka yang dapat menggunakan alat tersebut secara
baik disebut sebagai praktisi gaya bahasa yang sukses. Sebaliknya, bagi
mereka yang tidak dapat menggunakan alat dengan baik disebut praktisi
gaya yang kasar atau gagal. Benda runcing sebagai alat untuk menulis
dapat diartikan bermacam-macam. Salah satu diantaranya adalah
menggores, melukai, menembus, menusuk, bidang datar sebagai alat
tulisan. Konotasi lain adalah „menggores‟ atau „menusuk‟ perasaan
pembaca, bahkan juga penulis sendiri sehingga menimbulkan efek
tertentu. Inilah yang dijadikan sebagai dasar pemaknaan stilus sebagai
32
gaya bahasa yang sekaligus berfungsi sebagai penggunaan bahasa
yang khas.
Kemudian, Sudjiman (1993: 3) berpendapat bahwa “stilistika
mengkaji cara sastrawan memanipulasi dengan arti memanfaatkan
unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang
ditimbulkan oleh penggunaannya itu”. Sekaitan dengan pengertian yang
dikemukakan Sudjiman tersebut, Darwis (2009) dalam sebuah artikel
jurnal yang berjudul “Kelainan Ketatabahasaan dalam Puisi Indonesia:
Kajian Stilistika” telah mengungkap bahwa kelainan-kelainan
ketatabahasaan itu merupakan suatu strategi di dalam penulisan puisi
Indoesia. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan bentuk bahasa yang
paling kreatif, makna yang lebih dalam, dan/atau kalau dapat
menghasilkan rima yang sesuai. Dengan cara demikianlah, bahasa puisi
itu memiliki karakteristik tersendiri, berkontras dengan ragam bahasa
nonsastra (bahasa public), dan tidak terkesan klise. Selanjutnya hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelainan ketatabahasaan
tersebut ternyata berpola, yang berarti dilakukan sedemikian rupa
sebagai realisasi kesanggupan ber(tata)bahasa, bukan akibat kelainan
ataupun ketidakpedulian penyair terhadap kaidah-kaidah tata bahasa
Indonesia.
Pada penelitian Darwis tersebut, salah satu pola yang
ditemukan adalah pola pelesapan yakni dilesapkannya afiks-afiks
tertentu yang biasanya terdapat dalam penggunaan bahasa Indonesia
33
sehari-hari. Adapun afiks-afiks yag kerap dilesapkan, yaitu sufiks –i dan
sufiks –kan yang dapat dilihat penggunaannya pada larik kasih
tersembelih dan doa membeku // memekat, menghamil dendam
(Nostalgi, 21). Yang sesungguhnya larik tersebut berasal dari konstruksi
wajar, yaitu tersembelih dan doa membeku // memekat, menghamili
dendam. Adapun contoh larik, jangan resah. Jangan membasah. Bumi
kan masih tetap membisu untukku (Nyanyian, 19), yang jika
dikonstruksikan sesuai kaidah maka yang seharusnya adalah
membasahi bukan membasah. Adapun pelesapan sufiks –kan dapat
dilihat pada konstruksi di tubuhku ada luka sekarang, bertambah lebar
juga, mengeluar darah (Deru, 40) yang seyogyanya kata mengeluar,
tersebut berasal dari konstruksi mengelurkan.
Berdasarkan tulisan tersebut, dapat dikatakan bahwa
kemampuan pengarang memanipulasi dalam arti memanfaatkan unsur
dan kaidah yang terdapat dalam bahasa itu, diwujudkan dengan yang
disebut Darwis sebagai kelainan ketatabahasaan. Kelainan
ketatabahasaan menurut Darwis (2009) merupakan hal yang lazim
dijumpai dalam penulisan puisi. Di dalamn perpuisian dikenal adanya
licenci poetika yaitu kebebasan penyair untuk menyalahi kebiasaan
berbahasa sehari-hari, termasuk menyalahi kaidah-kaidah gramatika.
Tambahan lagi juga dikenal adanya estetika penyimpangan, yaitu suatu
dorongan untuk senantiasa melakukan penyimpangan dari hal-hal yang
sudah dianggap mapan. Dengan berbuat demikian, puisi yang dihasilkan
34
akan senantiasa mengandung kelainan, kebaruan, sekurang-kurangnya
terkesan berkontras atau beroposisi dengan bahasa masyarakat umum
(publik). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa inilah
salah satu hakikat dari stilistika.
Adapun pendapat lain mengenai stilistika yang dikemukakan
oleh Leech dan Short (1984: 13) bahwa “stilistika adalah studi tentang
wujud performansi kebahasaan khususnya yang terdapat dalam karya
sastra”. Terakhir, pengertian stilistika yang dikemukakan oleh Aminuddin
(1995:46) adalah “studi tentang cara pengarang dalam menggunakan
sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan dari
kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan sasaran
kajian pada wujud penggunaan sistem tandanya”.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa stilistika adalah ilmu yang mengkaji wacana sastra dengan
orientasi linguistik atau dengan kata lain dikatakan bahwa stilistika
adalah ilmu yang melihat penggunaan bahasa yang bergaya dalam
karya sastra. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi potensi
dan kaidah yang terdapat dalam bahasa serta memberikan efek tertentu.
Stilistika merupakan bagian dalam disiplin ilmu linguistik terapan dengan
mengkaji sastra dari perspektif linguistik.
35
c. Tujuan Stilistika
Analisis stilistika digunakan untuk menemukan suatu tujuan
estetika umum yang tampak dalam sebuah karya sastra dari
keseluruhan unsurnya. Analisis stilistika bertujuan menemukan prinsip-
prinsip artistik yang mendasari pemilihan bahasa seorang pengarang,
sebab setiap penulis memiliki kualitas individu masing-masing (Leech &
Short, 1993: 74). Analisis style tidak sama dengan analisis bahasa yang
lazimnya berhenti pada deskripsi berbagai aspek bahasa. Tujuan kajian
stilistika adalah menemukan dan menjelaskan ketepatan penggunaan
bentuk-bentuk bahasa, baik secara estetis maupun efektivitasnya
sebagai sarana komunikasi. Intinya, tujuan stilistika menurut
Nurgiyantoro (2014: 100) adalah menemukan fungsi estetis penggunaan
bentuk-bentuk bahasa yang mengandung teks.
Menurut Darwis (2009: 2) stilistika dapat dibagi menjadi dua
subbidang, yaitu stilistika linguistik dan stilistika sastra. Persamaan
antara stilistika linguistik maupun stilistik sastra terletak pada objek
kajiannya yakni bahasa dalam karya sastra karena stilistika adalah
kajian terhadap bahasa sastra. Perbedaan keduanya terletak pada
tujuan akhir kajian atau penelitian. Orientasi akhir kajian stilistika
linguistik berbeda dengan stilistika sastra.
Stilistika linguistik menekankan pada pentingnya
menyodorkan fakta-fakta kebahasaan bukan untuk menilai
segi estetika yang dikandungnya, melainkan untuk
menemukan ciri pribadi atau ciri sosial penyair,
sekurangnya[sic]-kurangnya menunjukkan adanya kontras
36
antara bahasa puisi dan bahasa sehari-hari. Adapun
stilistika sastra menekankan pada pentingnya
pengungkapan nilai estetika karya sastra berdasarkan fakta-
fakta kebahasaan yang sengaja dibuat berbeda dari bahasa
yang berlaku umum dalam masyarakat. (Darwis, 2009: 2)
Darwis (2002: 91) menyatakan bahwa dalam stilistika linguistik
tidak terdapat kewajiban untuk menjelaskan keterkaitan antara pilihan
kode bahasa (bentuk linguistik) dan fungsi atau efek estetika atau artistik
karya sastra. Stilistika linguistik tidak lain hanyalah berupa penerapan
teori linguistik untuk mengungkap berbagai unsur kebahasaan dalam
teks sastra.
Adapun stilistika sastra selain mengungkap atau
mendeskripsikan berbagai struktur dan bentuk linguistik, yang lebih
utama lagi adalah deskripsi efek estetika dan kandungan makna di balik
berbagai struktur dan bentuk linguistik tersebut. Yang ditekankan dalam
stilistika sastra adalah bagaimana menemukan fungsi sastra, yaitu
memberikan efek estetika (puitis). Dalam hal ini, stilistika sastra
bertujuan mengungkap hakikat yang terselubung dibalik berbagai
fenomena kebahasaan tersebut, hakikat yang menjadi tujuan utama dari
sastra, yaitu dulce et utile (menghibur dan bermanfaat) atau dalam istilah
Bressler (1999: 12) disebut to teach (mengajar) dan to entertain
(menghibur). Dengan demikian, penelitian stilistika sastra selain dapat
mengungkap efek estetika sebagai buah kreativitas pengarang, juga
mampu mengungkap makna di balik bahasa yang estetis tersebut.
37
d. Stilistika dan Kritik Sastra
Pada bagian sebelumnya, telah diberikan pemahaman mengenai
pengertian stilistika. Stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam
karya sastra. Adapun kritik sastra adalah salah satu bagian ilmu sastra
disamping teori sastra dan sejarah sastra yang bertujuan memberi
penilaian dan memutuskan bermutu tidaknya sebuah karya yang
sedang dikritik. Kritik sastra yang sesungguhnya bukan hanya menilai
saja, melainkan masih ada aktivitas kritikus yang lain yakni
menganalisis karya tersebut.
Abrams dalam buku Pengkajian Sastra (2005: 57)
mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang
berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian
karya sastra. Stilistika merupakan bagian dari linguistik yang
memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama
bahasa dalam kesusastraan. Stilistika dianggap menjembatani kritik
sastra disatu pihak dan linguistik dipihak lain (Sudjiman, 1993: 3).
Hubungan tersebut tercipta karena (1) stilistika mengkaji cara
sastrawan memanipulasi dengan arti memanfaatkan unsur dan kaidah
yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh
penggunaannya itu, (2) stilistika mengkaji wacana sastra dengan
orientasi linguistik, (3) stilistika meneliti ciri-ciri yang membedakan atau
mempertentangkan wacana sastra dengan wacana nonsastra, dan (4)
stilistika meneliti deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang
38
normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan
estetisnya sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti
fungsi puitik bahasa.
Analisis kritik sastra terhadap sebuah novel biasanya dimulai dari
analisis terhadap unsur instrinsik dan ekstrinsik yang membangun karya
sastra tersebut kemudian sampai pada penilaian isi novel. Kritik sastra
sebagai penilaian terhadap sebuah karya sastra tidak hanya menilai
dari bentuk, isi, dan makna, melainkan juga melihat proses pembuatan
karya sastra dengan psikologi pengarang yang menghasilkan sebuah
karya (Hermoyo, 2015). Analisis stilistika tidak sampai kepada
mengungkap isi maupun makna dari karya sastra tersebut. Analisis
stilistika adalah analisis yang melihat cara pengarang mengungkap ide
atau gagasan melalui media bahasa. Analisis stilistika berada pada
analisis pengungkapan cara pengarang membungkus ide atau gagasan
melalui fakta-fakta kebahasaan yang ditampilkan dalam karyanya.
Sudjiman (1993: 5) mengatakan bahwa hubungan kritik sastra
dengan analisis stilistika bukan berarti berpretensi menggantikan kritik
sastra. Justru sebaliknya, stilistika tidak berpretensi menggantikan kritik
sastra. Stilistika membuka jalan untuk kritik sastra yang efektif.
Pengkajian stilistik tidak bermaksud mematikan intuisi karya sastra.
Kajian sastra dengan memanfaatkan teori stilistika hakikatnya
berangkat dari pendekatan objektif seperti yang dibicarakan oleh
Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp (1976: 8).
39
Pendekatan objektif merupakan pendekatan dalam kajian sastra yang
menitikberatkan pada hubungan antarunsur karya sastra. Fokus
pendekatan objektif adalah karya sastra itu sendiri.
Analisis stilistik berusaha menggantikan subjektivitas dan
impresionisme yang digunakan oleh kritikus sastra. Analisis stilistika
dapat dijadikan pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu
pengkajian yang relatif lebih objektif dan ilmiah. Dengan demikian,
stilistika berupaya menujukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks
berkombinasi membentuk suatu pesan dan menemukan ciri yang
benar-benar memberikan efek tertentu kepada pembaca (pendengar),
tidak hanya sekadar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana
stilistik dalam suatu karya sastra.
2. Novel sebagai Objek Kajian Stilistika
Novel berasal dari bahasa Italia novella, yang dalam bahasa
Jerman disebut novella, dan dalam bahasa Yunani disebut novellus.
Istilah tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
novel. Dewasa ini istilah novella mengandung pengertian yang sama
dengan istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette) yang berarti sebuah
karya prosa fiksi yang cakupannya, tidak terlalu panjang juga tidak terlalu
pendek. Johson dalam (Faruk, 1994: 46) menyatakan bahwa novel
merupakan salah satu jenis karya sastra yang cenderung realistik. Dalam
arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas
(Sumardjo, 1997: 29). Ukuran yang luas berarti cerita dengan plot (alur)
40
yang kompleks, susunan cerita yang beragam, dan setting cerita yang
beragam pula.
Adapun menurut Aminuddin (2002: 66) menyatakan bahwa novel
merupakan bagian dari prosa fiksi yang disebut juga karya fiksi yang berisi
kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan
pemeranan, latar dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil
imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Berdasarkan
beberapa pendapat, dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya fiksi
berupa prosa yang di dalamnya mengandung rangkaian cerita dari
kehidupan pribadi penulis dan kehidupan orang-orang yang berada di
sekitar penulis. Novel termasuk salah satu bentuk karya sastra yang di
dalamnya terdapat nilai-nilai budaya, sosial, moral dan pendidikan. Novel
menjadi sebuah media penuangan pikiran, perasaan, dan gagasan
penulis dalam merespon kehidupan di sekitarnya.
a. Ciri-ciri Novel
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, novel memiliki ciri khas
tersendiri bila dibandingkan dengan karya sastra lain. Dari segi jumlah
kata atau kalimat, novel lebih banyak mengandung kata dan kalimat.
Dari segi panjang cerita, novel lebih panjang dari pada cerpen sehingga
novel dapat mengemukakan sesuatu secara lebih lengkap, lebih rinci,
lebih detail. dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang
kompleks. Berikut ini termasuk ciri-ciri novel yang diperoleh dari situs
http://www.seputarilmu.com/html.
41
1) Ditulis dengan gaya narasi, yang terkadang dicampur deskripsi
untuk menggambarkan suasana.
2) Bersifat realistis, artinya merupakan tanggapan pengarang
terhadap suasana lingkungannya.
3) Bentuknya lebih panjang, biasanya lebih dari 10.000 kosakata.
4) Alur ceritanya cukup kompleks
5) Novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek, dan emosi.
Lebih lanjut akan diuraikan ciri bahasa sastra. Bahasa sastra
(puisi dan prosa) adalah bahasa yang bersumber dari ragam bahasa
standar yang penggunaannya diatur dalam kaidah tata bahasa standar.
Selanjutnya, hasil dari proses manipulasi penggunaan bahasa tersebut
itulah yang disebut bahasa sastra. Hubungan antara bahasa sastra dan
bahasa sehari-hari adalah bahasa sastra menggunakan bahasa sehari-
hari yang selanjutnya dikonstruksi secara tidak biasa dengan gaya yang
khas.
Secara garis besar, ciri ragam bahasa sastra menurut Suharjono
yang diakses pada laman www.mercubuana.ac.id sebagai berikut:
1) ragam bahasa sastra lebih mengutamakan unsur-unsur keindahan
seni, penulis cenderung menekankan gaya pengungkapan simbolik
dengan memadukan unsur instrinsik dan ekstrinsik. Artinya bahasa
sastra tidak saja mengungkapkan yang tersurat tetapi juga
mengungkapkan makna yang tersirat;
42
2) pilihan kata dan tata bahasa yang digunakan disesuaikan dengan
suasana yang akan dibangun, memainkan bahasa sedemikian rupa
agar muatan emosi yang terkandung dalam karya sastra dapat
tersampaikan kepada penikmat sastra;
3) bahasa sastra menggunakan bahasa yang konotatif. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) laring, konotasi berarti ‟makna
yang ditambahkan pada makna denotasi‟. Nilai konotasi yang lebih
luas dari pengertian denotasi sangat penting dalam karya sastra.
Setiap kata yang dipilih dapat diasosiasikan dengan berbagai
pengertian.
b. Unsur-unsur novel
Secara tradisional Nurgiyantoro (2009: 23) membagi unsur-unsur
pembangun novel menjadi dua, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur
intrinsik.
Berikut penjelasan tentang unsur-unsur tersebut.
1) Unsur Intrinsik
Unsur instrinsik merupakan unsur utama yang membangun
novel dari dalam. Unsur Intrinsik ini terdiri atas:
a) Tema
Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari
sebuah novel (Nurgiyantoro, 2009: 70). Adapun menurut
Stanton (2007: 7) bahwa “tema memberi kekuatan dan
menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang
43
diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam
konteksnya yang paling umum”. Dengan kata lain, tema
merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang
mendasari atau menjiwai jalan cerita novel secara umum.
b) Latar (Setting)
Latar (Setting) menurut Abrams (dalam Nurgiantoro,
2009: 216) adalah landasan atau tumpuan yang memiliki
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dengan
kata lain, latar adalah segala keterangan, pengacuan, atau
petunjuk yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi
terjadinya peristiwa dalam suatu cerita. Latar berfungsi sebagai
pemberi kesan realistis kepada pembaca.
c) Sudut Pandang
Menurut Nurgiyantoro (2009: 246) “sudut pandang
adalah cara penyajian cerita, peristiwa-peristiwa, dan tindakan-
tindakan pada karya fiksi berdasarkan posisi pengarang di
dalam cerita”. Sudut pandang menurut Nurgiyantoro (2009: 256)
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sudut pandang persona
ketiga dia dan sudut pandang persona pertama aku. Berikut ini
penjabaran tentang sudut pandang tersebut.
(1) Sudut Pandang Persona Ketiga Dia
44
Penceritaan dengan menggunakan sudut pandang
persona ketiga adalah penceritaan yang meletakkan posisi
pengarang sebagai narator dengan menyebutkan nama-
nama tokoh atau menggunakan kata ganti ia, dia, dan
mereka.
(2) Sudut Pandang Persona Pertama Aku
Sudut pandang persona pertama aku merupakan
sudut pandang yang menempatkan pengarang sebagai aku
yang ikut dalam cerita.
(3) Sudut Pandang Campuran
Sudut pandang campuran adalah sudut pandang
yang menggabungkan antara sudut pandang orang ketiga
dia dan sudut pandang orang pertama aku.
d) Alur (Plot)
Alur (plot) merupakan hubungan antarperistiwa yang
bersifat sebab akibat, tidak hanya berupa jalinan peristiwa
secara kronologis (Nurgiyantoro, 2009: 112). Adapun menurut
Stanton (2007: 26) secara umum menyatakan bahwa “alur
merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita”.
Dengan kata lain, alur (plot) merupakan rangkaian peristiwa
atau kejadian dalam novel untuk mencapai efek tertentu. Alur
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu alur maju (progresif) dan
alur mundur (flash back progresif). Disebut alur maju (progresif)
45
apabila peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan
kronologis menuju alur cerita dan disebut alur mundur (flash
back progresif) apabila peristiwa yang terjadi ada kaitannya
dengan peristiwa yang sedang berlangsung.
e) Tokoh dan Penokohan
Istilah tokoh merujuk pada orang atau pelaku dalam
sebuah cerita sedangkan penokohan adalah cara seorang
penulis menampilkan sifat dan watak dari suatu tokoh.
Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa
diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, dan
lingkungan tempat tinggal.
f) Gaya Bahasa
Gaya bahasa (style) merupakan cara pengucapan
pengarang dalam mengemukakan sesuatu terhadap pembaca
(Abrams, dalam [Nurgiyantoro, 2009: 276]). Adapun menurut
Stanton (2007: 61) menyatakan bahwa dalam sastra, gaya
adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Dengan
kata lain, gaya bahasa adalah alat atau sarana utama
pengarang untuk melukiskan, menggambarkan dan
menghidupkan cerita secara estetika. Gaya bahasa juga dapat
diartikan sebagai cara pengarang mengungkapkan ceritanya
melalui bahasa yang digunakan dalam cerita untuk
memunculkan nilai keindahan.
46
g) Amanat
Amanat atau nilai moral merupakan unsur isi dalam karya
fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan
sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui
tokoh-tokoh di dalamnya (Kenny, dalam [Nurgiyantoro, 2009:
321]). Amanat adalah pesan moral yang disampaikan seorang
pengarang melalui cerita. Amanat juga disebut sebagai pesan
yang mendasari cerita yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca.
2) Unsur Ekstrinsik
Unsur Ekstrinsik menurut Nurgiyantoro (2009: 23) adalah unsur
yang berada di luar karya fiksi yang memengaruhi lahirnya karya
tetapi tidak menjadi bagian di dalam karya fiksi itu sendiri. Biasanya
bisa berupa latar pribadi penulis maupun nilai-nilai dari luar. Wellek
dan Werren (dalam Nurgiyantoro, 2009: 24) mengatakan bahwa unsur
ekstrinsik terdiri dari sejumlah unsur antara lain:
a) Biografi pengarang adalah keadaan subjektivitas individu
pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan
hidup yang dapat memengaruhi karya tulisnya dengan kata lain
pengarang juga akan turut menentukan corak karya yang
dihasilkannya.
b) Psikologi berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses
kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip
47
psikologi dalam karya yang dapat memengaruhi sebuah karya
fiksi.
c) Keadaan lingkungan pengarang meliputi ekonomi, politik dan
sosial yang juga akan berpengaruh terhadap karya sastra.
d) Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain
yang juga dapat memengaruhi sebuah karya sastra.
3. Gaya Bahasa
Istilah gaya dikenal dalam semua bidang kehidupan. Dalam
kaitannya dengan karya sastra, gaya tidak dapat dipisahkan hubungannya
dengan pemakaian atau penggunaan bahasa. Bahasa merupakan media
utama bagi karya sastra. Bahasa sastra sebagai media ungkapan
perasaan, pikiran, dan batin pengarang berkaitan erat dengan gaya.
Berikut ini penjelasan secara lengkap tentang gaya bahasa.
a. Pengertian Gaya Bahasa
Terdapat sejumlah pengertian gaya bahasa menurut ahli.
Pertama, pengertian gaya bahasa menurut Keraf (1990: 113) yang
menyatakan bahwa “gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”.
Adapun Aminuddin (1995: 4) memberi penjelasan bahwa gaya bahasa
atau style merupakan teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang
dalam memaparkan gagasan sesuai dengan ide dan norma yang
digunakan dan mencirikan pribadi pemakainya. Menurut Dale (dalam
48
Tarigan, 2009:4) berpendapat bahwa gaya bahasa adalah bahasa
indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan
memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu
dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Secara singkat
penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta
menimbulkan konotasi tertentu.
Sejalan dengan pendapat beberapa ahli yang lain,
Kridalaksana (2008: 63) memberikan pengertian gaya bahasa atau
style adalah (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang
dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk
memperoleh efek-efe tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa
sekelompok penulis sastra. Adapun pengertian gaya bahasa menurut
Sudjiman (1993: 13) adalah “cara menggunakan bahasa dalam
konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu”. Terakhir,
gaya bahasa menurut Nuryadi (2010) adalah cara seseorang
berbahasa, baik secara lisan atau tertulis yang berbeda dengan orang
lain. Gaya bahasa ditentukan oleh dua unsur yaitu pilihan kata (diksi)
dan pilihan kalimat (sintaksis). Ada seseorang yang kalimatnya
tersusun panjang-panjang tetapi ada yang tersusun pendek-pendek.
Contoh dalam bahasa Indonesia, ada seseorang yang lebih senang
menggunakan kata senantiasa daripada selalu, ada orang yang lebih
senang menggunakan kata sudah daripada telah.
49
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa gaya bahasa adalah penggunaan bahasa yang khas dalam
karya sastra yang berbeda dari penggunaan bahasa pada umumnya
untuk menimbulkan efek tertentu bagi pembaca. Gaya bahasa
berkaitan dengan cara pengarang memilih, menata, dan menempatkan
kata dalam susunan kalimat sehingga memiliki pengaruh atau efek
tertentu bagi pembaca. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan
leksikal, struktur kalimat, pola rima, matra yang digunakan seorang
sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra
(Sudjiman,1993: 13).
b. Jenis-jenis Gaya Bahasa
Sebelum berkembangnya konsep gaya dalam pandangan
modern, jauh sebelum itu tepatnya pada masa sebelum Masehi telah
ada konsep tentang gaya. Konsep tersebut dikemukakan oleh Envikst
(dalam Junus, 1989: 5). Menurut Envikst gaya meliputi: (1) gaya
sebagai bungkusan, (2) gaya sebagai pilihan kemungkinan, (3) gaya
sebagai serangkaian ciri pribadi, (4) gaya sebagai penyimpangan, (5)
gaya sebagai sekumpulan ciri kolektif, (6) gaya sebagai hubungan
antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas
daripada sebuah kalimat. Menurut Rahmawati (2012: 30) bahwa
definisi gaya menurut Enkvist tersebut memperlihatkan pembaharuan
dalam konsep modern di definisi 2, 4, dan 6. Definisi 1 merupakan
pengaruh dari definisi klasik. Definisi 3 dan 5 merupakan definisi yang
50
diakui kebenarannya dari periode klasik hingga modern. Berikut ini
uraian tentang gaya menurut Enkvist.
1) Gaya sebagai Bungkusan
Terdapat beberapa pengertian gaya sebagai bungkusan dari
beberapa ahli yang dikemukakan oleh Envikst. Pertama, Enkvist
(dalam Junus, 1989: 9) mengambil pengertian dari Stendhal yang
mengatakan adanya suatu fikiran yang lebih dulu yang kemudian
diucapkan dengan cara tertentu, atau dibungkus dengan cara
tertentu. Ini dilanjutkan dengan pengertian dari Kenneth Burke dan
Paul Goodman yang melihat ada „tulisan yang bergaya‟ disamping
tulisan kebanyakan yang tidak bergaya. Pengertian gaya ini
bermula dengan memisahkan (a) fikiran yang diucapkan dan (b)
„bungkusan atau cara menyampaikannya‟. Menurut Hendricks
dalam (Junus, 1989: 10) (a) lebih dulu daripada (b), dan (b) hanya
bertugas untuk membungkusnya. Dengan kata lain, memang akan
ada „pengucapan tidak bergaya‟ yang biasanya dihubungkan
dengan pengucapan bukan sastera, meskipun dapat dihubungkan
dengan sebuah karya sastera.
Sekaitan dengan hal tersebut, lebih lanjut Barthes (dalam
Junus, 1989: 10 ) menjelaskan pula bahwa pengertian „gaya
sebagai bungkusan‟ itu membawa kita kepada hubungan yang
mesti ada antara signifiant dan signifie, atau antara „penanda‟ dan
„pertanda‟. Dengan (a) lebih dulu daripada (b), maka petanda lebih
51
dulu daripada penanda. Dengan kata lain, suatu petanda tidak
mungkin ada, atau tidak berarti, kalau sebelumnya tidak dibentuk
melalui suatu penanda. Suatu penanda dianggap punya petanda
yang pasti, yang tidak berubah. Petanda menetukan segalanya.
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa gaya sebagai bungkusan
berarti penggunaan bentuk-bentuk bahasa sedemikian rupa dalam
mengungkap gagasan atau fikiran. Penggunaan bentuk-bentuk
bahasa yang bergaya menjadi sebuah bungkusan terhadap hal
yang ada dalam pikiran yang diungkapkan melalui bahasa. Dengan
mengatakan „gaya sebagai bungkusan‟, berarti suatu gaya
dibedakan dari gaya lain karena bungkusannya.
Kesusasteraan adalah sesuatu yang indah yang juga
dihubungkan dengan pengertian seni yang halus. Konsep ini
selanjutnya membawa kepada konsep yang ada pada estetik.
Dengan begitu, gaya adalah sesuatu yang mesti menghasilkan
keindahan dalam karya sastera yang sekaligus merupakan unsur
estetik. Gaya yang mengandung unsur estetik ini berhubungan
dengan metafora, simile atau perbandingan karena ini dianggap
akan mendatangkan keindahan pada suatu pengucapan bahasa,
contoh :
Dan kumbang berdatangan untuk menghisap madu bunga itu.
52
Pengucapan tersebut jauh lebih indah dan lebih berseni
daripada ucapan berikut ini:
Dan pemuda berdatangan untuk memikat gadis itu.
Perbedaan antara keduanya adalah perbedaan bungkusan
dan perbedaan nilai estetik. Bungkusan pertama dikatakan lebih
indah, lebih berseni atau lebih estetik dibandingkan dengan
bungkusan kedua.
2) Gaya sebagai Pilihan Kemungkinan
Pengertian gaya sebagai pilihan kemungkinan berawal dari
peryataan bahwa gaya melibatkan pilihan. Menurut Pavel (1980)
dan Dillon (1980) dalam (Junus,1989: 57) bahwa “tanpa pilihan
tidak mungkin ada gaya”. Gaya itu ada karena ada pilihan. Kita
memilih kemungkinan yang disediakan bahasa. Persoalan pilihan
ada hubungannya dengan persoalan variasi dalam pembicaraan
linguistik.
Ada berbagai pengertian variasi. Pertama, berhubungan
dengan beberapa bentuk yang dianggap tidak berbeda arti atau
memiliki arti yang sama. Ini terkait dengan kata-kata yang
bersinonim. Pemakai bahasa bebas memilih salah satunya. Hal
kedua, suatu bentuk hanya dipakai dalam posisi tertentu. Biasanya
dikatakan variasi terikat. Misalnya antara bentuk afiks mem- dan
me- dalam bahasa Melayu. Hal ketiga, variasi bebas. Misalnya
antara kata tak dan tidak. Ada orang yang menganggap ini tidak
53
melibatkan perbedaan arti. Dengan begitu, untuk sementara kedua
bentuk tersebut berbeda dari variasi. Fenomena keempat,
perbedan antara saya dan aku. Hal kelima, perbedaan antara kata
utuh dan tak pincang. Dalam konteks itu, tidak ada perbedaan arti
dari keduanya. Fenomena keenam, perbedaan dialek. Ini terlihat
pada perbedaan antara tinta dan dakwat. Fenomena ketujuh,
terkait dengan perbedaan masa. Ada kata yang hanya digunakan
dahulu dan kini sudah jarang digunakan. Misalnya kata hatta dan
beradu.
3) Gaya sebagai Serangkaian Ciri Pribadi
Pengertian „gaya sebagai serangkaian ciri pribadi‟ berasal
dari dunia penulis. Oleh karena itu, Enkvist (dalam Junus, 1989: 20)
mulai dengan mengambil pernyataan Buffon Le style, c‟est
I‟homme meme yang berarti „gaya adalah orang (penulis) itu
sendiri‟. Dengan mengatakan demikian, seorang penulis akan
menurunkan tanda tanggannya pada setiap karya yang ditulisnya.
Berdasarkan konsep tersebut dengan mudah pembaca dapat
mengenali karya yang dibacanya dengan hanya melihat
penggunaan bahasa yang menandai pengarang tersebut tanpa
harus mencari tahu siapa pengarangnya. Gaya seorang pengarang
yang mampu mengingatkan pembacanya memperlihatkan
keakraban pembaca dengan gaya pengarang itu.
54
Dengan mengatakan „gaya sebagai serangkaian ciri pribadi‟,
terdapat pemakaian bahasa yang khas yang hanya dimiliki oleh
pengarang tersebut dan tidak ditemukan pada pengarang lainnya.
Disamping mengungkap gaya pribadi pengarang tertentu, tugas
yang lebih berat ialah menerangkan hakikat pribadi yang berarti
tidak mungkin dipunyai oleh orang lain, kecuali kalau orang lain itu
meniru. Tidak sampai disitu saja, analisis gaya pribadi tersebut
sampai pada seberapa jauh penggunaan bahasa pengarang
tersebut berbeda dari yang digunakan oleh pengarang lainnya.
Dengan begitu, berbicara tentang gaya yang merupakan
serangkain ciri pribadi, harus juga berbicara tentang gaya orang
lain sebagai perbandingan.
4) Gaya sebagai Penyimpangan
Ada berbagai pengertian tentang „gaya sebagai
penyimpangan‟. Hakikat utama dari pengertian gaya ini adalah
gaya dianggap sebagai pemakaian bahasa yang „berbeda‟ dari
pemakaian bahasa biasa. Menurut Junus (1989: 36) “gaya
dipahami sebagai pemakaian bahasa yang lain, tetapi mungkin
juga dipahami sebagai pemakaian bahasa yang menyalahi
tatabahasa”. Dalam hal ini, gaya biasa dihubungkan dengan
konsep licentia poetika (kebebasan penyair) yang dipahami
sebagai kebebasan penyair atau penulis untuk melanggar hukum
tatabahasa.
55
Sebenarnya, pengertian gaya sebagai penyimpangan
bahasa adalah sesuatu artifisial (diciptakan dengan sengaja).
Namun, konsep itu telah hidup dalam pemikiran karena lahir
bersama-sama dengan kelahiran sastera modern. Sastera modern
dianggap sebagai mitos pembebasan yang berteraskan kebebasan
dan pemberontakan terhadap segala ikatan. Dengan kata lain,
kebebasan adalah kata kunci untuk kesusasteraan modern itu.
Kebebasan dari segala macam ikatan, termasuk ikatan bahasa
sehingga kebebasan penyair dipahami sebagai kebebasan
menyalahi kebiasaan bahasa. Atas hal tersebut dapat dikatakan
bahwa kesusasteraan sebagai manifestasi kebebasan.
5) Gaya sebagai Sekumpulan Ciri Kolektif
Gaya sebagai sekumpulan ciri kolektif adalah kebalikan dari
gaya sebagai serangkaian ciri pribadi. Pembuktian terhadap
adanya gaya kolektif diberikan dengan mengatakan bahwa tulisan
si A tidak berbeda dari tulisan si B dan C. Jadi, yang diperlihatkan
adalah hal yang sama antara A, B, dan C. Semua penulis dipahami
menulis dengan menggunakan gaya yang sama dan gaya itu
tentunya dianggap berbeda dari pemakaian bahasa biasa.
Pengertian ciri kolektif atau gaya sosial tidak berhubungan dengan
konsep tidak ada gaya. Tetap ada gaya, hanya saja semua penulis
dipahami menulis dengan gaya yang sama (Junus, 1989: 32).
56
Persoalan gaya dengan ciri kolektif atau gaya sosial mesti
dicari pada sekumpulan teks dengan menekankan kepada hakikat
persamaan. Perbedaan dianggap tidak ada atau mesti ditiadakan
dengan menegaskan kemungkinan persamaan yang mungkin ada
antara dua atau lebih teks. Jadi, ini adalah proses kebalikan dari
penentuan gaya peribadi. Jika pada penentuan gaya pribadi
berusaha mencari perbedaan, maka pada bagian ini berusaha
mencari persamaan.
6) Gaya sebagai Hubungan antara Satuan Bahasa yang Dinyatakan
dalam Teks yang Lebih Luas daripada sebuah Kalimat.
Sesuai dengan pengertian stilistik yang berikan yakni
mempelajari penggunaan unsur bahasa dalam karya sastra maka
sebenarnya dalam hubungan ini berhadapan dengan penggunaan
bahasa. Menurut Halliday & Ruqaiva Hasan dalam (Junus, 1989:
75) “penggunaan mengambil tempat dalam wacana”. Tidak ada
penggunaan bahasa di luar wacana. Dengan begitu, wacana
merupakan lapangan penelitian stilistik yang sebenarnya.
Pengertian wacana yang digunakan dalam pembicaraan ini
menurut Junus (1989: 76) yaitu pertama, wacana adalah
pengucapan bahasa yang melebihi satu ayat. Kedua, wacana
berbeda dari teks, dipahami terikat pada unsur bahasa. Ketiga,
wacana juga berbeda dari teks, punya kemungkinan hubungan
dengan genre. Dengan demikian, tumpuan tidak hanya kepada
57
ayat tetapi juga kepada unsur bahasa lainnya bahkan juga pada
sistem tulisan. Dengan begitu, pengertian wacana pada stilistik
lebih luas dari linguistik. Keseluruhan pemakaian bahasa dan ini
memperlihatkan pentingnya wacana pada stilistika.
Selain penjelasan tentang gaya yang dikemukakan Envikst,
gaya bahasa menurut Keraf (1990: 115) dapat ditinjau dari segi
nonbahasa dan segi bahasa. Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-
unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan
berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu:
1) Gaya Bahasa berdasarkan Pilihan Kata
Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata
mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu
dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat
dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Gaya
berdasarkan pilihan kata terdiri atas :
(a) Gaya bahasa resmi adalah gaya dalam bentuknya yang
lengkap, gaya yang digunakan dalam kesempatan-kesempatan
resmi, gaya yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan
mempergunakannya dengan baik dan terpelihara.
(b) Gaya bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang digunakan
dalam bahasa nonstandar, khususnya dalam kesempatan-
kesempatan yang tidak formal atau kurang formal.
58
(c) Gaya bahasa percakapan adalah gaya bahasa yang digunakan
dalam percakapan yang didalamnya memuat kata-kata popular
dan kata-kata percakapan.
2) Gaya bahasa Berdasarkan Nada
Gaya bahasa berdasarkan nada terdiri atas:
(a) Gaya sederhana adalah gaya yang sangat cocok untuk
digunakan dalam memberi instruksi, perintah, pelajaran,
perkuliahan, dan sejenisnya.
(b) Gaya mulia dan bertenaga, gaya ini penuh dengan vitalitas
energi, biasanya digunakan untuk menggerakkan sesuatu.
(c) Gaya menengah adalah gaya yang diarahkan kepada usaha
untuk menimbulkan suasana senang dan damai.
3) Gaya Bahasa berdasarkan Struktur Kalimat
Struktur kalimat yang dimaksud adalah struktur yang
mempertimbangkan letak sebuah unsur kalimat yang dipentingkan
dalam kalimat tersebut. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat
terdiri atas:
(a) Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung
urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat
kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.
(b) Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang
terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting.
59
(c) Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai
kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang
menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang
sama.
(d) Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung
gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan
kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan.
(e) Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian
kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam
sebuah konteks yang sesuai.
4) Gaya Bahasa berdasarkan Ketidaklangsungan Makna
Gaya bahasa berdasarkan makna diukur berdasarkan
langsung tidaknya makna. Sebuah acuan dilihat berdasarkan tetap
tidaknya makna denotatif kata tersebut. Jika makna denotatif tidak
dipertahankan lagi, berarti ada penyimpangan makna. Gaya
bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna sering disebut
trope atau figure of speech. Istilah trope sebenarnya berarti
„pembalikan‟ atau „penyimpangan‟. Menurut Keraf (1990: 129),
gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speech terdiri atas
gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.
60
(a) Gaya bahasa retoris
Gaya bahasa retoris adalah gaya bahasa yang menyimpang
dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 1990: 129).
Macam-macam gaya bahasa retoris, yaitu:
(1) Asindeton
Asindeton adalah gaya bahasa yang berupa acuan, yang
bersifat padat dan mampat. Kata, frasa, atau klausa yang sederajat
tidak dihubungkan dengan kata sambung.
Contoh:
Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-
detik penghabisan orang melepaskan nyawa.
Contoh gaya bahasa asindeton yang ditunjukkan di atas
menjelaskan tentang penderitaan orang yang melepaskan nyawa.
Antara kata yang satu dan kata yang lain tidak dihubungkan dengan
konjungsi melainkan hanya dipisahkan dengan tanda koma.
(2) Polisindenton
Polisindenton adalah gaya bahasa yang merupakan
kebalikan dari asindeton.
Contoh:
Dan kemanakah burung-burung yang gelisah dan tak
berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang
bakal merontokkan bulu-bulunya?
61
Berbeda halnya dengan gaya bahasa asindenton, gaya
bahasa polisindenton adalah gaya bahasa berupa acuan yang
memisahkan kata, frasa dan klausa dengan sebuah konjungsi. Pada
contoh di atas, penggunaan gaya bahasa polisindeton ditandai
dengan kata penghubung atau konjungsi dan.
(3) Eufemisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti
ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau
tidak menyenangkan. Eufemisme itu sendiri diturunkan dari kata
Yunani euphemizein yang berarti „mempergunakan kata-kata dengan
arti yang baik atau dengan tujuan yang baik‟. Berdasarkan etimologi
tersebut, dapat dikatakan bahwa eufemisme adalah ungkapan-
ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau ungkapan-
ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang
mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau
mensugesti sesuatu yang tidak menyenangkan.
Contoh:
Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (= mati).
Contoh gaya bahasa eufemisme di atas menunjukkan
penggunaan ungkapan yang lebih halus terhadap kata mati. Jadi,
kata mati diganti dengan konstruksi tak ada di tengah-tengah
mereka. Penggunaan kata mati dianggap lebih kasar karena secar
62
langsung mengungkap maksud sedangkan ungkapan tak ada di
tengah-tengah mereka ungkapannya tidak secara langsung.
(4) Litotes
Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan
sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, litotes juga dikatakan sebagai
pernyataan yang memperkecil sesuatu atau melemahkan, dan
menyatakan kebalikannya.
Contoh:
Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.
Penggunaan gaya bahasa litotes di atas menunjukkan
ungkapan yang merendahkan sesuatu hal. Contoh di atas
menjelaskan tentang kedudukan yang dikatakan tidak ada artinya
sama sekali. Padahal, pernyataan tersebut menyatakan hal yang
berlawanan dari maksud yang sebenarnya.
(5) Pleonasme dan Tautologi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
pleonasme berarti pemakaian kata-kata yang lebih daripada yang
diperlukan sedangkan tautologi adalah pengulangan gagasan,
pernyataan, atau kata yang berlebih yang tidak diperlukan. Adapun
menurut Keraf (1990: 133) menyatakan “Pleonasme dan tautologi
adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada
yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan”.
63
Contoh:
Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.
Contoh di atas, menunjukkan penggunaan gaya bahasa
pleonasme melalui penggunaan kata yang berlebihan daripada yang
diperlukan. Contoh tersebut menggunakan kata telinga di samping
kata mendengar. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
mendengar adalah fungsi dari telinga sehingga tanpa menggunakan
kata telinga pun, informasi dari kalimat tersebut dapat dipahami.
Adapun contoh tautologi dapat dilihat berikut.
Ia tiba pukul 20.00 malam waktu setempat.
Contoh tersebut dikatakan bergaya bahasa tautologi karena
terdapat kata yang mengulang kembali gagasan yang sudah disebut
sebelumnya. Penggunaan kata malam dianggap sudah tercakup
dalam pukul 20.00 sehingga ini dianggap mengandung gaya bahasa
tautologi
(6) Erotesis
Erotesis/pertanyaan retoris adalah gaya bahasa yang
wujudnya semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam tulisan
atau lisan dengan tujuan melakukan penekanan yang wajar dan
sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban.
Contoh:
Rakyat yang harus menanggung akibat semua korupsi dan
manipulasi Negara ini ?
64
Penggunaan gaya bahasa retoris terlihat pada penggunaan
bentuk pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban.
Contoh di atas menunjukkan pertanyaan yang tidak secara langsung
memerlukan jawaban. Bentuk pertanyaan di atas sebenarnya telah
memperoleh jawaban, yang dibutuhkan hanyalah dukungan terhadap
hal yang telah dipertanyakan. Perihal yang menanggung akibat
semua korupsi dan manipulasi Negara ini adalah rakyat.
(7) Koreksio
Koreksio/epanotesis adalah gaya bahasa yang berwujud,
mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.
Contoh :
Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan,
sudah lima kali .
Contoh gaya bahasa koreksio tersebut menunjukkan
konstruksi yang mula-mula menjelaskan tentang kuantitas
mengunjungi suatu daerah yakni sebanyak empat kali. Selanjutnya,
pernyataan tersebut dikoreksi atau diperbaiki yang ditunjukkan
dengan penggunaan frasa ah bukan lalu diikuti jumlah yang benar
yaitu sudah lima kali.
(8) Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu
pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu
hal. Gaya bahasa hiperbola biasa dipakai jika seseorang bermaksud
65
melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan keadaan yang
sebenarnya dengan maksud untuk menekankan penuturannya.
Makna sesuatu yang ditekankan atau dilebih-lebihkan itu sering
menjadi tidak masuk akal untuk ukuran nalar yang biasa.
Contoh :
Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir
meledak aku.
Berdasarkan contoh gaya bahasa hiperbola di atas, terlihat
penggunaan bentuk yang berlebih-lebihan pada kata meledak. Ini
dianggap berlebih-lebihan karena sebuah kemarahan tidak akan
sampai meledakkan seseorang, sementara pada contoh
digambarkan demikian.
(9) Paradoks
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan
(berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran tetapi
kenyataannya mengandung kebenaran. Paradoks adalah gaya
bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-
fakta yang ada.
Contoh :
Musuh sering merupakan kawan yang akrab.
Penggunaan gaya bahasa paradoks yang ditunjukkan pada
contoh di atas menggambarkan pertentangan maksud antara musuh
66
dan kawan. Kedua kata tersebut menyatakan pertentangan. Namun,
pada gaya bahasa paradoks hal tersebut bisa terjadi. Faktanya,
musuh sering kali menjadi kawan untuk hal-hal tertentu. Jadi, dari
segi makna denotatif kedua kata tersebut dianggap berlawanan,
namun pada kenyataannya mengandung kebenaran.
(10) Oksimoron
Oksimoron adalah gaya bahasa yang berusaha untuk
menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan.
Dengan kata lain, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung
pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan
dalam frasa yang sama. Oleh sebab itu, sifatnya lebih padat dan
tajam dari paradoks.
Contoh :
Keramah-tamahan yang bengis.
Gaya bahasa oksimoron pada contoh di atas ditunjukkan
melalui frasa keramah-tamahan yang bengis. Pada contoh ini, terlihat
adanya pengontrasan antara kata keramah-tamahan dengan kata
bengis yang disusun secara lebih padat melalui sebuah frasa. Makna
kata ramah-tamah sangat berlawanan dengan bengis. Dalam KBBI
laring, kata ramah bermakna „baik hati dan menarik budi bahasanya;
manis tutur kata dan sikapnya suka bergaul dan menyenangkan
sedangkan kata bengis bermakna „bersifat keras tanpa belas kasihan
kepada manusia atau binatang; suka berbuat aniaya; kejam‟.
67
Berdasarkan makna kedua kata tersebut, terlihat pertentangan
makna yang dikandung keduanya.
(b) Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya
mengalami penyimpangan yang lebih jauh. Menurut Keraf (1990: 138-
145) gaya bahasa kiasan meliputi:
(1) Simile
Nurgiyantoro (2014: 219) menyatakan bahwa simile adalah
sebuah majas yang mempergunakan kata-kata pembanding
langsung atau eksplisit untuk membandingkan sesuatu yang
dibandingkan dengan pembandingnya. Antara sesuatu yang
dibandingkan dan pembandingnya itu tidak sama, baik secara
kualitas, karakter, sifat, maupun sesuatu yang lain sehingga yang
antara pembanding dan yang terbanding kelihatan sama. Ada
beberapa kata tugas tertentu yang berfungsi sebagai penanda
keeksplisitan pembandingan, yaitu seperti, sama, sebagai, bagaikan,
laksana, baik, dan sebagainya.
Contoh :
Bibirnya seperti delima merekah.
Contoh di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa
simile dengan penanda linguistik kata seperti. Contoh ini
membandingkan secara eksplisit kata bibir dan delima. Bibir yang
merah berasosiasi dengan delima yang merekah.
68
(2) Metafora
Metafora adalah bentuk pembandingan yang bersifat tidak
langsung atau tidak eksplisit. Menurut Baldic dalam Nurgiyantoro
(2014: 224), metafora adalah bentuk pembandingan antara dua hal
yang dapat berwujud benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan dengan
benda, fisik, ide, sifat, atau perbuatan lain yang bersifat implisit.
Contoh :
Perpustakaan gudang ilmu.
Penggunaan gaya bahasa metafora pada contoh di atas
menunjukkan adanya perbandingan antara kata perpustakaan dan
gudang ilmu. Hubungan yang erat antara perpustakaan dan gudang
ilmu diwujudkan tanpa menggunakan penanda linguistik yang
menyatakan perbandingan. Hal inilah yang membedakan gaya
bahasa simile dengan gaya bahasa metafora.
(3) Personifikasi
Personifikasi merupakan bentuk pemajasan yang memberi
sifat-sifat benda mati seperti sifat-sifat kemanusiaan. Artinya sifat
yang diberikan itu sebenarnya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak
untuk benda-benda atau makhluk nonhuman yang tidak bernyawa
dan tidak berakal (Nurgiyantoro, 2014: 235). Personifikasi adalah
jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insan kepada barang yang
tidak bernyawa.
69
Contoh :
Mentari mencubit wajahku
Adanya pelekatan sifat manusia pada benda-benda tidak
bernyawa menjadi sebuah penanda adanya gaya bahasa
personifikasi. Contoh di atas menunjukkan mentari sebagai benda
tidak bernyawa seolah-olah mampu melakukan aktivitas mencubit
layaknya manusia sehingga contoh ini tergolong bergaya bahasa
personifikasi.
(4) Antonomasia
Antonomasia merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang
berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri,
gelar resmi, atau jabatan dari nama diri atau nama yang sebenarnya.
Contoh :
Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini.
Contoh di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa
antonomasia yang ditandai dengan penggunaan frasa Yang Mulia.
Frasa tersebut menggantikan nama diri, gelar resmi, atau jabatan
dari nama diri atau nama yang sebenarnya.
(5) Alusio
Alusio adalah semacam acuan yang berusaha
mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa.
Biasanya, alusio ini adalah satu referensi yang eksplisit atau implisit
kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam
70
kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang
terkenal.
Contoh :
Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya.
Berdasarkan penggunaan contoh gaya bahasa alusio
tersebut terlihat penggunaan kata Kartini. Kartini merupakan satu
referensi eksplisit yang dibandingkan dengan sosok yang memiliki
kesamaan karakter dengan tokoh Kartini. Kartini adalah sosok
perempuan yang mempelopori kebangkitan perempuan pribumi.
Frasa Kartini kecil yang dimaksudkan pada contoh tersebut merujuk
kepada sosok yang memiliki karakter yang sama dengan Kartini.
(6) Eponim
Eponim adalah suatu gaya bahasa seseorang yang
namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga
nama itu dipakai untuk menyatakan sifat orang tersebut.
Contoh :
Semua pekerjaan menjadi mudah berkat Hercules.
Gaya bahasa eponim ditandai dengan adanya kata
Hercules. Hercules digunakan untuk menyatakan kekuatan.
Berdasarkan contoh tersebut semua pekerjaan dikatakan menjadi
mudah jika ada Hercules. Hercules merujuk kepada orang atau
sosok yang memiliki kekuatan yang sama dengan Hercules.
71
(7) Epitet
Epitet adalah gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat
atau ciri khusus dari seseorang atau suatu hal. Keterangan itu adalah
suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama
seseorang atau suatu barang.
Contoh :
Putri malam itu tampak sangat indah menghiasi langit
malam.
Gaya bahasa epitet ditandai dengan penggunaan frasa putri
malam. Frasa putri malam digunakan untuk menyatakan bulan. Pada
contoh tersebut, bulan dikatakan tampak sangat indah menghiasi
langit malam .
(8) Sinekdoke
Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata
Yunani synekdechesthai yang berarti „menerima bersama-sama‟.
Sinekdoke adalah bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian
dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum
pro parte).
Contoh :
Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,00.
72
Gaya bahasa sinekdoke pada contoh menunjukkan
sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro
toto) . Hal ini ditandai dengan penggunaan frasa setiap kepala.
(9) Metonimia
Metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti
„menunjukan perubahan‟ dan onoma yang berarti „nama‟. Dengan
demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang
mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain
karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Contoh :
Ibu ke pasar naik Toyota.
Contoh di atas menunjukkan penggunaan gaya bahasa
metonimia yang ditandai dengan penggunaan kata toyota yang
menyatakan nama atau merek sebuah mobil. Pada contoh tersebut,
dijelaskan bahwa ibu ke pasar naik Toyota. Kata mobil yang
seyogyanya melekat pada kata Toyota dilesapkan sehingga yang
tampil hanyalah nama atau merek mobil tersebut.
(10) Hipalase
Hipalase adalah gaya bahasa yang menggunakan kata
tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya
dikenakan pada sebuah kata yang lain.
Contoh
Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah.
73
Gaya bahasa hipalase ditandai dengan adanya penggunaan
sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang
lain. Gaya bahasa hipalase pada contoh tersebut ditandai dengan
penggunaan kata gelisah sebagai keterangan dari kata bantal.
Sebenarnya yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya.
(11) Alegori dan Parabel
Alegori adalah cerita yang dikisahkan oleh alam dengan
lambang-lambang dan merupakan metafora yang diperluas dan
berkesinambungan, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan
yang diperlambangkan. Adapun parabel (cerita yang berkaitan
dengan Kitab Suci) juga merupakan alegori singkat yang
mengandung pengajaran mengenai moral dan kebenaran. Parabel
merupakan metafora yang diperluas.
Contoh :
Cerita Adam dan Hawa
Cerita Abraham
Cerita Yusuf
(12) Fabel
Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai
dunia binatang. Binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang
tidak bemyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia.
74
Contoh :
Kancil dengan buaya
Contoh tersebut menunjukkan penggunaan gaya bahasa
fabel. Hal ini ditandai dengan penggunaan nomina binatang kancil
dan buaya.
(13) Ironi
Ironi atau sindiran adalah gaya bahasa yang mengatakan
sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu
upaya literer yang efektif karena menyampaikan impresi yang
mengandung pengekangan yang besar.
Contoh :
Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di
dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat!
Penggunaan gaya bahasa ironi berdasarkan contoh yang
diberikan menunjukkan adanya maksud yang berlainan dari
penggunaan kalimat seorang gadis yang paling cantik. Seorang
gadis yang dikatakan paling cantik tersebut sebenarnya mengandung
maksud yang berlainan. Gadis paling cantik memiliki maksud gadis
yang tidak cantik atau gadis yang jelek.
(14) Sarkasme
Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar
daripada ironi. Sarkasme adalah suatu acuan yang mengandung
75
kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis,
dapat juga tidak, tetapi yang jelas bahwa gaya bahasa ini selalu akan
menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata sarkasme diturunkan
dan kata Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dan kata
kerja sakasein yang berarti „merobek-robek daging seperti anjing‟,
„menggigit bibir karena marah‟, atau „berbicara dengan kepahitan‟.
Contoh :
Dasar otak udang, disuruh melakukan pekerjaan yang
sangat mudah seperti ini saja kau tidak bisa. Lalu apa yang
kaubisa?
Penggunaan gaya bahasa sarkasme ditandai dengan
penggunaan kata atau frasa yang menunjukkan celaan yang bersifat
sangat kasar. Berdasarkan contoh yang diberikan, gaya bahasa
sarkasme ditandai dengan bentuk ungkapan dasar otak udang.
(15) Inuendo
Inuendo adalah gaya bahasa sindiran dengan mengecilkan
kenyataan yang sebenarnya.
Contoh :
Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena
terlalu kebanyakan minum.
Berdasarkan contoh yang diberikan, terlihat pengecilan
kenyataan yang sebenarnya. Frasa sedikit mabuk merupakan bentuk
pengecilan kenyataan dari kebanyakan minum. Jadi kenyataan yang
76
sesungguhnya adalah jika banyak minum, tentu akan menyebabkan
mabuk besar.
(16) Antifrasis
Antifrasis adalah gaya bahasa ironi yang berwujud
penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa
saja dianggap sebagai ironi sendiri atau kata-kata yang dipakai untuk
menangkal kejahatan roh jahat, dan sebagainya.
Contoh :
Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol!)
Gaya bahasa antifrasis hampir sama dengan ironi melalui
pembalikan makna sebuah kata. Berdasarkan contoh yang diberikan,
terlihat penggunaan frasa sang raksasa dengan maksud sebenarnya
adalah si cebol.
(17) Paronomasia/pun
Paronomasia/pun adalah kiasan dengan mempergunakan
kemiripan bunyi.
Contoh :
Tanggal dua gigi saya tinggal dua
“Engkau orang kaya!”“Ya, kaya monyet!”
Kemiripan bunyi yang ditunjukkan berdasarkan contoh yang
diberikan adalah penggunaan kata tanggal dan tinggal serta
penggunaan kata kaya yang dianggap sama bunyi dengan kata
kayak.
77
4. Kata, Frasa, dan Klausa
Dalam tataran morfologi, kata merupakan satuan terbesar dan
satuan terkecil adalah morfem. Adapun dalam tataran sintaksis, kata
merupakan satuan terkecil yang secara hierarkial menjadi komponen
pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, yaitu frasa. Kata merupakan
pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, yaitu frasa, klausa, dan
kalimat. Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis, kata berperan sebagai
pengisi fungsi sintaksis, sebagai penanda kategori sintaksis, dan sebagai
perangkai dalam penyatuan satuan-satuan atau bagian-bagian dari satuan
sintaksis. Menurut Ramlan (1989: 23) “Kata adalah satuan bahasa yang
paling kecil yang merupakan lambang atau tanda bahasa yang bersifat
mandiri secara bentuk dan makna”.
Selanjutnya, frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang
bersifat nonpredikatif. Frasa juga lazim disebut gabungan kata yang tidak
melebihi batas fungsi. Adapun menurut Ramlan (2001: 139) frasa adalah
satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih dan tidak melampaui
batas fungsi atau jabatan. Artinya, sebanyak apapun kata tersebut asal
tidak melebihi jabatannya sebagai subjek, predikat, objek, pelengkap, atau
pun keterangan, maka masih bisa disebut frasa. Berdasarkan definsi itu
dapat dikemukakan bahwa frasa mempunyai dua ciri, yaitu (1) merupakan
satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih, dan (2) tidak
melebihi batas fungsi unsur klausa.
78
Berikutnya, unsur kebahasaan yang berada pada tataran lebih
rendah daripada kalimat dan berada pada tataran yang lebih tinggi
daripada frasa disebut klausa. Klausa ialah satuan gramatikal berupa
kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek (S) dan
predikat (P), dan berpotensi menjadi kalimat. Unsur inti klausa adalah
subjek dan predikat. Klausa merupakan unsur kalimat. Klausa hanya
memiliki unsur segmental yang menjadi subjek dan predikat dan tidak
memiliki unsur prosodi yang berupa intonasi. Yang membedakan klausa
dan kalimat adalah intonasi final pada akhir satuan bahasa itu. Kalimat
diakhiri dengan intonasi final sedangkan klausa tidak diakhiri intonasi final.
Intonasi final itu dapat berupa intonasi berita, tanya, dan perintah. Bila
sudah ada intonasi, maka fenomena itu bukan lagi klausa, melainkan
sudah merupakan kalimat.
5. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia
Menurut Kridalaksana (2008: 116), kelas kata (word class, part of
speech) adalah golongan kata yang mempunyai kesamaan dalam
berperilaku formal, klasifikasi atas nomina, adjektiva, verba, dsb. Itu
diperlukan untuk membuat pengungkapan kaidah gramatikal secara
sederhana. Ciri-ciri formal kelas kata berbeda dari satu bahasa ke bahasa
lain; misalnya dalam bahasa Indonesia, verba memiliki fungsi utama
sebagai predikat, verba mengandung makna inheren perbuatan, proses
atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas, verba khususnya yang
bermakna keadaan tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti „paling‟,
79
pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang
menyatakan makna kesangatan. Adapun adjektiva adalah kata yang
memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang
dinyatakan oleh nomina dalam kalimat (Alwi dkk, 2003: 171). Selanjutnya,
nomina memperoleh batasan salah satunya adalah tidak dapat
diingkarkan dengan kata tidak .
Pembagian kelas kata menurut Kridalaksana (1994: 51) ada tiga
belas jenis, yaitu (1) verba (kata kerja), (2) adjektiva (kata sifat), (3)
nomina (kata benda), (4) pronominal (kata ganti), (5) numeralia (kata
bilangan), (6) adverbial (kata keterangan), (7) interogatif (kata tanya), (8)
demonstrative (kata tunjuk), (9) artikula (kata sandang/sebutan), (10)
preposisi (kata depan), (11) konjungsi (kata penghubung), (12) kategori
fatis, (13) interjeksi (kata seru). Berikut ini dijelaskan satu per satu.
a. Verba
Verba adalah kata atau kelompok kata yang digunakan untuk
menggambarkan atau menyatakan suatu perbuatan, kejadian,
peristiwa, eksistensi, pengalaman, keadaan, dan pertalian antara dua
benda. Kata dikatakan berkategori verba jika dalam frasa dapat
didampingi bentuk ingkar tidak dalam konstruksi dan tidak dapat
didampingi kata depan di, ke, dan dari atau kata-kata yang
menunjukkan superlatif seperti: sangat, lebih, dan agak.
Berdasarkan bentuknya, verba dapat dibagi menjadi beberapa
bagian, yaitu:
80
1) Verba Dasar Bebas
Verba dasar bebas merupakan verba yang berupa morfem dasar
bebas.Contoh: tidur, duduk, makan, minum, dsb.
2) Verba Turunan
Verba turunan merupakan verba yang telah mengalami proses
morfologis (afiksasi,reduplikasi, gabungan proses). Bentuk turunannya,
yaitu:
a) Verba berafiks, antara lain: bernyanyi, bertaburan, bersentuhan,
berdandan, kerinduan, kecelakaan, memasak, bekerja.
b) Verba bereduplikasi, antara lain: lari-lari, maju-maju, dan pergi-
pergi.
c) Verba berproses gabungan, antara lain: bercanda-canda,
terbayang-bayang, berandai-andai.
d) Verba majemuk, antara lain: cuci mata, campur tangan, unjuk
gigi.
b. Adjektiva
Dalam bahasa Indonesia adjektiva memiliki ciri-ciri yang
memungkinkanya untuk (1) bergabung dengan kata tidak, (2)
mendampingi nomina atau (3) didampingi kata-kata yang menunjukkan
arti superlatif seperti lebih, sangat, agak, (4) dapat hadir berdampingan
dengan kata lebih...daripada... atau paling untuk menyatakan tingkat
81
perbandingan, (5) mempunyai ciri-ciri morfologis seperti –i, –er, -if,
(6) dapat dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an, (7) dapat
berfungsi predikatif, atributif, dan pelengkap.
Adjektiva berdasarkan bentuknya terdiri atas tiga, yaitu:
1) Adjektiva dasar, antara lain: besar, cantik, cerdas, dsb.
2) Adjektiva turunan, antara lain: elok-elok, insani, manusiawi, dsb.
3) Adjektiva majemuk. antara lain: murah hati, baik buruk, tua muda,
dsb.
Subkategorisasi adjektiva, dibagi ke dalam dua macam kategori,
yakni:
1) Ajektiva predikatif adalah ajektiva yang dapat menempati posisi
predikat dalam klausa. Contohnya susah, hangat, sulit, mahal.
2) Ajektiva atributif adalah ajektiva yang mendampingi nomina dalam
frase nomina. Contohnya nasional.
Pada umumnya adjektiva predikatif dapat berfungsi secara
atributif sedangkan adjektiva atributif tidak dapat berfungsi secara
predikatif.
1) Ajektiva bertaraf adalah adjektiva yang dapat berdampingan
dengan agak, sangat, dan sebagainya. Contohnya pekat, makmur.
2) Ajektiva tak bertaraf yakni adjektiva yang tidak dapat berdampingan
dengan agak, sangat, dan sebagainya. Contohnya nasional,
interen.
82
c. Nomina
Nomina adalah kategori yang secara sintaksis tidak mempunyai
potensi untuk bergabung dengan kata tidak dan mempunyai potensi
untuk didahului oleh kata depan dari. Menurut Waridah (dalam
Rismayanti, 2016: 36) , “Nomina atau kata benda adalah kata yang
mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau
pengertian.”
1) Bentuk Nomina
a) Nomina dasar, seperti: batu, kertas, manga, kemarin, udara.
b) Nomina turunan
(1) Nomina berafiks seperti keuangan, keadilan dan perpaduan.
(2) Nomina reduplikasi seperti rumah-rumah, batu-batu, buku-
buku.
(3) Nomina hasil gabungan proses, seperti batu-batuan,
kesinambungan.
c) Nomina yang berasal dari berbagai kelas kata karena proses,
yaitu: (1) deverbalisasi, seperti: permandian, penganggur,
pelajaran, pengajaran; (2) deakjetivalisasi, seperti: ketinggian
dan leluhur; (3) denumeralisasi, seperti: kesatuan dan
kesebelasan,(4) deadverbialisasi, seperti: keterlaluan, kelebihan
d) Nomina paduan leksem, seperti daya juang, loncat indah, tertib
acara.
83
e) Nomina paduan leksem gabungan, seperti pengambilalihan,
pendayagunaan, ketatabahasaan.
2) Subkategorisasi
a) Nomina Bernyawa dan Tak Bernyawa
Nomina bernyawa dapat disubtitusikan dengan ia atau
mereka sedangkan yang tak bernyawa tidak dapat.
Kridalaksana (1994: 69) membagi nomina bernyawa menjadi
nomina persona (insan) dan flora dan fauna. Nomina persona
diartikan sebagai nomina yang memiliki ciri sintaksis dapat
disubtitusikan dengan ia, dia, atau mereka dan dapat didahului
partikel si sedangkan nomina flora dan fauna memiliki ciri
sintaksis tidak dapat disubtitusikan dengan ia, dia, dan mereka
dan tidak dapat didahului partikel si kecuali yang
dipersonifikasikan seperti si kancil, si kambing.
Kelompok dalam nomina persona, yaitu (1) nama diri
seperti Ismai Yusanto, Hilmi Aminuddin, Said Aqil Siradj, dsb;
(2) nomina keakraban (hubungan darah) seperti nenek, ibu,
bapak, paman, adik, kakak;(3) nomina yang menyatakan orang
atau yang diperlakukan sebagai orang seperti tuan, raksasa,
malaikat, hantu ; (4) nama kelompok manusia seperti Jepang,
Melayu, Minangkabau, Asmat; (5) nomina tak bernyawa yang
dipersonifikasikan seperti DPR (nama lembaga).
84
Nomina nonpersona atau nomina tak bernyawa terdiri
atas beberapa bagian, yaitu (1) nama lembaga seperti DPR,
MPR, KPK ; (2) nama geografis seperti Bali, Jogja, Jawa,
Timur, hulu, utara; (3) waktu seperti Sabtu, Agustus, tahun
1991, pukul 24, sekarang, dulu, nanti, besok, kemarin; (4) nama
bahasa seperti bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Jawa,
bahasa Ibrani; (5) ukuran atau takaran seperti karung, kardus,
kotak, kilometer, kiloliter; (6) tiruan bunyi seperti: dentum,
desing, gelegar, denting, kokok.
b) Nomina Terbilang dan Tak Terbilang
Yang dimaksud dengan nomina terbilang ialah nomina
yang dapat dihitung dan dapat pula didampingi oleh numeralia
seperti kantor, kampung, kandang, meja, kursi, buku, pensil,
air, biji jagung (catatan : biji-bijian dan cairan serta tepung-
tepungan harus dihitung dengan menggunakan takaran).
Nomina tak terbilang adalah nomina yang tidak dapat
didampingi oleh numeralia seperti udara, kemanusiaan,
keberhasilan; termasuk juga nama diri: Gayus Tambunan dan
nama geografis : Gaza, Palestina.
c) Nomina Kolektif dan Bukan Kolektif
Nomina kolektif mempunyai ciri dapat disubtitusikan
dengan mereka atau data diperinci atas anggota atau atas
bagian-bagian. Nomina kolektif terdiri atas nomina dasar:
85
tentara, keluarga, dan nomina turunan seperti wangi-wangian,
tepung-tepungan, biji-bijian. Nomina bukan kolektif adalah
nomina yang tidak dapat diperinci atas bagian-bagiannya
seperti orang, Hatta Rajasa.
3) Pemakaian Nomina
a) Penggolong benda yang dipakai bersama dengan numeralia
untuk menandai kekhususan nomina tertentu. Orang adalah
nomina penuh sedangkan seorang dalam seorang manusia
adalah penggolongan untuk manusia.
b) Nomina tempat dan arah, seperti: kanan, depan, belakang,
barat, timur.
c) Nomina bunyi, seperti: denting, dentum, deru, deram, desis,
dengung.
d) Makian, seperti: anjing, monyet, setan
e) Sapaan, seperti:
(1) Nama diri seperti mari ke sini Ali
(2) Nomina kekerabatan: Pak, apa artinya ini ?
(3) Gelar dan pangkat seperti selamat pagi, Prof .
(4) Kata pelaku yang berbentuk pe- + V seperti pendengar yang
terhormat.
(5) Bentuk nomina + -ku: seperti Oh, Tuhanku, sayangilah
hamba.
(6) Nomina lain seperti Yang Mulia mau ke mana ?
86
f) Kuantita seperti jengkal, langkah, ikat, onggok, tusuk.
g) Ukuran, seperti: gram, liter, meter, inci.
h) Penunjuk waktu seperti: pagi, siang, sore, petang, malam,
minggu, tahun, bulan, abad.
d. Pronomina
Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan
nomina. Apa yang digantikan itu disebut anteseden. Berikut ini adalah
subkategorisasi pronomina.
1) Dilihat dari hubungannya dengan nomina, yaitu ada atau tidaknya
anteseden dalam wacana. Berdasarkan hal itu, pronomina dibagi
menjadi:
a) Pronomina Intertekstual
Bila anteseden terdapat sebelum pronomina itu dikatakan
anaforis tetapi bila anteseden muncul sesudah pronomina, hal
itu disebut kataforis.
Contoh anaforis: Pak Arif sepupu Bapak. Rumahnya dekat.
b) Pronomina ekstratekstual
Pronomina ekstratekstual merupakan pronomina yang
menggantikan nomina yang terdapat di luar wacana, bersifat
deiktis.
Contoh: Itu yang kukatakan.
87
2) Dilihat dari jelas atau tidaknya referen, pronomina dapat dibagi
atas:
a) Pronomina Taktrif
Pronomina taktrif menggantikan nomina yang referennya jelas.
Pronomina ini terbatas pada pronomina persona. Contoh : saya,
kamu, ia, dsb.
b) Pronomina Tak Takrif
Pronomina tak taktrif menggantikan nomina yang referennya
tidak jelas. Contoh: sesuatu, seseorang, barang siapa, siapa,
apa, apa-apa.
e. Numeralia
Numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina
dalam konstruksi sintaksis, (2)mempunyai potensi untuk mendampingi
numeralia lain, (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau sangat.
Subkategorisasi numeralia itu yakni:
1) Numeralia Takrif
Numeralia takrif adalah numeralia yang menyatakan jumlah
yang tentu.
a) Numeralia utama (kardinal)
Numeralia utama terdiri atas (1) bilangan penuh seperti satu,
dua, tiga, dst, (2) bilangan pecahan seperti dua pertiga, tiga
perempat, lima perdua, (3) bilangan gugus seperti bilangan
antara 20 dan 30, selikur = 21.
88
b) Numeralia tingkat adalah numeralia takrif yang melambangkan
urutan dalam jumlah dan berstruktur ke + Num.
Contoh: Catatan ketiga sudah diperbaiki.
c) Numeralia Kolektif adalah numeralia takrif yang berstruktur ke +
Num, ber- + N, ber- + NR, ber- + Num R atau Num + -an.
Contoh : ketiga perkara itu telah disidangkan. (ke + Num)
2) Numeralia Tak Takrif
Numeralia tak takrif adalah numeralia yang menyatakan
jumlah yang tak tentu. Misalnya berapa, sekalian, semua, segenap.
f. Adverbia
Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi ajektiva,
numeralia, atau proposisi dalam konstruksi sintaksis. Adverbia tidak
boleh dikacaukan dengan keterangan karena adverbia merupakan
konsep kategori sedangkan keterangan merupakan konsep fungsi.
Bentuk adverbia ada enam, yakni:
1) Adverbia dasar bebas, contoh: alangkah, agak, akan, belum, bisa.
2) Adverbia turunan, yang terbagi atas:
a) Adverbia turunan yang tidak berpindah kelas terdiri atas:
adverbia bereduplikasi, seperti jangan-jangan, lagi-lagi dan
adverbia gabungan, misalnya belum boleh, tidak boleh tidak.
b) Adverbia turunan yang berasal dari pelbagai kelas terdiri atas:
adverbia berafiks, seperti terlampau, sekali dan adverbia dari
89
kategori lain karena reduplikasi, misalnya akhir-akhir, sendiri-
sendiri
c) Adverbia deajektiva, misalnya benar-benar dan lambat-lambat.
d) Adverbia denumeralia, misalnya dua-dua
e) Adverbia deverbal, misalnya kira-kira, tahu-tahu
3) Adverbia yang terjadi dari gabungan kategori lain dan pronomina,
misalnya rasanya, rupanya, sepertinya.
4) Adverbia deverbal gabungan, misalnya ingin benar, tidak
terkatakan lagi.
5) Adverbia deajektival gabungan, misalnya tidak lebih, kerap kali.
6) Gabungan proses, misalnya : se- + A + -nya: sebaiknya,
sebenarnya, sesungguhnya.
g. Interogatif
Interogatif adalah kategori yang berfungsi menggantikan
sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau mengukuhkan apa
yang telah diketahui pembicara. Apa yang ingin diketahui dan apa
yang dikukuhkan itu disebut antesenden (ada di luar wacana) dan
karena baru akan diketahui kemudian, interogativa bersifat kataforis.
1) Interogatif dasar: apa, bila, kapan, mana.
2) Interogatif turunan: bagaimana, bagaimanakah, berapa, betapa,
bilamana, bilakah, bukankah, dengan apa, di mana, ke mana,
manakah, mengapa, siapa, yang mana.
3) Interogatif terikat: kah dan tah.
90
h. Demonstratif
Demonstratif adalah kategori yang berfungsi untuk
menunjukkan sesuatu (antesenden) di dalam maupun di luar wacana.
Berdasarkan hal itu, demonstratif dibagi atas:
1) Demonstratif intratekstual (demonstrative endoforis) menunjukkan
sesuatu yang terdapat dalam wacana. Contohnya, itu, begitu, ini,
begini.
2) Demonstratif ektratekstual (demonstrative eksoforis) menunjukkan
sesuatu yang ada di luar bahasa, dan dibagi atas jauh dekatnya
anteseden dari pembicara. Contoh :sini, situ, di sini, di sana.
i. Artikula
Artikula dalam bahasa Indonesia adalah kategori yang
mendampingi nomina dasar misalnya si kancil, sang matahari, para
pelajar. Misalnya pada nomina deverbal (si terdakwa, si tertuduh),
pronomina (si dia), dan verba pasif (kaum tertindas, si tertindas).
Berdasarkan ciri semantis gramatikal artikula dibedakan
menjadi:
1) Artikula yang bertugas untuk mengkhususkan nomina singularis.
(Si, Sang, Sri, Hang dan Dang)
2) Artikula yang bertugas untuk mengkhususkan suatu kelompok.
(Para, Kaum, Umat).
91
j. Preposisi
Preposisi adalah kategori yang terletak di depan kategori lain
(terutama nomina) sehingga terbentuk frasa eksosentris direktif. Ada
tiga jenis preposisi, yaitu:
1) Preposisi dasar (tidak dapat mengalami proses morfologis) contoh :
di, ke, dan dari.
2) Preposisi turunan, terbagi atas: gabungan preposisi dan preposisi
(di atas gedung, di muka bumi, di tengah-tengah kota), serta
gabungan preposisi dan nonpreposisi (...dari...ke...;
sejak...hingga...; dari...sampai...; antara...dan...).
3) Preposisi yang berasal dari kategori lain (misalnya pada dan tanpa)
termasuk beberapa preposisi yang berasal dari kelas lain yang
berafiks se- (selain, semenjak, sepanjang, sesuai, dsb).
k. Konjungsi
Konjungsi adalah kategori yang berfungsi untuk meluaskan
satuan lain dalam kontruksi hipotaktis dan selalu menghubungkan dua
satuan lain atau lebih dalam kontruksi. Konjungsi menghubungkan
bagian-bagian ujaran yang setataran maupun yang tidak setataran.
Menurut posisinya konjungsi dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu.
1) Konjungsi Intrakalimat adalah konjungsi yang menghubungkan
satuan-satuan kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa
dengan klausa. Contoh : dan, atau , tetapi, sedangkan, dsb.
92
2) Konjungsi Ektrakalimat
a) Konjungsi intratekstual, yaitu konjungsi yang menghubungkan
antara kalimat dan kalimat atau antara paragraf dan paragraf,
yaitu: akan tetapi, bahkan, sementara itu, dsb.
b) Konjungsi ektratekstual, yaitu konjungsi yang menghubungkan
antara dunia di luar bahasa dan wacana, yaitu: alkisah.
l. Kategori Fatis
Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai,
mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara
dan lawan bicara. Kelas kata ini terdapat dalam dialog atau wawancara
bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara
dan lawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam
bahasa lisan. Ragam bahasa lisan pada umumnya merupakan ragam
nonstandar sehingga kebanyakan kalimat-kalimat nonstandar banyak
mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.
Bentuk-bentuk kategori fatis misalnya pada awal kalimat “Kok
kamu melamun?”, di tengah kalimat, misalnya “Dia kok bisa ya menulis
puisi seindah ini?”, dan di akhir kalimat, misalnya “Aku juga kok!”.
Kategori fatis mempunyai wujud bentuk bebas, misalnya kok, deh,
atau selamat, dan wujud bentuk terikat, misalnya –lah atau pun.
Bentuk dan Jenis kategori fatis, dapat diuraikan berikut ini :
1) Partikel dan Kata Fatis Contoh: (Ah, ding, halo, deh, kek, kok, dll.)
2) Frase Fatis. Contoh: terima kasih, insya Allah.
93
m. Interjeksi
Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan
perasaan pembicara dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan
kata-kata lain dalam ujaran. Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu
mendahului ujaran sebagai teriakan yang lepas atau berdiri sendiri.
Jenis-jenis interjeksi dapat diuraikan berikut:
1) Interjeksi seruan atau panggilan minta perhatian: ahoi, ayo, eh, hai,
halo, dsb.
2) Interjeksi keheranan atau kekaguman seperti aduhai, amboi,
astaga, asoi, wah,dsb.
3) Interjeksi kesakitan dan kesedihan seperti aduh.
4) interjeksi kekecewaan dan sesal seperti ah, brengsek, buset.
5) Interjeksi kekagetan, seperti lho, masyaallah, astagfirullah.
6) Interjeksi kelegaan seperti alhamdulillah, nah, syukur.
7) Interjeksi kejijikan seperti bah, cih, idih, ih.
94
B. Kerangka Pikir
Objek dari penelitian ini adalah NTLP karya Andrea Hirata dan
NTNLM karya Ahmad Fuadi. Kedua novel berseri tersebut termasuk
dalam jenis novel motivasi yang di dalamnya memuat nilai-nilai
pendidikan. Kemudian, dalam penelitian ini dianalisis jenis-jenis gaya
bahasa dan pewujudan gaya bahasa dalam NTLP dan NTNLM.
Penelitian ini menggunakan analisis stilistika. Peran stilistika dalam
penelitian ini sangatlah penting dalam memahami cara pembentukan gaya
bahasa tersebut. Pada penelitian ini, dianalisis strategi bergaya bahasa
yang dilakukan pengarang dalam dua novel berseri yang telah dipilih
tersebut. Strategi bergaya bahasa yang dimaksud adalah pilihan kata
yang membentuk gaya bahasa yang digunakan dalam kedua novel berseri
tersebut.
Pilihan kata bukan hanya berupa kata, bisa saja frasa, ungkapan,
atau bahkan kalimat. Pada penelitian ini dijelaskan jenis-jenis gaya
bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna yang dikemukakan oleh
Keraf. Jenis gaya bahasa tersebut adalah gaya bahasa kiasan dan gaya
bahasa retoris. Selanjutnya, analisis dilanjutkan pada pewujudan gaya
bahasa yang digunakan dalam mengungkap gagasan atau pikiran.
Pewujudan gaya bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pemilihan kata berdasarkan kelas kata yang dikemukakan oleh
Kridalaksana. Melalui analisis pilihan kata dalam gaya bahasa pada kedua
novel berseri tersebut, selanjutnya akan terungkap persamaan dan
95
perbedaan cara bergaya bahasa Andrea Hirata dalam NTLP dan Ahmad
Fuadi dalam NTNLM
Perbedaan penggunaan pilihan kata dalam gaya bahasa NTLP dan
NTNLM mengarah pada pengungkapan ciri atau gaya pribadi dari setiap
pengarang. Selanjutnya, persamaan penggunaan pilihan kata dalam gaya
bahasa kedua novel berseri tersebut mengarah pada terungkapnya ciri
bersama (sosial) atau ciri kolektif pengarang.
96
BAGAN KERANGKA PIKIR
Teks NTLP Karya Andrea Hirata dan NTNLM Karya Ahmad Fuadi
Persamaan dan Perbedaan Pewujudan Gaya Bahasa dalam NTLP dan NTNLM
Gaya Bahasa
Bentuk Pilihan Kata
NTLP
Bentuk Pilihan Kata
NTNLM
Gaya Bahasa Kiasan
Simile Personifikasi Metafora Antonomasia Eponim Epitet Koreksio Metonimia Paradoks Alegori Ironi Sarkasme Satire Inuendo Antifrasis Paronomasia/pun
Stilistika
Gaya Bahasa Retoris
Asidenton Polisindenton Eufemisme Litotes Pleonasme Tautologi Erotesis Koreksio Hiperbola Paradoks Oksimoron
Jenis Gaya Bahasa Pewujudan Gaya Bahasa
Kelas Kata
Verba Adjektiva Nomina Pronomina Numeralia Adverbia Interogatif Demonstratif Artikula Preposisi Konjungsi Kategori Fatis Interjeksi
97
C. Definisi Operasional
Untuk lebih mengarahkan penelitian ini, berikut dikemukakan
beberapa istilah strategis yang digunakan dalam tulisan ini beserta
batasannya.
a. Gaya bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam tulisan ini adalah gaya
bahasa yang berkaitan dengan ciri khas penggunaan bahasa oleh
seorang pengarang yang berbeda daripada penggunaan bahasa
sehari-hari.
b. Gaya sebagai ciri pribadi
Gaya sebagai ciri pribadi dalam tulisan ini adalah pilihan
seorang pengarang untuk menggunakan bentuk bahasa tertentu yang
berbeda dengan pengarang lainnya yang akan menjadi ciri pribadi atau
kekhasan bahasa pengarang tersebut.
c. Gaya sebagai sekumpulan ciri kolektif
Maksud gaya sebagai sekumpulan ciri kolektif dalam tulisan ini
adalah pilihan bentuk-bentuk bahasa yang mencirikan sebuah
kelompok pengarang.
d. Pewujudan gaya bahasa
Pewujudan gaya bahasa dalam tulisan ini adalah cara atau
strategi yang digunakan oleh pengarang dalam mewujudkan gaya
bahasa teroris dan gaya bahasa kiasan.
98
e. Pilihan kata
Pilihan kata dalam tulisan ini adalah pemakaian kata yang tepat
untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan pada imajinasi
pembaca atau pendengar. Pilihan kata meliputi penggunaan kata
(perihal kelas kata), persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan
yang memiliki nilai artistik tinggi.
f. Kelas Kata
Kelas kata adalah golongan kata yang mempunyai kesamaan
dalam perilaku formalnya. Di antara kelas kata yang dimaksud dalam
tulisan ini, yaitu: nomina, verba, adjektiva, pronominal, numeralia, dll.
g. NTLP
NTLP adalah novel seri Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
yang terdiri atas empat novel, yaitu Laskar Pelangi (2005), Sang
Pemimpi (2006), Edensor(2007) , dan Maryamah Karpov(2008). Novel-
novel tersebut diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
h. NTNLM
NTNLM adalah novel seri Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi
yang terdiri atas tiga novel, yaitu Negeri 5 Menara (2009), Ranah 3
Warna(2011), dan Rantau 1 Muara(2013). Novel-novel tersebut
diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.
99
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan jenis penelitian,
sumber data, populasi, sampel, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data, dan teknik penyajian hasil penelitian.
A. Jenis Penelitian
Berdasarkan jenisnya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif. Penelitian deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta-
fakta kebahasaan berupa gaya bahasa dalam NTLP karya Andrea Hirata
dan NTNLM karya Ahmad Fuadi. Menurut Sudaryanto (1988: 62),
deskriptif dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau
fenomena yang memang hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang
dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan
sifatnya sebagai potret, paparan seperti apa adanya.
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini ialah karya sastra berupa novel
berseri dari dua orang pengarang, yaitu NTLP karya Andrea Hirata dan
NTNLM karya Ahmad Fuadi. NTLP terdiri atas empat buah novel, yaitu
novel Laskar Pelangi berjumlah 529 halaman, novel Sang Pemimpi
berjumlah 289 halaman, novel Edensor berjumlah 294 halaman dan novel
Maryamah Karpov berjumlah 290 halaman. Adapun NTNLM terdiri atas
99
100
tiga buah novel, yaitu novel Negeri 5 Menara berjumlah 423 halaman,
novel Ranah 3 Warna berjumlah 473 halaman dan novel Rantau 1 Muara
berjumlah 407 halaman.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan atau sekelompok, gejala, peristiwa
atau objek yang memiliki sifat atau karakteristik untuk diteliti. Populasi
dalam penelitian ini adalah keseluruhan bentuk penggunaan gaya bahasa
yang terdapat dalam dua novel berseri, yaitu NTLP dan NTNLM yang
diperoleh melalui pembacaan teks-teks novel secara keseluruhan.
2. Sampel
Menurut Sugiyono (2008: 116) “sampel adalah sebagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Penarikan
sebagian dari populasi disebut sampel. Sampel penelitian ini diambil
sebanyak 3-5 data untuk tiap pengategorian wujud gaya bahasa
berdasarkan klasifikasi jenis gaya bahasa. Pengambilan sampel dilakukan
secara purposif. Pengambilan data secara purposif menurut Sugiyono
adalah teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan beberapa
pertimbangan tertentu yang bertujuan agar data yang diperoleh nantinya
bisa lebih representatif. Data yang diambil ialah data yang dapat mewakili
populasi yang ada.
101
D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dengan teknik
catat. Metode simak digunakan dengan mencermati dan memahami
kalimat-kalimat dalam NTLP dan NTNLM yang menunjukkan adanya
penggunan gaya bahasa. Selanjutnya, teknik catat sebagai lanjutan dari
metode simak digunakan untuk mencatat data yang telah diperoleh. Data
tersebut dicatat pada kartu data yang telah disiapkan untuk dianalisis lebih
dalam. Adapun langkah-langkah pengumpulan data dilakukan sebagai
berikut:
1) Membaca dengan cermat teks NTLP dan NTNLM untuk menemukan
kalimat yang mengandung gaya bahasa.
2) Menandai kalimat yang mengandung gaya bahasa dengan
menggunakan pensil.
3) Mencatat kalimat yang telah ditandai tersebut ke dalam kartu data.
E. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh melalui teknik catat selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif dan komparatif, yakni melukiskan
dan menggambarkan apa adanya data yang diperoleh dari penelitian
kemudian membandingkan penggunaan gaya bahasa dan pewujudan
gaya bahasa. Analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan cara
pengkajian setiap teks novel. Hal ini dimaksudkan untuk melihat
102
persamaan dan perbedaan jenis-jenis gaya bahasa berdasarkan pilihan
kata yang ada pada NTLP dan NTNLM
Data yang telah teridentifikasi atau yang telah dicatat pada kartu
data akan diklasifikasikan berdasarkan jenis gaya bahasa yang
digunakan. Analisis pewujudan gaya bahasa dilakukan berdasarkan
pilihan kata yang digunakan sehingga diperoleh gambaran persamaan
dan perbedaan gaya bahasa yang digunakan dalam NTLP karya Andrea
Hirata dan NTNLM karya Ahmad Fuadi. Perbandingan tersebut berupa
persamaan dan perbedaan jenis-jenis gaya bahasa bahasa dan
pewujudan gaya bahasa NTLP karya Andrea Hirata dan NTNLM karya
Ahmad Fuadi.
103
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian pewujudan gaya bahasa dalam NTLP karya Andrea
Hirata dan NTNLM karya Ahmad Fuadi merupakan upaya menelaah jenis
gaya bahasa (gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris) dan
pewujudan gaya bahasa (pilihan kata berdasarkan kelas kata) yang
digunakan dalam kedua novel berseri tersebut. Di samping itu, penelitian
ini juga berupaya mengungkap persamaan dan perbedaan pewujudan
gaya bahasa pada kedua novel berseri tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam NTLP ditemukan
delapan jenis gaya bahasa kiasan, yaitu (1) simile, (2) personifikasi, (3)
metafora, (4) metonimi, (5) sarkasme, (6) antonomasia, (7) eponim, dan
(8) paronomasia, serta enam jenis gaya bahasa retoris, yaitu (1)
hiperbola, (2) litotes, (3) asindeton , (4) polisindenton, (5) erotesis, dan (6)
koreksio. Adapun dalam NTNLM ditemukan enam jenis gaya bahasa
kiasan, yaitu (1) simile, (2) personifikasi, (3) metafora, (4) metonimi, (5)
antonomasia, dan (6) eponim, serta dua jenis gaya bahasa retoris, yaitu
(1) hiperbola dan (2) erotesis. Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui
sembilan jenis kelas kata yang digunakan sebagai pilihan katanya.
Sembilan jenis kelas kata tersebut adalah (1) nomina, (2) verba, (3)
adjektiva, (4) pronomina, (5) interogatif, (6) numeralia (7) artikula, (8)
konjungsi, dan (9) adverbia.
103
104
Persamaan dan perbedaan kedua novel berseri tersebut akan
dilihat berdasarkan jenis gaya bahasa (kiasan dan retoris) dan pilihan kata
(kelas kata) yang digunakan dalam mewujudkan gaya bahasa tersebut.
Berikut ini uraian tentang pewujudan gaya bahasa kiasan dan gaya
bahasa retoris tersebut.
Pada NTLP, gaya bahasa simile diwujudkan melalui (1) pilihan kata
yang berkelas kata verba yang terdiri atas verba dasar bebas, verba tak
transitif, verba reduplikasi berubah bunyi dan verba berproses gabung (2)
pilihan kata yang berkelas kata nomina terdiri atas nomina anggota tubuh,
nomina bunyi, nomina persona, dan nomina fauna, (3) pilihan kata yang
berkelas kata adjektiva hanya berupa adjektiva dasar, dan (4) pilihan kata
yang berkelas kata pronomina terdiri atas pronomina persona pertama
tunggal, pronomina persona pertama jamak, pronomina persona ketiga
tunggal, dan pronomina persona ketiga jamak. Adapun pada NTNLM gaya
bahasa simile diwujudkan melalui (1) pilihan kata yang berkelas kata
verba yang terdiri atas verba intransitif dan verba berproses gabung, (2)
pilihan kata yang berkelas kata nomina yang terdiri atas nomina anggota
tubuh, nomina bunyi, dan nomina persona, dan (3) pilihan kata yang
berkelas kata pronomina yang hanya terdiri atas pronomina persona
pertama jamak.
Selanjutnya, gaya bahasa personifikasi pada NTLP hanya
diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina yang terdiri
atas nomina anggota tubuh, nomina benda alam, nomina benda langit,
105
dan nomina tidak konkret. Adapun pada NTNLM, gaya bahasa
personifikasi juga hanya diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas
kata nomina yang terdiri atas nomina anggota tubuh, nomina benda alam,
nomina benda langit, dan nomina fenomena alam.
Berikutnya, gaya bahasa metafora pada NTLP diwujudkan melalui
(1) pilihan kata yang berkelas kata nomina yang terdiri atas nomina
anggota tubuh, nomina benda alam, nomina benda langit, nomina abstrak,
nomina nama diri, nomina sapaan jenis kelamin, nomina tempat, dan
nomina wilayah dan (2) pilihan kata yang berkelas kata pronominal yang
terdiri atas pronomina persona pertama tunggal, pronomina persona
pertama jamak, dan pronomina persona ketiga tunggal. Adapun pada
NTNLM, gaya bahasa metafora juga diwujudkan melalui (1) pilihan kata
yang berkelas kata nomina yang terdiri atas nomina nama diri, nomina
sapaan kekerabatan, dan nomina tempat dan (2) pilihan kata yang
berkelas kata pronomina yang terdiri atas pronominal persona pertama
tunggal, pronomina persona pertama jamak, dan pronominal persona
ketiga tunggal.
Untuk gaya bahasa metonimi pada NTLP dan NTNLM, keduanya
diwujudkan dengan pilihan kata yang berkelas kata nomina khusus
nomina yang menyatakan merek dan nama kendaraan. Demikian halnya
gaya bahasa eponim pada kedua novel berseri tersebut diwujudkan
melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina. Berikutnya, gaya bahasa
antonomasia diwujudkan melalui (1) pilihan kata yang berkelas kata
106
nomina, (2) pilihan kata yang berkelas kata pronominal, dan (3) pilihan
kata yang berkelas kata artikula. Adapun gaya bahasa sarkasme dan
gaya bahasa paranomasia yang hanya ditemukan pada NTLP, diwujudkan
melalui pilihan kata yang berkelas kata verba dan adjektiva.
Selain gaya bahasa kiasan, pada kedua novel berseri tersebut juga
terdapat gaya bahasa retoris. Gaya bahasa hiperbola termasuk salah satu
gaya bahasa retoris. Gaya bahasa hiperbola pada NTLP diwujudkan
melalui (1) pilihan kata yang berkelas kata nomina yang terdiri atas
nomina anggota tubuh dan nomina tidak konkret dan (2) pilihan kata yang
berkelas kata pronomina persona pertama tunggal sedangkan pada
NTNLM, gaya bahasa hiperbola diwujudkan melalui (1) pilihan kata kelas
kata nomina yang terdiri atas nomina anggota tubuh dan nomina bunyi
dan (2) pilihan kata yang berkelas kata verba.
Adapun gaya bahasa erotesis pada kedua novel berseri tersebut
diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata interogatif.
Selanjutnya, gaya bahasa asindeton dan polisindenton yang hanya
ditemukan pada NTLP diwujudkan melalui pilihan kata yang menunjukkan
paralelisme.
107
B. Pembahasan
Pada bagian ini akan dibahas tentang pewujudan gaya bahasa
serta persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa dalam NTLP
dan NTNLM.
1. Pewujudan Gaya Bahasa dalam NTLP dan NTNLM
Pada bagian ini akan dibahas tentang pewujudan gaya bahasa,
baik gaya bahasa kiasan maupun gaya bahasa retoris pada kedua novel
berseri tersebut. Pembahasan tentang pewujudan gaya bahasa itu dapat
dilihat berikut dengan uraian tentang gaya bahasa kiasan terlebih dahulu.
a. Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang dilihat dari segi
makna tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan kata-kata yang
membentuknya. Makna tersebut harus dicari di luar rangkaian kata atau
kalimat. Jenis gaya bahasa kiasan yang ditemukan, yaitu gaya bahasa
simile, personifikasi, metafora, metonimi, sarkasme, antonomasia,
eponim, dan paranomasia. Berikut uraian tentang gaya bahasa kiasan
tersebut.
1) Gaya Bahasa Simile
Simile adalah salah satu jenis gaya bahasa kiasan yang
membandingkan dua hal yang secara hakiki berbeda tetapi dianggap
mengandung segi yang serupa. Simile merupakan gaya bahasa
perbandingan yang bersifat eksplisit. Perbandingan yang bersifat
eksplisit berarti perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu yang
108
dibandingkan sama dengan hal yang lain. Simile dinyatakan secara
eksplisit dengan kata-kata seperti, bagai, umpama, laksana, bak, ibarat,
seolah-olah, seakan-akan, sebagai, dan sebagainya. Penanda-penanda
gaya bahasa simile tersebut menghubungkan kata yang berada pada
ranah sumber dengan kata yang berada pada ranah sasaran. Dengan
kata lain, kata yang menjadi terbanding dan pembanding dipisahkan
oleh penanda-penanda pembanding dalam gaya bahasa simile
tersebut. Pewujudan gaya bahasa simile dalam NTLP dan NTNLM
dapat dilihat pada klasifikasi berikut:
a) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Verba
Verba atau kata kerja adalah kata yang menyatakan proses,
perbuatan, keadaan atau tindakan. Berikut uraian pewujudan gaya
bahasa simile dalam NTLP dan NTNLM berdasarkan pilihan kata yang
berkelas kata verba.
(1) Verba Dasar Bebas
Verba dasar bebas adalah verba yang berupa morfem dasar
bebas. Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata verba
dasar bebas dapat dilihat pada contoh dalam NTLP berikut:
(1) Ia menyelimuti dirinya dengan dahan-dahan kelapa dan tidur melingkar seperti tupai di bawah pohon nifa selama dua hari dua malam.(LP: 91)
(2) Simon tinggi besar dan berewokan, santai tapi angker, duduk menekuri meja seperti burung pemakan bangkai menunggui mangsa. (EDS: 59)
(3) “kalau salah arah, kita akan terdampar di Teluk Hauraki, Selandia Baru, mati kering seperti ikan asin.” (EDS: 7)
109
Contoh (1) sampai dengan (3) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan adanya
penggunaan kata seperti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) V luring, kata seperti bermakna (1) serupa dengan; sebagai;
semacam, (2) sama halnya dengan; tidak ubahnya, (3) sebagaimana;
sesuai dengan; menurut, (4) seakan-akan; seolah-olah, (5) misalnya,
umpamanya, dan (6) apapun yang sebagai; akan hal.
Contoh (1) ini menceritakan perbuatan yang dilakukan oleh
seorang tokoh, yakni ia yang posisi tidurnya diasosiasikan dengan
seekor tupai . ia dalam cerita ini berkelas kata 109ronominal yang
berperan sebagai terbanding sedangkan tupai berkelas kata nomina
fauna yang berperan sebagai pembanding. Adapun yang
dibandingkan dalam contoh (1) ini adalah cara atau posisi tidur
terbanding dan pembanding yaitu ia dan tupai. Cara atau posisi yang
dibandingkan antara terbanding dan pembanding menggunakan
verba dasar bebas, yaitu tidur. Contoh tersebut menunjukkan
perbuatan yang dilakukan tokoh yakni tidur melingkar yang
disamakan dengan tupai. Seekor tupai jika sedang tidur memiliki
bentuk tubuh melingkar yakni dengan cara ujung ekor naik
menyentuh bagian muka persis seperti lingkaran sehingga posisi
tidur tokoh dalam cerita ini diidentikkan dengan seekor tupai.
Contoh (2) menunjukkan tokoh Simon yang dalam keadaan
duduk diidentikkan dengan burung. Dalam Kamus Besar Bahasa
110
Indonesia (KBBI) V luring, duduk adalah meletakkan tubuh atau letak
tubuhnya dengan bertumpu pada pantat (ada bermacam-macam
cara dan namanya seperti bersila dan bersimpuh), sedangkan
burung adalah binatang berkaki dua, bersayap dan berbulu, dan
biasanya dapat terbang. Simon yang sedang duduk menekuri meja
yang diibaratkan burung pemakan bangkai yang menunggui mangsa
berkelas kata nomina dan berperan sebagai terbanding. Adapun
burung sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus fauna.
Kemudian, perbuatan duduk sebagai hal yang dibandingkan antara
Simon dan burung berkelas kata verba, yakni berupa verba dasar
bebas. Pada cerita ini, Simon yang duduk menekuri meja,
memandang ke bawah (meja), dan diam dianggap bagaikan burung
yang sedang menanti mangsa.
Kemudian contoh (3) tokoh kita (Ikal dan Weh)
mengibaratkan bahwa jika mereka salah arah dan terdampar di Teluk
Hauraki maka mereka akan mati kering seperti ikan asin. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, mati adalah
keadaan sudah hilangnya nyawa; tidak hidup lagi, sedangkan ikan
adalah binatang bertulang belakang yang hidup dalam air, bernapas
dengan insan, tubuhnya biasanya bersisik. Kata kita sebagai
terbanding berkelas kata pronominal, sedangkan ikan sebagai
pembanding berkelas kata nomina khusus fauna. Adapun kata mati
sebagai hal yang menjadi objek perbandingan berkelas kata verba,
111
yakni verba dasar bebas. Pada cerita ini, jika tokoh Ikal dan Weh
terdampar maka mereka akan mati kering layaknya ikan asin karena
tidak akan ditemukan oleh siapapun hingga akhirnya mongering
seperti ikan asin.
Adapun dalam NTNLM, tidak ditemukan contoh pewujudan
gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata
verba dasar bebas.
(2) Verba Intransitif
Verba Intransitif adalah verba yang tidak membutuhkan
kehadiran objek yang berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata verba
intransitif dalam NTLP dapat dilihat sebagai berikut:
(a) Verba Intransitif ber-
Contoh yang menunjukkan pewujudan gaya bahasa
simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata verba
intransitive ber- dapat dilihat sebagai berikut:
(4) Menjelang pukul tujuh, dengan membersihkan diri seadanya- karena itu kami selalu berbau seperti ikan pari- kami tergopong-gopoh ke sekolah. (SP: 70)
(5) Nurmala bersikap seperti harimau karena ingin merobohkan bangunan hipotesis Arai terhadap sifat-sifat perempuan. (SP: 188)
(6) Maka dari posisi ini aku dapat melihatnya langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju kearahku. (LP: 266)
Contoh (4) sampai dengan (6) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa simile. Penanda linguistik gaya bahasa
112
simile yang terlihat adalah penggunaan kata seperti. Contoh (4)
menunjukkan perbandingan secara eksplisit antara kata kami dan
ikan pari dari segi bau. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) V luring, berbau berarti mempunyai bau; mengeluarkan
bau (harum, busuk, dan sebagainya), sedangkan ikan pari adalah
ikan laut bertulang rawan, badannya pipih, berbentuk seperti
laying-layang. Kata kami yang merujuk kepada Ikal, Arai dan
Jimbro pada cerita ini berperan sebagai terbanding dan berkelas
kata pronominal. Adapun pari sebagai pembanding berkelas kata
nomina khusus nomina fauna. Selanjutnya, hal yang menjadi
bahan perbandingan atau yang dibandingkan, yakni kata berbau
berkelas kata verba khusus verba intransitif ber-. Pada contoh (4)
diceritakan tentang tokoh kami (Ikal, Arai dan Jimbro) yang berbau
atau memiliki bau seperti ikan pari. Karakter bau pesing pada ikan
pari tidak langsung mengikuti kata berbau, melainkan
menggunakan nomina fauna yang memiliki sifat berbau pesing
yaitu ikan pari.
Contoh (5) menunjukkan perbandingan eksplisit antara
Nurmala dan harimau dari segi sikap. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, bersikap berarti mengambil
sikap (pendirian), sedangkan harimau adalah binatang buas,
pemakan daging, wujud seperti kucing besar. Nurmala sebagai
tebanding berkelas kata nomina, sedangkan harimau sebagai
113
pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun
hal yang menjadi perbandingan, yakni sikap. Kata bersikap
sebagai bahan perbandingan ini berkelas kata verba khusus verba
intransitif. Contoh (5) bercerita tentang tokoh Nurmala yang
bersikap atau memiliki sikap yang garang, buas, ganas layaknya
seekor harimau. Pada penceritaan tersebut, tokoh Nurmala tidak
langsung digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sikap buas
atau garang, melainkan diasosiasikan seperti harimau yang juga
memiliki karakter buas dan garang.
Kemudian contoh (6) menunjukkan perbandingan secara
langsung antara bentuk –nya yang merujuk kepada A Ling dan
burung sekretaris dalam hal berjalan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) V luring, berjalan berarti (1) melangkahkan kaki
bergerak maju; (2) bergerak maju dari suatu titik (tempat) ke titik
(tempat) lain. Adapun burung sekretaris adalah sejenis burung
pemangsa berukuran besar yang hidup terrestrial, berburu
mangsa dengan jalan kaki, dengan langkah-langkah panjang.
Bentuk –nya sebagai terbanding berkelas kata pronomina,
sedangkan burung sekretaris berkelas kata nomina khusus
nomina fauna. Adapun kata berjalan sebagai perihal yang
dibandingkan ini berkelas kata verba khusus verba intransitif.
Contoh (6) bercerita tentang tokoh aku yang melihat A Ling
berjalan layaknya burung sekretaris. Cara berjalan anggun dengan
114
langkah panjang A Ling tidak secara langsung diungkapkan, tetapi
diasosiasikan dengan seekor burung sekretaris yang memiliki
karakter langkah-langkah yang panjang.
(b) Verba Intransitif meng-
Contoh yang menunjukkan pewujudan gaya bahasa simile
berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata verba intransitif meng-
dapat dilihat sebagai berikut:
(7) Aku meronta sejadi-jadinya dari kuncian Arai, menggelinjang seperti belut sehingga lemari raksasa itu limbung dan tiba-tiba…(SP: 48)
(8) Mulut mungilnya yang dari tadi berkicau kini terkunci lalu pelan-pelan menganga seperti ikan mas koki. (SP: 49)
(9) Aku sering melihat sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur tahu-tahu sudah rekat kembali,…(SP: 185)
Salah satu penanda linguistik yang menunjukkan gaya
bahasa simile ialah kata seperti. Contoh (7) sampai dengan contoh
(9) menunjukkan gaya bahasa simile. Contoh (7) menunjukkan
perbandingan antara kata aku dan belut tentang perbuatan
menggelinjang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V
luring, kata menggelinjang adalah bergerak-gerak karena geli,
sedangkan belut adalah ikan air tawar dan payau, berbentuk
memanjang mencapai 100 cm, hidup di dasar perairan tropis dan
berlumpur. Kata aku sebagai terbanding berkelas kata pronominal,
sedangkan belut sebagai pembanding berkelas kata nomina
khusus nomina fauna. Adapun kata menggelinjang sebagai
115
perbuatan yang dibandingkan berkelas kata verba khusus verba
intransitif. Contoh (7) menceritakan tokoh aku yang bergerak-gerak
(menggelinjang) karena geli. Perbuatan menggelinjang tersebut
dianggap sama dengan belut yang mempunyai karakter gerakan
yang lincah dan cepat.
Selanjutnya, contoh (8) dibandingkan secara eksplisit
antara mulut yang menganga dan ikan mas koki. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, menganga adalah
membuka lebar (tentang mulut); terbuka lebar, sedangkan mas koki
adalah ikan hias yang hidup di air tawar, bermata besar melotot,
berkulit keemas-emasan. Kata mulut sebagai terbanding berkelas
kata nomina, sedangkan kata mas koki sebagai pembanding
berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun perbuatan
yang menjadi hal yang dibandingkan, yakni menganga berkelas
kata verba khusus verba intransitif. Contoh (8) tersebut
membandingkan mulut yang menganga seperti ikan mas koki. Ikan
mas koki adalah salah satu jenis ikan yang memiliki ciri unik yakni
mulut menganga secara lebar sehingga mulut tokoh yang
menganga pada cerita dianggap memiliki kesamaan dengan ikan
mas koki.
Adapun contoh (9), kata sepatu dibandingkan dengan kata
buaya perihal dalam keadaan menganga. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, buaya adalah binatang melata
116
(reptilian) berdarah dingin bertubuh besar dan berkulit keras,
sedangkan menganga adalah membuka lebar (tentang mulut);
terbuka lebar. Kata sepatu sebagai terbanding berkelas kata
nomina, sedangkan kata buaya sebagai pembanding berkelas kata
nomina khusus nomina fauna. Adapun kata menganga sebagai
keadaan yang dibandingkan tersebut berkelas kata verba khusus
verba intransitif. Pada contoh (9) tersebut, diceritakan tentang
sepatu yang tampak menganga. Kondisi sepatu ini dibandingkan
dengan buaya karena adanya kesesuaian perbuatan yang sering
dilakukan buaya. Kebiasaan membuka mulut oleh buaya pada saat
di darat dilakukan untuk menjaga agar suhu badannya tetap stabil
dan bisa beradaptasi dengan suhu disekitarnya. Atas dasar
kesamaan inilah sepatu yang menganga tersebut dianggap sama
dengan seekor buaya yang sedang berjemur.
Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas
kata verba intransitif juga dapat dilihat pada kutipan NTNLM
berikut.
(10) Hanya Said yang tinggi besar leluasa melihat tanpa berjinjit seperti penguin sedang kasmaran. (NLM: 173)
(11) Bagai kijang, lima orang berlompatan dengan lincah dan mengurung sosok hitam tadi. (NLM: 248)
(12) Ustad yang berasal dari Lintau, Sumatera Barat ini keperawakan sedang tapi liat. Kalau berjalan seperti kucing, ringan, dan lincah. (NLM: 246)
Contoh (10) sampai dengan (12) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa simile yang diwujudkan melalui verba
117
intransitif ber-. Penanda linguistik gaya bahasa simile yang terlihat
adalah penggunaan kata seperti dan bagai. Contoh (10)
menunjukkan perbandingan secara eksplisit antara kata Said dan
penguin. Contoh (10) ini membandingkan Said dan penguin dalam
hal perbuatan berjinjit. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) V luring, berjinjit adalah berdiri atau berjalan dengan jari kaki
yang berjejak; berjengket sedangkan penguin adalah burung laut
keluarga Spheniscidae yang tidak dapat terbang, terdapat di
daerah Kutub Selatan dengan sayap yang dapat digunakan untuk
berenang, kaki berselaput renang, di darat berjalan tegak. Kata
Said sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan penguin
sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna.
Adapun kata berjinjit sebagai hal yang dibandingkan berkelas kata
verba khusus verba taktransitif. Perbandingan eksplisit antara
kedua kata tersebut terjadi karena penguin memiliki salah satu ciri
yakni berjalan tegak di darat. Berjinjit adalah salah satu hal yang
dilakukan penguin saat berjalan di darat sehingga pada contoh
(10), tokoh Said diceritakan tinggi besar leluasa melihat tanpa
berjinjit seperti penguin sedang kasmaran.
Kata bagai juga merupakan penanda linguistik gaya bahasa
simile. Ini dapat dilihat pada contoh (11) yang membandingkan
frasa lima orang dengan kijang dalam hal perbuatan berlompatan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
118
berlompatan berarti melompat beramai-ramai; melompat kesana
kemari sedangkan kijang adalah binatang menyusui, sebangsa
rusa, kecil, cepat larinya, dan bertanduk pendek. Lima orang
sebagai terbanding menduduki frasa nomina sedangkan kijang
sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna.
Adapun kata berlompatan sebagai perbuatan yang dibandingkan
berkelas kata verba khusus verba taktransitif. Pada contoh (11)
sosok lima orang dikatakan berlompatan dengan lincah bak kijang.
Karakter melompat kesana-kemari adalah salah satu karakter dari
seekor kijang. Atas hubungan tersebut sehingga frasa lima orang
dibandingkan dengan kijang dari segi perbuatan berlompatan.
Adapun contoh (12) tokoh Ustad yang diceritakan memiliki
ciri berjalan seperti kucing. Hubungan atau pertalian yang terjalin
antara kedua kata tersebut adalah seekor kucing memiliki karakter
saat berjalan yakni terlihat ringan dan lincah sehingga hal ini
dianggap sama dengan tokoh ustad pada saat berjalan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, berjalan berarti
melangkahkan kaki bergerak maju. Kata Ustad sebagai terbanding
berkelas kata nomina sedangkan kucing sebagai pembanding
berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun berjalan
sebagai perbuatan atau hal yang dibandingkan berkelas kata verba
khusus verba taktransitif.
119
(c) Verba Reduplikasi Berubah Bunyi
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata
verba reduplikasi berubah bunyi hanya dapat dilihat pada kutipan
NTLP berikut:
(13) Siang ini ia berbincang dengan pria yang gerak-geriknya seperti beruk karena ia seorang pemanjat . (EDS: 21)
(14) Repot bukan main, aku pontang-panting seperti kucing tak sengaja menduduki Rheumason!! Hi…hi…hi. (SP: 194)
(15) “Kalau bisa, jika menyanyi, wajahmu jangan cengar-cengir seperti unta begitu, Boi, hi…hi…hi…,” saran Bang Zaitun. (SP: 209)
Berdasarkan contoh (13) sampai dengan (15) terlihat
penggunaan gaya bahasa simile dengan adanya kata seperti
sebagai penanda gaya bahasa tersebut. Contoh (13) menceritakan
tokoh pria yang gerak-geriknya seperti beruk. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, gerak-gerik adalah (1) berbagai-
bagai gerak (pada anggota tubuh); (2) tingkah laku sedangkan
beruk adalah kera besar yang berekor pendek dan kecil, dapat
diajar memetik buah kelapa. Kata pria sebagai terbanding berkelas
kata nomina sedangkan beruk sebagai pembanding berkelas kata
nomina khusus nomina fauna. Selanjutnya, gerak-gerik sebagai hal
yang dibandingkan berkelas kata verba reduplikasi berubah bunyi.
Gerak-gerik yang diperankan tokoh pria pada contoh (13) dianggap
sama dengan beruk. Seekor beruk atau kera memiliki kemampuan
120
memanjat pohon karena dapat diajar memetik buah kelapa. Atas
dasar kesamaan kemampuan inilah sehingga tingkah laku tokoh
pria dianggap sama dengan beruk karena pria dalam cerita
tersebut adalah seorang pemanjat.
Adapun contoh (14) tokoh aku yang pontang-panting
dibandingkan secara eksplisit dengan kucing. Tokoh aku sebagai
terbanding menduduki kelas kata pronominal sedangkan kucing
sebagai pembanding menduduki kelas kata nomina khusus fauna.
Bentuk verba pontang-panting menjadi hal atau perbuatan yang
dibandingkan. Verba pontang-panting bermakna „berlari lintang
pukang‟ sedangkan kucing memiliki makna „binatang mamalia
pemakan daging, berukuran kecil sampai sedang, cakar berbentuk
arit, bermata sangat tajam, dan mempunyai perilaku kewilayahan
yang sangat kuat‟. Kata pontang-panting sebagai hal yang
dibandingkan pada perbandingan antara kata aku dan kucing
tersebut berkelas kata verba reduplikasi berubah bunyi. Adapun
kata aku sebagai terbanding berkelas kata pronominal dan kucing
sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna.
Selanjutnya contoh (15), frasa wajahmu dibandingkan
secara eksplisit dengan kata unta dalam hal perbuatan cengar-
cengir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
cengar-cengir adalah „tersenyum-senyum kecil; tertawa-tawa kecil
(karena malu dan sebagainya)‟ sedangkan unta adalah „binatang
121
berkuku belah, berleher panjang, dan punggungnya berpunuk‟.
Perbuatan cengar-cengir adalah perbuatan yang biasanya
dilakukan oleh unta sehingga frasa wajahmu dibandingkan dengan
unta dalam hal perbuatan cengar-cengir. Frasa wajahmu sebagai
terbanding menduduki frasa nomina sedangkan kata unta sebagai
pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Adapun
cengar-cengir sebagai hal yang dibandingkan berkelas kata verba
reduplikasi berubah bunyi.
(d) Verba Berproses Gabung
Gaya bahasa simile yang diwujudkan berdasarkan pilihan kata
yang berkelas kata verba berproses gabung ditemukan pada NTLP
dan NTNLM. Berikut uraian pewujudan gaya bahasa simile
tersebut:
(1) Verba Berproses Gabung (prefiksasi ber- + reduplikasi)
Gaya bahasa simile dalam NTLP diwujudkan melalui
verba berproses gabung (prefiksasi ber- + reduplikasi). Contoh
pewujudan gaya bahasa simile tersebut dapat dilihat berikut:
(16) …penguasa laut itu menggelinjang berguling-guling seperti buaya mematahkan leher lembu. (EDS: 6)
(17) Selalu berkoar-koar seperti angsa trumpeter, tak lain orang-orang Inggris, The Britis. (EDS: 96)
(18) Dari puncak bahu ini tampak rumah-rumah penduduk terurai-urai mengikuti pola anak-anak Sungai Langkang yang berkelak-kelok seperti ular. (LP: 286)
Contoh (16) sampai dengan (18) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata
122
seperti. Contoh (16) bercerita tentang penguasa laut yang
menggelinjang berguling-guling. Perbandingan secara eksplisit
ditunjukkan pada frasa penguasa laut dan buaya. Adapun hal
yang dibandingkan yakni perihal perbuatan berguling-guling.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
berguling-guling adalah „bergulung atau berputar bolak-balik‟.
Kata berguling-guling sebagai hal yang dibandingkan ini berkelas
kata verba proses gabungan. Perbuatan berguling-guling yang
dilakukan oleh penguasa laut itu dianggap sama dengan buaya .
Seekor buaya dalam mematahkan leher lembu akan melakukan
proses berguling-guling sama seperti yang dilakukan oleh
penguasa laut yang diceritakan pada contoh (16) tersebut.
Contoh (17) menunjukkan perbandingan antara frasa
orang-orang Inggris dan angsa trumpeter. Adapun hal yang
dibandingkan, yakni berkoar-koar. Kata berkoar-koar berarti
„berkata-kata dengan suara keras (dengan maksud menantang,
mengkritik, menghina, dan sebagainya)‟ sedangkan angsa
trumpeter atau angsa terompet adalah salah satu jenis angsa
dengan salah satu ciri yaitu bersuara besar dan tampak galak
jika memiliki anak. Frasa orang-orang Inggris sebagai terbanding
menduduki bentuk frasa nomina sedangkan angsa trumpeter
sebagai pembanding menduduki kelas kata nomina khusus
nomina fauna. Adapun kata berkoar-koar sebagai perbuatan
123
yang dibandingkan ini, menduduki kelas kata verba khusus verba
proses gabungan. Contoh (17) mengasosiasikan orang-orang
Inggris yang selalu berkoar-koar layaknya angsa trumpeter.
Angsa trumpeter atau angsa terompet, sesuai namanya memiliki
karakter sering berkoar-koar layaknya sebuah terompet yang
berbunyi.
Adapun contoh (18) menggambarkan bentuk pola anak-
anak Sungai Langkang yang berliku-liku layaknya ular. Kata
berkelok-kelok adalah kata yang merujuk pada perbuatan yang
menjadi bahan perbandingan antara bentuk pola anak-anak
Sungai Langkang dan kata ular. Kata berkelok-kelok berarti
„banyak keloknya; berkeluk-keluk; berliku-liku‟ sedangkan ular
adalah binatang melata, tidak berkaki, tubuhnya agak bulat
memanjang, dan kulitnya bersisik. Kata berkelok-kelok sebagai
hal yang dibandingkan ini menduduki kelas kata verba proses
gabungan sedangkan kata ular sebagai pembanding menduduki
kelas kata nomina khusus nomina fauna. Perbandingan antara
ular dan pola anak-anak Sungai Langkang yang berkelok-kelok
ini dimungkinkan karena ular memiliki karakter gerakan yang
berliku-liku atau berkelok-kelok sama halnya dengan pola anak-
anak Sungai Langkang yang digambarkan pada cerita.
(2) Verba Berproses Gabung (prefiksasi meng- + reduplikasi)
124
Pewujudan gaya bahasa simile dalam NTLP tidak
hanya melalui verba berproses gabung dengan prefiksasi ber-,
tetapi juga melalui verba berproses gabung dengan prefiksasi
meng- Contoh pewujudan gaya bahasa simile tersebut dapat
dilihat berikut:
(19) Ia menjerit-jerit seperti burung prigantil yang dicabuti bulunya. (SP: 48)
(20) Jimbron mendengus-dengus keras seperti kucing berahi.(SP: 103)
(21) …Arai beraksi semakin menjadi-jadi, meliuk-liuk seperti ikan lele terlempar ke darat. (SP: 212)
Salah satu penanda linguistik yang menunjukkan gaya
bahasa simile ialah kata seperti. Contoh (19) sampai dengan
(21) menunjukkan gaya bahasa simile. Contoh (19) menunjukkan
perbandingan antara kata ia dan burung prigantil. Adapun hal
yang dibandingkan, yakni perihal menjerit-jerit. Kata menjerit-jerit
berarti „berteriak berulang kali‟. Menjerit-jerit sebagai hal yang
dibandingkan berkelas kata verba khusus verba berproses
gabung. Kata ia sebagai pembanding berkelas kata pronominal
sedangkan burung prigantil sebagai pembanding berkelas kata
nomina fauna. Contoh (19) bercerita tentang tokoh yang
berteriak-teriak layaknya burung prigantil. Burung prigantil akan
menjerit-jerit jika bulunya dicabuti, demikian hal tersebut
diasosiasikan dengan tokoh dalam contoh (19) tersebut.
Selanjutnya contoh (20) membandingkan kata Jimbron
dan kata kucing dalam hal mendengus-dengus. Contoh tersebut
125
bercerita tentang tokoh Jimbron yang mendengus-dengus
layaknya kucing berahi. Kata mendengus-dengus sebagai
perbuatan yang dibandingkan berkelas kata verba khusus verba
berproses gabungan. Adapun kata Jimbro sebagai terbanding
berkelas kata nomina sedangkan kucing sebagai pembanding
menduduki kelas kata nomina khusus nomina fauna.
Perbandingan pada contoh (20) ini, mengasosiasikan perbuatan
yang dilakukan oleh kucing berahi sama dengan aktivitas Jimbro
yang mendengus-dengus. Kucing berahi akan mengeluarkan
bunyi napas yang kuat-kuat, demikian hal tersebut terjadi pada
Jimbron.
Kata meliuk-liuk pada contoh (21) menjadi hal yang
dibandingkan pada perbandingan antara Arai dan ikan lele.
Kesamaan yang dimaksudkan adalah aktivitas meliuk-liuk yang
dilakukan Arai merupakan karakter gerakan yang juga dimiliki
ikan lele. Secara denotatif, kata meliuk-liuk berarti „berkelok-
kelok (tentang gerak ular yang melata dan sebagainya)‟
sedangkan ikan lele adalah ikan air tawar, berpatil, dan
badannya licin. Kata meliuk-liuk sebagai hal yang dibandingkan
tersebut berkelas kata verba berproses gabung. Adapun Arai
sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan ikan lele
sebagai pembanding berkelas kata nomina fauna. Pada contoh
(21) ini diceritakan tokoh Aria meliuk-liuk persis ikan lele. Tekstur
126
badan ikan lele yang licin dengan gerakan yang sangat cepat
menjadikannya sangat susah dipegang. Demikian karakter ikan
lele tersebut sehingga dikatakan Arai meliuk-liuk seperti ikan lele.
Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan
kelas kata verba berproses gabung pada NTNLM dapat dilihat
pada contoh berikut:
(22) “Iya, Bang,” kataku mengangguk-angguk seperti burung kakatua. (RTW: 145)
(23) Begitu kau tekan tombol ON, mesin ini merengek-rengek seperti kucing jantan lapar, lalu dilayarnya yang hitam itu berkedip-kedip kursos berwarna hijau. (RTW: 175)
(24) “Oui…oui, yes…very fast,” katanya mengangguk-angguk senang seperti burung beo. (RTW: 274)
Gaya bahasa simile pada contoh (22), (23), dan (24)
diwujudkan melalui kelas kata verba berproses gabung prefiksasi
meng-. Kata mengangguk-angguk pada contoh (22) sebagai hal
yang dibandingkan berkelas kata verba berproses gabung.
Adapun aku sebagai terbanding berkelas kata pronomina dan
burung kakatua sebagai pembanding berkelas kata nomina
fauna. Kata mengangguk-angguk dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) V luring, berarti „berkali-kali mengangguk
(karena sangat setuju)‟ sedangkan kakaktua adalah burung yang
paruhnya kuat dan bagian atasnya melengkung ke bawah,
berwarna putih, bisa diajar berbicara. Pertalian antara aku dan
burung kakaktua dalam hal mengangguk-angguk ini terjadi
karena karakter burung kakatua yang pandai sehingga
127
memungkinkan mengangguk-angguk. Berdasarkan kemampuan
tersebut, tokoh aku dianalogikan dengan burung kakak tua.
Adapun contoh (23), kata mesin dibandingkan secara
eksplisit dengan kata kucing. Perbandingan ini sekaitan dengan
verba merengek-rengek. Kata merengek-rengek berarti
„merengek berkali-kali‟. Pada contoh (22) tersebut, mesin yang
merengek-rengek dianggap sama dengan kucing jantan yang
dalam keadaan lapar. Suara merengek atau meminta sesuatu
dengan mendesak biasanya dilakukan oleh seekor kucing yang
sedang kelaparan dan hal tersebut dainggap sama dengan yang
terjadi pada mesin yang diceritakan pada contoh (23). Kata
mesin sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan
kucing sebagai pembanding berkelas kata nomina khusus
nomina fauna. Adapun kata merengek-rengek sebagai perbuatan
yang dibandingkan berkelas kata verba berproses gabung.
Selanjutnya, pada contoh (24) bentuk–nya dibandingkan
dengan burung beo. Perbandingan tersebut perihal perbuatan
mengangguk-angguk. Kata mengangguk-angguk sebagai
perbuatan yang dibandingkan berkelas kata verba berproses
gabung. Adapun bentuk –nya sebagai terbanding berkelas kata
pronomina sedangkan burung beo sebagai pembanding
menduduki kelas kata nomina khusus nomina fauna. Karakter
pandai dan lincah yang dimiliki seekor burung beo menjadikan
128
perbuatan mengangguk-angguk yang dilakukan tokoh (-nya)
pada contoh (24) dianggap sama dengan burung beo.
b) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Nomina
Nomina atau kata benda adalah kata yang mengacu pada
manusia, binatang, benda, tumbuhan, dan konsep atau pengertian.
Berikut uraian pewujudan gaya bahasa simile pada NTLP dan NTNLM
berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina.
(1) Nomina Anggota Tubuh
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata
nomina anggota tubuh dalam NTLP dapat dilihat pada contoh
berikut:
(25) Nyonya Pho bertubuh tinggi besar. Rambutnya tebal, disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat. Alisnya seperti kucing tandang. (SP: 17)
(26) Stansfield yang tetap cantik meski pipinya seperti ikan mas koki dan matanya melotot, termasuk dalam dua orang itu. (EDS: 174)
(27) Sebab sejak tiba tadi mulut Ayah beberapa kali terbuka bulat seperti ikan mas koki dan bola matanya berlari-lari kian kemari. (MK: 91)
Salah satu penanda linguistik yang menunjukkan adanya
gaya bahasa simile adalah kata seperti. Contoh (25) sampai dengan
(27) menunjukkan bahwa terbanding menduduki kelas kata nomina
khusus nomina anggota tubuh sedangkan pembanding menduduki
kelas kata nomina khusus nomina fauna.
Contoh (25) menunjukkan perbandingan secara eksplisit
antara kata alis dan kucing. Kata alis berarti „bulu di dahi di atas
129
mata; kening‟ sedangkan kucing tandang berarti kucing liar, berekor
pendek bertelinga pendek, berdahi datar, warna bulu cokelat tua
sampai kelabu dengan ujung bulu putih. Alis tokoh yang dikisahkan
pada contoh (25) dianggap sama dengan kucing tandang. Alis
Nyonya Pho diibaratkan kucing tandan, yakni berukuran pendek dan
berwarna cokelat tua.
Selanjutnya pada contoh (26), pipi dianggap mirip dengan
ikan mas koki. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V
luring, pipi adalah sisi muka (di bawah pelipis) sedangkan ikan mas
koki adalah salah satu jenis ikan hias air tawar yang hidup
diperairan dangkal yang berudara sejuk dan airnya mengalir tenang
dengan bercak warna-warna sisik yang indah. Pada contoh (26) ini,
tampak bahwa pipi tokoh Stansfield yang merah merona disamakan
dengan ikan mas koki yang memiliki warna cerah merona cantik.
Adapun contoh (27) menunjukkan perbandingan antara kata
mulut dan ikan mas koki. Kata mulut bermakna „rongga di muka,
tempat gigi dan lidah untuk memasukkan makanan (pada manusia
atau binatang)‟ sedangkan ikan mas koki adalah salah satu jenis
ikan hias air tawar yang hidup diperairan dangkal yang berudara
sejuk dan airnya mengalir tenang dengan bercak warna-warna sisik
yang indah. Pertalian antara kedua nomina tersebut berkaitan
dengan bentuk mulut tokoh ayah yang dianggap sama dengan ikan
mas koki. Bentuk mulut ikan mas koki sangat unik, terutama pada
130
saat terbuka. Pada kondisi ini, mulut ikan mas koki akan berbentuk
bulat dan hal ini diasosiasikan dengan mulut tokoh ayah pada
contoh (27).
Selain contoh yang dijelaskan sebelumnya, pada NTLP juga
ditemukan contoh pembanding berupa kelas kata nomina khusus
flora. Berikut contohnya:
(28) Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya merah seperti buah naga. (LP: 242)
(29) Jika diamati dengan seksama, di balik kedua bola matanya yang gelap cokelat seperti buah hamlam tersembunyi kebaikan yang sangat besar. (LP: 354)
(30) Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus menerus meliriknya karena semakin remaja Trapani semakin tampan. Ia ramping, berkulit putih, bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis dan matanya seperti buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam. (LP: 366)
Pada contoh (28) sampai dengan (30) terlihat bahwa kata-
kata yang berperan sebagai terbanding diisi oleh kosakata mata
yang berkelas kata nomina khusus nomina anggota tubuh
sedangkan kata-kata yang berperan sebagai pembanding diisi oleh
nomina khusus flora. Contoh (28) menunjukkan perbandingan
antara kata mata dan buah naga. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) V luring, mata adalah indra untuk melihat; indra
penglihat sedangkan buah naga adalah buah dari beberapa jenis
kaktus dari marga Hylocereus dan Selenicereus, memiliki warna
kulit merah cerah dengan ujung sisik berwarna kehijauan. Contoh
(28) menceritakan mata tokoh Lintang yang merah seperti buah
131
naga. Pemilihan kata buah naga bertujuan membandingkan secara
eksplisit kata mata dan buah naga. Perbandingan tersebut
berdasarkan ciri yang dimiliki buah naga yaitu merah terang
sehingga mata Lintang diasosiasikan dengan buah naga.
Pada contoh (29), kata mata dianggap sama dengan buah
hamlam. Buah hamlam yang disebut juga ceri hita adalah salah satu
jenis buah yang memiliki rasa asam manis. Buah hamlam yang
berwarna hitam dianggap sama dengan bola mata yang berwarna
cokelat gelap.
Adapun pada contoh (30), perbandingan secara eksplisit
diperlihatkan pada kata mata dan buah kenari. Buah kenari adalah
buah dari kenari yaitu pohon yang batangnya abu-abu keputih-
putihan, daunnya kecil-kecil, buahnya berwarna hijau tua, berkulit
keras, dan bijinya dibuat minyak. Bentuk buah kenari muda yang
bulat belum terlalu besar. Demikian ciri buah kenari tersebut yang
dianggap memiliki kesamaan dengan mata tokoh pada contoh (30).
Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilhan
kata yang berkelas kata nomina anggota tubuh pada NTNLM dapat
dilihat pada contoh berikut:
(31) Mukaku centang perenang, rambut awut-awutan dan badan kotor seperti kerbau dari kubangan. (NLM: 137)
(32) Muka Roni seperti kepiting rebus karena disindir dengan telak. (RTW: 221)
(33) Mukanya merah, mulutnya seperti mas koki, megap-megap mencari udara, tapi matanya bersinar. (NLM: 235)
132
Salah satu penanda linguistik yang menunjukkan adanya
gaya bahasa simile adalah penggunaan kata seperti. Contoh (31)
sampai dengan (33) menunjukkan bahwa ranah sumber atau
terbanding diisi oleh kelas kata nomina khusus nomina anggota
tubuh sedangkan ranah sasaran atau pembanding diisi oleh kelas
kata nomina khusus fauna.
Perbandingan secara langsung pada contoh (31)
membandingkan antara kata badan dan kerbau. Kata badan
bermakna „tubuh (jasad manusia keseluruhan); jasmani; raga; awak‟
sedangkan kerbau adalah binatang memamah biak yang biasanya
diternakkan untuk diambil dagingnya atau untuk dipekerjakan. Pada
contoh (31), badan yang dalam keadaan kotor dianggap sama
dengan seekor kerbau yang baru keluar dari kubangan. Kubangan
adalah tanah lekuk yang berisi air dan lumpur (tempat kerbau
berendam dan berguling-guling) sehingga badan yang kotor
disamakan dengan kerbau dari kubangan.
Adapun pada contoh (32), perbandingan terjadi antara kata
muka dan kepiting. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V
luring, muka adalah bagian depan kepala, dari dahi atas sampai ke
dagu dan antara telinga yang satu dan telinga yang lain sedangkan
kepiting adalah ketam yang hidup di pantai, berkaki sepuluh, dua di
antaranya berupa supit tajam, punggungya keras berwarna hijau
kehitam-hitaman selebar telapak tangan, dapat dimakan. Contoh
133
(32) menunjukkan pertalian antara muka Roni dan kepiting rebus.
Muka Roni yang memerah karena malu dianggap sama dengan
kepiting rebus. Kepiting rebus adalah kepiting yang telah dimasak
dan pada saat tersebut terjadi perubahan warna kepiting menjadi
orange kemerah-merahan.
Kemudian pada contoh (33), kata mulut dianggap sama
dengan mas koki. Mas koki memiliki ciri khas, yakni dapat
disembulkan (protaktil) dengan ujung mulut yang memiliki dua
pasang sungut. Contoh (33) ini bercerita tentang mulut tokoh yang
dianggap sama dengan mas koki yang megap-megap mencari
udara. Pada situasi tersebut, mas koki akan membuka mulut lalu
menutup lagi kemudian membukanya lagi. Hal yang terjadi pada
mas koki inilah yang dianggap sama seperti yang terjadi pada tokoh
dalam cerita.
Selain contoh pembanding yang diisi oleh kelas kata nomina
khusus fauna, pada NTNLM juga ditemukan pembanding yang diisi
oleh nomina khusus flora. Pewujudan gaya bahasa simile dalam
NTNLM berdasarkan kelas kata nomina anggota tubuh dengan
pembanding yang diisi oleh nomina khusus flora, dapat dilihat
sebagai berikut:
(34) Mungkin dia merasa harus menggosok giginya yang kuning seperti jagung muda. (RTW: 123)
(35) Hidungku mekar bagai bunga bakung. (RTW: 150) (36) Kakinya masih dibalut gips sehingga tampak sebesar
batang pohon kelapa. (RTW: 252)
134
Contoh (34) sampai dengan (36) adalah contoh penggunaan
gaya bahasa simile. Ini ditandai dengan penggunaan kata seperti.
Ranah sumber atau terbanding diisi oleh kelas kata nomina anggota
tubuh sedangkan ranah sasaran atau pembanding diisi oleh kelas
kata nomina khusus flora. Contoh (34) membandingkan secara
eksplisit antara kata gigi dan jagung. Secara denotatif, gigi adalah
tulang keras dan kecil berwarna putih yang tumbuh tersusun berakar
di dalam gusi dan kegunaannya untuk mengunyah atau menggigit
sedangkan jagung adalah tanaman yang termasuk keluarga
Gramineae, batangnya pejal mencapai 2 m, buahnya dapat dimakan
sebagai makanan pokok. Pertalian antara kata gigi dan jagung
berhubungan dengan bentuk persegi kecil gigi yang hampir serupa
dengan jagung. Adapun warna gigi yang kuning tentu akan hampir
sama dengan warna jagung muda.
Adapun contoh (35) menunjukkan perbandingan antara kata
hidung dan bunga bakung. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) V luring, hidung adalah alat pencium, penghirup yang
lletaknya di sebelah atas bibir sedangkan bunga bakung adalah
tanaman hias yang bunganya berwarna putih atau merah, akarnya
digunakan untuk mengobati luka dan dianggap sebagai penawar
racun. Bunga bakung memiliki mahkota berjumlah enam dan sangat
indah saat mekar. Hidung tokoh aku pada contoh (35) dianggap
135
sama dengan bunga bakung. Kesamaan yang dimaksud adalah
bentuk hidung dan bunga bakung yang sama-sama mekar.
Kemudian pada contoh (36), kaki dibandingkan secara tidak
langsung dengan batang pohon kelapa. Kaki adalah anggota badan
yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan (dari pangkal
paha ke bawah) sedangkan pohon kelapa adalah tumbuhan palem
yang berbatang tinggi. Contoh (36) menunjukkan kaki yang dibalut
gips sama dengan batang pohon kelapa. Gips biasanya dipakai
untuk membalut bagian tubuh yang tulangnya retak atau patah agar
tida berubah posisinya. Kaki yang dibalut gips tentu akan tampak
lebih besar dari biasanya dan pada kondisi tersebut, kaki itu
dikatakan sebesar batang pohon kelapa.
Kemudian, pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan
kelas kata nomina anggota tubuh dengan pembanding yang
berkelas kata verba dalam NTNLM dapat dilihat pada contoh di
bawah ini.
(37) Telunjuknya seperti menusuk-nusuk tabloid bola, saking bersemangatnya. (RTW: 13)
(38) Hanya setengah kerjapan mata kemudian, bagai punya ilmu terbang, badan raksasa Schemeichel mencelat ke udara untuk merenggut bola di udara. (RTW: 22)
(39) Kali ini jantungku seperti lupa untuk berdetak. (RTW: 224)
Contoh (37) sampai dengan (39) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata seperti
dan bagai. Contoh (37) menunjukkan perbandingan antara kata
136
telunjuk dan menusuk-nusuk. Kata telunjuk pada contoh (37)
bermakna „jari tangan antara jari tengah dan ibu jari yang biasa
digunakan untuk menunjuk‟ sedangkan menusuk-nusuk bermakna
„mencocok dengan barang yang runcing‟. Adapun contoh (38), kata
badan sebagai terbanding berkelas kata nomina sedangkan kata
punya sebagai pembanding berkelas kata verba. Selanjutnya,
contoh (39) membandingkan antara kata jantung dan lupa. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, jantung adalah
bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah (letaknya di
dalam rongga dada sebelah atas) sedangkan lupa adalah lepas dari
ingatan; tidak dalam pikiran (ingatan) lagi.
Selain contoh-contoh yang telah diuraikan sebelumnya,
pada NTNLM ditemukan penggunaan gaya bahasa simile dengan
penanda linguistik berupa penggunaan afiks se- yang melekat pada
kata yang berkelas kata adjektiva. Berikut contoh yang menunjukkan
adanya penggunaan gaya bahasa simile tersebut.
(40) Dengan menyeret-nyeret kaki yang rasanya seberat sekarung beras, akhirnya aku sampai juga di pintu rumah kos. (RTW: 124)
(41) Said terpana melihat idolanya berkacamata hitam memegang senapan dan otot bertonjolan hampir sebesar sapi bunting. (NLM: 129)
(42) Aku gelagapan dan memaksa mengungkit kelopak mata yang terasa seberat batu. (NLM: 245)
Contoh (40) sampai dengan (42) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan
penggunaan prefiks se- yang melekat pada kata sifat. Penggunaan
137
prefiks se- tersebut mengandung makna „sama seperti‟ kata dasar.
Contoh (40) bercerita tentang tokoh aku yang melakukan perbuatan
menyeret-nyeret kaki. Kata kaki dibandingkan secara eksplisit
dengan bentuk sekarung beras. Kata kaki pada contoh ini
bermakna „anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk
berjalan (dari pangkal paha ke bawah)‟ sedangkan sekarung beras
berarti satu karung beras. Kaki sebagai terbanding berkelas kata
nomina khusus anggota tubuh sedangkan sekarung beras sebagai
pembanding berkelas kata frasa nomina. Pada contoh (40), berat
kaki dikatakan sama dengan berat sekarung beras. Berat satu
karung beras biasanya mencapai 20 kg dan inilah yang dirasakan
oleh tokoh aku sebagai pelaku dalam cerita tersebut.
Adapun pada contoh (41), otot dianggap sama dengan sapi
bunting. Kata otot bermakna „jaringan kenyal dalam tubuh manusia
dan hewan yang berfungsi menggerakkan organ tubuh‟ sedangkan
sapi bunting adalah sapi yang dalam keadaan mengandung anak
dalam perut. Kata otot sebagai terbanding menduduki kelas kata
nomina khusus anggota tubuh. Otot yang bertonjolan dianggap
sama besar dengan sapi bunting. Perut sapi yang dalam keadaan
bunting tentu menonjol atau tampak bertonjolan. Demikian sapi
bunting dikatakan sama dengan otot yang bertonjolan.
Selain contoh (41), contoh (42) membandingkan kelopak
mata dengan batu. Keduanya dikatakan sama dalam hal berat.
138
Secara denotatif, kelopak mata adalah kulit penutup mata; pelupuk
mata sedangkan batu adalah benda keras dan padat yang berasal
dari bumi atau planet lain, tetapi bukan logam. Kata kelopak mata
sebagai terbanding menduduki kelas kata nomina khusus anggota
tubuh sedangkan batu sebagai pembanding menduduki kelas kata
nomina khusus benda-benda padat dan berat. Pada contoh (42),
tokoh aku bercerita tentang kelopak mata yang dianggap sama
beratnya dengan batu.
(2) Nomina Bunyi
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilhan kata
yang berkelas kata nomina bunyi dalam NTLP dapat dilihat pada
contoh berikut ini.
(43) Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami melonjak-lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka riuh rendah laksana kawanan kumbang kawin. (LP: 370)
(44) Syair demi syair lagu itu merambati dinding-dinding papan tua kelas kami, hinggap di daun-daun kecil linaria seperti kupu-kupu cantik thistle crescent, lalu terbang hanyut di bawa awan-awan tipis menuju ke utara. (LP: 137)
(45) Namun, biola sama sekali tak sudi takzim mematuhi mauku. Suaranya seperti anak kucing dicekik. (MK: 306)
Penanda linguistik gaya bahasa simile pada contoh (43)
sampai dengan (45) adalah kata laksana dan seperti. Pada contoh
(43), kata suara dibandingkan dengan kawanan kumbang. Kata
suara pada contoh tersebut bermakna „bunyi binatang, alat
perkakas‟ dan sebagainya‟ sedangkan kumbang bermakna
„serangga yang besar dan hitam berkilap warnanya‟. Suara sebagai
139
terba nding berkelas kelas kata nomina khusus nomina bunyi
sedangkan kumbang sebagai pembanding berkelas kata nomina
khusus nomina fauna. Contoh (43) membandingkan suara para
tokoh dalam kisah layaknya kawanan kumbang yang sedang
kawin. Kawanan kumbang yang kawin akan mengeluarkan suara
bising sama seperti suara tokoh (mereka) yang digambarkan dalam
contoh (43).
Selanjutnya, contoh (44) membandingkan secara tidak
langsung kata lagu dan kupu-kupu. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) V luring, lagu berarti „ragam suara yang berirama
(dalam bercakap, bernyanyi, membaca, dan sebagainya)‟
sedangkan kupu-kupu bermakna „serangga bersayap lebar,
umumnya berwarna cerah‟. Lagu sebagai terbanding berkelas kata
nomina khusus nomina bunyi sedangkan kupu-kupu sebagai
pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Contoh
(44) bercerita tentang syair lagu yang dianggap sama dengan
kupu-kupu. Hubungan keduanya terjalin karena syair lagu yang
merambat ke segela arah dan tempat dianggap sama dengan
kupu-kupu yang terbang ke sana ke mari. Contoh (45)
membandingkan kata suara (biola) dengan frasa anak kucing.
Suara yang dihasilkan oleh biola tersebut dianggap tidak sopan
atau tidak takzim mengikuti keinginan pemain biola sehingga suara
yang dihasilkan layaknya anak kucing yang dicekik. Suara yang
140
dihasilkan dari anak kucing yang dicekik itu tidak merdu, melainkan
terdengar parau.
Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilhan
kata yang berkelas kata nomina bunyi dalam NTNLM dapat dilihat
pada contoh dibawah ini.
(46) Dengungan suara ribuan orang mendaras Al-Quran malah menjadi seperti dendang pengantar tidur yang mujarab. (NLM: 69)
(47) Dibagian imigrasi, suara baritone petugas imigrasi berbadan raksasa terasa bagai nyanyian merdu. (RTW: 256)
(48) Printer dotmatrix ini memekik-mekik gaduh. Tapi suara itu bagai nyanyian merdu di kupingku. (RTW: 71)
Berbeda halnya dengan contoh yang diperoleh pada novel
tetralogi “Laskar Pelangi, pada NTNLM ranah sumber dan ranah
sasaran sama-sama diisi oleh nomina khusus bunyi. Contoh (46)
sampai dengan (48) menunjukkan adanya penggunaan kata suara
sebagai terbanding yang menduduki kelas kata nomina bunyi
sedangkan kata dendang dan nyanyian sebagai pembanding juga
menduduki kelas kata nomina khusus nomina bunyi.
Contoh (46) menceritakan suara ribuan orang mendaras Al-
Quran layaknya dendang pengantar tidur yang mujarab. Kata
dendang dalam contoh ini maksdunya adalah nyanyian ungkapan
rasa senang, gembira dan sebagainya. Jadi, suara pendaras Al-
Quran yang dimaksud pada contoh (46) sama dengan nyanyian
pengantar tidur. Adapun suara baritone pada contoh (47) dianggap
141
sama dengan nyanyain merdu. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) V luring, nyanyian adalah komponen musik
pendek yang terdiri atas lirik dan lagu. Berdasarkan arti nyanyian
ini, dapat dikatakan bahwa suara yang dihasilkan oleh printer
dotmatrix pada contoh (48) menjadi suara yang tidak biasa.
Namun, suara tersebut bak nyanyian merdu di telinga
pendengarnya.
(3) Nomina Persona
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilhan kata
yang berkelas kata nomina persona pada NTLP dapat dilihat pada
contoh di bawah ini.
(49) Mahader sudah seperti cacing kepanasan dari tadi. Seperti aku, Arai, dan Jimbron, ia termasuk dalam gelombang besar endemik kemiskinan yang melanda
anak‐anak para kuli timah ketika perusahaan itu mulai diintai kolaps pertengahan 80‐an. (SP: 74)
(50) Dari kejauhan aku dan Arai sering terpingkal-pingkal melihat Jimbro bertingkah seperti kelinci berdiri. (SP: 80)
(51) Ia menindihku rapat-rapat, tubuhnya yang gempal berenang-renang penuh gairah di atasku yang terjepit berdengik-dengik, dan Arai yang berdiri di bangku seperti tupai melolong-lolong panjang dan merdu, “Aufffhhhh…auuuuuuufffhhh…aauuuuuuffffffhhh…” (SP: 125)
Contoh (49) sampai dengan (51) menunjukkan gaya bahasa
simile yang ditandai dengan kata seperti. Pada contoh (49), kata
Mahader sebagai terbanding berkelas kata nomina persona
sedangkan pembanding diisi dengan sebuah peribahasa cacing
kepanasan. Mahader dianggap sama dengan cacing kepanasan.
142
Peribahasa cacing kepanasan memiliki arti seseorang yang tidak
tenang atau gelisah. Mahader pada contoh (48) diceritakan tengah
dalam keadaan gelisah. Kegelisahan tersebut berkenaan dengan
kesulitan hidup yang dialami oleh semua warga belitong pada saat
itu.
Adapun contoh (50) membandingkan secara eksplisit antara
kata Jimbro dan kelinci. Kelinci adalah binatang mamalia yang
mengunggis, mempunyai telinga panjang dan ekor pendek,
rupanya seperti marmot besar. Pada contoh (50) ini, Jimbro
sebagai terbanding berkelas kata nomina khusus nomina persona
sedangkan kelinci sebagai pembanding berkelas kata nomina
khusus nomina fauna. Contoh (50) menjelaskan tingkah Jimbro
yang seperti kelinci berdiri. Kelinci memiliki kebiasaan memantau
lingkungan sekitarnya dengan cara berdiri dengan kedua kaki
belakang dan kaki depannya terlihat menggantung, bahkan hal
tersebut dapat kelinci lakukan sambil makan. Hal ini menjadi sifat
alamiah kelinci untuk melindungi diri. Demikian hal tersebut juga
terjadi pada Jimbro sehingga kelinci dan Jimbro dianggap punya
pertalian.
Terakhir, contoh (51) juga membandingkan nomina persona
dengan nomina binatang yaitu antara kata Arai dan tupai. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, tupai adalah
binatang pengunggis buah-buahan, berbulu halus, berwarna kuning
143
atau cokelat, dan hidup di atas pohon. Contoh (51) menceritakan
Arai yang berdiri layaknya tupai yang melolong-lolong panjang dan
merdu. Tupai memiliki kebiasaan melolong dimalam hari. Demikian
Arai yang berdiri dibangku dianggap sama dengan tupai yang
melolong. Aria sedang memainkan peran layaknya pemain film
dihadapan banyak penonton (siswa) sebagai bentuk hukuman atas
pelanggaran yang dilakukannya bersama Jimbro.
Selain itu, dalam NTLP juga ditemukan contoh pewujudan
gaya bahasa berdasarkan kelas kata nomina persona dengan
pembanding yang berkelas kata nomina persona nama diri.
(52) Lintang dan Mahar seperti Faraday kecil dan Warhol mungil dalam satu kelas, atau laksana Thomas Alva Edison muda dan Rabindranath Tagore junior yang berkumpul. (LP: 140)
(53) Bang Zaitun hadir di depan kami seumpama reinkarnasi Frank Sinatra. (SP: 198)
(54) Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara yang salah. (LP: 314)
Contoh (52) sampai dengan (54) adalah contoh penggunaan
gaya bahasa simile. Adapun penanda lingustik gaya bahasa simile
pada contoh tersebut, yaitu kata seperti, laksana, dan tak ubahnya.
Ranah sumber atau terbanding diisi oleh kelas kata nomina
persona sedangkan ranah sasaran atau pembanding juga diisi oleh
nomina persona. Contoh (52) membandingkan secara eksplisit
antara Lintang dan Faraday serta Mahar dan Warhol. Michael
Faraday adalah salah satu penemu yang banyak menghasilkan
144
temuan-temuan yang bermanfaat bagi dunia. Penemuan Faraday
pertama yang penting dibidang listrik terjadi tahun 1821. Adapun
Andy Warhol adalah seorang seniman yang terkenal sebagai tokoh
“The Visual Art Movement” atau Gerakan Seni Rupa yaitu Seni Pop
(Pop Art). Pada contoh (52), Mahar yang memiliki bakat dibidang
seni, dianggap sama dengan tokoh Warhol sedangkan Lintang
yang memiliki keahlian dalam bidang studi matematika dianggap
sama dengan Faraday. Selain itu, keduanya juga dibandingkan
dengan Thomas Alva Edison dan Rabindranath Tagore. Thomas
Alva Edison sebagai penemu pertama lampu pijar dianggap sama
dengan Lintang, sementara Rabindranath Tagore sebagai seorang
pelukis dan penyair dianggap sama dengan Mahar. Keberadaan
Mahar dan Lintang di sekolah Muhammadiyah dianggap sama
dengan para tokoh dunia tersebut berkat keahlian dan kecerdasan
yang mereka miliki.
Contoh (53) membandingkan tokoh Bang Zaitun dengan
Frank Sinatra. Frank Sinatra adalah penyanyi terkenal Amerika dan
seorang aktor pemenang Oscar. Contoh (53) menceritakan tokoh
Bang Zaitun sebagai seorang seniman musik dan pimpinan orkes
melayu yang dianggap reinkarnasi dari Frank Sinatra. Keduanya
dianggap memiliki hubungan karena sama-sama menggeluti bidang
yang sama, yakni musik.
145
Adapun contoh (54), tokoh Tuk Bayan Tula atau Tuk
dianggap sama dengan Robin Hood. Robin Hood adalah pahlawan
rakyat Inggris yang awalnya merupakan seorang penjahat yang
akhirnya menjadi pencari keadilan dan menjadi sosok yang
memperjuangkan kaum miskin. Adapun Tuk dianggap ahli
menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik klenik jahat
untuk mencelakakan orang. Demikian sosok keduanya sehingga
Tuk dianggap sama dengan Robin Hood.
Adapun pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan pilihan
kata yang berkelas kata nomina persona dalam NTNLM dapat
dilihat pada contoh di bawah ini.
(55) Dikananku, Wira si kera ngalam yang berparas putih ini telah menjelma seperti udang direbus matang. Merah padam.Matanya tidak lepas menantang telunjuk Jumbo yang menghardiknya. (RTW: 55)
(56) Seperti gajah jinak ditepuk-tepuk pawangnya, Jumbo hanya kuyu dan pucat. Kegarangannya telah raib ditelan angin. (RTW: 57)
(57) Kalau sudah begini, Said yang juara ngantuk di kelas kami menjelma menjadi seperti seekor singa yang siaga dan siap menerkam. (NLM: 106)
Contoh (55) membandingkan secara eksplisit antara kata
Wira dan udang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V
luring, udang adalah binatang tidak bertulang, hidup dalam air,
berkulit keras, berkaki sepuluh, berekor pendek, dan bersepit dua
pada kaki depannya. Wira sebagai terbanding berkelas kata
nomina khusus nomina persona sedangkan udang sebagai
pembanding berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Contoh
146
(55) menceritakan tokoh Wira yang dalam keadaan jengkel, marah
sehingga paras wajahnya menjelma menjadi merah padam
layaknya udang yang direbus matang.
Selanjutnya, pada contoh (56) kata Jumbo yang berkelas
kata nomina persona dibandingkan dengan kata gajah yang
berkelas kata nomina fauna. Contoh (56) menceritakan tokoh
Jumbo yang dianggap sama dengan gajah jinak yang ditepuk-tepuk
pawangnya. Dalam keadaan tersebut, gajah biasanya
menunjukkan muka yang muram dan lesu. Demikian keadaan
tersebut dianggap sama dengan wajah Jumbo yang tampak kuyu
dan pucat.
Adapun contoh (57), tokoh Said dibandingkan dengan singa.
Perbandingan kedua kata tersebut didasarkan pada sifat dasar
yang dimiliki oleh seekor singa yaitu buas dan selalu menerkam
mangsanya. Sifat tersebut diasosiaikan ke dalam karakter Said
yang secara tiba-tiba menjelma menjadi penuh semangat. Contoh
(57) menceritakan Said sebagai juara mengantuk di kelas
menjelma menjadi sosok yang bersemangat dengan gairah
menggebu-gebu layaknya seekor singa yang siaga dan siap
menerkam.
(4) Nomina Fauna
Penggunaan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata
nomina khusus nomina fauna hanya ditemukan pada NTLP dan
147
tidak ditemukan pada NTNLM . Contoh penggunaan gaya bahasa
simile berdasarkan kelas kata nomina fauna tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:
(58) Ganjil sekali, buaya itu seperti takluk, mengibas-ngibaskan ekornya laksana seekor anjing yang ingin mengambil hati tuannya…(LP: 89)
(59) Burung yang konon sangat cantik dengan dominasi warna biru dan kuning ini berukuran seperti burung bayan. (LP: 184)
(60) Sungguh di luar dugaanku seekor kuda Australia ternyata amat besar seperti gajah dan ia demikian mengagumkan. (SP: 171)
Contoh (58) sampai dengan (60) menunjukkan
perbandingan tidak langsung yang ditandai dengan penggunaan
kata laksana dan seperti. Contoh (58) membandingkan kata buaya
dan frasa seekor anjing yang keduanya menduduki kelas kata
nomina khusus nomina fauna. Contoh (58) bercerita tentang buaya
yang takluk (menyerah kalah; tunduk) mengibas-ngibaskan ekor
layaknya seekor anjing yang ingin mengambil hati tuannya. Anjing
yang berupaya mengambil hati tuannya biasanya tampak jinak dan
berupaya memperoleh hati tuannya dengan mendekat berharap
perhatian. Hal serupa tampaknya dilakukan oleh buaya pada
contoh (58) tersebut.
Adapun contoh (59), kata burung dibandingkan dengan frasa
burung bayan. Terbanding dan pembanding sama-sama berkelas
kata nomina fauna. Burung sebagai terbanding pada contoh (59) ini
disebut sebagai burung pelintang pulau. Dalam Kamus Besar
148
Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, bayan adalah burung yang
termasuk keluarga kakaktua, membuat sarang di lubang pohon,
yang jantan sebagian besar bulunya berwarna hijau terang
sedangkan yang betina berwarna merah campur biru. Burung
bayan juga dikenal sebagai burung nuri. Burung pelintang pulau
dianggap memiliki kesamaan dengan burung bayan. Kesamaan
keduanya terletak pada kecantikan warna bulu keduanya.
Selanjutnya, contoh (60) membandingkan frasa kuda
Australia dengan gajah. Kuda Australia adalah salah satu jenis
kuda yang masuk ke Australia dengan ukuran tubuh yang cukup
besar. Ukuran tubuh kuda Australia yang tegap besar dianggap
memiliki kesamaan dengan gajah yang juga memiliki ukuran tubuh
yang besar.
c) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Adjektiva
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
adjektiva adalah kata yang menerangkan nomina (kata benda) dan
secara umum dapat bergabung dengan kata lebih dan sangat. Gaya
bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata adjektiva
hanya ditemukan pada NTLP. Uraian pewujudan gaya bahasa simile
berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata adjektiva dengan
pembanding yang diisi oleh beberapa jenis kelas kata, dapat dilihat
sebagai berikut:
149
(1) Nomina Benda Alam
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata
adjektiva dengan pembanding yang diisi oleh nomina benda alam
dapat dilihat pada contoh berikut:
(61) Diberandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri nasib anak-anak nelayan yang terpaksa bekerja. Salah satunya aku kenal: Laksmi. Seperti laut, mereka diam. (SP: 3)
(62) Rendah, tinggi, pelan, kencang, berbisik laksana awan, marah laksana topan, memekakkan laksana ledakan gunung berapi, lalu diam tenang laksana danau di tengah rimba raya. (LP: 141)
(63) Pilihan nada itu demikian indah hingga terdengar laksana aliran sungai-sungai di bawah taman surga. (LP: 150)
Contoh (61) sampai dengan (63) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa simile. Adapun penanda linguistik yang
menandai gaya bahasa tersebut, yaitu kata seperti dan laksana.
Contoh-contoh yang ditampilkan menunjukkan bahwa terbanding
diisi oleh kelas kata adjektiva sedangkan pembanding diisi oleh
kelas kata nomina benda alam seperti kata laut, awan, topan,
danau, dan sungai. Contoh (61) membandingkan secara eksplisit
kata diam dan laut. Laut sebagai benda alam yang tidak bernyawa,
yang mampu menciptakan ketenangan dianggap memiliki hubungan
dengan kata diam. Jadi, tokoh mereka yang dimaksud pada contoh
(61) diumpamakan seperti laut karena mereka diam.
Contoh (62), kata rendah, tinggi, pelan, kencang
dibandingkan dengan kata awan. Kata rendah, tinggi, pelan,
150
kencang merupakan kata sifat yang saling berlawanan. Kedua
pasangan kata antonim tersebut menjadi sifat yang dimiliki awan.
Tinggi-rendah berkenaan dengan letak atau posisi awan tersebut di
atas langit, pelan-kencang berkenaan dengan gerakan awan di atas
langit. Adapun kata marah dibandingkan dengan kata topan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, topan bermakna
„siklon tropis yang berkecepatan sangat tinggi; angin ribut; badai‟.
Pada contoh (62) ini, kata adjektiva marah dianggap sama dengan
topan. Hal ini dimungkinkan karena topan dianggap sama dengan
angin ribut yang berkekuatan melebihi 12 skala Beaufort sehingga
kemarahan diidentikkan dengan topan. Selanjutnya, kata diam pada
contoh (62) diibaratkan danau di tengah rimba raya. Tentu saja
ketenangan danau di tengah hutan lebat sangat terpelihara.
Berdasarkan hal tersebut sehingga kedua kata tersebut dianggap
punya pertalian. Kemudian, contoh (63) kata indah dibandingkan
dengan frasa aliran sungai –sungai. Nada yang indah dianggap
sama dengan aliran sungai-sungai di bawah taman surga. Sungguh
apapun itu jika di berada di surga tentu akan indah.
(2) Nomina Fauna
Di samping nomina benda alam, pewujudan gaya bahasa
simile berdasarkan kelas kata adjektiva juga diisi oleh kelas kata
nomina fauna sebagai pembanding. Pewujudan gaya bahasa simile
dalam NTLP tersebut dapat dilihat di bawah ini:
151
(64) Pasti bahasa Belanda, karena seluruhnya dibunyikan dari kerongkongan, berat seperti beruang menderam-deram. (EDS: 58)
(65) Hitam pekat berminyak-minyak, serupa kayu mahoni yang dipernis tebal, licin mengilap seperti seekor kumbang jantan. (SP: 170-171)
(66) Sebaliknya yang mereka saksikan adalah gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh-tubuh muda yang lentik meliuk-liuk seperti gelombang samudra, garang seperti luak, dan menyengat laksana lebah tanah. (LP: 238)
(67) Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena mereka sangat kompak, cepat, terencana, dan sistematis. (LP: 307)
Contoh (64) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa
simile dengan penanda linguistik kata seperti. Pada contoh (64) kata
berat dibandingkan dengan kata beruang. Berat sebagai terbanding
berkelas kata adjektiva sedangkan beruang sebagai pembanding
berkelas kata nomina khusus nomina fauna. Contoh (64)
menggambarkan bahasa Belanda yang dibunyikan dari
kerongkongan memiliki sifat berat sama dengan beruang yang
menderam-deram. Beruang memiliki vokalisasi, termasuk geraman,
merengek, mengaum, suara menyeruput dan kehaduhan yang
mengerikan. Atas kesamaan inilah sehingga bahasa Belanda
dianggap berat sama dengan beruang yang menderam-deram.
Adapun contoh (65) sampai dengan (67) masih
menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa simile dengan
penanda linguistik kata seperti. Berdasarkan contoh yang
ditampilkan, kata yang menduduki posisi terbanding diisi oleh kelas
152
kata adjektiva, yaitu licin, garang, dan basah sedangkan kata yang
menduduki posisi pembanding diisi oleh kelas kata nomina fauna,
yaitu kumbang jantan, luak, dan kucing.
Contoh (65) membandingkan secara eksplisit antara kata
licin dan kumbang jantan. Secara denotatif, licin berarti „tidak kasar,
halus‟ sedangkan kumbang adalah serangga yang besar dan hitam
berkilap warnanya. Pada contoh (65), licin sebagai kata yang
berkelas kata adjektiva dianggap mempunyai korelasi dengan
kumbang jantan. Kata sifat licin termaktub ke dalam karakter warna
kumbang jantan yang berkilap sehingga kedua kata terlihat
dibandingkan.
Selanjutnya, contoh (66) kata garang dibandingkan dengan
luak. Kata garang berarti „pemarah lagi bengis; galak; ganas‟
sedangkan luak adalah musang. Musang adalah salah satu jenis
binatang menyusui dengan karakter galak. Sifat galak dan liar yang
ada pada musang atau luak tersebut menjadikan dua kata yaitu
garang dan luak ini dianggap sama.
Contoh (67) membandingkan kata basah dan kucing. Kata
basah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring
bermakna „mengandung air atau barang cair‟. Berdasarkan makna
kata tersebut, keadaan tokoh aku yang dalam keadaan basah
dianggap sama dengan kucing kehujanan. Seekor kucing bila
153
terkena hujan, bulunya menjadi berantakan sehingga tampak tidak
rapi. Begitulah tokoh aku dideskripsikan pada contoh (67).
(3) Nomina Berkarakter Keras
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata
adjektiva dengan pembanding yang diisi oleh nomina berkarakter
keras dalam NTLP dapat dilihat pada contoh berikut ini.
(68) “Itulah kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti kawat! Aku marah besar!” (EDS: 15)
(69) Ayahku yang pendiam, tak pernah sekolah, puluhan tahun menjadi kuli tambang. Paru-paru disesaki gas-gas beracun, napasnya berat, tubuhnya keras seperti kayu. (EDS: 48)
(70) Aku menjadi kurus tapi keras berisi, hitam legam seperti aspal. (SP: 242)
Contoh (68) sampai dengan (70) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata seperti.
Berdasarkan contoh yang ditampilkan, kata yang menduduki posisi
terbanding diisi oleh kelas kata adjektiva yaitu keras dan hitam
sedangkan kata yang menduduki posisi pembanding diisi oleh kelas
kata nomina yang memiliki karakter dasar keras seperti kata kawat,
kayu dan aspal.
Contoh (68) menceritakan watak tokoh ibu yang dianggap
keras layaknya kawat. Penggunaan perbandingan ini berangkat dari
hubungan yaitu sebuah sifat yang menjadi bagian atau karakter dari
kata yang lain. Sifat keras menjadi karakter dari sebuah kawat yang
terbuat dari logam. Adapun contoh (69) menceritakan tubuh yang
keras seperti kayu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V
154
luring, kayu adalah pohon yang batangnya keras. Tubuh ayah Ikal
yang keras diasosiasikan sebagai kayu. Selanjutnya contoh (70)
menceritakan tokoh aku yang hitam legam seperti aspal. Kata hitam
pada contoh (70) ini berarti „warna dasar yang serupa dengan warna
arang‟ sedangkan aspal berarti „campuran hidrokarbon alam yang
amorf dan berwarna cokelat hitam‟. Ada hubungan yang bersifat
tidak langsung antara kata hitam dan aspal sehingga dianggap
bertalian. Untuk mengungkap warna hitam bisa digunakan kata
aspal karena aspal mengandung sifat atau berwarna hitam.
d) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Pronomina
Pronomina adalah kelas kata yang berfungsi untuk
menggantikan nomina. Berikut uraian pewujudan gaya bahasa simile
pada NTLP dan NTNLM berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata
pronomina.
(1) Pronomina Persona Pertama Jamak
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata
pronomina persona pertama jamak pada NTLP dapat dilihat pada
contoh berikut ini.
(71) Semua ini sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi. (LP: 38-39)
(72) Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang halus yang melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu.(LP: 85)
(73) Kami seperti anak-anak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus.(LP: 85)
155
(74) Bak sekeluarga lumba-lumba, kami beradu berenang sampai ke ujung Semenanjung. (MK: 81)
Penggunaan gaya bahasa simile ditunjukkan pada contoh
(71) sampai dengan (74). Contoh tersebut membandingkan secara
eksplisit kata yang berkelas kelas kata pronomina persona pertama
jamak, yaitu kami dengan frasa yang berkelas kata nomina fauna,
yaitu sekawanan tikus, kerang-kerang, dan anak-anak bebek.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, kata
kami berarti „yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak
termasuk yang diajak berbicara); yang menulis atas nama kelompok,
tidak termasuk pembaca‟. Kata kami pada contoh (71) merujuk
kepada para laskar pelangi (Ikal, Lintang, Mahar,dll) yang dianggap
sama dengan sekawanan tikus. Sekawanan tikus berarti
„sekumpulan binatang (tikus) yang berkawan‟. Pemilihan kata tikus
untuk menggambarkan tokoh kami yang dikisahkan pada contoh
(71), berhubungan dengan kondisi yang dihadapi atau dialami tokoh
tersebut. Kemiskinan yang melanda tokoh kami dalam contoh ini
sama halnya dengan kondisi yang dialami sekawanan tikus yang
paceklik di lumbung padi. Jadi, untuk menggambarkan kemiskinan
yang dihadapi tidak secara terang-terang diungkapkan, melainkan
dengan menggunakan gaya bahasa perbandingan tersebut.
Pada contoh (72) dan (73), kata kami juga merujuk kepada
para laskar pelangi dan secara berturut-turut dianggap sama dengan
kerang-kerang dan anak-anak bebek. Pemilihan kata kerang-kerang
156
untuk menggambarkan kebersaman para laskar pelangi yang sama
dengan kerang-kerang yaitu saling melekat satu sama lain meskipun
dihantam debur ombak. Begitupun dengan contoh (73). Tokoh
Lintang, Ikal, Mahar, dan lain-lain dianggap sama dengan anak-anak
bebek. Karakter mendasar dari bebek adalah selalu jalan bersama
mengikuti induknya. Demikian pilihan kata tersebut dianggap mampu
menggambarkan kebersamaan para laskar pelangi yang tak
terpisahkan baik susah maupun senang dengan induk bernama Bu
Mus.
Selanjutnya, pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan
pilihan kata yang berkelas kata pronomina persona pertama jamak
dalam NTNLM dapat dilihat pada contoh sebagai berikut:
(75) Bagai kawanan singa yang berburu mangsa di gurun Afrika, malam itu kami langsung beroperasi secara berkelompok, berkeliling dari asrama ke asrama. (NLM: 80)
(76) Setelah lelah bermain, kami tidak ubahnya seperti kerbau keluar dari kubangan. (NLM: 162)
(77) Kami bagai ribuan semut ribut mengelilingi sebutir gula mungil. (NLM: 183)
Contoh (75) sampai dengan (77) menunjukkan gaya bahasa
simile dengan penanda linguistik, yaitu kata bagai dan seperti. Ketiga
contoh tersebut menunjukkan perbandingan antara kata kami yang
berkelas kata pronomina persona pertama jamak dan kata kerbau,
frasa kawanan singa dan ribuan semut yang berkelas kelas kata
nomina khusus nomina fauna. Contoh (75) kawanan singa dianggap
sama dengan kami yang merujuk kepada para anggota sahibul
157
menara yang bertugas sebagai jasus (penjaga malam) pondok
Madani. Para sahibul menara dianggap seperti kawanan singa
karena mereka berkeliling asrama mengintai keamanan asrama
layaknya singa yang berburu mangsa di gurun Afrika.
Adapun pada contoh (76) kata kami diibaratkan kerbau.
Kami yang juga merujuk kepada para anggota sahibul menara ini
dianggap sama dengan kerbau keluar dari kubangan. Kerbau yang
baru saja keluar dari kubangan itu sangat kotor karena penuh
lumpur. Demikian hal tersebut disamakan dengan para sahibul
menara yang usai bermain. Contoh (77) menunjukkan perbandingan
antara kata kami dan frasa ribuan semut. Berkenaan dengan sifat
semut yang cenderung berkerumun pada makanan yang manis, para
sahibul menara yang berkumpul mendongak ke pesawat televisi
dianggap sama dengan ribuan semut yang mengelilingi sebutir gula
mungil. Gula mungil ini diibaratkan pesawat televisi.
(2) Pronomina Persona Pertama Tunggal
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata
pronomina persona pertama tunggal hanya ditemukan pada NTLP.
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata pronomina
persona pertama tunggal tersebut dapat dilihat pada contoh sebagai
berikut:
(78) Aku merasa seperti tupai yang sibuk menggendong pinangnya, kura-kura yang mengerut ke dalam tamengnya, atau siput yang sembunyi di balik cangkangnya. (EDS: 42)
158
(79) Di Sorbonne, setiap hari aku diracuni ilmu meski aku tak ubahnya anaknya burung puyuh yang tersuruk-suruk mengejar induk belibis. (EDS: 129)
Contoh (78) dan (79) menunjukkan adanya penggunaan
gaya bahasa simile dengan penanda linguistic, yaitu kata seperti dan
tak ubahnya. Penanda linguistik yang menunjukkan pilihan kata yang
berkelas kata pronomina persona pertama ialah kata aku. Kata aku
menduduki posisi terbanding sedangkan tupai, kura-kura, siput dan
anaknya burung puyuh menduduki posisi pembanding. Pada contoh
(78), tokoh aku (Ikal) dianggap sama dengan tupai, kura-kura, dan
siput. Perbandingan ini didasarkan pada kondisi yang sedang
dihadapi Ikal dalam cerita. Ikal pada contoh ini diceritakan sedang
dalam keadaan bosan sebab menjalani rutinitas yang begitu-begitu
saja seperti halnya tupai yang sibuk menggendong pinangnya. Pada
keadaan ini, tupai yang sibuk menggendong pinang, kura-kura yang
mengerut ke dalam tamengnya dan siput yang sembunyi di balik
cangkangnya adalah rutinitas yang dilakukan oleh binatang-binatang
tersebut secara terus menerus dan hal itulah yang diperbandingkan
dengan perasaan yang sedang dihadapi Ikal.
Selanjutnya, contoh (79) membandingkan aku dengan
bentuk anaknya burung puyuh. Contoh ini menceritakan proses
belajar yang dilalui Ikal di Sorbonne yang diasosiasikan dengan anak
burung puyuh yang meninggalkan tempat untuk mengejar induk
belibis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
159
belibis adalah burung (liar) yang rupanya seperti itik. Berdasarkan
perbandingan tersebut, contoh (79) yang mengisahkan sebuah
proses belajar yang sangat ketat dan keras yang dilalui Ikal di
Sorbonne dianggap sama dengan anak burung puyuh yang mengejar
induk belibis. Pekerjaan mengejar induk belibis adalah sebuah
pekerjaan yang membutuhkan perjuangan besar.
(3) Pronomina Persona Ketiga Tunggal
Di samping pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan
kelas kata pronomina persona pertama tunggal, pada NTLP juga
ditemukan contoh pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas
kata pronomina persona ketiga tunggal sebagai berikut:
(80) Lalu masih sempat ia menutupi kepalanya dengan sarung. Ia seperti anak ayam yang ingin bersembunyi di depan hidung elang. Pak Mustar menyentak sarungnya sambil berteriak. (SP: 112)
(81) Ia menoleh padaku tapi tubuhnya tak berbalik, hanya lehernya yang berputar dengan ukuran derajat yang tidak masuk akal. Hampir seratus delapan puluh derajat! Ia seperti burung hantu. (SP: 159)
(82) Ia amat berbeda dengan kami dalam semua hal. Ia seumpama bangau Hokaido yang anggun tersasar ke kandang itik. (LP: 358)
Contoh (80) sampai dengan (82) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata seperti
dan seumpama. Penanda linguistik yang menunjukkan pilihan kata
yang berkelas kata pronomina persona ketiga tunggal ialah kata ia.
Kata ia menduduki posisi terbanding sedangkan frasa anak ayam,
burung hantu dan bangao Hokaido menduduki posisi pembanding.
160
Pada contoh (80), ia yang dimaksud adalah Jimbro yang dianggap
sama dengan anak ayam. Perbandingan yang mendasari bentuk ia
(Jimbro) dengan frasa anak ayam yakni berkaitan dengan kondisi
atau situasi yang dihadapi tokoh dalam cerita. Pada keadaan
tersebut, Jimbro dianggap sama seperti anak ayam yang
bersembunyi di depan hidung elang. Jimbro diibaratkan sebagai anak
ayam karena Jimbro merupakan salah seorang murid dari sekolah
Muhammadiyah sedangkan elang yang dimaksud adalah Pak
Mustar. Ia dikatakan seperti anak ayam yang ingin bersembunyi di
depan hidung elang karena Jimbro tidak mengetahui keberadaan
Pak Mustar yang telah berada di depan mata.
Adapun contoh (81) kata ia merujuk kepada Jimbro. Jimbro
kembali diasosiasikan sebagai binatang yaitu burung hantu.
Perbandingan tersebut didasarkan pada hal atau perbuatan yang
dilakukan Jimbro. Jimbro yang memutar lehernya hampir seratus
delapan puluh derajat dianggap sama dengan burung hantu yang
juga memiliki kemampuan tersebut. Selanjutnya, pada contoh (82)
kata ia merujuk kepada Flo. Flo dianggap seumpama bangau
Hokaido. Bangau Hokaido atau disebut juga bangau Jepang atau
bangau mahkota merah adalah jenis bangau paling langka kedua.
Bangau ini menjadi simbol keberuntungan. Flo yang bernasib baik
jika dibandingkan dengan teman-teman kelasnya yang lain dianggap
seperti bangau Hokaido yang anggun dan tersasar ke kandang itik.
161
Selain pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas
kata pronomina persona ketiga tunggal dengan pembanding yang
diisi oleh kelas kata nomina fauna, juga ditemukan pembanding yang
diisi oleh kelas kata nomina nama diri. Berikut contoh pewujudan
gaya bahasa tersebut.
(83) Dalam mata ayah, jelas kubaca ia tak tega kepadaku. Posisinya serbasalah.Ia bak Ibrahim yang diperintah Tuhan menyembelih anaknya. (EDS: 23)
(84) Bu Mus memandangi Flo dari samping Mahar yang baru saja dimarahinya habis-habisan dan Flo yang berandal berdiri tegak di depan kelas seperti orang mengambil pose untuk peragaan kaus kaki Italia model terbaru. Meskipun seperti laki-laki tapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan, dan kulitnya indah luar biasa. Di kelas ini ia laksana Winona Ryder yang diutus UNICEF untuk membesarkan hati para penderita lepra di sebuah kampung kumuh di Sudan. (LP: 354)
Contoh (83) dan (84) menunjukkan adanya penggunaan
gaya bahasa simile dengan penanda linguistic, yaitu bak dan
laksana. Pada contoh (83), kata ia merujuk kepada ayah yang
diibaratkan sebagai Ibrahim. Perbandingan tersebut didasarkan pada
situasi bimbang yang sedang dihadapi ayah ketika hendak
menghukum Ikal. Kebimbangan yang hadapi ayah dianggap sama
dengan kebimbangan Ibrahim yang diperintah oleh Allah SWT untuk
menyembelih anaknya. Selanjutnya, contoh (84) membandingkan
kata ia yang merujuk kepada Flo dengan Winona Ryder. Winona
Ryder adalah seorang aktris Amerika Serikat unggulan Academy
Award dengan paras yang cantik serta kulit yang putih bersih. Atas
162
dasar kesamaan ciri fisik itulah sehingga tokoh ia (Flo) dianggap
sama dengan Winona Ryder.
(4) Pronomina Persona Ketiga Jamak
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata
pronomina persona ketiga jamak hanya ditemukan pada NTLP.
Pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan kelas kata pronomina
persona ketiga jamak tersebut dapat dilihat pada contoh berikut ini.
(85) Dalam sekejap jalan raya dipenuhi para kuli yang pulang sebentar. Lapar membuat mereka tampak seperti semut-semut hitam yang sarangnya terbakar. (LP: 52)
(86) Ada keindahan yang unik dalam interaksi masing-masing sifat para sahabatku. Tersembunyi daya tarik pada cara mereka mengartikan sekstan untuk mengukur diri sendiri,…Tak jarang mereka seperti kelelawar yang tersasar masuk ke kamar, menabrak-nabrak kaca ingi keluar dan frustasi.(LP: 84)
(87) Mereka juga seperti seekor parkit yang terkurung di dalam gua kebingungan dengan suaranya sendiri.(LP: 84)
Contoh (85) sampai dengan (87) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa simile dengan penanda linguistik seperti.
Mereka sebagai terbanding menduduki kelas kata pronominal
persona ketiga jamak sedangkan semut-semut hitam, kelelawar, dan
seekor parkit menduduki kelas kata nomina khusus nomina fauna.
Contoh (85), mereka yang merujuk kepada para kuli dianggap sama
dengan semut-semut hitam. Perbandingan tersebut berdasarkan
aktivitas semut-semut hitam yang sarangnya terbakar. Pada kondisi
tersebut, semut-semut akan berhamburang meninggalkan sarang.
163
Demikian hal tersebut dianggap memiliki kesamaan dengan para kuli
yang dalam keadaan lapar. Pada contoh (86) dan (87), kata mereka
sebagai terbanding merujuk kepada para sahabat Ikal (anggota
Laskar Pelangi) dan dianggap sama seperti kelelawar dan seekor
parkit.
Adapun contoh pewujudan gaya bahasa simile berdasarkan
kelas kata pronomina persona ketiga jamak dengan posisi
pembanding yang diisi oleh kelas kata nomina wilayah, dapat dilihat
sebagai berikut:
(88) …beberapa gelintir mahasiswa Jerman: Marcus Holdvessel, Christian Diedrich, dan yang paling istimewa, seorang wanita Bavaria nan semlohai, Katya Kristanaema…Mereka sangat tenang, quite, sepi, tentram, persis kota kecil Purbalingga, pukul sepuluh malam. (EDS: 98-99)
(89) Jarang ada suara bersumber dari kedua perempuan Netherland itu. Mereka seperti Purbalingga pada pukul dua belas, malam jumat Kliwon. (EDS: 101)
Penanda linguistik gaya bahasa simile pada contoh (88) dan
(89) yakni kata persis dan seperti. Pada contoh (88), kata mereka
sebagai terbanding merujuk kepada Katya, Marcus, dan Christian
dan dianggap sama dengan Purbalingga pada pukul sepuluh malam.
Pada saat itu, Purbalingga tampak sepi dan tentram sehingga
keadaan atau situasi demikian dianggap sama dengan tiga
mahasiswa jerman itu. Adapun contoh (89) menunjukkan
perbandingan antara mereka yang merujuk kepada dua mahasiswa
asal Netherlands yakni Saskia de Rooijs dan Marike Ritsema.
164
Keduanya dianggap sama dengan kota Purbalingga pukul dua belas,
artinya bahwa dua mahasiswa ini jauh lebih tenang dari pada
mahasiswa jerman sebelumnya yang dianggap sama dengan
Purbalingga pada pukul sepuluh malam.
2) Gaya Bahasa Personifikasi
Personifikasi adalah salah satu jenis gaya bahasa kiasan yang
meletakkan sifat-sifat insan kepada barang yang tidak bernyawa dan ide
yang abstrak. Dengan kata lain, personifikasi adalah pengumpamaan atau
pelambangan benda mati seolah-olah hidup seperti orang atau manusia.
Pewujudan gaya bahasa personifikasi dalam NTLP dan NTNLM dapat
dilihat pada uraian berikut:
a) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Nomina
Nomina atau kata benda adalah kata yang mengacu pada
manusia, binatang, benda, tumbuhan, dan konsep atau pengertian.
Berikut contoh pewujudan gaya bahasa personifikasi pada NTLP dan
NTNLM berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina.
(1) Nomina Aggota Tubuh
Pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas
kata nomina anggota tubuh pada NTLP hanya ditemukan pada
nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba transitif
berprefiks meng-. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut:
(90) Hatiku bersikeras tak ingin melihat, aku menunduk, tapi mata dan leherku rupanya telah bersekongkol melawan tuannya. (EDS: 178)
165
(91) Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku. (LP: 210)
(92) Berbeda seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A Ling yang bertahun-tahun menyihir pandanganku .(LP: 296)
Contoh (90) sampai dengan (92) tergolong ke dalam gaya
bahasa personifikasi karena memiliki unsur-unsur penginsanan
terhadap kelas kata nomina anggota tubuh. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, leher adalah bagian tubuh
(manusia atau binatang) yang menghubungkan kepala dengan tubuh
yang lain. Adapun mata, adalah indra untuk melihat sedangkan kuku-
kuku adalah zat tanduk tipis yang tumbuh melekat pada ujung jari
tengah atau kaki. Ketiga kata tersebut merupakan kata yang berkelas
kata nomina khusus anggota tubuh yang dianggap mampu melakukan
aktivitas seperti manusia dengan penanda verba transitif berprefiks
meng- , yaitu melawan, mencengkeram, dan menyihir. Melawan
adalah 1.menghadapi (berperang, bertinju, bergulat, dan sebagainya);
2. Menentang; menyalahi. Adapun mencengkeram adalah memegang
erat-erat dengan cakar (kuku), dan menyihir adalah menggunakan
sihir. Berdasarkan makna tersebut, verba transitif melawan yang
menjelaskan perbuatan nomina leher, mencengkeram yang
menjelaskan aktivitas mata, serta menyihir yang menjelaskan aktivitas
kuku-kuku merupakan bentuk-bentuk penggunaan gaya bahasa
personifikasi karena perbuatan melawan, mencengkeram, dan
menyihir seyogyanya hanya dilakukan oleh manusia (person).
166
Adapun pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan
kelas kata nomina anggota tubuh pada novel NTNLM, dapat dilihat
pada klasifikasi berikut:
(a) Nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba
berproses gabung (prefiksasi meng- + reduplikasi)
Pada NTNLM ditemukan gaya bahasa personifikasi yang
diwujudkan dengan nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi
dengan verba berproses gabung prefiksasi meng-. Contohnya dapat
dilihat berikut:
(93) …Kepala Sekolahku memberi selamat karena nilai ujianku termasuk sepuluh yang tertinggi di Kabupaten Agam. Tepuk tangan murid, orang tua dan guru riuh mengepung aula. Muka dan kupingku bersemu merah tapi jantungku melonjak-lonjak girang. (NLM: 5)
(94) Tidak sia-sia aku memaksakan diri dan berpura-pura bisa berbahasa Arab. Rasanya luar biasa dan kepalaku berdendang-dendang. (NLM: 136)
(95) Randai seperti biasa, berbicara seraya tangannya menari-nari di udara. (RTW: 186)
Contoh (93) sampai dengan (95) menunjukkan gaya bahasa
personifikasi dengan penanda verba berproses gabung, yaitu
melonjak-lonjak, berdendang-dendang, dan menari-nari yang
didahului oleh nomina anggota tubuh jantung, kepala, dan tangan.
Kelas kata nomina anggota tubuh jantung, kepala, dan tangan
dianggap mampu melakukan aktivitas seperti manusia dengan
penanda verba melonjak-lonjak, berdendang-dendang, dan menari-
nari.
167
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
melonjak-lonjak adalah melonjak berkali-kali karena kegirangan.
Melonjak itu sendiri adalah melonjat ke atas (dengan kedua belah
kaki) hendak mencapai sesuatu. Aktivitas meloncat dengan kaki ini,
hanya biasa dilakukan langsung oleh manusia. Berdendang-
dendang berarti bernyayi-nyanyi untuk bersenang-senang. Adapun
menari-nari adalah memainkan tari (menggerak-gerakkan badan
dan sebagainya dengan mengikuti irama dan sering diiringi dengan
bunyi-bunyian). Jadi, pada contoh-contoh yang disajikan terlihat
adanya penginsanan pada benda-benda tertentu.
(b) Nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba
transitif berprefiks meng-
Nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba
transitif berprefiks meng- pada NTNLM dapat dilihat pada contoh
berikut:
(96) Telunjuknya lurus teracung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat-kilat menikam kami satu persatu. (NLM: 40)
(97) Menyerupai sang juara tinju kelas berat dunia Mike Tyson- tapi denga ukuran yang lebih kecil. Geraknya sigap dan memburu. Matanya tidak lepas menusuk kami. (NLM: 65)
(98) Tahu-tahu, kakinya menghajar lutut dan tangannya menetak pergelangan tangan si hitam. (NLM: 248)
Contoh (96) sampai dengan (98) menunjukkan gaya bahasa
personifikasi. Penginsanan terhadap nomina anggota tubuh
tersebut dilakukan dengan verba transitif berprefiks meng-. Nomina
168
anggota tubuh tersebut dianggap sebagai subjek atau pelaku yang
seolah-olah mampu melakukan aktivitas seperti yang dilakukan
makhluk bernyawa manusia dengan penanda kelas kata verba
transitif yang berprefiks meng-, yaitu menikam, menusuk,
menghajar, dan menetak.
Makna kata menikam pada contoh (96) adalah „menusuk
dengan senjata tajam‟. Adapun menusuk adalah „mencocok
dengan barang yang runcing; mencoblos, menghajar adalah
memukuli dan sebagainya supaya jera‟. Selanjutnya, menetak
berarti „memotong dan sebagainya dengan barang yang tajam yang
dipukulkan keras-keras; membacok‟. Berdasarkan makna verba-
verba berprefiks meng- tersebut, dapat dikatakan bahwa aktivitas
menikam, menusuk, menghajar, dan menetak pada umumnya
hanya dapat dilakukan oleh makhluk bernyawa, yaitu manusia
bukan dapat dilakukan oleh mata, kaki, dan tangan yang semuanya
merupakan bagian dari tubuh manusia.
(c) Nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba
intransitif berprefiks ber-
Gaya bahasa personifikasi pada NTNLM juga diwujudkan
melalui nomina anggota tubuh. Nomina anggota tersebut
berpersonifikasi dengan verba intransitif berprefiks ber-. Berikut
contoh gaya bahasa personifikasi tersebut.
(99) Aku dan Ayah menarik napas lega. Kami masih punya waktu untuk mendaftar sesuai waktu, walau
169
perjalanan bus smpat tertahan. Degup jantungku berlomba. (NLM: 28)
(100) “Rusdi, kayaknya kita harus bersyukur dengan apa yang kita terima sekarang,” kataku sok bijak, mengumbar kata-kata penghibur. Hatiku berontak tidak sepakat dengan lidahku. (RTW: 293)
Dari segi makna, berlomba berarti „beradu kecakapan
(kemampuan dan sebagainya)‟. Contoh (99) menunjukkan bahwa
jantung seolah-olah melakukan aktivitas berlomba layaknya
makhluk hidup seperti manusia. Sebuah perlombaan tentu hanya
diperuntukkan kepada apa saja yang memiliki kecakapan
(kemampuan). Telah menjadi pengetahuan bersama bahwa
kecapakan (kemampuan) itu hanya dimiliki oleh makhluk hidup
seperti manusia. Jantung hanya menjadi bagian dari anggota tubuh
manusia. Adapun contoh (100) menunjukkan bahwa hati seolah-
olah melakukan aktivitas berontak layaknya manusia. Adapun
verba intransitif berontak bermakna „meronta-ronta hendak
melepaskan diri‟. Berdasarkan maknanya, verba intransitif berontak
hanya dapat dilakukan oleh manusia tetapi pada contoh (100)
aktivitas berontak seakan-akan dilakukan oleh hati.
(d) Nomina anggota tubuh yang berpersonifikasi dengan verba
intransitif berprefiks meng-
Pada penelitian ini juga dijumpai contoh gaya bahasa
personifikasi yang diwujudkan melalui nomina anggota tubuh yang
berpersonifikasi dengan verba intransitif berprefiks meng-. Contoh
gaya bahasa personifikasi tersebut, yaitu:
170
(101) Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Jariku menari ligat di keyboard. (NLM: 3)
(102) Mulutnya berkomat-kamit sendiri dan matanya berbinar menyapu kesegala arah. (RTW: 255)
Contoh (101) dan (102) menunjukkan bahwa gaya bahasa
personifikasi dengan penanda verba intransitif berprefiks meng-
yaitu menari dan menyapu yang dilekatkan atau mengikuti nomina
jari dan mata. Kata jari dan mata menduduki kelas kata nomina
khusus nomina anggota tubuh dan dianggap mampu melakukan
aktivitas seperti manusia dengan penanda verba menari dan
menyapu. Makna verba intransitif menari adalah „memainkan tari
(menggerak-gerakkan badan dan sebagainya dengan mengikuti
irama dan biasanya diiringi oleh bunyi-bunyian)‟. Adapun menyapu
bermakna „membersihkan dengan sapu‟. Berdasarkan maknanya,
aktivitas menari dan menyapu seyogyanya hanya dapat dilakukan
oleh manusia. Berdasarkan hal tersebut, kedua contoh ini dianggap
menggunakan gaya bahasa personifikasi.
(2) Nomina Benda Alam
Pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas kata
nomina benda alam juga ditemukan pada NTLP dan NTNLM .
Pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas kata nomina
benda alam pada NTLP akan diuraikan terlebih dahulu, sebagai berikut:
(103) “Adalah ekor puting beliung yang sepanjang hari ini menyapu Selat Gaspar…” (EDS: 8)
(104) Embusan uap es dari Laut Utara menyapu Semenanjung Zeebruggae di perbatasan Belanda, melesat bebas bersiu-siut…(EDS: 63)
171
(105) …maka badai laut akan menyapu pulau tersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir lain. (LP: 184) Contoh (103) sampai dengan (105) menunjukkan penggunaan
gaya bahasa personifikasi yang diwujudkan dengan nomina benda
alam yang berpersonifikasi dengan verba intransitif berprefiks meng-.
Verba intransitif menyapu menjelaskan perbuatan nomina benda alam,
yaitu puting beliung, uap es, dan badai laut. Frasa puting beliung, uap
es, dan badai laut dianggap seolah-olah mampu melakukan aktivitas
seperti manusia dengan perbuatan menyapu. Berdasarkan contoh
yang diberikan, kata menyapu mengandung makna „membersihkan
dengan sapu‟. Adapun puting beliung adalah „udara yang bergerak
dengan cepat dan bertekanan tinggi‟ dan uap es adalah „gas yang
terbentuk dari cairan dalam hal ini (es) apabila dipanaskan; bentuk gas
dari es. Adapun badai adalah „angin kencang yang menyertai cuaca
buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan sekitar 64-72 knot‟.
Ketiga nomina benda alam tersebut merupakan nomina tidak
bernyawa yang digunakan pada contoh (103) sampai dengan contoh
(105). Ketiga nomina benda alam tersebut seolah-olah menjadi subjek
atau pelaku yang melakukan aktivitas atau perbuatan menyapu
layaknya manusia. Atas perlakuan tersebut, contoh-contoh itu
dianggap bergaya bahasa personifikasi.
Selanjutnya, pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan
kelas kata nomina benda alam pada NTNLM , dapat dilihat pada
contoh berikut:
172
(106) …merapi yang kepundan aktifnya mengeluarkan asap dan Singgalang yang puncaknya dipeluk awan. (NLM: 15)
(107) Helaan napasnya seperti hanyut dimakan alunan ombak Danau Maninjau. (RTW: 95)
(108) Di bawah tampak hamparan gurun pasir berwarna kuning kemerahan disapu seulas sinar matahari pagi. (RTW: 237)
(109) Begitu terasa ada yang mendesak kerongkongan, aku hadapkan muka ke laut lepas dan aku relakan isi perut ditelan laut. (NLM: 23)
Gaya bahasa personifikasi berdasarkan nomina benda alam
pada NTNLM diwujudkan melalui bentuk verba pasif di-. Contoh (106)
sampai dengan (109) menunjukkan bahwa nomina benda alam yaitu
awan, ombak, sinar matahari dan laut menduduki fungsi subjek
dengan predikat berupa verba pasif di- seperti dipeluk, dimakan,
disapu, dan ditelan. Keempat aktivitas tersebut seyogyanya hanya
dapat dilakukan oleh manusia dengan bentuk aktif memeluk,
memakan, menyapu, dan menelan. Namun, contoh yang ada
menunjukkan bahwa aktivitas tersebut dilakukan oleh nomina benda
alam. Jadi, berdasarkan contoh-contoh yang ditunjukkan terlihat
adanya penginsanan pada nomina tidak bernyawa.
(3) Nomina Benda Langit
Di samping nomina anggota tubuh dan nomina benda alam,
gaya bahasa personifikasi pada NTLP dan NTNLM juga diwujudkan
melalui nomina benda benda langit. Contoh gaya bahasa personifikasi
pada NTLP dapat dilihat berikut:
(110) Pancaran matahari menikam lubang-lubang dinding papan seperti batangan baja stainless,…(SP: 4)
173
(111) …kurasakan seakan langit mengutukku dan bangunan sekolah rubuh menimpaku. (SP: 152)
(112) Capo yang terkejut ketika membuka peti mengutuki kami: ikan duyung! Bertahun lewat, langit yang menyimpan kutukan itu, hari ini mengguyurkannya ke sekujur tubuh kami. (EDS: 187)
Contoh (110) sampai dengan (112) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa personifikasi yang diwujudkan melalui
nomina benda langit yang berpersonifikasi dengan verba transitif
berprefiks meng. Sebenarnya, matahari dan langit tergolong nomina
yang tidak bernyawa, akan tetapi contoh (110), (111), dan (112)
menunjukkan adanya gaya bahasa personifikasi yang
menggambarkan benda-benda langit seolah-olah mampu melakukan
aktivitas seperti manusia dengan penanda verba transitif berprefiks
meng-, yaitu menikam, mengutuk, dan menyimpan.
Makna verba aktif transitif menikam adalah „menusuk
dengan senjata tajam‟ sedangkan mengutuk adalah „mengatakan
(mengenakan) kutuk kepada; menyumpahi; melaknati. Adapun
menyimpan bermakna „mengandung atau ada sesuatu di dalamnya‟.
Berdasarkan makna kata menikam, mengutuk, dan menyimpan yang
diuraiakn tersebut, fungsi predikat yang diisi oleh verba-verba transitif
itu seyogyanya menjelaskan fungsi subjek yang menduduki kelas kata
nomina bernyawa. Namun, contoh (110) sampai dengan contoh (112)
menunjukkan fungsi subjek yang diisi oleh kelas kata nomina benda
langit (nomina tidak bernyawa). Berdasarkan hal tersebut, pada
contoh-contoh yang ditunjukkan terlihat adanya penginsanan terhadap
174
benda-benda langit sehingga dikategorikan mengandung gaya bahasa
personifikasi.
Adapun pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan
kelas kata nomina benda langit pada NTNLM, dapat dilihat pada
contoh berikut.
(113) Aku baca surat Pak Etek Gindo dengan penerangan sinar matahari yang menyelinap dari sela-sela dinding kayu.(NLM: 12)
(114) Sepotong rembulan pucat mengintip dari jendela. (NLM: 57)
(115) Di luar pesawat, matahari pagi sudah mengintip di balik horizon. (RTW: 255)
Gaya bahasa personifikasi berdasarkan nomina benda langit
pada NTNLM diwujudkan melalui verba intransitif berprefiks meng-.
Contoh (113) sampai dengan (115) menunjukkan penggunaan gaya
bahasa personifikasi dengan penanda verba intransitif, yaitu
menyelinap dan mengintip. Kedua verba tersebut menjelaskan
nomina benda alam matahari dan rembulan. Menyelinap di sini
maksdunya adalah „menyuruk atau menyusup secara cepat-cepat‟.
Adapun mengintip adalah „melihat melalui lubang kecil, dari celah-
celah, semak-semak, dan sebagainya sambil bersembunyi‟. Adapun
matahari adalah „benda angkasa, titik pusat tata surya berupa bola
berisi gas yang mendatangkan terang dan panas ke bumi pada siang
hari‟ sedangkan rembulan adalah „benda langit yang mengitari bumi,
bersinar pada malam hari karena pantulan sinar matahari‟.
Berdasarkan makna nomina benda langit dan verba yang
175
mengikutinya, dapat dikatakan bahwa ketiga contoh tersebut
menunjukkan penginsanan atau pemanusiaan pada benda-benda
langit yang dianggap seolah-olah dapat melakukan aktivitas seperti
manusia.
(4) Nomina Fenomena Alam
Pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas
kata nomina fenomena alam hanya ditemukan pada NTNLM .
Beberapa contohnya dapat dilihat sebagai berikut:
(116) Angin bersiut-siutan melontarkan tempias air laut yang terasa asin di mulut. (NLM: 22)
(117) Angin segar dari jendela yang terbuka dan meniup-niup muka dan rambutku. (NLM: 28)
(118) Tidak lama kemudian guruh kembali bersahut-sahutan mengepung langit. (NLM: 276)
Gaya bahasa personifikasi berdasarkan nomina fenomena
alam pada NTNLM diwujudkan melalui verba reduplikasi dengan
kombinasi afiks. Contoh (116) sampai dengan (118) menunjukkan
adanya penggunaan gaya bahasa personifikasi yang ditandai oleh
adanya penginsanan terhadap nomina tidak bernyawa melalui verba
berproses gabung, yaitu bersiut-siutan, meniup-niup, dan bersahut-
sahutan. Reduplikasi bersiut-siutan, meniup-niup, dan bersahut-
sahutan menunjukkan pengulangan proses seperti yang disebutkan
pada kata dasar. Makna reduplikasi bersiut-siutan adalah „saling
bersiut secara nyaring atau saling berbunyi seperti peluit nyaring‟.
Adapun meniup-niup bermakna „berkali-kali meniup‟. Selanjutnya,
makna bersahut-sahutan adalah „saling menyahut-nyahut‟.
176
Kemudian, nomina fenomena alam angin adalah „gerakan
udara dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan
rendah‟ sedangkan guruh adalah „suara menggelegar di udara yang
disebabkan oleh halilintar‟. Berdasarkan makna dari kedua kata
tersebut, dapat dikatakan bahwa angin dan guruh tergolong ke dalam
kelas kata nomina tidak bernyawa. Aktivitas bersiut-siutan, meniup-
niup, dan bersahut-sahutan pada umumnya hanya dapat dilakukan
oleh manusia sehingga contoh-contoh tersebut dikatakan
menggunakan gaya bahasa personifikasi.
(5) Nomina tidak Konkret
Pewujudan gaya bahasa personifikasi berdasarkan kelas
kata nomina tidak konkret hanya ditemukan pada NTLP. Beberapa
contohnya dapat dilihat sebagai berikut:
(119) …lebih dari itu ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan yang telah lama mengikat mereka hingga sulit bernafas.(LP: 95)
(120) Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan kegelapan yang mengepung mereka. (LP: 113)
(121) Kesepian tiba-tiba menusukku dari segala penjuru. (MK: 84)
Gaya bahasa personifikasi berdasarkan nomina tidak
konkret pada NTLP diwujudkan melalui verba transitif berprefiks
meng-. Adapun nomina tidak konkret seperti kemiskinan, kegelapan,
dan kesepian dianggap mampu melakukan aktivitas seperti manusia
dengan penanda verba transitif, yaitu mengikat, mengepung, dan
menusuk. Berdasarkan makna denotatifnya, kata mengikat berarti
177
„menyatukan sesuatu dengan mengebat dan mengeratkan dengan
menggunakan tali‟. Kata mengepung bermakna „mengelilingi sesuatu
sehingga yang dikelilingi atau yang ada di dalamnya tidak dapat
meloloskan diri‟. Adapun menusuk berarti „mencocok dengan barang
yang runcing; mencoblos‟.
Berdasarkan makna dari ketiga kata yang tergolong nomina
tidak konkret tersebut, dapat dikatakan bahwa contoh (119), (120),
dan (121) menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa
personifikasi. Kata kemiskinan, kegelapan, dan kesepian termasuk
nomina tidak bernyawa yang wujudnya tidak konkret. Berdasarkan hal
tersebut, tentu ketiga kata tersebut tidak memiliki daya atau
kemampuan untuk melakukan perbuatan layaknya manusia sehingga
dalam penggunaannya dikategorikan bergaya bahasa personifikasi.
3) Gaya Bahasa Metafora
Metafora adalah gaya bahasa yang berupa perbandingan
analogis dengan penghilangan kata seperti, layaknya, bagaikan, dan lain-
lain. Pewujudan gaya bahasa metafora dalam NTLP dan NTNLM dapat
dilihat pada contoh-contoh berikut:
a) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Nomina
Nomina atau kata benda adalah kata yang mengacu pada
manusia, binatang, benda, tumbuhan, dan konsep atau pengertian.
Berikut contoh pewujudan gaya bahasa personifikasi pada NTLP dan
NTNLM berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina.
178
(1) Nomina Anggota Tubuh
Pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata
yang berkelas kata nomina anggota tubuh hanya ditemukan dalam
NTLP. Berikut ini contohnya:
(122) Guru mana pun yang melihat wajahnya akan tertekan
jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan
ilmu ke dalam kepala aluminiumnya itu. (LP: 68)
(123) Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya
kepala kalengnya cepat juga menangkap ilmu. (LP: 69)
(124) Alisnya panjang tebal, bulu matanya lentik, hidung
jambu airnya telah disulap, dan pandangan matanya
lendut: malu tapi menggoda, syahdu tapi bergairah, tak
acuh tapi minta dilihat. (EDS: 185)
Contoh (122) sampai dengan (124) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa metafora yang membandingkan dua hal
tanpa menggunakan penanda linguistik perbandingan. Contoh (122)
membandingkan kata kepala dengan aluminium. Kepala dianalogikan
dengan aluminium sehingga dikatakan kepala aluminiumnya. Kata
kepala di sini bermakna „bagian tubuh yang di atas leher tempat
tumbuhnya rambut‟ sedangkan aluminium bermakna „logam putih
perak, ringan, dan mulur‟. Penggunaan metafora tersebut bertujuan
menggambarkan sosok A Kiong yang memiliki karakter cuek dan tidak
peduli. Baginya dunia adalah hitam putih dan hidup adalah sekeping
jembatan papan lurus yang harus dititi sehingga ia tidak memedulikan
apapun yang ada di sekitranya. A Kiong dalam cerita ini tidak banyak
memikirkan hal-hal di sekelilingnya. Semuanya dijalani apa adanya.
179
Adapun contoh (123), kata kepala dianalogikan dengan
kaleng. Kata kaleng dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V
luring, kaleng bermakna „besi tipis berlapis timah yang berbentuk
bundar atau kotak‟. Analogi ini ditujukan kepada sosok A Kiong yang
memiliki penampilan tidak meyakinkan untuk dikategorikan sebagai
orang pintar. Metafora kepala kaleng yang ditujukan kepada kepala A
Kiong sungguh tidak dapat dinyana sebab dengan cepat dapat
menangkap ilmu. Justru teman yang berpenampilan layaknya orang
pintar ternyata lemot menangkap ilmu.
Selanjutnya, contoh (124) metafora hidung jambu air
ditujukan kepada hidung tokoh Arai. Secara semantik hidung adalah
bagian anggota tubuh yang berfungsi sebagai alat pencium. Adapun
jambu air bermakna „tumbuhan suku jambu-jambuan yang bentuknya
seperti lonceng atau gasing dengan panjang kira-kira sekitar 3 sampai
5 cm‟. Contoh (124) menganalogikan hidung Arai yang besar dan
tidak mancung layaknya jambu air.
(2) Nomina Benda Alam
Selain kelas kata nomina anggota tubuh, pewujudan gaya
bahasa metafora juga ditemukan pada kelas kata nomina benda
alam. Pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata
yang berkelas kata nomina khusus nomina alam dalam NTLP dapat
dilihat sebagai berikut:
(125) Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah milik PN
(Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang
180
paling berpengaruh di Belitong, bahkan sebuah
hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut
nadi pulau kecil itu. (LP: 36)
(126) Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari
riak-riak gelombang laut dan membentuk semacam
fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang
menuntun para nahkoda. (LP: 37)
(127) Karena sesungguhnya setiap butir pasir itu adalah milik
ulayatnya, setiap bongkah kuarsa, topas, dan galena itu
adalah harkat dirinya sebagai orang Melayu asli, tetapi
semuanya mereka muat sendiri ke atas tongkang untuk
mengendutkan perut para cukong di Jakarta atau
pejabat yang kongkalikong. (SP: 68)
Gaya bahasa metafora berdasarkan kelas kata nomina
benda alam tampak pada contoh (125) sampai dengan (127). Kata
timah, cahaya, kuarsa, topas, dan galena menduduki kelas kata
nomina khusus nomina benda alam. Contoh (125) membandingkan
antara kata timah dan frasa denyut nadi. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) V luring, timah adalah logam tidak keras, digunakan
sebagai campuran untuk kertas bungkus, perkakas dapur, bahan
solder, dan sebagainya sedangkan denyut nadi adalah detak nadi
yang dapat dirasakan dengan meraba pergelangan tangan. Contoh
tersebut menunjukkan betapa timah itu memiliki peranan penting bagi
kehidupan masyarakat Belitong. Tuhan memberkahi Belitong dengan
timah untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau Belitong. Timah
dianggap sebagai denyut nadi pulau kecil tersebut.
Pada contoh (126), kata cahaya dibandingkan dengan kata
citra. Cahaya di sini maksudnya adalah sinar atau terang (dari
181
sesuatu yang bersinar seperti matahari, bulan, lampu) yang
memungkinkan mata menangkap bayangan benda-benda di
sekitarnya. Adapun citra adalah rupa, gambar, atau gambaran.
Contoh tersebut menjelaskan pantulan cahaya dari biji-biji timah dan
kuarsa itu sebagai gambaran yang lebih berkilau dari riak-riak
(ombak-ombak kecil) gelombang laut .
Adapun contoh (127) menunjukkan bahwa kata kuarsa,
topas, dan galena itu sebagai harkat. Kata harkat pada contoh (127)
bermakna „derajat, kemuliaan atau harga diri seseorang‟. Jadi, setiap
bongkahan-bongkahan tersebut dianalogikan sebagai sebuah taraf
atau mutu dari orang Melayu asli. Dikatakan demikian karena Belitong
adalah pulau yang dianugerahi timah sehingga kualitas hidup
masyarakatnya sangat ditentukan oleh benda-benda alam tersebut.
(3) Nomina Benda Langit
Gaya bahasa metafora yang diwujudkan dengan nomina
benda langit juga hanya ditemukan dalam NTLP. Contoh pewujudan
gaya bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
(128) Mendebarkan! Langit adalah kitab yang terbentang, kata Weh. Laki-laki uzur ini memiliki indra keenam untuk membagi lapisan langit menjadi halaman-halaman ilmu. (EDS: 9)
(129) Matahari adalah tukang tenun. Jika bangun subuh, selempang merah membujur di langit timur menjelmakan atap-atap bangunan sepanjang L‟Avenue de la Baurdonnais menjadi sayap-sayap burung starling yang mengibas sisa es dibibir talang, di rongga-rongga pancuran dan topi-topi ceropong asap. (EDS: 145)
182
(130) Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. (LP: 160)
Gaya bahasa metafora juga ditunjukkan pada contoh (128)
sampai dengan (130). Metafora tersebut diwujudkan melalui kelas
kata nomina khusus benda langit seperti langit, matahari, dan pelangi.
Pada contoh (128), secara denotatif kata langit bermakna „ruang luas
yang terbentang di atas bumi, tempat beradanya bulan, bintang,
matahari dan planet lainnya‟. Langit dianalogikan sebagai kitab yang
terbentang. Kitab itu sendiri adalah buku; wahyu Tuhan yang
dibukukan; kitab suci. Pada contoh (128) tersebut, luasnya langit
dianggap sama dengan kitab yang terbentang.
Pada contoh (129), kata matahari dibandingkan dengan
frasa tukang tenun. Matahari adalah benda angkasa, titik pusat tata
surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas
pada bumi pada siang hari. Sementara tukang tenun berarti „orang
yang mempunyai kepandaian dalam suatu pekerjaan tangan (dalam
hal ini menenun)‟. Matahari dianalogikan layaknya manusia yang
mampu menenun dan sedang menenun selempang merah (yang
dalam hal ini cahaya atau sinar) yang membujur di langit timur.
Selanjutnya, contoh (130) menunjukkan perbandingan
antara kata pelangi dan frasa lukisan alam. Pelangi adalah lengkung
spektrum warna di langit yang tampak karena pembiasan sinar
matahari oleh titik-titik hujan atau embun. Pelangi dianggap sebagai
183
lukisan alam atau hasil melukis atau gambaran yang indah yang
dihasilkan oleh fenomena alam. Pelangi dianggap sebagai sketsa
Tuhan yang mengandung daya tarik yang mencengangkan.
(4) Nomina Abstrak
Nomina abstrak juga menjadi salah satu kelas kata
pewujudan gaya bahasa metafora. Gaya bahasa metafora yang
diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata nomina abstrak
hanya ditemukan dalam novel tetralog Laskar Pelangi . Contohnya
dapat dilihat sebagai berikut:
(131) “Cita-cita adalah doa, Dan,“ begitulah nasihat bijak dari Sahara. (LP: 343)
(132) Aku masih seekor pungguk buta dan mimpi-mimpi itu masih rembulan, namun sebenderang rembulan dini hari ini, mimpi-mimpi itu masih bercahaya dalam dadaku. (SP: 268-269)
Kata cita-cita dan mimpi-mimpi pada contoh (131) dan (132)
termasuk nomina abstrak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) V luring, cita-cita adalah keinginan (kehendak) yang selalu ada
di dalam pikiran. Adapun mimpi-mimpi adalah segala sesuatu yang
terlihat atau dialami pada saat tidur. Contoh (131) menunjukkan
perbandingan antara kata cita-cita dan doa. Kata doa juga merupakan
nomina abstrak yang memiliki makna permohonan (harapan,
permintaan, pujian) kepada Tuhan dengan maksud untuk dikabulkan.
Pada contoh tersebut, tokoh Sahara menyatakan perbandingan
antara cita-cita dan doa. Adapun contoh (132) perbandingan terjadi
antara kata mimpi-mimpi dan rembulan. Kata rembulan berarti „benda
184
langit yang mengitari bumi, bersinar pada alam hari karena pantulan
sinar matahari‟. Rembulan ini dibandingkan langsung dengan kata
mimpi-mimpi. Contoh (132) ini menunjukkan sosok aku (Ikal) yang
tampak merendahkan dirinya sendiri. Namun, dibalik itu semua masih
ada harapan besar dalam dirinya untuk mencapai mimpi-mimpi.
Semangat diri Ikal masih bersinar bak rembulan.
(5) Nomina Nama Diri
Pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan kelas kata
nomina nama diri ditemukan dalam NTLP dan NTNLM. Contoh
pewujudan gaya bahasa metafora dalam NTLP dapat dilihat sebagai
berikut:
(133) Ibu Muslimah yang beberapa menit yang lalu sembab,
gelisah, dan coreng moreng kini menjelma menjadi
sekuntum crinum gigantium. (LP: 9)
(134) Lintang, bulan purnama di atas Dermaga Olivir, indah
sekali! … (LP: 107)
(135) Lintang yang miskin duafa adalah mutiara, galena,
kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas
kami. (LP: 109)
Contoh (133) sampai dengan (135) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa metafora yang diwujudkan melalui kelas
kata nomina khusus nomina nama diri. Contoh (133) membandingkan
antara nomina nama diri Ibu Muslimah dan frasa sekuntum crinum
gigantium. Crinum gigantium adalah salah satu jenis bunga crinum
yang mengeluarkan aroma seperti aroma vanili. Keharuman yang
dikeluarkan Crinum gigantium sama halnya dengan segala bentuk
185
ketulusan dan kebaikan yang diberikan oleh Ibu Muslimah kepada para
muridnya di sekolah Muhammadiyah.
Adapun contoh (134) Lintang dimetaforakan sebagai bulan
purnama. Bulan Purnama adalah keadaan bulan pada saat berada di
arah yang bertentangan dengan matahari (tanggal 14 dan 15 bulan
Hijriah) sehingga bagian yang kena sinar dapat terlihat sepenuhnya;
bulan penuh. Berdasarkan hal tersebut, kemampuan intelektual
Lintang yang berada di atas rata-rata anak seusianya menjadi alasan
mengapa Lintang dianggap sama dengan bulan purnama yang
sinarnya terlihat sempurna. Lintang bersinar di tengah-tengah kondisi
sekolah Muhammadiyah melalui pretasi yang diraihnya.
Selanjutnya, contoh (135) Lintang dibandingkan dengan
mutiara, galena, kuarsa, dan topas. Secara denotatif kata mutiara
bermakna „sejenis kerang laut yang salah satu organ tubuhnya
dijadikan sebagai perhiasan yang bernilai tinggi‟. Perbandingan
tersebut didasarkan pada keberhargaan Lintang di kelas sekolah
Muhammadiyah yang dianggap sama dengan mutiara.
Adapun pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan
pilihan kata yang berkelas kata nomina nama diri dalam NTNLM
dapat dilihat sebagai berikut:
(136) Ayahnya atau kakekku yang aku panggil Buya Sutan Mansur adalah orang alim yang berguru langsung kepada Inyiak Canduang atau Syekh Sulaiman Ar-Rasuly. (NLM: 7)
(137) Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri. (NLM: 8)
186
(138) Kiai Rais adalah sosok yang bisa menjelma menjadi apa saja. Setiap Jumat sore, di depan ribuan muridnya, sambil mengelus-elus jenggotnya yang rapi, dia dengan telaten membimbing kami menafsirkan ayat –ayat Al-Quran de ngan cara yang sangat memikat. Pada kesempatan ini dia memakai pakaian jubah putih panjang, kopiah haji dan sorban tersampir di bahu, l a.yaknya seorang syaikh pengajar di Masjid Nabawi.
(NLM: 150)
Gaya bahasa metafora juga ditunjukkan pada contoh (136)
sampai dengan (138). Metafora tersebut diwujudkan melalui kelas
kata nomina nama diri seperti Buya Sutan Mansur, Habibie, dan Kiai
Rais. Pada contoh (136) nomina nama diri Buya Sutan Mansur yang
dimetaforakan sebagai orang alim. Contoh (137), kata Habibie
dianggap seperti profesi. Metafora tersebut didasarkan pada prestasi
dan kecerdasan yang dimiliki oleh bapak Habibie. Pada contoh (137)
tersebut, tokoh Alif menganggap Habibie sebagai sebuah profesi
tersendiri dan Alif ingin berprofesi seperti bapak Habibie, yaitu kuliah
di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Adapun contoh
(138), Kiai Rais dimetaforakan sebagai seorang syaikh pengajar di
Masjid Nabawi. Hal tersebut berdasarkan pada ciri berpakaian yang
ditunjukkan oleh Kiai Rais serta ketelatennya dalam membimbing
dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran de ngan cara yang sangat
memikat.
187
(6) Nomina Khas Jenis Kelamin
Gaya bahasa metafora dalam NTLP diwujudkan dengan
nomina khas jenis kelamin. Contoh pewujudan gaya bahasa
metafora tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
(139) Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah Lintang,
pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh
kebanggaan pada anaknya, matanya yang kuning
keruh berkaca-kaca. (LP: 371)
(140) Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu
menduduki peringkat tiga. Aku sering cemburu karena
aku kebanjiran salam dari sepupu-sepupuku untuk
disampaikan pada laki-laki muda flamboyan ini. (LP:
75)
(141) Tanpa banyak cincong, Bang Zaitu membantuku
mengangkat tas. Aku terpana. Bagaimana pria
flamboyan ini bisa menjadi seperti ini? Berakhir
sebagai supir bus kampung?. (MK: 60)
Perbandingan ditunjukkan pada contoh (139) sampai
dengan (141). Gaya bahasa metafora diwujudkan melalui kelas kata
nomina khas jenis kelamin seperti pria dan laki-laki. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, laki-laki adalah orang atau
manusia mempunyai zakar, kalau dewasa mempunyai jakun dan
adakalanya berkumis, adapun pria adalah laki-laki dewasa. Contoh
(139) menunjukkan perbandingan antara pria (yang merujuk kepada
ayah Lintang) dan cemara angin. Cemara angin adalah salah satu
jenis cemara (Casuarina eqnisetifolia) yang penampakannya sangat
seram, tinggi, meranggas, sekeras batu. Metafora pria cemara angin
merupakan bentuk penganalogian terhadap ayah Lintang yang
188
memiliki karakter sama dengan pohon cemara angin. Adapun contoh
(140), laki-laki muda flamboyan merujuk kepada Trapani dan pada
contoh (141), pria flamboyan merujuk kepada Bang Zaitu.
Flamboyan maksudnya di sini adalah pohon yang tingginya hingga
28 m, kayu terasnya keras dan berat, digunakan sebagai tiang dan
balok lantai, bunganya indah berwarna jingga hingga kemerah-
merahan. Perbandingan tersebut berdasarkan pada karakter fisik
yang dimiliki oleh Bang Zaitu dan Trapani yang layaknya flamboyan.
(7) Nomina Tempat
Dalam NTLP juga ditemukan gaya bahasa metafora yang
diwujudkan dengan nomina tempat. Berikut contoh yang
menunjukkan penggunaan gaya bahasa tersebut:
(142) Akan menerangi nebula yang melingkupi sekolah miskin ini sebab ia akan berkembang menjadi manusia paling genius yang pernah kujumpai seumur hidup. (LP: 15)
(143) Kemudian muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah. (LP: 23)
(144) Ada keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak kan kutukar dengan seribu kemewahan sekolah lain. (LP:25)
Gaya bahasa metafora pada contoh (142) sampai dengan
(144) diwujudkan melalui kelas kata nomina khusus nomina tempat.
Secara denotatif, kata sekolah bermakna „bangunan atau lembaga
untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi
pelajaran‟. Contoh (142) sampai dengan (144) menunjukkan
189
perbandingan secara langsung antara kata sekolah dan miskin serta
kandang dan melarat. Penggunaan kata miskin, kandang, dan
melarat yang mengikuti nomina tempat sekolah tersebut
menunjukkan sebuah analogi atau penggambaran terhadap keadaan
sekolah Muhammadiyah yang tidak terurus dengan penuh
keterbatasan. Sekolah yang kondisinya layaknya kandang kambing.
Atas dasar keterbatasan-keterbatasan inilah sehingga dijumpai pula
bentuk metafora sekolah Islam melarat.
(8) Nomina Wilayah
Pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan kelas kata
nomina wilayah hanya ditemukan dalam NTLP. Contoh gaya bahasa
metafora tersebut adalah:
(145) Dalam waktu singkat berhasil terkumpul dua ratus lima
puluh Euro! Jumlah yang membuat kami optimis dapat
menaklukkan Eropa sebagai manusia patung. (EDS:
186)
(146) Baru kali ini kutemukan rutinitas yang tak
membosankan, karena Paris adalah gelimang pesona.
(EDS: 86)
(147) Belitong menjelang malam adalah semburan warna
dari seniman impresi yang melukis spontan, tak
dibuat-buat, dan memikat. (EDS: 25)
Gaya bahasa metafora juga diwujudkan melalui kelas kata
nomina wilayah seperti Eropa, Paris, dan Belitong. Ketiga nomina
wilayah tersebut dibandingkan secara langsung dengan frasa
manusia patung, gelimang pesona, dan semburan warna. Contoh
(145) menunjukkan perbandingan Eropa sebagai manusia patung.
190
Manusia patung adalah sebuah seni pementasan jalanan yang
banyak dipentaskan di Eropa sehingga Eropa dianalogikan sebagai
manusia patung. Adapun contoh (146) Paris dianggap sebagai
gelimang pesona yang berarti bahwa Paris sebagai kota yang
memiliki daya tarik besar, khususnya pada bidang seni. Penduduk
Prancis memiliki culture litterair, melek budaya, dan bercita rasa
tinggi sehingga dikatakan Paris layaknya gelimang pesona.
Selanjutnya, contoh (147) Belitong dianalogikan sebagai semburan
warna. Perbandingan tersebut dilakukan berdasarkan fenomena
yang terjadi di Belitong saat menjelang malam yaitu munculnya
sejumlah lukisan dari seniman impresi yang melukis secara spontan,
tidak dibuat-buat, dan memikat.
b) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Pronomina
Di samping pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan
pilihan kata yang berkelas kata nomina, pada NTLP dan NTNLM juga
ditemukan pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata
yang berkelas kata pronomina. Berikut uraian pewujudan gaya bahasa
tersebut.
(1) Pronomina Persona Pertama Tunggal
Pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan pilihan kata yang
berkelas kata pronomina persona pertama tunggal dalam NTLP dapat
dilihat pada contoh di bawah ini:
(148) Sejak seminggu yang lalu aku telah menjadi sekuntum daffodil yang gelisah. (LP: 249)
191
(149) Lihatlah aku, aku anak sungai, bumi, api, dan anginmu, pulang, pulang untukmu. (MK: 81)
(150) Aku masih seekor pungguk buta dan mimpi-mimpi itu masih rembulan, namun sebenderang rembulan dini hari ini, mimpi-mimpi itu masih bercahaya dalam dadaku. (SP: 268-269)
Perbandingan ditunjukkan pada contoh (148) sampai dengan
(150) yang diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata
pronomina persona pertama tunggal aku yang merujuk kepada Ikal.
Contoh (148) menunjukkan perbandingan aku (Ikal) dengan sekuntum
daffodil. Bunga daffodil adalah bunga yang melambangkan semangat
baru, kehormatan dan penghargaan. Adapun contoh (149)
menganalogikan tokoh Ikal sebagai anak sungai, bumi, api, dan angin
yang pulang demi seorang perempuan berkuku indah. Pada contoh
(150), Ikal dibandingkan secara langsung sebagai seseorang yang
merindukan kekasihnya, tetapi cintanya tidak terbalas. Namun, kekasih
yang dirindukan Ikal ialah sebuah mimpi untuk melanjutkan sekolah di
Sorbonne yang akan segera ia wujudkan.
Adapun contoh penggunaan gaya bahasa metafora dalam
NTNLM yang diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata
pronominal persona pertama tunggal adalah:
(151) Aku adalah anak kesayangan yang selalu patuh sepenuh hati pada Amak. (NLM: 127)
(152) Tapi aku adalah seekor garuda yang terbang tinggi dan mendarat di bulan. (NLM: 216)
Pada contoh (151) dan (152) pronomina persona pertama
tunggal aku dimetaforakan sebagai anak kesayangan dan seekor
192
garuda. Kata aku pada kedua contoh tersebut merujuk kepada Alif.
Pada contoh (151), Alif digambarkan sebagai anak kesayangan. Alif
dimetaforakan sebagai anak kesayangan karena kepatuhannya
terhadap semua perintah dan keinginan ibunya. Kemudian, pada
contoh (152), kata aku dimetaforakan dengan seekor garuda.
Penggunaan metafora seekor garuda ialah untuk menggambarkan
kehebatan Alif dalam cerita yang dianalogikan layaknya seekor garuda
yang terbang tinggi. Keberhasilan Alif berfoto bersama keluarga Ust ad
Khalid adalah sebuah nilai lebih yang Alif peroleh dibanding teman-
teman sahibul menara yang lain.
(2) Pronomina Persona Pertama Jamak
Selain pronomina persona pertama tunggal, gaya bahasa
metafora dalam NTLP dan NTNLM juga diwujudkan melalui kelas kata
pronominal persona pertama jamak. Contoh gaya bahasa metafora
dalam NTLP adalah:
(153) Kami adalah kanon yang siap meledak kapan saja. (SP: 109)
(154) Momen itu hanya sekilas, yaitu ketika beliau bergantian menatap kami dan dengan jelas menyiratkan bahwa kami adalah pahlawan baginya. (SP: 94)
(155) Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan. (LP: 434)
Gaya bahasa metafora juga diwujudkan melalui kelas kata
pronomina pesona pertama jamak kami. Pada contoh (153), kata kami
merujuk kepada Ikal, Arai, dan Jimbro. Ketiganya dianalogikan sebagai
kanon. Maksud kata kanon di sini adalah meriam. Perbandingan
193
tersebut didasarkan pada perkembangan psikologi dari ketiga tokoh
tersebut yang telah menginjak usia balig dan pada saat itulah segala
hal bisa saja dilakukan oleh mereka. Kondisi kejiwaan mereka yang
belum stabil ini dianalogikan seperti meriam. Karakter meriam yang
mudah meledak, tidak dapat terkontrol dianggap sama dengan Ikal,
Arai, dan Jimbro. Adapun contoh (154), kami dibandingkan dengan
nomina pahlawan. Pahlawan adalah orang yang menonjol karena
keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang
yang gagah berani; hero. Ikal dan Arai dianalogikan sebagai pahlawan
bagi sosok ayah. Selanjutnya, kami pada contoh (155) merujuk kepada
para anggota Laskar Pelangi. Pelangi adalah lengkung spektrum
warna di langit, dan ini dianalogikan sebagai. lapisan-lapisan pelangi
terindah. Mereka adalah kumpulan murid yang memiliki watak atau
karakter yang berbeda-beda seperti laskar tentara dan juga seperti
pelangi dengan warna yang berbeda-beda hadir menghiasi tanah
Belitong.
Adapun contoh pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan
kelas kata pronomina persona pertama jamak dalam NTNLM adalah:
(156) K.ami berenam adalah anak baru yang pertama mendapat kehormatan menjadi pesakitan di mahkamah keamanan pusat (NLM: 64)
(157) Hanya Amak sendiri yang berani angkat tangan dan berkata “Kita di sini adalah pendidik dan ini tidak mendidik. (NLM: 125)
(158) Boleh disebutkan dengan bangga, kami manusia pilihan untuk ukuran PM. (NLM: 240)
194
Contoh (156) sampai dengan (158) menunjukkan
perbandingan secara langsung yang diwujudkan melalui kelas kata
pronomina persona pertama jamak, yaitu kata kami dan kita. Pada
contoh (156), kata kami merujuk kepada anggota sahibul menara yang
dimetaforakan sebagai anak baru. Adapun contoh (157), kata kita
dibandingkan dengan pendidik. Kata kita merujuk kepada Amak .
Dalam KBBI V luring, pendidik berarti „orang yang mendidik‟. Jadi, kita
adalah para pendidik yang menganggap bahwa perbuatan yang
dibicarakan dalam cerita itu dianggap tidak mendidik. Selanjutnya,
contoh (158) kata kami merujuk kepada anggota sahibul menara yang
selanjutnya dimetaforakan sebagai manusia pilihan. di PM. Dikatakan
demikian karena untuk lolos masuk PM bukanlah hal mudah. Para
santri yang belajar di PM telah melewati sejumlah seleksi sehingga
para sahibul menara dianggap sebagai manusia pilihan.
(3) Pronomina Persona Ketiga Tunggal
Contoh pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan kelas
kata pronomina persona ketiga tunggal dalam NTLP dapat dilihat pada
contoh berikut:
(159) Ia adalah buah akal yang jernih, bibit jenius asli, yang lahir di sebuah tempat nun jauh di pinggir laut, dari sebuah keluarga yang tak satu pun bisa membaca. (LP: 109)
(160) Sahara menyeringai, setelah sekian lama menghilang ke alam lain kini ia kembali dalam penjelmaan seekor leopard, alisnya bertemu. (LP: 380)
(161) Ia sedih, tapi tak setitik pun air matanya luruh. Karena, ia adalah perempuan naga. (MK: 106)
195
Contoh (159) sampai dengan (160) menunjukkan perbandingan
secara langsung yang diwujudkan melalui kelas kata pronominal
persona ketiga tunggal ia. Kata ia pada contoh (161) merujuk kepada
Lintang yang dianalogikan sebagai buah akal. Buah akal adalah ilmu
pengetahuan. Tokoh ia dianggap sebuah ilmu pengetahuan yang
jernih karena kecerdasan intelektual yang dimilikinya. Adapun contoh
(160) kata ia merujuk kepada Sahara yang dianalogikan sebagai
seekor Leopard. Leopard adalah macan tutul. Perbandingan secara
langsung ini didasarkan pada karakter ganas penuh semangat yang
dimiliki oleh Sahara. Selanjutnya, contoh (161) menunjukkan
perbandingan kata ia yang merujuk kepada Dokter Budi Ardiaz yang
dianggap sebagai seorang perempuan naga. Dokter Budi Ardiaz
adalah perempuan keturunan Tionghoa yang memiliki karakter
tangguh dan kuat.
Adapun contoh pewujudan gaya bahasa metafora berdasarkan
kelas kata pronomina persona ketiga tunggal dalam NTNLM adalah:
(162) Kalau ini film koboi, dia adalah sheriff berwajah keras yang siap mengokang pistolnya. (NLM: 57)
(163) Seperti fungsinya di bagian keamanan, di dalam lapangan dia adalah bek yang penuh disiplin, sulit ditembus dan tidak kompromi. (NLM: 228)
(164) Begitu aku menyebut Ustad Salman, dia langsung berseru, “beruntung sekali ya akhi”. Dia adalah legenda hidup dalam mempelajari bahasa. Dia menguasai bahasa Arab, Inggris, Perancis dan Belanda. Dan semuanya, katanya dilakukan otodidak.” (NLM: 218)
Gaya bahasa metafora pada contoh (162) sampai dengan (164)
diwujudkan melalui kelas kata pronomina persona ketiga tunggal dia.
196
Pada contoh (162), kata dia merujuk kepada Kismul Amni (bagian
keamanan PM). Kismul Amni dimetaforakan sebagai Sheriff. Sheriff
adalah tokoh dalam cerita di zaman cowboy Amerika. Sheriff adalah
penegak hukum yang menjadi benteng bagi warga dari aksi-aksi brutal
bandit-bandit cowboy di zaman itu. Atas kesamaan karakter inilah
sehingga keduanya diperbandingkan. Selanjutnya, contoh (163) kata
dia merujuk kepada staf bagian keamanan yang dianalogikan sebagai
bek. Adapun contoh (164) kata dia yang merujuk kepada Ustad
Salman dianggap sebagai legenda hidup terutama dalam mempelajari
bahasa. Penggunaan bentuk legenda hidup didasarkan pada lamanya
Ustad Salman mengenyam pendidikan khusus ilmu bahasa.
4) Gaya Bahasa Metonimi
Metonimi diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti
„menunjukan perubahan‟ dan onoma yang berarti „nama‟. Dengan
demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan
sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Pewujudan gaya bahasa metonimi dalam
NTLP dapat dilihat pada contoh berikut:
(165) Suatu hari seorang gentlemen keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia mencibir. (LP: 36)
(166) Pasti itulah yang dialami Jimbron.Seperti kata ibuku:gila memang ada empat puluh empat macam. BINTANG LAUT SELATAN merapat. Pintu utamanya dipaskan pada ujung pelataran sehingga tercipta jembatan antara dermaga dengan kapal. (SP: 169)
197
(167) Sampai jauh masih kudengar sorak-sorai . Mimpi-Mimpi Lintang menyelusuri delta, menelan seluruh sisa-sisa muara, lalu memasrahkan dirinya dalam pelukan samudra. (MK: 359) Contoh (165) sampai dengan (167) adalah contoh pewujudan
gaya bahasa metonimi pada NTLP. Ketiga contoh ini menunjukkan
adanya penggunaan gaya bahasa metonimi. Pemakaian ciri atau nama ini
ditautkan dengan barang sebagai penggantinya. Contoh (165) Chevrolet
Corvette menunjukkan penggantian terhadap nama atau merek sebuah
mobil. Contoh (166) Bintang Laut Selatan merupakan penggantian untuk
nama sebuah kapal. Begitu pun halnya dengan contoh (167) Mimpi-mimpi
Lintang merupakan penggantian untuk nama sebuah perahu yang sengaja
dibuat Ikal untuk menelusuri laut mencari A Ling. Berdasarkan ketiga
contoh tersebut, pewujudan gaya bahasa metonimi dapat dilihat
berdasarkan penggantian nama atau merek barang melalui pilihan kata
Chevrolet Corvette, Bintang Laut Selatan, dan Mimpi-mimpi Lintang
sebagai penandanya.
Adapun pewujudan gaya bahasa metonimi pada NTNLM, dapat
dilihat sebagai berikut:
(168) Selain Said, aku melihat Saleh, teman sekelasku dari Jakarta juga dijemput orang tua dan adik-adiknya dengan Toyota Kijang biru. (NLM: 215)
(169) Tapi aku melihat Ayah menyerahkan seperangkat kunci, bersalaman, dan tamu itu pergi. Sejak hari itu bebek yang setiap hari dilap Ayah dengan kasih sayang itu tidak pernah pulang pulang lagi ke rumah kami. (RTW: 38)
(170) Tanpa menunda lagi, aku menggas bebek kurus ini secepatnya mendaki Jalan Ciumbuleuit sambil berkali-kali berbisik, “Alhamdulillah…Alhamdulillah…” (RTW: 113)
198
Pewujudan gaya bahasa metonimi pada contoh (168) sampai
dengan (170) dilakukan oleh pengarang melalui penggantian nama atau
merek barang. Pilihan kata Toyota Kijang, bebek, dan bebek kurus
merupakan penggantian atas merek mobil dan motor. Contoh (168),
Toyota Kijang biru menggantikan sebuah benda, yakni mobil dengan
merek Toyota Kijang berwarna biru. Contoh (169) dan (170) kata bebek
bukan berarti nomina fauna melainkan merek sebuah motor. Motor bebek
adalah sepeda motor kecil yang dibangun di atas kerangka yang sebagian
besar terdiri atas pipa berdiameter besar.
5) Gaya Bahasa Sarkasme
Sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih kasar daripada
ironi dan sinisme. Sarkasme adalah suatu gaya bahasa yang
mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja
bersifat ironis dan dapat juga tidak bersifat ironis. Akan tetapi, yang jelas
bahwa gaya bahasa ini akan selalu menyakiti hati dan kurang enak
didengar. Pewujudan gaya bahasa sarkasme dalam NTLP dapat dilihat
pada contoh berikut:
(171) “Jangan mandikan mayatnya di masjid! Biar dia hangus di neraka berdaki-daki!”. (EDS: 2)
(172) Sementara penonton wanita menyumpah-nyumpah, “Anjing Kurap!! Biar nanti kau dan majikan botakmu itu dibakar di neraka!!” (SP: 111)
(173) Tapi jika Anda seorang religius maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini anda tak lebih dari seorang sekuler oportunis yang akan dibakar di dasar neraka!. (LP: 92)
199
Contoh (171) sampai dengan (173) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa sarkasme. Contoh (171) menunjukkan pilihan
kata hangus yang berkelas kata adjektiva serta penggunaan penunjukan
nomina tempat, yaitu neraka. Adapun contoh (172) dan (173),
penggunaan verba dibakar yang juga diikuti keterangan tempat neraka
menandai penggunaan gaya bahasa sarkasme. Neraka dalam contoh
kalimat ini maknanya adalah alam akhirat tempat orang kafir dan orang
durhaka mengalami siksaan dan kesengsaraan. Berdasarkan arti kata
neraka tersebut, tidak seorang pun ingin dikatakan kafir dan tidak seorang
pun menginginkan masuk neraka sehingga penggunaan kata neraka
dianggap kasar.
6) Gaya Bahasa Antonomasia
Antomonasia merupakan bentuk gaya bahasa yang digunakan
dengan menyebut suatu objek bukan dengan nama aslinya, melainkan
menggunakan salah satu sifat dari objek tersebut. Pewujudan gaya
bahasa antonomasi dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat pada contoh
dari uraian berikut:
a) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Nomina
Nomina adalah kata yang mengacu kepada manusia, binatang,
benda, dan konsep atau suatu pengertian. Salah satu penanda linguistik
yang menunjukkan gaya bahasa antonomasia, yaitu raja dan putri.
Pilihan kata raja dan putri tergolong kelas kata nomina. Pewujudan gaya
200
bahasa antonomasia berdasarkan kelas kata nomina dalam NTLP dapat
dilihat sebagai berikut:
(174) Muharam tetap saja termangu persis raja lutung yang mabuk jengkol. (MK: 187)
(175) Buntat adalah masterpiece dunia jampi-jampian. Rupanya macam batu dan ia diambil dari perut raja kelabang. Raja kelabang amat langka, ialah raksasa kelabang. Saking besarnya, warnanya berubah dari merah jadi ungu kehijau-hijauan. Jika menggigit Jangankan manusia, kerbau pun almarhum. (MK: 403)
(176) Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya dipalingkan ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai junta laksana raja gurita. (LP: 272)
Contoh (174) sampai dengan (176) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa antonomasia dengan pilihan kata raja yaitu
raja kelabang, raja lutung, dan raja gurita. Dalam contoh (174), (175)
dan (176) kata raja diartikan sebagai binatang (jin dan sebagainya)
yang dianggap berkuasa terhadap sesamanya. Ketiga contoh tersebut
menunjukkan pilihan kata yang berkelas kata nomina khusus fauna
yang ditandai dengan kata kelabang, lutung, dan gurita yang
mendampingi kata raja.
Adapun pewujudan gaya bahasa antonomasia berdasarkan
pilihan kata yang berkelas kata nomina pada NTNLM, dapat dilihat
pada contoh berikut:
(177) “Nama tuan putri itu Sarah,” katanya puas dengan imbalan yang dia dapat dari informasi ini. (NLM: 191)
(178) “Masih ingat tuan putri yang aku ceritakan kemarin? Yang anak Ustad Khalid?” tanya Kurdi retoris di tengah kamar suatu sore. (NLM: 192)
201
Gaya bahasa antonomasia pada NTNLM juga diwujudkan
melalui pilihan kata nomina tuan putri. Frasa tuan putri merujuk kepada
Sarah.
b) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Artikula
Artikula adalah kategori yang mendampingi nomina dasar,
seperti si, sang, para, dsb. Pewujudan gaya bahasa antonomasia
berdasarkan kelas kata artikula dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat
sebagai berikut:
(1) Artikula Sang
Berdasarkan makna denotatifnya, artikula sang berarti kata
yang dipakai di depan nama orang, binatang, atau benda yang
dianggap hidup atau dimuliakan. Pewujudan gaya bahasa
antonomasia berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata artikula
sang dalam NTLP dapat dilihat pada contoh-contoh di bawah ini.
(179) Jika kita mengatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. (LP: 54)
(180) Saat itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di samping sang buaya. (LP: 71)
(181) Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera. Sang kera dengan gaya seorang instruktur menyuruh Mahar bernyanyi, menari-nari, dan berakrobat. (LP: 110)
Penggunaan artikula sang menjadi penanda gaya bahasa
antonomasia. Contoh (179) sampai dengan (181) menunjukkan
202
adanya penggunaan artikula sang yang diikuti oleh nomina khusus
fauna seperti sang ayam, sang buaya, dan sang kera.
Adapun pewujudan gaya bahasa antonomasia berdasarkan
pilihan kata kelas kata artikula sang pada NTNLM, dapat dilihat pada
contoh berikut:
(182) Pengumuman sang kapten mengalir ke (Ma|3| sumpalkan di kedua daun telinga, (NLM: 237)
(183) Hanya dua pertanyaan yang sempat aku ajukan sebelum para wartawan lain kembali mengambil alih sang Panglima. Pertanyaanku, “Apa yang mengesankan di PM? dan Apakah siswa PM bisa masuk ABRI?” (NLM: 278)
Contoh (182) dan (183) menunjukkan adanya penggunaan
gaya bahasa antonomasia berdasarkan pilihan kata yang berkelas
kata artikula sang yang diikuti oleh nomina yang berhubungan
dengan pangkat seperti sang kapten dan sang panglima.
(2) Artikulas Si
Artikula atau kata sandang si adalah kata yang dipakai di
depan nama diri (pada ragam akrab atau kurang hormat). Kata yang
dipakai di depan nama kata sifat yang berhubungan dengan timang-
timangan, pujian, panggilan, ejekan dan sebagainya menyatakan
bahwa yang disebutkan itu mempunyai atau menyerupai sifat atau
karakter yang sama dengan sebutan itu. Pewujudan gaya bahasa
antonomasia berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata artikula si
dalam NTLP dapat dilihat pada contoh-contoh berikut:
203
(184) Tapi menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi
gasing yang tak bisa diatur ini, beliau hampir
menyerah. (LP:
(185) "Beginilah akibatnya kalau bergaul dengan si sinting
Mahar itu." Tawa ejekan berderai-derai. (MK: 172)
(186) Kamsir si buta dari Gua Hantu menaruh Jumiadi
Setengah Tiang. (MK: 173)
Gaya bahasa antonomasia yang ditunjukkan pada contoh
(184) sampai dengan (186) diwujudkan melalui pilihan kata yang
berkelas kata artikula si. Artikula si tersebut diikuti oleh kata yang
berkelas kata adjektiva tomboi, sinting, dan buta. Penggunaan
adjektiva yang mengikuti artikula tersebut menunjukkan ejekan
yang menyatakan bahwa yang disebut itu mempunyai sifat yang
sama dengan sebutan itu.
Adapun contoh berikut menunjukkan adanya gaya bahasa
antonomasia yang diwujudkan melalui artikula si yang dipakai di
depan nama orang seperti si Mahdar dan si Ikal.
(187) Pasti punya anak si Mahdar yang duduk di kelas
dua SMP. (MK: 235)
(188) Aku dipanggil si Ikal, lantaran rambutku Ikal. Mereka
tak pernah tahu nama asliku, tak mau tahu lebih
tepatnya, dan mereka tak paham bahwa nama asliku
itu tidak main-main. (MK: 96)
(189) Ketua Karmun, kembali berseru, "Kalian dengar
itu? Hebat bukan buatan si Ikal ini!". (MK: 250)
Adapun pewujudan gaya bahasa antonomasia berdasarkan
pilihan kata yang berkelas kata artikula si pada NTNLM, dapat
dilihat pada contoh berikut:
204
(190) “Tadi, ketika aku jadi piket asrama siang, aku melihat pemandang. an yang sangat jarang. Tidak lain dan
tidak bukan, si Sarah berkeliling PM dengan keluarganya. (NLM: 197)
(191) Tiga hari tiga malam, perbincangan kami sekamar tidak pernah jauh dari saudari-saudari bening si Zamzam ini. (NLM: 270)
(192) Ya salam, beruntung sekali si Zamzam ini, punya keluarga cantik-cantik,” kata Atang. (NLM: 270)
Contoh (190) sampai dengan (192) menunjukkan adanya
gaya bahasa antonomasia yang diwujudkan melalui artikula si yang
dipakai di depan nama orang seperti si Sarah dan si Zamzam.
7) Gaya Bahasa Eponim
Eponim adalah suatu gaya seseorang yang namanya begitu
sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk
menyatakan sifat itu. Pewujudan gaya bahasa eponim dalam NTLP dapat
dilihat sebagai contoh berikut:
(193) Seorang pria berjenggot lebat dengan tatapan syahdu meradang, memegang gitar seperti Rambo menenteng peluncur roket Jubahnya melayang-layang di atas sederet tulisan judul film: Rhoma Irama Berkelana. (MK: 67)
(194) Muslimat selalu sok jago dan sering mengikat kepalanya dengan bandana, jadilah dia Muslimat Rambo. (MK: 98)
(195) Tapi uang itu meluncur saja seperti menggenggam lele, hanya numpang lewat di telapak Marhaban Hormat Grak II lantaran ia kalah bertaruh dalam jumlah yang sama pada Muslimat Rambo. (MK: 187) Contoh (193) sampai dengan (195) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa eponim yang diwujudkan melalui pilihan kata
yang berkelas kata nomina khusus nama orang. Contoh tersebut
menunjukkan adanya penggunaan frasa Muslimat Rambo . Rambo adalah
ikon fiksi „pahlawan‟ Amerika Serikat dalam peperangan yang diperankan
205
oleh aktor kawakan AS, Sylvester Stallone. Sosok Rambo yang memiliki
kekuatan dan kehebatan dihubungkan dengan karakter tokoh Muslimat
sehingga nama Rambo-lah yang dipakai untuk menyatakan sifat, karakter,
atau kekuatan yang dimiliki Muslimat.
Adapun pewujudan gaya bahasa eponim pada NTNLM dapat
dilihat pada contoh berikut:
(196) Sret…sret…sarungku berdesau-desau seiring langkah cepat supaya tidak ditangkap Tyson. (NLM: 87)
(197) Dengan gaya otoritatif dan suara tegas seperti perwira brimob, Tyson mengingatkan bahwa malam ini keamanan PM ada di bahu kita, karena itu tidak seorang pun boleh tidur sepicing pun. (NLM: 239)
(198) Sosok tak diundang ini horor nomor satu kami: Tyson. (NLM: 257)
Gaya bahasa eponim ditunjukkan pada contoh (196) sampai
dengan (198). Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui pilihan kata
Tyson. Michael Gerard Tyson atau Malik Abdul Azis lebih dikenal dengan
Tyson adalah petinju profesional dan mantan juara kelas berat. Pilihan
kata Tyson digunakan untuk menggantikan tokoh Rajab Sujai yang
memiliki tugas untuk mengawasi para santri yang baru memasuki Pondok
Madani. Pilihan kata Tyson digunakan berdasarkan kesesuaian karakter
yang dimiliki oleh sosok Rujab Sujai dengan Tyson dalam cerita, yakni
berperawakan gempal dengan gerakan sigap dan memburu yang
senantiasa siap memberikan peringatan maupun hukuman kepada siapa
saja yang melanggar qanun (tata tertib) pondok Madani.
206
8) Gaya Bahasa Paronomasia
Paronomasia/pun adalah gaya bahasa yang mempergunakan
kemiripan atau kesamaan bunyi. Pewujudan gaya bahasa paranomasia
dalam NTLP dapat dilihat pada contoh berikut:
(199) Di negeriku banyak sekali orang pintar, pintar mencuri uang negara.” (EDS: 133)
(200) Kegiatan ayah berikutnya ditandai lima hal saja: shalat, mengaji, mendengarkan radio, mencukur rambut ke Pasar Jenggo, dan diam, diam tak bersuara. (MK: 14) Gaya bahasa paronomasia/pun pada contoh (199) dan (200)
diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata adjektiva pintar dan
diam.
b. Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang menyimpang dari
konstruksi biasanya untuk mencapai efek tertentu. Gaya bahasa retoris
yang ditemukan dalam NTLP dan NTNLM , yaitu gaya bahasa hiperbola,
litotes, asindeton , polisindenton, erotesis, dan koreksio. Berikut uraian
gaya bahasa retoris tersebut.
1) Gaya Bahasa Hiperbola
Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung
suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu
hal. Pewujudan gaya bahasa hiperbola dalam NTLP dan NTNLM dapat
dilihat sebagai berikut:
207
a) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Nomina
Nomina atau kata benda adalah kata yang mengacu pada
manusia, binatang, benda, tumbuhan, konsep atau pengertian. Berikut
uraian pewujudan gaya bahasa hiperbola pada NTLP dan NTNLM.
(1) Nomina Anggota Tubuh
Pewujudan gaya bahasa hiperbola pada NTLP berdasarkan
pilihan kata yang berkelas kata nomina anggota tubuh dapat dilihat
sebagai berikut:
(201) Bahkan Jimbro hampir dimandikan dengan kembang tujuh rupa untuk menghilangkan baying-bayang kuda yang terus menerus menghantuinya. Kini dadaku ingin meledak rasanya. (SP: 139)
(202) Dadaku ingin meledak memandangi punggung ayahku perlahan-lahan meninggalkan halaman sekolah. (SP: 153)
(203) Kulirik Jimbron, ia menutup wajahnya dengan tangan. Mungkin dadanya ingin meledak, tapi yang pasti, ia menangis. (SP: 172-173)
Gaya bahasa hiperbola berdasarkan nomina anggota tubuh
pada NTLP diwujudkan melalui verba intransitif berprefiks meng-.
Contoh (201) sampai dengan (203) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa hiperbola yang diwujudkan melalui nomina
dada. Ketiga contoh tersebut menggambarkan keadaan tubuh tokoh
yakni dada secara berlebih-lebihan melalui verba intransitif meledak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, meledak
adalah pecah dan mengeluarkan bunyi sangat keras; meletus.
Berdasarkan makna kata tersebut, pilihan kata meledak yang melekat
pada kata dada dianggap melebih-lebihkan sesuatu. Seyogyanya,
208
benda yang biasa meledak adalah balon atau benda-benda lain yang
mengandung gas. Sementara contoh-contoh yang ditampilkan
menjelaskan bahwa yang meledak adalah dada. Dada adalah bagian
tubuh sebelah depan di antara perut dan leher. Dada bukanlah
nomina yang memiliki sifat mudah meledak.
Selanjutnya, pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan
pilihan kata yang berkelas kata nomina anggota tubuh pada NTNLM
terdiri atas:
(a) Nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan verba
intransitif berprefiks meng-
(204) Darahku menggelegak. Baru sejam yang lalu kami squat jump karena ada teman yang terlambat. (RTW: 54)
(205) Beliau berhenti sebentar untuk menarik napas. Aku cuma mendengarkan. Kepalaku kini terasa melayang . (NLM: 8)
(206) Aku mengangguk tersipu-sipu. Mataku beradu sekejap dengan Sarah. Otot jantungku mengencang. (NLM: 255)
Contoh (204) sampai dengan (206) menunjukkan
penggunaan gaya bahasa hiperbola. Gaya bahasa tersebut
diwujudkan melalui nomina khusus nomina anggota tubuh. Ketiga
contoh tersebut menggambarkan keadaan tubuh tokoh, yakni: darah,
kepala, dan otot jantung yang secara berlebih-lebihan diwujudkan
melalui verba intransitif menggelegak, melayang, dan mengencang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
menggelegak adalah berbual-bual dan berbunyi (seperti air mendidih
209
pada waktu direbus). Berdasarkan makna kata tersebut, contoh (204)
dianggap berlebih-lebihan dengan menyatakan darahku
menggelegak. Darah yang mengalir dalam tubuh tidak pernah
menghasilkan bunyi seperti air mendidih. Namun, pada contoh (204)
dikatakan bahwa darahku menggelegak. Kata menggelegak
seyogyanya mengikuti nomina air, bukanlah kata darah. Namun,
pengarang memilih kata menggelegak yang mengikuti kata darah
untuk menggambarkan kekesalan tokoh aku (Alif).
Pada contoh (205), pilihan kata nomina anggota tubuh
kepala yang diikuti verba melayang merupakan bentuk penggunaan
bahasa yang berlebih-lebihan. Secara denotatif kata melayang
berarti „terbang karena diembus angin‟. Aktivitas terbang atau
melayang di udara hanya dapat terjadi pada makhluk hidup bersayap
seperti burung, benda-benda ringan seperti debu, benda-benda
elektronik seperti pesawat main-mainan dan layang-layang sehingga
kepala yang melayang dianggap bergaya bahasa hiperbola.
Adapun contoh (206), otot sebagai nomina anggota tubuh
digambarkan secara berlebih-lebihan melalui verba intransitif
mengencang. Sebenarnya kata mengencang secara denotatif berarti
„melaju secara cepat atau menjadi lebih erat‟. Akan tetapi, pada
contoh (206) kata mengencang dianggap berlebih-lebihan karena
hanya dengan mata tokoh aku (Alif) yang beradu sekejap dengan
210
mata Sarah (perempuan yang ia kagumi) jantungnya menjadi
mengencang.
(b) Nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan adjektiva
Beberapa contoh nomina anggota tubuh yang berhiperbola
dengan adjektiva dapat dilihat sebagai berikut:
(207) Aku mengejap-ngejap terkejut. Leherku rasanya layu. (NLM: 8)
(208) Dimulai dengan ayunan ringan kepalanya ke arah depan, lalu ayunannya semakin berat sampai lehernya layu dan dagunya menyentuh dada. (NLM: 69)
(209) Tidak ampun lagi, leher layu Atang jadi tegak dan mata yang 5 watt menadi 100 watt. (NLM: 239)
Contoh (207) sampai dengan (209) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa hiperbola. Gaya bahasa tersebut
diwujudkan melalui nomina anggota tubuh leher yang diikuti adjektiva
layu. Penggunaan frasa leher layu pada ketiga contoh tersebut
mendeskripsikan sebuah kondisi tubuh yakni bagian leher yang
dalam keadaan tidak sehat. Pilihan kata layu yang mengikuti nomina
leher pada konstruksi tersebut menjadi tidak lazim. Jika kalimat-
kalimat tersebut dinyatakan dengan konstruksi leherku rasanya lelah,
lehernya lelah atau leher lelah Atang tentu tidak akan menghasilkan
reaksi apapun dari pembaca. Kata layu yang berkelas kata adjektiva
yang menjelaskan nomina anggota tubuh leher dianggap berlebih-
lebihan. Pada umumnya, kata layu hanya diperuntukkan untuk
tanaman seperti bunga yang sudah tidak segar lagi sehingga
211
penggunaan kata layu yang mengikuti nomina leher tersebut
dianggap bergaya bahasa hiperbola.
Selain itu, pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan
nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan adjektiva pada
NTNLM juga dapat dilihat pada contoh berikut:
(210) “Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas. (NLM: 9)
(211) Semoga aku bisa saja bersabar walau badan dan otakku rasanya remuk. (RTW: 141)
(212) Badanku rasanya ringan terbang melayang, meresapi sensasi yang sulit aku lukiskan. (RTW: 228)
(213) Apakah riwayat kami akan berakhir tragis seperti ini? Setiap detak jantung dan aliran darah terasa kencang di kupingku, di ujung hidung, di sekitar mata, di setiap ujung badan. (RTW: 249)
Contoh (210) sampai dengan (213) menunjukkan adanya
penggunaan bahasa yang berlebih-lebihan. Gaya bahasa hiperbola
tersebut diwujudkan melalui kata-kata yang berkelas kata nomina
anggota tubuh yang dijelaskan dengan kata-kata berkelas kata
adjektiva. Pada contoh (210), kata mata yang diikuti adjektiva panas
dianggap berlebih-lebihan. Pada umumnya, mata hanya
digambarkan memerah sehingga dengan adanya konstruksi mata
terasa panas dianggap sebagai bentuk gaya bahasa hiperbola.
Selanjutnya, contoh (211) kata otak yang diikuti adjektiva
remuk dianggap bergaya bahasa hiperbola. Kata remuk bermakna
„hancur luluh; luluh lantah; hancur berkeping-keping‟. Sebuah otak
212
tidaklah hancur berkeping-keping dalam kondisi atau situasi tubuh
yang hanya kelelahan. Pada contoh (212), kalimat Badanku rasanya
ringan terbang melayang, juga dianggap bergaya bahasa hiperbola
karena sekecil apapun berat badan manusia atau seringan apapun
itu, tidak akan bisa terbang layaknya benda-benda ringan seperti
kertas atau debu. Atas kenyataan tersebut, contoh (212) dianggap
berlebih-lebihan. Begitupun contoh (213) setiap detak jantung dan
aliran darah yang terdengar terasa kencang di kuping juga dianggap
berlebihan karena suara detak jantung dan aliran darah,
kenyataannya tidak dapat terdengar tanpa menggunakan alat bantu
kedokteran.
(c) Nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan verba
berproses gabung (prefiksasi meng- + reduplikasi)
Beberapa contoh pewujudan gaya bahasa hiperbola
berdasarkan nomina anggota tubuh yang berhiperbola dengan
adjektiva dapat dilihat sebagai berikut:
(214) Air matanya melimbak-limbak, membentuk sungai kecil yang seakan-akan tidak mau putus dan tidak ingin kering. (RTW: 95)
(215) Kesibukan naik-turun bangunan bersejarah ini membuat perutku menderu-deru lapar. (RTW: 245)
(216) Sambal khas dapur kami ini memang membuat air liur meleleh-leleh. (NLM: 277)
Kata melimbak-limbak, menderu-deru, dan meleleh-leleh
merupakan verba berproses gabung dengan prefiksasi meng- yang
menjelaskan nomina anggota tubuh sehingga tampak berlebih-
213
lebihan. Pada contoh (214), frasa air matanya yang dijelaskan oleh
verba melimbak-limbak termasuk penggunaan gaya bahasa
hiperbola. Sebenarnya makna melimbak-limbak secara denotatif
berarti berlimbak-limbak yaitu bertimbun-timbun; bertumpuk-tumpuk.
Air mata yang bertumpuk-tumpuk membentuk sungai kecil dianggap
bergaya bahasa hiperbola. Menjadi sebuah kemustahilan, air mata
yang ditimbun atau ditumbuk-tumbuk itu akhirnya menjadi sebuah
sungai. Pilihan kata melimbak-limbak menjadikan kalimat (214)
bergaya bahasa hiperbola.
Pada contoh (215), kata menderu-deru adalah bunyi-bunyi
angin keras yang bergemuruh seperti bunyi angin ribut (gelombang
besar, mesin, dan sebagainya). Kata menderu-deru yang mengikuti
nomina anggota tubuh perut pada contoh (215) dianggap berlebih-
lebihan karena suara gemuruh biasanya hanya terdengar dari
sebuah ombak besar atau mesin yang sedang dijalankan. Perut yang
lapar tidak sampai menghasilkan bunyi menderu-deru seperti yang
dinyatakan pada contoh (215). Pilhan kata menderu-deru menjadikan
konstruksi pada kalimat (215) menjadi bergaya bahasa hiperbola.
Jika kata menderu-deru hanya digunakan untuk maksud berbunyi,
tentu reaksi yang diperoleh pembaca akan biasa saja.
Adapun contoh (216) menceritakan tentang air liur yang
meleh-leleh. Penggunaan bentuk verba reduplikasi meleleh-leleh
menjadikan contoh (216) tampak berlebih-lebihan karena meleh-leleh
214
berarti berlelehan. Berlelehan adalah meleleh banyak-banyak.
Padahal, kehadiran kata meleleh-leleh pada konteks kalimat (216)
berarti terasa ingin sekali menikmati. Berdasarkan makna tersebut,
air liur yang meleh-leleh itu dianggap bergaya bahasa hiperbola.
(2) Nomina tidak Konkret
Pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan kelas kata
nomina tidak konkret hanya ditemukan pada NTLP dan tidak ditemukan
dalam NTNLM. Adapun uraian pewujudan gaya bahasa hiperbola
berdasarkan kelas kata nomina tidak konkret dapat dilihat sebagai
berikut:
(a) Nomina tidak konkret yang berhiperbola dengan verba intransitif
berprefiks meng-
Contoh pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan
nomina yang berhiperbola dengan verba intransitif berprefiks meng-
dapat dilihat sebagai berikut:
(217) Kepedihan yang menghujam dalam diri mereka menyebabkan Laksmi kehilangan senyumnya, dan Jimbro kehilangan suaranya. (SP: 79)
(218) Kegilaan yang menggelembung, meluap-luap, dan tersedu sedan itu kini memandangi pita jingga yang bergelombang mengalun kaki langit. (SP: 174)
(219) Kepercayaan diri kami meroket. (LP: 227)
Verba intransitif menghujam, menggelembung, dan meroket
yang mengikuti nomina tidak konkret seperti kepedihan, kegilaan, dan
kepercayaan diri juga dianggap sebagai bentuk yang berlebih-lebihan
karena menyimpang dari makna sebenarnya. Sebenarnya, kata
215
menggelembung bermakna „menjadi besar karena berisi udara dan
sebagainya‟, kata meroket bermakna „membubung atau meluncur
seperti roket, membubung dengan pesat‟ dan menghujam artinya
„menusuk‟. Pada contoh (217), konstruksi kepedihan yang menghujam
yang menyebabkan Laksmi kehilangan senyumnya dan Jimbro
kehilangan suaranya dianggap berlebihan. Adapun contoh (218),
kegilaan yang menggelembung juga dianggap berlebih-lebihan. Pilihan
kata menggelembung menjadikan konstruksi (218) menjadi tidak lazim.
Jika contoh tersebut disusun dengan konstruksi kegilaan yang
meningkat atau kegilaan yang bertambah besar tentu tidak akan
menimbulkan reaksi apapun. Sama halnya dengan contoh (219),
kepercayaan diri yang diikuti verba meroket menjadikan konstruksi
tersebut menjadi berlebihan. Namun, dengan pilihan kata meroket,
contoh (219) menjadi bergaya bahasa. Jika kalimat kepercayaan diri
kami meroket hanya dibentuk dengan kalimat kepercayaan diri kami
meningkat, maka itu akan menjadi kalimat yang tidak bergaya bahasa.
b) Nomina tidak konkret yang berhiperbola verba berproses gabung
(prefiksasi ber- + reduplikasi)
Contoh gaya bahasa hiperbola yang diwujudkan melalui
nomina yang berhiperbola dengan verba intransitif berprefiks ber- dapat
dilihat sebagai berikut:
(220) Ada kerinduan yang terpecah berurai-urai. (SP: 178)
216
Contoh (200) menunjukkan adanya penggunaan gaya
bahasa hiperbola. Gaya bahasa tersebut diwujudkan dengan pilihan
kata nomina tidak konkret seperti kerinduan yang berhiperbola dengan
verba proses gabungan seperti berurai-urai. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) V luring, berurai-urai berarti (menjadi, dalam
keadaan) lepas terbuka (tidak terikat); bercerai-cerai; berderai-derai.
Contoh (235), kerinduan yang terpecah berurai-urai dianggap bergaya
bahasa hiperbola. Perasaan rindu mendalam yang dilukiskan pada
contoh tersebut akhirnya terobati atau dilepaskan melalui pilihan kata
terpecah berurai-urai. Jadi, rindu yang selama ini mengikat akhirnya
lepas terbuka.
(3) Nomina Bunyi
Pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan kelas kata
nomina bunyi hanya ditemukan pada NTNLM. Adapun contoh pewujudan
gaya bahasa hiperbola berdasarkan kelas kata nomina bunyi itu sebagai
berikut:
(221) “Qif ya akhi…BERHENTI SEMUA!” suara keras mengguntur membuat kami terpaku kaget. (NLM: 65)
(222) “Jangan lari kau. Diam dan berdiri di sana!” suaranya mengguntur mengalahkan klakson yang heboh. (RTW: 113)
(223) Lantunan suaranya mendinginkan udara kelas kami yang panas di musim kemarau. (NLM: 113)
Gaya bahasa hiperbola pada contoh (221) sampai dengan (223)
diwujudkan melalui nomina bunyi yang dijelaskan dengan verba intransitif
berprefiks meng-. Kedua contoh tersebut menunjukkan adanya
217
penggunaan frasa suara keras dan suaranya yang diikuti verba
mengguntur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V luring,
mengguntur adalah berbunyi seperti guntur. Jika kedua kalimat tersebut
diungkapkan hanya dengan konstruksi suaranya keras sekali atau
suaranya keras, maka tidak akan menimbulkan reaksi apa-apa bagi
pembaca. Penggunaan verba mengguntur seolah menggambarkan suara
yang sangat menggelegar dan ini dianggap berlebih-lebihan.
Penggunaan kata yang berlebih-lebihan inilah yang menjadikan dua
contoh tersebut menjadi bergaya bahasa. Adapun contoh (223), kata
mendinginkan yang mengikuti nomina suara juga dianggap bergaya
bahasa hiperbola. Sungguh menjadi hal yang sangat berlebihan jika
dikatakan bahwa lantunan suaranya mendinginkan udara kelas yang
panas di musim kemarau. Adanya karakter mampu mendinginkan atau
menyejukkan pada lantunan suara tersebut menjadikan contoh (223)
dianggap bergaya bahasa hiperbola.
b) Pilihan Kata yang berkelas Kata Verba
Verba atau kata kerja adalah kata atau kelompok kata yang
digunakan untuk menggambarkan atau menyatakan suatu perbuatan,
kejadian, atau peristiwa. Pewujudan gaya bahasa hiperbola
berdasarkan kelas kata verba hanya ditemukan pada NTNLM. Dan
tidak dijumpai pada NTLP. Beberapa contohnya dapat dilihat sebagai
berikut:
(224) Sepotong syair Arab yang diajarkan di hari pertama masuk kelas membakar tekadku. (NLM: 82)
218
(225) Ini yang membakar semangat, selalu menjadi finalis, tidak pernah juara. (NLM: 159)
Gaya bahasa hiperbola pada contoh (224) dan (225) diwujudkan
melalui verba transitif berprefiks meng- yang berhiperbola dengan nomina
tidak konkret. Contoh tersebut menunjukkan adanya penggunaan gaya
bahasa hiperbola yang ditandai dengan penggunaan bahasa yang berlebih-
lebihan dari segi kualitas. Gaya bahasa tersebut diwujudkan melalui verba
transitif membakar yang dihiperbolakan dengan penambahan nomina tidak
konkret seperti tekad dan semangat. Kata membakar dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) V luring bermakna „membuat supaya berapi-api;
mengobarkan (tentang semangat)‟. Pilihan kata membakar yang mengikuti
kata semangat dan tekad menjadikan contoh-contoh tersebut bergaya
bahasa, tidak lazim digunakan dalam berbahasa sehari-hari.
c) Pilihan Kata yang Berkelas Kata Pronomina
Pronomina atau kata ganti adalah kelas kata yang berfungsi
menggantikan nomina. Pewujudan gaya bahasa hiperbola berdasarkan
kelas kata pronomina hanya ditemukan pada NTLP dan tidak ditemukan
dalam NTNLM . Contoh-contoh pilihan kata yang berkelas kata pronomina
adalah:
(226) Akhirnya batu karang kesabaranku terbelah. Aku meledak. (SP: 133)
(227) Dadaku sesak karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu itu tak „kan pernah terobati, aku rasanya ingin meledak.(LP: 304)
Gaya bahasa hiperbola pada contoh (226) dan (227) diwujudkan
melalui kelas kata pronomina yang berhiperbola dengan verba intransitif
219
berprefiks meng-. Kedua contoh tersebut menunjukkan adanya
penggunaan bahasa yang berlebih-lebihan dari segi kualitas. Gaya
bahasa tersebut diwujudkan melalui pronomina persona pertama aku
yang dihiperbolakan dengan verba intransitif seperti meledak. Kata
meledak mengacu pada makna „pecah dan mengeluarkan bunyi yang
sangat keras karena adanya tekanan; meletus‟. Verba intransitif meledak
yang mengikuti kata aku pada kedua contoh tersebut dianggap berlebih-
lebihan. Verba meledak biasanya hanya terjadi pada nomina tidak
bernyawa dengan skala ledakan yang besar, sementara subjek pada
ketiga contoh tersebut adalah manusia.
2) Gaya Bahasa Litotes
Gaya bahasa litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk
menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Pewujudan gaya
bahasa litotes hanya ditemukan dalam NTLP dan pada NTNLM tidak
ditemukan. Contohnya adalah:
(228) Namun sekali lagi, walaupun sudah berhari-hari
mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung
ketika tangannya menjulur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku
begitu kerdil di depannya. Maka kutugaskan Syahdan
mencari informasi. (LP: 253)
(229) Aku sadar diri, dari seluruh kemungkinan logis ketertarikan
pria wanita secara fisik, materialistic, filosofik, idealism,
kultur, ekspektasi, kemistri, gengsi, atau apa pun, tak secuil
pun aku memenuhi kualifikasi Katya. (EDS: 113)
(230) Aku senang telah mengenal Katya, terutama karena
perempuan canggih dari Eropa itu telah memberiku
pelajaran moral nomor dua belas yaitu: kemana pun tempat
telah kutempuh, apa pun yang telah kucapai, dan dengan
220
siapa pun aku berhubungan, aku tetaplah seorang lelaki
udik, tak dapat kubasuh-basuh. (EDS: 160)
Contoh (228) sampai dengan (230) menunjukkan adanya
penggunaan gaya bahasa litotes. Pada contoh (228), gaya bahasa litotes
tersebut diwujudkan melalui pilihan kata kelas kata adjektiva kerdil.
Contoh tersebut menunjukkan sebuah kerendahan hati tokoh aku (Ikal)
yang menganggap bahwa dirinya kecil, tidak memiliki kekuatan apa-apa di
hadapan A Ling. Adapun contoh (229), penanda gaya bahasa yang
digunakan adalah frasa tak secuil yang berarti tak sedikit. Contoh tersebut
memperlihatkan kerendahan hati Ikal yang menganggap bahwa tak sedikit
pun ia memenuhi kualifikasi Katya. Selanjutnya, pada contoh (230) gaya
bahasa diwujudkan melalui frasa lelaki udik. Tokoh aku (Ikal) menganggap
dirinya hanyalah lelaki udik. Kata udik maksudnya di sini adalah kiasan
yang berarti bodoh. Berdasarkan arti kata udik tersebut, terlihat bahwa
contoh (230) menggunakan gaya bahasa litotes.
3) Gaya Bahasa Asindeton
Gaya bahasa asindeton adalah suatu gaya bahasa pengungkapan
frasa, klausa, kalimat atau wacana yang tidak dihubungkan oleh kata
sambung (konjungsi). Pewujudan gaya bahasa asindeton dalam NTLP
dapat dilihat pada contoh berikut.
(231) Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan,
sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek
di radio AM. (LP: 458)
(232) Dihadapan kitab suci itu ia seperti orang mengadu, seperti
orang yang takluk, seperti orang yang kelelahan berjuang
221
melawan rasa kehilangan seluruh orang yang dicintainya.
(SP: 33)
(233) Dengan kaki tenggelam di dalam lumpur sampai ke lutut
kami tak surut menggantungkan cita-cita di bulan; ingin
sekolah ke Prancis, ingin menginjakkan kaki-kaki miskin
kami di atas altar suci almamater Sorbonne, ingin
menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. (SP: 268)
Contoh (231) sampai dengan (233) menunjukkan adanya gaya
bahasa asindeton . Acuan yang padat tersebut tidak dihubungkan oleh
konjungsi. Gaya bahasa asindeton pada contoh (231) diwujudkan secara
paralel. Pada contoh (231), terlihat kesejajaran penggunaan preposisi
(kata depan) sambil yang menjelaskan rentetan aktivitas tokoh aku (Ikal).
Adapun contoh (232), terlihat kesejajaran penggunaan bentuk frasa
nomina seperti orang, dan contoh (233), kesejajaran tersebut terlihat
melalui penggunaan adverbial (kata keterangan) ingin. Acuan yang padat
tersebut merupakan uraian tentang keinginan-keinginan Ikal dan Arai.
4) Gaya Bahasa Polisindenton
Gaya bahasa polisindenton adalah suatu gaya bahasa yang
merupakan kebalikan dari asindeton . Gaya bahasa polisindenton adalah
gaya bahasa dengan pengungkapan frasa, klausa, kalimat atau wacana
yang dihubungkan oleh kata sambung (konjungsi). Beberapa contoh
pewujudan gaya bahasa polisidenton dalam NTLP adalah:
(234) Aku merasa kenal dengan gerbang desa berukir ayam
jantan itu, dengan pohon-pohon willow di pekarangan itu,
dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga
daffodil dan asturia di pagar peternakan itu. (EDS: 288)
(235) Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain
merasa amat pedih: pedih pada orangtua kami yang tak
222
mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah
sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin
sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi
tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena
kekurangan satu murid. (LP: 5)
(236) Yang kutahu, ketika melihat matanya yang bening dan
kesakitan, hatiku ngilu, ketika melihat jalannya timpang
karena burut mengisap air dalam tubuhnya, mengupul di
selangkang, kubuang pandanganku karena hatiku perih,
dan ketika melihatnya tidur, memasrahkan tubuhnya
dikhianati nasib pada senyap sungai payau, aku gelisah
sepanjang malam. (EDS: 4)
Sebagai kebalikan dari gaya bahasa asindeton , penggunaan gaya
bahasa polisindenton terlihat pada contoh (234) sampai dengan (236).
Acuan yang padat pada contoh-contoh tersebut ditandai oleh kata, frasa,
klausa yang sederajat yang dihubungkan oleh konjungsi yang menyatakan
penambahan, yakni dan. Pewujudan gaya bahasa polisindenton pada
contoh (234) terihat melalui kesejajaran penggunaan preposisi dengan,
yang pada akhir uraian ditandai oleh konjungsi penambahan dan. Sama
halnya contoh (235) dan (236) yang diwujudkan melalui paralelisme,
penggunaan bentuk adjektiva sedih dan konjungsi ketika, yang pada akhir
uraian dihubungkan dengan konjungsi dan.
5) Gaya Bahasa Erotesis
Gaya bahasa erotesis/pertanyaan retoris adalah gaya bahasa
berupa semacam pertanyaan yang biasanya dipergunakan dalam pidato
atau tulisan dengan tujuan mencapai efek yang lebih mendalam dan
penekanan yang sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban.
Pewujudan gaya bahasa erotesis dalam NTLP dapat dilihat berikut:
223
(237) Menduga–duga: apa ya yang dikerjakan kalau tidak sedang
bermain film tolol? Anjing siapakah yang digendongnya?
Apakah dia bisa mengaji? (SP: 99)
(238) Pulau Belitong tumpah darahku, terapung-apung tegar, tak
pernah lindap diganyang ombak dua samudera dahsyat
yang bergelora mengurungmu, Belitong yang kukuh tak
terkalahkan, kapankah aku akan melihatmu lagi? (SP: 221)
Gaya bahasa erotesis yang ditunjukkan contoh (237) dan (238)
diwujudkan melalui penggunaan pilihan kata yang berkelas kata interogatif
apa, siapa dan kapan yang ditambahkan dengan partikel -kah yang
berfungsi untuk memberi penegasan. Selain penggunaan kata interogatif,
gaya bahasa erotesis juga diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas
kata verba adakah dan adverbial akankah, contoh:
(239) Demikian indahkah hidup dilihat dari mata Arai? Beginikah
seorang pemimpi melihat dunia? (SP: 21)
(240) Adakah merekah telah semena-mena pada rezeki Tuhan
sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji
bangsa Lemuria? (LP: 38)
(241) Akankah bahasa mereka yang indah hilang ditelan zaman?
(LP: 165)
Ketiga bentuk pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang tidak
memerlukan jawaban secara langsung. Pertanyaan tersebut dilontarkan
tokoh aku untuk ditanyakan kepada dirinya sendiri sebagai bentuk
kepasrahan, kekecewaan, dan harapan.
Adapun pewujudan gaya bahasa erotesis pada NTNLM, juga dapat
dilihat pada contoh berikut:
(242) Ya Tuhan, apakah Ayah telah pergi? Apa ini kefanahan yang Engkau janjikan? Bahwa mati adalah kepastian paling pasti dalam hidup? Aku terpekur dengan perasaan berkecamuk. (RTW: 96)
224
(243) Ya Tuhan, apakah memang sesusah ini mencari sesuap nasi ? (RTW: 113)
(244) Ya Tuhan, kenapa Engkau beri aku ujian berlipa-berlipat seperti ini? Di manakah kemudahan yang Engkau janjikan setelah kesukaran itu? Aku lelah sekali .(RTW: 140)
Gaya bahasa erotesis yang ditunjukkan pada contoh (242) sampai
dengan (244) diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata
interogatif apa, kenapa, dan di mana yang ditambahkan dengan partikel
-kah yang berfungsi untuk memberi penegasan. Penggunaan gaya
bahasa eretosis bertujuan mencapai efek yang lebih mendalam.
Pertanyaan-pertanyaan pada contoh-contoh tersebut, sebenanrnya
ditujukan kepada Allah SWT.
6) Gaya Bahasa Koreksio
Gaya bahasa koreksio/epanotesis adalah suatu gaya bahasa
yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian
memperbaikinya. Pewujudan gaya bahasa koreksio dalam NTLP dapat
dilihat pada contoh berikut.
(245) “Lima belas pesawat jet tempur F-16 musuh menderu-deru mencari helikopter! Ah, aku keliru, bukan lima belas! Dua puluh enam! Suaranya dahsyat, sesekali mereka menembakkan roket, bumi bergetar-getar!” (MK: 144)
(246) Ketika pingsan, aku tak sadar. Ah, bodoh sekali. Maksudku ketika pingsan, aku tahu bahwa aku sedang pingsan. Bodoh lagi. (MK: 475)
Contoh (245) dan (246) menunjukkan adanya penggunaan gaya
bahasa koreksio. Gaya bahasa tersebut diwujudkan dengan cara
memberikan pernyataan terlebih dahulu kemudian memberikan koreksi
terhadap hal yang telah dinyatakan. Contoh (245) menunjukkan koreksi
225
yang diwujudkan melalui kelas kata numeralia sedangkan contoh (246)
koreksi diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata adjektiva.
2. Persamaan dan Perbedaan Pewujudan Gaya Bahasa dalam NTLP dan
NTNLM
Pada bagian ini akan diuraikan persamaan dan perbedaan
pewujudan gaya bahasa pada NTLP dan NTNLM. Kedua novel berseri
tersebut menunjukkan kesamaan, yakni ditemukannya empat jenis gaya
bahasa yang merupakan bagian dari gaya bahasa kiasan dan gaya
bahasa retoris dengan klasifikasi tertentu dan dengan jumlah penggunaan
yang lebih besar dari pada gaya bahasa lainnya. Pada NTLP ditemukan
gaya bahasa simile sebanyak 57 contoh, personifikasi sebanyak 12
contoh, metafora sebanyak 32 contoh, antonomasia sebanyak 12 contoh,
metonimi sebanyak 3 contoh, eponim sebanyak 3 contoh, gaya bahasa
hiperbola sebanyak 12 contoh dan erotesis sebanyak 3 contoh. Adapun
pada NTNLM ditemukan gaya bahasa simile sebanyak 24 contoh,
personifikasi sebanyak 18 contoh, metafora sebanyak 15 contoh,
antonomasia sebanyak 8 contoh, metonimi sebanyak 3 contoh, eponim
sebanyak 3 contoh, gaya bahasa hiperbola sebanyak 15 contoh, erotesis
sebanyak 3 contoh. Di samping kesamaan jenis gaya bahasa, terdapat
pula gaya bahasa yang hanya ditemukan pada salah satu novel berseri
tersebut. Gaya bahasa tersebut, yaitu gaya bahasa sarkasme,
paronomasia, litotes, asindeton, polisindeton dan koreksio masing-masing
sebanyak 3 contoh.
226
Selanjutnya, berdasarkan persamaan dan perbedaan
penggunaan jenis gaya bahasa pada kedua novel berseri tersebut,
terdapat pula persamaan dan perbedaan dalam mewujudkan gaya bahasa
pada NTLP dan NTNLM. Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya
bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris pada NTLP dan NTNLM dapat
dilihat melalui tabel.
a. Gaya Bahasa Kiasan
1) Gaya Bahasa Simile
Berikut ini persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa
simile dalam NTLP dan NTNLM.
227
Tabel 1.1 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Simile
Kelas Kata
Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel
NTLP NTNLM
Terbanding/
Hal yang dibandingkan
Pembanding
Terbanding/
Hal yang dibandingkan
Pembanding
Verba
Dasar bebas
Nomina fauna - -
Verba intransitif
(ber- dan meng-)
Nomina fauna Verba intransitif ber-
Nomina fauna
Verba reduplikasi
berubah bunyi
Nomina fauna - -
Verba berproses
gabung
Nomina fauna Verba berproses gabung
Nomina fauna
Nomina
Nomina anggota
tubuh
Nomina fauna Nomina anggota Nomina fauna
Nomina flora
Tubuh
Nomina flora
Verba
Penggunaan
afiks se-
Nomina bunyi Nomina fauna Nomina bunyi Nomina bunyi
Nomina persona
Nomina fauna Nomina persona Nomina fauna
Nomina nama
diri
- -
Nomina fauna Nomina fauna - -
Pronomina Pronomina
persona pertama
tunggal
Nomina fauna -
-
Pronomina
persona pertama
jamak
Nomina fauna Pronomina persona pertama jamak
Nomina fauna
Pronomina
persona ketiga
tunggal
Nomina fauna -
- Nomina nama
diri
Pronomina
persona ketiga
jamak
Nomina fauna -
- Nomina
wilayah
Adjektiva
Adjektiva
Nomina fauna - -
Nomina benda
alam
- -
Nomina
berkarakter
keras
-
-
228
Persamaan pewujudan gaya bahasa simile kedua novel berseri
tersebut terlihat pada pilihan kata yang berkelas kata verba, nomina, dan
pronomina. Gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas
kata verba diwujudkan melalui verba intransitif (ber- dan meng-) dan
verba berproses gabung (prefiksasi ber- dan meng- + reduplikasi) sebagai
terbanding sedangkan pembanding diisi oleh nomina fauna. Selanjutnya,
gaya bahasa simile berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina
diwujudkan melalui nomina anggota tubuh, nomina bunyi, dan nomina
persona sebagai terbanding. Adapun pewujudan gaya bahasa simile
berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata pronomina, yakni dengan
pronomina persona pertama jamak sebagai terbanding dan nomina fauna
sebagai pembanding.
Perbedaan pewujudan gaya bahasa simile kedua novel berseri
tersebut terlihat pula pada pilihan kata yang berkelas kata verba, nomina,
pronominal, dan adjektiva. Pada NTLP, tampak gaya bahasa simile
berdasarkan kelas kata verba itu diwujudkan melalui verba dasar bebas
dan verba reduplikasi berubah bunyi sebagai terbanding dan nomina
fauna sebagai pembanding dan ini tidak ditemukan dalam NTNLM.
Selanjutnya, berdasarkan kelas kata nomina, perbedaan itu juga terlihat
melalui pewujudan gaya bahasa berdasarkan nomina fauna sebagai
terbanding dan nomina fauna sebagai pembanding yang hanya ditemukan
pada NTLP tidak pada NTNLM. Adapun berdasarkan pilihan kata
pronomina, perbedaan itu tampak melalui keketatan pewujudan gaya
229
bahasa simile pada NTLP. Pada NTLP gaya bahasa simile diwujudkan
melalui pronomina persona pertama tunggal, pronomina persona ketiga
tunggal, dan pronominal persona ketiga jamak sebagai terbanding dan
nomina fauna serta nomina nama diri dan nomina wilayah sebagai
pembanding dan ini tidak dijumpai pada NTNLM. Begitu pun halnya pada
pilihan kata yang berkelas kata adjektiva, gaya bahasa simile tersebut
diwujudkan melalui adjektiva sebagai terbanding dan nomina fauna,
benda alam, dan nomina berkarakter keras sebagai terbanding dan hanya
ditemukan dalam NTLP .
2) Gaya Bahasa Personifikasi
Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa
personifikasi dalam NTLP dan NTNLM dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.2 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Personifikasi
Kelas Kata
Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa dalam Novel
Cara Berpersonifikasi
dalam NTLP
Cara Berpersonifikasi
dalam NTNLM
Nomina
Nomina anggota tubuh
Verba transitif meng-
Verba transitif meng-
Verba intransitif ber-
dan meng-
Verba proses gabungan
Nomina benda alam Verba intransitif meng-
Verba pasif di-
Nomina benda langit Verba transitif meng- Verba intransitif meng-
Nomina tidak konkret Verba transitif meng- -
Nomina fenomena alam
- Verba berproses gabung
Persamaan pewujudan gaya bahasa personifikasi pada NTLP dan
NTNLM terlihat pada pilihan kata yang berkelas kata nomina. Gaya
230
bahasa personifikasi diwujudkan melalui nomina anggota tubuh, nomina
benda alam, dan nomina benda langit. Namun, ada perbedaan yang
ditemukan dari segi cara kedua pengarang novel berseri tersebut
berpersonifikasi. Pada NTLP, gaya bahasa personifikasi yang diwujudkan
melalui kelas kata nomina tersebut dipersonifikasikan secara ketat, yakni
melalui verba transitif dan intransitif meng-. Adapun pada NTNLM, gaya
bahasa personifikasi yang diwujudkan melalui kelas kata nomina tersebut
dipersonifikasikan lebih longgar tetapi lebih kreatif melalui verba transitif
meng-, intransitif ber- dan meng-, verba berproses gabung, dan verba
pasif di-.
Selain perbedaan cara berpersonifikasi, perbedaan lain yang
ditemukan, yakni perihal pilihan kata nomina yang digunakan. Pada NTLP
gaya bahasa personifikasi juga diwujudkan melalui kelas kata nomina
tidak konkret sedangkan pada NTNLM gaya bahasa personifikasi juga
diwujudkan melalui kelas kata nomina fenomena alam.
231
3) Gaya Bahasa Metafora
Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa metafora
dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 1.3 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Metafora
Kelas Kata
Pewujudan Gaya Bahasa
NTLP NTNLM
Nomina
Nomina anggota tubuh -
Nomina benda alam -
Nomina benda langit -
Nomina abstrak -
Nomina nama diri Nomina nama diri
Nomina sapan khas jenis
kelamin
-
Nomina tempat -
Nomina wilayah -
- Nomina sapaan kekerabatan
Pronomina
Pronomina persona
pertama tunggal
Pronomina persona
pertama tunggal
Pronomina persona
pertama jamak
Pronomina persona
pertama jamak
Pronomina persona
ketiga tunggal
Pronomina persona
ketiga tunggal
Persamaan pewujudan gaya bahasa metafora antara NTLP dan
NTNLM, yaitu keduanya sama-sama diwujudkan melalui pilihan kata yang
berkelas kata nomina khusus nomina nama diri, pilihan kata yang berkelas
kata pronomina, yaitu pronomina persona pertama tunggal, pronomina
persona pertama jamak, dan pronomina persona ketiga tunggal, serta
pilihan kata yang berkelas kata demonstratif.
Adapun perbedaan kedua novel berseri tersebut terletak pada
pilihan kata yang berkelas kata nomina. Pada NTLP, Andrea Hirata terlihat
232
lebih kreatif dalam mewujudkan gaya bahasa metafora berdasarkan
pilihan kata yang berkelas kata nomina dibandingkan Ahmad Fuadi.
Andrea Hirata dalam NTLP mewujudkan gaya bahasa metafora
berdasarkan pilihan kata yang berkelas kata nomina yang tampak
berbeda dari NTNLM, yaitu melalui nomina anggota tubuh, benda alam,
benda langit, nomina abstrak, nomina sapaan jenis kelamin, nomina
tempat dan nomina wilayah.
4) Gaya Bahasa Antonomasia
Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa
antonomasia dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 1.4 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Antonomasia
Kelas Kata
Pewujudan Gaya Bahasa
NTLP NTNLM
Nomina Nomina Nomina
Artikula
Sang + nomina fauna Sang + nomina pangkat
Si + adjektiva nomina nama orang
Si + nomina nama orang
Gaya bahasa antonomasia kedua novel berseri tersebut memiliki
persamaan pada pewujudan gaya bahasa berdasarkan pilihan kata yang
berkelas kata artikula. Pada kedua novel berseri tersebut, kelas kata
artikula sama-sama diwujudkan melalui bentuk kata sang dan si. Namun,
artikula tersebut diikuti nomina serta adjektiva yang berbeda.
Perbedaan NTLP dan NTNLM tersebut terletak pada kekreatifan
Andrea Hirata dalam bergaya bahasa. Andrea Hirata dalam NTLP
mewujudkan gaya bahasa antonomasia secara lebih kreatif melalui pilihan
233
kata yang berkelas kata nomina, pronomina. dan artikula sedangkan
Ahmad Fuadi dalm NTNLM mewujudkan gaya bahsa antonomasia melalui
pilihan kata yang berkelas kata artikula.
5) Gaya Bahasa Metonimi
Persamaan pewujudan gaya bahasa metonimi dalam NTLP dan
NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 1.5 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Metonimi
Kelas kata
Pewujudan Gaya Bahasa
NTLP NTNLM
Nomina Nomina transportasi Nomina transportasi
6) Gaya Bahasa Eponim
Persamaan pewujudan gaya bahasa eponim dalam NTLP dan
NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 1.6 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Eponim
Kelas kata
Pewujudan Gaya Bahasa
NTLP NTNLM
Nomina Nomina nama orang Nomina nama orang
Adapun persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa
retoris pada dua novel berseri Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara dapat
dilihat melalui tabel dan uraian di bawah ini.
234
b. Gaya Bahasa Retoris
1) Gaya Bahasa Hiperbola
Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa
hiperbola dalam NTLP dan NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 1.7 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Hiperbola
Kelas kata
Pewujudan Gaya Bahasa
NTLP NTNLM
Nomina
Nomina anggota tubuh
Verba intransitif meng
Verba intransitif meng-
Verba berproses gabung
Adjektiva
Nomina tidak konkret
Verba intransitif meng- -
Verba berproses gabung
-
Nomina bersuara - Verba intransitif meng-
Pronomina
Pronomina persona pertama tunggal
Verba intransitif meng-
-
Verba - Nomina tidak konkret
Persamaan pewujudan gaya bahasa hiperbola pada kedua novel
berseri, yakni keduanya sama-sama diwujudkan melalui pilihan kata yang
berkelas kata nomina anggota tubuh. Akan tetapi pengungkapannya
dengan cara berhiperbola yang berbeda. Pada NTLP, pilihan kata yang
berkelas kata nomina anggota tubuh berhiperbola dengan verba intransitif
meng- sedangkan pada NTNLM, Ahmad Fuadi terlihat lebih kreatif dengan
mewujudkan nomina anggota tubuh yang berhiperbola melalui verba
intransitif meng-, verba berproses gabung, dan adjektiva. Di samping itu,
perbedaan lain yang tampak adalah pada NTLP gaya bahasa hiperbola
juga diwujudkan melalui pilihan kata nomina tidak konkret yang
235
berhiperbola dengan verba intransitif meng- dan proses berproses
gabung sedangkan pada NTNLM gaya bahasa hiperbola hanya
diwujudkan melalui pilihan kata nomina bunyi yang berhiperbola dengan
verba intransitif meng-.
Perbedaan selanjutnya terlihat pada pewujudan gaya bahasa
hiperbola melalui pilihan kata kelas kata verba yang hanya ditemukan
pada NTNLM. Gaya bahasa hiperbola yang diwujudkan melalui kelas kata
verba ini berhiperbola dengan nomina tidak konkret. Adapun gaya bahasa
hiperbola yang diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas kata
pronomina, hanya ditemukan pada NTLP yang berhiperbola melalui
nomina intransitif meng-.
2) Gaya Bahasa Erotesis
Persamaan dan perbedaan pewujudan gaya bahasa erotesis dalam
NTLP dan NTNLM dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 1.8 Perbandingan Pewujudan Gaya Bahasa Erotesis
Pewujudan Gaya Bahasa
NTLP NTNLM
Interogatif Interogatif
Persamaan pewujudan gaya bahasa erotesis dalam NTLP dan
NTNLM yakni sama-sama diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas
kata interogatif. Adapun perbedaan yang tampak pada novel berseri
Laskar Pelangi, yakni ditemukan gaya bahasa erotesis yang bukan hanya
236
diwujudkan dengan kata tanya penanda interogatif melainkan juga dengan
pilihan kata yang berkelas kata verba dan adverbial.
237
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Karya sastra merupakan karya hasil imajinasi, ekspresi, pikiran,
dan perasaan pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan melalui
media bahasa. Setiap pengarang mendayagunakan kemampuan
berbahasa yang dimilikinya secara berbeda-beda. Persamaan dan
perbedaan penggunaan bahasa Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi dapat
dilihat dalam NTLP dan NTNLM.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa dalam
NTLP ditemukan delapan jenis gaya bahasa kiasan, yaitu (1) simile, (2)
personifikasi, (3) metafora, (4) metonimi, (5) sarkasme, (6) antonomasia,
(7) eponim, dan (8) paronomasia dan enam jenis gaya bahasa retoris,
yaitu (1) hiperbola, (2) litotes, (3) asindeton, (4) polisindenton, (5) erotesis,
dan (6) koreksio. Selanjutnya, dalam NTNLM ditemukan enam jenis gaya
bahasa kiasan, yaitu (1) simile, (2) personifikasi, (3) metafora,
(4) metonimi, (5) antonomasia, dan (6) eponim, dan dua jenis gaya
bahasa retoris, yaitu (1) hiperbola dan (2) erotesis. Gaya bahasa tersebut
diwujudkan melalui sembilan jenis kelas kata yang digunakan sebagai
pilihan katanya. Sembilan jenis kelas kata tersebut, yaitu (1) nomina, (2)
verba, (3) adjektiva, (4) pronomina, (5) interogatif, (6) numeralia (7)
artikula, (8) konjungsi, dan (9) adverbia.
237
238
Berdasarkan analisis pewujudan gaya bahasa pada kedua novel
berseri yang memiliki tema utama yang sama tersebut, secara umum
dapat disimpulkan bahwa Andrea Hirata dalam NTLP dan Ahmad Fuadi
dalam NTNLM sama-sama menggunakan gaya bahasa simile,
personifikasi, metafora, dan hiperbola dengan intensitas pemakaian yang
lebih tinggi daripada gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris lainnya.
Persentase penggunaan gaya bahasa pada NTLP, yaitu gaya bahasa
simile sebesar 50%, personifikasi 11%, metafora 28%, dan hiperbola 11%
sedangkan pada NTNLM, yaitu gaya bahasa simile sebesar 33%,
personifikasi 25%, metafora 21%, dan hiperbola 21%.
Berdasarkan persentase tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pada kedua novel berseri itu, gaya bahasa simile merupakan gaya bahasa
dengan intensitas penggunaan yang lebih besar daripada gaya bahasa
lainnya. Gaya bahasa kiasan simile dalam NTLP dan NTNLM sama-sama
diwujudkan melalui kelas kata verba, nomina, dan pronomina. Namun,
berdasarkan pewujudan gaya bahasa simile tersebut, Andrea Hirata
dalam NTLP terlihat bersimile lebih kreatif daripada Ahmad Fuadi dalam
NTNLM. Andrea Hirata mewujudkan gaya bahasa simile melalui kata-kata
yang menyatakan perbandingan, yaitu: seperti, laksana, seumpama, tak
ubahnya, bak, dan persis sedangkan Ahmad Fuadi mewujudkan gaya
bahasa simile melalui kata-kata yang menyatakan perbandingan, yaitu
kata seperti, bagai, dan penggunaan prefiks se-. Selain itu, Andrea Hirata
dalam NTLP secara lebih ketat mewujudkan gaya bahasa simile dengan
239
posisi pembanding yang dominan diisi oleh nomina fauna yakni sebesar
69% sedangkan Ahmad Fuadi dalam NTNLM mewujudkan gaya bahasa
simile dengan posisi pembanding yang diisi oleh nomina fauna secara
lebih longgar.
Adapun gaya bahasa kiasan personifikasi juga ditemukan dalam
NTLP dan NTNLM yang diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas
kata nomina. Perbedaan kedua novel berseri tersebut terletak pada cara
pengarang berpersonifikasi. Andrea Hirata dalam NTLP berpersonifikasi
secara lebih ketat sedangkan Ahmad Fuadi berpersonifikasi lebih longgar.
Keketatatan yang dimaksud adalah penggunaan verba transitif dan
intransitif meng- yang terwujud secara konsisten. Selanjutnya, Ahmad
Fuadi berpersonifikasi secara lebih kreatif daripada Andrea Hirata. Ini
dapat dikatakan demikian karena gaya bahasa personifikasi tersebut tidak
hanya diwujudkan melalui verba transitif dan intransitif meng- tetapi juga
melalui verba transitif dan intransitif meng- dan ber-, verba pasif di- dan
verba berproses gabung.
Selanjutnya, gaya bahasa metafora pada kedua novel berseri
tersebut juga sama-sama diwujudkan melalui pilihan kata yang berkelas
kata nomina dan pronomina. Namun, Andrea Hirata dalam NTLP terlihat
bermetafora dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Ahmad Fuadi dalam NTNLM. Pada pilihan kata nomina tersebut, Andrea
Hirata bermetafora secara lebih variatif daripada Ahmad Fuadi. Gaya
bahasa metafora dalam NTLP diwujudkan melalui nomina anggota tubuh,
240
nomina benda alam, nomina benda langit, nomina abstrak, nomina nama
diri, nomina sapaan khas jenis kelamin, nomina tempat, dan nomina
wilayah. Adapun dalam NTNLM gaya bahasa metafora diwujudkan
melalui nomina nama diri dan nomina sapaan kekerabatan.
Selain gaya bahasa kiasan, pada NTLP dan NTNLM juga
ditemukan gaya bahasa retoris, yaitu gaya bahasa hiperbola. Pada kedua
novel berseri tersebut, gaya bahasa hiperbola sama-sama diwujudkan
dengan hiperbola yang bersifat kualitatif melalui pilihan kata yang berkelas
kata nomina khusus dan nomina anggota tubuh. Pada kelas kata nomina
anggota tubuh tersebut, Ahmad Fuadi dalam NTNLM terlihat berhiperbola
secara lebih variatif melalui verba intransitif meng-, verba berproses
gabung dan adjektiva sedangkan Andrea Hirata dalam NTLP hanya
berhiperbola melalui verba intransitif meng-.
Selanjutnya, gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa retoris
dengan intensitas penggunaan yang tidak terlalu tinggi, yang ditemukan
dalam NTLP dan NTNLM, yaitu gaya bahasa metonimi, antonomasia,
eponim, dan erotesis. Adapun gaya bahasa kiasan dan gaya bahasa
retoris dengan intensitas penggunaan yang tidak terlalu tinggi dan hanya
ditemukan dalam NTLP, yaitu gaya bahasa sarkasme, paranomasia,
litotes, asindeton , polisindenton, dan koreksio.
Berdasarkan simpulan penelitian yang telah diuraiakan tersebut,
dapat dikatakan bahwa Andrea Hirata dalam gaya bahasa simile
mengisahkan ide-ide ceritanya melalui pilihan kata yang berkelas kata
241
nomina fauna secara ketat. Keketatan ini dapat dilihat berdasarkan
intensitas penggunaan nomina fauna yang lebih besar dibandingkan
nomina yang lain, yaitu sebesar 69%. Kekhasan pemakaian bahasa
tersebut tentu saja tidak terlepas dari faktor sosiokultural dan pendidikan
pengarangnya. Selain itu, Andrea Hirata mengungkap ide dan
gagasannya melalui gaya bahasa yang kreatif. Kekreatifan tersebut dapat
dilihat pada variasi jenis gaya bahasa yang ditemukan dalam NTLP.
Andrea Hirata berupaya mengeksplorasi kemampuan bergaya bahasa
yang dimilikinya melalui penggunaan gaya bahasa yang lebih variatif.
Adapun Ahmad Fuadi menunjukkan kekreatifannya melalui gaya
bahasa personifikasi yang diwujudkan melalui kelas kata verba yang
bervariasi. Ahmad Fuadi dalam NTNLM tampak mendayagunakan
kemampuan berbahasa yang dimilikinya dengan menggunakan pilihan
kata yang lebih mudah dipahami oleh pembaca.
B. Saran
Kajian stilistika terhadap karya sastra novel dan puisi memiliki
peranan yang sangat penting bagi kemajuan studi stilistika di Indonesia,
khususnya di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Studi
stilistika ini mampu menemukan perihal pendayagunaan kemampuan
berbahasa yang dimiliki oleh pengarang dalam menuliskan karya-
karyanya. Kajian stilistika berupaya menemukan ciri kebahasaan yang
khas dari pengarang dengan objek berupa novel atau puisi. Terkait
242
dengan kajian stilistika ini, terdapat beberapa hal yang menjadi saran
untuk pembaca dan untuk penelitian selanjutnya. Beberapa saran yang
dimaksudkan adalah:
1. Kajian stilistika terhadap karya sastra NTLP dan NTNLM masih
terbuka untuk diteliti lebih lanjut, terutama pada pewujudan gaya
bahasa berdasarkan pembagian jenis gaya bahasa lainnya.
2. Karya sastra, khususnya NTLP terdiri atas empat buah novel, yaitu
Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov.
Adapun NTNLM terdiri atas tiga buah novel, yaitu: Negeri 5 Menara,
Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara. Kedua novel berseri tersebut
sangat kaya dengan unsur-unsur kebahasaan dan sangat
memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut dengan penangan yang lebih
dalam dan luas, terutama mengenai analisis jenis gaya bahasa dan
pewujudan gaya bahasa tersebut.
243
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1976. The Mirror and The Lamp : Romantic Theory and The Critical Tradition. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Ali, Sopyan. ”Kajian Stilistika Pragmatik Gaya Bahasa pada Puisi Shaykh
Hamza Yusuf Hanson”. Jurnal Ilmiah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Diunduh pada tanggal 23 Maret 2017 pada situs https://Www.Academia.Edu/12171715/Kajian_Stilistika_Pragmatik_Gaya_Bahasa_Pada_Puisi_Shaykh_Hamza_Yusuf_Hanson .
Aminuddin. 1995. Stilistika : Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Anonim. 2016. ”Pengertian, Jenis, Ciri-ciri dan Unsur-unsur Novel” . http://www.seputarilmu.com/2016/02/pengertian-11-jenis-ciri-ciri-dan-unsur.html . Diunduh pada tanggal 02 Maret 2017.
_________. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Sinar Baru.
Arianti, Ganik. 2011. Hubungan Intertekstual antara Novel Negeri Lima Menara Karya A. Fuadi dan Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata.Skripsi. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism : An Introduction to Theory and Practice. Second Edition. New Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River.
Child, Peter and Roger Fowler. 2006. The Routledge Dictionary of Literary Terms. London and New York: Routledge.
Crystal, David. 2000. New Perspectives of Language Study 1 : Stylistics. University of Reading: Department of Linguistiks Science.
Darwis, Muhammad. 1998. “Penyimpangan Gramatikal dalam Puisi Indonesia”.(Disertasi). Makassar: PPS.Unhas.
________________. 2002. “Pola-Pola Gramatikal dalam Puisi Indonesia”. Jurnal ilmiah nasional terakreditasi Dikti. Mayarakat Linguistik Indonesia volume 20. Nomor.1
________________.2009.“Kelainan Ketatabahasaan dalam Puisi Indonesia: Kajian Stilistika”. Diunduh pada pukul 14.00, tanggal 17 Februari 2017 pada situs www.respository.unhas.ac.id.
Fuadi, Ahmad. 2009. Negeri 5 Menara. Jakarta: Gramedia.
____________. 2011. Ranah 3 Warna. Jakarta: Gramedia.
244
____________.2013. Rantau 1 Muara. Jakarta: Gramedia.
Faruk.1994. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik Sampai Post Modernisme.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hermoyo, Panji. 2015. ”Analisis Kritik Sastra Puisi Surat Kepada Bunda:Tentang Calon Menantunya Karya W.S. Rendra”. Didaktis, Vol 15, No.1.
Hirata A. 2005. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
_______. 2006. Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
_______. 2007. Edensor. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
_______. 2008. Maryamah Karpov. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Jassin, H.B. 1979. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
Junus, Umar. 1989. Stilistik: Suatu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Keraf, Gorys. 1990. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
__________________. 2008. Kamus Linguistik. Ed. IV. Jakarta: PT Gramedia Pustka Utama.
Leech, Geoffrey dan Michael H.Short. 1993. (diterjemahkan oleh umar Junus). Gaya dalam Cerita Rekaan: Penerapan Linguistik dalam Prosa Cereka Inggris. Dewan Bahasa dan Pustaka: Selangor.
Marini, Eko. 2010. “Analisis Stilistika Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”.(Tesis). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Missikova, Gabriela. 2003. Linguistiks Stylistics. Nitra: Filozoficka Fakulta Univerzita Konstantina Filozofa.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahap Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Muslich, Masnur. 2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
245
_________________2014.Stilitika.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nuryadi. 2011. “Bahasa dalam Masyarakat: Suatu Kajian Sosiolinguistik”. Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Univeristas Gajah Mada.
____________________. 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra: Teori dan Penerapannya.Yogyakarta: Gadja Mada University Press.
Prasetyo, Dwi Jalu. 2014. “Studi Komparasi Novel Lakar Pelangi karya Andrea Hirata dan Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi (Pendekatan Strukturalisme Robert Stanton)”. (Skripsi). Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Putri, Inieke Kusuma. 2013. “Analisis Gaya Bahasa Hiperbola dan Personifikasi pada Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi”. (Skripsi). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rahmawati. 2012. “Gaya Bahasa Andrea Hirata dalam Dwilogi Padang
Bulan: Kajian Stilistika”. (Tesis). Makassar: PPS. Unhas. Ramlan. 2001. Morfologi Suatu Tinjauan Deskripsi. Yogyakarta: CV
Karyono Ratna, Nyoman Kutha. 2016. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rismayanti. 2016. “Gaya Bahasa dalam Novel “Khadijah” Karya Sibel Eraslan”.(Tesis). Makassar. PPS Unhas.
Sayuti, Suminto A. 2001. ”Penelitian Stilistika : Beberapa Konsep
Pengantar”. Dalam Jabrohim (Ed) Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Shipley, Joseph T. 1979. Dictionary of World Literature: Forms,
Technique, Critics. USA: Boston The Writer, Inc. Simpson, Paul. 2004. Stylistics : A Resource Book for Student. New York:
Roudledge. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yoyakarta: Duta Wacana University Press.
246
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&d. Bandung: Alfabeta.
Suharjono, Dadi Waras. “Ragam Bahasa dalam Bahasa Indonesia”. Universitas Mercu Buana. Diakses melalui website www.mercubuana.ac.id pada tanggal 25 Juli 2017.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa.Bandung:
Angkasa
Teeuw, A. 1984. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan.
Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia. Widdowson H.G. 1997. Stilistika dan Pengajaran Sastra. Diterjemahkan
oleh Sudijah. Surabaya: Airlangga University Press.
247
LAMPIRAN
A. Tentang pengarang
ANDREA HIRATA
Andrea Hirata Seman Said Harun yang lebih dikenal dengan nama
Andrea Hirata merupakan anak keempat dari pasangan Seman Said
Harunayah dan NA Masturah. Andrea lahir di sebuah desa yang letaknya
cukup terpelosok di pulau Belitong, pada 24 Oktober Oktober 1982.
Tinggal di sebuah desa dengan segala keterbatasan memang cukup
mempengaruhi pribadi Andrea sedari kecil. Andrea mengaku lebih banyak
mendapatkan motivasi dari keadaan di sekelilingnya yang banyak
memperlihatkan keperihatinan.
Seperti yang diceritakannya dalam novel Laskar Pelangi, Andrea
kecil bersekolah di sebuah sekolah yang kondisi bangunannya sangat
mengenaskan dan hampir rubuh yang bernama SD Muhamadiyah.
Kondisi SD Muhamadiyah cukup memperihatinkan, di sekolah tersebut
Andrea bertemu dengan seorang guru yang hingga kini sangat
dihormatinya, yakni NA (Nyi Ayu) Muslimah. Perubahan dalam kehidupan
248
Andrea terjadi karena motivasi dan hasil didikan Bu Muslimah. Sosok
Muslimah menurut Andrea sangat menginspirasi hidupnya. Menjadi
seorang penulis pun diakui Andrea karena sosok Bu Muslimah. Sejak
kelas 3 SD, Andrea telah membulatkan niat untuk menjadi penulis yang
menggambarkan perjuangan Bu Muslimah sebagai seorang guru.
Setelah tamat dari SMA Negeri di Belitong, Andrea merantau ke
jawa untuk menggapai cita-citanya sebagai seorang penulis dan
melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Saat berada di kapal laut,
Andrea mendapatkan saran dari sang nahkoda untuk tinggal di daerah
Ciputat. Dengan berbekal saran tersebut, ia pun menumpang sebuah bus
agar sampai di daerah Ciputat. Namun, supir bus ternyata malah
mengantarkan dirinya ke Bogor. Kepalang tanggung, Andrea lantas
memulai kehidupan barunya di kota hujan tersebut. Beruntung bagi
dirinya, Andrea mampu memperoleh pekerjaan sebagai penyortir surat di
kantor pos Bogor.
Dengan penuh perjuangan, Andrea berhasil masuk ke Universitas
Indonesia di Fakultas Ekonomi. Setelah menamatkan dan memperoleh
gelar sarjana di UI, Andrea kemudian mendapatkan beasiswa Uni Eropa
untuk studi Master of Science di Université de Paris, Sorbonne, Perancis
dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Andrea dalam
bidang ekonomi telekomunikasi mendapatkan penghargaan dari kedua
Universitas tersebut dan ia pun lulus dengan nilai cumlaude. Setelah
kembali ke tanah air, Andrea bekerja di PT Telkom tepatnya tahun 1997.
249
Novel pertama yang berjudul Laskar Pelangi telah membawa
nama Andrea Hirata ke puncak kejayaan sebagai seorang novelis
berprestasi yang mampu menggugah hati para pembacanya. Novel
Laskar pelangi memotret dunia pendidikan dan kehidupan sekolah dengan
semangat realitas dan humanis yang sangat menyentuh. Novel kedua,
Sang Pemimpi, Andrea mengungkap mimpi dua anak Melayu Kampung,
Ikal dan Arai. Novel ketiga Edensor bercerita tentang keberanian
bermimpi, kekuatan cinta, pencarian diri sendir, dan penaklukan-
penaklukan yang gagah berani. Novel keempat dalam rangka empat karya
tetralogi Laskar Pelangi adalah Maryamah Karpov. Dalam novel
Maryamah Karpov, Andrea berkisah tentang perempuan dari sudut
pandang yang berbeda dengan intelegensia yang meluap-luap.
250
AHMAD FUADI
Ahmad Fuadi lahir di Nagari Bayur Maninjau, Sumatera Barat, 30
Desember 1972. Ahmad Fuadi adalah seorang novelis, praktisi
konservasi, dan wartawan. Beliau termasuk seorang yang punya motivasi
tinggi dan seorang yang pekerja keras. Orang tuaya berprofesi sebagai
guru, ibunya guru SD sedangkan ayahnya adalah guru sekolah madrasah.
Masa pendidikan SD dan SMP ia jalani di tanah kelahirannya, yakni
di Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Atas permintaan ibunya, Ahmad
Fuadi melanjutkan pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern
Darussalam Gontor, Ponorogo tahun 1988 dan lulus tahun 1992. Di sana
dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan
mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Bermodalkan doa dan manjadda
wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka.
Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran
(UNPAD) Bandung dan lulus pada tahun 1997. Semasa kuliah, Fuadi
pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange
Program di Quebec, Kanada (1995-1996). Di ujung masa kuliah di
251
Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National
University of Singapore dalam program SIF Fellowship (1997).
Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali
terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo
menerimanya sebagai wartawan pada tahun 1998. Kelas jurnalistik
pertamanya dijalani dengan tugas-tugas reportase di bawah pengawasan
para wartawan kawakan Indonesia. Selanjutnya, jendela-jendela dunia
lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat
beasiswa Fulbright untuk program S2 di School of Media and Public
Affairs, George Washington University pada tahun 2001. Merantau ke
Washington DC bersama Yayi (Danya Dewanti) istrinya yang juga
wartawan Tempo adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan.
Di samping kuliah, mereka menjadi koresponden Tempo dan
wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September
dilaporkan mereka berdua secara langsung dari Pentagon, White House
dan Capitol Hill. Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia
mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway,
University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, pecinta fotografi
ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature
Conservancy pada tahun 2007 sampai sekarang.
Novel Negeri 5 Menara adalah karya pertamanya dan merupakan
salah satu bagian dari trilogi Negeri 5 Menara dengan kekuatan doa
manjadda wajada yang artinya barang siapa yang bersungguh-sungguh,
252
akan berhasil. Novel tersebut menceritakan tentang kegigihan seseorang
dalam meraih mimpi. Novel-novel yang ditulis Ahmad Fuadi berniat
merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang
sangat inspiratif. Begitupun dengan novel keduanya yang berjudul Ranah
3 Warna dengan kekuatan doa man shabara zhafira yang artinya siapa
yang bersabar akan beruntung, masih mengisahkan tentang perjuangan
tokoh Alif dalam mewujudkan mimipinya seperti Habibie dan novel ketiga
yang berjudul Rantau 1 Muara dengan kekuatan doa man saara ala darbi
washala yang artinya siapa yang berjalan dijalannya, akan sampai tujuan.
Novel terakhir dari trilogi Negeri 5 Menara ini bercerita tentang perjalanan
Alif dalam pencarian besar seorang manusia, yaitu meminta, belahan jiwa,
dan makna hidup. Perjalanan Alif ini pun dimulai ketika Alif lepas dari
pendidikan kuliah dan mencari pekerjaan di era yang salah.
253
B. Sinopsis
TETRALOGI LASKAR PELANGI
254
Laskar Pelangi
Kisah ini berasal dari sebuah daerah di Belitung, yakni di SD
Muhammadiyah. Saat itu menjadi saat yang menegangkan bagi anak-
anak yang ingin bersekolah di SD Muhammadiyah. Kesembilan murid,
yaitu Ikal, Lintang, Sahara, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani
tengah gelisah lantaran SD Muhammadiyah akan ditutup jika murid yang
bersekolah tidak genap sepuluh orang. SD Muhammadiyah adalah SD
islam tertua di Belitung, di sekolah inilah anak-anak yang berasal dari
kalangan kurang mampu dari segi materi bisa mengenyam pendidikan,
sehingga jika ditutup harapan anak-anak miskin tersebut untuk mencicipi
ilmu pengetahuan akan pupus.
Saat semua tengah gelisah datanglah Harun, seorang anak dengan
keterbelakangan mental. Ia menyelamatkan ke sembilan temannya yang
ingin bersekolah serta menyelamatkan berdirinya SD Muhammadiyah
tersebut. Dari sinilah kisah di sekolah SD Muhammadiyah itu dimulai.
Berawal dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan Pak
Harfan, perkenalan luar biasa dengan A Kiong, kejadian bodoh yang
dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes keras oleh
Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta
pertama Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda
80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah.
Semua kejadian tersebut sangat menghiasi kehidupan kesepuluh
anak yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Bu
255
Mus merupakan guru terbaik yang mereka milikilah, Bu Mus adalah sosok
perempuan tangguh dan hebat yang dengan ikhlas mendidik mereka.
Laskar Pelangi adalah nama yang diberikan Bu Mus kepada mereka
karena bu Mus tahu mereka semua sangat menyukai pelangi. Susah
maupun senang mereka lalui di dalam kelas yang menurut cerita pada
malam harinya kelas tersebut dijadikan kandang bagi hewan ternak. Di SD
Muhammadiyah itulah Ikal dan kawan-kawannya memiliki segudang
kenangan yang menarik.
Salah satu kisah menarik tersebut adalah kisah percintaan antara
Ikal dan A Ling yang berawal ketika Ikal disuruh oleh Bu Mus untuk
membeli kapur di tokoh milik keluarga A Ling. Ikal jatuh cinta pada kuku A
Ling yang indah. Ia tidak pernah menjumpai kuku seindah itu. Kemudian ia
tahu bahwa pemilik kuku yang indah tersebut adalah A Ling, Ikal pun jatuh
cinta padanya. Namun, pertemuan mereka harus diakhiri lantaran A Ling
pindah untuk menemani bibirnya yang sendiri. Kisah lainnya datang dari
sebuah perlombaan semacam karnaval, yang pada karnaval tersebut
Mahar menemukan sebuah ide untuk menari. Mereka para laskar pelangi
menari seperti orang kesetanan, hal tersebut dikarenakan kalung yang
mereka kenakan berasal dari buah tanaman yang membuat seluruh
badan gatal. Alhasil mereka pun menari layaknya orang yang tengah
kesurupan. Namun berkat semua itu akhirnya SD Muhammadiyah dapat
memenangkan perlombaan tersebut.
256
Pada suatu ketika datanglah Flo, seorang anak yang kaya
pindahan dari SD PN. Flo pun masuk dalam kehidupan laskar pelangi.
Kehadiran Flo di tengah-tengah mereka, sedikit membawa pengaruh
buruk bagi teman-temannya terutama Mahar yang duduk satu bangku
dengan Flo. Sejak kedatangan anak tersebut, nilai Mahar seringkali jatuh
dan jelek sehingga membuat bu Mus marah dan kecewa. Hari-hari
mereka selalu dihiasi dengan canda tawa dan tangis. Di balik keceriaan
itu, terdapat kisah yang mampu memotivasi yang datang dari salah
seorang anggota Laskar Pelangi bernama Lintang. Perjuangan Lintang
untuk mengenyam pendidikan perlu di acungi jempol. Ia rela menempuh
jarak 80 km untuk pulang dan pergi dari rumahnya ke sekolah agar ia bisa
belajar. Ia tidak pernah mengeluh meski pun saat perjalanan menuju
sekolah, ia harus melewati sebuah danau yang di dalamnya terdapat
seekor buaya. Lintang merupakan sosok murid yang sangat cerdas.
Kecerdasan Lintang terbukti saat ia bersama Ikal dan Sahara tengah
mengikuti sebuah perlombaan cerdas cermat. Lintang dapat menantang
dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah kaya PN yang berijazah dan
terkenal dengan jawabannya yang membuat ia memenangkan lomba
cerdas cermat. Namun, semua kisah indah Laskar Pelangi harus diakhiri
dengan perpisahan. Beberapa hari setelah perlombaan tersebut, Lintang
tidak masuk sekolah dan akhirnya bu Mus mendapatkan surat dari Lintang
yang isinya bahwa Lintang tidak dapat lanjut sekolah karena ayahnya
257
meninggal dunia. Tentu saja hal tersebut menjadi sebuah kesedihan yang
mendalam bagi anggota laskar pelangi.
Beberapa tahun kemudian saat mereka telah beranjak dewasa,
mereka semua banyak mendapat pengalaman yang berharga dari setiap
cerita di SD Muhammadiyah. Tentang sebuah persahabatan, ketulusan
yang diperlihatkan dan diajarkan oleh bu Muslimah, serta sebuah mimpi
yang harus mereka wujudkan. Ikal akhirnya melanjutkan sekolah,
sedangkan Mahar dan teman-teman lainnya menjadi orang-orang dapat
membanggakan Belitung
258
259
Sang Pemimpi
Novel ini adalah novel kedua dari tetralogi Laskar pelangi karya
Andrea Hirata. Sang Pemimpi adalah sebuah kisah kehidupan yang
mempesona yang akan membuat pembacanya percaya akan tenaga
cinta, percaya pada kekuatan mimpi dan pengorbanan, serta memperkuat
kepercayaan kepada Tuhan. Kisah ini berawal dari tiga orang pemimpi
yang setelah tamat SMP, melanjutkan pendidikan ke SMA. Ikal salah satu
dari anggota Laskar Pelangi dan Arai saudara sepupu Ikal yang sudah
yatim piatu sejak SD dan tinggal di rumah Ikal, sudah dianggap seperti
anak sendiri oleh Ayah dan Ibu Ikal, dan Jimbron anak angkat seorang
pendeta karena telah yatim piatu juga sejak kecil. Pendeta yang sangat
baik dan tidak memaksakan keyakinan Jimbron, justru mengantarkan
Jimbron menjadi muslim yang taat.
Arai dan Ikal adalah dua siswa yang pandai di sekolah, sedangkan
Jimbron si penggemar kuda ini biasa-biasa saja. Jimbron justru
menduduki rangking 78 dari 160 siswa, sementara Ikal dan Arai selalu
berada diperingkat lima dan tiga besar. Mimpi mereka sangat tinggi. Bagi
Arai, orang susah seperti mereka tidak akan berguna tanpa mimpi-mimpi.
Mereka berdua mempunyai mimpi yang tinggi yaitu melanjutkan belajar ke
Sorbonne Perancis. Mereka terpukau dengan cerita Pak Balia, kepala
sekolahnya, yang selalu meyebut-nyebut indahnya kota itu. Kerja keras
menjadi kuli ngambat mulai pukul dua pagi sampai jam tujuh dan
dilanjutkan dengan sekolah, itulah perjuangan ketiga pemuda itu. Mati-
260
matian menabung demi mewujudkan impiannya. Meskipun jika dinalar
secara akal sehat, tabungan mereka tidak akan cukup untuk sampi ke
sana. Namun, jiwa optimis Arai tidak akan pernah terbantahkan.
Selesai SMA, Arai dan Ikal merantau ke Jawa tepatnya di Bogor,
sedangkan Jimbron lebih memilih untuk menjadi pekerja ternak kuda di
Belitong. Jimbron menghadiahkan kedua celengan kudanya yang berisi
tabungannya selama ini kepada Ikal dan Arai. Dia yakin kalau Arai dan
Ikal sampai di Perancis, maka jiwa Jimbron pun akan selalu bersama
mereka. Berbulan-bulan terkatung-katung di Bogor, merasakan sulinya
mencari pekerjaan untuk bertahan hidup, akhirnya Ikal diterima menjadi
tukang sortir (tukang Pos) dan Arai memutuskan untuk merantau ke
Kalimantan. Tahun berikutnya, Ikal memutuskan untuk kuliah di Ekonomi
UI. Setelah lulus S1, Ikal mengikuti seleksi beasiswa S2 ke Eropa. Beribu-
ribu pesaing berhasil Ikal singkirkan lewat proposal riset yang
diajukannya. Profesor pengujinya begitu terpukau dengan rencana studi
Ikal.
Sebuah kejuatan luar biasa terjadi saat Arai dan Ikal dipertemukan
dalam suatu forum yang begitu indah dan terhormat. Begitulah Arai, selalu
penuh dengan kejutan. Semua ini sudah direncanaknnya bertahun-tahun.
Ternyata Arai kuliah di Universitas Mulawarman dan mengambil jurusan
Biologi. Tidak kalah dengan Ikal, proposal risetnya juga begitu luar biasa
dan berbakat untuk menghasilkan teori baru.
261
Akhirnya sampai juga mereka pulang kampung ke Belitong.
Suasana mendebarkan muncul ketika surat pengumuman penerima
Beasiswa ke Eropa itu datang. Arai begitu sedih karena ia sangat
merindukan kedua orang tuanya. Arai ingin membuka kabar itu bersama
orang yang sangat dia rindukan. Kegelisahan dimulai. Baik Arai maupun
Ikal, keduanya tidak kuasa mengetahui isi dari surat itu. Setelah dibuka,
hasilnya adalah Ikal diterima di Perguruan tinggi Sorbone, Prancis.
Setelah perlahan mencocokkan dengan surat Arai, inilah jawaban dari
mimpi-mimpi mereka. Kedua sang pemimpi ini diterima di Universitas
yang sama. Tapi ini bukan akhir dari segalanya. Di sinilah perjuangan dari
mimpi itu dimulai, dan siap melahirkan anak-anak mimpi berikutnya.
262
263
EDENSOR
Novel ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi ini bercerita tentang
petualangan Ikal dan Arai di Eropa. Setelah berhasil memperoleh
beasiswa ke Prancis, Ikal dan Arai mengalami banyak kejadian yang
orang biasa sebut sebagai kejutan budaya. Banyak kebiasaan dan
peradaban Eropa yang sangat berlainan dengan peradaban yang selama
ini mereka pahami sebagai orang Indonesia, khususnya Melayu. Buku ini
berkisah tentang kisah dua anak melayu Belitong yaitu Ikal (Andrea
Hirata) dan Arai yang mendapatkan beasiswa dari Uni Eropa untuk
melanjutkan sekolahnya di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis.
Pada bagian awal buku ini diceritakan sedikit kisah Ikal mulai dari
Ikal lahir sampai pada saat Ikal dan Arai berangkat meninggalkan Jakarta
untuk bersekolah di Universitas Sorbonne. Lalu pada kisah selanjutnya,
diceritakan tentang perjalanan Ikal dan Arai dari Bandara Soekarno Hatta
sampai ke Paris. Akhirnya mimpi seorang anak melayu Belitong miskin
yang dulunya bersekolah di gubuk kopra yang juga berfungsi sebagai
kandang kambing untuk melihat keindahan kota Paris secara langsung
tercapai juga. Mimpi Ikal untuk menginjakkan kaki di almamater terhebat:
Sorbonnne akhirnya terwujuda. Kisah selanjutnya adalah masa-masa Ikal
dan Arai kuliah di Sorbonne sampai pada hari-hari terakhir musim salju,
yaitu pada saat Ikal dan Arai akan memulai perjalanan yang lebih
menegangkan dibandingkan dengan pergi ke Paris dan bersekolah di
Sorbonne. Mereka akan menjelajahi Eropa sampai Afrika. Setelah Ikal dan
264
Arai menjelajahi Eropa sampai Afrika, Arai pun jatuh sakit dan pulang ke
Indonesia, sedangkan Ikal melanjutkan kuliahnnya di Inggris karena guru
yang membimbing Ikal pindah ke Inggris untuk pensiun. Pemandangan
yang dulunya hanya dapat ditemukan Ikal di dalam khayalannya, akhirnya
dapat ia lihat secara nyata dan pemandangan itu adalah Edensor.
Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit
kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan
sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas
menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku
mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi
satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-
duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan
berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang
jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin
berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku
ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar
matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku
ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku
ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup! Di dalam buku ini juga Ikal
dan Arai kembali menuai karma akibat kenakalan-kenalan yang pernah
mereka lakukan semasa kecil dan remaja dulu. Pembaca akan dibawa ke
dalam petualangan mereka menyusuri Eropa dengan berbagai
265
pengalaman yang mencengangkan, mencekam, membuat terbahak,
sekaligus berurai air mata.
266
Maryamah Karpov
Maryamah Karpov adalah novel keempat dari tetralogi Laskar
Pelangi. Buku ini berkisah tentang kisah kehidupan dan pencarian A Ling
yaitu cinta sejati Ikal walaupun akhirnya tidak terlalu bahagia. Pada bagian
awal buku ini diceritakan kisah Ikal yang telah lulus dari Universitas
Sorbonne, Farewell Party-nya di Prancis juga pada saat Ikal sampai di
Belitong. Setelah menyelesaikan S2 di Sorbone University Prancis, Ikal
kembali ke tanah kelahirannya di pulau Belitong. Kerinduan, itulah alasan
yang mendasar kenapa Ikal kembali ke Belitong. Ia rindu kepada orang
tuanya, rindu kepada Arai sepupu jauh Ikal, rindu kepada masyarakat
Belitong, rindu dengan alam Belitong dan lebih dari itu, ia rindu pada gadis
impiannya yaitu A Ling. Perjalanan dari Jakarta ke rumahnya di Belitong,
dilalui Ikal dengan penuh perjuangan dan rasa letih, tetapi semua itu
pudar karena ia begitu merindukan ayahnya. Lelaki pendiam itu sangat
istemewa bagi Ikal. Bahkan, Ikal mempersiapkan penampilan terbaiknya
untuk bertemu dengan ayahnya. Ikal mengenakan pakaian pelayan
resotoran ketika bekerja di Perancis dulu. Ketika bertemu dengan ayah,
ibunya dan Arai, rasa haru tak dapat terbendung lagi. Betapa Ikal sangat
merindukan saat ini. Saat bertemu dengan orang-orang yang dicintainya.
Pulau Belitong tak seperti dulu lagi, masyarakat Belitong terpuruk
setelah pabrik timah gulung tikar. Walaupun demikian, suasana Belitong
tak jauh berbeda dibandingkan saat Ikal melanjutkan studinya ke
Perancis. Masyarakat Belitong masih gemar membual, minum kopi ke
267
warung, dan sangat menyukai taruhan. Lalu cerita dengan kehadiran
seorang dokter gigi dari Jakarta yang bernama dokter Budi Ardiaz. Ia
adalah wanita kaya dan sebenarnya bisa hidup nyaman di Jakarta. Akan
tetapi, karena idealismenya, ia mengabdikan dirinya sebagai dokter di
tanah Melayu, Belitong. Namun sayangnya, setelah berbulan-bulan
membuka praktek, tak ada satupun masyarakat yang mau berobat
padanya. Masyarakat lebih senang berobat ke dukun gigi dengan alasan
bahwa mulut adalah sesuatu yang sensitif seperti kelamin. Jadi, tak boleh
sembarangan memasukkan tangan ke dalam mulut kecuali muhrim.
Kenyataan ini membuat kepala kampung Karmun geram dan memaksa
masyarakat untuk berobat pada dokter Diaz. Namun sayang, masyarakat
tetap kekeh dengan prinsip yang telah mereka pegang.
Selanjutnya, diceritakan bahwa masyarakat Belitong menemukan
dua jenazah yang terapung di air. Kejadian itu mengagetkan masyarakat
khususnya Ikal. Terlebih, jenazah itu memiliki tato kupu-kupu mirip tato A
Ling. Konon kabarnya, dua jenazah tersebut tewas karena mencoba
melarikan diri dari kawanan perampok yang bengis di pulau Betuan. Hal
ini membuat Ikal meyakini bahwa A Ling merupakan salah satu
penumpang kapal ke pulau Betuan. Ikal berniat ke pulau Betuan untuk
menemukan A Ling, tetapi tidak ada yang mau membantunya. Justru
masyarakat melarang Ikal untuk berlayar ke pulau Betuan karena pulau itu
sangat berbahaya. Menurut kepercayaan masyarakat belitong, jika pulau
268
tersebut dikunjungi makan harapan untuk bisa kembali tidak ada lagi.
Akan tetapi, Ikal tidak menyerah.
Motivasi terbesar Ikal berlayar ke pulau Betuan adalah demi cinta.
Niat Ikal untuk berlayar akhirnya dibantu oleh sahabat-sahabatnya (Laskar
Pelangi) yang kini telah tumbuh dewasa dengan profesi beragam. Lintang
dan Mahar memiliki peran yang besar dalam masalah ini. Dengan modal
ilmu pengetahuan dari Lintang dan semangat dari sahabat-sahabatnya,
Ikal akhirnya mampu membuat sebuah kapal. Kapal itu diberi nama
“Mimpi-mimpi Lintang”. Walaupun Ikal telah berhasil membuat kapal,
masih saja orang-orang mencemoohkannya dan tak ayal Ikal menjadi
objek taruhan masyarakat Belitong, tetapi itu semua tidak menyurutkan
semangat Ikal Sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak pada Ikal.
Bahkan, Ikal membuat orang terkagum-kagum dengan perjuangan
hebatnya.
Setelah berhasil membuat sebuah kapal yang hebat, Ikal berangkat
ke pulau Betuan bersama Mahar, Chung Fa dan Kalimut. Mereka memiliki
misi-misi yang berbeda untuk berlayar ke pulau Betuan. Selama
perjalanan menuju pulau Betuan, banyak rintangan yang mereka lalui.
Mulai dari angin laut, pembajak sadis, dan dunia mistik. Namun, semua
rintangan itu dapat ia lewati. Akhirnya, Ikal dapat menemukan cinta
sejatinya yang telah ia cari bertahun-tahun lamanya. Bahkan separuh
benua telah ia tempuh untuk menemukan A Ling.
269
Ikal pun membawa A Ling pulang ke Belitong. Mereka berdua
berniat untuk menikah. Ikal akhirnya meminta izin kepada keluarga A Ling
agar diizinkan meminang A Ling. Keluarga A Ling pun menyetujuinya.
Namun sayangnya, ayah Ikal tidak menyetujui anak bujangnya meminang
A Ling.
270
TRILOGI NEGERI 5 MENARA
271
Negeri 5 Menara
Novel ini berkisah tentang enam orang sahabta yang bersekolah di
Pondok Madani (PM) Ponorogo Jawa Timur. Mereka dengan kerja keras
dan sungguh-sungguh akhirnya berhasil meraih mimpi yang pada awalnya
dianggap terlalu tinggi. Mereka adalah Alif Fikri Chaniago dari Maninjau
Sumatera Bara, Raja Lubis dari Medan, Said Jufri dari Surabaya, Dulmajid
dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso Salahuddin dari Gowa.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif adalah pemuda asal Desa
Bayur, Maninjau, Sumatera Barat yang diharapkan bisa menjadi seorang
guru agama seperti yang diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan kedua
orangtua Fuadi tentu saja tidak salah. Sebagai “amak” atau Ibu kala itu,
menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di
kampung seperti menjadi guru agama. Namun ternyata Fuadi alias Alif
mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya tinggal di
kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin
melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di
buku atau mendengar cerita temannya di desa. Namun, keinginan Alif
tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar
Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama.
Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di
Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor,
Jawa Timur. Dari sinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi
kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias
272
Kuswandani, Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said
alias Abdul Qodir.
Keenam bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini
setiap sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib
berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan
membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya
Fuadi mengaku jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah
negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula lainnya
menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua
Eropa. Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan
selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris
beberapa tahun kemudian. Mereka kemudian bernostalgia dan saling
membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid
Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna
tersendiri bagi dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren
adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di
pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga
mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di
pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak
gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu
didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-
sungguh akan berhasil. ”Siapa mengira jika Fuadi yang anak kampung kini
273
sudah berhasil meraih impiannya untuk bersekolah dan bekerja di
Amerika Serikat? Untuk itu, jangan berhenti untuk bermimpi,”
274
275
Ranah 3 Warna
Alif seorang pemuda yang lulus dari Pondok Pesantren Madani di
Ponorogo ini mempunyai mimpi ingin belajar sampai negeri Paman Sam.
Dengan semangat yang membara ia pulang ke Maninjau dan tak sabar
ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dia untuk
bisa lulus UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Lalu Alif sadar,
ada satu hal penting yang ia tidak miliki untuk menempuh UMPTN, yaitu
ijazah SMA. Semangat “Man Jadda Wajada” semakin menggelegar di
hatinya. Alif sudah melebihkan usaha untuk mencapai hasil yang terbaik.
Going the extra miles. I‟malu fauqa ma‟amilu. Berusaha di atas rata – rata
orang lain. Beberapa minggu kemudian hasil ujian persamaan keluar juga.
Dengan takut – takut Alif datang ke kantor panitia untuk melihat hasil
ujian. Alhamdullilah ia lulus dan tidak ada nilai merah, tetapi tetap saja dia
hanya mendapat nilai dengan rata – rata 6,5. One down, one more to go.
Jurusan Hubungan Internasional adalah jurusan yang menjadi
pilihan Alif dalam UMPTN. Alif telah membulatkan tekad untuk lebih
bekerja keras menempuh UMPTN. Man Jadda Wajada. Setelah kurang
lebih tiga minggu akhirnya hasil UMPTN dimuat di surat kabar Haluan
yang diangkut oleh bus Harmoni 1 yang turun dari Maninjau.
Alhamdullillah, nama Alif terpampang di surat kabar ini.
Setelah pengumuman UMPTN, Alif harus segera berangkat ke
Bandung untuk kuliah di Unpad (Universitas Padjadjaran). Ditemani oleh
“Si Hitam”, sepatu pemberian ayah Alif, ia pun berangkat merantau lagi ke
276
Jawa untuk menempuh pendidikan. Di sinilah perjalanan Alif dimulai.
Inilah hari pertama Alif untuk masuk kuliah. Setelah masuk Unpad,
berbagai macam rintangan ia hadapi mulai dari keinginannya untuk
menulis, berguru kepada Bang Togar yang mendidiknya sangat keras,
tulisan hasil didikan Bang Togar di muat di media massa lokal sampai
ayahnya meninggal. Karena ayah Alif sudah meninggal, Alif pun menjadi
tulang punggung keluarga. Hampir saja ia putus asa tetapi seorang ibu
telah menyemangatinya sehingga ia kembali bangkit. Semakin banyak
tulisan Alif yang di muat di media massa lokal maupun daerah, dan
sedikit demi sedikit Alif sudah bisa membiayai kuliahnya sendiri.
Dalam perjalanan kuliahnya, Alif mencoba untuk mengikuti
pertukaran pelajar di Amerika. Bermodal niat dan tekad yang kuat,
akhirnya Alif pun lolos seleksi dengan berbagai pertimbangan dari panitia
penyelenggara. Kanada, itulah tujuan Alif setelah lolos seleksi pertukaran
pelajar. Raisa, anak yang Alif sukai sejak masuk Unpad juga lolos seleksi
pertukaran pelajar. Sesampainya di Kanada, tepatnya di Montreal, Alif
mencubit tangannya serasa tidak percaya. Dan tak terasa ia dan “Si
Hitam” sudah menginjak 3 ranah berbeda. Tanah Tumpah Darah yaitu
Indonesia, tempat para nabi yaitu tanah Timur Tengah (Amman,Yordania),
dan tanah benua Amerika tepatnya di Montreal, Kanada.
Selama tinggal di Kanada, Alif mendapat tugas untuk bekerja di
SRTV, Stasiun TV Lokal Quebec City. Kegiatan yang tidak pernah Alif
tinggalkan meskipun berada di negeri Paman Sam adalah menulis. Ia
277
sempat menggemparkan publik Kanada dengan liputannya bersama
Monsieur Janvier, seorang tokoh Politik terkenal Kanada. Tidak hanya itu
saja, Alif juga pernah mewawancarai seorang Indian yang ahli dalam
berburu yaitu Lance Katapatuk.
Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar kembali ke
Indonesia. Perasaan bangga, senang, dan haru bercampur menjadi satu
mengiringi kepulangannya ke Indonesia. Sahabat – sahabat Alif di Unpad
turut senang dengan prestasi yang diraih Alif di Kanada. Tak lupa Alif juga
berkirim surat kepada Amaknya di Maninjau, ia mengabarkan tentang
kedatangannya kembali ke Indonesia dan akan terus melanjutkan kuliah
sampai lulus S-1.nTak terasa dua tahun sudah berlalu sejak Alif pulang
dari Kanada. Skripsi sudah dilalui dengan penuh kerja keras dan hasilnya
berbuah sangat manis. Alif dinyatakan lulus dan berhak untuk mengikuti
wisuda.
278
279
RANTAU 1 MUARA
Alif lulus dari UNPAD dengan nilai terbaik. Berbagai negara di
dunia sudah ia kelilingi dan tulisannya tersebar di banyak media. Namun,
ia lulus di saat yang salah. Akhir 90an Indonesia mengalami krisis
moneter. Ia harus berjuang cukup keras untuk menopang hidupnya.
Bekali-kali lamaran pekerjaannya ditolak.Ia tak patah semangat, mantra
man saara ala darbi washala (siapa yang berjalan di jalannya akan
sampai di tujuan) menjadi semangatnya. Hingga seberkas harapan
muncul ketika Alif diterima menjadi wartawan di Majalah Derap.Di Derap,
Alif bertemu dengan seorang gadis keturunan Minang yang juga wartawan
di tempat ia bekerja. Gadis itu bernama Dinara. Cukup lama mereka
dekat, namun Alif tidak mampu membaca tanda-tanda yang diberikan
Dinara. Hingga akhirnya mereka harus berpisah karena Alif mendapat
beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Amerika.
Walaupun terpisah jauh, Alif dan Dinara tetap berkomunikasi. Alif
kemudian memberanikan diri menyampaikan niatnya untuk
mempersunting Dinara. Dinara sebenarnya juga mencintai Alif. Namun
yang paling sulit adalah mendapat restu dari ayah Dinara. Alif harus
berusaha keras melunakkan hati ayah Dinara. Segala upaya telah Alif
lakukan hingga akhirnya Ayah Dinara merestui mereka berdua. Mereka
kemudian menikah dan melanjutkan hidupnya di Amerika.
Hidup di Amerika membawa Alif memiliki sahabat baru setanah air,
salah satunya Mas Garuda yang sudah menganggap Alif sebagai adiknya
280
sendiri. Tetapi peristiwa paling menyedihkan yang menghancurkan
gedung WTC pada tanggal 11 September 2001 membuat Alif harus
kehilangan orang yang dia anggap sebagai kakaknya itu. Butuh waktu
lama untuk mengobati rasa sedih yang dialami Alif. Namun, ia harus
bangkit dari keterpurukannya dan melanjutkan studinya yang sempat
tertinggal.
Setelah tamat dari S2, Alif dan Dinara diterima bekerja pada
sebuah Koran Amerika. Keadaan ini mengubah ekonomi mereka.
Kesenangan hidup di Amerika membuat Alif enggan kembali ke Indonesia.
Desakan Dinara yang terus-menerus dan nasihat dari orang-orang
terdekatnya inilah, akhirnya Alif memutuskan untuk meninggalkan segala
kesenangan itu dan melanjutkan hidup baru di Indonesia. Ternyata
darimana ia bermuara akan kembali ke muaranya yaitu Indonesia.